You are on page 1of 15

EFEK SAMPING KORTIKOSTEROID

Intan Permata Sari, S.Ked Bagian / Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang

PENDAHULUAN Kortikosteroid (KS) adalah steroid yang dihasilkan korteks adrenal (tidak termasuk hormon seks), sebagai respon dari adrenocorticotropic hormone (ACTH) yang dilepaskan kelenjar hipofisis anterior.1 Aktivitas biologis kortikosteroid dibagi menjadi dua kelompok yaitu, glukokortikoid dan mineralokortikoid. Mineralokortikoid adalah aldosteron, berperan dalam pengaturan elektrolit dan keseimbangan air. Glukokortikoid adalah kortisol, memiliki beragam efek fisiologis, termasuk regulasi metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein.2 Kortikosteroid sering digunakan dalam dermatologi karena memiliki efek imunosupresan dan anti inflamasi.3 Kortikosteroid pertama kali dikenalkan oleh Marion Sulzberger dengan pemberian secara topikal dan sistemik.4 Kortikosteroid topikal dan sistemik bila digunakan dalam jangka waktu lama, dosis tinggi, dan pemakaian rutin dapat menimbulkan berbagai efek samping.3 Efek samping yang ditimbulkan KS topikal antara lain, atropi pada kulit, reaksi akne formis, hipertrikosis, perubahan pigmen, dan meningkatkan infeksi kulit (seperti tinea). Kortikosteroid topikal juga dapat menimbulkan efek samping secara sistemik seperti, efek terhadap mata (glaukoma dan penurunan visus), efek metabolik (hiperglikemi), dan penekanan terhadap aksis hipotalamus pituitary adrenal.5 Efek samping dari penggunaan KS sistemik dapat menyebabkan efek terhadap muskuloskeletal, gastrointestinal, kardiovaskular, kulit, sistem imun, mata, sistem saraf pusat, metabolik, dan aksis hipotalamus pituitary adrenal. 6

Efek samping KS dalam dermatologi banyak ditemukan. Oleh karena ini, maka diperlukan pengetahuan mengenai mekanisme kerja KS, klasifikasi KS, dan efek samping penggunaan KS sehingga dapat meminimalisasi efek samping obat tersebut. MEKANISME KERJA KORTIKOSTEROID Kortikosteroid mempunyai efek yang berkaitan dengan perbedaan mekanisme kerja, antara lain efek anti inflamasi, efek imunosupresif, efek antiproliferatif, dan efek vasokontriksi.3,5 1. Efek anti inflamasi Kortikosteroid sistemik dan topikal memiliki efek anti inflamasi yaitu dengan menghambat phospolipase A2, yaitu enzim yang berperan dalam pembentukan prostaglandin, leukotrin, dan derivat lain dari asam arakidonat. Kortikosteroid juga menghambat faktor transkipsi seperti activator protein 1 dan nuclear factor B yang berperan dalam aktivasi gen proinflamasi. Kortikosteroid juga mengurangi pelepasan interleukin 1 (IL-1) yang merupakan sitokin proinflamasi yang penting. Kortikosteroid menghambat fagositosis dan stabilisasi membran lisosom dari sel-sel fagosit.3,5,7 2. Efek imunosupresif Kortikosteroid sistemik dan topikal memiliki efek imunosupresif yaitu dengan menekan produksi dan efek dari faktor humoral yang berguna bagi respon inflamasi, menghambat migrasi leukosit ke tempat inflamasi dan menghalangi fungsi sel endotel, granulosit, sel mast, dan fibroblast. Penelitian mengungkapkan bahwa KS topikal dapat menyebabkan berkurangnya sel mast pada kulit, menghambat kemotaksis lokal neutrofil dan menurunkan jumlah sel langerhans. Kortikosteroid menurunkan proliferasi sel T dan meningkatkan apoptosis sel T.3,5,7 3. Efek antiproliferatif Kortikosteroid topikal memiliki efek antiproliferatif yaitu dengan menghambat sintesis DNA dan mitosis. Aktivitas fibroblas dan pembentukan kolagen juga dihambat oleh kortikosteroid.3,5
2

