You are on page 1of 38

A.

PENDAHULUAN

Etiologi dari AIDS adalah HIV, yaitu suatu virus yang merupakan bagian dari famili human retrovirus ( Retroviridae ), subfamili lentivirinae, dan genus lentivirus.1

1. Struktur dan Morfologi HIV


HIV merupakan suatu virus RNA bentuk sferis dengan diameter 1000 angstrom, yaitu sekitar 1/17 diameter dari limfosit CD4+ yang diserangnya. Strukturnya terdiri dari lapisan luar atau envelope virus yang terdiri atas tonjolan - tonjolan yang dibentuk oleh glikoprotein gp120 di sebelah luar yang melekat pada glikoprotein gp41 di transmembran. Struktur gp120 sendiri terdiri atas bagian yang tidak stabil yang menentukan antigenitas disebut (V) dan yang stabil disebut (C). Fungsi terdapat affinitas tinggi terutama di region V3 terhadap reseptor CD4+ sehingga bertanggung jawab pada awal interaksi dengan sel target. Sedangkan gp41 bertanggung jawab dalam adsorpsi. Di bagian dalamnya terdapat lapisan kedua yaitu matrix yang terdiri dari protein p17. Setelah itu terdapat inti HIV ( capsid) yang berbentuk seperti peluru dan dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti tersebut terdapat komponen penting berupa dua buah rantai RNA dan tiga enzim yang dibutuhkan untuk proses internalisasi atau

replikasi HIV, yaitu reverse transcriptase, integrase dan protease. HIV memiliki 9 gen, yaitu tiga diantaranya : gag, pol and env, yang mengandung informasi yang dibutuhkan untuk membentuk protein struktural untuk partikel virus yang baru, dan 6 lainnya tat, rev, nef, vif, vpr dan vpu, yaitu kode untuk protein yang mengendalikan kemampuan HIV untuk menginfeksi sel, produksi salinan virus baru, dan menyebabkan penyakit. Pada salah satu ujung dari masing - masing rantai RNA terdapat suatu sequence long terminal repeat yang membantu mengendalikan replikasi HIV. ( 1, 2, 3 ) 2. Siklus Hidup HIV HIV merupakan retrovirus obligat intraselular dengan replikasi sepenuhnya dalam sel host. Perjalanan infeksi HIV di dalam tubuh manusia diawali dari interaksi gp120 pada selubung HIV berikatan dengan reseptor spesifik CD4 yang terdapat pada permukaan membran sel target ( kebanyakan limfosit T CD4). Sel target utama adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4 (astrosit, mikroglia, monosit - makrofag, limfosit, Langerhan's, dendritik ). Meskipun demikian diketahui akhir -akhir ini diketahui bahwa HIV dapat menginternalisasi sel meskipun tanpa kemampuan mengekspresi CD4. Interaksi gp120 HIV dengan Cd4 mengakibatkan terjadi ikatan antara HIV dan sel target. Ikatan semakin diperkuat dengan ko - reseptor kedua yang memungkinkan gp41 menjalankan fungsinya untuk memperantai masuknya virus ke dalam sel target. Melalui gp41 terjadi fusi membran HIV dengan membran sel target. Fusi antar kedua membran memungkinkan semua partikel HIV masuk ke dalam sitoplasma sel target. Bertindak sebagai ko-reseptor lini kedua adalah 7 reseptor transmembran, tetapi yang terpenting adalah CC chemokine reseptor 5 ( CCR5 ) dan CXC chemokine reseptor 4 ( CXCR4 ) dengan melibatkan lebih 100 protein terkait.

Kekuatan ikatan antara HIV dan sel target sangat ditentukan afinitas koreseptor yang satu sama tidak sama. Perbedaan tersebut ditentukan oleh tropisme strain HIV. Kemampuan mengikat dan tropisme HIV tergantung pada struktur gp120, terutama patern rangkaian pada regio V3 dan V4. Pada regio lain gp120 berinteraksi dengan CD4 sesuai afinitas ko - reseptor. Setelah gp120 HIV terikat pada reseptor CD4 dan ko-reseptor CCR5 dan CXCR4, diiringi terjadinya perubahan konfirmasi gp41 sehingga memungkinkan terjadi insersi pada regio N- terminal hydrophobic fusion peptide ke dalam membran sel target. Akibat insersi ini menghasilkan fusi kedua membran. Berbagai komponen dan partikel - partikel HIV memasuki sel target. Proses ini sepenuhnya tergantung pada interaksi antara region N - dan C terminal pada ectodomain gp41. Interaksi intraprotein inilah yang menjadi dasar target intervensi farmakologik peptida - peptida seperti T-20 (enfuvirtide ), yang pada hakekatnya terjadi intervensi terhadap C - terminal gp41. Informasi genetik HIV yang terbawa melalui genom RNA terbawa masuk ke dalam sitoplasma sel host baru. Genom RNA disertai peran enzim reverse transcriptase akan membentuk DNA untaian tunggal ( single stranded DNA ) dan lebih lanjut terjadi transkripsi membentuk DNA untaian ganda ( double - stranded DNA ) untuk berintegrasi ke dalam genom sel host. Genom DNA untaian ganda membentuk kompleks dengan sel host disertai terpadunya berbagai protein virus ( termasuk matrik, integrase dan Vpr ) yang berhasil ditranspor ke dalam inti.

3. Integrasi dan Transkripsi


Genom HIV untaian ganda secara acak diintergrasi ke dalam genom sel host. Atas peran dari integrase virus DNA viral di - splice ke dalam DNA

manusia sehingga terjadi perubahan menjadi lebih stabil. DNA dibentuk oleh dua untaian molekul fosfat dan deoksiribosa bergantian dengan satu basa pirimidin ( timin atau sitosin ). Dalam satu nukleotida satu deoksiribosa, satu kelompok fosfat, satu basa, dan satu untai DNA merupakan polinukleotida. Basa tersusun seperti anak tangga, deoksiribosa dan kelompok fosfat tersusun tiang tangga. Kedua untaian tersebut terkait pada satu aksis yang sama membentuk heliks ganda. Urutan basa pada satu untai berpasangan secara saling melengkapi dengan basa yang pada untai lain. DNA membawa informasi genetik dalam bentuk kode. Kode tersebut disusun dengan memakai basa purin dan dua basa pirimidin. Tiga dari basa-basa ini dalam susunannya pada kode molekul DNA diperlukan untuk asam amino tertentu dan dipakai sebagai sisipan pada 4 peptida yang sudah ada. Basa ini yang menyampaikan informasi genetik yang diperlukan untuk sintesis protein. Pasangan basa sangat penting selama proses biosintesis protein, baik untuk RNA maupun DNA. Semua DNA yang berada di dalam sel berkedudukan di dalam nukleus. Sintesis protein dari asam amino terjadi di dalam sitoplasma. RNA memainkan peran sebagai perantara dalam penyampaian sandi genetik dari nukleus ke sitoplasma oleh mRNA, kemudian membantu pembentukan rantai peptida. Pada awal sintesis protein, mRNA disintesis di dalam nukleus melalui proses yang melibatkan pemasangan basa.. Sekali terbentuk, mRNA memasuki sitoplasma dan melekat pada struktur yang disebut ribosom. Asam amino bebas tidak langsung melekat pada mRNA tetapi terlebih dahulu diikat tRNA. RNA ini mengatur posisi yang tepat untuk melepaskan asam amino melalui proses pemasangan basa pada mRNA di ribosom. Sistem pemasangan yang kompleks ini akhirnya mengikatkan asam amino dalam urutan yang sesuai dengan urutan yang sudah ditentukan oleh DNA di nukleus. Transfer informasi genetik dari

DNA ke mRNA disebut transkripsi. Dari hasil transkrip ini dipergunakan untuk menyusun asam amino menjadi peptida, dan proses ini disebut translasi. Genom HIV yang berhasil berintegrasi ke dalam genom sel host, maka bentuk integrasi ini disebut provirus yang dapat dorman dalam jangka waktu yang lama. 5' LTR sekarang berperan sebagai promotor, dan regulator pembentukan cetakan RNA yang sangat tergantung dari faktor transkripsi sel host seperti SP - 1 dan NFKB serta Tat protein virus. Transkripsi molekul RNA HIV kemudian diikuti translasi protein virus. Kemudian dieksport dari inti dalam keadaan tak terpisah atau satu paket siap membentuk virion baru. Eksport inti RNA dipandu oleh protein virus Rev. Protein virus mempunyai berbagai peran dan memfasilitasi replikasi virus. Vpr memandu transkripsi sel host dan sel terinfeksi melalui G2/M pada siklus sel. Nef menginduksi downregulation reseptor. CD4 dan molekul MHC klas I. Vpu bertugas mempromosikan terjadinya degradasi CD4 dalam retikulum endoplasmik. Vif diperlukan dalam infektivitas partikel virus yang baru terbentuk.

