Professional Documents
Culture Documents
Civil Society
Public Policy
Chaos
Empowering People
Oleh :
WI It'll)CDC WAI -IYILJ 11.1)A4C, SI-I
PENGERTIAN KEBIJAKAN
PBB (1975) : pedoman untuk bertindak. Pedoman itu dapat sederhana atau kompleks, umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, publik atau privat, kualitatif atau kuantitatif. JAMES E. ANDERSON (1978) : perilaku dari aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.
POLICY
EULAU DAN PREWITT A STANDING DECISION CHARACTERIZED BY BEHAVIORAL CONSISTENCY AND REPETITIVENESS ON THE PART OF BOTH THOSE WHO MAKE IT AND THOSE WHO ABIDE IT (KEPUTUSAN TETAP YANG DICIRIKAN OLEH KONSISTENSI DAN PENGULANGAN TINGKAH LAKU DARI MEREKA YANG MEMBUAT DAN DARI MEREKA YANG MEMATUHI KEPUTUSAN TERSEBUT
Tri Widodo W. Utomo
POLITICS
MIRIAM BUDIARJO KEGIATAN DALAM NEGARA YANG MENYANGKUT PROSES MENENTUKAN SUATU TUJUAN, DAN MELAKSANAKAN TUJUAN ITU. PENGAMBILAN KEPUTUSAN MENGENAI TUJUAN DARI SISTEM POLITIK ITU MENYANGKUT SELEKSI ANTARA BEBERAPA ALTERNATIF DAN PENYUSUNAN SKALA PRIORITAS. UNTUK MELAKSANAKAN TUJUAN ITU PERLU DITENTUKAN KEBIJAKSANAAN UMUM (PUBLIC POLICY) YANG MENYANGKUT PEMBAGIAN (DISTRIBUTION) ATAU ALOKASI (ALLOCATION).
THOMAS R. DYE Public policy is whatever the government choose to do or not to do (apapun pilihan pem erintah untuk m elakukan atau tidak m elakukan sesuatu ).
JAMES E. ANDERSON Public policies are those policies developed by government bodies and officials (kebijaksaan yang dikem bangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pem erintah ).
DAVID EASTON The authoritative allocation of values for the whole society (pengalokasian nilai-nilai secara sah kepada seluruh anggota m asyarakat ).
Dibuat oleh pemerintah berupa tindakan pemerintah Mempunyai tujuan tertentu Ditujukan untuk kepentingan masyarakat
Kebijakan sebagai suatu pernyataan mengenai tujuan umum atau keadaan tertentu yang dikehendaki (as an expression of general
Kebijakan sebagai usulan-usulan khusus ( as specific proposals Kebijakan sebagai keputusan pemerintah as decision of
(
government
authorization
Kebijakan sebagai program as programme Kebijakan sebagai keluaran ( as output Kebijakan sebagai hasil akhir ( as outcome Kebijakan sebagai suatu teori atau model ( as a theory or model Kebijakan sebagai proses ( as process
( ) ) ) ).
Dari ke-10 pengertian tersebut, kebijakan publik lebih merujuk kepada pengertian sebagai KEPUTU SAN PEMERINTAH dan juga sebagai sebuah PROGRAM. Hal ini sesuai dengan pendapat :
1. Edwards dan Sharkansky (dalam Islamy, 1988 : 20) yang mengartikan kebijakan publik sebagai .... what the
Dengan demikian dapat disederhanakan bahwa KEBIJAKAN PUBLIK MERUPAKAN KEPUTUSAN (FORMAL) PEMERINTAH YANG BERISI PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN sebagai realisasi dari fungsi atau tugas negara, serta dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.
> DILAKUKAN OLEH PEJABAT PEMERINTAH > DALAM BIDANG TERTENTU > DAPAT BERBENTUK POSITIF MAUPUN NEGATIF > MENGARAH PADA TUJUAN TERTENTU
NILAI STRUKTUR
JAMES ANDERSON
TINDAKAN
THOMAS R. DYE
DAVID EASTON
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
TUJUAN
MATERIAL POLICY
Kebijakan yang mengatur tentang pengalokasian / penyediaan sumber material yang nyata bagi penerimanya. Contoh : penyediaan rumah sederhana.
> Public Goods Policy Kebijakan yang mengatur tentang penyediaan barang / pelayanan untuk kepentingan orang banyak. Contoh : perlindungan keamanan, pengadaan barang kebutuhan pokok. > Private Goods Policy Kebijakan yang mengatur tentang penyediaan barang / pelayanan untuk kepentingan perorangan di pasar bebas, dengan imbalan biaya tertentu. Contoh : pengadaan barang untuk keperluan pribadi, misalnya tempat hiburan.
1. Kebijakan Nasional
Kebijakan negara yang bersifat fundamental dan strategis dalam pencapaian tujuan nasional. Wewenang MPR, dan Presiden bersama-sama dengan DPR. Bentuk : UUD, TAP MPR, UU, PERPU
2. Kebijakan Umum
Kebijakan Presiden sebagai pelaksana UUD, TAP MPR, UU, guna mencapai tujuan nasional Wewenang Presiden Bentuk : PP, KEPPRES, INPRES
3. Kebijakan Pelaksanaan Penjabaran dari kebijakan umum sebagai strategi pelaksanaan tugas di bidang tertentu Wewenang : menteri / pejabat setingkat menteri dan pimpinan LPND Bentuk : Peraturan, Keputusan, Instruksi Pejabat tertentu
10
1. Kebijakan Umum Kebijakan Pemerintah Daerah sebagai pelaksanaan asas Desentralisasi dalam rangka mengatur urusan Rumah Tangga Daerah Wewenang Kepala Daerah bersama DPRD Bentuk : PERDA 2. Kebijakan Pelaksanaan Wewenang : Kepala Daerah atau Kepala Wilayah Bentuk : Keputusan Kepala Daerah dan Instruksi Kepala Daerah, atau Keputusan Kepala Wilayah dan Instruksi Kepala Wilayah.
11
Dalam kehidupan suatu organisasi, sering ditemui adanya perbedaan pendapat, perbedaan kepentingan, perbedaan cara mencapai tujuan, maupun konflik antar anggota organisasi yang bersangkutan. Disamping itu, dalam skala yang lebih luas, organisasi tidak jarang menghadapi berbagai kondisi kurang menguntungkan seperti : adanya hambatan dalam proses pelaksanaan kegiatan, kebingungan dalam menentukan arah dan misinya, kegagalan merealisasikan rencana yang telah disusun, kesalahan dalam mengantisipasi suatu fenomena, dan sebagainya. Keseluruhan kondisi tersebut adalah contoh-contoh masalah yang sering dihadapi oleh suatu organisasi, baik secara individual maupun kolektif. Adanya suatu permasalahan memang tidak bisa dihindari, namun yang jelas bahwa masalah tersebut harus dihadapi dengan sikap-sikap positif dan tindakan kreatif, sehingga tidak akan mengganggu jalannya organisasi. Sebab, suatu masalah biasanya akan menjadi semacam kanker yang akan semakin mengganas jika dibiarkan saja tanpa upaya pencegahan dan pengobatan. Oleh karena itu, dalam rangka memecahkan timbulnya masalah, perlu dilakukan suatu upaya strategis, yakni pengambilan keputusan.
