You are on page 1of 27

BAB I PENDAHULUAN

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan

menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846 (Muhardi 1989). Obat untuk menghilangkan nyeri terbagi ke dalam 2 kelompok, yaitu analgetik dan anestesi. Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai hilangnya perasaan secara total. seseorang yang mengkonsumsi analgetik tetap berada dalam keadaan sadar. Analgetik tidak selalu menghilangkan seluruh rasa nyeri, tetapi selalu meringankan rasa nyeri. Beberapa jenis anestesi menyebabkan hilangnya kesadaran, sedangkan jenis yang lainnya hanya menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentu dan pemakainya tetap sadar (Dardjat M T 1986).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. GANGLION 1. Pengertian Kista Ganglion atau biasa disebut Ganglion merupakan kista yang terbentuk dari kapsul suatu sendi atau sarung suatu tendo. Kista ini berisi cairan kental jernih yang mirip dengan jelly yang kaya protein. Kista merupakan tumor jaringan lunak yang paling sering didapatkan pada tangan (Harun, 2010). Ganglion biasanya melekat pada sarung tendon pada tangan atau pergelangan tangan atau melekat pada suatu sendi; namun ada pula yang tidak memiliki hubungan dengan struktur apapun. Kista ini juga dapat ditemukan di kaki. Ukuran kista bervariasi, dapat bertambah besar atau mengecil seiring berjalannya waktu dan bahkan menghilang. Selain itu kadang dapat mengalami inflamasi jika teriritasi. Konsistensi dapat lunak hingga keras seperti batu akibat tekanan tinggi cairan yang mengisi kista sehingga kadang didiagnosis sebagai tonjolan tulang. Ganglion timbul pada tempat-tempat berikut ini (Jonathan et al, 2008) a. Pergelangan tangan punggung tangan ("dorsal wrist ganglion"), pada telapak tangan ("volar wrist ganglion"), atau kadang pada daerah ibu jari. Kista ini berasal dari salah satu sendi pergelangan tangan, dan kadang diperberat oleh cedera pada pergelangan tangan. b. Telapak tangan pada dasar jari-jari ("flexor tendon sheath cyst"). Kista ini berasal dari saluran yang menjaga tendon jari pada tempatnya, dan kadang terjadi akibat iritasi pada tendon - tendinitis. c. Bagian belakang tepi sendi jari ("mucous cyst"), terletak di sebelah dasar kuku. Kista ini dapat menyebabkan lekukan pada kuku, dan dapat menjadi terinfeksi dan menyebabkan infeksi sendi walaupun jarang. Hal ini biasanya disebabkan arthritis atau taji tulang pada sendi.

2. Etiologi Penjelasan yang paling sering digunakan untuk mengungkapkan pembentukan kista hingga degenerasi mukoid dari kolagen dan jaringan ikat. Teori ini menunjukkan bahwa sebuah ganglion mewakili struktur degeneratif yang melingkupi perubahan miksoid dari jaringan ikat. Teori yang lebih baru, yang dipostulasikan oleh Angelides pada 1999, menjelaskan bahwa kista terbentuk akibat trauma jaringan atau iritasi struktur sendi yang menstimulasi produksi asam hialuronik. Proses ini bermula di pertemuan sinovial-kapsular. Musin yang terbentuk membelah sepanjang ligamentum sendi serta kapsul yang melekat untuk kemudian membentuk duktus kapsular dan kista utama. Duktus pada akhirnya akan bergabung menjadi kista ganglion soliter yang besar. Seperti yang telah disebutkan, penyebab ganglion tidak sepenuhnya diketahui, namun ganglion dapat terjadi akibat robekan kecil pada ligamentum yang melewati selubung tendon atau kapsul sendi baik akibat cedera, proses degeneratif atau abnormalitas kecil yang tidak diketahui sebelumnya (Harun, 2010). 1. Tanda dan gejala (Harun, 2010) a. Keterbatasan gerak b. Parestesia c. Kelemahan d. Nyeri e. Adanya Benjolan pada bagian belakang pergelangan tangan, sisi telapak pergelanagn tangan, sendi jari 3. Komplikasi Komplikasi yang mungkin terjadi tergantung pada lokasi dan ukuran ganglion. Komplikasi utama adalah keterbatasan gerak pada sendi dimana terdapat ganglion. Tidak seperti tumor lain, ganglion tidak pernah berubah menjadi ganas. Komplikasi yang dapat terjadi akibat prosedur bedah yang dilakukan berupa rekurensi walaupun kemungkinannya tidak besar. Selain itu juga terdapat resiko infeksi, keterbatasan gerak, kerusakan serabut saraf atau pembuluh darah (Harun, 2010).
3

