You are on page 1of 39

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATARBELAKANG MASALAH Perjanjian-perjanjian internasional dapat berdampak cukup besar di tingkat nasional dan lokal.

Konferensi tingkat tinggi pembangunan berkelanjutan 2002 adalah tinjauan terhadap sepuluh tahun perjalanan menuju pencapaian Agenda 21, rencana kegiatan global untuk pembangunan berkelanjutan yang diluncurkan pada KTT Bumi 1992 di Brazil. Agenda 21 merupakan program aksi untuk mempersiapkan dunia dalam menghadapi tantangan abad ke 21 agar kualitas hidup manusia terus meningkat dan pembangunan tetap berlanjut. Agenda 21 juga merupakan transformasi konsep pembangunan berkelanjutan menjadi komitmen dan arahan untuk melakukan tindak nyata dengan memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat. Selama jangka waktu setelah konferensi tersebut, banyak yang berubah sementara beberapa faktor masih sama bahwa adanya ancaman besar dan terus-menerus terhadap iklim bumi dan pola kepunahan satwa, tumbuhan, tidak hanya terhadap ekologi dunia tetapi juga kapasitas manusia untuk meningkatkan pendapatan dan menghapus kemiskinan. Menindaklanjuti hasil-hasil konferensi tersebut, pemerintah Indonesia menyusun rancangan guna memenuhi persyaratan umum dari prinsip-prinsip perjanjian lingkungan dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan di Indonesia. Dokumen agenda 21 diharapakan dapat memberikan peran dan strategi perbaikan lingkungan khususnya akibat kerusakan lingkungan global oleh terutama aktivitas manusia. 1.2 MAKSUD DAN TUJUAN Agenda 21 dibuat berdasarkan adanya komitmen global (internasional) dengan maksud mengatasi kerusakan lingkungan di dunia. Komitmen bersama antar berbagai Negara di mulai melalui adanya konferensi, konvensi, perhimpunan sampai adanya konvensi KTT bumi. Adapun tujuan dari agenda 21 adalah untuk : 1. Pelaksanaan dan pengembangan program aksi untuk terwujudnya pembangunan berkelanjutan untuk saat ini dan abad ke 21 2. Pengintegrasian pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan ke dalam satu paket kebijakan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (biogeofisik, sosekbud, kelembagaan, LSM). 3. Implementasi 7 aspek agenda 21 global

BAB II ISI 2.1 SEJARAH AGENDA 21 Asal mula dimulainya penentuan kebijakan dan program agenda 21 berdasarkan adanya komitmen global (internasional) dalam rangka mengatasi kerusakan lingkungan di dunia. Komitmen bersama antar berbagai Negara di mulai melalui adanya konferensi, konvensi, perhimpunan sampai adanya konvensi KTT bumi. Berikut ini adalah uraian perjalanan panjang dari komitmen global sampai terbentuknya program agenda 21 adalah sebagai berikut : a. Konferensi Stockholm, 1972 Kesadaran global untuk memperhitungkan aspek lingkungan selain aspek ekonomi dan kelayakan teknik dalam pembangunan mencuat tahun 1972. Hal tersebut ditandai dengan Konferensi Stockholm tahun 1972. Konferensi ini atas prakarsa negara-negara maju dan diterima oleh Majelis Umum PBB. Hari pembukaan konferensi akhirnya ditetapkan sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia yaitu 5 Juni. Dari Konferensi ini menghasilkan resolusi-2 yang pada dasarnya merupakan kesepakatan untuk menanggulangi masalah lingkungan yang sedang melanda dunia. Selain itu diusulkan berdirinya sebuah badan PBB khusus untuk masalah lingkungan dengan nama : United Nations Environmental Programme (UNEP). Dalam Konferensi juga berkembang konsep ecodevelopment atau pembangunan berwawasan ekologi. Sejalan dengan hal tersebut Indonesia mulai menggagas konsep Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Namun dalam perjalanan, ternyata kesepakatan kesepakatan Stockholm tidak bisa menghentikan masalah lingkungan yang dihadapi dunia. Negara-negara maju masih meneruskan pola hidup yang mewah dan boros dalam menggunakan energi. Laju pertumbuhan industri, pemakaian kendaraan bermotor, konsumsi energi meningkat sehingga limbah yang dihasilkan juga meningkat pula. Sementara negara-negara berkembang meningkatkan exploatasi Sumber Daya Alamnya untuk meningkatkan pembangunan dan sekaligus untuk membayar utang luar negerinya. Keterbatasan kemampuan ekonomi dan teknologi serta kesadaran lingkungan yang masih rendah, menyebabkan peningkatan pembangunan yang dilakukan tidak disertai dengan melindungi lingkungan yang memadai.

Maka kerusakan sumber daya alam dan Lingkungan Hidup di negara berkembang juga semakin parah. b. United Nations On Environment and Development (UNCED), 1992 Lingkungan hidup dunia yang semakin baik yang menjadi harapan Konferensi Stockholm ternyata tidak terwujud. Kerusakan lingkungan global semakin parah. Penipisan lapisan ozon yang berakibat semakin meningkatnya penitrasi sinar ultra violet ke bumi yang merugikan kehidupan manusia, semakin banyaknya spesies flora dan fauna yang punah, pemanasan global dan perubahan iklim semakin nyata dan betul-betul sudah di depan mata. Oleh karena itu masyarakat global memperbaharui kembali tekadnya untuk menanggulangi kerusakan lingkungan global dengan mengadakan KTT Bumi di Rio de Jeneiro pada bulan Juni 1992 dengan tema Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development). KTT ini kita kenal dengan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED). Dalam UNCED disegarkan kembali suatu pengertian bersama bahwa pembangunan berkelanjutan harus memenuhi kebutuhan sekarang dan generasi mendatang. Untuk mencapai hal tersebut dalam setiap proses pembangunan harus memadukan 3 aspek sekaligus yaitu : ekonomi, ekologi dan sosbud. Secara garis besar ada 5 hal pokok yang dihasilkan oleh KTT Bumi di Rio de Jeneiro yaitu : 1. Deklarasi Rio tentang lingkungan dan pembangunan. Deklarasi ini berisikan 27 prinsip dasar yang menekankan keterkaitan antara pembangunan dan lingkungan serta pengembangan kemitraan global baru yang adil. 2. Konvensi tentang perubahan iklim, diperlukan payung hukum guna menangani masalah pemanasan global dan perubahan iklim. 3. Konvensi tentang keanekaragaman hayati, diperlukan payung hukum untuk mencegah merosotnya keanekaragaman hayati. 4. Prinsip pengelolaan hutan, hutan mempunyai multi fungsi : sosial, ekonomi, ekologi, kultural dan spiritual untuk generasi. Hutan untuk penyerapan CO2 serta untuk perlindungan keanekaragaman hayati dan pengelolaan daerah aliran sungai. 5. Agenda 21, menyusun program aksi untuk terwujudnya pembangunan berkelanjutan untuk saat ini dan abad ke 21 : biogeofisik, sosekbud, kelembagaan, LSM. Dokumen agenda 21 global dianggap sebagai suatu hasil yang paling penting dalam KTT bumi ini, yang berisi aksi-aksi dimana setiap pemerintah, organisasi internasional, sektor swasta dan masyarakat luas, dapat melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan bagi

pembangunan social ekonominya. Adapun, 7 aspek yang ditekankan dalam agenda 21 global adalah : 1. Kerjasama internasional 2. Pengentasan kemiskinan 3. Perubahan pola konsumsi 4. Pengendalian kependudukan 5. Perlindungan dan peningkatan kesehatan 6. Peningkatan pemukiman secara berkelanjutan 7. Pemaduan lingkungan dalam pengambilan keputusan untuk pembangunan c. World Summit On Sustainable Development (WSSD), 2002 Setelah 10 tahun KTT bumi, masyarakat global menilai bahwa operasionalisasi prinsipprinsip Rio dan agenda 21 masih jauh dari harapan. Masih banyak kendala dalam pelaksanaan agenda 21. Sekalipun demikian masyarakat global masih mengganggap bahwa prinsip-prinsip agenda 21 masih relevan. Kelemahan terletak pada aspek implementasinya. Oleh karena itu Majelis Umum PBB memutuskan adanya World Summit On Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg, Afrika Selatan pada bulan September 2002. Ada 3 tujuan utama diselenggarakannya WSSD yaitu : 1. Mengevaluasi 10 tahun pelaksanaan agenda 21 dan memperkuat komitmen politik dalam pelaksanaan agenda 21 di masa datang 2. Menyusun program aksi pelaksanaan agenda 21 untuk 10 tahun ke depan 3. Mengembangkan kerjasama bilateral dan multilateral Dokumen yang dihasilkan dalam WSSD adalah : 1. Program aksi tentang pelaksanaan Agenda 21 sepuluh tahun mendatang 2. Deklarasi Politik 3. Komitmen berupa inisiatip kemitraan untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan Tiga ciri utama tren kemajuan pelaksanaan Agenda 21 di atas 10 tahun terakhir. Pertama, konsep pembangunan berkelanjutan yang diminta beralih dari fokus pada satu masalah appreciating menuju kompleks interaksi antara berbagai faktor lingkungan dan pembangunan. Kedua, ada gerakan internasional dari atas ke bawah norma-lembaga pengaturan nasionalgedung dan lebih "akar rumput" pendekatan di tingkat pemerintah daerah. Ketiga, Agenda 21