4. Replikasi HIV
Replikasi berlangsung di dalam sel host. Setelah masuk dan berada di dalam sel target, HIV melepaskan single strand RNA (ssRNA). Sementara enzim reverse transcriptase yang telah disiapkan berperan dalam proses sintesis DNA. Enzim reverse transcriptase memanfaatkan RNA sebagai template untuk mensintesis DNA Selanjutnya RNA dipindahkan oleh ribononuklease, sedangkan enzim reverse transcriptase mensintesis DNA lagi sehingga menjadi double strand DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus masuk ke dalam nukleus dan menyatu dengan kromosom sel host dengan perantara enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif sehingga sementara proses transkripsi dan translasi berhenti. Sel target yang

terpapar HIV tersebut mengalami perubahan aktivitas, menjadi aktif memproduksi sitokin. Sitokin memicu nuclear factor KB(NF-KB) yang akan berikatan pada 5' LTR (Long Terminal Repeat) dan menginduksi terjadinya replikasi DNA. Enzim polimerase mentraskrip DNA menjadi RNA yang secara struktur berfungsi sebagai RNA genomik dan mRNA. RNA keluar dari nukleus kemudian mRNA mengalami translasi menghasilkan polipeptida. Polipeptida yang terbentuk bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti ini membentuk tonjolan pada permukaan sel dan kemudian polipeptida mengalami deferensiasi fungsi yang dikatalisasi oleh enzim protease menjadi protein dan enzim yang fungsional. Inti virus baru dilengkapi bahan selubung yaitu kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host guna membentuk envelope. Dengan demikian akhirnya terbentuk virus baru yang lengkap dan matur. Virus yang matur ini keluar dari sel target untuk menyerang sel target berikutnya. Dalam satu hari replikasi HIV dapat menghasilkan virus baru, jumlahnya dapat mencapai sekitar 10 millar.

5. Pelepasan HIV dari Sel Host Akumulasi dan komunikasi RNA HIV dengan berbagai protein di dalam virion diperlukan untuk mengatur aktivitas sel guna menghasilkan, memproses, dan mentranspor berbagai komponen sehingga dapat ditempatkan, diintegrasikan melalui proses katalitik. Dengan demikian komponen-komponen tersebut dapat diposisikan pada membran sel host dalam rangka pelepasan virion baru. Berbagai protein virus berperan penting dalam proses ini. Selain persiapan membran sel host, juga terjadi persiapan pada virus sebelum dilepaskan dari sel host. Polipeptida virus yang masih imatur di persiapkan menjadi matur sehingga dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Dengan bantuan enzim protease dan melalui suatu rangkaian proses dapat berbentuk

RNA HIV sesuai ukuran dan berat molekul yang dikehendaki. Virus memiliki envelope dan inti serta komponen lengkap, terbentuk partikel virus baru. Vpu memandu pelepasan virion dan membran sel host, melalui proses budding virus ini menembus keluar dari sel host dan siap menginfeksi sel host berikutnya.

6. Transmisi
Transmisi HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui 3 cara, yaitu: (1) secara vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak; (2) secara transeksual ( homoseksual maupun heteroseksual); (3) secara horizontal yaitu kontak antar darah, produk darah, atau jaringan yang terinfeksi (asas sterilisasi kurang diperhatikan terutama pada pemakaian jarum suntik bersama-sama secara bergantian, tato, tindik, transfusi darah, transplantasi organ, tindakan hemodialisis, perawatan gigi).

7. Manifestasi Dan Klasifikasi Klinis


Manifestasi klinis dari infeksi HIV merupakan gejala dan tanda pada tubuh host akibat intervensi HIV. Manifestasi dapat berupa gejala dan tanda infeksi virus akut, keadaan asimtomatis tanda infeksi virus akut, keadaan asimtomatis berkepanjangan, hingga manifestasi AIDS berat. Sering pada penderita HIV dan AIDS ditemukan infeksi oportunistik ( IO ) yaitu infeksi akibat adanya kesempatan untuk timbul pada kondisi - kondisi tertentu yang memungkinkan. Oleh karena itu organisme penyebab IO adalah organisme yang merupakan flora normal, maupun organisme patogen yang terdapat secara laten dalam tubuh yang kemudian mengalami reaktivasi. ( 1, 2 ) Derajat berat ringannya infeksi HIV dan AIDS ditentukan sesuai ketentuan WHO atau CDC. Klasifikasi klinis menurut CDC memerlukan

pemeriksaan hitung CD4 sedangkan klasifikasi klinis menurut WHO dapat digunakan tanpa adanya hasil pemeriksaan hitung CD4.4 Table 1. CDC Kategori Klinis dari Infeksi HIV (4) Kategori A: Terdiri dari 1 atau lebih kondisi dibawah ini pada remaja atau dewasa ( > 13 tahun ) dengan riwayat infeksi HIV. Kondisi - kondisi di kategori B dan C tidak boleh ada. - Infeksi HIV asimptomatik - Limfadenopati general persisten (Persistent generalized lymphadenopathy) - Acute (primary) HIV infection with accompanying illness or history of acute HIV infection Kategori B : Terdiri dari kondisi simtomatis yang tidak terdapat pada kategori C pada seseorang yang terinfeksi HIV, dan memenuhi minimal 1 dari kriteria: a) Kondisi kondisi tersebut disebabkan oleh infeksi HIV atau ada indikasi adanya suatu defek pada cell mediated immunity b) Kondisi kondisi tersebut diperkirakan perjalanan klinis atau penatalaksanaan yang dikomplikasi oleh infeksi HIV Contoh - contoh termasuk tapi tidak terbatasi oleh : Bacillary angiomatosis Kandidiasis orofaringeal (thrush ) Kandidiasis vulvovaginal yang sering, persisten, atau berespon buruk terhadap terapi Pelvic inflammatory disease ( PID ), terutama bila disertai komplikasi abses tubo ovarian Cervical dysplasia ( moderate or severe ) / cervical carcinoma in situ Hairy leukoplakia, oral

Idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP) Listeriosis Gejala konstitusional, seperti demam ( > 38.5C ) atau diare > 1 bulan Peripheral neuropathy Herpes zoster ( shingles ), melibatkan 2 episode or 1 dermatom Kategori C : Terdiri dari kondisi-kondisi yang termasuk indikator AIDS
Bacterial pneumonia, rekuren ( 2 episode dalam 12 bulan ) Kandidiasis bronkus, trakea, paru paru

Kandidiasis esophagus Cervical carcinoma, invasive, confirmed by biopsy Coccidioidomycosis, disseminated or extrapulmonary Cryptococcosis, extrapulmonary
Cryptosporidiosis, chronic intestinal (>1 bulan)

Cytomegalovirus disease (other than liver, spleen, or nodes) Encephalopathy, HIV-related


