You are on page 1of 17

Teori politik Teori politik merupakan kajian mengenai konsep penentuan tujuan politik, bagaimana mencapai tujuan tersebut

serta segala konsekuensinya. Bahasan dalam Teori Politik antara lain adalah filsafat politik, konsep tentang sistem politik, negara, masyarakat, kedaulatan, kekuasaan, legitimasi, lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politik, perbandingan politik, dsb. Terdapat banyak sekali sistem politik yang dikembangkan oleh negara negara di dunia antara lain: anarkisme,autoritarian, demokrasi, diktatorisme, fasisme, federalisme, feminism e, fundamentalisme keagamaan, globalisme, imperialisme, kapitalisme, komunisme, liberalisme, libertari anisme, marxisme, meritokrasi, monarki, nasionalisme, rasisme, sosialisme, theokra si, totaliterisme, oligarki dsb. [sunting]Lembaga politik Secara awam berarti suatu organisasi, tetapi lembaga bisa juga merupakan suatu kebiasaan atau perilaku yang terpola. Perkawinan adalah lembaga sosial, baik yang diakui oleh negara lewat KUA atau Catatan Sipil di Indonesia maupun yang diakui oleh masyarakat saja tanpa pengakuan negara. Dalam konteks ini suatu organisasi juga adalah suatu perilaku yang terpola dengan memberikan jabatan pada orangorang tertentu untuk menjalankan fungsi tertentu demi pencapaian tujuan bersama, organisasi bisa formal maupun informal. Lembaga politik adalah perilaku politik yang terpola dalam bidang politik. Pemilihan pejabat, yakni proses penentuan siapa yang akan menduduki jabatan tertentu dan kemudian menjalankan fungsi tertentu (sering sebagai pemimpin dalam suatu bidang/masyarakat tertentu) adalah lembaga demokrasi. Bukan lembaga pemilihan umumnya (atau sekarang KPU-nya) melainkan seluruh perilaku yang terpola dalam kita mencari dan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin ataupun wakil kita untuk duduk di parlemen. Persoalan utama dalam negara yang tengah melalui proses transisi menuju demokrasi seperti indonesia saat ini adalah pelembagaan demokrasi. Yaitu bagaimana menjadikan perilaku pengambilan keputusan untuk dan atas nama orang banyak bisa berjalan sesuai dengan norma-norma demokrasi, umumnya yang harus diatasi adalah merobah lembaga feodalistik (perilaku yang terpola secara feodal, bahwa ada kedudukan pasti bagi orang-orang berdasarkan kelahiran atau profesi sebagai bangsawan politik dan yang lain sebagai rakyat biasa) menjadi lembaga yang terbuka dan mencerminkan keinginan orang banyak untuk mendapatkan kesejahteraan.

Untuk melembagakan demokrasi diperlukan hukum dan perundang-undangan dan perangkat struktural yang akan terus mendorong terpolanya perilaku demokratis sampai bisa menjadi pandangan hidup. Karena diyakini bahwa dengan demikian kesejahteraan yang sesungguhnya baru bisa dicapai, saat tiap individu terlindungi hak-haknya bahkan dibantu oleh negara untuk bisa teraktualisasikan, saat tiap individu berhubungan dengan individu lain sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku. [sunting]Partai dan Golongan [sunting]Hubungan Internasional Dalam bentuk klasiknya hubungan internasional adalah hubungan antar negara, namun dalam perkembangan konsep ini bergeser untuk mencakup semua interaksi yang berlangsung lintas batas negara. Dalam bentuk klasiknya hubungan internasional diperankan hanya oleh para diplomat (dan mata-mata) selain tentara dalam medan peperangan. Sedangkan dalam konsep baru hubungan internasional, berbagai organisasi internasional, perusahaan, organisasi nirlaba, bahkan perorangan bisa menjadi aktor yang berperan penting dalam politik internasional. Peran perusahaan multinasional seperti Monsanto dalam WTO (World Trade Organization/Organisasi Perdagangan Dunia) misalnya mungkin jauh lebih besar dari peran Republik Indonesia. Transparancy International laporan indeks persepsi korupsi-nya di Indonesia mempunyai pengaruh yang besar. Persatuan Bangsa Bangsa atau PBB merupakan organisasi internasional terpenting, karena hampir seluruh negara di dunia menjadi anggotanya. Dalam periode perang dingin PBB harus mencerminkan realitas politik bipolar sehingga sering tidak bisa membuat keputusan efektif, setelah berakhirnya perang dingin dan realitas politik cenderung menjadi unipolar dengan Amerika Serikat sebagai kekuatan Hiper Power, PBB menjadi relatif lebih efektif untuk melegitimasi suatu tindakan internasional sebagai tindakan multilateral dan bukan tindakan unilateral atau sepihak. Upaya AS untuk mendapatkan dukungan atas inisiatifnya menyerbu Irak dengan melibatkan PBB, merupakan bukti diperlukannya legitimasi multilateralisme yang dilakukan lewat PBB. Untuk mengatasi berbagai konflik bersenjata yang kerap meletus dengan cepat di berbagai belahan dunia misalnya, saat ini sudah ada usulan untuk membuat pasukan perdamaian dunia (peace keeping force) yang bersifat tetap dan berada di bawah komando PBB. Hal ini diharapkan bisa mempercepat reaksi PBB dalam mengatasi berbagai konflik bersenjata. Saat misalnya PBB telah memiliki semacam polisi tetap yang setiap saat bisa dikerahkan oleh Sekertaris Jendral PBB untuk

