You are on page 1of 13

Kajian Ilmu Kalam (Qadariah dan Jabariah) ALIRAN KALAM QODARIAH DAN JABARIAH (Studi Analisis Upaya Titik

Temu dengan Pendekatan Komprehensif) By : Asrowi, MA. A. Pendahuluan Dalam sejarah pemikiran Islam, terdapat lebih dari satu aliran teologi yang berk embang. Aliran-aliran tersebut ada yang bersifat liberal, tradisional dan antara aliran liberal dan tradisional. Kondisi demikian mem-bawa hikmah bagi umat Isla m. Oleh karena itu, bagi merekayang berpikiran liberal dapat menyesuaikan diriny a dengan aliran yang liberal tersebut, sementara bagi mereka yang berpikiran tra disional atau antara liberal dan tradisional, mereka akan menyesuaikan dirinya d engan aliran-aliran yang cocok dengan pikirannya.[1] Salah satu pokok persoalan yang menjadi bahan perbincangan para teolog adalah te ntang ketergantungan manusia terhadap Tuhan dalam hal menentukan perjalanan hidu pnya. Adakah manusia dalam segala aktifitas-nya terikat pada kehendak dan kekuas aan mutlak Tuhan, atau Tuhan telah berkenan memberi kemerdekaan kepada manusia d alam mewujudkan per-buatan-perbuatannya serta mengatur perjalanan hidupnya? Oleh karena kebanyakan sikap bangsa Arab yang merasa lemah dan tak berkuasa meng hadapi kesukaran-kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh suasana padang pasir,[2] serta berpegang teguhnya terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang dianggap dapat menduk ung pendapatnya,[3] maka aliran Jabariyah yang diprakarsai oleh al-Ja'ad ibn Dir ham dan Jahm ibn Shafwan berpendapat, bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan un tuk berbuat sesuatu, dia tidak mempunyai kesanggupan dan hanya terpaksa dalam se mua perbuatannya.[4] Perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia-baik yang terpuj i maupun yang tercela-pada hakikatnya bukan pekerjaan manusia sendiri,melainkan hanyalah ciptaan Tuhan yang dilaksanakan-Nya melalui tangan manusia. Dengan demi kian maka manusia itu tiadalah mempunyai kodrat untuk berbuat. Sebab itu orang-o rang mukmin tidak akan menjadi kafir, lantaran dosa-dosa besar yang dilakukannya , sebab dia melakukannya karena semata-mata terpaksa.[5] Sementara masyarakat sedang memperbincangkan paham/aliran Jabariyah, muncul pula lah paham/aliran yang lain, yang justru bertentangan dengan aliran tersebut. Pah am/aliran baru tersebut adalah aliran Qadariyah. Salah satu pembicaraan penting dalam teologi Islam adalah ma-salah perbuatan man usia (af'al ai-'ibad). Dalam kajian ini dibicarakan ten-tang kehendak (masyi'ah) dan daya (istitha'ah) manusia. Hal ini karena setiap perbuatan berhajat kepada daya dan kehendak. Persoalannya, apa-kah manusia bebas menentukan perbuatan-perb uatannya sesuai dengan kehendak dan dayanya sendiri, ataukah semua perbuatan man usia sudah ditentukan oleh qadha dan qadhar Tuhan? Dalam sejarah pemikiran Islam , persoalan inilah yang kemudian melahirkan paham Jabariyah dan Qadariyah.[6] Menurut Ahmad Amin, persoalan ini timbul karena manusia-dari satu segi-melihat d irinya bebas berkehendak, melakukan apa saja yang ia suka, dan ia bertanggung ja wab atas perbuatannya itu. Namun, dari segi lain, manusia melihat pula bahwa Tuh an mengetahui segala sesuatu, llmuTuhan meliputi segala sesuatu yang terjadi dan yang akan terjadi. Tuhan juga mengetahui kebaikan dan keburukan yang akan terja di pada diri manusia. Hal demikian menimbulkan asumsi bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa, kecuali sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah. Maka mun cullah persoalan jabar dan ikhtiyar, yakni apakah manusia itu terpaksa atau beba s memilih? Persoalan apakah manusia terpaksa atau bebas memilih merupakan masalah klasik ya ng banyak menyita perhatian para pemikir.[7] Jauh sebelum datang Islam, para fil osof Yunani telah membicarakannya. Demikian pula pemikir-pemikirSuryaniyang memp elajarifilsafat Yunani. Bahkan pengikut-pengikut Zoroaster dan kaum Kristiani pe rnah pula membahas persoalan yang serupa. Di kalangan umat Islam, pembicaraan me ngenai masalah ini terjadi setelah selesai masa penaklukan.[8] Tulisan ini secara umum akan membicarakan paham Qodariyah dan Jabariyah. Di sini akan dijelaskan pengertian Qodariyah dan Jabariyah, sejarah timbulnya, Prinsip ajaran masing-masing dan tokoh-tokohnya. B. Aliran Qodariah 1. Pengertian Qodariyah Ditinjau dari segi llmu Bahasa, kata Qadariyah berasal dari akar kata[9] Sedang

