You are on page 1of 139

1

BAB I PENGANTAR ILMU SOSIALDAN BUDAYA DASAR


A. HAKIKAT, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP 1. Hakikat Ilmu Soaial dan Budaya Dasar (ISBD) Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) merupakan Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) dengan visi Berkembangnya mahasiswa sebagai manusia terpelajar yang kritis, peka dan arif dalam memahami keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia yang dilandasi nilai-nilai estetika, etika, dan mmoral dalam kehidupan bermasyarakat.Adapun misinya adalah Memberikan landasan dan wawasan yang luas, serta menumbuhkan sikap kritis, pekam dan arif pada mahasiswa untuk memahami keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia dalam kehidupan bermasyarakat selaku individu dan makhluk social yang beradab serta bertanggung jawab terhadap sumber daya dan lingkungannya. ISBD bukanlah suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, melainkan suatu rangkaian pengetahuan mengenai aspek-aspek yang paling dasar yang ada dalam kehidupan manusia sebagai makhluk social yang berbudaya, dan masalah-masalah yang terwujud daripadanya.Selain itu, mata kuliah ini pada prinsipnya sebagai pengatur dasar menuju pengenalan teori ilmu-ilmu social dan kebudayaan sehingga diharapkan mahasiswa dapat memiliki wawasan keilmuan yang bersifat multidisipliner tentang keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

2. Tujuan Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) Berdasarkan hakikat keilmuan di atas, maka tujuan Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) yang merupakan bagian dari Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) adalah:

a.

Mengembangkan kesadaran mahasiswa menguasai pengetahuan tentang keanekaragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia sebagai individu dan makhluk social dalam kehidupan bermasyarakat.

b.

Menumbuhkan sikap kritis, peka dan arif dalam memahami keragaman, kesederajatan, dan kemartabatan manusia dengan landasan nilai estetika, etika, dan moral bermasyarakat. dalam kehidupan

c.

Memberikan landasan pengetahuan dan wawasan yang luas serta keyakinan kepada mahasiswa sebagai bekal bagi hidup

bermasyarakat, selaku individu dan makhluk social yag beradab dalam mempraktikkan pengetahuan akademik dan keahliannya dan mampu memecahkan maalah social budaya secara arif.

3. Ruang Lingkup Mata Kuliah Pengantar Ilmu Sosial Dan Budaya (ISBD) Untuk mewujudkan visi, misi dan tujuan mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) pada perguruan tinggi, berikut ini adalah ruang lingkup dan sub bahasannya. a. Pengantar Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) 1. Hakikat dan ruang lingkup ISBD 2. ISBD sebagai MBB dan pendidikan umum; dan 3. ISBD sebagai alternative pemecahan masalah social budaya b. Manusia sebagai Makhluk Budaya: 1. Hakikat manusia sebagai makhluk budaya; 2. Apresiasi terhadap kemanusiaan dan kebudayaan; 3. Etika dan estetika berbudaya 4. Memanusiakan manusia melalui pemahaman konep-konsep dasar manusia; dan 5. Problematika kebudayaan

c. Manusia sebagai Individu dan Makhluk Sosial; 1. Hakikat manusia sebagai individu dan makhluk social; 2. Fungsi dan peran manusia sebagai individu dan makhluk social; 3. Dinamika interaksi social; dan 4. Dilema antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat; d. Manusia dan Peradaban 1. Hakikat peradaban; 2. Manusia sebagai makhluk beradab dan masyarakat adab; 3. Evolusi budaya dan wujud peradaban dalam kehidupan socialbudaya; 4. Dinamika peradaban global; dan 5. Problematika peradaban pada kehidupan manusia e. Manusia, Keragaman dan Kesetaraan; 1. Hakikat keragaman dan kesetaraan manusia; 2. Kemajemukan dalam dinamikan social dan budaya; 3. Keraganan dan kesetaraan sebagai kekayaan social, budaya bangsa; dan 4. Problematika keragaman dan kesetaraan serta solusinya dalam kehidupan masyarakat dan negara f. Manusia, Nilai, Moral, dan Hukum 1. Hakikat, fungsi, dan perwujudan nilai, oral dan hukum dalam kehidupan manusia, masyarakat dan negara; 2. Keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan sebagai wujud masyarakat yang bermoral dan menaati hukum dan 3. Problematika nilai, moral, dan hokum dalam masyarakat dan negara g. Manusia, Sains, Teknologi dan Seni: 1. Hakikat dan makna sains, teknologi dan seni bagi manusia; 2. dampak penyalahgunaan IPTEKS pada kehidupan social dan budaya; dan 3. Problematika pemanfaatan IPTEKS di Indonesia

h. Manusia dan Lingkungan 1. Hakikat dan makna lingkungan bagi manusia; 2. Kualitas penduduk dan lingkungan terhadap kesejahteraan manusia 3. Problematika lingkungan social-budaya yang dihadapi masyarakat; dan 4. Isu-isu penting tentang persoalan lintas budaya dan bangsa.

B. ISBD SEBAGAI MBB DAN PENDIDIKAN UMUM ISBD sebagai bagian dari Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) mempunyai tema pokok, yaitu hubungan timbale balik antara manusia dengan lingkungannya. Dengan wawasan tersebut diharapkan perguruan tinggi mampu menghasilkan tenaga ahli dengan tigas jenis kemampuan secara simultan, yang meliputi: 1. Kemampuan personal: para tenaga ahli diharapkan memiliki pengetahuan sehingga mampu menunjukkan sikap, tingkah laku dan tidnakan yang mencerminkan kepribadian Indonesia, memahami dan mengenal nilai-nilai keragaman, kemasyarakatan dan kenegaraan, serta memiliki pandangan yang luas dan kepekaan terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. 2. Kemampuan akademis; kemampuan untuk berkomunikasi secara ilmiah baik lisan maupun tulisan, mengusai peralatan analiss, maupun berpikir logis, kritis, istematis, analisis, memiliki kemampuan konsepsional untuk mengidentifikasi dan merumuskan masalah yang dihadapi, serta mampu menawarkan alternative pemacahannya. 3. Kemampuan professional: kemampuan dalam bidang profesi sesuai keahlian bersangjutan, para ahli diharapkan memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi dalam bidang profesinya.

C. ISBD SEBAGAI ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH SOSIALBUDAYA Dengan bekal wawasan, sikap, dan perilaku melalui mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) diharapkan mahasiswa dapat menjadi manusia yang memiliki kemampuan personal, kemampuan akademik dan kemampuan professional sehingga para lulusan akan mampu mengenali masalah dan mengatasi masalah tersebut dengan bijaksana. Dengan itu problematika kemanusiaan dan peradaban manusia merupakan fakta objektif yang penting dikenali secara menunjung tinggi pemikiran serta nilai-nilai luhur tradisi. Di samping diurai kondisi objektif konteks keindonesiaan, buku ini juga mengulas lesson learns atau pelajaran berharga dari akta atau fenomena social yang terjadi di sekitar lingkungan kita baik yang dialami secara langsung atau tidak langsung dalam perspektif lintas keilmuan secara simultan. Pendekatan multidisipliner dipilih guna menstimulus mahasiswa berpikir terbuka dan kritis atas apa yang didengar, dimengerti, dipahami, dan dikonsepsikannya selama ini agar dapat didiskusikan dan dikomunikasikan menjadi pengetahuan yang ilmuah.

BAB 2 HAKIKAT MANUSIASEBAGAI MAKHLUK BUDAYA


A. HAKIKAT MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BUDAYA Sebelum mengulas manusia sebagai makhluk budaya penting bagi kita mencermati kajian tentang filsafat manusia secara singkat dan

mendasar.Bahwasanya diskusi klasik yang hingga kini masih dibincangkan seputar manusia adalah pertanyaan siapakah sebenarnya manusia itu.Dengan pertanyaan tersebut sejauh ini telah menghasilkan pelbagai teori, konsep, konstruk pemikiran tentang haikat manusia.Secara sederhana aliran tersebut dapat diklasifikasikan dalam beberapa aliran utama, yaitu materialisme, idealisme, realisme, dan aliran agamawan (teologis).Tetapi pentin ditegaskan di sini bahwasanya hingga kini jawaban tentang siapa manusia itu tampaknya belum juga terpuaskan atau belum final. Untuk aliran materialisme misalnya mempunyai pemikiran bahwa materi atau zat merupakan satu-satunya kenyataan, karena itu semua peristiwa dapat terjadi melalui proses materiil. Demikian pula analogi yang terjadi pada manusia, yakni kejadian adanya adalah juga bagian dari proses-proses materiil itu sendiri.Aliran ini baik dari kalangan aliran materilalisme didaktik atau humanistic, keduanya tidak mengenal adanya kenyatan bersifat spiritual.Karena itu, bagi aliran ini kenyataan yang sebenarnya adalah alam semesta yang bersifat badaniah. Sebaliknya, bagi pemikir atau filsuf dari airan idelisme mereka menyangkul secara mendasar pemikiran materialisme di atas. Menurut aliran idelisma, bukan materi yang menjadi kenyataan, tetapi kenyataan yang sebenarnya adalah ide yang bersifat rohani dan/atau intelegensi. Karena itu, manusia oleh aliran ini dipandang bukan sebagai materi tetapi makhluk yang berjiwa/berkerohanian. Substansi pemikiran dari dua aliran di atas diyakini secara bersamaan oleh aliran realisme. Bagi aliran realisme kenyataan dapat berupa kenyataan dunia batin atau rohani dan dapat berupa kenyataan dunia batin atau rohani

dan dapat juga berupa kenyataan dunia materi. Keduanya dalam pandangan realisme adalah hakikat asli dan abadi. Hakikat manusia dengan demikian, adalah dapat dipandang sebagai makhluk kejiwaan/kerohanian, dan sekaligus makhluk materiil. Bandingkan berikutnya dengan pemikiran para tokoh aliran teologis. Aliran teologis ini jika dicermati tidak memiliki irisan dengan pemikiran aliran-aliran sebelumnya. Karana mereka cenderung meletakkan kedudukan manusia secara berbeda dengan makhluk lain di muka bumi, yakni karena hubungannya dengan Tuhan. Artinya, manusia menurut aliran ini diyakini sebagai makhluk materi, makhluk rohani, tetapi keduanya tidak bersifat abadi dan/atau sebagai hakikat asli. Menurut aliran ini, hakikat asli atau kenyataan utama adalah Tuhan itu sendiri. Jika kita tarik benang merah dari pemikiran beberapa aliran di atas, umumnya berusaha mendudukkan hakikat manusia sebagai makhluk di antara makhluk-makhluk lainnya di muka bumi ini, sekaligus membandingkan di antara keduanya. Kesamaan manusia sebagai makhluk dengan makhluk lainnya adalah pada dorongan naluriah (animal instinct) yang termuat dalam tiap gen mereka. Adapun yang membedakan manusia dari makhluk lainnya dalam hal pengetahuan dan perasaan (emosional dan kejiwaan). Melalui pengetahuan yang dimiliki manusia, ia dapat hidup jauh lebih berkembang (survival) daripada pengetahuan makhluk lainnya. Demikian juga melalui perasaan manusia, mereka dapat mengembangkan eksistensi kemanusiaannya menajdi lebih beradab disbanding makhluk lainnya. Secara lebih mendalam pendekatan keilmuan yang umumnya digunakan untuk membincangkan hakikat manusia ini adalah melalui ilmu antropologi filsafat atau filsafat manusia (anthropos dalam bahasa Yunani, berarti: manusia). Di mana awalnya, filsafat manusia lebih dekat dengan kajian psikologi filosofis atau psikologi rasional, tetapi tampaknya pendekatan psikolog dianggap kurang mencakup diskusi tentang manusia secara holistis. Karena sesungguhnya diskusi tentang filsafat manusia tidak saja membahas aspek jiwa dan raganya, tetapi juga roh dan badannya.

Dalam pandangan Adelbert Snijders, filsafat manusia dirumuskan sebagai refleksi atas pengalaman yang dilaksanakan secara rasional, kritis serta ilmiah, dan dengan maksud untuk memahami diri manusia dari segi yang paling asasi. Yakni, memahami manusia sebagai suatu kesatuan, di mana dalam kesatuan itu terdapat unsur keduanya (jiwa dan badan). Tujuan dari kajian filsafat manusia tidak lain adalah untuk memahami diri manusia dari segi yang paling mendasar tersebut. Berikut ini akan dikupas pandangan beberapa tokoh, pemikiran, dan alirannya. Sebagaimana pemiiran Plato dan Plotinos, bahwa manusia adalah makhluk ilahiah. Bahkan lebih ekstrem disampaikan Deserates, menurutnya manusia memiliki kebebasaan mirip seperti kebebasan yang dimiliki Tuhan. Tetapi, pandangan manusia sebagai makhluk ilahah tersebut ditolak oleh Epikuros dan Lukretius. Menurut keduannya manusia tak lebih dari makhluk hidup berumur pendek, ia lahir karena kebetulan, dan akhirnya sama sekali lenyap. Demikian juga seperti yang disampaikan Voltaire, manusia tidak berbeda secara esensial ibarat binatang yang paling tinggi atau sempurna. Pandangan lain tentang manusia disampaikan Hobbes. Ia berpendapat bahwa manusia pada dasarnya memiliki sifat agresif dan jahat. Tetapi Rousseau justru melihat sebaliknya, yaitu manusia dalam kodratnya adalah baik. Belakangan para pemikir, seperti Buber, Marcel, Levinas, dan Mounier menegaskan bahwa setiap manusia memiliki suatu kepribadian dengan kompeksitas manusia memiliki suatu kepribadian dengan kompleksitas nilai yang unik. Tetapi, pemikiran lainnya justru meletakkan manusia sebagai makhluk yang tak berarti atau keinginan yang sia-sia. Dapat disimpulkan bahwa para pemikir filsafat manusia dan ilmuwan memiliki pandangan yang berseberangan di antara dua titik secara ekstrem baik mereka yang berlatar periode kesejahteraan yang sama atau berbeda. Namun perdebatan hakikat manusia (lebens-philosophie)menurut penilaian filsuf mazhab Frankfurt Jerman Max Horkheimer (1895-1973) merupakan diskursus ilmiah yang sehat, yang dapat membuka kebekuan berpikir rasional yang abstrak dan menjadi lawan dari debut kapitalisme yang selama ini

berkembang pesat. Sebagai pengkritik positivisme, Horkheimer menyatakan selama ini saintisme tak lebih pendukung status-quo yang bersembunyi di balik objektivitas. Segala bentuk demikian menurut Horkheimer dan juga Habermas, telah dijerumuskan oleh kepentingan kognitif, dan karenanya tidak bebas nilai, termasuk teori kritis yang didorong oleh kepentingan emansipatoris (Sulistyanta, 2005). Menurut Jurgen Habermas (1929), bahwa kekuatan kritik erat kaitannya dengan metodologi maupun kondisi sejarah yang melatari, yakni kesadaran akan kritis social pada histories (sejarah) tertentu. Jika dicermati sesungguhnya kajian filsafat manusia tumbuh subur bersamaan dengan ideology kapitalisme yang sedang mendominasi arus keilmuan. Kritik mendasar yang hendak disampaikan para pengkaji filsafat manusia adalah seraun untuk tidak membatasi cara pandang keilmuan, selalu berpikir reflektif, dan jangan membuang cirri utama manusia sebagai makhluk yang selalu bertanya dan berpikir. Karena itu, berpikir refleksi merupakan aktivitas rohaniah, menemukan kebenaran untuk kehidupan bersama, sebagai makhluk eksentrik. Dengan berpikir kritis dan refleksi tidak menjadikan seseorang jauh dari Tuhan, berbeda dengan pemikiran kapitalis yang lebih mendekatkan seseorang pada materi atau kebendaan. Ungkapan Descartes yang dikenal luas cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada). Cogito (aku berpikir) adalah suatu kepastian tak tergoyahkan, ia ingin suatu kepastian tentang ekesistensi Tuhan dan ketidakmatian jiwa manusia. Hal yang sama dikemukakan Maine de Biran yang bertitik tolak pada volo (aku mau), dengan merefkeksikan aku mau, ia menemukan paham tentang diri dan pengaruh afeksi atas segala kepastiannya. Atau filsafat karl Marx dengan ungkapan manusia adalah makhluk yang bekerja. Artinya, sebagai makhuk paradoksal, manusia itu bebas dan terikat, otonom dan tergantung, terbatas dan tidak terbatas. Sebagai makhluk yang dinamis, manusia bebas dan bertanggung jawab, tetapi dalam kebebasan juga hadir suatu dorongan metafisika, suatu orientasi dasariah untuk menuju diri yang sejati. Sebagai makhluk multidimensional, manusia meskipun sebagai

10

suatu kesatuan, tetapi di dalam kesatuan itu ditemukan pelbagai dimensi ontologis dengan tingkatan yang berbeda. Herbert Marcuse, mengatakan meskipun seolah-olah manusia itu onedimensional man, yang terkurung dalam dimensi produksi-konsumsi, tetapi konsumerisme itu sesungguhnya bertentangan dengan panggilannya sebagai makhluk pluridimensional. Panggilan atau seruan itu berkaitan erat dengan hakikat manusia. W Luijpen, mengatakan being man is having to be man (diri manusia merupakan suatu seruan etis untuk manusia).

B. HAKIKAT MANUSIA DALAM KAJIAN ISLAM Melengkapi kajian hakikat manusia pada bahasan sebelumnya, maka dipandang penting untuk mendiskusikan hakikat manusia dalam perspektif Islam. Mengkaji manusia dalam perspektif keislaman tidak dapat dilepaskan dari konteks masyarakat muslim itu sendiri. Sebagaimana disebutkan Fazlur Rahman bahwasanya masyarakat Islam dibentuk karena ideologinya, yaitu Islam (Fazlur Rahman, 1980: 43). Ideologi adalah Weltanchauiting, yang menjelaskan realitas dalam perspektif tertentu. Ideologi adalah cara memandang realitas. Di antara realitas penting yang diulas ideologi adalah hakikat manusia. Konteks manusia dan masyarakat tersebut sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an, terdapat sekurangnya tiga istilah kuncui yang mengacu kepada makna pokok manusia, yaitu: basyar,insan, dan al-nas. Basyar disebut dalam AI-Qur'an sebanyak 27 kali. Dalam seluruh ayat tersebut, kalimat basyar menunjuk pada referensi manusia- sebagai makhluk biologis. Lihatlah bagaimana Maryam berkata: Tuhanku, bagaimana mungkin aku mempunyai anak, padahal aku tidak disentuh basyar (QS. 3: 47); atau bagaimana kaum yang diseru para nabi menolak ajarannya, karena nabi hanyalah basyar-manusia biasa yang "seperti kita", bukan manusia superstar. Kata basyar juga dihubungkan dengan ungkapan mitslukum (sebanyak tujuh kali) dan mitsluna (sejumlah enam kali). Nabi Muhammad SAW., disuruh Allah untuk menegaskan bahwasanya dirinya secara biologis, ia tak ubahnya sama seperti manusia yang lain: Katakanlah, aku ini manusia biasa (basyar)

11

seperti kamu, hanya saja aku diberi wahyu bahwa Tuhanmu ialah Tuhan yang satu (QS. 18: 110; QS. 41: 6). Tentang para nabi, orang-orang kafir selalu berkata: Bukankah ia basyar seperti kamu, ia makan apa yang kamu makan, dan ia minum apa yang kamu minum (QS. 33: 33). Ayat ini juga ditegaskan dalam QS. 25: 7, Mereka berkata; Rasul itu memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar; dan QS. 25: 20, Dan tidak Kami utus sebelumnya para utusan kecuali mereka itu memakan makanan dan berjalanjalan di pasar. Ketika wanita-wanita Mesir takjub melihat ketampanan Yusuf as., mereka berkata, Ya Allah, ini bukan basyar, tetapi ini tidak lain kecuali malaikat yang mulia (QS. 12: 31). Dari uraian tersebut, maka secara singkat bahwasanya konsep basyar selalu dihubungkan dengan sifat-sifat biologis manusia semata, yaitu butuh makan, minum, seks, berjalan di pasar, dan seterusnya. Sebaliknya, adalah tidak tepat jika menafsirkan kalimat basyarun mitsluklim sebagai manusia seperti kita dalam hal berbuat dosa. Keeenderungan para rasul untuk tidak patuh pada dosa dan kesalahan bukanlah masuk kategori sifatsifat biologis, tetapi merupakan sifat-sifat psikologis (atau spiritual). Sama tidak tepatnya ketika menafsirkan: Sesungguhnya telah kami jadikan insan dalam bentuk yang sebaikbaiknya (QS. 95: 4) dengan menunjukkan karakteristik fisiologi manusia. Yusuf Ali (1977: 1759), dengan tepat menafsirkan ayat ini to man God gave the purest and the best nature, and man's duty is to preserve the pattern on which God has made him (QS. 30: 30). Al-Syaukani (1964, 5: 65) menyebutkan umumnya para mufasir mengartikan ayat ini untuk menunjukkan kelebihan manusia secara fisiologis, yaitu berjalan tegak, dan makan dengan menggunakan tangan. Tetapi Ibn Arabi berkata, tidak ada makhluk Allah yang lebih bagus daripada manusia. Allah membuatnya hidup, mengetahui, berkuasa, berkehendak, berbicara, mendengar, melihat, dan memutuskan, dan ini adalah sifat-sifat rabbaniyah.

12

Artinya, konsepsi insan secara tegas berbeda dengan basyar. Jika ditelisik didapatkan penyebutan insan disebut sebanyak 65 kali dalam AlQur'an. Kita dapat mengelompokkan konteks insan tersebut dalam tiga kategori pokok. Pertama, insan dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai khalifah atau pemikul amanah. Kedua, insan dihubungkan dengan predisposisi negatif diri manusia. Dan ketiga, insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia. Kecuali kategori ketiga yang akan kita jelaskan kemudian, semua konteks insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual. Sementara istilah al-Nas sebagai konsep kunci ketiga mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Inilah manusia yang paling banyak disebut dalam Al-Qur'an (240 kali, lihat Abd. al-Baqi, al-Mu'jam; pada kata al-Nas). Pertama, banyak ayat yang menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan karakteristiknya. Ayat-ayat itu lazimnya dikenal dengan ungkapan wa min alNas (dan di antara sebagian manusia). Dengan memerhatikan ungkapan ini, kita menemukan kelompok manusia yang menyatakan beriman, tetapi sebetulnya tidak beriman (2:8), yang mengambil sekutu terhadap Allah (2:165), yang hanya memikirkan kehidupan dunia (2:200), yang

memesonakan orang dalam pembicaraan tentang kehidupan dunia, tetapi memusuhi kebenaran (2:204), yang berdebat dengan Allah tanpa ilmu, petunjuk, dan Al-Kitab (22: 3, 8; dan 31: 20), yang menyembah Allah dengan iman yang lemah (22: 11; dan 29: 10), yang menjual pembicaraan yang menyesatkan (31:6) ; di samping ada sebagian orang yang rela mengorbankan dirinya untuk mencari kerelaan Allah. Kedua, dengan memerhatikan ungkapan aktsar al-Nas, kita dapat menyimpulkan, sebagian besar manusia mempunyai kualitas rendah, baik dari segi ilmu maupun dari segi iman. Menurut Al-Qur'an sebagian manusia itu tidak berilmu (7: 187; 12: 21; 28; 68; 30: 6, 30; 45: 26; 34: 28, 36; dan 40: 57), tidak bersyukur (40: 61; 2: 243; dan 12: 38), tidak beriman (11: 17; 12: 103; dan 13: 1), fasik (5: 49), melalaikan ayat-ayat Allah (10: 92), kafir (17: 89; dan 25: 50), dan kebanyakan harus menanggung azab (22: 18). Ayat-ayat

13

ini dipertegas dengan ayat-ayat yang menunjukkan sedikitnya kelompok manusia yang beriman (4: 66; 38: 24; 2: 88; 4: 46; dan 4: 155), yang berilmu atau dapat mengambil pelajaran (18: 22; 7: 3; 27: 62; 40: 58; dan 69:42), yang bersyukur (34: 13; 7: 10; 23: 78; 67: 23; dan 32: 9), yang selamat dari azab Allah (11: 116), yang tidak diperdayakan setan (4:83). Surat 11: 16 menyimpulkan bukti kedua ini, jika kamu ikuti kebanyakan yang ada di bumi, mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Ketiga, Al-Qur'an menegaskan bahwa petunjuk Al-Qur'an bukanlah hanya dimaksudkan pada manusia secara individual, tetapi juga manusia secara sosial. Al-Nas sering dihubungkan Al-Qur'an dengan petunjuk atau AlKitab (57: 25; 4: 170; 14: 1; 24: 35; 39: 27).

C. HAKIKAT MANUSIA DALAM KEBUDAYAAN Kebudayaan sering kali dipahami dengan pengertian yang tidak tepat. Beberapa ahli ihnu sosial telah berusaha merumuskan berbagai definisi tentang kebudayaan dalam rangka memberikan pengertian yang benar tentang apa yang dimaksud dengan kebudayaan tersebut. Akan tetapi, ternyata definisi-definisi tersebut tetap saja kurang memuaskan. Terdapat dua aliran pemikiran yang berusaha memberikan kerangka bagi pemahaman tentang pengertian kebudayaan ini, yaitu aliran ideasional dan aliran behaviorisme/materialisme. Dari berbagai definisi yang telah dibuat tersebut, Koentjaraningrat berusaha merangkum pengertian kebudayaan dalam tiga wujudnya, yaitu kebudayaan sebagai wujud cultural system, social system, dan artefact. Artinya, kebudayaan tersusun atas beberapa komponen utama, yaitu yang bersifat kognitif, normatif, dan materiil. Sayangnya kemudian, cara pandang orang melihat kebudayaan sering kali terjebak dalam sifat chauvinism, yaitu membanggakan kebudayaannya sendiri dan menganggap rendah kebudayaan lain. Contoh sikap chauvinism seperti yang dikemukakan oleh Adolf Hitler misalnya, dengan kalimat Deutschland Uber Alles in der Welt (Jerman di atas segala-galanya dalam dunia). Demikian juga Inggris denganslogan: Right or Wrong is My Country.

14

Demikian pula Jepang yang menganggap bangsanya merupakan keturunan Dewa Matahari. Padahal seharusnya dalam memahami kebudayaan kita perlu jujur dan berpegangan pada sifat-sifat kebudayaan yang variatif, relatif, universal, dan counter-culture (meremehkan kultur lain). Antara manusia dan kebudayaan terjalin hubungan yang sangat erat, karena menjadi manusia tidak lain adalah merupakan bagian dari hasil kebudayaan itu sendiri. Hampir semua tindakan manusia merupakan produk kebudayaan. Kecuali tindakan yang sifatnya naluriah saja (animal instinct) yang bukan merupakan kebudayaan. Tindakan yang berupa kebudayaan tersebut dibiasakan dengan cara belajar, seperti melalui proses internalisasi, sosialisasi, dan alkulturasi. Karena itu, budaya bukanlah sesuatu yang statis dan kaku, tetapi senantiasa berubah sesuai perubahan sosial yang ada. Sebagaimana dikatakan Van Peursen (1988), bahwasanya budaya semestinya diperlakukan sebagai kata kerja, bukannya sebagai kata benda. Sebab suatu budaya dalam masyarakat terus-menerus berubah, bahkan meskipun itu adalah sebuah tradisi. Dan biasanya proses pengalihan atau perubahan budaya difasilitasi oleh adanya kontak komunikasi melalui bahasa. Tanpa bahasa, proses pengalihan kebudayaan tidak akan terjadi. Selanjutnya, hubungan antara manusia dengan kebudayaan juga dapat dilihat dari kedudukan manusia tersebut terhadap kebudayaannya. Manusia mempunyai 1)penganut empat kedudukan 2) terhadap kebudayaan, kebudayaan; yaitu 3) sebagai

kebudayaan;

pembawa

manipulator

kebudayaan; dan 4) pencipta kebudayaan. Sebagai penganut kebudayaan seseorang hanya menjadi pelaku tradisi dan kebiasaan yang berkembang dalam masyarakatnya. Sebaliknya, pembawa kebudayaan adalah pihak luar dan/atau anggota masyarakat setempat yang membawa budaya asing atau baru dalam tatanan masyarakat setempat. Tidak semua anggota masyarakat dapat beradaptasi dengan budaya baru yang datang dari luar. Umumnya, budaya baru sulit diterima dan butuh waktu bertahap untuk penyesuaian jika budaya baru tersebut ada kemungkinan diterima. Sementara manipulator kebudayaan adalah anggota masyarakat yang melakukan aktivitas

15

kebudayaan atau mengatasnamakan budaya setempat tetapi tidak sesuai dengan nilai-nilai atau ide luhur sebagaimana yang seharusnya dilakukan. Kedudukan tertinggi adalah manusia sebagai pencipta kebudayaan, yaitu mendorong secara sadar atau tidak sadar ke semua lapisan masyarakat untuk melakukan revitalisasi kebudayaan lama atau meneiptakan dan menemukan kembali kesepakatan barn terkait ide, aktivitas bermasyarakat, atau budaya baru yang dapat diterima secara masif. Pembentukan kebudayaan sebagaimana diuraikan di atas

sesungguhnya dikarenakan manusia dihadapkan pada persoalan yang meminta pemecahan dan penyelesaian atas kondisi kehidupan yang dialaminya. Dalam rangka bertahan atau survive, maka manusia harus mampu memenuhi apa yang menjadi kebutuhannya sehingga manusia melakukan berbagai cara agar tetap mampu beradaptasi dengan perubahan sosial yang terjadi. Apa yang dilakukan oleh manusia tersebut dapat disebut sebagai proses kebudayaan. Kebudayaan yang digunakan oleh manusia untuk menyelesaikan masalah-masalahnya, atau yang bisa kita sebut sebagai way of life, pedoman hidup yang digunakan setiap individu dalam bertingkah laku. Dengan demikian, maka secara definitif makna kebudayaan sendiri adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, serta kemampuan dan kebisaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai bagian dari anggota masyarakat (E. B. Taylor, 1871:21). Substansi penjelasan Taylor tersebut pada dasarnya telah rnerangkum semua definisi tentang kebudayaan yang pernah muncul (Jujun S. Suriasumantri, 2003: 261). Namun Kuntjaraningrat (1974), kemudian membaginya menjadi unsur-unsur kebudayaan secara lebih terperinci, yaitu terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem pencarian, serta sistem teknologi peralatan. Dalam kehidupannya, manusia mempunyai kebutuhan yang beragam dan terus bertambah mengikuti deras laju perubahan lingkungan sosial di sekitarnya. Dan secara naluriah, manusia melakukan banyak tindakan melalui

16

pelbagai cara agar kebutuhan dasarnya terpenuhi. Cara pemenuhan kebutuhan dasarnya itulah yang membedakaan manusia dengan makhluk hidup lainnya yang juga memiliki kebutuhan dasar, yang mungkin tidak jauh berbeda dengan manusia. Kebudayaan dalam konteks ini yang menjadi pembeda antara manusia dan binatang. Maslow dalam Jujun (2003: 262), membagi kebutuhan manusia dalam lima kelompok kebutuhan mendasar, yaitu fisiologi, rasa aman, afiliasi, harga diri, dan pengembangan potensi. Pada binatang, kebutuhan pokoknya terpusat pada fisiologi dan rasa aman, demikian juga pemenuhannya dilakukan secara instingtif atau naluriah. Sementara pada manusia, pemenuhan kebutuhannya diperoleh melalui cara hidup berdasarkan kebiasaan, tradisi, atau kebudayaan pendahulunya. Karena itu, kebudayaan tak ubahnya seperti kompas penyelamat (survival kit) bagi keberlanjutan nilai-nilai kemanusiaan. Manusia memiliki kemampuan dasar selain instingtif, juga

kemampuan untuk terus belajar, berkomunikasi, dan menguasai objek-objek yang bersifat fisik. Dengan kemampuan berkomunikasi dan belajar menjadikan manusia terus meningkatkan kecerdasan dan eara berpikirnya. Selain itu, manusia juga memiliki kehalusan perasaan atau kejiwaan yang di dalamnya terkandung dorongan-dorongan hidup dasar, insting, perasaan, berpikir, kemauan, dan fantasi. Kejiwaan atau budi yang dimiliki manusia menjadi motor atau penggerak bagi tereiptanya hubungan bermakna dengan alam sekitarnya melalui penilaian atas objek dan kejadian. Nilai yang diberikan oleh manusia inilah yang menjadi tujuan dan substansi dari kebudayaan itu sendiri. Jika disimpulkan, maka inti dari kebudayaan adalah nilai-nilai dasar dari segenap wujud kebudayaan atau hasil kebudayaan. Nilai-nilai budaya dan segenap hasilnya adalah muncul dari tata cara hidup yang merupakan kegiatan manusia atas nilai-nilai budaya yang dikandungnya. Cara hidup manusia tidak lain adalah bentuk konkret (nyata) dari nilai-nilai budaya yang bersifat abstrak (ide). Dengan bahasa lain nilai budaya hanya bisa diketahui melalui budi dan jiwa, sementara tata cara hidup manusia dapat diketahui

17

oleh pancaindra. Dari ide kebudayaan dan tata cara hidup manusia kemudian terwujud produk (artefak) kebudayaan sebagai sarana untuk memudahkan atau sebagai alat dalam berkehidupan. Sarana kebudayaan adalah perwujudan secara fisik atas nilai-nilai budaya dan tata cara hidup yang dilakukan manusia guna memudahkan atau menjembatani tercapainya pelbagai kebutuhan manusia. Mendukung dikemukakan konsepsi kebudayaan sebelumnya, adalah sebagaimana keseluruhan Parsudi Suparlan, kebudayaan

pengetahuan yang dipunyai manusia sebagai makhluk sosial; yang isinya adalah perangkat model-model pengetahuan (pedoman hidup; atau blueprint; atau desain untuk kehidupan) yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi, dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya (menghasilkan kelakuan dan benda/peralatan). Definisi ini tampaknya sejalan dengan James P. Spradley yang menyatakan "Culture is the acquired knowledge that people use to interpretation experience and to generate social behavior .., we speak of them as cultural knowledge, cultural behavior, and Cultural artifacts" (Kebudayaan adalah pengetahuan yang diperoleh yang digunakan penduduk untuk menginterpretasi pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial ... kita katakan semua itu sebagai kebudayaan pengetahuan, kebudayaan tingkah laku, dan kebudayaan kebendaan)1. Kebudayaan, dengan demikian adalah ide berupa model-model pengetahuan yang dijadikan landasan atau acuan oleh seseorang sebagai anggota masyarakat melakukan aktivitas sosial, menciptakan materi kebudayaan dalam unsur budaya universal: agama, ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian, seperti pada Gambar 1.
Lihat juga Malinowski, Bronislaw, Magic, Science and Religion and Other Essays. Garden Ciry New York: Doubleday & Company, Inc., 1948 hlm. 91; dan Tumanggor, Rusmin, Sistern Kepercayaan dan Pengobatan Tradisional (Disertasi), Jakarta: Universitas Indonesia, 1999, hlm. 3; White, Leslie A katakan "... we shall distinguish three sub-system of culture. namely, technological, sociological, and ideological system. ...These three categories comprise the system of culture as a whole" (dalam The Science of Culture: A Study of Man and Civilization). New York: Doubleday Canada Ltd. 1949 hlm. 364
1

18

19

Legenda: Setiap kotak unsur kebudayaan ini terbuka satu sama lainnya, termasuk dari suatu suku bangsa kepada suku bangsa lainnya.

