You are on page 1of 7

PENDAHULUAN Tujuan dari kajian ini adalah untuk memahami apakah Epidemiologi mungkin mempeng aruhi teori-teori yang

mendukung rehabilitasi pendekatan untuk skizofrenia. Mema ng, 100 tahun ini Kraepelin membedakan antara gangguan afektif dan skizofrenia (praecox demensia), penelitian psikiatri menekankan etiologi psikosis dapat berupa organik dibandingkan pengaruh genetik, perubahan patologis dan gangguan fungsional otak. Meskipun selama ini diyakini bahwa pada skizofrenia terjadi penurunan kognitif, tetapi teori yang menjelaskan hal ini belum jelas, apakah disebabkan karena kesalahan pada saat perkembangan otak saat dalam kandungan atau karena prosen degeneraatif. Kita akan membahas mengenai epidemiologi skizofrenia dan bagaimana proses rehabi litasi yang disesuikan dengan epidemiologi terbaru dari skizofrenia itu sendiri. Kilas Balik Menurut catatan sejarah terdapat tiga penelitian untuk membuat konsep skizofreni a ini, dimana setiap tahunnya mengalami perkembangan yang signifikan, awalnya di lakukan penelitian mengenai epidemiologi skizofrenia tanpa adanya standar diagno sis yang digunakan, kemudian ditahun berikutnya dibuat suatu kriteria diagnosis namun masih pada linbgkup populasi yang kecil, kemudian dikembangkan lagi, yang digunakan hingga saat ini dengan menggunakan kriteria diagnosis dan langkah-lang kah penelitian yang dapat dipertanggung jawabkan antara lain menggunakan metode pengambilan sampel, dan kueisioner yang teruji realibilitasnya. Pada tahun 1970, merupakan titik balik penting dalam sejarah epidemiologi psikia tris yang di prakarsai oleh AS dan Inggris yang disponsori oleh WHO. Kajian pada saat itu, menyoroti perbedaan dalam mendiagnosis skizofrenia dengan membandingk an statistik London dibandingkan statistik New York. Kemudian ditarik suatu kesi mpulan adanya persamaan ciri antara pasien skizofrenia walaupun dalam budaya yan g berbeda. FREKUENSI DAN FAKTOR RESIKO I. Prevalensi dan Insiden Karena Skizofrenia cenderung menjadi penyakit yang menahun (kronis) maka angka i nsiden penyakit ini (incidence rates) dianggap lebih rendah dari angka prevalens i (prevalence rates) dan diperkirakan mendekati 1 per 10.000 per tahun. Sebagai contoh penelitian yang dilakukan di Eropa dan Asia telah menemukan angka prevale nsi dari 0,2% sampai 1%. Sementara itu di Amerika Serikat terutama di kalangan p enduduk perkotaan menunjukan angka yang lebih tinggi hingga 2%. II Jenis Kelamin berdasarkan hasil penelitian menunjukan terdapat perbedaan insiden antara pria d an wanita, dimana dari lima kasus skizofrenia, tiga pria dengan skizofrenia, dan dua wanita dengan skizofrenia. Selain itu pria juga menunjukan kerentenan gangg uan neurotik dimana didapatkan rasio kasus gangguan bipolar antara pria dan wani ta 1,2:1 III Gangguan perkembangan otak pada saat prenatal dan perinatal Beberapa bukti-bukti yang mendukung hipotesis skizofrenia sebagai akibat dari ke rusakan otak pada fase awal kehidupan. Beberapa pembuktian diantaranya, keterkai tan musim saat dilahirkan dimana penderita skizofrenia umumnya lahir pada saat m usim dingin. Hal ini dikarenakan, pada saat trimester kedua ibu yang sedang meng andung sering terserang flu, dan infeksi pada masa itu sangat meningkatkan resik o terjadi skizofrenia. Penelitian terakhir menunjukan bahwa ibu yang terkena inf eksi virus influensa tipe A dan tipe B, akan menurunkan kemampuan kognitif anak yang dikandungnya kemudian akan ada kecenderungan menjadi psikotik pada saat dew asa. penelitian meta-analisis menunjukan beberapa komplikasi saat kehamilan meningkat kan resiko terjadinya skizofrenia, antara lain 1. Komplikasi pasa saat kehamilan ( perdarahan, diabetes, ketidaksesuain rhesus, dan preeklamsia) 2. Gangguan per

