You are on page 1of 6

A. Pengertian Pendekatan Sosiologi Istilah Pendekatan merupakan kata terjemahan dari bahasa inggris, approach.

Maksudnya adalah sesuatu disiplin ilmu untuk dijadikan landasan kajian sebuah studi atau penelitian. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat, dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai kehidupan itu. Sementara itu, Soerjono Soekarno mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian. Sosiologi tidak menetapkan kearah mana sesuatu seharusnya berkembang dalam arti memberi petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut. Jadi kalau diambil kesimpulan arti dari pendekatan sosiologi tersebut adalah suatu landasan kajian sebuah studi atau penelitian untuk mempelajari hidup bersama dalam masyarakat. Ilmu sosial tidak mudah membuat garis pemisah yang tegas antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lain. Sehingga kesan adanya tumpang tindih sering kali tidak dapat dihindari, termasuk memahami dalam hal ini kajian sosiologi antropologi. Sosiologi berusaha memahami hakekat masyarakat dalam kehidupan kelompok, baik struktur, dinamika, institusi, dan interaksi sosialnya. Antropologi berusaha memahami perilaku manusia (antropos) sesuai latar belakang kepercayaan dan kebudayaannya secara manusiawi (humaniora). Sosiologi- antropologi saling menunjang dari segi teori maupun konsepnya. Konsentrasi sosiologi pada masyarakatnya, sedangkan konsentrasi antropologi pada kebudayaannya. Antara keduanya jelas-jelas tidak bisa dipisahkan, karena masyarakat dalam kelompok manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Antropologi berusaha masyarakat melalui kebudayaan, semua unsure kebudayaan adalah kelompok manusia sebagai satu-satunya jenis makhluk yang memiliki potensi budaya, agama, mempunyai keyakinan dan pengetahuan untuk menerima dakwah. B. Prinsip-Prinsip Sosial Ranah yang paling penting bagi penerapkan prinsip-prinsip tersebut sepanjang masa tidak lain adalah ranah masyarakat sendiri. Baik pada tingkat ritual (al-ibadah) yang berhubungan langsung dengan rukun Islam, maupun pada tingkat kehidupan sehari-hari, Islam merupakan suatu ajaran yang terkait langsung dengan kehidupan kolektif dan sosial, lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa tidak ada pelaksanaan ajaran agama tujuan adanya keterlibatan personal dalam masyarakat. Berkaitan dengan prinsip-prinsip sosial maka penulis batasi dengan mengambil makna rukun Islam secara sosiologis: Bacaan syahadat yang tersurat dengan dua kalimat syahadat, hakekatnya merupakan ikrar persaksian seseorang yang menyatakan diri sebagai seorang muslim. Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah 1. Persaksian adalah pengakuan seseorang sebagai pernyataan yang harus dipublikasikan semacam proklamasi diri, agar masyarakat banyak mengetahui, mengerti dan menerima dirinya sebagai seorang muslim. Keberagamaan seseorang harus dinyatakan secara terbuka, agar masyarakat banyak tidak perlu mengajak lagi untuk berpindah agama, atau ada pihak agama lain yang membujuk seorang muslim menjadi murtad. 2. Ibadah Sholat, yang diwajibkan lima waktu sehari semalam dengan cara berjamaah di masjid atau mushola, kemudian sholat jumat, seminggu sekali, di sebuah masjid jami serta dua hari raya Idul Fitri dan Idul Adha setahun sekali, didahului dengan sholat

