You are on page 1of 12

Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang di dasarkan pada perjanjian arbitrase

yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (Lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999). Arbitrase diangggap memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan cara litigasi, oleh karena itu dalam praktek para pelaku bisnis dan dunia usaha ada kecenderungan untuk memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Adapun beberapa keunggulannya antara lain : 1. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak; 2. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal procedural dan administrative 3. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai maalah yang disengketakan, jujur dan adil. 4. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase dan 5. putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. Michael B. Metzger mengemukakan pendapat keuntungan penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini : As compared with the court system, the main advantages clained for arbitration are : 1. quicker resolution of disputes 2. lower costs in time and money to the parties, and 3. the availability of professional who are often expert in the subject matter of dispute. Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas, tidak semuanya benar, sebab di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat daripada proses arbitrase. Di antara kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiaannya, karena keputusannya tidak dipublikasikan. Namun demikian, penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, terutama untuk kontrak bisnis atau dagang yang bersifat internasional. Sifat rahasia arbitrase dapat melindungi para pihak dari hal-hal yang tidak diinginkan atau yang merugikan akibat penyingkapan informasi bisnis kepada umum. Meskipun penyelesaian melalui arbitrase diyakini memiliki keunggulan-keunggulan dibandingkan dengan jalur pengadilan, tetapi penyelesaian melalui Arbitrase juga memiliki kelemahankelemahan. Beberapa kelemahan dari Arbitrase dan ADR adalah : a. Arbitrase belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam, maupun masyarakat bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis sendiri. Sebagai contoh masyarakat masih banyak yang belum mengetahui keberadaan dan kiprah dari lembaga-lembaga seperti BANI, BASYARNAS dan P3BI. b. Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga enggan memasukkan perkaranya kepada lembaga-lembaga Arbitrase. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya perkara yang diajukan dan diselesaikan melalui lembaga-lembaga Arbitrase yang ada. c. Lembaga Arbitrase dan ADR tidak mempunyai daya paksa atau kewenangan melakukan eksekusi putusannya. d. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yang dicapai dalam

Arbitrase, sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan teknik mengulur-ulur waktu, perlawanan, gugatan pembatalan dan sebagainya. e. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suatu mekanisme extra judicial, Arbitrase hanya dapat bertumpu di atas etika bisnis, seperti kejujuran dan kewajaran.

ARBITRASE DI INDONESIA
Undang-Undang Arbitrase dan Permasalahannya
Pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, ketentuan-ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana yang diatur dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Rv, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 Rbg, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dibandingkan dengan pengaturan Ketentuan-ketentuan Arbitrase Komisi Perserikatan Bangsabangsa (PBB) tentang Hukum Perdagangan Internasional (The United Nations Commission on International Trade Law) atau lebih dikenal Arbitrase Model Law UNCITRAL 1985 yang terdiri dari 36 pasal, UU No. 30/1999 yang terdiri dari 82 pasal tersebut telah secara luas mengatur berbagai hal terkait dengan arbitrase. Banyaknya pasal tersebut tampaknya agar UU No. 30/1999 mampu mengakomodasikan banyak hal dengan mengaturnya secara mendetail (meskipun seharusnya hal itu bukan muatan suatu undang-undang), misalnya, keharusan bagi sekretaris untuk membuat notulen rapat sehubungan dengan kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase. (Lihat Pasal 51 UU No. 30/1999.) Selain itu, UU No. 30/1999 berusaha mengatur semua aspek baik hukum acara maupun substansinya, serta ruang lingkupnya yang meliputi aspek arbitrase nasional dan internasional. Upaya memasukkan semua aspek arbitrase ke dalam satu undang-undang arbitrase nasional dapat mendatangkan banyak persoalan dan membingungkan, baik mengenai letak pengaturannya maupun materinya. Tentang letak pengaturan, misalnya tentang prinsip pembatasan intervensi pengadilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2), yaitu: Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam ha1-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini. Ayat (2) tersebut tidak berhubungan dengan ayat lainnya, yaitu Pasal 11 ayat (1) yang mengatur mengenai perjanjian arbitrase, serta diletakkan pada bab yang tidak ada kaitannya, yaitu Bab III tentang syarat arbitrase, pengangkatan arbiter, dan hak ingkar. Dalam Model Law, prinsip ini (limited court involvement) diletakkan pada bagian Ketentuan Umum (General Provisions). Materi UU No. 30/1999 juga menimbulkan persoalan, misalnya tidak ada ketentuan mengenai jangka waktu bagi pendaftaran putusan arbitrase internasional di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengaturan mengenai periode waktu itu sangat penting karena putusan arbitrase asing hanya dapat dilaksanakan di Indonesia setelah didaftarkan. Di samping itu, masih banyak masalah lain yang