2. Diagnosis (Harun, 2010). Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dan kadang melalui pemeriksaan radiologik. a. anamesis bisa didapatkan benjolan yang tidak bergejala namun kadang ditemukan nyeri serta riwayat penggunaan lengan yang berlebihan. b. Pada pemeriksaan fisik ditemukan benjolan lunak yang tidak nyeri tekan. Melalui transiluminasi diketahui bahwa isi benjolan bukan merupakan massa padat tapi merupakan cairan. Pada aspirasi diperoleh cairan dengan viskositas yang tinggi dan jernih. Sering juga ditemukan adanya gangguan pergerakan dan parestesia dan kelemahan pada pergelangan tangan ataupun lengan. 4. Diagnosis Banding Ganglion dapat didiagnosis banding dengan benjolan lain yang mungkin didapatkan di tangan seperti lipoma, kista sebasea dan nodul rheumatoid arthritis (Jonathan et al, 2008) 3. Penatalaksanaan (Jonathan et al, 2008) Terdapat tiga pilihan utama penatalaksanaan ganglion. a. Pertama, membiarkan ganglion tersebut jika tidak menimbulkan keluhan apapun. Setelah diagnosis ditegakkan dan pasien diyakinkan bahwa massa tersebut bukanlah kanker atau hal lain yang memerlukan pengobatan segera, pasien diminta untuk membiarkan dan menunggu saja. b. Jika ganglion menimbulkan gejala dan ketidaknyamanan ataupun masalah mekanis, terdapat dua pilihan penatalaksanaan: aspirasi (mengeluarkan isi kista dengan menggunakan jarum) dan pengangkatan kista secara bedah.

Aspirasi melibatkan pemasukan jarum ke dalam kista dan mengeluarkan isinya setelah mematirasakan daerah sekitar kista dengan anestesi lokal. Karena diperkirakan bahwa inflamasi berperan dalam produksi dan akumulasi cairan di dalam kista, obat anti inflamasi (steroid) kadang diinjeksikan ke dalam kista sebagai usaha untuk mengurangi inflamasi serta mencegah kista tersebut terisi kembali oleh cairan kista. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa menggunakan
4

substansi lain seperti hialuronidase bersama dengan steroid setelah aspirasi meningkatkan angka kesembuhan dari 57% (aspirasi dan steroid) menjadi 89% dengan substansi tambahan. c. Jika kista rusak, menimbulkan nyeri, masalah mekanis dan komplikasi saraf (hilangnya fungsi motorik dan sensorik akibat tekanan ganglion pada saraf) atau timbul kembali setelah aspirasi, maka eksisi bedah dianjurkan. Hal ini melibatkan insisi di atas kista, identifikasi kista, dan mengangkatnya bersama dengan sebagian selubung tendo atau kapsul sendi dari mana kista tersebut berasal. Lengan kemudian dibalut selama 7-10 hari. Eksisi kista ini biasanya merupakan prosedur minor, tapi dapat menjadi rumit tergantung pada lokasi kista dan apakah kista tersebut melekat pada struktur lain seperti pembuluh darah, saraf atau tendon.

B. ANASTESI 1. Sejarah Anestesi Anastesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari hal-hal yang menyangkut anastesi. Menurut asal katanya anasthesia berasal dari kata an yang berarti tidak, dan estesia yang berarti rasa. Dengan demikian kira-kira anestesia berarti tidak berasa. Istilah anastesia pertama kali digunakan oleh Oliver Wendell Holmes tahun 1846. Analgesia ialah pemberian obat untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien (Muhardi,1989). Rasa nyeri merupakan masalah unik, di satu pihak bersifat melindungi badan kita dan di lain pihak merupakan suatu siksaan. Dalam upaya menghilangkan rasa nyeri, rasa takut pra-operasi perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal bagi pelaksanaan pembedahan. Kondisi optimal tercapai bila trias anestesi sudah terpenuhi yaitu meliputi hipnotik, analgetik, dan sedatif (Muhardi,1989). 2. Jenis Anastesi Sebagian besar operasi dilakukan dengan anestesi umum, lainnya dengan anestesi regional atau lokal. Operasi sekitar kepala, leher, intra-torakal, intra-abdominal paling baik dilakukan dengan anestesia umum endotrakea (Dardjat,1986).
5

Anastesi spinal (subarakhnoid) penyuntikan obat anastetik lokal ke

adalah anastesi regional dengan tindakan dalam ruang subarakhnoid. Anastesi

spinal/subarakhnoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal (Dardjat,1986). Anastesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah, panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti bedah endoskopi urologi, bedah rektum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah obstetri, dan bedah anak. Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan anestesi umum (Mansjoer,2000) Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi lumbal, bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati, dan peningkatan tekanan intra kranial. Kontraindikasi relatif meliputi neuropati, prior spine surgery, nyeri punggung, penggunaan obat-obatan praoperasi golongan AINS (antiinflamasi nonsteroid seperti aspirin, novalgin, parasetamol), heparin subkutan dosis rendah, dan pasien yang tidak stabil, dan a resistant surgeon (Mansjoer,2000). Komplikasi yang mungkin terjadi adalah nyeri saat penyuntikan, nyeri

punggung, nyeri kepala, retensi urin, meningitis, cedera pembuluh darah dan saraf, serta anestesi spinal total (Mansjoer,2000).