menurut pengertian terminologi, al-Qadariyah adalah : Suatu kaum yang tidak meng akui adanya qadar bagi Tuhan. Mereka menyatakan, bahwa tiap-tiap hamba Tuhan ada lah pencipta bagi segala perbuatannya; dia dapat berbuat sesuatu atau meninggalk annya atas kehendaknya sendiri. Golongan yang melawan pendapat mereka ini adalah al-Jabariyah.[10] Kiranya timbul keraguan bagi ahli sejarah, mengapa aliran ini disebut dengan ali ran al-Qadariyah, padahal mereka meniadakan (menafikan) qa-dar Tuhan? Sebagian a hli sejarah mengatakan, penyebutan demikian tidaklah mengapa, sebab banyak juga terjadi menyebutkan sesuatu justru dengan sebutan kebalikannya. Sebagian ahli ya ng lain mengatakan, bahwa karena mereka meniadakan qadar Tuhan dan menetapkannya pada ma-nusia serta menjadikan segala perbuatan manusia tergantung pada kehen-d ak dan kekuasaan manusia sendiri, maka mereka disebut dengan kaum atau aliran al -Qadariyah.[11] Dalam istilah Inggrisnya paham ini dikenal dengan Free Will atau Free Act.[12] 2. Sejarah timbulnya Qodariyah Sebagaimana tidak jelasnya kapan paham Jabariyah itu mulai dibicarakan dalam teo logi Islam, paham Qadariyah pun mengalami hal seperti itu. Muhammad ibn Syu'aib yang memperoleh informasi dari al-Auza'i mengatakan, bahwa mula pertama orang ya ng memperkenalkan paham Qadariyah dalam kalangan orang Islam adalah "SUSAN". Dia penduduk Irak, beragama Nasrani yang masuk Islam kemudian berbalik Nasrani lagi . Dari orang inilah untuk pertama kalinya Ma'bad ibn Khalif al-Juhani al-Basri d an Ghailan al-Dimasyqi memperoleh paham tersebut.[13] Dari penjelasan di atas, kiranya dapat dikatakan, bawah lahirnya paham Qadariyah dalam Islam dipengaruhi oleh paham bebas yang berkembang dikalangan pemeluk aga ma Masehi (Nestoria). Dalam hal ini Max Hortan berpendapat, bahwa teologi Masehi di dunia Timur pertama-tama menetapkan kebebasan manusia dan pertanggungan jawa bnya yang penuh dalam segala tindakannya. Karena dalil-dalil mengenai pendapat i ni memuaskan golongan bebas Islam (Qadariyah), maka mereka merasa perlu mengambi lnya.[14] Menurut al-Zahabi dalam kitab Mizan al-l'tidal yang dikutip oleh Ahmad Amin, bah wa Ma'bad al-Juhani adalah seorang tabi'in yang dapat dipercaya (baik), tetapi d ia telah memberi contoh dengan hal yang tidak terpuji, yaitu mengatakan tentang tidak adanya qadar bagi Tuhan.[15] Dialah penyebar paham Qadariyah di Irak. Suat u kali dia memasuki lapangan politik untuk menentang kekuasaan Bani Umayah denga n cara memihak kepada Abdurrahman ibn Asy'as, Gubernur Sajistan. Hal ini mengaki batkan peris-tiwa yang tragis baginya, sebab ketika dia bertempur dengan al-Hajj aj dia terbunuh. Hal ini terjadi pada tahun sekitar 80 H.[16] Sebagian orang meng atakan kematiannya disebabkan oleh masalah politik, tetapi banyak juga orang yan g mengatakan bahwa kematiannya disebabkan oleh kezindikan-nya (paham Qadariyahny a).[17] Adapun Ghailan al-Dimasyqi (Abu Marwan Gailan ibn Muslim) adalah penyebar paham Qadariyah di Damaskus. Dia seorang orator, maka tidak heranlah jika banyak orang yang tertarik untuk mengikuti pahamnya.[18] Dalam menyebarkan pahamnya, dia men dapatkan tantangan dari Khalifah al-Adil Umar ibn Abd al-Aziz, Setelah khalifah mangkat dia meneruskan penyebaran pahamnya hingga pada akhirnya dia dihukum bunu h oleh Khalifah Hisyam ibn Abd al-Malik ibn Marwan.[19] Sebelum dilaksanakan huk um bunuh, sempat diadakan perdebatan antara Ghailan dengan al-Auza'i yang dihadi ri dan disaksikan oleh Khalifah Hisyam.[20] Motif timbulnya paham Qadariyah ini, menurut hemat penulis disebab-kan oleh 2 fa ktor. Pertama, faktor extern yaitu agama Nasrani, dimana jauh sebelumnya mereka telah memperbincangkan tentang qadar Tuhan dalam kalangan mereka. Kedua, faktor intern, yaitu merupakan reaksi terhadap paham Jabariyah dan merupakan upaya prot es terhadap tindakan-tindakan penguasa Bani Umayah yang bertindak atas nama Tuha n dan berdalih kepada takdir Tuhan. Paham Qadariyah yang disebarluaskan oleh dua sekawan ini banyak mendapat tantang an. Selain penganut paham Jabariyah, penguasa yang berwenang ketika itu, juga ol eh generasi terakhir dari para sahabat, seperti Abdullah ibn Umar, Jabir ibn Abd ullah, Abu Hurairah, ibn Abbas, Anas ibn Malik dkk. Bahkan mereka menghimbau kep ada generasi penerusnya, agar tidak mengikuti paham Qadariyah, tidak usah menyem bahyangkan jenazah-jenazahnya dan tidak perlu membesuknya jika mereka sakit.[21]

Hal demikian dapat dimaklumi, sebab menurut pendapat mereka, berdasarkan hadis/ atsar yang diterimanya, bahwa kaum Qadariyah merupakan majusi umat Islam, dalam art! golongan yang tersesat. Apakah dengan kematian tokoh-tokohnya dan besarnya gelombang tantangan terhadapn ya, kemudian paham Qadariyah ini mati atau terhenti? Memang benar secara organis asi/aliran mereka tidak berwujud lagi, tetapi existensi ajarannya masih tetap be rkembang, yaitu dianut oleh kaum Mu'tazilah.[22] 3. Tokoh-tokoh Qodariyah dan Ajarannya Ghailan al-Dimasyqi berpendapat, bahwa manusia sendirilah yang berkuasa atas per buatan-perbuatannya. Manusia melakukan perbuatan-perbuatan balk atas kehendak da n kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pulalah yang melakukan atau menjauhi per buatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.[23] AI-Nazam salah seorang pemuka Qadariyah mengatakan, bahwa manusia hidup itu memp unyai istitha'ah. Selagi manusia hidup, dia mem-punyai istitha'ah (day a), maka dia berkuasa atas segala perbuatannya.[24] Manusia dalam hal ini mempunyai kewen angan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, Sebab itu, d ia berhak mendapat-kan pahala atas kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dan sebal iknya dia juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan-kejahatan yang diperbuat nya. Di sini nyatalah bahwa nasib manusia tidak ditentukan oleh Tuhan terlebih d ahulu dan ditetapkan sejak zaman azali seperti pendapat yang dipegangi oleh paha m Jabariyah.[25] Pembahasan ajaran ini, kiranya lebih luas dikupas oleh kalangan Mu'tazilah; seba b sebagaimana diketahui paham Qadariyah ini juga dijadikan salah satu ajaran Mu' tazilah. Sehingga ada yang menyebut al-Mu'-tazilah itu dengan sebutan al-Qadariy ah. AI-Jubba'i mengatakan, bahwa manusialah yang menetapkan perbuatan-perbuatannya, m anusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia, sebelum adanya perbuatan.[26] Pendapat yang sama juga diberikan ol eh Abd al-Jab-bar, Untuk memperkuat pendapatnya, Abd al-Jabbar mengemukakan beberapa argumen, baik bersifat rasional maupun nas, Salah satu argumen yang dikemukakan adalah, bahwa perbuatan manusia akan terjadi sesuai dengan kehendaknya. Jika seseorang ingin b erbuat sesuatu, perbuatan tersebut terjadi, sebaliknya jika dia tidak ingin berb uat sesuatu, maka tidak -lah terjadi perbuatan itu. Jika sekiranya perbuatan ter sebut perbuatan Tuhan, maka perbuatan tersebut tidak akan terjadi, sungguhpun di a meng-inginkannya, dan sebaliknya perbuatan tersebut tetap akan terjadi.sungguh -pun dia sangat tidak menginginkannya.[27] Di antara ayat yang digunakan untuk memperkuat pendapatnya ada-lah ayat 17 surat al-Sajadah yang berbunyi sebagai berikut: Abd. al-Jabbar menyatakan, sekiranya perbuatan manusia perbuatan Tuhan, maka aya t ini tidak ada artinya, sebab ini berarti bahwa Tuhan memberi pahala atas dasar perbuatan seseorang yang pada hakikatnya perbuatan Tuhan sendiri. Oleh karena i tu, agar ayat ini tidak membawa kepada kebohongan, maka perbuatan tersebut harus dipastikan sebagai perbuatan manusia dalam arti yang sebenarnya, bukan dalam ar ti majazi. Selain ayat tersebut, masih banyak ayat yang digunakan oleh kaum Qadariyah (Mu't azilah) untuk memperkuat argumennya. Sebagian ayat-ayat al-Qur'an tersebut adala h sebagai berikut: Artinya: Tiap-tiap jiwa terikat dengan apa yang telah diperbuatnya.(Q.S.AL-Mudas sir:38) Artinya: Sesungguhnya ini adalah peringatan, maka siapa yang ingin, tentu ia men gambil jalan kepada Tuhannya.(Q.S AL-MUZAMMIL:19) Artinya: Dan barangsiapa melakukan suatu dosa, maka sesungguhnya ia melakukannya untuk merugikan dirinya sendiri.(Q.S an-Nisa:111) Ajaran al-Qadariyah dan berbagai argumen yang telah dipaparkan yang baru lalu me mberi kesan, bahwa manusia dalam mewujudkan segala perbuatannya bebas sebebas-be basnya. Apakah benar demikian? kiranya tidak. Sebab pada kenyataannya kebebasan dan kekuasaan manusia itu dibatasi oleh hal-hal yang tak dapat dikuasai oleh man usia sendiri.