Agama sering menjadi kuat dominasinya jika ia kuat penekanannya pada nilai tertinggi "ultimate value", yaitu hubungannya dengan Maha Pencipta (Tuhan), dan kehidupan abadi serta keadilan tertinggi atas kebaikan dan keburukan (pahala atau dosa) atas pola pikir, sikap, dan perilaku selama di dunia fana. 1) Agama Dalam temuan antropologi dan sosiologi, komponen-komponen

pokokyang terdapat dalam setiap agama meliputi adanya: umat beragama, sistem keyakinan, sistem peribadatan/ritual, sistem peralatan ritus, dan emosi keagamaan. 2) Ilmu pengetahuan Dari penelitian antropologi dan sosiologi, semua masyarakat pendukung suatu kebudayaan, memiliki sistem pengetahuan yang utuh menanggapi keberadaan alam nyata (natural) dan nirnyata (supernatural). Kondisi ini menyambung kepada pemahaman tentang kehidupan dankematian, perbuatan dan keadilan, kefanaan dankeabadian. 3) Teknologi Antropologi dan sosiologi juga menjumpai bahwa setiap warga masyarakat pendukung suatu kebudayaan memiliki kemampuan secara ide hingga melaksanakan kegiatan bersama melahirkan peralatan hidup yang difungsikan untuk memenuhi kebutuhan pada pelbagai unsur kebutuhan budaya universal lainnya.

20

4) Ekonomi Antropologi serta sosiologi juga menemukan dalam setiap masyarakat kebudayaan adanya bentuk-bentuk ekonomi (berburu-meramu, bercocok tanam, barter, pasar/ uang, dan foto, komunikasi). Rentangan kekuatan ekonomi (investasi, produksi, keagenan, distribusi, eceran, buruh, kegiatan pasar, dan penjabaran penghasilan). 5) Organisasi sosial Pada setiap masyarakat pendukung kebudayaan akan selalu terdapat variasi kelompok warga masyarakat (kemargaan, jaringan kawin-mawin, kampung/kewilayahan, keetnisan, profesi, dan politik). 6) Bahasa dan komunikasi Setiap masyarakat pendukung suatu Icebudayaan memiliki simbol-simbol bunyi dan intonasi serta isyarat yang digunakan untuk menyampaikan sesuatu maksud kepada seseorang atau khalayak untuk dipahami dan dilaksanakan. Ada untuk pereakapan, tulisan, maupun seni. Ada kata-kata untuk umum, dari hati ke hati, anak-anak, teman sebaya, orang tua, dan tamu. Ada yang esensinya world view, penjelasan alam semesta, dan tatakrama. 7) Kesenian Antropologi menemukan bahwa pada setiap masyarakat kebudayaan mempunyai ungkapan seni berupa simbol pernyataan rasa senang dan susah (suka duka). Baikuntuk umum maupun untuk sendiri. Muncul pula dalam berbagai bentuk: ukiran, gambar, tulisan, ungkapan, teater, pentas, dan gerak/tari. Semua komponen ini dimiliki sebagai unsur kebudayaan bahkan menjadi faktor pembangunan dari setiap suku bangsa mulai dari tingkat sektoral, regional, nasional, hingga internasional. Unsur-unsur itu juga akan melintasi batas-batas wilayah tersebut (cross cultural). Selain itu, dapat diketahui simbol-simbol lain yang wujudnya lebih konkret dari wujud pertama untuk dapat menjadi pembeda atau berlaku sebagai cultural traits antara kebudayaan yang satu dengan lainnya. Wujud konkret dari simbol-

21

simbol tersebut ialah perilaku, kebiasaan, habitus (sebagaimana sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu, menyebutnya), atau yang kita kenal dengan istilah adat istiadat sebagai wujud kedua dari kebudayaan. Selain adat istiadat, elemen lainnya ialah budaya materiil. Budaya materiil (material culture) atau artefak atau benda-benda hasil produksi suatu kebudayaan merupakan hal-hal dalam kebudayaan yang paling konkret (empiris). Ada empat bentuk yang dapat diidentifikasi dan dikategorikan sebagai peninggalan budaya. Pertama, benda-benda fisik atau material culture. Wujud pertama ini mencakup seluruh benda-benda basil kreasi manusia, mulai dari bendabenda dengan ukuran yang relatif kecil hingga benda-benda yang sangat besar (dari emblem kerajaan Sultan Nata Sintang, kain songket, keris, sampai Candi Borobudur, misalnya). Kemudian, wujud kedua ialah pola-pola perilaku yang merupakan representasi dari adat istiadat sebuah kebudayaan tertentu. Bentuk kedua ini meliputi hal-hal keseharian, seperti pola makan, kerja, belajar, berdoa, hingga pola-pola yang bersangkutan dengan aktivitas sebuah komunitas, seperti pola upacara adat ataupun ritual Ngaben di masyarakat Bali. Di dalam pola-pola keseharian itu, terkandung nilai-nilai atau tata aturan dari adat istiadat yang berlaku. Tata aturan yang berlaku tersebut merupakan ejawantah dari pandangan hidup atau sistem nilai dalam masyarakat tertentu, di mana pandangan hidup ini merupakan wujud ketiga dari kebudayaan. Wujud ketiga ini bersifat lebih abstrak dibanding kedua wujud sebelumnya. Sistem nilai atau pandangan hidup ini bisa berupa falsafah hidup atau kearifan lokal dari suatu masyarakat dalam memandang atau memaknai lingkungan sekitarnya. Hal ini tiada lain adalah representasi dari pola pikir atau pengetahuan atau logika masyarakat pengampu kebudayaan tertentu. Selain itu, dalam konteks tinggalan budaya di sini, terdapat satu lagi bentuk peninggalan yang merupakan wujud keempat, yakni lingkungan. Barangkali, muncul pertanyaandalam benak kita mengapa lingkungan dapat dikategorikan sebagai warisan budaya? Lantas, lingkungan seperti apa yang

22

termasuk peninggalan budaya? Sebelum masuk pada pemaparan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada baiknya bila mengetahui terlebih dulu pengertian lingkungan di dalam tulisan ini. Ahimsa-Putra (2004: 38), menjelaskan bahwa lingkungan atau environment secara garis besar dapat dibedakan berdasarkan (1) sifat atau keadaannya dan (2) asal usulnya. Lingkungan atas dasar kategori sifat ini masih dapat dipilah lagi menjadi: 1. Lingkungan fisik, berupa benda-benda yang ada di sekitar kita, makhluk hidup, dan segala unsur-unsur alam. 2. Lingkungan sosial, meliputi perilaku-perilaku manusia atau pelbagai aktivitas sosial yang berupa interaksi antar-individu serta berbagai aktivitas individu. 3. Lingkungan budaya, mencakup pandangan-pandangan, pengetahuan, norma-norma, serta aturan-aturan yang berlaku dalam suatu masyarakat. Adapun, lingkungan yang dilihat dari asal usulnya berupa: (1) lingkungan alami (natural environment), di mana lingkungan jenis ini memiliki pengertian keseluruhan unsur di luar diri manusia yang bukan ciptaan manusia, dan (2) lingkungan buatan (built environment) yakni lingkungan yang merupakan hasil kreasi manusia. Lingkungan dapat menjadi bagian dari tinggalan budaya (artifacts), oleh karena itu, lingkungan memainkan peran sebagai bagian yang tak terpisahkan bagi terciptanya kebudayaan itu sendiri. Sebagai ilustrasi, dapat dibandingkan masyarakat pesisir atau nelayan di sepanjang Pantai Utara Jawa di Cirebon, masyarakat nelayan di Kepulauan Karimunjawa, atau masyarakat Suku Laut di Thailand Selatan dengan masyarakatnya yang agraris, seperti masyarakat petani salak di Yogyakarta atau masyarakat petani kopi di kawasan pegunungan Minahasa. Letak perbedaan pertama yang tampak dengan jelas ialah kawasan atau lingkungan di mana mereka menjalani siklus kehidupannya (lahir, bekerja, berinteraksi, kawin, dan sebagainya), yakni pegunungan atau dataran tinggi dan pesisir atau pantai. Perbedaan kedua ialah pola pikir masyarakatnya atau cara pandang mereka terhadap hidupnya. Pola pikir masyarakat pesisir dengan masyarakat pegunungan sudah tentu

23

berlainan. Perbedaan ini terletak pada tataran perangkat pengetahuan (sistem simbol) masyarakat yang pada gilirannya memengaruhi cara mereka memaknai persoalan-persoalan atau hal-hal yang berkaitan dengan

lingkungannya, dengan hidupnya. lnilah yang dinamakan kearifan lokal, sebuah pengetahuan yang khas pada masyarakat tertentu, yang muncul lewat penghayatan manusia atas lingkungannya. Penghayatan terhadap lingkungan inilah yang kemudian menghasilkan kearifan lokal atau kebudayaan yang khas pula, yakni sistem nilai, adat istiadat, dan artefak-artefak budaya (Ahimsa-Putra, 2008: 11-12). Dengan demikian, lingkungan sebagai salah satu entitas penting dalam pembentukan sebuah kebudayaan dapat dikategorikan sebagai warisan atau tinggalan budaya, sehingga ia harus dilindungi dan dilestarikan.

D. ETIKA DAN ESTETIKA BERBUDAYA Perjalanan kebudayaan manusia dalam sejarahnya erat kaitannya dengan pendidikan. Sebab semua materi yang terkandung dalam kebudayaan yang diperoleh manusia selain dilalui secara sadar juga dilalui dengan proses belajar. Melalui proses belajar itulah transfer nilai-nilai kebudayaan terhadap generasi ke generasi berikutnya dilakukan. Sehingga nilai-nilai kebudayaan senantiasa berkelanjutan dari waktu ke waktu, dari kebudayaan masa lalu menuju kebudayaan masa kini. Adakebudayaan masa lalu yang tetap dipertahankan dalam kebudayaan masa kini, ada juga yang ditinggalkan atau tidak digunakan. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan kebudayaan pada masa lalu yang pernah ditinggalkan akan kembali digunakan oleh generasi mendatang. Artinya, sebagaimana disampaikan oleh Alferd Korybski, bahwa kebudayaan mempunyai kemampuan mengikat waktu. Jika tanaman hanya mampu mengikat bahan-bahan kimiawi yang penting bagi pertumbuhan tanaman itu, binatang mengikat ruang, maka manusia mengikat waktu (Jujun, 2003: 263). Dengan itu seseorang dikatakan berbudaya pada hakikatnya ketika ia telah menjaga nilai-nilai luhur dan

24

tatanan kemasyarakatan yang telah berlaku sebelumnya, dan dengan tetap terbuka terhadap kemungkinan masuknya kebudayaan baru. Kebudayaan nyakkebudayaan Indonesia ada di adalah dunia. salah satu dari sekian ba-

yang

Keberadaannya-sama

dengan

kebudayaan laintelah berlangsung dalam waktu yang lama. Mendiskusikan kebudayaan Indonesia, maka kita akan berbicara tentang sejarah panjang pertemuan antar kebudayaan daerah Indonesia dengan kebudayaan dari luar Indonesia. Pertemuan antar kebudayaan-kebudayaan di Indonesia, sudah dimulai sejak masuknya agama Hindu dan Buddha. Kebudayaan daerah Indonesia yang masih sederhana kemudian bertemu dengan agama Hindu dan Buddha yang menjadi sedemikian meluas dan dianut oleh banyakmasyarakat di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya kerajaan yang pernah ada di wilayah Barat dan Tengah. Indonesia yang menganut agama tersebut seperti Kutai,

Tarumanegara, Sriwijaya, Padjajaran, dan Majapahit. Pada masa Kerajaan Majapahit, kebudayaan Indonesia mencapai kebersamaannya dengan menyatukan kerajaan yang ada di Nusantara oleh Patih Gajah Mada, yang terkenal dengan Sumpah Palapa. Kesatuan ini jelas menjadikan kebudayaan di Indonesia semakin dinamis. Terlihat mulai munculnya berbagai persoalan kebudayaan, salah satunya seperti hubungan kerajaan di daerah dengan Majapahit. Keadaan ini semakin terlihat, ketika agama Islam mulai banyak dianut oleh masyarakat di Indonesia, bahkan hingga tingkat kerajaan. Perubahan keyakinan ini membuat banyak perubahan di bidang lain, kesetaraan antara sesama manusia, semakin berkembangnya sastra, berdirinya kerajaan-kerajaan baru, dan lain-lain. Perjalanan kebudayaan Indonesia dipengaruhi oleh masuknya Portugis, awal masa penjajahan melanda wilayah Nusantara. Dengan ditutupnya Terusan Suez membuat banyak negara di belahan dunia Barat mengalihkan perhatiannya ke wilayah-wilayah tropis untuk mencari rempahrempah. Tokoh-tokoh, seperti Vasco da Gama, Marcopolo, dan Bartholomeus

25

Diaz, mencari sebuah wilayah perdagangan baru. Salah satu wilayah yang mereka temukan adalah tanah Nusantara, yang akhirnya menjadikan Nusantara sebagai wilayah jajahan dalam periode masa yang panjang. Meskipun dalam kesabaran yang panjang pula akhirnya Nusantara menapaki jalan menuju persatuan, menjadi Negara RepublikIndonesia. Masa tersebut, dipenuhi dengan berbagai peperangan di berbagai daerah Nusantara, mulai dari negeri Aceh hingga Maluku. Peperangan yang digerakan oleh semangatmempertahankan diri. Strategi perang dengan taktik memecah belah atau devide et impera membuat perlawanan yang diberikan oleh para pejuang di daerah menjadi tidak berarti. Meskipun demikian, perlawanan di seluruh wilayah Nusantara masih terus diberikan terhadap kedatangan para pendatang asing yang bermaksud menjajah, mulai dari "kecil-kecilan" hingga akhirnya memuncak pada perlawanan secara serentak terhadap penjajahan di bumi Nusantara. Peristiwa paling dikenang adalah ketika Indonesia akhirnya memperoleh kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Jika dikaji selama dalam masa penjajahan tersebut, bukan hanya kisah perlawanan fisik semata, tetapi juga tentang perlawanan kebudayaan. Oleh karena itu, terjadi perubahan yang besar dalam banyak bidang kehidupan kita. Dalam hal ini, misalnya dapat disoroti perubahan bentuk pemerintahan. Perubahan bentuk pemerintahan, dari kerajaan kepada negara, menjadi sebuah perubahan yang menuntut adanya kesatuan wilayah dan kebudayaan di Indonesia. Pada masa ini pula, polemik tentang dasar negara, bahasa, Undang-Undang Dasar, dan persoalan kebudayaan nasional mulai terlihat. Saat itu, telah banyak usaha yang dilakukan untuk merumuskan apa itu kebudayaan Indonesia. Kekayaan kebudayaan yang sedemikian hebat dari wilayah Indonesia, membuat para perumus tidak ingin menghilangkan kebudayaan yang sudah lama hidup di negeri ini. Kekayaan kebudayaan yang telah terkenal kebesarannya ke seluruh mancanegara, dari Tiongkok hingga Eropa. Namun hingga saat ini, usaha perumusan tersebut belum membuahkan hasil yang final dan memuaskan. Bahkan kita tampaknya perlu jujur bahwa

26

masyarakatIndonesia telah banyak yang teralihkan perhatiannya kepada kebudayaan yang dibawa oleh bangsa Eropa dan Amerika. Untuk itu, penting bagi kita semua melakukan upaya pengembangan kebudayaan Indonesia secara terus-menerus. Rumusan nilai-nilai luhur yang tertuang dalam UUD Dasar 1945 dan Pancasila perlu untuk terus disempurnakan secara berkelanjutan agar kebudayaan nasional sebagai identitas kebangsaan teraktualisasi secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Prinsip-prinsip pengembangan kebudayaan Indonesia sebagaimana telah dilakukan oleh generasi sebelumnya penting

mempertimbangkan hal-hal berikut: a. Jujur. b. Tanggung jawab. c. Menepati janji. Toleransi. d. Berpedoman pada kebudayaan Indonesia. e. Tanamkan minat sejak dini pada kebudayaan daerah Indonesia. f. Mempelajari dan mengenali kebudayaan daerah Indonesia (tarian, kerajinan tangan, seni bertutur, alat musik daerah, membangun rumah kebudayaan daerah, dan lain-lain). Sudah saatnya kebudayaan Indonesia memiliki kesejajaran dengan budaya barat. Oleh karena itu, mulai disadari bahwa kebudayaan daerah di Indonesia memiliki keunggulan mulai dari pandangan tentang alam hingga pranata sosial. Dan masyarakat Barat juga mulai menyadari kekurangan kebudayaan mereka sendiri, yang terlihat lewat gairah dan ketertarikan kepada kebudayaan Timur sebagai penawar kegelisahan mereka. Mengenali dan mengembangkan kebudayaan Indonesiaadalah tugas yang diemban oleh setiap warga negara Indonesia. Jangan tinggalkan kebudayaan Indonesiakarenakekayaan menunggu untuk dikenali,

dikembangkan, hingga akhirnya dapat hidup mencapai kebesarannya, yang dahulu pernah dimiliki. Konteks keindonesiaan, kebudayaan manusia Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah didesak oleh serbuan kebudayaan asing melalui

27

deras arus globalisasi (tata cara hidup sosial lintas-antarbenua). Sementara kebudayaan milik daerah atau nasional sendiri sering kali sulit beradaptasi dengan budaya asing. Di era tahun 2000-an, misalnya terlihat begitu mencolok perilaku atau tata cara hidup generasi muda yang dekat dengan budaya asing. Bandingkan antara kegiatan para remaja yang keluar masuk pub, diskotek dan tempat hiburan malam lainnya terutama di kota-kota besar dan metropolitan dengan kegiatan gotong royong, silaturahmi (kunjung mengunjungi) sanak famili, membatik, belajar pantun, dan lainnya yang menjadi wujud kebudayaan leluhur masa lalu. Proses akulturasi budaya asing dengan budaya lokal masih kental dengan pengejawantahan nilai-nilai asing itu sendiri dibanding menjadi sebuah kebudayaan milik sendiri. Artinya, kebudayaan yang ditampilkan kebanyakan generasi muda saat ini bukan melalui proses belajar dan secara sadar mewakili kebutuhan mendasar mereka, tetapi lebih mengikuti tren kebudayaan baru dari luar (budaya global). Contoh-contoh akibat globalisasi sebelumnya menunjukkan bahwa, dalam realitasnya, globalisasi mampu menjadi penentu arah perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia di dunia. Dalam lingkup sosiokultural yang lebih sempit, salah satu implikasi globalisasi ialah pada munculnya pola-pola baru dari suatu kebudayaan dalam beragambentuk dan

tatanannya.Kebudayaan dengan corak baru ini kerap kita sebut sebagai kebudayaan pasca-industri, pascamodern, ataupun postmodern. Keadaan masyarakat di era milenium kelima tersebut memiliki konsekuensi logis pada situasi yang akan menggiring kita, sebagai "warga dunia", untuk berpikir, berkeputusan, hingga bertindak dalam ritme yang relatif cepat. Dari kenyataan itu, tidak bisa dimungkiri bahwa realitas sosial semacam ini sesungguhnya lahir karena transformasi yang signifikan pada core kebudayaan itu sendiri, yakni pola atau cara berpikir dan cara memandang dunia. (Al Mudra, 2007a dan 2008a) Dalam konteks sosial-budaya masyarakatIndonesia, implikasi lain dari lahirnya bentuk-bentuk baru dari peradaban dan kebudayaan postmodern di

28

atas ialah mulai ditinggalkannya produk-produk kebudayaan lokal (seni, bahasa, pola-pola perilaku, maupun benda budaya lainnya) oleh

masyarakatnya. Produk-produk budaya lokal mulai ditinggalkan lantaran dianggap ketinggalan zaman, tidakup-to-date, kuno, dan semacamnya. Oleh karenanya, generasi terkini dengan basis kulturalnya masing-masing kemudian, meski tidak semua, akhirnya lebih memilih untuk mengadopsi budaya baru atau budaya kekinian (hybrid culture) yang telah berasimilasi dengan budaya Barat. Persoalannya bukan terletak pada boleh tidaknya diterima dan dipraktikkannya budaya hybrid tersebut, melainkan terletak pada sikap penafian budaya lama (peninggalan nilai luhur nenek moyang) oleh generasi masa kini. Ketika warisan budaya tiada lagi diindahkan, maka yang akan terjadi ialah sebuah krisis idcntitas (jati diri). Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita berupaya menjaga, merawat, mengemas, dan memublikasikan kekayaan warisan budaya kita kepada dunia untuk mengukuhkan identitas kita sebagai bangsa yang bermartabat. Sebab, hanya dengan memahami dan menjaga kekayaan warisan budaya dan sejarah, bangsa ini akan dihargai dan dipandang secara terhormat oleh bangsa lain. Benefit lain yang bisa dipetik ialah bahwa bangsa ini juga dapat berangsur melepaskan diri dari hegemoni budaya asing (A1 Mudra, 2007b). Penting untuk digarisbawahi di sini, masyarakat yang dinamis tidak selalu menolak pengaruh budaya luar. Produk budaya asing yang mendorong kepada perbaikan hidup dankemajuan, tidak perlu serta-merta ditolak, meski tetap menjaga maratabat dan jati diri bangsa. Hal ini berpegang pada prinsip "al muhafadhatu ala al qadimi as sholih wal akhdzu bi al jadidi al ashlah", yang maknanya adalah menjaga warisan (budaya) lama yang baik, dan mengadopsi sesuatu (budaya) yang baru yang lebih baik. (Ibid, 2007b) Hanya manusia yang memiliki kebudayaan, begitu kira-kira teori Erns Cassirer, seorang ahli lingustik asal Swiss, dalam bukunya An Essay on Man (1945 via Ahimsa-Putra, 2002; 2004; 2005). Disebutkan olehnya bahwa kebudayaan atau budaya merupakan eiri penting (khas) dari manusia, yang membedakan manusia dengan binatang. Mengulang bahasan sebelumnya,

29

mengapa hanya manusia yang memiliki kebudayaan, sedangkan binatang atau makhluk lainnya tidak? Pendapat ini berangkat dari pemahaman bahwa manusia merupakan animal symbolicum atau binatang yang mengkreasi simbol. Sebab itu, hanya manusia yang dapat melakukan simbolisasi terhadap sesuatu. Manusia merupakan makhluk yang mampu menggunakan,

mengembangkan, dan menciptakan lambang-lambang atau simbol-simbol untuk berkomunikasi dengan sesamanya (Ahimsa-Putra, 2004:29). Sementara itu, apa yang dimaksud dengan simbol? Definisi konsep simbol atau lambang ialah segala sesuatu yang dimaknai di mana malrna dari suatu simbol itu mengacu pada sesuatu (konsep) yang lain. Wujud lambang-lambang ini bisa berupa teks (tulisan), suara, bunyi, gerak, gambar, dan lain sebagainya. (Ibid.) Oleh karena hanya manusia yang dapat melakukan pemaknaan terhadap sesuatu dan sesuatu yang dimaknai ini merupakan sebuah lambang basil kreasi manusia sendiri, dan proses simbolisasi ini melahirkan kebudayaan, maka kebudayaan dalam hal ini dapat didefinisikan sebagai: seperangkat atau keseluruhan simbol yang digunakan atau dimiliki manusia dalam hidupnya untuk bisa melakukan reproduksi dan menghadapi lingkungannya, yang diperoleh lewat proses belajar dalam kehidupannya sebagai anggota suatu masyarakat atau komunitas (Ibid). Di sini perlu dicatat bahwa setiap manusia beserta komunitasnya memiliki perangkat simbol (baca: kebudayaan) dan proses simbolisasinya (proses berkembangnya kebudayaan) masing-masing, sehingga pemaknaan atau penafsiran yang lahir juga beragam (lihat juga Geertz, 1973: 89). Hal inilah yang kemudian melahirkan diversivitas budaya dalam kehidupan manusia. Catatan berbudaya seperti apakah yang perlu ditanamkan ke setiap generasi bangsa terhadap kebudayaan Nusantara kita. Adalah di antaranya dengan menjaga sikap jujur dan bertanggung jawab terhadap setiap perubahan nilai, aktivitas bersosial dan bermasyarakat, serta produk kebudayaan yang dihasilkannya. Tanpa harus tertutup terhadap kebudayaan luar, pelestarian kebudayaan sendiri merupakan prioritas utama untuk menegaskan identitas kebangsaan dan kenegaraan kita.

30

E. PROBLEMATIKA KEBl1DAYAAN INDONESIA Menelusuri pergulatan kebudayaan di Indonesia, akan ditemukan sebuah fenomena yang lazim dihidupi yaitu, kerendahdirian

masyarakatIndonesia terhadap kebudayaannya sendiri. Kerendahdirian ini muncul dari hubungan antara kebudayaan Barat dengan kebudayaan daerah di Indonesia, Barat yang sering diposisikan sebagai pihak superior dan kebudayaan daerah di Indonesia sebagai pihak inferior. Rendah diri ini disebabkan oleh penjajahan, kerusakan perilaku masyarakatIndonesia, dan pencitraan yang kuat dari media tentang keunggulan kebudayaan Barat. Namun dari beberapa sebab tersebut, yang terus terjadi hingga saat ini dan yang paling mendasar adalah peneitraan. Dikatakan mendasar karena pada saat penjajahan pun sudah terjadi proses pencitraan tersebut. Ungkapan khusus seperti, ilmiah, keren, funky, dan gaul adalah ungkapan yang secara tidak langsung menujukkan kondisi rendah diri. Ungkapan-ungkapan tersebut sering kali dilekatkan kepada kebudayaan Barat, sedangkan kebudayaan daerah di Indonesia, sepertinya jauh dari ungkapan-ungkapan tersebut. Hal ini memang tidak sepenuhnya bermasalah, karena Barat memang memiliki keunggulan dalam bidang-bidang tertentu, seperti di bidang sains (ilmu pengetahuan). Namun penilaian kebudayaan Barat lebih superior dan kemudian fenomena masyarakat Indonesia meninggalkan kebudayaannya sendiri yang sudah lama dihidupi, tentu menjadi suatu masalah. Kebudayaan daerah di Indonesia ditinggalkan hanya karena dieitrakan tidak ilmiah, keren, dan sebagainya. Padahal, mulai disadari bahwa kebudayaan daerah di Indonesia memiliki keunggulan mulai dari pandangan tentang alam hingga pranata sosial. Dan juga masyarakat Barat mulai menyadari kekurangan kebudayaan mereka sendiri yang terlihat lewat gairah dan ketertarikan kebudayaan Timur sebagai penawar kegelisahan mereka. Menurut banyak ahli permasalahan kemunduran budaya nasional muncul karena persoalan pencitraan, dan karena itu harus juga diselesaikan

31

dengan cara pencitraan. Sudah saatnya kita melihat bahwa kebudayaan Indonesia memiliki kesejajaran dengan kebudayaan Barat, setelah

kebudayaan Indonesia kurang dikenakan dan kurang dikenali oleh sebagian masyarakat Indonesia yang hidup mulai masa 70-an. Tentu, usaha untuk mengenali kebudayaan Indonesia adalah tugas yang diemban oleh setiap warga negara Indonesia. Pengenalan ini merupakan salah satu modal untuk memiliki dan mengembangkan kebudayaan Indonesia. Minimnya pengenalan ini, merupakan salah satu faktor yang membuat rendahnya rasa kepemilikan dan keinginan untuk mengembangkan kebudayaannya sendiri. Problem kebudayaan dewasa ini antara lain adalah terjadinya penafsiran budaya yang cenderung keliru. Hal tersebut akibat miskomunikasi budaya antargenerasi yang terusmenerus terjadi. Padahal, sebagai sistem gagasan yang terdiri dari nilai-nilai, norma dan aturan, kebudayaan harus dilihat dalam tiga aspek sekaligus, masing-masing proses pembelajaran, konteks, dan pelaku pendukung kebudayaan. Ketiga aspek ini dapat menentukan seberapa besar dan kuat peran kebudayaan dalam membangun kehidupan lebih baik. Revitalisasi kebudayaan merupakan proses logis dari bagaimana kebudayaan berperan dalam pembangunan dengan tanpa meninggalkannya atau bahkan melupakannya. Kebudayaan selamanya merupakan langkah strategis pembangunan bangsa. Alasannya, belum ada suatu usaha yang teruji untuk mengakomodasi budaya lokal di tingkat nasional, sehingga ternyata perjalanan bangsa sampai kini masih menuju pada kondisi yang memprihatinkan secara budaya. Contohnya, konflik yang menggunakan atau memanipulasi simbol-simbol budaya. Padahal tujuan akhir dari pengembangan kebudayaan pada hakikatnya adalah peradaban. Sebagai bangsa yang beradab (civilized society), Indonesia sangat perlu menempatkan kebudayaan sebagai konsepsi dan sekaligus strategi. Kelembagaan formal dan informal dalam masyarakat bertanggung jawab kepada keutuhan masyarakat. Pendukung kebudayaan menjadi titik sentral bagaimana proses pengembangan kebudayaan

berlangsung secara kelembagaan (instituted process).

32

33

BAB 3 MANUSIA SEBAGAI INDIVIDUDAN MAKHLUK SOSIAL


A. HAKIKAT SOSIAL Di dalam diri manusia terdapat dua kepentingan, yaitu kepentingan individu dan bersama. Kepentingan individu didasarkan manusia sebagai makhluk individu, karena pribadi manusia yang ingin memenuhi kebutuhan pribadi. Kepentingan bersama didasarkan manusia sebagai makhluk sosial (kelompok) yang ingin memenuhi kebutuhan bersama. Dalam perjalanannya, kepentingan-kepentingan tersebut kadang saling berhadapan dan kadang pula saling berkait. Terkadang muncul suatu penolakan dan penerimaan yang pada akhirnya bermuara pada etika, yaitu suatu ajaran tentiang norma dan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan manusia. Artinya, titik kompromi antara kepentingan individu dan bersama ditimbang menurut kadar etis-tidaknya kedua kepentingan tersebut. Menurut Jurgen Habermas (2001), masyarakat memiliki tiga jenis kepentingan yang memiliki pendekatan rasio berbeda. Pertama, kepentingan teknis (objective welt). Hal ini sangat kuat berhubungan dengan penyediaan sumber daya natural dan juga kerja (instrumentalis). Kedua, kepentingan interaksi (social welt). Ini merupakan kepentingan praktis yang sesuai dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Ketiga, Kepentingan kekuasaan. Di satu sisi, hal ini berhubungan erat dengan distribusi kekuasaan dalam masyarakat. Di sisi lain, adanya sebuah kebutuhan dasariah manusia untuk membebaskan diri dari segala bentuk dominasi atau kebebasan (Freiheit). Freiheit, yang menurut Sartre sebagai sprat utama yang mendorong eksistensi manusia menuju peradaban yang maju. Dalam perbedaan kepentingan ini masyarakat mengalami sebuah pertarungan yang sangat tajam dalam kehidupan sosial dan politik. Apalagi kalau kepentingan kekuasaan dan kepentingan teknis mengabaikan MANUSIA SEBAGAI INDIVIDU DAN MAKHLUK

kepentingan sosial. Kalau kepentingan kekuasaan mengarah pada tendensi

34

untuk menciptakan distorsi terhadap komunikasi, maka yang terjadi hanya ada penindasan dan redulai. Menurut Haber mas, untuk bisa mendamaikan konflik kepentingan ini, kita membutuhkan adanya sebuah ruang publik (public spare). Ini merupakan media untuk menjembatani setiap kepentingan karena setiap komponen dalam masyarakat memiliki akses yang sama untuk berbicara, berdiskusi, dan mencari alternatif yang tepat tentang segala persoalan dalam kehidupan bermasyarakat. Manusia sebagai makhluk individu diartikan sebagai person atau perseorangan atau sebagai diri pribadi. Manusia sebagai diri pribadi merupakan makhluk yang diciptakan secara sempurna oleh Tuhan Yang Maha Esa. Disebutkan dalam Kitab Suci Al-Qur'an bahwa Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Dalam ajaran agama-agama dunia juga diterangkan sangat jelas kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia, karena itu tidak dibenarkan manusia melakukan perbuatan tercela, seperti berjudi, korupsi, berzina, membunuh, mabuk, dan seterusnya. Sebaliknya, pribadi manusia dituntut mampu berinteralai, berkomunikasi, bekerja sama, dan saling berlomba-lomba melakukan perubahan menuju yang lebih baik dengan individu lainnya. Manusia sebagai makhluk sosial, artinya manusia sebagai warga masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak mungkin dapat hidup sendiri atau mencukupi kebutuhan sendiri. Meskipun dia mempunyai kedudukan dan kekayaan, dia selalu membutuhkan bantuan manusia lain. Setiap manusia cenderung untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan

bersosialisasi dengan manusia lainnya. Bahkan sejak lahir pun, manusia sudah disebut sebagai makhluk sosial. Telah berabad-abad konsep manusia sebagai makhluk sosial itu ada, yang menitikberatkan pada pengaruh masyarakat yang berkuasa kepada individu. Yakni memiliki unsur-unsur keharusan biologis, yang terdiri dari: 1. Dorongan untuk makan. 2. Dorongan untuk mempertahankan diri. 3. Dorongan untuk melangsungkan hubungan beda jenis.

35

Dengan keharusan biologis tersebut menggambarkan betapa individu dalam perkembangannya sebagai seorang makhluk sosial meniscayakan adanya dorongan untuk saling ketergantungan dan membutuhkan antara satu dengan lainnya. Karena itu, komunikasi antar masyarakat menentukan peran manusia sebagai makhluk sosial. Kedudukan manusia sebagai makhluk sosial, dengan demikian tidak dapat dilepaskan dari cara dan bentuk adaptasi mereka terhadap lingkungannya. Dalam perkembangannya, manusia mempunyai kecenderungan sosial untuk selalu meniru guna membentuk diri dalam kehidupan masyaratmya. Di antara kebutuhan untuk meniru adalah dalam hal: 1. Penerimaan bentuk-bentuk kebudayaan, yaitu menerima bentuk-bentuk pembaruan yang berasal dari luar sehingga dalam diri manusia terbentuk sebuah pengetahuan, 2. Penghematan tenaga, yaitu tindakan meniru untuk tidak terlalu menggunakan banyak tenaga dari manusia sehingga kinerja manusia dalam masyarakat bisa berjalan secara efektif dan efisien. Pada umumnya, hasrat meniru itu kita dapat lihat paling jelas di dalam ikatan kelompok, yang secara lebih luas juga terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Proses meniru dapat dicontohkan misalnya anak terhadap orang tuanya, pribumi terhadap pendatang atau sebaliknya, dan masyarakat tradisional terhadap pendatang modern. Dari gambaran tersebut jelas bagaimana manusia itu membutuhkan sebuah interaksi atau komunikasi untuk membentuk dirinya sebagai pribadi (individu) dan sekaligus sebagui makhluk sosial. Banyak faktor yang mendorong manusia secara individual

membutuhkan dirinya sebagai makhluk sosial sehingga terbentuk interaksi sosial antara manusia satu dengan manusia yang lainnya. Secara garis besar, faktor-faktor personal yang memengaruhi interaksi manusia terdiri dari tiga hal, yakni: 1. Tekanan emosional. Kondisi psikologis seseorang sangat memengaruhi bagaimana manusia berinteralai satu sama lain, apakah sedang bahagia,

36

senang, atau sebaliknya sedih, berduka dan seterusnya. 2. Harga diri yang rendah. Ketika kondisi seseorang berada dalam kondisi yang direndahkan, maka ia akan memilikihasrat yang tinggi untuk berhubungan dengan orang lain. Karena ketika seseorang merasa direndahkan dengan secara spontan la membutuhkan kasih sayang dari pihak lain atau dukungan moral untuk membentuk kondisi psikologis kembali seperti semula. 3. Isolasi sosial. Orang yang merasa atau dengan sengaja terisolasi oleh komunitasnya atau pihak-pihak tertentu, maka ia akan berupaya melakukan interaksi dengan orang yang sepaham atau sepemikiran agar terbentuk sebuah interaksi yang harmonis.

