You are on page 1of 31

15

PAGI YANG MENEGANGKAN


Zumrah belum menemui ibunya. Ia tidur di rumah Husna. Ia
bersikukuh tidak bertemu ibunya. Berulang-ulang Bu Nafis, Husna
dan Lia membujuknya. Tetap saja ia kukuh dengan sikapnya. Selepas
shalat subuh Zumrah bersiap untuk pergi. Ia merasa harus pergi
sebelum hari terang.

”Terus kau mau kemana Zum? Tanya Husna

”Aku tak tahu Na.” Jawab Zumrah

”Apa kau tak kasihan sama janinmu. Perutmu sudah besar. Dia butuh
ketentraman. Dia butuh rasa aman. Dia butuh kesehatannya terjamin
sementara kau terus menggelandang begitu, terus juga masih
menemui germomu itu alangkah malangnya janin dalam
kandunganmu.”

”Aku juga berpikir begitu Na. Tapi apa boleh buat.”

241 Bon--q97
Edited by : Bon
”Terserah kau Zum. Aku ingin membantu tapi kau sendiri yang tidak
mau.”

”Terima kasih atas segalanya Na. Semoga aku tidak lagi


menyusahkanmu.”

Mereka berdua berbincang di ruang tamu. Azzam masih di masjid.


Bu Nafis keluar membawa minuman dan mendoan goreng.

”Aduh, kok repot-repot Bu. Saya sudah mau pergi.” Kata Zumrah.

”Minum teh hangat dulu dan cicipi dulu mendoannya baru kau boleh
pergi.” Sahut Bu Nafis.

”Na, apa tidak ada kos-kosan yang murah. Yang kira kira aman
untuk Zumrah, sehingga ia bisa tenang sampai melahirkan?” Tanya
Bu Nafis pada Husna.

”Oh ya benar. Kau mau kalau kos di Nilasari. Aku ada teman di sana.
Satu bulan lalu bilang cari teman. Kamar dia besar. Harga kamar itu
sebulannya seratus tujuh puluh. Kalau mau kau cuma bayar tujuh
puluh ribu saja.” Terang Husna.

”Mau. Tapi aku dapat uang dari mana ya?” Lirih Zumrah merana.

”Kalau kau mau, tiga bulan pertama biar aku yang bayar. Setelah itu
kau bayar sendiri, bagaimana?”

”Terima kasih Na. Kau baik sekali.””Masih mau pergi


sekarang?””Iya tetap pergi sekarang. Nanti siang aku ke radiomu
saja,”

”Terserah kau.”

242 Bon--q97
Edited by : Bon
Zumrah mengambil gelas yang ada di hadapannya dan menyeruput
isinya. Setelah itu ia bangkit dan minta diri.

Zumrah mencium tangan Bu Nafisah, bersalaman dengan Lia dan


memeluk Husna. Zumrah membuka pintu, tiba tiba...

”Mau ke mana lagi, Lonte!”

Seorang berjaket hitam membentak keras sambil menodongkan


pistolnya tepat di jidat Zumrah. Bu Nafis gemetar ketakutan. Husna
dan Lia merinding. Sementara Zumrah saking takutnya tanpa ia
sadari mengeluarkan air kencing. Pria berjaket hitam itu baginya
bagaikan malaikat pencabut nyawa yang siap mencabut nyawanya.
Gigi pria itu bergemeretak menahan amarah. Matanya merah marah.

”Am... ampun paman! Ampuni Zum, pa... paman!” Zum terbata-bata


serak.

”Tak ada ampun untuk lonte murtad yang membunuh ayahnya


sendiri! Pagi ini tamat riwayatmu!”

”Mahrus, dia tidak murtad. Dia masih Islam. Tadi subuh dia shalat di
rumah ini!” Husna yang dulu pernah nakal terbit kembali
keberaniannya.

”Diam kau Husna! Jangan ikut campur kau! Ini urusanku dengan
lonte tengik ini!”

”Tidak ikut campur bagaimana? Dia tamuku! Dan kau seperti


perampok yang masuk rumah tanpa kulon nuwun23 dulu!”

23
Minta ijin.

243 Bon--q97
Edited by : Bon
”Baik, maafkan kelancanganku. Biar aku tembak lonte ini di jalan
saja. Biar dia tidak jadi hantu di rumah ini. Biar dia jadi hantu yang
mengelayap ke mana-mana! Ayo jalan!” Mahrus menggertak
Zumrah.

”Tidak, jangan!” Zumrah berontak.

Buk!

”Ah!”
Mahrus memukul pelipis Zumrah dengan gagang pistol. Zumrah
mengaduh. Pelipis Zumrah berdarah. Husna mau bergerak menolong
Zumrah tapi dicegah Bu Nafis. Bu Nafis tahu kenekatan Mahrus
sejak kecil. Ia tidak ingin Husna celaka dengan konyol.

”Mahrus anakku!” Ucap Bu Nafis dengan lembut.

”Iya Bu Nafis.” Jawab Mahrus sambil menengok ke wajah Bu Nafis.

”Apa tidak bisa dirembug dengan baik-baik tho. Dia itu


keponakanmu sendiri. Seharusnya kau sayang padanya.”

”Apa ibu kira aku tak sayang padanya. Sejak kecil aku sayang
padanya Bu. Dulu waktu SD kalau dia diganggu orang akulah orang
pertama yang membelanya. Tapi dia tidak tahu diri. Semua orang di
keluarga menyayanginya. Tapi dia membalas kasih sayang itu dengan
kebencian. Ayah dan ibunya sendiri mau dia buat mati berdiri!
Ayahnya sudah mati dibunuhnya! Dan dia akan membunuh ibunya!
Sebelum itu terjadi dia harus dihentikan! Dia ini penjahat yang harus
dihentikan, penyakit yang harus dienyahkan! Ibu diam saja ya, ibu
tak tahu apa-apa!” Jawab Mahrus dengan marah. Anggota serse itu
kalau marah hilang sopan santunnya, tak pandang dengan siapa ia
bicara.

244 Bon--q97
Edited by : Bon
Dada Husna panas mendengar Mahrus berbicara dengan suara keras
dan membentak-bentak ibunya.
”Hai Bung, bisa nggak sopan sedikit sama orang tua!” Lia
mendahului Husna membentak Mahrus. Husna heran sendiri,
adiknya yang biasanya halus ternyata bisa garang juga.

”Kau juga diam anak kemarin sore! Aku dor mulutmu nanti!” Sengit
Mahrus sambil memandang ke arah Lia. Melihat mata yang merah
dan wajah yang sangar itu Lia jadi mengkeret.

”Ayo keluar!” Bentak Mahrus sambil menyeret Zumrah.

”Ampun paman!”

”Tak ada ampun untukmu!”

”Beri Zumrah kesempatan untuk berbuat baik paman.”

”Kesempatan itu sudah kau sia-siakan!” ”Beri kesempatan sekali saja


Paman!” ”Bangsat sepertimu sudah saatnya dienyahkan!” ”Auh!
Sakit paman!” ”Diam!”

