You are on page 1of 27

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Ileus merupakan suatu keadaan dimana pergerakan kontraksi normal dinding usus terganggu. Ileus dibagi menjadi dua yaitu ileus obstruktif dan ileus paralitik. Ileus sendiri merupakan salah satu gawat abdomen yang memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah. Ileus merupakan 60% - 70% dari seluruh kasus akut abdomen yang bukan apendisitis akut. Hernia strangulata adalah salah satu keadaan darurat yang sering dijumpai oleh dokter bedah dan merupakan penyebab obstruksi usus terbanyak. Mc Iver mencatat 44% dari obstruksi mekanik usus disebabkan oleh hernia eksterna yang mengalami strangulasi. Di RSCM, pada tahun 1989, Kartowisastro dan Wiriasoekarta melaporkan 58% kasus obstruksi mekanik usus halus disebabkan oleh hernia. Sutjipto (1990) dalam penelitiannya mengungkapkan indikasi laparatomi karena obstruksi usus akibat adhesi sebesar 17,7%. Walaupun di negara berkembang seperti di Indonesia, adhesi bukanlah sebagai penyebab utama terjadinya obstruksi usus. Penyebab tersering obstruksi usus di Indonesia, khususnya di RSCM, adalah hernia, baik sebagai penyebab obstruksi sederhana (51%) maupun obstruksi usus strangulasi (63%).

BAB II 1

ISI 2.1. Anatomi Usus Usus halus merupakan tabung yang kompleks, berlipat-lipat yang membentang dari pilorus sampai katup ileosekal. Pada orang hidup panjang usus halus sekitar 12 kaki (22 kaki pada kadaver akibat relaksasi). Usus ini mengisi bagian tengah dan bawah abdomen. Ujung proksimalnya bergaris tengah sekitar 3,8 cm, tetapi semakin kebawah lambat laun garis tengahnya berkurang sampai menjadi sekitar 2,5 cm (Price & Wilson, 2007). Usus halus dibagi menjadi duodenum, jejenum, dan ileum. Pembagian ini agak tidak tepat dan didasarkan pada sedikit perubahan struktur, dan yang relatif lebih penting berdasarkan perbedaan fungsi. Duodenum panjangnya sekitar 25 cm, mulai dari pilorus sampai kepada jejenum. Pemisahan duodenum dan jejenum ditandai oleh ligamentum treitz, suatu pita muskulofibrosa yang berorigo pada krus dekstra diafragma dekat hiatus esofagus dan berinsersio pada perbatasan duodenum dan jejenum. Ligamentum ini berperan sebagai ligamentum suspensorium (penggantung). Kira-kira duaperlima dari sisa usus halus adalah jejenum, dan tiga perlima terminalnya adalah ileum.. Jejenum terletak di regio abdominalis media sebelah kiri, sedangkan ileum cenderung terletak di regio abdominalis bawah kanan (Price & Wilson, 2007). Jejunum mulai pada junctura denojejunalis dan ileum berakhir pada junctura ileocaecalis (Snell, 2006). Lekukan-lekukan jejenum dan ileum melekat pada dinding posterior abdomen dengan perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas yang dikenal sebagai messenterium usus halus. Pangkal lipatan yang pendek melanjutkan diri sebagai peritoneum parietal pada dinding posterior abdomen sepanjang garis berjalan ke bawah dan ke kenan dari kiri vertebra lumbalis kedua ke daerah articulatio sacroiliaca kanan. Akar superior antara mesenterium memungkinkan keluar dan masuknya cabang-cabang arteri vena mesenterica kedua lapisan peritoneum yang memgbentuk messenterium (Snell. 2006) Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 2

5 kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inci (sekitar 6,5 cm), tetapi makin dekat anus semakin kecil (Price & Wilson, 2007). Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileocaecaal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati dekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileocaecaal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum. Kolon dibagi lagi menjadi kolon asendens, transversum, desendens dan sigmoid (Price & Wilson, 2007). Kolon ascendens berjalan ke atas dari sekum ke permukaan inferior lobus kanan hati, menduduki regio iliaca dan lumbalis kanan. Setelah mencapai hati, kolon ascendens membelok ke kiri, membentuk fleksura koli dekstra (fleksura hepatik). Kolon transversum menyilang abdomen pada regio umbilikalis dari fleksura koli dekstra sampai fleksura koli sinistra. Kolon transversum, waktu mencapai daerah limpa, membengkok ke bawah, membentuk fleksura koli sinistra (fleksura lienalis) untuk kemudian menjadi kolon descendens. Kolon sigmoid mulai pada pintu atas panggul. Kolon sigmoid merupakan lanjutan kolon descendens. Ia tergantung ke bawah dalam rongga pelvis dalam bentuk lengkungan. Kolon sigmoid bersatu dengan rektum di depan sakrum. Rektum menduduki oleh pelvis bagian posterior sigmoid dengan rongga pelvis. turun Rektum di depan ke atas dilanjutkan kolon dan berjalan menembus sekum,

meninggalkan

dasar pelvis. Disisni rektum

melanjutkan diri sebagai anus dalan perineum (Snell, 2006)

Gambar 1. Anatomi Tractus Gastrointestinal 2.2 Histologi Dinding usus halus dibagi kedalam empat lapisan (Sabiston,1992):

Gambar 2. Lapisan usus halus 1. Tunica Serosa. Tunica serosa atau lapisan peritoneum, tak lengkap di atas duodenum, hampir lengkap di dalam usus halus mesenterica, kekecualian pada sebagian kecil, tempat lembaran visera dan mesenterica peritoneum bersatu pada tepi usus. 4