memerlukan tempat berbasis pengetahuan teknis dan ilmiah, yang telah mengakibatkan peningkatan keterlibatan penelitian berbasis lembaga seperti perguruan tinggi dan swasta. d. Millenium Development Goals, 2000 Konferensi Stockholm tahun 1972, konferensi Bumi (UNCED) di Rio de Jeneiro tahun 1992, dan pertemuan puncak pembangunan berkelanjutan (WSSD) tahun 2002 di Johannesburg merupakan upaya masyarakat global untuk meletakkan landasan dan strategi yang bersifat mondial dalam mengatasi kemerosotan kualitas lingkungan hidup yang semakin parah dan memprihatinkan. Kesadaran global juga mengemukan karena ternyata upaya-upaya penanggulangan kemerosotan lingkungan hidup tidak mudah dan bahkan semakin rumit dan saling kait mengkait berbagai apek kehidupan seperti sosial, ekonomi, politik budaya, kemiskinan, ketimpangan antar negara. Selain 3 konferensi/pertemuan puncak para kepala negara/pemerintahan tersebut kiranya perlu dicatat pula suatu komitmen global yang tidak secara khusus membahas dan merumuskan masalah lingkungan hidup, namun kaitannya sangat erat dengan masalah lingkungan hidup yaitu Millenium Development Goals (MDGs). MDGs awalnya dikembangkan oleh OECD dan kemudian diadopsi dalam United Nations Millenium Declaration yang ditandatangani September 2000 oleh 189 negara maju dan berkembang. Komitmen dalam MDGs yang dicetuskan dalam Sidang Umum PBB tahun 2000 mencakup : 1. Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan ,dengan mengurangi setengahnya jumlah penduduk yang berpendapatan kurang US$ 1 per hari. Mengurangi setengahnya jumlah penduduk yang menderita kelaparan. 2. Pemenuhan pendidikan dasar untuk semua, dengan menjamin semua anak dapat menyelesaikan sekolah dasar. Hal tersebut disertai dengan upaya agar anak-2 tetap mengikuti pendidikan di sekolah dengan kulitas pendidikan yang baik. 3. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, dengan menghilangkan perbedaan gender baik pada tingkat sekolah dasar maupun sekolah lanjutan tingkat pertama pada tahun 2005 dan tahun 2015 untuk semua tingkat. 4. Menurunkan angka kematian anak usia di bawah 5 tahun, dengan sasaran menjadi 2/3 nya. 5. Meningkatkan kesehatan ibu, dengan mengurangi ratio kematian ibu menjadi 3/4 nya. 6. Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya, dengan menghentikan dan mulai menurunkan peyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya.

7. Memberikan jaminan akan kelestarian lingkungan hidup, dengan memadukan prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam program dan kebijakan masing-masing negara, menurunkan hilangnya sumber daya alam, mengurangi hingga 1/2 nya penduduk yg selama ini tidak bisa mengakses air bersih secara berkelanjutan, perbaikan secara signifikan terhadap tempat tinggal paling tidak 100 juta tempat tinggal kumuh (slum dwellers) sampai 2020. 8. Mengembangkan kerjasama global dalam pembangunan, antara lain dengan pengembangan sistem perdagangan dan keuangan yang transparan, kepemerintahan yang baik, memperhatikan kebutuhan negara berkembang seperti memberikan kuota export, penghapusan/penundaan pembayaran hutang, bantuan untuk pengentasan kemiskinan, bantuan untuk peningkatan produktivitas kaum muda, akses untuk memperoleh obat-obatan yang penting bagi negara berkembang. 2.2 PERKEMBANGAN AGENDA 21 di Indonesia Indonesia merupakan peserta aktif pada United Nations Conference on Environment and Development (UNCED, juga dikenal sebagai KTT Bumi) di Rio de Janeiro, Brasil pada tahun 1992. Pada tahun 1997, Indonesia mengeluarkan Agenda 21 Nasional yang berisikan rujukan untuk memasukkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam perencanaan pembangunan nasional. UNDP (United Nations Development Programme) telah mendukung pengembangan dan peluncuran agenda 21 Indonesia yang merupakan versi lokal dari agenda 21 global yang diluncurkan dalam KTT Rio. Agenda 21 mendiskusikan ketergantungan pembangunan sosial dan ekonomi pada kelestarian lingkungan dan meletakkan dasar untuk pengesahan perjanjian tentang Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Iklim. Setelah KTT Johannesburg yang mengkaji ulang agenda 21 global, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan bantuan UNDP telah melakukan tinjauan terhadap pelaksanaan Agenda 21 Indonesia untuk meneliti konteks pembangunan berkelanjutan setelah krisis ekonomi. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup kini meletakkan dasar untuk merancang strategi jangka panjang menuju pencapaian tujuan-tujuan agenda 21, terutama komitmen menurut perjanjian tentang keanekaragaman hayati dan perubahan iklim. Proyek ini diberi nama Post UNCED Planning and Capacity Building Activities Project dengan produk utama yaitu dokumen agenda 21 Indonesia (diselesaikan dalam waktu 2 tahun) yang merupakan strategi nasional menuju pembangunan berkelanjutan

berwawasan lingkungan yaitu dengan mengintegrasikan pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan. UNDP berkomitmen membantu Indonesia mengkaji dan melakukan penilaian kapasitas yang didapat semenjak menandatangani kesepakatan agenda 21. Proyek untuk Menilai Sendiri Kapasitas Nasional atau NCSA (National Capacity Self-Assessment) adalah inisiatif di bawah GEF (Global Environment Facility) berupa dukungan kepada negaranegara berkembang dalam mengidentifikasi masalah dan mencari solusi inovatif agar lebih mampu mencapai sasaran Agenda 21. Proses NCSA akan mendukung pengembangan strategi baru ini, dengan fokus khusus pada penguatan kapasitas yang dibutuhkan untuk menetapkan strategi pelaksanaan program-program pengelolaan lingkungan yang lebih baik, termasuk menghentikan laju kerusakan atau degradasi lingkungan. Tekanan untuk merealisasikan otonomi daerah dan kecenderungan baru dalam perdagangan dan perekonomian juga akan menentukan bentuk pendekatan nasional terhadap pengelolaan lingkungan. Agenda 21 Nasional ini kemudian diikuti pula oleh Agenda 21 Sektoral yang dikeluarkan tahun 2000, meliputi sektor pertambangan, energi, perumahan, pariwisata dan kehutanan. Baru-baru ini, beberapa pemerintah daerah telah memulai penyusunan Agenda 21 Lokal yang diharapkan dapat memberi pedoman perencanaan pembangunan di tingkat kecamatan, dan menjadi rujukan bagi berpagai pihak untuk menyusun rencana-rencana aksi. Pelaksanaan Agenda 21 di Indonesia dihadapkan pada berbagai masalah, mulai dari kurangnya kesadaran publik dan pemerintah sampai kurangnya dana dan kemauan politis. 2.3 PELAKSANAAN AGENDA 21 DI INDONESIA Tujuan pembangunan di Indonesia yaitu : (1) meningkatkan produktivitas sumberdaya, (2) menganekaragamkan hasil produksi, (3) memperbaiki tata ruang atau sistem peruntukan sumberdaya, dan (4) memasukkan fungsi konservasi. Pembangunan berkelanjutan hanya dapat diperoleh apabila dilandasi ilmu pengetahuan dan menjadi asas kunci bagi pencapaian pertumbuhan sosial dan ekonomi jangka panjang. Pembangunan tidak terlepas dari agenda 21 negara Indonesia. Agenda 21 sebagai suatu advisory document yang mencangkup aspek kebijakan, pengembangan, program dan strategi

yang meliputi hamper seluruh perencanaan pembangunan bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dalam Agenda 21 Indonesia (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997), strategi nasional untuk pembangunan berkelanjutan terdiri dari 18 bab yang memuat empat program pokok saling mengisi, yaitu : (1) pelayanan masyarakat, (2) pengelolaan limbah, (3) pengelolaan sumberdaya tanah, dan (4) pengelolaan sumberdaya alam. Tiap program pokok diatas terbagi menjadi sejumlah program. Pelayanan masyarakat memuat program (i) pengentasan kemiskinan, (ii) perubahan pola konsumsi, (iii) dinamika kependudukan, (iv) pengelolaan dan peningkatan kesehatan, (v) pengembangan perumahan dan pemukiman, dan (vi) sistem perdagangan global, instrument ekonomi, neraca ekonomi, dan lingkungan terpadu. Pengelolaan limbah memuat program (i) perlindungan atmosfer, (ii) pengelolaan bahan kimia beracun, (iii) pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, (iv) pengeloaan limbah radioaktif, dan (v) pengelolaan limbah padat dan cair. Adapun pengelolaan sumberdaya tanah memuat program (i) penatagunaan sumberdaya tanah, (ii) pengelolaan hutan, (iii) pengembangan pertanian dan pedesaan, dan (iv) pengelolaan sumberdaya air. Sedangkan pengelolaan sumberdaya alam terdiri atas program (i) konservasi keanekaragaman hayati, (ii) pengembangan bioteknologi, dan (iii) pengelolaan terpadu wilayah pesisir dan lautan. Setiap bab atau bagian (4 program pokok) diuraikan latar belakang yang memperkenalkan topik yang akan dibahas, diikuti sejumlah bidang program yang dianggap prioritas bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan berdasarkan dua kerangka waktu (1998-2003) dan (2003-2020). 2.4 Implementasi Program Agenda 21 Indonesia 2.4.1. Pengelolaan Limbah

Berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya alam, Agenda 21 global menawarkan beberapa program aksi guna meningkatkan dan memperbaiki kondisi dan kualitas lingkungan hidup manusia dami terlaksananya pembangunan berkelanjutan dalam menyongsong abad 21. Salah satu program aksi pada agenda 21 adalah pengelolaan limbah. Isu pengelolaan limbah secara langsung merasuk ke hampir semua aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu pembahasannya ditujukan kepada seluruh lapisan masyarakat. Adapun pokok pembahasan dalam pengelolaan limbah mencakup pada limbah padat dan cair, baik di lingkungan industri; pengelolaan dan pengaturan penggunaan bahan kimia beracun dan berbahaya; pengelolaan limbah B3, termasuk limbah rumah sakit dan radioaktif; dan pengelolaan buangan gas hasil kegiatan yang menggunakan minyak bumi dan pembakaran biomassa. 2.4.2. Perlindungan Atmosfir Atmosfir memberikan perlindungan tiga fungsi utama. Pertama sebagai bahan mentah untuk kegiatan manusia. Kedua sebagai tempat pembuangan yang menyerap dan mendaur ulang sisa-sisa kegiatan manusia. Ketiga berfungsi mendukung kehidupan. Oleh karena itu kualitas atmosfir merupakan aset yang harus dilindungi dan dilestarikan. Kemampuan atmosfir memberikan fungsinya dapat terganggu dengan masuknya bahan-bahan pencemar ke udara yang dikeluarkan oleh kegiatan manusia. Untuk mencegah dan mengendalikan hal ini perlu sekali terjadi perubahan pandangan di pihak pemerintah, pihak swasta maupun maupun dimasyarakat luas mengenai: a. Kemampuan atmosfir menerima dan mendaur ulang sisa kegiatan manusia yang terbatas, dimana kegiatan manusia akan mengganggu kemampuan atmosfir menjalankan fungsinya. b. Menurunnya kemampuan atmosfir menjalankan fungsinya akan memberi dampak negatif yang sangat besar dan luas, seperti dapat mengurangi kesehatan, dapat mengurangi efisiensi ekonomi, meningkatnya tekanan sebagian masyarakat guna memperlambat laju pembangunan, dapat mengurangi permintaan barang ekspor indonesia, dan dapat menghambat

atau menurunkan tercapainya target pembangunan ekonomi dan sosial indonesia. c. Biaya yang diakibatkan oleh memburuknya kualitas udara ini sangat besar dan akan melonjak dengan pesat bila kualitas udara makin memburuk d. Permasalahan perlindungan atmosfir selain berskala lokal dan nasional, ia juga mempunyai skala regional dan global. Akibatnya kegiatan yang berkaitan dengan kualitas atmosfir/ udara mempunyai efek dalam hubungan

internasional baik secara politis maupun dalam perdagangan e. Perlu memperhitungkan kaitan kegiatan manusia dengan kualitas udara terutama untuk kegiatan yang diperkirakan akan memberikan dampak yang besar pada kualitas udara. Permasalahan di atas di jabarkan dalam uraian dan analisa empat bidang program. Bidang program pertama menekankan masalah kualitas udara skala lokal dan nasional di mana di bahas pertimbangan lingkungan dan energi dalam sektor-sektor pembangkit tenaga listrik, transportasi, industri, dan rumah tangga. Bidang kedua dan ketiga berkaitan dengan isu global, yaitu isu ozon di stratosfir dan perubahan iklim global bidang keempat berkaitan dengan permasalahan regional, yaitu isu desposisi asam dan pecegahan kebakaran hutan. Sumber pencemaran udara sumber tidak bergerak Sumber pencemaran udara yang berasal dari sumber tidak bergerak, antara lain industri, pemukiman/rumah tangga dan pembakaran sampah. Sedangkan sumber pencemaran udara dari sumber bergerak, adalah dari kegiatan transportasi. Disamping itu, kebakaran hutan dan lahan juga menjadi salah satu penyebab pencemaran Udara di Indonesia. Bahkan kebakaran hutan dan lahan mengganggu kestabilan komposisi gas di atmosfer. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara mengatur bahan pencemar yang perlu dipantau yaitu sulfurdioksida (SO2), karbonmonoksida (CO), nitrogen dioksida (NO2), partikulat berukuran kurang dari 10 mikron (PM10) dan timah hitam (Pb). Pencemaran Udara Dari Sumber Bergerak

Kegiatan transportasi memberikan kontribusi sekitar 70% terhadap pencemaran udara di kota-kota besar. Di Jakarta dan sekitarnya (Jabotabek) jumlah kendaraan bermotor tahun 2000 menurut Polda Metro Jaya-POLRI telah mencapai 4.159.442 unit yang didominasi oleh jenis kendaraan mobil penumpang. Di Bandung jumlah kendaraan bermotor untuk tahun 2000 mencapai 588.640 unit. Jumlah kendaraan tersebut belum termasuk kendaraan yang datang ke Bandung pada setiap akhir pecan sebanyak 10-25%. Kendaraan bermotor yang beroperasi di Indonesia sampai akhir tahun 2001 berjumlah 20,78 juta unit yang terdiri dari 3,1 juta unit mobil penumpang (15%), 684 ribu unit bis (3%), 1,75 juta unit truck (9%), 15,2 juta unit sepeda motor (73%). Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang cukup berarti dari tahun ke tahun mengakibatkan terjadi penurunan kualitas udara ambien yang diakibatkan gas buang yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor tersebut. Walaupun jumlah kendaraan bermotor setiap tahun selalu bertambah (Tabel 3.1), namun panjang jalan baik jalan negara, propinsi maupun kabupaten relatif tidak berubah (Tabel 3.2). Hal inilah menjadi penyebab terjadinya kemacetan di jalan raya yang pada akhirnya menambah parahnya pencemaran udara setempat. Faktor yang mempengaruhi tingginya pencemaran udara dari kendaraan bermotor adalah pesatnya pertambahan jumlah kendaraan bermotor, rendahnya kualitas bahan bakar minyak (BBM) dan masih digunakannya jenis bahan bakar minyak mengandung Pb, penggunaan teknologi lama (sistem pembakaran) pada sebagian besar kendaraan bermotor di Indonesia dan minimnya budaya perawatan kendaraan secara teratur. Kondisi tersebut ditambah oleh buruknya manajemen lalu lintas yang berakibat inefisien dalam pemakaian BBM.

Sumber: Departemen Pertambangan dan energi, 1999 *) Bahan Bakar Bertimbal

Gambar 3.1. Persentase Pemakaian Bahan Bakar Kendaraan Bermotor Tahun 1999/2000. Bahan bakar kendaraan bermotor di Indonesia didominasi oleh premium dan solar. Bahan bakar premium sebagian besar belum ramah lingkungan karena masih menggunakan Pb sebagai peningkat angka oktan yang menjadi penyumbang terbesar pencemaran udara. Upaya Pengendalian Pemantauan Kualitas Udara Ambien Program Langit Biru Pengendalian pencemaran udara dari sarana transportasi kendaraan bermotor meliputi: 1. Pengembangan perangkat peraturan 2. Penggunaan bahan bakar bersih (cleaner fuels 3. Pengembangan bahan bakar alternative

Pengendalian pencemaran udara dari industri Kebijakan Antisipasi Deposisi Asam Kebijakan Antisipasi Perubahan Iklim Kebijakan Perlindungan Lapisan Ozon di Indonesia 2.4.3. Pengelolaan Bahan Kimia Beracun Dalam pengelolaan bahan kimia dan beracun yang menuju konsep pembangunan berkelanjutan tahap awal yang perlu dilakukan adalah menyiapkan seluruh perangkat terkait dari mulai perangkat hukum, pelaksanaan, dan pembinaannya. Langkah penerapannya berfokus pada penyeragaman klasifikasi bahaya, sistem pelabelan dan simbol yang berlaku secara global, memanfaatkan pertukaran informasi secara intensif dengan mengadopsi prosedur PIC (Prior Informed Concern) yang telah diakui secara internasional, mengeliminasi sekecil mungkin resiko, menghindari kemungkinan-kemungkinan kerugian-kerugian secara ekonomik dengan bertumpu pada analisis daur hidup, bahan-bahan kimia, dan meningkatkan kemampuan atau kapasitas nasional dalam mendeteksi dan menekan masuknya produk dan atau bahan kimia yang berbahaya melalui perdagangan global. Guna tercapainya sasaran, maka terdapat empat bidang program yang diususlkan yaitu: 1. Peningkatan kemampuan dan kapasitas nasional dalam pengelolaan bahanbahan kimia 2. penyerasian klasifikasi dan pelabelan bahan-bahan kimia 3. penyebarluasan informasi tentang bahan-bahan kimia beracun dan resikoresiko kimia, dan 4. penurunan resiko dan pencegahan lalulintas domestik maupun internasional yang tidak sah (ilegal) dari produk-produk kimia beracun dan berbahaya oleh karena itu dalam bab ini hanya memfokuskan pada pengelolaan bahan kimia beracun saja, sedangkan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun akan di bahas di bab selanjutnya

Bahan kimia beracun dikenal sebagai bahan kimia yang dalam jumlah kecil dapat menimbulkan keracunan pada manusia atau mahluk hidup lainnya. Umumnya zatzat toksik masuk lewat pernapasan atau kulit, kemudian beredar ke seluruh tubuh atau ke organ-organ tertentu. Tetapi dapat pula zat-zat tersebut berakumulasi, tergantung pada sifatnya, ke dalam tulang, hati, darah atau cairan limpa dan organ lain sehingga akan menghasilkan efek dalam jangka panjang.

