You are on page 1of 30

glomerulonefritis akuta

Glomerulonefritis Akuta (GNA)


TUJUAN PEMBELAJARAN Tujuan Instruksional Umum Setelah mempelajari penyakit ini, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan gejala-gejala klinis, penyebab, patomekanisme, cara-cara diagnosis, penatalaksanaan/terapi dan komplikasi GNA. Tujuan Instruksional Khusus Setelah mempelajari penyakit ini, mahasiswa diharapkan dapat: Menjelaskan gejala-gejala klinik GNA. Menyebutkan etiologi GNA. Menjelaskan patomekanisme GNA. Menjelaskan cara-cara diagnosis GNA: - Menjelaskan tentang cara anamnesis terarah pada penderita GNA. - Menjelaskan tentang cara pemeriksaan fisik penderita GNA. - Menganalisa hasil laboratorium penderita GNA. - Menjelaskan gambaran radiologik penderita GNA. Menjelaskan tentang penatalaksanaan penyakit GNA. - Menyebutkan obat-obatan yang dipakai. - Menjelaskan farmakodinamik dan farmakokinetik obat-obat yang digunakan. - Menjelaskan asuhan nutrisi penderita GNA. Menjelaskan tentang komplikasi GNA. Menjelaskan prognosis GNA.

glomerulonefritis akuta

Glomerulonefritis sebenarnya merupakan istilah umum kelainan ginjal berupa proliferasi dan inflamasi glomeruli yang disebabkan sekunder oleh mekanisme imunologis terhadap antigen tertentu seperti bakteri, virus, parasit tertentu dan zat lain. Bentuk yang paling sering pada anak adalah glomerulonefritis akut yang didahului oleh infeksi Streptokokus B hemolitikus grup A sehingga disebut Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS). Apabila kausa infeksi oleh Streptokokus belum bisa ditegakkan, secara klinik lebih baik menggunakan istilah SNA (Sindrom Nefritik Akut) yang merupakan suatu penyakit tersendiri yang terdiri dari gejala-gejala hematuria, hipertensi, edema dan oliguria yang terjadi secara mendadak (akut). Tabel 1. Infeksi nonstreptokokus yang dapat menimbulkan gejala SNA Stafilokokus Pneumokokus Klebsiella Salmonella tifi Mikoplasma pneumoni Virus AIDS Virus Coxsackie Virus ECHO Virus Epstein-Barr Virus Influenza Virus Parotitis Virus Rubeola Virus Hepatitis

Tabel 2. Penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan gejala SNA Eksaserbasi akut Glomerulonefritis Kronik Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria - Fokal glomerulonefritis - Nefritis herediter (Alports disease) - IgA-IgG nefropati (Maladie de Berger) - Benign recurrent hematuria Rapidly Progressive Glomerulonephritis Penyakit-penyakit sistemik - Schoenlein Henoch Syndrome (SHS) - Systemic Lupus Erythematosus (SLE) - Subacute Bacterial Endocarditis (SBE)

glomerulonefritis akuta

INSIDENS/ANGKA KEJADIAN
Insidens sebenarnya dari GNAPS tidak begitu jelas mengingat bentuk asimtomatik banyak terdapat pada anak-anak yang berkontak dengan penderita GNAPS. Penyakit ini menyerang semua umur tetapi lebih sering pada umur 6-7 tahun, jarang di bawah umur 3 tahun. Insidens sex tidak jelas, tetapi beberapa sarjana mendapatkan laki-laki : perempuan = 2:1.

PATOGENESIS
Seperti dengan beberapa penyakit ginjal lainnya, GNAPS termasuk immune complex disease. Beberapa bukti bahwa GNAPS termasuk penyakit imunologik : - adanya periode laten antara infeksi streptokokus dan gejala klinik. - kadar imunoglobulin G (IgG) menurun dalam darah. - kadar komplemen C3 menurun dalam darah. - adanya endapan IgG dan C3 di glomerulus. - titer Anti Streptolysin O (ASO) meninggi dalam darah. Terdapat 2 teori imunologik yang dapat menerangkan terjadinya glomerulonefritis secara umum yaitu :
2.

Autoimun (Antibodi-antimembrana basalis glomerulus) : Antibodi akan timbul bila ada antigen yang masuk ke dalam tubuh. Dalam hal ini antigen dari luar tubuh misalnya suatu mikroba, menyebabkan tubuh membentuk antibodi. Antibodi tersebut bereaksi dengan antigen yang terdapat pada membrana basalis glomerulus (mbg) yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan mbg. Bentuk autoimun ini dapat dilihat secara imunofloresensi di mana tampak endapan linier dari IgG dan C3 sepanjang kapiler glomerulus. Contoh : Good Pasture Syndrome penyakit ini ditandai dengan : a. hemoftisis akibat kerusakan membrana basalis alveolus paruparu. b. Glomerulonefritis dengan gejala hematuri, proteinuri bahkan sampai kegagalan ginjal akibat kerusakan mbg. Rapidly Progressive Glomerulonephritis (RPGN) Penyakit akibat autoimun ini disebut rapidly progressive karena perjalanan penyakit yang cepat memburuk dan terjadi kegagalan ginjal yang irreversible dan sering membawa kematian sehingga disebut juga

glomerulonefritis akuta

GN Maligna. Gejala lain yang sering timbul ialah proteinuria, hipertensi dan sindrom nefrotik. Secara histologik tampak bentuk crescents (bulan sabit) sebagai akibat proliferasi sel-sel epitel disertai fibrin yang hampir menutupi seluruh glomerulus. Prognosa jelek dan umumnya meninggal akibat kegagalan ginjal.
3.

Soluble antigen-antibodi complex : Antigen yang masuk ke sirkulasi menyebabkan timbulnya antibodi yang bereaksi dengan antigen tersebut membentuk soluble antigen-antibodi complex (SAAC). SAAC ini kemudian masuk dalam sirkulasi, menyebabkan sistem komplemen dalam tubuh ikut bereaksi sehingga komplemen C3 akan bersatu dengan SAAC membentuk deposit di bawah epitel kapsula Bowman yang secara imunofloresensi terlihat sebagai benjolan disebut HUMPS. Jadi HUMPS ini terdiri dari antigen, antibodi (IgG) dan C3 yang dengan imunofloresensi terlihat sepanjang mbg dalam bentuk granuler atau noduler. C3 yang ada dalam HUMPS ini akan menarik sel PMN (chemotactic) dan migrasi PMN inilah yang menyebabkan gangguan permeabilitas mbg sehingga eritrosit, protein dan yang lainnya dapat melewati mbg dan terdapat dalam urin. Contoh : GNAPS dan Sindrom Nefrotik Bentuk kompleks imun tidak saja terjadi melalui SAAC, tetapi bisa juga terjadi secara in situ oleh karena ditemukannya endostreptosin, suatu bentuk protein sitoplasma dari streptokokus nefritogenik yang berfungsi sebagai antigen, mengendap langsung di mesangial glomerulus (pada GNAPS).

