You are on page 1of 21

BAB I PENDAHULUAN

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli buli dan membungkus uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urin keluar dari buli buli. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa 20 gram. McNeal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain : zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona periuretra. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional. Hiperplasi prostat benigna merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan pada usia yang kurang dari 40 tahun. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai pubertas. Pada waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa kelima, prostat dapat mengalami perubahan hipertropi. Pembesaran kelenjar prostat mengakibatkan terganggunya aliran urin sehingga menimbulkan gangguan miksi. Etiologi pasti hipertropi prostat benigna belum jelas, walaupun tampaknya tidak terjadi pada pria yang dikastrasi sebelum pubertas, dan tidak berlanjut setelah kastrasi. Kelainan ini bisa disertai dengan peningkatan dalam kandungan dihidrotestoteron jaringan atau dengan perubahan rasio androgen terhadap estrogen, yang diketahui berubah dengan penuaan. Sekitar 1 dalam 100 pria akan memerlukan pembedahan untuk keadaan ini.

BAB II HIPERPLASIA PROSTAT BENIGNA ANATOMI KELENJAR PROSTAT


Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli buli, di depan rectum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri dengan ukuran 4 x 3 x 2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram. Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan glandular yang terbagi dalam beberapa daerah atau zona, yaitu zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona prepostatik sfingter, dan zona anterior. Secara histopatologik kelenjar prostat terdiri atas komponen kelenjar dan stroma. Komponen stroma ini terdiri atas otot polos, fibroblast, pembuluh darah, saraf, dan jaringan penyanggah yang lain. Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan ejakulat. Cairan ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat merupakan 25% dari seluruh volume ejakulat. Prostat mendapatkan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus prostatikus. Pleksus prostatikus ( pleksus pelvikus ) menerima masukan serabut parasimpatik dari korda spinalis S2-4 dan simpatik dari nervus hipogastrikus ( T10-L2 ). Stimulasi parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat ke dalam uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. Sistem simpatik memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula prostat, dan leher buli buli. Di tempat tempat itu banyak terdapat reseptor adrenergik . Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot polos tersebut. Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon testosteron, yang di dalam sel sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi

metabolit aktif dihidrotestoteron ( DHT ) dengan bantuan enzim 5 reduktase. Dihidrotestoteron inilah yang secara langsung memacu m RNA di dalam sel sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat. Jika kelenjar ini mengalami hiperplasi jinak atau berubah menjadi kanker ganas dapat membuntu uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih.

Aliran Urin normal

Aliran urin dengan BPH

ETIOLOGI
BPH terjadi karena proliferasi stroma dan epithelial dari glandula prostat yang sering didapatkan gejala voiding. Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer. Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hyperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron ( DHT ) dan proses aging ( menjadi tua ). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah : 1. Teori dihidrotestosteron 2. adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron 3. interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat 4. berkurangnya kematian sel ( apoptosis ) 5. teori stem sel

1. Teori Dihidrotestosteron Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosterone di dalam sel prostat oleh enzim 5- reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen ( RA ) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5- reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal. 2. Ketidakseimbangan Antara Estrogen testosteron Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen : testosteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen dan menurunkan jumlah kematian sel sel prostat ( apoptosis ). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel sel baru akibat rangsangan testosteron menurun, tetapi sel sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat menjadi lebih besar. 3. Interaksi Stroma Epitel Cunha ( 1973 ) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel sel stroma melalui suatu mediator ( growth factor ) tertentu. Setelah sel sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel sel stroma mensintesis

suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu maupun sel stroma. 4. Berkurangnya Kematian Sel Prostat Program kematian sel ( apoptosis ) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologi untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel sel di sekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat. 5. Teori Sel Stem Untuk mengganti sel sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen, sehingga jika hormon ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis. terjadinya proliferasi sel sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma atau sel epitel. menyebabkan terjadinya proliferasi sel sel epitel

PATOFISIOLOGI
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi serta iritasi. Gejala dan tanda obstruksi saluran kemih berarti penderita harus menunggu pada permulaan miksi, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan hipersensitivitas otot detrusor berarti bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala dan tanda ini diberi skor untuk menentukan berat keluhan klinis. Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih di dalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi, pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intra vesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi menjadi lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. pada waktu miksi, penderita harus selalu mengedan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks, dapat terjadi pielonefritis.