B. FUNGSI DAN

PERAN MANUSIA SEBAGAI INDIVIDU DAN

MAKHLUK SOSIAL Pada hakikatnva, manusia senantiasa berperan ganda. Yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam berinteraksi dengan sekitar, ada hubungan secara vertikal (hubungan dengan Tuhan) dan secara horizontal (hubungan dengan sesama manusia, alam sekitar, dan makhluk lainnya). Manusia sebagai makhluk sosial, artinya manusia tidak bisa hidup sendirian. Manusia sejak lahir sampai masuk liang kubur selalu membutuhkan kehadiran orang lain selain dirinya. Jika manusia tidak berhubungan atau berinteraksi dengan sesama manusia lainnya, maka orang tersebut belum bisa dikatakan manusia. Karena itu, dalam hubungan sesama manusia terdapat model dan kualitasnya yang berbeda. Ada tiga teori yang dapat membantu menerangkan model dan kualitas hubungan antarmanusia (Achmad Mubarok, : 2009) 1. Teori Transaksional (Model Pertukaran Sosial) Menurut teori ini, hubungan antarmanusia (interpersonal) berlangsung mengikuti kaidah transaksional, yaitu apakah masing-masing merasa memperoleh keuntungan dalain transaksinya atau malah merugi. Jika merasa memperoleh keuntungan, maka hubungan itu pasti mulus, tetapi jika merasa rugi, maka

37

hubungan itu akan terganggu, putus, atau bahkan berubah menjadi permusuhan. 2. Teori Peran Menurut teori ini, sebenarnya dalam pergaulan sosial itu sudah ada skenario yang disusun oleh masyarakat, yang mengatur apa dan bagaimana peran setiap orang dalam pergaulannya. Dalam skenario itu sudah "tertulis" seorang presiden harus bagaimana, seorang gubernur harus bagaimana, seorang guru harus bagaimana, dan murid harus bagaimana. Demikian juga sudah tertulis perau apa yang harus dilakukan oleh suami, istri, ayah, ibu, anak, mantu, mertua, dan seterusnya. Menurut teori ini, jika seseorang mematuhi skenario, maka hidupnya akan harmoni, tetapi jika menyalahi skenario, maka ia akan dicemooh oleh penonton dan ditegur sutradara. 3. Teori Permainan Menurut teori ini, klasifikasi manusia itu hanya terbagi tiga, yaitu anakanak, orang dewasa, dan orang tua. Anak-anak itu manja, tidak mengerti tanggung jawab, dan jika permintaannya tidak segera dipenuhi ia akan menangis terguling-guling atau ngambek. Adapun orang dewasa, ia lugas dan sadar akan tanggung jawab, sadar akibat dan sadar risiko. Adapun orang tua, ia selalu memaklumi kesalahan orang lain dan menyayangi mereka. Tidak ada orang yang merasa aneh melihat anak kecil menangis terguling-guling ketika minta es krim, tetapi orang akan heran jika ada orang tua yang masih kekanak-kanakan. Manusia memang tidak akan bisa lepas dari berhubungan dengan orang lain. Dalam hubungan itu kita harus bisa memahami peranan dan kedudukan masing-masing. Jangan sampai terjadi kesalahan. Karena hal itu bisa membual tidak harmonisnya hubungan kita dengan sesama manusia. Untuk menjaga hubungan yang harmonis sebagai individu dan makhluk sosial, umumnya setiap suku bangsa memiliki nilai-nilai dan tradisi yang dapat dikembangkan menjadi model kedamaian yang kondusif bagi keeratan antar suku bangsa, agama, ras, dan perbedaan-perbedaan lainnya.

38

Sebagaimana disebutkan Mubarok di atas, masing-masing individu tampaknya biasa melakukan kontak hubungan transaksional, jika merasa beruntung hubungan akan berjalan mulus, demikian jika merasa dirugikan akan mengarah perpecahan. Dalam praktiknya, hubungan transaksional ini bermacam-macam sifatnya. Adakalanya bersifat barter atau pertukaran langsung seperti jual beli di pasar atau mal-mal. Masing-masing individu mendapat manfaat dari proses interaksi secara langsung dan seketika. Dapat pula transaksional bersifat kekeluargaan atau kekerabatan seperti dilakukan umumnya etnis Jawa dengan sebutan "sambatan". Salah satu anggota keluarga yang sedang tertimpa musibah, kematian, melaksanakan perkawinan, khitanan, tertimpa kecelakaan atau terlilit utang, maka anggota keluarga yang lain akan turut membantu meringankan beban persoalan yang sedang menimpa salah satu anggota keluarga tersebut. Demikian ini akan dilakukan secara bergiliran dan turuntemurun guna menjaga keutuhan keluarga, kerabat, atau famili. Tidak heran dalam nilai-nilai hidup orang Jawa yang masih tetap kuat dipertahankan adalah mangan ra mangan yang penting kumpul, yakni secara sederhana dapat diterjemahkan "dapat makan atau tidak, yang paling penting adalah keutuhan keluarga". Jenis hubungan transaksional lainnya adalah hubungan pertukaran bersifat pertemanan atau kesetiakawanan. Pada masyarakat perkotaan, jenis pertukaraan ini sering muncul pada perkantoran-perkantoran, lembagalembaga profit atau nonprofit, atau komunitas-komunitas tertentu seperti komunitas biker, pengguna moge (motor gede), pencinta bola, dan seterusnya.

C. DINAMIKA INTERAKSI SOSIAL: AKULTURASI, ASIMILASI, DAN INOVASI 1. Akulturasi Budaya Adalah proses sosial yang timbul apabila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu sedemikian rupa dipengaruhi oleh unsur-unsur suatu kebudayaan lain sehingga unsur-unsur lain itu diterima

39

dan

disesuaikan

dengan

unsur-unsur

kebudayaan

sendiri

tanpa

menyebabkan hilangnya identitas kebudayaan asli. Contoh yang muncul adalah ketika pihak pribumi mulai menerima penggunaan gaya hidup, seperti bahasa, mode pakaian, dan sopan santun ala barat. Kajian akulturasi meliputi lima hal pokok, demikian yang dikemukakan Koentjaraningrat (1997): 1. Masalah mengenai metode untuk mengobservasi, mencatat dan melukiskan suatu proses akulturasi dalam suatu masyarakat. 2. Masalah mengenai unsur-unsur kebudayaan yang mudah diterima dan yang sukar diterima oleh masyarakat penerima. 3. Masalah unsur kebudayaan mana saja yang mudah diganti dan diubah dan unsur kebudayaan mana saja yang tidak mudah diganti dan diubah oleh unsur-unsur kebudayaan asing. 4. Masalah mengenai individu-individu apa yang mudahdan cepat menerima, dan individu-individu apa yang sukar dan lambat menerima unsur-unsur kebudayaan asing. 5. Masalah mengenai ketegangan-ketegangan sosial yang timbul akibat adanya akulturasi. Dampak akulturasi terhadap masyarakat meniscayakan seorang peneliti perlu memerhatikan beberapa hal berikul: 1. Keadaan masyarakat penerima sebelum proses akulturasi mulai berjalan. 2. Individu-individu dari kebudayaan asing yang membawa unsur-unsur kebudayaan asing itu. 3. Saluran-saluran yang dilalui oleh unsur-unsur kebudayaan asing untuk masuk ke dalam kebudayaan penerima. 4. Bagian-bagian dari masyarakat penerima yang terkena pengaruh unsurunsur kebudayaan asing tadi. 5. Reaksi para individu yang terkena unsur-unsur kebudayaan asing.

40

2. Asimilasi Budaya Proses asimilasi dapat terjadi jika terjadi hal-hal sebagai berikut : 1. Kelompok-kelompok manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda. 2. Kelompok manusia ini saling bergaul secara intensif dalam kurun waktu yang lama. 3. Pertemuan budaya-budaya antar kelompok itu masing-masing berubah watak khasnya dan unsur-unsur kebudayaannya saling berubah sehingga memunculkan suatu watak kebudayaan yang baru/campuran. Faktor penghambat adanya proses asimilasi budaya: 1. Kurangnya pengetahuan terhadap unsur kebudayaan yang dihadapi (dapat) bersumber dari pendatang ataupun penduduk asli. 2. Sifat takut terhadap kebudayaan yang dihadapi. 3. Perasaan ego dan superioritas yang ada pada individu-individu dari suatu kebudayaan terhadap kelompok lain. Faktor yang memudahkan/penarik terjadinya asimilasi budaya: a. Faktor toleransi, kelakuan saling menerima dan memberi dalam struktur himpunan masyarakat. b. Faktor kemanfataan timbal balik, memberi manfaat kepada dua belah pihak c. Faktor simpati, pemahaman saling menghargai dan memperlakukan pihak lain secara baik. 3. Inovasi (Pembaruan) Campuran, Bermanfaat Bagi Proses Asimilasi Proses pembaruan (inovasi) dapat digolongkn dalam bentuk: a. Discovery, atau penemuan unsur-unsur kebudayaan yang baru berupa gagasan individu atau kelompok. b. Invention, atau tindak lanjut inovasi berupa pengakuan, penerimaan, dan penerapan proses koleh masyarakat.

41

Pemanfaatan hasil inovasi bergantung: a. Persepsi masyarakat pendukung dalam kelompok, sebuah penemuan perlu mendapat dukungan kelompok guna pengakuan sebagai kebutuhan dasar, jika tidak pastilah sangat tidak memberikan hasil yang maksimal. b. Mutu serta ketahanan SDM, dalam setiap keanggotaan kelompok pasti terdapat individu yang selalu merasa tidak puas dan merasa kekurangan sehingga secara sadar individu ini melaksanakan aktivitas pengkajian, penelitian terhadap situasi yang dihadapinya. c. Sistem perangsang, penghargaan dan pengakuan, dapat berupa pengakuan ilmiah, pemberian gelar, rangsangan materi, dan fasilitas lain. d. Harus memberikan kemanfaatan bagi masa depan. Proses inovasi menimbulkan suatu perubahan (evolusi). Goodwin Watson, telah mengumpulkan data berbagai hasil penelitian tentang upaya pembaugunan dan pengembangan masyarakat dari sekitar 500 studi difusi inovasi di berbagai bidang kajian keilmuan baik secara empiris maupun non-empiris, khususnya di negara-negara berkembang yang dilakukan oleh Eicholz dan Rogers (Zaltnian,et al., 1972: 621). Dari situ diperoleh 12 prinsip yang dapat mengurangi penolakan (resistance) atas gagasan baru (innovation) sebagai berikut: a. Resistensi akan berkurang jika administrator, guru-guru anggotaanggota pengurus, dan pimpinan-pimpinan masyarakat merasa bahwa proyek (inovasi) itu adalah milik mereka bukan sesuatu yang direncanakan dan dilaksanakan oleh orang lain (luar). b. Resistensi akan berkurang jika inovasi itu secara jelas mendapat dukungan sepenuhnya dari pimpinan tertinggi dari sistem (kehidupan masyarakat) itu. c. Resistensi akan berkurang jika partisipan melihat perubahan itu sebagai upaya pengurangan beban mereka sekarang dan bukan justru menambah beban baru.

42

d. Resistensi akan berkurang jika inovasi itu serasi dengan nilai-nilai (values) dan gagasan-gagasan yang telah lama diketahui masyarakat. e. Resistensi akan berkurang jika dalam inovasi itu partisipan merasa bahwa kemandirian (autonomy) dan keamanan (security) mereka tetap terjamin. f. Resistensi akan berkurang jika program inovasi itu menawarkan jenis pengalaman yang dapat menarik minat partisipan. g. Resistensi akan berkurang jika partisipan diikutkan dalam upaya diagnostik yang membawa mereka untuk menyetujui apa yang jadi problem mendasar (gagasan sentral) dan untuk yang merasakan bahwa hal itu penting dipecahkan dan dicarikan jalan keluarnya. h. Resistensi akan berkurang jika inovasi itu diadopsi atas dasar keputusan (konsensus) kelompok itu sendiri. i. Resistensi akan berkurang jika penganjur (proponent) mampu untuk memperkenalkan diri secara baik/jelas (emphertize) terhadap penerima anjuran (opponent), memperkenalkan kesulitan-kesulitan yang berarti atauperlu diatasi serta mengambil langkah-langkah seperlunya terhadap hal-hal yang tidak pantas ditakuti. j. Resistensi akan berkurang jika diberitahukan dengan bijaksana alas penolakan terhadap inovasi karena kesalahpahaman dan salah penafsiran, dan jika ketentuan yang dibuat untuk mandapatkan umpan batik (feedback) persepsi masyarakat tentang inovasi serta penjelasanpenjelasan berikutnya sesuai dengan yang mereka butuhkan. k. Resistensi akan berkurang jika partisipan mendapatkan penerimaan, dukungan, pembenaran, serta kepercayaan dari teman-teman mereka satu sama lainnya. l. Resistensi akan berkurang jika inovasi itu terbuka atas kritikan perbaikan dan pertimbangan ulang jika dibutuhhan untuk mendapatkan perubahan yang lebih memuaskan. (Warner G. Bennis, 1969: 56-57)

43

Sementara itu, teori penerimaan dan penolakan gagasan baru yang dideskripsikan oleh Eicholz dan Rogers di atas disebut dengan namaa rejection-adoption theory. Proses adopsi terjadi disebabkan lima tahap: (1) awareness (kesadaran). Semula individu atau kelompok yang

bersangkutan tidak mengetahui dan mengabaikan "ignorance" inovasi itu. Kemudian dengau kesadaran bersedia belajar tentang eksistensi inovasi yang belum diketahui tadi. Meskipun sebelumnya ia telah memiliki pengetahuan lama "traditional". Tahap ini penggunaan inovasi masih ditangguhkan selama mempertimbangkan suspended judgment nilai hakiki yang terkandung di dalamnya sambil membandingkannya dengan cara lama; (2)interest (menaruh minat). Individu bersangkutan

memperluas upaya mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang adat istiadat, agama, pendapat warga masyarakat umumnya, yang berkaitan dengan dorongan dan larangan berupa beban sosial dan finansial jika inovasi itu digunakan. Jadi, ia mempelajari keadaan situational (3) evolution (penilaian). Individu bersangkutan menilai inovasi itu dan mendorong jiwanya memilih hal-hal yang sesuai dengan kondisi dirinya personal": (4) trial (percobaan). lndividu bersangkutan mulai

memberanikan diri untuk menggunakan inovasi sebagai percobaan pendahuluan "experiment". Ketika gagal dicobanya lagi hingga berhasil; (5) adopsi (penggunaan). lndividu bersangkutan menerinia inovasi itu digunakan seterusnya atas dasar percobaan yang berhasil sebelumnya. Akan tetapi, jika pada penggunaan-penggunaan berikutnya terus-menerus gagal, maka penggunaan itu akan dihentikan (discontinuance). Sebaliknya, penolakan (rejection) terjadi karena tahapan-tahapan berikut: (1) awareness (kesadaran). Individu bersangkutan semua belum memiliki pengetahuan tentang inovasi ignorance" dan telah memiliki pengetahuan lama "traditional". Ketika mengikuti pelajaran, inovasi itu dirasakan lebih kompleks dan sulit inovasi dimengerti hingga terjadi Penggunaan ditangguhkan suspended

kesalahpahaman.

judgement", sementara pertimbangan cenderung mengambil jalan pintas

44

saja yaitu penggunaan cara lama lebih mudah, sudah biasa, aman dari segi sosial, terjangkau secara finansial, dan berhasil juga. Sehingga tidak lagi diiringi dengan upaya belajar yang sungguh-sungguh; (2) indifference (acuh tak acuh). Individu bersangkutan semakin acuh tak acuh setelah melihat keadaan "situational". Meskipun inovasi itu kelihatannya logis, tetapi kurang mereka perhatikan karena belum biasa dalam masyarakat, diragukan bertentangan dengan agama, adat istiadat, norma, nilai, dan pendapat orang umumnya; (3) denial (penolakan). Pada masa kebutuhan pemilihan inovasi yang sesuai untuk dirinya personal, individu bersangkutan tidak memahami betul fungsi inovasi itu menggantikan apa dari cara lama, apa faedahnya yang lebih menonjol daripada cara lama, bagaimana kedudukan cara lama yang digantikannya. Sehingga la menyangkal kehadiran inovasi; (4) trial (percobaan). Ketika individu bersangkutan atau orang lain melakukan percobaan dengan inovasi itu experiment, terjadi insiden atau kegagalan, individu bersangkutan tidak lagi berusaha untuk mencoba hingga berhasil, akan tetapi kembali saja kepada cara lama yang telah dia ketahui dan biasa dipraktikkan; dan (5) rejection (penolakan). Individu bersangkutan akan mengakhiri dengan penolakan seterusnya terhadap inovasi tersebut dan tetap mempraktikkan cara biasa. Konsekuensi logis dari penolakan ini, pemutusan penggunaan (discontinuance) akan berlangsung dalam waktu panjang yang tidak terpastikan (Zaltman,et al., 1972: 624). Skema dari The rejection-adoption theory ini terlihat sebagai berikut (Rusmin Tumanggor, 1990: 27-28). Dalam diagram ini terlihat ada masa ignorance, susperidedjudgment, situational, personal dan experimental, yaitu masa pengabaian, penangguhan pertimbangan, memerhatikan situasi, kondisi dan kebutuhan diri, serta pengalaman. Teori penerimaan dan penolakan ini dapat dibandingkan dengan teori pertukaran dari Homans terkait proposisi sukses.

45

D. DILEMA ANTARA KEPENTINGAN INDIVIDU DAN KEPENTINGAN MASYARAKAT Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendirian tanpa bantuan orang lain. Kebutuhan fisik (sandang,pangan, papan), kebutuhan sosial (pergaulan, pengakuan, sekolah, pekerjaan) dan kebutuhan psikis termasuk rasa ingin tahu, rasa aman, perasaan religiositas, tidak mungkin terpenuhi tanpa bantuan orang lain. Apalagi jika orang tersebut sedang menghadapi masalah, baik ringan maupun berat. Pada saat-saat seperti itu seseorang akan mencari dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya, sehingga dirinya merasa dihargai, diperhatikan, dan dicintai. Contoh nyata yang paling sering kita lihat dan alami adalah bila ada seseorang yang sakit dan terpaksa dirawat di rumah sakit, maka sanak saudara ataupun temanteman biasanya datang berkunjung. Dengan kunjungan tersebut, maka orang yang sakit tentu merasa mendapat dukungan sosial.

Rejection

From of adoption- Rejection

Adoption

Ignorance

Awareness Stage Gambar TIME

Suspended Judgment

Awareness Stage

Indifference

Situation

Interest Stage

Denial Stage

Personal

Evaluation Stage

Trial Stage

Experimental

Trial Stage

Rejection

Disontinuance

Adoption

Gambar 2 Skema Alur Adoption-Rejection Theory

46

Dukungan sosial (social support) didefinisikan oleh Gottlieb (1983) sebagai informasi verbal atau nonverbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalatn lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran, atau kesan yang menyenangkan pada dirinya. Pendapat senada dikemukakan juga oleh Sarason (1983) yang mengatakan bahwa dukungan sosial adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai, dan menyayangi kita. Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Cobb yang mendefinisikan dukungan sosial sebagai adanya kenyamanan, perhatian, penghargaan atau menolong orang dcngan sikap menerima kondisinya, dukungan sosial tersebut diperoleh dari individu maupun kelompok. Sarason (1983), berpendapat bahwa dukungan sosial itu selalu mencakup dua hal, yaitu: 1. Jumlah sumber dukungan sosial yang tersedia; merupakan persepsi individu terhadap sejumlah orang yang dapat diandalkan saat individu membutuhkan bantuan(pendekatan berdasarkan kuantitas). 2. Tingkatan kepuasan akan dukungan sosial yang diterima; berkaitan dengan persepsi individu bahwa kebutuhannya akan terpenuhi (pendekatan berdasarkan kualitas). Hal tersebut penting dipahami oleh individu yang ingin memberikan dukungan sosial, karena menyangkut persepsi tentang keberadaan

(availability) dan ketepatan (adequacy) dukungan sosial bagi seseorang. Dukungan sosial bukan sekedar mmeberikan bantuan, tetapi yang penting adalah bagaimana persepsi si penerima terhadap makna dari bantuan itu. Hal itu erat hubungannya dengan ketepatan dukungan social yang diberikan, dalam arti bahwa orang yang menerima sangat meraakan bantuan bagi dirinya, karena sesuatu yang actual dan memberikan kepuasan.

47

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan social merupakan bantuan atau dukungan yang diterima individu dari orangorang tertentu dalam kehidupannya dan berada dalam lingkungan social tertentu yang membuat si penerima merasa diperhatikan, dihargai, dan dicintai. Orang yang menerima dukungan social memahami makna dukungan social yang diberikan oleh orang lain. Sumber-sumber dukungan social banyak diperoleh individu dari lingkungan sekitarnya. Namun perlu diketahui seberapa banyak sumber dukungan social ini efektif bagi individu yang memerlukan. Sumber dukungan social merupakan aspek paling memerlukan. Sumber dukungan social sesuai dengan situasi dan keinginannya yang spesifik, sehingga dukungan social memiliki makna yang berarti bagi kedua belah pihak. Menurut Rook dan Dooley (1985), ada dua sumber dukungan social yaitu sumber artikulasi dan natural. Dukungan social yang natural diterima seseorang melalui interaksi social dalam kehidupannya secara spontan dengan orang-orang yang berada di sekitarnya, misalnya anggota keluarga (anak, istri, suami, dan kerabat), teman dekat atau relasi. Dukungan social itu bersifat nonformal. Sementara itu, yang dimaksud dengan dukungan artikulasi adalah dukungan social yang dirancang ke dalam kebutuhan primer seseorang, misalnya dukungan social akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan social. Sumber dukungan social yang bersifat natural berbeda dengan sumber dukungan social yang bersifat artificial dalam sejumlah hal. Perbedaa tersebut terletak dalam hal sebagai berikut : a. Keberadaan sumber dukungan social natural bersifat apa adanya tanpa dibuat-buat sehingga lebih mudah diperoleh dan bersifat spontan. b. Sumber dukungan social yang natural memiliki kesesuaian dengan norma yang berlaku tentang kapan sesuatu harus diberikan. c. Sumber dukungan social yang natural berakhir dari hubungan yang telah berakar lama.

48

d. Sumber dukungan social yang natural berakar dari hubungan yang telah berakar lama. e. Sumber dukungan social yang natural memiliki keragaman dalam penyampaian dukungan social, mulai dari pemberian barang-barang nyata hingga sekadar menemui seseorang dengan menyampaikan salam. f. Sumber dukungan social yang natural terbebas dari beban dan label psikologis. Para ahli berpendapat bahwa dukungan social dapat dibagi ke dalam berbagai komponen yang berbeda-beda. Misalnya Weiss (Cutrona dkk.1994: 371), mengemukakan adanya enam komponen dukungan social yang disebut sebagai The Social Provision Scaledi mana masing-masing komponen dapat dapat berdiri sendiri-sendiri, namun satu sama lain saling berhubungan. Adapun komponen-komponen tersebut adalah: 1. Kerekatan emosional (etttotional attachment) Jenis dukungan sosial semacam ini memungkinkan seseorang memperoleh kerekatan (kedekatan) emosional sehingga menimbulkan rasa aman bagi yang menerima. Orang yang menerima dukungan sosial semacam ini merasa tenteram, aman, dan damai yang ditunjukkan dengan sikap tenang dan bahagia. Sumber dukungan sosial semacam ini yang paling sering dan umum adalah diperoleh dari pasangan hidup. atau anggota keluarga/ teman dekat/sanak keluarga yang Arab dan memiliki hubungan yang harmonis. Bagi lansia adanya orang kedua yang cocok, terutama yang tidak memiliki pasangan hidup, menjadi sangat penting untuk dapat memberi dukungan sosial atau dukungan moral (moral suppport). 2. lntegrasi sosial (social integration) Jenis dukungan sosial semacam ini memungkinkan lansia untuk memperoleh perasaan memiliki suatu kelompok yang memungkinkannya untuk membagi minat, perhatian, serta melakukan kegiatan yang sifatnya rekreatif secara bersama-sama. Sumber dukungan semacam ini

memungkinkan lansia mendapatkan rasa aman, nyaman serta merasa memiliki dan dimiliki darn kelompok. Adanya kepedulian oleh masyarakat

49

untuk mengorganisasi lansia dan melakukan kegiatan bersama tanpa ada pamrih akan banyak memberikan dukungan sosial.Mereka merasa bahagia, ceria, dan dapat mencurahkansegala ganjalan yang ada pada dirinya untuk bercerita,atau mendengarkan ceramah ringan yang sesuai

dengankebutuhan lansia. Hal itu semua merupakan dukungansosial yang sangat bermanfaat bagi lansia. 3. Adanya pengakuan (reanssurance of worth) Pada dukungan sosial jenis ini lansia mendapat pengakuan atas kemampuan dan keahliannya serta mendapat penghargaan dari orang lain atau lembaga. Sumber dukungan sosial semacam ini dapat berasal dari keluarga atau lembaga/instansi atau perusahaan/organisasi di mana sang lansia pernah bekerja. Karena jasa, kemampuan dan keahliannya maka ia tetap mendapat perhatian dan santunan dalam berbagai bentuk penghargaan. Uang pensiun mungkin dapat dianggap sebagai salah satu bentuk dukungan sosial juga, bila seseorang menerimanya dengan rasa syukur. Bentuk lain dukungan sosial berupa pengakuan adalah mengundang para lansia pada seliap event/hari besar untuk berpartisipasi dalam perayaan tersebut bersama-sama dengan para pegawai yang masih berusia produktif. Contoh: Setiap hari besar TNI, maka para mantan pejabat yang telah pensiun/memasuki masa lansia biasa diundang hadir dalam upacara ataupun resepsi yang diadakan oleh instansi tersebut. 4. Ketergantungan yang dapat diandalkan (reliable reliance) Dalam dukungan sosial jenis ini, lansia mendapat dukungan sosial berupa jaminan bahwa ada orang yang dapat diandalkan bantuannya ketika lansia membutuhkan bantuan tersebut. Dukungan sosial jenis ini pada umumnya berasal dari keluarga. Untuk lansia yang tinggal di lembaga, misalnya pada Sasana Werdha ada petugas yang selalu siap untuk membantu para lansia yang tinggal di lembaga tersebut, sehingga para lansia mendapat pelayanan yang memuaskan.

50

5. Bimbingan (guidance) Dukungan sosial jenis ini adalah berupa adanya hubungan kerja ataupun hubungan sosial yang memungkinkan lansia mendapatkan informasi, saran, atau nasihat yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan dan mengatasi permasalahan yang dihadapi. Dukungan sosial jenis ini bersumber dari guru, alim ulama, pamong dalam masyarakat, figur yang dituakan, dan juga orang tua. 6. Kesempatan untu mengasuh (opportunity for nurturance) Suatu aspek penting dalam hubungan interpersonal akan perasaan dibutuhkan oleh orang lain. Jenis dukungan sosial ini memungkinkan lansia untuk memperoleh perasaan bahwa orang lain tergantung padanya untuk memperoleh kesejahteraan. Menurut Weiss (Cotuna dkk. 1994), sumber dukungan sosial ini adalah keturunan (anak-anak) dan pasangan hidup. Itulah sebabnva sangat banyak lansia yang merasa sedih dan kurang bahagia jika berada jauh dari cucu-cucu ataupun anak-anaknya.

51

BAB 4 MANUSIA DAN PERADABAN

A. HAKIKAT PERADABAN MANUSIA Hakikat peradaban bisa kita mulai dengan definisi peradaban itu sendiri. Peradaban mengambil padanan kata civilization yang berarti nilai hidup satu kelompok atau dalam merespons tantangan masa yang dihadapinya dalam era tertentu (Oxport Dictionaty English oleh Hassan Shadily: 2003). Peradaban adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut bagian-bagian atau unsur-unsur suatu kebudayaan yang dianggap halus maju, dan indah. Dalam definisi peradaban juga mengandung adanya perkembangan

pengetahuan dan kecakapan, sehingga orang memungkinkan memiliki tabiat beradab. Karena itu manusia beradab salah satunya memiliki ciri mampu mengendalikan dirinya, yakni menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa. Peradaban juga sering menunjukpada kemajuan ekonomi, teknologi, dan politik. Sekurangnya tiga inti peradaban, yaitu: (1) nilai; (2) kelompok tertentu; dan (3) tantangan zaman. Pengertian demikian memungkinkan respons suatu kelompok orang akan berbeda dengan kelompok lainnya. Juga bisa tantangan zaman berbeda, maka nilai yang dipakai berbeda pula. Dengan demikian, penegakan satu peradaban tergantung pada kelompok dengan nilai yang Wanutnya, serta tantangan zamannya. Respon dengan cara berbeda itu bahkan yang tidak beradab sekalipun dimungkinkan bisa terjadi. Agaknya dengan dimensi peradaban itu, antara dimensi masa lalu dan masa kini kerap mendatangkan kebimbangan pada kita. Padahal masa lalu itu sesuatu yang sudah selesai masa kini dan masa depan menyediakan kreativitas yang baru. Ibarat buku masa kini dan akan datang, merupakan sambungan halaman demi halaman yang berbeda, namun merupakan kesatuan yang utuh. Peradaban adalah sebuah entitas terluas dari budaya, yang

teridentifikasi melalui unsur-unsur objektif umum, seperti bahasa sejarah,

52

agama, kebiasaan, institusi, maupun melalui identifikasi diri yang subjektif. Budaya di sebuah desa di ItaliaSelatan mungkin berbeda dengan yang di Utara, tetapi keduanya bisa disebut budaya Italia yang membedakan mereka dari karakteristik desa-desa di Jerman. Sepanjang sejarah umat manusia, sebuah peradaban mengalami pasang surut. Terkadang, suatu peradaban mampu berkembang dengan pesat, mampu beradaptasi, dan memengaruhi kehidupan manusia. Akan tetapi, banyak juga peradaban yang hilang ditelan bumi dan terkubur di dalam pasir-pasir masa, taklagi relevan dengan kehidupan manusia. Peradaban yang mampu bertahan (Peradaban Mayor) antara lain: Peradaban Tionghoa, Jepang, Hindu, Islam, Ortodoks, Barat, Amerika Latin, dan Afrika. Mungkinkah lahir sebuah peradaban universal? Asumsi ini lahir dari satu pemikiran bahwa suatu budaya senantiasa tidak lepas dari kemanusiaan dan adanya penerimaan secara umum terhadap nilai-nilai, keyakinankeyakinan, orientasi-orientasi, perilaku-perilaku, dan institusi-institusi oleh umat manusia di seluruh dunia. Kondisi ini terjadi pada masyarakat modern di mana dalam perjalanannya telah melahirkan adanya proses globalisasi. Mengglobal berarti mendunia. Dalam alam yang serba canggih, suatu kebudayaan dapat diserap dan merambah ke seluruh dunia jika memiliki perangkatnya, yaitu transportasi dan komunikasi. Dengan dua modal tersebut suatu kebudayaan akan memiliki banyak peluang untuk disosialisasikan ke segala penjuru negeri, dan mempunyai kemampuan untuk menghadirkan selalu produk budaya yang up-to-date. Karena itu negara-negara maju yang mempunyai kekuatan akses yang besar akan mampu membentul: opini dunia. Artinya, negara-negara maju mampu memprakarsai format peradaban masyarakat dunia.

53

B. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BERADAB DAN MASYARAKAT ADAB Sejak dahulu kala manusia selalu mempertanyakan asal usul kehidupan dan dirinya. Jawaban sementara atas pertanyaan tersebut ada tiga alternatifi, yaitu melaui konsep penciptaan, transformasi, dan/atau evolusi biologi. Definisi evolusi biologi bermacam-macam tergantung dari aspek biologi yang dikaji. Beberapa definisi yang umum dijumpai di buku-buku biologi, antara lain: evolusi pada makhluk hidup adalah perubahan-perubahan yang dialami makhluk hidup secara perlahan-lahan dalam kurun waktu yang lama dan diturunkan, sehingga lama kelamaan dapat terbentuk species baru. Atau evolusi diartikan dengan perubahan frekuensi gen pada populasi dari masa ke masa. Atau evolusi juga sering dimaksudkan sebagai perubahan karakter adaptif pada populasi dari masa ke masa. Melalui pemikiran evolusi inilah kemudian pelbagai pandangan dari cabang ilmu biologi dipersatukan. Ide tentang terjadinya evolusi biologis sudah lama menjadi pemikiran manusia. Namun di antara berbagai teori evolusi yang pernah diusulkan, tampaknya teori evolusi oleh Darwin yang paling sering dijadikan rujukan pokok. Darwin (1858) mengajukan dua teori pokok: yaitu spesies yang hidup species berasal dari spesies yang hidup sebelumnya, dan evolusi terjadi melalui seleksi alam. Perkembangan tentang teori evolusi tersebut sangat menarik untuk diikuti. Darwin berpendapat bahwa berdasarkan pola evolusi bersifat graduai, berdasarkan arah adaptasinya bersifatgradual dan berdasarkan hasilnva sendiri selalu dimulai terbentuknya. Dalam perkembangannya, teori evolusi Darwin mendapat tantangan (terutama dari golongan agama, dan yang menganut paham teori penciptaan Universal Crastion), dukungan dan pengayaan-pengayaan. Jadi, teori sendiri juga berevolusi sehingga teori evolusi biologis yang sekarang kita kenal dengan label "Neo-Darwinian" dan "Modern Sintesis", bukanlah murni seperti yang diusulkan oleh Darwin. Berbagai istilah di bawah ini merupakan hasil pengayaan yang mencerminkan pergulatan pemikiran dan argumentasi ilmiah seputar teori evolusi berdasarkan kecepatan evolusi (evolusi kuasi

54

dankuantum); berdasarkan polanya (gradual, punctual, dan saltasi); dan berdasarkan skala produknya (evolusi makro dan mikro). Topik yang akan dibahas di bawah ini meliputi perkembagan teori evolusi Darwin dan implikasi dari teori evolusi biologi Darwin terhadap cara pandang kita tentang keberadaan makhluk dan alam semesta. Pada 1858 Darwin memublihasikan The Originyang memuat dua teori utama, yaitu: 1. Spesies yang hidup sekarang berasal dari spesies lain yang hidup di masa lampau. 2. Evolusi terjadi melalui seleksi alam. Menurut Darwin, agen tunggal penyebab terjadinva evolusi adalah seleksi alam. Selelai alam adalah process of presenving, in nature favorable variantions and ultimately eliminating those that are injurious. Secara umum, tanggapan ahli lain terhadap teori Darwin adalah: a. Mendapat tantangan terutama dari golongan agama, danyang menganut paham teori penciptaan (Universal Crastion) b. Mendapat pembelaan dari penganut Darwin antara lain, Yoseph Hooker dan Thomas Henry Huxlcy (18251895). c. Mendapat kritik dan pengayaan dari banyak ahli antara lain Morgan (1915), Fisher (1930), Dobzhansky (1937), Goldschmidt (1940), dan Mayr (1942). Dengan berbagai pekembangan dalam ilmu biologi, khususnya genetika maka teori evolusi Darwin diperkaya. Seleksi alam tidak lagi menjadi satu-satunya agen penyebab terjadinya evolusi, melainkan ada tambahan faktor-faktor penyebab lain, yaitu: mutasi, aliran gen, dan genetic drifi. Oleh karenanya, teori evolusi yang sekarang disebut New Darwinian atau Modern Sinteds. Secara singkat, proses evolusi oleh seleksi alam (NeoDarwinian) terjadi lcarena adanya: a. Perubahan frekuensi gen dari satu generasi ke generasi berikutnva. b. Perubahan dan genotipe yang terakumulasi seiring berjalannya waktu.