beroperasi di daerah operasi PBB. Polisi PBB ini yang menjadi Civpol (Civilian Police/polisi sipil) pertama saat Timor Timur lepas dari Republik Indonesia. Hubungan internasional telah bergeser jauh dari dunia eksklusif para diplomat dengan segala protokol dan keteraturannya, ke arah kerumitan dengan kemungkinan setiap orang bisa menjadi aktor dan mempengaruhi jalannya politik baik di tingkat global maupun lokal. Pada sisi lain juga terlihat kemungkinan munculnya pemerintahan dunia dalam bentuk PBB, yang mengarahkan pada keteraturan suatu negara (konfederasi?). [sunting]Masyarakat adalah sekumpulan orang orang yang mendiami wilayah suatu negara. [sunting]Kekuasaan Dalam teori politik menunjuk pada kemampuan untuk membuat orang lain melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya. Max Weber menuliskan adanya tiga sumber kekuasaan: pertama dari perundangundangan yakni kewenangan; kedua, dari kekerasan seperti penguasaan senjata; ketiga, dari karisma. [sunting]Negara negara merupakan suatu kawasan teritorial yang didalamnya terdapat sejumlah penduduk yang mendiaminya, dan memiliki kedaulatan untuk menjalankan pemerintahan, dan keberadaannya diakui oleh negara lain. ketentuan yang tersebut diatas merupakan syarat berdirinya suatu negara menurut konferensi Montevideo pada tahun 1933 [sunting]Tokoh dan pemikir ilmu politik [sunting]Tokoh-tokoh politik [sunting]Pemikir-pemikir politik [sunting]Mancanegara Tokoh tokoh pemikir Ilmu Politik dari kalangan teoris klasik, modern maupun kontempoter antara lain adalah: Aristoteles, Adam Smith, Cicero, Friedrich Engels, Immanuel Kant, John Locke, Karl Marx, Lenin, Martin Luther, Max Weber, Nicolo Machiavelli,Rousseau, Samuel P Huntington, Thomas Hobbes, Antonio Gramsci, Harold Crouch, Douglas E Ramage. [sunting]Indonesia Beberapa tokoh pemikir dan penulis materi Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dari Indonesia adalah: Miriam Budiharjo, Salim Said dan Ramlan Surbakti. [sunting]Perilaku politik

Perilaku politik atau (Inggris:Politic Behaviour)adalah perilaku yang dilakukan oleh insan/individu atau kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan politik.Seorang individu/kelompok diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak dan kewajibannya guna melakukan perilaku politik adapun yang dimaksud dengan perilaku politik contohnya adalah:

Melakukan pemilihan untuk memilih wakil rakyat / pemimpin Mengikuti dan berhak menjadi insan politik yang mengikuti suatu partai politik atau parpol , mengikuti ormas atau organisasi masyarakat atau lsm lembaga swadaya masyarakat Ikut serta dalam pesta politik Ikut mengkritik atau menurunkan para pelaku politik yang berotoritas Berhak untuk menjadi pimpinan politik Berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan politik guna melakukan perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh undang-undang dasar dan perundangan hukum yang berlaku

Sebuah partai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Definisi lainnya adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik - (biasanya) dengan cara konstitusionil - untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka. [1] Partai politik adalah sarana politik yang menjembatani elit-elit politik dalam upaya mencapai kekuasaan politik dalam suatu negara yang bercirikan mandiri dalam hal finansial, memiliki platform atau haluan politik tersendiri, mengusung kepentingankepentingan kelompok dalam urusan politik, dan turut menyumbang political development sebagai suprastruktur politik. Dalam rangka memahami Partai Politik sebagai salah satu komponen Infra Struktur Politik dalam negara, berikut beberapa pengertian mengenai Partai Politik, yakni : 1. Carl J. Friedrich: Partai Politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasan pemerintah bagi pemimpin Partainya, dan berdasarkan penguasan ini memberikan kepada anggota Partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materil. 2. R.H. Soltou: Partai Politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyaknya terorganisir, yang bertindak sebagai satukesatuan politik, yang

dengan memanfaatkan kekuasan memilih, bertujuan menguasai pemerintah dan melaksanakan kebijakan umum mereka. 3. Sigmund Neumann: Partai Politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis Politik yang berusaha untuk menguasai kekuasan pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan melawan golongan-golongan lain yang tidak sepaham. 4. Miriam Budiardjo: Partai Politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakankebijakan mereka

