You are on page 1of 15

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan Keputusan politik penggabungan Tanah Papua (waktu itu dikenal dengan Nederlands

Nieuw Guinea) menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak tahun 1963
ternyata masih belum menghasilkan kesejahteraan, kemakmuran dan pengakuan negara terhadap hak-hak dasar rakyat Papua. Kondisi masyarakat Papua dalam bidang-bidang pendidikan, ekonomi, kebudayaan dan sosial-politik masih sangat memprihatinkan dibandingkan dengan kesejahteraan yang dinikmati sebagian besar provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Keadaan ini menimbulkan berbagai ketidakpuasan yang terjadi di Papua dan diekspresikan dengan berbagai bentuk. Puncaknya adalah semakin banyaknya rakyat Papua yang ingin melepaskan diri dari Negara Kesatuan republic Indonesia sebagai suatu alternative untuk memperbaiki kesejahteraan diri sendiri. Bergulirnya era Reformasi di Indonesia membuka pintu bagi timbulnya berbagai pemikiran baru untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan besar bangsa Indonesia. Untuk kasus Papua, MPR-RI pada saat itu menetapkan perlunya memberikan status Otonomi Khusus kepada provinsi Irian Jaya yang saat ini menjadi provinsi Papua. Istilah otonomi dalam Otonomi Khusus haruslah diartikan sebagai kebebasan bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri , sekaligus pula berarti kebebasan bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri , sekaligus pula berarti

kebebasan untuk berpemerintahan sendiri dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam Papua untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Papua dengan tidak meninggalkan tanggung jawab untuk ikut serta mendukung penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah-daerah lain di Indonesia yang memang berkekurangan.1

Agus Sumule, Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua,(Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama,2003), hlm 49.

Istilah khusus hendaknya diartikan sebagai perlakuan berbeda yang diberikan kepada Papua karena kekhususan yang dimilikinya. Kekhususan tersebut mencakup seperti tingkat sosial ekonomi masyarakat, kebudayaan dan sejarah politik. Dalam pengertian praktisnya, kekhususan otonomi Papua berarti bahwa ada hal-hal mendasar yang berlaku di Papua dan mungkin tidak berlaku di daerah lain di Indonesia , dan ada hal-hal yang berlaku di daerah lain di Indonesia yang tidak diterapkan di Papua.2 Maka dari itu pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua yang saat ini telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua . Kaitannya dengan perlindungan hak-hak adat penduduk asli tanah Papua dengan dikeluarkannya Undang-Undang Otonomi Khusus , masyarakat hukum adat sangat bergantung dengan implementasi dari undang-undang ini, apakah nantinya memang dapat merubah kondisi tanah Papua menjadi semakain lebih baik. Karena salah satu pokok permasalahan yang dihadapi selama ini di Papua adalah dilanggarnya hak-hak adat penduduk asli. Ada tiga hal pokok yang terkait dengan hal tersebut , yaitu : 1. dilanggarnya hak-hak adat penduduk asli dalam kaitannya dengan eksploitasi sumber daya alam; 2. diabaikannya hak-hak adat penduduk asli dalam kaitannya dengan representasi penduduk asli Papua dalam badan-badan perwakilan rakyat; 3. diabaikannya, atau kurang diperhatikannya , keputusan-keputusan yang diambil oleh peradilan adat oleh badan-badan yudikatif negara.3

2 3

Ibid., hlm 50. Ibid.,hlm 69.

Keadaan ini merupakan salah satu faktor utama penyebab timbulnya berbagai ketimpangan sosial dan bahkan perlawanan sosial yang ditunjukkan oleh rakyat Papua yang tidak jarang dihadapi dengan kekerasan bersenjata oleh aparat negara. Namun yang menjadi permasalahan saat ini meskipun otonomi khusus telah diterapkan di Papua , berbagai kebijakan negara yang dikeluarkan baik berupa undangundang , maupun peraturan daerah khusus yang tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan diatasnya masih banyak sekali substansi dari produk kebijakan negara tersebut yang merugikan masyarakat hukum adat di Papua, salah satunya yang akan penulis bahas yaitu Peraturan daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 tahun 2008 Tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah. Selain masalah diatas setelah kurang lebih 11 tahun Provinsi Papua telah diberikan otonomi khusus namun sampai saat ini apabila kita lihat perkembangan di provinsi tersebut masih jauh dari kata sejahtera,maju dan berkembang , masih banyak penyimpanganpenyimpangan yang terjadi pada tanah ulayat di Papua yang diambil alih secara besarbesaran oleh pemerintah bahkan oleh pemilik modal perusahaan maupun industri. Hal-hal tersebut sebenarnya telah merugikan fungsi-fungsi tanah ulayat bagi masyarakat hukum adat di Papua, terdapat 5 fungsi utama tanah ulayat diantaranya : 1. Tempat perlindungan yang aman 2. Tempat untuk memperoleh sumber makanan 3. Tempat mengembangkan keturunan dalam rangka melanjutkan kebudayaan 4. Tempat pemukiman sebagai sarana integrasi sosial 5. Arena aktualisasi diri sebagai bagian dari tuntutan perkembangan dan kreativitas masyarakat.4 Hal-hal inilah yang selanjutnya akan dibahas oleh penulis dalam bab pembahasan.