55

c. Produksi varian baru melalui materi genetik yang diturunkan (DNA/RNA). d. Kompetisi antar-individu karena keberadaan besaran individu melebihi sumber daya lingkungan tidak cukup untuk menyokongnya. e. Generasi berikut mewarisi "kombinasi gen yang sukses" dari individu fertile (dan beruntung) yang masih dapat bertahan hidup dari kompetisi. Teori utama Darwin bahwa spesies yang hidup sekrang berasal dari spesies lain yang hidup di masa lampau dan bila diurut leih lanjut semua spesies makluk hidup diturunkan dari nenek moyang umum yang sama. Seperti yang juga diperkirakan oleh Darwin. Teorinya akan ditentang banyak pihak. Para penentang teori ini dikategorikan dalam tiga kelompok utama: a. Kelompok yang berpendapat bahwa teori Darwin tersebut tidak cukup "ilmiah". b. Kelompok "Creationist" yang berpendapat bahwa masing-masing spesies diciptakan khusus oleh Yang Mahakuasa untuk tujuan tertentu. c. Kelompok penganut filsafat "Idealist" yang berpendapat bahwa spesies tidak berubah. Variasi yang ada merupakan tiruan tidak sempurna dari pola umum "archetypes". Goethe mengabstraksikan satu archetype atau Urbild untuk semua tanaman (Urplanze) dan beberapa Bauplane untuk hewan. Untuk para penentangnya, dari dua kelompok pertamasebelumnya Darwin cukup menandaskan bahwa Keajaiban-keeajaiban atau intervensi dari kekualan supranatural dalam pembentukan spesies adalah tidak ilmiah. Dalam menanggapi kelompok Idealist (seperti Owen dan Lois Agassiz) Darwin mampu menangkis dengan baik. Pada Origin edisi pertama, Darwin (1959) di halaman 435, menyimpulkan bahwa penjelasan Owen pada masalah archetype adalah "irzteresting" dan "unity of type"-nya merupakan "hukum" biologi yang penting. Kemudian Owen lebih keras lagi menentang teorinya. Darwin pada edisi berikutnya menambahkan "... tetapi itu bukan penjelasan ilmiah". Menurut Darwin, penjelasan tentang "homologi" dan "unity of types" terkait dengan nenek moyang adalah ilmiah, sementara penjelasan terkait dengan archetype tidak ilmiah. Oleh karena itu, Darwin memandang masalah ini

56

sebagai proses, sementara konsep archehtype adalah timeless. Secara umum, Darwin adalah penganut paham materialisme. Darwin mengemukakan bahwa selkcsi alam merupakan agen utama penyebab terjadinya evolusi. Darwin (dan Wallace) menyimpulkan selcksi dari prinsip yang dikemukakan oleh Malthus bahwa setiap populasi cenderung berlambah jumlahnya seperti deret ukur, dan sebagai akibatnya cepat atau lambat akan terjadi perbenturan antar-anggota dalam pemanfaatan sumber daya khususnya bila ketersediaannya terbatas. Hanya sebagian, sering kali merupakan bagian kecil, dari keturunannya bertahan hidup: sementara sebagian besar lainnya tereliminasi. Dengan berkembangnya ilmu genetika, teori itu diperkaya sehingga muncul Neo-Darwinian. Menurut Lemer (1958), definisi seleksi alam adalah segala proses yang menyebabkan pembedaan nonrandom dalam reproduksi terhadap genotype; atau allele gen dan kompleks gen dari generasi ke generasi berikutnya. Anggota populasi yang membawa genotipe yang lebih adaptif (superior) berpeluang lebih besar untuk bertahan daripada keturunan yang inferior. Jumlah individu keturunan yang superior akan bertambah sementara jumlah individu interior akan berkurang dari satu generasi ke generasi lainnya. Seleksi alam pun juga masih bekerja, sekalipun jika semua keturunan dapat bertahan hidup dalam beberapa generasi. Contohnya adalah pada jenis fauna yang memiliki beberapa generasi dalam satu tahun. Jika makanan dan sumber daya yang lain tidak terbatas selama suatu musim, populasi akan bertambah seperti deret ukur dengan tidak ada kematian di antara keturunannya. Hal itu tidak berarti seleksi tidak terjadi, karena anggota populasi dengan genotipe yang berbeda memproduksi keturunan dalam jumlah yang berbeda atau berkembang mencapai matang seksual pada kecepatan yang berbeda. Musim yang lain kemungkinan mengurangi jumlah individu secara drastis tanpa pilihpilih. Jadi, pertumbuhan eksponensial dan seleksi kemungkinan akan dilanjutkan lagi pada tahun berikutnya. Perbedaan fekunditas, sesungguhnya juga merupakan agen penyeleksi yang kuat karena menentukan perbedaan

57

jumlah individu yang dapat betahan hidup dan/atau jumlah individu yang akan mati, yang ditunjukkan dalam angka kematian. (Dobzhansky, 1970). Darwin telah menerima, namun dengan sedikit keraguan, slogan Herbert Spencer survival of the fittest in the struggle for life sebagai

alternative untuk menerangkan proses seleksi alam, namun saat ini slogan itu tampaknya dipandang tidak sepenuhnya tepat. Tidak hanya individu atau jenis yang terkuat tetapi mereka yang lumayan pas dengan lingkungan dapat bertahan hidup dan bereproduksi. Dalam kondisi seleksi yang lunak atau halus semua individu atau jenis pembawa genotipe yang bermacam-macam dapat bertahan hidup ketika populasi berkurang. Individu yang fit (individu yang sesuai dengan lingkungan dapat bertoleransi dengan lingkungan) tidak harus mereka yang paling kuat, paling agrasif atau paling bertenaga, melainkan mereka yang mampu bereproduksi menghasilkan keturunan dengan jumlah terbanyak yang viable dan fertile. Seleksi alam tidak menyebabkan timbulnya meteriil baru (bahan genetic yang baru di masa mendatang akan dapat diseleksi lagi), justru

menyebabkan hilangnya suatu varian genetic atau berkurang frekuensi gen tertentu. Seleksi alam bekerja efektif hanya bila populasi berisi dua atau lebih genotype, yang mana dari varian itu ada yang akan tetap bertahan atau ada yang tereliminasi pada kecepatan yang berbeda-beda. Pada seleksi buatan, breader akan memilih varian genetic (individu dengan genotype) tertentu untuk dijadikan induk untuk generasi yang akan dating. Permasalahan yang timbul adalah dari mana sumber materi dasar atau bahan mentah genetik penyebab keanekaragaman genetik pada varian-varian yang akan datang. Permasalahan yang timbul adalah dari mana sumber materi dasar atau bahan mentah genetik penyebab keanekaragaman genetik pada varian-varian yang akan di objek seleksi oleh alam. Permasalahan itu terpecahkan setelah T.H Morgan dan kawan-kawan meneliti mutasi pada lalat buah Drosophilia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses mutasi menyuplai bahan mentah genetik yang menyebabkan terjadinya keanekaragaman genetik di mana nantinya seleksi alam bekerja. (Dobzhansky, 1970).

58

Implikasi dari teori evolusi melalui alam ini sangat luas, tidak hanya mencakup bidang filsafat namun juga sosial ekonomi, dan budaya: a. Penggantian cara pandang bahwa dunia tidak statis melainkan berevolusi. b. Paham creationisme berkurang pengaruhnya. c. Penolakan terhadap theology kosmis. d. Penjelasan "desain" di dunia oleh proses materialistis seleksi alam, proses vang mencakup interaksi antara variasi yang tidak beraturan dan reproduksi yang sukses bersifat oportunistis yang sepenuhnya jauh dari dogma agama. e. Penggantian pola pikir esensialieme oleh pola pikir polulasi. f. Memberikan inspirasi yang disalahgunakan untuk tujuan yang tidak baik seperti gerakan Nazi di Jerman, Musolini di Italia, kebijakan "eugenic" di Singapura di masa Lee Kuan Yu, dan berkembangnya ekonomi liberal yang dikemas dengan label Social-Darwinian.

Secara ilmiah, teori evolusi Darwin utama belum dapat dikatakan runtuh, karena sebelum ditemukan bukti-bukti empiris yang bertentangan dengan kesimpulan teori tersebut, maka pernyataan dalam teori itu masih dianggap benar. Akan tetapi, sampai saat ini banyak kalangan masih meragukan kebenaran teori itu terutama dari kalangan agamawan. Saat ini, Indonesia kebanjiran buku-buku Islam yang diproduksi Dr. Harun Yahya yang "menyerang" teori Darwin. Dari segi teologis ada kekhawatiran bahwa teori Darwin akan mengusir Tuhan dari kehidupan, namun Haidar Bagir, pakar filsafat Islam, tidak sepenuhnya sependapat dengan Harun Yahya. Bagir (2003), menanggapinya dengan mengatakan "Sikap kita terhadap keyakinan Darwinian mengenai sifat kebetulan dan materialistik asal usul kehidupan yang terkandung dalam teori itu sudah jelas. Kita tetap menolaknya. Tetapi tidak demikian halnya dengan kesimpulan utama teori ini mengenai sifat-sifat evolusioner kehidupan. Karena betapa pun demikian, tetap saja Tuhan bisa dipercayai sebagai Dzat di balik semua gerakan evolusi itu...". 'Ientang prinsip survival of the littest, Bagir justru

59

membenarkannya dan kita harus mengambil hikmahnya, karena hal itu sesuai dengan kenyataan sehari-hari dan tidak bertentangan dengan kandungan AlQuran. Apa yang diperdebatkan tentang hipotesis akar pohon asal mula keluarga manusia di atas oleh banyak ahli mulai dianggap tidak terlalu penting untuk didiskusikan lebih jauh. Yakni, apakah nenek moyang manusia berasal dari simpanse atau neadethal, adalah lebih bijak jika mulai diteliti faktor yang mcnyebabkan manusia modern dapat bertahan lebih lama hingga kini dantidak punah seperti simpanse atau neadethal. Menurut antropolog John Hawks dari Universitas of Wisconsin-Madison (2010), lebih baik lcita mendiskusikan apa yang membual kita dapat bertahan hingga kini. Apakah disebabkan oleh kondisi fisik kita yang lebihtahan terhadap penyakit, ataukah keahlian manusia dalam berkomunikasi, ataukah kebiasaan manusia yang suka berkumpul? Penjelasan dari pertanyaan tersebut lebih bermanfaat untuk dikaji para ahli karena akan menjelaskan perbedaan manusia dengan simpanse ataLl neanderthal. Karena itu adalah tidak penting penting memperbedatkan apakah manusia dari spesies yang sama dengan simpanse atau neadethal, meskipun terdapat temuan inilah manusia secara genetik tidak jauh berbeda dengan simpanse atau neadethal(Kompas, 15 Mei 2010). Apakah manusia ada melalui penciptaan atau proses evolusi, keduanya adalah dialektika pemikiran tentang asalmula manusia yang cemerlang. Kita tidak boleh terjebak pada penjelasan kausal empiris tentang akar pohon manusia long tanpa akhir. KIta tetap perlu melihat sisi lain berupa pelajaran penting dari diskusi tersebut. Mengapa manusia dapat bertahan lebih kuat dibanding makhluk lainnva dari proses, seleksi alam yang sedang berlangsung?. Apakah melalui nilainilai kemanusian sehingga melahirkan peradaban modern berupa peralatan-peralatan canggih ataukah memang secara fisik lebih kuat dibandingkan makhluk lainnya? Ataukah karena keahllian manusia dalam berkomunikasi dengan manusia lainnya manusia dalam berkomunikasi dengan manusia lainnya sehingga perlbagai tantangan dan rintangan alam mampu direkayasa dan dicarikan jalan keluarnya? Apa pun

60

jawabannya, kita tida k dapat menolak bahwa kemampuan manusia dalam bertahan melewati seleksi alam melahirkan pelbagai produk peradaban berharga (baik yang bernilai ositif dan negatif bagi kemanusiaan) yang patut dijadikan pelajaran penting bagi setiap generasi manusia mendatang.

C. EVOLUSI

BUDAYA

DAN

WUJUD

PERADABAN

DALAM

KEHIDUPAN SOSIAL-BUDAYA Pada perkembangannya, kehidupan manusia modern muncul sejak beberapa ratus ribu tahun terakhir sungguh hanea sekejap jika dibandingkan dengan sejarah planet bumi yang sudah berusia 5 miliar tahun. Kita tidak dapat mengganggu sistem bumi sccara keseluruhan, namun kita telah memengaruhinya dengan menggunakan energi yang menyebabkan polusi sewaktu membuat niakanan, tempat berteduh, dan sejumlah produk lainnya bagi populasi dunk yang, meningkat kita melepas senyawa-senyawa lain yang menyebabkan timbulnya lubang di lapisan ozon yang berfungsi melindungi kita dari radiasi ultraviolet dan hita membakar bahan bakar yang menyebabkan terbentuknya gas-gas panas yang tidak dapat keluar dari lapisan atmosfer sehingga jumlahnya terus bertambah. Penambahan jumlah populasi juga menambah beban bagi potensi pertanian dan kebutuhan lahan semakin meningkat. Hutan-hutan Uropis yang merupakan tempat tinggal bagi jutaan spesies ditebang untuk pertanian, padang rumput, tempat tinggal, dan kawasan industri. Bahan baku yang diambil dari permukaan bumi untuk menjaga kestabilan ekonomi dari dunia yang sedang berkembang, dan kita memperlakukan atmosfer, tanah, dan sebagai limbah yang dihasilkan

daripenggunaan energi dan barang-barang dalam kehidupan sehari-hari. Melalui geologi masa lampau, kondisi di atmosfer, samudra, dan biosfer untuk sebagian besar telah mengikuti perputaran alami. Sekarang kegiatan-kegiatan manusia merupakan kekuatan yang penting yang

mendorong perubahan-perubahan di dalam lingkungan global. Kekuatan pendorong dalam peradaban budaya manusia modern ini sangat dipengaruhi

61

oleh kemampuan akal pikiran dan budi daya manusia dalam mempertahankan kehidupannya di planet bumi ini. Dengan meningkatknya populasi manusia di planet bumi akan semakin menambah marak kehidupan terhadap lahan dan sumber daya lainnya yang potensial dan strategis bagi kelangsungan hidup kelompok-kelompok manusia yang pada suatu saat terjadi ketergantungan terhadap lingkungan alam. Ketergantungan terhadap lingkungan alam akan segera teratasi dengan meningkatnya budaya manusia dalam penguasaan ilmu dan teknologi yang nantinya akan semakin jelas bagaimana manusia akan berperilaku terhadap lingkcungan alam dan perubahan yang menyertainya. Peradaban manusia dalam Perkembangan evolusi budaya dan adaptasi biologis dimulai setelah ditemukannya api sebagai alat untuk memenuhi berbagai keperluan dan keinginan. Api merupakan penemuan teknologi paling awal yang membawa peradaban manusia pada kemampuan untuk mengubah lingkungan binaan menjadi lingkungan binaan yang scsuai dengan kehendak dan aspirasinya. Perkembangan berikutnya menunjukkan bahwa evolusi budaya lebih mendominasi adaptasi biologis manusia terhadap lingkungan manusia. Terlebih lagi ketiha perkembangan teknologi sebagai bagian dari perkembangan budaya yang paling menonjol. Akibat kemajuan yang pesat di bidang ilmu pengetahuan dan telanologi menjadikan manusia kurang menyadari pentingnya adaptasi terhadap lingkungan alam, karena dengan teknologi manusia bisa mengatasi berbagai hal dalam bentuk relung dan kondisi lingkungan tanpa memiliki kemampuanalami. Kita sudah dapat menyaksikan bahwa manusia dapat berkeliaran di dasar samudra tanpa memiliki insang seperti halnya ikan, atau bertamasya ke ruang angkasa tanpa harusbersayap. Akibat perkembangan budaya, manusia karena peradaban yang dibawanya dengan teknologi sebagai instrumenyang menyertainya menjadikan pandangan manusia terhadap lingkungan alamiah mengalami perubahan yang berarti.Dengan ilmu dan teknologi yang dimilikinya manusia telahmerasa menguasai lingkungan, padahal kejadian yang sebenarnya lingkungan binaan lingkungan binaan manusia jauh dari kekuasaannya.

62

Kemampuan manusia untuk menguasai lingkungan alam hanyalah suatu impian atau khalayan yang kurang mendasar. Tidaklah etis bilamana ada manusia yang mengatakan dengan bangganya telah menaklukkan lingkungan alam yangberupa kawasan pegunungan, pantai, DAS, lautan, sumberdaya air, serta bahan galian mineral. Bukankah semua potensi lingkungan alam tersebut merupakan tanggung jawab kita sebagai pengelola sumber daya bumi demi kemaslahatanumat manusia. Tidak banyak yang menyadari bahwa kehadiran lingkungan alam beserta proses alam yang menyertainya merupakan amanah terhadap manusia. Dalam pandangan geofilosofi, kehadiran manusia dengan budayanya selalu dipandang sebagai pemelihara alam. Tetapi kini dengan munculnya krisis lingkungan, manusia telah menjadi perusaknya. Manusia telah mengubah perannya, berkat uluran tangan peradaban modern, dari makhluk yang diturunkan dari langit dan hidup harmonis dengan bumi menjadi sebuah makhluk ciptaan yang memandang dirinya sebagai yang merangkak dari bawah dan kini menjadi pemangsa dan pembasmi yang sangat mematikan. Dalam pandangan Islam sebagai rahmatan seluruh alam semesta, memandang manusia sebagai wakil (al-khalifah) Allah SWT. di atas bumi dan secara eksplisit Al-Qur'an menegaskan, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang wakil (khalifah) di muka bumi" (Al-Baqarah: 30). Lebih jauh lagi, kualitas kewakilan ini disempurnakan dengan kualitas kehambaan (al-ubudiyyah) kepada Allah SWT. Manusia adalah hamba Allah dan karenanya harus menaati-Nya. Sebagai khalifah Allah, manusia harus aktif di dunia, memelihara keharmonisan lingkungan alam dan menyebaruaskan berkah dan karunia karena ia sehubungan dengan kedudukan manusia sebagai ciptaan yang terdidik dan berbudaya di dunia yang sementara ini merupakan perantara. Seperti halnya Allah SWT. memelihara dan mengasuh dunia, manusia sebagai wakil-Nya juga harus memelihara dan mengasuh dengan kasih sayang, keharmonisan terhadap: litosfer, atmosfer, tanah lahan, mineral, energi, serta air, di mana ia memainkan peran penting. Fungsi pemeliharaan terhadap lingkungan alam merupakan kesalahan manusia sebagai pemegang

63

amanah ketika bersaksi di hadapan Sang Pencipta. Allah SWT menunjukkan hal ini dalam ayat yang terkenal, Bukanlah Aku ini Tuhanmu? Mereka (yait, anggota kelompok manusia) menjawab, betul Engkau Tuhan kami, kami bersaksi (al-Araaf : 172). Menjadi masyarakat manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan terdidik berarti menyadari akan tanggung jawab yang melekat dalam status "wakil Allah SWT" Dalam ayat-Nya bahwa Allah SWI'. telah menundukkan (sakhhara) lingkungan alam bagi manusia sebagaimana termuat dalam ayat, Apakah kamu tiada melihat bahwa Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bah tera yang belayar di lautan dengan perintah-Nya (al-Hajj: 65) tidaklah berarti bahwa dengan perkembangan peradaban di bidang ilmu dan teknologi manusia semena-mena melakukan eksploitasi terhadap lingkungan alam/semesta daya bumi (apa yang ada di bumi). Dengan ayat itu dimaksudkan, bahwa domunasi atas segala apa yang ada di bumi diperbolehkan bagi manusia sejauh itu sesuai dengan hukumhukum Allah pada sifat-sifat dasar dinamika kebumian bahwa lingkungan alam. Secara makro, dapat diartikan bahwa eksplotasi sumber alam itu lebih ditekankan pada kemaslahatan masyarakat/ umat manusia. Namun apa yang banyak terjadi di sekitar kita saat ini, bahwa manusia mulai bisa hidup dan merasa aman dalam lingkungan alam yang sudah diubahnya menjadi lingkungan binaan dan secara budaya telah menjauhkan kepekaan manusia terhadap risiko yang dapat ditimbulkannya maupun risiko proses kebumian yang menyertainya. Perlakuan terhadap sumber daya alam kebumian ini harus menekankan pada kemampuan daya dukung alam; lingkungan di mana diperbolehkan untuk dimanfaatkan sebagaimana adanya. Kepekaan manusia dalam dimensi penghambaan kepada Allah SWT, serta dimensi kewakilan-Nya di bunii ini mulai luntur dan makin bias dengan kemajuan peradaban modern. Manusia semakin tidak menyadari bahwa dalam setiap perencanaan dan pelalaanaan pembangunan terdapat dimensi

perwakilan (al-khalifah) dan kehambaan (al-ubudiyyah) serta adanya proses perubahan alam (atmosfer dan litosfer) di dalamnya. Perubahan lingkungan alam menjadi lingkungan hinaannya selalu dimulai dengan munculnva

64

kesempatan yang lebih baik dan mapan. Kerana itu di balik kesempatan yang lebih baik dan mapan. Karena itu di balik kemapanan kesempatan itu manusia hanya mampu memandang berbagai manfaat dari manipulasi terhadap lingkungan alam dengan berbagai potensi sumber daya kebumian yang terkandung di dalamnya. Setiap manusia memiliki keinginan dan kehendak untuk mengelaploitasi lingkungan alam, bayang-bayang risiko selalu tertutup rapat-rapat, sehingga kemungkinan muncul ancaman baik dari proses alam kebumian maupun lingkungan binaannya kurang mendapat perhatian yang proporsional. Bencana alam merupakan peristiwa atau kerugian/kehilangan secara mendadak karena proses alam. Terdapat tiga unsur dalam bencana alam yaitu, pertama adalah unsur kerugian/kehilangan; Kedua, unsur dadakan sehingga manusia tidak mempunyai waktu untuk menghindar serta Ketiga, adalah unsur proses alamiah. Unsur kerugian atau kehilangan dapat berupa kehilangan jiwa manusia, harta benda, budi daya manusia, kerusakan lingkungan, juga dapat berupa hilangnya aset nasional yang potensial. Unsur dariakan yang dimaksud adalah dalam hal yang menyangkut kcrugian yang hilangnya aset nasional yang potensial. Unsur dadakan yang dimaksud adalah dalam hal yang menyangkut kerugian yang ditumbulkannya. Dari perkembangan peradaban budaya, manusia telah mengenal apa yang disebut dengan bencana alam. Dilihat dari kacamata geologi, bencana alam merupakan proses alam kebumian, tetapi yang berjalan sangat cepat dengan ukuran manusia yang di dalamnya terdapat unsur manusia. Pada dasarnya terdapat dua jenis proses alam yang dapat mengakibatkan bencana alam. Proses alam yang bersumber dari dalam bumi atau juga disebut proses alam asal dalam atau proses endogen, dan yang bersumber di atmosfer atau disebut juga proses asal luar atau proses eksogen. Yang termasuk dalam proses endogen adalah gempa bumi dan letusan gunung api. Gempa bumi dapat menimbulkan guncangan dan pergeseran pada permukaan. Bila akumulasi energi melebihi kondisi elasto-plastis, bahkan ke kondisi runtuh maka energi akan menimbulkan getaran yang menyebar melalui tanah dan batuan ke

65

permukaan bumi menjadi gempa tektonik yang dahsyat dan memorak porandakan semua aktivitas yang dikenainya. Bilamana hat ini terjadi di perairan samudera, maka akan terjadi gelombang tsunami yang sangat berbahaya bila dekat dengan kawasan pantai yang padat dengan aktivitas budaya manusia, seperti yang telah terjadi di Aceh, 26 Desember 2004 yang lalu. Aktivitas gunung api merupakan fenomena yang jarang diperhatikan banyak orang kecuali para saintis bidang vulkanologi maupun fisika gunung api. Bahan padat hasil erupsi baik berupa aliran lava, penumpukan kubah lava, bahan piroklastik merupakan materiil-materiil yang sangat merusak bila mengenai kawasan budaya manusia di lereng-lereng gunung api. Guguran kubah lava yang menyebabkan awan bersuhu tinggi dan bergerak sangat cepat merupakan bahaya yang sangat fatal terhadap kehidupan manusia maupun lingkungan di lereng gunung api. Demikian juga bila terjadi banjir lahar dingin yang bersifat merusak pada aliran yang dilewatinya. Gejala eksogen ialah hujan yang berlebihan misalnya (atau sebaliknya, lcekeringan), serta angin kencang. Di kawasan yang berlereng curam dengan kestabilan batuan dan tanahnya tidak baik, kemudian bila akumulasi air dalam tanah berlebihan sering terjadi longsoran, runtuhan yang merupakan gejala yang wajar. Demikian juga bila tcrjadi kelebihan massa air dan curah hujan, sering menimbulkan banjir baik banjir genangan maupun banjir

bandang/banjir kiriman. Bencana kekeringan yang pada gilirannya dapat menjadi penyebab paceklik dan kelaparan, penyakit, dan juga kebakaran. Angin kencang atau angin ribut dapat menimbulkan bencana. Gelombang air laut pasang dapat pula ditimbulkan oleh angin yang meniup kuat. Semua ini menyangkut gejala alam yang pada hakikatnya merupakan proses alam yang wajar-wajar saja. Proses alam akan menjadi sebuah bencana alam bilamana proses alam tersebut mengenai semua aktivitas budaya manusia. Apakah aktivitas itu di kota, desa, kawasan pegunungan, kawasan pantai, daerah kantong-kantong kemiskinan atau daerah dengan akses ekonomi yang tinggi atau wilayah yang mempunyai aset nasional. Bencana

66

alam yang melanda bumi Akhir-akhir ini hendaknya menjadikan kita sadar betapa tidak berdayanya manusia terhadap lingkungan alam. Kenyataan menjadi jelas bahwa lingkungan alam kebumian dan lingkungan binaan manusia memiliki berbagai potensi bencana alam, seperti gempa bumi tektonik, tsunami, bencana awan panas, tanah longsor, banjir bandang/banjir genangan, angin kencang, badai salju yang sangat Fatal terhadap perkembangan budaya manusia. Hal ini terkadang lepas dari sorotan pada saat manusia merencanakan berbagai kegiatan hidupnya. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibanggakan dan diharaphan oleh manusia untuk dapat melindungi dirinya dari ancaman bencana alam justru menimbulkan berbagai bentuk gangguan terhadap lingkungan maupun ekosistem. Pada gilirannya, gangguan dan degradasi lingkungan akibat penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak tepat telah menimbulkan dampak negatif terhadap peri kehidupan dan peradaban lingkungan budaya manusia itu sendiri. Sebagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi tentang tata cara pembuangan sampah/limbah padat pacla media geologi tertentu perlu perlakuan khusus. Namun demikian, kesalahan dalam manajemen dan teknologi tersebut mengakibatkan satu rangkaian komunikasi budaya masyarakat Leuwigajah (Cimahi) harus hilang seketika (kasus longsoran di lokasi penimbungan sampah di Leuwigajah, Cimahi, pertengahan Februari 2005 lalu). Dalam dua dasawarsa terakhir hingga memasuki abad ke-21, tanpa disadari jumlah manusia, harta benda/aset nasional yan menjadi korban bencana alam ternyata meningkat, meskipun dari bencana alam ternyata meningkat, meskipun dari kacamata geologi maupun klimatologi, lingkungan geologi di masa kini (kuarter, kurang dari 1,8 juta tahun yang lalu hingga sekarang ini) tidak menunjukkan suatu perubahan yang mendasar. Tetapi jika mengaca betapa dasyatnya bencana alam seperti gempa bumi di Peru, Kobe, Meksiko, tsunami di flores, Banyuwangi, gempa bumi di Liwa, gampa bumi dan tsunami di Pangandaran dan Cilacap (Juli 2006), awan panas Merapi, banjir di Pantura, Jakarta, Aceh, dan Sumatera Utara; tanah longsor di jawa

67

Barat, tanah longsor dan banjir bandang di Bohorok dan Pacet (Jawa Timur), tanah longsor di Purworejo, banjir di berbagai tempat di Sumatera-Kalimantan dan Jawa, gempa bumi di lran, gempa bumi di Nabire, tsunami di Biak, gempa bumi di Alor, gempa bumi dan tsunami gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara; gempa bumi Bantul dan Klaten, longsor di Solok, gempa bumi di Mandailing Natal Sumatera Utara, hingga gempa bumi Haiti, merupakan peningkatan bencana alam yang nyata baik ditinjau dari segi kejadiannya maupun jumlah korban manusia yang ditimbulkannya. Lebih berat lagi ketika kita mendapati kenyataan bahwa jumlah penduduk bumi juga semakin meningkat. Belum lagi peristiwa semburan lumpur panas di sekitar sumur eksplorasi Banjar Panji-1 milik Lapindo Brantas di Porong, sebagai bentuk aktunulasi kekuatan yang kurang diantisipasi dengan kemampuan teknologi eksplorasi sumber daya migas yang andal. Akibatnya, keperluan manusia akan lingkungan alam juga semakin meluas dan makin meningkat baik ditinjau dari segi kebutuhan akan ruang untuk hidup maupun kebutuhan akan sumber daya yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, bila keperluan manusia akan ruang hidup dan sumber daya bumi yang terkandung di dalamnya tidak dipertimbangkan dengan potensi sumber bencana kebumian, risiko yang akan ditimbulkannya semakin fatal dan sangat berbahaya. Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya bumi dan sumber bahaya kebumian. Karena itu, sudah sepantasnyalah pertimbangan terhadap risiko bahaya kebumian ini harus mendapat perhatian saksama di Indonesia. Apalagi bila dikaitkan dengan adanya pusat-pusat pertumbuhan wilayah strategis yang sebagian berada di kawasan rawan bahaya keilmuan. Bila perhatian terhadap sumber bahaya kebumian beserta risikonya lolos dari berbagai rencana pembangunan nasional maupun daerah, maka bukan hanya manusia yang semakin peka terhadap bencana kebumian, bahkan proses pembencanaan alam yang bersumber dari kelalaian peradaban manusia terhadap aneaman bencana kebumian tidak dapat dihindarkan.

68

Akhirnya evolusi budaya manusia akan membawanya kepada perubahan lingkungan awal secara global, karena kita mengetahui bahwa perubahan-perubahan akan membawa konsekuensi yang baik maupun yang buruk. Peri kehidupan manusia modern saat ini sedang berada pada suatu titik kulminasi yang menentukan proses evolusi sejarah peradaban modern, yaitu apakah terjatuh pada kondisi semakin memburuk atau sebaliknya semakin membaik. Kondisi nyata yang sedang kita alami saat ini adalah meluasnya kemiskinan, kelaparan, ketidaksehatan, tunaaksara dan berlanjutnya kerusakan ekosistem, global warming, dan seterusnya. Demikian juga kesenjangan antara kaya dan miskin makin berlanjut. Karena itu, satu-satunya alternatif jalan untuk menjamin adanya masa depan yang lebih ainan dan lebih sejahtera bagi kita adalah mengembalikan fitrah manusia pada kekhalifahan dan kehambaan kepada Tuhan dengan konsekuensinya melakukan pembangunan nasional/daerah yang ramah lingkungan kebumiannya dalam mengupayakan kebutuhan pokok umat manusia, memperbaiki taraf hidup semua orang dan mengupayakan perlindungan serta pengelolaan ekosistein yang lebih baik dan bijaksana. Dalam menjalankan semua ini kita harus mempunyai suatu visi yang jauh ke depan demi kesatuan dan keutuhan bangsa/umat manusia serta kelestarian pembangunan yang berwawasan lingkungan kebumian. Di samping itu, kita perlu memandang perlunya solidaritas kemanusiaan dalam pelaksanaan pembangunan. Umat manusia adalah satu, oleh karena itu dalam transformasi kebudayaan untuk mengantisipasi berbagai perubahan termasuk di dalamnya risiko bencana kebumian, degradasi lingkungan global, peledakan populasi, memerlukan solidaritas kemanusiaan yang berkelanjutan untuk evolusi budaya manusia. Pada dasawarsa terakhir ini, terlihat bahwa interaksi dinamis antara atmosfer dan litosfer yang berimplikasi pada risiko kehidupan dan hasil budaya bangsa ini telah menunjukkan satu proses pembelajaran yang sangat mendalam tentang makna kehadiran manusia sebagai khalifahtull fill ardh. Ke mana hakikat kehidupan budaya manusia dan budaya bangsa ini dibawa dalam lingkungan yang sangat dinamis yang melibatkan semua elemen/unsur

69

atmosfer dan litosfera bergerak mengikuti ritme sunatullah-Nya. Semoga kita mampu mengambil pelajaran dari semua kejadian itu untuk tahun yang akan datang, dan selalu berpikir bahwa "tidaklah Aku ciptakan ini dengan sia-sia".

D. DINAMIKA PERADABAN GLOBAL Mobilitas antar bangsa seperti saat ini menjadi salah satu ciri kuat perkembangan masyarakat global. Mobilitas yang dilakukan atas alasan apa pun telah menjadi fenomena penting yang menandai terbukanya isolasi-isolasi rutinitas kehidupan di pelbagai belahan dunia. Namun demikian, tidak dapat disangkal pula bahwa berbagai model danberembangan mobilitas antar bangsa tidak lagi mengenal adanya batasan spasial, teritorial kedaulatan suatu bangsa, ruang, maupun waktu. Berbagai pergerakan manusia yangberlangsung dapat dikatakan bergerak di luar kendali ruang dan waktu. Dalam konteks kehidupan global, tantangan utama yang dihadapi banyak negara adalah terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan sosial, budaya dan politik, termasuh kelimpangan pertumbuhan ekonomi yang berimbas pada persaingan ketat pasar tenaga kerja secara global. Globalisasi dengan demikian, merupakan dunia terbuka yang benar-benar telah meleburkan sekat-sekatyang membatasi pergerahan manusia dari dan berbagai negara. Sehingga hampir menghilangkan ruang, waktu yang menjadi identifikasi identitas sebuah bangsa. Dalam konteks tersebut pealing memberikan ruang besar bagi terjadinya dialog yang menjembatani kompleksitas persoalan budaya. Dengan demikian, mampu menjadi katalisator pertumbuhan peradaban. Jalan paling yang perlu dilakukan adalah melalui jalur pendidikan. Melalui pendidikan dibuka ruang mahaluas bagi

berlangswngnya berbagai mobilitas, baik dalam konteks praksis maupun teoretis. Keterbukaan ruang mobilitas tersebut pada gilirannya menciptakan persinggungan peradaban dan pemikiran yang bersifat dialogis. Perbincangan tentang globalisasi (terlebih dibaca dari perspektif negeri periphery istilah Wailerstein) akan mengambil dua pokok pertanyaan: Apa itu globalisasi dan bagaimana dampaknya bagi kehidupan keseharian kita?