2. Tunica Muscularis. Dua selubung otot polos tak bergaris membentuk tunica muscularis usus halus. Ia paling tebal di dalam duodenum dan berkurang tebalnya ke arah distal. Lapisan luarnya stratum longitudinale dan lapisan dalamnya stratum circulare. Yang terakhir membentuk massa dinding usus. Plexus myentericus saraf (Auerbach) dan saluran limfe terletak diantara kedua lapisan otot. 3. Tela Submucosa. Tela submucosa terdiri dari dari jaringan ikat longgar yang terletak diantara tunica muskularis dan lapisan tipis lamina muskularis mukosa, yang terletak di bawah mukosa. Dalam ruangan ini berjalan jalinan pembuluh darah halus dan pembuluh limfe. Di samping itu, di sini ditemukan neuroplexus meissner. 4. Tunica Mucosa. Tunica mucosa usus halus, kecuali pars superior duodenum, tersusun dalam lipatan sirkular tumpang tindih yang berinterdigitasi secara transversa. Masing-masing lipatan ini ditutup dengan tonjolan, villi. 2.3. Fisiologi Usus halus mempunyai dua fungsi utama : pencernaan dan absorpsi bahan-bahan nutrisi dan air. Proses pencernaan dimulai dalam mulut dan lambung oleh kerja ptialin, asam klorida, dan pepsin terhadap makanan masuk. Proses dilanjutkan di dalam duodenum terutama oleh kerja enzim-enzim pankreas yang menghidrolisis karbohidrat, lemak, dan protein menjadi zat-zat yang lebih Sekresi sederhana. empedu Adanya bikarbonat dalam sekret pankreas membantu untuk kerja enzim-enzim. dengan dari hati membantu proses pencernaan menetralkan asam dan memberikan pH optimal

mengemulsikan lemak sehimgga memberikan permukaan lebih luas bagi kerja lipase pankreas (Price & Wilson, 2007). Proses pencernaan disempurnakan oleh sejumnlah enzim dalam getah usus (sukus enterikus). Banyak di antara enzim-enzim ini terdapat pada brush border vili dan mencernakan zat-zat makanan sambil diabsorpsi (Price & Wilson, 2007) Isi usus digerakkan oleh peristalsis yang terdiri atas dua jenis gerakan, yaitu segmental dan peristaltik yang diatur oleh sistem saraf autonom dan hormon 5

(Sjamsuhidajat Jong, 2007). Pergerakan segmental usus halus mencampur zatzat yang dimakan dengan sekret pankreas, hepatobiliar, dan sekresi usus, dan pergerakan peristaltik mendorong isi dari salah satu ujung ke ujung lain dengan kecepatan yang sesuai untuk absorpsi optimal dan suplai kontinu isi lambung (Price & Wilson, 2007). Absorpsi adalah pemindahan hasil-hasil akhir pencernaan karbohidrat, lemak dan protein (gula sederhana, asam-asam lemak dan asa-asam amino) melalui dinding usus ke sirkulasi darah dan limfe untuk digunakan oleh sesl-sel tubuh. Selain itu air, elektrolit dan vitamin juga diabsorpsi. Absoprpsi berbagai zat berlangsung dengan mekanisme transpor aktif dan pasif yang sebagian kurang dimengerti (Price & Wilson, 2007). Lemak dalam bentuk trigliserida dihidrodrolisa oleh enzim lipase pankreas, hasilnya bergabung dengan garam empedu membentuk misel. Misel kemudian memasuki membran sel secara pasif dengan difusif, kemudian mengalami disagregasi, melepaskan garam empedu yang kembali ke dalam lumen usus dan asam lemak serta monogliserida ke dalam sel. Sel kemudian membentuk kembali trigliserida dan digabungkan dengan kolesterol, fosfolipid, dan apoprotein untuk membentuk kilomikron, yang keluar dari sel dan memasuki lakteal. Asam lemak kecil dapat memasuki kapiler dan secara langsung menuju ke vena porta. Garam empedu diabsorpsi ke dalam sirkulasi enterohepatik dalam ileum distalis. Dari kumpulan 5 gram garam empedu yang memasuki kantung empedu, sekitar 0,5 gram hilang setiap hari; kumpulan ini bersirkulasi ulang 6 kali dalam 24 jam (Sabiston, 1995; Schwartz, 2000 ). Protein oleh asam lambung di denaturasi, pepsin memulai proses proteolisis. Enzim protease pankreas (tripsinogen yang diaktifkan oleh enterokinase menjadi tripsin, dan endopeptidase, eksopeptidase) melanjutkan proses pencernaan protein, menghasilkan asam amino dan 2 sampai 6 residu peptida. Transport aktif membawa dipeptida dan tripeptida ke dalam sel untuk diabsorpsi (Schwartz, 2000 ). Karbohidrat, metabolisme awalnya 6 dimulai dengan dengan

menghidrolisis pati menjadi maltosa (atau isomaltosa), yang merupakan disakarida. Kemudian disakarida ini, bersama dengan disakarida utama lain, laktosa dan sukrosa, dihidrolisis menjadi monosakarida glukosa, galaktosa, dan fruktosa. Enzim laktase, sukrase, maltase, dan isimaltase untuk pemecaha disakarida terletak di dalam mikrovili brush border sel epitel. Disakarida ini dicerna menjadi monosakarida sewaktu berkontak dengan mikrovili ini atau sewaktu mereka berdifusi ke dalam mikrovili. Produk pencernaan, monosakarida, glukosa, galaktosa, dan fruktosa, kemudian segera disbsorpsi ke dala darah porta (Guyton, 2006). Air dan elektrolit, cairan empedu, cairan lambung, saliva, dan cairan duodenum menyokong sekitar 8-10 L/hari cairan tubuh, kebanyakan diabsorpsi. Air secar osmotik dan secara hidrostatik diabsorpsi atau melalui