BAB II
4

Ibid.,hlm 405-406 , dikutip dari hasil diskusi dengan Prof. Budhisantoso .

PEMBAHASAN
A. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah Konstitusi kita sebagai sumber hukum tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada pasal 18B ayat (2) telah menjamin bahwa :

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan republik Indonesia , yang diatur dalam undang-undang.
Dari isis ayat diatas maka negara mengakui dan menghormati hak-hak tradisional masyarakat hukum adat salah satunya yaitu hak ulayat atas tanah masyarakat adat. Hak atas permukaan bumi (hak atas tanah), yang berdasarkan hak menguasai negara , dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Hak atas tanah ini memberi wewenang pada pemegangnya untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut hukum. Karena itu, pengakuan hak-hak masrakat adat sampai saat ini lebih banyak terpusat pada hak-hak atas tanah (land rights) dan sumber daya alamnya (resource rights).5 Bentuk hukum penguasaan tanah oleh masyarakat adat atau dikenal dengan hak ulayat , di Indonesia cukup beragam. Hak ulayat merupakan istilah yang digunakan secara yuridis dan umum, walaupun sesungguhnya pada setiap persekutuan masyarakat hukum adat istilah yang digunakan berbeda-beda. Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim mengemukakan bahwa hak atas tanah adat yang terdapat pada berbagai suku di Indonesia dapat dibedakan atas dua bentuk, yaitu: hak ulayat dan hak pakai . Hak ulayat merupakan hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan serta hak untuk berburu. Pada hak ulayat yang bersifat komunal ini, pada hakikatnya terdapat pula hak perorangan untuk
5

Husen Alting,Dinamika Hukum Dalam Pengakuan Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah (Masa Lalu,Kini dan Masa Mendatang),(Yogyakarta:Laksbang,2011),hlm 86-87

menguasai sebagian dari objek penguasaan hak ulayat tersebut. Untuk sementara waktu, seseorang berhak mengolah serta menguasai sebidang tanah dengan mengambil hasilnya, tetapi bukan berarti bahwa hak ulayat atas tanah tersebut menjadi terhapus karenannya. Hak ulayat baru pulih kembali bila orang yang bersangkutan telah melepaskan hak penguasaannya atas tanah ulayat tersebut. Srementara hak pakai membolehkan seseorang untuk memakai sebidang tanah bagi kepentingannya, biasanya terhadap tanah sawah dan ladang yang telah dibuka dan dikerjakan terus-menerus dalam waktu yang lama.6 Hak ulayat oleh Van VollenHoven disebut sebagai

Beschikkingrecht.

Beschikkingrecht itu menggambarkan tentang hubungan antara persekutuan dengan tanah


itu sendiri. Istilah-istilah daerah yang mengandung pengertian lingkungan kekuasaan, wilayah kekuasaan ataupun tanah yang merupakan wilayah yang dikuasai persekutuan adalah antara lain : 1. Patuanan 2. Panyampeto 3. Wewengkon 4. Prabumian 5. Limpo 6. Ulayat 7. Paer Dll.7 Sama halnya dengan tanah yang ada di provinsi Papua , di Papua tidak dijumpai tanah yang tak bertuan , bahkan setiap bagian tanah, air, gunung diberi nama tertentu. Tanah menurut orang Papua identik dengan kehidupan manusia , maka diberi simbol dengan seorang Ibu atau mama yang selalu mengayomi,melindungi dan membesarkan
6

- Ambon - Kalimantan - Jawa - Bali - Sulawesi selatan - Minangkabau - Lombok

Ibid., hlm 87 , dikutip dari Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hukum Agraria , Penerbit Ghalia Indonesia 1993 7 Tolib setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia dalam Kajian Kepustakaan, (Bandung:Alfabeta:2009),hlm 312.