70

Globalisasi sebagai sebuah konsep akan mengacu pada intensifikasi kesadaran sebuah dunia secara keseluruhan. Perspektif ini mengingatkan pada perdebatan klasik (Marx-Weber), yakni antara kekuatan dominasi ekonomi dan pluralisme sosiokultural. Dalam praktiknya, globalisasi adalah terciptanya sebuah dunia yang tanpa batas. Sebuah "transnasional ruang". Tak berlebihan bila Giddens (1990), menyebut bahwa masyarakat kitadewasa ini merupakan masyarakat pengembara dalam ruang dan waktu. (of Bauman, 1998). Kekuatan ekonomi yangdimotori oleh kapitalisme,

menumbuhkembangkan globalisasi produksi dan konsumsi. Sektor produlai numcul dengan tumbuhnya industri-transnasional, yang merambah mendekati pasar dan upah buruh murah. Proses ini menciptakan transnasionalisasi kapital, dan sekaligus melokalisasi problem sosial Maka, apa yang kini kita kenal sebagai Neo-Liberalisme pun merambah dunia keseharian kita, memformat proses kebangsaan kita, dan membuat runtuhnya bangunan sosial lama. kekuatan kapital lelah menggulung tatanan sosial. Berbagai kasus kebijakan publik tentang politik swastanisasi pendidikan, adalah contoh nyata betapa dunia sosioikultural berhadapan langsung dngan kekuatan pasar. Negara pun seperti tak bisa berbual banyak terhadap pengaruh deras kaphalisme. Pengaruh sektor produksi internasional yang berkembang menciptakan pula tingkah laku konsumtif di berbagai belahan bumi. Bahkan, negeri periphery menjadi ladang subur bagi pertumbuhan tingkah laku konsumtif, yang sering tampil sebagaigaya hidup. Scott Lash menyebutkkan sebagai proses estetikanisasi dunia kehidupan global. Globalisasi sektor produksi dan konsumsi secara nyata

membawa sebuah situasi baru: polurisierung and strafizierung arme Wltbevoekrung in globalisierte Reiche und lokalisierte Arme (polarisasi dan stratifikasi penduduk dunia dan globalitas kaum kaya dan lokalitas kaum miskin) (Beck,1997: 101). Dengan bahasa lain bahwasanya akses global hanya dapat tersentuh oleh kaum kaya, sementara kaum miskin

terkotak-kotak dalam permasalahannya sendiri (Anjal AnakBerhadapan

71

dengan hukum (ABH), warga miskin kota, PSK, pemulung, dan lain-lain), tanpa memiliki daya dan kuasa untuk terlibat aktif dalam kemajuan dunia global. Polarisasi ekonomi tersebut dibarengi pula oleh adanya situasi dunia yang terfragmentasi. Penyebabnya adalah, tidak hanya akibat dari pergeseran sektor produksi menuju sektor konsumsi, namun lebih dahsyat lagi adalah terjadinya konsekuensi penalaran modernitas. (Giddens 1990; Beck 1986) Konsekuensi-konsekuensi dari penalaran dan praktik modernitas tersebut menciptakan impact-impact yang tak terdeteksi atau tak teramalkan sebelumnya. Risiko adalah kata kunci untuk mendeskripsikan proses kerusakan atau biaya. Beck dalam bukunya Risikogesellschaft : Auf dem Weg in eine andere Moderne (1996)menyebut proses modernitas semacam itu sebagai "masyarakat risiko". Individuasi adalah proses sosial yang tak terelakkan, yang menghidupi dan dihidupi oleh roh modernitas. Spirit modernitas yang menyertai proses globalisasi tersebut kiranya juga menghantam dunia kehidupan warga masyarakat. Jika di negeri-negeri "pusat" terjadi proses individuasi yang luar biasa, demikian pula masyarakat negeri-negeri "periphery" mengalami guncangan-guncangan luar biasa pada tatanan sosialnya. Periode transisi ini ditandai oleh proses disembedding of social system. Akibatnya, sistem komunikasi sosial masyarakat pada situasi yang kaotis dan semakin hilangnya nilai "kepercayaan" institusional dan individual. (cf Luhman, 1999). Pemahaman di atas memberikan makna bahwa proses intensifikasi ruang-ruang transnasional, problem-problemnya, konflik, dan peristiwa selalu berjalan dalam logika "global". Inilah yang kemudian disebut proses globalisasi. Dimensi-dimensi tersebut tak pelak mengerucut pada soal bahwa semuanya dimotori oleh kekuasaan pasar yang berideologi neoliberal (globalisme). Dalam era globalisasi dan persaingan internasional yang ketat, daya saing bangsa Indonesia kerap disalip bangsa lain karena kita terlena dari membangun bangsa yang kuat dan mandiri. Adalah John Kendrick (15731624), di akhir dasawarsa 60-an yang mengingatkan kepada kita bagaimana

72

pentingnya pembangunan sebuah bangsa yang didasari oleh optimalisasi peran sumber daya manusia (human stock), setelah sekian lama kita berpikir bahwa capital stock merupakan aspek terpenting dalam proses perubahan peradaban manusia. Pergeseran pemikiran tersebut berimplikasi pada penentuan targettarget pembangunan yang harus dicapai oleh suatu negara di dunia. Oleh karenanya, indeks mutu sumber daya manusia pun dijadikan indikator strategis untuk membangun daya saing suatu bangsa. Dalam konteks itu, maka sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi menjadi sarana yang efektif untuk mendongkrak peraihan indeks mutu sumber daya manusia. Untuk menyiapkan sumber daya manusia tersebut, keberadaan dunia pendidikan terutama pendidikan tinggi menjadi hal yang strategis untuk merepresentasikan tingkat ketercapaian pembangunan ketiga pada sektor itu.

E. PROBLEMATIKA PERADABAN PADA KEHIDUPAN MANUSIA Awal kelahiran modernisme merupakan sebuah proses revolusi peradaban tentang cara pandang manusia terhadap realitas. Melalui fisika Descartes, ia membangun sebuah wacana besar tentang metode pemahaman terhadap realitas yang bertumpu pada konsep democritus. Descrates, membagi realitas ke dalam atom-atom penyusun realitas dan kemudian dicari sistemnya terhadap keseluruhan. Bersama para pengikutnya, kemudian ilmu fisika menjelma sebagai bentuk ideologi besar modernisme, bahkan kemudian mampu meruntuhkan dominasi gereja yang kala itu menjadi 'satu-satunya' tafsir kebenaran terhadap segala macam realitas. Alam dalam pemaknaan Descartes adalah kurang lebih dipahami scbagai sesuatu yang 'langsung jadi' dan tidak memiliki perubahan, sistemnya tetap, begitu juga semua elemen pembentuk alamnya. Setelah konsepsi Descartes memengaruhi segala macam kehidupan, termasuk tatanan sosial melalui pemikiran F. Bacon (1561-1626) dan Comte (1798-1857), berlanjut kemudian alam pikiran modern mengenal seorang Lamarck (1744-1829) dan Charles Robert Darwin (1809-1882) dengan teori evolusinya di bidang biologi. Walaupun keduanya sejatinya berbeda dalam

73

memaknai proses evolusi, namun konsep evolusi ini merupakan sebuah revisi terhadap konsep realitas dari sumbangsih Descartes yang menganggap alam sebagai sebuah sistem yang tetap. Ternyata ide Darwin tersebut kemudian mendapat dukungan dari generasi berikutnya, yaitu Karl Marx (1818-1883) yang dikenal sebagai seorang Darwinian Sosial yang menganggap bahwa prosespergantian sosial pun selalu melalui proses seleksi alam. Bahkan adanya konflik adalah sesuatu yang niscaya sebagai upaya untuk keluar dari kerumitan sosial sekaligus menjadi pemenang dari proses seleksi alam tersebut. Berikutnya adalah ilmuwan Sir Isaac Newton (1643-1727), melalui Newton perkembangan ilmu fisika mengalami proses penyempurnaan. Dengan demikian, realitas yang terdiri atas sistem dan elemen pembentuk sistem (Descrates), dan realitas yang mengalami sebuah evolusi sccara terusmenerus (Darwin) diterangkan dalam konsepsi berbeda yang dikenal dengan konsepsi melanika. Mekanika Newton atau sering juga disebut dengan mekanika klasik menjelaskan adanya fenomena benda yang relatif besar, dengan kecepatan relatifrendah, tetapi juga dapat digunakan sebagai pendekatan fenomena benda mikroskopis. Secara makro, penjelasan mekanika Newton tersebut membuka wacana besar yang membentuk peradaban modern semakin sempurna. Melalui Descartcs, Darwin, dan Newton fondasi modernisme semakin kukuh. Pemikiran ketiga tokoh tersebut menemukan bentuk fungsionalnya saat perkembangan alat-alat teknologi semakin meluas dan mendunia, dimulai saat revolusi industri pada akhir abad ke-17. Bergulirnya percepatan penggunaan teknologi canggih saat ini tidak perlu selalu dimaknai sebagai keadaan yang negatif (Fritjof Capra, 2004). Sebagaimana dalam kebijaksanaan klasik Cina, konsep "krisis menggunakan kata weijiyang terdiri dari huruf-huruf yang berarti "bahaya" dan "kesempatan". Artinya, saat terjadi krisis sesungguhnya terjadi proses transisi, yaitu selain mengandung bahaya juga mengandung kesempatan yang bisa membuat kondisi awal manusia menjadi lebih baik.

74

Dilihat dari proses kelahiran modernisme sebelumnya, bisa dimaknai bahwa peran sains (atau lebih tepatnya natural science) dalam menentukan arah peradaban manusia sangat besar. Demikian juga kontribusi para saintis yang memiliki kompetensi filosofis ternyata terbukti mampu menggiring sejarah umat manusia. Begitu juga peran teknologi, di mana ketika sains memiliki peran besar dalarn proses pembentukan wacana besar yang menjadi fondasi 'kebenaran', teknologi sebagai bentuk aplikasi sains memiliki peran besar dalam pembentukan realitas sosial. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa para saintis berwacana dan para teknolog membumikan pemikiran mereka dalam bentuk peralatan yang berguna bagi kehidupan manusia. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana peran Sains dan teknologi dalam penentuan bentuk peradaban baru pasca modernisme? Fritjof Capra menyitir Toynbee tentang proses kelahiran Minoritas Kreatif sebagai nukleolus penentu arah peradaban sebagai berikut: Budaya runtuh karena kehilangan fleksibilitas. Pada waktu struktur sosial dan pola perilaku telah menjadi kaku sedangkan masyarakat tidak lagi mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah, peradaban itu tidak akan mampu melanjutkan proses kreatif evolusi budayanya. Dia akan hancur dan secara berangsur mengalami disintegrasi. Sementara peradaban-peradaban yang sedang berkembang

menunjukkan keberagaman dan kepandaian yang tak pernah berhenti, peradaban-peradaban yang berada dalam proses disintegrasi

menunjukkan keseragaman dan kurangnya daya temu. Hilangnya fleksibilitas dalam masyarakat yang mengalami disintegrasi ini disertai dengan hilangnya harmoni secara umum pada elemen-elemennya, yang mau tak mau mengarah pada meletusnya perpecahan dan kekacauan sosial.

75

Namun demikian, selama proses disintegrasi yang menyakitkan itu, kreativitas masyarakat-kemampuannya untuk menghadapi tantangan-tidak hilang sama sekali. Meskipun arus budaya telah menjadi beku dengan melekatkan diri pada pemikiran-pemikiran mapan dan pola-pola perilaku yang kaku, minoritas kreatif akan tetap muncul ke permukaan dan melanjutkan proses tantangan dan tanggapan itu. Lembaga-lembaga sosial yang dominan akan menolak menyerahkan peran-peran utama kepada kekuatan-kekuatan budaya baru ini, tetapi mereka mau tak mau akan tetap runtuh dan mengalami disintegrasi, dan kelompok minoritas kreatif itu mungkin akan mampu mentransformasikan beberapa elemen lama menjadi konfigurasi baru. Proses evolusi budaya ini akan terus berlanjut, tetapi berada dalam kondisi-kondisi baru dan dengan tokoh-tokoh baru pula. (Titik Balik Perdaban, Fritjof Capra, 1981) Melalui penjelasan Toynbee di atas, peradaban baru manusia postmodern mulai terbentuk secara perlahan. Bahkan setelah ada interaksi antara matematika dengan teknologi elektronika, kita kemudian mengenal bentuk aplikasi teknologi yang dikenal dengan teknologi komputer, yang jauh meninggalkan konsep mekanika Newton. Dunia kemudian juga mengenal adanya pengaruh filosofis dari konsep fisika kuantum terhadap realitas sosial, yaitu ketika teknologi komputer berinteraksi dengan realitas sosial, sehingga terlahir sebuah teknologi informasi yang bergerak dalam logika kuantum yang diprediksikan oleh Tofler akan menjadi tulang punggung benluk Peradaban baru pengganti modernisme. Sclain itu, kita mengenal bagaimana konsep cepat lambat mengalami perubahan secara drastis. Juga konsep keterbatasan ruang yang bisa diatasi sehingga konsep jauh dan dekat secara filosofis juga mengalami perubahan makna. Dengan demikian, jaring-jaring Cartesian akan sulit untuk menggambarkan karena konsep ruang dan waktu ini sudah berubah secara filosofis. Bahkan perbedaan konsep nyata dan imajiner yang juga kemudian diklaim oleh dunia IT akan segera teratsi akan semakin meninggalkan jaringjaring Cartesian sebagai satu-satunya yang bisa menggambarkan kenyataan.

76

Juga dengan berkembangnya pemetaan DNA, rekayasa genetika yang meninggalkan konsep evolusinya Darwin. Sekali lagi terbukti, pengaruh dominan saintis dan teknolog ternyata masih sangat dominan untuk menentukan masa depan umat manusia. Apalagi setelah ilmuwan sosial mahzab kritis dengan post-modernismenya terjebak dalam wacana dan definisi semata, serta para teolog dan ahli agama yang terus disibukkan dengan perdebatan liberal dan konservatifnya, disadari atau tidak para saintis dan teknolog akan terus menjadi Penentu arah peradaban. Ketika Descartes merumuskan konsep geometri analitis mungkin tidak berpikir tentang implikasi moral dan sosial dari konsepnya tersebut. Demikian juga seorang Darwin dan juga Newton. Apalagi melihat konsep

reduksionisnya Descartes yang kemudian mengilhami pembagian bidang spesialisasi ilmu yang di masa peradaban Islam dianggap belum begitu penting. Sehingga, pengaruh pemikiran yang mereka berikan terhadap perubahan sosial bisa jadi tidak terpikirkan sebelumnya. Dengan bahasa lain, ekses modernisme terhadap tatanan sosial pengganti tatanan sosial 'Abad Kegelapan' bisa jadi tidak pernah mereka pikirkan bahkan tidak pernah mereka bayangkan. Apalagi dampak negatifnya terhadap kenyataan sosial. Adanya 'penyesalan' umat manusia terhadap proses peradaban manusia yang merusak lingkungan dan tatanan sosial akses dari modernisme perlu disikapi dengan bijak. Adalah sebuah kebutuhan mutlak bagi kita semua saat ini agar para komunitas saintis dan teknolog terus mempertimbangkan dan mengembangkan penerapan sains dan teknologi. Namun demikian, seluruh kemajuan teknologi perlu terus mempertimbangkan konsekuensi ekologi, moral, dan sosial dari proses inovasi maupun inventori yang mereka lakukan. Karenanya, sindiran, teguran, dan peringatan dari kalangan ahli ilmu sosial dan juga teolog atau ulama perlu disikapi secara bijak oleh para saintis dan telnolog itu sendiri. Hal yang cukup memperhatikan adalah budaya pragmatis, egois bahkan tertutup (elitis) di tengah masyarakat kita. Hal tersebut secara tidak sadar, sedikit banyak adalah kontribusi dari kalangan saintis dan teknolog.

77

Pertanyaannya bagaimana kita mengembalikan sistem yang memungkinkan terbukanya kembali sekat-sekat komunikasi antara sains dan teknologi, dari pihak saintis dan teknolog tentunya, dengan disiplin ilmu dan spesialisasi lain tanpa harus mcmandang bidang ilmu lain lebih rendah. Selain itu, Kuntowidjoyo (1943-2005) juga mengusulkan pentingnya membangun sebuah etika profetis di kalangan saintis dan teknolog, sebagainiana layaknya para nabi yang memandang dirinya sebagai sosok pembebas umat manusia dari segala penindasan, sebagai sosok yang mendedikasikan proses inovasi daninventory-nya untuk pembangunan kembali hakikat kemanusiaan

yangnyaris musnah, dan juga sebagai para pengingat urnat manusia akan kenyataan bahwa sejatinya mereka adalah makhluk Tuhan. Oleh karena itu, setiap ilmuwan seyogianya mengemban misi kenabian (profetik) yaitu dengan melakukan transmisi keilmuan untuk peradaban yang lebih maju tanpa merusak tatanan kehidupan manusia dan ekologi lingkungan hidup. Yakni dengan membangun pemahaman bersarna bahwa sejatinya ilmu adalah untuk kemanusiaan (humanity) dan kemaslahatan bersama (common good). Ilmuwan tidak saja menyelesaikan persoalan kehidupan, tetapi ia harus turut andil memastikan nasib keberlangsungan hidup dan masa depan generasi umat manusia ke depan. Dengan kebersamaan satu misi tersebut, para ilmuwan diharapkan tidak lagi terjebak dalam sekat-sekat pembidangan keilmuwan yang yang dan merusak tujuan mulia dari ilmu pengetahuan.

78

BAB 5 MANUSIA, KERAGAMAN, DAN KESETARAAN

A. HAKIKAT KERAGAMAN DAN KESETARAAN MANUSIA Masyarakat majemuk seperti Indonesia, bukan hanya beraneka ragarn corak kesukubangsaan dan kebudayaan suku bangsanya secara horizontal, tetapi juga secara vertikal atau jenjang menurut kemajuan ekonomi, teknologi, dan organisasi sosial-politiknya (Suparlan, 1979). Tanpa disadari oleh banyak orang Indonesia, sebenarnya dalam masyarakat Indonesia terdapat golongan dominan dan minoritas, sebagaimana yang terwujud dalam tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap mereka dalam berbagai interaksi baik interaksi sccara individual maupun secara kategorikal baik pada tingkat nasional. Sebagai bangsa yang memiliki keragaman etnis, agarna, dan budaya yang luar biasa, Indonesia sering kali dijadikan ajang pernantauan bagaimana proses-proses demokrasi, penerapan ide-ide pluralisme, dan multikulturalisme dapat dilangsungkan. Persentuhan ragam budaya dan agama antarkelompok masyarakatnya yang telah berlangsung sejak lama ini juga telah melahirkan ragam konflik dan konsensus yang terjadi. Demokrasi yang oleh Robert Dahl (1982), juga disyaratkan dengan terciptanya karakteristik pluralisme yang kondusif bagi sebuah negara ini mendapatkan gimnasiumnya di Indonesia. Sebelum RI merdeka pada 1945, penduduk yang menghuni wilayah Nusantara dapat dikelompokkan ke dalam berbagai bentuk pengelompokan sosial yang disebut suku bangsa, subsuku bangsa, maupun pengelompokan sosial vang didasari oleh sistem penggolongan sosial lain bcrdasarkan satu (atau lebih) unsur tertentu yang diperoleh secara askriptif (warisan), seperti ras, agama, dan lain sebagainya. Pada hakikatnya, masing-masing kesatuan sosial tersebut hidup dengan mengacu pada kebudayaan atau

subkebudayaannya masing-masing, yang saling bcrbeda satu dengan lainnya. Bahkan lengkap dengan aturan-aturan hukum-nya sendiri, yang kemudian hari dikenal dengan sebutan hukum adat. Maka, tidak mengherankan jika

79

para ahli menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia mewujudkan diri sebagai suatu masyarakat yang majemuk dan sudah menjadi pokok pcrhatian dari para ahli tersebut untuk waktu yang lama. Dengan kalimat mewujudkan diri sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRl pada hakikatnya setiap kelompok, golongan, suku, agama dan yang berbeda satu dengan lainnya melebur dan bersepakat membentuk kesukubangsaan yang satu, yaitu bangsa Indonesia. Karena itu, setiap generasi bangsa berdiri satu dengan lainnya dengan sejajar. Semua suku bangsa saling inemberikan potensi terbaik yang mereka miliki kepada Negara Kesatuan RI. Untuk itulah kita harus membangun bangsa kita, dimulai dari diri kita sendiri, untuk menjadi unsur terbaik yang bisa memberikan kiprah gemilang menuju cita-cita besar para founding fathers kita. Kesetaraan, artinya setiap gcnerasi melaksanakan pembangunan dan diberi kepercayaan penuh, dihargai, dihormati, dan diberikan pengakuan dalam hal kemampuandan nilainilai yang dimiliki. Dalam prinsip kesetaraan bahwasanya setiap individu, organisasi, atau institusi yang telah bersedia menjalin kemitraan harus merasa "duduk sama rcndah berdiri sama tinggi" dengan yang lain. Kedua belah pihak yang bermitra mempunyai kedudukan yang sejajar dalam mencapai tujuan vang disepakati. Bagaimanapun besarnya suatu institusi atau organisasi dan bagaimanapun kecilnva suatu institusi atau organisasi, apabila telah bersedia menjalin kemitman harus mcrasa sama dan sejajar. Karena itu, dalam kemitraan asas toleransi, kerja sama, saling timbal balik, harmonis, dan keterbukaan harus terus dijunjung tinggi. Dalam prinsip keselaman tidak boleh terjadi ada satu anggota memaksakan kehendaknyakepada anggota yang lain, misalnya merasa lebih terhormat atau lebih tinggi kedudukannya, sehingga anggota atau komunitas lainnya merasa terdiskriminasi dan tertindas oleh dominasi anggota atau komunitas lainnya. Kesetaraan adalah komitmen bersama yang perlu untuk terus dipupuk dan dikembangkan dalam proses berbangsa dan bernegara di NKRI kita. Dengan prinsip kesetaraan tersebut diharapkan kita kembali memperlihatkan jati diri dan harga diri sebagai bangsa (self-nation-esteem) menghadapi

80

pelbagai persoalan kebangsaan yang terus-menerus datang di setiap zaman. Dengan prinsip kesetaraan kita bisa membangun kemitraan yang kukuh untuk kemudian saling berinteraksi, bersosialisasi dan berelapresi satu dengan lainnya.

B. KEMAJEMUKAN DALAM DINAMIKA SOSIAL DAN BUDAYA Pada dasarnya, kemajemukan dalam masyarakat Indonesia dapat dipahami sebagai bentuk perbedaan daya adaptasi antar kelompok-kelompok yang berbeda secara ras, suku bangsa, agama, dan bahasa, sehingga menjadikan kelompok-kelompok yang memiliki tingkat perkembangan kebudayaan, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Dengan proses yang demikian, dengan mudah dapat dipahami pada adanya ketidakseimbangan dan kesenjangan yang dapat saja berlanjut ke arah pertikaian antarras, suku bangsa, dan kelompok agama, yang di Indonesia populer dengan sebutan masalah sara, yang jelas-jelas mengancam integritas Indonesia sebagai suatu nation. Dalam pandangan Thamrin Amal Thomagola, struktur mozaik sosialbudaya yang tegak di Nusantara kita ini dapat dideskripsikan dalam tiga aspek, yaitu: struktur kesukuan, distribusi wilayah agama, dan dari aspek tingkat pendidikan. pertama, dari aspek struktur kesukuan, keseluruhan struktur mozaik Nusantara ini terbelah menjadi dua bagian utama. keterbelahan ini kurang lebih mengikuti garis-Wallace (Wallace Line) yang terkenal itu ke dalam dua bagian, yaitu Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Teramati ada beberapa perbedaan pokok antara Pola Indonesia Barat dengan Pola Indonesia Timur (selanjutnya disingkat dengan PIB untuk yang pertama, dan PIT untuk yang disebut terakhir). Pertama, dari 656 suku di seluruh Nusantara hanya ada seperenam (109 suku) di PIB sedangkan di PIT ada lima perenam (547 suku). Dari jumlah yang disebut terakhir ini, tiga perlirna (300an suku) berdiam di Papua Barat. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa keseragaman suku di PIT jauh lebih tinggi dari keragaman suku di PIB.

81

Kedua, ada delapan suku, yaitu suku Aceh, Batak, Minang, Sunda, Jawa, Madura dan Bali, dari semibilan suku dominan di Indonesia ada di PIB dan hanya satu berlokasi di PIT, yaitu suku Bugis. Sementara suku-suku dominan lainnya, yaitu: Aceh, Batak, Melayu, Minang, Sunda, Jawa, Madura, Bali, dan Bugis. Suku-suku tersebut dikatakan domain berdasarkan tiga kriteria utama, yaitu: (1) jumlah proporsional; (2) punya kerajaan dan masyarakat yang mapan di masa lampau; dan (3) menyumbangkan banyak tokoh nasional dalam hampir semua bidang kehidupan, terutama dalam bidang kebudayaan, intelektual, dan kenegaraan. (Tomagola, 1990) Ketiga, setiap suku di PIB paling kurang mendiami satu provinsi secara utuh, dan, kadang-kadang dua provinsi atau lebih seperti suku Minang dan Jawa. Sebaliknya di PIT, dalam satu kecarnatan saja dapat ditemukan lebih dari 10 suku, dalam satu kabupaten berdiam lebih dari 20 suku, dan, besar kemungkinan dalam satu provinsi menampung lebih dari 40 suku. Sementara dalam tinjaun Koenjaraningrat (1987: 32), suku bangsa di Indonesia dapat juga dipetakan dari model mata pencaharian yang dominan digelutinya, yang secara bersamaan sekaligus dipengaruhi oleh suatu peradaban dari luar seperti zending, missi, pemerintahan kolonial, kebijakanpemerintahan RI, pengaruh kebudayaan Hindu dan agama Islam. Antara lain dapat dikelompokkan pada masyarakat berburu, berladang, tani sawah, berkebun, pengembara, dan seterusnya. Dengan melihat kebudayaan sebagai suatu mekanisme adaptasi suatu masyarakat dalam menginterpretasikan lingkungan yang dihadapinya, baik lingkungan sosial maupunfisik, maka tingkat perkembangan masing-masing kebudayaan dapat dibeda-bedakan berdasarkan daya adaptasinya itu. Perbedaan daya adaptasi ini dapat ditelusuri melalui model-model produksi (models of production) yang dikembangkan oleh masing-masing kelompok masyarakat yang bersangkutan, yang terwujud kedalam sistem teknologi, pengetahuan, pola-pola pengeksploitasi dan penguasaan sumber daya ekonomi, serta jaringan hubungan dengan masyarakat lain yang lebih luas.

82

83

Dengan cara demikian, perbedaan kebudayaan dalam nation Indonesia dapat dilihat secara gradual. Baik antara kelompok-kelompok yang ada di dalam satu golongan sosial yang dikategorisasikan ke dalam situ kelompok horizontal tertentu, maupun antar kelompok-kelompok horizontal itu sendiri. Misalnya saja, dalam masyarakat orang Jawa, Minangkabau atau Batak, ada kelompok-kelompok sosial tertentu yang memiliki daya adaptasi yang tinggi dan ada yang rendah. Demikian pula, orang Jawa, Minangkabau dan Batak, pada umumnya, relatif memiliki daya adaptasi yang lebih tinggi ketimbang rata-rata orang Mentawai, Kubu (atau Suku Anak Dalam), atau berbagai suku bangsa (atau subsuku bangsa) yang menghuni pcdalaman Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya, misalnya. Berdasarkan tingkat perkembangan sistem teknologi, pengetahuan, poly-poly pengeksploitasian dan penguasaan sumber-sumber daya ekonomi, serta jaringan hubungan dengan masyarakat yang lebih luas ini, kelompokkelompok suku bangsa atau subsuku bangsa yang ada di wilayah kedaulatan Republik Indonesia ini setidaknya dapat dibagi kedalam empat kategori utama, di mana situ sama lainnya memiliki tingkat daya adaptasi yang berbeda satu lama lainnya. Pertanna, adalah kelompok masyarakat yang dapat dikategorikan sebagai tribal society. Dari segi komposisi demografi, jumlah anggota kelompok masyarakat yang dimaksud relatif kecil. Masyarakat yang tergolong kepada tribal society ini biasanya hidup dalam persekutuan-persekutuan hidup yang beranggotakan lebih/ kurang 50 jiwa saja. Masing-masing persekutuan hidup itu tidak terintegrasi ke dalain persekutuan (politik) yang lebih luas. Pada umumnya bermata pencaharian berburu dan meramu (hunting and food gathering). Berkaitan dengan sistem pemenuhan kebutuhan sehari-hari ini, biasanya, pola permukiman kelompok masyarakat ini bersifat nomadis (berpindah-pindah tempat), meski batas-batas wilayah pengembaraannya itu tetap dapat ditentukan secara pasti.

84

Di Indonesia, kelompok masyarakat yang terkategori ke dalam tribal society atau masyarakat pemburu dan peramu ini relatif kecil jumlahnya. Sejauh yang dapat diketahui, kelompok masyarakat yang dapat dikategorikan sebagai tribal society hanyalah sebagian dari orang Kubu (Suku Anak Dalam) yang hidup di wilayah belantara Jambi dan Sumatera Selatan. Konon juga terdapat di beberapa daerah pedalaman lrian Jaya, Kalimantan, dan Sulawesi (bagian Tengah). Di samping itu, dalam kenyataannya, untuk kasus Indonesia, kegiatan berburu dan meramu ini sering kali pula dikombinasikan dengan kegiatan berkebun yang teknologinya juga relatif amat sederhana. Jenis tanaman yang umum dibudidayakan adalah keladi dan ubi jalar. Sebab itu pula, oleh Koentjaraningrat, masyarakat ini dikategorikan sebagai masyarakat berkebun. Menurut Koentjaraningrat, khususnya bagi kelompok-kelompok yang telah mengombinasikan sistern berburu dan merarnu ini dengan sistem berkebun, tanaman padi tidak dibiasakan. Sistem dasar kemasyarakatannya juga telah berkembang menjadi desa terpencil tanpa diferensiasi dan stratifikasi yang berarti; gelombang pengaruh kebudayaan menanarn padi, kebudayaan perunggu, kebudayaan Hindu dan agama Islam-setidaknya hingga satu-dua dekade belakangan ini-tidak dialami; dan isolasi dibuka oleh zending dan/atau missi. Kedua, kelompok masyarakat perladangan berputar (rotary

cultinatiotz), atau lebih populer disebut kelompok masyarakat yang mengembangkan sistem pcrladangan berpindah (shifting cultivation). Karena dalam sistem teknologi pertanian yang dikembangkannya ada unsur pekerjaan menebas dan membakar, teknik ini kerap pula disebut sebagai slash and burn cultivation. Demikian pula, karena kegiatan pertanian itu tidak

diselenggarakan secara terus-menerus pada satu bidang lahan tertentu, maka kegiatan pertanian ini sering pula dikategorikan sebagai suatu cara produksi pertanian elcstensif (extensive agriculture). Betapa pun, kelompok masyarakat ini pada dasarnya merupakan kelompok masyarakat yang telah dapat bercocok tanah untuk menghasilkan bahan makanan pokoknya (food producing) scndiri. Sebagian besar kelompok masyarakat ini juga berada di luar Jawa, dengan

85

sedikit pcngecualian di beberapa tempat tertentu saja, seperti pada masyarakat Badui, misalnya. Komposisi demografis kelompok masyarakat ini berjumlah lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang pertama. Bisa mencapai angka ribuan jiwa. Meski begitu, keterikatan anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya masih menekankan pada sistem kekerabatan (kinship system). Secara tradisional kelompok ini belum sepenuhnya terintegrasi pada sisteln sosio-ekonomi pasar yang lebih luas dan sistem sosiopolitik yang lebih besar dan kompleks. Seperti juga pada kelompok pertama, diferensiasi dan stratifikasi sosial-ekonomi belum begitu menonjol, masih bersifat egaliter, dan juga belum mengenal spesialisasi atau pembagian kerja atas dasar keterampilan dan keahlian penguasaan teknologi. Semua anggota masyarakat masih mungkin untuk memiliki akses dan kontrol yang sama atas sumber daya-sumber daya elconomi, khususnya tanah. Hal ini dimungkinkan karena rasio antara jumlah dan kepadatan penduduk dengan luas tanah masih rendah, sehingga mereka masih bisa melakukan perladangan berputar itu. Tanah masih dikuasai seeara kolektif-kecuali pada bidang-bidang tertentu-dan setiap anggota kolektif bisa membuka dan menguasainya. Dalam konteks inilah mengapa masyarakat peladang berputar ini dalam batas-batas tertentu masih dapat dikatakan bersifat egaliter. Namun demikian, karena pertanian perladangan ini mempunyai indeks diversitas tanaman yang tinggi, artinva scbidang lahan ditanami oleh banyak jenis tanaman, maka-dari sudut tertentu-biasanya tidak efektif, dan hasilnya juga tidak begitu tinggi, tidak dapat menghasilkan surplus produksi yang besar, meskipun tingkat kepadatan penduduknya masih rendah. Akibatnya, masyarakat peladang belum sepenuhnya dapat terintegrasi pada sistem ekonomi yang lebih besar.

86

Ketiga, kelompok masyarakat petani (peasant society). Kelompok masyarakat ini adalah kelompok-kelompok masyarakat yang mengembangkan sistem pertanian menetap (sedenter). Berbeda dengan cara bertani pada kelompok peladang berputar terdahulu, kelompok masyarakat ini

mengembanglcan cara produksi pertanian intensif (intensive agriculture), yang di Indonesia dikenal sebagai sistem pertanian lahan basah atau pertanian persawahan. Sistem ini UmIum dikenal oleh kelompok masyarakat yang menghuni Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan di daerah-daerah tertentu di pulaupulau yang ada di gugusan Sunda kecil (terutama di Bali, NTB). Karcna sistem pertanian ini mampu menghasilkan surplus hasil yang cukup besar, kegiatan ekonomi kelompok ini telah terintegrasi ke dalam sistem sosio-ekonomi dan sosiopolitik yang lebih besar dan lebih luas. Bahkan hingga tingkat regional dan global. Keterikatan antar-anggota dalam masyarakat-masyarakat yang bersangkutan tidak lagi melulu berdasarkan sistem kekerabatan, melainkan juga pada ikatan sosiopolitik dan sosioekonomi yang lebih formalistis. Seperti organisasi dan asosiasi. Di samping itu, secara demografis jumlah anggota kelompok masyarakat yang besangkutan cukup besar dan tingkat kepadatan pcnduduk cukup tinggi, serta tkah pula mengenal diferensiasi dan stratifikasi sosialekonomi (dan politik). Artinya, ada di antara anggota masyarakat yang bersangkutan yang tidak atau hanya sedikit memiliki akses dan kontrol pada sumber-sumber daya ekonomi, terutama tanah. Bahkan, orang-orang yang tidak atau sedikit memiliki akses dan kontrol pada tanah itu jumlahnya lebih banyak. Hal ini disebabkan oleh adanya ketimpangan rasio antara tanah dengan jumlah dan tingkat kepadatan penduduk, jumlah masyarakat petani selalu lebih besar dibandingkan dengan luas lahan pertanian yang tersedia. Keempat, adalah kelompok masyarakat perkotaan. Masyarakat perkotaan adalah suatu masyarakat yang tinggal di suatu lingkungan pemukiman tertentu, yaitu suatu lingkungan di mana para penghuninya dapat memenuhi sebagianbesar kebutuhan ekonominya di pasar setempat. Biasanya barang-barang itu dihasilkan oleh penduduk yang tinggal di daerah

87

pedalaman (pedesaan), yang biasa disebut sebagai daerah yang melindungi desa. Titik awal gejala kota adalah timbulnya golongan literati (golongan intelektual, pujangga, agamawan, misalnya), atau berbagai kelompok spesialis yang berpendidilcan dan non-agraris, sehingga pembagian kerja dalam masyarakat perkotaan ini sangat kompleks. Dilihat dari peran sosio-ekonomi dan sosiopolitiknya dalam suatu jaringan kehidupan yang lebih luas, masyarakat perkotaan ini juga disebut sebagai kelompok elite ekonomi dan politik. Kelompok ini pada dasarnya mulai terbentuk sejak zaman kolonial, atau mungkin sejak awal abad XX, ketika pemerintah kolonial Belanda mulai memperkenalkan sistem pendidikan sekolah yang modern. Kelompok ini adalah orang-orang yang berlatar belakang pendidikan sekolah yang lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk Indonesia pada umumnya yang sebagian di antaranya kemudian masuk ke dalam sistem birokrasi pemerintahan kolonial atau menjadi politisi pejuang kemerdekaan. Setelah masa kolonial, kelompok masyarakat ini mulai bertambah dengan orang-orang yang memiliki akses dan kontrol pada sumber-sumber daya ekonomi, teknologi, dan informasi, terutama sejak pemerintah Orde Baru memegang tampuk pemerintahan, yang dapat dikategorikan sebagai elite ekonomi nasional, yang berasal baik dari golongan pribumi dengan latar belakang suku bangsa, agama, dan daerah yang berlainan, maupun yang berasal dari golongan minoritas pribumi. Di bawah kelompok elite kota ini ada suatu kelas menengah perkotaan yang jumlahnya lebih besar, yaitu parapegawai pemerintahan, pegawai, perusahaan-perusahaan swasta, kaum intelektual, dan pengusaha-pengusaha mandiri. Dari segi cara hidup kelas menengah ini tidak berbeda jauh dengan lapisan elite, sehingga mereka bisa dimasukkan ke dalam lapisan yang dikategorikan memiliki suatu pola kebudayaan super kultur metropolitan. Dilihat dari gaya hidup yang mereka miliki dan kembangkan, mereka telah lebih jauh hidup dan menjadi bagian dari kerangka peradaban global. Bahasa, gaya hidup, penguasaan teknologi dan informasi, serta cara kerja yang

88

berorientasi pada peradaban internasional ini menjadi kelompok acuan (reference group) bagi hampir semua kelompok-kelompok masyarakat yang lain. Betapa pun, perbedaan sistem teknologi, sistem-sistem kemasyarakatan, dan kompleksitas jaringan hubungan dengan masyarakat yang lebih luas pada masing-masing kategori seperti telah diperinci di atas, akan berpengaruh pada kemampuan beradaptasi atas perkembangan sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya, yang dihadapi oleh masing-masing kelompok masyarakat yang bersangkutan.

