You are on page 1of 91

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Pengantar Kembara Tani

Who is he ?, seorang wisatawan mancanegara entah berkebangsaan apa, bertanya padaku. Sepertinya, turis yang berparas manis ini tak dapat menahan rasa penasarannya melihat ulahku, berbincang dengan seorang pria di depan benteng Vendeburgh. Pasalnya, hampir semua ucapan pria bercelana pendek dengan caping di kepalanya itu aku tulis. Kadang, aku taburi wajahnya dengan sinar blizt dari kamera saku dalam 2 3 posisi, baik sendiri atau bergerombol dengan kelompoknya. He is a farmer and his gank ujarku sekenanya. Jujur saja, aku memang bermaksud melucu dengan jawaban tadi. Tapi sungguh diluar dugaanku, turis manis yang mungkin saja orang Prancis ini, malah tersentak kaget. What?! He is a farmer? What is he doing here? ujarnya terkaget-kaget dan tidak percaya. Sejenak aku bingung memilih kalimat untuk membalas kekagetannya. Selain karena aku pun kaget melihat kekagetannya, aku sempat berpikir apa jawabanku tadi salah? Looking for money ujarku singkat dan masih setengah bengong. Entah darimana kudapat kalimat itu, meluncur dengan bebas tanpa melalui saringan dikepalaku. Tapi setelah kupikir lagi, ya memang begitu kenyataannya. Mereka, para petani itu, sedang mencari uang untuk menutupi kebutuhan keluarganya. Ada Petani Di Malioboro, yang aku jadikan judul buku ini, bukan sebuah kalimat kiasan atau perumpamaan. Tapi benar-benar sebuah fakta, realita dan memang begitu

kenyataannya. Di obyek wisata andalan Propinsi DIY itu, ada banyak sekali petani. Mereka bukan sedang piknik, study tour, apalagi study banding meniru para wakilnya yang terhormat. Dan, bukan pula sedang bercocok tanam atau sedang menjual hasil panennya. Para petani itu,

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 1

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

berada di Malioboro dipaksa keadaan untuk meninggalkan sawah dan ladang di desanya. Mereka sedang berjuang untuk menambal kebutuhan hidup, karena sepetak lahan sempit yang digarapnya tak dapat mencukupinya. Di Malioboro itu, mereka menjalani beragam aktivitas usaha di luar kebiasaannya sebagai petani. Berjualan bakso, mie ayam, es dawet, kelapa muda, penjaja rokok asongan, menunggu angkringan, mendorong gerobak berisi jagung dan kacang rebus yang menggunung. Ada pula yang turut menjajakan aneka kerajinan khas Malioboro di lapak-lapak kecil. Atau, memikul keramik Kasongan dan menawarkannya diantara deretan mobil mewah milik wisatawan di area parkir benteng Vendeburgh atau di Alun-alun Utara. Menjadi

pengemudi Bis Kota pun ada yang melakoninya. Sebagian besar, mengayuh becak dan merayu wisatawan agar mau menggunakan jasanya. Dua Ribu saja Om, keliling-keliling ke Kraton, belanja batik, dagadu, bakpia pathuk ..., cuma dua ribu Om,... rayunya sambil terus menjejeri tamunya. Walaupun dengan beragam aktivitas seperti itu, tetap saja mereka itu adalah petani. Coba saja iseng-iseng tanya sendiri, atau bawa mereka ke obrolan ringan seputar pertanian. Jangan kaget kalau mereka sangat hapal dosis pupuk dan obat-obatan pembasmi hama, beragam jenis sarana produksi yang digunakannya, pola tanam, kapan musim tanam, produksi beragam komoditas pangan dan hortikultura, bahkan produktivitas lahan yang digarapnya. Dan, jangan kaget pula kalau obrolan itu diakhiri dengan keluhan tentang tidak seimbangnya biaya produksi dan nilai jual hasil panennya. Biasanya, keluhan itu akan diakhiri dengan kritikan kepada pemerintah, meski kebanyakan tampak salah alamat. Atau, kalau mau dan sedikit ada keberanian, minta mereka menunjukan KTP-nya dan lihat, di KTP lusuhnya itu pasti tertulis Pekerjaan : Tani, dan bukan dagang atau wiraswasta.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 2

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Pak Gino misalnya, abang becak yang biasa mangkal di depan benteng Vendeburgh. Warga asal Kali Bakem, Pundong Bantul ini, seorang petani penggarap yang sudah 25 tahun menambal hidupnya dengan mengayuh becak. Pasalnya, hasil menggarap ladang tadah hujan seluas 100 lobang milik orang tuanya, hanya mampu menyumbang sebesar Rp 400.000,- per musim. Nilai tersebut tentu jauh dari cukup untuk menutupi kebutuhannya menghidupi

seorang istri dan ke-5 anaknya. Dengan mengayuh becak, meski sering harus pergi di sore hari dan tidur meringkuk didalam becaknya, setidaknya Gino bisa membawa pulang uang Rp 10.000,- saat menjelang pagi hari. Tengok juga Sumarlan, teman seprofesi Gino ini biasa mangkal di area parkir Abu Bakar Ali. Warga asal Piyaman Wonosari Gunung Kidul ini, mengaku sudah 7 tahun

meninggalkan desanya dan tinggal di rumah petak seputar stasiun Tugu bersama istri dan anaknya. Mereka pulang kembali ke desa bila musim hujan tiba. Pasalnya, lahan tadah hujan di desanya hanya bisa digarap bila hujan turun. Lain lagi dengan Nurhuda, pedagang rokok asongan asal Tegalrejo Magelang ini seorang anak petani. Dia mengaku terpaksa berhenti sekolah karena bosen dan malu ditagih uang sekolah yang tidak bisa dibayar orang tuanya. Keluar dari SMP, dia ke Malioboro dibawa teman sekampungnya yang sudah terlebih dahulu jadi pedagang asongan. Sebenarnya, Nurhuda termasuk beruntung karena masih bisa berusaha dan mengirimkan hasil usaha untuk membantu orangtuanya di desa. Banyak sekali anak-anak seusianya yang juga hidup di Malioboro, bertahan hidup dengan cara mengamen atau mengandalkan belas kasihan orang. Masih kurang? Pernah lihat gerobak bakso bercat hijau bertuliskan Handayani lengkap dengan nomor gerobaknya di sepanjang Malioboro? Sebagian besar dari mereka adalah para petani Gunung Kidul, meski ada pula beberapa dari Klaten dan Wonogiri.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 3

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Mas Bandat misalnya, petani asal Gelaran Bejiarjo, Karangmojo Gunung Kidul. Pemuda tani berperawakan kekar ini, mengaku sudah 3 tahun tidak pulang ke kampung halaman ibunya, karena merasa kerasan tinggal dan berusaha di Malioboro. Atau, jika anda kebetulan naik Bis Kota jalur 04 dan mendengar seorang pengemudi yang fasih bercerita tentang petani dan komoditas hortikultura seperti cabe merah, melon atau semangka, bisa jadi pengemudi itu adalah Hendiyana, petani asal Wates Kulonprogo. Lahan pertanian di kampungnya memang terkenal subur dan air melimpah. Tapi menurutnya, sempitnya lahan yang digarapnya tidak memenuhi skala usaha yang menguntungkan. Karena itu pula dia lebih memilih untuk

menyerahkan lahannya kepada tetangganya dan digarap dengan sistim maro (membagi dua hasil panen). Buku ini memang penuh dengan cerita tentang mereka dan mengapa mereka berada jauh dari sawah dan ladang garapannya. Awalnya, kebiasaanku menghabiskan malam di Malioboro, berbincang-bincang dengan para petani itu, telah melahirkan kegelisahan dan selaksa tanya dalam benakku. Mengapa mereka harus ada di sini? meninggalkan sawah dan ladang garapan di desanya. Meski mudah dijawab, tetap saja melahirkan pertanyaan susulan yang semakin membuatku gelisah. Apa benar yang bisa dilakukan hanyalah menyerah pada alam? Masih mungkinkah mereka menekuni profesinya kembali sebagai seorang petani sejati? Bagaimana pertanian akan berkembang bila yang tersisa hanya tubuh tua dan renta? Atau, memang tidak ada tempat lagikah bagi mereka untuk bisa hidup sejahtera di negeri agraris ini? Semua itu membawaku melangkah ke tempat-tempat dimana mereka berasal. Menjadikanku seorang Kembara Tani yang mengalir bagai air ke tempat dimana kesejahteraan yang lebih rendah berada. Mencoba untuk turut merasakan apa yang mereka katakan dan belajar untuk mengatakan apa yang mereka rasakan.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 4

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Buku ini memang tidak dimaksudkan untuk menjadi sebuah solusi bagai masalahmasalah yang dihadapinya. Menyelesaikan masalah yang menghimpit petani dan

membebaskannya dari ketidakberdayaan, memerlukan penangan holistik dan sinergitas yang selaras dari seluruh warga bangsa ini. Sahabat-sahabatku itu, para petani yang kutulis dalam buku ini, tidak dimaksudkan sebagai bukti yang mewakili kondisi petani keseluruhannya. Apa yang aku lakukan, sama sekali jauh dari yang disebut survey atau penelitian. Aku hanya berjalan mengikuti naluriku untuk bertemu dengan mereka, berbincang dengan mereka, mendengar apa yang mereka katakan dan menuliskannya dalam buku ini. Namun demikian, tidak bijak pula rasanya bila menganggap bahwa kondisi yang para petani itu rasakan, diabaikan sebagai sebuah kondisi kehidupan nyata warga bangsa. Apalagi, eksistensi dan kondisi yang mereka alami, tidak diakui keberadaannya, kebenaran kejadiannya, atau dipandang sebelah mata, hanya karena ketiadaan metode-metode dan alasan angka-angka. Sebab, jika pun tetap begitu, aku pun berhak mempertanyakan, siapa yang dapat menyimpulkan bahwa kondisi yang mereka alami hanya terjadi pada satu dua orang saja, pada sebagian kelompok kecil saja, hanya kebetulan dialami oleh orang yang kebetulan pula aku temui saja, dan oleh karenanya dapat diabaikan? Masihkah kita harus tetap berkutat pada debat-debat panjang perihal angka-angka makro dan mikro, sementara dibalik angka-angka itu adalah sosok manusia, sebuah keluarga, warga negara, saudara sebangsa yang juga berhak atas hidup dan kehidupannya yang layak di Negeri Agraris milik kita bersama. Buku ini hanyalah sebuah medium bagiku, untuk menunjukan rasa kagum dan simpatiku pada perjuangan mereka yang tak kenal menyerah. Lebih jauh, barangkali saja buku ini pun dapat menumbuhkan kesadaran pada diri kita semua, bahwa sudah saatnya

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 5

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

membangun sinergitas yang selaras untuk menjadikan kesejahteraan petani sebagai jembatan emas bagi bangsa Indonesia dalam mencapai cita-citanya. Siapa pun anda, pembaca yang budiman, dapat mengambil peran aktif dalam konteks membangun sinergitas yang selaras tadi, demi masa depan bangsa dan negara kita. Pada saat hendak memulai menulis buku ini, aku sempat kebingungan akan memulai darimana, memilih angle yang tepat agar menghasilkan potret yang layak saji. Sebab, tidak mudah bagiku untuk meramu dan menyusun ulang catatan yang kutulis kala berbincang dengan petani di sawah dan ladang garapannya. Tapi untuk sekedar memilah-milah, maka buku ini kubagi menjadi tiga bagian, yakni: Bagian pertama, Merajut Benang Harapan. Menggambarkan kondisi alam dan lahan pertanian di DIY, khususnya Gunung Kidul, serta berbagai keterbatasannya yang menciptakan tingkat kesejahteraan berbeda bagi para petani pengguna lahannya. Beragam upaya dilakukan untuk menyiasati keterbatasan itu, termasuk pergi meninggalkannya. Semburat warna coklat dan gunung berbatu hitam keabuan berganti gradasi warna hijau memukau, terus silih berganti menemani pengembaraanku. Menyaksikan bagaimana keragaman fisiologis menciptakan tingkat kesejahteraan yang berbeda, menjadi berkah bagi sebagian dan musibah bagi sebagian lainnya. Di sebagian wilayah, petani menjual gabah atau beras yang digilingnya, akan tetapi di sebagian wilayah lainnya, petani justru membeli beras untuk kebutuhan pangannya. Dua posisi yang saling berhadapan dalam rantai tata niaga beras, ternyata berada pada satu sosok yang sama. Produsen beras itu adalah konsumen beras juga, yang pada suatu waktu menuntut harga beras mahal agar harga gabah tidak jatuh, akan tetapi di waktu yang lain justru berharap mendapatkan beras dengan harga yang murah agar mampu memenuhi kebutuhan pangannya.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 6

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Benang-benang harapan tentang terciptanya sebuah perubahan yang lebih baik tentunya bagi kesejahteraannya, terus dirajut di tengah hamparan sawah dan ladang yang semakin terasa lengang. Bagian Kedua, Memahat Asa di Jantung Kota. Lebih banyak bercerita tentang mengapa mereka harus pergi, beragam alasan yang mendorongnya, serta berbagai harapan yang mengikuti langkahnya. Bekerja di kota-kota besar untuk dapat menambal kebutuhan hidup bagi sebagian keluarga yang ditinggalkannya adalah hasil pahatan yang diharapkannya. Urbanisasi yang marak terjadi, menurunnya kemampuan sektor pertanian menyerap tenaga kerja, bergesernya pola usaha rumah tangga, dan ditinggalkannya sektor pertanian oleh sebagian keluarga tani, merupakan fenomena yang jelas-jelas tengah terjadi di DIY. Arah pembangunan ekonomi DIY yang cenderung berkembang ke arah sektor sekunder dan tersier, berdampak cukup besar terhadap beralihnya pola ekonomi Rumah Tangga di sektor pertanian ke Rumah Tangga di luar sektor pertanian. Keengganan generasi muda pertanian untuk terjun ke sektornya pertanian, lebih disebabkan oleh ketidakmampuan sektor pertanian memberikan jaminan hidup bagi mereka. Hal itu, tampak jelas dalam untaian kalimat-kalimat yang dipilih para ketua kelas siswa SMA I Karangmojo Gunung Kidul. Bagian Ketiga, Mutiara yang Terpendam. Gambaran tentang beragam potensi alam yang belum serius digali dan dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan tambahan para petani. Berbagai kendala, tantangan dan peluang pengembangannya, dicoba untuk ditelusuri. Secara khusus, aku mengulas potensi batu paras Jogja putih. Batu paras Jogja putih memantulkan cahaya harapan sebagai penahan langkah pemuda tani ke jantung kota. Bahkan, batu itu pun diyakini mampu menarik mereka yang sudah berada di kota, untuk kembali pulang membangun desanya. Potensi dan Peluang batu yang

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 7

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

ditambang di bukit Gloto Candirejo, Semin Gunung Kidul ini, mampu menjadi denyut nadi ekonomi. Produk hasil tangan-tangan trampil pemahat Desa Ngijo, Semin Gunung Kidul, telah menyambangi negeri-negeri di seberang lautan. Tidak ada keberhasilan yang dibangun sendiri. Begitu juga berhasilnya buku ini terbit dan sampai ke tangan anda, tidak terlepas dari banyaknya orang lain yang terlibat. Menghargai semua upaya sekecil apa pun dalam rangkaian sampainya buku ini ke tangan anda, termasuk anda sendiri yang telah memberikan korbanan untuk mendapatkannya, secara khusus aku membuat lembar ungkapan terima kasih. Hanya sekedar ucapan terima kasih. Tapi, memang hanya itu yang dapat kusampaikan untuk mewakili ketulusan dari pengakuan atas bantuan anda semuanya. Mudah-mudahan, buku ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Yogyakarta, Oktober 2005

Penulis, Kembara Tani

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 8

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Ucapan Terima Kasih

Puji dan syukur, aku panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkah dan rahmatNya serta keselamatan dan kesehatan yang diberikanNya padaku selama perjalanan Kembara Tani, dan atas ilmu dan pemahaman yang dicurahkanNya. Sejak mulai persiapan hingga terbitnya buku ini, pertolongan dan perlindungan-Nya, atas kuasaNya menggerakan hati orang-orang untuk membantuku, benar-benar sangat aku rasakan dan untuk itulah aku bersyukur dan berterimakasih. Terima kasih ku sampaikan lewat doa untuk kedua orang tuaku almarhum, atas kasih sayang, arahan dan gemblengan, serta benih kepedulian terhadap petani yang disemaikannya dalam jiwaku. Semoga keduanya mendapat tempat yang layak disisi-Nya. Tuhan Maha Adil dan Bijak, setelah memanggil kedua orangtuaku itu, Dia pun mengirimkan dua orang lainnya untuk mendampingiku. Terima kasih untuk Bapak Muttaqin dan Ibu

Supiyah serta seluruh keluarga di Kunduran Blora Jawa Tengah, atas kehangatan sebuah rumah yang membuatku mengenal kembali kata pulang, setelah sekian lama kata pulang itu menghilang dalam lembar perjalanan hidupku. Terima kasih kusampaikan pula untuk Bapak DR Ir Siswono Yudo Husodo, atas eksistensinya sebagai sosok seorang bapak, guru dan sahabat dalam jiwaku. Sehingga menghadirkan inspirasi, ketauladanan dan pembelajaran dalam berempati kepada para petani Indonesia serta kepedulian terhadap kehidupannya, atas Wawasan Nusantara dan Kebangsaan serta Jiwa Nasionalisme yang disematkannya dalam dadaku.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 9

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Kepada Bapak Hidayat Nur Wahid (Ketua MPR RI) dan Bapak Agung Laksono (Ketua DPR RI), ucapan terima kasih kusampaikan atas perkenan dan dukungannya terhadap program Discussion Tour Jawa Dwipa, Gema SuPI. Kepada Bapak DR Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia, meskipun surat permohonan dukungan yang saya sampaikan kepada Bapak, oleh staff Sekretariat Negara dianggap tidak layak untuk sampai kepada bapak dan akhirnya tidak sampai pula kepada bapak, saya mengucapkan terima kasih atas inspirasi dari semangat pengabdian kepada Bangsa dan Negara Republik Indonesia yang telah bapak tunjukan dalam pidato-pidato bapak di berbagai kesempatan. Terima kasih saya sampaikan pula kepada Bapak Prabowo Subianto, Ketua Umum DPN HKTI dan Bapak Rachmat Pambudi, Sekjen DPN HKTI serta seluruh keluarga besar HKTI, atas dinamika, perdebatan dan sikap saling asah, asih dan asuh, serta interaksi dalam organisasi yang hendak kita benahi bersama, untuk kesejahteraan petani dan kejayaan Merah Putih. Khusus kepada Mas-ku yang energik di usia senjanya, Kang Mas Drs. H. Heroe Soeparto, terima kasih atas anugrah kisah nyata perjalanan HKTI dari sejak berdiri hingga hari ini. Tidak ada warisan yang lebih baik selain daripada pewarisan sejarah yang benar, sebagai pijakan untuk melangkah ke masa depan yang lebih bai. Terima kasih kusampaikan kepada Mas Reza Aulia, Ketua Yayasan Anak Bangsa Mandiri Yogyakarta, Kang Maman di STTP Yogyakarta dan sesepuh serta keluarga besar Dewan Pendidikan Nasional Yogyakarta, atas ritual pemberangkatan Kembara Tani di Yogyakarta. Selamat Berjuang dan bekerja membangun kompetensi pendidikan di Indonesia. Jangan biarkan anak-anak petani putus sekolah !

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 10

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Terima kasih kusampaikan pula untuk Pimpinan PT. Nusapersada Abadi Sejahtera, produsen NASHA Motor Cycle, atas kepercayaannya kepadaku untuk menggunakan Unit Tangguh METEOR Nasha Roda Tiga dalam perjalanan Kembara Tani keliling Pulau Jawa. Atas kesigapan dan perhatiannya mengawal perjalananku, dukungan teknis dan jaringan service yang mengagumkan. Melalui Bapak Johnny, Bapak Didik dan Bapak Burhan, Tim NASHA Jakarta, serta Bapak Tioso, Bapak Puji, Bapak Suroto, team NASHA Magelang, saya sampaikan penghargaan setinggi-tingginya atas kepedulian terhadap para petani. Terima kasih atas persahabatan yang terjalin selama ini. Kepada sahabat-sahabat kecilku, anak-anak jalanan basecamp Alun-alun Utara dan basecamp Kopi Joss Stasiun Tugu, serta saudara-saudaraku komunitas Malioboro yang tidak dapat kusebutkan satu-satu, terima kasih atas persaudaraan yang diberikan selama aku mangkal di Jogja. Selamat Berjuang, semoga kalian semua dapat menemukan rumah jiwa dan dapat menjadi kebanggaan orang tua kalian, para petani Indonesia, serta berkarya untuk bangsa yang kalian cintai. Terakhir, ucapan terima kasih tak terhingga kusampaikan kepada saudara-saudaraku para petani di DIY, yang telah memberikan kehangatan dan keramahan luar biasa dalam setiap perbincangan, atas keterbukaan dan kepercayaan yang ditunjukan, atas ide-ide, inspirasi dan pembelajaran yang dicurahkan kepadaku, atas tuturan-tuturan kalimat yang menjadi tuntutan dan peta jalan pengembaraanku, serta atas doa keselamatan yang ditujukan kepadaku dalam menempuh perjalanan ini. Sungguh ucapan terima kasih yang aku sampaikan ini, tak

sebanding dengan apa yang telah bapak dan ibu tani berikan kepadaku. Tapi, hanya ini pula lah yang sanggup aku berikan sebagai pengakuan tulus atas eksistensi warna pelangi milik bapak dan ibu tani yang mendominasi warna hidupku.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 11

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Semoga Tuhan Yang Maha Esa, berkenan untuk mengangkat kesejahteraan bapak dan ibu tani sekalian, dan menyediakan tempat yang layak di akhirat kelak. Tempat dimana kebahagiaan tak berkesudahan dan penderitaan tak pernah tampak lagi. Amin. Sekali lagi, Terima Kasih.