BAHAN-BAHAN YANG DAPAT BERUPA RACUN Dalam tulisan ini bahan racun yang dibahas adalah bahan yang termasuk dalam chemical toxicants, atau bahan kimia umum yang bersifat racun. Bahan kimia umum yang sering menimbulkan keracunan adalah sebagai-berikut : Golongan pestida, yaitu organo klorin, organo fosfat, karbamat, arsenik. Golongan gas, yaitu Nitrogen (N2), Metana (CH4), Karbon Monoksida (CO), Hidrogen Sianida (HCN), Hidrogen Sulfida (H2S), Nikel Karbonil (Ni(CO)4), Sulfur Dioksida (SO2), Klor (Cl2), Nitrogen Oksida (N2O; NO; NO2), Fosgen (COCl2), Arsin (AsH3), Stibin (SbH3). Golongan metalloid/logam, yaitu timbal (Pb), Posfor (P), air raksa (Hg), Arsen (As), Krom (Cr), Kadmium (Cd), nikel (Ni), Platina (Pt), Seng (Zn). Golongan bahan organic, yaitu Akrilamida, Anilin, Benzena, Toluene, Xilena, Vinil Klorida, Karbon Disulfida, Metil Alkohol, Fenol, Stirena, dan masih banyak bahan kimia beracun lain yang dapat meracuni setiap saat, khususnya masyarakat pekerja industri. Banyak Negara yang tidak mempunyai atau memerlukan peningkatan sistemsistem nasional untuk mengelola risiko kimia. Sebagian besar Negara masih kekurangan perangkat-perangkat ilmiah untuk mengetahui perihal salah

penggunaan dan untuk penilaian dampak dari bahan-bahan kimia terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.banyak Negara-negara berkembang termasuk Indonesia, perlu untuk mengadakan dan/atau memperkuat kerangka atau elemenelemen dasar untuk pengelolaan bahan-bahan kimia yang ramah

lingkungan.Elemen-elemen dasar untuk pengelolaan bahan-bahan kimia yang ramah lingkungan adalah:

1. adanya hukum yang memadai 2. pengumpulan dan penyebarluasan informasi 3. kapasitas untuk penilaian resiko dan interprestasinya 4. tersedianya kebijakan manajemen resiko 5. kapasitas untuk implementasi dan pendorong pelaksanaannya 6. kapasitas untuk rehabilitasi/ pemulihan tempat-tempat yang terkontaminasi dan orang-orang yang keracunan 7. program-program pendidikan yang efektif 8. kapasitas tanggap darurat 2.4.3. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Sektor industri di bawah pertumbuhan ekonomi yang pesat memegang peranan yang sangat besar sebagai kontributor limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) bukan saja disebabkan oleh industri tersebut, tetapi juga akibat adanya perdagangan antar negara yang memungkinkan memperdagangkan limbah B3 atau produk dan teknologi yang dapat menghasilkan limbah B3. Guna menekan jumlah B3 perlu adanya reorientasi sistem berproduksi, dari pendekatan end of pipe ke pendekatan produksi bersih (Cleaner production) yaitu pendekatan from Craddle to grave pendekatan ini menekan jumlah limbah yang dihasilkan dari mulkai pemrosesan bahan baku hingga barang atau bahan tersebut tidak dapat digunakan lagi. elDalam upaya pengelolaan limbah B3 yang berwawasan lingkungan, maka interaksi antara pranata hukum dan sosial, kelembagaan, kemampuan sumberdaya manusia, penguasaan teknologi dan bahkan advokasi dari LSM akan sangat menentukan keberhasilan dari suatu upaya pengendalian dan pengolahan limbah B3 tersebut. Guna mencapai hal tersebut di atas, maka dapat dilakukan dengan bidang program yang mencakup: 1. pengembangan dan peningkatan pengelolaan limbah B3 yang berwawasan lingkungan dengan prioritas utama pada minimasi limbah 2. pencegahan lintas batas limbah B3 secara ilegal dan kerjasama dalam pengelolaan lintas batas limbah, dan

3. peningkatan dan penguatan kemampuan kelembagaan dalam pengelolaan limbah B3


2.4.4. Pengertian B3 Menurut PP No. 18 tahun 1999, yang dimaksud dengan limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusakan lingkungan hidup dan atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain. 2.4.4.1.Tujuan pengelolaan limbah B3 Tujuan pengelolaan B3 adalah untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai dengan fungsinya kembali. Pengelolaan dan pengolahan limbah B3 Pengelolaan limbah B3 meliputi kegiatan pengumpulan, pengangkutan, pemanfatan, pengolahan dan penimbunan. Setiap kegiatan pengelolaan limbah B3 harus mendapatkan perizinan dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan setiap aktivitas tahapan pengelolaan limbah B3 harus dilaporkan ke KLH. Untuk aktivitas pengelolaan limbah B3 di daerah, aktivitas kegiatan pengelolaan selain dilaporkan ke KLH juga ditembuskan ke Bapedalda setempat. Pengolahan limbah B3 mengacu kepada Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Nomor Kep-03/BAPEDAL/09/1995 tertanggal 5 September 1995 tentang Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (www.menlh.go.id/i/art/pdf_1054679307.pdf)

2.4.4.2.Identifikasi limbah B3 Pengidentifikasian limbah B3 digolongkan ke dalam 2 (dua) kategori, yaitu: Golongan limbah B3 yang berdasarkan sumber dibagi menjadi:
Limbah Limbah Limbah

B3 dari sumber spesifik; B3 dari sumber tidak spesifik; B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan dan

buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi. Sedangkan golongan limbah B3 yang berdasarkan karakteristik ditentukan dengan:
mudah

meledak;

pengoksidasi; sangat sangat

mudah sekali menyala; mudah menyala;

mudah amat

menyala;

sangat beracun; beracun;

sangat

beracun; berbahaya; korosif; bersifat

iritasi; lingkungan;

berbahayabagi karsinogenik; teratogenik; mutagenik.

Uji toksikologi Lethal dose f if ty (LD50) digunakan oleh Indonesia untuk menguji lebih lanjut apakah sebuah limbah berkatagori B3. 2.4. Pengolahan Limbah Radioaktif Pengolahan limbah radioaktif, terutama diperuntukkan bagi perlindungan maksimum bagi mahluk hidup, lingkungan dan ekosistemnya. Untuk menjamin keselamatan dan perlkindungan yang maksimum, maka sebaiknya seluruh pihak yang berkepentingan di dalam pemanfaatan radionuklida (nuklir) mengikuti asas ALARA (As Low As Reasonably Achievable). Guna tercapainya pengelolaan limbah radioaktif yang mengikuti prinsip pembangunan berkelanjutan, maka upaya penerapan teknologi harus layak secara teknis, ekonomis, layak bagi perlindungan lingkungan dan keselamatan yang maksimum terhadap potensi bahaya nuklir saat ini dan masa yang akan datang. Selain itu pemanfaatannya juga harus dapat diterima oleh masyarakat.

Guna pencapaian pengelolaan yang benar-benar terjamin, diusulkan dilakukan dengan menjalankan bidang program yang menekankan kepada : pengelolaan limbah radioaktif yang berwawasan lingkungan. Pengelolaan limbah radioaktif bertujuan untuk meminimalkan dosis radiasi yang diterima penduduk < st="on">medan radiasi. Batasan dosis radiasi dari ICRP (International Commission for Radiation Protection) adalah semua penduduk tidak akan menerima dosis rata-rata 1 rem perorang dalam 30 tahun dari sampah nuklir. Pengelolaan limbah radioaktif sangat memerlukan perhatian khusus, hal ini dikarenakan dapat menyebabkan pencemaran lingkungan, efek somatik dan genetik pada manusia serta efek psikologis pada masyarakat. Tiga unsur dasar dalam pengelolaan limbah radioaktif : Pengelolaan bertujuan untuk memudahkan dalam penanganan selanjutnya. Penyimpanan sementara dan pembuangan atau penyimpanan akhir/lestari. Pengawasan pembuangan dan monitoring lingkungan. Salah satu sifat yang dimiliki oleh sumber radioaktif adalah memiliki umur paruh. Sifat ini sangat menguntungkan karena limbah radioaktif akan berkurang radioakvitasnya seiring dengan waktu dalam bentuk peluruhan dan pengeluaran panas. Pada dasarnya kegiatan pengelolaan limbah radioaktif meliputi tahapan : a. Pengangkutan Limbah Pengangkutan meliputi kegiatan pemindahan limbah radioaktif dari lokasi pihak penghasil limbah menuju ke lokasi pengelolaan limbah PTLR. Kegiatan

pengangkutan harus memenuhi syarat-syarat keamanan dan keselamatan sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Terutama bila lokasi penghasil limbah diluar kawasan PTLR diperlukan ijin Pengangkutan Limbah dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten).

Sarana dan prasarana yang dipakai pada kegiatan pengangkutan Limbah antara lain :
o Alat

angkut: truck, fork lift, crane, hand crane dan sebagainya Cask / Kanister

o Transfer o Pallet. o Alat

monitoring bahaya radiasi dan tanda bahaya lainnya keselamatan kerja

o Tanda

o Sarana o Dan

sarana lain yang diperlukan.

b. Praolah (pretreatment) Praolah adalah kegiatan yang dilakukan sebelum pengolahan agar limbah memenuhi syarat untuk dikelola pada kegiatan pengelolaan berikutnya. Kegiatan ini antara lain meliputi :
o Pengelompokan o

sesuai dengan jenis dan sifatnya.

Preparasi dan analisis terhadap sifat kimia, fisika dan kimia fisika serta kandungan radiokimia

Menyiapkan wadah drum, plastik, lembar identifikasi dan sarana lain yang diperlukan

o Pewadahan

dalam drum 60, 100, 200 liter atau tempat yang sesuai untuk memudahkan pengangkutan dan pengolahan dosis paparan radiasi

o Pengepakan o Pengukuran o Pemberian

label identifikasi dan pengisian lembar formulir isian dari hotcell

o Pengeluaran o

Penempatan dalam kanister sehingga memenuhi kriteria keselamatan pengangkutan

Sarana dan prasarana yang dipakai dalam kegiatan Praolah antara lain :
o Drum

60 liter / 100 liter pelapis bagian dalam drum identifikasi dan lembar isian

o Plastik

o Lembar

o Alat o Alat

monitor radiasi pengepakan

o Kanister o Sarana

keselamatan kerja

3. Pengolahan (treatment) Pengolahan limbah radioaktif di PTLR menggunakan fasilitas utama Kompaktor, Evaporator, Insenerator dan Unit Immobilisasi (lhat gambar dbawah).