C. KERAGAMAN DAN KESETARAANSEBAGAI KEKAYAAN SOSIALBUDAYA BANGSA Kita menyadari bahwa Kepulauan Nusantara terdiri atas aneka warna kebudayaan dan bahasa, secara umum keragaman atas sosial-budaya yang tegak di Nusantara kita ini dapat dideskripsikan dalam tiga aspek, yaitu: struktur kesukuan, distribusi wilayah agama, dan dari aspek tingkat pendidikan. Namun keberagaman tersebut dalam konteks kekayaan menjadi kekayaan yang patut kita syukuri. Keberagaman dalam konteks Nusantara menjadi konsep kesetaraan sesuai dengan konsep integrasi nasional dengan rumusan Bhineka Tunggal Ika yang artinya Bhina = pecah, ika = itu, Tunggal = satu, sehingga Bhineka Tunggal Ika artinya "terpecah itu satu. Tidak jarang kebhinekaan bangsa kita sampai pada konflik tingkat nasional yang menyebabkan terganggunya integrasi bangsa scbagai cita-cita bangsa. Sosial-budaya begitu kompleksnya menyangkut berbagai segi kehidupan manusia dan masyarakat, serta unsur utama dalam proses pembangunan diri manusia dan masyarakat. Keberagaman dan kesetaraan dalam konteks kekayaan khazanah sosial-budaya bangsa salah satunva adalah dengan mcngembangkan atau merumuskan kebudayaan nasional Indonesia. Sehingga keberagaman sosial budaya dan kesetaraan sosial-budaya mampu mengemban fungsi kebudayaan nasional, yaitu :

89

a. Suatu sistem gagasan dan perlambang yang memberi identitas kepada warga negara Indonesia. b. Suatu sistem gagasan dan perlambang yang dapat dipakai oleh semua warga negara Indonesia yang beragam (bhineka) itu, untuk saling berkomunikasi dalam kesetaraan dengan demikian dapat memperkuat solidaritas sosial-budaya bangsa.

D. PROBLEMATIKA

KERAGAMAN

DAN

KESETARAAN SERTA

SOLUSINYA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN NEGARA Dalam pen-Takdir-annya sebagai negara kepulauan atau negara maritim yang masyarakatnya bersifat majemuk (plural society), pemerintah dan masyarakat Indonesia masih harus belajar banyak dari sejarah perjalanannya sendiri tentang bagaimana mengelola kemajemukan terscbut agar menjadi modal sosial pembangunan bangsa. Masyarakat majemuk yang tersusun oleh keragaman lcelompok etnik (etnic group) atau suku bangsa beserta tradisi budayanya itu, tidak, hanya berpeluang menjadikan Indonesia sebagai negara yang kuat di masa mendatang, tetapi juga berpotensi mendorong timbulnya konflik sosial yang dapat mengancam sendi-sendi integrasi negara-bangsa (nation-state), jika dinamika kemajemukan sosial budaya itu tidak dapat dikelola dengan baik. Sebagai unsur pembentuk sistem sosial masyarakat majemuk kelompok-lcelompok etnik memiliki kebudayaan, batas-batas sosial-budaya, dan sejumlah atribut atau ciri-ciri budaya yang menandai identitas dan eksistensi mereka. Kebudayaan yang dimiliki kelompok etnik mcnjadi pcdoman kehidupan mereka dan atribut-atribut budaya yang ada, seperti adat istiadat, tradisi, bahasa, kesenian, agama dan paham keagamaan, kesamaan leluhur, asal usul daerah, sejarah sosial, pakaian tradisional, atau aliran ideologi politik menjadi ciri pemerlain atau peinbeda suatu lcelompok etnik dari kelompok etnic yang lain. Kebudayaan dan atribut sosialbudaya sebagai penanda identitas kelompok etnik memiliki sifat stabil, konsisten, dan bertahan lama.

90

Berdasarkan uraian di atas dan dalarn konteks perbandingan yang setara, orang Jawa disebut sebagai suatu kelompok etnik karena mereka secara budaya memang berbeda dengan orang Madura. Demikian juga, dalam konteks perbandingan yang setara pada orang Jawa di Jawa Timur, bahwa orang Jember tentu berbeda secara kultural dengan orang Surabaya. Orang Jember tidak akan mau disebut sebagai orang Surabaya, demikian pula sebaliknya. Karena perbedaan-perbedaan kultural ini keduanya disebut sebagai sebuah kelompok etnik yang berbeda, walaupun keduanya berada dalam ruang lingkup orang Jawa, di Jawa Timur. Hal yang sama juga berlaku untuk penyebutan Osing, Tengger, Pendhalungan, Mataraman, Arekan atau Samin sebagai sebuah kelompok etnik dan sub-etnik yang berbeda-beda. Etnisitas (etnicity) atau kesukubangsaan selalu muncul dalam konteks interaksi sosial pada masyarakat majemuk. Sebagai sebuah realitas sosial yang wajar dan alamiah, etnisitas akan terjadi secara intensif dalam masyarakat tradisional atau masyarakat trandisional. Dalam proses interaksi tersebut kelompok etnik atau individu-individu dalam kelompok etnik akan memanfaatkan atribut-atribut sosial-budaya yang dimiliki untuk mencapai tujuan tertentu. Bentuk mana yang dipilih di antara atribut-atribut tersebut sebagai penanda identitas diri sangat ditentukan oleh konteks interaksi dan tujuan yang akan dicapai. Pilihan terhadap suatu atribut sosial-budaya bagi seorang individu akan didasarkan pada pilihan rasional (rational choice), yang dipertimbangkannya secara saksama bahwa hal itu dapat mencapai tujuan yang diinginkan melalui interaksi sosial tersebut. Dalam kaitannya dengan akses dan perebutan sumber daya di daerah yang bersifat struktural, seperti potensi ekonomi dan kekuasaan politik, manifestasi etnisitas sering menimbulkan ketegangan dan konflik sosial di antara pihak-pihak yang terlibat atau yang berkepentingan. Masa otonomi daerah sekarang ini memberikan peluang yang besar bagi timbuhnya konflik sosial berbasis etnisitas, ketika tradisi berdemokrasi, penghormatan terhadap keadilan sosial, dan penghargaan terhadap prestasi belum menjadi pandangan dan sikap hidup kita sehari-hari. Kondisi demikian lebih banyak

91

menguntungkan kepentingan pribadi dan kelompok (etnik) daripada kepentingan masyarakat. Masalahnya adalah bagaimanakah meminimalkan konflik sosial berbasis etnisitas yang dapat merugikan kepentingan masyarakat luas? Secara normatif, otonomi daerah telah memberikan keleluasaan bagi masyarakat di daerah (bukan pemerintah daerah) untuk mengaktualisasikan diri secara optimal dalam manajemen pembangunan daerah. Undang-undang yang mendasari praktik otonomi daerah memberi pengakuan terhadap eksistensi masyarakat dan kebudayaannya. Otonomi daerah menandai era penghargaan terhadap keberagaman dan otonomi masyarakat, setelah Orde Baru memberangusnya selama masa tiga dasawarsa lebih (Zakaria, 2000). Dalam ruang politik yang semakin terbuka ini, masyarakat di daerah (indigenous people) menggali kembali potensi-potensi kelembagaan sosial atau konstruk nilai-nilai budaya lokal yang dianggap berguna untuk menopang eksistensi mereka di tengah arus globalisasi dan dinamika pembangunan daerah. Wujud dari penggalian di atas adalah hadirnya asosiasi-asosiasi masyarakat adat Nusantara, pembangkitan kembali satuan-satuan desa adat tradisional (nagari di Minangkabau, kampong di komunitas Melayu Kalimantan Barat, dan pakraman di Bali), serta eksplorasi ulang atas revitalisasi pranata-pranata lokal untuk mengelola sumber daya alam secara lestari dan adil, seperti sasi di Maluku dan awig-awig di Bali-Lombok. Hal-hal ini untuk membangun kembali fondasi sosial-budaya masyarakat, khususnya masyarakat di pedesaan agar memiliki kemampuan otonomi yang kukuh dalam menyikapi gerak pembangunan di bawah kebijakan otonomi daerah. (Siregar dan Wahono (Peny.), 2002; Zakaria, 2004) Walaupun demikian, di daerah-daerah yang memiliki struktur masyarakat majemuk proses revitalisasi kebudayaan etnik juga harus memerhatikan eksistensi kebudayaan etnik yang lain. Misalnya, kasus Osingisasi yang dilakukan olch Bupati Banyuwangi, Samsul Hadi, yang ketepatan la berasal dari etnik Osing adalah kasus yang kebablasan, sehingga berpotensi mengundang kctcgangan sosial. Kebijakan Bupati Banyuwangi

92

tersebut adalah mengharuskan para petinggi pemerintah kabupaten yang akan menghadapnya harus menggunakan bahasa Osing. Bahasa Osing scbagai muatan kurikulum lokal diajarkan pada siswa SD-SMP yang sudah berlangsung tiga tahun terakhir, dan menginstruksikan kepada seluruh masyarakat Banyuwangi agar mcrayakan tradisi endog-endogan dalam rangka Maulud Nabi Muhaulmad SAW seperti yang selama ini dilakukan oleh komunitas Osing. (Sunarlan, 2004: 170-171) Bupati juga memperkuat posisi kesenian Gandrung sebagai ikon Kabupaten Banyuwangi, dengan membangun patung Gandrung yang menghabiskan dana miliaran rupiah di daerah Watu Dodol, Ketapang. Kebijakan yang berkaitan dengan kurikulum lokal tersebut mengundang reaksi sosial dari para pengelola SD-SMP yang lingkungan sosialnya bukan komunitas Osing, seperti masyaralcat Madura di Muncar. Kebijakan politik etnisitas seperti ini lebih bernuansa politik praktis, yakni memperkuat basis konsolidasi kekuasaan dan legitimasi politik Bupati di mata publik menyongsong Pilkada 2005, dengan jalan mengaktifkan beberapa atribut atau unsur kebudayaan Osing: bahasa, seni, dan tradisi. Kasus yang lain bisa kita lihat pada beredarnya selebaran gelap mcnjelang pemilihan Bupati Lamongan. Selebaran itu berisi surat perjanjian Calon Bupati Masfuk kepada Forum Rembug Muhammadiyah Lamongan untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar di Lamongan dibandingkan dengan ormas yang lain. Surat perjanjian itu ditandatangani 20 Mei 2005. Kop surat selebaran tertera nama Muhammadiyah dan Partai Amanat Nasional. Pengurus Daerah Muhammadiyah dan Dewan Pimpinan Daerah Partai Amanat Nasional Lamongan menilai skebaran gelap tersebut bisa menyesatkan masyarakat Lamongan. Ketua Muhammadiyah Lamongan, Afnan Anshari mengatakan, Muhammadiyah tidak pernah menggunakan segala cara untuk meraih tujuannya. Isu yang ada dalam selebaran ini sangat kotor. Kami mendesak agar Panwas Pilkada menindaklanjuti temuan ini secara hokum. (Kompas Jatim, Senin, 27 Juni 2005: A)

93

Masih dalam Kaitannya dengan pemilihan kepala daerah, Forum Komunikasi Batak (FKB) Jawa Timur menyesalkan Calon Wali Kota Surabaya Alisjahbana dari Partai Kebangkitan Bangsa yang selama ini dianggap enggan mencantumkan nama marga Sitepu dalam berbagai kesempatan. Menurut Ketua FKB Jawa Timur, RH Batubara, "Nama marga merupakan ikatan turun-temurun. Seharusnya sebagai, orang yang berdarah Batak, Alisjahbana tetap menggunakan nama marga seperti halnya sejumlah tokoh lain, yakni Akbar Tanjung dan Sudi Silalahi". FKB Jatim juga menunjukkan fotokopi ijazah Alisjahbana saat lulus sebagai sarjana teknik ITB Bandung 1974, dengan nama lengkap Alisjahbana Sitepu. Ketika dihubungi wartawan untuk konfirmasi, Alisjahbana mengatakan, "Nama seseorang merupakan urusan pribadi". Sejak bekerja di Pemerintah Kota Surabaya selama 30 tahun lebih, Alisjahbana tidak pernah menggunakan nama marganya. (Kompas Jatim, Senin, 30 Mei 2005: 1) Benar tidaknya isi selebaran gelap di Lamongan tersebut, dari perspektif etnisitas mobilitas identitas etnik yang terkait degan paham keagamaan (Muhammadiyah) juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik yang bersifat negatif atau positif bagi pihak-pihak yang terlibat dalam persaingan memperebutkan jabatan politik Bupati Lamongan. Demikian juga, penghilangan (penyembunyian) nama marga Sitepu bagi Alisjahbana, bukan tanpa alasan, tetapi ada kepentingan tertentu (ekonomi-politik) yang akan diraih dalam proses interaksi social dan jika nama marga itu tetap dilekatkan justru akan menghambat pencapaian kepentingan tersebut. Pilihan tindakan demikian sudah diperhitungkan untung ruginya bagi yang bersangkutan. Kasus-kasus serupa banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks otonomi daerah, kasus yang terjadi di Banyuwangi untuk membangun hegemoni budaya Osing sesungguhnya hanya merupakan sarana penguasa daerah untuk mencapai penguasaan sumber daya ekonomipolitik yang lebih besar. Kasus seperti ini mirip dengan kebijakan kolonialisme internal (internal colonialism) Pemerintah Thailand terhadap kelompok-kelompok etnik minoritas, khususnya masyarakat muslim Malaysia

94

di Pattini di wilayah selatan yang berbatasan dengan Malaysia, yang berusaha keras untuk menegaskan aspek-aspek identitas budaya masyarakat Pattani melalui penetrasi kebudayaan Thai dan Buddha. Di samping terjadinya penetrasi budaya dominant (dominance ulture), kebijakan pembangunan regional Pemerintah Thailand yang bersifat deskriminatif dan hanya menguras sumber daya local, telah membangkitkan gerakan perlawanan bersenjata masyarakat Pattani terhadap Pemerintah Thailand. Hal yang sama juga dilakukan oleh Penguasa Orde Baru terhadap Aceh, yang mendorong masyarakat Aceh menjadi anti-Jawa (lihat, Brown, 1994). Dalam studi-studi konflik etnik, kebijakan politik etnik negara dan Pemerintah Thiland memperluas batas-batas social budaya identitas suatu kelompok etnik, khususnya etnik yang dianggap kelompok dominant atau pribumi, seperti Thai-Buddha, senantiasa berhadapan dengan penolakan atau resistensi social dari kelompok-kelompok etnik yang terkena kebijakan tersebut, orang Pattani-Muslim. Sementara itu, untuk menghimpun kekuatan dan modal perjuangan menghadapi hegemoni negara dan penetrasi kelompok etnik dominan (Thai), kelompok-kelompok etnik minoritas yang

terdisriminasi, seperti masyarakat Pattani akanmengaktifkan jaringan etnisitas yang berbasis kesamaan asal usul dan leluhur, sejarah social, identitas keIslam-an, dan tradisi social budaya sebagai sarana pengikat social dan pembangun solidaritas social. Dalam konteks demikian, etnisitas akan berubah menjadi ideology perjuangan untuk menghadapi negara yang telah membuat diri mereka tidak nyaman dan terancam serta mengganggu kelangsungan hidup kelompok etnik. (Brown, 1994: 1-5). Dalam banyak kasus, negara dan kebijakan-kebijakan para

penguasanya mengambil peranan yang besar terhadap tumbuhnya peristiwa konflik etnik dan kekerasan social di berbagai negara (Renner, 1999: 33-47). Konflik-konflik dan kekerasan social berbasis etnisitas yang terjadi di Indonesia menjelang akhir kekuasaan Orde Baru hingga sekarang merupakan akibat dari kesalahan kebijakan pembangunan daerah dan ketidakbecusan penguasa Orde Baru mengelola kemajemukan masyarakat kita (Kusnadi,

95

2001). Hal yang sama bukan tidak mungkin akan dilakukan oleh penguasa pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif) era otonomi daerah. Bahkan, saya perkirakan bahwa sifat rakus politik danserakah ekonomi penguasa di daerah dan kebijakan-kebijakannya yang tidak memihak kepentingan rakyat akan menjadi pemicu konflik sosial yang berskala luas di daerah. Konflik sosial ini tidak hanya terjadi di kalangan internal antar-elite daerah, tetapi juga melibatkan penguasa daerah dengan rakyat secara keseluruhan dan antar kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Keetidakpuasan rakyat yang meluas terhadap perilaku pemimpinnva dapat mendorong timbuhnya revolusi sosial, sebagaimana pcrnah terjadi dalam sejarah sosial kita. (Lucas, 2004) Di saat rakyat harus berjuang melawan kemislcinan, ketidakadilan hukum, busung lapar, kurang gizi, dan mahalnya biaya pendidikan, para penguasa daerah justru berpesta pora menghambur-hamburkn uang rakyat yang diperoleh dengan jalan menjarah. Walaupun kita telah memasuki era demokrasi dan masyarakat mulai tumbuh kekuatannya untuk terlibat dalam proses bernegara, tetapi praktik-praktik kekuasaan yang muncul lebih parah daripada perilaku kuasa rezim Orde Baru. Substansi berdemokrasi belum memberikcan keuntungan bagi rakyat dankebijakan-kebijakan publikyang dihasilkan oleh negara juga belum memihak pada kepentingan rakyat. Beban kehidupan rakyat semakin berat, khususnya untuk memenuhi kebutuhan primernya. (Prasetyo, 2004ab, 2005 dan Putra, 2005) Dalam masa otonomi daerah ini yang pendekatan pembangunannya berorientasi pada aspek kewilayahan, eksplorasi etnisitas sebagai ideologi perjuangan kelompok masyarakat yang dirugikan oleh kebijakan

pembangunan daerah akansemakin berpeluang. Gagasan sebagian masyarakat beberapa waktu yang lalu untuk membentuk Kabupaten Jember Selatan, Banyuwangi Selatan, atau Kabupaten Sumenep Kepulauan, harus dilihat sebagai persoalan konflik politikkebijakan berbasis etnisitas dengan pernerintah kabupaten setempat. Mereka bisa saja menggunakan basis legitimasi berdasarkan unsur-unsur etnisitas yang berkaitan dengan kesamaan

96

budaya, kesejarahan, nasib sosial, dannilai-nilai baru yang dimunculkan karena faktor karakteristik geografis. Berdasarkan eksplorasi nilai-nilai budaya di atas, masyarakat di Jember Selatan, Banyuwangi Selatan, atau Sumenep Kepulauan, membedakan dirinya dengan masyarakat di Jember Utara, Bayuwangi Utara, dan Sumenep Daratan. Demikian pula, kasus konflik nelayan yang meluas di berbagai daerah perairan Jawa Timur, merupakan akibat dari kekurangmampuan pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) dalam memahamkan esensi otonomi daerah yang terkait dengan batas-batas administrasi daerah dan kewenangannya mengelola potensi sumber daya laut setempat kepada masyarakat nelayan di kawasan pesisir. Aspek lain yang ikut memberikan kontribusi terhadap timbulnya konflik nelayan tersebut adalah semakin tingginya kelangkaan sumber daya ekonomi-perikanan dan kompetisi memperebutkannya. (Kusnadi, 2002) Konflik nelayan Ujung Pangkah, Gresik dengan nelayan Weru Kompleks, Lamongan, walaupun mereka bagian dari masyarakat Jawa Pesisiran, tetap dilihat sebagai kasus konflik sosial berbasis etnisitas. Kedua pihak mendefinisikan identitas dirinya sebagai kelompok nelayan yang berbeda satu sama lain berdasarkan nilai-nilai sosial-budaya dan sejarah sosial yang membentuk eksistensi mereka. Hal yang samajuga berlaku untuk nelayan Madura asal Kraton, Pasuruan dan nelayan Kwanyar, Bangkalan Selatan, yang telah lama berkonflik memperebutkan sumber daya perikanan di Perairan Selat Madura. Identitas kebudayaan Madura ternyata tidak mampu mendamaikan kedua kelompok nelayan tersebut. Masing-masing pihak mendefinisikan eksistensinya berdasarkan nilai-nilai lokalitas yang

kontekstual, yang dianggapnya lebih tepat dan menguntungkan kehidupannya dalam interaksi sosial. (Kusnadi dkk. 2005) Pada dasarnya, konflik sosial berbasis etnisitas yang berlangsung secara masif tidak ada yang semata-mata terjadi karena perbedaan-perbedaan sosial-budaya yang bersifat horizontal, seperti agama, bahasa, tradisi dan adat istiadat, sejarah sosial, gaya hidup, atau nilai-nilai budaya lainnya. Aspek-

97

aspek vertikal-struktural, seperti akses dan penguasaan sumber daya ekonomipolitik (kekuasaan) senantiasa terlibat. Bahkan semakin tinggi nilai sumber daya yang diperebutkan dan kondisinya terbatas, maka konflik sosial yang terjadi akan semakin intensif dan keras (Kusnadi dan Burhanuddin, 1997). Dalam situasi demikian, dampak konflik secara psikologis sangat mencekam masyarakat dan secara sosial-ekonomi memberatkan masa depan kehidupan mereka yang terlibat konflik. Upaya untuk meretas jalan menuju perdamaian abadi juga sangat sulit karena membutuhkan kesabaran, keseriusan, dan pengorbanan yang besar. Berdasarkan uraian di atas, rezim otonomi daerah dalam masa transisional ini harus belajar bagaimana meminimalisasi timbulnya konflikkonflik sosial yang berbasis etnisitas dan keagamaan, dengan jalan merumuskan kebijakan pembangunan dan pembuatan regulasi daerah yang bersifat transparan, demokratis, berorientasi kerakyatan, dan berdimensi keadilan sosial. Sementara itu, pada tataran sosial, dengan berbagai cara, penguatan kapasitas masyarakat harus dilakukan dengan membangun fondasi kesadaran struktural-kultural bernegara dan berbangsa agar memiliki kemampuan dalam berdiskusi dengan elite daerah untuk memberi arah pada kebijakan pembangunan daerah yang memihak kepentingan masyarakat luas. Otonomi daerah hat-us ditafsiri sebagai otonorni masyarakat untuk membangun daerahnya masing-masing, bukan otonomi pemerintah daerah (pemda), karena esensi pemerintah daerah hanya sebagai alat pembangunan daerah. Di tengah-tengah karakter rezim otonomi daerah yang masih belum beradab dan manusiawi, jalan untuk membangun fondasi kesadaran strukturalkultural di atas masih sangat panjang.

98

BAB 6 MANUSIA, NILAI, MORAL, DAN HUKUM


A. MANUSIA DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN Manusia sebagai makhluk sosial dan berbudaya pada dsarnya dipengaruhi oleh nilai-nilai kemanusiaan. Nilai tersebut berupa : etika yang erat hubungannya dengan moralitas, maupun estetika yang berhubungan dengan keindahan. Dalam realitas sosial, pengembangan spremasi hukum sangat tergantung pada empat komponen, yakni (a) materi hukum; (b) sarana prasarana hukum; (c) aparatur hukum; dan (d) budaya hukum masnyarakat. Tatkala terjadi dilema antara materi hukum, konflik di antara penegak hukum, kurangnya sarana dan prasarana hukum, serta rendahnya budaya hukum masyarakat, maka setiap orang (masyarakat dan aparatur hukum) harus mengembalikan pada rasa keadilan hukum masyarakat, artinya harus mengutamakan moralitas masyarakat. Demikian pula dalam pengembangan estetika yang akan menjadi wujud budaya masyarakat sangat mungkin terjadi dilema dan benturan dengan nilai etika. Membicarakan mengenai manusia, maka akan muncul berbagai macam pertanyaan. Apa itu manusia? Apa beda manusia dengan makhlukmakhluk lain? Apa nilai-nilai kemanusiaan itu dan berbagai macam definisi manusia. Ada definisi yang memandangkan dari segi fisiologis ada juga yang memandangnya dari segi sosiologi. Dari segi fisiologis bahwa manusia itu makhluk yang mempunyai fisik hampir sama dengan hewan. Hewan punya kepala, maka manusia punya kepala. Hewan punya telinga, maka manusia punya telinga. Hewan punya kaki, maka manusia pun punya kaki. Dari segi fisiologis bisa dikatakan tidak ada beda antara manusia dengan hewan. Jika kita mendefinisikan manusia hanya melalui segi fisiologis saja, maka kita akan dibuat kebingungan. Di antara manusia itu saja terjadi perbedaan bentuk fisik. Ada yang gendut, kurus, ada yang langsing. Ada yang bisa melihat dan ada yang (maaf) buta. jika terjadi perbedaan seperti itu, maka mana yang pantas disebut sebagai manusia? Maka dari itu, kita harus mendefinisikan manusia

99

kembali dengan sudut pandang lainnya. Definisi manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah dan dianugerahi-Nya akal, hati, dan fisik. Yang membedakan antara manusia dengan hewan adalah akal. Maka, ada yang berpendapat bahwa manusia itu hewan yang berakal. Karena dari segi fisik memang tidak ada beda dengan hewan tetapi yang membedakannya adalah akal. Nilai-nilai kemanusiaan adalah suatu hal yang dapat memanusiakan manusia atau bisa dikatakan juga kembali kepada fitrah manusia, itulah nilainilai kemanusiaan. Fitrah manusia adalah punya sisi baik dan buruk. Tetapi kita juga jangan lupa bahwa manusia itu juga punya fitrah/kecenderungan untuk menyempurnakan diri. Bagaimana manusia menyempurnakan dirinya? Manusia dalam proses penyempurnaan diri itu membutuhkan yang namanya pengetahuan. Pengetahuan yang dirnilikinya itulah yang akan menentukan apakah proses penyempurnaan diri yang dia lakukan itu memang sudah benarbenar sempurna ataukah belem. Pengetahuan seperti apa yang betul? Sebagaimana telah kita ketahui bahwa agama Islam adalah agama langit yang kemudian "membumi". Ketika masih di "langit" Islam adalah agama yang sempurna dan mutlak benar, tetapi ketika "membumi", maka ia mengalami proses pembudayaan atau pergumulan budaya di mana ada peran manusia yang tidak sempurna sehingga sebagai agarna bumi Islam tidak lagi sebagai agama yang mutlak benar, tetapi memiliki variasi tingkat kedekatan dengan kebenaran. Dengan demikian, maka ada kebudayaan Islam yang sangat dekat dengan syariat (budaya syar'iy) di samping ada kebudayaan yang hanya merupakan sempalan saja dari Islam, karena ia lebih dekat ke kebudayaan lokal setempat Di sisi lain, ada kebudayaan umat Islam yang malah tidak ada relevansinya dengan Islam.

B. NILAI BUDAYA Banyak definisi tentang kebudayaan, tetapi saya memilih pandangan yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah konsep, keyakinan, nilai, dan norma yang dianut masyarakat yang memengaruhi perilaku mereka dalam

100

upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya. Di samping sebagai fasilitas, alam adalah tantangan yang harus diatasi. Berbeda dengan hewan, manusia tidak puas hanya dengan apa yang terdapat dalam alam kebendaan. Dengan konsep yang dimiliki manusia berusaha mengolah alam ini, dan dengan kesadaran dan cita-citanya manusia merumuskan apa yang bermakna dan apa yang tidak bermakna dalam kehidupannya. Sekurang-kurangnya ada enam nilai yang amat menentukan wawasan etika dan kepribadian manusia sebagai individu maupun sebagai masyarakat, yaitu: teori, ekonomi, agama, seni, kuasa, dan solidaritas. 1. Nilai teori. Ketika manusia menentukan dengan objektif identitas bendabenda atau kejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga menjadi pengetahuan, ulanusia mengenal adanya teori yang menjadi konsep dalam proses penilaian atas alam sekitar. 2. Nilai ekonomi. Ketika manusia bermaksud menggunakan benda-benda atau kejadian-kejadian, maka ada proses penilaian ekonomi atau kegunaan, yakni dengan logika efisiensi untuk memperbesar kesenangan hidup. Kombinasi antara nilai teori dan ekonomi yang senantiasa maju disebut aspek progresif dari kebudayaan. 3. Nilai agama. Ketika manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan dankebesaran yang menggetarkan di mana di dalamnya ada konsep kekudusan dan ketakziman kepada yang mahagaib, maka manusia mengenal nilai agama. 4. Nilai seni. Jika yang dialami itu keindahan di mana ada konsep estetika dalam menilai benda atau kejadian-kejadian, maka manusia mengenal nilai seni. Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-sanna menekanlcan intuisi, perasaan, dan fantasi disebut aspek ekspresif dari kebudayaan. 5. Nilai kuasa. Ketika manusia merasa puas jika orang lain mengikuti pikirannya, norma-normanya dan kemauan-kemauannya, maka ketika itu manusia mengenal nilai kuasa.

101

6.

Nilai solidaritas. Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi cinta, persahabatan dan simpati sesama manusia, menghargai orang lain, dan merasakan kepuasan ketika membantu mereka maka manusia mengenal nilai solidaritas. Enam nilai budaya itu merupakan kristalisasi dari berbagai macam

nilai kehidupan, yang selanjutnya menentukan konfigurasi kepribadian dan norma etik individu maupun masyarakat. Nilai apa yang paling dominan pada seseorang atau sekelompok orang, akan menentukan "sosok" mereka sebagai manusia budaya (al insan madaniyyun bi at thabi).Orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai ekonomi cenderung kurang memerhatikan halal dan haram, orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai teori cenderung menjadi ilmuwan, yang lebih dipengaruhi oleh nilai kuasa cenderung tega dan nekad, yang lebih dipengaruhi olch nilai agama dan seni cenderung menjadi sufi dan seterusnya, schingga ada sosok orang yang materialis, seniman, pekerja sosial, dan sebagainya. Bisa juga ada ilmuwan yang mengabdi kepada materi, politisi yang pejuang, ulama yang rasional, ilmuwan yang mistis, dan sebagainya. Budaya progresif akan mengembangkan cara berpikir ilmiah dan melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, sedankan puncak dari budaya ekspresif bermuara pada kepercayaan mitologis dan mistik. Pendukung budaya progresif pada umumnya dinamis dan siap digantikan olch generasi penerus dengan penemuan-penemuan baru, sedangkan pendukung budaya ekspresif biasanya statis atau tradisional, memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang sudah final. Kesempurnaan pada suatu maujud (ciptaan) berbeda dengan

kesempurnaan pada maujud (ciptaan) lainnya. Misalnya, insan kamil berbeda dengan malaikat kamil. Terdapat perbedaan antara malaikat, sebagai dirinya (malaikat), yang telah mencapai tingkat tertinggi dan akhir kesempurnaannya, dengan manusia yang mencapai puncak kesempurnaannya. Malaikat adalah maujud yang diciptakan dari akal murni, artinya, pada malaikat sama sekali tidak terdapat unsur materi, hawa nafsu, syahwat, amarah, dan lainnya. Demikian pula halnya dengan hewan yang seluruh

102

substansinya bersifat materi. Lain halnya dengan manusia, insane, adalah maujud yang terdiri dari apa yang ada pada malaikat (akal) dan apa yang ada pada hewan (nafsu), suatu makhluk yang mulki-malakuti. Perbedaan antara manusia, malaikat dan hewan terletak pada susunan unsur dan zatnya, sebagaimana disebut dalam Al-Qur'an:

Sesungguhnya Kami ciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengnr dan melihat. Sesuungguhnya Kami

menunjukinya jalan yang hurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kajir. (Q S. Al-Insan: 2-3)

Kami telah menciptakan manusia dari nutfah (sperma) yang di dalamnya terdapat banyak campuran. Yakni, pada diri manusia tertimbun serangkaian potensi. Kemudian ia akan sampai pada satu fase atau tahapan di mana ia akan diuji. Tidak demikian halnya dengan makhluk-makhluk lainnya, mereka tidak layak untuk diuji, karena memang mereka tidak diciptakan untuk diuji.