Herpes simplex: chronic ulcers (>1 bulan ), or bronchitis, pneumonitis,

or esophagitis Histoplasmosis, disseminated or extrapulmonary Isosporiasis, chronic intestinal (>1-month duration) Kaposi sarcoma Lymphoma, Burkitt, immunoblastic, or primary central nervous system Mycobacterium avium complex (MAC) or M kansasii, disseminated or extrapulmonary Mycobacterium tuberculosis, pulmonary or extrapulmonary Mycobacterium, other species or unidentified species, disseminated or

extrapulmonary Pneumocystis jiroveci (formerly carinii) pneumonia (PCP) Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML) Salmonella septicemia, recurrent (nontyphoid) Toxoplasmosis of brain
Wasting syndrome akibat HIV (involuntary -weight loss >10% of

baseline body weight) associated with either chronic diarrhea ( 2 loose stools per day 1 month) or chronic weakness and documented fever 1 month Dari ketentuan CDC tersebut, seseorang dikatakan menderita AIDS apabila memiliki hitung CD4 < 200 sel/ul tanpa memandang ada atau tidaknya gejala atau infeksi oportunistik, atau apabila telah didapatkam gejala atau infeksi oportunistik yang terdapat dalam kategori C.4 WHO telah memberikan kriteria stadium infeksi HIV untuk digunakan di tempat dimana kriteria CDC tidak dapat secara cepat digunakan oleh karena tiadanya modalitas pemeriksaan hitung limfosit CD4+. Kriteria WHO ini didasarkan pada laboratorium dan temuan klinis, dibedakan menjadi empat stadium seperti terlihat di bawah ini ( WHO, 1990 cited in Triyono, 2011). Tabel 2. Stadium Klinis HIV menurut WHO 5 STADIUM KLINIS 1 Asimtomatik

1. Asimtomatik 2. Limfadenopati
persisten generalisata ( Persistent generalized lymphadenopathy/ PGL) : Pembesaran kelenjar getah bening > 1 cm, pada 2 tempat ( tidak termasuk inguinal ), tanpa sebab, selama 3 bulan Painless enlarged lymph nodes

Dengan atau penampilan / aktivitas fisik skala 1 : asimptomatis, aktivitas normal STADIUM KLINIS 2 - sakit ringan / early mild disease

1. Penurunan berat badan <10% tanpa sebab, atau pada kehamilan berat
badan tidak meningkat

2. Minor mucocutaneous manifestations (seborrheic dermatitis, prurigo,


fungal nail infections, recurrent oral ulcerations, angular cheilitis)

3. Infeksi Varicella (herpes) zoster virus dalam 5 tahun terakhir 4. Infeksi saluran napas atas berulang (i.e., bacterial sinusitis)
Dengan atau penampilan / aktivitas fisik skala 2 : simptomatis, aktivitas normal STADIUM KLINIS 3 - sakit sedang / intermediate (moderate) disease 1. Penurunan berat badan > 10% 2. Diare kronik >1 bulan yang tidak diketahui sebabnya 3. Demam yang berkepanjangan ( > 1 bulan ) yang tidak diketahui sebabnya (intermittent or constant) 4. Kandidiasis oral (thrush) 5. Oral hairy leukoplakia 6. TB paru dalam 1 tahun terakhir 7. Infeksi bakterial yang berat (i.e., pneumonia, pyomyositis) 8. Anemia yang tidak diketahui sebabnya ( Hb < 8 g/dL ) 9. Neutropenia <500 cells/uL 10. Trombositopeni kronis <n50,000 cells/uL Dengan atau penampilan / aktivitas fisik skala 3 : lemah, berada di tempat tidur ( bed-ridden ) < 50% per hari dalam 1 bulan terakhir STADIUM KLINIS 4 - sakit berat / late (severe) disease (basically equivalent to AIDS)

1. HIV wasting syndrome, sesuai yang ditetapkan CDC ( penurunan berat


badan > 10 % )

2. Pneumocystis carinii (jirovecii) pneumonia (PCP) 3. Ensefalitis Toxoplasmosis 4. Diare karena Cryptosporidium >1 bulan 5. Cryptococcosis, extrapulmoner 6. Cytomegalovirus (CMV) disease of an organ other than liver, spleen, or
lymph nodes

7. Infeksi Herpes simplex virus (HSV), mucocutaneous > 1 bulan, atau


visceral dengan durasi berapapun

8. Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML) 9. Berbagai infeksi jamur berat (i.e., histoplasmosis, coccidioidomycosis) 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Kandidiasis esofagus, trakea, bronkus, atau paru Mycobacteriosis atipikal Non-typhoidal Salmonella septicemia TBC ekstrapulmoner Limfoma Maligna Kaposi's sarcoma (KS) Ensefalopati HIV, sesuai ketentuan CDC

Dengan atau penampilan / aktivitas fisik skala 4 : sangat lemah, selalu berada di tempat tidur ( bed-ridden ) > 50% per hari dalam 1 bulan terakhir

8. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan pada ODHA meliputi penatalaksanaan umum dan penatalaksanaan khusus. Penatalaksanaan umum antara lain istirahat, dukungan nutrisi yang berbasis makronutrien dan mikronutrien, dan konseling yang

termasuk pendekatan psikologis dan psikososial. Sedangkan, penatalaksanaan khusus meliputi pemberian antiretroviral therapy (ARV) kombinasi, terapi infeksi sekunder sesuai jenis infeksi yang ditemukan, dan terapi keganasan yang mungkin didapat. 2 Pemberian ARV yang dianjurkan adalah: - AZT (zidovudine) + 3TC (lamivudine) + EFV (efavirenz) - AZT (zidovudine) + 3TC (lamivudine) + NVP (nevirapine) - TDF (tenofovir disoproxil fumarate) + 3TC (lamivudine) / FTC (emtricitabine) + EFV(efavirenz) - TDF (tenofovir disoproxil fumarate) + 3TC (lamivudine) / FTC (emtricitabine) +NVP (nevirapine) AZT dapat menyebabkan anemia sehingga dianjurkan untuk

pemantauan hemoglobin, namun AZT lebih disukai dibandingkan d4T (starvudine) oleh karena efek toksik d4T ( lipoatrofi, asidosis laktat, dan neuropati perifer. Pengguanaan NVP, terutama pada perempuan dengan CD4 > 250 berisiko untuk timbul gangguan hati simtomatik, yang biasanya berapa ruam kulit. Dianjurkan untuk melakukan pemantauan kadar SGOT/SGPT selama terapi ARV yang mengandung NVP, yaitu pada minggu ke 0, 2, 4, 6, 8 dan kemudian setiap bulan sampai saat persalinan. NVP harus segera dihentikan bila terjadi kenaikan kadar SGPT > 2.5 kali dari batas atas nilai normal. EVF tidak boleh diberikan pada kehamilan trimester pertama dan pasein dengan peningkatan ALT pada tingkat 4 atau lebih.

Rekomendasi Terapi Antiretroviral Tabel 3. Klasifikasi HIV dengan gradasi klinis (WHO, 2006)2 Klinis Infeksi HIV Asimptomatik Ringan Lanjut Berat Stadium Klinis WHO I II III IV

Tabel 4. Rekomendasi memulai terapi antiretroviral penderita dewasa menurut WHO (2006)2 Stadium klinis WHO I II III Pemeriksaan CD4 tidak dapat Pemeriksaan dilakukan ARV belum direkomendasi ARV belum direkomendasi Mulai terapi ARV CD4 dapat dilakukan Terapi bila CD4 <200 sel/mm3 Mulai terapi bila CD4 <200 sel/mm3 Pertimbangkan terapi bila CD4 < 350 sel/ dan mulai ARV sebelum CD4 <200 sel/mm3 IV Mulai terapi ARV Terapi tanpa mempertimbangkan jumlah CD4

Tujuan Terapi Antiretroviral 1. Menurunkan angka kesakitan akibat HIV, dan menurunkan kematian akibat AIDS 2. Memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup penderita seoptimal mungkin 3. Mempertahankan dan mengembalikanstatus imun ke fungsi normal 4. Menekan replikasi virus serendah dan selama mungkin sehingga kadar HIV dalam plasma <50 kopi/ml Terapi sebaiknya diberikan dalam bentuk kombinasi dan dipantau secara ketat untuk mengevaluasi kemajuan terapi, munculnya efek samping, serta kemungkinan timbulnya resisten. Tabel 5. Rekomendasi memulai terapi ARV berdasarkan CD4 penderita dewasa (WHO 2006)2 CD4 (sel/mm3) < 200 200-350 >350 Keterangan: a. CD4 perlu ditetapkan setelah dilakukan dilakukan upaya stabilisasi b. Dalam membuat keputusan pemberian ARV seyogyanya berdasarkan CD4 dengan stadium klinis c. Penurunan CD4 hingga <200 sel/mm3 merupakan kondisi serius, terkait infeksi, terkait infeksi sekunder dan kegawatan Rekomendasi Terappi Mulai Terapi ARV pada semua stadium klinis Pertimbangkan untuk memulai terapi sebelum CD4 turun <200 sel/mm3 Jangan memulai ARV dulu

d. Memulai ARV direkomendasi pada semua stadium klinis 4 dan stadium 3 pada keadaan tertentu, terutama TB pulmoner dan infeksi bakteriil berat e. Memulai ARV direkomendasi pada infeksi HIV stadium klinis 3dengan kehamilan dan CD4 <350 sel/mm3.2

B.

