You are on page 1of 141

DAUR ULANG SAMPAH DAN PEMBUATAN KOMPOS

Oleh : Ir Martin Darmasetiawan MSi Penerbit :

EKAMITRA ENGINEERING

Ekamitra Engineering didirikan pada tahun 1993, sebagai perusahaan nasional yang bergerak dalam bidang jasa konsultasi, perusahaan ini dikelola oleh tenaga-tenaga yang profesional dan telah terbina dalam prinsip-prinsip efisiensi yang mengutamakan kualitas .
Sejak berdirinya hingga saat ini, Ekamitra Engineering telah banyak mendapat kepercayaan baik dari instansi pemerintah maupun swasta untuk berperan serta secara proaktif dalam penanganan bidang-bidang pekerjaan yang meliputi perencanaan, manajemen, dan pelatihan peningkatan sumberdaya manusia. Dengan kemampuan manajemen yang dimilikinya Ekamitra Engineering telah mempunyai tenaga ahli yang profesional dan peralatan yang memadai sebagai penunjang dalam melayani pekerjaan yang akan ditangani, terutama dalam bidang-bidang yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Pengembangan Kota Pengembangan infrastruktur kota: Air Minum Air Limbah dan Sanitasi Persampahan Drainase Konservasi Lingkungan Pemetaan Adapun lingkup yang dikerjakan meliputi: Studi kelayakan Rekayasa dan rancang bangun Supervisi Konstruksi Bantuan teknis monitoring dan evaluasi Manajemen dan pelatihan Pengembangan sumberdaya manusia Sistem Informasi dan Manajemen

Alamat Keresponden: Jl Kerinci 1/12 Jakarta Selatan Kebayoran Baru 12120 Tilp 021 725 4302 FAX 021 725 4008 Website : http://Ekamitra.cjb.net Email: persampahan@yahoo.com

KATA PENGANTAR
Selain dibuang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah juga dapat diadur ulang. Pada saat iniliteratur mengenai daur ulang sampah yang komprehensif yang dapat dipakai sebagai panduan dalam perencanaan maupun operasional masih terbatas. Umumnya yang ada sebagian besar merupakan modul modul training dan panduan operasional yang sifatnya parsial.

Oleh sebab itu kami memberanikan diri untuk merangkum literatur dan tulisan tersebut dalam suatu buku yang lebih komprehensif dan dapat dipakai sebagai panduan prsoses belajar, panduan untuk perencanaan maupun untuk pelaksanaan di lapangan.

Adapun tulisan yang menjadi referensi utama dalam buku ini adalah materi training yang dikeluarkan Departemen Kimpraswil pada tahun 1997, yang isi tujuannya adalah untuk melatih para operator persampahan dan TPA di lapangan.

Secara garis besar buku ini berisi mengenai : Konsep Zero Waste Pembuatan Kompos Pengelolaan Pembuatan Kompos Pembiayaan Pengkomposan

Kami berharap buku ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa , praktisi maupun halayak ramai yang ingin memahami Persampahan dan Pengelolaannya.

Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Ir Elisabet Pasaribu dan Ir Agus Riadi yang telah membantu menyelesaikan buku ini.

Di akhir kata, kami menyadari bahwa perangkuman ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan masukan demi berkembangnya ilmu persampahan sangat kami harapkan.

Jakarta, Juni 2004 Ir Martin Darmasetiawan MS

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Umum

Masalah sampah sebagai hasil aktivitas manusia di daerah perkotaan memberikan tekanan yang besar terhadap lingkungan, terutama bila tidak sampai terangkut dan akhirnya terakumulasi di tempat-tempat terbuka maupun badan air. Selain itu sampah yang diamankan di TPA, ternyata tidak mampu mengamankan lingkungan sekitarnya akibat pengelolaan yang kurang baik. Permasalahannya antara lain adalah:

Sampah yang dibuang di TPA 60-70% adalah materi organik yang mudah terurai. Sampah organik akan terdekomposisi dan dengan adanya limpasan air hujan terbentuk leachate (lindi/air sampah) yang akan mencemari sumber daya air baik air tanah maupun permukaan sehingga mungkin saja sumur-sumur penduduk di sekitarnya ikut tercemar.

Lindi yang terbentuk mengandung nilai BOD (Biological Oxygen Demand = Kebutuhan Akan Oksigen Biologis) mencapai ribuan bahkan puluhan ribu ppm. Selain itu dalam lindi juga mengandung bibit penyakit patogen, seperti tifus, hepatitis, dan sebagainya.

Lindi mungkin juga mengandung logam berat, mengingat sampah yang diamankan di TPA tersebut masih tercampur antara sampah domestik B3 seperti batu baterai dengan sampah domestik biasa.

Proses dekomposisi yang terjadi di TPA bersifat anaerobik, sehingga terbentuk gas-gas berbahaya seperti metan, H2S, dan gas-gas merkaptan lainnya. Kebakaran yang sering terjadi di TPA, salah satu pencetusnya adalah karena keberadaan gas-gas tersebut yang kemudian disulut oleh hal-hal kecil seperti puntung rokok yang masih menyala.

Kebakaran yang biasanya sulit untuk dipadamkan, akan meluas dan menimbulkan menyebabkan asap disertai bau yang menyengat, sehingga gangguan pernapasan baik petugas maupun

masyarakat sekitar.

Kepulan asap hasil pembakaran sampah harus dicermati, mengingat kemungkinan mengandung zat berbahaya lainnya yaitu dioksin, zat karsinogenik penyebab kanker yang merupakan hasil pembakaran tidak sempurna dari sampah plastik.

Selain masalah-masalah teknis seperti di atas, masalah non teknis pun menjadi kendala bagi pengelola sampah kota, antara lain:

Keterbatasan lahan, terutama bagi kota-kota raya dan besar, sering menimbulkan masalah, karena itu sampah harus dibuang ke wilayah tetangga.

Masalah kebersihan belum menjadi program prioritas di daerah. Hal ini berdampak pada alokasi biaya kebersihan yang masih sangat terbatas.

Masyarakat masih belum memahami bahwa masalah kebersihan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah dengan

masyarakat.

Hukum dan peraturan perundang-undangan belum dilaksanakan atau ditegakkan. 1.2. Paradigma Pengelolaan Sampah

Semua permasalahan di atas terjadi akibat hampir semua pemerintah daerah di Indonesia, masih menganut paradigma lama pengelolaan sampah kota, yang menitikberatkan hanya pada pengangkutan dan pembuangan akhir. TPA dengan sistem lahan urug saniter (sanitary landfill) yang ramah lingkungan, ternyata tidak ramah dalam aspek pembiayaan, karena membutuhkan biaya yang tinggi untuk investasi, konstruksi, operasi dan pemeliharaan.

Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, sudah saatnya pemerintah daerah mau merubah pola pikir yang lebih bernuansa lingkungan. Konsep pengelolaan sampah yang terpadu sudah waktunya diterapkan, yaitu dengan meminimasi sampah serta maksimasi kegiatan daur-ulang dan pengomposan disertai dengan TPA yang ramah lingkungan. Paradigma baru yang diharapkan dapat mulai dilaksanakan adalah dari orientasi pembuangan sampah ke 3

orientasi daur-ulang dan pengomposan. Melalui paradigma baru ini pengelolaan sampah tidak lagi merupakan satu rangkaian yang hanya berakhir di TPA (one-way street), tetapi lebih merupakan satu siklus yang sejalan dengan konsep ekologi. Energi baru yang dihasilkan dari hasil penguraian sampah maupun proses daur-ulang lainnya tidak hilang percuma. Berdasarkan perhitungan Direktorat Bintek-Dept. PU (1999), bila konsep pengelolaan sampah terpadu dengan strategi 3-M (mengurangi, menggunakan kembali, mendaurulang) dilaksanakan, maka sampah yang akan masuk ke TPA berupa residu hanya sebesar 15%. Sampah yang dapat dikomposkan

40%, didaur-ulang (20%), dan dibakar dengan menggunakan insinerator 25%. Gambar 1 di bawah ini menunjukkan paradigma lama pengelolaan sampah.

Pewadahan

Pengumpulan dan Pemindahan

Pengangkutan

Sumber Sampah Pembuangan Akhir

GAMBAR 1.1. PARADIGMA LAMA PENGELOLAAN SAMPAH

Keberhasilan penerapan paradigma baru ini dapat tercapai tentu melalui koordinasi yang baik dengan instansi terkait seperti Dinas Pertamanan, Dinas Pasar, Bapedalda, Kelurahan, dsb. Masyarakat tentu saja harus terlibat aktif, misalnya dalam kegiatan pemilahan dan pengumpulan sampah di sumber.

Pewadahan pemilahan dan pengolahan di rumah tangga : kompos, daur-ulang

Pengumpulan, Pemindahan, pengolahan skala kawasan:

Pengangkuta Pengolahan: -Daur-ulang -Kompos -Pembakaran -Pemadatan

Sumber Sampah

Pembuangan Akhir

GAMBAR 1.2. PARADIGMA BARU PENGELOLAAN SAMPAH

1.3.

MINIMASI SAMPAH

Minimasi limbah/sampah adalah upaya untuk mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas, dan tingkat bahaya limbah yang berasal dari proses produksi dengan reduksi dari sumber dan/atau pemanfaatan limbah.

Pada dasarnya minimasi limbah/sampah merupakan bagian dari pengelolaan limbah dan dapat mengurangi penyebaran limbah di lingkungan, meningkatkan efisiensi produksi dan dapat memberikan keuntungan ekonomi, antara lain:

a. Mengurangi biaya pengangkutan ke pembuangan akhir; b. Mengurangi biaya pembuangan akhir; pendapatan karena penjualan dan

c. Meningkatkan

pemanfaatan limbah.

Usaha minimisasi limbah di Indonesia telah dimulai di sektor industri pada tahun 1995 dengan membuat suatu komitmen nasional dalam penerapan strategi produksi bersih dalam proses industri. Walaupun demikian usaha serupa belum dimulai di sektor domestik/rumah tangga dan baru terbatas pada kegiatan pengumpulan dan sedikit daur-ulang.

Salah satu bagian dari minimasi limbah yang perlu diperhatikan adalah limbah atau sampah padat yang dihasilkan dari pengemasan (packaging) karena jumlah yang dihasilkan akan semakin meningkat

di masa mendatang. Upaya minimisasi limbah padat rumah tangga antara lain melalui kegiatan daur-ulang dan produksi kompos.

Sangat disayangkan bahwa Pemerintah Daerah belum memiliki komitmen yang kuat mengenai minimisasi limbah rumah tangga. Komitmen ini sudah seharusnya dituangkan dalam kebijaksanaan Pemda dan diperkuat dengan peraturan daerah. Di tingkat Pusat kegiatan 3-M (Mengurangi, Menggunakan kembali, Mendaur-ulang) sudah dibakukan melalui kebijaksanaan, strategi dan dijabarkan dalam pelaksanaan kegiatan yang lebih konkrit. Pelaksanaan kegiatan tersebut antara lain berupa pemberian paket bantuan proyek perintisan UDPK (Usaha Daur-ulang dan Produksi Kompos) di 50 kota Dati II di Indonesia. Petunjuk teknis, petunjuk pelaksanaan dan tata cara tentang kegiatan 3-M sudah disusun dan disebarluaskan melalui diseminasi-diseminasi oleh Ditjen Cipta Karya Dept. PU. Tetapi harapan untuk dapat merangsang Pemda melakukan kegiatan pengomposan dan daur-ulang sehingga dapat mengefisienkan biaya pengelolaan sampah kota ternyata belum dapat tercapai. 1.4. Penanganan Sampah 3-M

Penanganan sampah 3-M adalah konsep penanganan sampah dengan cara mengurangi (M1), menggunakan kembali (M2), dan mendaur-ulang sampah (M3) mulai dari sumbernya (Dit, Bintek DJCK, 1999). Penanganan sampah 3-M sangat penting untuk dilaksanakan dalam rangka pengelolaan sampah padat perkotaan yang efisien dan efektif sehingga diharapkan dapat mengurangi biaya pengelolaan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. 7

Berdasarkan perhitungan di atas kertas, bila sampah kota dapat ditangani melalui konsep 3-M, maka sampah yang akan sampai di TPA hanya 20% saja. Hal itu berarti akan sangat mengurangi biaya pengangkutan dan pembuangan akhir. Penanganan sampah 3-M akan lebih baik lagi bila dipadukan dengan siklus produksi dari suatu barang yang akan dikonsumsi.
SAMPAH 100 %

Sampah Organik 70%

Sampah Anorganik

28%

B3

2%

Pemanfaat an Lain 2%

Pengomposan

38%

Residu 30%
Pembakaran

Residu 8%

Daur-ulang

20%

Residu

4%

25%

10%

Residu

2,5%

5%

TPA Gambar 2.3. Potensi 3-M Dalam Pengelolaan Sampah (Bintek DJCK,1999) Langkah-langkah pengerjaan penanganan sampah 3-M dapat disesuaikan dengan sumber penghasil sampah, seperti daerah perumahan, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan daerah komersial.

Tabel 1,2, dan 3 berikut menjelaskan tentang upaya penanganan sampah 3-M di beberapa sumber sampah. Tabel 2.1. Upaya 3-M di Daerah Perumahan dan Fasilitas Sosial

Penanganan 3-M

Cara Pengerjaan

M-1

Hindari pemakaian dan pembelian produk yang menghasilkan sampah dalam jumlah besar Gunakan produk yang dapat diisi ulang Kurangi penggunaan bahan sekali pakai Jual atau berikan sampah yang telah terpilah kepada pihak yang memerlukan.

M-2

Gunakan kembali wadah/kemasan untuk fungsi yang sama atau fungsi lainnya Gunakan wadah/kantong yang dapat digunakan berulangulang. Gunakan baterai yang dapat diisi kembali.

M-3

Pilih produk dan kemasan yang dapat didaur-ulang dan mudah terurai Lakukan penanganan untuk sampah organik menjadi kompos dengan berbagai cara yang telah ada (sesuai ketentuan) atau manfaatkan sesuai dengan kreatifitas masing-masing. Lakukan penanganan sampah anorganik menjadi barang yang bermanfaat.

Tabel 2.2. Upaya 3-M di Fasilitas Umum

Penanganan 3-M

Cara Pengerjaan

M-1

Gunakan kedua sisi kertas untuk penulisan dan fotokopi. Gunakan alat tulis yang dapat diisi kembali. Sediakan jaringan informasi dengan komputer (tanpa kertas) Maksimumkan penggunaan alat-alat penyimpan elektronik yang dapat dihapus dan ditulis kembali. Khusus untuk rumah sakit, gunakan insinerator untuk sampah medis. Gunakan produk yang dapat diisi ulang. Kurangi penggunaan bahan sekali pakai.

M-2

Gunakan alat kantor yang dapat digunakan berulangulang. Gunakan peralatan penyimpan elektronik yang dapat dihapus dan ditulis kembali.

M-3

Olah sampah kertas menjadi kertas kembali. Olah sampah organik menjadi kompos.

10

Tabel 2.3. Upaya 3-M di Daerah Komersial (Pasar, Pertokoan, Restoran, Hotel) Penanganan 3-M Cara Pengerjaan Berikan insentif oleh produsen bagi pembeli yang mengembalikan kemasan yang dapat digunakan kembali. Berikan tambahan biaya bagi pembeli yang meminta kemasan/bungkusan untuk produk yang dibelinya. Memberikan kemasan/bungkusan hanya pada produk yang benar-benar memerlukannya. Sediakan produk yang kemasannya tidak menghasilkan sampah dalam jumlah besar. Kenakan biaya tambahan untuk permintaan kantong plastik belanjaan. Jual atau berikan sampah yang telah terpilah kepada yang memerlukannya. Gunakan kembali sampah yang masih dapat dimanfaatkan untuk produk lain, seperti pakan ternak. Berikan insentif bagi konsumen yang membawa wadah sendiri, atau wadah belanjaan yang diproduksi oleh swalayan yang bersangkutan sebagai bukti pelanggan setia. Sediakan perlengkapan untuk pengisian kembali produk umum isi ulang (minyak, minuman ringan). Jual produk-produk hasil daur-ulang sampah dengan lebih menarik. Berilah insentif kepada masyarakat yang membeli barang hasil daur-ulang sampah. Olah kembali buangan dari proses yang dilakukan sehingga bermanfaat bagi proses lainnya, Lakukan penanganan sampah organik menjadi kompos atau memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan. Lakukan penanganan sampah anorganik.

M-1

M-2

M-3

11

1.5.

Daur-Ulang dan Pengomposan

Secara garis besar, sampah dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik dapat terurai secara alamiah karena banyak berasal dari sisa daun-daunan, buah-buahan, sayuran, dan sisa makanan lainnya. Sementara itu sampah anorganik berasal dari bahan sintetis yang sukar terurai.

Kedua golongan sampah mempunyai potensi yang tinggi untuk didaur-ulang. Sampah organik didaur-ulang menjadi kompos, dan sampah anorganik didaur-ulang dalam proses selanjutnya pada industri daur-ulang.

Daur-ulang menggunakan prinsip 2-M dari 3-M yang ada yaitu menggunakan kembali (reuse) dan mendaur-ulang (recycle). 1.5.1. Menggunakan Kembali

Barang-barang yang habis dipakai dan tidak bermanfaat lagi disebut sampah. Anggapan ini berbeda bila benda-benda yang dianggap sampah karena sifat dan karakteristiknya dapat dimanfaatkan kembali tanpa melalui proses produksi. Sebagai contoh: berbagai jenis botol, perabotan rumah tangga, dan lainnya yang sudah tidak terpakai lagi. Melalui proses pencucian, perbaikan, maupun sedikit penggantian, benda-benda tersebut dapat digunakan kembali seperti semula. Dengan demikian fungsi benda-benda tersebut sebagai sampah menjadi tertunda. Sehingga pada saat itu jumlah sampah 12

akan berkurang sebesar jumlah benda yang dapat dimanfaatkan kembali. 1.5.2. Mendaur-ulang

Sampah didaur-ulang (recycled) untuk dijadikan bahan baku industri (raw material) dalam proses produksi (reprocessing dan

remanufacture).

Dalam proses ini, sampah sudah mengalami

perubahan baik bentuk maupun fungsinya. Sebagai contoh sampah plastik, karet, kertas, besi, tembaga, alumunium, dengan melalui proses mengalami perubahan bentuk dan fungsi menjadi produk akhir yang dapat digunakan kembali.

Kegiatan daur-ulang dan pengomposan dengan sampah perkotaan sebagai bahan baku mempunyai banyak keuntungan dan dapat diuraikan sebagai berikut : 1.5.3. Membantu meringankan beban pengelolaan sampah perkotaan.

Komposisi sampah di Indonesia sebagian besar terdiri atas sampah organik, sekitar 50% sampai 60% dapat dikomposkan sedangkan sampah anorganik sekitar 20% dapat didaur-ulang. Apabila hal ini dapat direalisasikan sudah tentu dapat membantu dalam pengelolaan sampah di perkotaan, yaitu : Memperpanjang umur tempat pembuangan akhir (TPA), karena semakin banyak sampah yang dapat dikomposkan, semakin sedikit sampah yang dikelola. 13

Meningkatkan efisiensi biaya pengangkutan sampah, disebabkan jumlah sampah yang diangkut ke TPA semakin berkurang. Meningkatkan kondisi sanitasi di perkotaan. Semakin banyak sampah yang dibuat kompos, diharapkan semakin sedikit pula masalah kesehatan lingkungan masyarakat yang timbul. Dalam proses pengomposan, panas yang dihasilkan dapat mencapai 600C, sehingga kondisi ini dapat memusnahkan mikroorganisme patogen yang terdapat dalam masa sampah.

a.

Dari segi sosial kemasyarakatan, daur-ulang dan pengomposan dapat meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah kota dan meningkatkan pendapatan keluarga.

b.

