You are on page 1of 5

Article 1 Article 2 Article 3 Article 4 Article 5 Article 6 Article 7 Article 8 Article 9 Article 10 Article 11 Article 12 Article 13 Article 14 Article

15 Article 16 Article 17 Article 18 Article 19 Article 20 Article 21 Article 22 Article 23 Article 24 Article 25 Article 26 Article 27 Article 28 Article 29 Article 30

Right to Equality Freedom from Discrimination Right to Life, Liberty, Personal Security Freedom from Slavery Freedom from Torture and Degrading Treatment Right to Recognition as a Person before the Law Right to Equality before the Law Right to Remedy by Competent Tribunal Freedom from Arbitrary Arrest and Exile Right to Fair Public Hearing Right to be Considered Innocent until Proven Guilty Freedom from Interference with Privacy, Family, Home and Correspondence Right to Free Movement in and out of the Country Right to Asylum in other Countries from Persecution Right to a Nationality and the Freedom to Change It Right to Marriage and Family Right to Own Property Freedom of Belief and Religion Freedom of Opinion and Information Right of Peaceful Assembly and Association Right to Participate in Government and in Free Elections Right to Social Security Right to Desirable Work and to Join Trade Unions Right to Rest and Leisure Right to Adequate Living Standard Right to Education Right to Participate in the Cultural Life of Community Right to a Social Order that Articulates this Document Community Duties Essential to Free and Full Development Freedom from State or Personal Interference in the above Rights

http://edukasi.kompasiana.com/2012/08/22/pendidikan-bagian-dari-hak-asasi-manusia/

Namun, hal tersebut berbeda dengan hak atas pendidikan dimana masyarakat lebih cenderung bungkam jika anaknya tidak bisa sekolah atau kuliah karena tidak ada biaya, atau mati-matian jual tanah, rumah, dan harta benda lainnya agar anaknya bisa sekolah. Tingkat pemahaman bahwa pendidikan bagian dari Hak Asasi Manusia masih rendah. Pendidikan merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia, khususnya bagian dari Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, dimana hal tersebut diatur dalam Pasal 26 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, Pasal 13 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi dengan UU No. 11 Tahun 2005, Pasal 12, 16, 42, 48, 54, dan 60 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28C dan 28E Bab Hak Asasi Manusia UUD NRI 1945. Berdasarkan hal tersebut, maka kemudian negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati Hak Atas Pendidikan. Dalam general comments Kovenan Ekosob (generalcomments E/C.12/1999/10) tertuang mengenai empat indikator untuk melihat keberhasilan atau kegagalan sebuah Negara dalam mewujudkan hak atas pendidikan. Indikator tersebut antara lain: a) Ketersediaan menuntut berbagai lembaga dan program pendidikan harus menyediakan sarana dan prasarana dalam kuantitas yang memadai seperti, bangunan sebagai perlindungan fisik, fasilitas sanitasi untuk laki-laki dan perempuan, air minum yang sehat, guru-guru yang terlatih dengan gaji yang kompetitif, materi materi pengajaran, serta tersedianya fasilitas perpustakaan, b) Keterjangkauan- mengharuskan lembaga dan program pendidikan harus bisa diakses oleh setiap orang, tanpa diskriminasi, di dalam yurisdiksi pihak negara. Aksesibilitas mempunyai tiga dimensi umum yaitu : - Non-diskriminasi pendidikan harus bisa diakses oleh semua orang, terutama golongan paling rentan, dalam hukum dan faktual, serta tanpa diskriminasi terhadap bidang-bidang tertentu. - Aksesibilitas fisik - pendidikan harus berada dalam jangkauan fisik yang aman, mudah dijangkausecara geografis (misalnya, sekolah disekitar lingkungan tempat tinggal) maupun teknologi informasi modern (misalnya, akses terhadap program belajar jarak jauh). - Aksesabilitas ekonomi - pendidikan harus bisa dijangkau oleh semua orang. Dimensi aksesibilitas ekonomi ini meliputi: pendidikan dasar, pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi. Mengingat pendidikan harus tersedia gratis untuk semua kalangan, pihak-pihak Negara perlu secara progresif mengusahakan pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi yang gratis. c) Keberterimaan menginginkan bentuk dan substansi pendidikan, termasuk kurikulum, dan metode pengajaran harus mudah diterima (misalnya, relevan, tepat secara budaya, dan berkualitas baik) untuk peserta didik dalam hal tertentu juga orang tua