4. Efek vasokonstriksi Kortikosteroid memiliki efek vasokonstriksi, yaitu menghambat vasodilator alami seperti histamin, bradikinin, dan prostaglandin. Kortikosteroid topikal dapat menyebabkan konstriksi pembuluh darah kapiler dermis superfisial sehingga memicu timbulnya eritem. 3,5 KLASIFIKASI KORTIKOSTEROID 1. Kortikosteroid Sistemik Kortikosteroid sistemik digunakan dengan indikasi penyakit kulit berlepuh (pemfigus, pemfigus bulosa, epidermolisis bulosa, herpes gestasional, eritema multiformis, nekrolisis epidermal toksik), penyakit jaringan ikat (dermatomiositis, SLE), vaskulitis, dermatosa neutrophilik, sarkoidosis, reaktif leprosi tipe I, hemangioma, panikulitis, dan urtikaria/angioedem.3 Sediaan kortikosteroid sistemik dapat dibedakan menjadi 1).3,7
Tabel 1. Perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan kortikosteroid
7

tiga

golongan

berdasarkan

masa

kerjanya,

potensi

glukokortikoid, dosis ekuivalen dan potensi mineralokortikoid (Tabel

Keterangan: Macam Kortikosteroid 1. Kerja singkat a. Hidrokortison b. Kortison 2. Kerja sedang a. Metilprednisolon b. Prednisolon c. Prednison d. Triamsinolon 3. Kerja lama a. Betametason b. Deksametason c. Parametason

Potensi glukokortikoid 1 0,8

Dosis ekuivalen (mg) 20 25

Potensi mineralokortikoid 1 0,8

5-6 4-5 4-5 4-5

4 5 5 4

0-0,5 0-0,8 0-0,8 0

20-30 30 10

0,60 0,5-0,7 2,0

0 0 0
3

Kerja singkat ( 8-12 jam) Intermediate, kerja sedang (12-36 jam) Kerja lama (36-72 jam) Pada tabel diatas terlihat bahwa triamsinolon, parametason, betametason, dan deksametason tidak mempunyai efek mineralokortikoid. Hampir semua golongan kortikosteroid mempunyai efek glukokortikoid. Umumnya, kortikosteroid yang memiliki efek mineralokortikoid yang sedikit atau tidak ada dipakai pada penderita dengan hipertensi, edema, gangguan kor, atau keadaan lain yang retensi garam. Akan tetapi, deksametason yang juga tidak memiliki efek mineralokortikoid jarang digunakan sebagai terapi karena merupakan golongan potensi kuat dan waktu paruh yang lama yang lebih berisiko untuk menimbulkan efek samping.7 Pada tabel ini obat disusun menurut kekuatan (potensi) dari yang paling lemah sampai yang paling kuat. Parametason, betametason, dan deksametason mempunyai potensi paling kuat dengan waktu paruh 36-72 jam. Sedangkan kortison dan hidrokortison mempunyai waktu paruh paling singkat yaitu kurang dari 12 jam. Harus diingat semakin kuat potensinya semakin besar efek samping yang terjadi. 2. Kortikosteroid Topikal Secara umum kortikosteroid topikal berdasarkan potensinya dibagi menjadi 7 golongan, yaitu super poten, potensi tinggi (upper mid-strength), potensi tinggi (mid-strength), potensi medium (mild strength), potensi medium (lower mid-strength), potensi medium ( mild strength), dan potensi lemah (tabel 2).5,7
Tabel 2 Penggolongan kortikosteroid topikal berdasarkan potensi klinis7

Klasifikasi Nama Generik Golongan 1: (super poten) oinment, krim betametason dipropionat 0,05% oinment diflorason diasetat 0,05% oinment, krim klobetasol propionat
4

0,05% oinment, krim halobetasol propionat 0,05% Golongan II: (potensi tinggi) oinment amcinonide 0,1% krim, oinment betametason dipropionat 0,05% oinment mometason fuorat 0,01% oinment diflorason diasetat 0,05% krim halcinonide 0,1% krim, oinment, gel fluocinonide 0,05% krim, oinment, gel desoksimetason0,25% oinment triamsinolon asetonid 0,5% Golongan III: (potensi tinggi) krim diflorason diasetat 0,05% krim betametason dipropionat 0,05% oinment betametason valerat 0,1% oinment fluticasone propionate 0,005% krim, lotion amcinonide 0,1% krim fluocinonide 0,05% ointment halcinonide 0,1% ointment triamsinolon asetonid 0,1% krim triamsinolon asetonid 0,5% oinment flurandrenolid 0,05% krim halsinonid 0,025% Golongan IV: (potensi medium) lotion betametason valerat 0,1% krim desoksimetason 0,05%
5

