Professional Documents
Culture Documents
1. Latar Belakang Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik (contoh, nyeri, mual, pusing) dimana tidak dapat ditemukan penjelasan secara medis yang adekuat. Gejala dan keluhan somatik adalah cukup serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Gangguan somatoform tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan. Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala. Hal ini sudah dikenal sejak zaman Mesir kuno dan terus mengalami perkembangan hingga saat ini. Dan sekarang ini Diagnostic and Statistical Manual of Mental edisi keempat (DSM-IV) menyebutkan terdapat lima gangguan somatoform spesifik yang dikenali, yaitu gangguan somatisasi, gangguan konversi, hipokondriasis, gangguan dismorfik tubuh, dan gangguan nyeri.
BAB II PEMBAHASAN
Diagnostic and Statistical Manual of Mental edisi keempat (DSM-IV) menyebutkan terdapat lima gangguan somatoform spesifik yang dikenali:
mensimbolisasikan suatu perasaan atau keyakinan. Interpretasi psikoanalitik yang ketat tentang gejala terletak pada hipotesis bahwa gejala adalah substitusi untuk impuls instinktual yang direpresi. Beberapa penelitian mengarah pada dasar neuropsikologis untuk gangguan somatisasi. Data genetika menyatakan bahwa, sekurangnya pada beberapa keluarga, transmisi gangguan somatisasi memiliki suatu komponen genetika. Satu bidang baru neuroilmiah dasar yang mungkin relevan dengan gangguan somatisasi dan gangguan somatoform lainnya mempermasalahkan sitokin (cytokines). Sitokin adalah molekul pembawa pesan yang digunakan oleh sistem kekebalan untuk berkomunikasi dalam dirinya sendiri dan berkomunikasi dengan sistem saraf, termasuk otak. Namun data yang ada masih belum mendukung hal ini.
2
Gangguan somatisasi ditandai oleh banyak gejala somatik yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Gangguan somatisasi dibedakan dari gangguan somatoform lainnya karena banyaknya keluhan dan melibatkan sistem organ yang multipel (contoh, gastrointestinal dan neurologis). Gangguan ini adalah kronis (dengan gejala ditemukan selama beberapa tahun dan dimulai sebelum usia 30 tahun) dan disertai dengan penderitaan psikologis yang bermakna, gangguan fungsi sosial dan pekerjaan, dan perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan. Pasien dengan gangguan somatisasi mungkin memiliki banyak keluhan somatik dan riwayat medis yang lama dan sulit. Penderitaan psikologis dan masalah interpersonal adalah menonjol; kecemasan dan depresi adalah kondisi psikiatrik yang paling menonjol. Ancaman bunuh diri sering ditemukan, namun bunuh diri yang sesungguhnya jarang terjadi dan biasanya disertai dengan penyalahgunaan zat.
DIAGNOSIS DSM-IV menyederhanakan kriteria diagnostik yang diajukan dalam DSM-III-R. Untuk diagnosis gangguan somatoform, DSM-IV mengharuskan onset usia sebelum 30 tahun. Selama perjalanan penyakit, pasien harus telah mengeluhkan sekurangnya empat gejala nyeri, dua gejala gastrointestinal, satu gejala seksual, dan satu gejala neurologis semu, yang semuanya tidak dapat dijelaskan sepenuhnya melalui pemeriksaan fisik atau laboratorium.
Tabel 1. Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Somatisasi A. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama periode beberapa tahun dan menyebabkan terapi yang dicari atau gangguan bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain. B. Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan, dengan gejala individual yang terjadi pada sembarang waktu selama perjalanan gangguan: 1) empat gejala nyeri: riwayat nyeri yang berhubungan dengan sekurangnya empat tempat atau fungsi yang berlainan (misalnya, kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak, dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan seksual, atau selama miksi). 2) dua gejala gastrointestinal: riwayat sekurangnya dua gejala gastrointestinal selain dari nyeri (misalnya, mual. kembung, muntah selain dari selama kehamilan, dare. atau intoleransi terhadap beberapa jenis makanan).
