You are on page 1of 34

Angke melemparkan boneka Barbie pemberian Wisnu ke selokan di depan kantor ibunya. Angke! Kamu jangan begitu!

teriak Farah kepada putrinya semata wayang.

Angke menatap ibunya dengan sikap menantang. Bibirnya membentuk garis lurus yang rapat. Tak ada satu kata pun yang terlontar dari bibir yang biasanya mengumbar tawa itu.

Oom Wisnu sengaja beli untukmu, Sayang, supaya kamu senang, kata Farah, lebih lunak. Ia melihat ke arah gedung kantornya, sudah sepi. Hampir semua pegawai sudah pulang. Selain satpam, hanya tinggal beberapa orang saja.

Farah sengaja melembutkan suaranya. Ia tak mau ada yang mendengar pertengkaran mereka, karena tidak mau ada gosip baru yang menyebar di antara rekan-rekan kerjanya esok hari. Menjadi orang tua tunggal memang lumayan riskan, setiap gerak-geriknya selalu diawasi masyarakat sekitar. Tak peduli di kantor atau di rumah, di sekolah Angke pun, banyak mata ibu-ibu yang rajin memantaunya. Dalam perjalanan, Farah sengaja tak mengajak anaknya bicara. Ia biarkan gadis kecil kesayangannya itu meredakan perasaannya. Angke sering merajuk bahkan ngambek bila harus bersentuhan dengan hal-hal yang ada kaitannya dengan Wisnu, kekasih Farah. Di balik kemudi, Farah tersenyum kecil. Sifat Angke memang mirip dirinya, ekspresif dan cenderung lugas jika ingin mengatakan sesuatu.

Angke lebih senang Oom Wisnu nggak bawa segala macam. Angke nggak mau Oom Wisnu jadi ayah baru. Angke sayang sama ayah lama Angke! seru Angke. Akhirnya dia buka suara. Di lampu merah, Farah mengganti CD musik. Alunan flute nan lembut dari Kenny G. pun mengalun.

Tapi, Ayah kan sudah lama meninggalkan kita, Angke. Bunda butuh teman yang baik seperti ayah Angke. Pokoknya, Angke nggak suka sama Oom Wisnu!

Kenapa? Bunda pikir, di antara teman-teman Bunda yang lain, Oom Wisnu yang paling baik. Dia tidak hanya Bunda berteman sama dengan Oom Bunda, Wisnu tapi juga bukan ingin berteman dengan tapi Angke! pacaran!

berteman,

Farah kehilangan kata. Rasanya baru kemarin sore dia bersama Irfan membawa Angke ke kebun raya dalam kereta bayi. Sekarang, anak kelas tiga SD ini sudah tahu bedanya berteman dan pacaran. Anak perempuan biasanya lebih cepat matang daripada anak laki-laki seumurnya. Hhhh. keluh Farah dalam hati. Dasar anak digital!

^^^ Hujan belum lagi usai mencurahkan limpahan butiran beningnya, yang segera menjadikan malam makin dingin. Farah menarik selimut, tapi agak tersendat. Oh, rupanya terjepit kaki Angke! Digeserkannya kaki Angke dengan sangat hati-hati. Malaikat kecil itu sangat pulas tidurnya. Wajahnya yang polos menyimpan lengkung senyum yang bagus. Ada wajah Irfan di sana. Bayang-bayang Irfan selalu ada di setiap sudut senyumnya.

Senyum gadis cilik yang menjadikan mereka sebuah keluarga. Namun sayang, rasanya semua itu terjadi dalam waktu sekejap saja. Selebihnya adalah mimpi buruk yang nyata! Farah dan Angke harus merelakan Irfan berlalu dari kehidupan mereka. Membiarkan Irfan pergi ke dunia baru yang bebas dari kendali ruang dan waktu. Dunia yang baru kita ketahui wujudnya, setelah kita menanggalkan semua kefanaan ini.

Sepeninggal Irfan, tak ada waktu bagi Farah untuk menangis lebih dari sewajarnya. Air matanya sudah lama habis selama mendampingi Irfan menjalani perawatan di rumah sakit. Tumor yang bersarang di batang otak Irfan berubah menjadi ganas dan tumbuh tak terkendali. Irfan yang tabah dan tak pernah menyerah, menularkan semacam kekuatan pada Farah agar ia pun mampu menjalani masa-masa sulit itu. Sampai kemudian Irfan benar-benar pergi meninggalkan mereka, Angkelah yang membuat Farah harus tetap tegak dan berpijak. Jalan masih berhenti. ^^^ Hari itu, Angke tak seriang biasanya. Sepulang sekolah Angke hanya minta segera diantar ke rumah. Tak mau ikut ke kantor dan menunggu ibunya sampai sore. Dalam hati Farah ingin segera bertanya pada Angke, tapi pertanyaan itu segera ia simpan. Malam hari mungkin lebih leluasa untuk membicarakannya dengan Angke. Sebelum tidur, mereka sudah terbiasa saling bertukar bercerita tentang kegiatan mereka siang harinya. panjang dan kehidupan akan terus berpacu tak kenal kata

Sambil menyelesaikan pekerjaannya, Farah mencoba mengira-ngira apa yang menyebabkan Angke semurung itu. Mungkin gara-gara Farah menegur Angke yang membuang boneka Barbie tempo hari? Atau Angke mulai merasa cemburu karena Farah juga membagi perhatiannya untuk Wisnu? Angke yang

terbiasa

mendapat

perhatian

penuh,

kini

harus

bersaing

dengan

calon

ayah

tirinya.

Usai makan malam, Angke langsung mengerjakan PR-nya tanpa disuruh. Tumben. Biasanya Farah harus berulang-ulang mengingatkan, karena Angke lebih suka membaca buku cerita atau ensiklopedia anak-anak yang penuh gambar lucu.

Farah mengecek semua pintu di rumahnya, mulai dari pintu gerbang sampai ke pintu belakang dekat dapur. Biasanya Irfan yang melakukannya, tapi sekarang Farah sudah terbiasa. Terbiasa juga melakukan banyak hal tanpa Irfan.

Angkee..! Sudah gosok gigi belum, Nak? panggil Farah, sambil mengetuk pintu kamar Angke. Lampu Lho, kok, belum temaram. tidur?

Angke duduk bersandaran bantal sambil memegang sesuatu. Farah tidak terburu-buru ingin memastikan benda Ada Angke Angke Angke Angke yang salah, kasihan boneka itu jadi basah itu yang menggeleng, masih kesal apa. mau benda karena Bunda Dia Angke itu tegur ia waktu duduk ceritakan simpan Angke di buang di ujung pada balik boneka ranjang. Bunda.? selimut. Barbie itu?

menggeleng. dan bau.

Angke nggak kasihan sama Oom Wisnu yang bersusah payah membelikan boneka itu buat Angke? Angke menggeleng.

Angke nggak takut kalau Oom Wisnu marah atau kecewa karena boneka itu diperlakukan seperti itu? Angke Ayo, jawab pertanyaan menggeleng. Bunda!

Oom Wisnu ngasih, kok, maksa, sih, Bun Angke kan nggak mau dikasih boneka kalau Oom Wisnu yang ngasih.

Oke oke Bunda mengerti kalau Angge nggak mau, tapi bukan begitu caranya. Lebih baik Barbie itu disimpan Disimpan Farah tersenyum di mengiyakan. Diusapnya pipi gudang, gadis kecil kesayangannya saja. Bun? itu.

Angke

mau

disimpan

di

gudang?

godanya.

Angke menggeleng, Farah menghela napas panjaaang sekali. Malam mulai meriapkan sunyi. Bunyi detak jam dinding makin jelas.

O ya, Bunda hampir lupa, kenapa, sih, Angke hari ini kelihatan murung? Angke nggak enak badan? Angke menggeleng.

Angke kangen sama Ayah. rasanya Ayah cuma pergi sebentar dan pasti pulang lagi. Farah berusaha tersenyum. Bibirnya tersekat rasa haru yang begitu pekat. Farah salah duga, dikiranya Angke merajuk soal Wisnu. Ternyata dia rindu ayahnya.

Farah mungkin bisa mengubur seluruh kenangannya bersama Irfan, tapi Angke belum bisa. Anak itu masih terlalu kecil untuk menerima sebuah kenyataan yang menyebabkan separuh keceriaan hidupnya terenggut. Dia masih terlalu naif dalam memaknai kematian sebagai suatu kehilangan yang kekal. Atau mungkin dia mencoba mengingkari dengan berharap ayahnya kembali pada suatu saat. Dikecupnya lagi Angke, tak lama kemudian dia tertidur. Farah meneruskan pekerjaannya. Niat begadang malam ini agaknya menjadi sebuah solusi yang benar-benar tak dapat dihindari. Laporannya harus selesai dan diserahkan besok pagi. Satu jam kemudian, Farah menengok anaknya lagi. Saat membetulkan selimut yang tersingkap, Farah melihat foto mereka bersama Irfan. Foto yang tadi disembunyikan ^^^ Farah membiarkan laptop menyala sedari tadi tanpa disentuhnya. Foto itu menjadi jendela tempat ia melihat masa silam. Hampir tiga tahun, Irfan meninggalkan mereka dan Farah ternyata mampu melewati masa-masa sulit itu. Saat dokter menyatakan Irfan tak dapat melampaui masa kritisnya, sedikit pun Farah tidak pernah berpikir bahwa secepat itu ia akan menjalani hidup ini tanpa suaminya. Membesarkan Angke sendirian. Tapi, lempengan besi yang buruk rupa, bila ditempa akan menjadi sebilah keris yang indah dan penuh karisma. Waktu menempa Farah hingga ia menjadi kuat dan setangguh ini. Farah mengenal Irfan dalam sebuah pelatihan yang digelar perusahaan tempat Farah bekerja. Irfan seorang ahli hama dan penyakit tumbuhan. Irfan yang sederhana dan penuh perhatian membuat Farah terpikat dalam sebuah jalinan cinta kilat yang menakjubkan. Hanya tiga bulan sesudah pertemuan mereka yang pertama kali, Irfan melamarnya. Suatu proses percintaan yang sangat cepat dari dua orang Angke dari pandangan ibunya.

dewasa yang telat menikah. Farah dan Irfan sama-sama sepakat bahwa mereka merasa tidak perlu lama-lama berpacaran, karena yang mereka butuhkan saat itu adalah pasangan hidup. Dua tahun kemudian Angke lahir, melengkapi kebahagiaan mereka.