C. ASMA BRONKIALE 1. Definisi Asma merupakan suatu penyakit gangguan jalan nafas obstruktif intermiten yang bersifat reversibel, ditandai dengan adanya periode bronkospasme, peningkatan respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan penyempitan jalan nafas (Suprohaita, 2000). 2. Etiologi Asma dapat disebabkan oleh kontraksi otot di sekitar bronkus sehingga terjadi penyempitan jalan nafas, pembengkakan membran bronkus dan terisinya bronkus oleh mukus yang kental (Suprohaita, 2000).
6

3. Klasifikasi Asma Ditinjau dari segi imunologi, asma diklasifikasikan menjadi asma ekstrinsik dan asma kriptogenik (Ian,2006). a. Asma ekstrinsik Asma ekstrinsik atopic, Sifat-sifatnya adalah sebagai berikut: Penyebabnya adalah rangsangan allergen eksternal spesifik dan dapat diperlihatkan dengan reaksi kulit tipe 1 Gejala klinik dan keluhan cenderung timbul pada awal kehdupan, 85% kasus timbul sebelum usia 30 tahun Sebagian besar mengalami perubahan dengan tiba-tiba pada masa puber, dengan serangan asma yang berbeda-beda Prognosis tergantung pada serangan pertama dan berat ringannya gejala yang timbul. Jika serangn pertama pada usia muda disertai dengan gejala yang lebih berat, maka prognosis menjadi jelek. Perubahan alamiah terjadi karena adanya kelainan dari kekbalan tubuh pada IgE yang timbul terutama pada awal kehidupan dan cenderung berkurang di kemudian hari Asma bentuk ini memberikan tes kulit yang positif Dalam darah menunjukkan kenaikan kadar IgE spesifik Ada riwayat keluarga yang menderita asma Terhadap pengobatan memberikan respon yang cepat

Asma ekstrinsik non atopik, Memiliki sifat-sifat antara lain: Serangan asma timbul berhubungan dengan bermacam-macam alergen yang spesifik Tes kulit meberi reaksi tipe segera, tipe lambat dan ganda terhadap alergi yang tersensitasi dapat menjadi positif Dalam serum didapatkan IgE dan IgG yang spesifik Timbulnya gejala cenderung pada saat akhir kehidupan atau di kemudian hari

b. Asma Kriptogenik Asma intrinsik Asma idiopatik Alergen pencetus sukar ditentukan Tidak ada alergen ekstrinsik sebagai penyebab dan tes kulit memberi hasil negatif Merupakan kelompok yang heterogen, respons untuk terjadi asma dicetuskan oleh penyebab dan melalui mekanisme yang berbeda-beda Sering ditemukan pada penderita dewasa, dimulai pada umur di atas 30 tahun dan disebut juga late onset asma Serangan sesak pada asma tipe ini dapat berlangsung lama dan seringkali menimbulkan kematian bila pengobatan tanpa disertai kortikosteroid. Perubahan patologi yang terjadi sama denganasma ekstrinsik, namun tidak dapat dibuktikan dengan keterlibatan IgE Kadar IgE serum normal, tetapi eosinofil dapat meningkat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan asma ekstrinsik Selain itu tes serologi dapat menunjukkan adanya faktor rematoid, misalnya sel LE Riwayat keluarga jauh lebih sedikit, sekitar 12-48% Polip hidung dan sensitivitas terhadap aspirin sering dijumpai.

4. Patofisiologi

Gambar 1 Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernapas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas

bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma (Ian,2006). Tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan edema lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat (Ian,2006).

Pada asma , diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi (Muhiman,1989). Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest (Ian,2006). 5. Manifestasi Klinik Keluhan utama penderita asma ialah sesak napas mendadak, disertai fase inspirasi yang lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi, dan diikuti bunyi mengi (wheezing), batuk yang disertai serangn napas yang kumat-kumatan. Pada beberapa penderita asma, keluhan tersebut dapat ringan, sedang atau berat dan sesak napas penderita timbul mendadak, dirasakan makin lama makin meningkat atau tiba-tiba menjadi lebih berat (Suprohaita, 2000). Wheezing terutama terdengar saat ekspirasi. Berat ringannya wheezing tergantung cepat atau lambatnya aliran udara yang keluar masuk paru. Bila dijumpai obstruksi ringan atau kelelahan otot pernapasan, wheezing akan terdengar lebih lemah atau tidak terdengar sama sekali. Batuk hamper selalu ada, bahkan seringkali diikuti dengan dahak putih berbuih. Selain itu, makin kental dahak, maka keluhan sesak akan semakin berat, apalagi penderita mengalami dehidrasi (Warner et al,1996). Dalam keadaan sesak napas hebat, penderita lebih menyukai posisi duduk membungkuk dengan kedua telapak tangan memegang kedua lutut. Tanda lain yang menyertai sesak napas adalah pernapasan cuping hidung yang sesuai dengan irama pernapasan. Frekuensi pernapasan terlihat meningkat (takipneu), otot Bantu pernapasan ikut aktif, dan penderita tampak gelisah. Pada fase permulaan, sesak napas akan diikuti dengan penurunan PaO2 dan PaCO2, tetapi pH normal atau sedikit naik. Hipoventilasi
10

