You are on page 1of 32

1

KADAR IgA SALIVA PADA PASIEN YANG TERINFEKSI HIV


DI RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSOMO JAKARTA








Oleh :

Drg. IRNA SUFIAWATI, Sp.PM

NIP. 132206501










FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2008
2
ABSTRAK

Latar belakang: Infeksi HIV mempunyai efek secara langsung pada sistem imun, selular
dan humoral. Sekresi antibodi, khususnya IgA saliva, merupakan indikator fungsi imun
mukosa mulut. Komponen sistem imun ini telah diketahui sebagai pertahanan utama
terhadap patogen yang berkolonisasi dan menginvasi permukaan mukosa di dalam rongga
mulut. Imunoglobulin A saliva telah diketahui berperan dalam aglutinasi bakteri,
netralisasi toksin, bakteri dan virus.
Tujuan: Untuk mengetahui kadar IgA saliva dan hubungannya dengan jumlah sel T CD4
pada pasien yang terinfeksi HIV di Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo Jakarta.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain potong lintang.
Saliva keseluruhan dengan stimulasi paraffin-wax dikumpulkan dari 103 pasien
HIV/AIDS dan 30 individu individu sehat. Saliva dikumpulkan dengan menggunakan
metode spitting. Kadar IgA saliva ditentukan dengan metode imunoturbidimetri
menggunakan alat turbitimer produk Behring.
Hasil: Kadar IgA saliva adalah 141,55 83,23 (kelompok HIV) dan 97,24 38,25
(individu sehat). Hasil uji Mann-Whitney U menunjukkan bahwa kadar IgA saliva pada
pasien HIV/AIDS tersebut lebih tinggi daripada nilai rujukan (p<0,1). Sebagian besar
subyek penelitian memiliki status imunosupresi berat dengan jumlah sel T CD4 dibawah
<200 sel/mm
3
. Uji korelasi Pearson menunjukkan tidak didapatkan korelasi yang
bermakna antara kadar IgA saliva dengan jumlah sel T CD4 (r=0,06, p>0,1).
Kesimpulan: Kadar IgA saliva lebih tinggi secara bermakna pada subyek HIV/AIDS
daripada individu sehat, dan tidak ada hubungan yang bermakna dengan jumlah sel T
CD4.

Kata kunci: IgA saliva, sel T CD4, infeksi HIV.





3
ABSTRACT

Background: HIV infection appears to have direct effects on oral mucosal immunity,
cellular and humoral. Antibody secretion, especially salivary immunoglobulin A (IgA), is
a useful indicator of mucosal immune function. This immune system component is
recognized as an important first-line of defense against pathogens which colonize and
invade mucosal surfaces in the oral cavity. Salivary IgA has been shown to agglutinate
bacteria, neutralize toxins, enzymes, and viruses.
Objectives: The purpose of this study was to investigate salivary IgA levels and to
determine its correlation with CD4 T-cell counts among HIV-infected Patients in
Pokdisus AIDS Cipto Mangunkusomo Hospital Jakarta.
Methods: The design study was using a cross-sectional study. Whole paraffin-wax-
stimulated saliva was collected from 103 HIV-infected patients and 30 healthy
individuals. Saliva was collected using the spitting method. Salivary IgA levels were
determined by the immunoturbidimetry method using the Behring Turbitimer Analyser.
Results : Salivary IgA levels were 141.55 83.23 (HIV group) and 97.24 38.25
(healthy individuals). The Mann-Whitney U test showed salivary IgA levels were
significantly higher in HIV/AIDS subjects compared with healthy individuals (p<0.1).
Most of the subject have severe immunosuppresion with CD4+ T-cell counts <200
cell/mm
3
. Pearson's correlation test between CD4+ T-cell counts and salivary IgA levels
showed no significant correlation (r= 0.06, p>0.1).
Conclusion: This study indicates that total salivary IgA levels were significantly higher
in the HIV-infected patients compared to control, and salivary IgA level seem not to be
related significantly to CD4+ T-cell counts.

Key words: Salivary IgA, CD4+ T cell, HIV infection.





4
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillahirrobbilalamiin, segala puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah
SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya. Berkat ridha-Nyalah saya dapat
menyelesaikan makalah ini yang merupakan hasil penelitian yang berjudul Kadar IgA
Saliva pada Pasien yang Terinfeksi HIV di RSUPN Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta
Penulis banyak mendapat kesulitan dalam melaksanakan penelitian ini, namun
berkat bimbingan dan arahan berbagai pihak maka penulis dapat menyelesaikannya. Oleh
karena itu dengan segenap ketulusan hati perkenankanlah saya menyampaikan rasa
terimakasih yang setulus-tulusnya dan perhargaan kepada:
1. Dr. drg. Harum Sasanti, Sp.PM, atas bimbingan dan arahannya.
2. Prof. Dr. dr. Samsuridjal Djauzi, S.ID.-KAI atas kesempatan dan bantuan yang
diberikan kepada saya dalam melaksanakan penelitian ini.
3. Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Unpad
4. Kepala Bagian Ilmu Penyakit Mulut FKG Unpad
5. Staf Akademik Bagian Ilmu Penyakit Mulut FKG Unpad
6. Semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan limpahan berkat dan rahmatNya. Amin.
Untuk penyempurnaan makalah ini penulis selalu menerima kritik dan saran
dengan tangan terbuka. Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat bagi pengembangan
ilmu kedokteran gigi dan bagi para pembaca.

Bandung, September 2007

Penulis



5
DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK i
ABSTRACT ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
Bab 1. PENDAHULUAN 1
Bab 2. TINJAUAN PUSTAKA 3
Bab 3. METODA PENELITIAN 11
Bab 2. HASIL PENELITIAN 15
Bab 3. PEMBAHASAN 19
Bab 4. KESIMPULAN DAN SARAN 24
DAFTAR PUSTAKA 25


















6
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah
Sejak awal epidemik HIV, berbagai penelitian membuktikan bahwa infeksi HIV
mempunyai efek secara langsung pada sistem imun, baik imunitas selular maupun
humoral.
1,2
Imunosupresi yang ditandai dengan penurunan jumlah sel T CD4. Selain sel T
CD4 sebagai komponen imun selular, komponen imun humoral lokal imunoglobulin A
(IgA) saliva juga berperan dalam proteksi terhadap lesi oral.
3-6
Imunoglobulin A
mempunyai peran penting sebagai proteksi terhadap mikroorganisme melalui berbagai
mekanisme pada jaringan mukosa mulut, yaitu membunuh secara langsung, aglutinasi,
menghambat perlekatan dan penetrasi mikroorganisme, inaktivasi enzim dan toksin
bakterial, opsonisasi dan cell-mediated killing.
7-11

Penelitian-penelitian terdahulu melaporkan adanya abnormalitas kadar IgA saliva
pada pasien HIV/AIDS
1,2,12,13
, dan terdapat hubungan antara jumlah sel T CD4 dengan
kadar IgA saliva pada infeksi HIV.
14
Hasil penelitian Muller dkk (1991)
16
, Sweet dkk
(1995)
17
, dan Sistig dkk (2003)
12
menunjukkan bahwa kadar IgA pada pasien HIV/AIDS
lebih rendah dibandingkan dengan kelompok HIV negatif.

Challacombe & Sweet (2002)
1

melaporkan konsentrasi IgA saliva keseluruhan lebih rendah baik pada pasien HIV
maupun AIDS, dan lebih nyata terlihat pada tahap lanjut dari infeksi HIV.oleh Grimoud
dkk (1998) melaporkan terdapat peningkatan kadar IgA saliva yang signifikan pada
pasien HIV dengan CD4 <200.
14

Perubahan kadar IgA saliva pada pasien HIV/AIDS yang kontradiktif terlihat
pada hasil berbagai penelitian. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor-faktor seperti
perbedaan tehnik pengambilan saliva, variasi waktu saat pengambilan saliva, perbedaan
jenis kelenjar pada pengambilan saliva, laju aliran saliva, tahapan infeksi HIV populasi
penelitian, jumlah subyek penelitian, dan/atau berbagai obat-obatan yang digunakan
subyek. Perubahan kadar IgA saliva juga dapat dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin,
faktor hormonal, latar belakang genetik, faktor psikologis, sosial ekonomi, aktivitas fisik,
status nutrisi, dan gaya hidup.
18,19


7
1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, kami ingin mengetahui kadar IgA saliva dan
hubungannya dengan jumlah sel T CD4 serum pada pasien HIV/AIDS di Indonesia
khususnya di Pokdisus AIDS RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, karena sampai saat
ini belum pernah ada laporannya.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan pemahaman
mengenai aspek imunologis pada pasien HIV di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam upaya mencegah berkembangnya
manifestasi oral yang terkait erat dengan infeksi HIV untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien HIV/AIDS dengan memperhatikan tingkat imunosupresinya dan peningkatan
kondisi kesehatan gigi dan mulutnya.




