Sesungguhnya dalam paham Qadariyah atau Mu'tazilah, manusia bebas dalam berkehen dak dan berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, kebebasan manusia tidaklah mutlak. Kebebasan dan kekuasaan manusia sendiri, umpama saja manusia datang ke dunia in i bukanlah atas kemauan dan kekuasaannya. Seorang dengan tak disadari dan diketa huinya telah mendapatkan dirinya berada di bumi ini. Demikian pula menjauhi maut , tiap orang pada dasarnya ingin terus hidup dan tidak ingin mati. Tetapi bagaim anapun, sekarang atau besok maut datang juga. Kebebasan dan kekuasaan manusia, sebenarnya dibatasi oleh hukum alam. Pertama-ta ma manusia tersusun dari materi. Materi adalah terbatas, dan mau tak mau manusia sesuai dengan unsur materinya, bersifat terbatas. Manusia hidup dengan diliputi oleh hukum-hukum alam yang diciptakan Tuhan. Hukum alam ini tak dapat dirubah o leh manusia. Manusia harus tunduk kepada hukum alam itu. Api, nalurinya adalah m embakar. Manusia tak dapat merubah naluri ini. Yang dapat dibuat manusia adalah membuat atau menyusun sesuatu yang tak dapat dimakan api Kebebasan dan kekuasaan manusia, sebenarnya terbatas dan terikat pada hukum alam . Kebebasan manusia sebenarnya, hanyalah me-milih hukum alam mana yang akan dite mpuh dan diturutinya. Hal ini perlu ditegaskan, karena paham Qadariyah bisa disa lah artikan meng-andung paham, bahwa manusia bebas sebebas-bebasnya dan dapat me lawan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Hukum alam pada haki-katnya merupakan kehend ak dan kekuasaan Tuhan, yang tak dapat dilawan dan ditentang manusia.[28] C. Aliran Jabariah 1. Pengertian Jabariyah Jabariyah berasal dari kata yabara, berarti memaksa atau terpaksa. Menurut al-Sy ahrastani, al-jabr berarti meniadakan perbuatan manusia da-lam arti yang sesungg uhnya (nafy al-fi'l 'an al'abd haqiqah) dan menyan-darkan perbuatan itu kepada T uhan.[29] Menurut paham ini, manusia tidak kuasa atas sesuatu. Karena itu, manus ia tidak dapat diberi sifat "mampu" (istitha'ah). Manusia sebagai dikatakan Jahm ibn Shafwan, terpaksa atas perbuatan-perbuatannya, tanpa ada kuasa (qudrah), ke hendak, (iradah), dan pilihan bebas (al-ikhtiyar). Tuhanlah yang menciptakan per buatan manusia, sebagaimana perbuatan Tuhan atas benda-benda mati. Oleh karena it u, perbuatan yang disandarkan kepada manusia harus dipahami secara majazy, seper ti halnya perbuatan yang disandarkan pada benda-benda. Misalnya ungkapan, "Pohon berbuah, air mengalir, dan batu bergerak.[30] Jadi nama Jabariah diambil dari kata jabara yang mengandung arti terpaksa. Meman g dalam aliran ini, sebagai dijelaskan Harun Nasution, terdapat paham bahwa manu sia mengerjakan perbuatan nya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah Inggris, pah am ini disebut fatalisme atau predistina-tion. Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan sejak semula oleh qada dan qadarTuhan.[31] Al-Syahrastani membagi Jabariyah ke dalam dua kelompok yaitu Jabariyah ekstrim ( al-khalisah) dan Jabariyah moderat (al-Mutawassitah). Jabariyah ekstrim tidak me netapkan perbuatan kepada manusia sama sekali, tidak pula kekuasaan atau daya un tuk menimbulkan perbuatan. Sementara Jabariyah moderat mengakui andil manusia at as perbuatannya.[32] Orang-orang yang tidak mengakui kebebasan manusia inilah yang kemudian dikenal d engan sebutan "Kaum Jabariyah". Para penulis Mu'-tazilah memasukkan aliran Ahlal -Sunah dan Asy'ariyah ke dalam kelompok Jabariyah. Akan tetapi, para penulis dar i pihak Asy'ariyah, termasuk al-Syahrastani, menolak pengelompokan itu.[33] Bagi al-Syahrastani, orang yang menetapkan kasb pada manusia tidak dapat disebut Jab ariyah. Anehnya, al-Syahrastani sendiri memasukkan kelompok al-Najjariyah dan al -Dirariyah ke dalam aliran Jabariyah. Padahal, aI-Najjar maupun al-Dirar termasu k orang yang memajukan teori kasb itu. 2. Sejarah timbulnya Jabariyah Pola pikir Jabariyah kelihatannya sudah dikenal bangsa Arab sebelum Islam. Keada an mereka yang bersahaja dengan lingkungan alam yang gersang dan tandus, menyeba bkan mereka tidak dapat melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan kemauan mere ka. Akibatnya, mereka lebih bergantung pada kehendak alam. Keadaan ini membawa m ereka pada sikap pasrah dan fatalistik.[34] Pada masa Nabi, benih-benih paham Jabariyah itu sudah ada. Perdebatan di antara para sahabat di seputar masalah qadar Tuhan merupakan salah satu indikatornya. R asulullah saw. menyuruh umat Islam beriman kepada takdir, tetapi beliau melarang