Dengan segenap kekuatan Mahrus menyeret Zumrah ke halaman.


Mahrus terus menyeret sampai akhirnya ke jalan. Sampai di jalan
Zumrah berontak dengan sengit. Sekali lagi Mahrus memukulkan
gagang pistolnya ke kepala Zumrah. Zumrah langsung terjengkang
kesakitan. Mahrus sudah bersiap menembak kepala Zumrah. Niatnya
sudah bulat bahwa keponakannya harus dihabisi. Ia tinggal
merekayasa laporan kejahatannya saja. Sebuah kejahatan yang layak
untuk dienyahkan dari muka bumi.

Husna, Lia dan Bu Nafis gemetar di beranda rumah. Beberapa orang


berdatangan mendengar ada keributan. Tapi Mahrus langsung
mengultimatum agar semuanya diam di tempat masing-masing.

245 Bon--q97
Edited by : Bon
Sebelum pistol itu memuntahkan peluru sekonyong-konyong Azzam
datang. Azzam sudah tahu duduk persoalannya dari cerita Husna. Ia
juga tahu seperti apa bencinya sama Zumrah. Dengan suara tenang
Azzam menyapa,

”Hai sobat lama apa kabar?”

Mahrus mengendurkan tangannya dan menurunkan pistolnya yang


siap dia letuskan. Ia memandang ke asal suara. Ia lihat yang datang
adalah Azzam.

”Hei kau Zam, sudah pulang rupanya.”

”Iya. Kau ngapain bawa pistol segala, Rus? Nakut nakutin anak kecil
saja!”

”Ini Zam aku mau mengenyahkan si Lonte Murtad ini. Aku sudah
bersumpah di hadapan mayat Kang Masykur, ayah Lonte ini, aku
akan memburu Lonte durhaka ini dan menghabisinya.”

”Iya tapi apa kamu tidak malu menumpahkan darah di hadapan


sahabat lamamu. Kau masih punya hutang yang belum kau lunasi
padaku lho.”

”Apa itu Zam, kok aku lupa?”

”Ingat waktu kelas 6 SD dulu, uang SPP-mu kau gunakan untuk


mentraktir Si Murni yang sekarang jadi isterimu. Dan untuk
menutupi SPP-mu kau pinjam tabunganku. Kalau tidak aku pinjami
kamu mungkin tidak akan lulus SD, karena kau bisa dikeluarkan.
Kau nunggak saat itu tiga bulan. Kalau kau tidak lulus SD mana
mungkin kau bisa jadi polisi yang gagah bawa pistol seperti
sekarang. Kau hutang padaku Rus!”

246 Bon--q97
Edited by : Bon
”Kenapa kau ungkit-ungkit masa laluku Zam, aku jadi malu didengar
orang-orang!”

”Hei, apa aku bohong sobat?”

”Tidak. Tapi tak usah lah kau bawa-bawa masa lalu.”

”Kau sendiri kenapa kau bawa-bawa masa lalu orang lain?”

”Siapa?”

”Itu keponakanmu sendiri.”

”Zumrah maksudmu?”

”Iya.”

”Dia pezina dan murtad Zam.”

”Dia tidak murtad Rus. Tidak. Dia masih shalat. Sedangkan


kekhilafannya itu masa lalunya. Dia sedang mencari jalan kembali
yang benar kenapa kau halang halangi?”

”Aku telah bersumpah di depan jenazah almarhum Kang Masykur


Zam?”

”Sumpah yang salah itu tak boleh dilaksanakan!” ”Terus aku harus
bagaimana Zam?”

”Kau berhutang padaku. Kalau tidak aku hutangi kau mungkin tak
akan lulus SD. Mungkin kau tidak akan jadi polisi. Turunkan
pistolmu. Ayo masuklah ke rumahku. Jadilah tamuku. Kita cari jalan
terbaik untuk semuanya. Dan akan aku anggap lunas hutangmu.

247 Bon--q97
Edited by : Bon
Kalau tidak maka hutangmu padaku, tak akan aku anggap lunas
kecuali setelah kau tinggalkan jabatan kepolisianmu!”

Azzam tahu watak Mahrus. Pria itu hanya bisa dijinakkan dengan
kalimat yang menundukkan keangkuhannya. Dan ia tahu pria itu tak
akan sudi terus berhutang pada orang lain. Termasuk pada dirinya.

”Baiklah! Aku akan masuk bertamu ke rumahmu, dan kita bicara di


sana!”

Azzam langsung minta Husna untuk membawa Zumrah yang


berdarah. Azzam juga minta kepada Lia untuk membuat minuman.
Orang-orang bernafas lega. Pagi itu benar-benar pagi yang
menegangkan. Pak Mahbub dan Pak RT tergopoh-gopoh terlambat
datang.

”Untung ada Azzam Pak RT, kalau tidak, otak Zumrah mungkin
sudah keluar dari tengkorak kepalanya dan berhamburan.” Kata
Kang Paimo dengan menggigilkan badan.

”Mana Mahrus?” Tanya Pak RT.

”Sedang bicara sama Azzam. Sebaiknya tidak usah diganggu Pak


RT. Biar Azzam saja yang rembugan dengan serse edan itu.” Sahut
Pak Jalil yang memang kurang suka dengan Mahrus yang
menurutnya terlalu sombong karena tak mau mendengarkan
omongan orang.

”Kau sudah mendengar cerita tentang Zumrah dari Husna kan?”


Tanya Azzam pada Mahrus.

”Iya tapi aku tidak percaya.” Jawab Mahrus. ”Kalau aku yang bilang,
apa kamu percaya?” ”Sejak dulu kau tidak bohong padaku.” ”Berarti
kau percaya?” ”Ya.”

248 Bon--q97
Edited by : Bon
”Baiklah aku akan cerita padamu tentang keponakanmu. Dan aku
sangat yakin cerita ini adalah benar dan tidak bohong. Jadi kau harus
percaya.”

”Baik akan aku dengarkan.”

Azzam lalu menceritakan kepada Mahrus apa yang sebenarnya


terjadi pada Zumrah. Cerita yang sama dengan yang disampaikan
Zumrah kepada Husna di Pesantren Wangen. Mahrus mendengarkan
dengan seksama.

”Jadi begitu ceritanya. Dia tidak murtad?”

”Benar.”

”Awalnya dia diperkosa?”

”Benar. Sebagai paman seharusnya kamu melindungi dia. Sekarang


dia ingin kembali ke jalan yang benar. Ingin benar-benar taubat. Tapi
ia terus diuber-uber sama germonya. Kau harus bantu dia. Kau harus
cari itu para hidung belang yang menistakan dia. Yang harus kamu
dor itu ya hidung belang-hidung belang itu Rus. Bukan dia!”

”Kau benar Zam. Kalau kamu tidak datang mungkin peluruku ini
salah memecahkan kepala orang.”

”Ada beberapa hal yang harus kau perbaiki pada sikapmu Rus. Jika
kau perbaiki maka kau akan menjadi pria jantan sejati dan kau akan
dicintai banyak orang.”