8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immune Deficiency
Syndrome dan Cluster of Differentiation (CD) 4.
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit disebabkan
oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV), ditandai dengan penurunan sistim imun
yang dapat mengakibatkan infeksi-infeksi oportunistik, neoplasma sekunder, dan
manifestasi neurologik.
20-22


Serupa dengan retrovirus, virion HIV-1 berbentuk bola dan mempunyai inti
berbentuk konus, padat dengan elektron, dan dikelilingi selubung lipid yang didapat dari
membran sel host. Inti virus mengandung (1) protein capsid mayor p24, (2) protein
nukleocapsid p7/p9, (3) dua kopi genom RNA, (4) tiga enzim virus (protease, reverse
transcriptase, dan integrase). Protein p24 adalah antigen virus yang paling banyak
dideteksi dan merupakan target dari antibodi yang digunakan untuk menegakkan
diagnosis infeksi HIV pada enzyme-linked immunosorbent assay (ELIZA). Inti virus
dikelilingi oleh protein matriks yang dinamakan p17, yang berada di bawah selubung
virion. Pada selubung terdapat dua glikoprotein, yaitu gp 120 dan gp41, yang penting
untuk infeksi HIV pada sel host (Gambar 2.1).
20-22

Gambar 2.1 Virion HIV.


20

Terdapat banyak bukti bahwa molekul CD4 adalah reseptor HIV dengan afinitas
tinggi. Ini menjelaskan sifat selektif virus terhadap sel T CD4 dan sel yang mempunyai
9
reseptor CD4 lainnya, terutama monosit/makrofag dan sel dendritik. Tetapi perlekatan ke
CD4 tidak cukup untuk menyebabkan infeksi. HIV gp120 harus juga menempel ke
molekul permukaan sel (ko-reseptor) lainnya untuk dapat masuk ke dalam sel.
21

Walaupun HIV dapat mengenai banyak jaringan, terdapat 2 target utama infeksi
HIV yaitu sistem imun dan sistem syaraf pusat. Tanda khas AIDS adalah terjadinya
imunosupresi, terutama mengenai cell-mediated immunity (CMI). Hal ini akibat infeksi
pada sel T CD4 serta kerusakan fungsi sel T CD4 yang masih ada. Makrofag dan sel
dendritik juga merupakan target infeksi HIV. HIV memasuki tubuh melalui jaringan
mukosa dan darah, dan pertama kali menginfeksi sel T dan sel dendritik serta makrofag
(Gambar 2.2). Infeksi akan terjadi di jaringan limfoid dimana virus akan menjadi laten
untuk jangka waktu panjang. Replikasi virus aktif dikaitkan dengan lebih banyak sel yang
terinfeksi dan perkembangan menjadi AIDS.
21



Gambar 2.2 Progresi infeksi HIV-1.
21






Keterangan :
Awalnya, HIV-1 menginfeksi sel T dan
makrofag secara langsung atau dibawa
ke sel-sel tersebut oleh sel Langerhans.
Replikasi virus di nodus limfatik
regional akan menyebabkan viremia dan
penyebaran luas ke jaringan limfe.
Viremia dikontrol oleh respons imun
host dan pasien kemudian memasuki
fase klinis laten. Pada fase ini terjadi
kontrol terhadap replikasi virus tetapi
replikasi virus pada sel T dan makrofag
akan terus terjadi. Kemudian terjadi
penurunan sel T CD4 secara bertahap
karena infeksi produktif. Akhirnya,
pasien mengalami gejala-gejala klinis
(tahap AIDS).
21

x
Infeksi sel T dan replikasi virus yang produktif pada sel yang terinfeksi adalah
mekanisme utama bagaimana HIV menyebabkan lisis sel T CD4. Hampir 100 juta partikel
virus baru dihasilkan tiap hari, dan 1-2 juta sel T CD4 mati setiap hari. Pada awal perjalanan
infeksi HIV, sistem imun dapat menggantikan sel T yang mati, dengan demikian tingkat
kehilangan sel T CD4 tetap rendah. Hal ini akan menutupi kematian sel besar-besaran yang
terjadi terutama di jaringan limfoid. Pada tahap penyakit selanjutnya, pembentukan sel T CD4
baru tidak dapat mengimbangi kehilangan sel ini. Meskipun terjadi kehilangan sel T CD4 dari
darah perifer, tetapi masih terdapat sedikit sel T terinfeksi yang masih produktif dalam
sirkulasi. Sekarang dipercaya bahwa HIV dapat menyebabkan kehilangan sel T dengan
beberapa cara yang tidak melibatkan efek langsung sitopatik virus (Gambar 2.3).
21


Gambar 2.3 Mekanisme hilangnya CD4 pada infeksi HIV.
21


Keterangan :
Pada tahap awal perjalanan penyakit, HIV mendiami organ limfoid (limpa, nodus limfatik, tonsil), yang
merupakan reservoir untuk sel yang terinfeksi. Virus menyebabkan kerusakan progresif dalam bentuk dan
komposisi selular jaringan limfoid.
Aktivasi kronis dari sel yang tidak terinfeksi, sebagai respons terhadap HIV atau infeksi yang umum terjadi
pada pasien, akan menyebabkan apoptosis sel tersebut dengan proses kematian sel yang dipicu oleh aktivasi.
Jumlah sel T CD4 yang mati jauh lebih banyak daripada jumlah sel terinfeksi.
Maturasi sel T CD4 yang tidak sempurna/cacat di dalam timus.
Fusi dari sel terinfeksi dan tidak terinfeksi, dengan pembentukan syncytia (giant cell). Pada kultur jaringan,
gp120 yang dilepaskan pada sel terinfeksi akan terikat ke molekul CD4 pada sel T yang tidak terinfeksi, dan
ini akan diikuti oleh fusi sel. Sel yang berfusi akan membentuk balon (membesar) dan akhirnya mati dalam
beberapa jam.
Apoptosis sel T CD4 yang tidak terinfeksi dengan cara pengikatan gp 120 yang solubel ke molekul CD4.
Limfosit T CD8 dapat membunuh sel T CD4 yang tidak terinfeksi dan diselimuti oleh gp120 yang
dilepaskan dari sel terinfeksi.

xi
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) classification terbaru
mengkategorikan jumlah sel T CD4 untuk menandakan tingkat imunosupresi pasien terinfeksi
HIV/AIDS, seperti tampak pada Tabel 2.1 di bawah ini.
20

Tabel 2.1 Kategori jumlah sel T CD4.
20
Kategori tingkat imunosupresi Total sel T CD4 sell/ // /mm
3

Kategori 1 : tidak ada imunosupresi > 500
Kategori 2: imunosupresi sedang 200-499
Kategori 3 : imunosupresi berat < 200

Beberapa penelitian mengkategorikan jumlah sel T CD4 lebih rinci lagi, yaitu dibagi
menjadi jumlah sel T CD4 > 500 sel/mm
3
, 350-499 sel/mm
3
, 200-349 sel/mm
3
, 100-199
sel/mm
3
, 50-99 sel/mm
3
, dan 0-49 sel/mm
3
.
23,24

Sel T CD4 berperan penting dalam mengatur respons imun, mereka menghasilkan
sitokin dalam jumlah berlebihan seperti IL-2, IL-4, IL-5, IFN-, faktor kemotaktik makrofag,
dan faktor pertumbuhan hematopoietik granulocyte-monocyte colony stimulating factor (GM-
CSF). Karena itu, kehilangan pengatur utama ini akan berefek pada komponen lain dari
sistem imun.
20