C. PERLUNYA KESEIMBANGAN NILAI-NILAI INSANI Kamal atau kesempurnaan manusia terletak pada kestabilan dan keseimbangan nilai-nilainya. Manusia dengan segala kemampuan yang ada pada dirinya dapat dianggap sempurna, ketika tidak hanya kecenderungan pada satu nilaidari sekian banyak nilai yang ia miliki. la dapat dianggap sempurna ketika mampu menyeimbangkan dan menstabilkan serangkaian potensi insaninya. Orang-orang bijak mengatakan: "Hakikat dan substansi keadilan adalah keseimbangan dan keselarasan". Yang dirnaksud dengan keseimbangan di sini adalah: seiring dengan perkembangan potensi-potensi insaninya, tercipta juga keseimbangan dalam perkembangannya. Insan kamil adalah manusia yang seluruh nilai insaninya berkembang secara seimbang dan stabil. Tidak satu pun dari nilai-nilai itu yang berkembang tidak selaras

103

dengan nilai yang lain. Al-Qur'an menyebut manusia yang nilai-nilai insaninya berkembang seimbang dan sempurna ini sebagai "imam":

Dan (ingatlah), ketika ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: Sesunguhnva Aku akan menjadikanmu bagi sehlrult manusia. (QS. AlBaqarah: 124)

D. KESALEHAN PRIBADI DAN SOSIAL Manusia dalam keberadaannya di muka bumi senantiasa berada dalam dua lingkup yaitu dalam lingkup personal (pribadi) dan sosial. Potensi personal merupakan sebuah inti atau core manusia dalam mencapai kesempurnaan dirinya sebagai insani menuju insan kamil (manusia yang sempurna). Keberadaan insani yang satu merupakan organ yang unik dan beragam. Setiap insan atau personal mempunyai potensi yang diberikan sama oleh Allah dalam rangka beribadah kepada-Nya. Kemampuan insan akan semakin terasah dan teruji kalau dia dihadapkan dengan insan yang lain dan pada sebuah komunitas yang berada di sekeliling dia. Potensi pribadi akan bisa memengaruhi suasana komunitas, akan tetapi tidak sedikit koniunitas justru mewarnai pribadi itu sendiri menjadi sebuah budaya. Akan tetapi, insan yang unggul dan teruji dapat dengan kuat memengaruhi komunitas tanpa dia sendiri terpcngaruh oleh komunitas itu. Hanya insan yang belum teruji atau lemahlah yang akan terpengaruh oleh lingkungan yang ada. Kesalehan pribadi atau integritas diri merupakan sebuah fondasi yang penting dan utama dalam mengubah diri dan sosial. Seseorang yang saleh dan teruji dan kuat akan bisa menjadikan komunitas sekitarnya salah. Nilai-nilai kebaikan dari seseorang yang saleh belum teruji kalau dia tidak berinteraksi dengan komunitas sebagai makhluk sosial. Tidak hanya dari segi nilai saja yang disebarkan, tetapi dalam sebuah komunitas suasana tolong-menolong dan komunikasi biasa bisa memberikan sebuah perubahan yang bertahap.

104

Perubahan sebuah komunitas berawal dari insan-insan yang berubah menuju kesalehan dan satu sama lainnya saling melengkapi dalam menebarkan kesalehan. Perubahan sosial meinang tidaklah sebentar, akan tetapi memerlukan waktu dan tahapan yang mau tidak mau dikerjakan dengan kesungguhan dan kerja keras yang lama dan berkesinambungan. Perubahan berawal dari perubahan di sekitar atau sekelompok orang yang mempunyai alam pikiran yang sama dan saling menghargai di antara perbedaau yang ada dan tidak saling mengganggu dan merusak, dan bertahap menjadi sebuah koinunitas yang saleh. Sebuah unglcapan yang mungkin bisa dijadikan perenungan, yaitu Janganlah kita masuk surga sendirian atau saleh untuk sendiri saja, tetapi ajaklah mereka yang pengensaleh tetapi terjerumus pada kesalahan atau terkesima oleh inggar-bingar duniawi yang menyesatkan. Saleh untuk kita dan juga untuk orang lain, tanamkan dalam diri kita kesalehan pribadi dan bersosial. Islam sebagai agama dan umat, terlibat pertarungan ideologis hampir di semua bidang dan pengaruh. Di antara agama-agama yang ada dalam sejarah, Islam memiliki keistimewaan tersendiri. la tidak membatasi dirinya pada hubungan manusia dengan Tuhan atau penyucian jiwa semata (sebagaimana agama Masehi), akan tetapi sekaligus menyatakan dirinya sebagai aliran yang komprehensif yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, dari pandangan filosofisnya tentang alam, hingga pada pedoman kehidupan individual.

105

BAB 7 MANUSIA, TEKNOLOGI, DAN SENI

A. HAKIKAT DAN MAKNA SAINS, TEKNOLOGI, DAN SENI BAGI MANUSIA Dalam setiap kebudayaan selalu terdapat ilmu pengetahuan atau sains dan teknologi, yang digunakan sebagai acuan untuk menginterpretasikan dan memahami lingkungan beserta isinya, serta digunakan sebagai alat untuk mengeksploitasi, mengolah, dan memanfaatkannya untuk pemenuhan

kebutuhan manusia. Sains dan teknologi dapat berkembang melalui kreativitas penemuan (discovery), penciptaan (invention), melalui berbagai bentuk inovasi dan rekayasa. Kegunaan nyata iptek bagi manusia sangat tergantung dari nilai, moral, norma, dan hukum yang mendasarinya. Iptek tanpa nilai sangat berbahaya dan manusia tanpa iptek mencerminkan keterbelakangan.

1. Hakikat dan Makna Sains Sains dalam istilah Inggris berarti science berasal dari bahasa Latin yaitu scientia, yang berarti knowledge atau ilmu pengetahuan (P Medawar, 1986). Pengertian pengetahuan sendiri sebagai istilah filsafat tidaklah sesederhana dipahami pada umumnya, karena bermacam-macam

pandangan dan teori (epistemologi) yang melingkupi makna pengetahuan tersebut. Di antaranya pandangan Aristoteles (384 SM - 322SM), bahwa pengetahuan menipakan pengetahuan yang dapat diindra dan dapat merangsang budi. Menurut Descrates ilmu pengatahuan adalah serba budi, olch Bacon dan David Home (1711-1776) diartikan sebagai pengalaman indera dan batin. Menurut Immanuel Kant (1724 -1804) pengetahuan merupakan persatuan antara budi dan pcngalaman. Tetapi tidak semua ilmu itu boleh dikatakan sains. Yang dimaksud ilmu sains adalah ilmu yang dapat diuji (hasil pengamatan yang sesungguhnya) kebenarannya dan dikembangkan secara bersistem dengan kaidah-kaidah tertentu

106

berdasarkan kebenaran atau kenyataan semata sehingga pengetahuan yang dipedomani tersebut boleh dipercayai, melalui eksperimen secara teori. Untuk mencapai suatu pengalaman yang ilmiah dan objektif diperlukan sikap yang bersifat ilmiah. Bukan membahas tujuan ilmu, melainkan mendukung dalam mencapai tujuan ilmu itu sendiri, sehingga bcnar-benar objektif, terlepas dari prasangka pribadi yang bersifat subjektif. Sikap yang bersifat ilmiah itu meliputi empat hal: a) Tidak ada perasaan yang bersifat pamrih sehingga mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif. b) Selektif, artinya mengadakan pemilihan terhadap problema yang dihadapinya supaya didukung oleh fakta atau gejala, dan mengadakan pemilihan terhadap hipotesis yang ada. c) Kepercayaan yang layak terhadap kenyataan yang tak dapat diubah maupun terhadap alat indra dan budi yang digunakan untuk mencapai ilmu. d) Merasa pasti bahwa setiap pendapat, teori, maupun aksioma terdahulu telah mencapai kepastian, namun terbuka untuk dibuktikan kembali. Permasalahan ilmu pengetahuan meliputi arti sumber, kebenaran pengetahuan, serta sikap ilmuwan itu sendiri sebagai dasar langkah berkelanjutan llmu pengetahuan itu sendiri mencakup ilmu pcngetahuan alam dan pengetahuan sosial dan kemanusiaan, dan sebagai apa yang disebut generikmeliputi usaha penelitian dasar dan terapan serta pengembangannya. pengetahuan Penelitian dasar bertujuan untuk menambah sebagai

ilmiah.

Penelitian

pengembangan

diartikan

penggunaan sistematis dari pengetahuan yang diperoleh penelitian untuk keperluan penciptaan bahan-bahan, perencanaan sistematis, metode atau proses yang berguma, tetapi yang tidak mencakup produksi atau engineering-nya. Sains memberilcan penekanan kepada sumbangan pemikiran manusia dalam menguasai ilmu pcngctahuan itu, dan ini terdapat dalam seluruh alam semesta. Proses mencari kebenaran serta mencari jawaban

107

atas

persoalan-persoalan

secara

sistematik

dinamakan

pendekatan

scientific dan ia menjadi landasan perkembangan teknologi yang menjadi salah satu unsur terpenting peradaban manusia.

2. Hakikat dan Makna Teknologi Istilah teknologi berasal dari kata techne dan logia, dari Yunani kuno techne berarti seni kerajinan. Dari techne kemudian lahirlah perkataan technikos yang berarti orang yang miliki keahlian tertentu. Dengan berkembangnya keterampilan seseorang yang menjadi semakin tetap karena menunjukkan suatu pola, langkah, dan metode yang pasti, keterampilan itu menjadi lebih teknik. Seperti yang diungkapkan Jacques Ellul (1912-1994), dalam tulisannya berjudul "The Technological Society" tidak mengatakan teknologi tetapi teknik, meski arti dan maksudnya sama. Teknologi itu sendiri memperlihatkan fenomenanya dalam masyarakat sebagai hal impersonal dan memiliki otonomi mengubah setiap bidang kehidupan manusia menjadi lingkup teknis. Menurut Ellul, istilah teknik digunakan tidak untuk mensin, teknologi atau prosedur untuk memperoleh hasilnya, melainkan totalitas metode yang dicapai secara rasional dan mempunyai efisiensi (untuk memberikan tingkat perkembangan) dalam setiap bidang aktivitas manusia. Batasan ini bukan dalam bentuk teoretis, melainkan perolehan aktivitas masing-masing dan observasi fakta dari apa yang disebut manusia modern dengan perlengkapan tekniknya. Jadi, teknik menurut Ellul adalah berbagai usaha, metode, dan cara untuk memperoleh hasil yang sudah distandarisasi dan diperhitungkan sebelumnya. Dalam kepustakaan teknologi terdapat aneka ragam pendapat yang menyatakan teknologi adalah transformasi kebutuhan (perubahan bentuk dari alam), teknologi adalah realitas/kenyataan yang diperoleh dari dunia ide. Secara konvensional mencakup penguasaan dunia fisik dan biologis, tetapi secara luas juga mencakup teknologi sosial, terutama teknologi sosial pembangunan (the social technology of development) sehingga

108

teknologi itu adalah metode sistematis untuk mencapai tujuan insani. Adapun teknologi dalam makna subjektif adalah keseluruhan peralatan dan prosedur yang disempurnakan, sampai kenyataan bahwa teknologi adalah segala hal, dan segala hal adalah teknologi. Fenomena teknik pada masyarakat kini, memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Rasionalitas, artinya tindakan spontan oleh teknik diubah menjadi tindakan yang direncanakan dengan perhitungan rasional. b. Artifisialitas, artinya selalu membuat sesuatu yang buatan tidak alamiah. c. Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan dilaksanakan serba otomatis. Demikian juga dengan teknik mampu mengeliminasikan kegiatan nonteknis menjadi kegiatan teknis. d. Teknik berkembang pada suatu kebudayaan. e. Monisme, artinya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling bergantung. f. Universalisme, atinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan ideologi, bahkan dapat menguasai kebudayaan. g. Otonomi, artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri. Teknologi yang berkembang dengan pesat, meliputi berbagai kehidupan manusia. Luasnya bidang teknologi, digambarkan oleh Ellul sebagai berikut: a. Teknik meliputi bidang ekonomi, artinya teknik mampu menghasilkan barang-barang industri. Dengan teknik, mampu mengonsentrasikan kapital sehingga terjadi sentralisasi ekonomi. Bahkan ilmu ekonomi juga terserap teknologi. Contohnya dengan berkembang pcsatnya ilmu pengetahuan ekonomi. Knowledge Economy (KE) menurut salah satu definisi merupakan segala aktivitas ekonomi di mana penciptaan dan eksplorasi pengetahuan (knowledge) memainkan peran utama dalam menciptakan kemakmuran (United Kingdom Department of Trade and Industry, 1998). Pembicaraan mengenai knowledge economy di

109

beberapa literatur sering mengaitkannya dengan peran teknologi khususnya teknologi informasi yang kemudian mempereepat penyebaran informasi. Pesatnya perkembangan teknologi informasi yang menghilangkan batasan-batasan demografi semakin mempercepat proses penyebaran pengetahuan dan akhirnya juga kegiatan ekonomi. Hat ini seperti dijelaskan ramalan Toffler. Evolusi ini pun berubah dari (natural) resources menuju knowledge di mana pcnggunaan teknologi semakin intensif. Tentu saja ini berkaitan dengan dua latar belakang yang mengantar perkembangan gelombang ketiga ini yaitu globalisasi dan teknologi informasi. Jika di masa Revolusi Inkustri kemakmuran diciptakan melalui penggunaan mesin untuk menggantikan tenaga kerja manusia, maka di era perkembangan teknologi informasi banyak orang menghubungkan knowledgeeconomy dengan industri

berteknologi tinggi seperti telematika dan jasa-jasa keuangan. Bukan rahasia dan juga bukanlah hal yang baru bahwa pengetahuan (knowledge) merupakan hal yang penting dalam kegiatan ekonomi. Setiap kegiatan ekonomi bagaimanapun juga selalu didasari oleh pengetahuan. Bagaimana untuk menanam benih misalnya atau

bagaimana menjual suatu barang tentu memerlukan pengetahuan dan penggunaan pengetahuan tersebut telah semakin meningkat semenjak Revolusi Industri. Hanya saja yang membedakannya adalah porsi penggunaan pengetahuan dan informasi tersebut dalam kegiatan ekonomi saat ini menjadi semakin intensif sehingga membuat perubahan yang cukup besar dalam kegiatan ekonomi dan mengubah basis dari keunggulan kompetitif (Business Week com).

Perkembangan kegiatan ekonomi saat ini yang oleh Tofler telah diramalkan sebeluinnya sebagai gelombang ketiga dengan peranan dari teknologi informasi yang semakin pesat, tampaknya akan terus berubah. Karakteristik khusus dari KE seperti yang digunakan oleh Pemerintah New Zealand dalam pengembangan knowledgeeconomynya menyebutkan bahwa keberadaan dari KE dapat dicirikan melalui

110

peningkatan peran dari pengetahuan sebagai faktor produksi dan dampaknya terhadap kemampuan, pembelajaran, organisasi, dan inovasi. Perkembangan KE juga didukung oleh dua kekuatan, utama yaitu: peningkatan intensitas pengetahuan dalam kegiatan ekonomi dan maraknya globalisasi dari kegiatan ekonomi. Peningkatan dalam intensitas pengetahuan ini didorong oleh kombinasi dua kekuatan yaitu revolusi TI dan peningkatan kecepatan dari perubahan teknologi. Sementara globalisasi didorong oleh deregulasi nasional dan internasional, dan juga revolusi komunikasi yang berbubungan dengan TI.Dengan kata lain, perubahan tersebut merupakan perubahan dari hardware ke software. Di mana hardware merupakan produk sementara software lebih kepada ide. Yang jelas produk masih akan tetap ada namun siapa yang akan mendapatkan keuntungan dari produk tersebut adalah persoalan siapa yang memiliki software (ide) tersebut. Setelah Revolusi Industri di mana produksi barang menjadi semakin efisien melalui penciptaan econornies of scale, penciptaan ide yang kemudian direalisasikan dalam bentuk produk juga akan semakin menggandakan keuntungan yang didapat. Ide bersifat cepat menyebar seperti virus dan teknologi mampu meciptakan skala elconomi. Gabungan keduanya akan menciptakan keuntungan yang berlipat ganda karena begituide tersebut masuk ke pabrik, maka biaya produksinya akan semakin mendekati nol. Kita bisa melihat banyak contoh perusahaan yang telah menikmati kekayaan dari penciptaan ide. Di akhir 2007 lalu Microsoft yang hanya memiliki 31.000 karyawan, memiliki kapitalisasi pasar sebesar $600 (billion) triliun. Perusahaan lainnya Mc Donalds's dengan karyawan 10 kali lebih banyak memiliki 1/10 dari kapitalisasi pasar. Lihat juga Yahoo! Inc yang sahamnya diperdagangkan pada nilai 40 kali nilai bukunya (Business Week.com). Modal utama perusahaan-perusahaan tersebut adalah pada kekuatan "ide".

111

b. Teknologi meliputi bidang organisasional, seperti administrasi, pemerintahan, manajemen, hukum, dan militer. Contohnya dalam organisasi negara, bagi seorang teknik negara hanyalah merupakan ruang lingkup untuk aplikasi alat-alat yang dihasilkan teknik. Negara tidak sepenuhnya bermakna sebagai ekspresi kehendak rakyat, tetapi dianggap sebagai perusahaan yang harus memberikan jasa dan dibuat berfungsi secara efisien. c. Teknik meliputi bidang manusiawi, seperti pendidikan, kerja, olahraga, hiburan, dan obat-obatan. Teknik telah menguasai seluruh sektor kehidupan manusia, manusia harus beradaptasi dengan dunia teknik dan tidak adalagi unsur pribadi manusia yang bebas dari pengaruh teknik. Pada masyarakat teknologi, ada tendensi bahwa kemajuan adalah suatu proses dehumanisasi secara perlahan sampai akhirnya manusia takluk pada teknik. Secara hierarki teknologi dibedakan menjadi tiga macam teknologi, yaitu: a. Teknologi modern, jenis teknologi ini mempunyai ciri-ciri antara lain: padat modal, mekanis elektrik, menggunakan bahan impor,

berdasarkan penelitian mutakhir, dan lain-lain. b. Teknologi madya, jenis teknologi ini mempunyai cirri-ciri antara lain: padat karya, dapat dikerjakan oleh keterampilan setempat,

menggunakan alat setempat, berdasarkan alat penelitian. c. Teknologi tradisional, jenis teknologi ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: bersifat padat karya (menyerap banyak tenaga kerja), menggunakan keterampilan setempat, menggunakan alat setempat, menggunakan bahan setempat, dan berdasarkan kebiasaan dan pengamatan.

112

3. Hakikat dan Makna Seni Menurut pandangan tradisional, seni hanya diekspresikan oleh segelintir orang dan audiensi yang eksklusif. Pandangan ini mengatakan bahwa kegiatan artistik yang benar, apa pun macamnya hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memiliki kreativitas unik. Namun dewasa ini, pandangan semacam itu dianggap terlalu sempit dan eliteis. Sering kali para artis, pelukis, musikus, dan lain sebagainya dianggap orang yang menghasilkan kreasi-kreasi baru yang berbeda dengan sebelumnya. Namun para pelaku yang dianggap seniman tersebut sering kali hanya dapat berkarya dalam lingkungan estetis kebudayaan mereka dan memanfaatkan idiom-idiom yang digunakan masyarakat meraka. Maka keliru bila ada yang menganggap bahwa karya-karya seni itu bersifat individual dan eksklusif, terpisah dari masyarakat. Oleh sebab itu, segala aktivitas seni pun tak mungkin dilepaskan dari eksistensi serta aktivitas masyarakat secara keseluruhan. Seni adalah suatu nilai hakiki yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Dalam seluruh sejarah kebudayaan manusia pun ditandai dengan seni manusia sebagaimana terungkap dalam pelbagai ragaul karya seni. Mungkin sulit memisahkan permulaan kesenian dan kebudayaan manusia, karena aktivitas sosial pada hakikatnya bersifat artistik, yakni pembentukan lingkungan materiil menjadi lingkungan yang manusiawi berkat keterampilan dan kreativitas manusia, manusia pernah didefinisikan sebagia a tool-using animal, binatang yang menggunakan alat. Namun alat itu sejak mulanya lebih merupakan alat artis daripada alat seorang pekerja. Manusia tak pernah tergantung dan tunduk sepenuhnya pada lingkungan alamiah tertentu. Manusia adalah pencipta

lingkungannya. Maka sejak awal mulanya, manusia adalah sang artis, seniman. Karya seni merupakan wujud dari keseluruhan serta keagungan hati manusia. Seni memang tiada lain dari keindahan yang terpancar dari segi batin yang halus. Maka seni merupakan aktif-kreatif-dinamis; suatu kekuatan yang dapat menghidupkan dan memperkaya batin manusia dan

113

masyarakat. Seni adalah nilai yang secara kreatif mendorong manusia kearah pemenuhan martabat manusia sebagai manusia. Seni juga merupakan segi batin masyarakat, yang juga berfungsi sebagai jembatan penghubung antar kebudayaan yang berlainan coraknya. Di sini, seni berperan sebagai jalan untuk memahami kebudayaan suatu masyarakat. Menonton Wayang, misalnya orang mengenal eksistensi kebudayaan Jawa ataupun kebudayaan-kebudayaan lain yang juga memiliki unsur seni Wayang. Atau melalui Candi Borobudur orang dapat berkontak dengan denyut nadi kehidupan kebudayaan Buddhis. Karenanya suatu karya seni selalu bersifat sosial. Kehadiran karya seni selalu mengandaikan kehadiran suatu masyarakat yang berjiwa kreatif, dinamis, dan agung. Suatu karya seni tidak saja melambangkan kehadiran sang artis, seniman yang

menciptakannya, melainkan melambangkan juga kehadiran masyarakat. Oleh sebab itu, menghargai dan memahami seni adalah penting. Memahami seni suatu masyarakat berarti memahaini aktivitas vital masyarakat yang bersangkutan dalam momen yang paling dalam dan kreatif. Oleh sebab itu, benar adanya apa yang dikatakan Janet Woll, bahwa scni adalah produk sosial.

4. Hakikat dan Makna Sains, Teknologi, dan Seni bagi Manusia Dalam kehidupan kita sehari-hari, berbagai pendapat yang mempertentangkan praksis sains dan teknologi secara bipolar masih sering terdengar. Sudah tentu, diskursus lersebut tidak mungkin muncul tanpa sejarah. Salah satu sebabnya, boleh jadi ialah karena pemahaman umum tentang teknologi sebagai perpanjangan tangan dari sains modern yang dianggap selalu berurusan dengan kepastian rasional dan serba keterukuran dalam logika positivisme. Adapun seni atau lebih khusus lagi, seni rupa modern, umumnya dilihat sebagai praksis filosofis yang justru identikdengan berbagai ketidakpastian, penafsiran personal, dan

subjektivitas. Pertentangan bipolar itu juga terkait dengan pandangan

114

khalayak yang di satu sisi memahami teknologi sebagai perwujudan nyata dari cita-cita kemajuan peradaban modern secara konkret, berdampak pada kehidupan manusia. Sementara di sisi lain, melihat seni sebagai aktualisasi pengalaman batin, intuisi, dunia pra reflektif manusia dan khazanah rasawi yang tak terjamah. Demikian paparan dari Agung Hujatkajennong pada diskusi yang berlangsung dalam rangka pameran Video Sculpture di Jerman Sejak 1963 di ITB, 9 Juni lalu. Pendapat-pendapat tersebut memang tidak sepenuhnya keliru melihat pemisahan yang secara sadar atau tidak memang dilakukan oleh para pelaku teknologi dan seni tersebut. Pemisahan ini tidak terlepas dari ambisi manusia sendiri untuk mengejar modernitas, menciptakan spesialisasi dalam bidang-bidang kehidupan manusia demi terwujudnya praktik dan disiplin keilmuan yang otonom. Sejarah sendiri mencatat bagaimana pada paruh pertama abad ke20, kedua bidang tersebut telah menghasilkan puncak-puncak penemuan dalam kebudayaan modern, di mana eksperimentasi dan riset menjadi tulang punggung dalam pencapaian kesejahteraan manusia. Namun berbagai penemuan tersebut semakin memisahkan seni dan teknologi di masa itu hingga menjangkau dalam tataran konsep. Keterkaitan antara keduanya hanya samar-samar terlihat dalam hal keinginan untuk terus menemukan sesuatu yang baru. Tetapi dalam dekade 60-an, terjadi perubahan mendasar dalam konsep tersebut. Kehadiran genre video art mempertemukan dua perangkat tersebut bagai dua sisi mata uang logam. Memang tidak bisa dimungkiri kehadiran kamera, film, dan video telah menciptakan sintesis antara dunia imaji dalam seni dengan perangkat teknologi reproduksi mekanik. Kelahiran fotografi dan sinema telah membawa perubahan besar dalam kebudayaan manusia. Sebuah pendobrakan terhadap tataran konsep pemisahan seni dan teknologi.

115

Menanggapi berkembangnya video art, Agung menjelaskan bahwa seni yang hadir lewat teknologi video memiliki ciri unik sendiri. Secara sejarah, karya-karya dalam video art menuntut kita untuk mendefinisikan kembali model persepsi estetik secara baru karena karakter-karakter inheren medium video yang khusus membedakan dengan seni lukis, tari, teater, bahkan sinema sekalipun. Video merupakan rangkaian citra bergerak dan suara yang terikat dengan waktu berbeda dengan lukisan. Karya-karya purwarupa video art juga mendeskonstruksi konvensi narasi dan pola yang pcnting hadir dalam sinema/film. Ketika fotografi dan film/sinema hadir sebagai kebaruan dari teknologi dan seni, video art justru lahir dari kecurigaan dan kritisme terhadap seni dan telrnologi. Salah satu fenomena yang menjadi kritik terhadap seni dan telrnologi adalah televisi. Televisi yang hadir dalam dekade 60-an, menjadi sebuah jargon teknologi informasi yang sangat agresif. Kebutuhan akan televisi telah memicu lahirnya sistern komunikasi yang baru. Sistem komunikasi ini yang mampu mendorong perubahan sosial, politik, ekonomi secara besar-besaran dalam kehidupan manusia. Sejak pertarna kali televisi ditemukan telah menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan hiburan, informasi, pendapat bahkan ideologi yang terselubung. Kritik yang sama terhadap budaya TV dan budaya tontonan juga ditampilkan dalam pameran video art bulan ini. Video art yang hadir dalam bentuk kritisme terhadap seni dan teknologi disajikan dalam bentuk berbeda. Di mana seni dan peralatan teknologi sendiri digunakan untuk menggambarkan kritik tersebut. Sejak berkembangnya video art sampai sekarang, penggunaan perangkat teknologi terbaru juga menyertai setiap karya yang hadir. Video art hadir dalam berbagai bentuk teknologi visual yang secara konseptual seiring dengan diskursu, yang berkembang dalam praksis seni rupa. Terlepas dari kehadiran video art sebagai bentuk kritik, teknologi, dan seni memang berada dalam sebuah konteks sama mengusung pada kemajuan budaya manusia. Pada tataran tertentu, video art memang

116

merupakan sinergi paling menguntungkan antara seni dan teknologi. Di satu sisi, penemuan-penemuan teknologi telah menyumbangkan sistem bahasa yang baru bagi seni, sehingga perkeinbangan seni tidak mandek dengan kanon-kanon yang klasik seperti seni lukis dan seni patung saja. Perkembangan arus informasi dan makin gemerlapnya dunia dengan teknologi, seharusnya dilengkapi dengan keterlibatan seni dalam perkenalan dengan manusia. Seni sebagai sebuah imaji batin yang mampu dirasa bersanding dengan penerapan teknologi yang agresif. Dengan tujuan yang sama untuk memajukan budaya manusia sekaligus

menyejahterakannya. Proses-proses kreatif yang hadir dari seni, seharusnya bisa menjadi stimtilan yang baik bagi para saintis/teknokrat dan seniman di Indonesia untuk lebih memahami proses perubahan budaya di masyarakat berkaitan dengan adaptasi dan aplikasi seni dan teknologi. Kolaborasi di antara pihak-pihak tersebut akan mengembalikan praksis seni dan teknologi pada fitrahnya sebagai techne. Techne yang merupakan proses kreatif seni dan ilmu pengetahuan juga telah melahirkan teknologi yang tidak hanya modern tetapi juga memenuhi berbagai kebutuhan dan keiuginan manusia. Sudah menjadi sifat dasar manusia bila telah terpenuhinya keinginan, maka akan timbul keinginan yang lain atau menambah apa yang telah tercapai. Dan setiap orang tidak ingin mengalami kesulitan, tetapi setiap orang akan berusaha setiap langkah untuk mendapat kemudahan. Kemudahan itu didapatkan dari kreativitas seni dan ilmu pengetahuan yang menghasilkan teknologi, misalnya: a. Penggunaan teknologi nuklir, orang dapat membuat reaktor nuklir yang dapat menghasilkan zat-zat radio aktif, yang dimanfaatkan untuk keperluan. Misalnya untuk keperluan bidang kesehatan (sinar rontgen), memperbaiki bibit pada bidang pertanian, dan lain sebagainya.

117

b. Teknologi pengendalian air sungai, misalnya dengan membuat irigasi modern sehingga petani mendapat kemudahan memperoleh air. Bendungan dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik. Alat rumah tangga mempermudah ibu-ibu melaksanakan tugasnya di dapur, seperti alat-alat masak. c. Dalam dunia pendidikan, teknologi juga dapat membuat macammacam media pendidikan, seperti OHP, slide, TV, dan lain-lain yang mempermudah para pendidik melaksanakan tugasnya.

B. DAMPAK PENYALAHGUNAAN IPTEK PADA KEHIDUPAN SOSIAL DAN BUDAYA Pengaruh negatif iptek secara manusiawi dirasakan pada masyarakat dewasa ini, terlihat dari kondisi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia pada saat ini telah begitu jauh dipengaruhi oleh iptek. Gambaran kondisi tersebut sebagai berikut: a. Situasi tertekan, manusia mengalami ketegangan akibat penyerapan iptek, dan mekanisme-mekanisme iptek. Manusia melebur dengan mekanisme iptek, sehingga waktu manusia dan pekerjaannya mengalami pergeseran. Peleburan manusia dalam mekanisme iptek, menuntut kualitas dari manusia, tetapi kadang manusia tidak hadir didalamnya atau pekerjaannya. Contoh pada sistem industri ban berjalan, seorang pekerja meskipun sakit atau lemah ataupun ada berita duka bahwa anaknya sedang sakit di rumah sakit, mungkin pekerjaan itu tidak dapat ditinggalkan sebab akan membuat macet garis produksi dan upah bagi temannya. Keadaan tertekan demikan, akan mengilangkan nilai-nilai sosial dan tidak manusiawi lagi. b. Perubahan ruang dan lingkungan manusia. Iptek telah mengubah lingkungan manusia dan hakikat manusia. Contoh yang sederhana manusia dalam hari makan atau tidur tidak ditentukan oleh lapar atau kantuk tetapi diatur oleh jam. Alat-alat transportasi telah mengubah jarak pola komunikasi manusia. Lingkungan manusia menjadi terbatas, tidak berhubungan dengan padang rumput, pantai, pepohonan atau gunung

118

secara langsung, yang ada hanyalah bangunan tinggi dan padat, sehingga sinar matahari pagi tidak menyentuh permukaan kulit manusia. c. Perubahan waktu dan gerak manusia. Akibat iptek, manusia terlepas dari hakikat kehidupan. Sebelumnya, tidur diatur dan diukur sesuai dengan kebutuhan dan peristiwa-peristiwa dalam hidup manusia sifatnya konkret dan alamiah. Tetapi sekarang waktu menjadi abstrak dengan pembagian jam, menit, dan detik. Waktu hanya memiliki kuantitas belaka tidak ada nilai kualitas manusiawi dan sosial, sehingga irama kehidupan harus tunduk kepada waktu yang mekanistis dengan mengorbankan nilai kualitas manusia dan nilai sosial. d. Terbentuknya suatu masyarakat massa. Akibat iptek, manusia hanya membentuk masyarakat massa, artinya ada kesenjangan sebagai

masyarakat kolektif. Hal ini dibuktikan bila ada perubahan norma dalam masyarakat, maka muncul keguncangan. Masyarakat kita masih

memegang nilai-nilai asli (primordial) seperti agama atau adat istiadat secara ideologis, akan tetapi struktur masyarakat ataupun dunia norma pokoknya tetap saja hukum ekonomi, politik, atau persaingan kelas. Proses sekularisasi sedang berjalan secara tidak disadari. Proses massafikasi yang melanda kita dewasa ini, telah menghilangkan nilai-nilai hubungan sosial suatu komunitas, padahal individu perlu hubungan sosial. Terjadi neurosis obsesional atau gangguan saraf menurut beberapa ahli, sebagai akibat hilangnya nilai-nilai hubungan sosial, yaitu kegagalan adaptasi dan pergantian relasi-relasi komunal dengan relasi yang bersifat teknis. Struktur sosiologi massa dipaksakan oleh kekuatan-kekuatan iptek dan kebijakan ekonomi (produk industri) yang melampaui kemampuan manusia. e. Iptek manusiawi dalam arti ketat. Artinya, iptek manusiawi harus memberikan kepada manusia suatu kehidupan manusia yang sehat dan seimbang, bebas dari tekanan-tekanan. Iptek harus menyelaraskan diri dengan kepentingan manusia bukan sebaliknya. Melalui iptek bukan menghilangkan kodrat manusia itu sendiri, tetapi pertu memanusiakan

119

iptek. Manusia bukan menjadi objek iptek tetapi harus menjadi subjek iptek. Kondisi sekarang rnanusia itu menjadi objek iptek dan harus selalu menyesuaikan dengan iptek.

Alvin Toffler, mengumpamakan teknologi itu sebagai mesin yang besar atau sebuah eskalator (alat mempercepat) yang dahsyat, dan ilmu pengetahuan sebagai bahan bakarnya. Dengan meningkatnya ilmu

pengetahuan secara kuantitatif dan kualitatif, maka kian meningkat pula proses akselerasi yang ditimbulkan oleh mesin pengubah, lebih-lebih iptek mampu menghasilkan teknologi yang lebih banyak dan lebih baik. Akselerasi perubahan secara drastis dapat mengubah situasi. Dalam hal ini situasi dapat dianalisis menurut lima komponen dasar, yaitu: 1. Benda, hubungan manusia dengan benda tidak awet, dan masyarakatnya merupakan masyarakat pembuang. Bandingkan, misalnya, pulpen bertinta yang permanen dengan bolpoin yang dibuang setelah habis. 2. Tempat, hubungan tempat dengan manusia menjadi lebih sering, dan lebih sementara. Jarak fisik semakin tidak berarti. masyarakat amat mobile penuh dengan nomad baru. Secara kiasan tempat pun seolah-olah cepat terpakai dan habis, tidak berbeda misalnya dengan minuman kaleng. 3. Manusia, hubungan manusia dengan manusia pun pada umumnya menjadi sangat sementara dan coraknya fungsional. Kontak antarmanusia tidak menyangkut keseluruhan personalitas, melainkan bersifat dangkal dan terbatas, secara kiasan terdapat orang yang dapat dibuang. 4. Organisasi, kecenderungan menjadi superbirokrasi di masa depan. Manusia dapat kehilangan individualitas dan personalitasnya dalam mesin organisasi yang besar, namun hakikatnya sistemnya sendiri telah mengalami banyak perubahan. Hubungan manusia dengan organisasi menjadi mengalir dan beraneka ragam, menjadi sementara, baik hubungan formalnya (departemen,instansi pemerintah, perusahaan) maupun

hubungan informalnya (kelompok minum kopi). Namun hubungan manusia dengan organisasi hubungan kelompok task force yang semuanya

120

pada hakikatnya merupakan kelompok ad hoc atau hanya untuk keperluan khusus. 5. Ide, hubungan manusia dengan ide bersifat sementara karena image timbul dan menghilang dengan lebih cepat. Gelombang demi gelombang ide menyusupi hampir di segala bidang aktivitas manusia.