Seiring kehadiran Angke, karier Irfan meningkat pesat. Mereka menganggap Angke adalah anak pembawa rezeki. Irfan dipromosikan jadi pejabat, ia menjadi calon kuat jabatan kepala di balai penelitian tempatnya bekerja. Tidak semua teman kerja Irfan menyukai keberhasilannya. Ada yang mendukung, ada pula yang iri hati. Dalam semua kisah hidup, baik kisah nyata maupun fiktif, selalu ada tokoh protagonis dan antagonis.

Apalagi Irfan peneliti yang idealis, yang sering dianggap steril dan tak kenal kompromi. Ia pernah menolak dan tidak mengizinkan ketika keong emas akan masuk ke Indonesia dan dibudidayakan. Alasannya, bila pertumbuhan populasinya tak dapat dikendalikan, hewan berprotein tinggi itu akan menjadi hama yang sangat merusak padi milik rakyat. Meski alasan Irfan masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dia dikalahkan oleh sebuah konspirasi yang melibatkan banyak pejabat. Sepulang workshop di Belanda, Irfan sakit. Tumor otak, kata dokter. Tumornya berbentuk kista. Belum sempat Irfan dioperasi, Sang Khalik sudah memanggilnya. Seorang dokter kenalan baik mereka sempat menduga sakitnya Irfan akibat terkontaminasi hama penyakit tanaman berupa cacing kecil yang masuk ke tubuh Irfan dan berkembang biak dalam sel-sel tubuh yang abnormal. Tapi, Farah dan keluarga Irfan tidak mengizinkan dokter melakukan autopsi dan meneliti cairan di dalam kista itu. Mereka ingin jenazah Irfan tetap utuh ketika bersatu dengan tanah.

Beberapa episode kehidupan Farah terkubur bersama Irfan. Episode berikutnya adalah bagaimana Farah bersama putri kesayangan mereka menata hari-hari baru, tanpa orang yang mereka cintai. Mulanya terasa sulit, tapi Tuhan selalu memberi kemudahan bagi orang-orang yang mau berusaha. Upaya yang menumbuhkan ketangguhan, ketangguhan yang menjelmakan kekuatan. Sebuah episode yang membuat Farah dan Angke makin dekat dan saling menguatkan.

Sepenggal episode baru perlahan-lahan mengubah kehidupan mereka. Wisnu, mantan kekasih Farah semasa SMA, tiba-tiba hadir menguak takdir. Dari pertemuan tak sengaja di bandara, sampai kemudian sisa-sisa cinta yang pernah membara menyalakan api asmara. Farah mendapati ruang hatinya yang

kosong, terisi kembali. Walau belum sepenuhnya, kehadiran Wisnu cukup berarti dan memberi warnawarna baru.

Awalnya, Farah tak mau berpikir untuk menikah lagi. Tetapi, Wisnu begitu telaten dan mampu menumbuhkan getaran-getaran cinta mereka yang sempat redam tersekam waktu. Wisnu juga berusaha membagi perhatiannya pada Angke, ia cukup kentara ingin jadi calon ayah yang disukai putri kekasihnya. Namun, agaknya Wisnu perlu berjuang keras mendekati Angke, karena ternyata mendapatkan cinta gadis ^^^ Di depan cermin, Farah merasa asing dengan dirinya sendiri. Seorang wanita berambut ikal mayang yang terurai sedikit melewati bahu, berdiri kaku. Bukan karena badannya yang tidak luwes atau sikap tubuhnya yang kurang bagus, tapi model bajunya yang membuat ia tidak nyaman. Bagian punggung terbuka, dan tentu saja bukaan bagian depannya agak lebih rendah menuju belahan dada. Wisnu suka dia berpenampilan seperti ini. Apalagi gaun malam ini sengaja Wisnu persiapkan untuk acara makan malam mereka yang juga akan dihadiri beberapa sahabat dan rekan bisnisnya. cilik itu tak semudah meraih cinta ibunya.

Tapi, tak seharusnya Farah mati gaya, toh, gaun ini yang seharusnya mengubah penampilannya menjadi lebih anggun daripada kesahajaannya. Andai bukan Wisnu yang memintanya, sungguh, ia lebih suka memakai T-shirt, jaket, dan celana lapangan plus sepatu ketsnya. Kalau perlu, sepatu boot antilintah dan antibecek seperti yang ia pakai waktu eksplorasi ke hutan perawan di Papua!

^^^ Beberapa detik kemudian Farah baru sadar sepenuhnya. Dia berada dalam pelukan Wisnu. Wangi tubuhnya yang khas laki-laki membuat Farah tak ingin segera beranjak dari situ. Farah belum lupa apa yang mereka lakukan tadi, sebuah ciuman yang dahsyat. Farah masih merasakan tubuhnya separuh bergetar. Irfan saja tidak sedahsyat itu! Apakah ciuman beberapa kilas tadi jadi terasa begitu istimewa, karena sudah lama Farah tak pernah disentuh seorang pria?

Wisnu seorang pencinta yang tahu bagaimana menyenangkan kekasihnya. Seorang romantis yang blakblakan dan tak pandai berbasa-basi.

Saat-saat yang penuh kesan itu berlangsung terlampau cepat. Sambil memegang dadanya yang

berdegup kencang, Farah bersandar di balik pintu. Lalu, dengan tangan yang masih bergetar, dia memutar anak kunci.

Bunda sudah pulang? suara Angke membuatnya kaget. Agak jengah ia memandangi wajah anaknya. Jangan-jangan Angke melihat adegan tadi. Wajahnya kian memerah disembunyikan temaram lampu. Angke belum tidur.?

Dalam hati Farah geli sendiri, sudah jelas ibunya ada di rumah, Angke bertanya begitu. Sudah jelas pula anaknya belum tidur, masih juga ia bertanya seperti itu.

Sambil mengelus rambut anaknya, Farah masih belum bisa melepaskan perasaan melambung yang dialaminya barusan. Wisnu. Pria inikah yang akan menggantikan tempat Irfan di hatiku? ujar Farah dalam hati.

^^^ Sebuah pesan singkat dari Teddy, rekan kerja satu proyeknya, membuat Farah harus menjadwal ulang kegiatannya. Farah takkan mengabaikan peristiwa langka yang dikabarkan Teddy. Bayangkan saja, setelah menunggu hampir dua abad sejak Raffles dan Joseph Arnoldi menemukannya di belantara Sumatra tahun 1818 kini dunia ilmu pengetahuan diguncangkan oleh peristiwa ini! Rafflesia arnoldi berhasil tumbuh di luar habitat aslinya. Tumbuh pun sudah luar biasa, apalagi sampai bunganya mekar. Sungguh sebuah anugerah!

Teddy pernah bercerita, biasanya Rafflesia mekar di tengah malam, karena suhu udara seperti itulah yang dibutuhkan Rafflesia. Teddy memperkirakan waktu mekarnya besok malam. Farah ingin sekali menyaksikan keajaiban alam itu. Tapi, meninggalkan Angke di rumah sendirian, tak mungkin! Mbok Isah, pembantunya, sudah dua hari ini pulang kampung. Menunggui anaknya yang mau melahirkan. Wah bagaimana, ya? desah Farah.

Dititipkan ke Mbak Arti, tetangga sebelah yang belum punya anak itu, Farah agak sungkan. Angke tak begitu akrab dengan ibu separuh baya yang agak bawel itu. Mending kalau mekarnya besok malam, Angke Sewaktu bisa Farah dititipkan semalam saja. Tapi, kalau itu lebih dari semalam? kegirangan.

mengabarkannya

kepada

Angke,

anak

melonjak-lonjak

Wah, keren banget, Angke bisa membuat cerita bunga itu. Kebetulan Bu Guru kasih tugas mengarang

sama Tapi, besok paginya kamu kan sekolah,

Angke! Ke!

Yaaah..Bunda!

Pulangnya pagi-pagi, dong, subuh-subuh jadi Angke bisa ke sekolah!

Anak kecil nggak boleh begadang! Farah mencoba bertahan, meski dia sendiri masih bingung. Bila Angke Yaaah.. Tapi ini tidak biasanya di alam ikut, Angke terbuka, siapa juga Ke, suka kamu yang nonton kan menemaninya bola dan Bunda tidur di di nggak alam rumah? protes..! terbuka!

belum

pernah

Sudah Bun, waktu itu Angke Farah Iya Kita tersenyum, itu bawa kan saja baru di

kan pernah camping sama Ayah di halaman belakang. di situ saja sudah kita, Angke merasa pakai tak heboh tenda mau sendiri. lagi. menyerah.

camping

halaman tenda

rumah

Ayah.!

Akhirnya, Farah yang menyerah pada kegigihan Angke. Pada sisi lain juga beban pikirannya berkurang, karena Angke masih tetap berada dalam pantauannya.

^^^ Sore itu juga mereka berangkat ke Jakarta. Teddy menyambut Farah di pintu gerbang Kebun Raya Cikini. Hari mulai temaram, Farah menyalakan lampu sorot besar. Di depan, mobil Teddy memandu mereka. Serasa masuk hutan tapi di tengah kota. Farah sempat merinding. Teddy pernah bercerita, dulunya lahan di sebelah Kebun Raya Cikini itu adalah kebun binatang milik Raden Saleh, maestro pelukis itu. Andai sekarang kebun binatang itu masih ada dan penghuninya berkeliaran ke sini. Misalnya harimau atau ular nyasar. Hiiiiiyy..!! Farah bergidik sendirian. Ia sempat melirik Angke, tapi anak itu tampak asyik menikmati safari malamnya.

Farah berhenti di area parkir yang diteduhi tanaman merambat muccuna. Bunganya yang merah meronai malam, sebagian jatuh berserakan melintasi pagar tembok yang mengelilingi lokasi Rafflesia. Teddy membuka pintu besi berwarna hijau tua. Awalnya mereka melewati jalan yang dilapisi batu alam pipih cukup mulus. Sisa air hujan masih kelihatan sedikit mengggenang pada lekukan dan sambungan batu alam Dari Bogor tadi pukul berapa? Teddy mencoba mencari bahan itu. percakapan.

Pukul

empat

lebih

dua

puluh

menit.

Cepat juga, ya biasanya pada jam-jam seperti ini butuh waktu dua jam lebih untuk sampai ke sini! Sempat terjebak macet juga, sih, tapi selebihnya lumayan lancar.

Kisah

Sebelumnya:

Sepeninggal Irfan, suaminya, Farah harus menjadi ibu tunggal bagi Angke. Namun, ketika Farah dekat dengan Wisnu, Angke tidak mau Wisnu menjadi pengganti ayahnya yang telah tiada. Di sisi lain, Farah juga harus pintar membagi waktu antara urusan rumah dan pekerjaannya sebagai peneliti tanaman obat. Farah terpaksa membawa Angke ke tempat kerjanya, ketika bunga Rafflesia arnoldi hendak mekar di sebuah kebun raya.