Yogyakarta, Oktober 2005. Kembara Tani.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 12

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

BAGIAN PERTAMA

MERAJUT BENANG HARAPAN

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 13

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Dari Merpati pepada parpda

parpdap Merap dan Pptip itp pepapin lpppp pelpppp bapp dan pelana pitap petani pepilip neperip pap terdenpar lapi perplinp pepbalap panpa derp pepin pepbelap dadap pap tappap lapi tpbpp pepar dan peppalp panpa tanpan renta panp tertinppalp parpppap perap pp perappan denpan darap p atap Pptip pppantipan denpan tplanp belplanp p Apar Merap dan Pptip itp dapat pp rappt planpp dan berpbap tap pelpppp bapp dan pelana pitap petani pepilip neperip

pepbara pani

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 14

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

pp pepbprat parna poplat

Udara panas dan kering menerpaku tatkala memasuki pintu gerbang Wonosari, Ibu Kota Kabupaten Gunung Kidul. Semburat warna coklat lebih mendominasi lahan-lahan

pertanian yang kulewati. Sisa tanaman jagung dan ranting yang kering, jerami mati mencuat dari tanah yang retak, dan gunung berbatu hitam keabu-abuan, hampir selalu kutemui di sisi kiri dan kanan jalan. Semburat warna coklat di akhir musim kemarau, menemani

pengembaraanku di kabupaten yang memiliki luas hampir separuh luas propinsinya itu. Setidaknya, itulah kesan yang kutangkap dalam rute perjalanan yang ku tempuh. Rute Pertama membelah wilayah, dari Jogja (brandname baru yang dipakai untuk menyebut Yogyakarta) menuju Wonosari melalui Pathuk dan berakhir di Desa Dadapayu Semanu. Rute kedua melingkari wilayah, kembali ke arah Pathuk dan berbelok dari Desa Bunder ke arah Gedangsari, lalu berturut-turut singgah di Nglipar, Ngawen, Semin, Karangmojo, Ponjong, dan Rongkop. Kemudian menyusuri pesisir selatan menuju Tepus, melalui Pantai Sundak, Krakal, Kukup dan Baron, menuju Saptosari dan berakhir di Panggang, kemudian masuk ke Bantul melalui Imogiri. Kesan itu semakin kental terasa tatkala memasuki Pegunungan Sewu di Selatan. Jalan berbelok tajam penuh dengan tanjakan terjal dan turunan menukik. membelah jalan aspal hitam terbakar panas terik matahari. menengadah mengharap hujan. NASHA meluncur

Tanah yang retak telanjang

Semak kering di tepi-tepi tebing, membalut batu hitam

keabuan. Hijau berkelompok, tersebar dan tampak malu-malu ditengah dominasi semburat coklat, merah, hitam dan debu yang bertebaran. Pegunungan seluas 1.656,25 km2 dengan ketinggian 150 700 m dpl dan kemiringan antara 15 % sampai 40 % itu, menutup sepertiga

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 15

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

luas wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Pegunungan Sewu tampak

berbaring lesu dan kehausan dalam kelengangan udara panas akhir musim kemarau. Semburat warna coklat, sempat tergantikan gradasi warna ijo royo-royo yang menyejukkan tatkala memasuki Ponjong. Di wilayah kecamatan yang memiliki kombinasi tipe tanah grumosol hitam, litosol, kompleks litosol dan mediteran merah itu terhampar luas areal persawahan di sisi kiri dan kanan jalan. Tanaman Jagung tampak tegak memagari petakan-petakan kecil tanaman padi. Gemericik air di saluran pembagi, mengiringi tingkah beberapa petani yang hilir mudik mengawal aliran air ke sawahnya. Kadang terdengar

teriakan atau tepukan tangan, sebagai tanda peringatan agar jangan ada yang mengambil atau membelokan air yang menjadi jatahnya. Angin semilir menggerakan ranting dan daun,

mengalunkan musik alam yang mengundang kantuk. Di sebuah gubuk kecil di tepi saluran pembagi, penat, lelah dan gerah, berhasil kuusir pergi jauh-jauh. Kakiku bermain-main di aliran air yang bening, dingin dan menyejukan. Kuraup airnya membasahi rambut, kepala, muka, leher dan punggungku. Beberapa pasang mata menatapku heran, sebagian bahkan tertawa dan tersenyum menyapaku. Gradasi warna hijau di areal pertanian itu, kembali hilang digantikan semburat warna coklat dan gunung berbatu kapur, tatkala meninggalkan Ponjong menuju Rongkop. Dan, kutemui kembali sesaat meninggalkan Panggang di tepi batas Gunung Kidul Bantul. Dari ketinggian Girisuko, hamparan sawah, Kacang tanah dan Jagung di bawahnya, memantulkan gradasi warna hijau. Di kejauhan, tampak atap-atap rumah dengan atap genting merah kecoklatan, megelompok dan tersebar di tengah areal pertanian. Tampak seperti pulau-pulau kecil ditengah lautan hijau tanaman padi dan palawija. Seakan berkata, Selamat Datang di (Projo) Tamansari.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 16

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Memasuki Bantul ke arah Imogiri, menyuguhkan pemandangan yang begitu kontras. Semburat warna coklat dan gunung berbatu hitam keabu-abuan di Gunung Kidul, berubah penuh warna hijau dengan gradasi memukau. Keindahan itu dipercantik dengan warna

lembayung yang mengiringi mentari kembali ke balik cakrawala. Mataku iseng menangkap beberapa sejoli yang tampak asyik menikmati Sunset di tepian batas Gunung Kidul Bantul. Sejuknya hijau semakin kental terasa, tatkala memasuki ibu kota Bantul. Di sisi kiri dan kanan jalan, pohon rindang berjejer rapih bak pagar ayu dan bagus yang menyambut tetamu. Teduh dan sejuk memenuhi pandangan mataku, mengiringi kemana pun NASHA kubawa. Namun, semua kesan itu kembali menghilang tatkala memasuki wilayah pesisir selatan, menuju Pantai Parangtritis, mampir ke Parang Endog lalu ke Parang Kusumo sampai Pantai Samas melalui Tirtoharjo. Semburat warna coklat kembali menampakan diri, berpadu pasir kelabu dipanggang terik matahari. Untung saja, udara panas dan kering terkadang hilang tersapu angin Pantai Selatan. Semburat warna coklat dan gradasi warna hijau memukau, terus silih berganti menemani pengembaraanku menelusuri 4 kabupaten yang melingkari 1 kota, di propinsi seluas 3.185,8 km2 itu. Meninggalkan Gunung Kidul memasuki Bantul, lalu naik ke Sleman membelah rimbunnya hamparan pohon salak, bentangan areal persawahan, petakan tanaman mendong, bawang merah dan tembakau. Menuju Kaliurang di kaki Merapi, NASHA merayap perlahan, seakan turut menikmati teduh, sejuk dan segarnya perjalanan. Dari ketinggian kaki Merapi, NASHA kupacu ke Kulon Progo melalui Kalibawang menuju Samigaluh. Di Desa Purwoharjo, aku sempat menikmati segarnya madi di mata air yang mengalir malu-malu di sungai yang kering. Berlindung di balik batu hitam yang besarbesar, di bawah naungan rimbunan pepohonan, atmosphere kenangan masa kecilku, mandi di

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 17

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

kali, kembali menyelimuti. Tubuhku telanjang, di tengah alam dengan sungai-sungai yang juga telanjang, tanah merah kecoklatan yang juga telanjang, tanah hutan jati yang juga semakin telanjang. Menelusuri pegunungan Kulon Progo di ketinggian 572 m dpl yang berakhir di Pantai Glagah, mengakhiri pengembaraanku di DIY. DIY memang memiliki sebaran fisiografis yang relatif lengkap. Dataran rendah di sepanjang garis Pantai Selatan dengan panjang 110 km sampai dengan daerah kerucut Merapi di Utara dengan ketinggian kl. 2.968 m dpl. Di sebelah Barat, mengalir Sungai Progo yang berhulu di Jawa Tengah dan Sungai Opak di sebelah Timur yang bersumber dari Gunung Merapi, bermuara ke Samudra Indonesia. Propinsi terkecil kedua setelah DKI Jakarta ini terletak di tengah Pulau Jawa, dikelilingi oleh Propinsi Jawa Tengah dan termasuk zona tengah bagian Selatan dari formasi geologi Pulau Jawa. Secara umum, DIY terdiri atas 4 satuan fisiografis, yakni : 1. Pegunungan Sewu di Selatan, seluas kl. 1.656,25 km2 dengan ketinggian 150 sampai 700 m dpl. 2. Gunung Api Merapi di Utara, seluas kl. 582,25 km2 dengan ketinggian 2.000 sampai 2.968 m dpl. 3. Dataran rendah antara Pegunungan Sewu di Selatan dan Pegunungan Kulonprogo, seluas +/- 215,62 km2 dengan ketinggian 0 sampai 80 m dpl. 4. Pegunungan Kulonprogo dan dataran rendah Selatan, seluas kl. 706 km2 dengan ketinggian 0 sampai 572 m dpl. Faktor-faktor cuaca menyebabkan DIY memiliki iklim Tropis sepanjang tahun dengan suhu rata-rata tetap berkisar antara 25 sampai 32 oC. Di tempat-tempat yang lebih tinggi, suhunya lebih dingin dengan kelembaban udara tergantung musim, tapi pada umumnya 84 %.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 18

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Musim hujan dimulai pada Oktober sampai Maret, sedangkan musim kemarau berlangsung April sampai September. Jumlah hujan dalam setahun mencapai +/- 1.750 mm dengan

intensitas tertinggi terjadi pada periode Januari sampai Maret, dimana curah hujan per bulan mencapai lebih dari 300 mm. Propinsi yang memiliki 78 kecamatan dan 438 desa ini, secara astronomis terletak antara 7 0 33 8 0 12 dan 1100 00 1100 50 BT. Berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri di sebelah Tenggara, Kabupaten Klaten di sebelah Timur, Kabupaten Magelang dan Purworejo di sebelah Barat Laut dan Barat. Entah mengapa, menjelajahi propinsi yang dibentuk berdasarkan UU No. 3 Tahun 950 Jo. No. 18 Tahun 1950, aku merasa DIY adalah Indonesia mini. Bisa saja aku berlebihan dan mengada-ada. Tapi, menyusuri pegunungan, lembah, ngarai, dataran rendah, hamparan sawah dan ladang, pesisir pantai, dan hiruk pikuknya kota, rasa dalam jiwaku selalu mengatakan : Inilah Indonesiaku ! tempat dimana Garuda bertenger dengan gagahnya, sayapnya mengembang memeluk Ibu Pertiwi, tempat dimana Merah dan Putih berkibar diterpa angin tiada hentinya. Dalam pengembaraanku, Jogja berselimutkan keramahan tak berbatas. Tempat dimana masyarakat yang sarat dengan petatah, petitih, petuah dan nilai-nilai adat timur, hidup dan berkembang dalam arus perubahan global. Tempat dimana banyak sekali paham yang saling memahami, tempat dimana perbedaan bermakna persamaan. Tempat dimana petani selalu merasa kaya tanpa harta, sugih tanpo bondho. Di setiap persinggahan dan perbincangan dengan para petani, Kawulo Mataram itu, selalu saja kutemukan pencerahan yang diajarkan alam lewat tuturan-tuturannya. Kalimatkalimat yang tampak sekali dipilih agar tidak keluar dari nilai mikul dhuwur mendhem jero. Sikap nrimo ing pandhum, selalu tercermin dalam setiap kalimat akhir yang menutup

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 19

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

perbincangan. Tapi, justru apa yang dipertontonkannya padaku itu, terasa sebagai belati ironi yang menghujam ke ulu hati, berulang kali. Para petani itu seperti juga warga bangsa lainnya yang memiliki kesejahteraan lebih baik adalah pemilik syah negeri ini. Negeri yang dilahirkan dan melahirkannya, negeri yang dibesarkan dan (entah kapan akan) membesarkannya. sejarah bangsa ini yang terlepas dari desah nafasnya. Tidak ada sedetik pun perjalanan Meski pun lembar-lembar sejarah

panjang itu, dipenuhi dengan kisah suram dan kelam nasibnya, kemiskinan dan ketidakadilan, serta pengorbanan-pengorbanan atas nama pembangunan, tidak pernah tinta pengabdiannya kering untuk dituliskan. Sesungguhnya petani sadar bahwa dirinya adalah pemilik negeri, dan oleh karena itu pulalah, petani mengabdi tanpa pernah menghitung untung rugi.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 20

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

pp pepepapteraan perbatap Alap

Kondisi Fisiografis dan iklim DIY, menyebabkan lahan untuk pertanian yang diusahakan petani tidak merata di masing-masing kabupaten dan kotanya. Bahkan, variasi usahatani ini terkesan memiliki perbedaan yang mencolok. Gunung Kidul dengan Sleman misalnya. Dua kabupaten yang berbatasan ini memiliki dominasi komoditas yang berbeda, khususnya untuk padi dan palawija. Dengan kondisi lahan kering yang mencapai 45,29 % dari luas lahannya, produksi areal pertanian Gunung Kidul (2004), didominasi oleh komoditas Ubi kayu (699.290,45 ton), Jagung (146.532,14 ton), Padi Gogo (131.769,63 ton), Padi Sawah (51.033,11 ton), Kacang tanah (47.081,97 ton) dan Kedelai (25.460,84 ton). Sementara itu, Sleman memiliki iklim dan kondisi tanah yang sangat baik untuk pertanian lahan basah. Kesuburan tanahnya

memungkinkan tanaman tumbuh dengan sempurna. Dengan kondisi demikian produksi areal pertanian (2004), didominasi oleh komoditas Padi Sawah (252.518 ton), buah-buahan (121.603 ton), Sayuran (29.004,9 ton), Ubi kayu (28.200 ton) dan Jagung (22.564 ton). Gunung Kidul dengan luas wilayah 148.536 hektar atau 45,68 % luas wilayah DIY dengan garis pantai sepanjang 70 km, hanya memiliki sawah seluas 5,20 % dari luas wilayahnya. Sedangkan Sleman dengan luas wilayah 57.482 hektar atau 18 % luas wilayah DIY, memiliki areal pesawahan seluas 40,64 % dari luas wilayahnya. Hampir separuh luas wilayah Gunung Kidul adalah lahan kering dan hampir separuh luas wilayah Sleman adalah areal pesawahan dengan irigasi yang cukup. Sementara itu, Bantul dan Kulon Progo memiliki perpaduan dari perbedaan kedua wilayah kabupaten itu.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 21

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Padi Sawah versus Padi Ladang Keragaman kondisi fisiografis dan iklim itu pun memberi dampak yang nyata pada tingkat kesejahteraan petani pengguna lahannya. Berdasarkan Sensus Pertanian 2003 (ST03), pada kurun waktu 1993-2003, jumlah keluarga tani yang menanam padi sawah mengalami kenaikan sebesar 57,35 %, dengan laju pertumbuhan sebesar 4,64 % per tahun. Menurut Analisa Hasil Listing ST03 (BPS DIY, 2004), kenaikan ini terjadi karena adanya sistem pembagian warisan lahan sawah dari orang tua petani kepada anak-anaknya. Dan, lahan sawah warisan itu tetap ditanami padi atau tidak terjadi peralihan komoditas. Berbeda dengan keluarga tani yang mengusahakan padi ladang yang mengalami penurunan sebesar 11,95 %, dengan rata-rata penurunan sebesar 1,26 % per tahun. Penurunan ini disebabkan oleh keengganan petani untuk bertahan menanam padi ladang. Pasalnya, keberhasilan usahatani padi ladang sangat tergantung pada curah hujan. Padahal, dengan adanya pergeseran musim, petani tidak dapat lagi mengandalkan curah hujan untuk menjalankan usahataninya. Pilihan satu-satunya adalah beralih komoditas. Fenomena ini menunjukan bahwa kondisi alam sangat berpengaruh pada usaha tani yang pada gilirannya mempengaruhi pendapatan dan tingkat kesejahteraan petani. Pilihan untuk beralih komoditas pada keluarga tani yang menanam Padi ladang, didasari oleh pertimbangan bahwa menanam padi ladang tidak dapat memberikan keuntungan yang diharapkan petani. Ketergantungannya yang besar pada alam (lahan tadah hujan), membuat petani padi ladang memiliki resiko gagal panen yang cukup besar. Berbeda dengan keputusan untuk tetap mengusahakan padi sawah, karena usahatani ini dipandang relatif lebih memberikan keuntungan yang pasti.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 22

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Dari 240.306 keluarga tani yang menanam padi sawah (50,96 % dari jumlah keluarga tani di DIY), 180.020 diantaranya merupakan keluarga tani yang menanam padi sawah beririgasi, dengan letak sebaran 38,58 % di Sleman, 36,02 % di Bantul, 20,73 % di Kulonprogo dan sebagian kecil di Gunung Kidul (4,3 %) dan Kota Yogyakarta (0,48 %). Sedangkan 60.286 sisanya adalah keluarga tani yang menanam padi sawah tidak berigasi, yang justru lebih dari separuhnya (56,11 %) berada di Gunung Kidul, 25,15 % berada di Bantul, 14,44 % berada di Kulonprogo dan sebagaian kecil atau 4,3 % berada di Sleman. Sementara itu, dari 110.131 keluarga tani yang menanam padi ladang (23,35 % dari jumlah keluarga tani di DIY), hampir seluruhnya berada di Gunung Kidul (97,61 %). Sebagian kecil berada di Sleman (1,71 %), di Bantul (0,66 %) dan di Kota Yogyakarta (0,02 %). Kondisi ini menunjukan bahwa sebagian besar keluarga tani di Gunung Kidul, memiliki basis lahan usahatani berupa lahan kering. Angka-angka tersebut memang menunjukan bahwa kondisi lahan di Gunung Kidul yang relatif kekurangan air, lebih cocok ditanami padi ladang. Atau, lebih tepatnya, tidak dapat ditanami padi sawah karena berbagai keterbatasannya, seperti misalnya tidak adanya air untuk mengairi sawahnya. Pilihan untuk mengusahakan padi ladang, sebenarnya adalah sebuah fakta dari ketidakberdayaan petani menghadapi kondisi alam. Pasalnya, apabila petani Gunung Kidul diberi kesempatan untuk memiliki sistem irigasi sebaik Sleman, tentu keputusan untuk beralih komoditas atau setidaknya pola tanam akan semakin banyak diambil petani. Bahkan,

mengingat luasnya areal pertanian di wilayah ini, kemungkinan besar variasi komoditas yang diusahakannya pun akan memiliki keragaman yang melebihi Sleman. Kesejahteraan berbatas alam memang benar-benar sebuah fenomena yang telah lama berlangsung di DIY. Keterbatasan itu membedakan tingkat kesejahteraan rata-rata keluarga

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 23

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

tani di Gunung Kidul dengan keluarga tani di 4 wilayah lainnya. Petani padi irigasi dapat menanam padi 3 kali dalam setahun atau dengan variasi pola tanam, setidaknya 2 kali dalam setahun. Sementara petani padi ladang hanya dapat menanam satu kali saja dalam setahun. Tentunya, hal ini sangat berpengaruh pada pendapatan keluarga tani yang merupakan akumulasi dari penjualan hasil panen usahataninya. Perbedaan pendapatan dan tingkat kesejahteraan petani DIY sebagai akibat perbedaan kondisi alam dan lahan pertaniannya, juga terlihat dari beban biaya produksi usahataninya. Bahkan, hal tersebut pun berlaku untuk keluarga tani yang sama-sama menanam padi sawah dan sama-sama beririgasi, tapi berbeda lokasi. Petani padi sawah di Desa Genjahan Ponjong Gunung Kidul, harus memasukan biaya irigasi atau air untuk mengairi sawahnya kedalam komponen biaya produksi. Pasalnya, air yang digunakan untuk mengairi sawahnya itu diambil dari sumur bor dan harus dibelinya dengan biaya Rp 23.000/jam. Padahal, dalam satu musim tanam, Sukimin salah satu petani di wilayah itu, mengaku perlu mengairi sawah sebanyak 30 kali dengan rata-rata satu jam setiap kalinya. Alhasil, untuk mengairi sawahnya Sukimin harus mengeluarkan biaya 30 x Rp 23.000 atau senilai Rp 690.000,- . Sawah saya cukup jauh dari sumber mata air Mas, jadi ya harus begitu ujarnya pasrah. Sebenarnya, di seberang jalan hamparan sawah garapan Sukimin dan teman-temannya itu, terdapat sebuah bendungan yang memang dibangun untuk mengairi areal persawahan di sekitarnya. Sukimin menyebut bendungan itu adalah Bendungan Beton Umbulharjo. Tapi menurutnya, bendungan itu hanya menguntungkan para petani di sekitar bendungan saja. Di sana enak Mas, airnya gratis, Cuma bayar untuk pengurusnya saja. Di sini saya harus beli karena air bendungan tidak bisa sampai kesini paparnya. Dimatanya kulihat kilatan sesal.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 24

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Gemericik air di saluran pembagi yang mengalir persis didepanku, menggelitik telapak kaki, membasahi rambut, kepala, wajah, leher dan pungggung. Kupuaskan sejuk dan segar di sini, karena di depan sana, kering dan kerontang, telah siap menghadangku.

