You are on page 1of 2

Problematika Dana Talangan Haji

Menunaikan ibadah haji adalah cita-cita setiap individu seorang muslim.Ia menjadi target yang harus dicapai dalam usaha ekonomi bagi seseorang yang mendapat hidayah dari Alloh SWT. Tidak mengherankan jika banyak dari umat Islam yang berusaha untuk dapat menjalankan ibadah haji tersebut, meskipun dengan bersusah payah. Diantara mereka ada yang mengumpulkan uang dengan cara menabung, adapula yang dengan cara arisan. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang melaksanakan ibadah haji dengan cara menjual aset harta yang mereka miliki. Sungguh mulia niat dan keyakinan para haji yang seperti ini. Mereka berkeyakinan bahwa harta yang dibelanjakan dijalan Alloh (ibadah) adalah hakikat harta yang akan dimiliki dan memberikan manfaat kelak di akhirat. Allah SWT berfirman: Apa yang ada pada kalian akan habis sedangkan yang ada disisi Allah akan kekal. Dengan menitipkan harta kepada Allah SWT maka harta itu akan kekal dan abadi. Sedangkan harta yang hanya dijadikan kemewahan dunia, bermegah-megahan tidak akan berarti kelak di akhirat. Bahkan, jika sampai lalai akan kewajibannya, pasti akan menjadi malapetaka. Naudzubillah mindzalikRosululloh SAW. mengajarkan kepada kita bahwa fasilitas dan segala nikmat Allah yang ada di dunia ini adalah untuk dijadikan bekal hidup di akhirat. Beliau bersabda: Addunya mazroatul akhirot. Artinya: Dunia adalah tempat bercocok tanam/ladangnya akhirat. Jika di dunia ini seseorang gemar menanam amal kebaikan, baik ibadah mahdloh (murni) maupun ibadah ghoiru mahdloh (sosial), maka di akhirat kelak akan menuai hasilnya. Dewasa ini kuantitas calon jamaah haji Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan. Daftar tunggu keberangkatan jamaah haji di beberapa daerah mencapai waktu yang cukup lama. Di sebagian propinsi ada calon haji yang harus rela menunggu hingga 7 sampai 10 tahun. Jika mendaftar haji pada tahun 2012 maka akan mendapatkan giliran pemberangkatan tahun 2019-2022. Bahkan ada lagi daerah yang daftar tunggunya sampai mencapai waktu 20 tahun, itu berarti bahwa masyarakat muslim Indonesia telah banyak yang kaya dan mampu melaksanakan ibadah haji. Namun, setelah ditelusuri, ternyata meluapnya calon jamah haji ini disebabkan adanya program dana talangan haji oleh beberapa lembaga keuangan syariah. Lembaga Keuangan Syariah (LKS) mengeluarkan produk baru yang dinamakan dana talangan haji. Program tersebut dimaksudkan untuk membantuumat Islam yang merasa berat/ kurang mampu untuk membeli porsi haji secara tunai. Adapun mekanisme dana talangan haji tersebut bervariasi sesuai dengan kebijakan LKS masing-masing. Namun pada prinsipnya beberapa LKS tersebut sama dalam tujuan, yakni mencari keuntungan. Salah satu prakteknya adalah sebagai berikut: Saya mempunyai uang Rp 5.000.000,- kemudian saya datang ke LKS untuk mengajukan permohonan dana talangan haji. Selanjutnya LKS akan memberikan dana pinjaman sebesar Rp 20.000.000,- agar saya bisa mendapatkan porsi haji yang harganya sekitar Rp 25.500.000,-. Namun pinjaman ini tidak cuma-Cuma. Saya disyaratkan membayar fii ujroh(bea administarsi dll) sebesar Rp 2.000.000,-. Belum lagi jika saya tidak mampu melunasi dana pinjaman tersebut hingga jatuh tempo, maka akan dikenakan sanksi denda uang Rp 1.000.000,- ( informasi ini dari nara sumber salah satu LKS dalam sebuah forum). Ditinjau dari hokum fiqih, sebenarnya oang yang mampu berhaji dengan berhuntang belum dihukumi/ berpredikat mampu (istitoah) menjalankan ibadah haji. Namun, kebanyakan dari mereka yang mengikuti pogram ini, adalah karena khawatir tidak bisa berangkat haji dengan segera karena melihat penuhnya para jamaah yang telah mendaftar Allah berfirman dalam Q.S. Ali Imron: 97 Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Yaitu orang yang sanggup medapatkan perbekalan dan alat-alat pengangkutan serta sehat jasmani, dan rohani dan perjalaan aman. Memang kemampuan beribadah patut kita usahakan, akan tetapi agama tidak menganjurkan mengejar kemampuan menjalankan ibadah haji dengan berhutang, apalagi tersebut mengambil keuntungan (baca: Fee ujroh). Hadits Rosulullah SAW menjelaskan:Tidak halal menggabungkan antara piutang dengan jual beli (H.R. Abu Dawud dan At-tirmidzi). Diantara penjelasan ulama mengenai hadits ini adalah tidak boleh mengambil keuntungan dari akad/transaksi utang-piutang. Karena Kullu qordlin jarro nafan fahuwa riba, setiap piutang yang mengambil keuntugan berarti riba. Tentunya kita tidak rela, jika ibadah haji yang akan kita lakukan ternyata berbekal riba. Suatu ibadah yang tujuanya mencari ridlo Allah SWT, ternyata ternodai denga cara yang tidak halal. Bukankah dalam haditsnya, Rosul menjelaskan: Sesunguhnya Allah SWT adalah Dzat yang suci, tidak mau menerima kecuali sesuatu yang suci?. Termasuk diantaranya adalah dalam hal ibadah. Contoh, jika pakaian yang kita gunakan shlat satu persen uang yang digunakan untuk membelinya dari uang haram, maka Allah tidak akan menerima sholat tersebut. Maha suci Allah.