”Apa itu Zam?”

”Pertama, cobalah kau latihan senyum. Kau ini susah sekali senyum.
Ketemu teman lama saja tidak senyum.”

249 Bon--q97
Edited by : Bon
”Ah kau ini ada-ada saja Zam. Hah... hah... hah... ha...!” Mahrus
malah terbahak-bahak tidak hanya senyum.

”Lha begitu Rus. Biar dunia ini cerah. Banyak senyum itu bikin awet
muda katanya.”

”Masak tho Zam?”

”Iya.”

”Terus apa lagi Zam?”

”Kau harus memperhalus kata-katamu. Kau sering berkata kotor.


Hilangkanlah kebiasaan burukmu itu. Masak ponakanmu sendiri kau
kata-katai seperti itu!”

”Nanti aku minta maaf sama dia. Masih ada lagi Zam?”

”Masih. Kau lebih sopanlah sama orang lain. Dengarkanlah orang


lain. Aku sering dapat cerita saat ronda kau ini paling susah
mendengarkan orang. Ingat Rus, Tuhan menciptakan telinga dua
sementara mulut cuma satu. Artinya kita diminta untuk lebih banyak
mendengar daripada bicara apalagi membentak-bentak orang!”

”Akan aku usahakan Zam. Mana tadi Si Zumrah Zam?”

”Mau kau apakan lagi?”

”Aku mau minta maaf padanya. Juga sekalian aku mau minta data
para hidung belang itu. Aku ingin menggulungnya secepatnya.”
Azzam lalu memanggil adiknya,

”Husna, bawa Zumrah kemari!”

250 Bon--q97
Edited by : Bon
Zumrah datang dengan kening dan pelipis diperban putih.

”Kemarilah Nduk!” Kata Mahrus, kali ini dengan mata berlinang air
mata. Zumrah melihat perubahan wajah Mahrus. Wajah yang sudah
bersahabat. Wajah yang berkaca-kaca.

Zumrah maju mencium tangan pamannya. ”Maafkan Paman ya


Nduk?”

”Iya paman. Juga maafkan kesalahan Zumrah. Sampaikan pada ibu


Zumrah belum bisa pulang. Nanti kalau Zumrah sudah lebih baik
insya Allah Zumrah pulang.”

”Seperti itukah perjalanan nasibmu Nduk? Terperangkap dalam jerat


lumpur hitam?”

”Iya Paman. Tolong bantu Zumrah paman.”

”Tolong berikan semua data para penjahat yang telah menistakanmu


itu!”

”Baik paman.”

Zumrah lalu menyebut nama-nama orang yang sering memaksanya


juga menyebut nama-nama germo di Jogja dan Solo. Ia juga
menyebut nama-nama lelaki hidung belang yang sering memangsa
gadis-gadis muda tidak hanya dirinya. Zumrah menjelaskan dengan
detil alamat rumahnya dan tempat yang biasa digunakan mangkal
mereka.

”Kau mau tinggal di mana Nduk kalau tidak pulang?”

”Aku mau indekos di Nilasari Paman. Husna akan membantuku.”

251 Bon--q97
Edited by : Bon
”Jika perlu bantuan paman jangan sungkan hubungi paman di kantor
paman.”

”Iya paman.”

”Hati-hati ya Zum. Paman pergi dulu.”

Mahrus lalu minta diri pada Azzam dan keluarganya. Pada Bu Nafis,
Husna dan Lia lelaki tinggi besar dan kekar itu mohon maaf atas
segala khilafnya. Bu Nafis, Husna dan Lia bersyukur kepada Allah
dan memaafkan dengan lapang dada. Zumrah menatap pamannya
yang melangkah keluar rumah dengan mata berkaca-kaca.

Meskipun pamannya itu nyaris membunuhnya, tapi ia merasakan


betapa besar sesungguhnya rasa sayang adik bungsu ayahnya itu
padanya. Benar, waktu kecil dulu pamannya itulah yang selalu
menjadi pelindungnya. Jika ada anak yang nakal jahil padanya,
pamannyalah yang akan menindaknya. Pamannya bahkan rela
berkelahi mati matian demi menjaga agar kulitnya tidak disentuh
oleh anak-anak yang jahil. Pamannya itu seumur dengan Azzam,
kakak Husna. Dan ia sendiri seumuran Husna. Jadi pamannya itu
kira-kira lebih tua tiga atau empat tahun di atasnya.

Zumrah sedikit merasa lega, masalahnya dengan pamannya telah


selesai. Ia merasa mulai ada setitik cahaya. Ia mulai merasa kembali
mendapatkan secuil kasih sayang. Ia berharap pamannya bisa
menindak nama-nama orang jahat yang menistakannya. Harapannya
ia bisa hidup dengan tenang. Kembali ke jalan yang lurus.
Membesarkan anaknya. Dan jika sudah rasa ia layak menemui
ibunya ia akan menemui ibu yang selama ini disakitinya.

252 Bon--q97
Edited by : Bon
16

BAKSO CINTA
Sudah dua bulan Azzam di rumah. Azzam sudah benar-benar
menyatu dengan masyarakat. Ia sudah aktif di masjid. Sejak ia
diminta menjadi badal Pak Kiai Lutfi mengisi pengajian Al Hikam,
Pak Mahbub dan warga masyarakat dukuh Sraten sangat percaya
padanya. Ia diminta untuk mengisi jadwal khutbah Pak Masykur
yang belum ada gantinya.

Hanya saja, di mata warga masyarakat Azzam dianggap masih


menganggur. Ia sebenarnya sudah mulai usaha membuka warung
bakso di samping kampus UMS dekat Fakultas Farmasi. Tapi itu
oleh masyarakat dianggap sebagai pekerjaan yang tidak bergengsi.
Ibu-ibu jika berkumpul di warung Bu War tanpa sadar sering
membicarakan Azzam.

”Sayang ya sembilan tahun di Mesir masih menganggur. Aku kira


begitu pulang dari luar negeri langsung ditarik jadi dosen di IAIN
atau STAIN. E... malah jualan bakso. Kalau hanya jualan bakso

253 Bon--q97
Edited by : Bon
ngapain jauh-jauh kuliah ke Mesir. Itu Si Tuminah tidak lulus SD
juga jualan bakso!” Kata Bu Sarjo yang terkenal suka menilai orang.

”Iya kasihan Azzam ya. Aku malah mengira dia pulang dari Cairo
langsung diambil menantu Pak Kiai. E... sampai sekarang juga belum
laku. Aku kira langsung memimpin pesantren.” Sahut Bu Agus.

