You are on page 1of 9

MAKALAH KULIAH MANAJEMEN MUTU TERPADU

SENTRALISASI DAN DESENTRALISASI DALAM PENDIDIKAN

Disusun oleh : Septiana Wulandari 08312244028 C / 08

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2012

SENTRALISASI DAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN

A. PENDAHULUAN SENTRALISASI Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat. Daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut UU. Sentralisasi banyak digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah. Kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama. Daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut Undang-Undang. Menurut ekonomi manajemen sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada sejumlah kecil manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur organisasi. Di era reformasi sekarang ini, diberlakukan kebijakan otonomi yang seluas-luasnya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi daerah merupakan distribusi kekuasaan secara vertikal. Distribusi kekuasan itu dari pemerintah pusat ke daerah, termasuk kekuasaan dalam bidang pendidikan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah di bidang pendidikan tampak masih menghadapi berbagai masalah. Masalah itu diantaranya tampak pada kebijakan pendidikan yang tidak sejalan dengan prinsip otonomi daerah dan masalah kurang adanya koordinasi dan sinkronisasi. Kondisi yang demikian dapat menghadirkan beberapa hal, seperti: kesulitan pemerintah pusat untuk mengendalikan pendidikan di daerah dan daerah tidak dapat mengembangkan pendidikan yang sesuai dengan potensinya. Apabila hal ini dibiarkan berbagai akibat yang tidak diinginkan bisa muncul. Misalnya, kembali pada kebijakan pendidikan yang sentralistis, tetapi sangat dimungkinkan juga daerah membuat kebijakan pendidikan yang dianggapnya paling tepat meskipun sebenarnya bersebrangan dengan kebijakan pusat. Dengan perkataan lain apabila kebijakan pendidikan dalam konteks otonomi daerah tidak dilakukan upaya sinkronisasi dan koordinasi dengan baik, tidak mustahil otonomi tersebut dapat mengarah pada disintegrasi bangsa. Apabila sistem sentralistik ini dilakukan di Indonesia, Konsekuensinya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia serba seragam, serba keputusan dari atas,

seperti kurikulum yang seragam tanpa melihat tingkat relevansinya baik kehidupan anak dan lingkungannya. Posisi dan peran siswa cenderung dijadikan sebagai objek agar yang memiliki peluang untuk mengembangkan kreatifitas dan minatnya sesuai dengan talenta yang dimilikinya. Namun, sentralisasi pendidikan belum berhasil dalam mengoptimalkan peran pendidikan sebagai kekuatan moral bangsa ini. Sentralisasi melemahkan partisipasi masyarakat dan menyempitkan ruang gerak bagi masyarakat pendidik. Sebagai akibatnya, lembaga pendidikan kurang berperan sebagai ruang publik.

DESENTRALISASI Desentralisasi di Indonesia sudah ada cukup lama, dimulai sejak tahun 1973, yaitu sejak diterbitkannya UU no. 5 tahun 1973 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah otonomi dan pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pusat dan daerah. Terdapat pula pada PP No. 45 tahun 1992 dan dikuatkan lagi melalui PP No. 8 tahun 1995.Menurut UU No.22. Menurut Hari Wahyudiono (2011) Desentralisasi yaitu penyerahan wewenang yang disertai tanggung jawab pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom. Beberapa alasan yang mendasari perlunya desentralisasi: 1. Mendorong terjadinya partisipasi dari bawah secara lebih luas. 2. Mengakomodasi terwujudnya prinsip demokrasi. 3. Mengurangi biaya akibat alur birokrasi yang panjang sehinmgga dapat meningkatkan efisiensi. 4. Memberi peluang untuk memanfaatkan potensi daerah secara optimal. 5. Mengakomodasi kepentingan poloitik. 6. Mendorong peningkatan kualitas produk yang lebih kompetitif. Pada sistem pendidikan yang terbaru tidak lagi menerapkan sistem pendidikan sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan yang tadinya diputuskan seluruhnya oleh pemerintah pusat. Menurut Zamroni (2011: 13), kelebihan sistem ini adalah sebagian keputusan dan kebijakan yang ada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat. Namun kekurangan dari sistem ini adalah pada daerah khusus, euforia yang berlebihan dimana wewenang itu hanya menguntungkan pihak tertentu atau golongan serta dipergunakan untuk mengeruk keuntungan para oknum atau pribadi. Keberhasilan desentralisasi pendidikan:

1. Mampu memenuhi tujuan politis, yaitu melaksanakan demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan. 2. Mampu membangun partisipasi masyarakat sehingga melahirkan pendidikan yang relevan, karena pendidikan benar-benar dari oleh dan untuk masyarakat. 3. Mampu menyelenggarakan pendidikan secara menfasilitasi proses belajar mengajar yang kondusif, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas belajar siswa. Kegagalan disentralisasi di akibatkan oleh beberapa hal: 1. Masa transisi dari sistem sentralisasi ke desintralisasi ke memungkinkan terjadinya perubahan secara gradual dan tidak memadai serta jadwal pelaksanaan yang tergesagesa. 2. Kurang jelasnya pembatasan rinci kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan daerah. 3. Kemampuan keuangan daerah yang terbatas. 4. Sumber daya manusia yang belum memadai. 5. Kapasitas manajemen daerah yang belum memadai. 6. Restrukturisasi kelembagaan daerah yang belum matang. 7. Pemerintah pusat secara psikologis kurang siap untuk kehiulangan otoritasnya.

B. RUMUSAN MASALAH 1. Apa saja dampak yang ditimbulkan oleh adanya sentralisasi dan desentralisasi pendidikan di Indonesia? 2. Bagaimana kebijakan desentralisasi mampu untuk mengatasi masalah pembangunan pendidikan di Indonesia?

C. PEMBAHASAN Dengan adanya sentralisasi pendidikan telah melahirkan berbagai fenomena yang memperhatikan seperti : 1. Totaliterisme penyelenggaraan pendidikan 2. Keseragaman manajemen, sejak dalam aspek perencanaan, pengelolaan, evaluasi, hingga model pengembangan sekolah dan pembelajaran. 3. Keseragaman pola pembudayaan masyaraka. 4. Melemahnya kebudayaan daerah. 5. Kualitas manusia yang robotik, tanpa inisiatif dan kreatifitas.

Dengan demikian dampak yang ditimbulkan dari sistem pendidikan sentralistik ini antara lain sulit mewujudkan sosok manusia yang memiliki kebebasan berpikir, mampu memecahkan masalah secara mandiri, bekerja dan hidup dalam kelompok kreatif penuh inisiatif dan impati, memeliki keterampilan interpersonal yang memadai sebagai bekal masyarakat. Menurut LPMP Jateng (2009) Sentralisasi bukan solusi perbaikan mutu pendidikan karena secara umum, sentralisasi seluruh pengelolaan pendidikan bukanlah solusi untuk meningkatkan kualitas. Kebutuhan masing-masing daerah berbeda sehingga perlu penyesuaian dalam pengelolaan pendidikannya. Oleh karena itu, daerah diberi

kesempatan membuat kebijakan yang secara kontekstual sesuai dengan kondisi wilayahnya. Kebijakan pemerintah tentang pengelolaan pendidikan oleh masing-masing kebutuhan daerah disebut desentralisasi pendidikan.

Berdasarkan pengalaman, pelaksanaan desentralisasi yang tidak matang juga melahirkan berbagai persoalan baru, diantaranya: 1. Meningkatnya kesenjangan anggaran pendidikan antara daerah, antar sekolah antar individu warga masyarakat. 2. Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan masyarakat (orang tua) menjadikan jumlah anggaran belanja sekolah akan menurundari waktu sebelumnya,sehingga akan menurunkan motivasi dan kreatifitas tenaga kependidikan di sekolahuntuk melakukan pembaruan. 3. Biaya administrasi di sekolah meningkat karena prioritas anggaran di alokasikan untuk menutup biaya administrasi, dan sisanya baru didistribusikan ke sekolah. 4. Kebijakan pemerintah daerah yang tidak memperioritaskan pendidikan, secara kumulatif berpotensi akan menurunkan pendidikan. 5. Penggunaan otoritas masyarakat yang belum tentu memahami sepenuhnya permasalahandan pengelolaan pendidikan yang pada akhirnya akan menurunkan mutu pendidikan. 6. Kesenjangan sumber daya pendidikan yang tajam di karenakan perbedaan potensi daerah yang berbeda-beda. Mengakibatkan kesenjangan mutu pendidikan serta melahirkan kecemburuan sosial. 7. Terjadinya pemindahan keburukan tentang pengelolaan pendidikan dari pusat ke daerah.