mereka membicarakannya secara mendalam. Pada masa sahabat (Khulafa at-Rasyidin) kelihatannya sudah ada orang yang berpikir Jabariyah. Diceritakan bahwa Umar ib n al-Khatab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu be rkata, "Tuhan telah menentukan aku mencuri." Umar menghukum pencuri itu dan menc ambuknya berkali-kali. Ketika keputusan itu ditanyakan kepada Umar, ia menjawab: "Hukum potong tangan untuk kesalahannya mencuri, sedang cambuk (jilid) untuk ke salahannya menyandarkan perbuatan dosa kepada Tuhan.[35] Sebagian sahabat memandang iman kepada takdir dapat menia-dakan rasatakut dan wa spada. Ketika Umar menolak masuk suatu kotayang di dalamnyaterdapat wabah penyak it, mereka berkata, "Apakah Anda mau lari dari takdir Tuhan?" Umar menjawab: "Ak u lari dari takdir Tuhan ke takdir Tuhan yang lain." Perkataan Umar ini menunjuk kan bahwa takdir Tuhan melingkupi manusia dalam segala keadaan. Akan tetapi, man usia tidak boleh mengabaikan sebab-sebabterjadinyasesuatu, karena setiap sesuatu yang memiliki sebab berada di bawah kekuasaan manusia (maqdurah)[36] Pada masa pemerintahan Bani Umayah, pandangan tentang jabar semakin mencuat kepe rmukaan. Abdullah ibn Abbas dengan suratnya,memberi reaksi keras kepada penduduk Siria yang diduga berpaham Jabariyah. Hal yang sama dilakukan pula oleh Hasan B asri kepada penduduk Basrah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pada waktu itu suda h mulai banyak orang yang berpaham Jabariyah.[37] Dari bukti-bukti di atas dapat dikatakan bahwa cikal-bakal paham Jabariyah sudah muncul sejak awal periode Islam. Namun, Jabariyah sebagai suatu pola pikir (maz hab) yang dianut, dipelajari, dan dikembangkan terjadi pada akhir pemerintahan B ani Umayah.[38] Paham ini ditimbulkan buat pertama kalinya oleh Ja'ad ibn Dirham . Akan tetapi yang menyebarkannya adalah Jahm ibn Shafwan. Ja'ad sendiri menerim a paham ini dari orang Yahudi di Siria. Pendapat lain menyatakan bahwa Ja'ad men erimanya dari Aban ibn Syam'an, dan yang terakhir ini menerimanya dari Thalut ib n Ashamal-Yahudi.Dengan demikian, paham Jabariyah berasal dari pemikiran asing, Yahudi maupun Persia. Sungguh-pun demikian, di dalam al-Qu'ran sendiri terdapat ayat-ayat yang dapat dibawa pada paham Jabariyah. Misalnya, ayat-ayat berikut in i: Artinya: Mereka sebenarnya tidak percaya sekiranya Allah tidak menghendaki. (QS. al-An'am: 112). Artinya: Bukanlah engkau yang melontar ketika engkau melontar (musuh), tetapi Al lahlah yang melontar (mereka). (QS. al-Anfal: 17), Artinya: Kamu tidak menghendaki, kecuali Allah menghendaki. (Q.S. al-lnsan: 30). Ayat-ayat ini jelas dapat dibawa pada alam pikiran Jabariyah. Mungkin inilah seb abnya, mengapa hingga kini pola pikir Jabariyah itu masih tetap terdapat di kala ngan umat Islam sungguhpun para penganjurnya yang pemula telah lama tiada. 3. Tokoh-tokoh dan Ajaran Jabariyah Sebagai telah dijelaskan sebelumnya, di antara tokoh penting aliran Jabariyah ad alah Ja'ad ibn Dirham dan Jahm ibn Shafwan. Keduanya termasuk pemuka Jabariyah e kstrim. Tokoh lainnya adalah Husain dan Dirar. Kedua tokoh yang terakhir ini ter masuk pemuka Jabariyah moderat. Berikut ini akan dijelaskan tokoh-tokoh tersebut serta ajaran masing-masing secara lebih terinci. a. Ja'ad ibn Dirham Sebagai telah disebutkan, Ja'ad adalah orang pertama yang mengenalkan paham Jaba riyah di kalangan umat Islam, la seorang bekas budak (mawla) Bani Hakam. Ia ting gal di Damsyik sampai muncul pendapatnya tentang al-Qur'an sebagai makhluk. Kare na pendapatnya ini, ia dibenci oleh Bani Umayah. Sejak itu, ia pergi ke Kufah. D i tempat ini ia bertemu dengan Jahm ibn Shafwan yang kemudian mengambil pendapat -pendapat-nya dan menjadi pengikutnya yang setia.[39] Sewaktu di Damsyik, Ja'ad menjadi guru Marwan ibn Muhammad, salah seorang Khalif ah Bani Umayah, sehingga Marwan mendapat julukan "al-Ja'dy". Namun, pada akhir h ayatnya, Marwan tidak menyukai Ja'ad. la bahkan menyuruh Khalid al-Qasari untuk membunuhnya. Khalid menghukum bunuh Ja'ad pada Hari Raya led al-Adhha. Namun, ke matian Ja'ad bukan semata-mata karena pendapat-pendapatnya yang dianggap bid'ah itu, melainkan karena persoalan politik. la pernah memberontak kepada Hakam al-A mawi.[40] Pendapat yang dimajukan Ja'ad meliputi masalah kalam Tuhan, sifat-sifat Tuhan, d an masalah takdir. Menurut Ja'ad, al-Qur'an adalah makhluk, la merupakan orang p

ertama yang memajukan pendapat itu di Damsyik. la juga berpendapat bahwa Tuhan t idak memiliki sifat. Artinya, Tuhan tidak dapat diberikan sifat-sifat yang dapat disandarkan kepada makhluk, seperti sifat kalam atau lawannya (bisu). Sebab, ke dua sifat ini dapat disandang oleh manusia. Dalam hal takdir atau perbuatan manu sia, Ja'ad berpendapat bahwa segala perbuatan manusia sudah ditentukan oleh Tuha n. Manusia terpaksa atas perbuatan-perbuatannya.[41] Semua pendapat ini diambil oleh Jahm ibn Shafwan. Jahm lah yang mengembangkan lebih lanjut dan menyiarkanny a secara lebih luas. b. Jahm ibn Shafwan Sebagai Ja'ad, Jahm termasuk muslim non Arab (mawali). la berasal dari Khurasan. Mula-mula ia tinggal di Tirmidz, lalu di Balkh. Namanya terkadang dinisbatkan k e Samarkand, terkadang pula ke Tirmidz. la dikenal ahli pidato dan pandai berdia log. la pernah terlibat perbedaan dengan Muqatil. Muqatil termasuk orang yang me ngakui sifat-sifat Tuhan, sedang Jahm tidak. Keduanya terlibat perbedaan sengit. Hal ini dapat dilihat dari komentar Abu Hanifah berikut ini:[42] Jahm sangat berlebihan dalam meniadakan tasybih sehingga ia menyatakan Tuhan buk an apa-apa Sementara lawannya, Muqatil, berlebih-lebihan pula dalam menetapkan s ifat-sifat Tuhan sehingga ia menyerupakan Tuhan dengan makhluk. Jahm juga menjabat sebagai sekretaris Harits ibn Syuraih di Khurasan, ia turut se rta dalam gerakan melawan Bani Umayah. Bahkan Jahm menjadi "tangan kanan" Harits dalam melakukan propaganda baik dengan lisan maupun tulisan.[43] Dalam pemberon takan ini, Jahm tertangkap dan kemudian dihukum bunuh oleh Salam al-Mazani. Sebe lum dibunuh, Jahm meminta maaf kepada Salam, tetapi yang terakhir ini menolaknya seraya berkata, "Demi Tuhan sekiranya engkau ada dalam perutku, niscaya aku mem bedahnya agar aku dapat membunuhmu. Demi Tuhan, tak ada pemberontak dari Yamamah yang lebih berbahaya dari dirimu.[44] Dengan begitu, kematian Jahm berlatar bel akang persoalan politik, bukan karena ajaran yang dibawanya.[45] Menurut Jahm, manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa. la tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak, dan tidak mempunyai pilihan bebas. Man usia dalam perbuatan-perbuatannya dipaksa dengan tidak ada kekuasaan dan kemauan baginya. Pandangan ini termasuk dalam pola pikir Jabariyah ekstrim. Selain masal ah keterpaksaan manusia ini, Jahm juga memajukan pendapat-pendapatnya dalam masa lah konsep iman, sifat-sifat Tuhan, surga dan neraka, dan masalah melihat Tuhan di akhirat. Menurut Jahm, iman adalah mengetahui Allah dan Rasul-Nya dan segala sesuatu yang diterimanya dari Tuhan. Pengakuan dengan lisan, tunduk dengan hati, dan mengerj akan dengan anggota badan bukan bagian dari iman. Sebaliknya, kufur adalah tidak mengetahui Tuhan. Dalam pan-dangan Jahm, bila seseorang sudah mengenal Allah (m a'rifah), lalu ingkar dengan lidahnya, tidaklah menyebabkan ia menjadi kafir, Im an tidak ber-kurang dan bertambah. Dalam hal ini tidak ada perbedaan di antara o rang-orang yang beriman. Iman dan kufur bertempat dalam hati bukan pada anggota badan lainnya.[46] Jahm juga berpendapat bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Sebagai mana Ja'ad, Jahm juga berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat disifati dengan sifat-sifat makhluk. S ebab, hal ini dapat menimbulkan keserupaan Tuhan dengan makhluk (tasybih). la me niadakan sifat hayat dan ilmu Tuhan, tetapi ia mengakui bahwa Tuhan Mahakuasa, P elaku, dan Pencipta. Sifat-sifat yang terakhir ini diterima Jahm karena menurut pendapatnya, tidak ada makhluk yang memiliki sifat-sifat seperti itu.[47] Selain sifat-sifat di atas, Jahm, menurut al-Bagdadi, juga mengakui bahwa Tuhan adalah Pemberi wujud (al-mujid), Memberi hidup (al-muhyi), dan Mematikan (al-mumit).[4 8] Konsisten dengan pendapatnya tentang nafy al-shifat, Jahm berusaha menakwilka n ayat-ayat al-Qur'an yang memberi pengertian adanya sifat-sifat Tuhan. Jahm cen derung pada penyucian Tuhan dari sifat-sifat makhluk (tanzih).[49] Jahm juga berpendapat bahwa surga dan neraka tidak kekal. Bagi Jahm tidak ada se suatu yang kekal selain Allah. Kata khulud dalam al-Qur'an tidak berarti kekal a badi (al-baqa al-mutlak), tetapi berarti lama sekali (thul al-muks). Dengan demi kian, penghuni surga dan penghuni neraka tidak pula kekal. Keadaan mereka di sur ga maupun di neraka akan terputus karena tidak ada gerak yang tidak berakhir. Ja hm memperkuat pendapatnya dengan ayat: Artinya: Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhan

mu menghendaki. (QS. Hud: 107). Menuruf Jahm, kekekalan yang tersebut dalam ayat ini mengandung persyaratan dan pengecualian. Kekal dan keabadian yang sesungguhnya tidak boleh ada persyaratan dan pengecualian di dalamnya.[50] Sebagai terlihat di atas, pendapat Jahm tentang konsep iman serupa dengan paham Murji'ah. Memang Jahm yang terdapat dalam aliran Jabariah ini sama dengan Jahm y ang mendirikan golongan Jahmiyah dalam kalangan Murji'ah.[51] Dalam masalah nafy al-sifah, al-Qur'an makhluk, dan Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat, pendapat Jahm sama dengan pendapat kaum Mu'tazilah. Atau lebih tepatnya pendapat Mu'tazi lah sama dengan pendapat Jahm.[52] Karena itu, tidak heran bila golongan Mu'tazi lah terkadang mendapat julukan "Jahmiyah" (pengikut Jahm). Sebagai contoh, Imam Bukhari dan Ahmad ibn Hanbal pernah menulis buku sebagai kritik terhadap kaum Ja hmiyah, tetapi yang mereka maksud dengan Jahmiyah di sini adalah golongan Mu'taz ilah. Abu al-Hasan al-Asy'ari sendiri dalam buku Al-Ibanah 'an Ushul al-Diyanah, mengkritik Mu'tazilah dengan nama al-Jah-miyah.[53] Namun, kaum Mu'tazilah send iri tidak menerirna sebutan itu. Bisyr ibn Muktamir, salah seorang pemuka Mu'taz ilah menolak keras penamaan itu.[54] Jahm sendiri dengan berbagai pendapatnya menyandang serangan dari berbagai pihak . Kaum Mu'tazilah mengafirkan Jahm karena ia me-niadakan kemampuan (daya) manusi a. Sedang Ahl al-Sunah, mengafirkan Jahm karena ia meniadakan sifat-sifat Tuhan, menganggap al-Qur'an makhluk, dan menganggap Tuhan tidak dapat dilihat di akhira t.[55] Sungguhpun demikian, sepeninggal Jahm, para pengikutnya tetap bertahan hingga ab ad ke11H.didaerah Tirmidz dan sekitarnya.Selanjutnya mereka menganut paham Asy'a riyah.[56] c. Husain al-Najjar Husain al-Najjar merupakan salah seorang tokoh Jabariah moderat. Pengikut-pengik utnya dikenal dengan sebutan "Al-Najjariyah". Menurut Husain, Tuhan berkehendak d an mengetahui karena diri-Nya sendiri. la menghendaki kebaikan dan keburukan, ma nfaat dan madarat. Yang dimaksud berkehendak di sini ialah bahwa Tuhan tidak ter paksa atau dipaksa.[57] Husain juga berpendapat bahwa Tuhan menciptakan segala p erbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian dalam mewujudkan perbuatan-per buatan itu, suatu bagian yang efektif dan bukan bagian yang tidak efektif.. Inil ah yang dinamakan kasb dalam teori al-Asy'ari.[58] Dari sini terlihat bahwa manu sia dalam pandangan Husain tidak lagi seperti wayang yang geraknya bergantung pa da gerak dalang. Sebab, tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunya i efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam masalah ru'yah, Husain berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dilihat di akhi rat. Akan tetapi,Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma'rifah) pada mata sehingga dengannya manusia dapat melihat Tuhan.[59] d. Dirar ibn 'Amr Dirar juga salah seorang pemuka Jabariyah moderat. Sebagai Husain, ia berpendapat bahwa manusia punya andil dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam pandang an Dirar satu perbuatan dapat timbul dari dua pelaku, yaitu Tuhan dan manusia. T uhan menciptakan perbuatan, dan manusia memperolehnya. Tuhan adalah Pencipta hak iki dari perbuatan manusia. Dalam pada itu, manusia juga pelaku hakiki dari perb uatannya. Daya manusia menurut Dirar diberikan Tuhan sebelum dan bersamaan denga n perbuatan [60] Berbeda dengan Husain, Dirar berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat, t etapi bukan dengan mata kepala seperti dalam paham Asy'ariyah, melainkan dengan apa yang ia sebut sebagai "indera keenam" (al-Hassah al-Sadisah). la juga berpen dapat bahwa argumen (hujjah) yang dapat diterima setelah wafat Nabi hanyalah kon sensus (al-ijm'). Hadis ahad (tidak mufawatir) tidak dapat dijadikan sumber dala m menetapkan hukum-hukum agama. [61] D. Evaluasi dan kompromi Aliran Kalam Jika paham Qadariyah dan Jabariyah kita hadapkan satu sama lain secara diametral , akan kita jumpai dua paham yang saling bertentangan. Anehnya, masing-masing me ndapat dukungan ayat-ayatAl-Qur'an yang kita yakini memiliki nilai kebenaran mut lak. Dari fakta ini permasalahan yang segera muncul adalah jika kedua paham itu dinilai benar karena memperoleh dukungan Al-Qur'an berarti ada pengakuan tentang