PENATALAKSANAAN

KOINFEKSI

PENDERITA HIV
1. Pendahuluan
Penyakit infeksi HIV tidak hanya menyulitkan diagnosis penyakit penyerta, tetapi juga meningkatkan insidens koinfeksi. Oleh karena kompleksnya permasalahan HIV koinfeksi, maka diperlukan strategi penatalaksanaan secara terpadu, professional, serta berkesinambungan sehingga kualitas hidup penderita dapat ditingkatkan, angka kesakitan dan kematian dapat ditekan serendah mungkin. Karena mortalitas diakibatkan koinfeksi, maka penatalaksanaan ditujukan tidak saja HIV tetapi juga koinfeksinya, sehingga memungkinkan penderita mampu bertahan hidup lebih lama.2

2. Progresivitas penyakit infeksi HIV


Waktu yang diperlukan infeksi permulaan hingga menjadi AIDS sekitarf 10-12 tahun, tetapi laju progresivitas penyakit sangat bervariasi. Beberapa studi menunjukkan adanya berbagai factor yang menentukan progresivitas infeksi. Studi tersebut didasarkan pada gambaran klinis dan evaluasi jumlah CD4. Bila jumlah CD4 sangat rendah (<200 sel/mm3) maka koinfeksi cenderung mulai bermunculan.

3. Koinfeksi HIV
Beberapa koinfeksi atau infeksi sekunder yang sering menyertai infeksi HIV adalah sebagai berikut : 1. Tuberculosis dan infeksi bacterial lain (Mycobacterium aviumintraseluler, Lysteria monocytogen, Nocardia asteroids, spesies salmonella, spesies streptococcus) 2. Pneumocystis dan protozoa lain (Pneumocystis carinii pneumonia (PCP); toxoplasma gondii; cryptosporidiosis; microsporidiosis; isosporiasis) 3. Infeksi jamur (Cryptococcus Neoformans, candida species, histoplasma capsulatum, coccidioides immitis, aspergillus species, blastomyces dermatitidis, penicillium marneffei) 4. Infeksi virus (herpes simpleks, herpes zoster, cytomegalovirus, Epsteinbarr virus, human herpesvirusses 6 dan 7, human herpesvirusses ; virus hepatitis ( hepatitis virus B, hepatitis virus C) 5. Infeksi pada system saraf pusat (meningitis aseptic, AIDS dementia complex, toxoplasmosis serebral, meningitis cryptococcal, leukoencephalitis multifocal progresif, infeksi CMV) 6. Infeksi pada oral (kandidiasis, infeksi bacterial, herpes simpleks, herpes zoster, CMV) 7. Infeksi pada saluran cerna (Cryptosporidiosis) Penatalaksanaan HIV-koinfeksi cukup rumit dan tidak mudah, perlu dilakukan melalui pendekatan secara holistic. Tidak saja bertitik tumpu pada dampak biologis akibat intervensi HIV pada sel target, tetapi juga dampak psikologis, dan psikososial akibat stigma dan diskriminasi. Peran ARV begitu penting untuk membatasi ruang gerak HIV. Upaya penatalaksanaan menjadi

optimal bila disertai pemberantasan koinfeksi, dukungan nutrisi berbasis makro dan mikronutrien, konseling, latihan fisik, dan membawa penderita ke perilaku hidup sehat.2

I. HIV KOINFEKSI TOKSOPLASMOSIS


Ensefalitis toksoplasmik (TE) disebabkan oleh protozoa Toxoplasma gondii. Infeksi primer kadang berhubungan dengan penyakit diseminata atau serebral akut. TE merupakan koinfeksi yang sering pada fase awal AIDS. Toksoplasmosis sangat berbahaya pada ODHA. Sering merupakan reaktivasi infeksi laten, terutama bila CD4 < 100 sel/mm3. I. a. Epidemiologi Kasus toksoplasmosis pada pasien yang seronegatif T. gondii bisa dikatakan rendah. Jika memang terdapat kasus yang didokumentasikan dengan baik untuk pasien seronegatif, kemungkinan besar yang ditampilkan adalah infeksi primer, reaktivasi penyakit laten pada pasien yang tidak bisa menghasilkan antibodi yang mampu dideteksi atau pasien yang diuji dengan uji penetapan kadar yang tidak sensitif. Jumlah kasus dan kematian yang diakibatkannya di Eropa dan Amerika Serikat telah menurun tajam setelah penerapan ART dan penggunaan rejimen profilaksis (rejimen = penanganan terapis medis) yang aktif melawan T. gondii. Penyakit klinis jarang ditemui pada pasien dengan CD4+ hitung >200 sel/L. Infeksi primer terjadi setelah makan daging yang tidak dimasak sampai matang yang masih mengandung sista jaringan atau mencerna oosista yang berasal dari

kotoran kucing dan sporanya menyebar di lingkungan (sporulasi atau produksi spora membutuhkan setidaknya 24 jam). Tidak ada transimisi organisme terjadi karena kontak langsung antar manusia. I. b. Manifestasi Klinis Wujud klinis infeksi T. gondii yang paling sering dijumpai pada pasien yang mengidap AIDS adalah ensefalitis fokal dengan disertai sakit kepala, perasaan gelisah, atau merasa gerakannya lemah dan demam. Pemeriksaan fisik mungkin menunjukan ketidaknormalan neurologis fokal dan jika tidak ditangani, penyakit bisa mengakibatkan serangan jantung, pingsan dan koma. Retinokoroiditis, pneumonia, dan bukti adanya keterlibatan sistem organ multifokal lain terlihat setelah penyebaran infeksi tetapi jarang ditemui pada populasi pasien ini. CT scan atau MRI otak biasanya menunjukan lesi kontrasmenguatkan dalam jumlah banyak yang sering disertai dengan edema. Akan tetapi, toksoplasmosis juga bisa berwujud satu lesi tunggal dalam otak. I. c. Diagnosa

Pasien terinfeksi HIV dengan TE hampir semuanya seropositif untuk antibodi immunoglobulin G (IgG) anti-toksoplasma. Tidak adanya antibodi IgG membuat diagnosa toksoplasmosis sulit dilakukan tetapi masih mungkin dilakukan. Biasanya tidak dijumpai Antibodi immunoglobulin M (IgM) antitoksoplasma. Jumlah titer antibodi (titer = konsentrasi antibodi) tidak bermanfaat secara diagnostik.

Diagnosis definitive TE membutuhkan sindrom klinis yang sesuai; identifikasi satu lesi masa atau lebih dengan menggunakan CT, MRI, atau uji radiografik lain; dan deteksi organisme dalam sebuah sampel klinis. Untuk TE, dibutuhkan biopsi otak yang biasanya dilakukan dengan menggunakan biopsi jarum yang diarahkan dengan menggunakan CT. Organisme dapat ditampilkan dengan menggunakan hematoksilin dan warna eosin meskipun pewarnaan imunoperoksidase yang dilakukan oleh laboratorium berpengalaman bisa meningkatkan sensitifitas. Deteksi T.gondii dengan reaksi rantai polymerase (PCR) dalam cairan serebrospinal (CSF) menghasilkan hasil yang mengecewakan; meskipun spesifitasnya tinggi (96%-100%), sensitifitasnya tergolong rendah (50%) dan hasilnya biasanya negatif ketika dimulai terapi anti-toksoplasma tertentu. Diagnosa berbeda untuk penyakit neurologis fokal pada pasien dengan AIDS meliputi limfoma sistem syaraf pusat (CNS) ; infeksi mikobakterial (terutama TB); infeksi jamur (contohnya kriptokokosis); penyakit Chagas; abses bakteri; dan meskipun jarang, PML, yang bisa dibedakan berdasarkan studi tampilannya (lesi PML biasanya menampilkan sesuatu yang berwarna putih, bukan abu-abu, bersifat menguatkan tapi non-kontras, dan tidak menghasilkan efek masa). Kebanyakan dokter pada awalnya tergantung pada diagnosa empirik yang bisa digunakan sebagai respon obyektif, berdasarkan perkembangan klinis dan hasil radiografik sampai melakukan terapi anti T-gondii spesifik tanpa mempertimbangkan diagnosa alternatif lain. Biopsi otak dilakukan untuk pasien yang gagal merespon terapi spesifik. Untuk pasien dengan lesi masa menguatkan-kontras, deteksi virus Epstein-Barr (EBV) dengan PCR pada CSF