Calon bunga raflesia yang akan mekar itu tenyata berada di sebuah hutan kecil. Hutan buatan. Pelataran semen di depannya sengaja dikosongkan, sebuah tenda terpal besar dipasang. Teddy mempersilakan Farah dan Angke memilih tempat sendiri. Di bawah tenda itu ada empat anggota tim peneliti yang dipimpin Teddy duduk lesehan beralaskan tikar plastik yang dilapisi karpet biru tebal. Erik, Suta, Rafi, dan Cahyo. Mereka membawa matras dan sleeping bag. Farah mencari tempat strategis. Tahu begini, Farah tak Ke, Kalau tak nanti perlu usah Angke membawa pasang mau tenda, tidur, tenda. ya? gimana?

Ya, tidur di matras saja! Kita juga masih pakai sleeping bag, jadi nggak bakal kedinginan. Angke keukeuh dengan keinginannya. Akhirnya, Farah pindah ke bagian paling pinggir dan memasang tenda di sebelahnya. Kuncup bunga raflesia yang lebih mirip kubis besar itu belum juga mekar. Hanya ada perubahan sedikit, kelopaknya bergeser sekitar dua milimeter. Suhu udara malam ini rupanya masih belum cukup membuat sang kuncup bunga bergerak, merekahkan kelopaknya lebih lebar. Malam kedua, Farah masih penasaran. Apalagi Angke, dia ingin sekali melihat bunga raksasa itu mekar. Angke tak mau ditinggal, walaupun Mbok Isah sudah datang. Farah sengaja membawa foto-foto raflesia hasil eksplorasi dari Bengkulu. Namun, semua itu tak cukup memuaskan Angke, karena dia sangat ingin melihat bunga aslinya.

Ternyata, Teddy mengalami hal serupa. Putrinya, Chika, merengek terus kepingin ikut. Teddy sempat melarangnya, karena Chika sedang batuk. Akhirnya, berbekal selimut tebal, baju hangat, dan obat batuk, Chika diizinkan ikut juga.

Yang paling kegirangan tentu saja Angke, mendapat teman baru. Chika hanya dua tahun lebih tua dari Angke, Farah dan hal ini bukan masalah besar yang bisa menghambat seabrek keakraban mereka.

menertawai

Teddy

yang

membawa

perlengkapan.

Seperti nenekku yang pulang kampung saja, komentar Farah. Sambil tersenyum, Teddy meletakkan kasur lipat yang masih terikat di depan Farah.

Ya, daripada Chika kedinginan dan batuknya Teddy bolak-balik menurunkan

makin parah, lebih baik jadi pengungsi lokal! barang-barangnya dari mobil.

Teddy sibuk berbenah. Dengan perasaan geli, Farah mengamati pria berkulit agak gelap itu. Rupanya Teddy lebih keibuan daripada diriku, ujarnya dalam hati.

Tak berapa lama kemudian, Erik, peneliti muda anggota tim, melaporkan sesuatu kepada Teddy. Pria berkacamata itu langsung bangkit, mengamati bunga raflesia sejenak, dan memperhatikan langit. Dia berbicara serius kepada Erik, lalu memanggil anggota timnya yang lain.

Kita harus membuat tenda pendek yang agak lebar di atas bunga itu untuk mengantisipasi turunnya hujan. Dalam posisi kelopak yang masih tertutup, kena hujan tak masalah. Tetapi, jika kebanyakan air hujan masuk di saat kelopaknya sudah mulai terbuka, ia akan cepat busuk!

Apa perlu kita pasang lampu besar di sini, supaya suhunya menjadi lebih hangat, Pak? Boleh saja bila diperlukan. Tapi, kita perlu menutupinya dengan kain hitam untuk meredam cahaya. Tanaman itu peka terhadap cahaya, dia bisa tidak mau mekar karena disangkanya masih siang hari, urai Teddy, sambil melepaskan baterai dari kamera saku digitalnya. Sebaiknya kita berhati-hati. Pasang lampu secukupnya saja, sebatas kebutuhan cahaya untuk memotret atau kamera video. Kita perlu mempertahankan suhu udara yang kondusif dan stabil supaya bunga ini mekar sempurna.

**** Farah ikut menyimak uraian Teddy. Dia memang jadi anggota tim pria jangkung itu karena kerja sama kantor mereka. Teddy peneliti madya dari instansi pemerintah, Farah kepala divisi budi daya tanaman

obat sebuah pabrik obat herbal berskala internasional. Perusahaan menugasi Farah menangani proyek kerja sama pembudidayaan Rafflesia arnoldi.

Erik dan rekannya segera berlalu dari situ. Dua peneliti lainnya belum datang. Biasanya mereka tiba di atas pukul delapan.

Sudah berapa hari di sini, rasanya saya belum melihat wartawan meliput? celetuk Farah. Ini peristiwa spektakuler Teddy dalam tersenyum, dunia dibenahinya ilmiah, letak Mas, tapi, kok, yang sepi agak begini? turun.

kacamatanya

Memang sebaiknya ada, hanya atasan kami belum memberi izin, karena bunga ini belum mekar. Lho mekar atau tidak, itu pun sudah merupakan berita. Proses pemindahan liana (tanaman merambat yang menjadi tempat raflesia menggantungkan hidupnya) hingga muncul kuncup bunga raflesia saja sudah berita besar. Bahkan nanti kalau bunga layu atau tinggal bangkainya saja, tetap punya nilai berita! Bayangkan, Mas, butuh waktu 190 tahun untuk menunggu bunga ini mekar di luar habitat aslinya! tukas Farah, berapi-api.

Teddy mengiyakan perkataan Farah. Sebelumnya, usaha konservasi dan budi daya raflesia secara ex situ (di luar habitat aslinya) sudah sering dilakukan, tapi tak pernah berhasil.

Rafflesia roschussenii memang pernah tumbuh di Kebun Raya Bogor tahun 1929, tapi kemudian tak terdengar lagi kabar beritanya. Baru 81 tahun kemudian, kerabat bunga sejenis, yaitu Rafflesia patma, mekar tahun 2010.

Sebelum bekerja sama dengan perusahaan Mbak Farah, kami sudah lama mengadakan kerja sama di bidang kultur jaringan dan budi daya tanaman langka dengan kebun botani tertua di Asia itu. Mereka berhasil memindahkan liana yang sudah diparasiti Rafflesia patma dari Pangandaran. Selama empat tahun ini, tim kami banyak menimba ilmu dari lembaga itu. Dan inilah hasilnya!

Mata Farah tak dapat menyembunyikan kekagumannya terhadap kegigihan Teddy meneliti tumbuhan langka kebanggaan Indonesia itu. Di sisi lain, Farah pun angkat jempol atas ketelatenan Teddy yang menjadi orang tua tunggal bagi Chika. Sekilas, Farah pernah mendengar kabar dari rekan kerjanya bahwa Teddy sudah bercerai dari istrinya.

^^^

Tanpa membuang waktu, sebuah tenda pendek ukuran 4 x 4 meter segera dipasang menaungi Rafflesia arnoldi. Tenda itu tak keruan bentuknya, karena disesuaikan dengan posisi liana. Beberapa bagian tenda digunting sekaligus dibolongi agar liana tetap pada posisinya semula. Di bawah celah yang terbuka, dipasang lapisan lain agar tidak terlalu dirembesi air. Tanaman inang itu tak mungkin dipotong, sang bunga bisa mati karenanya.

Teddy tak mau kerja kerasnya berakhir percuma oleh hujan yang bisa datang kapan saja. Mengguyur dalam tingkat curah hujan yang tinggi. Apalagi di musim pancaroba seperti ini, pergantian cuaca yang tidak menentu bisa makin memperburuk keadaan.

Suara pipa besi beradu membekap nyanyian para binatang malam. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi masih belum ada tanda-tanda yang menunjukkan perubahan pada kuncup bunga raflesia itu. Farah membatin, menunggu bunganya mekar saja sudah menuntut kesabaran ekstra, apalagi mencoba menumbuhkannya.

Raflesia hanya bisa tumbuh bila ada tumbuhan inang tertentu yaitu Tetrastigma sp. Bunga langka yang berdiameter satu meter membutuhkan inang selebar 10 sentimeter yang umurnya minimal 10 tahun. Untuk Dari membudidayakan balik tenda Chika, ungu, raflesia, suara ayo dibutuhkan tawa tidur, Angke Nak, dan inang Chika yang mengusik pukul besar. Farah. sebelas!

Angke,

sudah

Nanti kita ketiduran. Kita kan ingin lihat bunga raflesia mekar, Bun! Angke menarik bantal Chika, Chika balas menarik bantal teman barunya itu. Lalu mereka cekikikan.

Besok

kan kalian sekolah pagi. Kalau bunga itu mekar, nanti Bunda kasih tahu, deh! ya! janji, ya! ujar kata kedua Angke lagi, anak penuh itu, harap. nyaris Farah bersamaan. mengiyakan.

Bener, Bunda

Langit malam membentang tanpa bintang, hawa dingin makin menyergap. Teddy dan Erik membawa enam cangkir kopi panas. Harumnya menebarkan kehangatan.

Ayo, Mbak! ucap Erik ramah. Farah jadi ingat, tadi sore dia sempat membeli keripik singkong dan beberapa Sebentar, Mas, bungkus saya ada bawa sedikit roti camilan. Farah empat bergegas menuju rasa. mobilnya.

Wangi kopi dan renyahnya obrolan para peneliti itu menguak kesunyian malam. Kuncup bunga raflesia

yang bentuknya mirip kubis itu masih berada di situ. Urat-uratnya yang hijau makin menonjol. Kamera video yang dinyalakan otomatis selama dua puluh empat jam selalu memantau setiap perubahan apa pun ^^^ Malam Ya. ketiga, Aku di lokasi bunga raflesia, ponsel Farah di bordering. Kebun Dari Raya Wisnu! Cikini. yang terjadi pada bunga itu setiap detiknya.

sedang

mengamati

bunga

Rafflesia

arnoldi

Aku masih di Kualalumpur, lusa baru pulang. Kamu ingin oleh-oleh apa, Sayang? tanya Wisnu. Apa saja, deh yang penting tidak berwarna pink! kata Farah, cepat. Lewat sudut matanya, Farah memperhatikan Teddy yang sedang membetulkan letak tiang penyangga kamera video.