GEJALA KLINIK
Gejala klinik GNAPS sangat bervariasi dari bentuk asimtomatik sampai gejala-gejala tipik. Bentuk asimtomatik lebih banyak daripada GNAPS simtomatik, sebab bentuk yang pertama ini terjadi akibat kontak dengan penderita GNAPS simtomatik baik sporadik maupun yang epidemik. Bentuk asimtomatik diketahui apabila terdapat kelainan sedimen urin terutama hematuri mikroskopis yang disertai riwayat kontak dengan penderita GNAPS simtomatik.

glomerulonefritis akuta

GNAPS simtomatik 1. Periode laten : Pada GNAPS yang tipik harus ada periode laten yaitu periode antara infeksi streptokokus dan timbulnya gejala-gejala. Periode ini berkisar 1-3 minggu; periode 1-2 minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh infeksi saluran napas, sedangkan periode 3 minggu didahului oleh infeksi kulit/piodermi. Periode ini jarang terjadi di bawah 1 minggu. Bila periode laten ini berlangsung kurang 1 minggu maka harus dipikirkan kemungkinan penyakit lain seperti eksaserbasi glomerulonefritis kronik, Systemic Lupus Erythematosus, Shoenlein-Henoch Syndrome atau benign recurrent haematuria. 2. Edema : Merupakan gejala yang paling sering dan umumnya paling pertama timbul dan menghilang pada akhir minggu pertama. Paling sering terjadi di muka terutama daerah periorbital (palpebra), disusul oleh tungkai. Jika terjadi retensi cairan yang hebat, bisa timbul asites dan edema genitalia eksterna menyerupai sindrom nefrotik. Distribusi edema tergantung pada 2 faktor yaitu gravitasi dan tahanan jaringan lokal. Itu sebabnya edema pada muka dan palpebra sangat menonjol waktu bangun pagi oleh karena adanya jaringan longgar pada daerah tersebut dan menghilang atau berkurang setelah melakukan kegiatan fisik. Hal ini terjadi karena faktor gravitasi. Kadang-kadang terjadi pula edema laten yaitu edema yang tidak tampak dari luar dan baru diketahui setelah terjadi diuresis dan penurunan berat badan. 3. Hematuria : Hematuria makroskopis terdapat pada 30-70% kasus GNAPS, sedangkan hematuria mikroskopis dijumpai hampir pada emua kasus. Urin tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh tua, air cucian daging atau seperti coca-cola. Hematuria makroskopis biasanya timbul dalam minggu pertama dan berlangsung beberapa hari tetapi bisa pula berlangsung sampai beberapa minggu. Hematuria mikroskopis bisa berlangsung lebih lama, umumnya menghilang dalam waktu 6 bulan. Kadang-kadang masih dijumpai hematuria mikroskopis dan proteinuria walaupun secara klinis GNAPS sudah sembuh. Bahkan hematuria mikroskopis bisa menetap lebih dari satu tahun, sedangkan proteinuria sudah menghilang. Keadaan ini disebut hematuria persisten dan

glomerulonefritis akuta

merupakan indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal, mengingat kemungkinan adanya glomerulonefritis kronik. 4. Hipertensi : Hipertensi merupakan gejala yang penting yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS. Umumnya hipertensi yang terjadi tidak berat. Timbul terutama dalam minggu pertama dan umumnya menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala klinik yang lain. Pada kebanyakan kasus dijumpai hipertensi (tekanan diastolik 80-90 mmHg). Hipertensi ringan tidak perlu diobati sebab dengan istirahat yang cukup dan diet yang teratur, tekanan darah akan normal kembali. Adakalanya hipertensi berat menyebabkan hypertensive encephalopathy yaitu hipertensi yang disertai gejala serebral seperti sakit kepala, muntah-muntah, keasadaran yang menurun dan kejang-kejang. Insidens hypertensive encephalopathy ini dilaporkan 5-10% dari penderita yang dirawat dengan GNAPS. Sampai sekarang terjadinya hipertensi belum jelas. Diduga karena hipervolemia akibat ekspansi cairan ekstraseluler. 5. Oliguria : Tidak sering dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus GNAPS dengan produksi urin kurang dari 350 ml/m2/hari. Oliguria terjadi bila fungsi ginjal menurun atau timbul kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala sebelumnya, oliguria umumnya timbul dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan timbulnya diuresis pada akhir minggu pertama. Oliguria bisa pula menjadi anuria yang menunjukkan adanya kerusakan glomerulus yang berat dengan prognosis yang jelek. 6. Gejala-gejala sistem kardiovaskuler : Yang paling penting adalah kongesti sirkulasi yang terjadi pada 20-70% kasus GNAPS. Dahulu diduga kongesti sirkulasi terjadi akibat hipertensi atau miokarditis, tetapi ternyata dalam klinik kongesti tetap terjadi walaupun tidak ada hipertensi atau gejala-gejala miokarditis. Ini berarti bahwa kongesti terjadi bukan karena hipertensi atau miokarditis tetapi diduga akibat retensi Na dan air sehingga terjadi hipervolemia. Edema pulmonum : Edema pulmonum merupakan gejala yang paling sering terjadi akibat kongesti sirkulasi. Kelainan ini bisa bersifat asimtomatik, artinya hanya terlihat secara radiologis. Gejala-gejala klinik adalah batuk, sesak napas, sianosis. Pada pemeriksaan fisik terdengar ronki basah kasar atau basah halus. Keadaan ini disebut Acute Pulmonary Edema

11

glomerulonefritis akuta

yang umumnya terjadi dalam minggu pertama dan kadang-kadang bersifat fatal. Gambaran klinik ini menyerupai bronkopnemonia, sehingga kadang-kadang penderita datang dengan bronkopnemonia dan penyakit utama ginjal dilupakan. Oleh karena itu pada kasus-kasus demikian perlu anamnesis yang teliti dan jangan lupa pemeriksaan urin. b. Kelainan foto toraks :