sangat disarankan untuk limfoma CNS. Tomografi emosi posisi (PET) atau scanning tomografi dengan penghitungan emisi foton-tunggal (SPECT) mungkin efektif untuk membedakan antara TE dan limfoma CNS primer tetapi tidak ada teknik tampilan gambar yang benar-benar spesifik. I. d. Mencegah Terjangkit Penyakit Orang yang terinfeksi HIV harus diuji antibodi IgG toksoplasma setelah diagnosa infeksi HIV untuk mendeteksi infeksi laten dengan T. gondii. Orang yang terinfeksi HIV termasuk juga orang yang kekurangan antibodi IgG toksoplasma harus memperoleh pengarahan terkait sumbersumber infeksi toksoplasma. Untuk meminimalkan resiko terjangkit toksoplasmosis, orang yang terinfeksi HIV disarankan tidak mengkonsumsi daging mentah atau yang tidak dimasak sampai matang, termasuk daging domba, sapi, babi atau rusa yang tidak dimasak sampai matang. Daging domba, sapi, rusa dan babi harus dimasak sampai temperatur internalnya mencapai 165oF-170oF; daging yang dimasak sampai bagian dalamnya tidak lagi berwarna merah muda biasanya memiliki temperatur internal sebesar 165oF170oF dan oleh sebab itu, dari perspektif praktis, memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Untuk meminimalkan resiko terjangkit toksoplasmosis, orang yang terinfeksi HIV harus membasuh tangan mereka setelah bersentuhan dengan daging mentah dan setelah melakukan kegiatan berkebun atau bersentuhan dengan tanah; selain itu mereka harus membasuh buah-buahan dan sayursayuran dengan baik sebelum memakannya mentah. Jika pasien memiliki kucing, kotak kotoran harus dibersihkan setiap hari, yang sebaiknya dilakukan oleh orang negatif-HIV yang tidak hamil; atau, pasien harus membasuh

tangannya sampai bersih setelah mengganti kotak kotoran. Pasien harus disarankan untuk tetap menjaga kucingnya didalam rumah dan tidak mengambil kucing yang berkeliaran di jalan. Kucing sebaiknya hanya diberimakan dengan makanan kaleng atau makanan kering atau makanan yang sudah dimasak dengan baik, bukan daging mentah atau daging yang belum matang. Pasien masih bisa tinggal dengan kucingnya dan kucingnya juga tidak harus menjalani pengujian toksoplasmosis. I. e. Mencegah Penyakit Mengawali Profilaksis Primer Pasien seropositif-Toksoplasma yang memiliki CD4+ <100 sel/L harus mendapatkan profilaksis untuk melawan TE. Dosis harian TMP-SMX tablet dengan kekuatan ganda juga efektif melawan TE dan oleh sebab itu kami sarankan penggunaannya. TMP-SMX, satu tablet dengan kekuatan ganda tiga kali seminggu, bisa dijadikan alternatif. Jika pasien tidak cocok dengan TMPSMX, alternatif yang diasarankan adalah dapsone-pyrimethamine diambah leucovorin yang juga efektif melawan PCP. Pemberian atovaquone dengan atau tanpa pyrimethamine/leucovorin juga bisa dipertimbangkan. Monoterapi profilaktik dengan dapsone, pyrimethamine, azithromycin, atau clarithromycin tidak bisa direkomendasikan berdasarkan data yang ada. Pentamidine teraerosolisasi tidak memberikan perlindungan terhadap TE dan tidak direkomendasikan. Orang seronegatif-Toksoplasma yang tidak mengkonsumsi rejimen profilaktik PCP yang terkenal aktif melawan TE (contohnya pentamidine teraerosolisasi) harus menjalani pengujian kembali untuk mengukur antibodi

IgG terhadap Taksoplasma ketika jumlah CD4+ menurun sampai <100 sel/L untuk menentukan apakah mereka mengalami perubahan sero dan oleh sebab itu beresiko TE. Pasien yang mengalami perubahan sero harus memperoleh profilaksis untuk TE seperti dijelaskan sebelumnya. Menghentikan Profilaksis Primer Profilaksis melawan TE harus dihentikan untuk pasien dewasa dan remaja yang memberikan respon terhadap ART dengan menunjukan peningkatan jumlah CD4+ sampai >200 sel/L selama >3 bulan. Sudah banyak studi pengamatan dan dua ujicoba acak menyampaikan laporan bahwa profiklasis primer bisa dihentikan dengan resiko minimal perkembangan TE pada pasien yang merespon ART dengan peningkatan jumlah CD4+ dari <200 sel/L sampai >200 sel/L selama >3 bulan. Dalam studi ini sebagian besar pasien mendapatkan rejimen yang mengandung PI dan level rata-rata CD4+ ketika profilaksis dihentikan adalah >300 sel/L. Pada saat profilaksis dihentikan, sebagian besar pasien tetap menampilkan supresi level HIV RNA plasma dibawah batas deteksi uji pengukuran; rata-rata lanjutan 7-22 bulan. Meskipun pasien dengan level CD4+ <sel/L memiliki resiko terbesar terjangkit TE, resiko untuk kemunculan TE ketika level CD4+ naik sampai 100-200 sel/.L belum dipelajari sama baiknya dengan peningkatan sampai >200 sel/L. Oleh sebab itu, penghentian profilaksis direkomendasikan dilakukan setelah peningkatan sampai >200 sel/L. Penghentian profilaksis TE primer direkomendasikan karena profilaksis pada level CD4+ >200 sel/L justru membatasi penanganan penyakit toksoplasmosis dank arena menghentikan pemberian obat menurunkan resiko yang muncul karena racun obat, interaksi obat, seleksi pathogen yang kebal obat, dan pertimbangan biaya. Profilaksis

untuk TE sebaiknya diberikan kembali jika level CD4+ menurun sampai mencapai <100-200 sel/L. I. f. Penanganan Penyakit Pilihan terapi awal untuk TE meliputi kombinasi pyrimethaninesulfadiazine-leucovorine. Pyrimethanine memiliki daya penetrasi parenkima otak yang efisien bahkan meskipun tidak terjadi peradangan. Penggunaan leucovorin menurunkan kemungkinan toksisitas hematologi yang biasanya menyertai terapi pyrimethamine. Rejimen alternatif yang sesuai untuk pasien TE yang tidak cocok atau tidak memberikan repson terhadap terapi pertama adalah pemberian pyrimethamine, clindamycin dan leucovorin. Terapi akut untuk TE harus diteruskan setidaknya selama 6 minggu, jika terjadi perkembangan klinis dan radiologi. Pemberian yang lebih lama bisa dibenarkan jika penyakit secara klinis atau radiologis berlangsung lama atau tidak diperoleh respon lengkap setelah enam minggu. Lesi CNS pasti tidak memiliki penguatan kontras pada CT/MRI. Korikosteroid ajungtif (contohnya dexamethasone) sebaiknya diberikan kepada pasien dengan TE jika secara klinis terindikasi hanya untuk penanganan efek masa yang berhubungan dengan lesi fokal atau edema terkait. Karena potensi efek imunosupresif kortikosteroid, pemberian obat ini sebaiknya dihentikan jika secara klinis bisa ditangani. Pasien yang menerima kortikosteroid harus diawasi dengan ketat untuk mengamati perkembangan OI lainnya, termasuk retinis sitomegaolvirus (CMV) dan penyakit TB.