12
merupakan kegiatan yang sepele atau mudah. Artinya, suatu keputusan mestilah lahir dari suatu proses panjang yang rumit, dimana di dalamnya terjadi diskusi-diskusi intensif, saling tukar pemikiran dan brain storming yang mendalam dengan analisis-analisis yang tajam dan interdisipliner. Adapun mengenai proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama kali, proses pengambilan keputusan dipicu oleh adanya masalah yang dihadapi dan perlu segera dipecahkan oleh suatu organisasi. Dari adanya masalah ini, langkah yang harus ditempuh adalah menetapkan secara tepat apa sesungguhnya masalah yang dihadapi. Untuk itu perlu dilakukan pengenalan, identifikasi, diagnosis dan analisis terhadap masalah yang ada, yakni dengan cara menguraikan unsur-unsur masalah yang dihadapi, kemudian dikelompokkan kembali menurut corak dan sifatnya masing-masing, serta memperkirakan faktor-faktor kunci penyebab masalah tersebut. Untuk mendukung hal ini, perlu dilakukan pengumpulan data pendahuluan yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi. Adalah suatu kegagalan besar jika SDM suatu organisasi salah dalam mengenali, mengidentifikasi serta mendiagnosis sesuatu yang diduga merupakan masalah, padahal masalah sesungguhnya belum atau tidak tersentuh sama sekali. Setelah dilakukan identifikasi dan diagnosis masalah, maka tahap selanjutnya adalah pengembangan alternatif. Tahapan ini merupakan kegiatan analisa dalam rangka menggali dan menemukan berbagai macam pilihan atau alternatif, sehingga membutuhkan daya cipta yang besar disamping pengetahuan yang luas dan mendalam tentang masalah yang akan dipecahkan. Pada tahap berikutnya, terhadap berbagai alternatif tadi diadakan evaluasi atau penilaian. Dalam hal ini, evaluasi dilakukan atas dasar ramalan (forecasting) mengenai konsekuensi setiap alternatif yang dapat diperkirakan akan timbul. Dalam meramalkan setiap alternatif, biasanya digunakan pola berpikir sebab akibat, misalnya : jika alternatif 1 yang dipilih akan menimbulkan konsekuensi A, B dan seterusnya. Dengan kata lain, perlu diadakan pembandingan antar alternatif, sebelum sampai kepada pemilihan salah satu alternatif yang dianggap
13
terbaik, serta mengandung cost yang jauh lebih rendah dibanding benefit yang akan dihasilkan. Adapun fase atau tahap terakhir dari proses pengambilan keputusan adalah implementasi keputusan, yaitu pelaksanaan dari alternatif yang dipilih, serta pemantauan pelaksanaan sebagai dasar tindak lanjut bagi organisasi yang bersangkutan. Dalam bentuk bagan, proses pengambilan keputusan dapat digambarkan sebagai berikut (Dimodifikasi dari model yang ciptaan James Stoner & Charles Wankel dalam bukunya Management, 1982 : 223). Namun sebelumnya akan dikemukakan terlebih dahulu mengenai Corak dan Jenis Masalah.
14
rumit ini sendiri dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu masalah yang terstruktur (structured problems), dan masalah yang tidak terstruktur (unstructured problems). Structured problems adalah masalah yang jelas faktor-faktor penyebabnya, bersifat rutin dan dan biasanya timbul berulang kali sehingga pemecahannya dapat dilakukan dengan teknik pengambilan keputusan yang bersifat rutin, repetitif dan dibakukan. Sebagai contoh masalah terstruktur ini misalnya adalah masalah penggajian, kepangkatan dan pembinaan pegawai, masalah perijinan, dan sebagainya. Oleh karena sifatnya yang rutin dan baku, maka pengambilan keputusan menjadi relatif lebih mudah atau cepat, dimana salah satu caranya adalah dengan penyusunan metode / prosedur / program tetap atau pembakuan-pembakuan lainnya. Berbeda dengan masalah yang terstruktur, maka pada masalah yang tidak terstruktur, proses pengambilan keputusan menjadi lebih sulit dan lebih lama. Sebab, masalah yang tidak terstruktur ini merupakan penyimpangan dari masalah organisasi yang bersifat umum, tidak rutin, tidak jelas faktor penyebab dan konsekuensinya, serta tidak repetitif kasusnya. Oleh karenanya, diperlukan teknik pengambilan keputusan yang bersifat non-programmed decision-making. Hal ini mensyaratkan bahwa sebelum di tetapkannya suatu keputusan, perlu disediakan berbagai bahan tambahan atau informasi, baik yang tertuang dalam peraturan perundangan maupun dalam berbagai sumber yang tersebar. Selanjutnya terhadap bahan-bahan dilakukan analisis, penguraian dan pertimbangan-pertimbangan khusus. Dalam kaitan ini, peranan diskusi sangatlah besar, sebab keputusan yang diambil tidak bisa semata-mata didasarkan kepada pengalaman, terlebih lagi adalah faktor-faktor spesifik yang membentuk masalah tersebut.
15
Selidiki Situasi
Tentukan Masalah
Kembangkan Alternatif
KEPUTUSAN
CHARLES LINDBLOM (1968) : proses politik yang sangat kompleks, analitis, dan tidak mengenal saat dimulai dan diakhirinya, dan batas-batas dari proses tersebut sangat tidak pasti. RAYMOND BOUER : proses transformasi atau pengubahan input politik menjadi output politik. Pandangan ini sangat dipengaruhi oleh Teori Analisis Sistem David Easton. DON K. P RICE : proses yang melibatkan interaksi antara k e l o mp o k i l mu w a n , p e mi mp i n o r g a n i s a s i profesional, administrator dan para politisi. AMITAI ETZIONI (1968) : proses penerjemahan oleh para aktor politik mengenai komitmen masyarakat yang masih kabur dan abstrak kedalam komitmen yang lebih spesifik, kemudian menjadi tindakan dan tujuan yang konkrit. C H I EF JO. U DO JI (1981) : keseluruhan proses yang menyangkut : pendefinisian masalah, perumusan kemungkinan pemecahan masalah, penyaluran tuntutan / aspirasi, pengesahan dan pelaksanaan / implementasi, monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik)
16
No Absolute Distinction Can Be Made Between Policy Making And Decision Making, Because Every Policy Determination Is A Decision
17
2. ASUMSI BAHWA MASA DEPAN AKAN MENGULANGI MASA LALU (ASSUMPTION THAT FUTURE WILL REPEAT PAST)
Perubahan dianggap hal normal, yang akan kembali pada keadaan semula. Tidak meramalkan / memprediksikan keadaan masa depan.
3. TERLALU
MENYEDERHANAKAN SIMPLIFICATION)
MASALAH
(OVER
Melihat masalah hanya dari gejala luarnya, tanpa mempelajari secara mendalam faktor kausalitasnya. Teknik pemecahan masalah selalu konvensional, tidak ada inovasi.