krim fluosinolon asetonid 0,02% ointment fluosinolon asetonid 0,025% ointment hidrokortison valerat 0,2% krim mometason furoat 0,1% oinment triamsinolon asetonid 0,1% lotion betametason dipropionat 0,05% krim betametasone valerat 0,1% krim fluosinolon asetonid 0,025% Golongan V: (potensi medium) oil fluosinolon asetonid 0,01% krim flurandrenolid 0,05% krim fluticason propionat 0,05% krim hydrocortison valerat 0,2% krim hydrocortison butyrat 0,1% lotion triamcinolon acetonid0,1% oinment, krim aclometason dipropionat 0,05% lotion betametason valerat 0,05% krim, solution fluocinolon asetonid Golongan VI: (potensi medium) 0,01% krim triamsinolon asetonid 0,1% krim desonid 0,05% krim Deksametason 0,1% hidrokortison 0,5%, 1%, 2,5% Metilprednisolon 1% Prednisolon, Flumetason (topikal) Golongan VII: (potensi lemah)

Penetrasi kortikosteroid topikal biasanya bergantung pada ketebalan kulit (stratum korneum dan suplai vaskular pada daerah tersebut). Pada daerah kulit yang lapisannya tipis, penetrasi kortikosteroid lebih cepat namun risiko terjadinya efek samping lebih besar dibanding area lapisan kulit tebal.5 Pada area wajah dan intertriginosa digunakan kortikosteroid potensi lemah. Sedangkan potensi tinggi biasanya digunakan pada area kulit yang mengalami hiperkeratosis atau likenifikasi dan area telapak tangan dan kaki.5 EFEK SAMPING PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi klinis yang sangat luas. Manfaat dari preparat ini cukup besar tetapi efek samping yang tidak diharapkan cukup banyak. Kortikosteroid Topikal Efek samping yang ditimbulkan KS topikal antara lain, atropi pada kulit, reaksi akne formis, hipertrikosis, perubahan pigmen, dan meningkatknya infeksi pada kulit (seperti tinea). Kortikosteroid topikal ini juga dapat menimbulkan efek samping secara sistemik seperti, efek terhadap mata (glaukoma dan penurunan visus), efek metabolik (hiperglikemi), dan penekanan terhadap aksis hipotalamus pituitary adrenal.5

1. Atropi pada kulit

Atropi kulit merupakan efek samping paling sering ditemukan pada pengobatan steroid topikal jangka panjang dan lebih sering terjadi pada wanita dibanding laki-laki.6 Epidermis dan dermis kulit menjadi tipis dan rapuh dikarenakan efek antiproliferatif yang menghambat sintesis kolagen dan mukopolisakarida.5,8 Dengan mengukur ketebalan kulit setiap hari, ditemukan bahwa aplikasi tunggal KS poten seperti klobetasol propionate selama tiga hari menyebabkan terjadinya penipisan kulit. Sedangkan aplikasi klobetasol propionate dua kali sehari selama 16 hari menyebabkan penipisan kulit sebesar

15%.8 Akibat atropi kulit dapat terjadi dilatasi vaskular, telengiektasis, purpura, memar, stellate pseudoscars, ulcer, dan striae.5

(A) Striae

(B) Atropi

Gambar 1. Striae dan atropi kulit akibat penggunaan KS6

2. Reaksi Akne Formis Kortikosteroid topikal dapat menyebabkan terjadinya steroid rosacea, akne, dan dermatitis perioral. Penggunaan KS jangka panjang dapat menimbulkan steroid acne di area wajah, dada, dan punggung.5

Gambar 2. steroid rosacea akibat penggunaan KS6

3. Hipertrikosis Mekanisme hipertrikosis belum diketahui. Hipertrikosis ini jarang terjadi pada wanita dan anak-anak yang menggunakan kortikosteroid poten pada area wajah.5 4. Perubahan pigmen Perubahan pigmen adalah efek samping lain yang ditimbulkan KS topikal. Namun perubahan pigmen ini dapat kembali normal setelah terapi KS dihentikan.5 5. Meningkatnya infeksi pada kulit