terkait dengan ketentuan-ketentuan dalam UU No. 30/1999, yang kesemuanya itu dapat dibaca dalam buku Hukum Arbitrase dan Mediasi di Indonesia karangan Gatot Soemartono, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Copyright 2006-2010. Posted by Gatot Soemartono

Keuntungan Arbitrase
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dinilai menguntungkan karena beberapa alasan sebagai berikut: a. Kecepatan dalam proses Suatu persetujuan arbitrase harus menetapkan jangka waktu, yaitu berapa lama perselisihan atau sengketa yang diajukan kepada arbitrase harus diputuskan. Apabila para pihak tidak menentukan jangka waktu tertentu, lamanya waktu penyelesaian akan ditentukan oleh majelis arbitrase berdasarkan aturan-aturan arbitrase yang dipilih. [Pasal 31 ayat (3) menyebutkan: Dalam hal para pihak telah memilih acara arbitrase harus ada kesepakatan mengenai ketentuan jangka waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase dan apabila jangka waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan, arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan.) Demikian pula, putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak, sehingga tidak dimungkinkan upaya hukum banding atau kasasi. Dalam Pasal 53 UU No. 30/1999 disebutkan bahwa terhadap putusan arbitrase tidak dapat dilakukan perlawanan atau upaya hukum apa pun. Sedangkan dalam Pasal 60 secara tegas disebutkan: Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Catatan: Sebelum berlakunya UU No. 30/1999, pihak yang kalah berhak mengajukan banding atas putusan arbitrase kepada Mahkamah Agung, yang memeriksa fakta-fakta dan penerapan hukumnya. Dengan demikian, putusan arbitrase tidak bersifat final dan mengikat para pihak sampai permohonan banding tersebut ditolak. (Lihat Pasal 641 Rv juncto Pasal 15 dan 108 Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung.) Selain itu, dalam pengaturan internasional, Pasal 35 ayat (1) Ketentuan-ketentuan Arbitrase UNCITRAL menyebutkan bahwa: An arbitral award, irrespective of the country in which it was made, shall be recognized as binding and, shall be enforced. Jadi, putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, tidak peduli di negara mana pun ia dijatuhkan. b. Pemeriksaan ahli di bidangnya Untuk memeriksa dan memutus perkara melalui arbitrase, para pihak diberi kesempatan untuk memilih ahli yang memiliki pengetahuan yang mendalam dan sangat menguasai hal-hal yang disengketakan. Dengan demikian, pertimbangan-pertimbangan yang diberikan dan putusan yang dijatuhkan dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya. Hal itu dimungkinkan karena selain ahli hukum, di dalam badan arbitrase juga terdapat ahli-ahli lain dalam berbagai bidang misalnya ahli perbankan, ahli leasing, ahli pemborongan, ahli pengangkutan udara, laut, dan lain-lain. Catatan: Sebagaimana diketahui dalam pemeriksaan persidangan di pengadilan ada kemungkinan hakim tidak menguasai suatu perkara yang sifatnya sangat teknis. Hal ini disebabkan sebagian besar hakim di pengadilan memiliki latar belakang yang sama, yakni berasal dari bidang hukum,