Antikonvulsan sebaiknya diberikan kepada pasien TE yang memiliki riwayat serangan jantung tetapi tidak boleh diberikan sebagai profilaktik kepada semua pasien. Antikonvulsan, jika diberikan, harus dilanjutkan setidaknya selama periode terapi akut. I. G. Pengawasan dan Kejadian Yang Tidak Diinginkan, Termasuk

Sindrom Radang Rekonstitusi Imun (IRIS)


Perubahan titer antibodi tidak efektif untuk mengawasi respon terhadap terapi. Pasien dengan TE harus diawasi secara rutin untuk mengetahui kejadian yang tidak diinginkan dan perkembangan klinis dan radiologis. Toksisitas pyrimethamine yang sering dijumpai meliputi ruam pada kulit, perut mual, dan supresi sumsum tulang (neutropenia, anemia, dan trombositopenia) yang bisa dibalik dengan meningkatkan dosis leucovorin sampai 50-100 mg/hari yang diberikan dalam dosis terpisah. Toksisitas sufadiazine yang sering dijumpai antara lain ruam kulit, demam, leucopenia, hepatitis, mual perut, muntah, diare, dan kritaluria. Toksisitas clindamycin yang umum meliputi demam, ruam kulit, mual perut, diare (termasuk colitis pseudomembranosa atau diare yang disebabkan oleh toksin Clostridium diffictle) dan hepatotoksitas. Toksisitas TMP-SMX yang umum adalah suam kulit, demam, leucopenia, thrombositopenia dan hepatoksisitas. Interaksi obat antara antikonvulsan dan obat antiretroviral harus dievaluasi dengan cermat dan dosisnya disesuaikan menurut petunjuk yang ada. Beberapa kasus penyakit neurologis berhubungan dengan rekonstitusi imun dan toksoplasmosis tetapi data masih dibutuhkan untuk membenarkan

bahwa kasus seperti itu berhubungan dengan IRIS yang ada kaitannya dengan T.gondii. I. h . Penanganan Kegagalan Perawatan Biopsi otak, jika sebelumnya tidak dilakukan, sebaiknya diterapkan untuk pasien yang gagal merespon terapi awal TE seperti terlihat dari penurunan klinis atau radiologis selama minggu pertama meskipun terapinya sudah cukup baik atau rendahnya perkembangan klinis selama 2 minggu. Untuk pasien yang memperoleh biopsi otak dan sudah dipastikan terdapat bukti hiistopatologis TE, harus dipertimbangkan melakukan perpindahan ke rejimen alternatif seperti dijelaskan sebelumnya. Kekambuhan penyakit selama terapi sekunder untuk mempertahankan hasil perawatan setelah ada respon klinis dan radiografis awal biasanya tidak ditemukan jika pasien cocok dengan rejimennya. I. i. Mencegah Kekambuhan Pasien yang telah menyelesaikan terapi awal TE seharusnya diberikan terapi supresif selamanya (contohnya profilaksis sekunder atau terapi perawatan kronis) kecuali jika terjadi rekonstitusi imun sebagai akibat dari ART dimana menjadi indikasi penghentian penanganan. Kombinasi pyrimethaminesulfadiazine-leucivorin sangat efektif sebagai terapi supresif untuk pasien TE dan memberikan perlindungan terhadap PCP. Meskipun sulfadiazine biasanya secara rutin diberikan dengan dosis empat kali sehari, studi farmakokinetik menunjukan bioekuivalen (persamaan) ketika menggunakan dosis harian yang sama dua kali sehari atau empat kali sehari dan beberapa pengalaman klinis menunjukan bahwa pemberian dosis dua kali sehari juga efektif. Rejimen yang

biasanya digunakan sebagai terapi supresif untuk pasien TE yang tidak cocok dengan obat sulfa adalah ptrimethamine plus clindamycine. Karena tingkat kegagalan yang tinggi untuk pemberian dosis yang rendah, disini direkomendasikan pemberian clindamycine dengan dosis 600 mg setiap 8 jam. Akan tetapi, rejimen ini tidak memberikan perlindungan terhadap PCP dan oleh sebab itu harus digunakan obat tambahan (contohnya aerosol pentamidine). Atovaquone dengan atau tanpa pyrimethamine atau sulfadiazine juga efdektif melawan TE dan PCP tetapi lebih mahal. Studi kecil non-kontrol pada pasien yang sebelumnya memperoleh ART selama rata-rata 13 bulan menunjukan bahwa TMP-SMX bisa digunakan sebagai rejimen supresif untuk mengurangi efek pemberian pin. I. j. Pertimbangan Khusus Selama Kehamilan Dokumentasi status serologis T.Gondii maternal harus diperoleh selama kehamilan. Indikasi penanganan T.gondii selama kehamilan seharusnya berdasarkan penyakit yang gejalanya sudah diketahui pasti pada ibu. Penyedia layanan pediatrik (kesehatan anak dan ibu) harus diberitahu jika ibu yang terinfeksi HIV seropositif infeksi T.gondii sehingga bisa dilakukan evaluasi terhadap bayi untuk mencaritahu bukti infeksi kongenital. Perempuan terindeksi HIV yang sedang mengandung dengan infeksi T.gondi (baik dugaan atau sudah dikonfirmasi) selama kehamilan harus mendapatkan konsultasi dari bagian kesehatan ibu dan anak atau spesialis lain. Penanganan seharusnya sama seperti yang diberikan pada orang dewasa yang tidak hamil. Meskipun pyrimethamine menyebabkan cacat lahir pada hewan, data manusia menunjukan tidak adanya peningkatan resiko cacat dan

oleh sebab itu bisa diberikan kepada perempuan. Penyedia layanan pediatrik harus diberitahu jika sulfadiazine terus diberikan sampai kelahiran bayi karena pneggunannya mungkin meningkatkan resiko hiperbilirubinemia dan kernekterus pada bayi. Meskipun transimisi perinatal T.gondii biasanya terjadi hanya dengan infeksi akut pada induk yang imunokompeten, laporan kasus menunjukan terjadinya transimisi dengan disertai reaktifasi infeksi ronis pada perempuan yang terinfeksi HIV dengan imunosupresi (penurunan kekebalan tuubh) yang parah. Perempuan terinfeksi HIV yang mengandung yang terbukti menderita infeksi toksoplasmik primer, termasuk TE, harus memperoleh evaluasi dan penanganan selama kehamilan disertai konsultasi dengan spesialis yang tepat. Karena resiko transmisi dengan infeksi kronis tampaknya rendah, evaluasi rutin janin untuk mengetahui infeksi dengan amniosentesis atau kordosentesis dianggap tidak perlu. Pemeriksaan ultrasonik secara mendetail terhadap janin secara spesifik untuk mengevaluasi hidrosefalus, kalsifikasi serebral, dan hambatan pertumbuhan harus dilakukan untuk perempuan yang terinfeksi HIV yang diduga atau telah terbukti menunjukan reaktifasi gejala T.gondii selama kehamilan. I. k. Profilaksis TMP-SMX bisa diberikan untuk profilaksis primer untuk mengatasi TE seperti dijelaskan untuk PCP. Profilaksis sekunder sebaiknya diberikan dengan menggunakan indikasi yang sama untuk perempuan yang tidak hamil. Resiko TMP-SMX selama triwulan pertama seperti dibahas untuk PCP, harus diseimbangkan untuk mengatasi resiko kambuhnya TE.

II. Kriptosporidiosis
II. a. Epidemiologi Kriptosporidiosis disebabkan oleh berbagai spesies protozoa parasit Cryptosporidium yang menginfeksi mukosa usus kecil dan untuk orang terimunosupresi, pada usus besar dan lokasi ekstra-usus. Orang dengan resiko terbesar untuk penyakit ini menampilkan imunosupresi lanjut biasanya level CD4+ <100 sel/L. Tiga spesies yang paling sering menginfeksi manusia adalah C hominis, C. parvum, dan C. meleagridis. Infeksi biasanya disebabkan oleh satu spesies tetapi mungkin juga gabungan. Di negara maju dengan tingkat kontaminasi lingkungan yang rendah dimana ART tersedia luas, kasus kriptosporidiosis terjadi dengan skala <1 per 100 orang setiap tahun untuk penderita AIDS. Infeksi terjadi melalui pencernaan oosista Cryptosporidium. Oosista pada kotoran bisa langsung ditransmisikan melalui kontak dengan manusia atau hewan yang terinfeksi, terutama yang menderita diare. Oosista bisa mengkontaminasi sumber air untuk kepentingan rekreasi (kolam renang, mdanau) dan suplai air untuk publik dan mungkin sulit diatasi meskipun sudah melakukan klorinasi standar (lihat Lampiran: Makanan dan Air Terkait Penyebaran Penyakit). Transmisi antar orang juga sering dijumpai, terutama antara laki-laki yang aktif secara seksual yang berhubungan seksual dengan sesame laki-laki (MSM). Anak-anak penderita diarea kriptosporidial mungkin menginfeksi orang dewasa selama proses penggantian popok dan pembersihan kotoran setelah buang air besar.