per-tentangan di dalam Al-Qur'an. Padahal Al-Qur'an sendiri telah memus-tahilka n adanya pertentangan-pertentangan di dalamnya, sebagaimana ditegaskan Allah dal am Al-Qur'an Surat An-Nisa' Ayat 82: Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an? Jika sekiranya Al-Qur 'an bukan dari sisi Allah tentulah mereka mendapatkan pertentangan-pertentangan y ang banyak di dalamnya. (QS An-Nisa': 82) Bertolak dari ayat ini, ayat-ayat qadar yang sepintas lalu bertentangan dengan a yat-ayat Jabr harus dicarikan jalan keluamya agar mendapatkan titik temu. 1. Ayat-ayat Qadar dalam konteks tanggung jawab Ayat-ayat Qadar yang menggambarkan adanya kekuasaan dan kebebasan berbuat bagi m anusia harus dipahami bahwa manusia memang dianugerahi kemampuan dan kebebasan u ntuk menentukan jalan hidup yang baik atau buruk dengan maksud agar manusia dapa t dimintai tanggung jawab atas pilihannya. Sebab, berbeda dengan makhluk lain ya ng secara otomatis menaati perintah Allah SWT, yaitu bertingkah laku sesuai deng an hukum-hukum yang telah ditentukan kepadanya(sunnah Allah), manusia adalah sat u-satunya kekecualian di dalam hukum universal ini karena di antara semuanya man usialah satu-satunya ciptaan Allah SWT yang memiliki kebebasan untuk menaati atau mengingkari perintah-Nya. Kenyataan ini merupakan ke-istimewaan sekaligus risik o bagi manusia. Dengan demikian, dalam batas-batas kadar dan potensi atau ukuran kemandirian dan kedaulatan yang telah ditetapkan Allah SWT, manusia berkuasa dan berdaulat atas tingkah laku, perbuatan, kecen-derungan hati, dan pilihannya. 2. Ayat-ayat Jabr dipahami dalam konteks moralitas Agar ayat-ayat Jabr yang menggambarkan ketidakberdayaan manusia tidak menimbulkan pertentangan dengan ayat-ayat qadar yang mencerminkan manusia sebagai makhluk y ang harus bertanggung jawab atas segala perilaku dan perbuatannya, hal ini harus dipahami dalam konteks moralitas. Maksudnya, walaupun mempunyai kemandirian dan kedaulatan sebatas yang diberikan Allah SWT, manusia harus menyadari bahwa dirin ya senantiasa terkait dengan qada' dan qadar Allah SWT. Oleh karena itu, manusia tidak boleh berputus asa terhadap sesuatu yang luput dan lepas dari keinginanny a, tetapi juga tidak boleh terialu gembira terhadap segala sesuatu yang dapat di capai sehingga menimbulkan sikap congkak, sombong, dan lupa daratan, baik dalam ucapan maupun dalam perbuatan. Al-Qur'an sendiri telah mengajarkan bahwa musibah yang terjadi di bumi dan menimpa jiwa atau diri manusia pada hakikatnya telah m enjadi ketetapan Allah di Lauh al-Mahfu. Artinya : Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bwni (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh al-Mahfu^) sebelum Kami menc iptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kamijelaska n yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dar i kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira (yang melampaui batas dan menyebab kan kesombongan) terhadap apa yang diberikannya ke-padamu. Dan Allah tidak menyu kai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS :Al-Hadid: 22-23) Dengan kata lain, ajaran qada' dan qadar atau takdir yang dite-kankan kaum Jabar iyah yang tercermin dalam ayat-ayat Jabr hams dapat mendidik manusia agar berakh lak karimah kepada Allah SWT, yaitu mau bersyukur pada nikmat Allah SWT ketika u sahanya ber-hasil serta tidak berputus asa dan bersabar terhadap ketentuan ketik a usahanya tidak berhasil sebab dia meyakini bahwa ketentuan itulah yang terbaik bagi dirinya dan merupakan pilihan dari Allah SWT. Jelasnya, ajaran takdir mendidik manusia agar dalam menempuh hi dupnya jangan sa mpai melepaskan diri dari hubungannya dengan takdir Allah SWT sehingga ia selalu merasa ada ketergantungan dengan Allah SWT dan senantiasa memerlukan bimbingan dan pertolongan-Nya. Jika sikap mental demikian telah terbentuk, doa selalu dipa njatkan kepada Allah SWT, syukur selalu disampaikan kepada-Nya dan sifat tawadu' , sabar, tawakal, dan ridd akan menghiasi jiwanyajika mengalami kegagalan terhad ap sesuatu yang diinginkan. Dengan menempuh jalan pemahaman ayat-ayat qadar dalam konteks tanggungjawab dan ayat-ayat Jabr dalam konteks moralitas, kedua macam pandangan tersebut dapat dic ari titik temunya sekaligus dapat terhindar dari pemahaman kontradiktif karena s ecara teologis hal tersebut mustahil. 3. Ayat-ayat Jabr dipahami secara kontekstual dan integral

Seperti dikemukakan di atas, untuk mengokohkan pandangannya kaum Jabariyah mengg unakan ayat-ayat Jabr yang secara umum memberi kesan tentang kekuasaan mutlak Tu han dan ketidakber-dayaan manusia untuk berbuat sesuatu. Untuk menghindari kesan yang demikian, ayat-ayat tersebut harus dipahami sesuai dengan konteksnya denga n cara dikelompokkan, kemudian ditarik pemahaman integral atau utuh. Pengelompoka n tersebut antara lain sebagai berikut. a. Ayat-ayat ampunan dan siksaan Artinya: ... maka (Dia) mengampuni siapa saja yang Dia kehendaki dan menyiksa si apa saja yang Dia kehendaki karena Allah kuasa berbuat apa saja. (QS. Al-Baqarah : 284) Artinya: ... Dia mengampuni siapa saja yang Dia kehendaki dan menyiksa yang Dia kehendaki... (QS. Al-Maidah : 18) Artinya: Kepunyaan Allah apa saja yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, D ia mengampuni yang Dia kehendaki dan menyiksa yang Dia kehendaki. (QS. Ali 'Imra n: 129) b. Ayat-ayat tentang bimbingan Artinya: ... Allah menyesatkan siapa yang Did kehendaki dan membuat siapa yang D ia kehendaki berjalan dijalan yang lurus. (QS. Al-An'am: 39) Artinya: ... katakanlah, " Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehenda ki dan membimbing siapa yang bertaubat kepada-Nya." (QS Ar-Ra'd: 27) Artinya: ... maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan membimbing siapa yang Dia kehendaki... (QS. Ibrahim: 4) Artinya: Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepada-nya bimbingan , niscaya Dia melapangkan dadanya menerima Islam. Dan barangsiapa yang dikehendu ki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seola h-olah ia mendaki ke langit... (QS. Al-An'am: 125) Ayat-ayat di atas mempunyai konteks dengan kekuasaan dan kemandirian Allah SWT y ang mutlak sehingga manusia harus sadar dan tahu bahwa siapa saja tidak boleh se mbarangan dalam membawakan dirinya untuk mengarungi hidup dan kehidupan. Allah S WT sungguh Mahakuasa atas segala sesuatu. Pertanyaan yang segera muncul adalah siapakah yang dikehendaki Allah untuk diber i ampunan atau siksaan, dan bimbingan (hidayah) atau kesesatan. c. Ayat-ayat bagi yang menghendaki ampunan Artinya: Hai orang-orang yang beriman jika kamii bertakwa kepada A llah, Dia aka n memberimu pemisah yang benar dari yang salah dan menghapuskan segala kesalahan dan mengampuni [dosa-dosamu). (QS. Al-Anfal: 29) Artinya: Hal orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berinianlah kepada Rasul-Nya, Dia akan memberimu dua bagian (yaitu) rahmat-Nya dan cahaya ya ng dapat kamu pergunakan dalam perjalanan dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pe ngampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hadid: 28) Artinya: Barangsiapa melakukan kejahatan atau menganiaya din sendiri dan kamu me mohon ampun kepada Allah, orang itu akan men-dapati Allah Maha Pengampun lagi Ma ha Penyayang. (QSAn-Nisa': 110) Artinya: Katakanlah kepada orang kafir jika mereka menghentikan kekafirannya, ak an diampuni (dosanya) yang telah lampau.... (QS Al-Anfal: 38) Ayat-ayat di atas secara kontekstual menunjukkan bahwa mereka yang dikehendaki d iampuni dosa-dosanya adalah orang yang bertakwa, beriman, mau memohon ampun, dan tidak kafir. Sasarannya sangat jelas dan tidak serampangan. d. Ayat-ayat bagi yang menghendaki siksaan atau azab Artinya: Allah akan menyiksa orang-orang munafik laki-laki danperem-puan, musyri k laki-laki dan perempuan, orang yang berburuk sangka kepada Allah. Mereka akan ditimpa bencana dan Allah murka kepada mereka, Allah melaknat mereka dan Allah s iapkan Jahanam untuk mereka, dan itulah sejahat-jahat tempat kembali. (QS. Al-Fa th: 6) Artinya: Kecuali orang yang berpaling dan mengingkari (Allah), Allah akan menyik sanya dengan siksaan yang mengerikan. (QS. Al-Gasyiyah: 23-24) Artinya: ... adapun orang yang enggan (iman dan beramal saleh) dan ta-kabur, All ah akan menyiksanya dengan siksaan yang sangat me-nyakitkan dan tidak akan perna h memperoleh pelindung selain Allah. (QSAn-Nisd': 173) Artinya: ... orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Allah akan memasu