tarawih dibulan ramadhan, secara sosiologis merupakan manifestasi dan keserasian, solidaritas, dan integrasi sosial dalam kehidupan masyarakat. 3. Kewajiban Membayar Zakat, baik zakat fitrah bagi setiap jiwa muslim maupun zakat mal bagi orang yang kaya; secara sosiologis keduanya merupakan manifestasi dari solidaritas sosial. Rasa kemanusiaan yang adil dan bertanggung jawab, kepedulian untuk selalu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain yang sedang mengalami kesusahan hidup , adalah model empati (Verstehen) dalam pendekatan sosiologis. 4. Berpuasa di bulan Ramadhan, merupakan upaya pengendalian diri dari segala tindakan yang melampaui batas. Kebebasan untuk memakan makann yang halal, minum berbagai macam minuman yang sehat, pada saat berpuasa semuanya dibatasi dan dikendalikan, agar tidak menimbulkan penyakit over dosis. Puasa yang mengandung makna imsak atau rem, junnah atau benteng, pada dasarnya aktivitas ibadah yang dapat memagari diri seseorang dari berbagai macam godaan iblis durhaka yang selalu menggoda. Nafsu hewani yang biasanya bersemayam di hati manusia, pada bulan ramadhan dibersihkan dari berbagai macam makanan yang membahayakan; nafsu keinginan yang tak pernah berhenti, dikendalikan ibadah puasa; dan nafsu angkara murka yang berkeliaran dalam pergaulan hidup masyarakat, dipagari agar tidak menerobos lingkaran norma dan nilai-nilai sosial. 5. Ibadah haji ke tanah suci, menziarahi kabah Baitullah di Masjid Al-Haram Mekkah AlMunawwaroh dan Makam Rasulullah di Masjid An-Nabawy di Madinatu alMunawwaroh, dilakukan oleh ummat Islam yang mampu fisiknya, material dan moralitasnya. Pelaksanaan thawaf mengelilingi kabah dan sai dari bukit Shafa ke Marwah adalah manifestasi dari lingkaran kehidupan masyarakat yang silih berganti, hidup saling berdampingan dan bergandengan, diakhiri dengan wukuf bersama di padang Arafah. Semua kegiatan haji tersebut secara sosiologis mengandung makna ajaran agama yang sacral, mengikuti tradisi para Nabi terdahulu dalam mewujudkan integrasi sosial segenap umat manusia di dunia. Hukum-hukum dan Prinsip-prinsip yang dapat dimanfaatkan sepenuhnya bagi perumusan masyarakat yang secara identitas utuh guna menampilkan totalitas kehidupan manusia. Sosiologi ini, karena wawasannya, harus memasukkan keseluruhan aspek kehidupan fisik dan spiritual ke dalam satu kesatuan. C. Tujuan Pendekatan Sosiologi Sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami Agama. Hal ini dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat. Apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi. Dalam agam Islam dapat dijumpai peristiwa Nabi Yusuf yang dahulu budak lalu akhirnya bisa jadi penjaga di mesir, dan mengapa dalam tugasnya Nabi Musa harus dibantu oleh Nabi Harun, serta masih banyak lagi contoh yang lainnya. Beberapa peristiwa tersebut baru dapat dijawab dan sekaligus dapat ditemukan hikmahnya dengan bantuan ilmu sosial. Tanpa ilmu sosial peristiwa-peristiwa tersebut sulit dijelaskan dan sulit pula dipahami maksudnya. Di sinilah letaknya sosiologi sebagai salah satu alat dalam memahami ajaran agama. Selain contoh dari Nabi Yusuf, Nabi Harun, Nabi Musa, maka di bawah ini akan diuraikan paradigma sosiologi dari pemikir-pemikir Barat; 1. Abdel Rahman Ibn-Khaldun (1332-1406) Ibnu Khaldun dilahirkan di Tunisia Afrika, pada tanggal 27 mei 1332 M. Beliau dididik dalam lingkungan keluarga muslim yang berhasil menguasai ilmu Al-Quran, Matematika dan sejarah. Beliau dipercaya oleh sultan Tunis menjadi konsul di kedutaan Besar