Daur-ulang

dan

pengomposan

berpotensi

mengurangi

pencemaran lingkungan perkotaan, karena jumlah sampah yang dibakar atau dibuang ke sungai menjadi berkurang. Selain itu aplikasi kompos pada lahan pertanian berarti mencegah pencemaran karena berkurangnya kebutuhan pemakaian pupuk buatan dan obat-obatan yang berlebihan.

c.

Membantu melestarikan sumber daya alam. Pemakaian kompos pada perkebunan akan meningkatkan kemampuan lahan kebun dalam menahan air, sehingga lebih menghemat kandungan air. Selain itu pemakaian humus sebagai media tanaman dapat digantikan oleh kompos, sehingga eksploatasi humus hutan dapat dicegah. Selain itu pemenuhan bahan baku pabrik dari hasil pemulungan sampah menyebabkan penggunaan bahan

14

baku yang berasal dari alam menjadi berkurang dan dapat ditekan

e. Pengomposan juga berarti menghasilkan sumber daya baru dari sampah, yaitu kompos, yang kaya akan unsur hara mikro.

1.6.

KEBIJAKSANAAN

Dalam rangka meningkatkan upaya daur-ulang dan pengomposan, maka Pemerintah dalam Agenda 21 Indonesia mengusulkan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pengelolaan sampah dalam periode 1998-2020 sebagai berikut: 1.6.1. Tahap I : 1998 2003

Meningkatkan komitmen pemerintah pada kegiatan daur-ulang dan pengomposan dengan cara: Menetapkan daur-ulang dan pengomposan sebagai salah satu tujuan utama dalam strategi pengelolaan limbah padat; Memantapkan kebijakan dan mengembangkan program proaktif untuk kegiatan daur-ulang dan pengomposan dalam program pengelolaan sampah nasional; Mengembangkan program daur-ulang untuk kemasan dan

memberi perhatian khusus kepada bahan yang limbahnya menjadi masalah yang aktual, seperti botol plastik; Menetapkan target nasional untuk daur-ulang dan pengomposan.

15

1. Memberi contoh perwujudan komitmen Pemerintah pada kegiatan daur-ulang dan pengomposan dengan mendorong instansi Pemerintah dan Badan Usaha Pemerintah untuk menggunakan produk-produk daur-ulang/pengomposan.

2. Mengkoordinasikan dan/atau mengintegrasikan kegiatan daurulang sektor informal seperti pemulung, pengusaha UDPK, dengan sektor formal seperti Pemerintah Daerah, dan juga Pemerintah Pusat. Kegiatan-kegiatannya dapat berupa:

Menyebarluaskan informasi tentang manfaat kegiatan koordinasi tersebut; Melakukan analisis terhadap alternatif struktur koordinasi atau kerjasama yang sesuai; Melakukan pendekatan terhadap terhadap anggota DPR, Walikota, dan lembaga terkait lannya; Memantapkan kriteria daur-ulang dan pengomposan dalam penilaian kebersihan kota Nasional; Memperbolehkan kegiatan daur-ulang dan pengomposan di lokasi TPS dan TPA, dan mengkoordinasikan rute transportasi dengan lokasi daur-ulang dan pengomposan;

Mengupayakan subsidi bagi kegiatan daur-ulang yang didasarkan transportasi; pada analisis penghematan biaya

Mempertimbangkan kemungkinan subsidi oleh Pemda untuk pembentukan badan usaha atau koperasi yang melakukan kegiatan daur-ulang dan pengomposan.

16

3. Meneruskan

pemberian

dukungan

secara berkelanjutan

kepada pelaku sektor informal seperti pemulung dan lapak dengan memberikan akses pinjaman untuk pengadaan peralatan pembuat kompos dan daur-ulang.

4. Mengembangkan masyarakat yang:

program

pendidikan

dan

penyadaran

Mempromosikan pemakaian produk yang menggunakan bahan daur-ulang melalui kampanye nasional, seminar, dan pemberitaan oleh media massa, dan; Menumbuhkan peran serta aktif masyarakat dalam

kegiatan daur-ulang dan pengomposan pada tingkat rumah tangga seperti pemisahan pada sumber sampah untuk sampah basah/organik dan sampah kering/anorganik.

5.

Mengembangkan dan menerapkan strategi pemasaran yang dapat meningkatkan jumlah pemakai kompos. Strategi ini dapat dibedakan atas strategi untuk pemakai jumlah besar seperti pertanian, perkebunan, pembibitan, dan sebagainya, dan pemakai jumlah kecil seperti rumah tangga.

6. Meninjau kembali kebijakan impor limbah untuk memastikan bahwa impor tadi tidak mengganggu industri daur-ulang lokal.

7. Melakukan penelitian untuk mengidentifikasi produk-produk baru yang dapat dihasilkan melalui usaha daur-ulang.

17

8. Menyediakan insentif bagi konsumen yang menggunakan produk hasil daur-ulang dan produsen yang mengemas produknya secara minim melalui instrumen seperti subsidi, product charge, dan deposit refund.

Program kegiatan yang diusulkan untuk dilaksanakan pada tahun 2003 2020 adalah sebagai berikut: 1.6.2. Tahap II : 2003 2020

1. Menerapkan sistem pengelolaan limbah yang mengintegrasikan minimasi, daur-ulang dan pengomposan, pengumpulan, serta pembuangan akhir yang akrab lingkungan. 2. Mengembangkan dan melaksanakan sistem pemisahan sampah, bila layak secara ekonomis, yang memisahkan sampah ke dalam beberapa kategori seperti bahan organik, gas, kertas, logam, dan sebagainya.

3. Melanjutkan penelitian tentang pemakaian dan pemasaran produk daur-ulang.

4. Menganalisis kelayakan ekonomi, keuangan, dan teknologi serta menerapkannya bila layak, seperti pemisahan/pemilahan mekanik berskala besar dan peralatan mekanik pembuatan kompos.

5. Mengevaluasi dan memperbaiki insentif dan disinsentif untuk daur ulang dan pengomposan sampah yang diterapkan di periode sebelumnya. 18

6. Melanjutkan dan memperbaiki program penataan dan penyuluhan masyarakat secara berkesinambungan yang mempromosikan pemakaian produk yang menggunakan bahan daur-ulang dan kompos.

Menyikapi dan sebagai tindak lanjut dari Agenda 21 Indonesia, Ditjen PUOD Depdagri mengeluarkan Draft Kep.Mendagri tentang

Pengelolaan Sampah (April 1997) yang menetapkan dasar hukum dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam rangka pelayananan sampah/kebersihan kota. Kepmen ini antara lain merekomendasikan sektor informal daur-ulang sampah (SIDUS) terdiri atas pemulung, lapak, dan bandar harus diintegrasikan ke dalam sistem pengelolaan sampah kota dan SIDUS diperbolehkan untuk menggunakan fasilitas kebersihan yang ada, seperti TPS-TPS yang ada. Selain itu kerjasama antara pemerintah daerah dengan sektor swasta juga diatur dalam Kepmen ini. Prinsip utamanya adalah kerjasama yang seimbang akan menghasilkan keuntungan yang berkualitas.

Target daur-ulang sampah kota adalah sebagai berikut: Daur-ulang 50% dari berat sampah sampah tahun 2000 dan 75% sampai dengan tahun 2005. Pembuatan kompos diharapkan dapat mencapai 25% dari total sampah organik sampai tahun 2000 dan 50% sampai tahun 2005.

1.7. SARANA PELAKSANAAN Menurut Agenda 21 Indonesia, sarana pelaksanaan sangat

dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan program daur-ulang dan 19

pengomposan. Sarana-sarana tersebut meliputi aspek pendanaan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengembangan sumber daya manusia, serta kelembagaan dan instrumen hukum. 1.7.1. Aspek Pendanaan

Sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah melalui otonomi daerah, maka pembiayaan dari Pemerintah Daerah sangat dibutuhkan terutama untuk program kampanye, pemasaran, pelatihan dan pemberian akses kepada pinjaman untuk unit pengomposan. Untuk kegiatan daur-ulang

1.7.2. Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Mengembangkan pengomposan.

teknologi

tepat

guna

daur-ulang

dan

Mengembangkan teknologi tepat guna untuk pemilahan sampah Mengembangkan pengetahuan mengenai ekonomi lingkungan untuk mengetahui instrumen ekonomi dan hukum seperti apa yang dapat mendorong pengurangan volume kemasan dan limbah dalam proses produksi.

1.7.3. Pengembangan Sumberdaya Manusia

Memasukkan sistem daur-ulang dan pengomposan ke dalam program pelatihan bidang pengelolaan sampah untuk aparat pemerintah daerah. 20

Melakukan pelatihan yang berkaitan dengan pembiayaan, teknologi, operasi dan pemasaran produk daur-ulang dan pengomposan terhadap pelaku sektor informal seperti pemulung dan lapak, masyarakat dan aparat pemda terkait.

Mengembangkan berbagai program penyuluhan dalam usaha mempromosikan pengomposan. penggunaan produk daur-ulang dan

1.7.4. Kelembagaan dan Instrumen Hukum

Meningkatkan kemampuan dan peran Pemda untuk mendukung pelaku sektor informal dan komersial, dengan cara misalnya:

Meningkatkan koordinasi di antara aparat Pemda terkait, sehingga dapat mengembangkan sistem koordinasi yang tepat antara sektor formal dan informal;

Meningkatkan pengetahuan aparat Pemda mengenai sistem daur-ulang dan pengomposan;

Menyediakan forum pertemuan dan diskusi antara pelaku dan instansi terkait.

Mendukung koperasi pemulung dan LSM yang bergerak di bidang daur-ulang dan pengomposan melalui misalnya pemberian akses terhadap pinjaman untuk pembelian peralatan daur-ulang dan pengomposan.

21

BAB II
PENERAPAN KONSEP ZERO WASTE DALAM PENGELOLAAN SAMPAH PERKOTAAN
2.1. Umum

Masalah sampah perkotaan merupakan masalah yang selalu hangat dibicarakan baik di Indonesia maupun kota kota di dunia, karena hampir semua kota menghadapi masalah persampahan.

Meningkatnya pembangunan kota, penambahan penduduk, tingkat aktifitas dan tingkat sosial ekonomi masyarakat, diiringi dengan meningkatnya jumlah timbulan sampah dari hari ke hari serta sarana dan prasarana pemerintah yang terbatas akan menambah

permasalahan sampah yang semakin kompleks. Terlebih lagi dengan masa krisis yang melanda Indonesia saat ini.

Dari hasil evaluasi kebersihan kota kota di Indonesia bahwa tidak seluruh sampah dapat diangkut oleh kendaraan pengangkut sampah untuk dibuang ke TPA. Hal ini disebabkan masih terbatasnya sarana dan prasarana yang dipunyai oleh Pemerintah Daerah, sehingga pada beberapa wilayah atau kawasan masih tampak sampah berceceran tidak terangkut yang apabila dibiarkan akan menimbulkan berbagai dampak negatif baik dari segi lingkungan, kebersihan, dan pada akhirnya berpengaruh pada kesehatan masyarakat. Dilain pihak 1

lahan untuk pembuangan akhir sampah di perkotaan semakin terbatas dan semakin mahal. Dengan demikian diperlukan suatu upaya terobosan pengelolaan sampah efektif dalam rangka

meningkatkan efesiensi dan pengurangan sampah semaksimal mungkin melalui pemanfaatan sampah melalui teknologi pengolahan tepat guna secara terintegrasi dan sedekat mungkin dari sumbernya.

2.2.

Sampah Sebagai Limbah

Sampah sebagai sumber pencemar lingkungan apabila tidak dikelola dengan baik akan mengakibatkan pengotoran lingkungan,

pencemaran air, tanah, tempat berkembangnya bibit penyakit, penyumbat saluran air yang menyebabkan banjir. Selain itu sering pula timbunan sampah merusak keindahan kota dan menimbulkan bau yang kurang enak.

Pengertian sampah diatas, sampah dapat diartikan sebagai limbah pada sisa aktivitas manusia/masyarakat, tidak terpakai, dapat bersifat organik maupun anorganik; karena membahayakan

kesehatan lingkungan harus dibuang/ disingkirkan/dikelola dari lingkungan. Dengan demikian diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk mengelola sampah perkotaan. 2.3. Sampah Sebagai Sumberdaya

Dilain pihak terdapat pengertian bahwa sampah merupakan potensi sumberdaya yang dapat dimanfaatkan sehingga mempunyai nilai

tambah sebagai produk daur ulang maupun produk baru. Dengan demikian diharapkan dapat menghasilkan pendapatan.

Penerapan konsep zero waste dalam pengelolaan sampah dalam hal ini mengikuti pengertian pada butir kedua yaitu memanfaatkan sampah semaksimal mungkin dengan cara pengolahan yang terintegrasi, sedekat mungkin dari sumber sampah, dan dapat menghasilkan produk baru atau bahan daur ulang dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
2.4. Komposisi dan Karakteristik Sampah

Komposisi dan karakteristik sampah merupakan hal yang terpenting dalam memilih teknologi pengolahan sampah. Komposisi sampah rata rata di Indonesia mayoritas adalah organik dengan komposisi 73.98%, selanjutnya diikuti oleh bahan anorganik 26.48%.

Tabel 2.1. Komposisi dan karakteristik sampah rata rata

No 1 2 3 4 5 6

Komponen Organik Kertas Kaca Plastik Logam Kayu

% 73.98 10.18 1.75 7.86 2.04 0.98

Kadar Air (%) 47.08 4.97

N. Kalor (kkal/kg) 674.57 235.55

2.28

555.46

0.32

38.28

7 8 9 10 Total

Kain Karet Baterai Lain lain

1.57 0.55 0.29 0.86 100

0.63 0.02

42.64 7.46

55.3

1553.96

Sumber : Studi Komposisi Dan Karakteristik BPPT, 1994


Dari penelitian yang pernah dilakukan, komposisi sampah bervariasi antara 70 80 %, nilai kalor sampah bervariasi antara 1000 2000 kkal/kg dan kadar air bervariasi antara 50 70 %. Dari data tersebut maka komponen organik masih merupakan komponen terbesar dan menyebabkan sampah kota mempunyai kadar air yang cukup tinggi. Karakteristik sampah diatas, maka sehari saja sampah dibiarkan menumpuk, maka akan terjadi kegiatan mikroorganisme anaerobik yang menyebabkan sampah berbau tidak sedap. Disisi lain sampah yang tidak terkelola dengan baik akan mengakibatkan

berkembangnya vektor penyakit.

2.5.

Penerapan Teknologi Pengolhan dan Pemanfaatannya dalam Pengelolaan Sampah

Salah satu untuk mengurangi jumlah sampah di perkotaan dan menunjang penerapan zero waste adalah dengan melakukan pengolahan sampah. Saat ini pengurangan/reduksi sampah hanya dilakukan melalui kegiatan pemulungan sampah (daur ulang) yang secara sporadis telah dilakukan oleh sektor informal (pemulung). Pengomposan sampah baru dilakukan dalam tahap skala kecil melalui Unit Daur Ulang dan Produksi Kompos (UDPK) yang ada 4

umumnya terletak di TPA, sehingga merupakan beban dan tugas yang harus dilakukan oleh Pemda untuk mengangkut sampah ke TPA.

Program daur ulang di Indonesia yang telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1986 baru dapat mencapai 1,8 %, kondisi ini belum cukup untuk mengurangi laju pertumbuhan jumlah sampah yang akan meningkat lima kalinya pada tahun 2020.

Dengan demikian penerapan teknologi pengolahan sampah sudah waktunya untuk dimulai, sehingga sampah sisa yang harus dibuang ke lahan pembuangan akhir hanya sedikit dan penggunaan lahan pembuangan akhir lebih lama, selain itu pencemaran lingkungan dapat ditekan.

Ada tiga jenis teknologi yang saat ini banyak diterapkan yaitu teknologi pengomposan sampah, teknologi pembakaran sampah dan teknologi daur ulang sampah.

2.5.1. Pengomposan Sampah

Pengomposan merupakan salah cara dalam mengolah bahan padatan organik untuk menjadi kompos yang secara nasional ketersediaan bahan organik dalam sampah kota cukup melimpah yaitu antara 70 80 %. Sayangnya, sebagian besar sampah kota belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai kompos. Pada dasarnya pengomposan merupakan proses degradasi materi organik menjadi stabil melalui reaksi biologis mikroorganisme dalam kondisi 5

yang terkendali. Teknologi pengomposan sampah yang dilakukan saat ini sangat beragam ditinjau dari segi teknologi maupun kapasitas produksinya antara lain :

Pengomposan dengan cara aerobik, Pengomposan dengan cara semi aerobik, Pengomposan dengan reaktor cacing, dan Pengomposan dengan menggunakan additive.

Kompos sebenarnya mempunyai nilai pasar, akan tetapi studi BPP Teknologi pada tahun 1990 menemukan bahwa hanya 4% dari pedagang tanaman hias yang menjual kompos karena kompos ini kurang populer pada masyarakat.

Kompos yang dihasilkan dari pengomposan sampah ini dapat digunakan untuk :

Menguatkan struktur lahan kritis; Menggemburkan kembali tanah pertanian; Menggemburkan kembali lahan pertamanan; Sebagai bahan penutup sampah di TPA; Reklamasi pantai, pasca penambangan ; Sebagai media tanaman, mengurangi pupuk kimia.

2.5.2. Pembakaran Sampah

Teknologi pembakaran sampah dalam skala besar/skala kota dilakukan di instalasi pembakaran yang disebut juga dengan insinerator. Dengan teknologi ini, pengurangan sampah dapat mencapai 80 % dari sampah yang masuk, sehingga hanya sekitar 20% yang merupakan sisa pembakaran yang harus dibuang ke TPA. Sisa pembakaran ini relatif stabil dan tidak dapat membusuk lagi, sehingga lebih mudah penanganannya.

Keberhasilan penerapan teknologi pembakaran sampah sangat tergantung dari sifat fisik dan kimia sampah serta kemampuan dana maupun manajemen dari Pemerintah Daerah. Sifat fisik dan kimia sampah yang sesuai diolah dengan teknologi ini menurut instalasiinstalasi yang sudah beroperasi terdahulu adalah :

Nilai kalor sampah campuran antara 950 2.100 kkal/kg, Kadar air antara 35 55 % dan Kadar abu antara 10 30 %. Pemanfaatan sisa abu hasil pembakaran ini dapat digunakan antara lain : Sebagai pengganti tanah penutup lahan TPA, pasca penambangan. Sebagai tanah urug. Sebagai campuran bahan konstruksi (batako, paving block, dsb).
7

Sebagai campuran kompos.


2.5.3. Daur Ulang Sampah

Kegiatan daur ulang sampah sudah dimulai sejak beberapa tahun terakhir ini yang dilakukan oleh sektor informal. Para pemungut barang bekas yang disebut pula dengan pemulung, melaksanakan kegiatan pemungutan sampah dihampir seluruh subsistem

pengelolaan sampah. Komponen sampah yang mempunyai nilai tinggi untuk dimanfaatkan kembali, berdasarkan penelitian BPP Teknologi tahun 1990, adalah sampah kertas, logam dan gelas. Prosentase sampah tersebut (dari jumlah awal) yang diambil oleh pemulung adalah seperti pada Tabel berikut ini :

Tabel 2.1. Prosentase Pengambilan Sampah Oleh Pemulung

No. 1. 2. 3. 4.

Komponen Sampah Kertas Plastik Logam Gelas

% 71,20 67,05 96,09 85,05

Beberapa pemanfaatan sampah kering yang dapat dihasilkan dari pengolahan sampah untuk daur ulang dan mempunyai nilai ekonomis antara lain :

A. Sampah Kertas

Jenis kertas bekas serta produk daur ulang yang dapat dihasilkan dari hasil pengolahan kertas dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

No. 1.

Jenis Kertas Bekas Kertas komputer dan

Sumber Perkantoran, percetakan sekolah dan

Produk Recycling Kertas komputer, kertas tulis dan art paper

kertas tulis

2.