d) Kebersesuaian pendidikan harus fleksibel, supaya bisa mengadaptasi dengan kebutuhan masyarakat dan komunitas yang selalu berubah serta selalu bisa merespon kebutuhan peserta didik tanpa membedakan status sosial dan budayanya. Khusus mengenai pendidikan tinggi, Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya pada Pasal 13 ayat (2) huruf c mengatakan sebagai berikut: pendidikan tinggi juga harus dilaksanakan dengan prinsip terbuka bagi semuaorang atas dasar kemampuan, dengan segala upaya yang tepat, khususnyamelalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap. Artinya negara-negara menyepakati bahwa pendidikan tinggi ke depannya harus diadakan secara cumacuma secara bertahap.

http://www.luwuraya.net/2012/07/kebodohan-sekolah-dan-pelanggaran-atas-hak-anak/
LUWURAYA.NET- Muhammad Reynaldi (12), mungkin menjadi salah satu potret buruknya pengelolaan administrasi pendidikan di Indonesia. Cuma gara-gara rapornya hilang, Reynaldi yang sudah duduk di kelas IV SD, tak bisa melanjutkan sekolahnya. Dia terpaksa pindah sekolah. Namun karena tak ada bukti Reynaldi pernah bersekolah, dia terpaksa mengulang kembali dari kelas 1 SD. Awalnya Reynaldi bersekolah di SD 1 KIP Barabarayya, Makassar. Prestasi di sekolahnya cukup baik. Reynadi beberapa kali masuk 10 besar di kelasnya. Tahun 2009 lalu, saat Reynaldi akan naik kelas V SD, tiba-tiba pihak sekolah meminta rapornya. Reynaldi heran karena dia yakin sudah menyerahkan rapor pada wali kelasnya. Jadi rapor hilang itu bukan di rumah. Tapi di sekolah. Reynaldi sudah menyerahkan rapor itu pada wali kelasnya, kata Ani, orang tua Reynaldi saat berbincang dengan merdeka.com, Kamis (12/7/2012). Masalah timbul karena pihak sekolah mengaku tidak memiliki data cadangan soal nilai-nilai Reynaldi selama bersekolah. Kepala Sekolah beralasan data-data milik Reynaldi ada di Dinas Pendidikan Kota Makassar dan Balaikota. Tapi mereka menolak memberikan pengantar bagi orang tua Reynaldi. Karena tidak ada surat pengantar dari sekolah, saya tidak diterima di Dinas Pendidikan. Di Balaikota pun tidak ada jawaban. Anak saya jadi tidak bisa bersekolah. Masak dia harus mengulang dari kelas 1 SD karena tidak ada catatan nilainya, kata Ani. Ani pun menanyakan apakah Reynaldi mau mengulang? Reynaldi mengangguk. Biar saja mengulang, asalkan bersekolah, kata Ani menirukan ucapan anaknya. Agar tak malu, Ani membawa Reynaldi pindah sekolah. Lagi-lagi karena alasan tak ada data siswa dan rapor, Reynaldi pun tak bisa langsung duduk di kelas V SD. Dia harus mengulang dari kelas I SD. Tapi semua dijalani bocah kelahiran 26 Juni 2000 ini dengan tabah. Tahun ini dia baru naik ke kelas III SD. Padahal usianya sudah 12 tahun. Teman-temannya di sekolah lama sudah lulus SD dan masuk SMP semua, isak Ani sedih. Ani menyesalkan pejabat dinas pendidikan yang tidak mau menolong anaknya. Dia berharap mereka mau membantu anaknya yang harus terhambat gara-gara persoalan sepele. Saya sudah coba kemana-mana. Tapi tidak ada yang mau bantu, keluhnya. Tragis.