Wisnu meminta Farah memanggil Angke. Angke yang sedang asyik bermain, langsung cemberut. Angke ayo cepat!

Separuh hati Angke menjawab pertanyaan Wisnu. Secepat mungkin, ia kembalikan ponsel kepada ibunya, Tadi lalu telepon Oom Mulut Chika dari siapa? Wisnu membentuk masuk tanya Chika, tenda penuh pacarnya huruf O rasa ingin lagi. tahu.

Bunda. bulat.

Aku pernah lihat kartu namanya di meja Bunda, ujar Angke, setengah berbisik. Nama lengkapnya Wisnu Patria Ijzerman.

Spiderman? celetuk Chika sembarangan. Cepat-cepat ia membekap mulutnya sendiri, bahunya berguncang menahan tawa. Namanya aneh, ya susah mengejanya! ujarnya lagi.

Ya, dia keturunan orang Belanda, matanya agak kehijauan. Nanti kamu perhatikan saja kalau ketemu dia. Mata Chika membulat, penasaran. Baru saja ia hendak membuka mulutnya, suara ayahnya langsung meredupkan rasa Chika, penasarannya sudah yang baru diminum saja tumbuh. obatnya?

Chika menjawab cepat. Dia menempelkan telunjuknya di bibir sambil melihat Angke. Diraihnya sebotol obat batuk, lalu meminumnya satu sendok dalam sekejap. Dua butir tablet pun secepatnya ia telan. Chika diwanti-wanti oleh ayahnya agar ia lebih banyak berada di dalam tenda, karena udara di luar lebih

dingin. Di luar, Farah dan Teddy mempersiapkan pers release yang dikirimkan malam itu juga via e-mail dan faksimili ke beberapa media cetak dan elektronik.

^^^ Malam keempat. Siang harinya Teddy menelepon Farah dan memintanya datang lebih awal. Jakarta hujan terus sejak pagi, suhu udaranya nyaris sedingin malam. Bunga itu akan mekar lebih cepat dari yang diperkirakan. Raflesia kita bisa tertipu oleh cuaca yang dikiranya malam hari. Baiklah, sepulangnya Angke les matematika, saya akan langsung ke sana.

Farah segera merapikan berkas-berkas laporan yang sedang ia kerjakan. Ia masih harus mengawasi penyeleksian bibit pohon yohimbe untuk dipindahkan dalam polybag. Kulit pohon yohimbe berkhasiat sebagai obat penambah stamina bagi pria. Farah sempat tersenyum sendirian ketika memperhatikan anak buahnya yang memisahkan ratusan polybag berisi bibit yohimbe unggulan ke dalam green house.

^^^ Kebun Raya Cikini tampak segar usai diguyur hujan barusan. Angke langsung menghampiri Chika yang spontan mengajaknya bermain.

Kita memunguti bunga kemboja di samping laboratorium, yuk! ajak Chika. Chika menghampiri kursi di depan ayahnya, ia mencari-cari sesuatu. Angke melihat ke arah ibunya yang sedang mengobrol bersama Teddy. Farah mengerti maksud Angke, ia mengangguk. Kedua anak itu langsung beranjak dan jalan berjingkat-jingkat, menghindari genangan air. Bunga-bunga kemboja berserakan di rerumputan. Hujan mempercepat jatuhnya bunga-bunga putih yang wangi itu.

Ayahnya Angke namanya siapa, sih? tanya Chika, dipungutnya sekuntum bunga kemboja yang berkelopak Irfan Kata Ya, waktu itu Papi, Angke masih dia kecil, masih sudah TK, suara meninggal, Angke terdengar besar. Setiawan. ya? datar.

Sekarang juga kamu masih kecil, masih kelas tiga. Kalau aku kan sudah besar, kelas lima, lho! kata

Chika. Angke memunguti bunga kemboja. Chika menyimpannya dalam sebuah kantong plastik bekas roti yang dibeli Angke dan Chika saling ayahnya. bercerita tentang ayah mereka.

Angke sering diajak ke laboratorium Ayah, terus Angke boleh melihat akar kentang pakai mikroskop. Di situ ada telur cacingnya, lho. Angke dikasih tugas sama Ayah untuk menghitungnya, kata Angke bangga. Sekuntum bunga kemboja jatuh menerpa kepala Angke dan tersangkut di rambutnya. Kalau aku, Papi pernah memperlihatkan cara memasukkan tunas-tunas anggrek langka ke dalam botol. Apa nggak mati dimasukkan ke dalam botol?

Nggak, dong! Aku juga pernah tanya seperti itu sama Papi. Kan tunas anggrek itu bikin oksigen sendiri dan diisap sendiri

Ooh, begitu, ya. Angke mengunyah sebatang cokelat karamel besar kesukaannya. Sepotong lainnya sudah ia berikan kepada Chika.

Waktu Bunda eksplorasi ke hutan Sulawesi, Angke diajak menginap di wisma kantor Ayah di Cipanas. Jauh, lho! Di sana, Angke ikut menghitung bunga kacang tanah. Jumlahnya di setiap pohon, Angke tulis di lembaran kertas yang banyak gambar kotaknya. Mata Angke berbinar-binar.

Ayahmu bisa masak nggak? Kalau papiku jago masak! Apalagi sesudah Mami pergi, Papi jadi lebih rajin bikin sarapan, kata Chika, penuh semangat. Pernah, papiku masih ngantuk, bikin susu cokelat malah dikasih garam.

Angke tergelak, bunga kemboja yang sedari tadi bertahan di rambutnya kini terjatuh. Senja kian temaram, membenamkan dirinya di antara tajuk pepohonan. Tenda kecil sudah terpasang. Di sebelah Angke, Chika tidur-tiduran sambil memeluk bantal lusuh bergambar beruang. Matras dan kasur lipat yang mereka bawa, dirapatkan. Tanpa jarak. Ruang gerak mereka menjadi lebih luas, meski kasur Chika lebih tebal. Angke justru menjadikan kasur Chika sebagai bantal, dan dia tidur melintang. Akhirnya Chika mengubah posisinya, mereka pun berbaring bersisian.

Angke membiarkan matanya menjelajahi bagian atas tenda berwarna ungu tua itu. Kenangan bersama ayahnya tergambar di situ, seperti rekaman video yang diputar ulang.

Gimana, sih, rasanya punya ayah sudah meninggal? tanya Chika, tiba-tiba, sambil membalikkan badannya. Mata anak itu penuh rasa ingin tahu, seakan tak sabar ingin mendengar sebuah pengalaman hebat yang hanya dimiliki segelintir anak-anak tertentu seusia mereka.

Ya, sedih saja. Angke suka kangen. Angke tahu Ayah meninggal. Waktu Ayah dimakamkan, Angke lihat. Tapi, kalau lagi kangen, rasanya Ayah masih ada dan Angke ingin ketemu.

Chika terdiam beberapa saat. Mencoba memindahkan kepedihan itu dalam benaknya. Kalau Papi meninggal, tentu saja aku tak bisa bikin sarapan bareng lagi, batin Chika. Tak ada yang mengantarnya sekolah atau nonton film kartun bareng di rumah sambil menikmati popcorn buatan mereka berdua. Wah. nggak enak juga, ya, kalau ayah kita meninggal! Iya. Apalagi Kok, Papi dan bisa Mami sudah begitu, bercerai, papimu dan Mami kan sudah menikah lagi. hidup?!

masih

Nggak tahulah. Papi hanya bilang, kalau aku sudah besar, baru akan mengerti. Orang dewasa memang suka bikin bingung anak-anaknya.

Angke tidak menjawab. Giliran ia memikirkan bagaimana rasanya ditinggal ibunya. Beberapa detik kemudian dia bergidik sendirian, tak kuasa meneruskan apa yang dia rangkai dalam benaknya.

^^^ Pagi hari pukul 02.38. Tiba-tiba, klek! Bukaan kelopak raflesia bergerak lebih lebar. Farah membuka ritsleting sleeping bag-nya. Teddy, Erik dan Suta sudah bergegas menghampiri bunga raksasa itu. Sudah waktunya.? suara Farah lebih mirip gumaman orang mengigau.

Sedikit lagi Lima belas menit yang lalu aku siram air kendi sedikit. Ternyata ada reaksi! Air kendi? tukas Farah. Kesannya mistik, deh! Kali ini suaranya lebih jelas dan nyaring. Rupanya dia seratus persen sudah bangun.

Air kendi tak sedingin air kulkas. Namanya juga trial and error, coba-coba sedikit boleh, kan? ujar Teddy, ringan. Suhu yang dibutuhkan raflesia untuk menggerakkan kelopaknya sangatlah relatif dan tak bisa diduga!

Menunggu Seperti

mekarnya

raflesia

saja orang

butuh

kesabaran melahirkan

ekstra. saja.

menunggu

Iya, dan air kendi itu, kok, jadi mirip cairan infus yang merangsang bunga itu membuka lebih lebar. Mbak Farah bisa saja, ah.! kata Teddy, sedikit tersipu. Sehelai daun jatuh menimpa pundaknya. Erik dan Suta sedang menyetel tripod kamera otomatis yang merekam gerak raflesia.

Mekarnya bunga hanya bagian kecil dari proses pembudidayaan raflesia. Kita akan melewati banyak tahapan lagi sampai benar-benar bisa membudidayakan bunga ajaib ini! kata Teddy, serius. Ya, selanjutnya kita harus berusaha agar ada dua bunga yang mekar dalam waktu berdekatan. Betul, Mbak, kita hanya akan menciptakan populasi yang mati bila hanya satu bunga yang mekar. Bila bunga betina mekar sendirian, dia tidak bisa melakukan reproduksi, putik sarinya tak berguna. Sebaliknya, bila yang mekar bunga jantan saja, serbuk sarinya jadi mubazir.

Rafflesia arnoldi termasuk jenis tumbuhan berumah dua, bunga jantan dan betinanya hidup terpisah. Agar terjadi penyerbukan yang sempurna, mereka harus mekar bersamaan. Waktu yang dibutuhkan dari mulai terbentuknya kuncup bunga hingga mekar sempurna adalah sekitar 21 bulan.

Mudah-mudahan kita nggak keburu pensiun dan masih sempat memperbanyak bibit raflesia ini, ucap Farah, perlahan. Suara serangga malam menembus kelam.

Dont worry be happy! Ada dua calon peneliti cilik yang siap meneruskan cita-cita orang tuanya. Teddy melepaskan kacamatanya, lalu mengelapnya perlahan. Untuk pertama kalinya, Farah melihat mata Teddy tanpa dibatasi kacamata. Mata itu sesejuk air kendi yang dibiarkan semalam, dinaungi alis mata yang tebal selebat tajuk pepohonan di belantara Sumatra.