PERAN PEREMPUAN DI DUNIA POLITIK PERLU DITINGKATKAN Jakarta, 8/3/2011 (Kominfo-Newsroom) Wakil Ketua MPR RI, Melani Leimena Suharli. mengatakan, minimnya peran perempuan di dunia politik disebabkan oleh faktor internal dan budaya yakni masih rendahnya kualitas sumber daya perempuan dan masih terbatasnya motivasi perempuan untuk dapat meningkatkan dirinya setingkat lebih maju. Sikap perempuan yang cenderung menerima dan pasrah terhadap keadaan, merasa rendah diri dan kurang mandiri, adalah faktor-faktor yang melemahkan kualitas perempuan, terang Melani saat diskusi peringatan 100 Hari Perempuan Internasional di gedung DPR/MPR RI Jakarta, Selasa (8/3). Menurut data, saat ini baru 18 persen perempuan yang mengisi kursi DPR-RI, 16 persen kursi DPRD Provinsi dan 12 persen kursi DPRD Kabupaten/Kota. Sejak bergulirnya era reformasi yang dimulai pada 1998, memacu perempuan agar berperan lebih maksimal dalam proses pengambilan kebijakan adalah sebuah keniscayaan. Kenyataan ini terindikasi dengan adanya trend positif peningkatan partisipasi politik kaum hawa tersebut di dalam kancah perpolitikan nasional. Pada Pemilu 1999 hanya terdapat 9 persen dari 462 anggota DPR RI yang merupakan anggota perempuan, namun pada Pemilu 2004 meningkat menjadi 11 persen. Peningkatan tersebut salah satunya didorong oleh lahirnya 2 undangundang di bidang politik, yaitu UU No.31/2002 tentang Parpol dan UU No.12/2003 tentang Pemilu, ungkapnya. Kemudian pada pemilu 2009 lalu angka prosentasenya telah mencapai 17 persen dari seluruh keanggotaan DPR RI yang berjumlah 560 orang. Sementara itu, Wakil Ketua BKSAP Dr. Nurhayati Ali Assegaf yang terpilih menjadi President of Coordinating Committee of Women Parliamentarians of the Inter-Parliamentary Union (IPU), mengatakan bahwa keberhasilan ini patut diapresiasi. Keberhasilan perempuan di DPR RI menduduki jabatan strategis tersebut menunjukkan bahwa parlemen-parlemen di seluruh dunia mengapresiasi peran perempuan di dalam transisi politik dan perkembangan demokrasi di Indonesia. Oleh sebab itu, katanya presidensi ini selain merupakan bentuk aktualisasi penajaman parliamentary diplomacy DPR RI di panggung diplomasi global yang tentunya memperjuangkan kepentingan perempuan dalam arus globalisasi yang semakin deras. Kemudian juga dapat dijadikan bukti bahwa kaum perempuan di negara Indonesia yang notabene merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia mendapat kesempatan yang sama dalam berpolitik dan berdemokrasi. Fakta ini telah mengoreksi kekeliruan pandangan yang selama ini sering disampaikan oleh negara-negara Barat bahwa Islam adalah agama yang mengebiri hak-hak kaum perempuan, ujarnya. Untuk itu, tambahnya, kita perlu mendorong generasi perempuan dalam politik, yang terbaik yang ada untuk memainkan peranan yang lebih luas baik di tingkat regional maupun global. (T.wd/rm)

Jakarta - Faktor budaya yang belum memenuhi konsep kesejajaran dan persamaan antara hak laki-laki dan perempuan membuat peran perempuan dalam politik Indonesia masih minim. Untuk mengubah itu, diperlukan revitalisasi nilai budaya untuk mendorong peran strategis perempuan. Demikian disampaikan President Coordinating Committe of Woman Parliamentary of Interparliamentary Union, Nurhayati Ali Assegaf, dalam diskusi 'Peran Perempuan Indonesia dalam Demokrasi', di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (8/3/2011). Diskusi digelar dalam rangka peringatan 100 Tahun Hari Perempuan Internasional. "Kita perlu mendorong generasi perempuan dalam politik, yang terbaik yang ada untuk memainkan peranan yang lebih luas baik di tingkat regional maupun global," ujar Nurhayati. Anggota Komisi I DPR ini mengatakan, faktor kedua yang menyebabkan minimnya peran perempuan dalam bidang politik adalah sistem kaderisasi dan kepemimpinan dalam partai politik yang juga masih minim. "Sehingga belum memberikan kontribusi bagi penguatan peran dan partisipasi politik perempuan," kata Nurhayati. Hal yang sama juga diungkapkan Wakil Ketua MPR, Melani Leimena Suharli. Menurutnya, minimnya peran perempuan juga disebabkan oleh faktor internal. Faktor itu yakni masih rendahnya kualitas sumber daya perempuan dan masih terbatasnya motivasi perempuan untuk dapat meningkatkan dirinya setingkat lebih maju. "Sikap menerima dan pasrah dari perempuan terhadap keadaan, merasa rendah diri dan kurang mandiri," terang Melani. Menurut data, saat ini baru 18 persen perempuan yang mengisi kursi DPR-RI, 16 persen kursi DPRD Provinsi dan 12 persen kursi DPRD Kabupaten/Kota. Sementara itu, Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso, menilai sudah seharusnya perempuan mendapat tempat terbaik dalam perkembangan dunia yang serba global sekarang ini. "Kalau tidak memberi kesempatan perempuan pada bidang politik, kita akan disalahkan sejarah," kata Priyo.