Hiperplasia Prostat

Penyempitan lumen uretra posterior

Tekanan intravesikal

Buli buli Hipertrofi otot detrusor Trabekulasi selula divertikel buli buli

Ginjal dan ureter - Refluks vesiko-ureter - Hidroureter - Hidronefrosis - Pionefrosis pilonefritis - Gagal ginjal

GEJALA KLINIS
Biasanya gejala gejala pembesaran prostat jinak, dikenal sebagai Lower Urinary Tract Symptoms ( LUTS ), dan dapat dibedakan menjadi : 1. Gejala iritatif Frekuensi : sering miksi Frekuensi terutama terjadi pada malam hari ( nokturia ) karena hambatan normal dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama tidur. Nokturia : terbangun untuk miksi pada malam hari Nokturia dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek. Urgensi : perasaan miksi yang sangat mendesak

Disuria

: nyeri pada saat miksi

Urgensi dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh ketidaksatabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter. 2. Gejala obstuktif Pancaran melemah Rasa tidak lampias sehabis miksi Terminal dribbling : menetes setelah miksi Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urin yang banyak dalam buli buli. Hesitancy : bila mau miksi harus menunggu lama Terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra. Straining : harus mengedan jika miksi

Intermittency: kencing terputus putus Terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow. Keluhan ini biasanya disusun dalam bentuk score symptom. Terdapat

beberapa jenis klasifikasi yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis dan menentukan tingkat beratnya penyakit, diantaranya adalah score internasional gejala-gejala prostat WHO ( Internasional Prostate Symptom Score, IPSS) dan score Madsen Iversen.

Skor Madsen Iversen dalam bahasa Indonesia Pertanyaan Pancaran Mengedan pada saat Tidak Ya berkemih Harus menunggu saat akan Tidak Tidak tahu Berubah ubah Tidak ada 01 > 3 jam sekali Ringan 2 Setiap 2 3 jam sekali Tidak lampias Ya Sedang 3-4 Setiap 1 2 jam sekali Ya 1x retensi > 1x retensi Berat >4 < 1 jam sekali miksi BAK terputus putus Miksi tidak lampias Inkontinensia BAK sulit ditunda Miksi malam hari BAK hari siang 0 Normal Tidak 1 Berubah ubah Ya 2 3 Lemah 4 Menetes

Skor Internasional gejala gejala prostat WHO ( Internasional Prostate Symptom Score, IPSS )

10

Keluhan pada bulan terakhir Adakah anda merasa buli buli tidak kosong setelah BAK Berapa anda hendak BAK lagi dalam waktu 2 jam setelah BAK Berapa kali terjadi air kencing berhenti sewaktu BAK Berapa kali anda tidak dapat menahan keinginan BAK Berapa kali arus air seni lemah sekali sewaktu BAK Berapa kali terjadi anda mengalami kesulitan memulai BAK (harus mengejan) Berapa kali anda bangun untuk BAK diwaktu malam

Tidak sama sekali 0 < 1 - 5x

>5< 15x

15x

> 15x

Hampir selalu

0 0

1 1

2 2

3 3

4 4

5 5

1x

2x

3x

4x

5x

Andaikata hal yang anda Sangat alami sekarang akan tetap senang berlangsung seumur hidup, bagaimana perasaan anda Jumlah nilai : 0 = baik sekali 1 = baik 2 = kurang baik 3 = kurang 4 = buruk

Cukup senang

Biasa saja

Agak tidak senang

Tidak angkan

Sangat menyen angkan

menyen tidak

11

5 = buruk sekali Sistem skoring I-PSS terdiri dari tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan dihubungkan dengan keluhan miksi diberi nilai dari 0 sampai dengan 5, sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 sampai 7. Dari skor I-PSS dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu (1) ringan : skor 0-7, (2) sedang : skor 8-19, (3) berat : skor 20-35. Mild or No Symptoms. Skor IPSS 7 atau di bawah 7, pada umumnya memilih watchfull waiting sekalipun prostat mereka membesar. Perlu diingat, bagaimanapun obstruksi traktus urinaria dapat memperlihatkan pembesaran prostat sekalipun tidak mempunyai gejala, maka ada beberapa resiko dengan pilihan ini, walaupun itu kecil.

PEMERIKSAAN KLINIS
1. Pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination ( DRE ) Merupakan pemeriksaan yang sangat penting, DRE dapat memberikan gambaran tonus sfingter ani, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan tentu saja meraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan : 60 gr. Pada BPH akan ditemukan prostat yang lebih besar dari normal atau normal ( ingat tidak ada korelasi antara besar prostat dengan obstruksi yang ditimbulkannya ), permukaan licin dan konsistensi kenyal. 12 Konsistensi pada pembesaran prostat kenyal Adakah asimetri Adakah nodul pada prostat Apakah batas atas dapat diraba dan apabila

batas atas masih dapat diraba biasanya besar prostat diperkirakan <

Pada akut retensi, buli-buli penuh ( ditemukan massa supra pubis ) yang nyeri dan pekak pada perkusi. Derajat berat hipertrofi prostat berdasarkan gambaran klinis Derajat Colok Dubur I Penonjolan prostat, batas atas mudah II III IV diraba Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat dicapai Batas atas prostat tidak dapat diraba Sisa Volume Urin < 50 ml 50 100 ml > 100 ml Retensi urin total