Limbah cair organik dan limbah padat terbakar direduksi volumenya dengan cara insenerasi. PTLR mempunyai satu unit insenerator dengan kapasitas pembakaran limbah padat 50 kg/jam atau 20 liter limbah organik cair / jam beserta peralatan sementasi abu dalam drum 100L. Limbah cair diolah dengan cara evaporasi untuk mereduksi volume limbah. PTLR memiliki satu unit evaporator dengan kapasitas olah 0,75 m3/jam dengan ratio pemekatan 50:1. Konsentrat hasil evaporasi dikungkung dalam shell beton 950L dengan campuran semen. Bila limbah cair bersifat korosif maka limbah diolah secara kimia (chemical treatment) sebelum disementasi. Limbah padat termampatkan proses reduksi volumenya dilakukan dengan cara kompaksi. PTLR mempunyai 1 unit kompaktor dengan kekuatan 600 kN, meja getar dan perangkat sementasi. Limbah padat dalam drum 100L dimasukkan dalam drum 200L saat kompaksi. Dengan kuat tekan 600 kN kompaktor PTLR mampu mereduksi 4-5 drum 100L dalam drum 200L. Setelah pengisian batu koral, hasil kompaksi selanjutnya disementasi dalam drum 200L. Limbah padat tak terbakar dan tak termampatkan pengolahannya dimasukkan secara langsung dengan cara sementasi dalam shell beton 350L/950L. Proses imobilisasi atau proses kondisioning dilakukan dengan menggunakan shell beton 350 liter, 950 liter, drum beton 200 liter dan drum 200 liter dengan bahan matriks campuran semen basah. Limbah padat aktivitas tinggi (LAT), limbah aktivitas sedang (LAS) dan limbah aktivitas rendah (LAR) masing-masing diimobilisasi di dalam shell beton 350 liter, 950 liter, drum beton 200 liter dan drum 200 liter. Untuk menunjang kegiatan proses pengolahan ini diperlukan suatu koordinasi kerja yang terpadu diantara tenaga yang terdiri dari proses, penunjang sarana, keselamatan, laboratorium dan administrasi. c. Penyimpanan Sementara Penyimpanan dilakukan sebelum dan sesudah limbah diolah. PTLR memiliki 2 fasilitas penyimpanan, yaitu Interim Storage (IS) dan Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Tinggi (PSLAT).

Shell beton 950L disimpan di IS PSLAT memiliki 2 bentuk; kolam dan sumuran. Drum 60/100L disimpan dalam lokasi berbentuk sumuran. Fasilitas ini memiliki 20 buah sumur, dan masing-masing sumur mampu menampung 6 buah drum 60/100L. Total kapasitas bentuk sumuran adalah 120 drum.

PSLAT Kapasitas penyimpanan limbah P2PLR :

Penyimpanan

Kapasitas 1500 500 Shell 950L drum 200L

Interim Storage (IS) PSLAT

20

Sumur

7,2

m3

3 Kolam = 129,6 m3 Sarana yang diperlukan antara lain :


o Tempat

penyimpanan sementara limbah aktivitas tinggi Cask Magnetik trasportasi: truck, fork lift, crane, hand crane

o Transfer

o Peralatan o Crane

/ hand crane informasi managemen limbah

o Sistem o Alat

monitor radiasi

o Peralatan o Dan

keselamatan kerja

sarana lain yang diperlukan

Untuk mengetahui kriteria limbah yang memenuhi kriteria keselamatan untuk dikelola lebih lanjut maka dilakukan inspeksi dan pemantauan secara rutin selama penyimpanan. 2.5. Pengelolaan Limbah Padat dan Cair Limbah Padat dan Cair yang di maksdud pada bab ini meliputi limbah rumah tangga atau limbah domestik dan limbah industri yang tidak beracun dan berbahaya Pengelolaan Llimbah Padat dan cair dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan mempunyai prinsip bahwa limbah tidak boleh terakumulasi di alam sehingga mengganggu siklus materi dan nutrien, bahwa pembuangan limbah harus di batasi pada tingkat yang tidak melebihi daya dukung lingkungan untuk menyerap pencemaran dan sistem tertutup penggunaan materi seperti daur ulang dan pengomposan harus dimaksimasi. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, maka dapat diidentifikasi empat komponen atau bidang program yang perlu dilaksanakan yaitu: 1. Minimasi limbah minimasi limbah adalah upaya mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas, dan tingkat bahaya limbah yang berasal dari proses produksi, dengan jalan reduksi pada sumbernya dan atau pemanfaatan limbah Minimasi limbah dapat dilakukan dengan dua cara (Higgins 1989): 1. Reduksi limbah pada sumbernya (Source Reduction): Memperbaiki pelaksanaan house keeping Segregasi limbah Pemeliharaan peralatan (preventive maintenance) Pengelolaan inventaris (inventory management) Modifikasi atau substitusi bahan Pengaturan kondisi proses dan operasi yang baik Modifikasi proses atau alat

2. pemanfaatan limbah (waste utilization): penggunaan kembali (reuse) daur ulang (recycle) pengambilan kembali (recovery) pemulihan/pengkondisian kembali (recharge/reconditioning) 2. Maksimasi daur ulang dan pengomposan
Proses pengomposan (composting) adalah proses dekomposisi yang dilakukan oleh mikroorganisme terhadap buangan organik yang biodegradable. Pengomposan dapat dipercepat dengan mengatur faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga berada dalam kondisi yang optimum untuk proses pengomposan. Secara umum, tujuan pengomposan adalah: Mengubah bahan organic yang biodegradable menjadi bahan yang secara biologi bersifat stabil dan demikian mengurangi volume dan massanya. b. Bila prosesnya pembuatan secara aerob, maka proses ini akan membunuh bakteri pathogen telur serangga, dan mikroorganisme lain yang tidak tahan pada temperature si atas temperature normal. Memanfaatkan nutrient dalam buangan secara maksimal seperti nitrogen, phosphor, potassium. Menghasilkan produk yang dapat digunakan untuk memperbaiki sifat tanah. Beberapa manfaat kompos dalam memperbaiki sifat tanah adalah: Memperkaya bahan makanan untuk tanaman Memperbesar daya ikat tanah berpasir Memperbaiki struktur tanah berlempung Mempertinggi kemampuan menyimpan air Memperbaiki drinase dan porositas tanah Menjaga suhu tanah agar stabil

Mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara Dapat meningkatkan pengaruh pupuk buatan.

Daur ulang (recycle) adalah upaya pemanfaatan limbah melalui pengolahan fisik atau kimiawi untuk menghasilkan kualitas produk yang lebih tinggi (up cycle), sama atau kualitas produk yang lebih rendah (down cycle). 3. Meningkatkan tingkat pelayanan
Persampahan Permasalahan Yang Timbul Dalam Pengelolaan Persampahan

Permasalahan pengelolaan sampah di Indonesia telah sedemikian kompleks yang melibatkan pelaku-pelaku utama pengelolaan sampah, yaitu: 1. Masyarakat : orang perorang maupun komunitas masyarakat 2. Pemerintah : Pemerintah dan pemerintah daerah 3. Pelaku Usaha : produsen, penjual, pedagang, jasa

Permasalahan-permasalahan tersebut saling terkait sehingga memerlukan pendekatan komprehensif dan melibatkan semua pelaku utamanya. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut sudah saatnya disusun suatu Peraturan Perundang-undangan Pengelolaan Sampah yang menjadi dasar hukum peraturan-peraturan teknis di bidang pengelolaan sampah serta menjadi dasar tindak pengelolaan sampah yang mengikat masyarakat, baik orang perorang maupun komunitas, pemerintah, dan Pelaku Usaha. (RUU Pengelolaan Sampah). Kebijakan tentang sampah Kebijakan Nasional Pengelolaan Limbah Padat Dan Cair (AGENDA 21) Kebijakan nasional dalam penanganan dan pengelolaan limbah padat dan cair mengacu pada Agenda 21 sebagai berikut. Bidang Program A - Minimasi LimbahPeriode 1998 2003 Menetapkan minimasi limbah sebagai salah satu tujuan utama pengelolaan limbah Menyusun dan menetapkan target untuk manimasi limbah pada sector industrilkomersil, pengemasan, dan rumah tangga Mengurangi dan/atau memusnahkan limbah yang masih perlu dibuang Meningkatkan kesadaran dan peranserta masyarakat dalam usaha minimasi limbah Periode 2003 2020 Melaksanakan dan mencapai target minimasi limbah

Melaksanakan program-program yang dicanangkan untuk merubah perilaku konsumsi masyarakat luas secara fundamental guna mencapai usaha minimasi limbah

Bidang Program B - Maksimasi Daur Ulang dan Pengomposan Limbah yang Ramah Lingkungan Periode 1998 2003 Memperkuat komitmen pemerintah, khususnya departemen terkait seperti Departemen PU untuk mengikutsertakan daur ulang dan pengomposan dalam strategi pengelolaan limbah Tercapainya tingkat daur ulang dan pengomposan yang berarti di kota-kota terpilih. Beberapa perkiraan akan tingkat daur lang dan pengomposan yang layak secara teknologi maupun ekonomis memberikan angka masing - masing 15 - 25 % dan 20 - 40 % dari total sampah Periode 2003 2020 Tercapainya tingkat daur ulang dan pengomposan yang optimum pada tahun 2020 Bidang Program C - Peningkatan Tingkat Layanan Umum Jangka Panjang Terlayaninya seluruh masyarakat dengan system yang akrab lingkungan Periode 1998 2003 Meningkatkan tingkat pelayanan umum sampah menjadi 70 - 80 % untuk kota sedang dan kecil serta 90 - 100 % untuk kota metropolitan dan besar Meningkatkan pelayanan umum sanitasi menjadi 85 - 95 % untuk kota metropolitan, kota besar, dan kota sedang serta 75 % untuk kota kecil dan pedesaan Periode 2003 2020 Mencapai tingkat pelayanan umum kepada seluruh masyarakat, baik untuk sampah, limbah cair, maupun tinja untuk seluruh jenis pemukiman Bidang Program D - Promosi Pembuangan dan Pengolahan Limbah yang Akrab Lingkungan Periode 1998 2003 Untuk limbah industri, pada tahun 2005 semua limbah harus sudah diolah sampai ke tingkat yang memenuhi baku mutu limbah Untuk persampahan, semua sampah harus dibuang dengan cara yang akrab lingkungan, TPA yang ada sudah harus mulai diperbaiki kondisi dan system operasinya. Periode 2003 - 2020 Semua limbah padat, limbah cair, maupun limbah industri harus diolab dan dibuang sedemikian rupa sehingga memenuhi baku mutu limbah dan baku mutu lingkungan, dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dari semua badan penerima, baik air, tanah, maupun udara.