kkannya ke dalam surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, tetapi siapayang berpaling (dari Allah), Allah akan menyiksanya dengan siksaan yang amat pedih. (QS. Al-Fath: 17) Artinya: Adapun orang-orang yang kafir, Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang berat di dunia maupun di akhirat dan mereka tidak mempunyai penolong. (QS. Ali 'Imran: 56) Ayat-ayat di atas jelas sekali menunjukkan bahwa orang-orang yang dikehendaki di siksa atau diazab adalah orang munafik, musyrik, berburuk sangka kepada Allah, d an mengingkari-nyaJuga orang yang enggan beriman, takabur, dan kafir. Dengan dem ikian, aturannya begitu jelas dan tidak sembarangan. Artinya, berdasar firman Al lah bahwa menyiksa atau menyesatkan orang yang beriman dan beramal saleh sangat mustahil bagi Allah karena bertentangan dengan sifat rahman, rahim, dan adil-Nya . e. Ayat-ayat bagi yang hendak Allah sesatkan Artinya: ... Allah tidak akan menyesatkan kecuali orang yangfasik. (QS. Al-Baqar ah: 26) Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, All ah tidak akan membimbingnya dan bagi mereka siksa yang menyakitkan. (QS. An-Nahl : 104) Artinya: ... Allah tidak akan membimbing orang yang zaiim. (QS. Al-Baqarah: 258 Artinya: ...sungguh Allah tidak akan pernah membimbing pendusta dan kafir. (QS. Az-Zumar: 3) Ayat-ayat di atas memberikan penegasan bahwa Allah tidak akan berkenan memberika n bimbingan atau akan menyesatkan orang yang fasik, tidak beriman kepada ayat-ay at Allah, zalim, pendusta, kafir, dan para pendosa di berbagai bidang. Tentang faktor-faktor yang menyesatkan manusia, Allah menyatakan dalam berbagai ayat Al-Qur'an. Artinya: ... dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.... (QS. Sad: 26) Artinya: ... ini adalah perbuatan setan. Sesungguhnya setan adalah musuh yang je las-jelas menyesatkan. (QS. Al-Qasas: 15) Dari kedua contoh di atas, menjadi jelas bahwa yang menyesatkan manusia adalah ha wa nafsu dan setan, bukan Allah sebagai-mana yang dipahami kaum Jabari. f. Ayat-ayat bagi yang hendak dibimbing Allah Artinya: ... dan Allah akan membimbing orang yang bertaubat kepada-Nya.(QS. Ar-R a'd:27) Artinya: ALLAH membimbing dengannya (Al-Qur'an) orang yang mengikuti keridaan-Ny a lewatjalan damai dan mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya terang-b enderung serta membimbing mereka kejalanyang lurus. (QS. Al-Maidah: 16) Ayat-ayat di atas menginformasikan kepada kita bahwa orang yang beriman, bertaub at, yang mengikuti keridaan Allah, dan sifat terpuji lainnya itulah yang akan me mperoleh bimbingan atau hidayah dari Allah. Menjadi jelas bahwaAllah berkuasa se cara mutlak dan tidak ada kekuatan apa pun yang dapat menghalangi untuk menye-sa tkan atau membimbing orang-orang yang Dia kehendaki, tetapi ada klasifikasi tert entu yang ditetapkan Allah sendiri untuk menjadi petunjuk bagi manusia, siapakah yang akan disesatkan Allah dan siapa pula yang akan memperoleh bimbingan Allah. Dengan demikian, Allah tidak akan menggunakan kekuasaan mutlak-Nya secara semen a-mena sebagaimana firman-Nya: Artinya: Sungguh Allah tidak menganiaya manusia sedikit pun, tetapi ma-nusialah yang menganiaya dirinya sendiri. (QS Yunus: 44) Artinya: Sungguh Allah tidak pemah menganiaya (siapa-siapa) sekecil zarrah pun, bahkan jika ada kebaikan (dilakukan orang) Dia melipat-gandakannya dan didatangk an dari hadirat-Nya pahala yang besar. (QS An-Nisa': 40) Dari uraian di atas, jelas bahwa tidak ada kontradiksi sedikit pun antara ayat-a yat qadar dan ayat-ayat jabr, sepanjang ayat-ayat tersebut kita pahami secara ko nstektual dan integral bukan secara parsial atau sepotong-potong. E. Penutup Dari pembahasan makalah ini dapat disimpulkan, bahwa al-Qadariyah adalah salah s atu paham yang menyatakan bahwa manusia dalam menentukan perbuatannya, memiliki kebebasan kekuasaan. Perbuatannya tersebut diwujudkan atas kehendak dan dayanya

sendiri. Oleh karena itu pantaslah kiranya, jika orang mendapat pahala atau siks a. Namun demikian, manusia tidak bebas sebebas-bebasnya dalam menentukan perbuat an-per-buatannya, Sebab justru mereka dibatasi oleh adanya hukum alam (sunatulla h), dan tak dapat disangkal lagi bahwa hukum alam itu adalah kehendak dan kekuas aan Tuhan, Paham Qadariyah ini mulai pertama dicetuskan oleh Ma'bad al-Juhani dan Ghailan a l-Dimasyqi. Paham ini digelarkan sebagai sanggahan ter-hadap paham Jabariyah yan g dibina oleh Ja'ad ibh Dirham dan Jahm ibn Shafwan. Paham Jabariyah memandang manusia sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya. Manusia tidak sanggup mewujudkan perbuatan-perbuatannya sesuai dengan kehendak d an pilihan bebasnya. Pendeknya, perbuatan-perbuatan itu hanyalah dipaksakan Tuha n kepada manusia. Pa-ham Jabariyah terpecah ke dalam dua kelompok, ekstrim dan m oderat. Ja'ad ibn Dirham dan Jahm ibn Shafwan mewakili kelompok eksirim. Sedang Husain al-Najjar dan Dirar ibn 'Amr mewakii kelompok moderat. Dalam perkembangan nya, paham Jabariyah dengan kedua cabangnya berinte-grasi dengan paham Asy'ariya h. Betapapun hebatnya perbandingan antara aliran (paham) Jabariyah dengan Qadariyah , menurut hemat penulis mereka masih dalam bingkai keluarga besar Islam. Tepatny a dalam hal ini Prof. Dr. Harun Nasution menyatakan sebagai berikut: "Kedua cora k teologi ini liberal dan tradisional, tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran d asar Islam. Dengan demikian orang yang memilih aliran-aliran itu sebagai teologi yang dianutnya, tidaklah pula menyebabkan ia menjadi keluar dari Islam, dan aya t-ayat yang dipergunakan sebagai argumennya merupakan ayat-ayat mutasyabihat. DAFTAR PUSTAKA A Salabi, Sejarah dan kebudayaan Islam II, (penerjemah ; Muktar Yahya), Jakarta : Pustaka AI-Husna, 1983 Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1974 Abdul Qahir bin Tahir bin Muhammad al-Bagdadi, Al-Farq Baina al-Firaq, Bairut: D ar al-Ma'rifah al-Uttahidah, t.th. Abu al-Hasan al-Asy'ari, Maqalat al-lslamiyin wa ikhtilaf al-Mushallln, Kairo : Maktabah Nahdiyah al-Misriyah, 1969, Juz 1 Abu al-Qasim bin Muhammad az-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf, Beiru : Dar al-Ma' rifah, t.th., jilid II Abu Zahrah, al-Mazahib al-lslamiyah, Mesir : Maktabah al-Namudzajiyah, 1987 Abual wa faal Taftazani, llm al-Kalam wa Ba'd Musykilatih, Kairo : Daral-Tsaqafa h, 1979 Ahmad Amin, Fajr al-lslam, Beirut Lebanon : Dar al-Kitab al-Araby, 1969 AI-Bagdadi, al-Farq bain al-Firaq, Kairo : Maktaubah Subeih, 1980 AI-Santanawi (et. all), Dairat al-Ma'arif al-lslamiyah, (Bairut : Dar al-Islam, t.th. Al-Bagdadi, AI-Farq Bain al-Firaq, Mesir : Dar al-Malayyin, t.th. Ali Musthafaal Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-lslamiyah, Muhammad Ali Shubaih, Mesi r, t.th. Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakart a : Ul Pres, 1987 Ibn Abi al-'Izz at-Tabawi al-Hanafi, Syarl} al-'Aqidah al-Yahawiyah, Beirut : Ma ktabah al-Islam, 1939 Jalal Muhammad Musa, Nasy'at al-Asy'ariyah wa Tathawuruha, Beirut : Dar al-Kitab at-Lubnani, 1975 Jamaluddin al-Qasimi, Tarikh al-Jahmiyah wa al-Mu'tazilah, Beirut : Muassasah al -Risalah, 1979 Luwais Ma'luf al-Yasu'i, AI-Munjid, Beirut : al-Kathulikiyah, , 1945 Syahrastani, AI-Milal wa al-Nihal, Beirut : Dar al-Fikr, t.th. Abu Zahara, Tarikh al-Mazahib al-lslamiyah, Bairut : Daral-Fikr, t.th. W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam, (Penerjemah ; Hartono Hadikusumo), Yogyakart a : Tiara Wacana, 1990 ________________________________________ [1] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Ja