2. Derajat berat obstruksi Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas untuk indikasi melakukan intervensi pada hipertrofi prostat. Derajat berat obstruksi dapat pula diukur dengan mengukur pancaran urin pada waktu miksi, yang disebut uroflowmetri. Angka normal pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/detik dan pancaran maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, pancaran menurun antara 6 8 ml/detik, sedangkan maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau kurang.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium

13

Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus diperhatikan etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik. Pemeriksaan Prostat Spesifik Antigen ( PSA ) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4 10 ng/ml, hitunglah Prostate Spesifik Antigen Density ( PSAD ) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml. 2. Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intra vena, USG dan sistoskopi. Tujuan pemeriksaan pencitraan ini adalah untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli - buli dan volume residu urin, dan mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupun tidak dengan BPH. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastasis dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Dari pielografi intra vena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, fish hook appearance ( gambaran ureter berbelok-belok di vesica ), indentansi pada dasar buli buli, divertikel, residu urin, atau filling defect di vesica. Cara pencitraan yang lain ialah pemeriksaan USG. Cara pemeriksaan ini untuk prostat hipertrofi dianggap sebagai pemeriksaan yang baik oleh karena ketepatannya dalam mendeteksi pembesaran prostat, tidak adanya bahaya radiasi dan juga relatif murah. Pemeriksaan USG dapat dilakukan secara

14

trans abdominal atau transrektal ( TRUS = Trans Rectal Ultrasonografi ). TRUS dianggap lebih baik untuk pemeriksaan kelenjar prostat apalagi bila menggunakan transducer yang biplane. Selain untuk mengetahui adanya pembesaran prostat pemeriksaan USG dapat pula mendeteksi volume buli, mengukur sisa urin, dan patologi lain seperti divertikel, tumor buli yang besar, batu buli. TRUS dapat pula mengukur besarnya prostat yang diperlukan untuk menentukan jenis terapi yang tepat yaitu apabila besarnya lebih dari 60 gr digolongkan besar sehingga kalau akan dilakukan operasi dipilih operasi buka. Perkiraan besarnya prostat dapat pula dilakukan dengan USG suprapubik atau trans urethral tetapi cara transuretral dianggap terlalu invasif. Pengukuran volume prostat sering disebut volumetri dan biasanya memakai rumus volume = 0,52 x d1 x d2 x d3, bila kita anggap bahwa bentuk prostatelipsoid dan d adalah jarak panjang, lebar ( pada potongan transversal ), dan panjang prostat adalah potongan sagital. Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin, batu ginjal, divertikulum atau tumor buli buli. 3. Sistoskopi Sistoskopi sebaiknya dilakukan pada anamnesa ditemukan adanya hematuri atau pada pemeriksaan urin ditemukan adanya mikrohematuri, untuk mengetahui adanya kemungkinan tumor di dalam vesica atau sumber perdarahan dari atas yang dapat dilihat apabila darah datang dari muara ureter, atau adanya batu kecil yang radiolusent di dalam vesica. Selain itu sistoskopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar prostat dengan mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat kedalam uretra. 4. CT Scan atau MRI Pencitraan dengan CT Scaning dan Magnetic Resonance Imaging / MRI dalam praktek jarang dipakai karena cara pemeriksaan ini mahal dan keterangan yang diperoleh tidak terlalu banyak dibandingkan cara lain.

15

DIAGNOSIS BANDING
Proses miksi bergantung pada kekuatan kontraksi detrusor, elastisitas leher kandung kemih dengan tonus ototnya dan resistensi uretra. Setiap kesulitan miksi disebabkan oleh salah satu dari ketiga faktor tersebut. Kelemahan detrusor dapat disebabkan oleh kelainan saraf ( kandung kemih neurologik ), misalnya pada lesi medula spinalis, neuropatia diabetes, bedah radikal yang mengorbankan persarafan di daerah pelvis, penggunaan obat penenang, obat penghambat reseptor ganglion da parasimpatolitik. Kekakuan leher vesika disebabkan oleh proses fibrosis, sedangkan resistensi uretra disebabkan oleh pembesaran prostat jinak atau ganas, tumor di leher kandung kemih, batu di uretra atau striktur uretra. Kelainan tersebut dapat dilihat dengan sistokopi.