4. Meningkatkan pengolahan dan pembuangan limbah yang ramah lingkungan Agar mendapatkan hasil yang efektif, keempat program area ini perlu direncanakan dan dilaksanakan secara terintegrasi dan dengan menggunakan instrumen ekonomi. 2.4.4 Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) (i) Konservasi Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman hayati disebut juga Biodiversitas. Keanekaragaman atau keberagaman dari makhluk hidup dapat terjadi karena akibat adanya perbedaan warna, ukuran, bentuk, jumlah, tekstur, penampilan dan sifat-sifat lainnya. Sedangkan keanekaragaman dari makhluk hidup dapat terlihat dengan adanya persamaan ciri antara makhluk hidup. Agenda 21 Indonesia program konservasi keanekaragaman hayati fokus pada pengelolaan kekayaan hayati indonesia secara berkelanjutan yang meliputi ekosistem darat dan laut, kawasan agroekosistem dan kawasan produksi, serta konservasi ex-situ. Usaha-usaha dalam pencapaiannya dilakukan melalui 5 bidang Program, yaitu: 1. Meningkatkan pembentukan sistem kawasan lindung berikut pengelolaan secara efektif 2. Melestarikan keanekaragaman hayati pada kawasan argoekosistem dan kawasan nonlindung/produksi 3. Pelestarian keanekaragaman hayati secara ex-situ 4. Melindungi sistem pengetahuan masyarakat tradisional serta meningkatkan seluruh sistem pengetahuan yang ada tentang konservasi dan keanekaragaman hayati 5. Mengembangkan dan mempertahankan sistem pengelolaan keanekaragaman hayati berkelanjutan, termasuk pembagian keuntungan yang adil. Indonesia merupakan salah satu sumber keanekaragaman hayati terbesar di dunia dan sering kali dikenal sebagai negara mega biodiversity. Menurut WCMC (1994) Indonesia memiliki 10 persen spesies tanaman bunga, 12 persen spesies mamalia dan 17 persen spesies burung dan sekitar 47 jenis ekosistem. Sebagian besar penduduk Indonesia tergantung pada keanekaragaman hayati untuk kelangsungan hidupnya. Berdasarkan pengetahuan tradisional mereka, sejumlah masyarakat di Indonesia memanfaatkan lebih dari 6000 spesies tanaman dan hewan setiap harinya (Bappenas, 1993). Indonesia juga memiliki daftar terpanjang spesies flora dan fauna yang terancam punah dan menghadapi penipisan keanekaragaman hayati yang serius. Sekitar 20-70 persen jenis habitat asli telah lenyap. Setiap harinya diperkirakan terdapat satu species yang punah, sementara erosi genetika terjadi tanpa tercatat. Penyebab kerusakan keanekaragaman ini diantaranya adalah kebijakan dan strategi ekonomi yang tidak sesuai, lemahnya penegakan hukum, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, pengenalan spesies asing dan kebijakan pertanian yang tidak sesuai (Bappenas, 1993). Akar permasalahannya adalah kebijakan pembangunan di Indonesia yang selama 40 dekade belakangan ini belum

menganggap keanekaragaman hayati sebagai aset untuk dikelola secara berkelanjutan. Hal ini jelas terlihat pada kebijakan yang mengatur pembangunan nasional serta sektoral seperti kehutanan dan pertanian. Meskipun pada kenyataannya aset negara sesungguhnya adalah sumber keanekaragaman hayati, pembangunan nasional lebih memberikan penekanan pada industrialisasi. Di sektor pertanian, praktek monokultur khususnya tanaman pangan telah mengakibatkan erosi genetika dan spesies. Di sektor kehutanan penekanan pada pengambilan kayu dan perkebunan kayu dengan penanaman sedikit spesies, bahkan seringkali spesies asing, telah mengakibatkan degradasi ekosistem maupun erosi spesies. Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa usaha untuk melindungi dan mengelola keanekaragaman hayati dengan berkelanjutan. Salah satu usaha adalah dengan menyisihkan sebagian kawasan hutan untuk tujuan konservasi. Indonesia memiliki 387 kawasan lindung/konservasi, meliputi 357 unit (sekitar 17,8 juta hektar) di daratan dan 30 unit di kawasan laut. Namun pengelolaan kawasan lindung, khususnya dalam hal menjamin partisipasi masyarakat, penegakan hukum dan alokasi anggaran masih kurang dan oleh karena itu beberapa dari kawasan lindung di Indonesia terancam oleh perburuan, penangkapan ikan, penebangan pohon dan pemungutan sumber daya hutan secara ilegal, dan konflik dengan masyarakat lokal. Usaha konservasi eks-situ juga telah dilakukan melalui kebun raya dan koleksi plasma nuftah di berbagai lembaga penelitian publik seperti Pusat Penelitian Biologi yang berada di bawah LIPI. Komite Nasional Konservasi Plasma Nuftah (KNKPN) telah dibentuk untuk memfasilitasi konservasi sumber daya genetika melakui koleksi dan penyadaran masyarakat. Di awal tahun 1990an, KMNLH mengembangkan Strategi Nasional Keanekaragaman Hayati yang diikuti oleh kompilasi Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati oleh Bappenas di tahun 1993. Kedua dokumen tersebut dimaksudkan untuk digunakan sebagai petunjuk pengelolaan keanekaragaman hayati oleh berbagai sektor di masyarakat. Namun demikian, upaya diseminasi kedua dokumen tersebut masih kurang dilakukan. Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati, misalnya, ditulis dalam Bahasa Inggris dan banyak lembaga pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat belum mengetahui keberadaannya. Suatu proses untuk memperbaharui dan merevisi Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati sedang dilakukan melalui Rencana Aksi dan Strategi Keanekaragaman Hayati Indonesia (Indonesian Biodiversity Strategy dan Action Plan, IBSAP), oleh Bappenas dengan bantuan dari GEF.

IBSAP akan ditulis dalam Bahasa Indonesia dan akan mencoba untuk melibatkan partisipasi dan konsultasi yang lebih luas. Indonesia juga mengembangkan dua peraturan dasar berkaitan dengan pengelolaan keanekaragaman hayati. Yang pertama adalah UU No. 5/1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Yang kedua adalah UU No. 5/1994 mengenai Ratifikasi Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention of Biodiversity, CBD). Sebagai tambahan, Indonesia juga telah meratifikasi beberapa konvensi yang terkait seperti CITES dan Konvensi Ramsar. Indonesia juga telah menandatangani Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati. Namun demikian, seperti halnya banyak undang-undang di Indonesia, belum ada peraturan pelaksanaan yang diterbitkan membuat penegakan hukum menjadi sulit. Pengaturan kelembagaan untuk pengelolaan

keanekaragaman hayati hampir-hampir tidak ada, terutama karena hal ini menjadi tanggung jawab berbagai departemen. KMLH mempunyai peran dalam kordinasi kebijakan dan merupakan focal point untuk CBD. Departemen Kehutanan bertanggung jawab terhadap kawasan-kawasan konservasi, sementara Departemen Pertanian bertanggung jawab terhadap keanekaragaman hayati pertanian dan pengenalan varietas baru bibit yang mungkin berdampak terhadap sumber daya genetika, misalnya bibit yang dimodifikasi secara genetik. Departeman Kelautan dan Perikanan yang baru dibentuk bertanggung jawab terhadap ekosistem pantai dan laut. Hal ini telah menyebabkan sulitnya kordinasi program dan strategi, dengan kepentingan dan urusan masing-masing sektor. Usaha-usaha penelitian dan pengembangan manajemen keanekaragaman hayati masih kurang akibat tidak memadainya pendanaan dan sumber daya manusia. Hal ini telah diatasi, sampai batas-batas tertentu, melalui kerjasama bilateral dan multilateral. Contohnya, GEF dan Bank Dunia menyediakan dana untuk proyek Inventarisasi Keanekaragaman Hayati Nasional dan Manajemen Terumbu Karang. Proyek pertama ditujukan untuk menyediakan informasi tentang status dan potensi keanekaragaman hayati Indonesia, sedangkan proyek kedua ditujukan secara khusus pada manajemen terumbu karang. Pada kenyataannya, aksi dan penelitian manajemen keanekaragaman hayati telah banyak mendapatkan dukungan dari masyarakat internasional, tidak hanya untuk penelitian tetapi juga program-program manajemen keanekaragaman hayati. Sayang sekali, proyek-proyek tersebut belum direncanakan dan dilaksanakan dengan baik, seringkali tanpa partisipasi publik. Proyek Inventarisasi Keanekaragaman Hayati, misalnya, telah gagal untuk menyediakan informasi yang mudah digunakan kepada publik mengenai kekayaan hayati Indonesia. Masalah lain adalah kurangnya partisipasi masyarakat

dalam manajemen keanekaragaman hayati. Hal ini disebabkan terutama oleh kenyataan bahwa peraturan pemerintah sering mengabaikan hak adat atas sumber daya nasional dan pengetahuan tradisional mengenai sumber daya hayati. Hal ini telah mengakibatkan erosi baik sumber daya hayati maupun pengetahuan hayati itu sendiri, meskipun saat ini telah diakui secara luas bahwa pengetahuan tradisional sangat berharga untuk pengembangan produk-produk hayati baru khususnya obat-obatan. Walaupun banyak menghadapi masalah, perkembangan menjanjikan tengah berlangsung di antara masyarakat sipil dan kelompok-kelompok masyarakat, terutama dalam hal pemberdayaan masyarakat dan hidupnya kembali pengetahuan dan sistem tradisional tentang pengelolaan keanekaragaman hayati. Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati), suatu lembaga donor nasional dengan dana dari USAID, telah memfasilitasi banyak proyek konservasi keanekaragaman hayati berbasis masyarakat melalui jaringan yang dibentuknya dengan ornop dan kelompok-kelompok masyarakat. Demikian pula GEF - Small Grants Program juga telah mendukung usaha-usaha masyarakat berskala kecil. Beberapa ornop saat ini aktif terlibat dalam pengelolaan keanekaragaman hayati baik melalui kegiatan informasi dan kebijakan atau pemberdayaan masyarakat. Jaringan untuk Pengetahuan lokal (the Network for Traditional Knowledge), misalnya, memfasilitasi masyarakat untuk