Kantong kraft

Pabrik, pasar dan pertokoan

Kertas paper

kraft

dan

art

3.

Karton dan box

Pabrik, dan pasar

pertokoan

Karton dan art paper

4.

Koran, majalah dan buku

Perkantoran, pasar dan rumah tangga

Kertas koran dan art paper Kertas tulis tissue, kualitas kertas rendah

5.

Kertas bekas campuran

Rumah perkantoran,

tangga, LPS/

TPA dan Pertokoan 6. Kertas makanan pembungkus Pertokoan, tangga perkantoran 7. Kertas tissue Rumah tangga, rumah dan

dan art paper Tidak ulang dapat di daur

Kertas sangat dapat kembali)

tissue jarang didaur

(tetapi yang ulang

perkantoran, rumah makan pertokoan Sumber : Kajian Pengelolaan Kertas, Dep. PU, DTW, 1999 dan

B. Sampah Plastik

Pada umumnya sampah plastik sebagian besar dapat diolah baik menjadi: a. Produk baru ; alat rumah tangga seperti ember, bak tali plastik. b. Digunakan kembali seperti pembungkus, pot tanaman, tempat bumbu. c. Sebagai bahan industri daur ulang seperti pellet, biji plastik.

C. Logam Logam yang dihasilkan dari sampah kota dapat dimanfaatkan antara lain :

Digunakan kembali seperti kaleng susu. Dijadikan produk baru, seperti tutup botol kecap, mainan. Sebagai bahan tambahan atau bahan baku industri seperti industri logam.
D. Bahan lain Bahan lain seperti, gelas, karet mempunyai prosentase yang cukup kecil dalam komponen sampah kecuali pada kasus tertentu. Oleh karena itu dalam skala kecil tidak ekonomis untuk diolah.

10

Aplikasi teknologi pengolahan sampah, sedikitnya dapat memberikan solusi pada permasalahan kesulitan lahan untuk TPA. Akan tetapi, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dengan matang untuk menerapkan teknologi diatas. Teknologi yang saat ini digunakan untuk pengolahan sampah skala besar, baik itu pengomposan maupun pembakaran sampah, rata-rata menggunakan teknologi yang cukup canggih, melalui sistem mekanis/hidrolis yang bekerja semi atau bahkan otomatis penuh. Instalasi pengolahan tersebut biasanya memerlukan dana yang cukup besar untuk operasi maupun investasi dan sumber daya manusia yang mempunyai keahlian tertentu.

Beberapa pertimbangan tersebut antara lain :

Dana yang cukup, baik untuk investasi maupun operasi instalasi pengolahan. Dana untuk pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia dari tingkat masyarakat sampai tingkat

pengelolaan kota. Kelembagaan yang sudah mapan termasuk didalamnya sumber daya manusia. Sarana dan prasarana yang memadai sebagai pendukung kelancaran operasi sistem pengelolaan sampah. Partisipasi masyarakat dalam sistem pengelolaan persampahan termasuk didalamnya kesediaan membayar iuran sampah, menjaga kebersihan lingkungan dan lain-lain. Perangkat hukum dan peraturan.

11

Secara umum penerapan teknologi pengolahan sampah perkotaan dan pemanfaatannya dapat dilihat gambar dibawah ini :
TEPUNG PROTEIN

GAS KOMPOS GAS ORGANI K


Pengumpulan

TPS

COMPOS TING
Pengangkut an

SISA

SANITA RY

SARANA REKREAS I BAHAN BAKU INDUSTRI PENAMB AHAN LUAS DARATAN

SAMP AH KOTA Pengangkutan

DAU R
SISA YANG TIDAK DAPAT

REKLA MASI SISA YAN G

ANORGANIK

TPS

Pengumpul an

INSTAL ASI PEMBA KARAN

SISA GAS BERSIH ATMOS FER KUALITA S AIR YANG TIDAK ENERGI

GAMBAR

2.1

DIAGRAM

PENERAPAN

TEKNOLOGI

PENGOLAHAN SAMPAH PERKOTAAN DAN PEMANFAATANNYA

12

2.6.

Penerapan Zero Waste dalam Industri Daur Ulang Sampah ( Model Kawasan 2 4 Ton/Hari )

Sejalan dengan Kebijaksanaan dan Strategi Nasional Pembangunan Bidang Persampahan yaitu ditekankan perlunya melakukan proses pengurangan volume sampah dan penanganan sampah sedekat mungkin dengan sumbernya, maka konsep ini dilakukan dengan mendirikan industri kecil daur ulang sampah di daerah kawasan melalui pemberdayaan masyarakat sekitar untuk diajak berperan aktif dalam membentuk usaha daur ulang.

Pemberdayaan masyarakat dalam industri daur ulang sampah merupakan salah satu sistem pelayanan dari, oleh dan untuk masyarakat dengan menggunakan sistem pengolahan secara terpadu yaitu menerapkan beberapa jenis pengolahan secara simultan untuk menghasilkan produk maupun bahan daur ulang.

2.6.1. Teknologi Pengolahan Sampah Sampah yang dihasilkan dari setiap sumber di kawasan tersebut diangkut menuju ke lokasi industri, selanjutnya dilakukan pemisahan sampah organik dan anorganik.

Proses pengolahan yang dilakukan adalah pengomposan (windrow/ vermi/additive), daur ulang kertas, plastik dan logam. Sisa bahan yang tidak dapat didaur ulang direduksi dengan instalasi pembakaran skala kecil. Sisa abu hasil pembakaran diproses sebagai bahan

13

konstruksi maupun campuran kompos untuk menaikkan karbon pada produk tertentu. Dibawah ini digambarkan material balance pengolahan sampah secara terpadu skala kawasan dengan kapasitas 2 ton (10 m3) sampah perhari dalam industri kecil daur ulang sampah

Pengenalan Ke Masyarakat gratis di DP 0.08 ton(4%) Organik 1,6 ton (80%)

Kompos/Vcompo st 0.4 ton (20%) Keperluan Pemda, Pertanian, Perkebunan, Komersial 0.3 ton (16%)

Berat hilang 0.96 ton

Terbakar Sumber sampah Pemukiman 2 ton (100%) Sisa proses 0.24 ton (12%) Instalasi Pembakaran Sampah 0.36 ton Sisa daur ulang 0.12 ton (6%) Sisa 0.07 ton (3.5%) 0.29 ton

An-organik 0.4 ton (20%) Dimanfaatka n 0.28 ton (14%) Camp. kompos 0.07 ton

Gambar.2.2. Diagram sistem pengelolaan sampah skala pelayanan 1000 KK (2 ton/hari) 14

2.6.2. Produk yang dihasilkan Produk yang dihasilkan industri kecil daur ulang sampah skala kawasan dengan kapasitas 10 m3 sampah adalah : A. Kompos/Vermi Compost 0,4 ton/hari atau 12 ton/bln.

1. Bahan daur ulang 0,28 ton/hari atau 84 ton/bln yang terdiri dari kertas karton, biji plastik dan logam. 2. Cacing tanah sebagai reaktor sampah.

B. Kemana Produk Akan Diserap

Untuk menampung dan memasarkan produk daur ulang dan cacing tanah dari industri kecil tersebut antara lain : Industri dapat memasarkan sendiri produknya. Terdapatnya lembaga penyangga produk daur ulang yang bertugas untuk mengembangkan dan mengatur, menampung dan menyalurkan hasil produk daur ulang dengan menyusun jaringan pemasaran nasional dan internasional. Lembaga penyangga dalam hal ini dapat berbentuk koperasi atau forum komunikasi yang dapat mengakomodasi antara produk dan permintaan pasar, serta salah satu pemberi masukan ke Pemerintah guna menunjang keberhasilan dalam bidang kebersihan lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat kecil menengah dalam

peningkatan kesejahteraan masyarakat.

15

C. Lokasi Industri Kecil Daur Ulang Sampah

Wilayah kegiatan penerapan zero waste dapat dilakukan di setiap kawasan pelayanan sampah seperti permukiman, komersial, industri, perkantoran dan pasar.

Besar kecilnya kapasitas produksi industri kecil daur ulang sampah tergantung pada luas lahan dan kondisi setempat yang terdapat di kawasan tersebut. Pada umumnya untuk satu depo sampah yang telah disediakan oleh Pemda adalah 250 500 m2 untuk melayani 5000 8000 jiwa (1000 KK) dengan kapasitas sampah masuk adalah 10 20 m3 perhari.

Industri kecil daur ulang sampah daerah kawasan ini akan melakukan pengolahan sampah dengan kapasitas tampung minimal 10 m3/hari dengan kebutuhan lahan minimal 400 m2 per modul.

D. Organisasi

Organisasi pengelola industri kecil ini terdiri dari Pemda, masyarakat dan pemulung yang berada di depo tersebut.

Dalam satu industri daur ulang terdiri dari : 1 orang kepala unit 4 orang bidang teknik

16

1 orang administrasi dan keuangan 4 orang tenaga lepas/pemulung (disesuaikan)

E. Pendanaan

Untuk menjalankan industri kecil daur ulang sampah ini dana yang didapat meliputi :

1. Dana investasi awal berasal antara lain Pemda, swasta, koperasi maupun dari sumber lain.

2. Dana untuk menjalankan industri daur ulang yang secara bergulir dapat dikembangkan dapat berasal dari iuran kebersihan warga yang telah berjalan, sebagian dana penghematan operasional Pemda, hasil penjualan produk daur ulang bahan anorganik, kompos/kacing (vermicompost) dan cacing.

Beberapa keuntungan dan kendala dalam penerapan industri kecil dalam pengolahan sampah terpadu model kawasan antara lain :

Keuntungan : 1. Mengatasi permasalahan lingkungan yang diakibatkan oleh sampah kota. 2. Mengurangi beban Pemda dalam penanganan sampah kota.

17

3. Melakukan pengolahan sampah kota untuk diolah menjadi produk yang mempunyai nilai jual. 4. Mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke TPA. 5. Menciptakan usaha pengolahan sampah dalam suatu industri kecil daur ulang dan kompos.

Kendala yang dihadapi :

1. Kurang populernya kompos di masyarakat menyebabkan kompos sebagai produk utama merupakan faktor yang perlu

diperhitungkan dalam tujuan komersial. 2. Telah terdapatnya mata rantai penjualan bahan daur ulang anorganik hasil pemulung.

2.7.

Kesimpulan

Dari uraian singkat diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut : Masalah pembuangan sampah sudah merupakan masalah yang cukup pelik bagi Pemerintah Daerah, terutama dalam penyediaan lahan untuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Aplikasi beberapa jenis teknologi pengolahan sampah secara terpadu seperti pengomposan dan pembakaran dapat

mengurangi kebutuhan lahan TPA dan efisiensi pengangkutan sampah. Penerapan industri kecil daur ulang merupakan salah satu alternatif penciptaan produk dari sampah perkotaan yang dapat 18

dikembangkan menjadi usaha komersial yang dapat dilakukan oleh masyarakat maupun swasta dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat. Dengan belum populernya kompos pada masyarakat, sistem pengolahan terpadu dapat menjembatani dengan

mendistribusikan sebagian kompos kemasyarakat.

19

BAB III
PEMILAHAN SAMPAH PERKOTAAN
3.1. Umum

Pemilahan sampah adalah langkah yang sangat penting dalam proses pembuatan kompos. Tujuan utamanya adalah untuk

memperoleh bahan baku atau material sampah yang baik untuk dibuat kompos. Keuntungan dari pemilahan yang baik adalah proses pembuatan kompos dapat berlangsung lebih cepat, karena bahan yang terpilih untuk pengomposan sesuai dengan kondisi yang ideal, sehingga dengan sendirinya kualitas komposnyapun menjadi lebih baik.

Apabila dalam suatu tumpukan bahan yang akan dikomposkan mengandung bahan berbahaya seperti obat-obatan kadaluarsa, bahan kimia, logam berat, dan sebagainya yang dapat membunuh jasad renik pengurai, maka proses pembuatan kompos tidak dapat berjalan dengan baik bahkan dapat terhenti sama sekali. Kompos yang dihasilkan, apabila ada, mungkin sudah tercemar, sehingga kualitasnya menjadi rendah atau tidak dapat digunakan karena dapat membahayakan lingkungan termasuk manusia. Selain bahan atau material sampah yang berbahaya, sampah organik yang berserat tinggi seperti batang pohon, pelepah pisang, kulit durian,

tempurung/sabut kelapa, dan sebagainya dapat menghambat proses 1

pengomposan karena keras dan sukar terurai. Sampah jenis ini digolongkan ke dalam sampah residu.

Untuk mendapatkan proses dan hasil pengomposan yang baik, perlu diketahui jenis material sampah yang dapat dikomposkan dengan cepat. Jenis bahan yang memerlukan waktu lama untuk membusuk, maupun yang membahayakan proses pengomposan perlu dikenali, karena harus dihindarkan.

Proses pemilahan dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung pada proses pengolahan sampah selanjutnya. Pada proses

pengomposan atau daur-ulang sampah skala besar, biasanya pemilahan sampah dilakukan secara mekanik, sedangkan untuk pembuatan kompos skala lingkungan (misalnya: skala kelurahan, RT/RW) dan skala rumah tangga, pemilahan dilakukan secara manual dengan menggunakan tenaga manusia. Proses pemilahan sampah memerlukan ketelitian dan keterampilan yang dapat dikembangkan melalui pengalaman dan kebiasaan. 3.2. Klasifikasi Sampah

Sampah rumah tangga dapat dipisahkan menjadi 3 (tiga) bagian besar, yaitu: Barang Lapak

A.

Barang lapak adalah barang/benda/sampah yang masih dapat dimanfaatkan atau diperjualbelikan, sehingga merupakan salah satu 2

sumber penghasilan bagi pengusaha kompos atau ibu rumah tangga. Jenis sampah yang termasuk golongan ini adalah: segala jenis

kertas, karton, besi bekas, kaleng, plastik, botol, berbagai jenis karet, dll. Barang-barang ini dapat disimpan dalam suatu wadah sebelum dijual atau diberikan kepada yang memerlukan.

B.

Bahan organik yang dapat dikomposkan

Sampah yang termasuk dalam ketegori ini adalah material organik yang mudah atau cepat membusuk. Contoh bahan organik yang dapat dikomposkan adalah sebagai berikut: rumput, daun-daunan, sisa makanan, buangan dapur, sisa sayuran, sisa buah-buahan, serbuk gergaji, dll.

C.

Residu

Jenis sampah yang termasuk dalam kelompok ini adalah material yang tidak kita butuhkan lagi, baik untuk pengomposan maupun sebagai bahan lapak (dapat didaur-ulang). Termasuk di dalam kategori ini adalah material organik yang sukar terurai, seperti: kulit telur, kulit durian, dsb. Selain itu adalah barang lain yang tidak termasuk bahan lapak, dan barang-barang yang dianggap

berbahaya, seperti batu baterai, pecahan lampu neon, dsb.

Gambar 3.1. Material sampah yang dapat dipilah


3.3. Metode Pemilahan Sampah

3.3.1. Pemilahan sampah pada sumbernya

Pemilahan sampah di sumber sampah misalnya di rumah tangga, sangat membantu proses pengolahan sampah selanjutnya, di lain pihak juga memudahkan pemulung untuk mengambil benda-benda yang masih bernilai ekonomis tanpa merusak/mengganggu sistem

pewadahan,

misalnya

sampah

dibongkar

kembali

sehingga

berserakan dan pada akhirnya mengurangi nilai estetika lingkungan.

Pemilahan sampah di sumbernya diharapkan dapat berjalan baik dengan syarat pola pengelolaan sampah juga harus dirubah. Sistem pengumpulan sampah, diatur sedemikian rupa sehingga sampah organik dan anorganik dapat dikumpulkan dan diangkut pada hari yang berbeda.

Masyarakat penghasil sampah dan pemulung harus diberi informasi terlebih dahulu mengenai tata cara pemilahan sampah antara lain melalui penyuluhan. Apabila tidak ada pemberitahuan awal, para pemulung akan tetap mengacaukan sistem pewadahan di rumah tangga. Informasi untuk pemulung dapat diberikan melalui ketua kelompok, bandar (lapak), atau mereka dapat langsung dikumpulkan di suatu tempat dan diberi penjelasan. Pemilahan di sumber sampah juga merupakan cara yang baik bagi pemulung untuk melindungi kesehatan mereka dari kemungkinan terkontaminasi penyakit yang berasal dari sampah.

Salah satu cara meningkatkan peranserta masyarakat adalah melalui pemberian insentif, bila mereka telah melakukan pemilahan dengan baik dan benar. Pemberian insentif dapat berupa potongan pembayaran iuran kebersihan atau bentuk-bentuk lain yang dapat meningkatkan minat ibu-ibu rumah tangga akan pemilahan sampah.

Metode ini diterapkan untuk memisahkan benda-benda yang sukar dipilah dengan mesin. Fasilitas yang dibutuhkan antara lain: 5

Ban berjalan (conveyer belt), para pekerja berdiri di salah satu atau kedua sisi ban berjalan sambil mengambil barang/benda yang telah ditentukan. Kontainer/wadah khusus untuk menampung benda-benda yang masih bernilai. Fasilitas keamanan dan sanitasi, seperti sarung tangan, masker, dll.

Sistem ventilasi yang baik dalam ruangan pemilahan sangat dibutuhkan oleh para pekerja dan juga pengaturan waktu istirahat serta pergantian waktu kerja (shift) sangat diperlukan untuk menjaga kondisi kesehatan mereka. 3.4. Pemilahan Sampah di Lokasi Pengolahan

Proses pemilahan sampah di lokasi pengolahan sampah pada umumnya dilakukan secara mekanis, yaitu antara lain dengan menggunakan tenaga angin, tenaga magnetik, getaran, perbedaan densitas, dll. Selain itu dapat juga dikombinasikan dengan tenaga manusia (manual) dengan tujuan untuk memisahkan sampah yang sukar dipilah secara mekanik. 3.5. Pemilahan Sampah Berdasarkan Ukuran Partikel

Proses ini dilaksanakan berdasarkan ukuran partikel sampah. Cara ini dapat lebih efektif apabila sebelum dipisahkan, sampah diproses terlebih dahulu dengan cara memperkecil ukuran partikel sampah. 6

Apabila biaya yang ada terbatas, biasanya pemrosesan awal dapat diabaikan. Terdapat dua tipe pemisahan berdasarkan ukuran

partikel, yaitu pemisahan dengan getaran (vibrating screen), dan pemisahan pemutaran alat tapis berlubang (rotary screen). Kedua cara pemisahan ini merupakan cara yang sangat sederhana

pengoperasiannya. Rotary screen berbentuk seperti drum dengan lubang-lubang dengan ukuran bervariasi di dindingnya. Sampah yang berukuran lebih kecil dari lubang akan lolos dan ditampung dengan bin/kontiner di bawahnya. Demikian pula yang terjadi pada vibrating screen yang cara kerjanya berdasarkan atas timbulnya getaran.

loading Vibrator motors Spreader deck

Screer deck

reject

Spring mounting motion

Gambar 3.2. Vibrating Screen

Feed Blades or Prongs used as bag breshers Feed

Oversize material Underflow material (size 1) Underflow material (size 2) Waste lears

Oversize material

Gambar 3.3. Rotary Screen (Trommel)

3.6.

Pemisahan Sampah Berdasarkan Densitas

Pemisahan sampah berdasarkan densitas disebut juga pemisahan dengan metode zig-zag. Cara pemisahan ini merupakan salah satu cara yang umum digunakan untuk memisahkan sampah berdasarkan atas densitas (berat jenis) sampah. Material yang sifatnya ringan akan terbawa aliran udara yang dialirkan dari dasar alat ke atas, sedangkan material yang berat akan jatuh dan dikumpulkan di dasar alat (lihat Gambar. 3).