kembangan janin ( bb janin rendah, kelainan kongenital, lingkar kepala yang kura ng) dan 3. Komplikasi saat proses persalinan ( atoni uterus, aspiksia) Penelitian 10 tahun terakhir mengenai infeksi pada masa kehamilan yang dapat men cetuskan skizofrenia menunjukan Toxoplasma gondii sebagai pencetus yang sangat b erpotensi. hal ini dibuktikan dari beberapa peneliitian yaitu, penderita dengan skizofrenia mempunyai riwayat penggunaan antibiotik khususunya terhadap Toxoplas ma gondii lebih tinggi dibanding kontrol, padanorang dewasa yang terinfeksi, (To xoplasmosis) menunjukan gejala menyerupai Psikosis, Toxoplasma terbukti dapat me ningkatkan produksi Dopamin pada hewan percobaan yang terinfeksi, Penderita deng an Skizofrenia lebih banyak terpapar dengan kucing pada masa kanak-kanak IV IQ Rendah Pada penelitian terdahulu dikatakan level IQ orang tua yang rendah, keterampilan merawat yang kurang, ketidakmampuan penyesuaian terhadap lingkungan sosialnya, kemudian pada penelitian selanjutnya, mencari pencetus pada penderita yang tidak memiliki hubungan familial (genetik) didapatkan penderita dengan skizofrenia me miliki keterlambatan perkembangan dibanding teman seusianya, yaitu tingkat perke mbangan kognitif, pencapaian prestasi belajar yang rendah, perkembangan neurolog i dan motorik, serta gangguan psikologi. Hal ini didukung penelitian lain di New Zealand, dimana penderita skizofrenia akan terjadi gangguan neuro-motorik, baha sa dan kognitif pada dekade pertama kehidupannya. Selain itu,beberapa penelitian menunjukan IQ yang rendah tidak ditemukan pada penderita bipolar seperti halnya pada skizofrenia. V Usia ayah Awal mula dilakukan penelitian ini, berdasarkan data awal yang didapatkan dari 1 000 pasien skizofrenia di Ontario, Canada orang tua mereka rata-rata dengan usia 2-3 tahun lebih tua dibanding usia rata-rata secaraa umum. Hal ini didukung, pe nelitian-penelitian selanjutnya di Denmark, Israel, Sweden, Frence, dan USA menu njukan ada ketrkaitan antara usia ayah dengan kejadian skizofrenia pada anaknya. Pada penelitian cohort yang dilakukan didapat relative risk sebesar 2,96 pada p enderita skizofrenia dimana ayah mereka rata-rata berusia 55 tahun, akan tetapi dari penelitian-penelitian ini usia ibu tidak terkait dengan kejadian skizofreni a. Akan tetapi penjelasan biologis secara pasti mengenai hal ini belum ada, bebe rapa penelitian hanya mengungkapkan adanya kecenderungan adanya dna yang di turu nkan dari ayah, pada saat pembentukan sistem saraf janin. VI Penyakit Autoimun Beberapa penelitian mengenai hubungan skizofrenia dengan penyakit autoimun serin g dilakukan. Diketahui ada keterkaitan antara penggunaan obat anti psikotik deng an menurunnya resiko penyakit rematoid artritis. Selain itu, tiroiditis autoimun dan penyakit celiac juga menunjukan hubungan dengan kejadian skizofrenia. Seseo rang dengan orang tua yang menderita penyakit celiac memiliki resiko tiga kali l ebih banyak pada anaknya menderita skizofrenia. Penderita penyakit celiac ini me miliki sensitifitas terhadap makanan yang mengandung gluten, salah satu yang men jelaskan fenomena keterkaitan penyakit ini dengan skizofrenia adalah meningkatny a permeabilitas pada saluran cerna, meningkatkan kadar paparan terhadap antigen dan meningkatkan respon autoimun dari komponen dalam otak. Selain itu protein da lam gluten akan dipecah menjadi peptida psikoaktif. Penelitian terakhir berdasar kan analisis pada otak pasien skizofrenia yang telah meninggal, menunjukan bahwa skizofrenia merupakan suatu proses neurodegenerasi yang diturunkan. VII Migrasi Belum terdapat teori yang pasti mengenai hubungan migrasi penduduk denga kejadia n skizofrenia. Akan tetapi keterkaitan antara keduanya sudah mulai diteliti seja k 70 tahun yang lalu. Permasalahan dalam mengkaji keterkaitan antara keduanya ka rena tidak mungkin mengelompokan penduduk migrasi kemudian menghubungkan secara langsung dengan kejadian skizofrenia, oleh karena perbedaan dalam hal motivasi b ermigrasi, perbedaan adat daerah migrasi, kemampuan beradaptasi masing-masing in dividu, ataupun legalitas migrasi itu sendiri.