Meksipun telah banyak perhatian diberikan pada sel T, makrofag dan sel dendritik
karena mereka dapat diinfeksi oleh HIV, pasien dengan AIDS juga menunjukkan abnormalitas
dalam fungsi sel B. Yang menarik, pasien ini memiliki hiper-gammaglobulinemia dan
kompleks imun sirkulasi karena adanya aktifasi sel B poliklonal. Ini dapat diakibatkan oleh
berbagai faktor yang berinteraksi, yaitu (1) terjadinya reaktivasi atau reinfeksi oleh
sitomegalovirus dan EBV, keduanya adalah aktivator sel B poliklonal, (2) gp41 sendiri dapat
memicu pertumbuhan dan diferensiasi sel B, (3) makrofag yang terinfeksi HIV menghasilkan
peningkatan jumlah IL-6, yang akan memicu proliferasi sel B. Meskipun terdapat sel B yang
teraktivasi secara spontan, pasien HIV tidak mampu membuat respons antibodi terhadap
antigen baru. Hal ini disebabkan oleh kurangnya bantuan sel T, tetapi respons antibodi
terhadap antigen T-independen juga ditekan, dengan demikian akan terdapat juga defek lain
pada sel B. Kerusakan imunitas humoral akan membuat pasien menjadi sangat mudah
mengalami penyebaran infeksi.
21

xii
2.2 Imunoglobulin A (IgA)
Seperti kelas imunoglobulin lainnya, IgA terdiri dari 2 rantai berat (H/heavy) dan 2
rantai ringan (L/light), monomer H
2
L
2
ini dapat berpolimerisasi lebih lanjut. Pada IgA dimerik,
dua unit monomer diatur dalam konfigurasi ujung ke ujung dan distabilisasi oleh jembatan
disulfida dan pembentukan rantai penggabung (J/joining), suatu polipeptida 15 kDa.
Polimerisasi diatur oleh pembentukan rantai J, karena keberadaannya menstimulasi
polimerisasi dan diarahkan oleh domain COOH-terminal pada rantai berat. Rantai J dibentuk
bersamaan dengan IgA di sel plasma dan pembentukannya terjadi di awal polimerisasi IgA.
Polimerisasi dua atau lebih molekul IgA dengan rantai J terjadi di akhir jalur sekretorik, tepat
sebelum dilepaskan dari sel plasma.
25

Imunoglobulin A pada manusia hanya sekitar 13% (2,1 mg/ml) dari seluruh antibodi di
dalam serum manusia, tetapi dominan pada sekresi ekstravaskular. Imunoglobulin A dalam
bentuk secretory immunoglobulin A (sIgA) adalah isotipe imunoglobulin utama yang
ditemukan di saliva dan sekresi lainnya
25-27
, (air mata, sekresi nasal, mukus saluran
pencernaan dan bronkial, dan sekresi kelenjar payudara).
28
Ia berbentuk molekul polimerik
dan terdiri dari 2 (atau lebih) monomer IgA (300,000 Da), J rantai penghubung (15,600 Da),
dan secretory component [(SC), 70,000 Da]. Tiap monomer IgA dibentuk dari 4 polipeptida, 2
rantai berat dan 2 rantai ringan (kappa atau lambda) yang terikat secara kovalen oleh 2
ikatan disulfida (Gambar 2.4). Rantai J dan SC adalah disulfida yang terhubung dengan bagian
Fc dari molekul IgA. Rantai J adalah polipeptida yang disintesa di dalam sel plasma dan
terlibat dalam mengawali polimerisasi IgA. Secretory component adalah protein glikosilasi
berat yang dihasilkan oleh sel epitel mukosa. Secretory component menstabilkan struktur
polimerik IgA dan melindungi molekul dari serangan proteolitik pada sekresi.
10,28


Gambar 2.4 Human Immunoglobulin A dan secretory Immunoglobulin A.
28
xiii
Respons IgA saliva terhadap antigen oral dapat diinduksi oleh 2 mekanisme. Pertama,
antigen oral dapat menstimulasi proliferasi dan diferensiasi sel limfoid secara lokal di kelenjar
saliva. Kelenjar saliva mengandung jaringan limfoid yang terdiri dari makrofag, sel T, dan sel
B, yang dapat berkontak langsung dengan antigen oral. Antigen oral masuk ke duktus kelenjar
melalui flow retrogade alami dan masuk ke sel sistem imun di bawahnya melalui endositosis
pada epitel duktus. Antigen ditangkap oleh makrofag, dibawa ke sel T dan sel B.
10

Mekanisme kedua melibatkan migrasi antigen-sensitized IgA prekursor sel B dari
GALT (gut-associated lymphoid tissue) ke kelenjar saliva. GALT, termasuk beberapa nodul
limfoid soliter dan Peyers patches, adalah sumber yang kaya akan sel B prekursor IgA yang
memiliki potensi untuk mengumpulkan jaringan limfoid yang berjauhan. Folikula limfoid ini
ditutupi oleh epitel khusus yang dinamai follicle-associated epithelial cell (sel FAE) atau
microfold cell (sel M) yang mengambil dan mentransportasikan antigen dari lumen intestinal
ke dalam jaringan limfoid di bawahnya. Setelah antigen dipresentasikan oleh sel aksesori,
maka sel B prekursor IgA dan sel T meninggalkan GALT melalui limfatik eferen dan
mencapai darah perifer melalui thoracic duct. Sel B dan T yang bersirkulasi kemudian
bermigrasi ke lamina propria intestinal, paru-paru, traktus genital, dan kelenjar sekretorik yang
akan dipertahankan secara selektif. Pada kelenjar mukosa dan glandular tersebut sel B
prekursor IgA akan berkembang dan menjadi IgA plasma di bawah pengaruh sel T. Jalur
distribusi sel dari jaringan induktif seperti GALT ke jaringan mukosa dan glandular yang
berjauhan disebut sebagai sistem imun mukosa umum.
10

Sementara sIgA berperan pada mukosa sebagai lini pertahanan pertama melawan
patogen yang mengkolonisasi dan menginvasi permukaan yang dibasahi oleh sekresi, IgA
berfungsi sebagai garis kedua pertahanan dengan cara menghilangkan patogen yang telah
memasuki permukaan mukosa. Imunoglobulin A berperan sebagai proteksi terhadap
mikroorganisme dan benda asing pada jaringan mukosa mulut melalui berbagai mekanisme,
yaitu :
7-10

Membunuh mikroorganisme secara langsung (direct killing).
Aglutinasi.
Inhibisi perlekatan dan penetrasi mikroorganisme. Imunoglobulin A dianggap sebagai
mekanisme pertahanan paling penting melawan invasi bakteri mukosa, karena IgA
xiv
mengganggu perlekatan bakteri ke permukaan host dengan mencegah interaksi nonspesifik
dan stereokimia.
Inaktivasi enzim bakteri dan toksin. Imunoglobulin gA dapat menetralisir toksin dengan
cara menghalangi perlekatannya ke reseptor sel. Selain itu dapat menghambat serangkaian
enzim, mungkin dengan menghalangi perlekatannya ke substrat atau melakukan
destabilisasi komplek substrat-enzim.
Netralisasi virus. Imunoglobulin A memegang peranan penting dalam imunitas viral
karena keberadaannya pada tempat kontak awal antara virion dan sel host. Mekanisme
yang terlibat dalam inaktivasi virus adalah kompleks dan tidak sepenuhnya dimengerti.
Diduga sIgA mencegah penetrasi virion ke dalam sel epitel dengan menghalangi
adhesinya.
Aktivasi komplemen. Kemampuan IgA untuk mengaktivasi komplemen masih
kontroversial. Dibandingkan dengan IgG dan IgM, IgA adalah aktivator komplemen yang
buruk dan tidak jelas apakah IgA dapat memicu kematian complement-mediated bacterial
melalui opsonisasi atau lisis sel.
Fungsi IgA-dependent cell-mediated. Reseptor untuk bagian Fc dari IgA (FcR) terdapat
pada beberapa tipe sel, termasuk polymorphonuclear (PMN), monosit dan makrofag,
eosinofil, dan limfosit. Dikeluarkannya FcR sepertinya dipengaruhi oleh jumlah IgA pada
lingkungan di sekeliling sel. Proporsi PMN dan monosit yang mengeluarkan FcR lebih
tinggi pada rongga mulut dibandingkan dengan pada darah perifer. Tetapi peran pasti IgA
sebagai modulator fungsi leukosit efektor masih belum jelas. Beberapa penelitian
menemukan IgA mampu memicu fagositosis dan keluarnya monosit, makrofag dan PMN
di respiratori. Sebaliknya, penelitian lain juga menemukan bahwa interaksi antara IgA dan
FcR memicu penghambatan fagositosis, kemotaksis dan antibody-dependent cellular
cytotoxicity (ADCC).
25,29