difusi pasif. Natrium dan khlorida diabsorpsi dengan pemasangan zat telarut organik atau secara transport aktif. Bikarbonat diabsorpsi secara pertukaran natrium/hidrogen. Kalsium diabsorpsi melalui transport aktif dalam duodenum dan jejenum, dipercepat oleh hormon parathormon (PTH) dan vitamin D. Kalium diabsorpsi secara difusi pasif (Schwartz, 2000 ). Usus besar mempunyai berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah mengabsorpsi air dan elektrolit, yang sudah hampir lengkap pada kolon bagian kanan. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang menampung massa feses yang sudah dehidrasi sampai defekasi berlangsung (Preice & Wilson, 2007). Kolon mengabsorpsi air, natrium, khlorida, dan asam lemak rantai pendek serta mengeluarkan kalium dan bikarbonat. Hal tersebut membantu menjaga keseimbangan air adan elektrolit dan mencegah dehidrasi. Menerima 9001500 ml/hari, semua, kecualim100-200 ml diabsorpsi, paling banyak di proksimal. Kapasitas sekitar 5 l/hari.(Schwartz, 2000) Gerakan retrograd dari kolon memperlambat transit materi dari kolon kanan, meningkatkan absorpsi. Kontraksi segmental merupakan pola yang paling 7

umum, mengisolasi segmen pendek dari kolon, kontraksai ini menurun oleh antikolinergik, meningkat oleh makanan, kolinergik. Gerakan massa merupakan pola yang kurang umum, pendorong antegrad melibatkan segmen panjang 0,5-1,0 cm/detik, 20-30 detik panjang, tekanan 100-200 mmHg, tiga sampai empat kali sehari, terjadi dengan defekasi (Schwartz, 2000). Sepertiga berat feses kering adalah bakterri; 10-10/gram. Anaerob > aerob. Bakteroides paling umum, Escherichia coli berikutnya. Umber penting vitamin K (Schwartz, 2000). Gas kolon berasal dari udara yang ditelan, difusi dari darah, produksi intralumen. Nitrogen, oksigen, karbon dioksida, hidrogen, metan. Bakteri membentuk hidrogen dan metan dari protein dan karbohidrat yang tidak tercerna. Normalnya 600 ml/hari (Schwartz, 2000).

2.4. Definisi Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya obstruksi usus akut yang segera memerlukan pertolongan dokter. Di Indonesia ileus obstruksi paling sering disebabkan oleh hernia inkarserata, sedangkan ileus paralitik sering disebabkan oleh peritonitis. Keduanya membutuhkan tindakan operatif. (De jong, 2005) 2.5. Klasifikasi Ileus berdasarkan mekanismenya dapat diklasifikasikan atas tiga jenis, yaitu: 2.5.1. Ileus Mekanik Ileus obstruksi adalah gangguan (apapun penyebabnya) aliran normal isi usus pada traktus intestinal (Sylvia A, Price, 2007). Ileus obstruksi terjadi ketika ada gangguan yang menyebabkan terhambatnya aliran normal isi usus sedangkan peristaltiknya normal. Menurut lokasi obstruksi, ileus obstruktif dibagi menjadi:

a. Letak Tinggi : Duodenum-Jejunum Berdasarkan letaknya, ileus dibedakan menjadi ileus letak tinggi dan rendah. Titik patokan letaknya adalah junctio ileocecal (sambungan ileum dan sekum). Kalau di atas junctio itu, istilahnya ileus letak tinggi, kalau di bawahnya, berarti ileus letak rendah.

Gambar 3. Ileus obstruksi letak tinggi Pada foto abdomen 3 posisi ileus obstruktif letak tinggi tampak dilatasi usus di proksimal sumbatan (sumbatan paling distal di iliocecal junction) dan kolaps usus dibagian distal sumbatan. Penebalan dinding usus halus yang terdilatasi memberikan gambaran herring bone appearance, karena dua dinding usus halus yang menebal dan menempel membentuk gambaran vertebra (dari ikan), dan muskulus yang sirkular menyerupai kostanya. Tampak gambaran air fluid level yang pendek-pendek yang berbentuk seperti tangga disebut juga step ladder appearance karena cairan transudasi berada dalam usus halus yang mengalami distensi.

b. Letak Rendah : Colon-Sigmoid-rectum

Gambar 4. Ileus obstruksi letak rendah Pada ileus obstruktif letak rendah tampak dilatasi usus di proksimal sumbatan (sumbatan di kolon) dan kolaps usus di bagian distal sumbatan. Penebalan dinding usus halus yang mengalami dilatasi memberikan gambaran herring bone appearance, karena dua dinding usus halus yang menebal dan menempel membentuk gambaran vertebra dan muskulus yang sirkuler menyerupai kosta dan gambaran penebalan usus besar yang juga distensi tampak pada tepi abdomen. Tampak gambaran air fluid level yang pendek-pendek yang berbentuk seperti tangga disebut juga step ladder appearance karena cairan transudasi berada dalam usus halus yang terdistensi dan air fluid level yang panjang-panjang di kolon. Menurut jenisnya ileus obstruktif dibagi menjadi: 1. Ileus obstruktif sederhana, dimana obstruksi tidak disertai dengan terjepitnya pembuluh darah. 2. Ileus obstruktif strangulasi, dimana obstruksi yang disertai adanya penjepitan pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir dengan nekrosis atau gangren yang ditandai dengan gejala umum berat yang disebabkan oleh toksin dari jaringan gangren. 10