Untuk mengantisipasi munculnya permasalahan tersebut di atas, disentralisasi pendidikan dalam pelaksanaannya harus bersikap hati-hati. Ketepatan strategi yang ditempuh sangat menentukan tingkat efektifitas implementasi disentralisasi. Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk tersebut ada beberapa hal yang perlu di perhatikan: 1. Adanya jaminan dan keyakinan bahwa pendidikan akan tetap berfungsi sebagai wahana pemersatu bangsa. 2. Masa transisi benar-benar di gunakan untuk menyiapkan berbagai hal yang dilakukan secara gradual/berangsur-angsur dan di jadwalkan setepat mungkin. 3. Adanya komitmen dari pemerintah daerah terhadappendidikan, terutama dalam pendanaan pendidikan. 4. Adanya kesiapan sumber daya manusia dan sistem manajemen yang tepat yang telah dipersiapkan dengan matang oleh daerah. 5. Pemahaman pemerintah daerah maupun DPRD terhadap keunikan dan keberagaman sistem pengelolaan pendidikan, dimana sistem pengelolaan pendidikan tidak sama dengan pengelolaan pendidikan daerah lainnya. 6. Adanya kesadaran dari semua pihak (pemerintah, DPRD, masyarakat) bahwa pengelolaan tenaga kependidikan di sekolah, terutama guru tidak sama dengan pengelolaan aparat birokrat lainnya. 7. Adanya kesiapan psikologis dari pemerintah pusat dari propinsi untuk melepas kewenangannya pada pemerintah kabupaten/ kota.

Dalam era otonomi, sebenarnya terbuka peluang besar untuk membangun dunia pendidikan di daerah menjadi lebih berkualitas. Hal ini terjadi karena Bupati/Walikota memiliki kewenangan yang penuh dalam menentukan kualitas pendidikan sesuai

dengan konteks daerahnya. Jadi dalam era otonomi, kualitas pendidikan untuk masa yang akan datang lebih banyak tergantung pada komitmen daerah untuk

merumuskan visi dan misi di daerahnya masing-masing. Jika daerah cukup visioner, pengembangan sektor pendidikan akan memiliki peluang yang besar untuk dapat memenuhi standar kualitas sesuai dengan harapan para stakeholders. Ketika pemerintah daerah memiliki kemauan politik yang kuat dan kemudian disertai dengan kebijakan dan sistem perencanaan yang mementingkan pendidikan sebagai upaya investasi di daerah, dapat dipastikan pendidikan di daerah itu menjadi baik, dan kualitas pendidikan akan dapat ditegakkan. Namun sebaliknya, ketika

pemerintah daerah memandang pendidikan tidak penting, sehingga visi dan misi pendidikan di daerah itu tidak dirumuskan secara jelas dalam sistem perencanaan yang baik, maka kemungkinan besar tidak dapat menjadi pendidikan yang baik. Jika hal ini terjadi, kenyataan pendidikan akan berjalan secara tidak profesional. Akhirnya, setiap berbicara visi dan misi pada satuan pendidikan berubah menjadi sesuatu yang dipandang terlalu mewah. Kondisi seperti ini akan mendorong para praktisi pendidikan di daerah kehilangan arah dalam menjalankan fungsinya secara profesional. Oleh karena itu, di era otonomi pendidikan dewasa ini merupakan saat yang menentukan membangun budaya tatakelola pendidikan di daerah melalui pengembangan sistem perencanaan pendidikan yang efektif.

D. PENUTUP KESIMPULAN Respon sekolah terhadap perubahan kebijakan dibidang pendidikan menunjukkan kecenderungan yang sama, bahwa sentralisasi dan desertralisasi secara bersamaan masih terdapat dalam proses penyelenggaraan pendidikan pada satuan pendidikan. Respon sekolah terhadap perubahan kebijakan tak dapat dipisahkan dari faktor-faktor pembeda seperti halnya: tipe sekolah, letak sekolah, dan input peserta didik, serta program sekolah, sehingga dalam merespon perubahan kebijakan antar sekolahpun menunjukkan daya adaptasi dan respon yang tidak selalu sama. Perubahan paradigma sentralisasi ke desentralisasi membutuhkan transparansi, kepastian hukum, akuntabilitas, dan partisipasi sebagai aspek penting dalam menciptakan masyarakat yang demokratis. Saat ini partisipasi sebagai aset penting bagi pemberdayaan masyarakat yang partisipasinya hanya bersifat semu. Sebagai akibatnya, hambatanhambatan atas sejumlah kebijakan yang didesain tidak berjalan secara optimal. Artinya kebijakan desentralisasi pendidikan yang bertujuan untuk pemerataan dan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu pendidikan akan gagal jika tidak didukung oleh partisipasi masyarakat. Pemahaman kriteria tentang sekolah bermutu tidaklah mudah, dikarenakan kategori sekolah unggul atau bermutu memiliki banyak aspek. Pemahaman kualitas sekolah hanya dinilai dari prestasi ujian nasional sebagai upaya mengurangi kemampuan peserta didik.