Udara keluar

Aliran untuk komponen ringan

Pemisah siklon In feed conveyor Komponen yang ringan Rotary air lock Alat pemisah dengan udara Path of heavy material Ban berjalan

Komponen yang berat Udara keluar Ban berjalan

Gambar 3.4. Zigzag Clarifier 3.7. Pemisahan Magnetik

Pemisahan sampah dengan tenaga magnet biasanya digunakan untuk memilah partikel-partikel metal-ferous yang terdapat dalam komponen sampah. Terdapat dua jenis alat pemisah sampah magnetik yang sering digunakan, yaitu: 3.7.1. Pemisah Magnetik TipeTersuspensi

Terdiri dari magnet / elektromagnet yang letaknya permanen di bawah ban berjalan. Sampah yang mengandung metal ferous akan ditangkap oleh magnet yang dikumpulkan dalam wadah yang telah ditentukan.

Suspended stationary magnet

Ban berjalan

Ferrous material

conveyor

sampah

Gambar 3.5. Pemisah Magnet Tipe Tersuspensi 3.7.2. Pemisah Magnet Tipe Drum

Terdiri dari magnet/elektromagnet yang letaknya permanen di ujung ban berjalan dan dapat langsung memisahkan partikel-partikel metalferous dari komponen sampah.

Magnet Sampah

Conveyor belt

Ferrous material Nonferrous material

Gambar 3.6. Pemisah Magnetik Tipe Drum 10

Gambar 3.6. Ilustrasi Pusat Daur-ulang Sistem Terpadu 11

BAB IV PEMBUATAN KOMPOS DAN PERMASALAHANNYA 4.1. Umum

Pengomposan didefinisikan sebagai suatu proses dekomposisi (penguraian) secara biologis dari senyawa-senyawa organik yang terjadi karena adanya kegiatan mikroorganisme yang bekerja pada suhu tertentu. Pengomposan merupakan salah satu metoda

pengelolaan sampah organik menjadi material baru seperti humus yang relatif stabil dan lazim disebut kompos. Pengomposan dengan bahan baku sampah domestik merupakan teknologi yang ramah lingkungan, sederhana dan menghasilkan produk akhir yang sangat berguna bagi kesuburan tanah atau tanah penutup bagi landfill . 4.2. Keuntungan Pengkomposan

Pengomposan dengan sampah perkotaan sebagai bahan baku mempunyai banyak keuntungan dan dapat diuraikan sebagai berikut :

A. Membantu meringankan beban pengelolaan sampah perkotaan. Komposisi sampah di Indonesia sebagian besar terdiri atas sampah organik, sekitar 50% sampai 60% dapat dikomposkan. Apabila hal ini dapat direalisasikan sudah tentu dapat membantu dalam pengelolaan sampah di perkotaan, yaitu :

1. Memperpanjang umur tempat pembuangan akhir (TPA), karena semakin banyak sampah yang dapat dikomposkan, semakin sedikit sampah yang dikelola. 1

2. Meningkatkan

efisiensi

biaya

pengangkutan

sampah,

disebabkan jumlah sampah yang diangkut ke TPA semakin berkurang. 3. Meningkatkan kondisi sanitasi di perkotaan. 4. Semakin banyak sampah yang dibuat kompos, diharapkan semakin sedikit pula masalah kesehatan lingkungan

masyarakat yang timbul. Dalam proses pengomposan, panas yang dihasilkan dapat mencapai 600C, sehingga kondisi ini dapat memusnahkan mikroorganisme patogen yang terdapat dalam masa sampah.

B. Dari

segi

sosial

kemasyarakatan, masyarakat

pengomposan dalam

dapat

meningkatkan

peranserta

pengelolaan

sampah kota dan meningkatkan pendapatan keluarga.

C. Pengomposan berpotensi mengurangi pencemaran lingkungan perkotaan, karena jumlah sampah yang dibakar atau dibuang ke sungai menjadi berkurang. Selain itu aplikasi kompos pada lahan pertanian berarti mencegah pencemaran karena berkurangnya kebutuhan pemakaian pupuk buatan dan obat-obatan yang berlebihan.

D. Membantu melestarikan sumber daya alam. Pemakaian kompos pada perkebunan akan meningkatkan kemampuan lahan kebun dalam menahan air, sehingga lebih menghemat kandungan air. Selain itu pemakaian humus sebagai media tanaman dapat digantikan oleh kompos, sehingga eksploatasi humus hutan dapat dicegah. 2

E. Pengomposan juga berarti menghasilkan sumberdaya baru dari sampah, yaitu kompos, yang kaya akan unsur hara mikro.

Pengomposan merupakan salah satu solusi teknis yang baik bagi negara berkembang dalam rangka mereduksi sampah domestik, terutama bagi negara-negara dengan iklim arid dan mempunyai masalah dengan tanah yang kurang subur. Selanjutnya WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa agar pengomposan dengan bahan baku sampah domestik dapat berjalan dengan sukses, maka harus dapat dicapai beberapa persyaratan sebagai berikut:

1. Jenis sampah sesuai untuk pengomposan; 2. Pangsa pasar untuk kompos maksimal berjarak 25 km dari kota; 3. Dukungan dari instansi yang terkait dengan pertanian; 4. Harga kompos terjangkau oleh petani. 4.3. Prinsip Prinsip Biologis

Pada dasarnya proses pengomposan adalah suatu proses biologis. Hal ini berarti bahwa peran mikroorganisme pengurai sangat besar. Menurut Tchobanoglous et al. (1993) dan Polprasert (1989), prinsipprinsip proses biologis yang terjadi pada proses pengomposan meliputi 1) kebutuhan nutrisi untuk mikroorganisme; 2) jenis-jenis mikroorganisme yang berperan dalam proses pengomposan; 3) kondisi lingkungan ideal; dan d) fase transformasi biokimia.

4.3.1. Kebutuhan Nutrisi Untuk perkembangbiakan dan pertumbuhannya, mikroorganisme memerlukan sumber energi, yaitu karbon untuk proses sintesa jaringan baru dan elemen-elemen anorganik seperti nitrogen, fosfor, kapur, belerang dan magnesium sebagai bahan makanan untuk membentuk sel-sel tubuhnya. Selain itu, untuk memacu

pertumbuhannya, mikroorganisme juga memerlukan nutrien organik yang tidak dapat disintesa dari sumber-sumber karbon lain. Nutrien organik tersebut antara lain asam amino, purin/pirimidin, dan vitamin. 4.3.2. Mikroorganisme Mikroorganisme pengurai dapat dibedakan antara lain berdasarkan kepada struktur dan fungsi sel, yaitu:

1. Eucaryotes, termasuk dalam dekomposer adalah eucaryotes bersel tunggal, antara lain : ganggang, jamur, protozoa. 2. Eubacteria, bersel tunggal dan tidak mempunyai membran inti, contoh: bakteri.

Beberapa hewan invertebrata (tidak bertulang belakang) seperti cacing tanah, kutu juga berperan dalam pengurai sampah.

Sesuai dengan peranannya dalam rantai makanan, mikroorganisme pengurai dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu :

a. Kelompok I (Konsumen tingkat I) yang mengkonsumsi langsung bahan organik dalam sampah, yaitu : jamur, bakteri, actinomycetes. 4

b. Kelompok II (Konsumen tingkat II) mengkonsumsi jasad kelompok I, dan; c. Kelompok III (Konsumen tingkat III), akan mengkonsumsi jasad kelompok I dan Kelompok II.

Gambar 4.1 : Rantai makanan yang Terjadi dalam Tumpukan Pembuatan Kompos (Dindal dalam Polprasert, 1989) 4.3.3. Kondisi Lingkungan Ideal

Efektivitas proses pembuatan kompos sangat tergantung kepada mikroorganisme pengurai. Apabila mereka hidup dalam lingkungan 5

yang ideal, maka mereka akan tumbuh dan berkembang dengan baik pula. Kondisi lingkungan yang ideal mencakup :

1. Keseimbangan nutrien ( C / N ratio ); 2. Kelembaban; 3. Derajat keasaman; 4. Suhu; 5. Ukuran partikel; dan 6. Homogenitas campuran. 4.3.4. Keseimbangan Nutrien (Rasio C/N).

Parameter nutrien yang paling penting dalam proses pembuatan kompos adalah unsur karbon dan nitrogen. Dalam proses pengurai terjadi reaksi antara karbon dan oksigen sehingga menimbulkan panas (CO2). Nitrogen akan ditangkap oleh mikroorganisme sebagai sumber makanan. Apabila mikroorganisme tersebut mati, maka nitrogen akan tetap tinggal dalam kompos sebagai sumber nutrisi bagi makanan.

Besarnya perbandingan antara unsur karbon dengan nitrogen tergantung pada jenis sampah sebagai bahan baku. Perbandingan C dan N yang ideal dalam proses pengomposan yang optimum

berkisar antara 20 : 1 sampai dengan 40 : 1, dengan rasio terbaik adalah 30 : 1.

4.3.5. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) ideal dalam proses pembuatan kompos secara aerobik berkisar pada pH netral (6 8,5), sesuai dengan pH yang dibutuhkan tanaman. Pada proses awal, sejumlah

mikroorganisme akan mengubah sampah organik menjadi asamasam organik, sehingga derajat keasaman akan selalu menurun. Pada proses selanjutnya derajat keasaman akan meningkat secara bertahap yaitu pada masa pematangan, karena beberapa jenis mikroorganisme memakan asam-asam organik yang terbentuk tersebut.

Derajat keasaman dapat menjadi faktor penghambat dalam proses pembuatan kompos, yaitu dapat terjadi apabila : pH terlalu tinggi (di atas 8) , unsur N akan menguap menjadi NH3. NH3 yang terbentuk akan sangat mengganggu proses karena bau yang menyengat. Senyawa ini dalam kadar yang berlebihan dapat memusnahkan mikroorganisme.

pH terlalu rendah (di bawah 6), kondisi menjadi asam dan dapat menyebabkan kematian jasad renik. 4.3.6. Suhu (Temperatur)

Proses biokimia dalam proses pengomposan menghasilkan panas yang sangat penting bagi mengoptimumkan laju penguraian dan dalam menghasilkan produk yang secara mikroorganisme aman digunakan. Pola perubahan temperatur dalam tumpukan sampah 7

bervariasi sesuai dengan tipe dan jenis mikroorganisme. Pada awal pengomposan, temperatur mesofilik, yaitu antara 25 45C akan terjadi dan segera diikuti oleh temperatur termofilik antara 50 - 65C. Temperatur termofilik dapat berfungsi untuk a) mematikan

bakteri/bibit penyakit baik patogen maupun bibit vektor penyakit seperti lalat; b) mematikan bibit gulma. Tabel 1 menunjukkan suhu dan waktu yang dibutuhkan untuk mematikan beberapa organisme patogen dan parasit. Kondisi termofilik, kemudian berangsur-angsur akan menurun mendekati tingkat ambien. Tabel 4.1. Suhu dan Waktu yang Dibutuhkan Untuk Mematikan Organisme Patogen No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Organisme Patogen Salmonella typhosa Salmonella sp. Shigella sp. Escerichia coli Entamoeba hystolitica Taenia saginata Trichinella spiralis sp. Brucella abortus Micrococcus pyogenes var aureus Srteptococcus pyogenes Mycobacterium tubercolosis varhominis Corynebacterium diphtheriae Necator americanus Ascaris lumbricoides (telur) Suhu dan Waktu yang Dibutuhkan Waktu (menit) Suhu (C) 30 55-60 20 60 60 55 15-20 60 60 55 60 55 15-20 60 beberapa menit 45 beberapa detik 55 beberapa saat 55 3 62-63 55 60 50 10 54 10 66 15-20 Sesaat setelah 67 pemanasan 45 55 45 50 <1 50

4.3.7. Ukuran Partikel Sampah

Ukuran partikel sampah yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan kompos harus sekecil mungkin untuk mencapai efisiensi aerasi dan supaya lebih mudah dicerna atau diuraikan oleh mikroorganisme. Semakin kecil partikel, semakin luas permukaan yang dicerna sehingga pengurai dapat berlangsung dengan cepat. 4.3.8. Kelembaban Udara

Kandungan kelembaban udara optimum sangat diperlukan dalam proses pengomposan. Kisaran kelembaban yang ideal adalah 40 60 % dengan nilai yang paling baik adalah 50 %. Kelembaban yang optimum harus terus dijaga untuk memperoleh jumlah

mikroorganisme yang maksimal sehingga proses pengomposan dapat berjalan dengan cepat. Apabila kondisi tumpukan terlalu lembab, tentu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme karena molekul air akan mengisi rongga udara sehingga terjadi kondisi anaerobik yang akan menimbulkan bau. Bila tumpukan terlalu kering (kelembaban kurang dari 40%), dapat mengakibatkan berkurangnya populasi mikroorganisme pengurai karena terbatasnya habitat yang ada.

4.3.9. Homogenitas Campuran Sampah

Komponen sampah organik sebagai bahan baku pembuatan kompos perlu dicampur menjadi homogen atau seragam jenisnya, sehingga diperoleh pemerataan oksigen dan kelembaban. Oleh karena itu 9

kecepatan pengurai di setiap tumpukan akan berlangsung secara seragam. 4.4. TRANSFORMASI BIOKIMIA

Berdasarkan atas kebutuhan oksigen, transformasi biokimia proses pengomposan dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu : 1. Transformasi Aerobik

Transformasi aerobik pada proses pengomposan dapat digambarkan dalam persamaan reaksi sebagai berikut :
CHON + O2 + Nutrien Sel Sel Baru + CO2 + H2O + NH3 + SO4 + Panas + kompos
-2

Pada prinsipnya hasil akhir proses ini adalah sel-sel baru, CO2, air, amoniak, sulfat dan senyawa organik baru bersifat stabil yang dinamakan kompos. Kompos biasanya mengandung unsur lignin yang sukar terurai dalam jangka waktu singkat. 2. Transformasi Anaerobik ( Anaerobic Digestion )

Proses penguraian senyawa organik yang berasal dari sampah dapat berlangsung dalam kondisi anaerobik menjadi gas-gas yang

mengandung karbon dioksida dan metan. Perubahan tersebut dapat dijelaskan melalui persamaan reaksi sebagai berikut :
CHON + O2 + Nutrien Sel Sel Baru + CO2 + CH4 + NH3 + H2S + Panas + Kompos

10

Pada prinsipnya produk akhir yang dihasilkan adalah karbondioksida, gas methan, amoniak, hidrogen sulfida dan kompos. Karbondioksida dan methan yang dihasilkan biasanya mencapai 99% dari total gas yang diproduksi.

4.5. Teknologi Pembuatan Kompos

Berdasarkan ada tidaknya asupan udara, pembuatan kompos dapat dibedakan menjadi pengomposan secara aerobik dan pengomposan anaerobik yang lazim disebut digesti anaerobik. Pada pengomposan aerobik, adanya udara dapat mempercepat proses pembusukan oleh mikroorganisme aerobik, proses berlangsung cepat dan tidak menimbulkan bau. Sebaliknya oksigen tidak diperlukan dalam pengomposan anaerobik, proses berlangsung lama, biasanya menimbulkan bau dan akhir yang terpenting adalah gas methan sebagai sumber energi baru. 4.5.1. Berdasarkan Kebutuhan Oksigen

1. Pengomposan Aerobik Pengomposan Sistem Windrow Merupakan metode yang paling sederhana dan sudah sejak lama dilakukan. Untuk mendapatkan aerasi dan

pencampuran, biasanya tumpukan sampah tersebut dibalik (diaduk). Hal ini juga dapat menghambat bau yang mungkin timbul. Pembalikan dapat dilakukan baik secara mekanis maupun manual. Sistim windrow seperti ini sudah

11

berkembang di Indonesia untuk skala kecil, disebut dengan sistim UDPK.

Aerated Static Pile Composting Udara disuntikkan melalui pipa statis ke dalam tumpukan sampah. Untuk mencegah bau yang timbul, pipa dilengkapi dengan exhaust fan. Setiap tumpukan biasanya

menggunakan blower untuk memantau udara yang masuk.

In-veseel Composting System Sistim pengomposan dilakukan di dalam kontainer/tangki tertutup. Proses ini berlangsung secara mekanik, untuk mencegah bau disuntikkan udara, pemantauan suhu dan konsentrasi oksigen.

Vermicomposting Merupakan langkah pengembangan pengomposan secara aerobik dengan memanfaatkan cacing tanah sebagai

perombak utama atau dekomposer, inokulasi cacing tanah dilakukan pada saat kondisi material organik sudah siap menjadi media tumbuh (kompos setengah matang). Dikenal 4 (empat) marga cacing tanah yang sudah dibudidayakan, yaitu Eisenia, Lumbricus, Perethima dan Peryonix (Yayasan Kirai Indonesia, 1996: 2)

Effective Microorganisms (EM) EM merupakan kultur campuran dari mikroorganisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman yang dapat 12

diaplikasikan

sebagai

inokulan

untuk

meningkatkan

keragaman dan populasi mikroorganisme di dalam tanah dan tanaman, yang selanjutnya dapat meningkatkan kesehatan, pertumbuhan, kuantitas dan kualitas produksi tanaman. EM dapat memfermentasikan bahan organik dan memanfaatkan gas serta panas dari proses pembusukan sebagai sumber energi. Manfaat yang dapat diambil dalam teknologi EM pada pengolahan sampah kota adalah berkurangnya bau busuk dan panas yang keluar dari tumpukan sampah, berkurangnya lalat dan hama lain di tempat pembuangan sampah, gundukan sampah cepat menurun sehingga daya tampung sampah dalam lubang penampungan dapat ditingkatkan lebih dari 30%, dan masalah-masalah lingkungan serta kesehatan pekerja. Selain itu sampah dapat dijadikan kompos dalam jangka waktu hanya 2 minggu. (Wididana, 1998: 5).

2. Pengomposan Anaerobik

Proses ini disebut juga dengan proses digesti anaerobik yang dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :

Digesti Anaerobik dengan Tingkat Kepadatan Rendah Konsentrasi kepadatan antara 4-8%, menggunakan bahan baku sampah domestik, kotoran manusia dan hewan. Proses ini menghasilkan gas methan dan direncanakan untuk skala besar.

Digesti Anaerobik dengan Tingkat Kepadatan Tinggi 13

Konsentrasi kepadatan mencapai 22%. Keuntungan utama dari proses ini ialah bahwa air yang dibutuhkan jauh sedikit dari digesti anaerobik dengan tingkat kepadatan rendah.

Mengingat mahalnya biaya maka kedua proses di atas tidak direkomendasikan sebagai upaya daur-ulang energi dari sampah domestik tetapi dapat lebih baik diterapkan untuk penanganan sampah pertanian dan peternakan.

Sistim pengubah sampah domestik menjadi energi, yaitu gas methan merupakan salah satu alternatif reduksi sampah yang menghasilkan sumber daya baru. Menurut Ridlo (1998: E-30), waktu tinggal sampah organik sekitar 30 hari di dalam reaktor. Biogas yang dihasilkan oleh reaktor didominasi oleh gas methan 55-60 % dan sisanya CO2. Biogas yang dihasilkan dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga seperti memasak dan penerangan. Selain menghasilkan biogas, reaktor juga menghasilkan produk samping berupa padatan dan cairan yang memiliki kualitas seperti pupuk. 4.5.2. Berdasarkan Lokasi Pembuatan Kompos

1.

Sistem Setempat (On-site System)

Merupakan pembuatan kompos yang mengambil tempat di sumber sampah, misalnya di halaman rumah, di pasar, dan lain-lain. Sebagai contoh adalah pengomposan dengan menggunakan komposter skala rumah tangga, berbentuk bin/tong yang berukuran 100 - 250 liter, ditanam di tanah ( 10 cm dari permukaan tanah ) atau dapat pula yang dapat diputar, proses berlangsung secara anaerobik. Sampah 14

dapur sebagai bahan baku dapat dikombinasikan dengan sampah kebun seperti rumput, daun-daunan, dsb. Kompos dapat dihasilkan dalam jangka waktu 1 bulan untuk komposter aerobik dan 6 bulan sampai dengan 1 tahun untuk komposter anaerobik.