Gbr 8 a. Efusi pleura (panah)

Kelainan EKG : Pada penderita GNAPS bisa dijumpai kelainan EKG terutama pada kasus-kasus dengan pembesaran jantung, payah jantung atau hipertensi. Kelainan ini dapat berupa :

Gbr 8 b. Kardiomegali dan edema pulmonum 12

glomerulonefritis akuta

a. perubahan gelombang T berupa low voltage dan inverted pada lead I. b. QT dan PR interval memanjang, sinus takikardia dan bradikardia. c. Kadang-kadang dijumpai depresi gelombang ST. Kelainan EKG akan menghilang 2-3 minggu setelah timbulnya gejala-gejala. 7. Gejala-gejala lain : Selain gejala-gejala utama tadi kadang-kadang dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise, letargi dan anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan subkutan akibat edema atau hematuria makroskopis yang berlangsung lama.

KELAINAN LABORATORIUM
Urin : - Proteinuria : Secara kualitatif proteinuria berkisar antara negatif sampai ++, jarang terjadi sampai +++. Bila terdapat proteinuria +++ harus dipertimbangkan adanya gejala sindrom nefrotik. Secara kuantitatif proteinuria biasanya kurang dari 2 gram/m2/24 jam, tetapi pada keadaan tertentu dapat melebihi 2 gram/m2/24 jam. Hilangnya proteinuria tidak selalu bersamaan dengan hilangnya gejala-gejala klinik sebab lamanya proteinuria bervariasi antara beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah gejala klinik menghilang. Sebagai batas 6 bulan, bila lebih dari 6 bulan masih terdapat proteinuria disebut proteinuria persisten yang menunjukkan kemungkinan suatu glomerulonefritis kronik yang dengan sendirinya memerlukan biopsi ginjal untuk membuktikannya. - Sedimen : Hematuria mikroskopis merupakan kelainan yang hampir selalu ada, oleh karena itu adanya eritrosit dalam urin ini merupakan tanda yang paling penting untuk melacak lebih lanjut kemungkinan suatu glomerulonefritis. Begitu pula dengan torak eritrosit yang dengan pemeriksaan teliti terdapat pada 60-85% kasus GNAPS. Adanya torak eritrosit ini merupakan bantuan yang sangat penting pda kasus-kasus GNAPS yang tidak jelas, sebab torak ini menunjukkan adanya suatu peradangan glomerulus (glomerulitis). Walaupun begitu bentuk torak ini bisa pula dijumpai pada penyakit ginjal lain seperti Acute Tubuler Necrosis.

glomerulonefritis akuta

Darah : - Reaksi serologis : Infeksi streptokokus pada GNA menyebabkan reaksi serologis terhadap produk-produk ekstraseluler streptokokus sehingga timbul antibodi yang titernya dapat diukur seperti Anti Streptolisin O (ASO), Anti Hyaluronidase (AH ase) dan Anti Deoxyribonuclease (AD Nase-B). Titer ASO yang paling sering diperiksa karena mudah dititrasi. Titer ini meningkat 70-80% pada kasus-kasus GNAPS. Sedangkan kombinasi titer ASO, AD Nase-B dan AH ase yang meninggi, hampir 100% menunjukkan adanya infeksi streptokokus sebelumnya. Kenaikan titer ini mulai pada hari ke 10-14 sesudah infeksi streptokokus dan mencapai puncaknya pada minggu ke 3-5 dan mulai menurun pada bulan ke 2-6. Titer ASO jelas meningkat pada GNAPS setelah infeksi saluran pernapasan oleh streptokokus. Sedangkan setelah infeksi kulit oleh streptokokus titer ASO umumnya normal. Diduga karena adanya jaringan lemak subkutan yang menghalangi pembentukan antibodi terhadap streptokokus. Sebaliknya titer AD Nase jelas meningkat pada infeksi melalui kulit. - Aktivitas komplemen : Komplemen serum hampir selalu menurun pada GNAPS oleh karena turut serta berperanan dalam proses antigen-antibodi sesudah terjadi infeksi streptokokus yang nefritogenik. Dari sistem komplemen dalam tubuh maka komplemen C3 (B1C globulin) yang paling sering diperiksa kadarnya karena cara pengukurannya mudah. Beberapa penulis melaporkan 80-92% kasus GNAPS dengan kadar C3 menurun. Umumnya kadar C3 mulai menurun dalam fase akut atau dalam minggu pertama perjalanan penyakit, kemudian menjadi normal sesudah 4-8 minggu timbulnya gejala-gejala penyakit. Bila sesudah 8 minggu kadar komplemen C3 ini masih rendah, maka hal ini menunjukkan suatu proses kronik. - Laju Endap Darah : LED umumnya meninggi pada fase akut dan menurun setelah gejalagejala klinik menghilang. Walaupun demikian LED tidak bisa dipakai parameter sembuhnya GNA karena terdapat kasus-kasus GNAPS dengan LED tetap tinggi walaupun gejala-gejala klinik sudah menghilang. Bakteriologis : Pada pemeriksaan hapusan tenggorok (throat swab) atau kulit (skin swab) tidak selalu ditemukan Streptokokus B hemolitikus grup A. Hal ini mungkin karena penderita telah mendapat antibiotika sebelum masuk rumah

glomerulonefritis akuta

sakit. Juga lamanya periode laten menyebabkan sukarnya ditemukan kuman streptokokus.

DIAGNOSIS
Berbagai macam kriteria dikemukakan untuk diagnosis GNAPS, tetapi pada umumnya kriteria yang dipakai adalah : - Biakan positif Streptokokus B hemolitikus grup A dan atau peningkatan titer antibodi terhadap streptokokus. - Gejala-gejala klinik. - Adanya kelainan laboratorium terutama hematuria mikroskopis, torak eritrosit dan proteinuria. Pada GNAPS asimtomatik, diagnosis berdasarkan kelainan sedimen urin (hematuria mikroskopis), proteinuria dan adanya epidemi/kontak dengan penderita GNAPS.