”Itu kemarin aku sangat kaget, ketika diberitakan pacaran sama


Eliana. Kukira dia sudah jadi konglomerat di Mesir. Ternyata beli
motor saja tidak bisa. Mana mungkin bintang film seperti Eliana
mau.” Kata Bu Marto

”Ya masih untung masih bisa mengajar majelis taklim di masjid,


hitung-hitung buat kegiatan dia.” Sahut Bu Hariman

Angin itu ternyata bisa menyampaikan perkatan perkataan kaum ibu


itu ke telinga Bu Nafis sekeluarga. Bu Nafis paling sedih dan resah.
Husna juga, ia tidak rela kakaknya yang menjadi pahlawannya
dijadikan gunjingan. Pengangguran memang sangat tidak nyaman.
Akhirnya Bu Nafis tidak bisa menahan keresahannya. Suatu pagi ia
berkata pada Azzam,

”Nak, terserah bagaimana caranya agar kamu tidak tampak


menganggur. Kalau pagi pergilah, berangkatlah kerja bersama orang-
orang yang berangkat kerja. Dan kalau sore atau malam pulanglah ke
rumah. Supaya kau tidak jadi bahan ocehan. Ibu juga malu kau
lulusan luar negeri cuma jualan bakso!”

Bu Nafis menyampaikan hal itu dengan mata berkaca kaca. Husna


yang mendengarnya juga trenyuh hatinya.

”Bue, perkataan orang lain jangan terlalu dimasukkan ke dalam hati.


Yang penting ibu percayalah pada Azzam. Azzam bisa mandiri.

254 Bon--q97
Edited by : Bon
Azzam bisa makan dengan kedua tangan dan kaki Azzam sendiri.
Ibu kan juga tahu di Cairo dulu Azzam juga jualan bakso.”

”Terserah kamu Nak. Tapi pikirkanlah bagaimana caranya supaya


kamu aman dari gunjingan masyarakat.”

”Masyarakat kita memang paling hobi menggunjing kok Bu. Tapi


baiklah Azzam akan ikuti permintaan ibu. Pagi berangkat kerja, sore
pulang kerja.”

***

Azzam terus memutar otaknya. Ia harus segera menemukan cara


untuk mendapatkan cashflow dengan cepat. Ia melihat usaha warung
baksonya biasa-biasa saja. Malah bisa dibilang ia rugi sebab
keuntungannya perhari hanya sepuluh ribu rupiah. Ini tidak
sebanding dengan kerja kerasnya.

Ia memang masih sendiri belum dibantu siapa-siapa. Demi


memenuhi harapan ibunya ia menyewa satu kamar kos di dekat pasar
Kleco. Jam delapan pagi ia sudah sampai di kamar kosnya. Ia lalu
belanja. Setelah itu meracik bahan bahan baksonya. Jam dua
semuanya sudah siap. Tepat jam setengah tiga ia buka warung. Ia
buka sampai jam sembilan malam.

Demikian rutinitasnya setiap hari. Kepada para tetangga ibunya


bilang Azzam sudah punya kantor di Solo. Pagi kerja di kantornya
dan sorenya ia jualan bakso. Ya jika kantor maknanya adalah tempat
kerja maka kamar kos yang ia gunakan untuk membuat pentol bakso
adalah kantor. Kantor hanyalah istilah mentereng untuk menyebut
tempat kerja. Di mana di tempat itu ada arsip dan berkas. Di kos
Azzam juga ada arsip dan berkas. Yaitu catatan dan bon belanjanya.

255 Bon--q97
Edited by : Bon
Azzam terus memutar otaknya bagaimana caranya usahanya sukses.
Jika ia tetap menjual produk yang sama dengan yang lain, maka di
pasar ia telah kalah. Ia harus punya produk yang inovatif, yang
berbeda dengan yang lain. Sama-sama baksonya tapi harus ada sisi
unik yang membedakan baksonya dengan bakso yang lain.

Ia ingin agar pembeli baksonya mendapat sesuatu selain rasa nikmat


di lidah, kenyang dan gizi. Ia terus berpikir. Sampai akhirnya ia
menangkap sebuah ide yang menurutnya brilian. Ia akan membuat
bakso cinta.

Ya, ia akan membuat bakso cinta.

Dalam benaknya ia akan membuat cetakan khusus untuk baksonya.


Bentuk baksonya tidak bulat tapi berbentuk cinta, love atau hati.
Terus ia akan mengubah suasana warungnya. Meskipun warung
tenda, suasananya harus ceria dan romantis. Lalu ia akan menyiapkan
instrumen musik khusus yang mengiringi pelanggannya makan.

”Yup! Ini baru ide!” Teriaknya dalam hati.

Azzam lagi bekerja keras mencari cetakan dari besi berbentuk hati. Ia
tidak menemukan di toko-toko penjual barang pecah belah. Ia
akhirnya pesan cetakan yang ia inginkan ke Batur, Klaten yang
dikenal sebagai pusat besi, baja dan alumunium. Cetakan itu
akhirnya jadi juga.

Azzam mencoba membuat bakso cinta dengan cetakannya. Pertama


kurang menarik. Lalu ia buat lagi dan hasilnya sangat mempesona.

Ia lalu menyiapkan suasana warungnya. Gerobak baksonya ia cat


pink semuanya. Tendanya juga ia cat pink. Meja dan kursinya juga
pink. Ia cari mangkok khusus berwarna merah hati jadi pas dengan
meja pink.

256 Bon--q97
Edited by : Bon
Ia juga mengubah jam buka warungnya. Sebelumnya dari jam
setengah tiga sore sampai jam sembilan kini dari jam sepuluh pagi
sampai jam enam sore. Sebelum membuka warung baksonya, ia
promosi dengan membuat brosur dan menyebarkannya di hampir
seluruh Solo. Di hari pembukaan perdana ia minta adiknya Lia dan
Husna ikut membantu. Sekali itu saja.

Sambutan dari pelanggan luar biasa. Di hari pembukaan, hanya


dalam waktu empat jam baksonya telah habis. Husna dan Lia sangat
bahagia dibuatnya. Azzam sangat yakin baksonya akan laris.
Akhirnya Azzam memutuskan untuk cari seorang karyawan yang
akan membantunya menyuguhkan bakso dan minuman ke langganan.
Adapun yang meracik bakso tetap ia sendiri. Azzam mengajak Si
Kasmun yang hanya lulus SMA dan sekarang jadi pengangguran.

Pagi hari sebelum Azzam berangkat ke Kleco, Husna berkata pada


Azzam,

”Kak sebaiknya bakso cinta kakak dipatenkan. Agar nanti tidak ada
yang meniru. Jika ada yang meniru tanpa ijin kakak punya kekuatan
hukum yang kuat untuk menuntutnya. Husna yakin bakso kakak
nanti akan mendapatkan hati pengunjungnya.” ”Cara mematenkan
bagaimana?” ”Kita datang ke kantor yang mengurusi hak paten.
Nanti mereka yang akan mengurusi hak paten kita sampai ke menteri
kehakiman.” Jelas Husna. ”Baik kita patenkan secepatnya.” Hari
berikutnya warung bakso cintanya terus penuh pengunjung. Jam tiga
sore sudah kehabisan. Bakso dengan bentuk hati memang belum ada
di Surakarta. Dan yang datang kebanyakan anak-anak muda. Mereka
memang mencari sesuatu yang beda.