Mutu sebagai produk manusia memiliki dimensi obyektif dan subyektif. Mutu dalam dimensi obyektif menggunakan ujian nasional sebagai standar mutu sekolah dalam dinamikanya antar sekolah memiliki standar kelulusan yang tidak sama. Dalam konteks inilah, sekolah mempunyai peran penting dalam merekontruksi mutu sekolah berdasarkan kondisi obyektif dan subyektif melalui berbagai program sekolah di masing-masing daerah. Kurikulum dapat didesain untuk menghindari budaya hegemoni atau didominasi oleh pemerintah. Jadi, pengetahuan diberikan tidak hanya ditransferkan, tetapi juga ditransformasikan. Namun ini tidak mudah, karena tidak semua guru mempunyai kemampuan yang sama untuk dapat mengembangkan kurikulum secara mandiri sesuai dengan ketentuan kurikulum yang saat ini berlaku yang dikembangkan sesuai dengan kondisi sekolah. Kurikulum memiliki makna yang multidimensi. Dimensi sosial dalam kurikulum terkait dengan kemampuan sekolah dalam mengembangkan program-program proses pembelajaran di sekolah yang sangat terkait dengan kondisi dan potensi peserta didik. Dimensi ekonomi dalam kurikulum terkait dengan anggaran pendidikan yang dimiliki oleh sekolah. Dengan biaya yang dibebankan pada siswa ternyata mempengaruhi program-program yang dirancang oleh sekolah dalam upaya meningkatkan kemampuan siswanya. Latar belakang keluarga juga mempengaruhi motivasi belajar siswa. Dimensi budaya dalam kurikulum lebih mengarah pada pengembangan budaya sekolah yang satu dengan yang lainnya tidak sama (misal: mata pelajaran muatan lokal). Problem kurikulum cukup kompleks, karena dalam pelaksanaan kurikulum terkait dengan keadaan antar peran dalam proses pembelajaran di sekolah. Disamping itu, dalam pelaksanaan kurikulum sangat tergantung pada kerja tim di sekolah masing-masing. Artinya, kerjasama antar kepala sekolah, guru, tenaga administrasi, orangtua, dan siswa menentukan keberhasilan pelaksanaan kurukulum d sekolah.

SARAN Di era modern seperti sekarang ini sebaiknya pendidikan di Indonesia di desentralisasikan menurut kebijakan ekonomi masing-masing daerah. Seperti kita tahu, letak geografis, fasilitas sekolah, kebijakan pemerintah, dan kurikulum sekolah di masing-masing daerah berbeda-beda, sehingga kebutuhan peserta didik akan

pendidikannya pun berbeda-beda. Dengan adanya desentralisasi pendidikan, maka setiap daerah dapat memaksimalkan potensi pendidikannya. Disamping itu, partisipasi warga

sekolah dan warga masyarakat sangat diperlukan demi optimalnya peran pendidikan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. (2011). Sekilas Total Quality Management dalam Pendidikan. Jurnal Pendidikan. Ester Lince Napitupulu. (2012). Sentralisasi Guru masih perlu Kajian. Diakses di edukasi.compas.com pada tanggal 22 Mei 2012. Nina Sardjunani. (2011). Kebijakan Manajemen Pendidikan Nasional dan Implikasinya terhadap Penelitian dan Inovasi Pendidikan. PPT Deputi SDM dan Kebudayaan Bappenas. Nurain Lubis. (2010). Membangun Profesionalitas Melalui Desentralisasi Pendidikan. Jurnal Pendidikan. Salis, Edward. (2006). Total Quality Management in Education. Alih Bahasa Ahmad Ali Riyadi. Yogyakarta: IRCiSod. Siti Irene Astuti. (2011). Desentralisasi dan Prtisipasi Masyarakat dalam Pendidikan pengantar Prof Zamroni, Ph.D. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Yoyon Bahtiar Irianto. (2011). Implikasi Kebijakan Otonomi Daerah terhadap Manajemen Pendidikan. Jurnal pendidikan. Yusri zalfirzal. (2011). Negara dan Pendidikan: Sentralisasi dan Desentralisasi Pendidikan dan Manajemen Berbasis Sekolah. Diakses di

http://yusrizalfirzal.wordpress.com, pada tanggal 22 Mei 2012.

You might also like