DIAGNOSIS BANDING
Banyak penyakit ginjal sendiri atau di luar ginjal yang memberikan gejala-gejala seperti GNAPS. 1. a. Penyakit ginjal : Eksaserbasi akut glomerulonefritis kronik. Kelainan ini penting dibedakan dari GNAPS karena prognosisnya sangat berbeda. Dipikirkan penyakit ini bila pada anamnesis ada penyakit ginjal sebelumnya dan periode laten yang terlalu singkat, biasanya 1-3 hari. Selain itu adanya gangguan pertumbuhan, anemia dan ureum yang jelas meninggi waktu timbulnya gejala-gejala nefritis, membantu diagnosis eksaserbasi akut glomerulonefritis kronik. b. Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria. Penyakit-penyakit ini dapat berupa fokal glomerulonefritis, nefritis 15 herediter (Alport disease), IgA-IgG nefropati (Maladie de Berger) dan benign recurrent haematuria. Umumnya penyakit-penyakit ini tidak disertai edema atau hipertensi. Hematuria makroskopis yang terjadi biasanya berulang dan timbul bersamaan dengan infeksi saluran napas tanpa periode laten ataupun kalau ada berlangsung sangat singkat. Rapidly Progressive Glomerulonephritis (RPGN). RPGN lebih sering terdapat pada orang dewasa daripada anak. Kelainan ini sering sulit dibedakan dengan GNAPS terutama pada fase

c.

glomerulonefritis akuta

akut dengan adanya oliguria dan anuria. Titer ASO, AH ase, AD Nase B meninggi pada GNAPS sedangkan pada RPGN biasanya normal. Komplemen C3 menurun pada GNAPS, hal ini jarang terjadi pada RPGN. Prognosis GNAPS umumnya baik, sedangkan prognosis RPGN jelek dan meninggal karena gagal ginjal. 2. Penyakit-penyakit sistemik. Beberapa penyakit yang perlu didiagnosis banding adalah SchoenleinHenoch Syndrome (SHS), Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Subacute Bacterial Endocarditis (SBE). Ketiga penyakit ini bisa memberi gejala-gejala nefritis seperti hematuria, proteinuria dan kelainan sedimen urin yang lain. Tetapi pada hapusan tenggorok negatif dan titer ASO normal. Pada SHS bisa dijumpai purpura, nyeri abdomen dan arthralgia, sedangkan pada GNAPS tidak ada gejala-gejala demikian. Pada SLE ada kelainan kulit dan sel LE positif pada pemeriksaan darah, yang tidak ada pada GNAPS. Demam tinggi yang menetap lama, splenomegali dan bising jantung terdapat pada SBE dan tidak pada GNAPS. Sedangkan pada SBE tidak ada edema, hipertensi atau oliguria. Biopsi ginjal bisa mempertegas perbedaan dengan GNAPS yang kelainan histologiknya bersifat difus, sedangkan ketiga penyakit tersebut umumnya bersifat fokal. 3. Penyakit-penyakit infeksi : GNA bisa pula terjadi sesudah infeksi bakteri atau virus tertentu selain oleh Streptokokus B hemolitikus grup A. Kepustakaan melaporkan gejalagejala GNA timbul sesudah infeksi virus morbili, parotitis, varicella dan virus ECHO. Diagnosis banding dengan GNAPS tentunya dengan melihat penyakit dasarnya.

KOMPLIKASI
Komplikasi terutama terjadi dalam fase akut berupa edema paru akut, kegagalan ginjal akut, ensefalopati hipertensi. Ensefalopati hipertensi sudah 16 jarang ditemukan karena sudah banyak obat-obat antihipertensi yang dapat menurunkan tekanan darah dalam waktu yang singkat. Namun setiap hipertensi berat apalagi bila disertai muntah, sakit kepala, kejang-kejang atau kesadaran menurun harus mendapat perhatian khusus dan pengobatan yang cepat dan tepat. Glomerulonefritis kronik sebagai komplikasi dipikirkan bila terdapat hipokomplemenemia yang berlangsung lama, lebih dari 8 minggu, hematuria

glomerulonefritis akuta

persisten atau proteinuria persisten. Diagnosis yang lebih tepat diperoleh dengan biopsi ginjal.

PENGOBATAN
1. Istirahat : Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya timbul dalam minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Sesudah fase akut, tidak dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur, tetapi tidak diizinkan kegiatan seperti sebelum sakit. Lamanya perawatan tergantung pada keadaan penyakit. Dahulu dianjurkan prolonged bed rest sampai berbulan-bulan dengan alasan proteinuria dan hematuria mikroskopis belum hilang. Kini lebih progresif, penderita dipulangkan sesudah 10-14 hari perawatan dengan syarat tidak ada komplikasi dan kelainan laboratorium urin yang masih ada dilakukan pengamatan lanjut pada waktu berobat jalan. Istirahat yang terlalu lama di tempat tidur menyebabkan anak tidak bisa bermain dan jauh dari teman-temannya sehingga bisa memberi beban psikologik. Diet : Pemberian garam perlu diperhatikan. Bila edema berat, diberikan makanan tanpa garam dan bila edema ringan, pemberian garam dibatasi sebanyak 0,5-1 gram/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi yaitu sebanyak 0,5-1 gram/kgBB/hari. Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik terutama penderita dengan oliguria atau anuria, yaitu jumlah cairan yang masuk harus seimbang dengan pengeluaran, berarti asuoan cairan = jumlah urin + insensible water loss (20-25 ml/kgBB/hari) + jumlah keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari normal (10 mg/kgBB/hari). 3. Antibiotik : Pemberian antibiotik pada GNAPS sampai sekarang masih sering dipertentangkan. Pihak satu hanya memberi antibiotik bila biakan hapusan tenggorok atau kulit positif untuk streptokokus, sedangkan pihak lain memberikannya secara rutin dengan alasan biakan negatif belum dapat menyingkirkan infeksi streptokokus. Biakan negatif dapat terjadi oleh karena telah mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit atau akibat periode laten yang terlalu lama (> 3 minggu). 4. Simtomatis :

2.

glomerulonefritis akuta

a.

b.

c.