C. PERMASALAHAN PEMANFAATAN IPTEK DI INDONESIA Bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia memiliki

kemampuan yang cukup dalam bidang iptek? Upaya untuk membangun daya saing saja tentunya tidak hanya didasari oleh kcinginan untukmemenangkan pasar tetapi juga harus dengan melihat kemampuan yang dimiliki. Indonesia saat ini masih sangat jauh tertinggal dalam bidang teknologi. Indonesia bukan India yang memiliki tcnaga-tenaga ahli di bidang TI yang kemudian dapat menjual layanannya lintas negara dengan memanfaatkan iptek. Yang tersisa dari Indonesia saat ini mungkin adalah budaya dalam pengertian culture dan heritage. Indonesia berlimpah berbagai ragam budaya yang membentang sepanjang Nusantara. Keanekaragaman budaya ini merupakan salah satu karakteristik unik yang mampu memberikan nilai tambah tinggi bagi produk yang akan menjadi implementasi budaya ini. Bentuk nyatanya tentu saja seperti yang saat ini populer

diperbincangkan banyak orang yaitu industri kreatif (atau ekonomi kreatif). Pengembangan ekonomi kreatif memadukan unsure ide, seni, dan teknologi. Indonesia memiliki daya dukung yang sangat melimpah. Manusia Indonesia (secara rata-rata) mungkin seperti saya, tidak terlalu pintar (kalau tidak mau dibilang bodoh). Namun memiliki kreativitas yang cukup seperti kita bisa lihat dari berbagai mcam peninggalan yang kita miliki. Masalahnya kemudian adalah bagaimana untuk mengembangkan potensi iptek kreatif yang dimiliki Indonesia. Satu hal yang harus menjadi perhatian adalah bagaimana mengakomodasi pengembangan bidang yang relatif baru ini di Indonesia sehingga mampu menciptakan nilai tambah yang tinggi dan hal lainnya adalah bagaimana untuk menjaga dan mengembangkan

121

sumber dari iptek kreatif ini yaitu penciptaan ide dari manusia-manusia kreatif Indonesia. Seperti dikutip Kompas.com, Hubert Gijzen, Direktur dan Perwakilan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (Unesco), menyampaikan bahwa pengembangan industri kreatif memiliki implikasi ekonomi yang jauh lebih luas, lebih dari sekadar menciptakan nilai tambah yang besar tetapi juga dapat mengangkat pembangunan manusia dan sosial. Dalam membangun industri kreatif yang di dalamnya termasuk industri budaya, kata Hubert, harus didorong terjadinya dialog interkultural. Saya pikir, kesimpulan yang disampaikan oleh Sardono W Kusumo masih dalam diskusi yang sama oleh Kompas, bisa juga menjadi perhatian bahwa penciptaan lingkungan yang mendukung adanya kebebasan untuk berkreasi adalah salah satu sarana untuk terus menjaga agar benih-benih manusia kreatif Indonesia dapat terus tumbuh dan pada akhirnya menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki posisi seperti yang diimpikan Indonesia Forum dalam visi 2020. Dalam hal ini perlu ada kebebasan individu dan negara harus menciptakan iklim untuk tumbuhnya kebebasan berkreasi itu.

122

BAB 8 MANUSIA DAN LINGKUNGAN

A. EKOLOGI MANUSIA DAN KESADARAN INDIVIDU DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN Secara alamiah, manusia berinteraksi dengan lingkungannya, manusia sebagai pelaku dan sekaligus dipengaruhi oleh lingkungan tersebut. Perlakuan manusia terhadap lingkungannya sangat menentukan keramahan lingkungan terhadap kehidupannya sendiri. Manusia dapat memanfaatkan lingkungan tetapi perlu memkihara lingkungan agar tingkat kemanfaatannya bisa dipertahankan bahkan ditingkatkan. Bagaimana manusia menyikapi dan mengelola lingkungannya yang pada akhirnya akan mewujudkan pola-pola perdaban dan kebudayaan. Ekologi manusia, menurut Amos H. Hawley (1950: 67) dikatakan, "Human ecology maybe defirzed, therefore, in terms that have already been used, as the study of the form and the development of the community in human population (Ekologi manusia, dengan demikian bisa diartikan, dalam istilah yang biasa digunakan, sebagai studi yang mempelajari bentuk dan perkembangan komunitas dalam sebuah populasi manusia). Frederick Steiner (2002: 3) mengatakan, "This new human ecology over emphasizes complexity over-reductionism, focuses on changes over stable states, and expands ecological concepts beyond the study of plants and animals to include people.This view differs from the environment determinism of the early twentieth century. (Ekologi manusia baru menekankan pada overreduksionieme yang cukup rumit, memfokuskan pada perubahan negara yang stabil, dan memperluas konsep ekologi melebihi studi tentang tumbuhtumbuhan dan hewan menuju keterlibatan manusia. Pandangan ini berbeda dari determinisme lingkungan pada awal-awal abad ke-20). Menurut Gerald L. Young (1994: 339) dikatakan, Human ecology, then, is an attempt to understand the inter-relation ships between the human species and is its

123

environment (dengan demikian, ekologi manusia, adalah suatu pandangan yang mencoba memahami keterkaitan antara spesies manusia dan lingkungannya). Persamaan dari ketiga definisi yang dikemukakan di atas adalah bahwa pengertian ekologi manusia merujuk pada suatu ilmu (iokos = rumah/tempat tinggal; logos = ilmu) dan mempelajari interaksi lingkungan dengan manusia sebagai perluasan dari konsep ekologi pada umumnya. Perbedaan dari ketiga definisi tersebut adalah pada titik tekan (emphasizes) para pakar dalam mendefinisikan ekologi manusia, yang masing-masing sebagai berikut. Hawley menekankan pada studi tentang bentuk dan perkembangan komunitas dalam sebuah populasi manusia (masyarakat) dalam kaitannya dengan lingkungan. Steiner menekankan pada era baru ilmu ekologi manusia yang memperluas dari ekologi yang hanya mempelajari lingkungan tumbuhan dan hewan menuju keterlibatan manusia secara kompleks). Young menekankan pada keterkaitan (interaksi) antara manusia dan lingkungannya saja. Ruang lingkup ekologi manusia menurut Hawley (1950); Human ecology, like plant and animal ecology, represents a special application of the general viewpoint to a particular class of living things. It involves both a recognition af the fundamental unity of animate nature and an awareness that there is differentiation within that unity. Man, as we have seen, not only occupies a nicle in natures web of life, he also develops among his fellows an elaborate community of relations comparable in many important respects to the more inclusive biotic community Jadi, ruang lingkup ekologi manusia menurut Hawley adalah sebagaimana pernyataannya, (Ekologi manusia, sebagaimana ekologi tumbuh-tumbuhan dan manusia, merepresentasikan penerapan khusus dari pandangan umum pada sebuah kelas khusus dalam sebuah kehidupan. Ini meliputi dua kesadaran bahwa ada perbedaan dalam kesatuan tersebut. Manusia, sebagaimana kita tahu, tidak hanya bekerja dalam sebuah tempat di jaringan kehidupan, melainkan sebuah dia juga

mengembangkan

antara

anggota-anggotanya

pengalaman

124

hubungan lingkungan yang sebanding dalam tanggung jawab pentingnya atas lingkungan hidup yang lebih terbuka). Steiner (2002), menyatakan bahwa ruang lingkup ekologi manusia meliputi: (1) set of connected stuff (sekelompok hal yang yang sakung terkait); (2) integrative traits (cirri-ciri yang integrative); dan (3) scaffolding of place and change (perancah tempat dan perubahan).

B. KESADARAN INDIVIDU DALAM MASYARAKAT Kesadaran individu dalam masyarakat mengenai lingkungan hidup dan kelestariannya merupakan hal yang amat penting dewasa ini di mana pencemaran dan perusakan lingkungan merupakan hal yang sulit dihindari. Kesadaran masyarakat yang terwujud dalam berbagai aktivitas lingkungan maupun aktivitas kontrol lainnya adalah hat yang sangat diperlukan untuk mendukung apa yang dilakukan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan penyelamatan lingkungannya. Kesadaran terhadap lingkungan tidak hanya bagaimana menciptakan suatu yang indah atau bersih saja, akan tetapi ini sudah masuk pada kewajiban manusia untuk menghormati hak-hak orang lain. Hak orang lain tersebut adalah untuk menikmati dan merasakan keseimbangan alam secara murni. Sehingga kegiatan-kegiatan yang sifatnya hanya merusak saja, sebaiknya dihindari dalam perspektif ini. Oleh karena itu, tindakan suatu kelompok yang hanya ingin menggapai keuntungan pribadi saja sebaiknya juga harus meletakkan rasa toleransi ini. Dengan begitu, kita bisa mengatakan bahwa kesadaran masyarakat akan lingkungannya adalah suatu bentuk dari toleransi ini. Toleransi atau sikap tenggang rasa adalah bagian dari konsekuensi logis dari kita hidup bersama sebagai makhluk sosial. Melanggar konsekuensi ini juga berarti melanggar etika berkehidupan bersama, seperti dikatakan Plato bahwa manusia adalah makhluk sosial yang perlu menghargai satu dan lainnya. Demikian juga halnya dengan perspektif lingkungan, hak yang sama juga berlaku di sini.

125

Kondisi senyatanya dari masyarakat kita mengenai kesadaran lingkungan hidup ini tampaknya masih tercermin seperti apa yang dikatakan P. Joko Subagyo, bahwa ada beberapa hat yang perlu kita perhatikan: 1. Rasa tepa salira yang cukup tinggi, dan tidak terlaluingin mengganggu. 2. Tidak memikirkan akibat yang akan terjaki, sepanjang kehidupan saat ini masih berjalan dengan normal. 3. Kesadaran melapor (jika ada hal-hal yang tidakberkenan dan dianggap sebagai mkawan hukum lingkungan) tampaknya masih kurang. Hal ini dirasakan akan mengakibatkan masalah lingkungan semakin panjang. 4. Tanggung jawab mengenai kelestarian alam masih perlu diperbaiki dan ditingkatkan kembali. Untuk membahas hal ini, maka dalam bab ini kita akan membahas pada salah satu jenis perusakan lingkungan, yakni pencemaran lingkungan baik udara maupun air dan sekaligus membahas mengenai cara

menanggulanginya, sebagai bentuk usaha kuratif maupun preventif.

C. PENCEMARAN LINGKUNGAN Umumnya, ahli lingkungan membagi kriteria lingkungan hidup dalam tiga golongan besar, yakni: 1. Lingkungan fisik segala sesuatu di sekitar kita sebagai benda mati. 2. Lingkungan biologis: segala sesuatu di sekitar kita sebagai benda hidup. 3. Lingkungan sosial, adalah manusia yang hidup secarabermasyarakat. Keberadaan lingkungan tersebut pada hakikatnya meski dijaga dari kerusakan yang parah. Suatu kehidupan lingkungan akan sangat tergantung pada ekosistemnya. Oleh karena itu, masyarakat secara terus-menerus harus didorong untuk, mencintai, memelihara, dan bertanggungjawab terhadap kerusakan lingkungan. Sebab untuk menjaga semuanya itu tidak ada lagi yang bisa dimintai pertanggungjawaban kecuali manusia sebagai pemakai/ pengguna itu sendiri. Kerusakan suatu lingkungan akan berakibat pada manusia itu sendiri, dan demikian pula sebaliknya. Lingkungan merupakan unsur penentu dari kehidupan mendatang. Lingkungan merupakan unsur

126

penentu dari kehidupan mendatang. Lingkungan alam merupakan prasyarat pokok mengapa dan bagaimana pembangunan itu diselenggarakan. Bagi program pembangunan itu sendiri, apabila pelaksanaanya sesuai dengan program yang telah dijalankan, maka orientasi untuk menjaga lingkungan semesta pun akan bisa digunakan untuk mencapai tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi semata, maka hal itu akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang cukup seriuas. Salah satu prosuk dari kerusakan lingkungan itu adalah pencemaran, baik air, tanah, maupun udata. Pencemaran air, misalnya bisa dikategorikan melalui ukuran zat pencemar yang diizinkan dibuang pada suatu jangka waktu tertentu. Misalnya, satuan berat unsur atau senyawa dalam air bungan. Misalnya, maksimum ppm. Unsur senyawa kimia yang diizinkan. Kemudian jumlah maksimum yang dapat dibuang dalam setiap unit produksi. Misalnya, dalam produksi setiap ton kertas tidak diperbolehkan sekian kilogram zat padat dan lain sebagainya. Dengan demikian, di samping perkiraan atas sebagainya. Dengan demikian, di samping perkiraan atas pengaruh yang bersifat kimia, fisis dan biologis, maka dituntut perkiraan mengenai biaya keseluruhan teknologi linkungannya, usianya, semua fasilitas yang digunakan, teknik penggunaannya, metode operasinya dan lain-lain. Pencemaran lingkungan yang berdampak pada berubahnya tatanan lingkungan karena kegiatan manusia atau oleh proses alam berakibat lingkungan kurang berfungsi. Pencemaran berakibat kualitas lingkungan menurun, sehingga menjadi fatal jika itu tak bisa dimanfaatkan sebagaimana fungsi sebenarnya. Ini disadari, keadaan lingkungan yang dotata sebaikbaiknya untuk menjaga kehidupan kini dan mendatang. Perubahan ini bukannya menunjukkan perkembangan yang optimus dan mengarah pada tuntutan zaman namun malahan sebaliknya. Kemunduran yang seperti itu dimulai dari sebuah gejala pencemaran dan kerusakan lingkungan yang belum begitu tampak. Pencemaran itu lebih banyak terjadi karena limbah pabrik yang masih murni, dan mereka belum melalui proses waste water treatment atau pengolahan. Dampaknya pada

127

lingkungan secara umum, jelas sangat merusak dan berakibat fatal bagi lingkungan secara keseluruhan. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran bahwa setiap kegiatan pada dasarnya menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. Kita perlu memperkirakan pada perencanaan awal suatu pembangunan yang akan kita lakukan. Sehingga dengan cara demikian, maka dapat dipersiapkan pencegahan maupun penanggulangan dampak negatifnya dan mengupayakan dalam bentuk pengembangan positif dari kegiatan pembangunan yang dilakukan tersebut. Kebijaksanaan lingkungan ditujukan kepada pencegahan pencemaran. Sarana utama yang diterapkan adalah pengaturan sifatnta tradisional dan biasanya berupa izin serta persyaratan pemakaian teknologi pencemaran. Instrumen ekonomis merupakan hal yang relative baru. Contohnya: pungutan (charges) pencemaran udara dan air serta uang jaminan pengembalian kaleng atau botol bekas (deposit fees). Mulanya pencemaran diakibatkan dampak teknologi buatan manusia atau hasil produksi yang sudah tidak bisa dimanfaatkan. Akibat pengembangan industri, sistem transportasi,

permukiman akan menimbulkan sisa buangan, gas, cair, dan padat yang jika dibuang ke lingkungan hidup akan menimbulkan dampak yang besar terhadap kehidupan manusia. Proses perkembangan teknologi, pembangunan dan peningkatan populasi (jumlah banyaknya penduduk) selama dekade-dekade terakhir mengakibatkan berlipatnya aktivitas manusia dalam upaya pemenuhan kebutuhan pokok kehidupannya. Aktivitas manusia itu sendiri merupakan sumber pencemaran yang sangat potensial. Di samping adanya sumber daya alam, alam air dan tanah, udara adalah sumber daya alam yang mengalami pencemaran sebagai akibat sampingan dari aktivitas manusia itu. Selain dari aktivitas unanusia, proses alami, seperti kegiatan gunung berapi, tiupan angin terhadap lahan gundul berdebu dan lain sebagainva juga merupakan sumber dari pencemaran udara.

128

Menurut sifat penyebaran bahan pencemarannya, sumber penceman udara dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu sumber titik, area, dan bergerak. Sumber titik dan area dapat dijadikan satu kelompok, sehingga pengelompokannya menjadi dua, yakni sumber stasioner dan bergerak. Termasuk ke dalam sumber stasioner adalah kegiatan rumah tangga, industri, pembakaran sampah, dan letusan gunung berapi. Adapun sumber bergerak adalah kendaraan angkutan. Konsentrasi bahan pencemar yang terkandung dalam udara bebas dipengaruhi banyak faktor, yaitu konsentrasi dan volume bahan penceman yang dihasilkan suatu sumber, sifat khas bahan pencemar, kondisi metereologi, klimatologi, topografi, dan geografi. Sehingga tingkat

pencemaran udara sangat bervariasi baik terhadap tempat maupun waktu. Bahan pencemar udara digolongkan dalam dua golongan dasar, yaitu partikel dan gas. Dari banyak jenis gas yang berperan dalam masalah udara adalah SO2, NO2, CO2, oksidan, hidrokarbon, NH3 dan H2. Dalain konsentrasi yang berlebih, gas-gas tersebut sangat berbahaya bagi manusia dan hewan, tanaman dan materiil, dan berbagai gangguan lain. Melihat kondisi pencemaran itu, adalah penting bagi kita untuk menyadari bahwa ini ancaman yang serius bagi manusia. Karenanya pengetahuan lingkungan perlu ditingkatkan guna mencapai kesadaran masyarakat.

D.PENGENDALIAN PENCEMARAN Salah satu akibat yang paling pasti dari adanya pencemaran adalah perubahan tatanan lingkungan alam atau ekosistem yang sebelumnya secara alami telah terjadi. Akibat lainnya adalah tidak atau kurang berfungsi satu atau beberapa elemen lingkungan dikarenakan kegiatan manusia yang

mengakibatkan pencemaran tersebut. Akibat lain, dan ini barangkali yang paling fatal adalah, menurunnya kualitas sumber daya dan kemudian tidak bisa dimanfaatkan lagi.

129

Dengan akibat-akibat seperti itu, maka sudah tidak bisa ditunda lagi bahwa pencemaran haruslah, tidak sekadar dihindari, akan tetapi diperlukan juga tindakan-tindakan preventif atau pencegahan. Pencegahan terhadap pencernaran merupakan upaya yang sangat besar bagi penyelamatan masa depan bumi, air, dan udara di dunia ini. Sebelumya, pencemaran memang sudah banyak terjadi. Tidak hanya di negara maju di mana industrialisasi sudah mencapai puncaknya, namun juga di negara-negara yang sedang berkembang dimana proses dan praktik industrialisasi mulai diterapkan. Dengan demikian, industrialisasi yang tidak memenuhi standat kebijaksanaan lingkungan hidup adalah faktor utama mengapa pencemaran terjadi. Dengan menyadari bahwa setiap kegiatan pada dasarnya menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup, maka perlu dengan perkiraan pada perencanaan awal, sehingga dengan cara demikian dapat dipersiapkan langkah pencegahan maupun penanggulangan dampak negatifnya dan mengupayakan pengembangan dampak positif dari kegiatan tersebut. Sehubungan dengan itu, maka diperlukan analisis mengenai dampak lingkungan sebagai proses dalam pengambilan keputusan tentang pelaksanaan rencana kegiatan. Pencemaran pada sungai misalnya, harus dihindari dan dicegah karena sungai merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Terlebih lagi karena sungai adalah kebutuhan sehari-hari. Terlebih lagi karena sungai adalah sumber air yang digunakan untuk makan dan minum bagi makhluk hidup. Di samping itu, sungai sebagai sumber air, sangat penting fungsinya sarana penunjang utama dalam pembangunan nasional. Karena itu, pemerintah hendaknya memerhatikan pelestarian sungai. Pelestarian sungai dari pencemaran pengendalian meliputi atas perlindungan, dari pengambangan, sifat aslinya, penggunaan, Misalnya dan

kerusakan

dengan

dikeluarkannya PP Ni.35 Tahun 1991 tentang Sungai, sebagai pelaksanaan UU No. 11/1974 tentang Pengairan, maka peraturan itu bisa digunakan sebagai pedoman dalam rangka menjalankan aktivitas yang pada akhirnya mengancam bahaya kelestarian sungai. Hal ini berpedoman pada prinsip bahwa air dalam sungai akan bisa menjadi sumber malapetaka.

130

Pencemaran akibat industri misalnya, merupakan hal yang harus dihindari kareana, baik polusi udara yang diakibatkannya maupun buangan limbah hasil proses mengelolahan barang mentahnya sangat berbahaya bagi makhluk hidup. Jika industrialisai merupakan proyek pembangunan yang tak bisa dihindari guna kemajuan manusia, maka setidaknya harua ada landasan bagaimana industrialisasi yang tak merugikan. Pencegahan pencemaran industri dimulai dari tahap perencanaan pembangunan maupun mnegoperasian industri. Hal tersebut meliputi pemilihan lokasi yang dikaitkan dengan rencana tata ruang; studi yang menyangkut pengaruh dari pemilihan industri terhadap kemungkinan pencemaran melalui prosedur AMDAL maupun ANDAL; pemilihan teknologi yang akan digunakan dalam proses produksi; dan yang lebih penting lagi adalah pemilihan teknologi yang dapat guna proses pengelolahan limbah industri termasuk daur ulang dari limbah tersebut. Hal ini penting mengingat kebutuhan kelestarian lingkungan yang ada di sekitarnya. Dalam UU No.23/1997 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) Pasal 14 ayat 2 dinyatakan bahwa di samping ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup, ketentuan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan daya tampungnya diatur dengan PP. Mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran, dalam Pasal 17 UULH dinyatakan bahwa: Ketentuan tentang pencegahan dan penanggulangan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup beserta pengawasannya yang dilakukan scara menyeluruh dan/atau secara sektoral ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan. Dengan melihat kepedulian pemerintah dalam hal penyelamatan lingkungan hidup, maka masyarakat pun harus mendukung sekaligus mengontrol dari pelaksanaan berbagai kebijakan itu. Sebab yang demikian inilah yang disebut sebagai partisipasi dari kesadaran masyarakat.

E. PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP INDIVIDU Lingkungan merupakan salah satu faktor vang mempengaruhi terhadap pembentukan dan perkembangan perilaku individu, baik lingkungan fisik maupun sosio-psikologis, termasuk di dalamnya adalah belajar.

131

Terhadap faktor lingkungan ini ada pula yang menyebutnya sebagai empiris yang berarti pengalaman, karena dengan lingkungan itu individu mulai mengalami danmengecap alam sekitarnya. Manusia tidak bisa melepaslcan diri seeara mutlak dari pengaruh lingkungan itu, karena lingkungan itu senantiasa tersedia di sekitarnya. Sejauh mana pengaruh lingkungan itu bagi diri individu, dapat kita ikuti pada uraian berikut: a. Lingkungan membuat individu sebagai makhluk sosial. Yang dimaksud dengan lingkungan pada uraian ini hanya meliputi orangorang atau manusia-manusia lain yang dapat memberikan pengaruh dan dapat dipengaruhi, sehingga kenyataannya akan menuntut suatu keharusan sebagai makhluk sosial yang dalam keadaan bergaul satu dengan yang lainnya. Terputusnya hubungan manusia dengan masyarakat manusia pada tahuntahun permulaan perkembangannya, akan mengakibatkan berubahnva tabiat manusia sebagai manusia. Berubahnya tabiat manusia sebagai manusia dalam arti bahwa ia tidak akan mampu bergaul dan bertingkah laku dengan sesamanya. Dapat kita bayangkan andai kata seorang anak manusia yang sejak lahirnya dipisahkan dari pergaulan manusia sampai kira-kira berusia 10 tahun saja, walaupun diberinya cukup makanan dan minuman, akan tetapi serentak dia dihadapkan kepada pergaulan manusia, maka sudah dapat dipastikan bahwa dia tidak akan mampu berbicara dengan bahasa yang biasa. canggung, pemalu, dan lain-lain. Sehingga kalaupun dia kemudian dididik, maka penyesuaian dirinya itu akan berlangsung sangat lambat sekali. b. Lingkungan membuat wajah budaya bagi individu. Lingkungan dengan aneka ragam kekayaannya merupakcan sumber inspirasi dan daya cipta untuk diolah menjadi kekayaan budaya bagi dirinya. Lingkungan dapat membentuk pribadi seseorang, karena manusia hidup adalah manusia yang berpikir dan serba ingin tahu serta mencoba-

132

coba terhadap segala apa yang tersedia di alam sekitarnya. Lingkungan memiliki peranan bagi individu, sebagai: a) Alat untuk kepentingan dan kelangsungan hidup individu dan menjadi alat pergaulan sosial individu. Contoh: air dapat digunakan untuk minum atau menjamu teman ketika berkunjung kerumah. b) Tantangan bagi individu dan individu berusaha untuk dapat menundukkannya. Contoh: air banjir pada musim hujan mendorong manusia untuk mencari cara-cara untuk mengatasinya. c) Sesuatu yang diikuti individu. Lingkungan yang beraneka ragam senantiasa memberikan rangsangan kepada individu untuk

berpartisipasi dan mengikutinya serta berupaya untuk meniru dan mengentifikasi, apabila dianggap sesuai dengan dirinya. Contoh : seorang anak yang senantiasa bergaul dengan temanya yang senantiasa bergaul dengan temannya yang rajin belajar, sedikit banyaknya sifat rajin dari temanya akan diikutinya sehingga lama-kelamaan dia pun menjadi anak yang rajin. d) Objek penyesuian diri bagi individu, baik secara aloplastik maupun autoplastis. Penyesuian diri alloplatis, artinya individu itu berusaha untuk mengubah lingkungannya. Contohnya : dalam keadaan cuaca panas individu memasang kipas angin sehingga dikamarnya menjadi sejuk. Dalam hal ini, individu melakukan manipulation yaitu mengadakan usaha untuk memalsukan lingkungan panas menjadi sejuk sehingga sesuai dengan dirinya. Adapun penyesuaian diri autoplastis, penyesuian diri yang dilakukan individu agar dirinya sesuai dengan lingkungannya. Contoh : seorang juru rawat di rumah sakit, pada awalnya dia merasa mual karena bau obat-obatan, namun lamakelamaan dia menjadi terbiasa dan tidak mengalami gangguan lagi, karena dirinya telah sesuai dengan lingkungannya.

133

D. ISU-ISU PENTING TENTANG PERSOALAN LINTAS BUDAYA Kebanyakn masyarakat dunia dewasa ini disatukan oleh sistem komunikasi dunia. Kejadian di suatu masyarakat atau di suatu tempat tidak akan luput dari sototan media komunikasi sehingga masyarakat di tempat lain pun mengetahuinya. Iklim keterbukaan itu akibat perkembangan teknologi informasi yang merupakan bagian dari perkembangan iptek. Dengan sistem komunikasi dunia yang terbuka, persoalan lintas budaya menjadi tak terelakan lagi. Secara umum, persoalan lintas budaya umumnya terkait dengan perkembangan di dunia memengaruhi atau dipengaruhi. Persoalan lintas budaya dapat diartikan pula sebagai perkembangan modernisasi yang berkembang terus menjadi globalisasi. Globalisasi adalah sistem atau tatanan yang menyebabkan suatu negara tidak mungkin mengisolasi diri akibat kemajuan teknologi dan komunikasi. Dalam era globalisasi unsur-unsur budaya saling memengaruhi dari satu budaya ke budaya lain. Pengaruh globalisasi tersebut dapat dikelompokkan pada dua macam, yaitu : pengaruh positif dan negatif. Pengaruh positif, bisa berwujud pengembangan ilmu pengetahuan, berkembangnya teknologi yang lebih baik, perkembangan sistem pemerintah, perekominian, politik mengarah pada pelaksanaan yang lebih sistematis dan logisrasional. Dampak negatif dari globalisasi adalah bergesernya norma dan nilai moral, sehingga ukuran norma dan nilai menjadi lebih lunak. Dari sisi ke-Indonesia-an, persoalan lintas budaya ini adalah: (1) kesenjangan kebudayaan (cultural lag), (2) terjadi guncangan budaya (cultural shock). 1. Kesenjangan kebudayaan adalah pertumbuhan atau perubahan unsur kebudayaan tidak sama cepatnya. Ogburn berpendapat, bahwa perubahan kebudayaan materiil cenderug lebih cepat dibandingkan perubahan kebudayaan immateriil. Ketidakseimbangan perubahan kebudayaan materiil dengan kebudayaan immateriil disebut kesenjangan kebudayaan. Kesimbangan dalam kehidupan masyarakat (social equilibrium) tidak selalu berarti tidak menginginkan perubahan atau berhenti pada suatu

134

titik. Tetapi makskudnya, perubahan yang terjadi dalam suatu unsur tidak mengganggu unsur yang lain atau unsur yang lain diharapkan menyesuaikan diri sehingga terjadi keseimbangan 2. Guncangan kebudayaan adalah ketidaksesuaian unsur-unsur yang saling berbeda sehingga menghasilkan pola kehidupan sosial ylng tidak serasi fungsinya bagi masyarakat. Ada empat tahap yang membentuk siklus cultural shock, yaitu: a. Tahap inkubasi; kadang-kadang disebut tahap bulan madu, sebagai pengalaman baru yang menarik. b. Tahap krisis; ditandai dengan suatu perasaan dendam, pada saat inilah terjadi korban cultural shock. c. Tahap kesembuhan; korban mampu melampaui tahap kedua, hidup dengan damai; d. Tahap penyesuian diri: sekarang orang tersebut sudah

membanggakan sesuatu yang dilihat dan dirasakannya dalam kondisi yang baru; rasa cemas dalam dirinya sudah berlaku.

Penyesuaian diri antarbudaya dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya faktor internal dan eksternal. Faktor internal, menurut Brislin (1981) ialah watak (trait) dan kecakapan (skills). Watak ialah segala tabiat yang membentuk seluruh kepribadian seseorang, yang dalam bahasa sehari-hari biasanya merupakan jawaban dan pertanyaan, Orang macam apa dia?Jababannya : emosional, pemberani, bertanggung jawab, senang bergaul dan seterusnya. Kecakapan (skill) meyangkut budaya yang dapat dipelajari mengenai lingkungan budaya yang akan dimasuki,

sepertibahasa, adat istiadat, tata krama, keadaan geografis, keadaan ekonomi, dan lain sebagaiuya. Selain kedua faktor di atas, sikap (uftitude) seseorang berpengaruh terhadap penyesuaian diri antarbudaya. Menurut Alport, yang dimaksud dengan sikap adalah kesediaan mental yang terbina melaiui pengalaman yang memberikan pengarahan atau penbaruh bagaimana seseorang

135

menanggapi segala macam objek atau situasi yang dihadapinya. Faktor eksternal vang berpengaruh terhadap penyesuaian diri antarbudaya adalah: a. Besar kecilnya perbedaan antar kebudayaan tempat asalnya dengan kebudayaan lingkungan yang dimasukinya. b. Pekerjaan yang itu dilakukannya, dapat yaitu apakah dengan pekerjaan latar yang

dilakukannya

ditoleransi

belakang

pendidikannya atau pekerjaan sebelumnya. c. Suasana lingkungan tempat ia bekerja. Suasana lingkungan yang terbuka akan mempermudah seseorang menyesuaikan diri bila dibandingkan dengan suasana lingkungan yang tertutup.

Dengan demikian penting kemudian mencermati lingkungan sekitar kita dalam beraktivitas dan bertindak. Lingkungan yang berasal dari luar dan bernilai positif dapat diadaptasi dan dipraktikkan menjadi kebiasaan keseharian. Demikian sebaliknya lingkungan yang negatif dapat mengubah atau bahkan merusak kebiasaan yang telah berjalan baik selama ini.

136

BAB 9 PENUTUP

A. KESIMPULAN Mendekati pelbagai realitas dan fenomena sosial-budaya saat ini sering kali membutuhkan pengkajian secara bersama dalam pelbagai sudut pandang yang luas dengan tetap mempertahanhan perspektif keilmiahan masing-masing bidang keilmuan. Kajian multidisipliner dibutuhkan untuk memberihan penjelasan lebih terbuka dan luas terkait kerumitan sosial-budaya yang telah semakin kompleks. Kebudayaan dalam konteks keindonesiaan beberapa tahun terakhir telah diguncang oleh serbuan kebudayaan asing sehingga memengaruhi perilaku dan tata hidup generasi muda. Kebudayaan asing dalam realitasnya harus diakui telah berhasil memengaruhi arah kebudayaan Indonesia yang multikultur. Lahirnva budaya hybrid (persilangan instan) seperti kebiasaan minum Coca Cola, bermain facebook, pakaian jeans, nongkrong di mall, dan ngedate/pacaran yang di kalangan generasi muda saat ini merupakan perilaku sosial yang dibiasakan dan mendapat pemakluman bersama dari publik, merupakan cermin dari perubahan kebudayaan masyarakat yang dinamis, sekaligus instan. Problematika kehidupan tersebut perlu ditelaah dan disikapi dengan serius guna tidak jatuh pada penafsiran kebudayaan yang keliru. Karena tujuan akhir dari pengembangan kebudayaan sejatinya ialah untuk kemajuan peradaban manusia yang lebih baik. Sebagai bangsa yang bermartabat, kebudayaan Indonesia haruslah ditempatkan sebagai konsepsi dan strategi dalam pembangunan nasional. Dengan ini, proses integrasi sosial dan politik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap kukuh terpelihara. Demikian juga tujuan kesejahteraan sosial bagi setiap warga negara RI dapat tercapai.

137

B. TINJAUAN KE DEPAN Mahasiswa dan para pengkaji keilmuan sosial dan budaya perlu memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang keanekaragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia sebagai makhluk individu dan sosial. Dengan ini, ia memiliki sikap kritis, peka, dan arif atas setiap keragaman budaya dan kultur dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itu, penting menyampaikan tinjauan kondisi terkini untuk dijadikan bahan kajian bersama ke depan. Beberapa problematika sosialbudaya dan politik yang beberapa tahun terakhir muncul di hadapan publik dan dianggap penting untuk dijadikan sorotan banyak pihak sebagai berikut: 1) Bagaimana menyikapi pelbagai perilaku elite yang telah kehilangan hati nurani, kejujuran, dan nilai etis yang sering kali ditampilkan di ruang publik? 2) Penataan birokrasi (Good Governance) yang lambat akibat dampak korupsi, kolusi, dan nepotisme yang telah membakar menjadi

permasalahan krusial yang menyedot perhatian publik. 3) Kemiskinan, kawasan tertinggal, terpencil, dan persoalan kesejahteraan sosial dinilai masih menjadi catatanpenting bagi pembenahan strategi perekonomian Indonesia ke depan. 4) Kondisi lingkungan hidup yang semakin buruk seperti hutan gundul akibat pembakaran dan pembakaran hutan, rumah kaca, sampah, limbah industri, pencemaran lingkungan, dan kesadaran hidup sehat, bagaimana penataan dan pengelolaannya? 5) Pelajaran dari Maluku dan Sulewesi terkait bencana sosial berupa konflik etnik dan religius (1998-2003) menjadi sorotan tajam tentang upaya pembenahan kerukunan hidup antar-umat bcragama yang belum optimal, bagaimana menyikapinya untuk pemeliharaan kerukunan di tempat lain? 6) Bagaimana mewujudkan masyarakat multikultur dan memanfaatkan kondisi masyarakat yang multikultur tersebut bagi pembangunan nasional di Indonesia?

138

7) Bagaimana seharusnya generasi muda menyikapi seni dan kesenian di tengah deras globalisasi, yaitu meletakkan mana yang seni dan mana yang pornografi/pornoaksi? Dampak negatif kemajuan teknologi informasi seperti internet, HV, komputer, dan TV sangat berpengaruh bagi keberhasilan pendidikan akhlak dan karakter anak-anak bangsa.

Bagaimana peran ilmuwan sosial, teknologi, humaniora, dan agamawan dengan kondisi tersebut? 8) Munculnya beragam keyakinan dan akidah baru termasuk menjamurnya lembaga keagamaan baru di Indonesia menjadi bagian dari kerumitan sosial yang akhir-akhir ini sering muncul ke permukaan. Tidak jarang persoalan tentang beda keyakinan dan akidah berujung pada benturan fisik baik secara horizontal dan vertikal. Gejala sosial seperti ini penting menjadi telaah serius ke depan. 9) Perubahan iklim dan cuaca yang terjadi di hampir seluruh belahan dunia, khususnyadi Indonesia, juga menjadi kajian utama yang dicarikan solusinya ke depan. Hal ini terutama kaitannya dengan pendapatan perekonomian primer masyarakat Indonesia seperti bidang pertanian, peternakan, dan perikanan. 10) Pemanfaatan potensi kelautan dan pariwisata nasional yang mulai lesu setelah perubahan iklim dan cuaca dekade terakhir yang tidak menentu, utamanya akibat gempa dan tsunami.

139

You might also like