4. T ERLALU M ENGGANTUNGKAN PADA P ENGALAMAN S ATU ORANG (OVERRELIANCE ON ONE S OWN EXPERIENCE)
5. K EPUTUSAN YANG D ILANDASI P RA K ONSEPSI P EMBUAT KEPUTUSAN (PRECONCEIVED NATIONS) 6. T I D A K A D A K E I N G I N A N M E L A K U K A N P E R C O B A A N (UNWILLINGNESS TO EXPERIMENT) 7. K EENGGANAN M EMBUAT K EPUTUSAN ( RELUCTANCE TO DECIDE).
18
RASIONAL KOMPREHENSIF
1. Pembuat Keputusan dihadapkan pada masalah tertentu yang dapat dibedakan / dibandingkan dengan masalah-masalah lain. 2. Tujuan, nilai, dan sasaran yang akan dicapai, harus telah dibuat sebelumnya secara jelas dan ditetapkan rankingnya. 3. Berbagai alternatif untuk memecahkan masalah tersenut diteliti secara seksama. 4. Akibat yang ditimbulkan dari setiap alternatif (cost & benefit), juga diteliti secara cermat. 5. Setiap alternatif dan akibat yang ditimbulkan, dibandingkan satu sama lainnya. 6. Pembuat keputusan akan memilih alternatif yang paling rasional untuk mencapai tujuan, nilai, dan sasaran yang telah ditetapkan.
P
EMBUAT KEPUTUSAN SEBETULNYA TIDAK BERHADAPAN DENGAN MASALAH YANG KONKRIT DAN TERUMUSKAN DENGAN JELAS. JUSTRU LANGKAH PERTAMA YANG HARUS DILAKUKAN ADALAH MERUMUSKAN MASALAHNYA.
KRITIK
TERLALU MENUNTUT HAL-HAL YANG TIDAK RASIONAL PADA DIRI PEMBUAT KEPUTUSAN, YANG DIANGGAP MEMILIKI INFORMASI LENGKAP DAN KEMAMPUAN TINGGI.
INKREMENTAL
1. P EMILIHAN T UJUAN / S ASARAN M ERUPAKAN S ESUATU YANG SALING TERKAIT DENGAN TINDAKAN EMPIRIS YANG HARUS DILAKUKAN UNTUK MENCAPAI TUJUAN / SASARAN. 2. PEMBUAT KEPUTUSAN HANYA MEMPERTIMBANGKAN BEBERAPA ALTERNATIF YANG LANGSUNG BERHUBUNGAN DENGAN POKOK MASALAH ; DAN ALTERNATIF INI HANYA BERBEDA SECARA INKREMENTAL DENGAN KEBIJAKAN YANG TELAH ADA. 3. B AGI T IAP A LTERNATIF , H ANYA S EJUMLAH K ECIL A KIABT MENDASAR SAJA YANG AKAN DIEVALUASI. 4. M ASALAH Y ANG D IHADAPI A KAN D IREDEFINISIKAN S ECARA T ERATUR , D ENGAN M ENYESUAIKAN T UJUAN / S ASARAN DENGAN SUMBER DAYA YANG ADA. 5. T IDAK A DA K EPUTUSAN / C ARA P EMECAHAN Y ANG P ALING TEPAT UNTUK SETIAP MASALAH. YANG PENTING, TERDAPAT KESEPAKATAN TERHADAP KEPUTUSAN TERTENTU. 6. P E M B U A T A N K E P U T U S A N B E R S I F A T P E R B A I K A N K E C I L TERHADAP KEBIJAKAN YANG TELAH ADA, DAN BUKAN SESUATU YANG SAMA SEKALI BARU.
Keputusan yang diambil lebih mewakili / mencerminkan kepentingan kelompok kuat / mapan, atau kelompok yang mampu mengorganisasikan kepentingannya dalam masyarakat.
KRITIK
Mengabaikan perlunya pembaharuan sosial, karena memusatkan perhatian pada kepentingan / tujuan jangka pendek.
20
1. PENGGABUNGAN (KOMPROMI) ANTARA TEORI RASIONAL KOMPREHENSIF DENGAN TEORI INKREMENTAL 2. MEMPERHITUNGKAN TINGKAT KEMAMPUAN PARA PENGAMBIL KEPUTUSAN 3. IBARAT PENGAMATAN DENGAN 2 KAMERA : KAMERA PERTAMA M EMILIKI S UDUT L EBAR Y ANG S ANGGUP M ENJELAJAHI SELURUH PERMUKAAN (MASALAH), DAN KAMERA KEDUA M E M F O K U S K A N P E N G A M A T A N P A D A W I LA Y A H Y A N G MEMERLUKAN KAJIAN SECARA MENDALAM.
21
22
MODEL INSTITUSIONAL
Secara otoritatif, kebijakan publik dirumuskan, disahkan, dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah tersebut.
1. KEBIJAKAN PUBLIK DIPANDANG SEBAGAI KEWAJIBAN HUKUM YANG HARUS DITAATI OLEH SELURUH RAKYAT. 2. KEBIJAKAN PUBLIK ITU BERSIFAT UNIVERSAL. 3. HANYA PEMERINTAH YANG MEMEGANG HAK MONOPOLI UNTUK MEMAKSAKAN SECARA SAH MELALUI PENGENAAN SANKSI.
23
ADMINISTRATOR NEGARA TIDAK DIPANDANG SEBAGAI ABDI RAKYAT , T ETAPI S EBAGAI K ELOMPOK K ECIL YANG M APAN (E STABLISHMENT
).
M ASSA (R AKYAT ) B ERSIFAT P ASIF , A PATIS , D AN B UTA TERHADAP INFORMASI TENTANG KEBIJAKAN PUBLIK. KEBIJAKAN PUBLIK MENCERMINKAN KEINGINAN DAN NILAI GOLONGAN ELIT, SEHINGGA MAMPU MEMPENGARUHI DAN MEMBENTUK MASSA. DENGAN KATA LAIN, KEBIJAKAN PUBLIK MENGALIR DARI ATAS KEBAWAH (TOP DOWN
).
KARENA KEBIJAKAN NEGARA DITENTUKAN OLEH KELOMPOK ELIT, MAKA PEJABAT PEMERINTAH HANYA SEKEDAR PELAKSANA KEBIJAKAN. MOBILISASI VERTIKAL DARI MASSA KE ELIT TERJADI SECARA SANGAT LAMBAT, KARENA MENYANGKUT DIMENSI ARISTOKRASI (GENEALOGIS), STATUS SOSIAL EKONOMI, DSB.
24
MODEL KELOMPOK
SETIAP ORANG YANG MEMILIKI KEPENTINGAN YANG SAMA M ENGIKATKAN D IRI S ECARA F ORMAL M AUPUN I NFORMAL KEDALAM KELOMPOK (INTEREST GROUP) KELOMPOK INI DAPAT MENGAJUKAN ATAU MEMAKSAKAN KEPENTINGANNYA KEPADA PEMERINTAH. TINGKAT PENGARUH SETIAP KELOMPOK DITENTUKAN OLEH : JUMLAH ANGGOTA, ASSET / KEKAYAAN, KESOLIDAN ORGANISASI, KEPEMIMPINAN, HUBUNGAN DENGAN PARA PENGAMBIL KEPUTUSAN, DSB. KEBIJAKAN PUBLIK MERUPAKAN KESEIMBANGAN (EQUILIBRIUM) YANG DICAPAI SEBAGAI HASIL PERJUANGAN KELOMPOK. R ESPON P ENGAMBIL K EPUTUSAN T ERHADAP K ELOMPOK ADALAH DENGAN TAWAR-MENAWAR (BARGAINING), PERJANJIAN (NEGOTIATING), DAN KESEPAKATAN (COMPROMIZING). S ISTEM P OLITIK B ERTUGAS M ENENGAHI A TAU M ENJAGA KESEIMBANGAN ANTAR KELOMPOK JIKA TERJADI KONFLIK.