yang terjadi kemudian akan memperberat sesak napas, karena menyebabkan penurunan PaO2 dan pH serta meningkatkan PaCO2 darah. Selain itu, terjadi kenaikan tekanan darah dan denyut nadi sampai 110-130/menit, karena peningkatan konsentrasi katekolamin dalam darah. Bila tanda-tanda hipoksemia tetap ada (PaO2 <60> ) (G Liccardi et al, 2008). 6. Pemeriksaan Laboratorium (Suprohaita, 2000) a) Pemeriksaan sputum Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya: Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinopil. Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus. Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus. Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug. b) Pemeriksaan darah Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis. Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH. Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi. Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan. 7. Pemeriksaan Penunjang (Warner et al,1996) a) Pemeriksaan radiologi Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut: Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.

11

Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah. Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal. Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.

b) Pemeriksaan tes kulit atau skin test Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma. c) Elektrokardiografi Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu : Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clockwise rotation. Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right bundle branch block). Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative. d) Scanning paru Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru. e) Spirometri Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1
12

atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Banyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi. 8. Penatalaksanaan (Suprohaita, 2000) Prinsip umum pengobatan asma bronchial adalah Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segara. Mengenal dan menghindari fakto-faktor yang dapat mencetuskan serangan asma Memberikan penerangan kepada penderita ataupun keluarganya mengenai penyakit asma, baik pengobatannya maupun tentang perjalanan penyakitnya sehingga penderita mengerti tujuan penngobatan yang diberikan dan bekerjasama dengan dokter atau perawat yang merawatnnya. Pengobatan pada asma bronkhial terbagi 2, yaitu: a) Pengobatan non farmakologik Dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan, menghindari faktor pencetus, pemberian cairan, fisiotherapi, dan pemberian O2 bila perlu. b) Pengobatan farmakologik : Bronkodilator Merupakan obat yang melebarkan saluran nafas. Terbagi dalam 2 golongan : Simpatomimetik atau andrenergik (Adrenalin dan efedrin). Nama obat: Orsiprenalin (Alupent), Fenoterol (berotec), Terbutalin (bricasma): - Obat-obat golongan simpatomimetik tersedia dalam bentuk tablet, sirup, suntikan dan semprotan. Yang berupa semprotan: MDI (Metered dose inhaler). Ada juga yang berbentuk bubuk halus yang dihirup (Ventolin Diskhaler dan Bricasma Turbuhaler) atau cairan broncodilator (Alupent,
13

Berotec, brivasma serts Ventolin) yang oleh alat khusus diubah menjadi aerosol (partikel-partikel yang sangat halus ) untuk selanjutnya dihirup. Santin (teofilin) . Nama obat : Aminofilin (Amicam supp), Aminofilin (Euphilin Retard) , Teofilin (Amilex). Efek dari teofilin sama dengan obat golongan simpatomimetik, tetapi cara kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya saling memperkuat. Cara pemakaian : Bentuk suntikan teofillin / aminofilin dipakai pada serangan asma akut, dan disuntikan perlahan-lahan langsung ke pembuluh darah. Karena sering merangsang lambung bentuk tablet atau sirupnya sebaiknya diminum sesudah makan. Itulah sebabnya penderita yang mempunyai sakit lambung sebaiknya berhati-hati bila minum obat ini. Teofilin ada juga dalam bentuk supositoria yang cara pemakaiannya dimasukkan ke dalam anus. Supositoria ini digunakan jika penderita karena sesuatu hal tidak dapat minum teofilin (misalnya muntah atau lambungnya kering). Kromalin. Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan obat pencegah serangan asma. Manfaatnya adalah untuk penderita asma alergi terutama anakanak. Kromalin biasanya diberikan bersama-sama obat anti asma yang lain, dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian satu bulan. Ketolifen Mempunyai efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin. Biasanya diberikan dengan dosis dua kali 1mg / hari. Keuntungnan obat ini adalah dapat diberikan secara oral.