Belum genap satu bulan ia sudah merasa bahwa tenda warung bakso
cinta harus ditambah besarnya. Ia menyewa tanah di samping bakso
cintanya, agar tendanya bisa dilebarkan. Pengunjungnya agar tidak
kecewa karena tidak dapat tempat duduk. Setelah sukses di kampus

257 Bon--q97
Edited by : Bon
UMS, maka Azzam melebarkan sayap membuka cabang pertama di
dekat UNS. Ia melihat Si Kasmun bisa dipercaya untuk memegang
yang di UMS, maka ia sendiri yang memegang cabang UNS. Ia
mengangkat dua karyawan baru. Satu untuk menemaninya dan yang
satu untuk menemani Si Kasmun.

Cabang baru di UNS mendapat sambutan hangat dari kalangan


mahasiswa. Seorang mahasiswa usul pada Azzam agar warung bakso
cinta menjadi semacam warung apresiasi seperti warung apresiasi di
Jakarta. Di situ dibuatkan satu tempat bagi mahasiswa atau seniman
atau siapa saja yang akan menampilkan karya seninya. Usul itu
direspon baik oleh Azzam. Azzam lalu meminta mahasiswa itu
untuk merancang tempat yang digunakan untuk apresiasi seni yang
diusulkannya. Setelah Azzam melihat dengan dibangunnya tempat
itu akan semakin memperkokoh ikon bakso cintanya, maka tempat
apresiasi segera diadakan.

Dan hasilnya sangat di luar dugaan. Warung bakso cinta jadi tempat
mangkal para mahasiswa, seniman dan masyarakat luas. Untuk
menjaga citra warung baksonya, ia meminta naskah atau teks yang
akan ditampilkan. Jika misalkan ada musisi yang menampilkan jenis
musik yang isinya bertentangan dengan moral dan dakwah tidak
segan segan ia untuk melarangnya. Atau memberikan alternatif lagu
lain yang isinya baik.

***

Tak terasa sudah tiga bulan Azzam membuka warung bakso


cintanya. Omsetnya perbulan bisa mencapai dua puluh juta. Kini ia
bisa membeli mobil sederhana tapi layak pakai. Ke mana-mana ia
memakai mobil itu. Untuk bakso ia bertahan untuk dua warung dulu.
Otaknya terus berputar, ia mencari peluang bisnis yang lain.

258 Bon--q97
Edited by : Bon
Ia membaca nasihat seorang pengusaha sukses di sebuah buku
panduan bisnis agar tidak meletakkan semua telur dalam satu
keranjang. Sebab jika suatu ketika keranjang itu jatuh maka telur
akan pecah semua. Dan akibatnya akan sangat fatal. Maka yang baik
dalam bisnis adalah meletakkan banyak telur di keranjang yang
berbeda. Agar jika ada satu keranjang yang jatuh masih ada telur lain
yang selamat. Dan telur yang selamat itu masih akan bisa menetas
menjadi ayam dan bisa mendatangkan telur baru. Azzam melirik
bisnis foto kopi. Ia tahu memang banyak pesaing. Tapi bisnis foto
kopi di pinggir kampus hampir bisa dikatakan tak bisa mati. Caranya
sederhana saja, ia melihat warung baksonya di UMS dan UNS selalu
penuh pengunjung. Ia menyewa tempat tak jauh dari warung bakso
cinta yang ia gunakan mendirikan pusat foto copy. Ia membeli dua
mesin foto copi bekas. Pusat foto copynya ia namakan ”Foto Copy
Cinta”. Brosur dan promosi ia gencarkan lewat warung bakso.
Hasilnya tidak terlalu mengecewakan. Bisnis foto copynya berjalan
bagus. Meskipun tidak secepat Bakso Cinta.

***

Suatu malam, sepulang dari warung bakso, Lia berkata, ”Kak ada
tamu.” Saat itu ia sudah rebah di kamarnya karena letih. Ia bangkit
menuju ruang tamu. Ternyata Furqan. Ia bahagia sekali teman
lamanya datang. Sudah lama memang ia tidak ke pesantren Wangen.
Terakhir ke pesantren itu ya tepat saat acara pernikahan Anna dengan
Furqan dilangsungkan. Ia fokus dengan bisnisnya. Untuk pengabdian
ke masyarakat sementara ia mencukupkan diri dengan mengisi
pengajian di masjid kampung sendiri.

”Ada tamu istimewa rupanya. Pak Kiai Furqan. Sendirian?”

”Iya sendirian. Jangan memanggil Pak Kiai tho Zam. Aku malu.”

”Lha kamu kan sudah jadi Kiai sekarang. Kan pengasuh pesantren.”

259 Bon--q97
Edited by : Bon
”Jika aku Kiai, maka sesungguhnya kau kan Kiaiku. Dulu awal-awal
di Mesir kau yang sering aku jadikan tempat bertanya. Kau yang
sering menjelaskan isi diktat kuliah tho sehingga aku lulus.”

”Sudah. Ini ada apa tho kok tiba-tiba datang membuat kaget saya.”

”Saya datang atas nama pesantren Zam. Ini Pak Kiai Lutfi, mertuaku,
sering sakit akhir-akhir ini. Beliau memang agaknya harus banyak
istirahat. Lha untuk pengajian Al Hikam, banyak masyarakat yang
meminta engkau yang mengisi. Terus terang sekarang Pak Kiai Lutfi
hanya mengajar Subulus Salam saja. Lha aku sendiri diminta
mengganti Tafsir Jalalain. Untuk Al Hikam, minta engkau. Terus
terang ibu mertuaku juga cocok yang mengisi engkau. Sebab Al
Hikam kan untuk masyarakat umum. Kau lebih bisa berbahasa Jawa
yang baik daripada aku.”

”Aduh gimana ya? Terus terang aku sibuk Fur. Sungguh. Gimana ya,
waktuku sudah penuh Fur.” Jawab Azzam. Tiba-tiba ada suara yang
menyahut dari arah dalam.

”Tidak! Kau harus menyeimbangkan duniamu dengan akhiratmu


Zam! Kau harus punya waktu untuk mengamalkan ilmumu dan
menegakkan ajaran agamamu. Ya bisnis, ya juga mengajarkan ilmu!
Kalau kau hanya memusatkan perhatianmu pada bisnismu, Bue tidak
ridha!”

Azzam kaget mendengar kalimat dari ibunya. Ia tahu apa yang


dikehendaki ibunya. Sebelum Azzam berkata, Furqan duluan angkat
suara,

”Iya apa yang dikatakan ibu benar Zam. Toh itu cuma satu pekan
satu kali saja.”

”Baiklah kalau begitu. Salamku buat Pak Kiai Lutfi dan Bu Nyai.”