Kortikosteroid topikal dapat menyebabkan timbulnya infeksi pada kulit, contohnya tinea versikolor. Insiden infeksi kulit selama pemberian KS itu bervariasi yaitu, sebesar 16% dan 43%. Kortikosteroid topikal juga dapat memperparah penyakit herpes simpleks, moluskum kontangiosum, dan scabies.5 6. Efek terhadap sistemik Kortikosteroid topikal juga dapat menimbulkan efek samping secara sistemik seperti, efek terhadap mata yang dapat menyebabkan terjadinya glaukoma dan penurunan visus. Glaukoma dapat terjadi bila KS topikal digunakan disekitar mata dan penurunan visus dapat disebabkan akibat penggunaan KS jangka panjang. Efek KS terhadap metabolik berupa peningkatan produksi glukosa darah (hiperglikemi) yang dapat menyebabkan diabetes melitus. Penggunaan KS topikal memberikan efek supresi terhadap aksis hipotalamus pituitary adrenal sehingga dapat menyebabkan Cushing syndrome.5 Kortikosteroid Sistemik Beberapa efek samping dari penggunaan KS topikal juga dapat ditemui pada efek samping yang ditimbulkan KS sistemik seperti efek terhadap mata, efek metabolik, dan efek ke kulit. Selain itu, KS dapat menimbulkan efek terhadap muskuloskeletal, gastrointestinal, kardiovaskular, kulit, mata, sistem saraf pusat, metabolik, dan aksis hipotalamus pituitary adrenal.6 1. Mata Pemberian KS sistemik dan topikal dapat menimbulkan efek samping berupa katarak, glaukoma, dan yang lebih jarang seperti emboli retina, makulopati serta infeksi.8 Mekanisme terjadinya katarak akibat penggunaan KS masih belum jelas dan meliputi peningkatan kadar glukosa, disebabkan karena meningkatnya glukoneogenesis; hambatan Na+/K+ ATPase; meningkatnya permeabilitas kation; hambatan glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD); hambatan sintesis RNA; hilangnya ATP; dan ikatan kovalen steroid pada protein lensa.8

Penggunaan KS sistemik dan lokal dapat berhubungan dengan meningkatnya insiden hipertensi ocular. Sebanyak 30% pasien yang mendapatkan tetes mata deksametason selama 4 minggu, ditemukan peningkatan okular.8 Kortikosteroid menstabilkan membran lisosom goniosit yang menyebabkan terjadinya akumulasi glikosaminoglikan polimerisasi dalam trabecular meshworks (TM) sehingga meningkatkan resistensi outflow. Kortikosteroid menyebabkan peningkatan ekspresi kolagen, elastin dan fibronektin dalam TM dan menginduksi ekspresi sialoglikoprotein. Kortikosteroid juga menghambat fagositosis sel endotel, yang menyebabkan penumpukan debris dalam TM. Mutasi gen myocilin menghasilkan pembentukan produk gen abnormal yang ketika diproduksi dalam konsentrasi besar akan menyebabkan tersumbatnya TM dan peningkatan tekanan intra okular. Kortikosteroid mempengaruhi morfologi TM dengan peningkatan sintesis retikulum endoplasmik, kompleks golgi, vesikel sekretori, dan peningkatan ukuran nuklear dan sel.10
2. Muskuloskeletal

Efek samping KS jangka panjang pada muskuloskeletal meliputi osteoporosis, osteonekrosis dan miopati. Osteoporosis Penggunaan KS jangka panjang dapat meningkatkan terjadinya osteoporosis dan resiko terjadinya patah tulang terutama pada vertebra dan femur proximal. Sebanyak 30-50% fraktur akibat osteoporosis terjadi pada pasien yang mendapatkan KS jangka panjang. Banyak penelitian yang menunjukkan hubungan penggunaan KS dengan pengaruhnya terhadap densitas tulang. Kelainan mulai terjadi pada 6 bulan pertama dan diperkirakan berlanjut selama KS digunakan.7 Mekanisme terjadinya osteoporosis adalah multifaktorial yaitu, berkurangnya aktivitas osteoblast sehingga mempengaruhi pembentukan tulang, meningkatnya resorbsi tulang sehingga berpengaruh terhadap aktivitas osteoklas. Kejadian patah tulang pada individu yang mengkonsumsi steroid adalah antara 10%-20% dan faktor resiko yang mempengaruhinya adalah usia di bawah 15 tahun dan lebih dari 50 tahun, early menopause atau wanita amenore, kaheksia, mobilitas terbatas, pengkonsumsi alkohol, perokok, rendah asupan kalsium, dan ada riwayat patah
10