Petani Beli Beras Sebagian besar petani DIY menanam padi untuk dikonsumsi sendiri. Atau, dijual dalam bentuk beras untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan insidentil semisal gotong royong, hajatan atau bila ada kematian. Seperti dituturkan Prawiro (86 tahun), petani Desa Dadapayu Semanu Gunung Kidul. Menurutnya, menanam padi gogo hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya, dan bukan untuk dijual. Selain karena memang hasilnya sedikit dan bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangannya sampai musim tanam padi berikutnya, menanam padi terhitung lebih murah dibandingkan dengan harus membeli beras. Meskipun merugi, hitungannya lebih murah menanam padi ketimbang beli beras. Hasil palawija baru dijual untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain jelasnya. Sebagian besar,

lanjut Prawiro, malah untuk membeli sarana produksi yang dibutuhkan dalam penanaman padinya. Sementara itu Parmin (49 tahun), petani Desa Girisekar Panggang Gunung Kidul, mengaku harus membeli beras untuk kebutuhan pangan keluarganya. Pasalnya, hasil panen padi gogo yang ditanamnya tidak mencukupi kebutuhan sampai panen berikutnya. Perihal petani tidak menjual gabahnya, dikatakan pula oleh Nurharyanto, Ekbang Desa Panggungharjo Sewon Bantul. Menurutnya, hasil panen padi warga di desanya sebagian besar untuk konsumsi sendiri. Kurang lebih 75 % petani di sini tidak menjual gabahnya, tapi digiling untuk dimakan sendiri dan dedaknya untuk pakan ternak. Dan, kebutuhan lainnya dipenuhi dari hasil atau upah buruh di Kota jelasnya. Dengan demikian, lanjut Nurharyanto,

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 25

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

fluktuasi harga gabah yang sering jatuh saat panen raya, tidak banyak berpengaruh bagi petani di wilayahnya. Pola tanam petani di desa Panggung Harjo, menerapkan pola PadiPadi Palawija, karena lahan pertanian memungkinkan untuk ditanami sepanjang tahun. Mardiwiyono (53 tahun), petani Desa Purwoharjo, Samigaluh Kulon Progo, menyodorkan data-data yang diingatnya kepadaku untuk memperkuat pengakuan, bahwa dirinya harus membeli beras, untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya. Pasalnya, lahan seluas 800 m2 yang digarapnya hanya menghasilkan gabah sebanyak 3 kwintal per musim per tahun. Lahan garapan Mardiwiyono memang hanya ditanami padi satu tahun sekali, disaat musim hujan saja. 3 kwintal hasil panen gabah itu, digilingnya menjadi 1,5 kwintal beras. Ya harus beli, 1,5 kwintal beras kan tidak cukup untuk kebutuhan setahun. Padahal itu sudah dicampur jagung dan telo jelasnya. Untuk mencukupi kebutuhan 4 orang anggota keluarganya, Mardiwiyono mengaku harus selalu membeli beras seharga Rp 2.700/kg. Selain untuk dikonsumsi, beras hasil gilingan panen gabahnya itu digunakan pula untuk kebutuhan kegiatan gotong royong. Maksudnya, bila di lingkungannya ada kegiatan hajatan, membangun rumah, atau ada yang meninggal, maka beras itu diberikan untuk sumbangan gotong royong. Dalam perhitungan sederhana Mardiwiyono, lebih murah menggiling gabah jadi beras dibandingkan menjual gabah dan membeli beras. Adapun hitungan yang diingatnya adalah : Jika 3 kwintal gabah itu dijualnya dengan harga rata-rata Rp 1200/kg, maka dirinya hanya akan mendapatkan hasil 300 kg x Rp 1200 = Rp 360.000,-. Dan, jika uang hasil pembelian gabah itu dibelikannya beras, maka dirinya hanya akan mendapatkan beras sebanyak Rp 360.000 / Rp 2700 = 133 kg. Padahal, jika dirinya menggiling sendiri gabah hasil panennya

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 26

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

dengan ongkos Rp 200/kg dan rendemen 50 % (seperti pengakuannya), Mardiwiyono akan memperoleh beras sebanyak 150 kg dengan bonus dedak halus untuk pakan ternaknya. Untuk menghasilkan beras sebanyak 150 kg itu, Mardiwiyono harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 302.500 untuk membeli bibit, pupuk dan sekaligus ongkos gilingnya. Padahal, bila ia harus membeli beras dengan harga beras yang biasa dibelinya, maka dirinya akan mengeluarkan biaya sebesar Rp 2.700 x 150 kg = Rp 405.000. Oleh karena itu pula, Mardiwiyono merasa telah melakukan penghematan sebesar Rp 102.500,- untuk anggaran pengadaan stock pangannya. Lebih untung kan? Tapi karena ndak cukup untuk setahun, ya harus beli juga tandasnya. Aku tercenung mendengarnya. Ada gundah dan gejolak dalam dadaku mengikuti penuturannya itu. Aku tak kuasa menyembunyikan rasa haru. Bahkan, aku merasa malu pada diriku sendiri. Apa yang

disebutnya menghemat, sesungguhnya adalah nilai tenaganya sendiri yang tidak dimasukan dalam komponen biaya atau tidak dihargainya. Benarkah Mardiwiyono untung? Kalau mau lebih jelimet lagi menghitung analisa usahataninya, silahkan masukan dan hitung pos-pos biaya sewa tanah, penyusutan dan pos biaya lain. menghemat seperti dikatakannya? Menanam padi bagi orang-orang seperti Mardiwiyono, bukanlah sebuah usaha untuk memperoleh keuntungan materi. Tapi, lebih dari sekedar mencari cara untuk bertahan hidup dengan biaya semurah mungkin. Dalam konsep sederhananya, jika bisa mendapatkan beras sebanyak 150 kg dengan biaya sebesar Rp 302.500, mengapa pula harus mengeluarkan dana sebesar Rp 405.000,-? Bahkan, dengan menanam dan menggiling sendiri, pikir Mardiwiyono, dirinya masih mendapat bonus dedak halus dan jerami kering untuk pakan ternaknya, serta kesibukan untuk mengisi akhir masa tuanya. Meskipun, selisih sebesar Rp 102.500,- itu Apa Mardiwiyono untung? Telah

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 27

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

ditukarnya denga resiko bekerja tanpa mendapat bayaran selama 2 3 bulan. Padahal, bagi sebagian orang, nilai yang ditukarnya itu, hanya sebanding dengan 20 kali parkir di pusatpusat perbelanjaan di kota-kota. Mardiwiyono, petani sang produsen beras itu, ternyata juga adalah konsumen beras. Dua posisi yang saling berhadapan dalam alur rantai tata niaga beras dimana pun, ternyata berada pada satu sosok.. Lantas, siapakah sesungguhnya yang selama ini di bela oleh para pihak yang menghendaki harga beras tetap mahal? Penentangan yang dilakukan karena

kekhawatiran apabila harga beras murah akan berdampak pada jatuhnya harga gabah, berkurangnya pendapatan petani dan menurunnya kesejahteraan petani. Mardiwiyono yang kita bela selama ini, ternyata juga kesulitan karena pembelaan kita itu. Bahkan, tidak pernah diuntungkan oleh pembelaan kita. Pasalnya, pada saat harga gabah naik, Mardiwiyono tidak menikmatinya karena memang tidak pernah menjual gabahnya. Namun pada saat harga beras naik, karena harga gabah naik, Mardiwiyono kesulitan karena harus mengeluarkan uang yang lebih banyak untuk menyediakan stock pangannya. Padahal seperti dikatakannya, pangannya itu sudah dicampur jagung dan telo. Apakah hal tersebut berlaku pula pada juragan-juragan beras? para pemburu gabah yang menggiling sendiri gabahnya? Tengkulak dan Kontraktor BULOG? Di Pasar Induk Cipinang, tidak sulit menemukan mereka. Setidaknya, tidak sesulit mencari mereka yang merasa memiliki kekuatan besar untuk mengatur hajat hidup Mardiwiyono. Memang tidak semua petani yang menanam padi, untuk dikonsumsi sendiri serta tidak menjual gabah hasil panennya. Salah satunya adalah para petani di Desa Argomulyo Bantul. Di desa kelahiran mantan Presiden Soeharto itu, para petaninya menerapkan pola tanam Padi PadiPadi atau menanam padi sepanjang tahun. Hal ini diakui oleh Purwanto, Kabag.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 28

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Pembangunan Desa Argomulyo, dengan pola tanam seperti itu, sebagian besar petani memiliki stok pangan yang surplus bagi kebutuhan keluarganya. Sisa dari kebutuhannya itulah yang kemudian dijual dalam bentuk beras. Bahkan, Purwanto mengaku kesulitan untuk merubah pola tanam petaninya. Sulit sekali merubah kebiasaan petani menanam padi sepanjang tahun dengan pola tanam PadiPadi-Palawija atau hortikultura semacam sayuran misalnya. Petani sayuran lebih kreatif dan maju serta mau menerapkan teknologi. Harganya pun relatif lebih baik sehingga diharapkan pendapatan petani lebih meningkat papar Purwanto. Petani yang dapat menjual gabahnya karena memiliki kelebihan stock pangan bagi keluarganya, memang jauh lebih beruntung bila dibandingkan dengan petani-petani yang terpaksa harus membeli beras karena stock pangannya selalu kurang. Orang-orang seperti Mardiwiyono, yang harus membeli beras untuk memenuhi kebutuhan pangannya, tidaklah sedikit. Mungkin ribuan, mungkin juga jutaan di negeri ini. Di DIY sendiri, jika luas lahan yang digarap Mardiwiyono dijadikan ukuran (800 m2), maka terdapat sebanyak 85.595 keluarga tani yang menggunakan lahan kurang dari 1.000 m2 (22,65 %). Dan, keluarga tani yang menggarap lahan dengan luas kurang dari 0,5 hektar terhitung sebanyak 377.905 keluarga tani (80,29 %). Memang tidak seluruh angka-angka statistik BPS itu memiliki kondisi yang sama dengan Mardiwiyono. Tapi, setidaknya dapat dijadikan gambaran. Atau, pancingan untuk meneliti dengan lebih seksama, kemudian merenungkannya. Sebenarnya, siapakah yang diuntungkan atau dirugikan jika harga beras mahal? Dan, siapa pula yang diuntungkan atau dirugikan jika harga beras murah?

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 29

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

pp Pantanp Menperap

Keterbatasan Sumberdaya Alam dan Lahan ini banyak dikeluhkan para petani dan tokoh masyarakat yang kutemui, khususnya yang berada di Gunung Kidul. Diantaranya adalah Prawiro (86 tahun), tokoh masyarakat yang dituakan oleh para petani di Desa Dadapayu Semanu. Menurut mantan Persatuan Pamong Desa Indonesia (PPDI) di era tahun 1960-an itu, hal yang paling menyulitkan adalah semakin sempitnya lahan usaha tani. Sistem waris yang cenderung membagi-bagi tanah untuk anak-anak petani menjadi penyebabnya. Setiap generasi pasti akan semakin kecil dan akhirnya dijual karena tidak layak usaha lagi. Sebenarnya, meskipun kondisi lahan yang kering seperti ini, apabila diiringi dengan luasan yang cukup dapat memenuhi kebutuhan petani. Tapi kenyataannya tidak begitu tandasnya. Lahan pertanian, lanjut Prawiro, malah semakin menyempit, sehingga tidak layak dijadikan tumpuan harapan generasi muda pertanian. Akibatnya ya pada pergi ke kota, wong orang nambah terus tapi tanah tidak melebar ko tuturnya. Seperti mengamini salah satu warganya itu, Sutamta, Lurah Desa Dadapayu, mengaku kesulitan untuk mengembangkan pertanian di desanya. Kondisi alam dan lahan kering tadah hujan menjadi faktor pembatas yang sulit untuk diatasi. Padahal, lahan pertanian didesanya itu relatif lebih subur. Bila ada irigasi, komoditas hortikultura bisa berkembang dengan baik, karena lahan di sini subur. Tapi, membuat irigasi sepertinya tidak mungkin karena biayanya cukup besar. Swadaya masyarakat tidak memungkinkan untuk itu paparnya. Makanya, lanjut Sutamta, pada saat musim kemarau banyak warganya yang menganggur dan pergi ke kota untuk mencari tambahan penghasilan. Bekerja sebagai buruh bangunan, adalah pilihan terbanyak yang dijalani warganya.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 30

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Sebenarnya, di sini ada sumber air tapi letaknya berada di bawah areal pertanian. Kami sedang berupaya menjadikan sumber air itu untuk pertanian, sehingga dapat membantu warga tutur Sutamta tanpa mau menyerah. Untuk mengurangi beban warganya, Sutamta berencana untuk mengembangkan industri yang dapat menyerap tenaga kerja. Salah satunya membuat pabrik gaplek dan pabrik air minum kemasan yang memanfaatkan sumber air yang disebutkannya tadi. Beberapa calon investor akan dirayunya agar mau menanamkan modal di desanya. Sutamta pun tengah berupaya agar jalur transportasi wisata ke arah Pantai Sadeng dan Pantai Wediombo dapat melalui desanya. Mudah-mudahan hal tersebut dapat mengangkat ekonomi warga desa ujarnya penuh harap. Sikap tidak mau menyerah kepada alam pun ditunjukan oleh Witanto, Camat Semin Gunung Kidul. Menurutnya, kondisi lahan memang sulit untuk mengoptimalkan produktivitas usahatani warga di wilayahnya. Dalam satu tahun hanya digunakan 3 bulan saja dan sisanya sama sekali tidak produktif tegasnya ketika ditemui di ruang kerjanya. Diakui Witanto kondisi tersebut menyebabkan eksodus warganya ke kota-kota di sekitarnya, seperti ke Jogja misalnya. Dan, hal ini cukup membuatnya risau dan khawatir. Kalau semua meninggalkan daerah khususnya generasi muda yang produktif, lalu siapa yang akan membangun daerah? tanyanya seraya mengingatkan bahwa dampak eksodus itu dapat menyebabkan pembangunan di daerah stagnan karena kekurangan SDM dan menimbulkan kerawanan sosial meningkat di daerah tujuannya. Oleh karena itu, Witanto mengaku tengah berupaya keras untuk tidak menyerah pada kondisi alam yang serba terbatas. Aliran air Sungai Oyo yang selama ini hanya numpang lewat saja, dicobanya untuk dibuat embung-embung dengan menyekat sungai itu setiap 500 m.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 31

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Aliran air yang tertahan itu, kemudian diangkatnya dengan pompa air dan disalurkan ke areal pertanian. Selain itu, sumber-sumber air yang selama ini belum termanfaatkan, diupayakan untuk ditampung dan dialirkan ke areal pertanian. Dari sisi SDM, Witanto pun mengembangkan jiwa wirausaha warganya melalui pelatihan usaha dan keterampilan lainnya. Ini dimaksudkannya agar warganya mampu

membaca peluang usaha dan menggali potensi-potensi yang selama ini tidak terperhatikan. Supaya warga dapat mencari tambahan penghasilannya tanpa harus jauh-jauh pergi meninggalkan desanya ujarnya pasti. Hanya saja, menurut Witanto, APBD tidak memungkinkan untuk mewujudkan percepatan seperti yang diharapkannya itu. Dirinya bersama-sama dengan warga harus

mencari sumber-sumber pendanaan baru secara swadaya atau mendatangkan investor. Keinginannya untuk menjadikan Semin sebagai pintu gerbang Gunung Kidul dari sisi Utara, agaknya masih perlu perjuangan dan kekuatan sikap untuk tetap tidak menyerah pada alam. Meninggalkan Semin, diperjalanan aku melihat beberapa petani mengangkut batu-batu berwarna putih bersih dan sebagian dari batu-batu itu berwarna putih kecoklat-coklatan. Beberapa diantaranya sedang duduk memahat batu-batu itu dengan motif bunga dan daun beserta tangkainya. Di tepi jalan Semin Karangmojo, kulihat sebuah bangunan beratap rumbia menaungi patung-patung berwarna putih, berujud binatang dan sosok lengkap wanita berparas cantik. Tiba-tiba aku teringat Bali. Ornamen dan patung-patung itu pernah kulihat di pelataran hotel berbintang di Nusa Dua Bali. NASHA ku pinggirkan, untuk sejenak memandangi beragam ukiran di batu-batu putih itu. Beberapa orang yang tengah tekun memahat sekilas memandangku dengan heran. Entah apa yang dipikirkannya. Saat menikmati karya-karya para pemahat desa itu, pikiranku teringat

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 32

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

pada jejeran gerobak hijau bertuliskan Handayani lengkap dengan nomor gerobaknya yang menunjukan angka puluhan. Tahukah mereka bahwa didaerahnya tersimpan mutiara?

Garuda Para Petani itu masih hilir mudik di pelataran Malioboro, di Jantung Kota Jogja. Mereka tidak pernah menyerah pada alam, meski kesejahteraannya jelas-jelas berbataskan alam. Apakah sinyalemen Eric R Wolf seperti dikutif Siswono dalam bukunya Membangun Ketahanan Pangan itu benar adanya ? bahwa secara historis kehidupan petani selalu diilustrasikan sebagai Manusia Kalah baik kalah karena ketergantungannya pada alam maupun kalah dalam proses terbentuknya lembaga serta sistem kekuasaan dan politik yang ada didalamnya. Para Pejuang Pangan itu tetap saja tidak pernah mau menyerah, karena menyerah baginya adalah kelaparan dan kematian yang menggenaskan yang justru tidak lebih baik dari sebuah Kekalahan itu sendiri.