3. Ileus obstruktif jenis gelung tertutup, dimana terjadi bila jalan masuk dan

keluar suatu gelung usus tersumbat, dimana paling sedikit terdapat dua tempat obstruksi. (Faradilla) 2.5.2. Ileus Neurogenik a. Adinamik : Ileus Paralitik Ileus paralitik atau adynamic ileus adalah keadaan di mana usus

gagal / tidak mampu melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya. Ileus paralitik ini bukan suatu penyakit primer usus melainkan akibat dari berbagai penyakit primer, tindakan (operasi) yang berhubungan dengan rongga perut, toksin dan obat-obatan yang dapat mempengaruhi kontraksi otot polos usus. (Djumhana) Gerakan peristaltik merupakan suatu aktivitas otot polos usus yang terkoordinasi dengan baik diatur oleh neuron inhibitory dan neuron exitatory dari sistim enteric motor neuron. Kontraksi otot polos usus ini dipengaruhi dan dimodulasi oleh berbagai faktor seperti sistim saraf simpatik parasimpatik, neurotransmiter dijumpai pada berlangsung (adrenergik, kolinergik, serotonergik,dopaminergik, hormon intestinal, keseimbangan elektrolit dan sebagainya. Ileus paralitik hampir selalu pasien pasca operasi abdomen. Keadaan ini biasanya hanya 24-72 jam. Beratnya ileus paralitik pasca operasi antara

bergantung pada lamanya operasi/narkosis, seringnya manipulasi usus dan lamanya usus berkontak dengan udara luar. Pencemaran peritoneum oleh asam lambung, isi kolon, enzim pankreas, darah, dan urin akan menimbulkan paralisis usus. Kelainan retroperitoneal seperti hematoma retroperitoneal, terlebih lagi bila disertai fraktur vertebra sering menimbulkan ileus paralitik yang berat. Demikian pula kelainan pada usus. Gangguan elektrolit terutama rongga dada seperti pneumonia hipokalemia, hiponatremia, paru bagian bawah, empiema, dan infark miokard dapat disertai paralisis hipomagnesemia atau hipermagnesemia memberikan gejala paralisis usus.

11

Gambar 5. Ileus obstruksi letak paralitik Pada ileus paralitik terdapat dilatasi usus secara menyeluruh dari gaster sampai rektum. Penebalan dinding usus halus yang mengalami dilatasi memberikan gambaran herring bone appearance, karena dua dinding usus halus yang menebal dan menempel membentuk gambaran vertebra dan muskulus yang sirkuler menyerupai kosta dan gambaran penebalan usus besar yang juga distensi tampak pada tepi abdomen. Tampak gambaran air fluid level yang pendek-pendek yang berbentuk seperti tangga atau disebut juga step ladder appearance di usus halus dan air fluid level yang panjang-panjang di kolon.(Djumhana) b. Dinamik : Ileus Spastik ileus spastik terjadi karena kontraksi yang terlalu kuat dan terjadi secara bersamaan. Penyebabnya : rangsangan saraf yang berlebihan, keracunan, neurasteni, histeri. Gejalanya perut distensi/kaku/keras (tapi bukan defans muscular), suara usus kuat (+), peristaltic (-), perut sakit pada saat spasme. (Djumhana) 2.5.3. Ileus Vaskuler : Iskemia intestinal 12

Ileus ini berhubungan dengan penyakit jantung sehingga vaskularisasi dari jantung menurun dan didaerah arteri mesenterica superior ada sumbatan sehingga bagian distal arteri mesenterika tersebut terjadi iskemik. Karena adanya thrombus/embolus pada vasa sehingga timbul iskemik, gangrene, nekrosis, bisa juga perforasi. 2.6 Etiologi 1. ileus obstruktif (Faradilla) a. Adhesi ( perlekatan usus halus ) merupakan penyebab tersering ileus obstruktif, sekitar 50-70% dari semua kasus. Adhesi bisa disebabkan oleh riwayat operasi intraabdominal sebelumnya atau proses inflamasi intraabdominal. Obstruksi yang disebabkan oleh adhesi berkembang sekitar 5% dari pasien yang mengalami operasi abdomen dalam hidupnya. Perlengketan kongenital juga dapat menimbulkan ileus obstruktif di dalam masa anak-anak. b. Hernia inkarserata eksternal ( inguinal, femoral, umbilikal, insisional, atau parastomal ) merupakan yang terbanyak kedua sebagai penyebab ileus obstruktif, dan merupakan penyebab tersering pada pasien yang tidak mempunyai riwayat operasi abdomen. Hernia interna (paraduodenal, kecacatan mesentericus, dan hernia foramen Winslow) juga bisa menyebabkan hernia. c. Neoplasma. Tumor primer usus halus dapat menyebabkan menyebabkan obstruksi melalui kompresi eksternal. d. Intususepsi usus halus menimbulkan obstruksi dan iskhemia terhadap bagian usus yang mengalami intususepsi. Tumor, polip, atau pembesaran limphanodus mesentericus dapat sebagai petunjuk awal adanya intususepsi. e. Penyakit Crohn dapat menyebabkan obstruksi sekunder sampai inflamasi akut selama masa infeksi atau karena striktur yang kronik. obstruksi intralumen, sedangkan tumor metastase atau tumor intra abdominal dapat

13

f.

Volvulus sering disebabkan oleh adhesi atau kelainan kongenital, seperti malrotasi usus. Volvulus lebih sering sebagai penyebab obstruksi usus besar.

g.

Batu empedu yang kantong

masuk ke ileus. Inflamasi yang berat

dari

empedu menyebabkan fistul dari saluran empedu ke duodenum

atau usus halus yang menyebabkan batu empedu masuk ke traktus gastrointestinal. Batu empedu yang besar dapat terjepit di usus halus, umumnya pada bagian ileum terminal atau katup ileocaecal yang menyebabkan obstruksi. h. i. j. k. l. Striktur yang sekunder yang berhubungan dengan iskhemia, inflamasi, terapi radiasi, atau trauma operasi. Penekanan eksternal oleh tumor, abses, hematoma, intususepsi, atau penumpukan cairan. Benda asing, seperti bezoar. Divertikulum Meckel yang bisa menyebabkan volvulus, intususepsi, atau hernia Littre. Fibrosis kistik dapat menyebabkan obstruksi parsial kronik pada ileum distalis dan kolon kanan sebagai akibat adanya benda seperti mekonium