Kisah

Sebelumnya:

Sepeninggal Irfan, suaminya, Farah harus menjadi ibu tunggal bagi Angke. Namun, ketika Farah dekat dengan Wisnu, Angke tidak mau Wisnu menjadi pengganti ayahnya yang telah tiada. Suatu saat, Farah berkenalan dengan Teddy duda satu anak- saat mereka terlibat dalam penelitian bunga Rafflesia arnoldi yang hendak mekar di sebuah kebun raya.

Di depan mereka, bunga raflesia itu belum juga membuka kelopaknya lebih lebar. Seakan jual mahal

karena setiap milimeter gerakannya menjadi begitu berarti dan ditunggu banyak orang. Hmm ataukah bunga raflesia itu sengaja memperlambat jadwal mekarnya? Membiarkan waktu bergulir agar Farah dan Teddy mempunyai banyak kesempatan untuk mengenal satu sama lain.

^^^ Malam kelima. Wisnu sudah datang dari Malaysia. Dia ingin ketemu. Mau langsung ke Kebun Raya Cikini, tapi dilarang Farah. Konsentrasinya bisa buyar, karena dia hafal betul, Wisnu pasti akan menyita perhatiannya, Lebih baik dan istirahat ini dulu, ya, bukan Sayang, waktu kamu kan yang masih tepat. capek!

Nggak, kok, ketemu kamu juga pasti capek-nya hilang. Angke ada di sana juga, kan? Ini ada oleh-oleh buat gadis kecil kita yang cantik.

Tapi, aku sedang mengamati raflesia, aku sedang kerja! Farah mencoba bertahan. Lagian nanti tidurnya bagaimana? Aku punya sleeping bag cuma dua.

Ya, begadang saja, yang penting ada kopi! Aku juga ingin lihat proses mekar bunga itu. Sekali-sekali aku ingin Wiiss... Biar lihat ayolah, saja, yang calon hari penting istriku ini aku pun ingin dalam belum berada dunia tentu di kerjanya. mekar! dekatmu.

Farah nyaris kehilangan akal. Besok saja, ya, nanti aku telepon kamu! Kamu bisa ketemuan aku sekaligus menyaksikan bunga itu mekar. OK?

Wisnu mengurungkan niatnya. Usaha Farah berhasil, rasa lega segera memenuhi rongga hatinya. Senja di jalan tol berebut pesona dengan lampu-lampu yang baru dinyalakan. Farah tak dapat memastikan, pukul berapa sampai di Jakarta. Berulang kali Teddy meneleponnya. Jalan ke arah Cikini lumayan padat, ada bus wisata yang nyelonong ke trotoar. Teddy berharap Farah tiba sebelum arus lalu lintas ^^^ Malam keenam. Kali ini dapat dipastikan bunga Rafflesia arnoldi akan merekahkan kelopaknya yang besar. Teddy berani memastikan, karena tanda-tandanya makin kentara. Angke dan Chika ikut sibuk, mereka berbagi tugas. Angke merekam dengan kamera videonya, Chika memotret dengan kamera di sana berubah jadi macet total.

digitalnya. Polah tingkah kedua peneliti cilik itu mengundang senyum orang-orang yang ingin menyaksikan proses mekarnya bunga raflesia secara langsung. Enam orang wartawan, Putri Eunice dari Kerajaan Inggris yang kebetulan ada di Indonesia, tak mau melewatkan kesempatan ini. Francesco Verdi, seorang pemerhati raflesia asal Italia, juga sengaja datang ke sini.

Sebuah pembatas dari tali yang direntangkan pada beberapa bilah bambu, dipasang di depan lokasi raflesia. Hanya peneliti dan orang-orang tertentu yang diizinkan mendekat, itu pun harus didampingi peneliti atau petugas Kebun Raya Cikini. Diperkirakan akan lebih banyak orang yang datang, terutama setelah bunga ini mekar sempurna.

Hujan yang mengguyur deras menjadi aba-aba dari Sang Pencipta, untuk mengawali sebuah pertunjukan yang menakjubkan. Pukul 01.38, bunga Rafflesia arnoldi itu mulai merekah. Dalam gerakan yang sangat lamban, keindahan itu menampakkan dirinya di balik seludang yang sudah lama terlepas. Warna kelopaknya semerah bara, menyala di bawah kilau lampu yang tersekap malam. Bintik-bintik putih bernuansa krem yang meriap nyaris tak berjarak, tampak merepih dan ikut menciptakan harmoni warna yang utuh.

Semua yang ada di sana terpana, terbawa arus pesona yang mengisapnya masuk ke dalam sebuah pusaran. Si cantik dari belantara Sumatra itu kian mengerahkan segenap daya pukaunya yang memikat. Selama dua hari ia akan membuka kelima kelopaknya satu per satu, hingga bagian tengahnya yang serupa cakram berduri terlihat utuh.

Ini sebuah orkestrasi alam yang sempurna! desis Teddy, dalam keterpanaan yang sangat. Pada satu titik waktu, suhu tertentu dan kondisi yang sangat spesifik dia mempersembahkan sebuah komposisi. Keindahan fisik, warna, dan sedikit gerak berpadu dalam keselarasan.

Farah terpukau, bukan hanya bunga yang membuatnya terkesima, tapi juga kalimat Teddy yang begitu puitis. Sungguh itu bukan perkataan yang biasa meluncur dari seorang botanis.

Selanjutnya, hanya decak kagum yang terdengar. Teddy meraih pergelangan tangan Farah, mengajak wanita itu lebih mendekat ke arah bunga. Tetesan air hujan yang menelusupi celah-celah tenda, jatuh bergulir di atas kelopak bunga raflesia. Menciptakan butiran-butiran air laiknya embun di pagi hari.

Kilauan lampu blitz seakan berlomba menciptakan cahaya, yang membuat sang bunga kian memikat hati

siapa pun. Semua seakan sepakat untuk mengabaikan baunya yang tak sedap dan disukai lalat. Hanya beberapa detik Farah membiarkan tangan yang hangat dan kokoh itu memegang pergelangan tangannya. Dengan gerakan yang sangat halus, ia meloloskan tangannya dari genggaman pria itu. Wajah Teddy sedikit merah padam. Keduanya sama-sama jengah. Lalu, tanpa sadar mereka mencoba mengalihkan perhatian pada objek yang kebetulan sama: aktivitas anak mereka masing-masing.

^^^ Wisnu datang menjelang dini hari. Tanpa ragu ia mengecup kedua pipi Farah di depan semua yang hadir di situ. Angke dan Chika sudah lelap di dalam sleeping bag-nya masing-masing. Sambil sekalian berkenalan, Wisnu mengucapkan selamat kepada Teddy. Dia hanya tahu nama Teddy dari cerita Farah. Para wartawan yang sedari tadi terpukau oleh prosesi mekarnya raflesia, baru menyadari bahwa mereka belum mewawancarai Teddy dan Farah, sebagai motor penggerak proyek budi daya raflesia. Jumpa pers pun berlangsung spontan. Lampu blitz berulang kali berkedip. Farah tersenyum sambil merapatkan jaketnya, ketika seorang wartawan mempertanyakan prospek budi daya raflesia.

Kami ingin mewujudkan sebuah kawasan konservasi tempat pembudidayaan Rafflesia arnoldi, juga tanaman obat langka lainnya. Di Taman Rafflesia ini, masyarakat akan disuguhi berbagai jenis raflesia yang ada di bumi Nusantara. Mereka pun bisa melihat proses pembuatan obat herba dari dekat dan memaknai betapa kayanya potensi alam di negeri kita!

Farah dan Teddy nyaris kewalahan menghadapi pertanyaan yang bertubi-tubi dari awak media itu. Wisnu sabar menunggu. Dari jarak yang tak begitu jauh ia memandangi Farah.

Mengapa raflesia selalu membutuhkan tanaman inang? Pertanyaan ini diajukan kepada Teddy oleh wanita wartawan dari majalah Flora Indonesia.

Raflesia tak punya akar, batang, dan daun. Ia tak bisa berfotosintesis karena tidak punya klorofil. Jadi, raflesia tidak bisa cari makan sendiri. Itulah sebabnya, dia butuh tumbuhan inang. Ia hanya memiliki akar pengisap makanan yang disebut haustorium. Berkat akar pengisap inilah ia menggerogoti inangnya, agar bertahan hidup.

Kemudian Teddy menceritakan proses awal tumbuhnya raflesia secara ex situ. Cara pertama membawa

biji dari habitatnya, kemudian disemaikan pada liana yang sudah ada di Kebun Raya Cikini. Cara kedua, membawa liana yang sudah terinfeksi bibit raflesia dari Cagar Alam Batang Palupuh, Sumatra Barat. Proyek besar ini biayanya tak sedikit. Kami membawa liana dalam container besar dengan suhu tertentu yang tidak membuatnya dehidrasi. Liana mengandung kadar air yang tinggi, jelas Teddy. Rafflesia patma berhasil tumbuh di Kebun Raya Bogor. Artinya, Rafflesia arnoldi juga bisa. Sekarang kami sudah membuktikannya!

Pagi mulai menyingsingkan malam. Erik membagikan brosur raflesia kepada semua yang hadir di situ. Wisnu menghampiri Farah, pamitan. Seorang wartawan senior menyapa Wisnu dan mereka terlibat percakapan. Siapa, Suta berbisik kepada sih, wartawan di sebelahnya. dia...?

Wisnu Patria Ijzerman, masih kerabat dekat pendiri ITB, jawab wartawan itu, sambil berbisik pula. Dia pengusaha tours and travel yang baru membuka kerja sama wisata sejarah dengan Malaysia dan Thailand. ^^^

Betul kan ceritaku. Angke meraih kelinci kecil berwarna putih, lalu mendekapnya penuh rasa sayang dan Iya, Iya, mata Oom Wisnu sih, bagus, sedikit kayak bintang kata film, ya? kata gemas. Chika. Angke.

Sebetulnya Oom Wisnu baik, tapi Angke nggak begitu suka. Kalau Bunda sama dia menikah, nanti foto pernikahan Ayah sama Bunda diganti, dong!

Bibir Chika membentuk huruf O besar. Kelinci cokelat yang dipegangnya meloncat ke dalam semak. Angke berusaha membantu Chika, tapi kelincinya juga terlepas. Maka sibuklah mereka.