Marocco. Setelah mengabdikan diri dalam aktifitas politik pemerintahan, beliau kembali ke negaranya mengembangkan ilmu. Dalam konsep sosiologinya, Ibnu Khaldun berkeyakinan bahwa fenomena sosiologi mengikuti hukum-hukum alam yang berlaku pada masyarakat dan tidak bisa dimodifikasi secara signifikan oleh individu-individu yang terisolasi. Inti Sosiologi Ibnu Khaldun senada dengan Durkheim ditemukan dalam konsep Solidaritas Sosial yang disebut dengan teori ashabiyah, yakni konsep kebersamaan dan kekeluargaan sebagai aslinya sifat masyarakat yang berbeda-beda, tetapi hakekatnya bisa bersatu karena saling membutuhkannya. Menurut Ibnu Khaldun tidak ada individu yang bisa hidup seorang diri tanpa membutuhkan orang lain untuk hidup bersama. 2. August Comte (1798-1857) August Comte dilahirkan di kota Montpelier Prancis, pada tanggal 19 Januari 1798 M. August Comte adalah pelopor kelahiran ilmu sosiologi melalui pendekatan structural fungsional, yang mempelajari masyarakat dari segi struktur fungsional yang mempelajari masyarakat dari segi struktur, strata, dan dinamika sosialnya. Sebagai tokoh evolusionis positivism, comte menegaskan masyarakat ibarat organism hidup yang dinamis. August Comte menggambarkan bahwa proses berfikir manusia dalam menafsirkan dunia dengan segala isinya berkembang secara evolusi, melalui tahapan religius, metafisika dan positifisme. Dari konsep ini terwujudlah perubahan sosial masyarakat baru, berdasarkan kenyataan empiris hasil pemikiran rasional, dan pada akhirnya akan mencapai tingkat integrasi yang lebih besar. 3. Emile Durkheim (1858-1917) Emile Durkheim dilahirkan pada tanggal 15 april 1858 di Epinal Prancis, suatu perkampungan kecil orang-orang Yahudi, bagian Timur Perancis, agak terpencil dari masyarakat luas. Ayah Durkheim adalah seorang Rabbi, tokoh agama Yahudi (setingkat ulama dalam Islam atau pendeta dalam agama Kristen). Durkheim sendiri karena pengalaman mistiknya, ia menyimpang dari ajaran Yahudi, dan sementara menjadi penganut Khatolik, akibat pengaruh gurunya. Setelah itu ia meninggalkan khatolik dan menjadi orang yang tidak mau tahu dengan agama (agnostic). Meskipun demikian, selama hidupnya ia sangat memperhatikan masalah-masalah yang berkaitan moralitas masyarakat. Dalam pandangannya dikemudian hari Durkheim berkeyakinan bahwa nilai-nilai moral itulah hakekatnya yang menjadi standar bagi terwujudnya solidaritas dan integrasi sosial yang sangat membantu mempersatukan masyarakat. http://darniahbongas.wordpress.com/2010/07/03/

Penedekatan sosiologis Masyarakat Indonesia pada dewasa ini sedang berada dalam arus perubahan yang terjadi secara cepat dan cukup mendasar. Terjadinya perubahan dari masyarakat yang semula