sehingga mereka hanya memiliki pengetahuan yang bersifat umum (general knowledge) di bidang lainnya dan sulit bagi mereka untuk memahami hal-hal teknis yang rumit lainnya. c. Sifat konfidensialitas Pemeriksaan sengketa oleh majelis arbitrase selalu dilakukan dalam persidangan tertutup, dalam arti tidak terbuka untuk umum, dan putusan yang dijatuhkan dalam sidang tertutup tersebut hampir tidak pernah dipublikasikan. Dengan demikian, penyelesaian melalui arbitrase diharapkan dapat menjaga kerahasiaan para pihak yang bersengketa. Dalam Pasal 27 UU No. 30/1999 disebutkan bahwa: Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup. Catatan: Berbeda dari arbitrase, proses pemeriksaan dan putusan di pengadilan harus dilakukan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Proses yang bersifat terbuka dapat merugikan para pihak yang bersengketa karena rahasia (bisnis) mereka yang seharusnya tertutup rapat diketahui oleh masyarakat luas. Sebagai perbandingan dapat dilihat Penjelasan UU No. 30/1999, yang menyebutkan bahwa pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain adalah sebagai berikut: a. kerahasiaan sengketa para pihak dijamin; b. keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari; c. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur, dan adil; d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan e. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. Penjelasan UU No. 30/1999 menegaskan bahwa pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat daripada proses arbitrase. Satu satunya kelebihan arbitrase dibandingkan pengadilan adalah sifat kerahasiaannya karena putusannya tidak dipublikasikan. Selanjutnya, di dalam Penjelasan disebutkan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, terutama untuk kontrak bisnis yang bersifat internasional. Berdasarkan penelitian penulis tentang keefektifan penggunaan arbitrase dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase selalu didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut: a. lebih cepat, karena putusannya bersifat final dan mengikat, sehingga menghemat waktu, biaya, dan tenaga; b. dilakukan oleh ahli di bidangnya, karena arbitrase menyediakan para pakar dalam bidang tertentu yang menguasai persoalan yang disengketakan, sehingga hasilnya (putusan arbitrase) dapat lebih dipertanggungjawabkan; dan c. kerahasiaan terjamin karena proses pemeriksaan dan putusannya tidak terbuka untuk umum, sehingga kegiatan usaha tidak terpengaruh.

Dengan beberapa alasan tersebut, arbitrase lebih disukai dan dinilai lebih efektif daripada penyelesaian sengketa di pengadilan. Namun demikian, selain beberapa keuntungan atas pilihan penggunaan arbitrase tersebut, arbitrase memiliki beberapa kelemahan yang perlu mendapat perhatian dari para pihak yang bersengketa dan penasehat hukumnya, para praktisi hukum lainnya, dan dari kalangan akademisi, termasuk ahli arbitrase. Jika beberapa kelemahan tersebut (lihat uraian kelemahan arbitrase) tidak diantisipasi, maka hal itu dapat membuat arbitrase kehilangan baik daya guna (keefektifan) maupun hasil guna (efisiensi)-nya. Copyright 2006-2010. Posted by Gatot Soemartono

Kelemahan Arbitrase
Beberapa faktor yang merupakan kelemahan arbitrase adalah sebagai berikut: a. Hanya untuk para pihak bona fide Arbitrase hanya bermanfaat untuk para pihak atau pengusaha yang bona fide (bonafid) atau jujur dan dapat dipercaya. Para pihak yang bonafid adalah mereka yang memiliki kredibilitas dan integritas, artinya patuh terhadap kesepakatan, pihak yang dikalahkan harus secara suka rela melaksanakan putusan arbitrase. Sebaliknya, jika ia selalu mencari-cari peluang untuk menolak melaksanakan putusan arbitrase, perkara melalui arbitrase justru akan memakan lebih banyak biaya, bahkan lebih lama daripada proses di pengadilan. Misalnya, pengusaha yang dikalahkan tidak setuju dengan suatu putusan arbitrase, maka ia dapat melakukan berbagai cara untuk mendapatkan stay of execution (penundaan pelaksanaan putusan) dengan membawa perkaranya ke pengadilan. Catatan: Sering ditemui di dalam praktik bahwa para pihak, walaupun mereka telah memuat klausul arbitrase dalam perjanjian bisnisnya, tetap saja mereka mengajukan perkaranya ke pengadilan. Anehnya, meskipun telah terdapat klausul arbitrase di dalam perjanjian, masih ada pengadilan negeri yang menerima gugatan perkara tersebut. (Padahal, dalam Pasal 11 ayat (2) disebutkan bahwa: Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase...) b. Ketergantungan mutlak pada arbiter Putusan arbitrase selalu tergantung pada kemampuan teknis arbiter untuk memberikan putusan yang tepat dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak. Meskipun arbiter memiliki keahlian teknis yang tinggi, bukanlah hal yang mudah bagi majelis arbitrase untuk memuaskan dan memenuhi kehendak para pihak yang bersengketa. Pihak yang kalah akan mengatakan bahwa putusan arbitrase tidak adil, demikian pula sebaliknya (pihak yang menang akan mengatakan putusan tersebut adil). Ketergantungan secara mutlak terhadap para arbiter dapat merupakan suatu kelemahan karena substansi perkara dalam arbitrase tidak dapat diuji kembali (melalui proses banding). Catatan: Meskipun semakin banyak ahli arbitrase yang mempertanyakan kewenangan mutlak arbiter serta putusannya yang bersifat final dan mengikat, penulis tidak sependapat; dan tidak melihat hal itu sebagai suatu kelemahan. Artinya, itu merupakan risiko yang seharusnya telah diantisipasi oleh para pihak, dan risiko tersebut harus diterima sejak awal ketika mereka memilih lembaga arbitrase. Oleh karena itulah para pihak diperkenankan untuk memilih sendiri arbiter