2.

Sistem Terpusat (On-site System)

Pembuatan kompos dipusatkan di suatu lokasi yang memiliki jarak dengan sumber sampah. Sebagai contoh adalah pengomposan dengan metode UDPK (Usaha Daur-Ulang dan Produksi Kompos). 4.6. PERMASALAHAN PEMBUATAN KOMPOS

Pengomposan dengan menggunakan bahan baku sampah organik domestik dalam pelaksanaannya mengalami beberapa kendala. Permasalahan yang muncul meliputi 1) dampak terhadap kualitas lingkungan; 2) masalah pemasaran; 3) pembiayaan; 4) teknis operasional dan 5) aplikasi secara tepat guna di negara berkembang. 4.6.1. Dampak Terhadap Kualitas Lingkungan

Permasalahan yang mungkin muncul adalah masih terdapatnya organisme patogen/parasit, berkembangnya vektor penyakit dan masalah estetika.

1. Organisme Patogen dan Parasit Organisme patogen seperti virus, bakteria, protozoa, jamur yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia, hewan maupun tumbuhan kemungkinan masih terkandung dalam di kompos yang disebabkan 15

oleh masalah teknis, seperti tidak tercapainya suhu yang mematikan organisme tersebut. Permasalahan ini dapat dihindari dengan pengawasan mutu kompos pada setiap langkah produksinya, antara lain dengan pemantauan suhu setiap hari.

2. Vektor Penyakit Vektor penyakit yang sering terdapat pada proses pengomposan adalah lalat, tikus, dan kecoa. Lalat sering dijumpai pada bahan baku kompos, yaitu sampah domestik yang tidak segar (berumur lebih dari dua hari) sedangkan tikus dan kecoa sangat menyukai tumpukan kompos yang tidak segera dikemas atau dipasarkan serta tumpukan residu yang tidak segera diangkut ke TPA. Pemasokan bahan baku dan pengangkutan residu yang teratur dan tepat waktu serta pemeliharaan sarana/prasarana pengomposan yang memadai dapat menghindari gangguan vektor penyakit.

3. Estetika Bau dan kenampakan fisik yang kurang baik dari fasilitas

pengomposan merupakan masalah estetika yang sering muncul, sehingga menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitar, terutama masyarakat yang tinggal di sekitar fasilitas tersebut. Bau disebabkan oleh 1) kondisi anaerobik yang terjadi akibat

pengoperasian pengomposan tidak sesuai dengan prosedur, seperti kurangnya asupan oksigen (pekerja kurang rajin membalik tumpukan pada pengomposan dengan sistem Windrow); 2) bahan baku kompos tidak segar sehingga sebelum diolah, sampah tersebut sudah mengalami pembusukan. Kenampakan visual fasilitas pengomposan yang kurang baik, disebabkan pemeliharaan terhadap fasilitas tidak 16

dilaksanakan dengan baik, sehingga menimbulkan kesan kotor. Hal ini dapat diantisipasi dengan pengendalian dan pemeliharaan fasilitas dengan lingkungan luar antara lain dengan mendirikan tembok atau pagar tanaman.

4. Logam Berat

Salah satu masalah penting adalah kemungkinan kontaminasi logam berat dalam kompos yang diproduksi. Hal ini terjadi bila pemilahan tidak dilaksanakan sebelumnya sehingga bahan baku masih tercampur dengan sampah yang mengandung logam berat. Aktivitas pemilahan sampah sebelum pengomposan dilaksanakan sangat penting untuk dilakukan dan lebih baik lagi bila pemilahan telah dilakukan di sumber sampah.

4.6.2. Masalah Pemasaran

Masalah

pemasaran

kompos

muncul

disebabkan

sebelum

perencanaan fasilitas pengomposan tidak dilakukan studi tentang situasi pasar terlebih dahulu. Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mengetahui situasi pasar adalah kebutuhan akan aplikasi kompos; jarak tempuh antara produsen kompos dengan calon pelanggan dan informasi tentang pangsa pasar. Masalah pemasaran pupuk kimia membuat suatu anti propaganda melawan aplikasi kompos yang berasal dari sampah domestik. Sulitnya pemasaran kompos, menyebabkan biaya operasi dan pemeliharaan menjadi kendala yang sangat penting.

17

4.6.3. Masalah Pembiayaan Dalam perencanaan suatu instalasi pengomposan di negara berkembang biasanya terbentur pada masalah pembiayaan terutama bagi instalasi skala besar yang banyak menggunakan peralatan mekanis. Bagi negara berkembang instalasi pengomposan yang murah dan tepat guna sangat baik untuk diaplikasikan, lebih baik lagi bila instalasi tersebut masuk dalam sistem pengelolaan sampah kota. Masalah pemasaran kompos muncul disebabkan sebelum

perencanaan fasilitas pengomposan tidak dilakukan studi tentang situasi pasar terlebih dahulu. Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mengetahui situasi pasar adalah kebutuhan akan aplikasi kompos; jarak tempuh antara produsen kompos dengan calon pelanggan dan informasi tentang pangsa pasar. Masalah pemasaran pupuk kimia membuat suatu anti propaganda melawan aplikasi kompos yang berasal dari sampah domestik. Sulitnya pemasaran kompos, menyebabkan biaya operasi dan pemeliharaan menjadi kendala yang sangat penting. Biaya investasi awal diperlukan sebesar Rp. 11,6 juta untuk instalasi skala kecil (luas lahan 450 m2) dengan modal kerja Rp. 1,2 juta setiap bulan (CPIS, 1992: 6-14) untuk melayani 14 m3 sampah setiap hari. Pada tahun 1998, estimasi biaya meningkat menjadi Rp. 45 juta untuk biaya investasi dan modal kerja Rp. 3 juta setiap bulan.

4.6.4. Masalah Perencanaan dan Teknis Operasional

Kesalahan yang paling umum terjadi dalam pendirian suatu instalasi pengomposan adalah akibat perencanaan yang salah, yaitu antara lain mencakup kesalahan dalam melihat dan mengkaji situasi pasar, 18

kesalahan dalam menentukan lokasi instalasi pengomposan juga penerimaan masyarakat terhadap keberadaan instalasi tersebut.

19

BAB V PEMBUATAN KOMPOS DENGAN TEKNOLOGI FERMENTASI


5.1. Umum

Teknologi pengolahan bahan organik dengan cara fermentasi (peragian) pertama kali dikembangkan di Okinawa Jepang oleh Profesor Dr. Teruo Higa pada tahun 1980. Teknologi ini dikenal dengan teknologi EM (Effective Microorganisms).

Sebelum tahun 1980, penelitian dan penerapan proses fermentasi masih terbatas pada proses fermentasi untuk pembuatan bahan makanan, termasuk pakan ternak, dan belum banyak dilakukan untuk pengolahan limbah organik serta penyuburan tanah. Di Indonesia kita sudah mengenal proses fermentasi ini melalui proses peragian kedelai dalam pembuatan tempe, tauco, kecap; fermentasi singkong menjadi tape; fermentasi susu menjadi keju, yogurt; serta masih banyak lagi produk fermentasi hasil kerja mikroorganisme fermentasi yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Fermentasi merupakan proses penguraian atau perombakan bahan organik yang dilakukan dalam kondisi tertentu oleh mikroorganisme fermentatif. Kondisi lingkungan yang mendukung proses fermentasi antara lain adalah (1) derajat keasaman atau pH rendah, antara 3-4; (2) kadar garam dan kandungan gula yang tinggi; (3) kadar air sedang antara 30-50%, (4) kandungan antioksidan dari tanaman rempah dan obat, serta (5) adanya mikroorganisme fermentasi. 1

5.2.

Teknologi Effective Microorganisme

Teknologi effective microorganisme adalah suatu kultur campuran berbagai mikroorganisme yang bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman. Effective microorganisme diaplikasikan sebagai inokulan untuk meningkatkan keragaman dan populasi mikroorganisme dalam tanah. Kultur effective microorganisme tidak mengandung

mikroorganisme yang secara genetis telah dimodifikasi, melainkan campuran berbagai spesies mikroba yang terdapat dalam lingkungan alami.

Effective microorganisme yang diaplikasikan dengan

sampah

organik kota dapat dikembalikan ke tanah dalam bentuk pupuk organik untuk meningkatkan kualitas tanah. Effective microorganisme bertindak sebagai agen pengendali secara biologis dengan cara menghambat efek fitopatogenik mikroorganisme tanah dan

memfasilitasi dekomposisi senyawa beracun dalam tanah.

Teknologi fermentasi ini dapat digunakan untuk meningkatkan keanekaragaman biologi tanah, meningkatkan kualitas air,

mengurangi kontaminasi tanah dan merangsang penyehatan dan pertumbuhan tanaman yang semua itu berarti meningkatkan hasil.

Beberapa keuntungan aplikasi effective microorganisme adalah bahwa EM dapat:

A. Menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen atau yang merugikan tanah dan tanaman; 2

B. Mempercepat penguraian limbah atau sampah organik baik padat maupun cair dan sekaligus menghilangkan bau yang ditimbulkan dari proses penguraian bahan organik;

C. Meningkatkan ketersediaan nutrisi dan senyawa organik pada tanaman;

D. Meningkatkan

aktivitas

mikroorganisme

indigenus

yang

menguntungkan, misalnya Mycorrhiza, Rhizobium, bakteri pelarut fosfat, dll;

E. Mengikat nitrogen;

F. Mengurangi kebutuhan pupuk dan pestisida kimia;

G. Menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen yang selalu merupakan masalah pada budidaya monokultur dan budidaya tanaman senjenis secara terus-menerus (continous cropping). EM bukanlah pengendali hama/penyakit meningkatkan merupakan biologis tanaman aktivitas pestisida, dalam melalui tetapi lebih merupakan

menekan/mengendalikan proses alami dengan pada

komposisi

antagonistik

mikroorganisme dalam inokulan EM;

H. Menghilangkan panas pada tanah dasar tambak dan gas-gas beracun yang timbul akibat akumulasi sisa-sisa pakan dan udang/ikan yang telah mati melalui fermentasi. 3

Hasil fermentasi bahan organik tanah dapat menciptakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan jamur pemangsa nematoda (cacing) parasit, sehingga dapat menurunkan populasi cacing parasit tanaman di dalam tanah.

5.3. Kandungan Mikroorganisme

Kandungan mikroba dalam effective microoganisme terdiri dari mikroorganisme aerob dan anaerob yang bekerjasama menguraikan bahan organik secara terus menerus. Hasil fermentasi bahan organik dengan inokulasi EM dikenal dengan istilah bokashi. Istilah bokashi sendiri berasal dari bahasa Jepang yang artinya bahan organik terfermentasi dengan EM, tetapi dapat pula diakronimkan sebagai Bahan Organik Kaya Akan Sumber Kehidupan. Effective

microorganisme merupakan cairan berwarna coklat dan berbau khas, apabila muncul bau busuk menandakan bahwa mikroorganisme yang terkandung di dalamnya telah rusak atau mati.

Effective

microorganisme

mengandung

beberapa

jenis

mikroorganisme, yaitu: 5.3.1. Bakteri Fotosintetik

Bakteri fotosintetik adalah mikroorganisme yang mandiri. Bakteri ini membentuk senyawa-senyawa yang bermanfaat dari sekresi akar tumbuh-tumbuhan, bahan organik dan/atau gas-gas berbahaya seperti hidrogen sulfida, dengan dibantu sinar matahari dan panas sebagai sumber energi. Zat-zat bermanfaat tersebut meliputi asam 4

amino, asam nukleat, zat-zat bioaktif, dan gula, yang semuanya dapat mempercepat pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Hasil-hasil metabolisme yang dihasilkan oleh bakteri ini dapat diserap langsung oleh tanaman dan juga berfungsi sebagai substrat bagi mikroorganisme lain sehingga jumlahnya terus dapat

bertambah. 5.3.2. BAKTERI ASAM LAKTAT

Bakteri asam laktat menghasilkan asam laktat dari gula, dan karbohidrat lain yang dihasilkan oleh bakteri fotosintetik dan ragi. Bakteri asam laktat dapat menghancurkan bahan-bahan organik seperti lignin dan selulosa, serta memfermentasikannya tanpa menimbulkan senyawa-senyawa beracun yang ditimbulkan dari pembusukan bahan organik. 5.3.3. Ragi

Ragi dapat menghasilkan senyawa-senyawa yang bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman dari asam amino dan gula di dalam tanah yang dikeluarkan oleh bakteri fotosintetik atau bahan organik melalui proses fermentasi. Ragi juga menghasilkan senyawa bioaktif seperti hormon dan enzim. 5.3.4. ACTINOMYCETES

Actinomycetes merupakan suatu kelompok mikroorganisme yang strukturnya merupakan bentuk antara dari bakteri dan jamur. Kelompok ini menghasilkan zat-zat anti mikroba dari asam amino yang dikeluarkan oleh bakteri fotosintetik dan bahan organik. Zat-zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme ini dapat menekan

pertumbuhan jamur dan bakteri yang merugikan tanaman, tetapi dapat hidup berdampingan dengan bakteri fotosintetik. Dengan demikian kedua spesies ini sama-sama dapat meningkatkan kualitas lingkungan tanah dengan meningkatkan aktivitas anti mikroba tanah.

5.3.5. JAMUR FERMENTASI

Jamur fermentasi seperti Aspergillus dan Penicillium menguraikan bahan organik secara cepat untuk menghasilkan alkohol, ester, dan zat-zat anti mikroba. Pertumbuhan jamur ini berfungsi dalam menghilangkan bau dan mencegah serbuan serangga serta ulat-ulat yang merugikan dengan cara menghilangkan penyediaan

makanannya.

Setiap jenis effective microorganisme mempunyai fungsi masingmasing dalam proses fermentasi bahan organik, namun bakteri fotosintetik adalah pelaksana kegiatan EM yang terpenting. Bakteri ini mendukung kegiatan mikroorganisme lain, di lain pihak bakteri ini memanfaatkan zat-zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme lain. 5.3.6. Bokashi Sampah Kota Bokashi sampah kota merupakan hasil fermentasi sampah organik kota dengan menggunakan EM. Fermentasi bahan organik terjadi bila 6

kita menginokulasikan EM dalam larutan gula dengan dosis 0,1 1% ke dalam tumpukan sampah sekali dalam seminggu, yang dapat dilakukan dengan mesin penyemprot atau sprayer.

Berdasarkan pengalaman, dibutuhkan 1 liter EM dan 1 liter gula atau molas untuk memfermentasikan 1 ton sampah organik. Untuk dapat menekan biaya, larutan molas difermentasikan terlebih dahulu dalam tangki fermentasi selama satu minggu. Larutan ini dikenal sebagai FM atau Fermentasi Molas. Cara menyiapkan Fermentasi Molas (FM) adalah sebagai berikut:

A. Siapkan 20 liter air dalam galon/tangki; B. Campurkan 1 liter EM dan 1 liter molas dengan 20 liter air; C. Tutup tangki/galon tersebut, dan diamkan selama 1 minggu; D. Setelah 1 minggu kita mendapatkan 20 liter FM; E. Untuk mendapatkan larutan 0,1% FM; 10 liter FM harus dilarutkan ke dalam 1.000 liter air. Gambar berikut ini adalah skema pembuatan cairan FM (Fermentasi Molas).

1 lt EM + 1 Air lt. Molas

EM

20 liter Fermentasi Molas

Fermentasi Molas 20 liter Disimpan 1 minggu di dalam tangki

Air 1000 liter

Semprotkan ke dalam tumpukan sampah organik

Gambar 5.1. Skema Pembuatan dan Penerapan Fermentasi Molas (FM)

Cara pembuatan bokashi sampah kota adalah sebagai berikut: Langkah 1 : Pemilahan Sampah

Sampah yang masuk ke lokasi pengomposan dipilah terlebih dahulu untuk mendapatkan bahan organik pilihan sebagai

bahan baku kompos. Untuk mempermudah pekerjaan, akan lebih baik lagi bila sampah yang masuk sudah dalam keadaan terpilah (pemilahan di sumber sampah). Satu hal yang harus diperhatikan adalah, sampah yang akan diolah menjadi kompos harus sampah segar dan pemilahan harus segera dilakukan. Bila hal ini tidak dilaksanakan dengan baik, maka pembusukan liar akan terjadi dan akan timbul bau yang dapat mengganggu lingkungan sekitarnya.
Langkah 2 : Pemotongan Sampah Organik Pilihan

Untuk

mempercepat proses

pengomposan, sebaiknya ukuran

sampah diperkecil terlebih dahulu. Pemotongan sampah dapat menggunakan alat pemotong/pencacah (shredder), dan dapat pula dicacah secara manual.

Langkah 3 : Penumpukan Sampah Organik Pilihan

Proses pengomposan dapat berjalan dengan cepat dan baik bila perbandingan antara kandungan karbon dan nitrogen dalam sampah atau rasio C/N adalah 30 : 1. Secara teoritis rasio C/N sampah rumah 8

tangga adalah

15 : 1, maka untuk mendapatkan rasio C/N ideal

sampah tersebut harus dicampur dengan material yang memiliki rasio C/N lebih tinggi, seperti serbuk gergaji. Perhitungannya adalah sebagai berikut: - C/N sisa makanan = 15 : 1 - C/N serbuk gergaji = 500 : 1 X = 1 (1 . 15) + (Y . 500)/ 1 + Y = 30 15 + 500Y = 30 + 30Y X = bagian sisa makanan Y = bagian serbuk gergaji

(X . 15) + (Y . 500)/ X + Y = 30

500Y - 30 Y = 30 - 15 470 Y = 15 Y = 15 : 470 Y = 0,03

Ini berarti dibutuhkan 1 bagian sisa makanan dan 0,03 bagian serbuk gergaji untuk mencapai rasio C/N ideal 30 : 1.

Kemudian campuran sampah tersebut ditumpuk dengan ketinggian 30 - 50 cm, panjang tumpukan basah 1 ton. Langkah ini dapat berlangsung selama dua hari, misalnya karena bahan/sampah tidak mencukupi. 0,75 - 1 meter, berat sampah

Langkah

: Inokulasi EM Melalui Penyiraman Larutan 9

Fermentasi Molas (FM)

Larutan 0,1% FM yang telah disiapkan disiramkan secara perlahanlahan ke dalam adonan secara merata sampai kandungan air mencapai 30%. Kemudian tumpukan tersebut ditutup dengan

karung goni. Penyemprotan dengan larutan FM dilakukan setiap seminggu sekali.

Langkah 5 : Pemantauan Suhu

Pada tahap ini suhu tumpukan perlahan-lahan akan meningkat mencapai 650C. Suhu setinggi ini selama 1-2 hari diperlukan untuk mematikan gulma dan mikroba patogen, serta membantu

memperlunak bahan yang dikomposkan. Suhu tinggi ini tidak boleh dipertahankan lama (lebih dari 2 hari), karena akan mematikan jasad renik yang diperlukan untuk proses pengomposan. Pemantauan suhu dilakukan setiap hari, dan dipertahankan antara 40 - 500C. Bila suhu mencapai lebih dari 500C, maka karung penutup harus dibuka dan gundukan adonan dibolak balik, kemudian ditutup kembali dengan karung goni. Perlakuan ini berlangsung selama 2 minggu, sampai suhu mendekati suhu kamar dan stabil. Langkah 6 : Pematangan Kompos

Untuk meyakinkan bahwa kompos telah matang dan dapat menjamin bahwa kompos benar-benar aman ketika dipakai oleh pengguna kompos, maka perlu dilakukan langkah pematangan kompos. Pematangan ini ditandai dengan suhu rata-rata tumpukan semakin 10

menurun dan stabil mendekati suhu kamar ( 27 - 300C), bahan telah lapuk dan menyerupai tanah dengan warna coklat kehitaman. Tahap pematangan memerlukan waktu 5 7 hari dan suhu tumpukan tetap diukur.