D. ANASTESI PADA ASMA BRONKHIALE Asma didefinisikan sebagai obstruksi saluran nafas bawah yang rekuren, episodik dan reversible. Diantara episode-episode itu, fungsi paru pasien normal (atau agak normal). Diketahui pencetus dari reaksi saluran nafas pada pasien adalah allergen, proses infeksi atau stimulus fisik. Gejala pada pasien sangat bervariasi tetapi umumnya terjadi batuk, wheezing, nafas yang pendek dan exercional dyspnea (Latief, 2009).
1.

Evaluasi klinis dimulai dengan menilai fungsi jalan nafas diantara episode-episode asma. Menentukan ada tidaknya gejala-gejala dan menentukan regimen pengobatan
14

dibutuhkan untuk mencapai hasil ini. Jika pasien tidak bebas dari gejala-gejala, pikirkan kemungkinan bahwa pengobatan pada pasien asma tidak adekuat atau adanya keterlibatan proses lain (misalnya emfisema atau bronchitis kronik). Spirometer pre dan post penggunaan bronkodilator dapat dilakukan jika tersedia (Muhiman,1989).
2.

Putuskan, berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik apakah pasien berada dalam keadaan dibawah standar. Jika pasien berada dalam keadaan standar, putuskan apakah keadaannya baik atau dapat berubah dengan farmakoterapi yang agresif

(Muhiman,1989).
3.

Putuskan apakah pembedahan merupakan pilihan utama atau dapat ditunda dan dilakukan evaluasi serta terapi (Muhiman,1989).

4.

Pertama digunakan beta-adrenergic agonis dan kortikosteroid sistemik. Jika pasien tidak dapat menerimanya maka digunakan Albuterol inhaler dan Prednison oral selama 3-5 hari dengan dosis berangsur-angsur dikurangi. Penggunaan Theophyllin masih kontroversi dan sekarang tidak lagi digunakan untuk asma akut. Ipratropium bromida merupakan bahan inhalasi pilihan kedua yang kadang-kadang ditambahkan pada pengobatan dengan Albuterol. Reseptor antagonis leukotrien (misalnya Zafirlukast) adalah obat baru yang digunakan untuk terapi preventif pada penanganan asma. Jika terdapat infeksi paru atau bronkus maka digunakan antibiotika (Muhiman,1989).

5.

Jika prosedur mendesak dan gawat, albuterol secara nebulation dengan atau tanpa ipratropium merupakan pilihan terbaik untuk memperbaiki mekanisme pernapasan dan pertukaran udara. Pengobatan dimulai dengan penggunaan steroid intra vena sedini mungkin (G Liccardi et al, 2008).

6.

Bahan induksi yang paling disenangi untuk anstesi umum adalah propofol, ketamin intramuskular atau intravenosa, atau inhalasi halotan atau sevofluran. Bahan analgetik yang menyebabkan pelepasan histamin, induksi dan pelumpuh otot hasilnya tidak jelek dan lebih aman. Bahan anestetik volatile mengurangi bronkospasme dan biasanya merupakan bahan utama untuk maintenance pada anestesi umum serta pengobatan bronkospasme intraoperatif. Nitrogen oksida dihindari pemakaiannya (atau digunakan dengan konsentrasi lebih kurang 50%) jika diperkirakan terdapat obstruksi di daerah paru-paru. Jika diperlukan relaksan otot, pertimbangkan penggunaan anticholinesterase.. Obat antagonis muskarinik dapat menyebabkan bronkospasme (G Liccardi et al, 2008).
15

7.

Intubasi endotrakheal merupakan masalah pada asma. Kedalaman anestesi yang inadekuat dapat memperburuk bronkospasme, terutama jika terdapat rangsangan pada trakhea, carina atau bronkus oleh tube endotrakheal atau karena dingin, inhalasi gas kering. Efeknya dihambat oleh lidokain IV (1,5 mg/kg) pada saat anestesi yang dalam. Bahan lain adalah penggunaan lidokain spray topikal sebelum intubasi dan penggunaan atropin untuk memblok nervus vagus. Jangan lakukan hiperventilasi pada pasien; hal tersebut tidak diperlukan karena dapat menyebabkan barotrauma. Hipokarbia dapat menyebabkan bronkokonstriksi. Ekstubasi merupakan pilihan tetapi hal ini biasanya tidak dibutuhkan (Ian,2006).

8.

Untuk menghindari penggunaan alat pada trachea, penggunaan anestesi umum dengan mask atau dengan laryngeal mask airway (LMA), anestesi lokal dan anesetsi regional perlu dipertimbangkan. Pemberian sedativ aman pada pasien asma, cocok digunakan secara IV dan neuraxial narcotik untuk mengobati nyeri (Muhiman,1989). Asma bronkhiale adalah penyakit saluran nafas dengan karakteristik reversible

bronchospasme dengan gejala dyspnea, wheezing ekspiratory dan batuk. Penyebabnya terjadi akibat hipersensitif terhadap broncho iritan sehingga terjadi bronchial muscle constriction, edema mukosa, sekresi produk mukosa yang meningkat dan akhirnya menyebabkan airway resistance meningkat (Warner et al,1996). 1. Asma bronchiale ada tiga tipe: a. History of asthma pada jeni asma ini tidak memerlukan terapi khusus hanya menghindari airway desiccation b. Quiescens tanpa gejala namun konsumsi obat terus-menerus c. Active dengan gejala yang sering disebut asthma attack 2. Pemeriksaan penunjang yang penting pada pasien asma adalah: a. EKG b. Rongen thorax c. Tes faal paru : FVC dan FEV1 d. Laboratorium : Darah rutin dan dapat juga dilakukan kultur sputum 3. Persiapan Preoperasi a. Pada asthma attack diberikan aminophyline dengan dosis:

16

Bolus 5mg/kg i.v pelan-pelan Drips 0,6-1 mg/kg/jam dalam 5% dextrose

b. Disertai infeksi dapat diberikan antibiotic c. Koreksi elektrolid d. Rehidrasi Bila memungkinkan pilih regional anastesi dengan blok rendah dengan Continous Epidural dengan Lidocaine 1% hanya sebagai analgesic sehingga otot pernafasan tidak terganggu. Dan hindari (Ian,2006). a. b. c. d. Intubasi ET karena dapat menyebabkan iritasi saluran pernapasan Penthotal karena dapat menyebabkan bronchospasme Succinilcholin karena menyebabkan release histamine Prostigtimin karena dapat menyebabkan sekresi bronchus meningkat, bronchospasme, laringospasme, Heart rate menurun, inotropik negative, vasokonstriksi pembuluh darah paru, serta dilatasi perifer.

Beberapa Teknik anastesi yang dapat dilakukan pada pasien dengan Asma Bronkiale (Warner et al,1996) a. b. Regional Anestesi, jika memungkinkan dengan Lidokain 1% General Anastesi : c. GETA: Spontan Respirasi : Induksi : Ketamin dilanjutkan enfluran dan O2 Intubasi Bila : Napas spontan, teratur, pernapasan tipe Ketamin Intermiten FaceMask dengan induksi Ketamin dan maintenance N2O, O2, dan enfluran

thorakoabdominal, mandibula relaksasi, bola mata terfiksir Maintenance : N2O, O2, dan enfluran Kontrol Respirasi : Induksi : Vecuronium dan Ketamin Maintenance : N2O, O2, dan enfluran
17

BAB III STATUS PASIEN I. PERSIAPAN PRA ANESTESI 1. Identitas Pasien e. Nama pasien f. Jenis Kelamin g. Usia h. Alamat i. Agama j. Pekerjaan k. Masuk RS l. No. RM 2. Anamnesis Anamnesis dilakukan terhadap pasien (autoanamnesis) dan ayah pasian (alloanamnesis) di Bangsal Kantil RSUD Karanganyar pada tanggal 2 Juli 2012 a. Keluhan Utama : benjolan pada pergelangan tangan kanan b. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke poli Bedah RSUD Karanganyar tanggal 28 Juni 2012 dengan keluhan benjolan pada pergelangan tangan kanan. Sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya hanya sebesar biji kedelai lama-kelamaan menjadi membesar sebesar kacang tanah. Nyeri saat digerakkan (+), nyeri tekan (+). Dan menyebabkan linu pada bagian tangan kanan sampai bahu kanan saat kelelahan. : Sdr. M.A : Laki-laki : 17 tahun : Karanganyar : Islam : Pelajar : 30 Juni 2012 : 22.18. XX

c. Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat asma Riwayat hipertensi Riwayat alergi Riwayat batuk lama : diakui kambuh-kambuhan. Dalam 1 bulan belum

tentu kumat. Asma terakhir 3 hari yang lalu sembuh sendiri tanpa terapi. : : : disangkal disangkal disangkal

18

d. Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat asma Riwayat hipertensi Riwayat alergi Riwayat DM : : : : disangkal disangkal disangkal disangkal

e. Anamnesis sistemik Neuro Kardio Pulmo Abdomen Urologi Muskuloskeletal : Gemetaran (-), sulit tidur (-) : Nyeri dada (-), dada berdebar- debar (-) : Sesak napas (-), batuk (-) : Diare (-), kembung (-), sulit kentut (-) : Keluhan buang air kecil (+) : Nyeri otot lengan atas dan bawah kanan (-)

3. Pemeriksaan Fisik a. Status Generalis KU : CM, gizi cukup TB/BB : 169 cm/ 45 kg VS : - T : 110/70 mmHg - R : 18 x/menit - N : 72 x/menit - S : 36,1 C Kepala Leher Mata Hidung Mulut Thorak : Inspeksi : Simetris, tidak ada ketinggalan gerak, tidak ada retraksi, : mesocephal, simetris : Simetris, pembesaran KGB (-), massa abnormal (-) : Simetris, conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-) : bentuk dbn, sekret (-), nafas cuping hidung (-) : bibir sianosis (-), gigi goyah (-), gigi palsu (-)

pernapasan spontan.
19

Palpasi Perkusi Auskultasi Cor : Inspeksi Palpasi Perkusi

: Tidak ada ketinggalan gerak, fremitus (+/+) dbn : Sonor : SD Vesikuler (+/+), ST : wheezing (-/-), ronki (-/-)