Dari Merpati Kembara Tani.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 33

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

BAGIAN KEDUA

MEMAHAT ASA DI JANTUNG KOTA

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 34

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Dari Merpati pepada parpda

parpda pantai di dadapp telap pilanp pebelap peperinpinpnpa pp denpar di tanap panp perepap Mepbatap lanppap pontai di tenpap papap Menpipat papi petani panp terlppa parap

pplir padi terpp berppppran papap ppn lepap berpapbpran pini perinpin tap lapi tedpp penpepppan Dan pintanp berpinar terlalp penpilappan

App papip penopanp papappp denpan lidappp panp pepapin pelpp App ppn papip pepbentanp Pita dipenpprapanpp denpan patipp panp pappir beppp

pepilap pabit penpppp pantpnp neperi dan pantapan palp pelplpppan papar nepara perbanplap parpda p perbanp p perbanp dan terpp terbanp panpan pernap pinppapp pebelpp pelepai pppapat lenppap peripai di dadappp

Kembara Tani

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 35

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

pp Mepanen pap parpp Menanap

Dari kejauhan kulihat seorang lelaki tua dan renta mengayun cangkul di lahan kering Desa Nglindur, Rongkop Gunung Kidul. Terkadang lelaki itu jongkok mencabuti rumput liar dan jerami kering. Tangannya mengais tanah, mengumpulkan akar dan sisa tanaman yang berserakan. Tidak jauh darinya, seorang perempuan paruh baya menyeret keranjang bambu yang berisi butiran putih mengkilat. Diambilnya butiran itu lalu ditebarkannya di tanah yang selesai di cangkul. Seringkali tubuh renta itu berhenti mengayunkan cangkul untuk menyeka peluh di wajahnya atau menarik nafas panjang, dan terkadang sebelah tangannya memegang pinggang. Sementara perempuan separuh baya yang kini berada di belakangnya, seringkali berhenti menaburkan butiran putih di keranjang, menunggu dengan sabar lelaki tua itu menyelesaikan pekerjaannya. Sambil menunggu, terkadang ia berjongkok untuk memecah bongkahan tanah di kiri dan kanannya. Aktivitas mereka memaksaku menghentikan NASHA yang melaju perlahan. Kakiku melangkah memilah jalan setapak agar tak tergelincir di tebing curam. Tanah yang mereka garap, memang berada di bawah jalur jalan aspal hitam yang kulalui. Dari kejauhan ku ucapkan salam pada mereka, tapi petani tua itu tetap asyik dengan irama ayunan cangkulnya. Perempuan separuh baya yang tengah memecah bongkahan tanah di belakangnya menoleh ke arahku, lalu berdiri seraya menjawab salamku. Sebelah tangannya menepuk pundak petani tua di depannya, memberitahukan kedatanganku. Sejenak mereka ku ajak beristirahat, duduk di pematang di samping tumpukan batang pohon ubi kayu. Bapak saya pendengarannya sudah kurang Mas, wong sudah tua, maklum saja ya? ujar perempuan itu menjelaskan.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 36

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Ga apa-apa to Mba ujarku tersenyum. Kusodorkan sebungkus rokok ke arah petani tua yang duduk di depanku. Rokok dulu Mbah tawarku padanya. Sebatang rokok

diambilnya dan tidak berapa lama, asap putih mengepul dari sela bibirnya yang keriput. Kowe iki sopo? suara serak petani tua itu membuka perbincanganku dengannya. Kujelaskan diriku dan maksud kedatanganku padanya. Petani tua itu mengangguk-anggukan kepalanya, sepertinya memahami ucapanku. Tapi, keheranannya tetap tak beranjak dari raut wajahnya. Woalah, bapake ra mudeng Mas ujar anaknya seraya menyodorkan secangkir air putih ke arahku. Sejurus kemudian, dia menterjemahkan ucapanku tadi. Iki lho pak, mase iki kembara tani sing nemoni petani-petani, nganggo montor iku lho jelasnya seraya menunjuk ke arah NASHA yang ku parkir di pinggir jalan. Kali ini, giliranku yang mengangguk-anggukan kepala sembari senyam-senyum seolah mengerti penjelasan panjang lebar anaknya itu. Rofiq, warga Gunung Kidul yang mengikuti perjalananku, paham kalau aku tak memahami percakapan anak dan bapak itu. Lalu

berinisiatif menterjemahkannya untukku. Seperti dikomando, sadar bahwa masing-masing seperti memiliki penterjemah pribadi, kami pun tertawa bersama. Dari anaknya, kuketahui bahwa nama petani tua itu adalah Pokarto, berusia 78 tahun. Meski sudah lanjut usia, Pokarto tidak pernah mengindahkan larangan anak dan menantunya untuk tidak bekerja lagi di ladang. Setiap pagi, ada saja yang dilakukannya di ladang milik tetangganya itu. Pokarto memang hanya petani penggarap. Hasil panen yang diperolehnya harus dibagi dua dengan pemilik tanah. Sementara biaya sarana produksi yang diperlukannya, seluruhnya menjadi tanggungannya. Menjelang petang, Pokarto baru pulang. Kakek tua itu mengaku, bersama anak dan menantunya, dia harus tetap menggarap ladang yang menjadi sumber pangannya. Pasalnya, anak laki-laki dan cucu-cucunya lebih

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 37

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

memilih pergi mencari kehidupan di kota Jogja. Saya dan suami juga maunya pergi Mas, di sini cari hidup susah, untuk sekedar minum saja saya harus membeli. Tapi kalau kami pergi yang ngurus bapak siapa? tutur anak perempuan Pokarto. Menurutnya, air harus dibelinya seharga Rp 70.000 per tangki. Padahal, dalam sebulan keluarga Pokarto perlu air paling tidak sebanyak 3 tangki. Sementara itu, 15 karung padi hasil panennya tidak cukup untuk

dikonsumsi selama setahun. Lahan garapan Pokarto memang ladang tadah hujan yang ditanami padi satu kali dalam setahun pada saat musim hujan tiba. Sisanya ditanami singkong dan kacang tanah. Ketika kutanya bagaimana mereka menutupi kekurangan biaya untuk memenuhi kebutuhan biaya lainnya, Pokarto menjelaskan, anak-anaknya sering mengirimnya uang. Uang kiriman itulah yang digunakannya untuk membeli air, minyak tanah, pupuk dan bibit. Kadang juga beras serta kebutuhan lauk pauk lainnya. Di sepanjang perjalanan menyusuri kaki Pegunungan Sewu, banyak kutemukan Pokarto-Pokarto lainnya. Tubuh tua dan renta sedang mengayunkan cangkul di tanah yang kering. Hampir tidak pernah kutemukan tenaga muda di ladang itu. Kalau pun ada, mereka adalah perempuan-perempuan seusia anak Pokarto. Kebanyakan dari mereka itu, tampak sedang membersihkan ladang, menyeret keranjang bambu dan menaburkan isinya. Atau, ikut menurunkan karung-karung berisi pupuk kandang dari sebuah truk. Di wilayah Desa Gembuk, Tepus Gunung Kidul, kutemui perempuan-perempuan itu. Mereka berkelompok tengah membersihkan ladang milik petani lainnya. Membabat tanaman liar yang tumbuh menjalar atau jerami kering sisa tanaman musim hujan tahun lalu. Selama kemarau, lahan-lahan itu memang dibiarkan tidak terurus. Dan, menjelang musim hujan ini, para pemilik lahan itu kembali sibuk mempersiapkan masa tanamnya.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 38

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Akhir musim kemarau dan awal musin hujan ini memang peluang bagi sebagian besar perempuan-perempuan di wilayah itu untuk menambah pendapatannya. Hasil kerja seharian membersihkan ladang, masing-masing dari mereka mendapat imbalan Rp 5.000 dan satu kali jatah makan siang. Menurut Rini, salah satu dari kelompok wanita tani itu, tidak setiap hari ada pemilik ladang yang menggunakan jasa kelompoknya. Ini punyanya Pak Mugino, dia perlu 15 orang untuk membersihkan ladangnya jelas Rini yang diamini anggota kelompoknya. Menurut Rini, di wilayahnya itu banyak kelompok wanita tani yang menjual jasa membersihkan ladang hingga siap diolah dan ditanami. Bahkan, kadang kelompok itu diundang ke daerah lain di luar desanya. Sekarang ini baru ada pekerjaan, tapi kalau tidak ada lobang ya pada nganggur Mas ujarnya seraya menyebutkan bahwa uang Rp 5000 yang diterimanya itu dibelikan beras seharga Rp 3.800/kg dan sisanya untuk bekal anaknya sekolah keesokan harinya. Aku tercenung mendengar penjelasannya. Bukan hanya karena mengingat jenis beras seperti apa yang dibelinya seharga Rp 3.800/kg itu, tapi juga bagaimana jika persiapan masa tanam usai. Mereka akan kembali nganggur seperti dikatakannya tadi, dan tentunya mereka tidak akan mendapat Rp 5.000,- itu. Lalu, bagaimana mereka membeli beras dan membekali anaknya pergi sekolah? Didorong rasa penasaran dengan terlebih dahulu meminta maaf, kutanyakan apa mereka masih punya suami atau anak. panggul. Dijawab Rini, suaminya bekerja sebagai buruh

Mengangkat rabuk (pupuk kandang) milik petani lainnya yang memiliki lahan

garapan di atas bukit. Sejauh 1 - 2 km para buruh panggul itu harus membawa rabuk dari kandang sapi milik orang yang menyuruhnya atau dari lokasi pengumpulan rabuk ke ladang dan menaburkannya di sana. Satu panggulan yang terdiri dari dua keranjang bambu, suaminya

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 39

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

mendapat upah sebesar Rp 1.500. Sehari terkadang membawa pulang uang Rp 7.500 untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Kembali aku tercenung, itu artinya mereka harus berjalan memanggul rabuk sejauh 5 10 km pulang pergi, baru kemudian bisa memdapatkan uang untuk anak dan istrinya. Kalau tidak ada yang membutuhkan tenaganya, lanjut Rini, suaminya pergi ke kota untuk mencari uang. Dan, baru kembali pulang kalau sudah cukup terkumpul. Rini dan kelompoknya, terus bertutur tentang sulitnya kehidupan yang mesti ia jalani. Seakan menemukan teman curhat, mereka tak henti-hentinya berbagi kisah dan mengutarakan harapan-harapannya. Menurutnya, bila ada pekerjaan yang diberikan pada kelompoknya,

tentu akan sangat membantu ekonomi keluarganya. Pekerjaan yang dimaksudkannya adalah membuat kerajinan tangan dari bambu atau apa saja yang bisa dikerjakan oleh tangan halus perempuan. Tapi, sampai saat ini belum ada yang mau dan mencoba memanfaatkan tenaga wanita-wanita tani itu. Di Kulonprogo, aku bertemu dengan Bariyadi (35 tahun), petani penggarap di Desa Purwoharjo Samigaluh. Pemuda tani ini mengaku terpaksa pergi ke kota untuk mencari tambahan penghasilan. Pasalnya, lahan garapannya hanya bisa diolah selama 6 bulan saja. Terkadang, padi gogo yang ditanamnya gagal panen karena kekeringan. Padahal, Bariyadi menanam padi untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya. Saya harus mencari cara untuk menutupi kekurangan itu ujar buruh anyaman rotan di kota Cirebon Jawa Barat itu. Dalam setahun, 6 sampai 7 bulan dihabiskannya di kota yang memang terkenal dengan industri anyaman rotannya. Bariyadi pulang untuk menengok anak dan istrinya sebulan sekali. Hasil menganyam rotan, Bariyadi mendapat upah rata-rata Rp 25.000 per hari. Meskipun tidak setiap hari mendapat order, setidaknya Bariyadi bisa membawa pulang uang sekitar Rp 400.000 sampai Rp 500.000 setiap bulannya. Uang itu adalah sisa kebutuhannya

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 40

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

sendiri selama merantau. Hasil menganyam rotan jauh lebih besar daripada hasil tani. Kalau bertani, satu tahun paling Cuma Rp 500.000 dan itu kotor Mas tegasnya. Tapi, kalau musim hujan, tutur Bariyadi, dirinya pasti pulang untuk menanam padi, karena untuk persediaan pangan keluarganya. Kebutuhan sarana produksi untuk menanam padi di lahan seluas seperempat hektar milik Poniman tetangga desanya itu, dipenuhinya dari sisa hasil kerjanya menganyam rotan. Daripada istri saya beli beras, meskipun menanam padi itu rugi, tapi menanam sendiri hitungannya lebih murah daripada membeli beras jelasnya. Bagi orang-orang seperti Bariyadi, memiliki persediaan beras untuk kebutuhan pangan keluarganya menjadi prioritas utama. Meskipun tidak meninggalkan uang yang cukup,

Bariyadi akan cukup tenang meninggalkan anak dan istrinya bila diketahuinya persediaan beras cukup untuk kebutuhan pangan selama ditinggalkannya. Di desanya, orang-orang seperti Bariyadi selalu harus menanam meski terkadang tak dapat memanennya. Tapi di kota, hampir dipastikan mereka selalu memanen meski pun tak harus menanam. Bahkan, hasil panennya bisa jauh lebih besar dibanding yang diperolehnya dari sepetak lahan yang digarapnya. Kepergiannya meninggalkan sawah dan ladang di

desanya, adalah sebuah upaya untuk memahat asa di jantung kota. Mencoba meraih sebuah harapan, bukan untuk menjadi kaya raya, tapi sekedar untuk dapat bertahan hidup dari kekurangan yang ada. Berbeda dengan Bariyadi, Bandat, penjual bakso di depan pagar Kepatihan Jogja, justru boyongan ke kota dan mencoba merubah hidup di jantung kota. Pemuda tani asal Desa Bejiarjo, Karangmojo Gunung Kidul ini, mengaku sudah 3 tahun tidak pulang ke kampung halaman ibunya. Pemuda-pemuda di sana kalau sudah tahu mudahnya cari uang di kota pada males pulang Mas. Paling pulang saat lebaran saja, itu pun hanya 2 3 hari, lalu kembali ke

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 41

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

kota lagi. Apalagi saat lebaran kan di sini rame paparnya. Menurutnya, daripada pulang yang memerlukan ongkos yang lumayan besar, lebih baik mengirimkan uangnya saja ke desa. Untuk membantu orang tua membeli air dan kebutuhan lainnya. Kalau ada sisanya,

dikumpulkan untuk membeli sapi, tapi ya nanti dijual lagi untuk beli air tuturnya diiringi senyum. Di Malioboro ini, lanjut Bandat, sudah ada paguyuban warga Handayani yang anggotanya para petani Gunung Kidul yang mencari tambahan penghasilan di Malioboro. Sebagian besar dari mereka berjualan bakso, mie ayam dan es dawet atau nasi rames lengkap dengan lauk-pauknya.. Gerobak bercat hijau bertuliskan Handayani lengkap dengan nomor rodanya, menjadi ciri khas paguyuban tersebut. Selain menjajakan penawar lapar dan dahaga itu, banyak pula pemuda tani ini yang turut menjajakan aneka kerajinan di sepanjang kaki lima Malioboro. Fenomena banyaknya generasi muda pertanian yang mengadu untung ke kota, tergambar dalam data statistik penyerapan tenaga kerja di DIY. Dalam kurun waktu 10 tahun (1993-2003), terbukti bahwa sektor pertanian tidak dapat lagi menahan mereka untuk tetap tinggal di desanya. Berdasarkan ST 03, pada tahun 2003 di DIY, sekitar 37,57 % dari total pekerja menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Angka ini jauh lebih kecil

dibandingkan dengan tenaga kerja yang terserap pada sepuluh tahun sebelumnya yang mencapai 45,80 %. Penurunan sebesar 17,97 % ini disebabkan beralihnya pekerja dari sektor pertanian ke sektor lainnya seperti industri pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Pada periode tahun 1993 2003, sektor-sektor itu memang memiliki kemampuan menyerap tenaga kerja yang semakin besar. Data yang menunjukan laju pertumbuhan rumah

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 42

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

tangga tani (RTP) sebesar 0,85 % per tahun, yang tidak secepat laju pertumbuhan rumah tangga (RT) di DIY (2,72 % per tahun) pada kurun waktu yang sama, semakin menguatkan fenomena pergeseran pola kegiatan RT, dari RTP ke RT Non pertanian seperti perdagangan, jasa dan sebagainya. Padahal, hampir separuh (46,97 %) dari seluruh jumlah RT di DIY adalah RTP yang mengusahakan lebih dari separuh (59,07 %) luas lahan di DIY. Dan, lebih dari separuhnya itu berada di Gunung Kidul yang digarap oleh 89,68 % RTP di wilayahnya. Kondisi ini membuat Gunung Kidul terasa semakin lengang. Kombinasi dari

keterbatasan sumberdaya alam dan lahan pertanian, dengan daya tarik dan percepatan pembangunan sektor non pertanian di kota-kota, telah membuat generasi muda pertanian meninggalkan sawah dan ladang di desanya. Berjuang merubah kehidupan yang tak kunjung ditemuinya di hamparan sawah dan ladang itu. Memahat Asa di Jantung Kota demi sebuah perbaikan kehidupan. Atau, setidaknya hanya bertahan untuk sekedar dapat mempertahankan kehidupannya. Siswono Yudo Husodo menuliskan fenomena ini dalam bukunya Membangun Kemandirian Pangan (2004) dengan rangkaian kalimat; pertanian menjadi kurang menarik bagi banyak tenaga-tenaga muda yang produktif, karena kurang menjanjikan kesejahteraan. Antara lain karena pengusahaannya yang tidak efisien, luas pengusahaan per keluarga tani semakin menyempit dan teknologi yang digunakan masih tradisional serta permodalan petani yang masih lemah, juga karena harga-harga produk pertanian yang tertekan rendah .

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 43

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

pp Anap Petani tidap bolep padi Petani

SMA I Karangmojo, berdiri megah di tepi jalan Karangmojo Semin Gunung Kidul. Salah satu Kawah Cadradimukanya anak-anak petani itu, tampak senyap tatkala NASHA melaju perlahan memasuki pintu gerbangnya. Seorang Satpam memandangku keheranan, membaca tulisan Bersatu untuk Petani Indonesia dengan kombinasi warna putih dan merah yang terpampang jelas di atas bak NASHA. Sambil mengisi buku tamu, kubiarkan dirinya memeriksa kelengkapan surat-suratku. Selembar surat dukungan yang ditandatangani Ketua MPR RI, DR. Hidayat Nur Wahid, MA dan Sekretariat DPR RI, dibolak balik serta dibacanya berulang-ulang. Suratku yang ditujukan kepada Insan Peduli Petani Indonesia pun disimaknya dengan seksama. Barangkali dibenaknya terlintas pertanyaan, ada apa gerangan orang

berpakaian khas petani, baju lengan panjang hitam dan celana komprang hitam, datang ke sekolah yang dijaganya. Tidak lama menunggu di ruang tamu, dua orang wanita menemuiku. Mereka, Dra. Emi Gunarti, bagian Humas dan Fadmiyati, SPd, bagian Kesiswaan, sejenak menemaniku berbincang tentang sekolah tempatnya mengajar, tentang anak-anak petani dan kehidupan orangtuanya dan tentu saja tentang maksud dan tujuan perjalananku dan mengapa singgah di sekolahnya ini. Dua Kartini muda yang tampak anggun dengan kerudung di kepalanya itu, kemudian pamit meninggalkanku. Beberapa saat setelah itu, suara lembut terdengar di

speaker sekolah. Semua ketua kelas diharap berkumpul di Joglo setelah pelajaran usai. Sekali lagi, pada saat istirahat, semua ketua kelas harap berkumpul di Joglo tutur suara lembut itu menyeru.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 44

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Pada saat bel istirahat berbunyi, Fadmiyati mengantarku ke Joglo melewati siswa siswi yang tengah bergerombol. Beberapa diantaranya mengolok ibu guru yang cantik ini.

Begitulah Mas, mungkin karena saya di kesiswaan mereka jadi pada dekat. Malah, banyak yang sering curhat jelasnya. Aku pun tersenyum seraya berujar, kalau saja aku pun punya guru kesiswaan sepertinya, tentulah senang berbincang dan curhat padanya. Kulihat ibu guru muda itu tersipu. Rona merah menjalari wajahnya. Joglo SMA I Karangmojo berbentuk sebuah bangunan khas tanpa dinding dengan tiang-tiang kokoh di dalamnya. Beberapa siswa sudah tampak di sana, sebagian tengah

menggelar tikar dan sebagian lagi tampak bercanda sambil sesekali melirik ke arahku keheranan. Kami duduk melingkar di atas tikar. Ibu Fadmiyati kemudian membuka diskusi dadakan ini dan sedikit memberikan pengantar untuk menjelaskan maksud kedatanganku dan tujuan diskusi dengan para ketua kelas itu. Kemudian, ibu guru itu mempersilahkanku untuk memulai diskusi, sekaligus pamit dan mohon maaf karena tidak dapat turut serta. Aku pun mempersilahkannya seraya mengucap terima kasih dan tentu saja diiringi senyuman yang kubuat semanis mungkin. Diskusi berjalan cukup menarik dan penuh hal-hal baru. Jujur saja, aku sangat

bersyukur sekaligus bangga mendengar mereka bertutur tentang dunia pertanian yang mereka ketahui. Sekaligus juga sedih dan prihatin mendengarnya. Pasalnya, dari ke-18 ketua kelas itu tidak satu pun yang berminat untuk terjun ke sektor pertanian. Aku membiarkan calon-calon pemimpin bangsa itu mengeluarkan semua pendapatnya tentang generasi muda dan masa depan sektor pertanian di negeri agraris ini. Dalam diskusi ini, aku memang memposisikan diri sebagai pendengar yang baik. Banyak argumen yang dilontarkan mereka, mulai dari bayangan masa depan pertanian yang suram, hingga yang

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 45

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

menganggapnya sudah tidak jamannya lagi untuk bertani seperti sekarang.

Sementara

menerapkan sistem pertanian modern atau agribisnis, dikatakannya memerlukan modal dan SDM yang tinggi. Rendi misalnya, dalang muda siswa kelas 10 B ini menuturkan bahwa di mata generasi seusianya, bertani sudah tidak jamannya lagi atau ketinggalan jaman. Hal ini dianggapnya sebagai akibat dari arus informasi yang deras masuk ke desa. Sehingga kemajuan diartikannya sebagai kehidupan di luar sektor pertanian. Pada jaman serba instan ini, bertani dirasa Harus mencangkul, menanam,

memerlukan waktu yang lama untuk memberikan hasil.

memelihara tanaman, sampai kemudian panen. Setelah itu, dijual dan baru mendapatkan hasilnya. Prosesnya lama buanget tandasnya. Aku tercekat, Generasi Instan ! Ya, sekarang ini semua memang hampir dibikin instan. Sampai Tiwul pun dicoba untuk dibikin instan. Rofiq yang duduk di sebelahku berbisik, saya juga bagian dari generasi tiwul instan mas. menyambungkannya sendiri. Rupanya dia membaca coretanku dan

Mendengar selorohnya, aku hanya tersenyum tanpa berani

mengalihkan pandangan mata dari Rendi yang tengah semangat berpendapat. Condrowibowo, siswa kelas 3 IPA 1 seperti mendukung opini Rendi. Menurutnya, bayangan masa depan petani itu susah, harus mencangkul, kebanyakan hanya menjanjikan kemiskinan. Hasil dari pertanian tidak dapat menutupi kebutuhan hidup jelasnya.