3
3) satu gejala seksual: riwayat sekurangnya satu gejala seksual atau reproduktif selain dari nyeri (misalnya, indiferensi seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi, menstruasi yang tidak teratur, perdarahan menstruasi yang berlebihan, muntah sepanjang kehamilan). 4) satu gejala pseudoneurologis: riwayat sekurangnya satu gejala atau deficit yang mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan setempat, sulit menelan atau benjolan di tenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi sentuh atau nyeri, pandangan ganda, kebutaan, ketulian, kejang, gejala disosiatif seperti amnesia: atau hilangnya kesadaran selain pingsan). C. Salah satu (1) atau (2): (1) seteiah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria B fidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis umum yang dikenal atau efek langsung dari suatu zat (misalnya, efek cedera, medikasi, obat atau alkohol). (2) jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau, gangguan sosial atau pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium. D. Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau pura-pura).
Sumber: Kaplan, Sadock. Sinopsis Psikiatri. 2010.
Gangguan depresif berat, gangguan kecemasan umum, dan skizofrenia semuanya dapat tampak dengan keluhan utama yang berpusat pada gejala somatik. Tetapi pada akhirnya gangguan tersebut menonjol diatas keluhan somatik. Diantara gangguan somatoform lainnya, hipokondriasis, gangguan konversi, dan gangguan nyeri perlu dibedakan dari gangguan somatisasi. Hipokondriasis ditandai oleh keyakinan palsu bahwa seseorang menderita penyakit spesifik, sedangkan pada somatisasi memiliki banyak gejala. Gejala pada gangguan konversi adalah terbatas pada satu atau dua gejala neurologis, bukannya berbagai gejala dari gangguan somatisasi. Gangguan nyeri adalah terbatas pada satu atau dua keluhan gejala nyeri. TERAPI Psikoterapi, baik individual dan kelompok, menurunkan biaya perawatan kesehatan penderita gangguan somatisasi sebesar 50%, sebagian besar karena penurunan jumlah perawatan di rumah sakit. Dalam lingkungan psikoterapeutik, pasien dibantu untuk
4
mengatasi gejalanya, untuk mengekspresikan emosi yang mendasari, dan untuk mengembangkan strategi alternatif untuk mengekspresikan perasaan mereka. Memberikan medikasi psikotropik bilamana gangguan somatisasi ada bersama-sama dengan gangguan mood atau kecemasan adalah selalu memiliki risiko, tetapi pengobatan psikofarmakologis, dan juga pengobatan psikoterapeutik, pada gangguan penyertanya adalah diindikasikan. Medikasi harus dimonitor, karena pasien cenderung menggunakan obat secara berlebihan dan tidak dapat dipercaya.
pada gangguan konversi adalah astasia-abasia, yaitu gaya berjalan yang sangat ataksik dan sempoyongan yang disertai oleh gerakan batang tubuh yang menyentak, iregular, kasar dan gerakan lengan yang menggelepar dan bergelombang. Refleks tetap normal dan elektromiografi juga normal. Pasien dengan gangguan konversi mungkin secara tidak sadar membentuk gejalanya pada seseorang yang penting bagi mereka. Sebagai contoh, orang tua atau orang yang baru saja meninggal mungkin berperan sebagai model untuk gangguan konversi. Keadaan ini sering terjadi pada reaksi dukacita patologis dimana orang yang kehilangan memiliki gejala orang yang telah meninggal.
DIAGNOSIS DSM-IV membatasi diagnosis pada gejala yang mempengaruhi fungsi motorik dan sensoris yang volunter yaitu, neurologis. Pasien yang memenuhi kriteria diagnostik tetapi yang memiliki gejala non-neurologis (sebagai contoh, pseudokiesis) sekarang diklasifikasikan sebagai menderita gangguan somatoform yang tidak ditentukan. Diagnosis gangguan konversi mengharuskan bahwa klinisi menemukan suatu hubungan yang diperlukan dan penting antara penyebab gejala neurologis dan faktor biologis, walaupun gejala tidak boleh diakibatkan oleh berpura-pura atau gangguan buatan. Diagnosis gangguan konversi juga mengeluarkan gejala nyeri dan disfungsi seksual dan gejala yang terjadi pada gangguan somatisasi. Tabel 2. Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Konversi A. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mengenai fungsi motorik volunter atau sensorik yang mengarahkan pada kondisi neurologis atau kondisi medis lain. B. Faktor psikologis dipertimbangkan berhubungan dengan gejala atau defisit karena awal atau eksaserbasi gejala atau defisit adalah didahului oleh konflik atau stresor lain. C. Gejala atau defisit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura). D. Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penelitian yang dijelaskan sepenuhnya oleh kondisi medis umum, atau oleh efek langsung suatu zat, atau sebagai perilaku atau pengalaman yang diterima secara kultural. E. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain atau memerlukan pemeriksaan medis.