karta : Ul Pres, 1987, h. 30 [2] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Ja karta : Ul Pres, 1987, h. 31 [3] Di antara ayat-ayat yang dijadikan argumentasi aliran Jabariyah adalah al-Sh afat 96, al-Hadid 22, al-Anfal 17, al-Qashas 56, Hud 34, al-lnsan 30 dll. [4] Ahmad Amin, Fajr al-lslam, Singapura : Sulaeman Maraghi, 1965, h. 286. [5] A Salabi, Sejarah dan kebudayaan Islam II, terjemahan Muktar Yahya, Pustaka AI-Husna, Jakarta, 1983, hat. 379 [6] Ahmad Amin, Fajr al-lslam, Dar al-Kitab al-Araby, Beirut Lebanon, 1969, hal. 285 [7] Abual wa faal Taftazani, llm al-Kalam wa Ba'd Musykilatih, Daral-Tsaqafah, K airo, 1979,hal.135 [8] Ahmad Amin, op. cit., hal. 284 [9] Luwais Ma'luf al-Yasu'i, AI-Munjid, al-Kathulikiyah, Beirut, 1945, hal. 436 [10] Ibid., ha). 436 [11] 'Abu Zahrah, al-Mazahib al-lslamiyah, Maktabah al-Namudzajiyah, Mesir, hal. 186 [12] Harun Nasution, op. cit., hal. 29 [13] AI-Bagdadi, al-Farq bain al-Firaq, Maktaubah Subeih, Kairo, hal. 18. Pendap at ini bersesuaian dengan pendapat al-Nabatah dalam Syarh al-Uyun [14] A. Hanafi, Theologi Islam (llmu Kaiam), Bulan Bintang, 1962, ha), 41 [15] Ahmad Amin, op. cit., hal. 285 [16] Harun Nasution, op. cit., hal. 30 [17] Ahmad Amin, toe. Cit. 285 [18] Ahmad Amin, toe. Cit. 286 [19] al-Bagdadi, op. cit., hal. 19 [20] Abu Zahrah, op. cit., hal. 189-190 [21] al-Bagdadi, op. cit., hal. 19-20 [22] Abu Zahrah, op, cit, hal. 193 [23] Harun Nasution, op. cit., h. 31 [24] al-Ghurabi, All Mustafa, Tarikh al-Flraq al-lstamiyah, Maktabah Muhammad Al l Subaeih Waaladuhu, Mesir, hal. 201 [25] Ahmad Amin, op. cit., hal. 287 [26] Harun Nasution, op. cit., hal. 97 [27] Ibid, hal. 99 [28] Ibid, hal. 110-111 [29] Syahrastani, AI-Milal wa al-Nihal, Dar al-Fikr, Beirut, Tanpa tahun, hal. 1 15 [30] [31] Syahrastani, op. cit., hal. 87 lihat pula Abu Zahara, Tarikh al-Mazahib allslamiyah, Daral-Fikr, hal, 115 [32] ''Harun Nasution, Teologi Islam, Cet, ke 2, Ul Press, Jakarta, 1978, hal. 3 1 [33] Syahrastani, op. cit, hal. 85 [34] Ibid. [35] Harun Nasution, op. cit., hal. 32 [36] Abu Zahrah, op, cit., hal. 110 [37] Ibid., hal. 116 [38] Ibid., hal. 117 [39] Jamaluddin al-Qasimi, Tarikh al-Jahmiyah wa al-Mu'tazilah, Muassasah al-Ris alah, Beirut, 1979, hal. 38 [40] Jalal Muhammad Musa, Nasy'at al-Asy'ariyah wa Tathawuruha, Dar al-Kitab atLubnani, Beirut, 1975, hal. 100 [41] Ali Musthafaal-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-lslamiyah, Muhammad AliShubaih, Mesir, t.t, hal. 29 [42] Ibid., hal.22. Lihat, Jamaluddin al-Qasim, op. cit., hal. 12 [43] AliMusthafaal-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-lslamiyah, Muhammad AliShubaih, M esir, t.t, hal. 29 [44] Ali Musthafa al-Ghurabi, Loc. cit

[45] Ahmad Amin, op. cit., hal. 286 [46] Abu al-Hasan al-Asy'ari, Maqalat al-lslamiyin wa ikhtilaf al-Mushallln, Juz 1, Maktabah Nahdiyah al-Misriyah, Kairo, 1969, hal. 213-214 [47] Abu al-Wafa al-Taftazani, op. cit., hal. 145 [48] Al-Bagdadi, AI-Farq Bain al-Firaq, Muhammad All Shubalh wa Awladih, Mesir, t.t, hal. 211-212 [49] Jamaluddin al-Qasimi, op, cit., hal. 17 [50] AI-Syahrastani, op, cit., hal. 88 [51] Harun Nasution, op. cit., hal. 33 [52] Ahmad Amin, op. cit., hal. 287 [53] Jalal Muhammad Musa, op. cit., hal. 105 [54] Ahmad Amin, toe. cit [55] Abu al-Wafa al-Taftazani, op. cit., 148 [56] AI-Santanawi (et. all), Dairat al-Ma'arif al-lslamiyah, t.t, hal. 195 [57] AI-Syahrastani, op. cit., hal. 89 [58] Ibid [59] Ibid [60] Abu al-Hasan al-Asy'ari, op. cit., hal. 339 [61] AI-Syahrastani, op. cit., hal. 91

You might also like