tulang sebelumnya.7,11 Untuk pemakaian KS >3 bulan dilakukan pemeriksaan densitas tulang, pemberian kalsium 1500 mg/hari dan vitamin D 400 unit dua kali sehari.3 Osteonekrosis Osteonekrosis yang dikenal sebagai nekrosis avaskular juga merupakan efek samping dari KS sistemik. Faktor risiko dari osteonekrosis adalah trauma fisik, konsumsi alkohol berlebih, merokok, dan meningkatnya kadar trigliserida. Insiden osteonekrosis akibat KS meningkat berhubungan dengan riwayat transplantasi ginjal sebelumnya, pasien dengan SLE, konsumsi alkohol, ada gangguan metabolisme lipid.6 20% pasien dengan osteonekrosis memiliki gambaran X-rays yang normal, maka dari itu dilakukan pemeriksaan bone scan dan magnetic resonance imaging (MRI). Pasien juga rutin ditanyakan mengenai keterbatasan gerak sendi dan rasa nyeri yang dirasakan.3 Steroid miopati Katabolisme protein akibat penggunaan KS dapat menyebabkan berkurangnya massa otot, sehingga menimbulkan kelemahan otot dan miopati. Miopatik biasanya terjadi pada otot proksimal lengan dan tungkai, bahu dan pelvis, dan pada pengobatan dengan dosis besar. Pada miopati yang terjadi adalah hambatan uptake glukosa pada otot skeletal sehingga terjadi pemecahan protein otot. Kortikosteroid bekerja secara langsung pada protein otot dengan stimulasi degradasi protein dan menghambat sintesis protein.8 3.Metabolisme dan sistem endokrin Efek KS terhadap metabolisme dan sistem endokrin meliputi gangguan dalam metabolisme glukosa, yang dapat menyebabkan terjadinya diabetes, hiperlipidemia, dan insufesiensi adrenal.8 Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemi. Beberapa mekanisme dalam timbulnya hiperglikemi dan steroidinduced diabetes meliputi penurunan sensitivitas insulin perifer, peningkatan produksi glukosa hepatik, dan inhibisi sekresi serta produksi insulin pankreatik. 6
11

Hiperlipidemia adalah efek samping KS yang sering dijumpai. Pasien dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan rendah lemak dan kalori.8 Penggunaan KS jangka panjang, yaitu lebih dari 1 tahun dapat berefek pada aksis hipotalamus pituitary adrenal. Gejala yang dirasakan adalah letargi, lemah, nausea, anoreksia, demam, orthostatic hypotension, hipoglikemi, dan penurunan berat badan. Selain itu, supresi terhadap aksis hipotalamus pituitary adrenal dapat menyebabkan Cushing syndrome (moon face, buffalo hump, obesitas sentral), insufesiensi adrenal, dan gangguan pertumbuhan.8 4. Sistem kardiovaskular Hipertensi dan dislipidemia adalah efek samping yang juga disebabkan KS. Mekanisme glucocorticoid-induced hypertension belum diketahui secara jelas, namun berhubungan dengan vasokonstriksi (dari katekolamin dan hambatan vasodilator), retensi natrium, dan ekspansi volume intravaskular.6,8 5. Sistem saraf pusat Perubahan mood dan gangguan kognitif dapat terjadi pada penggunaan KS sistemik. Hipomania dan mania adalah gejala awal yang sering terjadi, dan dapat berkelanjutan menjadi depresi. Pemberian antipsikotik, anti kejang, dan anti depresan dapat membantu mengembalikan perubahan mood.3 6. Sistem gastrointestinal Efek samping terhadap gastrointestinal berupa ulkus peptikum, kandidiasis, dan pankreatitis. Belum ada mekanisme jelas mengenai ulkus peptikum akibat efek samping KS. Namun, penelitian yang dilakukan pada hewan menunjukkan bahwa KS dapat meningkatkan sekresi asam lambung, mengurangi mukus lambung, dan menyebabkan hiperplasia sel parietal dan sel gastrin. Ada beberapa faktor risiko terjadinya ulkus peptikum, seperti ada riwayat ulkus peptikum sebelumnya, merokok, konsumsi alkohol dan obat-obatan.11 7. Sistem imun Efek samping KS adalah meningkatnya risiko terhadap segala jenis infeksi dan risiko reaktivasi tuberkulosis (TB) laten serta insiden terhadap varisela.11 Inhibisi sistem imun spesifik dan reaksi inflamasi merupakan target utama dari pengobatan KS.8
12