Kasus Reynaldi ini, mendapat kecaman banyak pihak. Hal ini dianggap sebagai kebodohan pihak sekolah yang tidak tertib administrasi dan tidak peka terhadap kondisi siswa didiknya. Bodoh. Tidak perlu mengulang. Sekolah harusnya lihat saja track recordnya. Apalagi dia (Reynaldi) sudah sekolah di sana bertahun-tahun, ujar anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sulawesi, Ferry FX Tinggogoy di Jakarta, Kamis (12/7/2012). Ferry menambahkan, tidak ada alasan bagi pihak sekolah untuk tidak menyimpan data cadangan soal nilai siswa. Seharusnya, saat rapor hilang, pihak sekolah punya rekapan semua datanya. Datanya harusnya ada toh. Ini pasti karena ada unsur sentimen, kata Ferry. Ferry menilai sekolah sangat bersalah dalam hal ini. Harusnya saat rapor Reynaldi hilang, pihak sekolah menyelesaikannya secara internal. Reynaldi tidak perlu mengulang dari kelas I, apalagi sampai pindah sekolah. Sekolah yang salah. Masak anak-anak dikorbankan, tegas dia. Pengamat pendidikan Arif Rahman menyayangkan hal ini. Menurutnya guru harus memiliki back up data nilai semua siswanya. Dia mempertanyakan seorang anak didik yang terhambat pendidikannya, cuma gara-gara masalah sepele. Tidak benar itu. Nilai siswa itu dipegang di setiap guru. Bohong kalau sekolah bilang tidak ada back up nilai atau data murid, kata Arif Rahman di Jakarta, Kamis (12/7/2012). Arif juga mempertanyakan sekolah yang tidak punya itikad baik. Seharusnya, sekolah mau memberikan pengantar, agar anak itu bisa melanjutkan sekolah. Apalagi sampai membiarkan anak sekolah mengulang dari kelas I lagi. Ini aneh. Salah semua, kata pria bergelar profesor tersebut. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh mempertanyakan pengelolaan administrasi SD 1 KIP Barabarayya, Makassar, Sulawesi Selatan itu. Kalau rapornya hilang, mestinya tinggal buka buku induknya. Sehingga tidak logis ini, jika harus mengulang ke kelas I, kata Nuh di sela rapat dengan komisi X DPR di gedung Parlemen, Senayan Jakarta, Kamis (12/7/2012). Menurut Nuh, harusnya Reynaldi tidak mengulang kembali ke kelas I. Sebab di setiap sekolahan, pasti memiliki buku induk yang merekap seluruh data siswa. Termasuk rapor atau data penting lainnya. Ya gak mungkin. Di setiap sekolah kan punya buku induk. Dari rapor dipindahkan ke buku tebal, lanjutnya. Nuh menepis munculnya kasus Reynaldi sebagai bentuk gagalnya program pendidikan, yang telah dicanangkan pemerintah pusat. Menurutnya, justru pemerintah kabupaten kota yang harus bertanggung jawab. Ya tidak, itu urusan kabupaten kota, ujarnya. Itu pelanggaran hak anak atas pendidikan dan Diknas harus bertanggungjawab, ujar Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait saat dihubungi merdeka.com, Kamis (12/7/2012). Arist menambahkan, guru dan kepala sekolah sangat tidak bijak ketika menangani masalah Reynaldi. Seharusnya, masalah pihak sekolah yang mengaku tidak memiliki data-data cadangan soal nilai-nilai Reynaldi selama bersekolah, jangan dijadikan alasan. Kelalaian sistem sekolah jangan dijadikan alasan untuk menghambat pendidikan, katanya. Jika sudah demikian, bagaimana penyelesaiannya? Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sudang merespon. Pakar pendidikan Prof Dr Arif Rahman sudah bicara. Ketua Komnas

Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait sudah menyatakan itu pelanggaran atas hak anak. Mendiknas pun sudah menegaskan kelirunya pihak sekolah. Lantas, apa solusinya? Jika menterinya sudah ikut menanggapi, ya tunggu apa lagi, diselesaikanlah segera! Jangan hanya berhenti di ranah bicara. Jika bisanya cuma bicara, itu namanya membuang air liur basi! (merdeka)

You might also like