Pengetahuan bertani juga kurang, lanjutnya, sehingga sulit bersaing dengan orang-orang yang sudah mapan menggeluti pertanian dengan modal yang besar. Aku menebak, mungkin yang dimaksudkannya adalah para petani berdasi dan para pengusaha agribisnis yang menguasai dan mengelola lahan pertanian dengan luas hektaran. Aku mencoba memancing dengan melontar sebuah nama, Bob Sadino. Tapi sayang, tidak ada

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 46

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

satu pun yang mengenalnya. Aku pun sedikit menjelaskan sosok pengusaha agribisnis itu. Mereka tampak serius menyimak, tapi entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Hal yang berbeda diutarakan Danang Kurniawan, siswa kelas 2 IPA 2. Anak petani itu kan tumpuan orang tuanya, diharapkan dapat merubah kehidupan keluarga. Kalau bertani dengan lahan sempit, tidak mungkin menghasilkan banyak. Usahanya juga jadi pas-pasan paparnya seraya melontar pertanyaan, lalu bagaimana mau merubah kehidupan keluarga? Menurutnya, anak petani harus mendapat pendidikan setinggi mungkin, mencari pengalaman dengan bekerja di kota. Kembali ke desa setelah berhasil, dengan SDM yang lebih baik, mampu dalam permodalan, sehingga dapat beragribisnis. Makanya para pegawai atau pekerja yang mau pensiun, harus dibekali pengetahuan agribisnis tegasnya. Apa yang disampaikan Danang, merupakan sebuah pencerahan baru bagiku. Ternyata anak-anak petani ini lebih memilih sektor di luar yang digeluti orang tuanya, justru untuk mengangkat taraf kehidupan keluarganya. membuatnya bertekad untuk merubahnya. Kesulitan hidup yang akrab dimatanya, Meski pilihannya adalah meninggalkan sektor

pertanian untuk sementara waktu dan kembali meneruskan tradisi profesi orang tuanya pada sisa masa hidupnya. Bayangan sektor pertanian yang dipenuhi para pengsiunan di akhir generasinya, menggelayuti pikiranku. Meski pun ada niatan untuk kembali menekuni sektor yang menjadi ciri negeri agraris, tetap saja gambaran bahwa sektor pertanian tidak dapat merubah keadaan, tampak jelas dalam untaian kalimat-kalimatnya. Jangan-jangan, tanpa sadar mereka tengah mengatakan bahwa anak petani tidak boleh jadi petani. Segumpal gundah melonjak-lonjak dalam hatiku. Benarkah? Jika memang benar, ..... so what gitu loh ? Prisna Purwaningsih, siswi kelas 3 IPS 2, mendukung pendapat Danang. Menurut gadis manis ini, mengangkat status sosial keluarga tidak bisa dengan menjadi petani lagi.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 47

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Tapi, dengan meraih pendidikan dan berpenghasilan tetap ujarnya mantap. Bertani itu susah, tidak dapat dijadikan jaminan masa depan, lanjut gadis yang berkeinginan kuat mengisi masa tua kakek dan nenek yang membesarkannya itu dengan kebanggan pada dirinya. Pada kesempatan lain, aku ketahui bahwa Prisna adalah seorang anak petani yang ikut nenek dan kakeknya yang juga petani. Menurutnya, hasil pertanian orang tuanya sangat terbatas, mereka menanam hanya 1 kali di waktu musim hujan saja. Pasalnya, di musim kemarau sulit sekali mendapat air untuk irigasi. Uang sekolah saya melebihi uang hasil panen, sedangkan saya hanya ikut nenek dan kakek yang sudah lanjut usia tuturnya. Sementara itu, lanjut Prisna, mereka harus bekerja keras dengan raga mereka yang tidak selayaknya lagi bekerja. Prisna mengaku sangat terbebani harus melihat nenek dan kakeknya bekerja mencangkul dan melakukan pekerjaan berat lainnya. Karena itu saya ingin

meringankan beban nenek dan kakek saya, saya ingin di masa tua nenek dan kakek saya diisi dengan kebanggannya terhadap saya. Tapi, saya masih ragu, bisakah saya membahagiakan mereka? Sementara sekarang ini saya masih membebani mereka papar siswi yang memiliki prestasi cukup baik ini. Rona sendu menghiasi wajahnya, kulihat sejumput senyum yang tampak jelas sekali dipaksakan, menutupi kilatan air di bola matanya. Menyimak penuturan Prisna, tanpa terasa ada bening mengambang di mataku. Sempat berkelebat wajah nenek dan kakekku yang telah membesarkanku. Mereka adalah sepasang petani dan nelayan di pesisir pantai Pangandaran. Tak satu pun kata-kata yang kulontarkan untuk menanggapinya. Hanya tatapan yang lekat, mencoba menembus bening bola matanya. Ups ! kembali ke arena diskusi dadakan tadi ya ?! Ungkapan Prisna, diamini sepenuhnya oleh Erlita Restiwahyuni, siswi kelas 3 IPA 2. Tegas-tegas Erlita mengatakan bahwa penghasilan bertani dan status sosilnya rendah.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 48

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Tidak ada yang bisa dibanggakan karena kondisi alam tidak memungkinkan.

Masalah

penjualan hasil panen pun petani selalu dirugikan. Biaya tanam selalu lebih tinggi dari hasil penjualan. Pokoknya jadi petani kalah gengsi ! tandasnya. Sekedar mencairkan suasana yang penuh dengan kisah susah para petani, aku berujar bahwa banyak temen-temenku di Fakultas Pertanian (Faperta) di Kampusku Universitas Siliwangi Tasikmalaya, sering tidak pernah jujur mengakui sebagai anak Faperta saat berkenalan dengan seorang gadis. Biasanya, mereka mengaku sebagai anak Ekonomi atau Teknik. Kadang kebablasan mengaku anak Kedokteran, padahal di Unsil tidak ada Fakultas Kedokteran. Itu dilakukan karena kadang mengaku anak Faperta kalah gengsi seperti

dikatakan Erlita. Jadi susah cari pacar, jarang banget yang punya pacar lintas fakultas, habis anak Faperta sering gak laku selorohku disambut tawa mereka. Prianto, siswa kelas 10 E mencoba mempertegas pendapat Erlita. Menurutnya, tidak dapat disalahkan apabila banyak generasi muda yang pergi meninggalkan sawah dan ladang di desa. Mereka mencoba menggapai taraf hidup yang lebih maju dengan mengadu untung di kota. Dengan bekerja di kota, status sosial juga naik jelasnya. Tanah semakin sempit, lanjut Prianto, dan tidak subur. Biaya bertani semakin tinggi, sedangkan hasil terus berkurang. Dengan kondisi seperti itu, bagaimana kesejahteraan petani bisa meningkat ? tegasnya yang disusul riuhnya dukungan para pemimpin kelas itu. Aku tersenyum kecut mendengar penuturannya. Barangkali penjelasanku di awal diskusi, terkesan mendakwa generasinya karena tidak mau terjun ke dunia pertanian. Diakhir diskusi, sedikit kusisipkan pesan agar apa pun yang akan mereka lakukan dalam upaya mewujudkan harapannya, merubah kehidupan diri dan keluarganya ke arah yang lebih baik, mengangkat status sosial seperti yang mereka katakan, agar tetap tidak melupakan

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 49

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

bahwa negeri yang dicintainya ini adalah negeri agraris. Semoga diantara kalian kelak, ada yang jadi Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, atau wakil rakyat yang peduli pada kehidupan petani. Atau, setidaknya ada yang jadi istri atau mantunya ujarku menutup diskusi yang disambut ucapan Amiiin dan senyum penuh harapan. Setelah berfoto bersama di depan NASHA, kutinggalkan anak-anak petani itu dengan sejuta perasaan yang bergejolak dalam dada. Ya Tuhan, jangan biarkan mereka lupa kodrat negerinya, jadikan mereka pemimpin yang mau kembali ke desanya, atau setidaknya peduli dengan kehidupan dan pembangunan desanya batinku melangkah pergi.

Garuda, Tunas-tunas muda itu tengah siap mekar dan sebagian menjalar ke kota-kota. Akar mereka tetap di sawah dan ladang dimana batang pohon induknya tertanam, meski tak dapat lagi tegak menantang alam. Hampir tak ada peneduh dari rimbunnya dedaunan. Mereka mencoba

menghimpun embun dan menadah hujan penuh harapan. Bukan untuk membuat telaga, tapi sekedar menghilangkan dahaga jiwanya.

Dari Merpati, Kembara Tani.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 50

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

pp Menanti pi pelip pepbali

Meskipun lebih dari separuh luas wilayah DIY digunakan untuk lahan pertanian, tapi kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) hanya menduduki peringkat ketiga setelah sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasajasa. Kontribusi sektor pertanian pada tahun 2003 tercatat sebesar 3,12 Trilyun dari total nilai PDRB DIY sebesar 18,84 Trilyun atau sebesar 16,54 % nya. Sementara sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa, masing-masing memberikan kontribusi yang lebih besar yakni, 19,31 % dan 17,47 % dari total PDRB DIY. Bahkan, sektor perdagangan, hotel dan restoran yang pada tahun 1993 berada di bawah peringkat sektor pertanian, dalam waktu sepuluh tahun telah berhasil melejit meninggalkan sektor pertanian dan menduduki urutan pertama Struktur Ekonomi DIY. Kondisi seperti itu tidak lepas dari upaya Pemprop. DIY yang mencoba mengukuhkan dan memperkuat image DIY sebagai Kota Pendidikan, Kota Budaya dan Kota Wisata. Bahkan, brand image baru yang dicoba disandangnya, melesat melampaui batas negara, Jogja Never Ending Asia. Upaya Jogja dalam menggambarkan dirinya sebagai Asia yang tak pernah berakhir, sangat mempengaruhi orientasi ekonomi yang cenderung berkembang ke sektor sekunder dan tersier. Perkembangan industri yang makin meningkat, serta perkembangan sektor jasa-jasa serta pendidikan dan pariwisata, mendorong lebih tingginya pertumbuhan sektor-sektor ekonomi selain sektor pertanian. Arah perkembangan ekonomi seperti itu, memiliki dampak yang cukup besar terhadap kemampuan penyerapan tenaga kerjanya. Kemampuan sektor pertanian menyerap tenaga kerja, telah menurun sebesar 8,23 % dalam kurun waktu sepuluh tahun. Dari 45,80 % pada

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 51

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

tahun 1993 menjadi 37,57 % pada tahun 2003. Sementara sektor lainnya, di luar sektor pertanian, justru menunjukan peningkatan kemampuan (kecuali sektor bangunan yang juga turun sebesar 0,24 %). Bahkan, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, melambung lebih dari 4 kali lipatnya. Dari semula 0,46 % di tahun 1993 menjadi 2,15 % pada tahun 2003. Walau pun demikian, sektor pertanian masih tetap menjadi sektor utama dalam menyerap tenaga kerja saat ini. Tapi yang memprihatinkan, faktor utama yang menjadi penyebabnya adalah relatif rendahnya keterampilan yang dibutuhkan sektor pertanian dibanding sektor lainnya. Kecenderungan ini menyebabkan pekerja di sektor pertanian

didominasi oleh pekerja tidak terampil dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah. Namun di balik keprihatinan itu, secercah harapan masih terbentang luas. Potensi lahan yang masih memungkinkan dikembangkannya sektor pertanian, menyediakan peluang penyerapan yang cukup besar. Gunung Kidul dan Kulonprogo, memiliki wilayah pedesaan yang relatif luas serta kawasan perkotaan dengan konsentrasi pertanian. Hanya saja, kedua kawasan itu cenderung makin lengang seiring beralihnya tenaga kerja ke sektor lainya di jantung-jantung kota. Data yang disampaikan Badan Pengembangan Ekonomi dan Investasi Daerah (BAPEKOINDA) dalam PETA EKONOMI DIY, menyebutkan bahwa antara 1996 2001, pertambahan penduduk di DIY tercatat rata-rata 1 % per tahun dan merupakan pertumbuhan penduduk terendah di seluruh Indonesia yang mencapai 1,8 % pertahun. Namun demikian, dalam kurun waktu yang sama, jumlah masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan meningkat per tahunnya sekitar 7,8 %, jauh lebih tinggi dari seluruh Indonesia yang hanya 5,4 %. Urbanisasi besar-besaran ke daerah perkotaan, khususnya ke ibu kota DIY, merupakan akibat dari standar hidup yang rendah di wilayah pedesaan. Banyak penduduk desa yang

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 52

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

berpindah ke kota, karena berharap dapat berkesempatan mengenyam pendidikan lebih tinggi dan penghasilan lebih besar. Meningkatnya jumlah pengangguran, merosotnya jumlah pendapatan masyarakat, dan tingginya biaya hidup di perkotaan, merupakan konsekwensi dari tingginya kepadatan penduduk sebagai akibat dari urbanisasi tersebut. Pada tahun 1996, kira-kira 12 % penduduk berada di bawah garis kemiskinan tinggal di DIY. Di Kota Yogyakarta itu sendiri, jumlah itu mencapai 10 %. Sebagai perbandingan, secara nasional masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan tercatat 11 %. Kesulitan tersebut terutama terdapat di wilayah Gunung Kidul dimana pertanian hanya dapat dimungkin dengan biaya tinggi. Hal itu dikarenakan kondisi iklim yang tidak menguntungkan. Suradiyanti, tokoh wanita tani dan KTNA Gunung Kidul, mengaku cukup lama mengkhawatirkan fenomena tersebut. Menurutnya, bila hal tersebut tetap dibiarkan,

dikhawatirkan laju pertumbuhan sektor pertanian akan semakin melambat, seiring dengan semakin menurunnya Nilai Tukar Petani (NTP), yang menjadi salah satu indikator tingkat kesejahteraan petani. Memang serba salah ko, para pemuda tani itu juga pergi karena sektor pertanian tidak dapat menjamin kehiupannya. Wong orang mau mencari peningkatan hidup ya gak bisa ditahan-tahan. Tapi membiarkan mereka pergi pun, akan semakin memperbanyak pemuda tani lainnya yang ikut pergi ujarnya serba salah. Wanita tani pengagum mantan Presiden Suharto itu, mengaku sering prihatin dan menangis bila berkesempatan pergi ke kota dan menyaksikan mereka jadi buruh serabutan, pedagang asongan, anak jalanan, bahkan jadi pengamen dan pengemis. Harusnya mereka berfikir tentang desanya, tapi tidak ada yang berfikir seperti itu. Pemerintah dan semua pihak harus berfikir untuk menghentikan semua itu tandasnya.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 53

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Para pemuda tani itu, lanjut Suradiyanti, merasa jenuh di desa karena banyak waktu menganggur. Mereka menjadi kurang kreatif karena tidak ada yang mengarahkan. Sedangkan di kota banyak pekerjaan yang terjadwal, seperti pabrik misalnya. Pekerjaan terjadwal seperti itu memaksa mereka untuk terus dan terus bekerja. Harusnya para pemuda tani itu ada banyak pekerjaan, ada yang mengarahkan, ada organisasi yang mengelola mereka, ada komunikasi aktif diantara mereka, sehingga menambah semangat dan gairah tuturnya. Ada sesal dan harapan bergantian dalam nada bicaranya. Aku sempat beberapa kali melihat matanya berkaca-kaca. Meski berusaha ditutupi dengan canda dan tawa, tetap saja kegundahan hatinya terbayang jelas dalam perpaduan rona wajah dan pilihan kalimat-kalimatnya. Intonasi yang terkadang meninggi lantas berubah lirih, menunjukan dengan jelas gejolak emosi yang mengiringi perbincangan. Suradiyanti sempat

menggugat maraknya tayangan di layar kaca, yang menurutnya bukan sebuah tontonan yang pantas jadi tuntunan. Menurutnya, pengaruh media TV, tayangan sinetron yang mengumbar gaya gaul orang kota dan tata kramanya, membuat para pemuda dan pemudi tani merubah kiblat, dan berusaha mengejar kondisi seperti yang ditontonnya. Nah, usahatani kan ga mungkin untuk memberikan semua harapan itu, makanya mereka lari ke kota mencari kesenangan dan menguji nasib paparnya. Terlepas dari analisanya yang terkadang cenderung muncul dari gejolak kegundahan menyaksikan kondisi pertanian seperti saat ini, Suradiyanti menaruh harapan besar bagi kembalinya para pemuda tani itu ke desanya. Ibarat seorang ibu yang menanti Si Kelik pulang kembali, penuh kerinduan dan harapan untuk bersama-sama kembali membangun desanya. Meski Suradiyanti sendiri tidak tahu pasti apa yang harus terlebih dahulu dilakukan. Membangun kemauan para pemuda tani itu untuk tetap tinggal dan berusaha mengelola

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 54

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

hamparan lahan pertanian di desanya. Atau, berharap pemerintah memberikan daya tarik dan insentif yang menarik bagi mereka itu untuk kembali. Baginya, kedua-duanya terasa berada di luar jangkauan rengkuhan tangan lembut seorang ibu yang dengan sabar menanti anak lakilakinya kembali.

Garuda, Ibu Pertiwi masih saja sabar menanti Si Kelik kembali, Meski nyiur tak mampu lagi melambaikan daunnya, dan semilir angin pun tak dapat lagi menyampaikan harapannya. Ibu Pertiwi masih saja mengembangkan kedua tangannya, Meski tak ada lagi sosok tegap dan kekar berlari menghampiri, dan dekapan pun tak berbalas kerinduan. Entah sampai kapan ...

Dari Merpati, Kembara Tani

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 55

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

BAGIAN KETIGA

MUTIARA YANG TERPENDAM

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 56

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Dari Merpati pepada parpda

parpdap ppp Ada perindpan di tenpap pelenpanpan ladanpp Ada ppnpi penaripnari ditepian pepatanpp pinip anap neperi pepapin paranp pepbali pplanpp panp adap palap perpi pepapat di neperi peberanpp pilapap pap pepapan papappp di atap tanap panp retapp Apar pepilap pptiara pepbali tappapp Apar ppara penperppp ppn tap pepapin perapp Apar pantpnp bppi pertipi pepbali berdetapp pepppt app di batap anppapap dipana planp pelapanp penpapbarpnpapbarp papa app pe tepi bppip dipana planp penppip penpaparppaparp ppinpan app pepbarippan tarpnap peppi denpan pebatanp rantinp perinpp peppi denpan peptap tali panpinpp ppppp app berbalpt perap dan pptipp ppppp app berpelindpnp peripai di dadappp ppinpan app pepplaip pepolppi pani p

pepbara pani

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 57

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

pp Dari pandi pe peberanp peperi

Di jalan Semin Karangmojo, NASHA melaju perlahan dan berhenti tepat di bawah pohon mangga yang tengah berbuah lebat di halaman sebuah rumah. Relief dedaunan lengkap dengan batangnya, tampak indah tertempel di dinding depan rumah itu. Dinding samping pintu, dihiasi dengan relief batang-batang kecil dengan dedaunannya. Kesan tiga dimensi sangat kental terasa pada kedua relief itu. Sementara permukaan dinding lainnya dipenuhi batu ornamen berwarna putih kecoklatan dengan motif cacah. Alami, asri, megah dan mewah, adalah kesan spontan yang melintas dalam benakku. Di samping kanan rumah itu, berdiri sebuah bangunan pada bagian permukaan tanah yang lebih tinggi. Bangunan ini menaungi beragam hiasan ukiran dengan motif yang lembut, khas kelembutan seorang wanita. Beberapa pot berukur sedang yang sekelilingnya berukir motif daun, anyaman dan sulur-sulur yang menjalar, berpadu dengan lampion-lampion dengan atap kerucut dan dindingnya berlubang membentuk belah ketupat, tampak megah dan mewah. Ornamen dengan beragam motif daun dan bunga yang lembut, berjejer diantara tiang-tiang bulat dan kokoh yang juga berukir di sekelilingnya. Relief naga, rerimbunan daun, sampai kaligrafi, bersandar di dinding bangunan itu. Semua berbahan batu berwarna putih dan coklat muda. Aku menduga, bangunan ini adalah sebuah show room, lebih tepatnya gallery terbuka bagi hasil-hasil karya para pengrajin setempat. Sementara di sebelah kiri rumah itu, sebuah bangunan beratap rumbia menempel dan terletak pada hamparan tanah yang lebih rendah. Di bagian belakang bangunan ini, terletak sebuah mesin dengan piringan besi bundar bergerigi. Bertenger dengan kokohnya di atas dipan kayu berongga yang juga kokoh. Serbuk dan bongkahan kecil batu berwarna putih