Kelemahan detrusor kandung kemih : Gangguan neurologik o Kelainan medula spinalis o neuropati diabetes mellitus o pascabedah radikal di pelvis o farmakologik ( obat penenang, penghambat alfa, parasimpatolitik ) Diagnosis banding obstruksi saluran kemih karena hipertrofi prostat - Kekakuan leher kandung kemih o fibrosis Resistensi uretra o hipertrofi prostat ganas atau jinak o kalainan yang menyumbat uretra o uretralitiasis o uretritis akut atau kronik 16

PENATALAKSANAAN
Penderita datang ke dokter bila hipertrofi prostat telah memberikan keluhan klinis. Derajat berat gejala klinis dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin. WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO PSS ( WHO Prostate Symptom Score ). Skor ini dihitung berdasarkan jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi. Terapi nonbedah dilakukan jika WHO PSS tetap di bawah 15. Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi. Di dalam praktek pembagian besar prostat derajat I IV digunakan untuk menentukan cara penanganan. DERAJAT I Belum memerlukan tindak bedah, diberikan tindakan konservatif, misalnya dengan penghambat adrenoreseptor alfa seperti alfazosin, prazosin dan

17

terazosin. Keuntungan obat penghambat adrenoreseptor alfa ialah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat sedikit pun. Kekurangannya ialah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama. DERAJAT II Merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra ( trans urethral resection = TUR ). Mortalitas TUR sekitar 1% dan morbiditas sekitar 8%. Kadang derajat dua dapat dicoba dengan pengobatan konservatif. DERAJAT III Reseksi endoskopik dapat dikerjakan oleh pembedah yang cukup berpengalaman. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam, sebaiknya dilakukan pembedahan. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal, retropubik atau perineal. Pada operasi melalui kandung kemih dibuat sayatan perut bagian bawah menurut pfannenstiel ; kemudian prostat dienukleasi dari dalam simpainya. Keuntungan teknik ini adalah dapat sekaligus untuk mengangkat batu buli buli atau divertikelektomi apabila ada divertikulum yang cukup besar. Cara pembedahan retropubik menurut milin dikerjakan melalui sayatan kulit pfannenstiel dengan membuka kandung kemih, kemudian prostat dienukleasi. Cara ini mempunyai keunggulan yaitu tanpa membuka kandung kemih sehingga pemasangan kateter tidak lama seperti bila membuka vesika. Kerugiannya, cara ini tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan dari dalam kandung kemih. Kedua cara pembedahan terbuka tersebut masih kalah dibandingkan dengan cara TUR, yaitu morbiditasnya yang lebih lama, tetapi dapat dikerjakan tanpa memerlukan alat endoskopi yang khusus, dengan alat bedah baku. Prostatektomi melalui sayatan perineal tidak dikerjakan lagi. DERAJAT IV

18

Tindakan yang pertama harus dikerjakan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitif dengan TUR atau pembedahan terbuka. Penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan untuk dilakukan pembedahan, dapat diusahakan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Efek samping obat ini adalah gejala hipotensi, seperti pusing, lemas, palpitasi dan rasa lemah. Pengobatan konservatif ialah dengan pemberian obat antiandrogen yang menekan produksi LH. Kesulitan pengobatan konservatif adalah menetukan berapa lama obat harus diberikan dan efek samping obat. Pengobatan lain yang invasif minimal adalah pemanasan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang pada ujung kateter. Dengan cara yang disebut transurethral micro wave thermotherapy ( TUMT ) ini, diperoleh hasil perbaikan kira kira 75 % untuk gejala objektif. Pada penanggulangan invasif minimal lain, yang disebut transurethral ultrasound guided laser induced prostatectomy ( TULIP ) digunakan cahaya laser. Dengan cara ini, diperoleh juga hasil yang cukup memuaskan. Uretra di daerah prostat dapat juga didilatasi dengan balon yang dikembangkan didalamnya ( trans urethral ballon dilatation = TUBD ). TUBD ini biasanya memberi perbaikan yang bersifat sementara.

KOMPLIKASI
Apabila buli buli menjadi dekompensasi, akan terjadi retensio urin. Karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli buli tidak mapu menampung urin sehingga tekanan intra vesika meningkat, dapat timbul hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat jika terjadi infeksi. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan dalam buli buli. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. 19

Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis. Pada waktu miksi pasien harus mengedan shingga lama kelamaan dapat menyebabkan hernia atau hemoroid.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kozar Rosemary A, Moore Frederick A. Schwartzs Principles of Surgery. 8th Edition. Singapore : The McGraw-Hill Companies,Inc;2005. 2. Mansjoer, Arif, Suprohaita, Wardhani, Wahyu Ika. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid Dua. Jakarta : Media Aesculapius; 2000. 3. Purnomo, Basuki B. Dasar Dasar Urologi. Edisi Kedua. Jakarta : Sagung Seto.

20

4. Ramon P, Setiono, Rona, Buku Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran ; 2002: 203-7 5. Sabiston, David. Sabiston : Buku Ajar Bedah. Alih bahasa : Petrus. Timan. EGC. 1994. 6. Samsuhidajat, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, 2003. 7. Sapardan Subroto. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

21

You might also like