Jakarta - Tahun 2011 ini adalah tepat 100 tahun peringatan Hari Perempuan Internasional. Sebagai sebuah lembaga negara yang secara konsisten mendorong penguatan peran perempuan di dalam kegiatan bernegara, DPR RI memperingatinya dengan mengadakan seminar yang bertemakan Peran Perempuan Indonesia Dalam Demokrasi. Dalam sambutan pembukaan seminar tersebut, Wakil Ketua DPR RI/Korpolkam Priyo Budi Santoso menggarisbawahi pentingnya perempuan membekali diri untuk dapat berkarya dan bekerja di berbagai bidang, termasuk bidang politik. Dalam konteks politik Indonesia, peran perempuan juga sedang berkembang secara signifikan. "Banyaknya perempuan yang bekerja di bidang politik saat ini telah menunjukkan peran perempuan yang lebih luas dalam membangun demokrasi di Indonesia. Perempuan tidak hanya dapat membangun kesadaran berdemokrasi dari lingkup keluarga, tapi juga menjadi bagian dari lembaga politik dan pemerintahan." ujar politisi yang pernah menjadi dosen FISIP Universitas Nasional ini. Selanjutnya, Priyo Budi Santoso mencatat bahwa sejak bergulirnya era reformasi yang dimulai pada tahun 1998, peran lebih besar perempuan dalam proses pengambilan kebijakan adalah sebuah keniscayaan. Kenyataan ini terindikasi dengan adanya trend positif peningkatan partisipasi politik kaum hawa tersebut di dalam kancah perpolitikan nasional. "Pada Pemilu tahun 1999 hanya terdapat 9% dari 462 anggota DPR RI yang merupakan anggota perempuan, namun pada Pemilu 2004 meningkat menjadi 11%. Peningkatan tersebut salah satunya didorong oleh lahirnya 2 UU di bidang politik, yaitu UU 31 tahun 2002 tentang Parpol dan UU No.12 tahun 2003 tentang Pemilu. Bahkan pada pemilu 2009 lalu angka prosentasenya telah mencapai 17% dari seluruh keanggotaan DPR RI yang berjumlah 560 orang." ungkap Ketua Bidang Hubungan Legislatif dan Lembaga Politik Partai Golkar ini. Menanggapi keberhasilan Ibu Dr. Nurhayati Ali Assegaf, Wakil Ketua BKSAP, yang terpilih menjadi President of Coordinating Committee of Women Parliamentarians of the Inter-Parliamentary Union (IPU), mantan aktivis HMI ini mengatakan bahwa keberhasilan ini patut diapresiasi. "Keberhasilan DPR RI menduduki jabatan strategis tersebut menunjukkan bahwa parlemen-parlemen di seluruh dunia mengapresiasi peran perempuan di dalam transisi politik dan perkembangan demokrasi di Indonesia. Oleh sebab itu, presidensi ini selain merupakan bentuk aktualisasi penajaman parliamentary diplomacy DPR RI di panggung diplomasi global yang tentunya memperjuangkan kepentingan perempuan dalam arus globalisasi yang semakin deras, juga dapat dijadikan bukti bahwa kaum perempuan di negara Indonesia yang notabene merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia mendapat kesempatan yang sama dalam berpolitik dan berdemokrasi. Fakta ini telah mengoreksi kekeliruan pandangan yang selama ini sering disampaikan oleh negara-negara Barat bahwa Islam adalah agama yang mengebiri hak-hak kaum perempuan." ujarnya

JAKARTA - Hari ini, seluruh dunia serentak merayakan Hari Perempuan Internasional. Di Indonesia, biasanya, akan muncul sejumlah koreksi terhadap kiprah perempuan, termasuk di jajaran pemerintahan dan lembaga pendampingnya. Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) mencatat, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD menetapkan keterwakilan perempuan minimum 30 persen dari seluruh calon anggota DPR dan DPRD yang diajukan oleh setiap partai politik. "Kemudian dari hasil Pemilu 2009 yang lalu, hanya 11 persen perempuan menduduki kursi di DPR (dari jumlah total anggota DPR sebanyak 560 orang)," demikian ditulis Peneliti PSHK Kartika Saraswati dalam rilis yang diterima okezone, Senin (8/3/2010). Senada dengan di tataran legislatif, di tataran yudikatif tercatat, prosentase hakim perempuan dalam peradilan di Indonesia, rata-rata menduduki 21,65 persen dari jumlah hakim yang ada. Prosentase terendah ditemui di peradilan militer yang hanya 15 persen. "Prestasi dan kontribusi perempuan tidak hanya mengandalkan faktor kuantitas, namun juga tetap mempertimbangkan aspek kualitas, profesionalisme, dan integritas. Peringatan hari Perempuan Internasional merupakan momentum untuk mengoreksi kembali berbagai kebijakan yang cenderung mengabaikan pendidikan, perlindungan, dan akses terhadap pengembangan kemampuan pribadi perempuan Indonesia," paparnya. Selamat memperingati Hari Perempuan Internasional!