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 58

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

bercampur coklat muda terhampar di bawahnya, sebagian teronggok di bagian depan. Beberapa alat pahat dan ukiran dari besi, berserak di atas meja-meja kayu. Kertas karton tebal dengan lubang yang mengikuti gambar motif bunga, daun dan banyak motif lainnya, tergantung pada paku di tiang-tiang penyangga bangunan itu. Bongkahan batu-batu besar yang juga berwarna putih dan coklat muda, tampak berserakan di depan bangunan itu. Lagi-lagi aku menduga, bangunan ini tentunya adalah bengkel ukir tempat para pengrajin itu menghasilkan karya-karyanya. Kembali ke Gallery terbuka tadi, di dinding bagian atasnya tertera sebuah tulisan UM. BATU ALAM SEJATI. Belakangan kuketahui arti UM itu adalah Usaha Mandiri. Sebuah usaha produksi kerajinan berbahan batu alam yang dikelola oleh calon ibu muda bernama Martia Ratna Pratiwi. Bersama suaminya yang juga masih muda, Jarwanto, ibu muda yang tengah hamil 5 bulan itu, menemaniku berbincang seputar perusahaan yang diwariskan ayahnya. Larut dalam perbincangan dengan pasangan suami istri itu, terasa ada hal baru yang menyergapku. Sebuah harapan yang lebih merupakan sebuah jawaban, atau setidaknya salah satu jawaban dari sekian pertanyaan yang menguntitku selama pengembaraan ini. Batu paras Jogja putih, demikian masyarakat setempat menyebut batu putih jenis kremasir itu, menyimpan sebuah harapan yang sekaligus merupakan salah satu jawaban. Menurut Ratna, usaha yang ditekuninya itu dimulai bapaknya, Sugito, pada sekitar tahun 1998. Saya baru menekuninya pada tahun 2003, baru kurang dari dua tahun saja ujar alumnus D-3 Amikom ini merendah. Meski kurang dari 2 tahun, Ratna sudah mampu

mengirim hasil karya para pemahat di desanya itu ke mancanegara. Jenis kerajinan berbentuk pot ukir dan lampion dikirimnya ke Amerika, sementara relief dengan motif bunga dan taman

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 59

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

dikirimnya ke Korea. Bahkan, Prancis, negeri pengagum keindahan karya tangan-tangan terampil itu, disambanginya pula dengan ukiran batu alam untuk Air Mancur di tamantamannya. Sedangkan untuk konsumsi dalam negeri, beberapa pembeli dari Jakarta, Surabaya dan Bali, kerap menyambanginya dan membeli hasil karya para pengrajinnya. Uniknya, baik pembeli dari luar negeri maupun dalam negeri, datang ke gallery dan bengkel ukirnya itu, atas informasi dari mulut ke mulut. Pasangan yang belum genap setahun menikah itu mengaku tidak memiliki kiat pemasaran khusus, selain memajang produknya di gallerry terbukanya itu. Saya gak punya website atau brosur Mas, dulu ada katalog tapi sudah habis. Paling ikutan pameran, itu pun sebatas di Jogja saja, belum jauh-jauh, apalagi ke Jakarta tuturnya. Pemasarannya, lanjut Ratna, hanya memanfaatkan orang-orang yang lewat di depan rumah saja. Padahal, letak gallery dan bengkel ukirnya itu berada jauh dari pusat kota. Ratna sama sekali tidak memiliki show room atau gallery selain yang ada di samping rumah orang tuanya itu. Harga yang di patok Ratna untuk produk-produknya diakuinya lebih mahal dari pengrajin-pengrajin lainnya. Untuk relief dengan motif sesuai pesanan, rata-rata dipatok Sedang pot ukir, dijualnya dengan harga

dengan harga Rp 750.000 per meter persegi.

bervariasi tergantung diameter dan ketinggiannya, antara 200 - 500 ribu rupiah per pot. Lampion dengan tinggi 40 cm, dihargainya Rp 90.000, sedangkan untuk ornamen sangat tergantung dari ukurannya. Ornamen dengan ukuran 30 x 30 dijual seharga Rp 25.000 per biji dan ukuran 50 x 50 dijual seharga Rp 100.000 per biji. Ko lebih mahal dari pengrajin lainnya, mba? tanyaku yang dijawabnya dengan anggukan kepala dan diiringi senyum malu-malu. Jarwanto, suami Ratna, buru-buru

menjelaskan bahwa mahalnya itu karena produknya lebih berkualitas. Sepintas memang

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 60

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

tampak sama, tapi sebetulnya jauh berbeda. Coba saja lihat susunan batu ukir ini ujarnya seraya menunjuk pada tiang batu ukir di teras rumahnya. Mataku mengikuti jari telunjuknya. Meski pun ukirannya menyambung, lanjut Jarwanto, kedua batu ini memiliki kualitas yang jauh berbeda. Batu di bagian atas lebih halus, pori-porinya rapat dan hampir tak nampak. Sedang batu di bawahnya lebih kasar dengan pori-pori yang tampak jelas. Kedua bahan batu ini memiliki umur yang berbeda. Memang bisa diakali dengan cara melapisinya dengan semen putih, tapi tetap akan kelihatan juga kehalusan hasil ukirannya jelasnya. Menurutnya, bahan baku yang digunakannya sengaja dipilih yang baik dan jika dibandingkan kedua bahan batu tadi memiliki perbandingan 1 : 3. Jadi, kalau diperbandingkan harganya, sebenarnya justru lebih murah ko ujarnya berpromosi. Jarwanto dan Ratna mengaku sering kesulitan untuk menjelaskan kepada konsumen yang datang kepadanya perihal perbedaan bahan batu yang digunakannya itu. Kadang

konsumen tidak mau tahu, dan tetap dengan keinginannya membeli yang berharga murah. Jika sudah begitu, Jarwanto maupun Ratna memilih untuk tidak melepas produknya daripada harus menurunkan standar harganya dan membiarkan konsumen itu membeli dari pengrajin lainnya. Selain bahan batu yang digunakan, tutur Ratna, produknya pun memiliki motif yang lebih rumit tapi lembut dan indah serta variasi pilihan yang lebih banyak. Ratna mengaku memiliki koleksi motif lebih dari 20 jenis. Hal yang paling penting juga adalah kehalusan ukiran yang dihasilkan oleh finishing yang sempurna tegas Jarwanto. Berkaitan dengan usahanya, Ratna mengeluhkan terjadinya persaingan yang tidak sehat antar pengrajin. Menurutnya, biasanya banyak yang banting-bantingan harga, terutama saat sepi order. Kualitas produk jadi tidak terjaga kan? Tapi itu tidak lama ko, nanti balik lagi normal jelasnya seraya menyebutkan bahwa dirinya tidak pernah terpancing apalagi larut

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 61

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

dalam perang harga itu.

Ketika kutanya apakah ada organisasi atau perhimpunan para

pengrajin batu ukir? Ratna kembali menggelengkan kepala. Perusahaan yang dikelolanya, pernah memiliki karyawan sampai 60 orang, tapi kemudian menyusut menjadi 40 orang dan bahkan saat ini hanya tinggal 20 orang saja. Tapi itu tergantung order juga sih jelasnya. Tenaga kerja itu dibayarnya dengan upah rata-rata antara Rp 12.500 Rp 30.000 per hari, tergantung tingkat keahliannya. Para pekerjanya hampir semuanya adalah masyarakat di sekitar tempatnya. Untuk melatih dan meningkatkan keahlian para pekerjanya, Ratna biasanya menerapkan urut-urutan pekerjaan. Pekerja baru diberinya pekerjaan mencuci hasil ukiran, sambil belajar mengukir dari para seniornya. Pekerjaan ukiran selanjutnya adalah membuat ornamen dengan motif-motif sederhana. Bila sudah nampak hasil ukirannya halus, baru dipercaya untuk membuat produk lainnya dengan motif yang lebih rumit. Paling akhir, dipercaya untuk mengerjakan sebuah relief. Hanya pengrajin-pengrajin yang sudah ahli saja yang dipercaya Ratna untuk mengerjakan reliefrelief dengan motif yang lebih rumit. Kendala yang dihadapi Ratna, sebagian besar adalah masalah modal yang diperlukannya untuk membeli bahan batu. Pasalnya, pada saat-saat tertentu bahan batu sulit didapat, apalagi kalau musim hujan turun. Jadi, saya perlu stock bahan agar tidak kehabisan bahan jika ada order tuturnya. Menurut Ratna, terkadang dirinya kehabisan bahan baku dan harus berebut dengan para pembeli dari luar daerah, seperti Cirebon dan Tulungagung. Mereka membeli bahan batu dan dibawa ke luar daerah untuk dikerjakan didaerahnya. Seringkali para penambang batu putih lebih mendahulukan para pembeli dari luar daerah itu, apalagi untuk jenis batu yang kualitasnya bagus. Seharusnya, ada aturan dari pemerintah agar batu-batu itu tidak boleh keluar daerah dalam bentuk bahan, tapi harus dalam bentuk jadi atau

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 62

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

setengah jadi. adu Ratna seraya memaparkan kemungkinan berkembangnya industri ukiran batu didaerahnya bila aturan itu benar-benar ada. Barangkali, yang dimaksudkannya adalah

sebuah Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur penggalian batu yang menjadi bahan kerajinan ukirannya dan pembatasan penjualannya ke luar daerah. Disamping itu, lanjut Ratna, terkadang pelanggan-pelanggan lamanya tidak membayar cash produk yang dibelinya. Bahkan, para pedagang kerajinan di Muntilan, Magelang,

menerapkan sistem titip barang yang kadang 2 minggu atau satu bulan sekali membayar. Itu pun bila ada produknya yang laku. Selain faktor modal, faktor pasar pun terkadang jadi kendala yang serius bagi usahanya. Untuk ekspor memang kami menerapkan cash keras, DP 40 % dan sisanya dibayar ketika barang akan dikirim plus ongkos kirimnya. Seperti yang baru saja, ekspor senilai 30 juta cash. Tapi, itu kan tidak tetap, kadang-kadang saja ada yang order paparnya. Menurut Ratna, jika Dewi Fortuna sedang menyambanginya, seringkali justru tidak dapat memenuhi order. Seperti kejadian dengan buyer Surabaya, ada order 800 ornamen untuk dikirim ke Balikpapan. Saya kekurangan pekerja, meski bisa dipenuhi tapi terlambat

sesalnya. Pasalnya, para pekerja yang sebagain besar pemuda tani di desanya tidak mau melembur atau membawa pekerjaannya ke rumah. Namanya anak muda, bujangan lagi, ya milih dolanan Mas tuturnya diiringi tawa renyah. menambah jumlah pekerja, karena takut Sementara itu, Ratna tidak berani order dirinya harus

apabila kehabisan

memberhentikan pekerjanya. Ratna dan Jarwanto, berharap agar usaha batu ukir ini dapat berkembang pesat seperti halnya keramik Kasongan. Para pemuda di sini sebagian besar keluar daerah untuk mencari pekerjaan, karena bertani tidak dapat menjamin kebutuhan mereka. Sebenarnya, bekerja

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 63

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

mengukir batu memberikan pendapatan yang jauh lebih besar dari bertani.

Bahkan

dibandingkan dengan pekerjaan mereka di kota-kota itu, karena biaya hidup di kota juga besar. Tapi ya itu, karena di sini gak ada kerjaan, pada nganggur, ya ke kota juga akhirnya. Tapi, kalau di sini ada pekerjaan kan mereka gak perlu ke luar daerah Mas? ujar Ratna yang diamini suaminya.

Garuda, ... Aku melihat sunyi menari-nari di hatinya. Ada kerinduan yang dalam bergelayut di jiwanya. Ada harapan untuk membasuh rindu itu dan mengusir sunyi yang merayapi tepitepi pematang. Tapi pada siapa tangan dilambaikan, nada didendangkan dan suara diserukan. Sederet tanya yang hanya mampu mereka jawab dengan paduan bunyi palu dan pahatan beradu dengan batu. Memahat Asa tak haruslah di Jantung Kota, lirih bersama angin yang menyingkap rumbia.

Dari Merpati, Kembara tani

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 64

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

pp Pelpanp pntpp pepbali

Apa yang diungkapkan Ratna dan Juwarno, perihal peluang batu putih sebagai penarik para pemuda tani untuk kembali ke desanya, benar-benar terjadi pada Hari Haryono, pemuda asal Desa Ngijo, Semin Gunung Kidul. Selama 3 tahun, Hari menghabiskan waktunya untuk memahat harapan di Jantung Kota, menjadi buruh serabutan di Kawasan Berikat Nusantara. Pernah pula menjadi security di pusat perbelanjaan Blok M, Jakarta. Belakangan, Hari

memilih untuk kembali ke desanya. Alasannya, walau pun di Jakarta pendapatan Hari lumayan besar, tapi biaya hidup yang tinggi menyebabkan sisa penghasilannya tetap menjadi kecil. Kalau dihitung-hitung, penghasilan di sini malah lebih besar Mas. Saya mendapat upah Rp 25.000 per hari dan dengan biaya hidup di sini, itu cukupan untuk saya dan istri jelas manten baru ini mantap. Hari dipercaya Sihanto, pemilik pabrik pembuat batu tempel Paras Jogja Putih, untuk menjalankan usahanya dan mengawasi pekerja-pekerja lainnya. Pengalamannya dengan

urusan batu putih ini terbilang sudah cukup lama. Selama 3 tahun ia menggeluti industri pemotongan batu dan 2 tahun menjadi pengrajin batu ukir. Saat ini, Hari mengkhususkan diri untuk memproduksi batu tempel polos sebagai penghias dinding dengan beragam ukuran, mulai dari ukuran 10 cm x 20 cm sampai 60 cm x 60 cm. Pekerja di pabriknya berjumlah 7 orang dengan upah berkisar antara Rp 15.000 sampai Rp 25.000 per hari tergantung spesialisasinya. Pengguna produknya sebagian besar adalah para suplyer bahan bangunan dan para developer yang mengerjakan proyek-proyek perumahan atau perkantoran. Meski demikian, banyak pula pengguna langsung yang membeli produknya itu untuk membangun atau

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 65

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

merenovasi rumahnya sendiri. Selama ini, pasar produknya sebagaian besar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hasil akhir produknya itu dilemparnya ke Jakarta, Surabaya, Bali dan Jogja sendiri. Pernah sih ekspor, tapi tidak dapat memenuhi. Waktu itu ada permintaan sebanyak 400 m2 per minggu, tapi karena keterbatasan pekerja, saya tidak dapat memenuhi permintaan itu. Baru 9 kontainer terus bubar ujarnya menyesalkan. Batu-batu yang siap pakai, dijualnya per meter persegi dengan harga bervariasi sesuai ukurannya. Untuk batu berukuran 10 x 20 cm, dilepas dengan harga Rp 25.000/m2. Sedangkan batu berukuran 30 x 40, dihargainya Rp 45.000/m2. Rata-rata omzet per hari mencapai 1 juta rupiah. Harga itu franco gudang pabrik Mas, kalau minta dikirim, ya ditambah ongkos kirim ujarnya menjelaskan. Menurut Hari, sebagian besar konsumen tidak membeli cash, tapi dengan pembayaran tempo selama 2 minggu, terkadang sampai 1 bulan. Hari mengaku sering ikut pusing bila ada konsumen yang pembayarannya macet, khususnya yang dikirim ke proyek-proyek perumahan. Bahan baku batu diambil Hari dari Desa Candirejo, Semin, dengan harga Rp 425.000 per truk. Desa itu memang terkenal dengan penambangan batu Paras Jogja Putih yang cukup baik kualitasnya. Dari penambangan batu di sekitar bukit Gloto, batu-batu itu dipotong

berbentuk balok dengan ukuran tinggi 50 cm sampai 1 meter dengan panjang sekitar 1 meter. Lalu balok-balok batu itu diangkutnya dengan truk ke pabriknya untuk dipotong-potong tipis sesuai dengan ukurannya. Satu truk, biasanya jadi batu tempel sekitar 30 m2 dengan berbagai ukuran dan untuk mengolahnya perlu waktu sekitar 1 hari papar Hari. Pabriknya memiliki 1 set mesin pemotong batu yang terdiri dari 1 pemotong besar dan 4 pemotong berukuran kecil. Untuk menggerakan mesin itu, satu hari diperlukan solar sebanyak 60 liter. Naiknya harga solar jadi beban buat pengrajin, soalnya biaya produksi jadi naik, tapi saya tidak bisa

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 66

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

menaikan harga jual. Tidak mungkin menaikan harga jual sebanding dengan kenaikan harga solar itu. Mana ada yang mau beli? keluhnya. Menurut Hari, setidaknya di kawasan Semin ini terdapat 14 pengrajin batu tempel yang memiliki mesin pemotong sendiri. Industri batu Paras Jogja Putih ini, diyakini Hari dapat berkembang dan menjadi peluang usaha untuk menambah pendapatan masyarakat tani di sekitarnya. Hanya saja,

menurut Hari, pemerintah terkesan kurang serius memanfaatkan peluang usaha masyarakat ini. Dukungan pemerintah belum jelas Mas, malah sepertinya tidak diatur dan dibiarkan jalan sendiri adunya, seraya menyebutkan bahwa sepengetahuannya selama ini belum ada bimbingan atau bantuan apa pun yang diterima para pengrajin. Padahal, lanjut Hari, bila industri ini ditangani dengan serius, dapat menjadi lapangan pekerjaan yang menjanjikan bagi masyarakat sekitar sini, khususnya para pemudanya. Kalau di sini ada pekerjaan, kenapa harus pada nyari ke kota kan Mas? Malah, saya yakin, temen-temen yang sudah kerja di kota pun akan balik ke sini, ya seperti saya ini ujarnya tersenyum. Hal yang sangat disesali Hari dan menjadi unek-uneknya selama ini adalah perihal ketersediaan bahan baku batu. Pasalnya, seringkali Hari dan para pengrajin lainnya, kehabisan bahan baku batu dan harus berebut dengan para pembeli bahan baku batu yang datang dari luar daerah. Para pengrajin batu dari Cirebon dan Tulung Agung, sering berburu bahan baku batu ini di lokasi yang sama. Bahkan, seringkali para penambang batu malah mendahulukan para pembeli dari luar daerah. Kondisi demikian memaksanya harus menyediakan stock bahan. Ketika ditanya mengapa para penambang lebih mendahulukan pembeli dari luar? Hari menjawabnya dengan sebuah senyuman penuh arti. Batu-batu bahan itu mengalir ke luar daerah dengan derasnya. Di tempat tujuannya, bahan batu itu diolah oleh para pengrajin di sana dan menghasilkan produk yang sejenis

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 67

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

dengan produk yang dihasilkannya. Bukan masalah takut persaingan produk jadinya lho Mas, tapi kan kalau batu-batu itu diolah di sini kan dapat membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat sini. Tapi kalau diangkut ke luar daerah, yang diuntungkan ya masyarakat di daerah itu sendiri tandasnya. Hari mengharapkan, ada peraturan daerah yang melarang batu-batu itu ke luar daerah dalam bentuk bahan baku. Tapi, harus dalam bentuk setengah jadi atau produk jadi seperti batu tempel atau batu ukir yang biasa di produksi para pengrajin daerah. Hari mengaku, pernah mengutarakan hal ini kepada kepala desanya dan tanggapannya hanya sekedar ucapan, itu usul yang bagus dan seperti biasanya akan ditampung dan disalurkan. Dampaknya akan sangat baik bagi perkembangan ekonomi masyarakat sekitar sini. Temanteman saya pun tidak usaha susah-susah cari kerja ke kota, saya tahu persis bagaimana susahnya kerja di kota dan jauh dari keluarga ujarnya menerawang masa lalunya ketika bekerja di Jakarta. Hening menyergapku, Hari tampak memberi instruksi pada pekerja-pekerja lainnya. Aku terhanyut dalam pikiran yang tiba-tiba saja muncul karena kalimat di akhir ucapannya. Selintas terbayang dalam anganku wajah Pak Gino dengan becaknya, Sumarlan di area parkir Abu Bakar Ali, Bandat yang tengah menyajikan semangkuk bakso dan jejeran roda bercat hijau lengkap dengan nomor rodanya, Bariyadi yang mungkin kini tengah menganyam rotan di Cirebon sana, dan sekian wajah petani dan pemuda tani yang hilir mudik di pelataran Malioboro. Mereka meninggalkan sawah dan ladang di desanya karena pertanian tak mampu lagi memenuhi kebutuhan hidupnya dan tak ada yang dapat mereka lakukan selain mencoba memahat asa di jantung-jantung kota itu. Tapi, tatkala ada peluang bagi mereka untuk

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 68

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

memahat harapan dalam batu-batu di pelataran desanya, mereka pun tak mampu berbuat apaapa selain menyaksikan dengan pilu, Mutiara yang terpendam di buminya itu digali dan mengalir ke luar daerah. Ternyata, masalah di sektor pertanian itu tidak dapat diselesaikan hanya oleh komunitas pertanian saja. Bahkan, seringkali jawaban dan solusinya justru berada di luar sektor pertanian itu sendiri. Sinergitas yang selaras dari seluruh elemen, baik pemerintah, legislatif dan dunia usaha, maupun elemen-elemen sosial kemasyarakatan lainnya, harus dibangun untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga tani dan masyarakat pedesaan. Andai saja peraturan seperti yang diharapkan Hari ada, tentu akan memberikan warna lain bagi kesibukan di desanya. Bunyi pahatan beradu dengan batu, ditingkahi bunyi palu pada ujung-ujung pegangannya, akan berpadu dengan deru mesin pemotong batu yang membelah dan membentuk batu-batu itu. Deretan mobil-mobil di sepanjang jalan, di muka gallery-gallery terbuka atau di bengkel-bengkel ukir, akan lebih sering terlihat. Truk-truk pengangkut aneka kerajinan batu Paras Jogja Putih yang tersimpan rapih dalam kotak kayu, akan hilir mudik keluar masuk desanya. Multiple efek dari tumbuhnya industri kerajinan batu ini, akan berdampak pada semakin cepatnya denyut nadi perekonomian wilayah. Dan, aku membayangkan, di sawah dan ladang-ladang kering yang mungkin saja nanti tak kering lagi, tampak tubuh-tubuh tegap dan kekar mengayun cangkul. Para pemuda tani itu telah kembali, menyongsong bentangan tangan ibu pertiwi yang telah sekian lama menantinya. Namun, siapa yang harus memulai? Siapa yang harus lebih dahulu mengangkat

mutiara yang terpendam itu dan menggosoknya menjadi bersih dan bening, sebersih dan sebening bola mata seorang anak yang menatap lekat mata ibunya.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 69

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Garuda, Mutiara itu masih saja terpendam, terinjak dan bahkan terlangkahi saat mereka pergi meninggalkan desanya. Bunyi palu dan pahat yang beradu dengan batu, terdengar sayup ditelan kelengangan ladang. Putihnya batu-batu itu tak menyilaukan mata mereka, atau mungkin juga malah tak mereka lihat. Sementara Elang di angkasa terus berputar-putar dan sesekali menyambar. Tak ada kurungan untuk berlindung, bahkan kini tak ada lagi dedaunan rimbun sebagai pelindung. Satu-satu hilang diterkam Elang, tanpa daya dan bahkan hampir tanpa upaya. Ada banyak mutiara yang tersebar dan tetap terpendam, terinjak dan bahkan terlangkahi saat mereka meninggalkan desanya. Dari ujung Utara hingga pesisir Selatan, dan dari tepi Timur hingga batas Barat, sama terpendam, terinjak dan bahkan terlangkahi saat mereka kembali pulang ke desanya. Senyumnya masih mengembang tatkala beradu tatap dan menyapa orang-orang baru, menyaksikan rumah-rumah baru, mobil-mobil baru dan peradaban baru. Orang-orang baru yang baru saja mengambil mutiara yang baru disadarinya, berada di pelataran desanya yang juga tampak baru. Haruskah mereka pun menunggu pemerintahan yang baru?