Gambar 6. Penyebab ileus obstruktif

14

2. ileus paralitik Ileus pada pasien rawat inap ditemukan pada: (1) proses intraabdominal seperti pembedahan perut dan saluran cerna atau iritasi dari peritoneal (peritonitis, pankreatitis, perdarahan); (2) sakit berat seperti pneumonia, gangguan pernafasan yang memerlukan intubasi, sepsis atau infeksi berat, uremia, dibetes ketoasidosis, dan ketidakseimbangan elektrolit (hipokalemia, hiperkalsemia, hipomagnesemia, hipofosfatemia); dan (3) obat-obatan yang mempengaruhi motilitas usus (opioid, antikolinergik, fenotiazine). Setelah pembedahan, usus halus biasanya pertama kali yang kembali normal (beberapa jam), diikuti lambung (24-48 jam) dan kolon (48-72 jam). Ileus terjadi karena hipomotilitas dari saluran pencernaan tanpa adanya obstruksi usus mekanik. Diduga, otot dinding usus terganggu dan gagal untuk mengangkut isi usus. Kurangnya tindakan pendorong terkoordinasi menyebabkan akumulasi gas dan cairan dalam usus. Meskipun ileus disebabkan banyak faktor, keadaan pascaoperasi adalah keadaan yang paling umum untuk terjadinya ileus. Memang, ileus merupakan konsekuensi yang diharapkan dari pembedahan perut. Fisiologisnya ileus kembali normal spontan dalam 2-3 hari, setelah motilitas sigmoid kembali normal. Ileus yang berlangsung selama lebih dari 3 hari setelah operasi dapat disebut ileus adynamic atau ileus paralitik pascaoperasi. Sering, ileus terjadi setelah operasi intraperitoneal, tetapi mungkin juga terjadi setelah pembedahan retroperitoneal dan extra-abdominal. Durasi terpanjang dari ileus tercatat terjadi setelah pembedahan kolon. Laparoskopi reseksi usus dikaitkan dengan jangka waktu yang lebih singkat daripada reseksi kolon ileus terbuka. (Djumhana) 2.7 Insiden Setiap tahunnya 1 dari 1000 penduduk dari segala usia didiagnosa ileus obstruksi. sekitar 300.000-400.000 menderita ileus obstruksi setiap tahunnya Di Indonesia tercatat ada 7.059 kasus ileus paralitik dan obstruktif tanpa hernia yang dirawat inap dan 7.024 pasien rawat jalan pada tahun 2004.

15

2.8 Gambaran Klinik Dengan melihat patogenesis yang terjadi, maka gambaran klinik yang dapat ditimbulkan sebagai akibat obstruksi usus dapat bersifat sistemik dan serangan yang bersifat kolik. Gambaran klinik serangan kolik meliputi : Nyeri perut berkala Distensi berat Mual / muntah Gelisah / menggeliat Hiperperistaltik Halangan pasase Obstipasi Tidak ada flatus

Gambaran klinik yang bersifat sistemik meliputi : Dehidrasi berat Hipovolemia Syok Oliguria Gangguan keseimbangan elektrolit Kelebihan cairan usus Kelebihan gas dalam usus

Pasien ileus paralitik akan mengeluh perutnya kembung ( abdominal distention), anoreksia, mual dan obstipasi. Muntah mungkin ada, mungkin pula tidak ada. Keluhan perut kembung pada ileus paralitik ini perlu dibedakan dengan keluhan perut kembung pada ileus obstruksi. Pasien ileus paralitik mempunyai keluhan perut kembung, tidak disertai nyeri kolik abdomen yang paroksismal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya distensi abdomen, perkusi timpani dengan bising usus yang lemah dan jarang bahkan dapat tidak terdengar 16

sama sekali. Pada palpasi, pasien hanya menyatakan perasaan tidak enak pada perutnya. Tidak ditemukan adanya reaksi peritoneal (nyeri tekan dan nyeri lepas negatif). Apabila penyakit primernya peritonitis, manifestasi klinis yang ditemukan adalah gambaran peritonitis.(Anonim) Tabel. Perbandingan Klinis bermacam-macam ileus. Macam ileus Obstruksi simple tinggi (kolik) Obstruksi simple rendah Obstruksi strangulasi (terusmenerus, Paralitik Oklusi vaskuler 2.9 Patofisiologi Semua peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah sama, tanpa memandang apakah obstruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab mekanik atau non mekanik. Perbedaan utama adalah pada obstruksi paralitik peristaltik dihambat dari permulaan, sedangkan pada obstruksi mekanik peristaltik mula-mula diperkuat, kemudian intermitten, dan akhirnya hilang. Sekitar 6-8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari. Sebagian besar cairan diasorbsi sebelum mendekati kolon. Perubahan patofisiologi utama pada obstruksi usus adalah adanya lumen usus yang tersumbat, ini menjadi tempat perkembangan bakteri sehingga terjadi akumulasi gas dan cairan (70% dari gas yang tertelan). Akumulasi gas dan cairan dapat terjadi di bagian proksimal atau 17 terlokalisir) + +++++ ++++ +++ + +++ biasanya meningkat Menurun Menurun + (Kolik) ++++ ++ Lambat, fekal +++ Tak tentu + +++ +++ + Meningkat Nyeri Usus Distensi ++ + Muntah borborigmi +++ Bising usus Meningkat Ketegangan abdomen -