Tadi pagi, Teddy sengaja membeli dua ekor kelinci di dekat gerbang Kebun Raya Bogor. Tentu saja ini semacam taktik agar kedua gadis cilik itu asyik bermain, sementara Teddy dan Farah mengikuti workshop tanaman obat dengan tenang. Untungnya, acara yang digelar di kebun botani itu hari Minggu, jadi Angke dan Chika bisa diajak.

Workshop diakhiri dengan kunjungan ke Kebun Raya Cikini. Bunga yang mekar empat hari yang lalu itu

masih ^^^

menyisakan

pesona,

meski

sudah

beranjak

layu

dan

mulai

berubah

warna.

Oleh-oleh yang dibawa Wisnu dari Malaysia itu diberikan Angke kepada Mbok Isah. Boneka Ipin dan Upin Buat Cucu asli, buatan cucunya, Mbok Isah negeri jiran jelas kan yang sedang digemari waktu bayi, belum anak-anak Farah tahu Indonesia. bertanya. IpinUpin!

Angke, masih

Biarin nanti juga cucunya pasti jadi anak kecil dan kalau sudah besar nanti dia pasti suka sama boneka itu, ujar Angke, sambil menahan hati.

Sebetulnya dia suka kedua boneka itu. Kalau saja yang menghadiahkannya bukan Wisnu, tentu dengan senang hati ia terima. Angke sudah berjanji dalam hati, tidak akan menerima apa pun dari Wisnu. Dia takut, Wisnu sedang membujuknya, supaya pria itu bisa menjadi ayah barunya. Perasaan intuitif seorang anak Tak Iya yang berapa lama ini terkadang kemudian, punya telepon Angke, kewaspadaan berdering. Dari yang Chika. sulit Angke lagi diduga. kegirangan. apa?

Chika

Lagi kasih makan si Pongki, dia kerjanya makan melulu. Hari ini sudah habis kangkung tiga ikat ! Wah, nanti kegendutan dia! Si Bingki lagi belajar diet. Kata Bunda, kelinci jangan terlalu banyak dikasih makan, nanti perutnya buncit, nggak bisa bergerak!

Mereka asyik bertukar cerita sampai Farah melambaikan tangan agar Angke menyudahi obrolannya. Chika, ada salam dari Bunda., ujar Angke, salah tafsir.

Farah menggoyangkan telapak tangannya. Baru Angke mengerti. Diletakkannya gagang telepon, lalu menghampiri Chika O, Dia ibunya yang mau Jam bilang jam sedang ke berapa? berapa, sih, sini, Bunda tapi menuangkan Bun. agar-agar Mau besok Angke sudah ke dalam si cetakan. Bingki! bulanan. di rumah!

besok ya? nggak

nengok mau bilang

belanja kita ada

Mmm ya, sudah! Lagian, Bunda juga belum bilang sama Angke bahwa kita mau pergi! Kalau begitu, agar-agar ini jangan kita makan semua. Kita simpan buat Chika, ya, Bun! ucap Angke. Mimik wajahnya serius. Farah menahan senyum sekaligus bangga. Putri tunggalnya ternyata memiliki kepekaan untuk berbagi.

^^^ Chika datang bersama Pongki dan tentu saja ayahnya. Angke segera menarik sahabat barunya itu ke taman belakang rumah. Suara canda mereka terdengar sampai ke dalam. Farah dan Teddy masih di ruang tamu dan pembicaraan mereka tak beranjak dari proyek raflesia.

Matahari menggulirkan siang begitu cepat. Farah menawari Teddy makan siang, tapi pria itu menolaknya dengan halus. Masih kenyang, katanya, mereka baru saja makan di rest area jalan tol. Gelas Teddy sudah tandas, rupanya dia kehausan. Farah beranjak dari duduknya, lalu bergegas menuju kulkas. Dibawanya sebotol air es dan sirop. Barusan ia melihat isi kulkas yang nyaris kosong, mau tak mau Farah harus belanja hari ini. Nanti malam Wisnu datang dan sudah berjanji akan memasak menu istimewa Farah Saya menatap tinggal Teddy, nggak mau pria apa-apa buat itu kan, mengangkat Mas? ke Titip alisnya anak-anak, mereka. sedikit. ya! mana?

sebentar

Memangnya

Belanja. Kulkas perlu diisi ulang, Mas! ucap Farah, ringan. Mas Wisnu nanti malam ke sini. Dia mau bikin spaghetti dan sup kacang merah.

Teddy meneguk habis isi gelasnya, lalu memandangi Farah yang sudah menenteng kunci mobil. Perlu saya antar?

Nggak usah, makasih. Mbok Isah tak masuk hari ini. Kalau Mas pergi, siapa yang jaga mereka? Anak-anak sudah besar, kok atau kita ajak saja mereka?

Farah langsung menuju taman belakang. Angke dan Chika tampak sibuk bersama kelinci mereka. Dia cuma bisa geleng-geleng kepala, ketika melihat kedua anak itu membiarkan bunga sedap malam yang baru berbunga, dikunyah habis si kelinci.

Si Bingki sama si Pongki sedang lomba makan kangkung, tapi mereka milih sedap malam, Bun, ujar Angke, riang. Farah dapat merasakan, keriangan ini lebih pekat dari hari-hari yang biasa Angke tampilkan Ikut Angke Wah, Bunda mau ke ajak setiap supermarket, Bingki Bingki dan dan hari, yuk! Pongki Pongki Ajak juga.... sendirian. Chika Boleh, ditinggal juga! Bun? saja!

sebaiknya

Tapi.... Mata Angke memohon dengan sangat, lalu memandang Chika yang sedang menggendong kelinci cokelatnya.

Bagaimana kalau mereka bersama kelincinya menunggu di mobil, ucap Teddy kepada Farah, menengahi. Angke Chika di rumah saja, deh, kata Angke. juga!

Farah dan Teddy saling berpandangan. Akhirnya, mereka mengizinkan kedua gadis cilik itu tinggal di rumah ^^^ Farah terkesiap. Wisnu datang lebih awal. Mobilnya parkir di depan pagar, karena mobil Teddy sudah lebih dulu parkir di carport, di sebelah mobil Farah. Farah memanggil-manggil Angke dan Chika. Pintu ruang tamu tak dikunci. Ruang keluarga tampak berantakan. Tak ada orang di situ. Kangkung bertebaran di karpet. Televisi dibiarkan menyala tanpa penonton. Sebuah gelas berisi sirop tergeletak tumpah membasahi taplak meja. bersama dua ekor kelinci yang gemar mengunyah berbagai jenis tumbuhan.

Tiba-tiba, seekor kelinci menerjang masuk. Farah kaget. Di belakangnya menyusul Wisnu dan kedua gadis cilik itu. Wajah mereka menyimpan keceriaan yang tulus. Terutama Wisnu, yang kali ini lebih mirip wajah seorang anak nakal dan bandel yang kepergok mencuri mangga tetangga. Kaus polo cokelat tua yang dipakainya, dihiasi serpihan rumput. Beberapa helai daun kangkung menempel di bagian dadanya. Tak jauh berbeda dengan pemiliknya, si Bingki dan si Pongki sama-sama tak keruan bentuknya. Si Bingki, bulunya belepotan sirop warna merah. Lebih mirip bendera luntur yang gagal dicelup. Sedangkan si Pongki, kedua kupingnya dihiasi bunga sedap malam yang ditempel pakai selotip kuning. Sebuah rok hula-hula yang terbuat dari daun suplir kesayangan Farah, melingkari perutnya.

Ternyata, Angke mulai bisa akrab dengan Wisnu. Tapi, hati Farah, kok, jadi tidak keruan rasanya. Teddy hanya tersenyum-senyum melihat penampilan lima anggota pasukan Laskar Kelinci itu. Farah membersihkan serpihan rumput yang menempel di pipi Wisnu. Lalu, Wisnu mencuci muka di wastafel dekat ^^^ Angke dan Chika makin karib. Kalau tidak Chika yang datang ke Bogor, Angke yang ke Jakarta. meja makan. Tak lama kemudian, Teddy dan Chika segera pamit pulang.

Hampir setiap kali Farah ada dinas luar ke Kebun Raya Cikini, Angke ikut. Angke dan Chika janjian bertemu di sana, disertai dua kelinci yang makin gendut itu.

Farah tahu Wisnu agak cemburu, meski tak terlalu kentara. Tapi, tak mungkin melarang Angke berteman dengan Chika. Tak mungkin pula menghentikan proyek kerja sama yang dijalinnya bersama Teddy. Sebuah pembenaran yang nantinya menciptakan perangkap yang sungguh menjerat.

Celoteh Angke dan Chika segera saja memenuhi ruang keluarga yang tak terlalu luas itu. Barusan Chika diantar ayahnya. Teddy menitipkan Chika karena sedang mengurus perkara bawahannya yang menjadi korban tabrak lari. Kebetulan si korban tinggal di Bogor dan Chika merengek ingin ketemu Angke. Farah mengeluarkan laptop-nya dari dalam tas. Hari ini Farah ingin membuat artikel ilmiah untuk sebuah majalah. Menjelang pukul sembilan malam, Teddy baru datang.

Mereka sudah tidur, bisik Farah, seraya membuka pintu kamar Angke. Kedua gadis cilik kesayangan mereka itu tidur melingkar di tempat tidur Angke yang luas. Yang satu memeluk guling. Satunya lagi nyaris Mereka tenggelam di balik selimut tebal, hanya ucap kepalanya yang tampak. lirih.

seperti

kakak-adik,

Teddy,

Farah terdiam beberapa jenak. Sebuah kalimat yang tak hendak ia tafsirkan terlalu mendalam. Serangkai kata yang menyimpan harapan dan tiba-tiba muncul ke permukaan alam sadar pria yang berdiri di depannya. Seperti itukah yang sebenarnya?

Chika tidur di sini saja, Mas! Kasihan. Besok kan hari Minggu! kata Farah, sambil membetulkan letak selimut. Ia berusaha menikam gerak pikirannya sendiri.

Kisah

Sebelumnya:

Sepeninggal Irfan, suaminya, Farah harus menjadi ibu tunggal bagi Angke. Ketika Farah dekat dengan Wisnu, Angke tidak mau Wisnu menjadi pengganti ayahnya yang telah tiada. Suatu saat, Farah berkenalan dengan Teddy duda satu anak-- saat mereka terlibat dalam penelitian bunga Rafflesia arnoldi yang hendak mekar di sebuah kebun raya. Hubungan keduanya makin dekat ketika Angke ternyata cocok berteman dengan anak Teddy, Chika.

Ketika Teddy hendak memungut bantal yang terjatuh, tanpa sengaja posisi tubuhnya menjadi lebih dekat.