Rongga mulut merupakan bagian dari sistem mukosa dan mempunyai epitel, jaringan,
bakteri, dan kelainan yang unik yang berbeda dari mukosa lainnnya. Sistem imun mukosa dan
sistemik mempunyai peran penting dalam pertahanan kesehatan rongga mulut.
2
Pertahanan
imunologik spesifik pada permukaan mukosa terutama dimediasi oleh IgA.
30
Penelitian-
penelitian terdahulu menyatakan adanya abnormalitas kadar IgA saliva pada pasien
xv
HIV/AIDS.
1,2
Transitosis HIV dapat terjadi dari permukaan mukosa ke submukosa,
menghambat imunoglobulin dan menetralisir IgA di dalam sel epitel.
1

Berbagai penelitian terdahulu mengenai kadar IgA saliva pada pasien HIV/AIDS
menunjukkan hasil penelitian yang kontradiktif. Challacombe dkk (2006)
2
menyatakan bahwa
respons antibodi mukosa tampak normal pada awal infeksi HIV tetapi menurun pada tahap
AIDS. Sedangkan Grimoud dkk (1998)
14
melaporkan terdapat peningkatan kadar IgA saliva
yang signifikan pada pasien HIV dengan CD4 <200.

Lin dkk (2003)
31
menyatakan bahwa
konsentrasi antimikroba saliva mungkin dapat menurun, meningkat, atau tidak berubah.
Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor seperti perbedaan desain penelitian,
tahapan infeksi HIV dari subyek penelitian, jumlah subyek yang dievaluasi, serta metode
pengumpulan dan analisis saliva.
Pemeriksaan kadar Imunoglobulin (Ig) dapat dilakukan dengan cara imunopresipitasi
yang berdasarkan reaksi antara antigen-antibodi. Beberapa metode imunopresipitasi yang
banyak digunakan adalah imunodifusi radial, elektroimunodifusi roket, turbidimetri,
imunonefelometri. Masing-masing cara pemeriksaan tersebut di atas mempunyai kekurangan
dan kelebihan.
Pengukuran kadar Ig telah lama dilakukan dengan cara turbidimetri. Prinsip
pemeriksaan kadar Ig dengan cara turbidimetri adalah mengukur kekeruhan yang terjadi akibat
adanya kompleks antigen-antibodi dalam larutan. Kekeruhan ini diukur dengan
spektrofotometer yang menunjukkan absorbsi cahaya oleh partikel-partikel dalam larutan dan
merupakan parameter untuk kadar antigen di dalam larutan tersebut.
32,33











xvi
BAB 3
METODA PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian
Penelitian analitik observasional potong lintang (cross sectional study).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat : Klinik Pokdisus AIDS Fakultas Kedokteran UI RSUPN-CM Jakarta.
Klinik Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi UI Jakarta.
Waktu : 12 Desember 3 Maret 2007, pukul 08.00 14.00
(Pengambilan saliva dilakukan pada kisaran pukul 08.00 11.00)

3.3 Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah pasien HIV/AIDS yang berobat ke Pokdisus AIDS FK UI
RSUPN-CM Jakarta pada saat dilakukan penelitian. Penegakkan diagnosis HIV positif
ditetapkan oleh Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Untuk mengetahui nilai rujukan kadar IgA
saliva pada penelitian ini, dilakukan pemeriksaan saliva pada 30 orang mahasiswa FKG UI
tanpa kelainan gigi-mulut dan kelainan sistemik, dengan kisaran usia mendekati usia subyek
penelitian.
Subyek penelitian adalah pasien HIV/AIDS yang sesuai dengan kriteria inklusi
penelitian yang diperlukan. Sampel diambil dengan cara consecutive sampling. Setiap pasien
yang memenuhi kriteria inklusi dalam kurun waktu tertentu, hingga jumlah pasien yang
diperlukan memenuhi syarat jumlah minimal sampel.

3.4 Kriteria pemilihan subyek penelitian :
3.3.1 Kriteria inklusi:
Pria dan wanita.
Usia > 14 tahun.
Tidak menderita diabetes mellitus.
xvii
Bersedia berpartisipasi (menjadi subyek) dalam penelitian dengan menandatangani
lembar informed consent.
3.3.2 Kriteria eksklusi :
Data jumlah sel T CD4 serum pasien pada rekam medik yang tersedia telah lebih dari
3 bulan pada saat dilakukan penelitian.
Kesadaran pasien menurun sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan
pemeriksaan klinis.
Pasien tidak komunikatif dan tidak dapat bekerja sama menurut peneliti.
Menolak ikut serta dalam penelitian.

3.4 Definisi Operasional Variabel Penelitian
Tabel 3.1 Definisi operasional variabel penelitian, dan skala pengukuran.
Variabel Nama Definisi Operasional Skala Skor/nilai
Variabel bebas:
1. Kadar IgA saliva




2. Jumlah sel T
CD4






IgA




CD4





Merupakan kadar IgA (mg)
yang terdapat di dalam tiap
desiliter (dl) saliva
keseluruhan (whole saliva).

Merupakan jumlah sel T
CD4 per L darah, yg
tercatat di dlm rekam medik
Pokdisus AIDS FK UI dgn
batas waktu tidak lebih dari
3 bulan pada saat dilakukan
penelitian.

Interval




Interval





Kriteria IgA saliva :
Skor 1 : dibawah nilai rujukan
Skor 2 : sesuai nilai rujukan
Skor 3 : diatas nilai rujukan

Kriteria CD4 :


Skor 1: > 500/L
Skor 2: 350 - 499 /L
Skor 3: 200 - 349/ L
Skor 4: < 200/L

3.5 Cara Kerja
3.5.1 Data riwayat medis
Diperoleh dari data rekam medik poliklinik Pokdisus AIDS FK UI, kemudian
dikonfirmasikan kembali oleh peneliti dengan wawancara langsung kepada subyek
penelitian atau keluarganya. Wawancara dilakukan di ruang periksa pasien poliklinik
Pokdisus AIDS FK UI sebelum pemeriksaan klinis dimulai.

3.5.2 Data jumlah sel T CD4
xviii
Diperoleh dari rekam medik Pokdisus AIDS FK UI bila data yang ada diambil/diukur
tidak lebih dari 3 bulan saat pengambilan data penelitian dilakukan.

3.5.3 Pengambilan sampel saliva dan pengukuran laju aliran saliva
Pengumpulan saliva menggunakan metode spitting (metode standar dari Navazesh
1993).
108
Sebelum dan selama pengumpulan saliva, subyek penelitian tidak
diperkenankan makan, minum maupun membersihkan rongga mulutnya, selama kurun
waktu 90 menit sebelum pengumpulan saliva. Selama pengumpulan saliva, subyek tidak
diperkenankan bicara, menggerakan lidah, atau melakukan gerakan penelanan. Subyek
duduk nyaman dengan sandaran tegak, kepala ditundukkan dan tangan kanan memegang
tabung penampung saliva. Saliva yang dikumpulkan adalah saliva keseluruhan dengan
stimulasi. Pengumpulan saliva dilakukan selama 5 menit, didahului dengan stimulasi
paravin wax. Subyek diinstruksikan untuk mengunyah paravin wax, kemudian setiap
interval 1 menit subyek diminta untuk mengeluarkan saliva yang terkumpul dalam mulut
ke dalam tabung pengukur melalui corong gelas. Laju aliran saliva dengan stimulasi
ditentukan. Saliva segera disimpan ke dalam termos es, kemudian disimpan pada lemari
pendingin dengan suhu -70
0
C untuk dilakukan pengukuran kadar IgA.