distal usus. Apabila akumulasi terjadi di daerah distal mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intra abdomen dan intra lumen. Hal ini dapat meningkatkan terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler dan ekstravasasi air dan elektrolit di peritoneal. Dengan peningkatan permeabilitas dan ekstravasasi menimbulkan retensi cairan di usus dan rongga peritoneum mengakibatakan terjadi penurunan sirkulasi dan volume darah. Akumulasi gas dan cairan di bagian proksimal mengakibatkan kolapsnya usus sehingga terjadi distensi abdomen. Terjadi penekanan pada vena mesenterika yang mengakibatkan kegagalan oksigenasi dinding usus sehingga aliran darah ke usus menurun, terjadilah iskemi dan kemudian nekrotik usus. Pada usus yang mengalami nekrotik terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan pelepasan bakteri dan toksin sehingga terjadi perforasi. Dengan adanya perforais akan menyebabkan bakteri akan masuk ke dalam sirkulasi sehingga terjadi sepsis dan peritonitis. Masalah lain yang timbul dari distensi abdomen adalah penurunan fungsi usus dan peningkatan sekresi sehingga terjadi peminbunan di intra lumen secara progresif yang akan menyebabkan terjadinya retrograde peristaltic sehingga terjadi kehilangan cairan dan elektrolit. Bila hal ini tidak ditangani dapat menyebabkan syok hipovolemik. Kehilangan cairan dan elektrolit yang berlebih berdampak pada penurunanan curah jantung sehingga darah yang dipompakan tidak dapat memenuhi kebutuhan seluruh tubuh sehingga terjadi gangguan perfusi jaringan pada otak, sel dan ginjal. Penurunan perfusi dalam sel menyebabkan terjadinya metabolisme anaerob yang akan meningkatkan asam laktat dan menyebabkan asidosis metabolic. Bila terjadi pada otak akan menyebabkan hipoksia jaringan otak, iskemik dan infark. Bila terjadi pada ginjal akan merangsang pertukaran natrium dan hydrogen di tubulus prksimal dan pelepasan aldosteron, merangsang sekresi hidrogen di nefron bagian distal sehingga terjadi peningaktan reabsorbsi HCO3- dan penurunan kemampuan ginjal untuk membuang HCO3. Hal ini akan menyebabkan terjadinya alkalosis metabolic. (Price & Wilson, 2007) 2.10 Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Radiologi. 18

Foto polos abdomen dengan posisi terlentang dan tegak (lateral dekubitus) memperlihatkan dilatasi lengkung usus halus disertai adanya batas antara air dan udara atau gas (air-fluid level) yang membentuk pola bagaikan tangga. Pemeriksaan radiologi dengan Barium Enema mempunyai suatu peran terbatas pada pasien dengan obstruksi usus halus. Pengujian Enema Barium terutama sekali bermanfaat jika suatu obstruksi letak rendah yang tidak dapat pada pemeriksaan foto polos abdomen. Pada anak-anak dengan intussuscepsi, pemeriksaan enema barium tidaklah haany sebagai diagnostik tetapi juga mungkin sebagai terapi. CTScan. Pemeriksaan ini dikerjakan jika secara klinis dan foto polos abdomen dicurigai adanya starngulasi. CTScan akan mempertunjukkan secara lebih teliti adanya kelainan-kelainan dinding usus, mesenterikus, dan peritoneum. CTScan harus dilakukan dengan memasukkan zat kontras kedalam pembuluh darah. Pada pemeriksaan ini dapat diketahui derajat dan lokasi dari obstruksi. USG. Pemeriksaan ini akan mempertunjukkan gambaran dan penyebab dari obstruksi. MRI. Walaupun pemeriksaan ini dapat digunakan. Tetapi tehnik dan kontras yang ada sekarang ini belum secara penuh mapan. Tehnik ini digunakan untuk mengevaluasi iskemia mesenterik kronis. Angiografi. Angiografi mesenterik superior telah digunakan untuk mendiagnosis adanya herniasi internal, intussuscepsi, volvulus, malrotation, dan adhesi. (Nobie, 2009) 2. Pemeriksaan Laboratorium. Leukositosis mungkin menunjukkan adanya strangulasi, pada urinalisa mungkin menunjukkan dehidrasi. 2.11 Diagnosis

19

Diagnosis ileus obstruktif tidak sulit; salah satu yang hampir selalu harus ditegakkan atas dasar klinik dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, kepercayaan atas pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan laboraorium harus dilihat sebagai konfirmasi dan bukan menunda mulainya terapi yang segera. Diagnosa ileus obstruksi diperoleh dari : 1. Anamnesis Pada anamnesis ileus obstruktif usus halus biasanya sering dapat ditemukan penyebabnya, misalnya berupa adhesi dalam perut karena pernah dioperasi sebelumnya atau terdapat hernia (De jong, 2007). Pada ileus obstruksi usus halus kolik dirasakan di sekitar umbilkus, sedangkan pada ileus obstruksi usus besar kolik dirasakan di sekitar suprapubik. Muntah pada ileus obstruksi usus halus berwarna kehijaun dan pada ileus obstruktif usus besar onset muntah lama. (Sabiston 1995) 2. Pemeriksaan Fisik 1. Inspeksi Perut distensi, dapat ditemukan darm kontur dan darm steifung. Benjolan pada regio inguinal, femoral dan skrotum menunjukkan suatu hernia inkarserata. Pada Intussusepsi dapat terlihat massa abdomen berbentuk sosis. Adanya adhesi dapat dicurigai bila ada bekas luka operasi sebelumnya.(Sabiston, 1995) Dapat ditemukan tanda-tanda generalisata dehidrasi, yang mencakup kehilangan turgor kulit maupun mulut dan lidah kering. Pada abdomen harus dilihat adanya distensi, parut abdomen, hernia dan massa abdomen. Terkadang dapat dilihat gerakan peristaltik usus yang bisa bekorelasi dengan mulainya nyeri kolik yang disertai mual dan muntah. Penderita tampak gelisah dan menggeliat sewaktu serangan kolik. 2. Palpasi Kadang teraba massa seperti pada tumor (pada colok dubur teraba massa di rektum atau terdapat darah dan lendir), invaginasi, hernia. Adanya darah dapat menyokong adanya strangulasi, neoplasma. Pada volvulus teraba massa yang nyeri dan bertambah besar. Bila didapatkan feses yang mengeras (skibala), bila feses negatif (obstruksi usus letak tinggi). Ampula rekti yang kolaps dapat 20