Bendungan sirkulasi : Yang paling penting dalam menangani sirkulasi adalah pembatasan cairan dengan kata lain input harus sesuai dengan output. Bila terjadi edema berat atau tanda-tanda edema paru akut, harus diberikan diuretik, misalnya furosemid. Kalau tidak berhasil dilakukan dialisa peritoneal. Hipertensi : Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada hipertensi ringan dengan istirahat cukup dan pembatasan cairan yang baik, tekanan darah bisa kembali normal dalam waktu 1 minggu. Pada hipertensi berat atau hipertensi dengan gejala-gejala serebral (ensefalopati hipertensi) bisa diberikan diazoxide 5 mg/kgBB/hari secara intravena (I.V.). Pada hipertensi sedang atau hipertensi berat tanpa tanda-tanda serebral bisa diberikan serpasil atau hidralazine atau kombinasi keduanya. Gagal ginjal akut : Yang terutama harus diperhatikan adalah pembatasan cairan, pemberian kalori yang cukup dalam bentuk karbohidrat. Bila terjadi asidosis harus diberikan Na Bikarbonat dan bila terdapat hiperkalemi diberikan Ca glukonas atau kayexalate untuk mengikat kalium.

FOLLOW UP
Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut yang berlangsung 1-2 minggu. Pada akhir minggu pertama atau minggu kedua gejala-gejala seperti edema, hematuria, hipertensi atau oliguria mulai menghilang, sebaliknya gejala-gejala laboratorik menghilang dalam waktu 112 bulan, C3 yang menurun (hipokomplemenemia) menjadi normal kembali sesudah 2 bulan. Proteinuria bisa menetap sampai 6 bulan, sedangkan hematuria mikroskopik dapat menetap sampai 1 tahun (gbr 9)

Hematuria, Hematuria Oligouria Oligouria, Edema Edema Hipertensi Hipertensi Hipokomplemenemia Proteinuria Hematuria mikroskopik Hematuria, proteinuria persisten 4 mgg 2 bln 2 thn 2 mgg 6 bln 1 thn Gambar 9. Perjalanan GNAPS yang memperlihatkan menghilangnya gejala-gejala dalam waktu tertentu

glomerulonefritis akuta

Dengan adanya hematuria mikroskopis dan atau proteinuria persisten, maka setiap penderita yang telah dipulangkan dianjurkan untuk follow up setiap 4-6 minggu selama 6 bulan pertama. Bila ternyata masih terdapat hematuria mikroskopis dan atau proteinuria, follow up diteruskan sampai 1 tahun atau sampai kelainan tersebut menghilang. Bila sesudah 1 tahun masih dijumpai satu atau kedua kelainan tersebut, perlu dipertimbangkan biopsi ginjal.

PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSIS


Penyakit ini dapat sembuh sempurna dalam waktu 1-2 minggu bila tidak ada komplikasi sehingga sering digolongkan dalam self limiting disease. Walaupun sangat jarang GNAPS ini bisa kambuh kembali (recurrent). Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut yang berlangsung 1-2 minggu, kemudian disusul dengan menghilangnya gejala-gejala laboratoris terutama hematuria mikroskopis dan proteinuria dalam waktu 1-12 bulan. Pada anak 85-95% kasus GNAPS sembuh sempurna, sedangkan pada orang dewasa 50-75%. Pada kasus-kasus tertentu, GNAPS dapat berlangsung kronis baik secara klinik maupun secara histologik atau laboratorik. Pada orang dewasa kira-kira 15-30% kasus masuk dalam proses kronis sedangkan pada anak 5-10% kasus menjadi glomerulonefritis kronik. Walaupun prognosis GNAPS ini baik, kematian bisa terjadi terutama dalam fase akut akibat gagal ginjal akut, edema paru akut atau hipertensi ensefalopati.

glomerulonefritis akuta

Sindrom Nefrotik
TUJUAN PEMBELAJARAN Tujuan Instruksional Umum Setelah mempelajari penyakit ini, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan gejala-gejala klinis, penyebab, patomekanisme, caracara diagnosis, penatalaksanaan/terapi dan komplikasi sindrom nefrotik. Tujuan Instruksional Khusus Setelah mempelajari penyakit ini, mahasiswa diharapkan dapat: Menjelaskan gejala-gejala klinik sindrom nefrotik. Menyebutkan etiologi sindrom nefrotik. Menjelaskan patomekanisme sindrom nefrotik. Menjelaskan cara-cara diagnosis sindrom nefrotik: - Menjelaskan tentang cara anamnesis terarah pada penderita sindrom nefrotik. - Menjelaskan tentang cara pemeriksaan fisik penderita sindrom nefrotik. Menganalisa hasil laboratorium penderita sindrom nefrotik. Menjelaskan gambaran radiologik penderita sindrom nefrotik. - Menjelaskan gambaran ekokardiografi pada penderita sindrom nefrotik. Menjelaskan tentang penatalaksanaan penyakit sindrom nefrotik. - Menyebutkan obat-obatan yang dipakai. - Menjelaskan farmakodinamik dan farmakokinetik obat-obat yang digunakan. - Menjelaskan protokol tetap yang digunakan pada penderita sindrom nefrotik yang sensitif yang sensitive terhadap kortikosteroid. - Menjelaskan paling kurang 8 istilah yang berhubungan dengan pengobatan pada sindrom nefrotik. - Menjelaskan asuhan nutrisi penderita sindrom nefrotik. Menjelaskan tentang komplikasi penyakit sindrom nefrotik. Menjelaskan prognosis sindrom nefrotik.

glomerulonefritis akuta

Sindrom Nefrotik (SN) ialah sekumpulan gejala yang terdiri dari proteinuri masif (> 50 mg/kgBB/24 jam), hipoalbuminemia (< 2,5 gram/100 ml) yang disertai atau tidak dengan edema dan hiperkolesterolemia. Secara klinis SN terdiri dari : 1. Edema masif 2. Proteinuria 3. Hipoalbuminemia 4. Hiperkolesterolemia atau normokloesterolemia Pada anak kausa SN tidak jelas sehingga disebut Sindrom Nefrotik Idiopatik (SNI). Kelainan histologis SNI menunjukkan kelainan-kelainan yang tidak jelas atau sangat sedikit perubahan yang terjadi sehingga disebut Minimal Change Nephrotic Syndrome atau Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM). Sarjana lain menyebut NIL (Nothing In Light Microscopy) disease.

INSIDENS
Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar (74%) dijumpai pada usia 2-7 tahun. Rasio laki-laki : perempuan = 2:1, sedangkan pada masa remaja dan dewasa rasio ini berkisar 1:1.