Namun beberapa data telah terkumpul dari penelitian-penelitian sebelumnya, sehin gga hubungan antara migrasi dengan berkembangnya skizofrenia di masyarakat masih menjadi topik yang perlu di kaji lagi keabsahannya. dari penelitian yang di lak ukan di Eropa (Inggris, Belanda) terjadi kecenderungan insiden puncak kejadian s kizofrenia pada masyarakata setelah 10-12 tahun bermigrasi dan kejadian ini meni ngkat pada generasi kedua dari penduduk yang bermigrasi tersebut. Penduduk yang bermigrasi khususnya ras kulit hitam lebih sering mengalami kemiskinan dan diskr iminasi di daerah yang masih kaku akan perbedaab ras. Selain itu faktor isolasi dan kurangnya dukungan lingkungan dapat menjadi faktor predisposisi kejadian ski zofrenia. Selain itu penduduk yang memiliki genetik skizofren, akan rentan terha dap faktor lingkungan di daerah migran seperti polutan, patogen, alergen yang ti dak terdapat di lingkungan asal. Jadi, beberapa kesimpulan mengenai kerentanan s eorang migran menderita skizofrenia berkaitan dengan faktor genetik individu itu sendiri berkaitan dengan proses perkembangan neuron, dan faktor stresor lingkun gan yang berkaitan dengan proses degenerasi dari neuron. VIII Adiksi Penggunaan D-ampetamin dan kanabis ( bekerja di sitem dopaminergik) pada saat re maja akan berkontribusi terhadap kejadian skizofrenia ataupun mencetuskan kembal i gejala skizofrenia pada individu dengan skizofrenia yang telah terkontrol. Sel ain itu obat-obatan yang bekerja di sitem serotoninergik seperti lysergic acid diethylamide (LSD) dan obat anastetsi ( ketamin dan phencyclidine) bekerja di si tem glutamanergik dapat pula mencetuskan gejala-gejala psikotik. Sudah cukup ban yak penelitian yang dilakukan untuk menelaah hubungan adiksi obat-obatan dengan kejadian skizofrenia akan tetapi tidak menjelaskan bagaimana proses perkembangan neuron dan neuro degenerasi pasien skizofrenia. Beberapa hal yang ditekankan da ri beberapa faktor genetik pasien skizofrenia adalah kecenderunag lebih besar un tuk menderita penyakit ini dibandingkan penduduk lain walaupun memiliki karakter sama dalam penggunaan obat-obatan. IX Urban pengaruh perpindahan dari desa ke kota diamati untuk melihat kaitan urbanisasi d engan kejadian skizofrenia. dari penelitian tersebut ternyata hanya anak-anak da n remaja yang berpindah dari desa ke kota yang memiliki kerentanan mengalai skiz ofrenia di kemudian hari dibandingkan orang dewasa, hal ini kemungkinan karena a nak dan remaja akan lebih lama terpapar faktor perubahan lingkungan selama perke mbanganya. namun tidak semua anak dan remaja melakukan urbanisasi akan rentan me njadi skizofrenia di kemudian hari, karena terdapat faktor genetik juga yang ber pengaruh. Untuk menimbulkan gejala psikotik diteliti ada interaksi antara faktor genetik yang ada dengan faktor lingkungan seperti polusi udara, infeksi menular , obat-obatan seperti narkoba, dan sosial budaya kehidupan kota yang berbeda den gan kehidupan desa. X Status Sosial Terdapat dua hipotesisi yang berusaha dibuktikan untuk menarik kesimpulan hubung an antara tingkat status sosial dengan kejadian Skizofrenia. Yang pertama adalah lingkungan yang kurang memadai, terutama di daerah negara berkembang seperti in feksi, pengangguran, kurangnya pelayanana ibu hamil dan melahirkan yang memadai, masalah hidup bersosialisasi, dicurigai dapat mencetuskan munculnya skizofrenia pada individu yang sebelumnya sehat. Hipotesis yang kedua disebut " hipotesis tebang plih" Dimana individu yang mende rita skizofrenia sebagian besar orang-orang yang tersisih karena faktor ekonomi dalam hal ini dominasi karena faktor ekonomi, dan seorang yang telah terdiagnosi s akan terstigma di kehidupan sosialnya ditambah lagi akan ada penurunan kualita s kerja dibandingkan kondisi sebelum sakit. Kondisi ini dapat dilihat adanya hub ungan proses degenerasi akibat faktor sosioekonomi. Ditambah lagi teori dari psi kologi anak bahwa kualitas kesehatan, masa kehamilan dan persalinan yang rendah akan berdampak buruknya perkembangan mental seorang anak. XI Genetik