menghidupkan lagi pengetahuan mereka tentang keanekaragaman hayati. Namun masih banyak yang harus dikerjakan dalam rangka tercapainya pengelolaan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan. Mengacu pada kondisi keanekaragaman hayati yang saat ini menghadapi ancaman yang cukup serius karena menyusutnya habitat alami dan meningkatnya aktivitas perburuan dan perdagangan liar sejumlah satwa, maka agenda pelestarian keanekaragaman hayati yang perlu dilakukan sebagai berikut: Diperlukan kajian dan pemantauan untuk menentukan kembali jenis spesies yang saat ini terancam punah agar perundang-undangan yang ada dapat diperbarui. Faktorfaktor yang mengancam keanekaragaman hayati selama ini semakin banyak sehingga diperkirakan terjadi perubahan status spesies yang selama ini dianggap tidak terancam punah maupun yang sudah ditetapkan sebagai spesies dilindungi. Pengelolaan keanekaragaman hayati memerlukan penguatan akan pemahaman, peran dan tanggung jawab pemerintah daerah, khususnya di daerah-daerah perbatasan, sehingga perlu upaya peningkatan kapasitas pemerintah daerah. Pemerintah perlu mendukung beberapa kepala daerahkabupaten yang berkomitmen menetapkan daerahnya sebagai kabupaten konservasi. Pemerintah provinsi dan pemerintah pusat

perlu memantau perkembangannya dengan menggunakan seperangkat kriteria dan indikator, termasuk landasan hukumnya, agar dapat dikembangkan insentif ekonomi di masa yang akan datang. Satu masalah yang sangat penting adalah kecenderungan global yang berkaitan dengan pengelolaan keanekaragaman hayati. Di tingkat internasional, dengan kemajuan bioteknologi dan peraturan paten yang berkaitan dengan perdagangan (seperti Aspek Perdagangan dari Hak-hak Kepemilikan Intelektual Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, TRIPS), pengelolaan keanekaragaman hayati tidak lagi hanya merupakan isu lingkungan. Isu politik ekonomi dan pertanyaan tentang kepemilikan, akses, penggunakan dan pembagian keuntungan serta potensi dampak dari bioteknologi baru harus diperhatikan. Pengelolaan keanekaragaman hayati melibatkan tidak hanya materi hayati tapi juga pengetahuan hayati, bioteknologi, kebijakan dan kelembagaan. Indonesia harus

memperhatikan isu penting ini bila ingin mempunyai peran dalam pembangunan global. Adapun rekomendasi yang dapat dilakukan dalam perbaikan pelaksanaan agenda 21, pengelolaan keanekaragaman hayati adalah : Pemerintah harus mereformasi kebijakan, memperkuat lembaga-lembaga dan memfasilitasi penggunaan teknologi yang tepat untuk pengelolaan keanekaragaman hayati, dengan mempertimbangkan kecenderungan global dalam pengembangan bioteknologi, komoditas berbasis sumber daya hayati dan peraturan global lainnya. Pemerintah harus mengakui dan memberikan perlindungan untuk pengetahuan tradisional mengenai keanekaragaman hayati serta menciptakan mekanisme untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan keanekaragaman hayati, terutama yang didasarkan pada pembagian keuntungan yang adil. Memperbaiki kesadaran publik dan juga akses informasi tentang isu-isu

keanekaragaman hayati sebagai bagian dari manajemen keanekaragaman hayati. Menyelesaikan proses yang tengah berlangsung untuk mengkompilasi Rencana Aksi dan Strategi Keanekaragaman Hayati Indonesia, dengan memperhatikan rekomendasirekomendasi di atas, dan melaksanakan hasil akhirnya. Meratifikasi Protokol Cartagena mengenai Keamanan Hayati. (ii) Pengembangan Bioteknologi

Bioteknologi adalah cabang ilmu yang mempelajari pemanfaatan makhluk hidup (bakteri, fungi, virus, dan lain-lain) maupun produk dari makhluk hidup (enzim, alkohol) dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa. Dewasa ini, perkembangan bioteknologi tidak hanya didasari pada biologi semata, tetapi juga pada ilmu-ilmu terapan dan murni lain, seperti biokimia, komputer, biologi molekular, mikrobiologi, genetika, kimia, matematika, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, bioteknologi adalah ilmu terapan yang menggabungkan berbagai cabang ilmu dalam proses produksi barang dan jasa. Agenda 21 program pengembangan bioteknologi difokuskan pada pemecahan masalah pertanian, kesehatan, dan lingkungan yang merupakan prioritas di indonesia dengan pendekatan bioteknologi yang dilaksanakan melalui lima bidang program, yaitu : 1. Bioteknologi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan, pakan, dan bahanbahan terbarukan 2. Bioteknologi kedokteran untuk peningkatan derajat kesehatan dan kualitas hidup serta perbaikan lingkungan 3. Bioteknologi lingkungan 4. Pengembangan prasarana bioteknologi 5. Pedoman kemananan biologis (iii) Pengelolaan sumber daya terpadu wilayah pesisir dan pantai Indonesia adalah negara yang berbentuk kepulauan dengan laut seluas 3,1 juta km2 dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 juta km2. Dengan sekitar 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 81.000 km, Indonesia dikenal sebagai negara mega biodiversity dalam hal genetik, spesies, serta ekosistem laut dan pantai. Sumber daya laut dan pantai Indonesia mempunyai peran yang penting dalam ekonomi, memberi kontribusi sebesar Rp. 43,3 trilyun atau sekitar 24 persen GDP di tahun 1990, dan memberi lapangan pekerjaan untuk 16 juta orang. Sumber daya pesisir dan laut adalah cadangan sumber daya alam sebagai modal pembangunan di masa yang akan datang. Namun telah terjadi kerusakan pesisir yang signifikan di beberapa tempat dan ada praktek-praktek eksploitasi yang kurang berwawasan

lingkungan sehingga mengancam keberlanjutan fungsi lingkungan hidup dan daya dukung sumber daya pesisir dan laut. Untuk itu perlu dikembangkan agenda yang berkaitan dengan pendataan sumber daya pesisir dan laut dan degradasinya, serta aksesibilitas informasinya. Dengan data dan informasi yang memadai diharapkan akan diketahui seberapa mendesaknya upaya konservasi sebagai pencadangan sumber daya bagi pembangunan di masa depan. Data mengenai alokasi ruang bagi konservasi pesisir merupakan kriteria bagi penyusunan rencana tata ruang. Rencana tata ruang itu menjadi dasar penentuan agenda pembangunan wilayah pesisir yang berkelanjutan. Selain itu, juga perlu agenda yang bertujuan meningkatkan produktifitas pesisir yang dipengaruhi oleh kondisi ekologinya. Agenda itu antara lain upaya pencegahan dan penanggulangan perusakan serta pemulihan lingkungan, pencegahan pencemaran air laut serta pemulihan kualitasnya. Kondisi pesisir juga dipengaruhi oleh sumber-sumber pencemaran dari daratan, termasuk yang melalui aliran air sungai, maka perlu mengendalikan sumber-sumber pencemaran di daratan. Kemungkinan pencemaran akibat kecelakaaan transportasi laut, khususnya transportasi yang mengangkut bahan berbahaya beracun (B3), memerlukan agenda contingency plan. Selain itu, sumber daya laut dan pantai di Indonesia juga berada di bawah ancaman serius, berkisar dari penurunan persediaan ikan yang serius akibat penangkapan ikan yang berlebihan hingga tingkat polusi pantai yang parah, hilangnya kawasan-kawasan utama habitat dan ekosistem pantai, dan kerusakan besar-besaran terumbu karang. Di seluruh Indonesia, sekitar 58 persen dari total batas penangkapan ikan maksimum yang berkelanjutan (maximum sustainable yield, MSY) dieksploitasi. Persediaan ikan sudah sangat menipis di beberapa kawasan, termasuk di dalam ZEE. Penangkapan ikan tidak hanya dilakukan oleh nelayan Indonesia, namun juga oleh nelayan asing. Penangkapan ikan ilegal oleh nelayan asing menyebabkan kerugian sebesar US$1,5 hingga 4 milyar per tahun. Berkaitan dengan terumbu karang, kajian terhadap bentang terumbu karang hidup, diperkirakan hanya sekitar 6,2 persen dari seluruh terumbu karang yang masih dalam keadaan sangat baik, 23,7 persen dalam keadaan baik, 28,3 persen cukup baik dan 41,8 persen rusak. Umumnya, kerusakan terumbu karang disebabkan oleh praktek-praktek penangkapan ikan yang merusak dengan menggunakan bahan peledak atau racun (sianida), dan juga kegiatan penambangan karang, reklamasi pantai, kegiatan wisata, dan sedimentasi akibat dari meningkatnya erosi lapisan atas tanah. Situasi serupa terjadi pada mangrove. Antara tahun 1982 dan 1993, terjadi