Langkah 7 : Pemanenan dan Pengemasan

Setelah seluruh tahapan proses dilalui dan sampah sudah menjadi kompos matang, maka kompos sudah bisa dipasarkan. Untuk itu kompos perlu dikemas dalam ukuran yang sesuai dengan kehendak pembeli. Untuk mendapatkan ukuran butiran kompos yang

diinginkan, maka kompos tersebut harus disaring/diayak memakai saringan kawat dengan ukurang lubang saringan bervariasi, yaitu:

- Kompos halus - Kompos ukuran sedang - Kompos kasar

: lubang saringan = 1 cm x 1 cm : lubang saringan = 2 cm x 2 cm : lubang saringan = 4 cm x 4 cm

Kompos yang sudah disaring dikemas ke dalam kantung/kemasan sesuai dengan kebutuhan pemasaran. Kemasan yang biasa digunakan saat ini, adalah:

1. Plastik kedap air, ukuran 30 cm x 25 cm untuk kompos halus seberat 3 kg. 2. Plastik kedap air, ukuran 35 cm x 29 cm untuk kompos halus seberat 5 kg. 3. Karung plastik kedap air, ukuran 90 cm x 60 cm untuk kompos halus, kasar, maupun sedang seberat 40 kg. 11

Bagan

pembuatan

kompos

dengan

menggunakan

teknologi

fermentasi dapat dilihat dalam gambar berikut: PENYIAPAN LAR. FM

PEMILAHAN SAMPAH

PEMOTONGAN PENCACAHAN

PENUMPUKAN SAMPAH

INOKULASI EM

FERMENTASI PEMANTAUAN SUHU

PEMATANGAN KOMPOS

PENYARINGAN PENGEMASAN

PEMASARAN
Gambar 5.2. Proses Pengomposan Dengan Teknologi Fermentasi

12

5.4. Kompos Rumah Tangga

Sampah yang dihasilkan oleh rumah tangga di perkotaan merupakan salah satu permasalahan yang cukup pelik, terutama apabila lokasi perumahan tersebut belum terjangkau layanan angkutan sampah. Hal ini menyebabkan pencemaran badan - badan air akibat akumulasi sampah dan tersumbatnya saluran - saluran drainase yang menyebabkan banjir di musim hujan. Seringkali sampah

dimusnahkan dengan cara sederhana dan murah tetapi berpotensi untuk mencemari udara, yaitu langsung dibakar atau dibiarkan menumpuk di lahan-lahan kosong.

Sebagian sampah rumah tangga terdiri atas sampah dapur, sisa-sisa makanan, dan sampah kebun yang mengandung bahan organik dengan kandungan air cukup tinggi. Sebagian lagi adalah sampah non organik yang didominasi sampah kemasan seperti bekas bungkus mie, makanan kecil anak-anak, yang biasanya sulit untuk didaur-ulang. Sisanya merupakan sampah non organik yang dapat didaur-ulang seperti botol, kertas koran, plastik, dan barang-barang bekas lainnya. Rumah tangga juga menghasilkan sampah yang mengandung bahan beracun berbahaya (B3) seperti batu baterai bekas, lampu neon bekas, bekas kemasan pestisida, dsb.

Sampah basah dengan kandungan organik yang tinggi merupakan sampah yang mudah terurai dan hancur secara alamiah di alam bebas. Produk akhir disebut dengan kompos yang besar manfaatnya terutama untuk konservasi tanah. Selain itu pembuatan kompos dapat mengurangi beban pengelola sampah kota, yaitu antara lain 13

dapat menghemat biaya pengangkutan, efisiensi lahan tempat pembuangan akhir sampah, dan dapat meningkatkan kondisi sanitasi di lingkungan permukiman.

Dalam rangka mengurangi sampah organik rumah tangga, salah satu kebijakan pemerintah adalah menganjurkan ibu-ibu rumah tangga untuk mulai menggunakan alat pembuat kompos (komposter) skala rumah tangga yang sangat sederhana, tepat guna dan mudah pengoperasiannya.

5.5. Tata Cara Pembuatan Kompo Rumah tangga 5.5.1. Bahan dan Peralatan
1. Sampah organik rumah tangga, adalah sampah organik yang mudah terurai, dihasilkan dari dapur; sisa-sisa makanan; dan sampah kebun. Untuk mempercepat proses dapat pula ditambahkan dedak/serbuk gergaji/kapur atau cairan EM (effective microorganisme).

2.

Komposter

rumah

tangga,

merupakan

alat

yang

digunakan untuk mengolah sampah organik rumah tangga menjadi kompos, terdiri dari 2 unit yang ditempatkan secara berdekatan.

14

5.5.2. PERSYARATAN TEKNIS

A. Bentuk Komposter berbentuk tabung, dan terbuat dari plastik. Bagian bawah komposter terbuka, dan di bagian atas diberi tutup plastik. Terdapat dua bentuk komposter (Gambar 2.1), yaitu :

a. b.

Komposter yang seluruh tabungnya tertanam di tanah. Komposter yang sebagian kecil tabungnya tertanam di tanah.

Gambar 5.3.. Jenis Jenis Komposter Rumah Tangga

Gambar 5.4.. Jenis Jenis Komposter Rumah Tangga 15

Gambar 5.5. Jenis Jenis Komposter Rumah Tangga

Gambar 5.6. Jenis Jenis Komposter Rumah Tangga B. Ukuran

Ukuran komposter rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.

16

Tabel 5.1. Ukuran Komposter Rumah Tangga JENIS KOMPOSTER TABUNG (cm) Ting gi
80

PIPA GAS (cm) Panj ang


45

DIAMETER LUBANG (cm) Kasa Nyam uk


0,2

Penge ring
10

Ga s
1

Do p
11

Media Penger ing


2-3

Komposter a

50

11

Komposter b

50

80

11

20

0,2

Untuk pemasangan satu set komposter dibutuhkan lahan seluas 2 m2. Ukuran galian tanah dapat dilihat pada tabel 2.2 di bawah ini. Tabel 5.2. Ukuran Galian Tanah

JENIS KOMPOSTER

DIAMATER (mm)

KEDALAMAN GALIAN (mm)

Galian Bawah Komposter a Komposter b 800 800

Galian Atas

1400 1400

900 400

17

5.5.3. Materi

Materi atau bahan komposter yang digunakan harus tahan korosi dan tahan terhadap sinar matahari. Badan komposter dan tutupnya terbuat dari plastik tebal atau dapat juga menggunakan galon air yang banyak dijual di pasaran dengan volume 75 100 m3, sedangkan pipa penyaluran gas tebuat dari PVC. 5.5.4. Kinerja

Komposter

rumah

tangga

digunakan

untuk

menampung

sampah organik mudah terurai yang dihasilkan oleh 5 orang anggota keluarga. Kapasitas tampung komposter maksimum 200 kg dengan waktu tampung 7 (tujuh) bulan. Proses pengomposan berlangsung selama 4 6 bulan setelah komposter terisi penuh dengan sampah organik. Sampah organik rumah tangga yang dapat dikurangi dengan menggunakan komposter sebesar 80 90%. Untuk mempercepat proses penguraian dan meningkatkan kualitas komposnya, dapat ditambahkan serbuk gergaji dan atau larutan EM (Effective Microorganisme). 5.6. Cara Pemasangan Komposter

Tanah digali berbentuk lingkaran dengan diameter bagian bawah 80 cm dan bagian atas 140 cm. Bila pada kedalaman tersebut dijumpai air tanah, maka harus diusahakan sedemikian rupa 18

sehingga dasar komposter berada di atas muka air tanah tersebut setinggi 30 cm. Untuk komposter jenis a kedalaman galian 90 cm, sedangkan komposter b sedalam 40 cm (lihat Gambar 2.5.).

Gambar 5.7. Penyiapan Lahan

Pada bagian dasar galian kerikil dimasukkan kerikil setinggi 10 cm, kemudian komposter yang terbuka di bagian dasarnya diletakkan di tengah galian. Setelah itu ditambahkan lagi kerikil sampai ketinggian 20 cm.

Untuk komposter jenis a, galian ditimbun lagi dengan tanah sampai mencapai 5 cm di bawah lubang tempat pipa udara, selanjutnya pipa udara dipasang. Di sekeliling pipa udara yang telah terpasang diberi kerikil secukupnya, selanjutnya timbun kembali dengan tanah sampai mencapai udara. 5 cm di bawah pipa

19

Untuk komposter jenis b, setelah komposter diletakkan di tengah galian yang memiliki kedalaman 40 cm dan diberi kerikil 20 cm, kemudian galian ditimbun dengan tanah. Pipa udara tepat terletak di atas permukaan tanah.

Gambar 5.8. Cara Pemasangan Komposter 5.7. Cara Pengoperasian Komposter Letakkan komposter di lokasi yang memungkinkan, hindari dari curahan air hujan secara langsung masuk ke komposter tersebut.

Masukkan sampah organik mudah terurai yang dihasilkan rumah tangga seperti sampah dapur, sisa makanan ke dalam komposter. Sebelum dimasukkan ke dalam

komposter, sampah dengan ukuran besar sedapat mungkin diperkecil/ dipotong-potong terlebih dahulu untuk

mempercepat pengomposan. Tidak semua sampah dapur dapat dikomposkan, seperti kulit telur, kulit kacang, batok 20

kelapa, bonggol jagung, karena memerlukan waktu yang lama untuk menguraikannya.

Bila memungkinkan, setiap ketinggian lapisan sampah mencapai 10 cm, ditambahkan serbuk gergaji, kapur, atau dedak setinggi 1 cm. Dapat pula disemprotkan larutan EM setiap hari. Serbuk gergaji/kapur/dedak dan larutan EM dapat mengurangi bau busuk yang mungkin timbul. Bila material tambahan tersebut sulit didapat, maka dapat diganti dengan potongan sampah kebun seperti rumput dan daun-daunan.

Untuk menyeragamkan material sampah organik dan juga untuk mendapatkan sedikit udara, dilakukan pengadukan dengan menggunakan sekop seminggu sekali.

Setelah komposter pertama terisi penuh, maka akan terjadi proses penguraian selama kurang lebih 46 bulan, dan operasional pengomposan berpindah ke komposter kedua.

Bila masa sampah sudah hancur menyerupai tanah, berwarna coklat kehitaman dan tidak berbau lagi, maka kompos sudah dapat dipanen dan diaplikasikan untuk tanaman hias atau taman rumah.

21

5.8.

KOMPOSTER KOMUNAL

Prinsip kerja komposter komunal hampir sama dengan komposter rumah tangga, bedanya hanya daerah pelayanan komposter komunal lebih luas yaitu mencakup satu RT/RW. Fungsinya hampir sama dengan TPS, hanya jenis sampah yang ditampung khusus untuk sampah organik rumah tangga yang mudah terurai. Komposter komunal dapat merupakan gabungan dari beberapa komposter rumah tangga yang diletakkan pada lokasi/lahan khusus.

Komposter komunal dapat pula mempunyai desain khusus, seperti beberapa contoh komposter komunal yang terlihat pada gambar 5. Komposter komunal seperti ini telah diaplikasikan di Kelurahan Kadipaten, Kodya Yogyakarta dan akan segera diaplikasikan di Kodya Magelang. Komposter komunal dikelola oleh RT/RW setempat dan kompos yang dihasilkan digunakan untuk kebutuhan warga.

Gambar 5.9. Komposter Komunal

22

Gambar 3.2. Komposter Komunal DAFTAR PUSTAKA: 1. Departemen Pekerjaan Umum, 1998. Spesifikasi

Komposter Rumah Tangga, Standar Nasional Indonesia, Jakarta. 2. Yuni & Osawa, 1995. Kompos Sahabat Lingkungan Kita. Balai Pelatihan Air Bersih dan PLP Dept. Pekerjaan Umum. Bekasi.

23

BAB VI DAUR ULANG DAN PENGKOMPOSAN SAMPAH KOTA


6.1. Umum

Usaha Daur-Ulang dan Produksi Kompos (UDPK) adalah suatu unit skala kecil yang melakukan pengolahan sampah kota dengan dua fungsi sekaligus, yaitu daur-ulang dan penjualan sampah anorganik yang mempunyai nilai ekonomis serta daur-ulang dan penjualan

sampah organik yang diproses menjadi kompos.

Gagasan UDPK ini dikembangkan sebagai salah satu alternatif penanganan sampah perkotaan yang murah, efisien dan bersahabat dengan lingkungan. Pengembangan UDPK di dalam nilai sistem tambah

pengelolaan sampah selain dapat menghasilkan

berupa kompos, juga dapat meningkatkan ketepatgunaan sektor umum, termasuk ; penghematan biaya pengangkutan, penghematan biaya pemadatan tanah, efisiensi penggunaan TPS dan mengurangi jumlah sampah yang dikirim ke TPA.

Daur-ulang dan pengomposan mempunyai potensi yang besar untuk mengurangi timbulan sampah secara berarti dan dengan demikian dapat mengurangi biaya untuk transportasi, pengolahan dan pembuangan akhir. Perkiraan potensi daur-ulang adalah 15-25 % dan untuk pengomposan adalah 30-40%, yang berarti total potensi pengurangan timbulan sampah adalah 50% yang berarti juga

penghematan pembuangan.

sebesar

50%

dalam

biaya

transportasi

dan

6.2. Sarana dan Prasarana UDPK

Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh sebuah UDPK mencakup perlengkapan kerja, peralatan produksi dan sarana produksi. 6.2.1. Perlengkapan Kerja 1. 2. 3. 4. 5. 6. Helm kerja Sepatu kedap air (boot) Kaus tangan plastik Pakaian kerja Masker kain Perlengkapan P3K

6.2.2. Peralatan Produksi 1. Cangkrang 2. Terowongan bambu 3. Alat tulis dan kantor 4. Termometer alkohol 5. Selang air 6. Saringan putar 7. Sekop 8. Timbangan 9. Plastik sealer (untuk pengemasan) 10. Keranjang loak 11. Papan, cat dan kuas untuk menandai tumpukan 12. Ayakan kawat dengan beberapa ukuran. 6.2.3. Sarana Produksi 1. 2. 3. 4. Pompa Air Tempat pemilahan Tempat residu Ruang penumpukan kompos 2

5. Ruang pematangan kompos 6. Ruang penyaringan 7. Ruang pengemasan 8. Kantor 9. Kamar mandi 10. Drainase 11. Kebun uji coba Peralatan Produksi yang paling penting untuk digunakan dapat dijelaskan fungsinya sebagai berikut : 6.3. Terowongan Bambu

Terowongan bambu terbuat dan bambu dan kayu kaso atau kayu lainnya (tergantung dan kesediaan bahan di lokasi). Pembuatan terowongan bambu harus sesuai ukuran yang ditentukan. Pembuatan terowongan bambu dilakukan sebelum proses produksi dilaksanakan dan jumlahnya disesuaikan dengan kapasitas UDPK.

GAMBAR 6.1. TEROWONGAN BAMBU

Terowongan bambu ini dapat dimodifikasi sesuai dengan kondisi daerah dan keuangan yang ada, misalnya di Kalimantan banyak terdapat kayu, maka aerator ini dapat dibuat dari kayu. 6.3.1. Thermometer Alkohol

Alat ini dengan mudah dapat diperoleh di apotik atau toko farmasi. Terbuat dari kaca berisi alkohol sebagai penunjuk tingginya suhu. Alat ini mudah pecah sehingga perlu disiapkan cadangannya.

Gambar 6.2. Thermometer alkohol


6.3.2. Keranjang Loak

Alat ini digunakan untuk mengangkut sampah yang sudah dipilah ke atas terowongan bambu, dan untuk mengangkut barang lapak dan residu ke lokasinya masing-masing. Alat ini dapat digantikan dengan alat lain, misalnya tandu dan kain terpal yang dibuat sendiri.

Gambar 6.3 Keranjang Loak 6.3.3. Ayakan Kawat Nyamuk

Ayakan ini dipakai untuk menyaring kompos matang agar sesuai kebutuhan konsumen yang beragam. Biasanya terdapat ayakan yang berbeda ukuran kerapatan kawat nyamuknya. Ayakan ini dapat dibuat sendiri karena membutuhkan ukuran yang berbeda tersebut. Biasanya ukuran kawat nyamuk adalah sebagai berikut:

Ukuran (5 x 5) mm untuk kompos halus Ukuran (5 x 5) mm s/d (10 x 10) mm untuk kompos sedang Ukuran (I0 x 10) mm untuk kompos kasar.

Gambar 6.4. Ayakan / Saringan Kawat Nyamuk 6.3.4. Ayakan Saringan Putar

Ayakan ini mempermudah dan mempercepat pekerjaan penyaringan. Alat ini dapat dibuat sendiri atau dipesan di toko alumunium.

Gambar 6.5. Ayakan / Saringan Putar

Tabel 6.1 menunjukkan jumlah alat produksi dan perlengkapan kerja yang dibutuhkan sesuai dengan skala UDPK.

Tabel 6.1. Alat Produksi dan Perlengkapan Kerja UDPK


yang Dibutuhkan dan Masa Pakai
Alat Produksi Jumlah UDPK Kecil Alat Produksi - Terowongan bambu - Thermometer alkohol - Penusuk kayu/besi - Keranjang/loak - Cangkrang - Sekop - Ayakan kawat - Ayakan putar - Timbangan o Besar 28-30 min. 3 3 5 5 3-6 min. 3 1 1 UDPK Besar 45-67 min. 6 3-6 7 7 6-12 min. 6 1 1 2 bulan selama belum pecah 2 bulan 3 bulan 6 bulan 3 bulan 1 tahun sampai rusak - Untuk kompos karungan - Untuk kompos 3-5 kg Masa Pakai Keterangan

o Kecil - Plastik sealer - Lori (satu roda) - Cat dan kuas - Alat tulis kantor Perlengkapan Kerja: - Topi/helm - Sarung tangan - Sarung kain - Sarung plastik - Masker - Baju kerja - Kotak PPPK

1 1 1 1 unit 1 unit

1 1 2 1 unit 2 unit

sampai rusak sampai rusak

8 7 7 8 8 16 1 unit

12 11 11 12 12 24 1 unit

kurang lebih 1 tahun 2 minggu 2 minggu 2 minggu 2 minggu 6-12 bulan sampai habis

6.4. Kriteria Perencanaan


6.4.1. Kriteria Umum

Ketentuan umum tentang pengoperasian UDPK adalah sebagai berikut:


Lokasi UDPK harus sedekat mungkin dengan daerah

pelayanan. Luas lahan yang dibutuhkan minimal 500 m2. Bahan baku sampah organik dan non organik tersedia minimal 15 m2 setiap hari. Manajemen pengoperasian UDPK perlu didukung oleh:

Institusi pengelola UDPK yang memadai (Lembaga Masyarakat, Dinas Kebersihan atau Swasta). Biaya pengelolaan yang memadai, baik untuk biaya modal kerja, biaya operasi maupun pemeliharaan. Adanya aspek peraturan yang mendukung, terutama dalam kaitannya dengan masalah pemasaran kompos. Peranserta masyarakat antara lain dalam pemilahan sampah sangat diharapkan untuk meningkatkan kinerja UDPK.

6.4.2. Kriteria Teknis

Ketentuan Bahan Baku

Proses pengomposan yang optimum membutuhkan bahan baku organik segar yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

Keseragaman jenis sampah organik (sisa sayuran, buahbuahan, sisa makanan kecuali kulit telur; kulit kacang dan

tulang, sisa daging, daun-daunan, potongan rumput, dan sebagainya); Sampah tidak boleh menginap di sumber sampah, maksimal berumur 2 (dua) hari sehingga belum mengalami pembusukan atau mengandung larva lalat; Kelembaban/kadar air sampah 50%; Nilai/rasio C/N kurang lebih 30%.