4.7.7 Data kadar IgA saliva
Pemeriksaan saliva untuk mengukur kadar IgA dan pengambilan data dilakukan di
laboratorium Multilab Jakarta, cara pengukuran dengan alat turbitimer meliputi :









Gambar 4.1 Tahapan pengukuran kadar IgA saliva.
Saliva di-centrifuge 10/3000 RPM

Dilakukan analisa dengan alat turbitimer
Ambil 50 mikro supernatant
Tambahkan 500 mikro reagent IgA
Catat hasil yang keluar
Supernatan diambil dan dipisahkan
xix
4.9 Masalah Etika
Sebelum penelitian dilakukan, diajukan permohonan izin (ethical clearence) kepada
Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia dan telah dikeluarkan
surat lolos etik Subyek penelitian dimotivasi untuk ikut bersedia dalam penelitian secara
sukarela, dengan menjelaskan tujuan, manfaat maupun ketidaknyamanan yang mungkin akan
dirasakan dengan memberikan lembar informasi penelitian. Jika subyek bersedia mengikuti
penelitian tanpa paksaan maka selanjutnya diberikan lembar informed consent untuk
ditandatangani dan subyek penelitian berhak menolak dan mengundurkan diri selama
penelitian, dan tidak dibebani biaya apapun.
































xx
BAB 4
HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2006 sampai bulan Maret 2007 di
Pokdisus AIDS Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan di
Fakultas Kedokteran Gigi UI. Pengambilan data dilakukan hari Senin sampai dengan Jumat
pukul 08.00-14.00 WIB. Subyek penelitian yang diperoleh berjumlah 103 orang yaitu pasien
yang telah didiagnosis HIV positif oleh Divisi Alergi Imunologi Departemen Penyakit Dalam
RSUPN-CM, yang memenuhi kriteria inklusi serta bersedia mengikuti penelitian. Penelitian
ini juga mengikut-sertakan 30 orang mahasiswa FKG UI untuk dilakukan pemeriksaan kadar
IgA saliva sebagai nilai rujukan kadar IgA saliva.

4.1 Karateristik subyek penelitian
Karateristik dari 103 subyek penelitian ini terdiri dari usia, jenis kelamin, latar
belakang pendidikan, risiko penularan HIV, dan terapi anti-retrovirus, seperti terlihat pada
Tabel 4.1 dan Gambar 4.1 - 4.2 di bawah ini.

Tabel 4.1 Karaterisitk subyek penelitian berdasarkan usia, jenis kelamin, dan pendidikan (N = 103).
Karateristik Jumlah Persentase (%)
Usia
20-29 tahun 71 68,93
30-39 tahun 29 28,15
40-49 tahun 3 2,92
Rata-rata usia = 28,19 + 4,89
Rentang usia = 20-46
Jenis Kelamin
Laki-laki 89 86,41
Perempuan 14 13,59
Pendidikan
SD 1 0,97
SMP/sederajat 7 6,80
SMU/sederajat 70 67,96
Perguruan Tinggi 25 24,27

Hasil penelitian menunjukkan jumlah terbanyak terdapat pada kelompok usia 20-29 tahun
yaitu sebesar 71 (68,93%) subyek. Jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebanyak 89
(86,41%) subyek. Berdasarkan tingkat pendidikan formal, jumlah terbanyak sebesar 70
(67,96%) subyek berpendidikan SMA atau sederajat.
xxi
4.2 Jumlah sel T CD4
Gambaran status imunologi subyek penelitian dilihat berdasarkan jumlah sel T CD4
serum, yang dapat dilihat pada Tabel 4.2 dibawah ini :
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi jumlah sel T CD4 (N = 103).
Jumlah sel T CD4 (sel/mm3) Jumlah Persentase (%)
> 500 9 8,74
350-499 9 8,74
200-349 11 10,68
< 200 74 71,85
100-199 29 28,16
50-99 16 15,53
0-49 29 28,16

Data penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar yaitu 74 (71,85%) subyek tercatat
memiliki jumlah sel T CD4 serum < 200 sel/mm3, dan bila dirinci lebih lanjut sebagian besar
berada pada kisaran antara 0-49 sel/mm3 dan 100-199 sel/mm3.

4.3 Kadar IgA saliva
Data penelitian menunjukkan nilai rujukan kadar IgA saliva yang didapatkan dari 30
orang mahasiswa tampak pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Nilai rujukan kadar IgA saliva (N = 30)
Jenis Kelamin N Kadar IgA
(mg/dl)
Laki-laki 13 96,30 + 38,47
Perempuan 17 97,96 + 39,25
Rata-rata = 97,24 + 38,25

Perbedaan mean dengan uji Mann-Whitney U pada nilai rujukan kadar IgA saliva
menunjukkan p>0,1. Dengan demikian tidak terdapat perbedaan bermakna antara nilai rujukan
IgA saliva pada laki-laki dan perempuan.
Kadar IgA saliva pada subyek HIV/AIDS dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Kadar IgA saliva pada pasien HIV/AIDS (N = 103)
Jenis Kelamin N Kadar IgA
(mg/dl)
Laki-laki 89 142,08 + 84,09
Perempuan 14 138,23 + 80,42
Rata-rata = 141,55 + 83,23
xxii
Berdasarkan jenis kelamin, hasil uji Mann-Whitney U menunjukkan tidak ada
perbedaan proporsi yang bermakna antara kadar IgA saliva pada subyek HIV/AIDS laki-laki
dan perempuan (p>0,1).
Jika dilihat perbedaan kadar IgA saliva pada subyek HIV/AIDS dengan nilai rujukan
kadar IgA saliva, hasil uji Mann-Whitney U menunjukkan bahwa kadar IgA saliva pada
subyek HIV/AIDS lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan individu sehat (p<0,1).
Distribusi frekuensi IgA saliva pada subyek HIV/AIDS bila dikategorikan dapat dilihat
pada Tabel 4.5 bawah ini.

Tabel 4.5 Kriteria kadar IgA saliva pada pasien HIV/AIDS berdasarkan nilai rujukan (N = 103)
Jenis Kelamin Kadar IgA saliva (mg/dl) Total
< Nilai rujukan Sesuai nilai rujukan > nilai rujukan
Laki-laki 13 (14,60 %) 35 (39,33 %) 41 (46,07 %) 89
Perempuan 1 (7,14 %) 7 (50,00 %) 6 (42,86 %) 14
Jumlah 14 (13,59 %) 42 (40,78 %) 47 (45,63 %) 103

Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar yaitu 47 (45,63%) subyek penelitian
memiliki kadar IgA saliva lebih tinggi dari kisaran nilai rujukan.

4.4 Korelasi antara jumlah sel T CD4 dan kadar IgA saliva
Korelasi antara jumlah sel T CD4 dengan kadar IgA saliva dilakukan dengan uji
korelasi Pearson. Hasil analisis dapat dilihat pada diagram pencar di bawah ini.
1200
1000
800
600
400
200
0
400 300 200 100 0
IgA (mg/dl)
CD4
(sel/mm3)

Gambar 4.1 Korelasi jumlah sel T CD4 dan kadar IgA saliva.
(Uji Korelasi Pearson, r=0,06 dan p>0,1)
xxiii
Gambar 4.1 diatas menunjukkan bahwa meningkatnya jumlah sel T CD4 akan menyebabkan
peningkatan IgA. Namun hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa kekuatan pengaruh
diantara 2 variabel tersebut sangat lemah (r=0,06) dan tidak ada hubungan yang bermakna
diantaranya ( p>0,1).
Tabulasi silang dibawah ini dapat melihat gambaran jumlah sel T CD4 dengan kadar IgA
saliva (Tabel 5.9).