25
S ISTEM P OLITIK B ERFUNGSI M ENGUBAH I NPUT M ENJADI OUTPUT. AKTOR YANG BERPERAN UNTUK MENGUBAH INPUT MENJADI O UTPUT T ERSEBUT A DALAH B ADAN -B ADAN L EGISLATIF , EKSEKUTIF, YUDIKATIF, PARTAI POLITIK, KELOMPOK KEPENTINGAN, MEDIA MASSA, BURIKRASI, TOKOH MASYARAKAT, DAN SEBAGAINYA. K EBIJAKAN P UBLIK DIPANDANG S EBAGAI RESPON S ISTEM POLITIK TERHADAP KEKUATAN LINGKUNGAN DISEKITARNYA (S OSIAL , P OLITIK , E KONOMI , D SB ). D ENGAN K ATA L AIN , KEBIJAKAN PUBLIK ADALAH OUTPUT DARI SISTEM POLITIK.
26
dibidang pengantaran (delivery) misalnya, akan sangat berbeda kualifikasi staff-nya dibanding dengan organisasi konsultansi. Sedangkan aspek share value artinya bahwa seluruh aspek yang telah disebutkan diatas, pada akhirnya difokuskan kepada superordinate goals, atau tujuan organisasi yang lebih tinggi. Dalam kaitan ini, jelas bahwa tujuan yang lebih tinggi dari setiap organisasi akan berbeda-beda pula. Adapun aspek sistem, antar organisasi juga cenderung berbeda, baik mengenai pemanfaatan sistem informasinya, penerapan sistem perencanaan dan pengawasannya, dan sebagainya. Meskipun pengertian, bentuk, karakteristik, maupun tujuan setiap organisasi tidak sama, namun terdapat satu aspek yang dapat i m n a a a p re st na gog ns s,y k ib h aognam r p k nj ln nk nr k( n x soc nr cs.D noe k r n e y m k n es pie t n r a iai a n a w raiss eu a a ai a o ta a e u f o ta t) a l h ae a organisasi merupakan jalinan kontrak, maka faktor penting bagi keberadaan organisasi adalah sejauhmana organisasi tersebut mampu mengadakan kontrak dengan pihak lain. Dengan demikian, cakupan organisasi sesungguhnya tidak hanya meliputi bentuk-bentuk kelembagaan formal seperti pemerintah maupun organisasi bisnis, tetapi lebih dari itu juga meliputi setiap kontrak (perjanjian) yang terjadi antara dua orang / pihak atau lebih. Dengan kata lain, organisasi tidak hanya diartikan sebagai wujud saja tetapi juga sebagai proses interaksi berbagai pihak. Kontrak atau perjanjian yang membentuk organisasi ini sendiri terdiri dari tiga macam, yaitu : 1. Spot Contract, Yaitu kontrak yang terjadi karena adanya transaksi dadakan (spot transaction). Kontrak jenis ini bersifat tidak fleksibel (inflexible) dalam pengertian bahwa para pihak yang mengadakan kontrak tadi tidak memiliki kebebasan untuk saling mengajukan penawaran. Termasuk dalam jenis kontrak ini adalah belanja di supermarket, ketaatan terhadap peraturan lalu lintas, menonton sepakbola di stadion, dan sebagainya. 2. Relational Contract, Yaitu kontrak yang terjadi dari adanya hubungan atau relasi antar dua orang atau lebih. Kontrak jenis ini lebih fleksibel sifatnya karena
Tri Widodo W. Utomo
28
memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak. Dengan kata lain, kontrak ini mengenal adanya clausul escape atau klausul yang berhubungan dengan diadakannya kontrak tersebut. Contohnya adalah pengangkatan seorang pekerja dengan terlebih dahulu membuat kontraknya, pegawai negeri yang tunduk pada aturan tentang hak dan kewajiban pegawai, dan sebagainya. Khususnya mengenai posisi pegawai negeri ini dilihat dari ketidakbebasan untuk menentukan pilihan sesungguhnya bisa dikelompokkan kedalam spot contract. Namun karena sifat relasionalnya yang lebih kuat dan proses untuk menjadi pegawai juga panjang (tidak bersifat dadakan), maka ini lebih tepat dikelompokkan dalam relational contract. 3. Implicite Contract, Ini merupakan jenis kontrak yang paling fleksibel, dimana tanpa adanya ikatan kontrak secara formal, seseorang dapat menjadi anggota suatu organisasi. Seorang warga negara misalnya, tanpa melakukan sesuatu tindakan telah melekat dalam dirinya perasaan bangga sebagai anggota masyarakat serta memiliki sense of belonging yang tinggi terhadap negaranya. Kelemahan dari kontrak implisit ini adalah sifatnya yang tidak lengkap (incomplete) dan susah terukur, sehingga ada baiknya jika diadakan clausul escape. b. Pemerintah Sebagai Proses Kewenangan Beberapa teori menyebutkan bahwa negara bertujuan untuk memelihara dan menjamin hak-hak alamiah manusia, yaitu hak hidup, hak merdeka dan hak atas harta sendiri (John Locke), untuk mencapai the greatest happines of the greatest number (John Stuart Mill), menciptakan perdamaian dunia dengan jalan menciptakan undang-undang bagi seluruh umat manusia (Dante). Sedangkan James Wilford Garner membagi tujuan negara menjadi 3 (tiga), yaitu tujuan asli ialah pemeliharaan perdamaian, ketertiban, keamanan dan keadilan, tujuan sekunder ialah kesejahteraan warga negara, dan tujuan memajukan peradaban.
29
Pakar lain menyebutkan bahwa fungsi negara adalah melaksanakan penertiban, menghendaki kesejahteraan dan kemakmuran, fungsi pertahanan, dan menegakkan keadilan. Ini berarti pula bahwa fungsi negara dan pemerintah adalah memberikan perlindungan bagi warganya, baik dibidang politik maupun sosial ekonomi. Oleh karenanya tugas pemerintah diperluas dengan maksud untuk menjamin kepentingan umum sehingga lapangan tugasnya mencakup berbagai aspek seperti kesehatan rakyat, pendidikan, perumahan, distribusi tanah, dan sebagainya. Tugas penyelenggaraan kesejahteraan umum (bestuurzorg) ini merupakan tugas dari negara yang berbentuk Negara Kesejahteraan (Welfare State). Untuk menyelenggarakan tugasnya ini, pemerintah diberikan discretionary power atau freies ermessen, yakni kewenangan yang sah untuk turut campur dalam berbagai kegiatan masyarakat, termasuk didalamnya membuat peraturan tentang hal-hal yang belum ada pengaturannya tanpa persetujuan lebih dulu dari legislatif. Dari sini dapat diketahui bahwa penyelenggaraan fungsi kesejahteraan pada Welfare State dilakukan melalui regulasi (pengaturan). Dengan kata lain, tugas-tugas kenegaraan dan atau pemerintahan tersebut dapat dilaksanakan dengan adanya kewenangan (authority). Dalam setiap pembicaraan mengenai kewenangan tersebut, selalu terkait dengan konsep kekuasaan politik. Dalam hal ini, kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. (Budiardjo, 1993 : 37). Dalam setiap kajian mengenai konsep kekuasaan, terdapat suatu fenomena yang unik dimana kemampuan seseorang untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain seringkali tidak disertai dengan kewibawaan, sehingga tingkat ketaatan dan kepatuhan seseorang sering tidak dilandasi oleh kesadaran secara suka rela melainkan karena pemaksaan oleh instrumen atau alat-alat kekuasaan. Selanjutnya, jika pembahasan telah memasuki dimensi ketaatan atau ketertundukan seseorang atau kelompok terhadap orang atau kelompok lain, menjadi mutlak untuk diketahui tentang authority (otoritas, kewenangan) dan legitimacy (keabsahan), dua konsep yang tidak pernah bisa dilepaskan dari konsep kekuasaan.