penurunan luas hutan mangrove dari 5,2 juta hektar menjadi sekitar 2,5 juta hektar akibat dari intensifikasi konversi mangrove menjadi pertambakan, kawasan perindustrian dan pemukiman. Masalah-masalah di atas sebagian disebabkan oleh tidak adanya peraturan yang jelas mengenai rencana tata ruang pantai dan laut dan kemiskinan masyarakat yang tinggal di pantai, yang merupakan penduduk termiskin di Indonesia. Pembangunan kawasan laut dan pantai belum direncanakan dengan baik dan jarang melibatkan masyarakat lokal. Lebih lanjut, banyaknya sektor yang terlibat atau memiliki kepentingan dalam pemanfaatan laut dan pantai, yaitu perikanan, pertambangan dan energi, perhubungan, industri dan pariwisata. Setiap sektor menyusun rencananya masing-masing sesuai dengan kebijakan dan fungsinya, tanpa kordinasi antar sektor dan partisipasi pihak-pihak lain. Sementara itu, sistem pengelolaan sumber daya laut dan pantai berbasis masyarakat belum cukup, bahkan tidak diakomodasi dalam kebijakan dan program pemerintah yang berkaitan dengan manajemen sumber daya laut dan pantai. Untuk mengatasi masalah tersebut, sejumlah proyek dan kebijakan telah diambil. Diantaranya, Perencanaan dan Evaluasi Sumber Daya Laut (Marine Resources Evaluation and Planning, MREP),dan Manajemen dan Rehabilitasi Terumbu Karang (Coral Reef Rehabilitation and Managemen). Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB mengenai Hukum Laut di tahun 1982 melalui UU No.17 tahun 1985. Pemerintah juga mengeluarkan beberapa peraturan perundangan seperti UU No.6/1996 mengenai Perairan Indonesia; UU No.24/1992 mengenai Rencana Tata Ruang; UU No. 9/1985 mengenai Perikanan, yang juga menetapkan pemantauan terhadap sumber daya terumbu karang dan lain-lain. Penegakan hukum, seperti halnya dengan yang terjadi di banyak sektor lain, masih merupakan masalah besar, sebagian juga disebabkan oleh tidak adanya peraturan pelaksana. Untuk mengkordinasi kegiatan dalam pengelolaan laut dan pantai, pemerintah telah membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan. Departemen ini memfokuskan kegiatannya pada empat program utama, yaitu pemanfaatan yang berkelanjutan, konservasi, mempromosikan partisipasi publik dan merencanakan tata ruang. Masih terlalu awal untuk memperkirakan keberhasilan departemen ini dalam memajukan pembangunan laut dan pantai yang berkelanjutan, maka langkahlangkah perlu diambil untuk mencapai tujuan tersebut. Adapun tidakan rekomendasi yang dapat diusulkan untuk perbaikan pelaksanaan agenda 21 pengelolaan sumber daya terpadu wilayah pesisir dan pantai adalah :

Memberlakukan peraturan perundangan untuk konservasi dan perikanan. Mempromosikan rencana tata ruang terinci berdasarkan pertimbangan aspek sosial, ekonomi dan ekologis dengan melibatkan masyarakat lokal, khususnya masyarakat miskin. Mempromosikan pengelolaan laut dan pantai terpadu melalui penguatan kapasitas, dan perbaikan akses terhadap teknologi-teknololgi survei dan pemantauan. Memperkenalkan kembali praktek-praktek perlindungan perikanan tradisional yang dapat diadaptasi. Mengembangkan pembangunan sumber daya laut dan pantai partisipatif yaitu yang transparan, dapat dipertanggungjawabkan, efektif dan dilakukan sesuai peraturan. Mengembangkan strategi pro masyarakat miskin untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan bagi para nelayan. Mendesak masyarakat internasional, organisasi internasional dan lembaga-lembaga khusus untuk mengambil tindakan-tindakan konkrit 2.5. Kendala-kendala utama dalam pelaksanaan agenda 21 Indonesia Seperti halnya negara-negara lain, terutama negara sedang berkembang, Indonesia menghadapi banyak kendala dalam melaksanakan Agenda 21 dan pembangunan berkelanjutan nasional. Kendala-kendala ini perlu diidentifikasi sehingga dapat diperhatikan dalam perencanaan pembangunan di masa yang akan datang. Bagian berikut ini menjabarkan kendala-kendala nasional dan internasional dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. 2.5.1. Kendala Nasional Kendala utama dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di Indonesia adalah tidak adanya pemerintahan yang akuntabel/dapat dipertanggunggugatkan, representatif dan demokratis, atau secara keseluruhan disebut sebagai pemerintahan yang baik. Prasyarat untuk pembangunan berkelanjutan adalah pemerintah yang demokratis dimana terdapat mekanisme pemeriksaan dan pengawasan (checks and balances). Atmosfer politik dimana warga negara dapat dengan bebas terlibat dalam dialog untuk menentukan kebijakan merupakan hal yang sangat penting, tapi tidak ada sebelum tahun 1998. Mengikuti perubahan kepemimpinan politik, terjadi proses demokratisasi, sebagai contoh adalah dicabutnya RUU yang membatasi kebebasan mengemukakan pendapat dan berserikat. Kurangnya konsultasi publik ditambah dengan penekanan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi menghasilkan kebijakan-kebijakan yang tidak mendukung pembangunan

berkelanjutan. Kendala-kendala lain yang dijabarkan di bawah ini masih berkaitan dengan isu pemerintahan diantaranya : a. Tidak adanya kesadaran dan platform bersama Pada umumnya tidak ada kesadaran baik mengenai Agenda 21 maupun pembangunan berkelanjutan di antara pegawai pemerintah, masyarakat dan pengusaha, bahkan akademisi disebabkan oleh kurangnya usaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat umum mengenai pentingnya Agenda 21. Sebagai akibatnya Agenda 21 Nasional, yang memberikan arahan dalam merencanakan pembangunan berkelanjutan di tingkat nasional, lokal dan sektoral, belum sepenuhnya dilaksanakan. Pemerintah belum menyusun kebijakan-kebijakan yang terintegrasi, apalagi memfasilitasi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Kurangnya kesadaran bersama mengenai apa yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan dan bagaimana cara untuk melaksanakannya. b. Pendekatan pembangunan yang tersentralisasi dan terfragmentasi. Sebagian besar keputusan penting ditentukan oleh pemerintah pusat, sehingga hanya menyisakan ruang yang sangat sempit bagi pemerintah daerah dalam merencanakan pembangunan berdasarkan potensi dan kebutuhan lokal. Meskipun Indonesia telah meratifikasi berbagai perjanjian lingkungan dan bahkan telah menyusun undang-undangnya, namun implementasinya tidak efektif karena dua alasan: pertama, undang-undang sektoral belum memperhatikan peraturan-peraturan lingkungan; kedua, seringkali undang-undang lingkungan tidak diikuti oleh petunjuk pelaksanaannya sehingga penegakan dan pematuhannya masih lemah c. Kurangnya kemauan politik, kapasitas lembaga dan penegakan hokum. Proses pengambilan keputusan dalam struktur pemerintah belum sepenuhnya transparan dan sering tidak melibatkan partisipasi pihak-pihak terkait. Keadaan diperburuk dengan kurangnya akses untuk mendapatkan informasi. d. Tidak tersedianya ruang untuk keterlibatan kelompok-kelompok utama. proses pembangunan di Indonesia dilakukan dari atas ke bawah (top-down) dengan mengesampingkan partisipasi kelompok-kelompok utama. Hal ini merupakan salah satu penyebab bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia tidak pernah mendengar mengenai Agenda 21 atau pembangunan berkelanjutan dan juga komitmen-komitmen internasional yang telah dibuat pemerintah. Hal ini juga berarti pemerintah belum memanfaatkan potensi kelompok-kelompok utama untuk menjamin pelaksanaan pembangunan berkelanjutan.

e. Tidak mencukupinya sumber daya finansial, teknologi dan manusia. pendanaan untuk pembangunan berkelanjutan sudah terbatas karena alokasi anggaran yang tidak tepat dan relatif tingginya tingkat pembayaran hutang. Situasi memburuk sejak terjadinya krisis. Ketergantungan Indonesia pada hutang dan bantuan dari lembaga finansial internasional dan kreditor/donor bilateral relatif tinggi. Sejumlah besar dari dana yang diperoleh dipergunakan untuk mensubsidi sektor perbankan yang sakit sementara negara tidak memiliki rencana pemulihan ekonomi yang komprehensif. Kendala finansial telah menimbulkan masalah dalam pembangunan sumber daya manusia. Alokasi anggaran yang rendah untuk pendidikan dan kemiskinan merupakan faktor yang menyebabkan tidak mencukupinya sumber daya manusia untuk membangun. f. Kendala-kendala teknologi disebabkan oleh tidak adanya perencanaan dan insentif yang layak di tingkat nasional dan tidak adanya transfer teknologi di tingkat internasional. Perkembangan teknologi dalam negeri, terutama untuk pembangunan berkelanjutan, sangat lemah karena alokasi anggaran yang rendah untuk penelitan dan pengembangan di sektor publik dan swasta. 2.5.2 Kendala Internasional. Kurangnya realisasi komitmen yang sudah dibuat masyarakat internasional terutama negara-negara maju telah, sampai pada tingkat tertentu, menghambat pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Demikian juga, negara-negara maju belum memenuhi komitmen untuk menyediakan akses terhadap teknologi yang ramah lingkungan dan hasil-hasil penelitian ilmiah kepada negara-negara berkembang. wacana internasional mengenai pembangunan berkelanjutan agaknya telah dikalahkan oleh agenda liberalisasi ekonomi, terutama liberalisasi perdagangan. Banyak peraturan perdagangan multilateral, terutama pada Organisasi Perdagangan Internasional (WTO), yang tidak sejalan dengan peraturan-peraturan kelestarian lingkungan dan sosial yang sudah ada. BAB III KESIMPULAN DAN SARAN Daftar Pustaka - Anonim. Dari Krisis Menuju Keberlanjutan, Meniti Jalan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia Pengkajian Nasional terhadap Pelaksanaan Agenda 21 Indonesia. www.pdf.egine.com/agenda_21.pdf. [Online] 22 April 2009. - Anonim. 2009. http://treest.files.wordpress.com/2009/03/biotechnology [Online] 28 April 2009.

You might also like