Penelitian fokus pada hubungan terjadinya skizofrenia antara sodara kembar yang lahir dari ibu yang skizofrenia bila hidup dalam lingkungan sama dan bila hidup dilingkungan yang berbeda. Diketahui bahwa resiko menderita skizofrenia pada kem bar monozigot dari ibu yang menderita skizofrenia pula adalah 60-70% dan present ase yang mendekati sama juga terjadi pada kembar dizigot. Kemudian bila saudara kembar ini di besarkan di lingkungan dengan faktor stresor yang berbeda ternyata tidak mengurangi resiko untuk menederita penyakit ini. Hiperaktif dari jalur dopaminergik dalam jaras saraf pusat diduga sebagai patofi siologi terjadinya skizofrenia. Secara genetik hal ini diturunkan karena adanya polimorfik secara fungsional pada gen COMT yaitu Val108/105 met. Kondisi polimor fik dari Val/met ini akan mempengaruhi aktivitas dari COMT, dimana COMT ini berf ungsi untuk mendegradasi beberapa molekul bioaktif seperti dopamin. Gen COMT ini terletak di kromosom 22q11, apabila kromosom ini tak ada akan menimbulkan suatu sindrom yang dikenal sebagai skizofrenia. XII Stres Seseorang yang memiliki kecenderungan mengalami psikosis cenderung memiliki riwa yat mendapat stresor dari lingkungan sosial. Hal ini telah dibuktikan adanya hub ungan sebab akibat antara stresor lingkungan dan gejala psikosis. Sejak tahun 70 an telah ditelaah hubungan stresor khususnya lingkungan sosial terhadap kejadian psikosis, kemudian ditarik suatu kesimpulan bahwa seorang yang "rentan" kemudia n berinteraksi dengan stimulus yang penuh tekanan hingga ambang batas toleransi individu tersebut lama-kelamaan akan menimbulkan agresifitas, kemudian merespon yang salah dari stimulus tersebut sebelum benar-benar muncul gejala psikosis. Baru-baru ini, Diketahui bahwa terjadinya deregulasi dari subiculum ventral yang ada di hipokampus terjadi karena adanya stres, penggunaan obat-obatan seperti n arkotik kemudian semakin lama akan berdampak pada sistem dopaminergik, lalu timb ulah gejala psikosis tersebut. XIII Lingkungan keluarga dari beberapa penelitian yang dimulai tahun 80an, ditemukan ternyata sebagian be sar pasien dengan psikosis yang telah pulih kemudian kembali ke lingkungan kelua rga dan sosial sebelum sakit, akan tetapi kekambuhan ternyaa lebih besra pada pa sien yang kembali ke keluarganya dibandingkan yang tidak, hal ini kemungkinan ma sih tingginya masalah emosional dalam keluarga yang akan menjadi stresor bagi pa sien. Perjalanan penyakit I Onset Berdasarkan penelitian oleh Ciompi, 50% mengalami skizofrenia akut 50% lainnya m engalami fase prodormal sebelum timbulnya gejala skizofrenia. Sebelumnya Krapeli n dan Bleuler pun meneliti pada pasien skizofrenia sebelum menunjukan gejala kha snya, akan mengalami fase prodormal sebagai suatu kepribadian yang berbeda dari orang kebanyakan. Dimana 25% dengan kepribadian skizoid, dan kepribadian lainya sekitar 15%. Penelitian lainnya menyatakan 35% pasien skizofrenia memenuhi krite ria di DSM IV sebagai gangguan kepribadian pada saat fase premorbid, dimana 44% diantaranya dengan gangguan kepribadian skizoid. Adanya fase premorbid dan