II. b. Manifestasi Klinis


Pasien kripstosporidiosis biasanya menderita diare berair, tak berdarah dengan jumlah besar yang akut atau sub-akut disertai dengan mual, muntah dan keram perut bagian bawah. Demam biasanya ditemui pada sepertiga pasien disertai dengan malabsorpsi (gangguan penyerapan). Epitelium sistem biliari dan saluran pancreas bisa terinfeksi oleh Cryptosporidium sehingga menyebabkan proses sklerosi kolangitis dan pankreatitis yang disebabkan oleh stenosis papiler terutama pada pasien yang mengidap penyakit selama waktu yangt lama dengan level CD4+ yang rendah. Juga dilaporkan adanya infeksi pulmonari.

II.c. Diagnosa
Spesies Cryptosporidium bisa dibiakan secara in vitro tetapi tidak bisa melalui prosedur diagnostik rutin. Diagnosa kriptosporidium bisa dilakukan melalui identifikasi mikroskopis oosista dalam kotoran atau jaringan. Metode pwarnaan asam-cepat dengan atau tanpa konsentrasi kotoran paling sering digunakan dalam laboratorium klinisi. Oosista memunculkan perbedaan intensitas warna merah dengan teknik asam-cepat termodifikasi sehingga mereka bisa dibedakan dengan ragi yang ukuran dan bentuknya sama tetapi bukan asam cepat. Oosista cryptosporidium juga bisa dideteksi melalui imunofluorens langsung yang memberikan sesitifitas dan spesifitas tertinggi atau melalui pengujian imunosorben terhubung enzim (ELISA). Metode molekul seperti PCR diperkirakan bisa meningkatkan sensitifitas lebih lanjut. Enteritis kriptosporidial juga bisa didagnosa dari bagian biopsi usus kecil.

Organisme yang tampaknya basofilik dengan hematoksilin dan pewarnaan eosin, muncul dengan sendirinya atau dalam kelompok dengan berbagai tahap perkembangan pada batas permukaan epithelial mukosal. Untuk beberapa orang yang menderita penyakit diarea yang berlimpah, satu spesimen kotoran biasanya sudah cukup untuk diagnosa. Untuk beberapa orang dengan penyakit yang lebih ringan, direkomendasikan mengambil sampel kotoran berulangkali, meskipun tidak ada studi terkontrol menunjukan kegunaan tiga sampel kotoran seperti dalam kasus infeksi Giardia duodenalis.

II.d. Mencegah Terjangkit Penyakit


Orang terinfeksi HIV harus dididik dan diberi pengarahan terkait berbagai cara penyebaran Cryptosporidium. Mode transmisi antara lain kontak langsung dengan orang dewasa, balita, dan hewan yang terinfeksi; bersentuhan dengan air ketika berekreasi; meminum air yang terkontaminasi; dan makan makanan yang terkontaminasi. Membasuh tangan sampai bersih bisa mengurangi resiko diare untuk orang yang terinfeksi HIV, termasuk diare yang disebabkan oleh Cryptosporidium. Orang yang terinfeksi HIV disarankan untuk membasuh tangan mereka setelah melakukan kontak dengan kotoran manusia (termasuk setelah mengganti popok anak) dan setelah melakukan kegiatan berikut ini: bermain dengan hewan peliharaan atau bersentuhan dengan hewan lain, berkebun atau kontak lainnya dengan tanah dan setelah berhubungan badan. Orang yang terinfeksi HIV harus menghindari berhubungan badan tanpa alat pelindung, terutama praktek yang bisa mengakibatkan kontak langsung

(contohnya oral-anal) atau tidak langsung (contohnya penile-anal) dengan kotoran. Pasien disarankan menggunakan alat pelindung selama berhubungan badan untuk mengurangi resiko terjangkit (contohnya dengan memakai kondom, pelindung gigi). Orang yang terinfeksi HIV (terutama untuk pasien dengan level CD4+ <200 sel/L), harus menghindari kontak langsung dengan diare atau kotoran dari hewan peliharaan, terutama hewan yang berkeliaran atau anjing dan kucing yang usianya <6 bulan. Sarung tangan harus digunakan ketika membersihkan kotoran atau wilayah yang terkena kotoran yang mungkin terkontaminasi oleh kotoran hewan. Orang yang terinfeksi HIV harus membatasi atau menghindari berhubungan dengan anak sapid an domba (contohnya di peternakan atau kebun binatang). Memperhatikan kebersihan dan menghindari kontak langsung dengan kotoran harus selalu diingat ketika mengunjungi tempat-tempat dimana hewan-hewan ini dipelihara atau dipertontonkan. Orang yang terinfeksi HIV tidak boleh minum air langsung dari danau atau sungai. Infeksi yang dibawa air bisa disebabkan oleh menelan air selama kegiatan rekreasi. Orang terinfeksi HIV harus tahu bahwa danau, sungai, dan pantai asin dan beberapa kolam renang, taman wisata dan air mancur bisa saja terkontaminsasi di perairan wisata. Wabah kriptosporidiosis bisa disebabkan oleh meminum air dari suplai air untuk publik. Selama wabah atau situasi lainnya dimana disarankan memasak air, memasak air selama setidaknya 3 menit akan menghilangkan kotoran manusia dan hewan yang mengandung Cryptosporidium. Mereka tidak boleh menelan air ketika berenang atau bermain

resiko kriptosporidiosis. Menggunakan penyaring air personal sub-mikron (tipe rumah/kantor) atau air kemasan bisa mengurangti resiko terkena infeksi dari sumber air untuk umum. Tingkat resiko terjangkit kriptosporidiosis dari meminum air dalam situasi dimana tidak ada wabah masih belum pasti dan data yang ada tidak cukup untuk merekomendasikan bahwa semua orang yang terinfeksi HIV harus memasak air atau menghindari minum air langsung dari keran dalam situasi dimana tidak ada wabah. Akan tetapi, orang yang terinfeksi HIV yang sadar dan ingin mengurangi resiko terjangkit kriptosporidiosis yang disebabkan oleh air bisa melakukan tindakan pencegahan dini yang sama dengan yang direkomendasikan untuk situasi ketika terjadi wabah. Orang yang memilih penyaring air personal atau air kemasan harus menyadari tidak mudahnya memilih produk yang tepat, rendahnya standar untuk menghilangkan oosista, biaya produk, dan kesulitan logistik ketika menggunakan produk ini secara terus menerus. Orang yang mengambil tindakan pencegahan dini supaya terhindar dari kriptosporidiosis karena meminum air harus paham bahwa es yang dibuat dari air keran yang terkontaminsasi juga bisa menjadi sumber infeksi. Orang seperti itu harus paham bahwa air minum dari air mancur yang ada di restauran, bar, gedung pertunjukan drama, dan tempat lain mungkin beresiko karena air minum dan es in biasanya terbuat dari air kran. Minuman ringan berkarbonasi yang dikemas dalam kaleng atau botol dengan skala distribusi nasional aman untuk diminum. Minuman ringan non-karbonasi dan jus buah yang dikemas dan dijual luas tidak perlu disimpan di lemari es kecuali jika kemasannya sudah dibuka (bisa disimpan di rak-rak toko) juga aman. Konsentrat jusu buah beku