Ictus cordis tidak terlihat, tidak terlihat massa

: Jantung teraba, ictus cordis teraba di SIC V LMC Sinistra : Batas atas Jantung : SIC III LPS sinistra

Batas Bawah Jantung : SIC V MC Sinistra Auskultasi Abdomen : Inspeksi Auskultasi Perkusi Palpasi Ekstremitas : distended (-), darm countur (-), darm staifung (-) : peristaltik (+) dbn : timpani : tidak teraba massa, nyeri tekan (-), : Akral hangat, edema (-), tidak ada bekas luka operasi

: Bunyi jantung I-II irama reguler, bising jantung (-)

4. Pemeriksaan Penunjang - Pemeriksaan laboratorium darah : Hemoglobin Eritrosit Hematokrit MCV MCH MCHC Leukosit Trombosit Limfosit Monosit Ureum Creatinine : 13,8 gr/dL : 4,49 x 106 uL : 41,3 % : 85,3 fL : 29 pg : 33,9 % : 9,2 x 103 uL : 195 x 103 uL : 25,4 % : 2,6 % : 18,6 mg/dl : 0,93 mg/dl
20

GDS CT BT

: 125 mg/dl : 0400 : 0200

- Rontgen Thorak Dalam Batas Normal

5. Diagnosis Klinis Ganglion Palmar Dextra dengan Riwayat Asma Bronkiale Status operative : ASA II

6. Terapi a. Medikamentosa : Cefotaxim Ranitidin

b. Rencana : Marsupialisasi

II. TINDAKAN ANESTESI Persiapan pada hari operasi, pasien telah dipuasakan selama 6 jam untuk mencegah aspirasi. 1. Keadaan pre-operasi Keadaan umum, vital sign baik dan kooperatif. Sebelumnya pasien dan keluarga telah mendapat penjelasan tentang rencana tindakan yang akan dilakukan dan telah menandatangani inform consent. Keadaan pasien stabil, kooperatif, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 72x/menit, respirasi 18 x/menit, suhu 36,1C. 2. Jenis anestesi General Anestesi dengan teknik Facemask 3. Premedikasi Sebelumnya induksi, pasien diberikan analgetik dengan ketoprofen i.m. sebanyak 2 ampul dan ondancetron.

21

4. Induksi anestesi Pasien diberikan recofel (i.v) dengan dosis 2-2,5 mg/kgBB, dengan sebelumnya diberikan injeksi Sedacum (Midazolam) dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB kemudian saat masuk stadium anestesi diberikan O2 murni selama 1 menit. Setelah pasien relaksasi dan refleks bulu mata hilang pasang Facemask dengan dengan posisi benar. (Jaw thrust, chin lift, tekan masker dengan ibu jari dan telunjuk). Naikkan O2 sampai 8 liter, kemudian setelah nafas spontan kurangi O2 sampai 3 liter dan naikkan N2O menjadi 3 liter serta buka halotan 2 Vol %. 5. Maintenance Status anastesi dipertahankan dengan Halotan 1,5 Vol % dan N2O 4 liter/menit serta O2 3 liter/ menit tetap dipertahankan sampai akhir operasi. Selama tindakan anastesi berlangsung Tekanan Darah, Nadi serta Saturasi O2 selatu diperhatikan setiap 5 menit.

6. Keadaan post operasi Operasi selesai dalam waktu 30 menit. Sebelum pasien dipendahkan kedalam ruang rumatan, N2O dan Halotan diturunkan sampai 0 liter, O2 tetap diberikan. Kepala Pasien tetap dalam keadaan Ekstensi Agar jalan nafas tetap terbuka.

7. Ruang rumatan Setelah operasi dan tindakan anestesi selesai, pasien tetap dilakukan observasi pada tekanan darah, nadi dan pernapasan. Lakukan observasi sesuai skor Aldrete. Bila pasien tenang dan Aldrete score 8 dan tanpa nilai 0, pasien dapat dipindahkan ke bangsal. Pada kasus ini Aldrete score-nya yaitu kesadaran 2 (sadar penuh), aktivitas motorik 1 (dua ekstremitas dapat digerakkan), pernapasan 2 (pernapasan tanpa hambatan), sirkulasi 2 (tekanan darah dalam kisaran < 20% sebelum operasi), dan warna kulit 2 (merah muda). Jadi Aldrete score pada pasien ini adalah 9 sehingga layak untuk pindah ke bangsal.