kecen derungan bersikap paranoid lebih sering ditemukan pada pasien skizofrenia diband ingkan psien dengan penyakit psikosis non organik. Kajian epidemiologi yang dilakukan beberapa tahun lalu diketahui usia puncak pad a laki-laki menderita skizofrenia yaitu rentang usia 15 tahun hingga 25 tahun, s edangkan pada wanita dari rentang usia 25 tahun hingga 35 tahun. namun penelitia n terakhir pada laki-laki dikatakan muncul lebih lama 2 tahun untk timbul gejala skizofrenia. Berdasarkan Crow, penelitian yang dilakukannya menelaah perbedaan jenis kelamin dan usia munculnya skozofrenia dan timbulnya fase prodormal. Hal ini diketahui a danya perbedaan antara pria dan wanita dalam sebaran kromosom Xq21.3/Yp11.2 Pada pasien skizofrenia pun ditemukan anomali pada perkembangan otaknya dimana terd apat pelebaran ventrikel, berkurangnya berat kortek secara general, dan otak pas ien tampak tidak simetris .

II Perjalalan dan prognosis Penyakit ini bersifat 'naik-turun' kiadang terdapat gejala remisi kemudian dapat kambuh tanpa diduga. Sebanyak sepertiga pasien menderita penyakit ini kronis ta npa fase remisi sama sekali. Sebanyak 20% penderita setelah dipulangkan dari pus at rehabilitasi menunjukan kekambuhan rata-rata 10 tahun kemudian. Saat keluar p ertama kali resiko untuk kambuh kembali sangat kecil sejalan dengan semakin mata ngnya usia dan jenis kelamin. Pada wanita menunjukan prognosis lebih baik, setel ah dibandingkan dengan pria rata-rata wanita lebih singkat mengalami gejala psik osis,hal ini diduga sebagai akibat adanya hormon estrogen dan jenis hormon neuro aktif steroid lainnya, akan tetapi telaah lebih detail mengenai teori ini belum dilakukan. selain itu dari segi kehidupan sosial penderita perempuan lebih ting gi presentasenya menikah pasca skizofrenia dibandingkan pria. III Penurunan Kognitif Emil Kraepelin yang pertama kali mengungkapkan faktor organik pada skizofrenia d an manifestasi utama menurut teorinya adalah gangguan kognitif, sehingga pada sa at itu skizofrenia disebut pula sebagai Dementia Praecox Pada tahun 1960 beberapa penelitian mengungkan rendahnya kemampuan kognitif pasi en skizofrenia pada dasarnya akibat gejala psikotiknya dan masalah prilaku sosia l pada penderita bukan murni karena gangguan neurokognitif. Akhirnya pada abad 20 diketahui bahwa skizofrenia pada dasarnya merupakan ganggu an pada sistem saraf pusat yaitu otak, dimana ditemukan penurunan fungsi kogniti f secara menyeluruh pada domain-domain kognitif di otak. Berdasarkan kajian neur opsikologi untuk menentukan kemampuan kognitif pasca sakit pada seorang penderit a skizofrenia dapat dilihat fungsionalnya penderita sebagai anggota masyarakat d an kemampuannya merawat diri dan melakukan aktifitas sehari-hari secara mandiri. Penelitian oleh Morrison menyebutkan bahwa pada pasien skizofrenia akan menunjuk an gangguan dalam bahasa verbal dan non verbal. Penelitian ini terus dikembangka n selama kurang lebih 10 tahun, akhirnya disimpulkan bahwa pada pasien skizofren ia terdapat penurunana kemampuan berbahasa, Visual-spatial, sehingga penurunan k ognitif tidak secara global seperti yang telah disubutkan pada peneliian sebelum nya. gangguan ini hanya mengenai daerah spesifik di otak, dan tidak menyerupai k ondisi demensia yang melibatkan seluruh area di otak. Peneliat cohort berikutnya pun menambhakan beberapa penurunan fungsi selain masa lah visual spatial, terdapat gangguan pada pemusatan perhatian, logika, dan peny elesaian masalah. Dijelaskan untuk IQ penderita skizofrenia pada fase premorbid pada umunya di tingkat rata-rata dengan