Kembara Tani

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 70

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Bunga Rumpun Liar di Tanah yang Terlantar

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 71

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Suatu sore, NASHA ku parkir tepat di depan pintu gerbang Gedung Agung. Gedung yang berfungsi sebagai Wisma Negara dan tempat menerima tamu-tamu agung yang berkunjung ke Jogja ini, terletak tepat di depan benteng Vredenburgh dan merupakan tempat mangkal favoriteku. Di bawah beringin, aku duduk di bangku taman. Ada keasyikan tersendiri duduk di bangku ini, memperhatikan lalu lalang pejalan kaki, atau kendaraan yang melintas dari arah Malioboro. Terkadang, aku suka senyam-senyum sendiri melihat ulah kocak anak-anak Istilah atas ini, aku ketahui dari sahabat-

jalanan yang juga biasa mangkal di atas.

sahabatku anak-anak jalanan basecamp Alun-alun Utara, untuk sekedar menyebut lokasi yang memang letaknya lebih tinggi dari Alun-alun Utara. Pada waktu-waktu tertentu, memang sengaja NASHA aku parkir di tempat itu. Maksudku, agar pesan yang terpampang dalam papan di atas bak NASHA, terbaca oleh banyak orang. Sedikit advokasi sih, tapi itu juga sangat berkaitan erat dengan misiku:

Mensosialisasikan Gerakan Membangun Sinergitas untuk Petani Indonesia yang kusingkat Gema SuPI. Dan, siapa tahu terbawa pulang para wisatawan yang datang dan kebetulan membacanya. Syukur-syukur, jadi bahan renungan serta memberikan inspirasi padanya. Pada salah satu sisi papan itu tertulis : BERSATU UNTUK KESEJAHTERAAN PETANI INDONESIA, dengan kombinasi warna merah dan putih, serta latar belakang desain grafis areal persawahan dan beberapa komoditas pertanian. Di bawah tulisan itu, tertulis : Saatnya membangun sinergitas yang selaras untuk menjadikan kesejahteraan petani sebagai jembatan emas bagi terciptanya bangsa Indonesia yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur, dengan warna huruf hitam dan latar berwarna kuning.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 72

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Sedang pada sisi lainnya, terdapat tulisan: Terima Kasih Bapak & Ibu Tani, Atas Pengabdian Tanpa Henti Untuk NEGERI AGRARIS INDONESIA. Pada bagian atap yang menutup bak, terdapat fotoku dengan pakaian hitam-hitam mengenakan caping dan desain grafis komoditas pertanian, tepat di bawah fotoku itu tertulis Kembara Tani. Pada bagian tengah atap terdapat tulisan: Disscusion Tour Jawa Dwipa, lalu dibawah tulisan ini tertulis juga: Perjalanan Keliling Pulau Jawa, serta tulisan: Merasakan apa yang Petani Katakan dan Mengatakan Apa yang Petani Rasakan. Pada bagian bawahnya, tertulis organisasiku dan nomor kontaknya. Aku sering membiarkan orang-orang yang melewati NASHA berhenti dan membaca tulisan-tulisan itu. Biasanya, mereka tungak-tengok kiri kanan, melongok ke dalam bak

NASHA yang berisi ransel dan tas bajuku, buku-buku serta perlengkapan perjalanan lainnya. Kemudian mengitari NASHA, lalu jongkok memperhatikan mesin dan struktur rangka NASHA yang memang tampak kokoh dan gagah. Kadang kala aku menghampiri mereka sekedar untuk berbincang ringan tentang topik petani dan sektor pertanian. Tapi, seringkali juga malah merembet ke hal-hal berat, keluar dari bingkai petani dan sektor pertanian itu sendiri. Menjelang Magrib, seorang perempuan muda kupergoki tengah membaca tulisan itu. Kuperhatikan, bibir mungilnya bergerak mengikuti untaian kata-kata yang tertera di papan. Berjalan lembut mengitari NASHA dan membaca tulisan di sisi lainnya. Sejenak kulihat perempuan itu termenung, kemudian tungak-tengok kanan kiri, seolah mencari sesuatu, dan matanya beradu dengan tatapanku. Dia tersenyum simpul diiringi tatapan tanya yang jelas tertuju kepadaku. Aku pun membalas senyumnya seraya mengangguk.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 73

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Iya Mba ujarku segera, seraya bangkit menghampirinya, menyodorkan tanganku dan mengajak bersalaman. Tangan putih dan lembut, menjabat tanganku. Lastri ujar perempuan yang kuduga seorang mahasiswi itu singkat. Motornya, bagus yah sambungnya menatapku, aku hanya nyengir mendengar pujiannya. Pasalnya, aku yakin pujian itu hanya basa-basi saja. Moso, perempuan bertubuh langsing dan berpenampilan anak gedongan itu, tertarik sama motor roda tigaku yang rame. Padahal, tadi jelas-jelas kulihat bibirnya bergerak membaca tulisan di papan. Iseng banget sih milih kalimat pembukanya, batinku. Sendirian Mba? tanyaku tak kalah isengnya. Pemilik bulu mata lentik itu mengangguk pelan tanpa menoleh kepadaku. Mata itu tetap lekat ke tulisan di papan. Tak kuduga sebelumnya, perbincanganku dengannya mengalir lancar selancar arus lalu lintas di Malioboro sore itu. Beberapa komentarnya tentang tulisan yang dibacanya, cukup mengagetkanku. Jangan-jangan, mahluk lucu yang satu ini, anak Faperta, batinku. Semakin lama, semakin aku betah mendengar tuturannya. Apalagi, ketika diketahuinya aku tengah menulis sebuah buku tentang pengembaraanku di Jogja, lengkap dengan rencana judul bukunya : Ada Petani di Malioboro, Lastri semakin semangat berkomentar dan mendominasi perbincangan kami. Sebenarnya, kalo Mas ndak keberatan sih, ada yang ingin saya sampaikan. Siapa tahu dapat menambah lembar-lembar buku Mas nantinya. Saya juga anak petani loh ujarnya tersenyum. Mbanya anak petani? ujarku tidak percaya. Beneran, napa? ndak boleh petani punya anak cantik? jawabnya mengerling nakal diikuti tawa renyah. Sialan, pikirku. Tapi, bener juga sih, berbalut blues warna coklat dan kaus tangan panjang dengan warna senada, Lastri tampak cantik dan sexy.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 74

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Kami pun sepakat untuk bertemu kembali. Lastri berjanji akan mengontakku dan menentukan kapan dan dimana akan bertemu. Memangnya Mba tahu nomor saya? tanyaku yang dijawabnya dengan senyuman dan telunjuk yang mengarah ke atap bak NASHA. Ups! Aku lupa bahwa di situ tertera nomor Handphone ku. Nomor hp Mba, berapa? tanyaku setengah meminta. Saya aja yang telepon Mas, yah? ujarnya seraya pamitan. Curang, batinku, mengiringi kepergiannya. Suara Adzan dari Mesjid Gede Kauman terdengar sayup, sore pun semakin redup. Lastri menepati Janjinya. mengontakku. Pagi Mas, ini Lastri, masih inget ndak? sapanya. Aku kaget. Hai, dimana nih? balasku sok akrab. Saya di kampus, jadi ndak ketemuannya? Boleh, tapi saya masih di Bantul nih, kapan? Kalo ntar malem, jam tujuhan, gimana? Boleh, dimana? Nanti aku telepon lagi, eh Mas, jangan telepon ke nomor ini yah? Loh, emang kenapa? Coz, ini nomor wartel suara tawa penuh kemenangan terdengar renyah di seberang sana seriiring dengan bunyi klik. Sambungan telepon terputus. Tinggal aku yang bengong Dalam perjalanan dari Bantul menuju Sleman, dia

memandangi Hpku. Sialan jilid dua nih, batinku.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 75

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Didorong rasa penasaran, sejak jam 5 sore aku parkir NASHA di sebuah penitipan sepeda motor di sekitar terminal Giwangan. Aku hanya berbekal tas hitam kecil berisi alat perangku, sebuah notes, pena dan kamera saku, serta rokok dan jaket hitam kesayanganku. Keluar dari penitipan sepeda motor, aku malah bingung mau menuju kemana. Pasalnya, pertemuan yang sok rahasia-rahasiaan ini, entah mau digelar dimana nantinya. Tak lama, kuputuskan untuk naik Bis Kota Jalur 4 dan menunggu informasi berikut di tempat pertama kalinya mahluk jail itu muncul. Jam tujuh tepat, Hp ku berdering. Nomor dengan kode wilayah 0274 muncul

dilayarnya. Pasti dia, batinku. Panggilan itu ku tolak. Selang beberapa saat, Hp ku berdering lagi. Nomor yang sama dan kutolak lagi. Biar tahu rasa, batinku penuh kemenangan. Hp ku berdering lagi, kali ini ku angkat. Kalah juga, akhirnya. Ko dimatiin sih? suara lembut terdengar ketus. Kirain tukang kredit ujarku sekenanya. Tawa renyah yang ku kenal kembali terdengar di seberang sana. Mas, tahu Inna Garuda ndak? Tahu, kenapa? Aku di Lobby, ke sini ya? Ko, di hotel sih? tanyaku heran dan deg-degan. Eh Mas, jangan telepon nomor ini ya? larangnya tanpa menghiraukan pertanyaanku. Kenapa? Wartel lagi? sergahku. Salah! Coz, ini nomor hotel suara tawa penuh kemenangan kembali terdengar renyah di seberang sana, seiring dengan bunyi klik. Sambungan telepon terputus. Tinggal aku yang masygul, bengong memandangi Hpku. Sialan jilid tiga rupanya, batinku.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 76

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Penasaran, ku telpon juga nomor itu. Inna Garuda, selamat malam, ada yang bisa saya bantu? ujar suara di seberang sana. Maaf Mas, salah sambung buru-buru aku menutup telepon. Kakiku melangkah ke ujung Malioboro dan menghilang diantara lalu lalang orang-orang yang berjalan, di sela-sela motor yang berderet-deret parkir di pelataran Malioboro. Di Lobby, ku lihat Lastri tengah asyik ngobrol dengan seorang laki-laki setengah baya. Melihat kedatanganku, tangannya melambai ke arahku yang diikuti tatapan laki-laki di sampingnya. Malem ujarku seraya menyodorkan tangan ke arah laki-laki itu. Malem, mau jemput Wulan ya? ujarnya singkat. Jemput Wulan? batinku kaget. Om, ini kakak, Wulan pergi dulu yah? sambar perempuan disampingnya, mencoba menutup kekagetanku. Paham situasi, aku tersenyum dan menganggukan kepala ke arah laki-laki itu yang dipanggilnya Om itu. Hati-hati ya ujarnya melepas kepergian kami. Di luar, hening menyergap kami. Hanya suara sepatu hak tinggi dari langkah

perempuan disampingku yang terdengar berisik dan menjengkelkan di telingaku. Kita kemana? tanyanya memecah keheningan. Terserah Mba Lastri, atau Mba Wulan, atau siapa pun adanya Mba ujarku tanpa menoleh ke arahnya. Menangkap kejengkelanku, perempuan itu menarik tanganku dan berbisik di

telingaku, Ini bagian dari yang ingin saya ceritakan. Aku menoleh ke arah suara itu, hampir saja pipiku beradu dengan bibirnya. Matanya ku tatap lekat-lekat. Perempuan itu

mengangguk pasti. Aku menarik nafas panjang mencoba menenangkan diri. Bukan saja karena kekagetan yang beruntun, tapi juga karena tubuhnya sangat rapat dengan lenganku.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 77

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Makan malam di lesehan, tepat di depan Masjid Gedung DPRD DIY, berhasil mencairkan kebisuan yang sempat membalut kami. Lastri, nama yang menurutnya nama aslinya, bertutur tentang desa kelahirannya, sebuah desa pegunungan di salah satu kecamatan di kabupaten di DIY. Aku pernah ke sana ujarku yang membuatnya berhenti menggit burung dara goreng ditangannya. Masa sih? Ketemu sama siapa? tanyanya tidak sabar. Lastri menunggu jawabanku. Burung dara goreng masih ditangannya. Aku tertawa melihat posisi tangannya. Makan dulu, ntar terbang susah nangkepnya ujarku. Sadar posisi tangannya yang memegang burung dara goreng berada tepat di depan dadanya, ia tertawa lepas. Beberapa pasang mata melirik ke arah kami. Aku memberi isyarat agar dia menghentikan tawanya. Bodo tanggapnya ringan. Ketemu sama sapa Mas? tanyanya masih penasaran. Aku menyebut sebuah nama. Swear? susulnya tidak percaya. Iya lah, trus aku tahu darimana nama itu? sergahku meyakinkan. My God! Itu Budeku ujarnya menatap tajam ke arahku. Giliran aku yang kaget. Mata kami beradu tatap, lekat. Mata kamu indah ya? Usaha deh ujarnya tak acuh. Matanya tetap lekat menatap mataku. Masa sih itu Budemu? Beneran, cerita dong pintanya.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 78

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Aku pun menceritakan apa yang kulihat dan kudengar dari perempuan yang diakuinya sebagai Budenya itu. Apa yang sedang dilakukannya dengan kelompoknya, perbincangan kami dan harapan-harapannya. Lastri tampak serius menyimak penuturanku. Sekilas

kutangkap ada bening mengambang dimatanya yang memerah. Bening itu lalu jatuh perlahan menyusuri pipinya. Bibirnya bergetar dalam gigitan barisan putih gigi-giginya. Kusodorkan tissue. Hening kembali menyergap kami. Kerinduan telah mencabik-cabik bagian halus perasaan dan naluri kewanitaannya. Kubiarkan Lastri larut dengan perasaannya. Sekelompok pengamen melantunkan lagu milik Slank, ku tak bisa jauh jauh darimu Pinten Mas? tanyanya pada seorang laki-laki yang mengambil piring di meja kami. Biar aku yang bayar cegahku. Napa? Karena uangku haram? hardiknya. Ada kilatan di bola matanya. Bukan, gak enak masa cewek yang bayar, emang aku berondong sanggahku. Emansipasi ujarnya singkat. Kali ini tawa renyah itu kembali kudengar. Selembar seratus ribuan diserahkannya pada laki-laki tadi. Emang ceritamu dah selesai? tanyaku. Belum, baru permulaan, ntar aku lanjutin yah jawabnya tersenyum penuh arti. Kami pun melangkah keluar, tangannya menggandeng tanganku. Taxi warna merah marun membawa kami membelah Malioboro. Lastri bungsu dari 3 bersaudara. Kedua kakaknya laki-laki dan sudah berkeluarga. Keduanya berkerja di salah satu pabrik di kawasan Bekasi. Menurutnya, kedua kakaknya itu, setidaknya dua kali dalam setahun pulang menjenguk orang tuanya. Sedang dia sendiri, mahasiswi universitas negeri ternama di Jogja.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 79

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Bapak saya petani, bapak menggarap tanah kas desa. Sedang Ibu saya buruh di ladang. Kadang membersihkan ladang, membantu menanam atau memanen ladang orang lain tuturnya. Matanya menerawang, mengingat masa-masa hidup dan tumbuh di desanya.