22

BAB IV PEMBAHASAN Pada kasus seorang laki-laki usia 17 tahun dengan Ganglion palmar dextra, dilakukan Marsupialisasi dengan jenis anestesi yaitu anestesi General dengan menggunakan Facemask. Persiapan Preoperasi a. Pada asthma attack diberikan aminophyline dengan dosis: Bolus 5mg/kg i.v pelan-pelan Drips 0,6-1 mg/kg/jam dalam 5% dextrose

b. Disertai infeksi dapat diberikan antibiotic c. Koreksi elektrolid d. Rehidrasi Bila memungkinkan pilih regional anastesi dengan blok rendah dengan Continous Epidural dengan Lidocaine 1% hanya sebagai analgesic sehingga otot pernafasan tidak terganggu. Dan hindari : a. Intubasi ET karena dapat menyebabkan iritasi saluran pernapasan b. Penthotal karena dapat menyebabkan bronchospasme c. Succinilcholin karena menyebabkan release histamine d. Prostigtimin karena dapat menyebabkan sekresi bronchus meningkat,

bronchospasme, laringospasme, Heart rate menurun, inotropik negative, vasokonstriksi pembuluh darah paru, serta dilatasi perifer.

Beberapa Teknik anastesi yang dapat dilakukan pada pasien dengan Asma Bronkiale: a. b. Regional Anestesi, jika memungkinkan dengan Lidokain 1% General Anastesi : Ketamin Intermiten FaceMask dengan induksi Ketamin dan maintenance N2O, O2, dan enfluran

23

c.

GETA: Spontan Respirasi : Induksi : Ketamin dilanjutkan enfluran dan O2 Intubasi Bila : Napas spontan, teratur, pernapasan tipe

thorakoabdominal, mandibula relaksasi, bola mata terfiksir Maintenance : N2O, O2, dan enfluran Kontrol Respirasi : Induksi : Vecuronium dan Ketamin Maintenance : N2O, O2, dan enfluran

24

BAB V KESIMPULAN 1. Pada Pasien dengan riwayat Asma harus diperhatikan adalah: a. Pemeriksaan penunjang EKG Rongen thorax Tes faal paru : FVC dan FEV1 Laboratorium : Darah rutin dan dapat juga dilakukan kultur sputum b. Persiapan Preoperasi Pada asthma attack diberikan aminophyline dengan dosis: Bolus 5mg/kg i.v pelan-pelan Drips 0,6-1 mg/kg/jam dalam 5% dextrose Disertai infeksi dapat diberikan antibiotic Koreksi elektrolid Rehidrasi 2. hindari : Intubasi ET Penthotal Succinilcholin Prostigtimin 3. Bila memungkinkan pilih regional anastesi dengan blok rendah dengan Continous Epidural dengan Lidocaine 1% hanya sebagai analgesic sehingga otot pernafasan tidak terganggu.

25

DAFTAR PUSTAKA Dardjat M T, editor. Anestesi pada Penderita Usia Tua. Dalam: Kumpulan Kuliah Anestesiologi. Jakarta: Aksara Medisina;1986. hal 209-14. G Liccardi, etc. 2008. Strategies for the Prevention of Asthmatic,Anaphylactic and Anaphylactoid ReactionsDuring the Administration of Anestheticsand/or Contrast Media.Dikutip dari www.sld.cu diakses tanggal 2 juli 2012 Harun. Kista Ganglion : tinjauan Pustaka Dlama : Cermin Dunia Kedokteran No.149, November 2010. www.kalbe.co.id doakses tanggal 2 Juli 2012 Ian Wilson. 20006. Asthma and Anasthesia. Dikutip dari www.frca.co.uk diakses tanggal 2 juli 2012 Jonathan. S etc 2008. Sinovial Cyst. www.emedicine.com diakses tanggal 2 juli 2012 Kristanto,S. Analgesia regional. Dalam: Basuki Gunawarman, Muhardi Muhiman, Latief Said, editor. Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1989. hal 123. Latief, SA; Suryadi KA; Dachlan MR. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta; FKUI. Mansjoer, A. Anastesi Spinal. Dalam : Arif Mansjoer, Suprohaita, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan. Kapita Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2000. hal 261. Muhardi. Pilihan Cara Anestesia. Dalam: Basuki Gunawarman, Muhadi Muhiman, Latief Said, editor. Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1989. hal 63. Muhiman M, dkk. 1989. Anestesiologi. Jakarta; FKUI. Suprohaita. Asma Bronkiale. Dalam : Arif Mansjoer, Suprohaita, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan. Kapita Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2000. hal.329
26

Warner DO, Warner MA, Barnes RD, Offord KP, Schroeder DR, Gray DT, Yunginger JW. Anesthesiology 1996; 85:254-9. Perioperative respiratory complications in patients with asthma. Dikutip dari : www.anesthesiawed.com diakses tanggal 2 juli 2012

27

You might also like