8. Kulit Baik KS topikal maupun sistemik sama-sama dapat menimbulkan efek samping ke kulit. Kelainan pada kulit yang dijumpai berupa purpura, telengiektasis, atropi, striae, pseudoscars, dan reaksi akne formis atau acne rosacea. Kortikosteroid sistemik dapat menginduksi terjadinya akne atau folikulitis dengan beragam papulopustul pada dada, dan punggung. Akne vulgaris dapat semakin memburuk ketika terapi KS dilanjutkan, walupun KS memiliki efek anti-inflamasi. Akne formis atau acne rosacea dapat terjadi akibat penggunaan KS inhalasi atau akibat penggunaan KS topikal.6 KESIMPULAN Kortikosteroid merupakan pengobatan yang paling sering diberikan kepada pasien. Kortikosteroid adalah derivat dari hormon kortikosteroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Pengobatan kortikosteroid terbagi kepada dua yaitu kortikosteroid topikal dan kortikosteroid sistemik. Berdasarkan potensi klinisnya kortikosteroid topikal dibedakan beberapa golongan yaitu super poten, potensi tinggi, potensi medium, dan potensi lemah. Sedangkan kortikosteroid sistemik dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan masa kerjanya, potensi glukokortikoid, dosis ekuivalen dan potensi mineralokortikoid.7 Mekanisme kerja kortikosteroid berhubungan dengan empat hal yaitu anti inflamasi, efek imunosupresif, efek antiproliferatif, dan efek vasokontriksi.3,4 Kortikosteroid yang digunakan dalam jangka panjang ataupun dalam dosis tinggi dapat memicu berbagai macam efek samping. Hal ini sesuai dengan mekanisme kerja dari steroid itu sendiri. Efek samping penggunaan KS tersebut meliputi kulit, muskuloskeletal, mata, metabolisme dan sistem endokrin, kardiovaskular, gastrointestinal serta sistem imun.

13

DAFTAR PUSTAKA
1. A,

Dorland

W.Kamus

Kedokteran

Dorland.Edisi

25.Jakarta:EGC.1998: hal 263 2. MD, George P. Chrouses, et al. Adrenokortikosteroid dan Antagonis Adrenokortikal. In: Bertram G. Katzung. Katzung Farmakologi Dasar dan Klinik. Bagian Farmakologi FK Airlangga. Salemba Medika. 2002, p. 576-578.
3. Werth, P. Victoria. Systemic Therapy Corticosteroids. In: Wolff K et

al. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: The McGraw Hills,Inc.2012. p.2714-2720.
14

4. Breathnach, S.M., et al. Systemic Therapy. In: Tony B., Stephen C., Neil C., Christopher G. Rooks Textbook of Dermatology Eight Edition. United States of America: Blackwell Publishing; 2010, p. 72.1-72.3.
5. Valencia, Isabel C., et al. Topical Corticosteroids. In: Wolff K et al.

Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: The McGraw Hills,Inc.2012. p.2659-2665.
6. Jr Nesbitt LT. Glucocorticosteroids. In: Bolognia JL, Jorizzo JL,

Rappini RP, Schaver JV, editors. Dermatology. 2nd ed. Edinburg: Mosby; 2008. P. 1923-1933 7. Lin, Andrew N., Stephen A. Paget. Clinical Use of Corticosteroids. Arnold Principles of Corticosteroid Therapy. Arnold 2002.
8. Schacke Heike, Docke WD, Asadullah Khusru. Mechanisms involved

in the side effects of glucocorticoids. Pharmacology & Therapeutics. 2002; 96: 23-43.
9. Jr Nesbitt LT. Glucocorticosteroids. In: Bolognia JL, Jorizzo JL,

Rappini RP, Schaver JV, editors. Dermatology. 2nd ed. Edinburg: Mosby; 2008. P. 1923-1933 10. Dada Tanuj, nair Soman, Dhawan Munish. Steroid-induced glaucoma. Journal of Current Glaucoma Practice 2009; 3(2): 33-8
11. Stanbury, Rosalyn M., Elizabeth M Graham. Systemic Corticosteroid

Therapy Side Effects and Their Management. [internet]. 1998. Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov.

15

You might also like