nilai 90-95. Akan tetapi sampai saat ini belum terdapat bukti adanya kaitan antara usia dengan penurunan IQ pada pendrit a skizofrenia. Penelitian lainnya menggunakan perbandingan IQ penderita pada saat berusia 7 tah un dibandingkan IQ nya pada saat usia 35 tahun, dari penelitian ini tampak IQ ra ta-rat penderita pada usia 7 tahun lebih rendah dibandingkan teman sebayanya, se lanjutnya selama 28 tahun perjalanan hidupnya rata-rata terjadi penurunan IQ 10 pada penderita skizofrenia. Berdasarkan penelitian terakhir menunjukan hasil yang bertolak belakang dengan P enelitian oleh Kraepelin yang mengistilahkan skizofrenia sebagai demensia prekok dimana terjadi penuruna kognitif secara progresif pada pasien skizofrenia. Berd asarkan teori Kraepelin tersebut muncul istilah "Kraepelinian" dimana pasien den gan gejala "Kraepelinian" tersebut akan menunjukan gangguan dalam perawatan diri sendiri, gangguan fungsi sosial sejak fase premorbid, gejala negatif yang lebih berat, sedikit kaitan dengan gangguan afektif, terdapat faktor keluarga (geneti k), resisten terhadap pengobatan anti psikotik, dan onset sakit saat usia muda. Penetian terbaru memberi suatu kesimpulan bahwa seorang penderita skizofrenia de ngan riwayat rawat inap di Rumah Sakit Jiwa (RSJ), menunjukan penurunan kemampua n melakukan keterampilan hidup sehari-hari selama 3-4 tahun perawatan, akan teta pi kognitif penderita tidak mengalami penurunan bila menjalani perawatan di RSJ, maupun tidak menunjukan peningkatan bila tanpa rawat inap di RSJ. Salah satu mitos yang berkembang bahwa penurunan kognitif penderita skizofrenia adalah akibat penggunaan obat anti psikosis generasi pertama sedangkan anti psik

osis generasi kedua memberi efek lebih baik terhadap kognitif penderita. Akan te tapi pandangan tersebut terbantahkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh C ATIE ( Clinical Antipsychotics Trials of Intervention Effectiveness) dimana tida k terjadi peningkatan kognitif pada penderita walaupun menggunakan obat generasi pertama maupun kedua, bahkan beberapa kasus menunjukan adanya pertahan kognitif yang baik bila menggunakan anti psikosis generasi pertama dibandingkan pertahan an kemampuan kognitif bila menggunakan antipsikosis generasi kedua. IV Penatalaksanaan-Perbaikan kognitif Terdapat beberapa penelitian yang menunjukan penurunan kognitif yang bervariasi antara satu penelitian dengan penelitian lainnya yaitu antara 20-60% penurunan d alam penyelesaian aktivitas sehari-hari. gangguan neurokognitif pada penderita skizofrenia diatasi dengan kognitif remedi asi, suatu program rehabilitasi yang berdasarkan pengembangan dari terapi kognit if-tingkah laku, terapi ini berfokus pada perbaikan perawatan diri dan konsentra si, kemudian memperbaiki kemampuan daya ingat, dalam berbahasa baik verbal maupu n non verbal. Berdasarkan penelitian sebelumnya disimpulkan dampak penatalaksanaan kognitif pe nderita tidak bergantung pada metode yang digunakan seperti teknik komputer, dur asi, ataupun tipe pendekatan yang digunakan, melainkan tergantung pada usia pend erita, lama penyakit, dan dasar pendidikan sebelum sakit. Penelitian terakhir yang dilakukan mengungkapkan bahwa metode untuk mengembalika n fungsi-fungsi area kortek pada otak, akan mempercepat pemulihan fungsi kogniti f pada metode ECT (Enhancement Cignitive Therapy) pada penderita yang baru mende rita skizofrenia. Metode terapi kognitif remediasi akan memperbaiki fungsi kognitif dan psikososia l penderita skizofrenia. Selain itu terdapat metode rehabilitasi vokasional yang bertujuan untuk membantu