KLASIFIKASI
I. Histologik : International Collaborative Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) telah menyusun klasifikasi histopatologik SNI atau disebut juga SN Primer sebagai berikut : 1. Minimal Change = Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal 2. Glomerulosklerosis fokal 3. Glomerulonefritis proliferatif yang dapat bersifat : - difus eksudatif - fokal - pembentukan crescent (bulan sabit) - mesangial - membranoproliferatif 4. Nefropati membranosa 5. Glomerulonefritis kronik

glomerulonefritis akuta

Dari kelima bentuk kelainan histologik SNI ini maka SNKM merupakan kelainan histologik yang paling sering dijumpai (80%). II. Penyebab : 1. Penyebab primer Umumnya tidak diketahui kausanya dan terdiri atas SNI dengan kelainan histologik menurut pembagian ISKDC. Penyebab sekunder, dari penyakit/kelainan : Sistemik : - penyakit kolagen, seperti Systemic Lupus Erythematosus, Scholein-Henoch Syndrome. - Penyakit perdarahan : Hemolytic Uremic Syndrome - Penyakit keganasan : Hodgkins disease, Leukemia Infeksi : - malaria, Schistosomiasis mansoni, Lues, Subacute Bacterial Endocarditis, Cytomegalic Inclusion Disease. Metabolik : - Diabetes Mellitus, Amyloidosis. Obat-obatan/alergen : - Trimethadion, paramethadion, probenecid, tepung sari, gigitan ular/serangga, vaksin polio. III. Terjadinya : 1. SN Kongenital Pertamakali dilaporkan di Finlandia sehingga disebut juga SN tipe Finlandia. Kelainan ini diturunkan melalui gen resesif. Biasanya anak lahir prematur (90%), plasenta besar (beratnya kira-kira 40% dari berat badan). Gejala asfiksia dijumpai pada 75% kasus. Gejala utama berupa edema, asites biasanya tampak pada waktu lahir atau dalam minggu pertama. Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai hipoproteinemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia. Gejala klinik yang lain berupa kelainan kongenital pada muka seperti hidung kecil, jarak kedua mata melebar, telinga letaknya lebih rendah dari normal. Prognosis jelek dan meninggal karena infeksi sekunder atau kegagalan ginjal. Salah satu cara untuk menemukan kemungkinan kelainan ini secara dini ialah

2.

glomerulonefritis akuta

pemeriksaan kadar alfa feto protein cairan amnion yang biasanya meninggi. 2. SN yang didapat : Termasuk di sini SN Primer yang idiopatik dan sekunder.

PATOGENESIS
Pada pembahasan selanjutnya yang dimaksud dengan SN ialah SN yang idiopatik dengan kelainan histologik berupa SNKM. Terdapat beberapa teori mengenai terjadinya SN pada anak yaitu : 1. Soluble Antigen Antibody Complex (SAAC) Antigen yang masuk ke sirkulasi menimbulkan antibodi sehingga terjadi reaksi antigen antibodi yang larut (soluble) dalam darah. SAAC ini kemudian menyebabkan sistem komplemen dalam tubuh bereaksi sehingga komplemen C3 akan bersatu dengan SAAC membentuk deposit yang kemudian terperangkap di bawah epitel kapsula Bowman yang secara imunofloresensi terlihat berupa benjolan yang disebut HUMPS sepanjang membrana basalis glomerulus (mbg) berbentuk granuler atau noduler. Komplemen C3 yang ada dalam HUMPS inilah yang menyebabkan permeabilitas mbg terganggu sehingga eritrosit, protein dan lain-lain dapat melewati mbg sehingga dapat dijumpai dalam urin. Perubahan elektrokemis Selain perubahan struktur mbg, maka perubahan elektrokemis dapat juga menimbulkan proteinuria. Dari beberapa percobaan terbukti bahwa kelainan terpenting pada glomerulus berupa gangguan fungsi elektrostatik (sebagai sawar glomerulus terhadap filtrasi protein) yaitu hilangnya fixed negative ion yang terdapat pada lapisan sialo-protein glomeruli. Akibat hilangnya muatan listrik ini maka permeabilitas mbg terhadap protein berat molekul rendah seperti albumin meningkat sehingga albumin dapat keluar bersama urin.

2.

glomerulonefritis akuta

PATOFISIOLOGIK
1. Edema Edema merupakan gejala utama, bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka) dan merupakan gejala satu-satunya yang nampak. Edema mula-mula nampak pada kelopak mata terutama waktu bangun tidur. Edema yang hebat atau anasarka sering disertai edema pada genitalia eksterna. Selain itu edema anasarka ini dapat menimbulkan diare dan hilangnya nafsu makan karena edema mukosa usus. Akibat anoreksia dan proteinuria masif, anak dapat menderita PEM. Hernia umbilikalis, dilatasi vena, prolaps rektum dan sesak napas dapat pula terjadi akibat edema anasarka ini. 2. Proteinuria Ada dua sebab yang menimbulkan proteinuria : a. Permeabilitas kapiler glomerulus yang meningkat akibat kelainan/kerusakan mbg. b. Reabsorpsi protein di tubulus berkurang. Pada SN, proteinuria umumnya bersifat masif yang berarti ekskresi protein > 50 mg/kgBB/hari atau > 40 mg/m2/jam, atau secara kualitatif proteinuria +++ sampai ++++. Oleh karena proteinuria paralel dengan kerusakan mbg, maka proteinuria dapat dipakai sebagai petunjuk sederhana untuk menentukan derajat kerusakan glomerulus. Jadi yang diukur adalah Index Selectivity of Proteinuria (ISP). ISP dapat ditentukan dengan cara mengukur rasio antara Clearance IgG dan Clearance transferin. Bila ISP < Clearance IgG ISP meninggi (Highly Selective 0,2 berarti ISP = secara klinik menunjukkan : Proteinuria) yangClearance transferin - kerusakan glomerulus ringan - respons terhadap kortikosteroid baik Bila ISP > 0,2 berarti ISP menurun (Poorly Selective Proteinuria) yang secara klinik menunjukkan : - kerusakan glomerulus berat - tidak respons terhadap kortikosteroid 3. Hipoproteinemia/hipoalbuminemia Hipoalbuminemia ialah apabila kadar albumin dalam darah < 2,5 gram/100ml. Pada SN kelainan dapat disebabkan oleh :