bebasis agraris menuju masyarakat industri, tentunya akan selalu diikuti oleh penyesuain pada segi kehidupan hukumnya, baik itu berupa hukum positipnya maupun penyesuaian di bidang peradigmatif, landasan filosofis, teori dan konsepsi serta pengertian-pengertian. Dalam abad 20 ini susunan masyarakat menjadi semakin kompleks, spesialisasi dan pemencaran bidang-bidang dalam masyarakat semakin intensif berkembang dan maju. Dengan demikian pengaturan yang dilakukan oleh hukum juga harus mengikuti perkembangan keadaan yang demikian. Pada sisi lainnya sebagai suatu bangsa yang merdeka, maka bangsa Indonesia merupakan subyek hukum yang merdeka pula. Artinya sebagai suatu bangsa, bangsa Indonesia terlibat penuh ke dalam aspek penyelenggaraan hukum, mulai dari pembuatan sampai pelaksanaannya. Hal ini tentunya berbeda dengan kehidupan hukum di masa Hindia Belanda. Pada masa itu bangsa Indonesia tidaklah mempunyai tanggung jawab sepenuhnya dalam masalah perencanaan, pembangunan, pemeliharaan dan penegakan hukumnya. Bangsa Indonesia hanya menjadi penonton pinggiran dan menjadi obyek kontrol dari hukum, segala keputusan dan strategi pembanguan hukum ditentukan oleh pemerintah Kerajaan Belanda[23]. Sejalan dengan itu mulai muncullah tuntutan-tuntutan agar hukum dapat dipakai sebagai alat untuk melakukan perubahan-perubahan atau pengarahan-pengarahan sesuai dengan politik pembangunan negara. Dengan demikian persoalan hukum sekarang ini bukannya lagi persoalan tentang legalitas formal, tentang penafsirannya serta penerapan pasal-pasal undang-undang secara semestinya, melainkan bergerak kearah penggunaan hukum secara sadar sebagai sarana untuk turut menyusun tata kehidupan baru[24]. Ia tidak dapat lagi memandang hukum hanya sebagai suatu sistem logik dan konsisten, yang terpisah dari lingkungan sosialnya, akan tetapi harus melihat hukum sebagai suatu lembaga yang selalu terkait kepada tatanan masyarakatnya, ia selalu dituntut untuk lebih memberi perhatian perkaitan antara hukum dengan kenyataan-kenyataan sosial yang hidup. Sebagai konsekuensinya maka para sarjana hukum pun dituntut untuk memahirkan diri dalam segala segi kehidupan sosial serta temponya, yang berarti pula, bahwa ia hendaknya memahirkan diri dalam ilmu-ilmu yang menggarap masalah-masalah itu, satu diantaranya ilmu sosial. Pada titik inilah mulai mengedepan pandangan-pandangan sosiologis terhadap hukum. Pendekatan sosiologis ini mendasarkan pada Pandangan positivistik yang berpegang teguh pada toeri korespondensi tentang kebenaran[25]. Menurut teori ini, kebenaran itu adalah kesamaan antara teori dan dunia kenyataan. Itu berarti bahwa hubungan sentral di dalam ilmu adalah hubungan antara subyek (ilmuan) dan objek (dunia kenyataan). Teori yang berhasil berkorespondensi dengan dunia kenyataan menghasilkan pengetahuan objektif sebagai produknya. Ilmuannya bekerja dari suatu perspektif eksternal, artinya ia mendekati dunia kenyataan sebagai soerang pengamat yang meregistrasi apa yang dilihatnya. Yang tidak memenuhi kriteria tersebut tidak dapat dikatakan sebagai ilmu hukum, melainkan hanya sebagai keahlian hukum terdidik, atau kemahiran hukum terdidik. Pandangan positivistik sebagaimana terungkap diatas mendapatkan sandaran pembenarnya pada model ilmu ideal menurut : Atomisme Logikal dan Positivisme Logikal.

Menurut ajaran ilmu atomisme logikal yang dikembangkan oleh Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein ini, pengetahuan dapat dikatakan ilmiah, jika pengetahuan itu memberikan gambaran yang persis dari kenyataan yang dapat diamati. Hal itu hanya dapat terjadi jika pengetahuan itu secara langsung dapat dikembalikan pada unsur-unsur yang tertangkap dalam pengamatan yang pasti tidak diragukan lagi. Untuk itu orang harus mengembalikan kenyataan sampai pada unsur-unsur dasar (yang disebut fakta-fakta atomair) yang menjadi objek dari penyadaran langsung. Dengan demikian pengetahuan sangan bersifat empiris. Apa yang tidak dapat diamati (secara indrawi) seperti misalnya kaidah hukum dan semua yang bersifat normatif tidak dapat diketahui. Semua putusan yang dibuat demikian adalah subjektif dan tidak dapat disebut sebagai kebenaran; mereka lebih bertumpu pada spekulasi. Dua syarat terpenting yang harus dipenuhi oleh suatu putusan ilmiah adalah : (a) putusan tersebut harus bertumpu pada penyadaran langsung terhadap fakta-fakta atomair dalam kenyataan; (b) keseluruhan putusan-putusan ilmiah itu harus cocok yang satu dengan yang lainnya secara konsisten logikal. Ini merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh suatu teori ilmiah yang ideal. Sedangkan ajaran positivisme logikal yang dikembangkan oleh Rudolf Carnap dan Moritz Schlick, berpegang teguh pada sifat empiris dari pengatahuan ilmiah. Menurut mereka, pengetahuan yang lain adalah tidak obyektif. Untuk menguji kebenaran mereka mendasarkan pada kriterium asas verifikasi, yang menyatakan bahwa hanya putusan-putusan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris saja yang dapat dianggap benar, artinya yang dapat diuji dengan kenyataan yang dapat diamaati secara indrawi Jika orang menguji suatu putusan ilmiah dan hasilnya putusan tersebut sesuai dengan kenyataan, maka putusan itu sudah diverifikasi, artinya kebenarannya sudah dikuatkan Metode induksi sesuai dengan kedua pandangan tersebut, karena mereka mengajukan bahwa penggambaran fakta-fakta atomair atau yang dapat diamati pada tataran yang lebih umum dengan menggunakan suatu bahasa yang konsisten logikal dikonstruksikan menjadi teori ilmiah. Metode empiris mereka, adalah satu-satunya metode yang dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah. sedangkan metode-metode lainnya menghasilkan pengetahuan subjektif dan spekulatif, sebab hanya metode empirislah yang memungkinkan orang lain dengan cara objektif dan sangat persis menguji hasil-hasil ilmiah yang ditemukan. Pendekatan sosiologis terhadap hukum ini mulai muncul ke permukaan seiring dengan adanya tuntutan agar ilmu hukum dapat lebih difungsikan untuk memberikan sumbangannya di dalam masyarakat Indonesia yang sedang mengalami perubahan. Pendekatan ini mulai diperlukan apabila kita telah mulai melihat hukum bukan sematamata sebagai suatu lembaga yang otonom di dalam masyarakat, melainkan sebagai suatu lembaga yang bekerja untuk dan dalam masyarakat. Dalam hal ini menurut Satjipto Rahardjo[26], minat kita terutama tertarik kepada dua hal, yaitu : (a) Proses-proses hukum tidak dilihat sebagai suatu peristiwa yang mengalami suatu insulasi, melainkan, ia kita lihat