(yang terbaik dan paling menguntungkan dirinya) yang akan menangani sengketa mereka. c. Tidak ada preseden putusan terdahulu Putusan arbitrase dan seluruh pertimbangan di dalamnya bersifat rahasia dan tidak dipublikasikan. Akibatnya, putusan tersebut bersifat mandiri dan terpisah dengan lainnya, sehingga tidak ada legal precedence atau keterikatan terhadap putusan-putusan arbitrase sebelumnya. Artinya, putusanputusan arbitrase atas suatu sengketa terbuang tanpa manfaat, meskipun di dalamnya mengandung argumentasi-argumentasi berbobot dari para arbiter terkenal di bidangnya. Catatan: Secara teori hilangnya precedence tersebut juga dapat berakibat timbulnya putusanputusan yang saling berlawanan atas penyelesaian sengketa serupa di masa yang akan datang. Hal itu akan mengurangi kepastian hukum dan bertentangan dengan asas similia similibus, yaitu untuk perkara serupa diputuskan sama. d. Masalah putusan arbitrase asing Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional memiliki hambatan sehubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan putusannya. Kesulitan itu menjadi masalah yang sangat penting karena biasanya di negara pihak yang kalah terdapat harta yang harus dieksekusi. Oleh karena itu, berhasil tidaknya penyelesaian sengketa melalui arbitrase berkaitan erat dengan dapat tidaknya putusan arbitrase tersebut dilaksanakan di negara dari pihak yang dikalahkan. Copyright 2006-2010. Posted by Gatot Soemartono

Pengaturan Arbitrase Sebelum UU No. 30/1999


Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, sebelum berlakunya UU No. 30/1999, ketentuan-ketentuan tentang arbitrase tercantum dalam Pasal 615 s.d. Pasal 651 dari Reglement op de Rechtsvordering (Rv), yang merupakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata (selanjutnya disingkat KUHA Perdata) untuk penduduk Indonesia yang berasal dari Golongan Eropa atau yang disamakan dengan mereka. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda dikenal pembagian tiga kelompok penduduk dengan sistem hukum dan lingkungan peradilan yang berbeda, yaitu untuk Golongan Bumiputera (penduduk pribumi) berlaku hukum Adat dengan pengadilan Landraad dan hukum acaranya Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesich Reglement yang disingkat HIR), dan untuk Golongan Timur Asing dan Eropa berlaku Burgerlijke Wetboek atau BW (KUH Perdata), dan Wetboek van Koophandel atau WvK (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) dengan hukum acaranya Rv. Sejak kemerdekaan 1945 sampai saat ini, Indonesia masih menggunakan BW dan WvK dalam hukum positifnya. Sehubungan dengan hal itu pendapat Peter J. Burns (di dalam Abstract bukunya) yang mempertanyakan pembedaan konvensional antara Timur dan Barat sangat menarik untuk dikaji. Menurutnya telah terjadi ironi dalam perjuangan panjang bangsa Indonesia untuk memisahkan diri dari Belanda karena setelah merdeka identitas bangsa Indonesia justru dibentuk oleh ide-ide Belanda, secara asli, daripada oleh kepribumiannya sendiri. Identitas tersebut (termasuk dalam sistem hukum) berakar dari Eropa daratan. Catatan: Walaupun aturan-aturan hukum acara perdata yang terdapat dalam Rv tidak dijumpai