membangun kembali kemampuan berhubungan dengan individ u lain, menurut penelitian metode ini dapat memperbaiki gejala positif dan gejal a negatif pada penderita skizofrenia. Selain itu kemampuan seorang mantan pender ita skizofrenia untuk mendapat pekerjaan dan bekerja dengan baik mampu menghinda rkan penderita dari stigma. Dimana bila penderita merasa terstigma negatif di li ngkungan sosialnya maka hal tersebut akan menjadi tekanan secara emosional dan m uncul pencitraan yang salah terhadap dirinya, kemudian secara tidak langsung aka n menurunkan fungsi kognitif sosialnya. V. Pencitraan neurologi (Neuroimaging) Banyak teori yang menyebutkan skizofrenia dapat mempengaruhi tahap perkembangan awal dan tahap perkembangan lanjut dari sistem saraf. Kondisi yang paling konsis ten terjadi pada skizofrenia adalah melebarnya ventrikel, kelainan pada girus te mporal superior, dan lobus temporal medial dimana struktur didalamnya termasuk a migdala, hipokampus, dan girus para-hipokampus. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Melbourne menggunakan pencitraan MRI, p ada individu yang menunjukan gejala psikosis tampak area abu-abu pada otak di re gio temporal dan prefrontal berkurang dibandingkan pada individu normal. Pelebar an ventrikel memiliki kecenderungan memiliki prognosis lebih buruk, selain itu k husus pada kondisi pasien ini dominan menunjukan penurunan kognitif dan perjalan an penyakit yang progresif. Penelitian lain menggunakan sampel individu dengan sindrom delesi pada kromosom 2211.2 dan penderita skizofrenia menunjukan berkurangnya area abu-abu pada Brodm an 22, hal ini mendukung teori neurodevelopmental pada skizofrenia. Kesimpulan Pemahaman mengenai epidemiologi skizofrenia sudah sejak lama menjadi perdebatan dan menjadi acuan untuk dilakukan penelitian ilmiah. langkah awal dimulai oleh F arris dan Dunham dimana menemukan data prevalensi penyakit dan dibedakan berdasa rkan jenis kelamin. Kemudian banyak faktor resiko yang mulai dijabarkan, akan te tapi belum dapat menjelaskan secara langsung hubungan antara faktor-faktor resik o yang ditenggarai sebagai predisposisi terhadap kejadian skizofrenia. teori yan g masih dipercaya adalah adanya proses neurodegenerasi pada penderita skizofreni

a, hal ini membutuhkan penelitian-penelitian lanjutan untuk membuktikan hipotesi s sebelumnya. Penelitian selanjutnya diharapkan fokus pada multifaktorial sebaga i penyebab munculnya skizofrenia pada seseorang. Sehingga dengan mengetahui fakt or-faktor resiko penyakit dapat dirumuskan langkah-langkah pencegahan seseorang menderita skizofrenia dan lebih terararh dalam melakukan terapi sehingga prognos is penyakit ini akan lebih baik. Pendekatan untuk rehabilitasi penderita skizofr enia antara lain pendekatan neuro-kognitif, keterampilan sosial, keterampilan me ngelola emosi). Penerapan metode ini tidak hanya pada penderita skizofrenia namu n pada lingkungan sosial terkecil penderita contohnya keluarga, hal ini bertujua n untuk mencegah faktor stres dari lingkungan. Akan tetapi permasalahan yang masih ada saat ini adalah penderita skizofrenia me ngalami gangguan kognitif di beberapa bidang sehingga masih sulit mengembangkan fungsi psikososial seperti individu normal, masih pula terdapat stigma dari ling kungan sosialnya sehingga secara umum dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari b aik kesejahteraan diri sendiri dan kehidupan bersosialisasi. Oleh karena itu, penurunan kognitif akan menjadi target penelitian pada proses r ehabilitasi psikoneurologi penderita skizofrenia.

You might also like