260 Bon--q97
Edited by : Bon
”Terima kasih Zam. Pekan depan langsung mulai ya Zam.”

”Insya Allah. Oh ya ngomong-ngomong sudah ada tanda-tanda mau


dapat momongan belum?” Tanya Azzam sambil tersenyum. Furqan
tergagap mendengar pertanyaan itu. Entah sudah berapa kali ia
mendengar pertanyaan itu dan banyak orang. Keluarga besar Anna
setiap kali bertemu dengannya juga menyinggung hal itu. Ibunya
sendiri dari Jakarta sering menelpon dan menanyakan hal itu. Dan ia
harus menjawab dengan hati getir, ”Belum.”

261 Bon--q97
Edited by : Bon
17

IKHTIAR MENCARI CINTA


”Bue sudah ingin menimang cucu Zam. Bisnis kamu sudah berjalan
baik. Kapan kamu menikah?” Kata Bu Nafis suatu malam.

Perempuan itu membuka gorden jendela ruang tamu. Matanya


memandang rembulan yang mengintip di balik pepohonan. Angin
malam menyisir rambutnya yang memutih dibakar usia. Ia
membelakangi putranya yang sedang mengkalkulasi modal
bisnisnya.

”Segeralah menikah Nak! Syukurilah nikmat Allah yang diberikan


kepadamu!” Lanjut Bu Nafis dengan kedua mata tetap menikmati
rembulan yang bersinar terang. Di balik pepohonan rembulan itu
bagai cahaya bidadari yang mengintip malu-malu. Sinar rembulan
menerpa wajah perempuan setengah baya itu.

”Azzam juga ingin segera menikah Bu. Tapi sudah dua kali ada gadis
diajukan ke Azzam dan Azzam cocok tapi ibu yang tidak berkenan.
Azzam harus bagaimana?”

262 Bon--q97
Edited by : Bon
Bu Nafis menarik nafas lalu menutup gorden jendela. Ia lalu duduk
di hadapan putranya. Kedua matanya yang teduh memandangi wajah
putranya yang bergurat kelelahan dengan penuh kasih sayang.

”Maafkan ibu Nak. Ibu ingin yang terbaik untukmu. Tidak asal
perempuan.”

”Apakah Rina dan Tika itu tidak baik Bu.” ”Ibu tidak bilang Rina
dan Tika tidak baik. Mereka baik. Tapi ibu ingin yang lebih baik
lagi. Ibu sedikit punya ilmu titen24. Menurut yang ibu amati kok
kedua gadis itu kurang cocok untukmu. Mungkin lebih cocok untuk
yang lain.”

”Ibu ini pakai ilmu titen segala. Apa itu ilmu titen, itu bid’ah Bu, itu
khurafat!” Sengit Azzam.

”Kak jangan berkata yang sengit begitu dong sama Bue.” Husna
muncul dari kamarnya, ”Menurutku ilmu titen sebenarnya ilmiah.
Tidak bid’ah. Semua kok terus dibid’ahkan. Alangkah kerdilnya kita
menghayati ajaran Allah yang mulia ini kalau suatu ilmu yang ilmiah
terus dibid’ahkan.” Lanjut Husna.

”Terus penjelasannya bagaimana ilmu titen itu ilmiah Na. Kalau


benar-benar ilmiah maka aku akan mencabut perkataanku.” Kata
Azzam kepada adiknya.

”Ilmu titen itu berangkat dari kejelian orang-orang dahulu meniteni,


yaitu mengamati kejadian – kejadian dalam kehidupan,
peristiwa- di alam. Dari pengamatan yang berulang-ulang itu
akhirnya bisa disimpulkan sebuah struktur kejadian. Dari struktur
itulah lahir ilmu titen.
24 Ilmu meniteni, atau ilmu mengamati sesuatu dari gejala yang diberikan oleh

alam biasanya berdasarkan pengalaman yang berulang-ulang.

263 Bon--q97
Edited by : Bon
Ilmu titen ini sebenarnya sudah masuk dalam seluruh aspek
kehidupan ummat manusia. Mulai dari manusia paling primitif
sampai manusia paling modern.

”Contoh ilmu titen begini Kak. Sederhananya orang dulu, zaman


dulu sekali tidak tahu ilmu pengetahuan alam. Mereka tidak sekolah
seperti kita. Kalau kita kan sekarang langsung tahu kalau ada
mendung kemungkinan besar akan hujan. Kita tahu karena dapat dari
pelajaran IPA di sekolah. Mendung pada hakeketnya adalah uap air
yang menggumpal. Jika ditiup angin jadilah hujan. Orang dulu tidak
belajar IPA. Mereka itu mengerti kalau ada mendung pasti akan
hujan itu dari pengamatan yang berulang-ulang. Kok setiap melihat
langit hitam lalu ada petir terus turun air dari langit. Demikian terus
berulang. Akhirnya pengalaman itu menjadi struktur suatu ilmu bagi
mereka yaitu kalau ada mendung maka ada hujan. Itulah ilmu titen.

”Contoh lain, orang dulu untuk mengetahui gunung mau meletus


tidak dengan alat yang canggih yang bisa mendeteksi berapa kali ada
gempa tektonik dari dalam kepundan gunung itu. Tidak Kak. Mereka
tidak punya alat itu. Tapi mereka mengetahui akan ada gempa
dengan melihat gejala alam yang berulang-ulang. Dengan niteni
gejala alam yang berulang-ulang. Misalnya kalau banyak binatang
turun dari gunung, kalau banyak binatang yang biasanya tidak turun
kok turun, kalau itu terjadi kok terus tak lama gunung meletus. Maka
itu mereka titeni, mereka perhatikan dengan seksama. Lalu mereka
jadikan alamat. Mereka jadikan tanda, bahwa kalau banyak binatang
turun dari gunung maka gunung akan meletus. Itu ilmu titen
namanya Kang.

”Atau contoh seperti ini, polisi di dunia modern ini sekalipun juga
rnenggunakan ilmu titen. Misalnya untuk mengetahui tersangka
berkata jujur atau bohong ya dengan ilrnu titen. Kalau mimiknya
begini maka jujur. Kalau gagap dan kelihatan berbelit-belit maka

264 Bon--q97
Edited by : Bon
biasanya tidak jujur. Kalau tampak polos terus apa adanya ditanya
berulang-ulang jawabannya sama maka biasanya jujur. Ya itu kan
polisi berangkat dari ilmu titen.

”Juga seorang psikolog banyak menggunakan ilmu titen. Dengan


melihat getar tangan seorang remaja, gaya bicara psikolog yang
canggih bisa mengetahui remaja itu pecandu narkoba atau tidak.

”Terus lagi contoh ilmiah ilmu titen begini. Jika Kak Azzam
mengatakan kepada saya 1, 3, 5, 7, 9 maka saya akan langsung bisa
melanjutkan pasti berikutnya 11, 13,15,17. Ini bukan berarti saya
seorang wali yang serba tahu, yang tahu sebelum sesuatu itu terjadi
kemudian. Bukan! Karena saya sudah mengamati angka-angka
sebelumnya dan tahu struktur sebelumnya.