dalam HIR, ia kemudian menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan tentang hukum acara perdata setelah Indonesia merdeka. Selanjutnya, ketentuan arbitrase juga (secara implisit) terdapat dalam Pasal 377 HIR dan Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten yang disingkat RBg). Dalam Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBg disebutkan bahwa: Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropa. Dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut: a. para pihak yang bersengketa berhak menyelesaikan sengketa mereka melalui juru pisah atau arbitrase; b. juru pisah atau arbitrase diberi kewenangan hukum untuk menjatuhkan putusan atas perselisihan (sengketa) yang timbul; dan c. arbiter dan para pihak memiliki kewajiban untuk menggunakan ketentuan pengadilan bagi golongan Eropa. Pasal 377 HIR dan 705 RBg memberi peluang bagi para pihak membawa sengketa mereka di luar pengadilan untuk diselesaikan. Mengingat HIR dan RBg tidak mengatur arbitrase lebih jauh lagi, Pasal 377 HIR dan 705 RBg menunjuk ketentuan-ketentuan dalam Rv yang berlaku bagi golongan Eropa dengan tujuan untuk menghindari rechts vacuum (kekosongan hukum). Peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropa sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut adalah semua ketentuan acara perdata yang diatur dalam Rv, yaitu dalam Buku Ketiga Bab I (dari Pasal 615 s.d. Pasal 651). Ketentuan Pasal 615 s.d. Pasal 651 Rv mengatur hal-hal sebagai berikut: 1. Pasal 615 s.d. 623 Rv: Perjanjian arbitrase dan pengangkatan para arbiter. 2. Pasal 624 s.d. 630 Rv: Pemeriksaan di muka arbitrase. 3. Pasal 631 s.d. 640 Rv: Putusan arbitrase. 4. Pasal 641 s.d. 647 Rv: Upaya-upaya atas putusan arbitrase. 5. Pasal 648 s.d. 651 Rv: Berakhirnya acara arbitrase. Mengingat pesatnya perkembangan dunia usaha dan lalu lintas perdagangan nasional dan internasional serta perkembangan hukum pada umumnya, ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Rv sebagai pedoman arbitrase dinilai sudah tidak sesuai lagi. Misalnya, dalam Rv tidak diatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang saat ini telah menjadi kebutuhan sehari-hari dalam kegiatan bisnis internasional. Masalah-masalah lain yang dinilai tidak sesuai lagi dalam Rv contohnya adalah perjanjian arbitrase tidak harus tertulis (Pasal 615 ayat 3), diizinkannya banding ke Mahkamah Agung atas putusan arbitrase (Pasal 641 ayat 1), larangan bagi wanita untuk menjadi arbiter (Pasal 617 ayat 2), dan lain-lain. Semua itu bertentangan dengan kecenderungan dalam perkembangan hukum modern saat ini. Dengan demikian, perubahan yang bersifat filosofis dan substantif merupakan suatu conditio sine qua non. Copyright 2006-2010. Posted by Gatot Soemartono