Pada perayaan ulang tahun ke-100 Hari Wanita Internasional ini, merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kita semua untuk menyadari betapa besarnya kemajuan yang telah dicapai oleh kaum perempuan di seluruh dunia. Namun dengan kemajuan tersebut, berbagai perlakuan yang tidak merata masih saja terjadi. Potensi-potensi besar yang dimiliki oleh kaum perempuan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, kemakmuran, kemajuan sosial, perdamaian, dan pemerintahan yang baik masih belum tersentuh di berbagai wilayah dunia. Kekerasan terhadap lain jenis kelamin tidak saja merusak kehidupan para perempuan, remaja-remaja putri, keluarga dan masyarakat, tetapi juga merenggut berbagai bakat yang mereka miliki dan sangat dibutuhkan oleh dunia. Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, Menteri Luar Negeri Hillary Clinton bersama Ibu Negara Michelle Obama dalam upacara peringatan di Washington, D.C. nanti akan mengumumkan nama 10 orang penerima penghargaan International Women of Courage Awards dari seluruh dunia. Para penerima penghargaan ini merupakan perwakilan perempuan yang aktif dalam melawan korupsi dan ketidakadilan serta memperjuangkan hak asasi manusia, tata kelola yang baik, dan peluang ekonomi di negara masing-masing. Mereka adalah agen perubahan. Dalam upaya mereka untuk memecahkan masalah kemiskinan, diskriminasi, dan kekerasan, para penerima penghargaan ini tidak hanya memperjuangkan hak-hak perempuan, tetapi juga menjadi inspirasi bagi kita semua. Jika kita ingin membangun dunia yang lebih damai, sejahtera, dan adil, kita tidak bisa meninggalkan setengah dari penduduk dunia. Kita tidak akan berhasil mengatasi tantangan yang kita hadapi yang berkaitan dengan lingkungan hidup, keamanan, ekonomi, dan lainnya jika perempuan tidak dilibatkan pada setiap tingkatan masyarakat. AS berkomitmen untuk memberdayakan perempuan bukan karena itu adalah hal yang tepat namun karena itu adalah hal yang pandai. Saat perempuan membuat kemajuan, maka negara tersebut juga membuat kemajuan. Sejumlah penelitian menunjukkan investasi terhadap perempuan berhubungan positif dengan mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan. Pada Hari Perempuan Internasional, Amerika Serikat turut memuji prestasi yang diukir organisasiorganisasi di Indonesia seperti Aisyiyah and Fatayat yang mengutamakan perjuangan pendidikan bagi kaum perempuan. Pendidikan bagi anak perempuan adalah investasi pembangunan yang paling efektif yang dapat dilakukan dengan konsekuensi positif yang besar bagi masa depannya dan keluarganya. Membatasi partisipasi perempuan dan membiarkan potensi mereka tidak dimanfaatkan, berarti mengelabui kaum perempuan dan mengecoh dunia. Kita sangat membutuhkan talenta, pengalaman, dam kepemimpinan perempuan. Upayaupaya seperti yang dilakukan oleh Dewan Nasional Organisasi Perempuan dan Pusat Perempuan dalam Politik Indonesia merupakan panutan bagi dunia tentang

bagaimana meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik. Hal seperti itu serta kontribusi yang tak terhitung dari organisasi dan individu seperti mereka mendorong terjadinya perubahan di berbagai tempat. Banyak yang melakukan hal tersebut dengan keberanian luar biasa dan seringkali diikuti risiko yang tinggi. Mereka telah mengubah dunia menjadi lebih baik. Pada hari ini, kita menyampaikan kekaguman kita kepada para Perempuan Pemberani.

Proses demokratisasi yang masih lemah dapat lenyap dengan seketika. Inilah dilema yang dihadapi Indonesia dalam kurun waktu transisional seperti sekarang ini. Berbeda dengan transisi 1967-1971, yang ditandai dengan pergantian rejim (replacement) di mana tak ada elemen-elemen rejim lama yang ikut ambil bagian dalam rejim baru. Dengan demikian rejim baru dapat mengambil kebijakan dan tindakan yang drastis, memutus garis dengan rejim lama. Meskipun pemerintah yang dibentuk sebagai hasil lanjutan dari Pemilu 1999, dari segi demokrasi prosedural telah legitimate, tapi pemerintah yang ada tetaplah merupakan gabungan kekuatan dari rejim otokratik dan kekuatan demokratik. . Oleh karenanya pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati tidak mungkin dapat melakukan satu perobahan yang drastis kalaupun mereka mau - yang dapat menarik garis putus dari struktur dan praktek rejim otoritarian, tanpa menimbulkan bencana baru bagi bangsa dan negara. Perobahan yang ada akan lambat dan menyakitkan, karena kekuatan riel politik-lah yang menentukan ke arah dan sejauh mana perobahan dapat didorong tanpa menimbulkan bencana baru bagi bangsa. Elitisme dalam demokrasi tidak sehat, apalagi korupsi, kolusi, dan nepotisme masih berkembang. Negara dan Masyarakat: Partisipasi Politik Pancasila dan komunitas politik Indonesia merupakan hasil sejarah dan politik, kedua hal ini mengkristal dalam Pancasila. Ketidakpercayaan pada lembagai dan pilihan politis; Argumentasi yang tidak setuju terhadap demokrasi langsung menurut logika merupakan suatu argumentasi yang melawan sesuatu yang berkaitan dengan demokrasi. Elitisme dalam demokrasi tidak sehat, apalagi korupsi, kolusi, dan nepotisme masih berkembang. Individu yang rasional akan bertanya kepada dirinya sendiri, Apa yang akan aku peroleh dari partisipasiku ini dan apa yang tidak akan kuperoleh jika aku gagal berpartisipasi? Ini menjadi pegangan oleh orang-orang yang tidak berpartisipasi yang yang paling rasional. Akibatnya adalah mereka akan dipimpin oleh orang-orang dari kelompok yang aktif berpartisipasi. Untuk memastikan, tanpa melaksanakan kewajiban mereka dengan serius, basis untuk kebebasan di dalam masyarakat yang politis akan dikikis. Kedua-Duanya elitism demokratis dan pilihan masuk akal adalah pemain musik teori: yang terdahulu sebab partisipasi politik bermakna untuk mencapai suatu akhir pemeliharaan penting otoritas politis; dan yang belakangan sebab keikutsertaan adalah suatu alat yang