Tri Widodo W. Utomo
30
Otoritas atau wewenang sendiri menurut Robert Bierstedt dalam karangannya yang berjudul An Analysis of Social Power adalah kekuasaan yang dilembagakan (institutionalized power). Pengertian ini bersesuaian pula dengan pandangan Laswell dan Kaplan, yang menyatakan bahwa wewenang adalah kekuasaan formal (formal power), dalam arti dimilikinya hak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturan serta dimilikinya hak untuk mengharap kepatuhan orang lain terhadap peraturan yang dibuatnya. Dalam suatu negara yang bersifat demokratis konstitusional, kewenangan tersebut tidak dimiliki secara sentralistis oleh suatu badan / organisasi atau seorang pejabat tertentu. Kewenangan yang ada tersebut didistribusikan kepada beberapa badan agar tidak menimbulkan penumpukan yang dapat berekses terhadap penyalahgunaan kewenangan oleh pemegang kewenangan (onrechtmatigeoverheidsdaad). Dengan kata lain, suatu kewenangan atau kekuasaan dalam suatu negara / pemerintahan perlu dibagi dan atau dipisahkan. Munculnya gagasan tentang pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (division of power) dilatarbelakangi oleh adanya absolutisme (monarki absolut) di Eropa abad pertengahan yang mengarah kepada polarisasi rakyat dengan penguasa yang bertindak sewenang-wenang. Oleh karena itu, agar terdapat proses demokratisasi dan saling kontrol antar lembaga negara sekaligus mengakomodir kepentingan masyarakat, kekuasaan negara perlu dipisahkan kedalam berbagai organ. Dalam kaitan ini, John Locke melalui bukunya Two Treaties of Government memisahkan kekuasaan negara menjadi tiga macam, yaitu : Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang) Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang) Kekuasaan Federatif (melakukan hubungan diplomatik dengan negara lain). Sementara Montesquieu dalam bukunya LEsprit des Lois (1748) memisahkan kekuasaan negara menjadi tiga macam, yaitu : Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)
Tri Widodo W. Utomo
31
Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang) Kekuasaan Yudikatif (mengadili kalau terjadi pelanggaran terhadap undang-undang tersebut).
Pemisahan kekuasaan menjadi tiga pusat kekuasaan tadi, oleh Emmanuel Kant diberi nama Trias Politika (Tri = tiga ; As = poros ; Politika = kekuasaan). Dalam prakteknya, prinsip trias politika ini dijalankan secara kontekstual (sesuai dengan kondisi sosial politik) untuk masing-masing negara. Disamping adanya prinsip trias politika, konsep pembagian kewenangan juga ditempuh melalui prinsip desentralisasi. Ini berarti bahwa pemerintah pusat mengalihkan (baik melalui penyerahan, pendelegasian maupun pengakuan) sebagian kewenangan pemerintahan kepada daerah-daerah yang ada di wilayah negara yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan agar tugas-tugas pemerintah dapat berjalan secara lebih cepat, efektif dan efisien, sehingga fungsi pelayanan dan kesejahteraan yang menjadi tanggung jawab pemerintah dapat terlaksana secara optimal. Pada gilirannya, prinsip desentralisasi ini diharapkan dapat mendekatkan masyarakat dengan pemerintah, meningkatkan kepuasan masyarakat, dan sekaligus memperkuat legitimasi politis pemerintah dimata masyarakat. c. Keputusan Pemerintah Sebagai Output Kewenangan Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian awal modul / diktat ini, menurut pendapat Hogwood dan Gunn sebagaimana dikutip Sunggono (1994 : 15-20), kebijakan (policy) dapat dikelompokkan menjadi 10 (sepuluh) pengertian. Dari ke-10 pengertian tersebut, kebijakan publik lebih merujuk kepada pengertian yang keempat dan keenam, yaitu bahwa kebijakan publik merupakan keputusan pemerintah dan juga sebagai sebuah program. Hal ini sesuai pula dengan pendapat Edwards dan Sharkansky (dalam Islamy, 1988 : 20) yang mengartikan kebijakan publik sebagai .... what the government say to do or not to do. It is the goals or purpose of government programs. Atau menurut Jones (1996 : 49), kebijakan adalah unsur-unsur formal atau ekspresi-ekspresi legal dari
32
program-program dan keputusan-keputusan. Dalam pengertian yang serupa, Eulau dan Prewitt mendefinisikan kebijakan sebagai a standing decision characterized by behavioral consistency and repetitiveness on the part of both those who make it and those who abide it (keputusan tetap yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut). Dengan demikian dapat disederhanakan bahwa kebijakan publik merupakan keputusan (formal) pemerintah yang berisi program-program pembangunan sebagai realisasi dari fungsi atau tugas negara, serta dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional. Dalam sebuah organisasi (pemerintahan), keputusan yang berisi program-program pembangunan tersebut disusun dalam suatu hierarkhi yang sejajar dengan struktur organisasi. Artinya, struktur yang lebih atas dalam suatu organisasi harus melaksanakan perencanaan yang memiliki ruang lingkup lebih luas dibanding struktur yang lebih rendah. Dalam hal ini, maka atas (top manajer) melaksanakan program pembangunan yang re tr uu dlmbnu pntpnt j a ,ms,s s r nd nsag r a iaiSdn knsr kumnn a ( i dem n grdnsr ku ew j d aa e t k e ea a uu n iiaaa , a ttiognss. e a g a tu t r e e ghmd l a a e) a tu t r bawah (lower manager) melaksanakan program pembangunan yang terwujud dalam bentuk pelaksanaan program, proyek, dan prosedur. Disamping itu, pada setiap struktur hierarkhi atau tingkatan organisasi, rencana / program pembangunan mempunyai dua fungsi, yakni : menentukan sasaran yang harus dicapai pada tingkat yang lebih rendah, dan sebagai alat mencapai sasaran pada tingkat lebih tinggi berikutnya.