Riba berarti menetapkan bunga / melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan prosentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakana ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar sedangkan menurut istilah teknis (istilah) riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok/ modal secara bathil. Ada beberapa pendapat ulama dalam menjelaskan riba, Namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam. Al-Kisah, Orang-orang yang merekayasa riba menjadi halal, akan dibangkitkan dengan rupa anjing dan babi. Sebagaimana umat Nabi Musa (ashabussabti) yang dilarang oleh Allah mencari ikan pada hari sabtu. Mereka mempolitisir larangan itu dengan memasang kail pada hari sabtu kemudian diambillah ikan hasil tangkapanya pada hari ahad, mereka beranggapan bahwa , dengan mengambil ikan pada hari ahad berarti tidak melanggar larangan Alloh. Karena yang dilarang adalah berburu ikan pada hari sabtu. Namun apa yang terjadi? Ketika mereka melakukan hal itu Allah SWT mengadzab mereka dengan merubah wujud mereka menjadi kera dan babi. Al Habib Abdullah bin Alawiy Al Haddad menjelaskan; menurut jumhur ulama (mayoritas) merekayasa riba hukumnya haram dan akan berdampak murka Allah SWT. Meskipun minoritas ulama ada yang memperbolehkan, namun hal itu hanya melihat hukum dunia. Karena hukum dunia hanya menghukumi yang dzohir. Sedangkan hakikatnya, merekayasa (hailah) riba adalah pelanggaran berat. Sebagaimana prilaku orang munafik yang menampakkan iman dan menyembunyikan kekufuran.mereka, di dunia diperlakukan sama dengan orang mukmin. Akan tetapi, kelak di akhirat keadaanya akan lebih buruk dan lebih pedih siksanya dibandingkan dengan orang yang terang-terangan kafir. Kenapa demikian? Karena mereka menipu Allah. Padahal tidak ada sesuatu yang tidak diketahui olah Allah SWT. Allah Maha Mengetahui. Disisi lain orang-orang yang merekayasa riba beranggapan bahwa yang mereka lakukan adalah halal dan boleh hukumnya. Sehingga mereka tidak merasa salah dan perlu untuk bertaubat. Sedangkan orang yang melakukan keharaman dengan sadar bahwa hal tersebut haram, atas pertolongan Allah mereka akan mudah untuk bertaubat. Menutup uraian ini, mari kita berdoa semoga Allah memaafkan kesalahan umat islam, serta memberikan petunjuk pada jalan yang diridloi Nya. Allohumma Arinal Haqqo haqqo Warzuqnattibaah, Wa arinal bathila bathila warzuqnajtinabah. Birohmatika Ya arhamar Rohimin Wallohu Alam bisshowab. (Disarikan dari Arbain Nawawiyah, Isadurofiq dan berbagai sumber) A. Muqimulhaq Muhibbussholihin

You might also like