Tabel 4.6 Distribusi frekuensi kadar IgA saliva dan jumlah sel T CD4 (N = 103).
Kadar IgA saliva (mg/dl) Jumlah Sel T
CD4
(sel/mm3)
< nilai rujukan Dalam kisaran nilai rujukan > nilai rujukan
> 500 2 (14,29%) 1 (2,38%) 6 (12,77%)
350-499 0 (0%) 5 (11,90%) 4 (8,51%)
200-349 0 (0%) 4 (9,52 %) 7 (14,89%)
< 200 12 (85,71%) 32 (76,19%) 30 (63,83%)

Data penelitian di atas menunjukkan bahwa sebagian besar 30 (63,83%) subyek dengan kadar
IgA saliva yang lebih tinggi dari nilai rujukan mempunyai jumlah sel T CD4 <200 sel/mm
3
.
Demikian pula, sebagian besar 12 (85,71%) subyek dengan kadar IgA lebih rendah dari nilai
rujukan ditemukan dengan jumlah sel T CD4 <200 sel/mm
3
.




















xxiv

BAB 5
PEMBAHASAN

Pada penelitian ini, subyek penelitian sebagian besar ditemukan pada kelompok usia
20-29 tahun (68,93 %). Data tersebut sesuai dengan data statistik kasus HIV/AIDS di
Indonesia terbaru sampai dengan Maret 2007 menurut laporan Dirjen PPM dan PL Depkes RI,
dimana populasi terbesar kasus AIDS dijumpai pada kisaran usia 20-29 tahun (4884 dari 8988
orang).
34
Hal ini mungkin terkait dengan transmisi (mode of transmission) HIV, dimana
intravena drug users (IDU) pada kelompok usia tersebut merupakan faktor risiko terbanyak
dibanding faktor risiko lainnya seperti heteroseksual, homo-biseksual, transfusi darah, dan
faktor lainnya.
35
Dahulu, kasus HIV/AIDS banyak terkait dengan perilaku bebas seksual,
tetapi akhir-akhir ini banyak terkait dengan napza suntik yang korbannya kebanyakan anak
muda dengan rentang usia seperti pada penelitian ini.
Hasil penelitian menunjukkan subyek laki-laki (86,41 %) jauh lebih banyak daripada
perempuan (13,59 %). Berdasarkan laporan Dirjen PPM dan PL Depkes RI jika dilihat dari
rasio jenis kelamin, kasus HIV/AIDS di Indonesia sampai dengan Maret 2007 menunjukkan
bahwa dari 8988 kasus AIDS dijumpai laki-laki (7207 orang) lebih banyak daripada
perempuan (1720 orang). Pada laki-laki, selain penggunaan jarum suntik bergantian di
kalangan IDU, penularan HIV akibat hubungan seks bebas merupakan penyebab utama
kenaikan angka penderita HIV/AIDS.
34
Pada tahun 2000 ditemukan prevalensi HIV yang
tinggi pada perempuan penjaja seks, tetapi dari semua data yang telah ada secara umum dapat
dikatakan bahwa laki-laki lebih banyak tertular HIV dibanding perempuan.
35
Tetapi
berdasarkan informasi melalui media cetak dan elektronik, diprediksikan banyak perempuan
di masa depan menjadi salah satu agen penular infeksi HIV yang sangat potensial. Sebab
mereka sangat rentan secara biologis dan sosiologis. Kaum perempuan dianugrahi kodrat
untuk melahirkan, yang menjadi satu faktor makin tingginya tingkat potensialitas meluasnya
wabah infeksi ini di dunia.
Berdasarkan tingkat pendidikan formal, data penelitian menunjukkan segmentasi
subyek penelitian sebagian besar adalah berpendidikan cukup tinggi yaitu 67,96 % subyek
berpendidikan Sekolah Menengah Atas dan 24,27 % subyek berpendidikan sampai jenjang
xxv
Perguruan Tinggi. Infeksi HIV dapat menular kepada siapapun melalui cara tertentu, tanpa
perduli kebangsaan, ras, jenis kelamin, agama, orientasi seksual, kelas ekonomi maupun
tingkat pendidikan.
35
Data penelitian ini menunjukkan bahwa pasien HIV/AIDS dengan
tingkat pendidikan yang tinggi tidak berarti bahwa mereka mempunyai cukup pengetahuan
tentang cara penularan, pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Walaupun tingkat
pendidikan seharusnya mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang dalam pergaulan atau
melakukan hubungan seksual, tetapi tanpa pengetahuan yang cukup tentang infeksi HIV maka
transmisi HIV tidak dapat dicegah.
Sel T CD4 sangat berperan penting di dalam sistem imun, disfungsi dan/atau deplesi
sel T CD4 mengakibatkan defek imunologik. Oleh karena itu jumlah sel T CD4
menggambarkan status imunologi pasien HIV/AIDS. Hasil penelitian ini menunjukkan yang
terbanyak dijumpai adalah subyek dengan jumlah sel T CD4 <200 sel/mm
3
, maka dapat
disimpulkan bahwa sebagian besar subyek penelitian ini berada dalam status imunosupresi
yang berat. Tetapi untuk menentukan subyek penelitian sudah berada pada tahap AIDS, perlu
data lain seperti adanya penyakit infeksi oportunistik yang menyertai keadaan subyek
penelitian.
Berdasarkan literatur, untuk menegakkan diagnosis AIDS tergantung pada diagnosis
klinik dan laboratorium yang akurat. Definisi CDC tentang AIDS (1993) yaitu pasien yang
dinyatakan mengidap infeksi HIV dengan jumlah sel T CD4 <200 sel/mm
3
atau persentase
CD4 <14% dari jumlah limfosit dan/atau mempunyai satu/lebih infeksi oportunistik seperti
pneumocytis carinii pnemonia, mycobaterial, crytococcal, cytomegalovirus, toxoplasma, dan
tumor seperti Kaposis sarcoma dan lymphoma. Untuk negara-negara berkembang, the Worl
Health Organisation (WHO) mengembangkan definisi lainnya yang berlandaskan pada gejala-
gejala klinis dan tidak membutuhkan data laboratorium tentang adanya infeksi, sebab negara-
negara berkembang kekurangan dana untuk pemeriksaan laboratorium.
20

Orang dengan sistem imun yang kompeten, imunitas selular dan humoral berjalan
secara simultan dan berkaitan satu dengan yang lain. Sehingga bila terjadi penurunan sel T
CD4, maka imunitas humoral juga akan terganggu. Oleh karena itu diasumsikan bahwa pada
infeksi HIV/AIDS, kadar imunitas humoral yang berperan di lingkungan mulut juga
mengalami perubahan.

xxvi
Kadar IgA saliva merupakan variabel utama pada penelitian ini, untuk melihat kadar
ada/tidaknya perubahan komponen sistem imun tersebut pada pasien HIV/AIDS. Sebelum
menentukan kadar IgA saliva pada pasien HIV/AIDS, terlebih dahulu ditentukan nilai rujukan
kadar IgA saliva pada individu sehat. Karena sampai saat ini, tidak ditemukan nilai rujukan
kadar IgA tersebut di Indonesia dengan subyek penelitian yang memadai. Farida (1994)
36
mengukur kadar IgA saliva pada 7 orang mahasiswa FKG UI sebagai kelompok kontrol
(individu sehat), hasilnya menunjukkan nilai rerata 60,19 IU/ml. Nilai ini tidak dapat dijadikan
nilai rujukan pada penelitian ini karena jumlah subyek tersebut kurang memadai bila
dibandingkan dengan jumlah subyek HIV/AIDS yang diteliti. Selain itu metode pengukuran
saliva menggunakan tehnik yang berbeda. Sebuah literatur menyebutkan nilai rata-rata kadar
IgA saliva di dalam ludah yang dirangsang secara mekanis adalah 110 mg/ dl (50-170
mg/dl).
37
Nilai ini juga tidak dapat menjadi nilai rujukan pada penelitian ini, karena
didapatkan melalui pemeriksaan pada populasi dengan ras/etnis yang berbeda (di luar negeri).
Telah diketahui bahwa ras/latar belakang etnis dan demografi mempengaruhi kadar IgA saliva.
Tetapi nilai rujukan kadar IgA saliva yang didapatkan pada penelitian ini menunjukkan
kisaran nilai yang hampir sama yaitu 97,24 + 38,25 mg/dl.
Data penelitian menunjukkan kadar IgA saliva pada sebagian besar subyek didapatkan
lebih tinggi dari nilai rujukan. Tidak ada perbedaan proporsi yang signifikan antara laki-laki
dan perempuan. Hasil penelitian ini sesuai dengan beberapa penelitian terdahulu. Lin AL dkk
(2004)
38
, Coogan dkk (1994)
7
menyatakan adanya peningkatan konsentrasi IgA saliva yang
signifikan pada pasien HIV. Mellanen dkk (2001)
39
juga melaporkan bahwa kadar IgA saliva
secara signifikan lebih tinggi pada semua fase dari infeksi HIV, kecuali fase asimtomatik.
Literatur menyebutkan bahwa peningkatan kadar IgA pada pasien terinfeksi HIV
menggambarkan adanya aktivasi poliklonal sel B yang terlihat pada tahap awal infeksi HIV.
40