6.4.3. Pola Perletakan UDPK

Dalam merencanakan suatu lokasi pengomposan sampah kota, dapat dilakukan dua pendekatan, yaitu:

Mencari sumber sampah di suatu daerah tertentu dan kemudian mencari lahan yang mencukupi untuk menangani sejumlah sampah yang akan diolah (dikomposkan) tersebut;

Mencari lokasi yang potensial berdasarkan kriteria pemilihan lahan, dan ukuran lahan yang dipilih akan menentukan jumlah sampah yang akan diolah di lokasi tersebut.

Lokasi yang terpilih harus diukur dengan seksama, selanjutnya harus ditentukan letak daerah untuk penerimaan sampah, pemilahan, 9

penumpukan residu, tumpukan pengomposan aktif, penyaringan dan pengepakan, serta untuk kantor dan gudang tempat penyimpanan peralatan kerja. Prosentase luas daerah yang akan digunakan untuk kegiatan ini adalah sebagai berikut:

Kegiatan pengomposan aktif : 50 60% Pemilahan dan penumpukan residu : 15% Penyaringan dan pengepakan : 15% Gudang dan kantor : 15%.

Angka-angka ini bervariasi tergantung ukuran lahan, besarnya kegiatan pengomposan, frekuensi pengiriman kompos untuk

pemasaran dan pengangkutan residu, keberadaan lapak, dan sebagainya. Secara diagramatis perletakan kegiatan tersebut dapat dijelaskan pada gambar 6.5.

10

Lokasi Pengomposan Aktif Penyaringan dan Pengemasan

15% BAHAN

Gudang 10%

km/wc
Kantor 10% Pemilahan 10%

Lapak 5%

Penumpukan Residu 10%

Gambar 6.5.. Rencana Perletakan UDPK Keterangan: sirkulasi hasil pemilahan sirkulasi produksi sirkulasi sampah dan residu

11

6.5.

Perhitungan Kapasitas Pengomposan

Setelah rancangan pembagian ruang dibuat, dapat ditentukan jumlah maksimum dari bahan baku kompos yang mampu

ditampung. Setelah itu kita bisa menentukan jumlah sampah yang bisa ditampung di lokasi UDPK, serta jumlah residu yang harus diangkut keluar UDPK secara teratur.

Beberapa hal yang harus diperhitungkan dalam menentukan kapasitas UDPK adalah sebagai berikut:

Ukuran tumpukan sampah yang ideal adalah tinggi (T) maksimum : 1,5 M; lebar (L) maksimum : 1,75 M, dan panjang (P) maksimum : 2 M.

Jumlah sampah yang dapat dikomposkan adalah 60 70% sampah organik. Volume setiap tumpukan sampah adalah V m3, Dimana V = P x L x T Jumlah volume seluruh tumpukan = A m3, dimana: A = n x V n = jumlah tumpukan

Dalam menentukan jumlah maksimum tumpukan, harus ada jarak minimal 1,5 M antara tumpukan memanjang. Jarak antara tumpukan tersebut memungkinkan para pekerja memantau suhu dan

memudahkan pembalikkan sampah.

12

Kebutuhan minimum pasokan sampah selama 60 hari proses adalah : P = (100/60) x A m3 Pasokan sampah per hari = P/60 Perhitungan hasil produksi diperkirakan sebesar 25% dari jumlah tumpukan awal, karena penyusutan bahan organik yang terjadi selama proses pengomposan adalah sebanyak 75%.

Ketentuan peletakan tumpukan pada areal pengomposan dapat dilihat pada gambar 6.6.

Jumlah tumpukan bisa bervariasi tergantung volume sampah yang tersedia

Lokasi tumpukan, lebar = 1,75 m

Sirkulasi 1,00 m

Jarak kerja antar tumpukan minimal 1,50 m

Panjang tergantung jumlah

Gambar 6.6. Perletakan Tumpukan Pada Lokasi Pengomposan

13

6.6.

Penentuan Jumlah dan Jadwal Pemasukan Sampah

Setelah jumlah sampah yang dapat dijadikan kompos ditentukan, maka jumlah masukkan sampah yang dapat dikirim ke lokasi dapat dihitung berdasarkan asumsi bahwa 60 70% sampah kota dapat dikomposkan, dengan catatan bahwa hal ini tergantung daerahnya. Daerah berpenduduk padat perkotaan hanya 30% organik, dan

daerah dengan banyak penghijauan bisa mencapai 70-80%.

Bila jumlah seluruh kebutuhan masukkan sampah (100%) telah ditentukan, maka jumlah residu dapat dihitung, yaitu sebesar jumlah seluruh sampah dikurangi volume barang lapak yang masih dapat didaur-ulang. 6.7. Cara Kerja

Langkah-langkah berikut:

pengoperasian

UDPK

dilaksanakan

sebagai

6.7.1. Pemilahan Sampah

Sampah yang masuk ke lokasi UDPK dipilah untuk mendapatkan bahan organik pilihan sebagai bahan baku kompos. Barang-barang yang masih dapat didaur-ulang dikumpulkan sesuai dengan kategori masing-masing, seperti botol, plastik, kaleng, besi, dan sebagainya. Demikian pula barang-barang berbahaya, seperti batu baterei harus diamankan. Sisa pemilahan disebut residu, yang secepatnya harus dikeluarkan dari lokasi pengomposan sehingga tidak menyita ruang 14

dan

mengurangi

pencemaran.

Pemilahan

sebaiknya

segera

dilakukan sehingga bahan yang mudah rusak tidak membusuk secara liar dan menimbulkan bau serta lalat. Pemilahan di sumber sampah seperti rumah tangga sangat diharapkan, sehingga dapat mempercepat proses dan membantu pekerja.

6.7.2. Penumpukan Bahan Baku Kompos

Sampah organik pilihan sebagai hasil pemilahan, kemudian disusun menjadi tumpukan di atas terowongan udara. Seperti telah dijelaskan di bab sebelumnya, tumpukan ideal adalah 1,5 M (T) x 1,75 M (L) x 2 M (P). Ukuran ini setara dengan 2-3 ton sampah. Langkah ini dapat berlangsung 2-3 hari, misalnya karena bahan tidak mencukupi atau karena pemilahan tidak selesai pada hari itu. Berikut gambar tumpukan ideal dari bahan baku kompos.

Gambar 6.7. Tumpukan Ideal Bahan Baku Kompos

15

6.7.3. Pemantauan Suhu Selama 2-4 Hari Pertama

Setelah bahan baku telah selesai ditumpuk dan mencapai ukuran ideal, maka suhu tumpukan perlahan-lahan akan meningkat sampai mencapai 650C atau lebih. Suhu setinggi ini memang diperlukan selama beberapa hari guna mematikan mikroorganisme patogen, bibit gulma yang tidak dikehendaki dan membantu memperlunak bahan yang sedang dikomposkan. Tetapi suhu yang tinggi ini tidak boleh dibiarkan terlalu lama, karena dapat mematikan bakteri atau mikroorganisme yang berperan dalam proses pengomposan.

Akibatnya adalah proses akan terhenti, dan bahan baku tidak akan berubah menjadi kompos. Maka bila suhu terlalu tinggi lebih dari 4 (empat) hari, maka tumpukan harus segera dibalik.

6.7.4. Memberikan Kelembaban

Perlakuan

Berdasarkan

Suhu

dan

Kondisi tumpukan harus terus dijaga dan terpelihara agar kegiatan pelapukan bahan oleh jasad renik dapat berlangsung dengan baik. Hal ini dilakukan dengan memberikan perlakuan pada tumpukan bahan. Kondisi tumpukan dapat diketahui dengan mengamati suhu dan kelembaban.

A. Pemantauan Suhu

Suhu yang diinginkan selama proses pelapukan berkisar antara 45650C. Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termometer alkohol, yang ditancapkan pada 3 hingga 5 tempat pada sisi 16

tumpukan, dan kemudian dihitung rata-ratanya. Mula-mula sisi-sisi tumpukan dilubangi/ditusuk dengan alat bantu berupa besi atau kayu/bambu. Kedalaman lubang/tusukan adalah 2/3 tinggi dari tebal tumpukan tersebut. Kemudian termometer dimasukkan pada lubanglubang tersebut, dan lubang ditutup kembali sehingga yang terlihat hanya tali pengikat termometernya saja. Setelah 1-2 menit temometer dicabut dengan cara menarik tali pengikatnya. Penunjukan suhu oleh termometer harus segera dibaca dengan cepat. Kalau lambat dibaca, maka pembacaan menjadi salah karena tinggi cairan alkohol akan cepat turun akibat terpengaruh dengan suhu kamar/udara yang relatif jauh lebih rendah.

Gambar 6.7. Cara Pengukuran Suhu Tumpukan


B. Pemeriksaan Kelembaban

Kelembaban ideal yang diperlukan dalam proses berkisar 50%.

pengomposan

Cara memeriksa kelembaban bahan secara

sederhana adalah dikepal dengan tangan. Bahan di bagian dalam 17

tumpukan diambil, kemudian diremas dengan kepalan tangan. Apabila:

Dari remasan tidak keluar air sama sekali dan buyar bila dilepaskan penyiraman; berarti tumpukan kering dan harus dilakukan

Air mengalir cukup banyak dari sela-sela jari, berarti tumpukan terlalu basah atau kelembaban terlalu tinggi. Maka, pembalikan tumpukan harus dilakukan dengan segera;

Hanya muncul sedikit tetesan air dari sela-sela jari, maka kelembaban yang diinginkan telah tercapai.

Gambar6.8. Memeriksa Kelembaban Tumpukan

18

C. Perlakuan Yang Diberikan Kepada Tumpukan

Bentuk perlakuan-perlakuan pada proses pengomposan adalah melakukan pembalikan dan penyiraman. Pada waktu pembalikan tumpukan tidak jarang dilakukan penyiraman secara bersamaan. a. Pembalikan Tumpukan

Pembalikan tumpukan bertujuan: Membuang panas yang berlebihan (menurunkan suhu); Memasukkan udara segar ke dalam tumpukan bahan; Meratakan proses pelapukan di setiap bagian tumpukan; Meratakan pemberian air (bila sambil menyiram tumpukan); Membantu penghancuran bahan menjadi partikel yang lebih kecil.

Ada

dua

macam

pembalikan,

yaitu

pembalikan

ganda

dan

pembalikan tunggal. Gambar 6.9. dan 6.10 menunjukkan kedua cara pembalikan tersebut.

Gambar 6.9. Pembalikan Ganda

19

Keuntungan dari pembalikan ganda adalah bisa menghemat tempat dan pengaruh pembalikan lebih merata. Namun tenaga dan waktu yang dikeluarkan lebih banyak, sehingga berpengaruh terhadap biaya.

Pembalikan tunggal menuntut lahan yang lebih luas, tetapi waktu dan tenaga kerja yang dibutuhkan lebih sedikit. Bila luas lahan pengomposan tidak menjadi masalah, maka pembalikan tunggal dapat diterapkan.

Gambar 6.10. Pembalikan Tunggal


b. Penyiraman Tumpukan

Penyiraman tumpukan dilakukan bila diketahui tingkat kelembaban tersebut terlalu rendah atau tidak mencukupi. Penyiraman umumnya dikerjakan pada saat pembalikan.

20

C. Pematangan Kompos

Setelah waktu berjalan kurang lebih selama 35-40 hari, akan terlihat suhu rata-rata tumpukan semakin menurun. Bahan telah lapuk dan menyerupai tanah, berwarna coklat tua atau kehitaman. Kondisi fisik ini menunjukkan bahwa bahan baku telah berubah menjadi kompos. Kompos masuk pada tahap pematangan yang memerlukan

pematangan selama 14 hari. Hal ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa kompos telah benar-benar matang dan untuk dapat menjamin bahwa kompos benar-benar telah aman untuk digunakan. Selama 14 hari tumpukan perlu diberi perlakuan agar mencapai tingkat kematangan yang baik. Suhu tumpukan tetap diukur selama proses pematangan berlangsung.

Untuk

menguji

apakah

kompos

sudah

benar-benar

matang,

tumpukan perlu dibalik (pematangan hari pertama). Pada hari berikutnya ternyata suhu tetap rendah seperti hari pertama, maka tumpukan dibalik lagi (pematangan hari kedua). Apabila suhu tetap berada di bawah 450C, maka dapat dipastikan kompos telah matang. Tetapi bila suhu kembali meningkat di atas 450C dalam masa pematangan, maka tumpukan perlu dibalik dan juga disiram kalau kondisi tumpukan terlalu kering.

Cara lain untuk menguji kematangan kompos, yaitu dengan menutup tumpukan dengan sehelai plastik transparan. Bila dalam satu hari terlihat adanya titik-titik uap air pada plastik tersebut, maka hal tersebut menandakan masih terjadi proses penguraian bahan 21

organik, atau dengan kata lain kompos belum benar-benar matang. Biasanya, bila kompos belum matang betul, ketika plastik dibuka maka akan timbul bau busuk yang menyengat yang menandakan jasad renik masih aktif.

Parameter yang biasa dipakai untuk menentukan kematangan adalah rasio karbon : nitrogen (rasio C/N) dari produk akhir. Selama proses berjalan, kandungan karbon menurun karena berubah menjadi karbon dioksida. Bila bahan telah menjadi kompos, rasio C/N biasanya menjadi kurang dari 20 : 1. Rasio-rasio lain antara 15 : 1 sampai 30 : 1, diusulkan sebagai batasan untuk menentukan kematangan kompos.

Ciri-ciri kompos yang telah matang adalah sebagai berikut: bentuk fisik tumpukan telah hancur, dan tumpukan terlihat lebih mengecil (penyusutan berat dapat mencapai 50-60% dari awalnya); warna tumpukan coklat tua kehitaman menyerupai tanah; selama beberapa hari suhunya tetap sama atau di bawah 450C. Berbau tanah (tidak menimbulkan bau busuk). Pemanenan dan Pengemasan

6.8.

Bila kompos telah matang, maka kemudian dilakukan pemanenan. Kompos dipisahkan (diayak) untuk mendapatkan butiran-butiran kompos yang kita inginkan yaitu dari butiran halus sampai kasar. Hal ini juga sekaligus menyingkirkan serpihan plastik dan bahan lain yang tidak berguna. Langkah pengayakan dan pengemasan lebih 22

tergantung kepada selera atau kemauan dari pasar (pemakai atau pembeli). Ukuran butiran kompos sangat tergantung pada ukuran lubang saringan (ayakan). Bilamana digunakan ukuran lubang yang lebih kecil lagi (misalnya 1 x 1 mm), maka akan diperoleh butiran kompos yang lebih halus lagi.

Penyaringan dapat dilakukan di mana saja; artinya, saringan dapat dipindah sesuai dengan letak tumpukan yang akan disaring. Caranya adalah sebagai berikut:

Dirikanlah saringan dengan menggunakan penopang kayu, sampai bidang saringan tegak kurang lebih 70 derajat. Kemudian, dari jarak 1 meter, lemparkanlah satu sekop kompos ke bagian atas saringan. Lemparan harus cukup kuat, sehingga bahan dapat terdorong melalui lubang saringan.

Lakukanlah berkali-kali, sampai diperoleh sejumlah kompos hasil saringan di satu sisi, dan sejumlah lain yang tidak lolos di sisi lain. Kompos yang tidak lolos lubang saringan dapat dikumpulkan, lalu ditumpuk menjadi tumpukan kompos baru, atau dicampurkan ke dalam tumpukan yang belum matang untuk dipanen kemudian.

23

Penyaringan kompos dapat dilihat pada gambar 6.11. berikut:

Gambar 6.11. Cara Penyaringan Kompos


Kompos yang sudah disaring dikemas ke dalam kantong sesuai dengan kebutuhan pasar. Kantong yang lazim digunakan saat ini di pasaran adalah sebagai berikut:

Plastik kedap air, ukuran 30 cm x 25 cm untuk kompos halus seberat 3 kg.

Plastik kedap air, ukuran 35 cm x 29 cm untuk kompos halus seberat 5 kg.

Karung plastik, berukuran 90 cm x 60 cm, untuk kompos jenis halus, kasar maupun sedang seberat 40 kg.

Kemasan kecil biasanya untuk melayani kebutuhan rumah tangga melalui penjual eceran maupun di pasar-pasar swalayan. Sedangkan

24

kemasan besar, terutama untuk melayani kebutuhan besar seperti pertamanan, pertanian, reklamasi, dan sebagainya.

Berat

kompos

akan

mengalami

penyusutan

sesuai

dengan

kandungan airnya. Untuk kemasan yang menggunakan karung (tidak kedap air), maka air yang terkandung di dalamnya akan mengalami penguapan, sehingga kompos akan menjadi kering dan berkurang beratnya. Untuk mencegah hal ini, maka kompos dalam karung tersebut sebaiknya ditumpuk di gudang yang terlindung dari sinar matahari. Selain itu, untuk penyimpanan yang cukup lama diperlukan penyiraman untuk mempertahankan kelembaban kompos.

Kompos dalam kemasan harus disimpan dalam gudang agar aman dari pencurian. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah pencatatan barang masuk-keluar, untuk memudahkan pengelolaan usaha.

6.9.

Potensi Pasar Kompos

Pada umumnya, sesuai dengan kegunaannya, kompos dapat dipasarkan kepada kalangan yang cukup luas. Secara garis besar, kalangan ini dapat dikelompokkan sebagai berikut: 6.9.1. Pencinta Tanaman

Kelompok ini umumnya memanfaatkan kompos sebagai media tumbuhan pada taman yang dikelola secara amatir atau sebagai kegemaran/hobi. Pertimbangan utamanya adalah kualitas kompos dan tidak terlalu pada pertimbangan harga. Kelompok ini antara lain 25

adalah pemilik tanaman hias, tanaman pot, kebun, dan taman rumah tangga. 6.9.2. Pengusaha Profesional

Kelompok ini menggunakan kompos sebagai salah satu masukkan dalam kegiatan usahanya. Oleh karena itu, kelompok ini umumnya sangat berkepentingan dengan harga dan kelanggengan hubungan, selain jumlah dan kualitas yang baik dan stabil. Kelompok ini terdiri dari pengusaha-pengusaha dalam bidang:

Pembibitan tanaman hias, hutan industri; Pertanian sayur-mayur, buah-buahan, palawija, padi dan rumput; Perkebunan tanaman keras seperti kopi, coklat; Tambak udang dan ikan; Penyewaan tanaman hias; Pertamanan; Padang golf dan lapangan olah raga; Pengembang permukiman.

6.9.3. Pemerintah

Kelompok

yang

tidak

kalah

pentingnya

adalah

dinas-dinas

pemerintah daerah, serta instansi pemerintah yang terkait dengan hal-hal sebagai berikut:

Taman kota dan jalur hijau; Tempat rekreasi dan lapangan olah raga; 26

Kebun raya; Usaha pemulihan tanah kritis; Usaha/proyek penghijauan; Usaha reklamasi lahan;

Kelompok pencinta tanaman merupakan pangsa pasar skala kecil. Bila kompos menjadi populer di kalangan ini, maka pasarannya menjadi potensial karena pasar relatif stabil dan pembeli tidak sensitif terhadap harga. Dengan kemasan yang baik, pelayanan yang memuaskan dan diversifikasi produk untuk berbagai jenis

penggunaan kompos, harga jual dengan mudah dapat dinaikkan. Margin keuntungan per unit dari pangsa pasar ini dapat besar.

Kelompok pengusaha profesional dan pemerintah merupakan pangsa pasar skala besar karena mampu menyerap kompos dalam jumlah besar, namun sensitif terhadap harga.

Kompos banyak memiliki manfaat bagi masing-masing pangsa pasar tersebut di atas. Manfaat kompos terhadap beberapa usaha terutama agrobisnis adalah sebagai berikut:
6.9.4. Produksi Rumput

Petani rumput memiliki potensi yang agak rendah karena sensitif terhadap harga dan daya belinya lemah. Sedangkan pengusaha lapangan golf dan usaha rancang taman memiliki potensi cukup tinggi karena tidak terlalu sensitif terhadap harga dan daya beli kuat. 27

Manfaat agronomisnya adalah dengan pemakaian kompos, rumput dapat tumbuh lebih cepat, sedangkan manfaat ekonominya adalah penghematan pemakaian air dan dapat mencegah pembelian rumput baru pada saat musim kering.