6
F. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak terjadi sematamata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan tidak dapat diterangkan dengan lebih baik oleh gangguan mental lain.
Sumber: Kaplan, Sadock. Sinopsis Psikiatri. 2010.
TERAPI Pemulihan gejala gangguan konversi biasanya spontan, walaupun pemulihan kemungkinan dipermudah oleh terapi suportif berorientasi-tilikan atau terapi perilaku; ciri yang paling penting dari terapi adalah hubungan terapeutik yang merawat dan menguasai. Pada pasien yang kebal terhadap ide psikoterapi, dapat dianjurkan psikoterapi yang dipusatkan pada masalah stres dan mengatasinya. Amobarbital dan lorazepam parenteral mungkin membantu dalam mendapatkan informasi riwayat penyakit tambahan, khususnya jika baru saja dialami suatu peristiwa traumatik.
2.3 HIPOKONDRIASIS
Istilah hipokondriasis didapatkan dari istilah medis yang lama hipokondrium, yang berarti dibawah rusuk, dan mencerminkan seringnya keluhan abdomen yang dimiliki pasien dengan gangguan ini. Perbandingan antara pria dan wanita adalah sama. Onset gejala dapat terjadi pada setiap usia, namun paling sering antara usia 20 sampai 30 tahun. DSM-IV menyatakan bahwa gejala mencerminkan misinterprestasi gejala-gejala tubuh. Data tubuh yang cukup menyatakan bahwa orang dengan hipokondrial meningkatkan dan membesarkan sensasi somatiknya; mereka memiliki ambang dan toleransi yang lebih rendah dari umumnya terhadap gangguan fisik. Sebagai contoh, apa yang dirasakan oleh orang normal sebagai tekanan abdominal, orang hipokondriakal mengalami sebagai nyeri abdomen. Teori kedua adalah bahwa hipokondriasis dapat di mengerti berdasarkan model belajar sosial. Gejala hipokondriasis dipandang sebagai keinginan untuk mendapat peranan sakit oleh seseorang yang menghadapi masalah yang tampaknya berat dan tidak dapat dipecahkan, sehingga dibiarkan menghindari kewajiban yang menimbulkan kecemasan. Teori ketiga adalah bahwa gangguan ini bentuk varian dari gangguan mental lain. Yang paling sering dihipotesiskan berhubungan dengan hipokondriasis adalah gangguan depresif dan gangguan kecemasan. Bidang pikiran keempat adalah psikodinamika, yang menyatakan bahwa harapan agresif dan permusuhan terhadap
7
orang lain dipindahkan (melalui represi dan pengalihan) kepada keluhan fisik. Hipokondriasis juga dipandang sebagai pertahanan terhadap rasa bersalah, rasa keburukan yang melekat, suatu ekspresi harga diri yang rendah, dan tanda perhatian terhadap diri sendiri yang berlebihan.
DIAGNOSIS Kategori diagnostik DSM-IV mengharuskan bahwa pasien terpreokupasi dengan keyakinan palsu bahwa ia menderita penyakit yang berat dan keyakinan palsu tersebut didasarkan pada misinterpretasi tanda atau sensasi fisik, berlangsung sekurangnya 6 bulan, kendatipun tidak adanya temuan patologis pada pemeriksaan medis dan neurologis, dan tidak dalam intensitas waham dan tidak terbatas pada ketegangan penampilan (lebih tepat didiagnosis sebagai gangguan dismorfik tubuh).
Tabel 3. Kriteria Diagnostik untuk Hipokondriasis A. Preokupasi dengan ketakutan menderita, atau ide bahwa ia menderita, suatu penyakit serius didasarkan pada interpretasi keliru orang tersebut terhadap gejala-gejala tubuh. B. Preokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis yang tepat dan penenteraman. C. Keyakinan dalam kriteria A tidak memiliki intensitas waham (seperti pada gangguan delusional, tipe somatik) dan tidak terbatas pada kekhawatiran yang terbatas tentang penampilan, (seperti pada gangguan dismorfik tubuh). D. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain. E. Lama gangguan sekurangnya 6 bulan. F. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih balk oleh cangguan kecemasan umum, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan panik, gangguan depresif berat, comas Perpisahan, atau gangguan somatoform lain.