Meningkatnya muatan antigenik juga dapat menginduksi peningkatan kadar IgA saliva.
8

Antibodi pada saliva dapat diinduksi oleh stimulasi dari jaringan limfoid intestinal oleh
masuknya (ingestion) antigen. Hal ini dapat menyebabkan pelepasan IgA prekursor sel plasma
dari Peyers patches yang bermigrasi melalui jaringan vaskular ke jaringan mukosa seperti
kelenjar saliva.
7
Dengan demikian, tingginya kadar IgA saliva dapat menggambarkan
perannya dalam mekanisme pertahanan membran mukosa oral.


xxvii
Di samping itu, data penelitian juga menunjukkan 13,59 % subyek yang mempunyai
kadar IgA saliva dibawah nilai rujukan. Hasil penelitian Muller dkk (1991)
15
, Sweet dkk
(1995)
16
, dan Sistig dkk (2003)
12
menunjukkan bahwa kadar IgA pada pasien HIV/AIDS lebih
rendah dibandingkan dengan kelompok HIV negatif.

Challacombe & Sweet (2002)
1

melaporkan konsentrasi IgA saliva keseluruhan lebih rendah baik pada pasien HIV maupun
AIDS, dan lebih nyata terlihat pada tahap lanjut dari infeksi HIV. Lu dan Jacobson (2007)
41
juga menyebutkan bahwa pada tahap awal infeksi HIV, keseimbangan fungsi imun humoral
dan selular pada mukosa oral dapat dipertahankan, tetapi respons imun tersebut terganggu
akibat dari infeksi HIV yang kronis.

Tahapan klinis infeksi HIV dimana imunitas mukosa oral
mengalami kegagalan (menurun) adalah ketika terjadi infeksi oportunistik (progresi klinis
pada tahap IV dari penyakit ini, yang disebut AIDS).

Dapat disimpulkan bahwa penurunan
kadar IgA saliva pada pasien HIV menggambarkan terjadinya penurunan sistem imun
(imunosupresi) yang semakin nyata.
Perubahan kadar IgA saliva pada pasien HIV/AIDS yang kontradiktif pada hasil
berbagai penelitian ini mungkin disebabkan oleh faktor-faktor seperti perbedaan tehnik
pengambilan saliva, variasi waktu saat pengambilan saliva, perbedaan jenis kelenjar pada
pengambilan saliva, laju aliran saliva, tahapan infeksi HIV populasi penelitian, jumlah subyek
penelitian, dan/atau berbagai obat-obatan yang digunakan subyek. Perubahan kadar IgA saliva
juga dapat dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, faktor hormonal, latar belakang genetik,
faktor psikologis, sosial ekonomi, aktivitas fisik, status nutrisi, dan gaya hidup. Banyak dari
faktor-faktor tersebut yang tidak diteliti pada penelitian ini, sehingga tidak diketahui dengan
jelas apakah ada pengaruhnya terhadap perbedaan kadar IgA pada penelitian ini dengan
penelitian terdahulu.
Pada individu yang terinfeksi HIV, deplesi sel T CD4 berhubungan dengan hilangnya
fungsi imun, termasuk IgA saliva sebagai indikator fungsi imun mukosa mulut. HIV
menginfeksi sel melalui interaksi dengan reseptor CD4 pada sejumlah jenis sel, termasuk
limfosit T herlper/inducer yang berperan utama pada banyak proses imunologi, termasuk
induksi dari respons IgA.
7
Sel T helper mempunyai profil sekresi sitokin yang berbeda dalam
perannya pada respons imun humoral, termasuk sekresi IgA.
27
Berkurangnya jumlah sel T
CD4 dapat menurunkan sekresi IgA secara sekunder, karena itu sistem IgA dipercaya sangat
tergantung pada regulasi sel T.
15
xxviii

Hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna
antara kadar IgA saliva dengan jumlah sel T CD4. Temuan ini sesuai dengan penelitian Wu
dan Jackson (2002)
42
, yang menunjukkan korelasi yang tidak bermakna antara kadar IgA dan
jumlah CD4. Tetapi bila dilihat melalui tabulasi silang tampak 63,83% subyek dengan kadar
IgA saliva yang lebih tinggi dari nilai rujukan mempunyai jumlah sel T CD4 <200 sel/mm
3
.
Data ini sesuai dengan hasil penelitian Grimoud dkk (1998)
14
yang menunjukkan adanya
peningkatan kadar IgA saliva pada pasien HIV positif dengan CD4 <200.

Literatur lain
menyebutkan peningkatan kadar IgA signifikan bermakna hanya pada fase AIDS Related
Complex.
43

Selain itu, bila dilihat dari semua subyek yang mempunyai kadar IgA lebih rendah dari
nilai rujukan, maka paling banyak (85,71%) dijumpai pada subyek dengan CD4 <200
sel/mm
3
. Literatur menyebutkan bahwa respons antibodi mukosa tampak normal pada awal
infeksi HIV tetapi menurun pada tahap AIDS, kiranya menggambarkan peningkatan
imunodefisiensi.
2
Lu (2007)
41
juga menyebutkan bahwa tahapan klinis infeksi HIV dimana
imunitas mukosa oral mengalami penurunan adalah ketika terjadi infeksi oportunistik
(progresi klinis pada tahap IV dari penyakit ini, yang disebut AIDS).





















xxix
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Sebagian besar subyek penelitian memiliki kadar IgA saliva lebih tinggi dari kisaran nilai
rujukan. Data ini membuktikan adanya perubahan salah satu komponen sistem imun
humoral di dalam rongga mulut pada sejumlah pasien HIV/AIDS di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta.
2. Sebagian besar subyek penelitian memiliki imunosupresi yang berat dengan jumlah sel T
CD4 dibawah <200 sel/mm
3
.
3. Tidak dijumpai korelasi yang bermakna antara jumlah sel T CD4 dengan kadar IgA saliva.

Saran
1. Disarankan penelitian lebih lanjut dengan pendekatan desain penelitian yang berbeda
seperti penelitian kasus kontrol ataupun cohort.
2. Perlu melanjutkan penelitian ini dengan memperhatikan peran faktor eksternal dan internal
yang dapat mempengaruhi kadar IgA saliva yang belum diperhatikan karena keterbatasan
waktu dan biaya penelitian.