”Jika orang dulu ada yang bisa memperkirakan selembar daun


nangka di depan rumah kapan jatuhnya. Dan perkiraannya itu tepat,
maka itu tidak terus langsung bid’ah kak. Tidak terus langsung
dikatakan dia dibisiki oleh jin. Tidak! Itu ada ilmunya ya ilmu titen
itu. Ilmu mengamati fenomena alam yang dalam. Seseorang bisa
memperkirakan kapan daun nangka itu jatuh dan tepatnya hari apa
adalah setelah orang itu biasa mengamati daun nangka sebelumnya.
Dia menghitung sejak daun itu tumbuh lalu jatuh maka perlu rentang
waktu sekian masa. Kalau daun itu baru berwarna begini, misalnya
hijaunya agak muda belum hijau tua biasanya baru berumur sekian
hari. Dia tahu karena memperhatikan. Karena niteni.

”Pepatah Arab yang terkenal itu man jadda wajada, siapa yang giat
pasti akan mendapatkan, kan juga berangkat dari ilmu titen. Setelah
sejarah membuktikan bahwa orang orang yang berhasil di dunia ini
sebagian besar adalah orang-orang yang giat, orang-orang yang
bersungguh sungguh, maka kemudian orang Arab kuno
menyimpulkan man jadda wa jada.

265 Bon--q97
Edited by : Bon
”Perkembangan ilmu titen yang canggih yang kemudian melibatkan
ilmu eksakta adalah ilmu falak, ilmu astronomi. Kok manusia bisa
tahu akan terjadi gerhana jnatahari? Kok manusia tahu akan terjadi
gerhana bulan? fKalau orang kuno dulu, ketika ilmu pengetahuan
belum benar-benar maju untuk mengetahui itu ya mungkin rnurni
dengan menggunakan kejelian pengamatan pada alam. Pada bintang-
bintang. Sekarang ilmu itu sudah berkembang. Gerhana matahari
bisa diprediksikan dengan hitungan ilmu falak. Dasar hitungan itu
pada awalnya kan ilmu titen dulu Kak.

”Baik terakhir Kak, Rasulullah pernah menggunakan ilmu titen. Kak


Azzam tahu kapan? Yaitu ketika Rasulullah perang badar. Untuk
mengetahui jumlah pasukan kafir Quraisy Rasulullah menggunakan
ilmu titen. Yaitu dengan mengetahui dulu jumlah onta yang
disembelih setiap harinya. Ketika ada yang memberi tahu beliau
bahwa jumlah onta yang disembelih setiap harinya adalah sepuluh
maka beliau menyimpulkan jumlah pasukan kafir Quraisy kurang
lebih seribu orang. Karena satu onta biasanya bisa untuk dimakan
seratus orang. Maka tinggal ngalikan saja. Sepuluh kali seratus ya
berarti seribu. Begitu Kak. Jadi ilmu titen yang disampaikan Bue
tidak terus bid’ah. Tapi rnemang...”

Belum selesai Husna menjelaskan Bu Nafis,

”Maksud Bue itu dengan ilmu titen itu ya kira-kira Seperti yang
diterangkan Husna itu lho Zam. Tapi ibu kan cuma tamat SR saja.
Jadi Bue tidak bisa menjelaskan yang panjang rinci seperti Husna
yang sarjana.

”Begini lho Zam, alasan Bue berdasarkan ilmu titen kenapa ibu tidak
setuju dengan dua gadis itu begini.

Pertama Rina, gadis temannya adikmu itu memang baik.Bue akui itu.
Sopan santunnya baik. Cuma ada satu hal yang ibu amati, dan bue

266 Bon--q97
Edited by : Bon
tidak cocok adalah ketika dia dulu menginap di sini, bisa-bisanya
habis shalat subuh tidur lagi. Padahal kita bertiga tidak tidur. Dia lalu
bangun jam tujuh pagi. Ini yang membuat ibu tidak cocok.
Bagaimana
kalau dia nanti jadi ibu bakda subuh tidur. Di rumah orang saja nekat
begitu apalagi nanti di rumah sendiri.”

’Tapi Bu, Rina pada waktu itu memang terlalu letih. Sehari
sebelumnya dia ada acara full di kampus.” Husna berusaha membela
Rina, meskipun ia juga tahu kebiasaan tidur setelah shalat subuh itu
masih dilanggengkan temannya itu sampai saat itu.

”Ah apapun alasannya. Ibu tak peduli. Kata ayahmu dulu kalau orang
tidur habis subuh rezekinya dipatuk sama ayam, jadi hilang! Terus
itu Si Tika atau Kartika Sari yang jadi penjaga kios Sumber Rejeki di
pasar Klewer. Memang dia cantik dan anggun. Saat kita dolan ke
rumahnya juga baik tutur bahasanya. Tapi Bue tidak suka caranya dia
tertawa. Tertawanya ngakak-ngakak seperti itu. Dia itu seorang gadis
masak tertawanya ngakak begitu. Kalau laki-laki masih agak
mending, mungkin masih agak bisa dimaklumi. Ini gadis. Rasulullah
saja kalau tertawa tidak ngakak-ngakak begitu. Setelah mendengar
dia tertawa seperti itu Bue langsung kehilangan selera. Maaf, yang
biasa tertawa begitu itu biasanya perempuan murahan, pelacur.
Bukan Bue menganggap dia perempuan murahan bukan. Ibu hanya
menjelaskan kenapa bue tidak suka. Daripada Bue punya menantu
kalau setiap tertawa bue tidak suka dan setiap dia tertawa bue
langsung teringat perempuan murahan kan lebih baik tidak bue
iyakan.” Bu Nafis menjelaskan alasan-alasannya. Tiba-tiba Lia
keluar dari kamarnya. ”Kayaknya ramai nih diskusinya. Lia dengar
dari kamar tadi Mbak Husna bicara tentang ilmu titen dengan segala
penjelasannya. Tapi Lia lihat ya kak banyak di Jawa ini ilmu titen
yang memang masuk khurafat kak. Jadi bid’ah. Mungkin ini yang
dimaksud kak Azzam. Kalau yang kakak sampaikan tadi memang
ilmiah.” Kata Lia. ”Yang seperti apa itu Dik?” Tanya Husna.

267 Bon--q97
Edited by : Bon
”Ini misalnya ya dengan alasan ilmu titen juga. Di daerah Solo dan
sekitarnya ini kan ada pantangan anak pertama menikah dengan anak
ketiga. Di daerah Semarang sana ada pantangan anak pertama
menikah dengan anak pertama. Kata orang-orang tua juga dasarnya
ilmu titen itu.

”Pantangan anak pertama menikah dengan anak ketiga di Solo


disebut lusan. Nomer telu artinya tiga menikah dengan nomor pisan,
artinya satu. Katanya kalau nekat menikah nanti salah satu dari orang
tua pengantin putra atau pengantin putri akan mati.

”Kalau di Semarang anak pertama tidak boleh menikah dengan anak


pertama karena nanti kehidupan rumah tangganya tidak bahagia.” Lia
menjelaskan.