sebagai proses terwujudnya tujuan-tujuan sosial yang lebih besar. Dengan demikian yang tengah berlangsung di situ adalah juga suatu proses interchange dari kekuatan-kekuatan serta sektor-sektor kehidupan dalam masyarakat; (b) Tempat hukum di dalam masyarakat, yaitu fungsi apakah yang dijalankan oleh hukum. Hal ini tentu memerlukan adanya peralihan dan perubahan pandangan kearah sudut yang lebih mendekati ilmu-ilmu sosial. Hukum yang semula hanya berorientasi kepada hal-hal yang praktis dan penyelesaian-penyelesaian sengketa atas dasar norma-norma yang diasumsikan mempunyai keabsahan mutlak untuk berbuat demikan itu, sekarang harus memalingkan diri pada dasar-dasar pemikiran yang lebih luas kepada penyusunan teoriteori atas dasar kenyataan-kenyataan sosial yang dihadapi[27]. Didalam kerangkan akademis, penyajian sosiologi hukum dimaksudkan sebagi usaha untuk memungkinkan pembentukan teori-teori hukum yang sosiologis sifatnya. Artinya, suatu usaha untuk merelatifkan dogmatik hukum, menurut jalan pikiran yang yuridis-tradisional, yang lebih-lebih melihat serta menelaah hukum sebagai kedaan daripada hukum sebagai suatu proses[28]. Sosiologi hukum merupakan ilmu nomogratifs yang tugasnya adalah melakukan pencatatan dan penilaian mengenai hal-hal yang terjadi dalam dunia empirik serta kemudian berusaha memberikan penjelasannya, hal ini sangat berarti bagi dunia praksis, khususnya untuk membantu pengambilan keputusan yang berkualitas, baik dalam pembuatan undangundang maupun dalam penegakan hukum Hal ini dimungkinkan karena sosiologi hukum mempergunakan optik deskriptif. Pandangan yang demikian tidak dimasudkan untuk memberikan suatu pedoman atau petunjuk tingkah laku konkrit kepada anggota masyarakat, melainkan hanyalah untuk memberikan penjelasan, mengenai seluk beluk kedudukan dan bekerjanya hukum didalam masyarakat. Untuk itu pertama-tama ia tidak bersikap memihak terhadap hukum positif, ia menggunakan detached-concern. Bila ia berhadapan dengan hukum positif, maka itu diterimanya sebagai suatu kenyataan, diantara berbagai macam kenyataan yang terdapat di dalam masyarakat[29]. Dengan digunakannya pendekatan yang demikian maka diharapkan akan tercipta sarjanasarjana hukum yang mampu secara kreatif menempatkan sistem hukumnya dalam lingkungan masyarakat masing-masing.

You might also like