glomerulonefritis akuta

a. Proteinuria b. Katabolisme protein yang berlebihan c. Nutritional deficiency Pada SN ternyata katabolisme protein meningkat akibat katabolisme protein yang terjadi di tubuli ginjal. Peningkatan katabolisme ini merupakan faktor tambahan terjadinya hipoalbuminemia selain dari proteinuria. Pada SN sering pula dijumpai anoreksia akibat edema mukosa usus sehingga intake berkurang yang pada gilirannya dapat menimbulkan hipoproteinemia. Pada umumnya edema anasarka terjadi bila kadar albumin darah < 2 gram/100ml, dan syok hipovolemia terjadi biasanya pada kadar < 1 gram/100 ml. 4. Hiperkolesterolemia Disebut hiperkolesterolemia bila kadar kolesterol > 250 mg/100 ml. Akhir-akhir ini disebut juga sebagai hiperlipidemia oleh karena bukan hanya kolesterol saja yang meninggi tetapi juga beberapa konstituen lemak meninggi dalam darah. Konstituen lemak itu adalah : a. Kolesterol b. Low Density Lipoprotein (LDL) c. Very Low Density Lipoprotein (VLDL) d. Trigliserida (baru meningkat bila plasma albumin < I gram/100 ml) Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat albumin sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel-sel hepar juga akan membuat VLDL. Dalam keadaan normal VLDL diubah menjadi LDL oleh lipoprotein lipase. Tetapi pada SN, aktifitas enzim ini terhambat oleh adanya hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak bebas. Di samping itu menurunnya aktifitas lipoprotein lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat keluarnya protein ke dalam urin. Jadi hiperkolesterolemia ini tidak hanya disebabkan oleh produksi yang berlebihan, tetapi juga akibat gangguan katabolisme fosfolipid.

Imunisasi
Pemberian imunisasi pada SN dapat dilakukan dengan mengingat hal-hal sbb :

glomerulonefritis akuta 8. Vaksin

virus mati : dapat diberi selama R/steroid atau 6 minggu setelah R/dihentikan. 9. Vaksin virus hidup: hanya diberikan setelah 12 minggu R/ steroid dihentikan. Hal yang harus diperhatikan oleh orangtua/pengasuh penderita SN ialah bila ada kontak dengan penderita varisella.Pada keadaan ini, dalam waktu 72 jam harus diberi imunoglobulin Varisella-zoster atau imunoglobulin biasa. Bila telah terjadi infeksi varisella, maka R/ steroid dihentikan dan diberi acyclovir.

glomerulonefritis akuta SKEMA TERJADINYA EDEMA

AKIBAT REAKSI ANTIGEN ANTIBODI PADA GLOMEROLUS

HIPERKOLESTEROLEMIA HIPERLIPIDEMIA SINTESA B LIPOPROTEIN DI HEPAR

PERMEABILITAS MBG PROTEINURIA HIPOPROTEINEMIA

TEKANAN KOLOID OSMOTIK PLASMA DIFUSI AIR DAN CAIRAN KE JARINGAN INTERSTITIAL GFR VOLUME PLASMA DAN CO KELENJAR SUPRARENALIS MINERALOKORTIKOID ALDOSTERON RETENSI Na & AIR

A.D.H

EDEMA

glomerulonefritis akuta

Pada umumnya tipe SNKM mempunyai gejala-gejala klinik yang disebut di atas tanpa gejala-gejala lain, oleh karena itu secara klinik SNKM ini dapat dibedakan dari SN dengan kelainan histologis tipe lain yaitu pada SNKM dijumpai hal-hal sebagai berikut pada umumnya : a. anak berumur 1-6 tahun b. tak ada hipertensi c. tak ada hematuria makroskopis atau mikroskopis d. fungsi ginjal normal e. titer komplemen C3 normal f. respons terhadap kortikosteroid baik sekali Oleh karena itulah bila dijumpai kasus SN dengan gejala-gejala di atas dan mengingat bahwa SNKM terdapat pada 70-80% kasus, maka pada beberapa senter tidak lagi dilakukan biopsi ginjal. Pemeriksaan laboratorium : Urin : Albumin : kualitatif : ++ sampai ++++ kuantitatif : > 50 mg/kgBB/hari (diperiksa memakai reagens ESBACH) sedimen : oval fat bodies : epitel sel yang mengandung butirbutir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, lekosit, toraks hialin dan toraks eritrosit. Darah : Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai : - protein total menurun (N : 6,2-8,1 gm/100ml) - albumin menurun (N : 4-5,8 gm/100ml) - 1 globulin normal (N : 0,1-0,3 gm/100 ml) - 2 globulin meninggi (N : 0,4-1 gm.100 ml) - globulin normal (N : 0,5-0,9 gm/100 ml) - globulin normal (N : 0,3-1 gm/100 ml) - Rasio albumin/globulin < 1 (N : 3/2) - Komplemen C3 normal/rendah (N : 80-120 mg/100 ml) - Ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal

KOMPLIKASI
1. Infeksi sekunder : mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah akibat hipoalbuminemia.

glomerulonefritis akuta

2. Syok : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gm/100 ml) yang menyebabkan hipovolemi berat sehingga terjadi syok. 3. Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga terjadi peninggian fibrinogen plasma atau faktor V, VII, VIII dan X. Trombus lebih sering terjadi di sistem vena apalagi bila disertai pengobatan kortikosteroid. 4. Komplikasi lain yang bisa timbul ialah malnutrisi atau kegagalan ginjal.
PENATALAKSANAAN SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK I. Pengobatan umum : 1. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian protein tinggi pada SN tidak memberi hasil yang memuaskan oleh karena menjadi beban untuk glomerulus. Oleh karena itu protein diberikan sebanyak 1-2 gr/kgbb/hari, bila ureum dan kreatinin meningkat diberikan protein < 1 gr/kgBB/hari. Kalori rata-rata: 100 kalori/kgBB/hari. Garam dibatasi bila edema hebat. Bila tanpa edema diberi 1-2 gm/hari. Pembatasan cairan bila terdapat gejala-gejala gagal ginjal. 2. Aktifitas: tirah baring dianjurkan bila ada edema hebat atau ada komplikasi. Bila edema sudah berkurang atau tak ada komplikasi maka aktifitas fisik tidak mempengaruhi perjalanan penyakit. Sebaliknya tanpa aktifitas dalam jangka waktu yang lama akan mempengaruhi kejiwaan anak. 3. Diuretik: pemberian diuretik untuk mengurangi edema terbatas pada anak dengan edema berat, gangguan pernapasan, gangguan gastrointestinal atau obstruksi urethra yang diakibatkan oleh edema hebat ini. Pada beberapa kasus SNKM yang disertai anasarka, dengan pengobatan kortikosteroid tanpa diuretik ternyata edema juga menghilang. Metode yang lebih efektif dan fisiologik untuk mengurangi edema ialah merangsang diuresis dengan pemberian albumin (salt poor albumin): 0,5-1 gm/kgBB selama1 jam yang disusul kemudian oleh furosemid I.V. 1-2 mg/kgBB/hari. Pengobatan ini dapat diulangi setiap 6 jam bila perlu. Diuretik yang biasa dipakai ialah diuretik jangka pendek seperti furosemid atau asam etakrinat. Pemakaian diuretik yang berlangsung lama dapat menyebabkan: - hipovolemia - hipokalemia - alkalosis