digunakan oleh mereka lebih lanjut . Dalam participatory teori lihat keterlibatan politis: keikutsertaan lebih dari suatu metoda pengaturan; melayani tujuan yang lebih luas cementing masyarakat sipil bersama-sama, dan mendidik warganegara dalam seni penguasaan. Mayoritas individu di (dalam) demokrasi liberal adalah penerima keputusan pilihan pasif, dibanding/bukannya warganegara [yang] dengan aktip membentuk politik. Sebagai ganti(nya) demokrasi kuat ditawarkan [di mana/jika] politik adalah sesuatu (yang) dilaksanakan oleh, tidak untuk, warganegara. Partisipasi politik dilihat sebagai yang baik dengan sendirinya; sesuatu yang semua individu dapat berperan dalam dan dengan mana mereka kembang;kan tidak hanya kemampuan/ wewenang politis mereka sendiri, tetapi juga menempa mata rantai yang membentuk masyarakat sipil. Bentuk Partisipasi Politik Ini mengacu pada format rutin, [yang] reguler dan kelembagaan [dari;ttg] tindakan politis seperti partai politik dan menarik perhatian kelompok. Tiga pertimbangan diusulkan untuk mengapa yang lebih tinggi kelas sosial mengambil bagian lebih secara ekstensif dan sangat dalam politik kelembagaan dibanding kelas pekerjaan; o mereka memiliki suatu tingkat yang lebih tinggi pendidikan; dan o pesta dan kelompok politis lain tidak efektip, atau gagal, dalam memobilisasi warganegara; mereka melainkan target warganegara yang paling kaya untuk pertimbangan donasi politis mereka dan kuasa. Point 1 dan 2 mencerminkan pandangan keikutsertaan yang society-centred: yaitu., orang-orang mengambil bagian oleh karena sumber daya atau karakteristik sosial mereka memiliki. Alasan : wanita-wanita itu adalah lebih sedikit mewakili lapisan masyarakat lapisan dan elite politis, sehingga merasakan bahwa mereka tidak punya minat akan mengambil bagian sudah termarginalisasi. Tetapi dalam hal kebijakan, komitmen parpol untuk mencalonkan perempuan berkualitas di nomor urut dan daerah yang berpotensi untuk terpilih, masih dipertanyakan. Apalagi dalam Pemilu 2009. Lebih lanjut tentang: Partisipasi Perempuan dalam Partai Politik di Indonesia