xxx
DAFTAR PUSTAKA


1. Challacombe SJ, Sweet SP. Oral mucosal immunity and HIV infection:current status.
Oral Disease 2002;8:55.
2. Challacombe SJ, Naglik JR. The Effects of HIV Infection on Oral Mucosal Immunity.
Adv Dent Res 2006;19:29-35.
3. Kinane DF, Lappin DF. Clinical, pathological and immunological aspects of periodontal
disease. Acta Odontol 2001;59:154-160.
4. Sistig S, Vucicevic-Boras V, Lukac J, Kusic Z. Salivary IgA and IgG subclasses in oral
mucosal disease. Oral Disease 2002;8:282-286.
5. Takahashi K, Mooney J, Frandsen EVG, Kinane DF. IgG and IgA subclass mRNA-
bearing plasma cells in periodontitis gingival tissue and immunoglobulin levels in the
gingival crevicular fluid. Clin Exp Immunol 1997;107:158-165.
6. Kinane DF, Lappin DF, Koulouri O, Buckley A. Humoral immune responsses in
periodontal disease may have mucosal and systemic immune features. Clin Exp Immunol
1999;115:534-541.
7. Coogan MM, Simon P, Sweet, Challacombe SJ. Immunoglobulin A (IgA), IgA1, and
IgA2 Antibodies to Candida albicans in Whole and Parotid Saliva in Human
Immunodeficiency Virus Infection and AIDS. Infect and Immun 1994;62:892-896.
8. Seeman R, Hagewald, Sztankay V, Drews J, Bizhang M, Kage A. Levels of parotid and
submandibular/sublingual salivary immunoglobulin A in responsse to experimental
gingivitis in humans. Clin Oral Invest 2004;8:233-237.
9. Ogawa T, Kusumoto Y, Hamada S, McGhee JR, Kiyono H. Bacteriodes gingivalis-
specific serum IgG and IgA subclass antibodies in periodontal disease. Clin Exp
Immunol 1990;82:318-325.
10. Marcotte H, Lavoie MC. Oral Microbial Ecology and the Role of Salivary
Immunoglobulin A. Microbiology and Molecular Biology Review 1998:71-109.
11. Ebersole JL, Cappelli D, Steffen MJ. Charateristics and Utilization of Antibody
Measurements in Clinical Studies of Periodontal Disease. J Periodontol 1992;63:1110-
1116.
12. Sistig S, Vucicevic-Boras V, Lukac J, Kusic Z. Salivary IgA and IgG subclasses in hiv
Positive Patients. EurJ Med Res 2003;8:543-548.
13. Challacombe SJ, Greenspan JS, Greenspan D, Dodd C. Salivary IgA Subclass
Responsses in HIV-Associated Salivary Gland Disease (in Oral Manifestations of HIV
Infection). Chicago: Quistenssence. 1995. p.152-158.
14. Grimoud A-M, Arnaud C, Dellamonica P, Lodter J-P. Salivary defence factor
concentrations in relation to oral and general parameters in HIV positive patients. Eur J
Oral Sci 1998;106:979-985.
15. Muller F, Froland SS, Hvatum M, Radl J, Brandtzaeg P. Both IgA subclasses are
reduced in parotid saliva from patients with AIDS. Clin Exp Immunol 1991;83:203-209.
16. Sweet SP, Rahman D, Challacombe SJ. IgA subclasses in HIV disease:dichotomy
between raised levels in serum and decreased secretion rates in saliva. Immunol
1995;86:556-559.
xxxi
17. Stanford TW, Rees TD. Acquired immune suppression and other risk factors/indicators
for periodontal disease progression. Periodontol 2000 2003;32:118-135.
18. Individual Wellbeing Diagnostic Laboratories. Secretory sIgA-saliva. Available at:
http://www.iwdl.net/Practitioners/Secretory%20IgA%20Sample%20Report.pdf. Acessed
September 20, 2006.
19. Bennet KR, Read PC. Salivary immunoglobulin A levels in normal subjects, tobacco
smokers, and patients with minor aphtous ulceration. Oral Surg Oral Med Oral Pathol
1982;53:461-465.
20. Hoffmann, Rockstroh, Kamps. HIV Medicine 2006. Paris: Flying Pub. 2006. p.23-94.
21. Kumar VK, Abbas AK, Fausto N. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease.
Internal ed. Philadelphia: Elsevier saunders. 2005. p.245-258.
22. Abbas AK, Lichtman AH. Cellular and Molecular Immunology. 5
th
ed. Philadelphia:
Elsevier saunders. 2005. p.463-475.
23. Liechtenstein KA, et al. Early Uninterrupted Antiretroviral Therapy is Associated with
Improved Outcomes in the HIV Outpatients Study (HOPS) Cohort. Available
at:http://www.retroconference.org/2006/ PDFs/769.pdf. Accessed May 20, 2007.
24. Weber R, et al. HIV and non-HIV related deaths and their relationship to
immunodeficiency: The D:A:D study. 15th European Congress of Clinical Microbiology
and Infectious Diseases Copenhagen/Denmark. April 2-5, 2005.
http://www.blackwellpublishing.com/eccmid15/abstract.asp?id=36145. Accessed May
20, 2007.
25. Snoeeck V, Peters IR, Cox E. The IgA system:a comparation of structure and function in
different species. Vet Res 2006;37:455-467.
26. Hagewald SJ, Fishel DLW, Christan CEB, Bernimoulin J-P, Kage A. Salivary IgA in
responsse to periodontal treatment. Eur J Oral Sci 2003;111:203-208.
27. Walker DM. Oral Mucosal Immunology:An Overview. Ann Acad Med Singapore
2004;33(Suppl):27S-30S.
28. Mayer G. Immunoglobulin - Structure and Function. In: Microbiology Immunology on
line. University of South Carolina. Available at:
http://pathmicro.med.sc.edu/mayer/IgStruct2000.htm. Last modified March 9, 2007.
Accessed March 27, 2007.
29. Kerr MA. Function of immunoglobulin A in immunity. Gut 2000;47:751-752.
30. Thomas AHL, Reinholdt J. Subclass Distribution of Salivary Secretory Immunoglobulin
A Antibodies to Oral Streptococci. Infect and Immun 1991;59:3619-3625.
31. Lin AL, Johnson DA, Stephan KT, Yeh CK. Alteration in salivary function in early HIV
infection. J Dent Res 2003;82(9):719-724.
32. Encyclopaedia Britannica. Nephelometric & Turbidimetric Assays. Available at:
http://www.britannica.com/ebc/article-80800. Accessed September 17, 2006.
33. Tulip Diagnostics (P) LTD. Turbidimetry in Technical series. Available at:
http://www.tulipgroup.com/Common/html/TurbidTech.pdf. Accessed May 18, 2007.
34. Ditjen PPM & PL Depkes RI. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Dilaporkan
sampai dengan Maret 2007. Didapatkan di: http://www.spiritia.or.id/StatCurr.htm. Edit
terakhir 13 Juli 2006. Diakses 17 April 2006.
35. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Komisi penanggulangan AIDS
Nasional. Strategi Penanggulangan HIV/AIDS 2003-2007. Didapatkan di:
http://spiritia.or.id/Stranas.php. Diakses 13 Mei 2007.
xxxii
36. Farida R, Suryadhana NG, Gultom F, Utami S. Studi awal kadar immunoglobulin A
dalam saliva dengan tumpatan amalgam. Kumpulan Makalah KPPIKG X 1994:13-17.
37. Amerongen AVN (Penerjemah: Rafiah Abyono). Ludah dan Kelenjar ludah. Arti bagi
kesehatan gigi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1988. Hal.84.
38. Lin AL, Johnson DA, Stephan KT, Yeh CK. Saliva composition and flow rates are
impacted by early HIV disease irrespective of xerostomic medications. J Evid base Dent
Pract 2004;4:246-8.
39. Mellanen L, Sorsa T, Lhdevirta J, Helenius M, Kari K, Meurman JH. Salivary albumin,
total protein, IgA, IgG and IgM concentrations and occurrence of some
periodontopathogens in HIV-infected patients: a 2-year follow-up study. J Oral Pathol
Med 2001;30(9):553559.
40. Steinsvoll S, Myint M, Odden K, Berild D, Schenk K. Reduced serum IgG reactivities
with bacteria from dental plaque in HIV-infected persons with periodontitis. J
Periodontol 1997;24:823-829.
41. Lu FX, Jacobson RS. Oral Mucosal Immunity and HIV/SIV Infection. J Dent Res
2007;86(3):216-226.
42. Wu X, Jackson S. Plasma and salivary IgA sub classes and IgM in HIV-1-infected
individuals. J Clin Immunol. 2002;22(2):106-15.
43. Liisa Mellanen, Timo Sorsa, Juhani Lhdevirta, Miia Helenius, Kirsti Kari, Jukka H.
Meurman. Salivary albumin, total protein, IgA, IgG and IgM concentrations and
occurrence of some periodontopathogens in HIV-infected patients: a 2-year follow-up
study. J Oral Pathol Med 2001;30(9):553559.

You might also like