glomerulonefritis akuta

- hiperuricemia 4. Antibiotik : hanya diberikan bila ada tanda-tanda infeksi sekunder. II. Pengobatan dengan kortikosteroid : Pengobatan dengan kortikosteroid terutama diberikan pada SN yang sensitif terhadap kortikosteroid yaitu pada SNKM. Bermacammacam cara/protokol yang dipakai tergantung pengalaman dari tiap senter, tetapi Yang umum dipakai ialah protokol ISKDC.

glomerulonefritis akuta

PROTOKOL INTERNATIONAL COLLABORATIVE STUDY OF KIDNEY DISEASE IN CHILDREN (ISKDC) Serangan I


Prednison 2 mg/kgBB/ hari (maksimal 60-80 mg/kgBB/m 2/hr) selama 4 minggu (CD), bila tercapai remisi pada akhir minggu ke-4, diteruskan prednison dgn dosis dosis CD selama 4 minggu dengan cara AD/ID. Bila tetap remisi sampai minggu ke-8, dosis prednison diturunkan perlahan-lahan (tapering off) selama 1-2 minggu.
CD = 4 minggu AD/ ID = 4 minggu tap. off (remisi) Stop mg 1 2 3 4 5 Remisi 6 7 8 Remisi

CD = Continuous day: prednison 60 mg/m2/hari atau 2 mg/kgBB/hari ID = Intermittent day : prednison 40 mg/m2/hari atau 2/3 dosis CD, diberikan 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu AD = Pemberian prednison berselang-seling sehari

Relaps
Cara pemberian seperti pada serangan I, hanya CD diberikan sampai remisi (tidak perlu menunggu sampai 4 minggu)
CD AD/ID tap. off 3 4 remisi Stop

mg1 remisi

CD = Prednison 2 mg/kgBB/hari tiap hari sampai terjadi remisi ID = Prednison 2/2 dosis CD tiga hari berturut-turut dalam 1 minggu AD = Pemberian prednison berselang-seling sehari

glomerulonefritis akuta

Nonresponder
CD pred ID pred CD imunosupresan + ID pred (40mg/m2/hr)

minggu

Remisi (-)

Setelah 8 minggu pengobatan prednison tidak berhasil, pengobatan selanjutnya dengan gabungan imunosupresan lain (endoxan) dan prednison (40mg/m2/hr) berturut-turut secara CD & ID.

Frequent relapser
CD imunosupresan + CD prednison 0,2 mg/kg/hr

mg 1

Diberikan kombinasi pengobatan imunosupresan lain dan prednison 0,2 mg/kgBB/hr, keduanya secara CD.

glomerulonefritis akuta

Beberapa istilah yang perlu diketahui sehubungan dengan pengobatan: respons : gejala-gejala klinik dan atau gejala laboratoris menghilang setelah diberi pengobatan kortikosteroid dalam jangka waktu tertentu. Remisi : bila proteinuria negatif selama >= 3 hari berturut-turut. Relaps : bila proteinuria positif selama >= 3 hari berturut-turut. Initial responder : respon dalam waktu 8 minggu pengobatan prednison. Initial nonresponder : tak ada respon dalam waktu 8 minggu pengobatan prednison. Early relapser : initial responder yang relaps dalam waktu 8 minggu pengobatan prednison. Infrequent relapser : initial responder yang relaps (1 kali) dalam waktu 6 bulan pertama. Frequent relapser : initial responder yang relaps 2 kali dalam waktu 6 bulan pertama. Late responder : initial nonresponder yang respons setelah 8 minggu pengobatan prednison. Late nonresponder : initial nonresponder yang tidak respons lagi setelah 8 minggu pengobatan. Subsequent nonresponder : frequent relapser yang tetap alami relaps dalam perjalanan penyakitnya. Steroid dependent : relaps bila dosis kortikosteroid diturunkan/dihentikan.

glomerulonefritis akuta

Dari penderita SNKM yang diambil dari senter Nefrologi Anak dari berbagai negara, ISKDC mendapatkan hasil sebagai berikut :

SNKM (100%)

R/ 8 minggu I 6 bulan (sesudah R/ 8 mgg) Non relapser (36%)

Initial responder (93%)

Initial nonresponder (7%)

Infrequent relapser (18%)

Frequent relapser (39%)

Late responder (5%)

Late nonresponder (2%)

Subsequent Nonresponder (5%)

Pada beberapa senter, bila tak terjadi remisi setelah 8 minggu pengobatan dengan kortikosteroid, diberi imunosupresi lain yang dikombinasi dengan kortikosteroid intermittent day/alternating day 40 mg/m2/hari selama 8 minggu, sedangkan pada frequent relapser diberi imunosupresi continous day 8 minggu bersama-sama dengan kortikosteroid 0,2 mg/kgBB/hari continous day selama 8 minggu. Obat-obat imunosupresi : 1. Azathioprine (imuran) : 3 mg/kgBB/hari. 2. Cyclophosphamide (endoxan) : 1-3 mg/kgBB/hari. 3. Chlorambucil (leukeran) : 0,1-0,2 mg/kgBB/hari.

PROGNOSIS
Prognosis SN tergantung dari kelainan histopatologiknya. Umumnya SN dengan kelainan minimal (SNKM) yang sensitif dengan kortikosteroid mempunyai prognosis baik, sedangkan SN dengan kelainan histopatologik lain seperti bentuk Focal Glomerulosclerosis, Membranoproliferative glomerulonephritis mempunyai prognosis kurang baik karena sering mengalami kegagalan ginjal.

glomerulonefritis akuta

Dengan berkembangnya dialisis peritoneal, hemodialisis dan transplantasi ginjal, maka penderita-penderita penyakit ginjal dengan gagal ginjal mempunyai harapan hidup yang lebih baik.

You might also like