ARBITRASE
Makalah ini membahas tentang arbitrase atau SALAH SATU BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA DI LUAR PENGADILAN.Terlebih dahulu,akan dibahas tentang definisi arbitrase. Definisi Arbitrase Kata arbitrase berasal dari bahasa asing yaitu arbitrare. Arbitrase juga dikenal dengan sebutan atau istilah lain yang mempunyai arti sama, seperti : perwasitan atau arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), arbitrage atau schiedsruch (Jerman), arbitrage (Prancis) yang berarti kekuasaan menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Arbitrase di Indonesia dikenal dengan perwasitan secara lebih jelas dapat dilihat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1950, yang mengaturtentang acara dalam tingkat banding terhadap putusan-putusan wasit, dengan demikian orang yang ditunjuk mengatasi sengketa tersebut adalah wasit atau biasa disebut arbiter. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam dua bentuk, yaitu: 1. Factum de compromitendo yaitu klausa arbitrase yang tercantum dalam suatau perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa. 2. Akta Kompromis yaitu suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Sebelum UU arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3 ayat 1 Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan. JENIS-JENIS ARBITRASE Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja di bentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya Undang-undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pada umumnya arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang yang telah disepakati oleh para pihak. Arbitrase insitusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase

berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), maupun yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri. LINGKUP ARBITRASE Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 (UU Arbitrase) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854. PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE A. Sengketa Dagang Sengketa atau perselisihan dalam kegiatan dagang sebenarnya sesuatu yang tidak diharapkan terjadi, karena akan merugikan pihak-pihak yang bersengketa. Oleh sebab itu, kemungkinan terjadinya sengketa dagang perlu diminimalisasi atau dihindari, meskipun demikian terkadang sengketa tidak dapat dihindari karena adanya kesalahpahaman, dan pelanggaran oleh salah salah satu pihak, atau timbul kepentingan yang berlawanan. Perbedaan paham, perselisihan pendapat, pertentangan maupun sengketa tersebut tidak dapat dibiarkan berlarut-larut dan harus diselesaikan secara memuaskan bagi semua pihak. Meskipun tiap-tiap masyarakat memiliki cara sendiri-sendiri untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, akan tetapi perkembangan dunia usaha yang berkembang secara universal dan global mulai mengenal bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang homogen, menguntungkan dan memberikan rasa aman dan keadilan bagi para pihak. PERADILAN ARBITRASE Salah satu alternatif yang dapat ditempuh apabila terjadi sengketa adalah dengan menggunakan arbitrase sebagai peradilan swasta, arbitrase ini dapat dijadikan solusi terbaik dari perselisihan yang terjadi, karena penyelesaian sengketa melalui peradilan wasit (arbitrase) memiliki arti penting dibanding dengan pengadilan resmi seperti yang dikemukakan oleh HMN Purwosutjipto, diantaranya: 1. Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat. 2. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper-sengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.

3. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak. 4. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha. Apabila para pihak telah memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase baik secara tertulis dalam kontrak maupun diluar kontrak, yang dengan tegas memberikan kewenangan kepada arbiter untuk memutus pada tingkat pertama dan terakhir, maka hal ini mengikat mereka sebagai Undangundang sesuai dengan asas keperdataan yang diatur dalam pasal 133 K.U.H perdata. Dengan demikian pihak-pihak yang berselisih memilih cara penyelesaian sengketa antara mereka dengan mengangkat seorang arbiter atau lebih, yang bertindak sebagai penengah (arbitrator) dan memiliki kekuasaan untuk memutus (arbitrator power) menurut kebijaksanaanya. PUTUSAN ARBITRASE Dalam menyelesaikan perselisihan dalam prakteknya para arbiter memutuskan sebagai orangorang baik, menurut keadaan dan kepatuhan. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip umum mengenai kontrak dalam hukum, yang harus dilaksanakan dengan itikad baik sesuai dengan ketentuan pasal K.U.H perdata. Para arbiter yang diberikan kekuasaan untuk memberikan keputusan sesuai dengan keadilan maka keputusan harus sesuai dengan peraturan yang berlaku, mereka juga terikat memberikan alasan-alasan untuk keputusan mereka dan memperhatikan peraturan-peraturan hukum. Pemeriksaan dalam arbitrase dapat mengikutsertakan pihak ketiga di luar perjanjian dalam proses penyelesaian sengketa dengan syarat terdapat unsur kepentingan yang terkait, keikutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa, dan juga disetujui oleh arbiter atau majelis yang memeriksa sengketa yang besangkutan (Pasal 30). Para pihak bebas menetukan acara arbitrase yang akan digunakan selama tidak bertentangan dengan Undang-undang. Putusan arbitrase harus diambil menurut peraturan hukum yang berlaku, kecuali dalam klausula atau persetujuan arbitrase tersebut telah diberikan kekuasaan kepada (para) arbiter untuk memutus menurut kebijaksanaan (ex aequo et bonu) (pasal 631 Rv). Dalam hal ini putusan yang diambil harus menyebutkan nama-nama dan tempat tinggal para pihak berikut amar putusan nya, yang disertai dengan alasan- dan dasar pertimbangan yang dipergunakan (para) arbiter dalam mengambil putusan , tanggal diambilnya putusan, dan tempat dimana putusan diambil, yang ditnda tangani oleh (para) arbiter. Dalam hal salah seorang arbiter menolak menandatangani putusan, hal ini harus dicantumkan dalam putusan tersebut, agar putusan ini berkekuatan sama dengan putusan yang ditanda tangani oleh semua arbiter. (pasal 632 jo pasal 633 Rv) Penyebutan tanggal dan tempat putusan diambil merupakan hal yang penting, karena terhitung empat belas hari dari sejak putusan dikeluarkan, putusan tersebut harus didaftarkan di kantor Panitera Pengadilan Negeri setempat, yaitu tempat dimana putusan arbitrase telah diambil (pasal 634 ayat (1) Rv). Putusan arbitrase tersebut hanya dapat dieksekusi , jika telah memperoleh perintah dari Ketua Pengadilan Negeri tempat putusan itu didaftarkan, yang berwujud pencantuman irah-irah DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA

ESA pada bagian atas dari asli putusan arbitrase tersebut . selanjutnya putusan arbitrase yang telah memperoleh irah-irah DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA tersebut dapat dilaksanakan menurut tatacara yang biasa berlaku bagi pelaksanaan suatu putusan pengadilan (pasal 639 Rv). Menurut ketentuan pasal 641 ayat (1) Rv, terhadap putusan arbitrase yang mempunyai nilai perselisihan pokok lebih dari 500 rupiah dimungkinkan untuk banding kepada Mahkamah Agung. Selanjutnya dalam pasal 15 Undang-undang Nomor 1/1950 tentang Susunan, Kekuasaan, dan Jalan pengadilan Mahkamah Agung Indonesia ditentukan pula bahwa hanya putusan dengan pokok perselisihan yang memiliki nilai lebih dari 25.000 rupiah saja yang dapat dimintakan bandingnya kepada Mahkamah Agung. Walaupun menurut kedua ketentuan tersebut, putusan arbitrase dapat dimintakan banding, ketentuan pasal 642 Rv. Dengan jelas menyebutkan bahwa tiada kasasi maupun peninjauan kembali dapat diajukan terhadap suatu putusan arbitrase, meskipun para pihak telah memperjanjian yang demikian dalam persetujuan mereka. Dapat ditambahkan disini bahwa kemungkinan untuk meminta banding, seperti disebut diatas, dapat dikesampingkan oleh para pihak dengan mencantumkan secara tegas kehendak tersebut dalam klausula atau persetujuan arbitrase yang mereka buat tersebut (Pasal 641 ayat (1) Rv) PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE Pelaksanaan putusan arbitrase dibedakan menjadi dua yaitu putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase asing (internasional). Putusan arbitrase nasional adalah putusan arbitrase baik ad-hoc maupun institusional, yang diputuskan di wilayah Republik Indonesia. Sedangkan, putusan arbitrase asing adalah putusan arbitrase yang diputuskan di luar negeri. 1. Putusan Arbitrase Nasional Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun. 2. Putusan Arbitrase Asing (Internasional)

Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing. HAPUSNYA PERJANJIAN ARBITRASE Perjanjian arbitrase dinyatakan batal, apabila dalam proses penyelesaian sengketa terjadi peristiwaperistiwa: 1. Salah satu dari pihak yang bersengketa meninggal dunia. 2. Salah satu dari pihak yang bersengketa mengalami kebangkrutan, novasi (pembaharuan utang), dan insolvensi. 3. Pewarisan. 4. Hapusnya syarat-syarat perikatan pokok. 5. Pelaksanaan perjanjian arbitrase dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut. 6. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

You might also like