”Sebenarnya itu juga yang mau Mbak Husna jelaskan tadi Dik. Tapi
keburu dipotong sama Bue. Begini memang ada yang dianggap ilmu
titen, tapi sebenarnya ilmu pengawuran. Ilmu gatuk-gatuk, cuma
mencocok cocokkan peristiwa yang mentah sepintas saja terus
diambil kesimpulan. Terus dinamakan ilmu titen. Yang seperti ini
tidak ada landasan ilmiahnya. Kalau ilmu titen yang sebenarnya itu
bisa diuji keilmiahannya. Fakta dan datanya bisa dijelaskan. Teorinya
bisa didefinisikan. Lha yang cuma menggatuk-gatukkan tanpa
penelitian mendalam ini yang repot. Apalagi kalau sudah dimitoskan.
Jadilah khurafat.

”Contohnya ya pantangan anak ketiga menikah dengan anak pertama


itu. Itu mitos yang tidak ada dasarnya. Itu khurafat yang menyesatkan
memang Mbak juga sepakat. Bisa jadi dulu ada orang yang sangat
ditokohkan di masyarakat punya anak pertama dinikahkan dengan
anak orang lain nomor tiga. Setelah akad nikah salah satu dari orang
tua pengantin itu meninggal dunia. Yang memang telah tiba ajalnya.
Terus orang mengatakan itu karena sebab pernikahan itu pernikahan
anak pertama dengan anak ketiga. Karena itu menimpa seorang

268 Bon--q97
Edited by : Bon
tokoh zaman itu jadi terkenal. Terus dipercaya, dijadikan pantangan.
Terus jadi mitos sampai sekarang.

”Yang juga perlu kita harus perhatikan juga. Ada ilmu titen yang
dulu pas untuk zamannya, pas untuk masanya. Namun dengan
perkembangan zaman ilmu titen itu sudah tidak pas lagi. Maka
manusia harus berpikir lagi, berijtihad lagi. Jangan tetap nekat
menggunakan ilmu titen yang tidak pas itu?”

Azzam yang sejak tadi diam saja. Kali ini angkat suara,

”Contohnya apa itu Dik? Kelihatannya yang ini menarik.”

”Contohnya ini Kak, dulu ketika ekosistem alam masih seimbang.


Gas kaca di angkasa sana tidak merajalela seperti sekarang. Ozon
belum bolong. Ada ilmu titen yang oleh orang Jawa disebut pranata
mongso. Pembagian masa dalam satu tahun untuk bertani. Ada masa
untuk mencangkul membalik tanah, ada masa untuk menanam, ada
masa untuk menyiangi, dan ada masa untuk panen. Hitungannya
selalu tepat. Kenapa? Karena ekosistem alam pada masa itu masih
seimbang. Sehingga musim hujan bisa diprediksi kapan datang.
Musim panas juga bisa diprediksi berapa panjang. Dulu ada
ungkapan desember itu maknanya deres-derese sumber, atau besar-
besarnya sumber. Karena air ada di mana-mana. Terus Januari adalah
hujan sehari-hari. Karena memang hampir tiap hari hujan. Itu semua
memakai ilmu titen. Dan itu terukur. Benar.

”Tapi zaman telah berubah. Sekarang hutan sudah gundul. Gas kaca
hampir menyelimuti seluruh angkasa. Ozon bolong-bolong. Dan
terjadilah pemanasan global. Akhirnya siklus perubahan musim di
dunia ini jadi tidak jelas. Kita tidak bisa lagi mengatakan Januari
hujan sehari hari. Sebab tahun lalu saja ketika masuk bulan Januari
daerah Blora malah masih kemarau panjang. Belum hujan. Sampai
diciptakan hujan buatan. Terus kadang-kadang bulan Juli tiba-tiba

269 Bon--q97
Edited by : Bon
hujan di beberapa kota. Para petani sudah kehilangan patokan.
Mereka bingung. Kapan harus mencangkul kapan harus menanam,
dan kapan harus panen, mereka tidak tahu. Maka di sini kesimpulan
ilmu titen terdahulu harus diubah. Manusia harus mengamati lebih
dalam lagi gejala-gejala alam supaya hidup dengan seiahtera. Di sini
manusia harus ikhtiar dan bekerja keras. Kalau tetap mendasarkan
pada kesimpulan orang dulu ya semua kacau. Karena zamannya telah
berubah. Dulu waktu kita kecil Kartasura kan masih cukup sejuk
sekarang sudah panas luar biasa menyengat. Salatiga dulu kita
kedinginan kalau rekreasi ke sana. Sekarang sudah mulai panas.”

”Terima kasih Dik. Penjelasanmu membuka satu wawasan baru bagi


Kakak. Kakak jadi banyak belajar dari diskusi kita malam ini. Kita
tidak boleh tergesa-gesa menghukumi sesuatu. Segalanya harus
dilihat dengan seksama dan detil. Semua ada ilmunya. Terus apa
yang harus kakak lakukan berkaitan dengan permintaan Bue untuk
segera menikah?”

Lia menjawab, ”Ya terus berikhtiar Kak. Sampai menemukan yang


terbaik buat kakak dan bue cocok.”

”Ini Husna ada masukan lagi. Husna punya teman kerja di radio.
Sudah menikah. Lha suaminya itu punya adik perempuan lulusan
Fakultas Ekonomi Univesitas Indonesia. Namanya Milatul Ulya.
Biasa dipanggil Mila. Dia sekarang bekerja di sebuah bank syariah di
Surabaya. Kalau kakak mau, saya bisa minta datanya lebih detil
sekaligus fotonya.” Husna memberi harapan pada kakaknya.

”Boleh. Bagaimana Bue?” Ucap Azzam.

”Iya boleh saja.” Ucap Bu Nafis


”Eh cantik tidak Kak Husna?” Tanya Lia.

”Yang ditanya kok mesti cantiknya.” Tukas Husna.

270 Bon--q97
Edited by : Bon
Setidaknya Kak Azzam harus dapat isteri yang cantik. Harus gak
boleh kalah dengan Eliana. Lha wong sudah diisukan dekat dengan
Eliana kok terus dapatnya terlalu jauh cantiknya kan jadi jegleg.
Turunnya terlalu jauh. Sebagai adik Lia juga ingin punya kakak ipar
cantik. Tapi tetap yang shalihah. Betul begitu Kak Azzam?” Ujar Lia

’Tidak. Tidak harus cantik. Dan tidak harus secantik Eliana. Yang
penting ketika kakak memandangnya suka itu saja. Cantik bukan
yang Kakak cari. Yang kakak cari adalah orang yang bisa menjadi
penolong kakak untuk beribadah yang sebaik-baiknya kepada Allah
di dunia ini. Orang yang juga bisa membantu kakak meraih derajat
yang tinggi di akhirat nanti.” Sahut Azzam menerangkan kriteria
calon isterinya.

”Itu baru jawaban lulusan Al Azhar! Baik Kak, besok Husna akan
minta datanya Si Mila itu syukur ada fotonya sekalian.”

271 Bon--q97
Edited by : Bon

You might also like