seseorang sejak bayi , kanak-kanak sampai mencapai dewasa (misalnya orang kamoro menyebut Enai Tapare, orang Meybrat menyebut Tabam Ramu, atau tanah kami atau tanah Ibu).8

B. PERAMPASAN HAK ATAS TANAH ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT OLEH PEMERINTAH BERKEDOK OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA ( Ditinjau dari Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah) Apabila kita berpikir secara kritis sejatinya Otonomi khusus yang diberikan kepada provinsi Papua menjadi suatu formula mujarab untuk meredam keluhan

pembangunan,kesejahteraan dan tuntutan merdeka yang terus disuarakan oleh rakyat Papua. Namun dibalik dikeluarkannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang

Otonomi Khusus Papua yang saat ini telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua masih terdapat berbagai penyimpangan kebijakan negara terhadap masyarakat Papua khususnya masyarakat hukum adat di Papua mengenai hak ulayat atas tanah. Sebenarnya dengan adanya otonomi khusus ada tiga persoalan mendasar yang perlu dipecahkan mengenai tanah dan masyarakat adat : 1. segala bentuk perundangan dan kebijakan yang merugikan masyarakat adat agar dicabut; 2. hak atas tanah adat diakui dan dilindungi dengan undang-undang 3. penggunaan dan pemilikan tanah adat harus seizin dan dengan persetujuan masyarakat adat setempat.
9

8 9

Agus Sumule, Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua,op cit.,hlm 69. Ibid.,hlm 69 , dikutip dari pendapat Rizal Ansori ,staf ahli Badan Pertanahan Nasional,dalam rapat Tim Perumus Tanah dan Masyarakat Adat.

Dengan diberikannya otonomi khusus pada provinsi Papua maka provinsi Papua dapat membuat suatu peraturan daerah khusus melalui DPRD bersama-sama dengan Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP atau Majelis Rakyat Papua. Salah satu perda yang telah ditetapkan yaitu Peraturan daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah dimana peraturan daerah ini dikeluarkan sebagai

pengakuan,penghormatan,perlindungan,pemberdayaan dan pengembangan hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah. Menjadi permasalahan ternyata sekalipun provinsi Papua telah diberikan otonomi khusus namun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam hal ini melalui peraturan daerah Nomor 23 Tahun 2008 masih belum mencerminkan atau belum memenuhi unsur segala bentuk perundangan dan kebijakan yang merugikan masyarakat adat agar dicabut peraturan daerah khusus yang dikeluarkan masih belum pro terhadap masyarakat hukum adat khususnya mengenai hak ulayat atas tanah. Kita dapat melihatnya pada pasal 13 ayat (2) :

Pemegang hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah berkewajiban melepaskan tanah tersebut yang diperlukan Pemerintah/Pemerintah Daerah untuk kepentingan umum dengan pemeberian ganti kerugian atas faktor fisik dang anti kerugian atas faktor nonfisik berdasarkan hasil musyawarah dan peraturan perundang-undangan. Kerugian atas faktor fisik meliputi: a. kehilangan tanah (tanah pertanian, akses ke hutan serta sumber daya alam lainnya, hilangnya hak memanfaatkan sumber daya alam); dan atau b. kehilangan bangunan (rumah dan dan bangunan fisik lainnya); dan atau c. kehilangan pusat kehidupan dan pusat budaya masyarakat (tempat-tempat

religious,tempat ibadah,pemakaman).

Ganti kerugian atas faktor non fisik diberikan dalam bentuk : a. uang; dan atau b. tanah pengganti; c. pemukiman kembali; d. dana abadi; e. penyertaan saham; f. bentuk lain yang disepakati bersama. Kerugian atas faktor nonfisik meliputi kehilangan pendapatan dan sumber penghidupan karena ketergantungan pada tanah beserta segala isinya. Ganti kerugian atas faktor nonfisik dapat berupa usaha pengganti ,penyediaan lapangan kerja ,bantuan kredit, dan bentuk lain yang disepakati bersama.
Apabila kita cermati isi pasal diatas memang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Karena sebagian wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai tanah oleh negara adalah, memberikan suatu hak atas tanah (Misalnya Hak Guna Usaha) atau hak-hak lainnya (misalnya Hak Pengusahaan Hutan), dan mengatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi,air,dan ruang angkasa (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria). Penggunaan wewenang negara ini, dibatasi oleh hak-hak masyarakat hukum adat yang bersumber pada hak ulayatnya tersebut. Artinya, negara tidak dapat memberikan suatu hak atas tanah atau hak-hak lainnya kepada suatu subjek hukum , atau mengambil sumber daya alam yang ada di wilayah suatu masyarakat hukum adat , tanpa persetujuan lebih dulu dari masyarakat hukum adat setempat.10 Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa, kedudukan hak ulayat masyarakat hukum adat berada di bawah hak ulayat negara (hak menguasai tanah oleh negara). Oleh karena itu , hak ulayat masyarakat hukum adat harus tunduk pada kepentingan yang lebih
10