33
Menurut Mackenzie (1986 : 3-4), kebijakan publik tidak selalu identik dengan hukum. Hukum adalah petunjuk bagi kebijakan publik, atau suatu pernyataan yang diharapkan oleh pembuat hukum (lawmakers) menjadi kebijakan. Disamping itu, peranan pelaksana (implementator) dalam perumusan hukum (lawmaking) tidak sebesar peranan pelaksana dalam perumusan kebijakan publik. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan filosofi dalam penyusunan aturan hukum dan kebijakan publik. Aturan hukum lebih banyak didasarkan pada nilai-nilai normatif yang relatif universal seperti baik buruk, benar salah, boleh tidak boleh, dan sebagainya. Sedangkan kebijakan publik lebih bersifat politis, dimana terlibat berbagai kelompok kepentingan yang berbeda-beda, bahkan ada yang saling bertentangan. Dalam proses ini terlibat berbagai macam policy stakeholders, yaitu mereka-mereka yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh suatu kebijakan. Policy stakeholders bisa pejabat pemerintah, pejabat negara, lembaga pemerintah, maupun dari lingkungan publik (bukan pemerintah) misalnya partai politik, kelompok kepentingan, pengusaha dan sebagainya.
34
masyarakatnya telah terkondisi dengan kehidupan politik yang statis dan mandeg. Dalam keadaaan seperti ini, tidak bisa dipungkiri bahwa dinamika pembangunan yang terjadi hanya terbatas pada konteks mobilisasi. Artinya, pembangunan memang cukup berhasil mendatangkan berbagai kemajuan. Namun kemajuan itu sifatnya sepihak, karena masyarakat belum tentu dapat merasakan hasil-hasil pembangunan, dan sekaligus pula belum tentu memberikan apresiasi yang positif terhadap pelaksanaan dan keberhasilan pembangunan yang ada. Fenomena demikian jelas terkait dengan tingkat keterlibatan masyarakat yang sangat rendah dalam pembangunan, baik sejak tahap perencanaan, pelaksanaan maupun sampai pemanfaatannya. Secara lebih makro dan teoretik, Rauf (1990 : 6) yang mengutip pemikiran Easton, mengemukakan tiga penyebab berkembangnya studi partisipasi politik. Pertama, partisipasi politik adalah kewajiban setiap warganegara dalam arti agar masyarakat tidak dirugikan oleh adanya keputusan politik penguasa; Kedua, adanya kepedulian para ilmuwan politik Barat terhadap pelaksanaan ide demokrasi, tidak saja di negara maju, tetapi juga di negara dunia ketiga; Ketiga yang mendorong studi partisipasi politik adalah keinginan para ilmuwan politik untuk menjadikan ilmu politik lebih ilmiah, dengan cara mengadakan penelitian dan pengkajian terhadap masyarakat sebagai sebuah gejala empirik. Partisipasi politik menurut Huntington (1994 : 6-8) dapat diartikan sebagai kegiatan warganegara sipil (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Dengan demikian, partisipasi politik minimal mencakup empat elemen dasar. Pertama, partisipasi politik mencakup kegiatan-kegiatan, tetapi tidak sikap-sikap. Yang biasanya berkaitan dengan tindakan politik misalnya pengetahuan tentang politik, minat terhadap politik, perasaan-perasaan mengenai kompetisi dan keefektifan politik, serta persepsi mengenai relevansi politik. Kedua, partisipasi politik adalah kegiatan politik warga negara preman atau lebih tepat lagi, perorangan dalam peranan mereka sebagai warga negara. Dalam hal ini, partisipasi politik tidak mencakup kegiatan pejabat pemerintah, pejabat partai, calon politikus dan lobbyist profesional.
35
Ketiga, pusat perhatian partisipasi politik hanyalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan. Sebagai contoh kegiatan ini adalah pemogokan buruh yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pengelolaan sebuah perusahaan swasta agar menaikkan tingkah upah minimum. Elemen partisipasi politik yang keempat adalah kegiatan yang mempunyai tujuan, baik legal maupun tidak legal. Dengan demikian, kegiatan protes, huru-hara, demonstrasi bahkan bentuk-bentuk kekerasan pemberontakan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pejabat-pejabat pemerintah, merupakan bentuk-bentuk partisipasi politik. Namun jika kegiatan tersebut merupakan usaha-usaha ilegal untuk mempengaruhi pemerintah dan termasuk suatu jenis profesional politik, maka kegiatan semacam ini tidak bisa digolongkan ke dalam definisi partisipasi politik.
36
MA SALAH adanya kesenjangan antara das sollen / teori dengan das sein / fakta empiris ; antara yang ditetapkan sebagai kebijakan dengan kenyataan implementasi kebijakan.
:
MA SALAH KEBIJAKAN unrealized needs, values, opportunities, however we identified, the solution require public actions (tidak terwujudnya kebutuhan, nilai, dan peluang, yang bagaimanapun kita sudah bisa mengidentifikasikannya, tetapi pemecahannya mengharuskan adanya tindakan-tindakan publik / negara / pemerintah.
:
37
INPUT:
MA S A LA H KEBIJA KA N
Timbul karena faktor lingkungan kebijakan yakni keadaan yang melatarbelakangi suatu peristiwa yang menyebabkan timbulnya masalah kebijakan tersebut, yang berupa tuntutan masyarakat atau tantangan dan peluang, yang diharapkan dapat diatasi melalui suatu kebijakan publik. Masalah itu dapat juga timbul justru karena adanya suatu kebijakan tertentu.
38
PROSES :
PEMBU A TA N KEBIJA KA N
Bersifat politis, dimana terlibat berbagai kelompok kepentingan yang berbeda-beda, bahkan ada yang saling bertentangan. Dalam proses ini terlibat berbagai macam policy stakeholders, yaitu mereka-mereka yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh suatu kebijakan. Policy stakeholders bisa pejabat pemerintah, pejabat negara, lembaga pemerintah, maupun dari lingkungan publik (bukan pemerintah) misalnya partai politik, kelompok kepentingan, pengusaha dan sebagainya.
OUTPUT :
KEBIJA KA N PU BLIK
Berupa serangkaian tindakan yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan tertentu.
IMPACT :
DA MPA K TERH A DA P MA S YA RA KA T
Kondisi yang diharapkan terhadap target groups (kelompok sasaran) yakni orang-orang, kelompok atau organisasi yang perilaku atau keadaannya ingin dipengaruhi atau diubah oleh kebijakan publik tersebut.
39
2. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Setelah kebijakan publik disahkan oleh pejabat yang berwenang maka kemudian kebijakan tersebut diimplementasikan. Dalam hal ini, Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja mengemukakan ada 3 bentuk impelementasi kebijakan, yaitu : Kebijakan langsung, yaitu kebijakan yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah sendiri, misalnya Inpres SD. Kebijakan tidak langsung, yaitu kebijakan yang pelaksanaannya tidak dilakukan oleh pemerintah. Jadi pemerintah hanya mengatur saja. Misalnya kebijakan pemerintah di bidang investasi modal asing. Kebijakan campuran, yaitu kebijaksanaaan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta, misalnya : kebijakan bidang kebersihan di DKI Jakarta yang dilaksanakan baik oleh Dinas Kebersihan maupun oleh Swasta.