aman dikonsumsi jika pengguna mencairkan dengan air dari sumber air yang aman. Jus buah yang harus disimpan dalam lemari es mulai dari pemrosesannya sampai waktu akan dikonsumsi bisa saja dalam bentuk segar (contohnya tidak perlu di pasteurisasi) atau harus dipanaskan (dipasteurisasi); hanya jus yang berlabel terpasteurisasi bisa dianggap bebas dari resiko Cryptosporidium. Minuman dan bir terpasteurisasi lainnya juga aman untuk diminum. Orang yang terinfeksi HIV harus menghindari makan kerang mentah karena oosista kriptosporidial bisa bertahan hidup di kerang tiram sampai >2 bulan dan pernah ditemukan pada kerang tiram yang diambil dari pajangan. Di rumah sakit, pencegahan stadar (contohnya menggunakan sarung tangan dan membasuh tangan setelah melepas sarung tangan) seharusnya sudah cukup untuk mencegah transmisi kriptosporidiosis dari pasien yang terinfeksi ke penderita HIV yang rentan terkena infeksi. Akan tetapi karena potensi transmisi dari obyek pembawa infeksi, beberapa spesiais menyarankan orang yang terinfeksi HIV terutama orang yang kondisi kekebalan tubuhnya sangat rentan, seharusnya tidak berada di ruangan yang sama dengan pasien yang menderita kriptosporidiosis. Jika orang yang terinfeksi HIV mengunjungi negara berkembang, mereka sebaiknya disarankan untuk tidak minum air kran atau menggunakan air kran untuk menggosok gigi. Es yang tidak terbuat dari air kemasan botol juga harus dihindari. Buah dan sayuran mentah yang mungkin dibersihkan dengan air keran juga harus dihindari. Orang yang terinfeksi HIV juga harus menghindari sumber oosit Cryptosporidium sebisa mungkin antara lain menjauhi orang yang terkena diare, tidak berhubungan dengan hewan ternak, sapi dan domba dan menjauhi hewan peliharaan yang masih sangan muda atau

yang sedang terkena diare. Jika situasinya tidak memungkinkan, maka gunakan sarung tangan dan kebersihan tangan harus tetap dijaga.

II.e. Mencegah Penyakit


Karena kriptosporidiosis kronis sering dijumpai pada orang yang menderita imunodefisiensi lanjut, penggunaan ART sebelum kekebalan pasien semakin lemah bisa mencegah penyakit ini. Rifabutin (RIF) atau clarithromycin, jika digunakan untuk profilaksis MAC terbukti bisa melawan kriptosporidiosis. Meskipun demikian, datanya tidak cukup untuk menjamin kebenaran rekomendasi penggunaan rifabutin atau clarithromycin sebagai kemoprofilaksis untuk kriptosporidiosis.

II.f. Penanganan Penyakit


Untuk kondisi imunosupresi yang parah, ART dengan restorasi kekebalan tubuh sampai mencapai level CD4+ >100 sel/L bisa digunakan sebagai penanganan kriptosporidiosis klinis dan bisa menjadi penanganan utama. Oleh sebab itu, pasien dengan kriptosporidiosis harus diberi ART sebagai bagian penanganan awal infeksi mereka. Penanganan harus meliputi penanganan diare juga. Rehidrasi (pemulihan cairan) dan pemulihan jumlah elektrolit yang hilang baik melalui oral atau rute IV memiliki peran yang penting. Diare parah bisa malampaui >10 L/hari untuk pasien AIDS dan sering harus ditangani dengan sangat serius. Rehidrasi oral harus diberikan dengan segera melalui pemberian cairan rehidrasi melalui mulut.

Sejauh ini telah dilakukan penelitian terhadap berbagai obat-obatan dengan menggunakan uji coba klinis terkontrol acak dengan populasi orang dewasa yang menderita HIV. Obat-obatan itu antara lain nitazoxanide, paromomycine, spiramycin, bovine hyperimmune colostrums, dan bivone dialyzable leukocyte extract. Tidak ada terapi farmakologis atau imunoloogis yang secara langsung ditujukan untuk melawan C.parvum terbukti efektif dan konsisten jika digunakan tanpa ART. Nitazoxanide adalah nitrothiazole benzamide yang diberikan secara oral dengan aktifitas in vivo melawan cacing parasit, bakteri, dan protozoa. Badan Pengendalian Makanan dan Obat (FDA) telah menyetujui penggunannya untuk perawatan C. parvum pada anak-anak dan orang dewasa. Jika diberikan selama 3 hari dengan dosis 500 mg dua kali setiap hari pada orang dewasa yang tidak terinfeksi HIV yang mengidap kriptosporidiosis, nitazoxanide lebih efektif untuk mengatasi diare dan kotorannya bebas dari oosista dibandingkan dengan plasebo. Orang dewasa yang terinfeksi HIV yang mengidap kriptosporidiosis dengan level CD4+ >50 sel/L yang dirawat dengan diberikan nitazoxanide dengan dosis 500-1.000 mg dua kali sehari selama 14 hari menunjukan penyembuhan parasitologis dan penyembuhan diare lebih cepat dibandingkan orang yang menerima plasebo. Data dari program penggunaan sebelum dimulainya ART gabungan yang meliputi orang dewasa kulit putih dengan ratarata level CD4+ sebesar 50 sel/L, memberikan laporan bahwa sebagian besar pasien mengalami respon klinis dalam tingkatan tertentu (penurunan frekuensi jumlah kotoran dan kotoran cairan) biasanya selama minggu pertama perawatan. Efek negatif dari nitazoxanide sangatlah sedikit dan biasanya tidak serius dan tidak ada laporan mengenai interaksi antar obat yang penting. Karena

arti penting kriptosporidiosis secara klinis, bisa dipertimbangkan ujicoba nitazoxadine bersama dengan ART, tetapi untuk membandingkan ART. Paramomycin adalah aminoglikosida yang tidak bisa diserap yang diindikasi cocok untuk penanganan amebiasis usus tetapi tidak secara spesifik dianggap cocok untuk kriptosporidiosis. Obat ini efektif dalam dosis tinggi untuk penanganan kriptosporidiosis pada model hewan. Meta-analisa dari 11 studi mengenai paromomycin pada manusia melaporkan tingkat respon sebesar 67%; akan tetapi sering dijumpai ekkambuhan dengan tingkat keberhasilan jangka panjang hanya 33%. Ulasan Cochrane dan meta-analisa dua uji coba terkontrol acal yang membandingkan paromomycin dengan plasebo untuk pasien yang mengidap AIDS menemukan bukti bahwa obat tersebut tidak lebih efektif dibandingkan plasebo terkait pengurangan frekuensi dkiare atau persoalan parasit. Pada orang dengan level CD4+ sebesar <100 sel/L, jarang ditemui respon klinis yang signifikan terhadap paromomycin. Oleh sebab itu data tidak mendukung kriptosporidiosis. Penanganan dengan obat-obatan antimotilitas (seperti loperamide, tinktur opium) bisa mengurangi gejala dengan menurunkan frekuensi dan volume diare tetapi obat-obatan ini tidak konsisten efektif. Oktriotida, analog oktapeptida sintetis dari somatotastin yang muncul secara alami yang disetujui untuk penanganan diare yang disebabkan tumor tidak lagi efektif dibandingkan dengan obat-obatan antidiare oral dan biasanya tidak direkomendasikan. rekomendasi penggunaan paromomycin untuk

II.g. Pengawasan dan Kejadian Yang Tidak Diinginkan, Termasuk Sindrom Radang Rekonstitusi Imun (IRIS)
Pasien harus diawasi dengan cermat untuk melihat tanda dan gejala penurunan volume, penurunan elektrolit dan berat, dan malnutrisi. Nutrisi parenteral total mungkin terlihat pada pasien tertentu. IRIS tidak ada hubungannya dengan penanganan kriptosporidiosis.

II.h. Manajemen Kegagalan Penanganan


Penanganan pendukung dan pengoptimalan ART untuk mencapai kekangan virologist yang sepenuhnya hanyalah pendekatan yang bisa dilakukan untuk penanganan kegagalan perawatan.

II.i. Mencegah Kekambuhan


Tidak ada intervensi farmakologis dianggap efektif untuk mencegah kambuhnya kripstosporidiosis. Sama seperti perempuan yang tidak hamil, penanganan awal harus menekankan rehidrasi dan penerapan ART Kehamilan tidak menjadi penghalang untuk penggunaan ART. Nitazoxanide tidak bersifat teratogenik pada hewan tetapi data manusia mengenai penggunaannya pada kehamilan belum ada. Nitazoxanide mungkin bisa digunakan pada kehamilan setelah triwulan pertama pada perempuan hamil dengan gejala yang parah.6

You might also like