Vote for the man who promises least; he'll be the least disappointing.Kalimat tersebut diuarkan oleh Bernard Baruch (1870-1965), seorang pemain di pasar bursa dan komoditas, analis keuangan, yang juga menjadi penasihat bagi beberapa Presiden Amerika Serikat, termasuk di antaranya adalah bagi Woodrow Wilson dan John F Kennedy. Baruch benar dalam logika bahwa semakin sedikit janji, semakin sedikit kemungkinan ia tidak ditepati ketimbang bertumpuk janji. Sedikit janji juga memungkinkan rakyat lebih mudah melakukan kontrol terhadap realisasi janji. Maka terdapat kemungkinan yang lebih besar bagi rakyat untuk dapat menikmati ketepatan preferensi mereka dalam memilih di antara kandidat. Tetapi, saya sangsi: jangan-jangan Baruch hanya separuh benar. Sebab, dalam kalimat di atas dia menggunakan kata ganti the man dan he untuk merujuk sang kandidat, seolah dalam setiap pemilihan selalu akan ada hanya kandidat lelaki. Pada masa yang berbeda, Aristoteles yang hidup antara 384-322 SM menyebut bahwa warga negara adalah orang yang memiliki hak untuk turut serta dalam pengambilan keputusan. Tidak mengherankan. Pada masa itu warga Athena menjadi bagian dari majelis, lembaga, juri yang memutuskan hukuman, serta anggota badanbadan politik lainnya yang mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Tetapi, ada perbedaan dasar antara praktik demokrasi a la polis Athena dan demokrasi modern. Warga negara Athena yang disebut sebagai polits yang memiliki hak politik adalah mereka, demikian Aristoteles, yang dalam hidupnya telah cukup-diri. Kelompok ini tidaklah termasuk perempuan, anak-anak, budak, dan orang asing. Pada Baruch, perempuan bukanlah orang yang memiliki kemampuan politik yang mumpuni untuk dapat bertarung dalam kompetisi politik. Pada Aristoteles, perempuan bahkan tidak termasuk mereka yang cukup-diri untuk dapat memiliki peran politik, meski hanya untuk memilih. Bias patriarkhi menilaskan jejak yang tegas dalam sejarah politik. Dari sejarah kita membaca bagaimana pernikahan menjadi salah satu cara untuk berdiplomasi. Raja A menikahkan pangeran dengan putri Raja Z dengan harapan wilayah kekuasaan kerajaannya akan semakin luas pada masa pemerintahan sang pangeran nanti. Sebaliknya, penguasa dari wilayah yang lebih kecil menyerahkan putrinya kepada penguasa yang memiliki kekuasaan lebih digdaya agar wilayahnya tidak dicaplok. Perempuan juga pernah menjadi bagain dari pampasan perang yang berhak dikuasai secara serakah oleh pemenang perang, seolah piala yang menyimbolkan keagungan kemenangan dalam suatu persaingan. Kenyataannya, sejarah politik kaum perempuan bukanlah monumen yang tegak tak bergerak. Sejarah perempuan bukan pula bangunan yang statis memijak bumi. Epsom Derby pada 4 Juni 1913. Tersebutlah Emily Davison, perempuan yang tewas diinjak oleh kuda Raja George V setelah dia secara sengaja menabrakkan diri ke kereta sang Raja. Davison adalah martir. Apa yang dilakukan olehnya adalah bagian dari tindakan-tindakan ekstrem para anggota gerakan Suffragette yang menginginkan kesetaraan hak pilih bagi perempuan sebagaimana lelaki. Sebagai reaksi terhadap gerakan ini, pemerintah Inggris bahkan mengeluarkanCat and Mouse Act demi membatasi simpati publik terhadap gagasan kesetaraan. Suffragette mencoba mempertanyakan logika di balik penindasan terhadap perempuan dalam politik. Dan pertanyaan itu menohok ke hal dasar yang menjadi basis kekuasaan Raja Inggris serta penguasa-penguasa lalim lainnya, ialah: kesewenangan, serta hal yang tidak hadir dalam kekuasaan mereka, ialah: keabsahan dan dukungan rakyat. Saya ingat Indira Gandhi salah seorang perdana menteri

perempuan yang dimiliki oleh dunia yang pernah menyebut bahwa kekuatan untuk bertanya merupakan dasar bagi semua kemajuan umat manusia. Penindasan terhadap perempuan jelas menjadi catatan kelam sejarah manusia. Suffragette dan gerakan-gerakan sejenis lainnya, baik ia diusung oleh lelaki maupun perempuan, telah menjadi bagian dari mereka yang mempertanyakannya. Pertanyaan itulah yang kemudian menjadi gugatan yang menggugah segenap umat manusia untuk menempatkan perempuan pada peran yang proporsional. Hari-hari ini perempuan-perempuan menghentak dunia politik. Jika dulu istilah first lady dimaknai semata sebagai nyonya penguasa yang tampil anggun dengan gaun menjuntai mendampingi sang suami yang menjadi penguasa sesungguhnya, maka kini kita mendapati deretan perempuan-perempuan nomor satu yang sesungguhnya dalam dunia politik. Pada 22 November 2005 dunia menyaksikan Angela Merkel menjadi perempuan pertama yang menjabat Kanselir Jerman setelah sebuah tarik-ulur yang melelahkan pascakemenangan tipis Partai Uni Demokrat Kristen atas Partai Uni Sosialis Kristen dalam pemilu. 16 Januari 2006 Ellen Johnson-Sirleaf dilantik sebagai Presiden Liberia sehingga menjadi perempuan pertama yang menjadi presiden dalam sejarah Afrika. Lalu ada pula Michelle Bachelet, politikus Partai Sosialis Chile yang memenangkan pertarungan ketat pada pemilu putaran kedua melawan Sebastian Pinera pada 15 Januari 2006 lalu. Indonesia sendiri telah lebih awal mencatat sejarah pada 2001 ketika Megawati Sukarnoputri dilantik menggantikan Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Representasi perempuan dalam politik melalui para politikus perempuan jelas suatu kemajuan peradaban. Namun, perlu dicatat bahwa representasi politik tidak melulu diafirmasi melalui jumlah wakil dalam lembaga politik. Salah satu fungsi partai politik dalam UU No. 31 tahun 2002 tentang Partai Politik adalah rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan publik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Tetapi, langkah untuk memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender yang diamanatkan oleh pasal di atas justru telah salah dimaknai oleh para penyusun undang-undang kita. Pasal 65 ayat (1) UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum menyebut Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. UU No. 31 tahun 2002 secara tepat mengakomodasi kehendak untuk meningkatkan derajat keterwakilan perempuan. Dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender, diharapkan bahwa partai-partai politik tidak akan mengabaikan isu-isu tentang kepentingan kelompok penduduk berjenis kelamin tertentu (terutama perempuan, mengingat relatif tertinggalnya kelompok ini dibandingkan laki-laki). UU ini juga akan meminimasi kemungkinan pratik diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dalam menentukan kapabilitas seseorang untuk menjadi kandidat dalam pemilu. Menilik aturan dalam kedua undang-undang di atas, dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan dasar antara memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender dan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Kalimat kedua menekankan pada aspek jumlah sebagai bukti kesetaraan dan keadilan, sementara kalimat pertama tidak secara eksplisit menyebut demikian. Jika jumlah wakil yang duduk di lembaga perwakilan dianggap sebagai bukti akomodasi negara terhadap kelompok yang dimaksud, maka selain jumlah wakil perempuan yang minimal 30%, seharusnya undang-undang juga mengamanatkan jumlah minimal