Muhammad Bakri,Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria), (Yogyakarta:Citra Media,2007),hlm 201.

luas (kepentingan nasional) yang dipegang oleh negara.Atas dasar inilah ,apabila dalam musyawarah antara masyarakat hukum adat dengan Investor yang diberi hak untuk melakukan eksploitasi SDA, tertutup kemungkinan mencapai mufakat karena masing-masing pihak berpegang teguh pada pendiriannya , dan apabila eksploitasi SDA itu benar-benar untuk kepentingan umum (menambah devisa negara), barulah dapat dilakukan pencabutan hak atas tanah. Ayat Pemegang hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga

masyarakat hukum adat atas tanah berkewajiban melepaskan tanah tersebut yang diperlukan Pemerintah/Pemerintah Daerah untuk kepentingan umum dalam perda
tersebut dari sudut pandang menulis merugikan bagi masyarakat hukum adat di Papua, sekalipun tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Apabila kita artikan bahwa apabila investor pemilik modal memiliki kekuatan hukum berupa surat keputusan suatu hak yang diberikan oleh negara kepadanya maka dengan mengusung atas nama kepentingan negara dengan mudahnya tanah ulayat masyarakat hukum adat berpindah kepada investor. Apakah perusahaan semacam PT Freeport yang ada di tanah Papua yang oleh negara disebut dengan untuk kepentingan umum dimana tanah ulayat suku adat

Amungme , yaitu suku yang masih meramu hidup dari hasil hutan dan berburu serta pencari ikan di sungai kehidupan sosial mereka berubah total, karena tanah ulayat mereka menjadi kawasan pembuangan tailing, limbah penambangan PT Freeport.11 Akibat dari kontrak karya yang dilakukan di zaman orde baru hingga kontrak karya generasi ke lima kondisi pertambangan di papua sungguh amat tragis eksploitasi terus-menerus dilakukan dan mengabaikan dampak lingkungan akibat eksploitasi tersebut. Sedangkan masyarakat adat Papua hanya mendapatkan bencananya saja tanpa mendapatkan manfaat dari adanya PT Freeport tersebut.
11

Frans Maniagasi, Masa Depan Papua Merdeka,Otonomi Khusus & Dialog, (Jakarta:Millenium Publisher,2001),hlm112.

Apakah hal-hal tersebut yang dinamakan penghormatan,perlindungan,pengakuan negara atas hak ulayat atas tanah masyarakat hukum adat yang benar-benar sacral bagi mereka hingga tanah di Papua mereka anggap sebagai Ibu atau mama mereka yang memang sebagai tempat menggantungkan diri mereka. Mengenai ganti rugi negara pun pada kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang telah negara rampas dari tangan mereka , ganti rugi berupa tempat pemukiman baru yang jauh dari sungai dean hutan , kekurangan air bersih dan lain sebagainya. Menurut penulis tanpa atau dengan adanya otonomi khusus di papua tidak memiliki efek apapun kepada masyarakat adat hakikat asli dari otonomi khusus di provinsi Papua sama sekali tidak ada, kebijakannya pun sama saja dengan kebijakan-kebijakan lain yang dikeluarkan oleh negara tidak ada yang khusus bagi provinsi ini. Masih banyak kasus yang memang dilakukan negara terhadap tanah ulayat di provinsi Papua seperti misalnya kasus Hanoch Hebe Ohee, Tanah proyek transmigrasi Nimbokran dan Arso di Jayapura, TanahTanah orang Moy di Sorong, tanah orang Arfak di Manokwari,tanah orang Amungme dan Kamoro di Timika serta masih banyak kasus-kasus tanah ulayat di daerah lain di provinsi Papua. Seolah-olah pemerintah menarik ulur masyarakat adat di provinsi Papua dengan kebijakan-kebijakan yang negara keluarkan. Di lain peraturan contohnya dalam Undangundang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua yang saat ini telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua dijelaskan bahwa bahwa penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya. Dijelaskan bahwa musyawarah tersebut mendahului penerbitan surat izin dan keputusan pemberian hak yang

bersangkutan. Hal yang sama berlaku juga terhadap peroleh tanah hak perorangan warga masyarakat hukum adat. Tidak cukup hanya dengan persetujuan penguasa adat.12 Namun di peraturan yang lain bahwa apabila musyawarah antara masyarakat hukum adat dengan Investor yang diberi hak untuk melakukan eksploitasi SDA, tertutup kemungkinan mencapai mufakat karena masing-masing pihak berpegang teguh pada pendiriannya , dan apabila eksploitasi SDA itu benar-benar untuk kepentingan umum (menambah devisa negara), barulah dapat dilakukan pencabutan hak atas tanah.