Tangannya bergerak hendak meraih bahu Farah, tapi kemudian tangan itu tertahan di udara. Ada selang waktu yang bergulir tanpa terasa. Seperti ruang hampa udara yang menyekap dan tak mengizinkan siapa pun untuk bernapas. Cepat-cepat Teddy mengalihkan perhatiannya sendiri. Ditaruhnya bantal. Dilepaskannya guling dari belitan tangan dan kaki Chika. Perlahan. Dalam sekejap anak itu sudah berada dalam dekapan ayahnya. Farah membuka pintu kamar Angke lebih lebar.

Teddy dan Chika pulang. Farah merasa ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang sebetulnya ada, tapi tak ingin diterjemahkan menjadi sesuatu yang menyita perasaan dan pemikiran. Farah menutup pintu rumahnya. Tapi, embusan angin masih terasa menyergap. Ia mencoba melacak dari mana arah angin ini berasal. Oh, ternyata pintu belakang rumah masih terbuka.

Farah berjalan ke arah taman. Membiarkan dirinya duduk di bale-bale kayu jati yang sudah lama tak dia sambangi. Tempat favorit almarhum Irfan. Almarhum? Ya. Ada segores rindu meriap sesaat. Belum sempat Farah menggali kenangan, suara dering telepon mengusiknya. Wisnu. Dia hanya ingin mengucapkan ^^^ Dunia Angke dan dunia Chika kian bersentuhan, membentuk irisan yang mengekalkan persamaan. Dunia Farah dan dunia Teddy pun kian merapatkan jarak. Tak perlu bertanya soal titik temu, ada garis batas yang meretas di antara mereka. Begitu jelas. selamat malam dan memberi kecupan jarak jauh.

Siapa Bilqis? ucap Farah. Pada suatu kesempatan yang memungkinkan, dua kata itu terlontar, dipacu oleh sebuah naluri yang membiaskan perasaan-perasaan tidak ingin kehilangan. Suatu hal yang wajar. Gurunya Chika, jawab Teddy, pendek dan sederhana.

Farah mendapatkan nama itu dari Angke. Chika acap kali bercerita tentang salah seorang guru Chika yang sering menanyakan ayahnya. Ibu guru yang cantik itu selalu menemani Chika, bila sang ayah terlambat menjemputnya.

Udara di seputar mereka berubah menjadi dingin. Angin tak pernah berpihak pada siapa pun. Ia membagi rasa dingin dengan adil, hanya saja perasaan itu dapat ditafsirkan berbeda oleh setiap orang. Teddy memilih beberapa foto raflesia untuk sampul depan buku raflesia yang sedang mereka garap. Agaknya Teddy tak ingin membicarakan guru cantik itu lebih lanjut. Farah menahan rasa ingin tahunya yang kali ini agak membuncah. Teddy pun berusaha melontarkan topik pembicaraan baru yang membuat

mereka ^^^

lebih

leluasa.

Tanpa

jerat

kecanggungan.

Arus perasaan yang melanda dua insan ini bukannya tak luput dari perhatian Wisnu. Wisnu merasa perlu melakukan tindakan yang membuat Farah tetap berada dalam lingkaran kasih sayangnya. Wisnu tak mau kehilangan Farah untuk kedua kalinya.

Ada sebuah periode yang mengondisikan Wisnu dan Farah pernah mengenal satu sama lain. Meski mereka masih terlalu muda untuk sebuah komitmen yang bersifat mengikat, sedikitnya Wisnu mempunyai gambaran yang cukup jelas tentang Farah. Masa awal perkuliahan yang membiaskan kebersamaan mereka. Membuat mereka larut dalam episode kehidupan masing-masing.

Masa petualangan Wisnu yang cukup panjang, tak juga membuat Wisnu menemukan seorang wanita yang benar-benar menggelorakan jiwanya. Sebaliknya, Farah, dalam masa kesendirian yang mendera, menemukan pria lain yang kemudian dengan sigap menikahinya. Agaknya, soal cinta menjadi hal kedua bagi Farah. Irfan yang gigih dan taktis membuat ia berani menghadapi sebuah dunia baru yang belum pernah dirambahnya.

Wisnu sama sekali tak pernah menduga, arus kehidupan itu pula yang mengantarkan Farah kembali ke dalam kotak impiannya. Sebuah kotak yang selama ini terkunci rapat. Jika Wisnu membukanya kembali, apakah kotak itu berubah jadi kotak Pandora yang menyeret Epimetheus ke dalam arus kerengsaan yang sempurna? Kesigapan Irfan adalah guru yang baik bagi Wisnu. Wisnu akan segera mengajak Farah menikah! Serangkaian tur keliling Eropa sudah dia rancang untuk bertiga. Sebentuk cincin bertatahkan berlian sudah ia siapkan. Ia pun mencari informasi paling akurat tentang sebuah perjalanan bulan madu yang diidamkan oleh hampir semua wanita romantis di dunia. Venesia. Italia!

Wanita mana yang takkan luluh oleh sebuah romantisisme yang begitu memikat? Cinta saja terkadang lebih dari cukup. Tapi, romantisisme? Ini sebuah benda abstrak yang memang mahal secara harga, tapi tak ternilai bila diukur. Ia mampu menyentuh kebutuhan-kebutuhan manusiawi yang mendasar. Wisnu sangat yakin itu.

^^^

Seperti dalam film-film romantis, Wisnu separuh berlutut meminta Farah menjadi istrinya. Adegan itu terjadi di perahu nelayan yang sempit dengan beberapa keranjang ikan segar. Perahu yang sedang mengantarkan hasil tangkapannya untuk sebuah hotel di tepi pantai. Farah terkesima. Sungguh peristiwa ini di luar perkiraannya. Mulanya Farah bertanya-tanya, mengapa Wisnu bersikeras meminta waktu agar mereka bisa pergi ke Pelabuhan Ratu berdua saja. Angke dititipkan kepada Teddy.

Tanpa memedulikan pengemudi perahu, Wisnu memeluk Farah dan memberinya sebuah kecupan curian yang manis. Ada yang bergejolak di hati Farah. Mata Wisnu begitu lekap menatap, seteduh hutan bakau yang ^^^ Tanpa sengaja Farah mengabarkan bahwa Wisnu sudah melamarnya dan orang pertama yang dikabari adalah Teddy! Dalam tuturan bahasa yang naif dan hanya terdiri dari beberapa kata, Farah mencoba meminta pendapat Teddy. Farah baru menyadari, apa yang dilakukannya adalah suatu kebodohan. Kebodohan yang menyisakan rasa sesal dan segumpal kekecewaan. Farah tak mungkin menarik kata-katanya kembali. tak pernah lekang oleh gerusan ombak.

Kapan kalian menikah? Wajah Teddy tampak terlalu dingin untuk mengucapkan kalimat panas seperti itu.

Tak ada ekspresi penolakan atau ketidaksetujuan di wajah bersegi itu. Kacamata yang bertengger di batang hidungnya yang lurus, mungkin menyembunyikan sorot mata yang sesungguhnya. Atau, Teddy belum mengelap kacamatanya, hingga mata itu terlihat begitu buram. Alangkah sulitnya menebak isi hati pria di hadapannya ini.

Farah gemas. Andai saja Teddy bisa membaca isi pikirannya, sebetulnya bukan pertanyaan seperti tadi yang dia inginkan. Jauh sebelumnya, Farah sempat mengira bahwa kebersamaan mereka selama ini bukan sekadar rekan kerja, tapi sudah meretas batas ke arah yang lebih istimewa. Namun, dugaan Farah keliru. Apakah dapat dikatakan suatu kemuskilan, bila suatu saat Teddy mengungkapkan pertanyaan yang sama seperti diucapkan Wisnu saat melamarnya?

Memang dibutuhkan suatu keberanian ekstra untuk mengucapkannya. Apalagi status Farah adalah seorang kekasih bagi Wisnu. Teddy bukan tipe pria penyelingkuh yang begitu mudahnya mengumbar kalimat yang didambakan banyak wanita. Teddy seorang pria santun dan sangat pandai menjaga diri dari

hubungan-hubungan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya. Sebagai pria tipe setia, dia pun berharap mendapatkan kesetiaan yang kadarnya tidak jauh berbeda. Terlepas dari semua itu, Farah belum dapat menafsirkan perasaan Teddy yang sesungguhnya kepada dirinya. Hanya dugaan dan perkiraan yang saling menguatkan.

Kau belum menjawab pertanyaanku, ucap Teddy lagi. Farah tersipu, sampai saat ini dia pun belum tahu jawabannya. Belum ada pembicaraan yang menentukan kapan dia meresmikan hubungannya dengan Wisnu. ^^^ Sepertinya Farah harus mampu menembus proses birokrasi yang paling gampang-gampang susah. Angke! Farah tak dapat memungkiri, hatinya sempat berbunga-bunga saat menyaksikan cairnya hubungan Angke dengan calon ayah barunya yang bermata hijau itu.

Iya, Bunda boleh menikah sama Oom Wisnu dan tinggal di rumah baru. Angke tinggal di sini saja, berdua sama Mbok Isah.

Perkiraan Farah agak meleset, jawaban Angke ternyata tak serumit dugaannya. Tapi, nanti dulu, itu berarti Angke memilih tidak ikut bersama mereka. Ada pertimbangan-pertimbangan naif seorang anak yang tak terjangkau pikiran. Tampak sederhana, tapi menyimpan kerumitan yang tak selamanya mudah diatasi. Mbok Isah nggak seterusnya tinggal di sini, jadi Angke sebaiknya ikut Bunda tinggal di rumah Oom Wisnu.. Bibirnya Kalau yang tipis membentuk Angke garis. Angke berpikir di keras. rumah Matanya Chika menerawang. saja.

begitu,

dititipkan

Ya, kalau sehari, sih, tidak apa-apa. Seperti Chika kemarin itu. Orang tua Angke, kan Bunda, jadi tinggalnya bersama Bunda, dong.!

Farah tersenyum lebar, dipandangnya Angke penuh rasa sayang. Dia mengizinkan Farah menikah dengan Wisnu, tapi dia memilih tinggal bersama Chika yang notabene anak Teddy. Bagaimana mungkin? Ah, logika kanak-kanak kadang-kadang terlampau naf, tapi juga filosofis. Atau memang Angke secara halus mengatakan begitu, bahwa Bunda dia ikut lebih Angke setuju saja, bila ibunya menikah dengan uji Teddy? Farah.

Kalau

tinggal

bersama

Chika?