wakil dari agama tertentu, etnik tertentu, bidang pekerjaan tertentu, atau bahkan kelompok penggemar klub olahraga tertentu yang kepentingannya barangkali relatif kurang terakomodasi dibandingkan kepentingan kelompok lain di negeri ini. Sesungguhnya logika keterwakilan tidak melulu dibangun berdasarkan jumlah wakil. Bagaimana jika ada perempuan yang duduk di parlemen justru mengusung isu yang kemungkinan merendahkan martabat perempuan (hanya karena dia memperoleh keuntungan ekonomi, politik, atau keuntungan-keuntungan sepihak lainnya dari isu yang diusung)? Apakah perempuan yang demikian lebih layak dipertimbangkan untuk dijadikan wakil rakyat ketimbang laki-laki yang mengusung isu pemberdayaan perempuan hanya atas nama jumlah representasi perempuan? Saya hanya bisa menyebut bahwa mereka yang tergabung dalam gerakan Suffragette, yang telah saya sebut di atas, bukan cuma perempuan, melainkan pula lelaki. Pada akhirnya, saya meyakini bahwa kesetaraan dan keadilan gender menjadi agenda yang belum usai untuk dicermati. Konstruk sosial pun mesti menempatkan perempuan pada posisi subjek yang cukup-diri dan berkekuasaan untuk mengusung kepentingan mereka dan merealisasikan gagasan mereka bersama dengan kelompok lain dalam masyarakat. Tetapi, jelas bahwa jalan untuk menempatkan kepentingan perempuan sebagai salah satu pertimbangan dalam politik tidaklah mesti semata dengan memperbanyak jumlah perempuan yang terjun ke dunia politk. Meski harus diakui bahwa ia dapat menjadi salah satu cara. Lebih dari itu, mengusung perspektif gender yang berkesetaraan dan berkeadilan dalam interaksi sosial akan jauh lebih berarti bagi proporsionalitas posisi dan peran perempuan. Ah, perempuan memang selalu menarik untuk diperbincangkan.

Tahun 2008 ini merupakan tahun kebangkitan perempuan Indonesia di bidang politik. Dan tahun ini merupakan tonggak sejarah perempuan dalam politik, karena di awal tahun 2008 ini DPR-RI telah merumuskan dua Undang-Undang di bidang politik yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 10 Tentang Pemilu. Dalam kedua Undang-Undang ini digariskan dengan jelas dan tegas mengenai 30 % keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik dan legislative.30 % keterwakilan perempuan dalam politik telah menjadi ketentuan hukum. Ketentuan undang-undang di atas akan berimplikasi terhadap keikutsertaan perempuan dalam menentukan setiap kebijakan dalam partai politik dimana dia duduk sebagai pengurus partai , termasuk dalam penyusunan daftar caleg untuk pemilu 2009. Untuk merealisasikan ketentuan undang-undang diatas dituntut tidak saja kesadaran jender dari semua pihak dalam partai politik, tetapi keberanian perempuan untuk menangkap peluang dan mencari dukungan dari seluruh pemangku kepentingan dalam partai.. Disamping itu, membangun kesatuan langkah dan strategi dari kelompok perempuan untuk memperkuat basis dalam masyarakat adalah hal yang penting pula dilakukan. Perempuan harus mampu memberikan kesadaran pada pemilih dalam Pemilu akan kekuatan dari memilih. Menggunakan hak pilih dalam Pemilu berarti memberikan partisipasi penuh dalam demokrasi kita. Perempuan harus mampu mengajak Pemilih untuk melaksanakan Hak Pilihnya. Keterwakilan perempuan yang signifikan di legislative akan dapat meningkatkan kesempatan bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan kepentingannya, terutama masalah yang dihadapi perempuan dan anak-anak yang merupakan lebih dari separoh jumlah penduduk Indonesia. Tertanganinya masalah yang dihadapi perempuan dan anak-anak berarti meningkatnya kualitas hidup bangsa dan kesejahteraan masyarakat. Bila keterwakilan Perempuan di legislative signifikan, maka perempuan dapat berperan dalam menjalankan fungsi legislasi (membuat undang-undang) , penetapan APBN dan fungsiPengawasan. Dalam bidang legislasi anggota perempuan legislative pasti sangat peduli terhadap ketentuan yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan perempuan, baik di bidang ekonomi, kesehatan , pendidikan dan perlindungan terhadap perempuan. . Dalam penetapan APBN anggota perempuan legislative dapat mengalokasikan anggaran Negara dengan konsep pengarusutamaan jender dan di bidang Pengawasan, anggota perempuan legislative dapat melakukan pengawasan secara sungguh-sungguh terlaksananya undangundang yang telah diterbitkan.

You might also like