40
3. MONITORING KABIJAKSANAAN
Monitoring adalah prosedur analitik dari kebijakan yang menghasilkan informasi tentang konsekuensi dari kebijakan publik, yaitu keterkaitan antara implemntasi dan hasil-hasilnya (outcomes). Dilihat dari segi monitoring, hasil kebijakan dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: 1) Policy Output : misalnya barang, jasa dan sumber-sumber diterima oleh kelompok sasaran, misalnya : bantuan dana IDT sebesar Rp 20.000.000 per desa. 2) Policy Impact : yaitu perubahan yang terjadi dari kelompok sasaran, misalnya apakah adanya IDT itu jumlah masyarakat miskin berkurang.
4. EVALUASI KEBIJAKAN
Bertujuan untuk menilai apakah ada perbedaan sebelum dan setelah kebijakan itu diberlakukan.
41
Perumusan Kebijakan
Evaluasi Kebijakan
Implementasi Kebijakan
Monitoring Kebijakan
42
Technical/Economic Analysis
43
Organizational Level
Institutional Arrangements
Operational Level
Patterns of Interaction
Outcomes
Assessment
44
SEJARAH
Analisis kebijakan, sebagai usaha untuk mengadakan informasi dalam pembuatan kebijakan, sebenarnya sudah ada semenjak manusia mengenal organisasi dan mengetahui tentang pembuatan keputusan, mulai dari penggunaan cara yang paling sederhana dan tradisional (berdasarkan mistik) sampai pada penggunaan cara-cara ilmiah, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Namun sebagai disiplin ilmu tersendiri, kegiatan ilmu kebijakan dimulai setelah Perang Dunia II, yakni dengan diterbitkannya buku karya Harold D. Lasswell dan Daniel Larner yang berjudul The Policy Science : Recent Development in Scope and Methods pada tahun 1951. Dalam perkembangan selanjutnya, para penulis masa kini lebih menyukai untuk menggunakan istilah Analisis Kebijakan dari pada menggunakan istilah Ilmu Kebijakan.
45
1. Dimensi proses kebijakan (policy process), mengkaji proses penyususnan kebijakan mulai dari identifikasi dan perumusan masalah, implementasi kebijakan, monitoring kebijakan serta evaluasi kebijakan. 2. Dimensi analisis kebijakan (policy analysis), meliputi penerapan metode dan teknik analisis yang bersifat multidisiplin dalam proses kebijakan yakni untuk penyusunan strategi kebijakan.
46
William N. Dunn Suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai macam metodologi penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan mentransformasikan informasi yang relevan untuk memecahkan masalah-masalah kebijakan.
E.S. Quade
Suatu bentuk penelitian terapan yang dilakukan untuk memahami secara mendalam berbagai permasalahan sosial guna mendapatkan pemecahan yang lebih baik.
Stuart S. Nagel
Penentuan dalam rangka hubungan antara berbagai alternatif kebijakan dan tujuan kebijakan ; manakah diantara berbagai alternatif kebijakan, keputusan atau cara-cara lainnya, yang terbaik untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan tertentu.
TU~UAN
1. Memberikan informasi kepada pembuat kebijakan dalam rangka memecahkan masalah-masalah masyarakat. 2. Meningkatkan kualitas kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
47
F AKT0R P 0LITIK
Perlu dipertimbangkan, karena dalam perumusan kebijakan diperlukan dukungan dari berbagai aktor kebijakan (policy actors), baik dari kalangan pemerintah maupun bukan pemerintah. Isi kebijakan akan sangat diwarnai / dipengaruhi oleh visi dan kepentingan aktor kebijakan tersebut. FAKTOR EKONOMI / FINANSIAL Perlu dipertimbangkan terutama apabila kebijakan tersebut akan menggunakan dana yang cukup besar atau akan berpengaruh pada situasi eknomi dalam negara. Indikator yang perlu diperhatikan anatara lain : tingkat inflasi dan hutang LN, daya beli dan pendapatan perkapita penduduk, potensi daerah dan komoditas unggulan, dsb.
FAKTOR ADMINISTRATIF / ORGANISATORIS Perlu dipertimbangkan apakah dalam pelaksanaan kebijakan itu benar-benar akan didukung oleh kemampuan administratif yang memadai, atau apakah sudah ada organisasi yang akan melaksanakan kebijakan itu.
48
F AKTOR T EKNOLOGI
Perlu mempertimbangkan apakah teknologi yang ada dapat mendukung, apabila kebijakan tersebut akan diimplementasikan.
Perlu dipertimbangkan apakah kebijakan tersebut tidak menimbulkan benturan sosial, budaya dan agama atau yang sering disebut masalah SARA.
Perlu dipertimbangkan apakah kebijakan yang akan dikeluarkan ini tidak akan menggangu stabilitas keamanan negara.
FAKTOR DIATAS AKAN MENJADI KRITERIA DALAM MENENTUKAN FEASIBILITAS (KELAYAKAN) DARI ALTERNATIF KEBIJAKAN YANG AKAN DIPILIH
49
2. PENENTUAN TUJUAN
Tujuan adalah sesuatu akibat yang secara sadar ingin dicapai atau dihindari (mencapai kebaikan sekaligus mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan).
3. PERUMUSAN ALTERNATIF
Alternatif adalah pilihan tentang alat atau cara-cara yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
4. PENENTUAN KRITERIA
Analisis kebijakan memerlukan kriteria yang jelas untuk menilai, misalnya : politik, ekonomi / finansial, administratif / organisatoris, teknologi, sosial / budaya / agama, hankam.
5. PENILAIAN ALTERNATIF
50
6. PERUMUSAN REKOMENDASI
Penilaian atas alternatif akan memberikan gambaran mengenai sejumlah pilihan yang tepat untuk mencapai tujuan. Langkah terakhir dalam analisis kebijakan adalah merumuskan saran (rekomendasi) mengenai alternatif yang diperhitungkan akan dapat mencapai tujuan secara optimal. Dalam rekomendasi ini sering dikemukakan juga strategi pelaksanaannya.
Tugas dari para analis kebijakan (policy analyst), dengan tujuan : Memberikan informasi kepada pembuat kebijakan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Meningkatkan kualitas kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
51
Dalam kaitan dengan inf0rmasi, Dunn (1994) mengemukakan bahwa met0d0l0gi analisis kebijakan dapat memberikan inf0rmasi dengan menjawab 5 pertanyaan :
1. POLICY PROBLEM : Masalah apakah yang dihadapi ? 2. POLICY OUTCOMES : Kebijakan apa yang telah ditempuh dan apa hasil yang telah dicapai ? 3. POLICY PERFORMANCE : Bagaimana nilai (kinerja) dari hasil kebijakan ? 4. POLICY ALTERNATIVE / POLICY FUTURE : Alternatif apa yang tersedia untuk memecahkan masalah, dan apa kemungkinan untuk masa depan ? 5. POLICY ACTION : Alternatif mana / tindakan apa yang perlu dilaksanakan untuk memecahkan masalah ?