12

Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, (Jakarta:Djambatan,2003),hlm199.

BAB III PENUTUP


Sejatinya kita dapat melihat berbagai aturan hukum yang ada di dalam masyarakat seperti gambar di bawah ini.13

Adat /lok Internasional al

proye k

Negara

Agama

Hukum negara biasanya lebih kuat dan dimanfaatkan oleh aparat negara. Sebagai contoh, hukum negara digunakan untuk mengklaim kepemilikan negara atas hutan, mengklaim kepemilikan tanah ulayat dll. Hukum negara pula yang dapat digunakan oleh pihak luar atau investor untuk mengklaim sumber daya alam guna eksploitasi. Hal ini pula yang terjadi di tanah Papua, sekalipun telah diberikan Otonomi Khusus namun belumlah diimplementasi apa sebenarnya hakikat dari otonomi khusus itu sendiri di tanah Papua khususnya bagi masyarakat hukum adat atas tanahnya. Negara secara sengaja melakukan pengabaian menurut penulis terhadap masyarakat adat di tanah Papua tetaplah mereka hanya menjadi masyarakat peramu yang tidak ada pemberdayaan dari pemerintah.

13

Tim HUMA, Pluralisme Hukum: Suatu Pendekatan Interdisiplin,(Jakarta:HUMA,2005),hlm 172.

Perampasan secara nyata atas tanah ulayat pun berhasil dilakukan oleh negara , dan sekali lagi mengabaikan hak-hak ulayat masyarakat hukum adat dengan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan yang memang apabila kita kritisi sungguh merugikan masyarakat adat Papua dan memang tidak ada kekhususan bagi provinsi Papua, bagaimana pemerintah mengatur mengenai pelestarian tanah-tanah ulayat, bagaimana pemerintah mengatur mengenai pemanfaatan tanah ulayat bagi masyarakat adat dengan kearifan lokalnya. Namun yang terjadi hingga saat ini memang tanah-tanah ulayat yang didalamnya tersimpan segala kekayaan SDA, seringkali negara mengklaimnya dengan kata-kata bagi kepentingan

negara sehingga mau tidak mau masyarakat hukum adat melepaskan hak nya bagi negara
dan pemilik modal mereka hanya melihat kekayaan alamnya dikuasai secara serakah dan hanya merana di tengah kelimpahan sumber daya alamnya. Inilah yang terjadi pada masyarakat adat di Papua diantaranya masyarakat Amungme,Kamoro dan masih banyak lainnya. Saran bagi pemerintah : 1. Mencabut segala bentuk peraturan yang merugikan hak ulayat masyarakat adat atas tanah, dan hal ini bukan hanya sebagai wacana saja; 2. Implementasi otonomi khusus secara nyata di provinsi Papua, bukan hanya pemberian otonomi khusus agar masyarakat papua tidak menggugat untuk keluar dari NKRI sehingga negara rugi akan hilangnya SDA terbesar di tanah Papua, sehingga otonomi khusus hanya sebagai kedok saja; 3. Pemerintah memberikan batasan-batasan terhadap sejauh mana kata kepentingan

negara dalam peraturan perundang-undangan mengenai tanah , sehingga kasus seperti


PT Freeport yang memang benar-benar merugikan tanah ulayat beserta masyarakat adat di sekitarnya tidak terulang dan tidak melahirkan Freeport-freeport lainnya.

4. Pemberian ganti kerugian yang memang benar-benar sepadan dengan apa yang telah negara rampas dari tangan masyarakat adat, karena tanah di Papua merupakan sumber dari segala sumber kehidupan bagi mereka, karena sampai saat ini ganti kerugian oleh negara yang diberikan kepada masyarakat adat atas tanah ulayatnya jauh dari kata adil dan sepadan; 5. Memberdayakan masyarakat adat di Papua sehingga masyarakat bukan hanya sebagai masyarakat peramu saja melainkan mampu sebagai produsen, mampu sebagai warga negara yang memiiki keahlian dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Lampiran peraturan daerah khusus provinsi papua nomor 23 tahun 2008 tentang hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah

You might also like