Sumber: Kaplan, Sadock. Sinopsis Psikiatri. 2010
TERAPI Psikoterapi kelompok adalah cara terpilih, sebagian karena cara ini memberikan dukungan sosial dan interaksi sosial yang tampaknya menurunkan kecemasan pasien. psikoterapi individual berorientasi-tilikan mungkin berguna, tapi biasanya tidak berhasil. Jadwal pemeriksaan fisik yang sering dan teratur berguna untuk menenangkan pasien bahwa mereka tidak ditelantarkan dan keluhan mereka ditanggapi dengan serius.
8
Farmakoterapi menghilangkan gejala hipokondriakal hanya jika pasien memiliki suatu kondisi dasar yang responsif terhadap obat, seperti gangguan kecemasan atau gangguan depresi berat. Jika sekunder akibat gangguan mental primer lainnya, gangguan tersebut harus diobati untuk gangguan itu sendiri.
TERAPI Pengobatan dengan prosedur medis (bedah, dermatologis, dll) untuk menyelesaikan defek yang dialami hampir selalu tidak berhasil. Obat trisiklik, MAO inhibitor, dan Pimozide
9
(Orap) telah dilaporkan berguna. Pada pasien dengan gangguan mental penyerta, seperti gangguan depresif atau gangguan kecemasan, gangguan penyerta harus diobati dengan farmakoterapi dan psikoterapi yang sesuai.
E. Nyeri tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mood, kecemasan, atau gangguan psikotik dan tidak memenuhi kriteria dispareunia.
Sumber: Kaplan, Sadock. Sinopsis Psikiatri. 2010.
TERAPI Klinisi harus membbicarakan masalah faktor psikologis pada awal pengobatan, menceritakan secara jelas pada pasien bahwa faktor-faktor tersebut adalah penting dalam penyebab dan akibat nyeri fisik dan psikogenik. Medikasi analgesik biasanya tidak membantu pada sebagian besar pasien dengan gangguan nyeri. Di samping itu, penyalahgunaan dan ketergantungan zat adalah masalah besar pada pasien dengan gangguan nyeri yang mendapatkan terapi analgesik jangka panjang. Obat sedatif dan antiansietas tidak bermanfaat secara khusus dan seringkali disalahgunkan, keliru pemakaian, dan efek sampingnya. Antidepresan seperti amitriptyline, imipramine, dan doxepine adalah berguna. Apakah antidepresan menurunkan nyeri melalui kerja antidepresannya atau memiliki efek analgesik langsung masih diperdebatkan. Beberapa hasil data menyatakan bahwa psikoterapi berguna bagi pasien dengan gangguan nyeri. Disini klinisi tidak boleh langsung menentang pasien yang bersomatisasi dengan komentar seperti, semuanya pikiran kamu. Bagi pasien nyeri adalah nyata, dan klinisi harus menyadari realitas nyeri meskipun mencurigai bahwa hal tersebut sebagian besar berasal dari intrapsikis.
(2)
(misalnya, efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol) jika terdapat kondisi medis umum yang berhubungan, keluhan fisik atau gangguan sosial atau pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan menurut riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.
C. Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya. D. Durasi gangguan sekurangnya enam bulan. E. Gangguan tidak dapat diterangkan lebih balk oleh gangguan mental lain (misalnya, gangguan somatoform, disfungsi seksual, gangguan mood, gangguan kecemasan, disfungsi seksual, gangguan mood, gangguan kecemasan, gangguan tidur, atau gangguan psikotik). F. Gejala tidak ditimbulkan dengan sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura).
Sumber: Kaplan, Sadock. Sinopsis Psikiatri. 2010.
12
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Harold I. Kaplan, Benjamin I. Sadock, Jack A. Grebb. Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Jilid 2. Binarupa Aksara: Tangerang. 2010. 2. Willy F. Maramis, Albert A. Maramis. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. 2009.
14