52
Mahasiswa melakukan simulasi untuk menganalisis permasalahan perkotaan yang dihadapi oleh masyarakat Kota Bandung, serta kebijakan yang harus ditempuh untuk mengatasi permasalahan tersebut. Dalam simulasi ini, setiap mahasiswa harus memainkan peran sebagai policy actor, yang bersama-sama melaksanakan rapat kerja dengan Walikota guna meningkatkan kualitas dan kinerja pemerintah daerah. Policy actor yang diperlukan disini, serta tugas-tugas yang harus dijalankan adalah sebagai berikut : 1. Walikota 2. Ketua DPRD 3. Ketua Bappeda Tingkat II 4. Direktur Utama PD Kebersihan 5. Kepala Dinas PU (Tata Kota) 6. LSM yang peduli terhadap kondisi dan masalah perkotaan 7. Pihak-pihak lain yang berkepentingan. Mekanisme Simulasi : 1. Walikota memimpin rapat kerja dengan terlebih dahulu review terhadap kebijakan yang telah dilaksanakan selama ini, beserta masalah-masalah krusial yang mendesak untuk segera diatasi. 2. Masing-masing peserta rapat kerja menyampaikan keluhan, laporan atau rencana kerja yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi. 3. Secara bersama-sama, seluruh peserta rapat kerja harus mampu melakukan hal-hal sebagai berikut : Mengidentifikasi permasalahan kebijakan Mengidentifikasi kemajuan-kemajuan / hasil-hasil yang telah dicapai, serta yang belum berhasil. Menilai tingkat kinerja yang dicapai. Merumuskan alternatif-alternatif kebijakan untuk mengganti atau mengopttimalkan kebijakan yang pernah ditempuh, sekaligus memilih / menentukan tindakan yang paling layak.
53
Penting untuk menghindari kegagalan implementasi yang disebut implementation gap, yaitu suatu keadaan dimana terdapat perbedaan antara yang diharapkan dengan yang senyatanya dicapai.
Besar kecilnya perbedaan / kesenjangan tersebut antara lain ditentukan oleh implementation capacity dari organisasi atau pihak yang diberi tugas melaksanakan kebijakan itu.
Kegagalan kebijakan (policy failure) sendiri terdiri dari dua kategori, yaitu tidak terimplementasikan (non implemented) dan implementasi yang tidak sempurna (unsuccesful implementation).
54
Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn THE TOP DOWN APPROACH : diperlukan 10 syarat untuk dapat mengimplemtasikan kebijakan negara secara sempurna (perfect implementati0n)
Kondisi eksternal yang dihadapi oleh instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan atau kendala yang serius. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit matarantai penghubungnya. Hubungan saling ketergantungan harus kecil. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
55
Komunikasi antar Organisasi dan Kegiatan Pelaksanaan Ukuran dan Tujuan Kebijakan PRESTASI K E RJ A
Sumber Kebijakan
56
Diluar Kebijakan yang Mempengaruhi Proses Tahap-tahap Dalam Proses Implementasi (Variabel Tergantung)
Output Kebijakan Badan Pelaksana Kesediaan Kelompok Sasaran MematuhiOut put Kebijakan Dampak Nyata Output Kebijakan Dampak Output Kebijakan Sebagai Dipersepsi Perbaikan Mendasar Dalam UU
57
Implementasi
Kondisi sosiso-ekonomi dan teknologi Dukungan publik Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok Dukungan dari pejabat atasan Komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat pelaksana
58
TUGAS IMPLEMENTASI
Mengembangkan struktur hubungan antara tujuan kebijakan yang telah ditetapkan dengan tindakan pemerintah untuk merealisasikan tujuan tersebut yang berupa hasil kebijakan (policy outcomes).
Perlu diciptakan suatu sistem, yaitu dengan cara menterjemahkan tujuan kebijakan yang luas tersebut ke dalam program-program kegiatan yang mengarah pada tercapainya tujuan kebijakan. Perlu diciptakan berbagai macam program yang kemudian dikembangkan menjadi proyek-proyek yang harus dilaksanakan. Tujuan program-prgram dan proyek-proyek ini adalah untuk mengadakan perubahan-perubahan, dan perubahan inilah yang merupakan hasil dari suatu program.
Jadi, studi tentang proses implementasi kebijakan meliputi pengkajian dan analisis terhadap progam-program kegiatan yang dirancang sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu.
59
1.
Pada umumnya tindakan pemerintah merupakan upaya untuk mengadakan perubahan di berbagai bidang. Upaya ini seringkali mendapat tantangan dari mereka yang kepentingannya terganggu. 2. Bentuk manfaat yang diberikan
Ini berkaitan dengan tingkat perubahan perilaku yang dikehendaki. Contoh : kebijakan KB akan memakan waktu panjang dan banyak hambatannya daripada kebijakan penyediaan perumahan bagi masyarakat. 3. Luasnya perubahan yang diinginkan
Program yang dirancang untuk mencapai sasaran yang luas dan jangka panjang akan lebih sulit implementasinya daripada program yang dirancang untuk jangka pendek. Contoh : kebijakan GDN akan memakan waktu lama dan banyak hambatannya dibanding kebijakan penyediaan RSS. 4. Letak pembuatan keputusan
Hal ini berkaitan dengan banyaknya instansi yang terlibat dalam implementasi kebijakan. Contoh : kebijakan moneter hanya tergantung pada beberapa organisasi pemerintah (Depkeu dan BI), sedangkan kebijakan pendidikan melibatkan lebih banyak organisasi (Depdikbud, Depnaker, Bappenas, Depag, PTN / PTS). 5. Pelaksana program
Makin banyak organisasi yang ikut serta dalam pelaksanaan suatu kebijakan maka akan makin sulit pelaksanaannya. 6. Sumber Daya (SDM maupun non-SDM). Kondisi sumber daya setiap organisasi berbeda, dan ini akan menyebabkan implementasi kebijakan akan mencapai tingkat keberhasilan yang berbeda.
Tri Widodo W. Utomo
60
1. DAMPAK TERHADAP KELOMPOK SASARAN Menurut Samodra Wibawa (1994), pengertian dampak meliputi dampak yang diharapkan dan dampak yang tidak diharapkan. 2. UNIT SOSIAL YANG TERKENA DAMPAK Samodra Wibawa (1994) mengemukakan bahwa unit-unit sosial yang terkena dampak dari suatu kebijakan meliputi individu / rumah tangga, organisasi / kelompok, masyarakat, lembaga dan sistem sosial. a. Dampak Individu Aspek yang terkena dampak : biologis / fisik, lingkungan hidup, ekonomi dan sosial. b. Dampak Organisasional Berbentuk dampak langsung maupun tidak langsung. Dampak ini dapat berupa terganggu / terbantunya organisasi / kelompok dalam mencapai tujuan. c. Dampak terhadap masyarakat Menunjuk pada sejauh mana kebijakan tersebut mempengaruhi kapasitas masyarakat dalam melayani anggotanya. d. Dampak terhadap lembaga dan sistem sosial Kebijakan pada sektor tertentu akan menimbulkan pengaruh / dampak pada sektor lain. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan suatu sistem sosial, beberapa indikator ini dapat dijadikan sebagai pedoman : Kelebihan beban, misalnya pendidikan yang tidak mampu menampung jumlah lulusan sekolah Distribusi barang yang tidak merata Sumber daya yang dianggap kurang Koordinasi yang kurang baik (disintegrasi) Turunnya legitimasi (dukungan) masyarakat Turunnya kepercayaan, misalnya kepada bank swasta.
61
62