dicuriga obstruksi. Dicurigai peritonitis bila ada nyeri tekan yang mencakup defance musculair involunter atau rebound dan pembengkakan atau massa yang abnormal (Sabiston, 1995) 3. Auskultasi Pada ileus obstruktif pada auskultasi terdengar kehadiran episodik gemerincing logam bernada tinggi dan gelora (rush) diantara masa tenang. Tetapi setelah beberapa hari dalam perjalanan penyakit dan usus di atas telah berdilatasi, maka aktivitas peristaltik (sehingga juga bising usus) bisa tidak ada atau menurun parah. Tidak adanya nyeri usus bisa juga ditemukan dalam ileus paralitikus atau ileus obstruksi strangulata.(Sabiston 1995) Bagian akhir yang diharuskan dari pemeriksaan adalah pemeriksaan rektum dan pelvis. Ia bisa membangkitkan penemuan massa atau tumor serta tidak adanya feses di dalam kubah rektum menggambarkan ileus obstruktif usus halus. Jika darah makroskopik atau feses postif banyak ditemukan di dalam rektum, maka sangat mungkin bahwa ileus obstruktif didasarkan atas lesi intrinsik di dalam usus. Apabila isi rektum menyemprot; penyakit Hirdchprung. 3. Radiologi Pada foto polos pasien dengan obstruksi yang komplit akan tampak terjadi dilatasi dari usus bagian proksimal sampai ke tempat obstruksi dalam 35 jam Usus yang diameternya lebih dari 3 cm sering dikaitkan dengan obstruksi. Usus bagian proksimal yang terdistensi oleh gas dan cairan, akan tampak berdilatasi oleh timbunan udara intraluminer. Sebaliknya, pada usus bagian distal dari obstruksi tidak tampak bayangan gas, atau bila sumbatannya terjadi belum lama maka tampak bayangan gas yang sangat sedikit di bagian distal obstruksi. Pada daerah rektum tidak tampak bayangan gas atau udara. Pada foto posisi tegak akan tampak bayangan air fluid level yang banyak dibeberapa tempat (multiple fluid levels) yang tampak terdistribusi dalam susunan tangga (step ladder appearance), sedangkan usus sebelah distal dari obstruksi akan tampak kosong. Jumlah loop dari usus halus yang berdilatasi secara umum menunjukkan tingkat obstruksi. Bila jumlah loop sedikit berarti obstruksi usus halus letaknya tinggi, sedangkan bila jumlah loop lebih banyak maka obstruksi 21

usus halus letaknya rendah. Semakin distal letak obstruksi, jumlah air fluid level akan semakin banyak, dengan tinggi yang berbeda-beda sehingga berbentuk step ladder appearanc. Jarak valvula conniventes satu sama lain yang normal adalah 14 mm. Jarak ini akan melebar pada keadaan distensi usus halus. Akibat distensi usus halus, maka valvula conniventes agak teregang dan bersama-sama dengan valvula conniventes dari loop yang bertetangga, akan tampak di foto sebagai gambaran sirip ikan yang disebut herringbone appearance. Bayangan udara di dalam kolon biasanya terletak lebih ke perifer dan biasanya berbentuk huruf U terbalik. Obstruksi kolon ditandai dengan dilatasi proksimal kolon sampai ke tempat obstruksi, dengan dekompresi dari kolon bagian distal. Kolon bagian proksimal sampai letak obstruksi akan lebih banyak berisi cairan daripada feses. Usus halus bagian proksimal mungkin berdilatasi, mungkin juga tidak. (Anonim)

Gambar 7. Ileus obstruksi

2.12 Penatalaksanaan 22

Pasien dengan obstruksi intestinal biasanya mengalami dehidrasi dan kekurangan Natrium, Khlorida dan Kalium yang membutuhkan penggantian cairan intravena dengan cairan salin isotonic seperti Ringer Laktat. Urin harus di monitor dengan pemasangan Foley Kateter. Setelah urin adekuat, KCl harus ditambahkan pada cairan intravena bila diperlukan. Pemeriksaan elektrolit serial, seperti halnya hematokrit dan leukosit, dilakukan untuk menilai kekurangan cairan. Antibiotik spektrum luas diberikan untuk profilaksis atas dasar temuan adanya translokasi bakteri pada ostruksi intestinal. (Evers, 2004) Dekompresi Pada pemberian resusitasi cairan intravena, hal lain yang juga penting untuk dilakukan ialah pemasangan nasogastric tube. Pemasangan tube ini bertujuan untuk mengosongkan lambung, mengurangi resiko terjadinya aspirasi pulmonal karena muntah dan meminimalkan terjadinya distensi abdomen. Pasien dengan obstruksi parsial dapat diterapi secara konservatif dengan resusitasi dan dekompresi saja. Penyembuhan gejala tanpa terapi operatif dilaporkan sebesar 60 85% pada obstruksi parsial. (Evers, 2004) Terapi Operatif Secara umum, pasien dengan obstruksi intestinal komplit membutuhkan terapi operatif. Pendekatan non operatif pada beberapa pasien dengan obstruksi intestinal komplit telah diusulkan, dengan alasan bahwa pemasangan tube intubasi yang lama tak akan menimbulkan masalah yang didukung oleh tidak adanya tanda-tanda demam, takikardia, nyeri tekan atau leukositosis. Namun harus disadari bahwa terapi non operatif ini dilakulkan dengan berbagai resikonya seperti resiko terjadinya strangulasi pada daerah obstruksi dan penundaan terapi pada strangulasi hingga setelah terjadinya injury akan menyebabkan intestinal menjadi ireversibel. Penelitian retrospektif melaporkan bahwa penundaan operasi 12 24 jam masih dalam batas aman namun meningkatkan resiko terjadinya strangulasi.