6.9.5. Konstruksi dan Pemeliharaan

Pengusaha lapangan golf memiliki potensi yang tinggi karena tidak terlalu sensitif terhadap harga dan memiliki daya beli kuat. Manfaat agronomisnya adalah antara lain:

Aliran air dan udara menjadi lebih baik; Mencegah erosi; Menahan air lebih lama; Mencegah kerusakan rumput di musim kering; Tidak berbau dan mudah dipakai; Bebas gulma dan jamur.

Manfaat ekonomisnya adalah dengan pemakaian kompos dapat menghemat penyiraman, karena rumput mampu menahan dan menyimpan air.

6.9.6. Pembibitan Padi

Petani memiliki potensi yang cukup tinggi tetapi sensitif terhadap harga. Petani padi biasanya membutuhkan kompos dalam jumlah 28

besar, sehingga perlu dipertimbangkan lokasi penumpukan dan penyimpanannya.

Manfaat agronomisnya antara lain adalah bibit siap ditanam seminggu lebih cepat dan secara signifikan mengurangi lamanya waktu pembibitan. Dengan demikian manfaat ekonomisnya adalah siklus produksi dapat dipercepat.

6.9.7. Sayur, Buah, Bunga dan Rempah.

Petani sayur, buah, bunga dan rempah-rempah memiliki potensi tinggi karena membutuhkan kompos dalam jumlah besar dengan daya beli yang cukup tinggi. Tetapi banyak pesaing pupuk organik lain, seperti pupuk kandang. Manfaat agronomisnya adalah:

Kompos dapat mencegah penyakit akar dan hama pada tanaman palawija, lada, vanili, cabe, tomat, jahe, alpokat. Aerasi dan drainase yang lebih baik membuat akar tumbuh lebih besar dan lebih sehat, seperti tanaman umbi jahe, kunyit, bawang putih, dsb.

Penggunaan kompos pada jenis tanaman-tanaman di atas secara ekonomis dapat mengurangi pemakaian pupuk kimia.

29

6.9.8. Tanaman Pot dan Masa Perkecambahan,

Jenis usaha yang memiliki potensi tinggi adalah usaha hortikultura, usaha tanaman (pembibitan, sewa tanaman, rancang tanaman), penggemar tanaman hias, hutan tanaman industri, dan usaha bunga potong. Hal ini disebabkan jenis-jenis usaha di atas mampu menyerap dalam jumlah besar dan memiliki daya beli tinggi. 6.9.9. Percepatan Masa Produksi

Kompos dapat mempengaruhi masa produksi. Pangsa pasar yang baik untuk ini adalah pengusaha tambak udang. Karena

penyerapannya sangat tinggi.

Manfaat agronomisnya adalah:

Masa pertumbuhan benur udang lebih cepat setengah bulan; Fisik udang lebih besar dan sehat karena lahan tambak sehat; Meningkatkan pertumbuhan plankton sebagai makanan udang dan plankton tumbuh stabil; Ketahanan hidup udang bertambah; Berat badan udang naik dan kebutuhan makanan menurun.

Manfaat ekonomisnya adalah sebagai berikut:

Pemakaian kompos pada tambak udang dapat mengurangi input bahan kimia; Udang menjadi lebih besar dan sehat sehingga harga meningkat; 30

Mencegah kerusakan lahan tambak; Dengan menambah input kompos sekitar Rp. 50.000,- per 0,5 ha tambak, keuntungan bertambah minimal Rp. 500.000,-.

6.10.

PESAING KOMPOS

Agar mampu menerobos pasar, diperlukan suatu pengetahuan mengenai keunggulan dan kelemahan dari produk yang akan dijual, maupun yang menjadi pesaing. Sampai saat ini belum terdapat suatu keseragaman pengertian mengenai kompos. Banyak penjual media tanamam yang menawarkan kompos dengan variasi yang sangat luas, baik dalam arti mutu, campuran bahan serta harganya.

Sampai saat ini terdapat dua macam produsen kompos pesaing, yaitu kompos pesaing resmi (formal) dan yang tidak resmi (informal). Kompos hasil produsen informal beraneka ragam. Kompos ini dapat hilang dan timbul, dan muncul dengan nama baru. Kandungannya dapat berupa tanah bakar, sampah kebun yang dipendam, pupuk kandang yang dicampur tanah. Standar mutunya tidak dapat dijamin karena kandungannya dapat berubah tergantung bahan yang tersedia. Pesaing kompos lainnya adalah humus hutan yang biasanya dipakai oleh kebanyakan pembibitan tanaman hias di Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Tabel berikut ini adalah ciri-ciri dan pesaing kompos.

31

Tabel 6.2. Ciri-ciri Kompos dan Pesaing Kompos

URAIAN

KOMPOS UDPK

HUMUS

PUPUK KANDANG

TANAH BAKAR

Asal

Sampah kebun, sisa makanan dan sampah organik lain yang telah diseleksi

Tanah hutan

Kotoran hewan

Sampah kebun yang dibakar tanpa dipilih, kadang dicampur pupuk kandang, tanah, pasir, pupuk kimia, dsb

Kandungan

Zat hara mikro, sedikit zat hara makro

Murni alami: Kaya zat hara makro dan mikro

Mengandung N cukup banyak dapat membunuh benih yang peka dalam perkecambahan

Tidak tentu tergantung campuran.

Bahaya Pencemaran

Ada pemilahan sampah, pencemaran dapat dihindari Relatif mahal

Pupuk organik terbaik, murni alami dan tidak tercemar Relatif murah

Tidak tercemar selama murni pupuk kandang

Kemungkinan tercemar logam berat dan bahan beracun Murah

Harga

Relatif murah

Kegunaan

Pembibitan, konservasi tanah, taman, RT, tambak udang, penghijauan, reklamasi, dsb

Segala jenis tanaman pada segala tahap di dalam dan di luar rumah

Tanaman di kebun, untuk di dalam rumah pupuk kandang harus betul-betul matang

Karena mutunya rendah, tidak dapat dijamin akibatnya pada tanaman

(CPIS, 1994)

32

BAB VII PEMBIAYAAN DAUR ULANG


6.1. Umum

Faktor-faktor

yang

dapat

mempengaruhi

aspek

pembiayaan

pembuatan kompos dan daur ulang atau dapat juga disebut sebagai variabel ongkos produksi adalah sebagai berikut :

Sampah sebagai bahan baku. Lahan / lokasi. Teknologi. Tenaga kerja. Bangunan dan perlengkapan. Strategi pemasaran. Harga jual kompos dan materi daur ulang.

6.1.1. Sampah Sebagai Bahan Baku

Ongkos produksi pembuatan kompos dan atau daur ulang akan dipengaruhi oleh kondisi sampah, yaitu :

Kompos memerlukan sampah dengan komposisi organik tinggi (rata-rata di Indonesia adalah 60 - 80 %) dan kadar air tinggi (50 - 60 %). Selain itu C / N ratio sampah juga akan berpengaruh pada proses fermentasinya.

Sumber sampah, kualitas sampah yang berasal dari sumbernya akan jauh lebih baik daripada sampah di TPA (sampah di TPA telah tercampur dan kotor). Kondisi ini akan mempengaruhi kualitas kompos.

Pemilahan sampah, sampah yang telah dipilah dari sumbernya akan jauh lebih baik dari sampah tanpa pemilahan. Sampah organik dan atau anorganik terpilih dapat langsung dibawa ke tempat UDPK sedangkan sisanya (residu) diangkut ke TPA.

Jumlah sampah akan menentukan kapasitas produksi dan daerah layanan UDPK.

6.1.2. Lahan / Lokasi

Lahan / lokasi unit produksi kompos berpengaruh dalam perhitungan ongkos produksi, yaitu :

Lahan dekat dengan daerah pelayanan secara teknis lebih baik karena tidak memerlukan biaya transportasi, tetapi biasanya harganya relatif lebih mahal. Sedangkan lahan di TPA biayanya relatif murah namun masih memerlukan biaya transportasi.

Luas lahan yang tersedia akan mempengaruhi kapasitas produksi, luas lahan yang disarankan untuk skala kawasan adalah 500 m2 (sulit mendapatkan lahan yang luas di perkotaan).

6.1.3. Teknologi Pembuatan Kompos Dan Daur Ulang

Pemilihan teknologi pembuatan kompos dan daur ulang penting dipertimbangkan sebagai upaya mencari ongkos produksi yang relatif tidak mahal, seperti :

Mesin

mekanis

pembuatan

kompos

akan

lebih

mahal

dibandingkan cara yang konvensional (manual). Proses daur ulang menggunakan alat mekanis (magnetic separator) akan lebih mahal dibandingkan dengan cara manual. Penggunaan media lain (cacing, bakteri) sebagai upaya mempercepat dengan cermat. 6.1.4. Tenaga kerja proses pengomposan perlu diperhitungkan

Tenaga

kerja

yang

mengoperasikan

unit

produksi

kompos

merupakan salah satu komponen biaya O/P. Dengan demikian maka jumlah tenaga kerja perlu diperhitungkan sesuai dengan kapasitas produksinya. Jumlah tenaga kerja yang terlalu banyak maupun terlalu sedikit akan tidak efisian. Untuk itu produktivitas para tenaga kerja sangat menentukan biaya produksi. 6.1.5. Bangunan Dan Perlengkapan

Luas dan jenis bangunan serta

perlengkapan pada unit produksi

kompos berpengaruh pada perhitungan biaya investasi. Usia teknis

bangunan dan perlengkapan juga perlu dipertimbangkan dalam perhitungan biaya penggantian (depresiasi). 6.1.6. Strategi Pemasaran

Keberhasilan pemasaran kompos maupun materi daur ulang merupakan kunci kesinambungan produksi. Untuk itu sebelum unit produksi dibangun perlu dibuat studi pemasaran terlebih dahulu atau minimal koordinasi dengan instansi terkait seperti Dinas Kebersihan, Dinas Pertamanan, Dinas Pertanian dan Perkebunan, Dinas Pertambangan dan lain-lain. 6.1.7. Harga Jual

Harga jual kompos dan materi daur ulang akan mempengaruhi kesinambungan produksi. Unit cost agar dihitung berdasarkan kaidah ekonomi yang berlaku serta kepentingan aspek lingkungan (kompos dapat digunakan untuk memperbaiki struktur tanah dan dapat digunakan sebagai tanah penutup TPA serta dapat mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPA). 6.2. Model Pembiayaan

Perhitungan pembiayaan produksi kompos dan daur ulang terdiri dari beberapa komponen, yaitu :

Biaya investasi dan depresiasi. Biaya operasi dan pemeliharaan. 4

Bunga pinjaman. Unit cost.

6.2.1. Komponen Biaya Investasi

Model biaya investasi unit produksi kompos diberikan untuk beberapa tipe pembuatan kompos seperti UDPK, vermikompos dan kompos dengan bakteri EM-4, sebagai berikut :

UDPK

Biaya investasi pembangunan UDPK dan perlengkapannya untuk kapasitas 15 m3 / hari adalah sebagai berikut : Biaya pembebasan lahan (luas 500 m2), harga lahan sangat tergantung pada letak lokasi dan kota. Biaya pembuatan bangunan yang meliputi kantor, kamar mandi, gudang, areal pemilihan, areal pengomposan, pagar, instalasi pompa air, instalasi listrik, saluran drainase, penyiapan lahan dan lain-lain. Biaya investasi ditentukan oleh jenis bangunan

(permanen atau semi permanen), bentuk

bangunan areal

pengomposan (dengan atau tanpa dinding), jenis pagar (besi, tembok atau kayu). Biaya pembelian perlengkapan, meliputi keranjang, cangkrang, sekop, golok, termometer, terowongan bambu, saringan, masker, sepatu boot, sarung tangan, timbangan, selang, kemasan (karung atau kantong plastik), lembaran plastik dan lain-lain.

Kompos dengan bakteri EM-4

Biaya investasi unit produksi kompos dengan bakteri EM-4 (kapasitas 15 m3 / hari) adalah meliputi : Biaya pengadaan lahan (luas 200 m2). Harga lahan sangat tergantung pada letak lokasi dan kota. Biaya pembuatan bangunan (bangunan kantor, gudang, areal pemilahan, areal pengomposan, pagar, saluran drainase,

instalasi air, instalasi listrik dan lain-lain). Biaya pengadaan perlengkapan seperti keranjang, wadah pengomposan, selang, saringan kawat, perlengkapan kerja, timbangan, karung kemasan atau kantong plastik dan lain-lain. Biaya pembelian biakkan bakteri EM - 4. Selanjutnya bakteri dapat dibiakkan sendiri.

6.2.2. Komponen Biaya Operasi Dan Pemeliharaan

Komponen biaya operasi dan pemeliharaan untuk unit produksi kompos / daur ulang secara umum adalah terdiri dari :

Biaya upah tenaga kerja, yang minimal sesuai dengan UMR yang berlaku. Besarnya biaya ini sangat tergantung pada jumlah tenaga kerja yang digunakan. Untuk unit dengan kapasitas produksi 15 m3 / hari, rata-rata diperlukan 6 - 10 tenaga kerja.

Biaya sewa tanah (apabila tidak mungkin membeli). Besarnya biaya sewa ini sangat tergantung pada letak lokasi yang dipilih.

Biaya air dan listrik, besarnya tergantung pada pemakaian air dan listrik. Biaya pemeliharaan dan pergantian peralatan, berupa perbaikan bangunan, pergantian peralatan yang rusak dan lain-lain. Biaya budidaya cacing (untuk unit produksi vermikompos). Biaya ini diperlukan untuk pembelian media bagi cacing. Biaya pengembang biakkan bakteri (untuk unit produksi kompos dengan bakteri EM-4). Biaya ini diperlukan untuk pembelian media pertumbuhan bakteri EM-4.

Biaya pengangkutan residu ke TPA. Biaya kantor, seminar, diklat pekerja, promosi dan lain-lain. Biaya tak terduga. Biaya ini diperlukan untuk hal-hal diluar perhitungan.

6.2.3. Bunga Pinjaman

Apabila biaya investasi berasal dari dana pinjaman, maka bunga pinjaman harus diperhitungkan sebagai salah satu komponen dalam menentukan ongkos produksi dan penentuan harga jual kompos. Besarnya bunga pinjaman tergantung dari mana sumber dana tersebut (dana BLN atau pinjaman bank), besarnya antara 10 - 20 %.

6.3.

Unit Cost

Perhitungan unit cost produksi kompos dihitung berdasarkan hal-hal sebagai berikut :

Biaya produksi, meliputi biaya depresiasi (biaya investasi dibagi dengan umur teknisnya), biaya operasi dan pemeliharaan serta bunga pinjaman. Biaya ini dihitung untuk satu tahun.

Kapasitas produksi kompos dihitung berdasarkan asumsi 25 % dari sampah curah atau 50 % dari sampah organik. Sebagai contoh apabila kapasitas sampah curah adalah 15 m3 / hari maka produksi komposnya diperkirakan akan menjadi 3 - 4 m3 perhari. Produksi kompos ini kemudian dihitung untuk 1 tahun.

Unit cost dihitung dari pembagian biaya produksi terhadap jumlah produksi kompos, sehingga didapat unit cost per m3 kompos atau per kilogram kompos.

Contoh model biaya usaha unit produksi kompos 6.4. Contoh Perhitungan Biaya Pendirian UDPK (Studi CPIS di Jakarta, 1993)

Berikut ini adalah contoh perhitungan biaya yang dibutuhkan untuk mendirikan UDPK skala kawasan, dengan kriteria sebagai berikut :

1. Luas lahan 500 M2, dengan perincian :


Areal pengomposan Areal pemilahan Areal penumpukan residu Areal pengayakan : 275 m2 : 35 m2 : 20 m2 : 30 m2

Bangunan Areal batas


3

: 50 m2 : 85 m2

2. Pasokan sampah 15 m / hari. 3. Jumlah tenaga kerja :8 orang (tenaga untuk proses pengomposan
saja).

4. Produksi kompos total : 600 - 700 kg . 5. Waktu proses pengomposan rata-rata 60 hari.
Berdasarkan asumsi tersebut diatas, maka kebutuhan biaya yang dihitung berdasarkan eskalasi dari 1993 adalah sebagai berikut : harga-harga di Jakarta tahun

1. Investasi bangunan dan areal pengomposan : Rp. 20.000.000,2. Biaya pengadaan peralatan / perlengkapan : Rp. 2.000.000,3. Biaya modal kerja (3 bulan)
Jumlah total : Rp. 5.400.000,: Rp. 30.000.000,-

Perkiraan hasil usaha UDPK tersebut diatas adalah sebagai berikut No I I.1 Komponen Biaya Pengeluaran Modal : Investasi Modal Biaya O /P (3 bulan) I.2. I.3. Depresiasi / tahun Operasional / tahun supply sampah penumpukan residu 1.000.000,9 20.000.000,5.400.000,5. 080.000,Biaya (Rp. )

No

Komponen Biaya Tenaga kerja Sewa lahan Peralatan

Biaya (Rp. ) 18.750.000,3.750.000,5.250.000,300.000,(bila 3.710.000,- (rata-rata 15 %) 38.160.000,-

I.4. I.5.

Pemeliharaan / tahun Bunga pinjaman menggunakan jasa bank) Total Pengeluaran / tahun

II II.1. II.2.

Penerimaan / tahun Penjualan barang lapak Penjualan kompos Total Penerimaan 1.300.000,37.700.000,39.000.000,-

III

Perkiraan Keuntungan 840.000,Sumber : CPIS, 1993 & eskalasi (investasi 100 %, O/P 50 % dan penerimaan 30 %)

6.5.

Contoh Perhitungan Biaya Pembuatan Kompos dengan Bakteri EM-4

Berikut ini adalah contoh perhitungan biaya yang dibutuhkan untuk mendirikan unit produksi vermikompos skala kawasan (hasil

penelitian Puslitbang Permukiman, Departemen Pekerjaan Umum, 1998/1999), dengan kriteria sebagai berikut :

Luas lahan : 100 m2. Lokasi di TPA. Kapasitas 2,5 m3 / hari.


10

Jumlah tenaga kerja : 4 orang. Waktu proses pengomposan rata-rata 21 - 30 hari. Proses menggunakan bakteri EM-4.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan kompos dengan Bakteri EM-4 adalah sebagai berikut :

No I 1.1.

Komponen Biaya

Biaya (Rp.)

1.2.

1.3. II

Pengeluaran Investasi : 10.000.000,Bangunan 500.000,Peralatan Pengadaan Bakteri EM-4 4.013.000,per tahun Operasional / Pemeliharaan per tahun Gaji / upah 10.203.300,Air 200.000,Listrik 75.000,Packing 27.700,Sewa lahan 150.000,Pemeliharaan 1.600.000,Bunga 1.300.000,-

Penerimaan 2.340.000,Hasil penjualan kompos Sumber : Hasil Penelitian Puslitbangkim , 1998 / 1999 Catatan : - Biaya produksi per kg sampah adalah Rp. 85,- Biaya produksi per kg kompos adaalah Rp. 250,11

Diagram Penerapan Teknologi Pengolahan Sampah Perkotaan dan Pemanfaatannya


TEPUNG PROTEIN

GAS

KOMPOS

GAS ORGAN IK TPS COMPOS TING SIS A SANITA RY

SARANA REKREASI

Pengumpul an

Pengangk utan DAU R SISA YANG TIDAK DAPAT Pengangkutan REKLA MASI BAHAN BAKU INDUSTRI

SAMP AH KOTA

PENAMB AHAN LUAS DARATA N

ANORGANIK

TPS

Pengumpu lan

SIS A YAN G DAP

INSTAL ASI PEMBA KARAN LIMBAH SAMPA H

SISA KUALITA S AIR YANG TIDAK MELAMP AUI AMBANG ENERGI

GAS BERSIH

ATMOS FER

You might also like