Yes! sambut Angke, senyumnya mengembang. Matanya menyalakan sinar yang suar. Farah menemukan jawaban yang ia cari. Namun, wajah Angke segera berubah. Diselimuti tanda tanya. Terus, Farah Tanya Aah Tinggal tak dapat saja Bunda! Oom menahan sama Oom sama Wisnu Wisnu tawa. Oom tinggal si tinggal Diacak-acaknya Wisnu, sama sama rambut siapa? Angke. godanya. siapa? Bingki.

Mereka tertawa. Farah membuka kulkas, mengambil sebuah apel, lalu menggigitnya. Angke meniru ibunya. Ketika gigi Angke sudah siap menggigit apel, tiba-tiba Angke mengurungkan niatnya. Dia menatap ibunya dengan sungguh-sungguh.

Kalau Oom Wisnu tinggal sama Bingki, artinya dia tinggal di rumah kita juga. Rumah Bingki terlalu kecil untuk ditempati Oom Wisnu. Nanti Bingki kejepit, dong, Bun?

Tawa Farah nyaris meledak kalau saja dia tak bersusah payah menahannya. Apalagi wajah Angke begitu serius. OK, nanti kita bicarakan lagi, ya! Bunda juga harus menanyakan dulu sama Oom Wisnu, dia mau tinggal bersama Angke mengiyakan. si Dikunyahnya Bingki buah apel atau itu sampai tidak? habis.

^^^ Wisnu yang sedang berada di Thailand mengabarkan bahwa dia sudah mengatakan kepada orang tuanya tentang lamarannya kepada Farah. Orang tua Wisnu akan meminang Farah secara resmi kepada orang tuanya. Mereka senang dan menyetujui pilihan Wisnu. Bahkan, keluarga mereka yang ada di Belanda pun akan ikut hadir. Sekalian liburan.

Farah tercekat, rasanya semua ini berlangsung terlampau cepat. Wisnu mengatakan akhir bulan Agustus ini keluarganya akan ke Indonesia. Dia mengusulkan tanggal 31 Agustus. Bila keluarga Farah sepakat dengan tanggal tersebut, Wisnu langsung memesan tiket pesawat dan hotel.

Kalau saja aku bisa mempercepat jalannya waktu, rasanya ingin menikah besok, dan lusa kita sudah

berangkat ke Venesia! Suara Wisnu terdengar lembut. Berbaur harapan dan ketidaksabaran. Farah tertawa pelan. Selama mereka menjadi sepasang kekasih, bahkan sewaktu SMA dulu, Wisnu selalu memperlakukannya dengan penuh rasa sayang dan penghargaan. Pada situasi ini, Farah merasa tersanjung. Sebagai seorang wanita, ia merasa dihargai sebagaimana layaknya. Lantas, berbekal perasaan-perasaan indah seperti itu mereka akan melangkah jauh, masuk ke dalam sebuah dunia yang mungkin belum pernah dibayangkan sebelumnya. Ada rasa bahagia, terharu, juga kelegaan yang penuh. Merasa utuh. Sekaligus gamang.

Saat Wisnu hendak bicara, Angke sudah terlelap di sofa. Buku PR, sekotak popcorn yang tinggal wadahnya dan benda-benda lainnya berserakan di meja. Farah mengangkat tubuh gadis cilik itu ke kamarnya. Malam seperti segelas sirop hitam pekat dibubuhi kelapa muda. Kekelamannya

menyempitkan pandangan, putihnya seperti rembulan membiaskan cahaya yang menakjubkan. ^^^ Farah belum memberi tahu Teddy tentang rencana pinangan keluarga Wisnu akhir bulan ini. Rasanya dia lebih baik tak perlu tahu. Adakalanya kita perlu terbuka, adakalanya pula perlu menyimpan rahasia. Untuk sementara waktu. Namun, niat Farah itu menguap bersama datangnya SMS Teddy yang mengabarkan bahwa mereka diundang menghadiri sebuah seminar besar tentang raflesia di Singapura, 27 Agustus sampai 2 September. Farah terkesiap. Mau tidak mau ia harus menceritakan rencana pinangan Farah Kita menelepon. didaulat jadi Suara pembicara tamu! Teddy Jadwalmu kedengaran tampil di hari itu. antusias. kedua.

OK. Tapi, aku takkan mengikuti seminar itu secara utuh, tanggal 29 aku pulang duluan. Lho, memangnya kenapa?

Tanggal 31 orang tua Wisnu akan datang meminangku, ucap Farah, nyaris tak kedengaran. Ia sangat berhati-hati mencari kata, merangkumnya menjadi sebuah kalimat yang diucapkannya barusan. Lebih dari dua puluh detik Teddy tak bersuara. Wanita itu berusaha menerjemahkan sepi yang menyeruak begitu saja di antara mereka. Farah bukan anak gadis seusia Angke, ia cukup paham bahasa kaum lelaki yang terkadang menyimpan misteri, terkadang pula seperti buku yang mudah dibaca. Ya, selamat semoga kau bahagia bersamanya! ucap Teddy, tawar.

Mungkin kata-kata itu sering diucapkan ketika seorang kekasih melepaskan kekasihnya yang memutuskan berpisah dan memilih orang lain. Tapi, Teddy bukan kekasih Farah. Belum ada ikatan yang menahbiskan hubungan mereka. Teddy tak pernah mengungkapkannya secara eksplisit. Wanita selalu butuh pernyataan, sedangkan bagi pria itu sebuah kesulitan.

Hari-hari berikutnya Angke dan Chika masih tetap riang, kontras dengan Teddy yang lesu dan muram. Farah makin diyakinkan. Teddy menyimpan selaksa harapan yang belum terucapkan. Sore itu, Teddy minta ^^^ Di sebuah kafe yang menghadap taman dengan hamparan rumputnya yang menyejukkan pandang, mereka duduk bersebelahan. Farah kehilangan kata. waktu bertemu. Berdua saja tanpa Chika dan Angke.

Sebetulnya aku berharap kau ikut. Ini pengalaman pertama Chika libur ke luar negeri, Teddy meneguk jus tomat kesukaannya. Selagi kita mengikuti seminar, Chika dan Angke bisa kita tinggalkan di hotel. Hanya Teddy Mmm untuk agak aku alasan gelagapan, hanya berpikir itu diteguknya bahwa kau jus kita bisa mengajakku tomat menjadi itu ke sekali sebuah sana? lagi. keluarga.

Farah tahu, secara halus Teddy menyodorkan dua pilihan, dia atau Wisnu. Sebetulnya, tak ada kekurangan yang terlalu besar dalam diri Wisnu, juga Teddy. Hanya, Farah tidak bisa menikahi keduanya sekaligus. Kecuali bila Farah tinggal di Tibet yang memperbolehkan poliandri!

Farah tak dapat mengingkari bahwa Angke lebih menyukai Teddy karena dia menemukan sosok ayahnya dalam diri pria itu. Bila ia menikah dengan Wisnu, tentu Angke harus belajar lebih keras untuk menerima pria itu sebagai ayah tirinya. Farah pun takut Wisnu berubah. Sekarang Wisnu kelihatan baik pada Angke karena dia sedang berusaha merebut perhatian Angke untuk mendapatkan dirinya. Tapi, kalau mereka sudah menikah, belum tentu!

Sama halnya dengan Teddy, sekarang dia baik kepada Angke dan kelihatan bisa membagi perhatian juga kepada Chika. Bila mereka sudah menikah, apakah Teddy akan sebaik dan seadil itu? Mungkin dia akan lebih membela Chika nantinya.

Kecemasan-kecemasan Farah memang terlampau naif. Suatu kewajaran yang mengisyaratkan hakikat, yaitu dua kemungkinan yang abadi: baik atau buruk.

Bila Farah menikahi Wisnu, Angke akan kehilangan Chika dan Teddy sekaligus, dan kehilangan dunia kecilnya yang penuh warna. Kalau Farah menikahi Teddy, dia hanya kehilangan Wisnu dan Wisnu pun terluka. Hanya?

Teddy berangkat ke Singapura sendirian, Chika dititipkan pada Farah. Angke menyambutnya dengan perasaan senang, tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi antara ibunya dengan ayah Chika. ^^^ Gelegak waktu tercipta di saat-saat menunggu. Serasa detak jarum jam itu serpihan-serpihan bara yang memercikkan nyala. Farah meniup lampu sumbu dalam gelas bening berisi minyak dan air yang diberi warna. Wisnu tersenyum, membiarkan kekasihnya berulang kali meniup api kecil itu. Tak juga berhasil. Farah bangkit, lalu bergerak menghampiri Wisnu. Ia melepaskan cincin berlian itu dari jari manisnya. Lalu, Farah menyisipkannya ke saku kemeja Wisnu.

Lelaki itu terperangah. Far.. ada apa ini? Mengapa kau kembalikan cincin ini padaku? Kita Lho.?! Ya Mengapa? Karena lusa aku mau berangkat ke Singapura, ada seminar raflesia di sana! Wisnu sudahi tak mampu kita saja berkata-kata tak lagi. Kepalanya hubungan dipenuhi jadi ribuan tanda kita. tanya.

menikah.

Wisnu tertegun dan nyaris lupa bahwa kata diciptakan untuk bicara. Lidahnya kelu. Ia merasa tak perlu meminta Farah menjelaskan panjang lebar tentang mengapa kekasihnya mengambil sikap demikian. Raflesia, satu kata itu saja sudah sebuah jawaban sekaligus suatu pilihan.

Mengapa dia tak berusaha merebut cinta Farah? Mengapa dia membiarkan peluang yang dimimpikan lebih dari separuh hidupnya terlepas begitu saja? Mengapa?

Wisnu meraih tangan Farah, melalui gerak mata ia masih berusaha memohon. Tapi, peluang itu benarbenar membias. Lepas. Lalu, dikecupnya punggung tangan wanita yang selama ini begitu didambakannya. Hampir saja hati Farah luluh. Wisnu memang sang pencinta yang memuja. Tapi, cinta tidak hanya dapat dimiliki oleh mereka berdua. Ada manusia kecil yang tidak dapat dilepaskan dalam lingkaran cinta yang pernah terputus. Angke.

Gumpalan di dada Farah luruh sudah. Dalam hitungan jam, dia harus mencari tiket pesawat ke

Singapura. Masih ada sisa waktu untuk menghadiri seminar itu dan duduk di sebelah Teddy. Angke dan Chika bersorak-sorai begitu melihat tiga lembar tiket dilambaikan Farah. Kedua gadis cilik itu berebutan menghambur ke dalam pelukan. Farah tersenyum bahagia, mereka memang sudah menjadi sebuah keluarga. Sebuah dunia baru! (Tamat)

You might also like