23

Pasien dengan obstruksi intestinal sekunder karena adanya adhesi dapat diterapi dengan melepaskan adhesi tersebut. Penatalaksanaan secara hati hati dalam pelepasan adhesi tresebut untuk mencegah terjadinya trauma pada serosa dan untuk menghindari enterotomi yang tidak perlu. Hernia incarcerata dapat dilakukan secara manual dari segmen hernia dan dilakukan penutupan defek. Penatalaksanaan pasien dengan obstruksi intestinal dan adanya riwayat keganasan akan lebih rumit. Pada keadaan terminal dimana metastase telah menyebar, terapi non-operatif, bila berhasil, merupakan jalan yang terbaik; walaupun hanya sebagian kecil kasus obstruksi komplit dapat berhasil di terapi dengan non-operatif. Pada kasus ini, by pass sederhana dapat memberikan hasil yang lebih baik baik daripada by pass yang panjang dengan operasi yang rumit yang mungkin membutuhkan reseksi usus. Pada saat dilakukan eksplorasi, terkadang susah untuk menilai viabilitas dari segmen usus setelah strangulasi dilepaskan. Bila viabilitas usus masih meragukan, segmen tersebut harus dilepaskan dan ditempatkan pada kondisi hangat, salin moistened sponge selama 15-20 menit dan kemudian dilakukan penilaian kembali. Bila warna normalnya telah kembali dan didapatkan adanya peristaltik, berarti segmen usus tersebut aman untuk dikembalikan. Ke depannya dapat digunakan Doppler atau kontras intraoperatif untuk menilai viabilitas usus. Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang dikerjakan pada obstruksi ileus.
1. Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan bedah

sederhana untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia incarcerata non-strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus ringan.
2. Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang "melewati"

bagian usus yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn disease, dan sebagainya. 3. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat obstruksi, misalnya pada Ca stadium lanjut.

24

4. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujungujung usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada carcinomacolon, invaginasi strangulata, dan sebagainya. Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan tindakan operatif bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun karena keadaan penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid obstruktif, mula-mula dilakukan kolostomi saja, kemudian hari dilakukan reseksi usus dan anastomosis. (Ullah et al., 2009). 2.13 Komplikasi a. b. c. d. Nekrosis usus, perforasi usus, dikarenakan obstruksi yang sudah terjadi selalu lama pada organ intra abdomen. Sepsis, infeksi akibat dari peritonitis, yang tidak tertangani dengan baik dan cepat. Syok-dehidrasi, terjadi akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma. Abses Sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi, karena absorbsi toksin dalam rongga peritonium sehinnga terjadi peradangan atau infeksi yang hebat pada intra abdomen. e. f. g. Pneumonia aspirasi dari proses muntah, Gangguan elektrolit, karena terjadi gangguan absorbsi cairan dan elektrolit pada usus. Kematian (Ullah et al., 2009).

2.14 Prognosis Mortalitas obstruksi tanpa strangulata adalah 5% sampai 8% asalkan operasi dapat segera dilakukan. Keterlambatan dalam melakukan pembedahan atau jika terjadi strangulasi atau komplikasi lainnya akan meningkatkan mortalitas sampai sekitar 35% atau 40%. Prognosisnya baik bila diagnosis dan tindakan dilakukan dengan cepat (Nobie, 2009).

25

BAB III KESIMPULAN Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya obstruksi usus akut yang segera memerlukan pertolongan dokter. Di Indonesia ileus obstruksi paling sering disebabkan oleh hernia inkarserata, sedangkan ileus paralitik sering disebabkan oleh peritonitis. Ileus obstruktif adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang disebabkan oleh sumbatan mekanik. Rintangan pada jalan isi usus akan menyebabkan isi usus terhalang dan tertimbun di bagian proksimal dari sumbatan, sehingga pada daerah proksimal tersebut akan terjadi distensi atau dilatasi usus. Ileus paralitik atau adynamic ileus adalah keadaan di mana usus gagal / tidak mampu melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya. Ileus paralitik ini bukan suatu penyakit primer usus melainkan akibat dari berbagai penyakit primer, tindakan (operasi) yang berhubungan dengan rongga perut, toksin dan obat-obatan yang dapat mempengaruhi kontraksi otot polos usus.

DAFTAR PUSTAKA

26

1. Anonim. Referat Ileus Mekanik oleh karena Adhesi. Referensi Kedokteran Blogspot, 2010. (Diakses dari: http://referensikedokteran.blogspot.com/ 2012/04/referat-ileus-mekanik-et-causa-adhesi.html, tanggal 12 April 2012) 2. Brunicardi Charles, at al. 2000. Schwartzs principles of surgery. 3. Djumhana, Ali. Ileus Paralitik. (http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2011/03/ileus_paralitik.pdf, tanggal 12 April 2012) 4. Guyton, A.C dan Hall. J. E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (edisi ke-11). Terjemahan Oleh: Irawati, EGC, Jakarta, Indonesia 5. Levine, B.A., and Aust, J.B. Kelainan Bedah Usus Halus. Dalam Buku Ajar Bedah Sabistons essentials surgery. Editor: Sabiston, D.C. Alih bahasa: Andrianto, P., dan I.S., Timan. Editor bahasa: Oswari, J. Jakarta: EGC, 1992. 6. Nobie, B. A. (2012, Mei 5). Obstruction, Small Bowel. Retrieved June 6th, 2011, from emedicine: http://emedicine.medscape.com/article/774140overview 7. Nova Faradilla, S. Ked Files of DrsMed FK UNRI, ileus obstruksi http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/10/ileus_obstruksi_files_of_ drsmed.pdf (Diakses 15 April 2012) 8. Price, S.A. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Editor: Price, S.A., McCarty, L., Wilson. Editor terjemahan: Wijaya, Caroline. Jakarta: EGC, 2007. 9. Richard S. Snell. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta : EGC. 10. Sjamsuhidajat, R.; Dahlan, Murnizat; Jusi, Djang. Gawat Abdomen. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Editor: Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, Wim. Jakarta: EGC, 2005 11. Ullah S, Khan M, Mumtaz N, Naseer A. 2009. Intestinal Obstruction : A Spectrum of causes. JPMI 2009 Volume 23 No 2 page 188-92

27

You might also like