Kadang bertutur diikuti senyuman, bahkan tawa. Kadang pula dengan suara sendu dan tetesan air mata. Kini aku paham, mengapa apresiasinya tentang tulisanku dulu, cukup Ternyata, bukan hanya kadar intelektualitasnya saja yang membuatnya

mengagetkanku.

mampu melontarkan komentar-komentar dan mengapresiasi tulisan-tulisan itu. Tapi, justru karena Lastri adalah saksi hidup dan bahkan pelaku atas kesialan nasib petani selama ini. Dia adalah tinta dalam kertas buram perjalanan hidup sebuah keluarga tani. Masa kecil Lastri, diakuinya penuh dengan kisah susah. Makan nasi campur jagung, atau gaplek yang diolah jadi tiwul. Kesehariannya membantu bapak atau ibunya bekerja di ladang. Seringkali keluarganya tidak dapat memenuhi kebutuhan minimal, semisal makanan dan air. Hasil tani bapak berapa sih Mas? Apalagi hasil panennya harus dibagi dua sama yang punya tanah. Untuk minum, kami harus berjalan jauh mengambil air dan

menampungnya. Kalau kebetulan kakak kirim uang, kami bisa beli satu tangki. Untuk menutupi kekurangan itu, kadang bapak nyambi jadi buruh panggul, bikin arang kayu atau ke kota jadi buruh bangunan paparnya mengenang. Meski dalam kondisi seperti itu, orang tua Lastri dapat menyekolahkan anak-anaknya. Kedua kakaknya selesai sampai SMP dan Lastri sendiri hanya sampai SD. Saya ndak tega ngeliat bapak sama ibu. Apalagi dulu kakak saya pada pergi ke Jakarta. Di rumah cuma kami bertiga ujar Lastri. Menurutnya, walau kedua kakaknya sudah bekerja, tapi masih sering minta kiriman dari bapaknya. Pasalnya, hasil kerjanya itu tidak cukup untuk hidupnya sendiri. Namanya sama anak, lanjut Lastri, bapak sering khawatir anaknya kelaparan di tanah orang.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 80

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Beruntung Lastri punya saudara jauh yang sering membantu bapaknya. Orang yang disebut saudara jauhnya itu, adalah tetangganya yang bekerja dan punya usaha di Surabaya. Dia biasa mengambil singkong atau gaplek dari desanya dan beberapa desa disekitarnya. Di Surabaya, dia memiliki gudang sendiri dan usahanya terus berkembang. Orangnya memang ulet dan pekerja keras ujar Lastri memuji. Jika bapak ada keperluan yang mendesak dan nilainya gede, lanjutnya, bapak pasti ke Surabaya meminta bantuannya. Entah sudah berapa banyak saudara jauhnya itu memberi bantuan uang kepada bapaknya, pinjam atau ikhlas memberi, Lastri sama sekali tidak tahu. Lastri mengambil gelas berisi softdrink dan meminum isinya. Sebatang rokok filter diselipkannya disela bibirnya yang merah. Asap mengepul dan ditiupkannya perlahan ke arahku, asap pun berhamburan di mukaku. Tanganku yang memegang pena sibuk menepis asap itu. Apaan sih? ujarku protes. Lastri tertawa lirih, lalu melanjutkan ceritanya. Mengetahui Lastri tidak melanjutkan sekolah, saudara jauhnya itu meminta ijin orangtuanya agar diperbolehkan membawa Lastri ke Surabaya, untuk membantu usahanya sambil melanjutkan sekolah disana. Tidak diduga, orangtuanya mengijinkan Lastri pergi. Mungkin sudah percaya yah, lagian bapak juga kan suka kesana. Aku sendiri seneng aja bisa sekolah lagi, apalagi di kota besar tuturnya mengenang dan senyam-senyum sendiri. Sejak saat itu, jadilah Lastri tumbuh dan besar dalam pengasuhan saudara jauhnya di Surabaya. SMP dia selesaikan dengan prestasi siswi teladan, lalu melanjutkan ke SMEA. Rutinitas Lastri, mengasuh keponakannya dan membantu melayani pembeli di toko, disamping pekerjaan-pekerjaan rumah seperti biasanya. Beberapa kali bapaknya menengok Lastri di Surabaya. Setiap ke Surabaya, bapak kelihatan senang melihat saya tumbuh sehat

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 81

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

dan cantik ujarnya tertawa. Aku mencibirkan bibirku. Jarinya mencoba meraih bibirku. Aku mengelak. Ada seraut wajah ayu bermain-main di kelopak mataku. Beneran, aku tumbuh jadi anak gadis yang cantik dan periang ujarnya serius. Iya, iya ujarku gak peduli protesnya. Tapi, justru karena itu pula aku jadi seperti ini ujarnya lirih. Aku menatapnya. Lastri menghindari tatapanku, lalu bangkit dan duduk di sofa panjang. Sini Mas ajaknya, tangannya menepuk sofa disampingnya. Aku bangkit mengikuti arah tepukan tangannya itu. Tak kuduga, Lastri merebahkan kepalanya di pangkuanku. Trus, aku nulisnya gimana? protesku. Emang sengaja biar ndak ditulis ujarnya tertawa. Aku pasrah. Tangannya meraih tanganku, lalu mempermainkan jari jemariku. Aku membiarkannya asyik dengan jari jemariku. Ada seraut wajah ayu bermain-main di kelopak mataku. Kecantikan dan kemolekan tubuhnya, menurut Lastri, justru jadi biang malapetaka yang melemparnya ke kubangan bisnis kenikmatan saat ini. Sama sekali Lastri tidak

menduga, kalau kebaikan saudara jauhnya itu memiliki maksud lain yang tersembunyi. Perhatian-perhatiannya dan kasih sayang yang dicurahkannya selama ini, ternyata bukan perhatian dan kasih sayang seorang saudara. Tapi, perhatian dan kasih sayang seorang lakilaki kepada wanita yang mampu memicu birahinya. Saudara jauhnya itu, ibarat kumbang yang rela sabar menunggunya tumbuh dan berkembang, untuk kemudian mengisap madunya. Suatu malam dia bilang bahwa sekarang sudah saatnya aku mengetahui yang sebenarnya. Lalu dia menceritakan bahwa dulu, ketika sebelum aku dibawanya ke Surabaya, sudah ada perjanjian dengan bapak dan ibu untuk mengawiniku. Tapi, saat itu bapak minta, nanti saja setelah aku besar dan sekolah. Lalu, dia menyanggupi untuk mengurusku dan

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 82

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

menyekolahkannya. Tapi, aku tidak tahu kalau ujungnya adalah pernikahanku dengannya tuturnya pilu. Lastri mengaku bagai disambar petir mendengar penuturan saudara jauhnya, yang sudah dianggap seperti kakaknya sendiri itu. Dan yang lebih menyakitkan, tutur Lastri, saudara jauhnya itu mengatakan bahwa dirinya harus bisa membalas budi orangtuanya yang telah berhutang budi padanya. Tapi kan aku gak bisa secepat itu menerima kenyataan yang membuatku stress itu. Aku menangis semalaman, mengunci diri di kamar. Mana mungkin aku menikah dengan orang yang sudah kuanggap kakak sendiri. Mana sudah tua dan punya anak bini lagi ujarnya ketus. Lalu, apa reaksinya setelah tahu dia kamu tolak ? tanyaku. Aku tidak menolaknya, aku ndak berani tegas-tegas menolaknya. Saat itu, aku hanya bilang mau ngomong dulu sama bapak, setelah luslus sekolah nanti. Dan, dia setuju atas usulku. Setelah pembicaraan itu, setiap melihatnya, rasanya aku pengen muntah saja Mas. Aku jadi tidak semangat lagi belajar, buat apa? jelasnya. Kemarahan membayang di rona wajahnya yang tirus. Sebulan setelah lulus SMEA, Lastri dan saudara jauhnya itu pulang mengunjungi bapaknya. Namun karena kemalaman, aku Lastri, dirinya tidak bisa langsung pulang ke rumah orangtuanya. Kan ndak ada kendaraan ke sana kalau malam. Sepertinya memang sudah direncanakan deh sama dia. Mulanya aku ndak mau nginap di hotel, tapi dia maksa dan memang mau tidur dimana? Aku pun ngotot minta dua kamar, tapi dia bilang sayang duitnya dan dia janji tidak akan berbuat aneh-aneh. Dengan pe-de-nya dia bilang, kan nanti juga buat dia, sebel banget deh jelas Lastri penuh kejengkelan. Akhirnya, jadilah mereka menginap di sebuah hotel.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 83

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Aku takut. Itu pertama kalinya aku berada satu kamar dengan laki-laki. Aku takut terjadi hal-hal yang ndak bisa kubayangkan tuturnya. Lastri menghentikan ceritanya, tangannya semakin sering mempermainkan jari jemariku. Kadang memijit-mijitnya, menarik-nariknya, menggenggam kuat tanganku.

Tampak sekali ingin melepaskan kegundahannya. Takut terjadi hal-hal apa? godaku. Laki-laki dan perempuan satu kamar di hotel, apa yang dilakukannya ujarnya sewot. Kalau berdua, main catur, kalau bertiga main halma, kalau berempat main ludo nah lebih dari empat, ya rapat gelap ujarku mencoba mengurangi ketegangan. Lastri tertawa lalu mencubit pahaku. Seraut wajauh ayu kembali bermain-main di kelopak mataku. Lastri mematikan rokoknya di asbak. Tangannya kembali mempermainkan jari

jemariku. Diciumnya telapak tanganku, lalu diarahkannya kepipinya. Di sini Mas, di kamar ini, dia memperkosaku ujarnya lirih. Aku tersentak kaget. Ada hangat mengalir di telapak tanganku. Tubuhnya berguncang, air matanya deras mengalir. Aku membelai rambutnya, menepuk-nepuk pipinya dan mencoba menenangkan perasaannya. Di kamar ini? batinku, lalu kenapa dia memilih kamar ini pula untuk menceritakan semua itu padaku. Gak usah diterusin ya ujarku pelan. Ndak, aku harus cerita. Aku ndak mau menyimpannya lebih lama lagi sergahnya. Di sela isaknya, Lastri melanjutkan tragedi yang menimpanya. Malam itu, Lastri tidak bisa tenang. Dia hanya duduk di kursi menonton TV dan bermaksud tidur di sofa panjang yang kini direbahinya. Saudara jauhnya tidak menunjukkan gelagat yang aneh.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 84

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Selesai mandi, saudara jauhnya itu keluar kamar untuk memesan makanan. Disuruhnya Lastri mandi, tapi Lastri menolaknya dengan alasan dingin, padahal dia merasa takut. Tidak berapa lama, saudaranya itu kembali dengan satu gelas es jeruk yang dipesan Lastri, secangkir kopi dan dua piring nasi goreng. Sambil makan, saudara jauhnya itu banyak memuji-mujinya, bercerita tentang rencana-rencana pernikahannya kelak, bulan madunya, rumah yang akan dibelinya dan banyak lagi yang semakin membuat Lastri muak mendengarnya. Selesai makan, Lastri hanya duduk mendengarkan obrolan saudara jauhnya itu sambil nonton TV. Tapi, tiba-tiba saja aku ngantuk banget, badan lemes banget dan yang aneh, jantungku berdebar sangat kencang. Ada perasaan aneh yang meledak-ledak dalam diriku. Tubuhku rasanya sensitif banget Mas, terutama di sekitar itu. Nafsu birahiku meluap tak terkendali. Sekarang aku baru tahu, kalau saat itu minumanku diberi obat perangsang paparnya. Lastri mengaku tidak sadar saat saudaranya itu menuntunnya ke ranjang dan merebahkannya. Lastri pun tidak bisa menolak apalagi meronta, ketika satu-satu pakaiannya dilepaskan dari tubuhnya. Selain lemas, aku Lastri, saat itu ada dorongan diluar kendalinya, untuk membiarkan saudaranya itu berbuat semaunya. Bahkan, Lastri sempat ikut menikmati belaian dan usapan tangannya di seluruh tubuhnya yang telanjang. Lastri pun menggelinjang hebat, ketika mahkotanya direngut. Hal yang terakhir diingat Lastri, saudara jauhnya itu mengejang kuat di atas tubuhnya dan memeluknya erat. Lastri menghentikan ceritanya. Sebatang rokok kembali disulutnya. sofdrink diraihnya dan isinya ia tandaskan. Aku tak sadarkan diri. Entah berapa kali malam itu dia melakukannya. Pagi hari, sekujur badanku sakit, lemas, tak bisa bangun. Mengangkat tangan saja rasanya aku ndak bisa lagi. Gelas berisi

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 85

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Dia memaksaku makan dan minum, ia menyuapiku. Aku tidak tahu, kalau ternyata minuman itu juga diberinya lagi obat perangsang. Pagi dan seharian itu, kembali dia mengulangnya. Aku hanya bisa menangis dan memohon agar dia menghentikannya. Tapi dia sama sekali tidak mempedulikan rintihanku. Aku tidak bisa teriak, aku hanya pasrah merasakan hentakanhentakan tubuhnya yang membuatku semakin sakit. Entah berapa kali siang itu aku tak sadarkan diri tutur Lastri pilu, seraya mengatakan, hal itu terus dilakukan saudara jauhnya itu hingga malam hari. Pada keesokan harinya, lanjut Lastri, dia tersadar sudah berada di sebuah ruangan yang serba putih. Lastri terbaring di ranjang sebuah rumah sakit Swasta di Yogyakarta, sendirian, tidak ada seorang pun yang menemaninya saat itu. Jarum slang infus tertancap di tangannya. Sekujur badannya sakit dan lemas tak terkira. Rupanya, waktu itu aku pingsan dan lemas sekali. Hampir tak bernafas. Dan, dia ketakutan kalau aku mati, makanya dibawanya aku ke rumah sakit itu. Kalau tidak salah, hampir sebulan aku dirawat. Bapak dan Ibu selalu menungguiku. Entah bagaimana caranya dia menjelaskan semuanya kepada orangtuaku. Aku ingat, saat itu bapak dan ibu hanya menangis melihat keadaanku. Tahu ndak Mas, aku tidak melihat dia selama aku dirawat. Kata bapak, dia pulang sehari setelah aku masuk rumah sakit. Bapak mengusirnya setelah mendengar penjelasan dokter perihal keadaanku papar Lastri. Kata bapak, lanjut Lastri, dia sujud-sujud di kaki bapak minta ampun, agar tidak dilaporkan ke polisi dan dia mau bertanggung jawab. Tapi bapak malah mengusirnya. Hanya karena mengingat kebaikannya saja bapak tidak mau melaporkannya ke polisi. Sampai saat ini, aku belum pernah mendengar kabarnya lagi. Terakhir, kakaku bilang dia cerai sama istrinya. Entah siapa yang memberi tahu istrinya.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 86

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Menurut Lastri, bapaknya membayar semua biaya rumah sakit dari uang pinjaman. Celakanya, bapaknya itu meminjam dari seorang rentenir dengan bunga yang cukup tinggi. Bapak berusaha sekuat tenaga membayar pinjaman itu. Tapi, meski semua yang ada sudah dijual, tetap saja belum bisa melunasinya. Aku tidak tega, melihat kondisi bapak seperti itu. Aku bertekad melepaskan bapak dari beban hutang itu. Kebetulan, ada teman sepermainanku dulu yang sudah bekerja dan dia mengajakku ikut ke Jogja, aku pun minta ijin bapak untuk ikut dia bekerja di Jogja ini. Dan, bapak mengijinkanku. Sejak itu, jadilah aku tinggal di tempat kostnya di sekitar jalan Kaliurang tuturnya seraya menyebutkan bahwa temannya itu bekerja di sebuah swalayan di Malioboro, sebagai seorang pramuniaga counter alat kecantikan. Lastri bangkit, dan menyandarkan kepalanya ke bahuku. Ada wangi memenuhi hidungku, ada seraut wajah ayu bermain-main di kelopak mataku. Semula, lanjut Lastri, dia kaget melihat keadaan tempat kost temannya itu. Pasalnya, selain sewa kost yang mahal per bulannya, fasilitasnya pun lengkap selayaknya fasilitas sebuah hotel. Sempat sih kepikiran, gajinya berapa ya? Padahal dia itu hanya pegawai biasa saja. Tapi aku ndak pernah mau tau, ndak enak kan? meski kadang penasaran juga sih. Kadang dia ndak pulang semalaman dan baru datang sore hari. Aku takut bikin dia tersinggung terus marah, ntar kalau diusir, aku tinggal dimana? Mana selama itu dia menanggung biaya hidupku lagi tuturnya. Pada suatu kesempatan, lanjut Lastri, Hp temanku itu ketinggalan di kost dan menjelang sore Hp itu berdering. Sebenarnya aku ndak mau angkat, tapi takutnya ada yang penting, jadi ya ku angkat juga.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 87

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Aku kaget Mas, bener-bener kaget. Suara pria di telepon itu langsung menyapa pake yayangyayangan lagi. Aku kasih tahu kalau temenku lagi kerja dan hpnya ketinggalan. Eh, dia malah bilang, ok deh, kalau kamu bisa ndak sekarang? Aku kan ndak ngerti, bisa apa? Dia bilang, datang ke tempatnya, sebuah hotel. Jelas aja aku bilang ndak bisa. Eh, dia malah bilang, bayarannya aku tambah deh, short time aja. Aku tahu kemana arahnya dan benerbener marah saat itu, tapi juga bingung ndak tahu harus gimana. Aku hanya bilang maaf Pa, gak bisa nanti tunggu teman saya saja pulang kerja kenang Lastri. Beruntung, orang itu mau mengerti dan menutup teleponnya. Saat temannya pulang, Lastri mengaku bingung bagaimana menceritakan kejadian sore tadi. Apalagi, temannya itu sempat menanyakan apa ada yang telpon ke Hpnya atau tidak. Aku kan jadi tahu pekerjaan dia Mas. Kalau diceritakan, rasanya gimana gitu, tapi ndak diceritakan juga malah salah. Soalnya, dia juga pasti tahu kalau tadi ada yang mengontaknya tuturnya. Tapi, Lastri kemudian memutuskan untuk menceritakan kejadian itu. Lastri minta maaf telah mengangkat telepon dan mengetahui pekerjaannya. Menurutnya, temannya itu hanya diam dan duduk bersandar ke dinding. Aku Cuma nunggu reaksinya. Tapi akhirnya dia bilang gak usah dipikirin dan kemudian cerita. Bahkan, dia ceritakan semuanya, mengapa dia melakukan itu, pertama kalinya

melayani tamu, lewat siapa dan berapa dia dibayar. Terakhir, dia bilang, sekarang kamu dah tahu aku ini apa, terserah kamu mau menilai apa dan kalau kamu mau pergi dari sini pun terserah jelas Lastri. Mendengar ucapannya, lanjut Lastri, aku cuma diam. Pergi kemana? Pulang ke desa jelas ndak mungkin. Sejak kejadian itu, Lastri mengaku sering memikirkan cerita temannya itu.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 88

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Jujur saja, aku jadi sering berpikir dan menghitung-hitung uang, terus inget hutang bapak, keadaan orang tuaku di desa dan masa depanku sendiri. Saat itu aku berpikir, mungkin ini jalan satu-satunya untuk melepaskan beban orang tuaku. Dan, meraih masa depanku. Aku tahu itu salah, tapi yang kumiliki saat itu hanya tubuh dan kecantikanku tutur Lastri. Maksudmu? tanyaku. Lastri bangkit dan berjalan ke arah telepon di sudut ranjang. Dua cangkir kopi dipesannya, lalu merebahkan diri di kasur dan memeluk guling. Aku mengikuti jejaknya ujarnya lirih. Sesaat hening. Lastri semakin erat memeluk guling. Tadi, kamu bilang untuk meraih masa depanmu, maksudnya gimana? tanyaku meluruskan arah pertanyaanku. Waktu itu, aku berencana, dengan uang yang aku peroleh nantinya, selain untuk membayar hutang bapak dan membantu orangtuaku, aku berniat melanjutkan sekolah. Aku mau kuliah. Jika selesai kuliah dan aku dapat pekerjaan, aku akan meninggalkan semuanya. Menikah, berkeluarga dan hidup selayaknya. Atau, kalau aku bisa menabung, mungkin juga aku punya usaha sendiri nantinya jelas Lastri. Orang tua kamu gak tahu? Ya ndak to Mas Emang yakin bisa berhenti? Ya bisa to Mas, faktanya, sekarang aku hanya mau dengan orang-orang tertentu saja, yang sudah aku kenal dekat dan baik-baik belanya. Baik-baik? aku mengernyitkan alis. Artinya, ndak macem-macem, ndak kaya dulu, siapa saja yang penting mau bayar gede aku layani. Sekarang aku punya teman dekat yang membiayai kebutuhanku, meski sebulan sekali

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 89

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

atau kadang dua bulan baru kemari, tapi rutin setiap bulan dia mengirimiku uang. Sudah hampir lima bulan, aku hanya melakukannya dengan dia saja. Aku ndak terima tamu lain selain dia. Orang yang tadi ketemu sama Mas itu, dia tinggal di Kalimantan Timur, pengusaha disana. Tadi dia ke Semarang jemput istrinya, besok baru balik ke Kalimantan jelasnya. Berapa dia kirim? iseng aku penasaran. Mau tau aja sih? ujarnya seraya menyebutkan angka yang membuatku kaget. Sekarang kamu semester berapa? Tinggal nunggu wisuda. Tapi, aku disarankan melanjutkan ke pasca jawabnya. Oh ya? Artinya gak berhenti dong? tanyaku. Ya berhenti, kan aku dah bilang, sekarang aku cuma sama satu orang saja. Cukup ko buat biayai semua. Kuliahku nanti, hidupku, bapak sama ibu di desa. Oh, ya, sekarang aku punya tanah yang digarap bapak dan 4 ekor sapi. Aku pengen punya toko pertanian Mas, kata bapak untungnya gede, modalnya berapa ya? tanya Lastri tanpa mengharap jawaban. Lastri kemudian bercerita tentang mimpi-mimpinya, punya suami yang baik, anakanak yang lucu dan tanah pertanian yang ditanami sayur-sayuran. Lastri terus bercerita

dengan suara yang semakin lirih sampai hening kembali menyelimutiku. Aku termangu, pikiranku melayang ke daerah dimana kutemui orang yang diakuinya sebagai budenya, perbincangan kami dan harapan-harapan budenya itu. Tanah yang gersang dengan tingkat kehidupan masyarakatnya yang hampir serba kekurangan. Perlahan tanganku bergerak di atas kertas buram, menulis sebuah surat untuknya. Untuk seorang anak petani yang tengah

berjuang merubah kehidupan dan menggapai harapan-harapannya. Perlahan ku simpan selembar kertas itu di samping guling yang di peluknya. Ada bening mengambang di mataku.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 90

____________________Laporan Perjalan Kembara Tani di Pulau Jawa______________________

Untuk : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar. Lastri, ... Terima kasih atas perbincangan ini. Aku berjanji akan menuliskan ceritamu, meski aku tak tahu pasti apa sebenarnya yang kau harapkan dengan tulisanku nanti. Tapi, satu hal yang aku tahu pasti, ceritamu tidak hanya akan menambah jumlah lembar buku itu, seperti yang pernah kau ucapkan dulu, tapi juga akan membuatku semakin tertantang untuk melanjutkan pengembaraan ini. Selamat berjuang sahabat, meski jalan yang kau tempuh penuh lumpur noda dan nista, setidaknya kau telah berbuat sesuatu untuk mengangkat kemiskinan yang membelit keluargamu, keluarga seorang petani Indonesia. Aku berdoa untukmu, Semoga di ujung sana kau temui juga jalan lurus yang terang, hingga mimpi-mimpimu dapat menjadi kenyataan. Amin. NB. Jika kebetulan kau membeli dan membaca buku ini, tolong jangan pernah telpon ke no Hpku itu ya?. Bukan karena aku tak mau lagi berbincang denganmu, tapi ..., sekarang aku dah ganti nomor, hehehe...

Sahabatmu, Kembara Tani.

Tambahan : Bunga rumpun liar di tanah yang terlantar _________________________________ 91

You might also like