You are on page 1of 99

ISSN 1411-6227 VOL. 2 NO.

2 DESEMBER 2012

JURNAL SOSIOPUBLIKA, adalah berkala ilmiah yang peduli pada kajian masalah-masalah sosiologi kemasyarakatan dan keindonesiaan serta dinamika administrasi publik (pelayanan publik) di negeri ini. Terbit dua kali setahun, terbit perdana Oktober 2011. Berkala ilmiah ini diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (PPPM) STISIP KARTIKA BANGSA, Yogyakarta. Redaksi jurnal SOSIOPUBLIKA dengan senang hati menanti kiriman karya ilmiah hasil penelitian terbaru maupun artikel ilmiah (gagasan orisinil) dari para akademisi serta praktisi Indonesia yang selaras dengan nafas jurnal SOSIOPUBLIKA di atas. Tim Pengelola Penanggung jawab Ketua Penyunting Wakil Ketua Penyunting Penyunting Pelaksana Mitra Bestari Drs. Pris Heriwinanto, M.AP Vibriza Juliswara, S.H., S. Sos, M.A Dra. Herliyani Trikoriyanti, M.AP Dra. Sudaru Murti, M.Si Prof. Dr. Farida Hanum Dr. Erwan Agus Purwanto, MSi Dr. Najib Azka Dr. Dyah Mutiarin Nuryanti Purwanto Sukmono Aji, S.Ag Djoko Supriyanto

Keuangan Pemasaran Pengelola IT Desain Lay Out Alamat Redaksi

Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (PPPM) STISIP KARTIKA BANGSA, Jl Rejowinangun No. 6 Jogjakarta, telpon. 02744438543

ISSN 1411-6227 VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

Daftar Isi
Pengembangan dan Pemanfaatan Ecotourisme sebagai Entitas Ekonomi Bagi Masyarakat di Selecta Batu Malang Jawa Timur ~ 1 - 11 Vibriza Juliswara Pengembangan Model Kelembagaan Kerjasama antar Daerah dalam Pembangunan Infrastruktur Perbatasan (Sebagai Upaya Mengatasi Kegagalan Kerjasama Antar Daerah Dalam Pembangunan Infrastruktur di Perbatasan) ~ 12 -21 Hendar Klestono Pemberdayaan Kelembagaan Sistem Penyediaan Air Minum Desa (SPAMDES) di Daerah Istimewa Yogyakarta ~ 22 - 31 Sudaru Murti Analisis Kebijakan Distribusi Pupuk Bersubsidi ~ 32 - 40 Purnama Pasar Tradisional Pusat Hubungan Sosial Dalam Tradisi Gameinscaft Dan Kepentingan Relasi Penguasa ~ 41 - 50 Mohamad Hayat Kebijakan Pemda Kabupaten Gunung Kidul dalam Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) ~ 51- 59 Endang Tri Sudaryanti Pemberdayaan Masyarakat Melalui Institusi Lokal Simpan Pinjam Di Dusun Sindet, Kelurahan Trimulyo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul ~ 60 - 67 Zulianti

Remaja, Sekolah, dan Pergaulan Bebas (Studi di SMTA Berbasis Agama Islam di Kota Purwokerto) ~ 68 - 80 Mintarti dan Nanang Martono Solidaritas Sosial Sebagai Sebuah Orientasi Jati Diri Masyarakat Desa Dalam Mewujudkan Mekanisme Jaminan Sosial Komunitasnya. ~ 81 - 95 R. Sapto Hadi Priyo Siswanto

KATA PENGANTAR

urnal sosiopublika didedikasikan sebagai terbitan ilmiah berkala yang diharapkan dapat menjadi ajang pertukaran ide dan gagasan berbasis riset dalam kajian Administrasi Negara dan Sosiologi yang akan memberikan kontribusi positif bagi perkembangan ilmu sosial dan politik pada umumnya. Ia hadir dengan misi membangun tradisi dan iklim akademis untuk kemajuan dan mempertinggi peradaban, harkat dan martabat kemanusiaan. Selain itu jurnal sosiopublika merupakan dua program studi yang ada di STISIP Kartika Bangsa juga mengemban misi mempromosikan kedua bidang tersebut dan sebagai wahana mengaplikasikannya dalam kehidupan masyarakat, sehingga akan terlihat link and match. Kajian-kajian dalam jurnal ini diupayakan berbasis riset aktual yang secara konstruktif untuk penyelesaian masalah-masalah sosial politik dalam arti luas maupun masalah-masalah pembangunan secara umum. Jurnal Sosiopublika kali ini menyajikan sembilan tulisan dengan tema beragam, antara lain Pengembangan dan Pemanfaatan Ecotourisme sebagai Entitas Ekonomi Bagi Masyarakat di Selecta Batu Malang Jawa Timur ; Pengembangan Model Kelembagaan Kerjasama antar Daerah dalam Pembangunan Infrastruktur Perbatasan (Sebagai Upaya Mengatasi Kegagalan Kerjasama Antar Daerah Dalam Pembangunan Infrastruktur di Perbatasan) ; Pemberdayaan Kelembagaan Sistem Penyediaan Air Minum Desa (SPAMDES) di Daerah Istimewa Yogyakarta ; Analisis Kebijakan Distribusi Pupuk Bersubsidi ; Pasar Tradisional Pusat Hubungan Sosial Dalam Tradisi Gameinscaft Dan Kepentingan Relasi Penguasa ; Kebijakan Pemda Kabupaten Gunung Kidul dalam Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) ; Pemberdayaan Masyarakat Melalui Institusi Lokal Simpan Pinjam Di Dusun Sindet, Kelurahan Trimulyo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul ; Remaja, Sekolah, dan Pergaulan Bebas (Studi di SMTA Berbasis Agama Islam di Kota Purwokerto) ; Solidaritas Sosial Sebagai Sebuah Orientasi Jati Diri Masyarakat Desa Dalam Mewujudkan Mekanisme Jaminan Sosial Komunitasnya. Oleh sebab itu dalam terbitan kedua Sosiopublika artikel-artikel yang disajikan berbagai pandangan dan hasil riset yang tidak saja berbicara pada isu nasional, tetapi juga isu lokal bahkan global. Semua isu dikemas dalam penyajian yang menarik oleh para penulis sebagai upaya untuk menjelaskan berbagai isu sosial politik yang saat ini menjadi isu publik. Mudah-mudahan terbitan ini bisa mendorong semua kalangan peminat sosial politik untuk terus menerus mendiskusikan dan mencari berbagai solusi permasalahan sosial politik lokal, nasional, maupun global sebagai bentuk sumbang piker untuk membangun Indonesia yang kita cintai bersama. Selamat membaca

Pemimpin Redaksi

PENGEMBANGAN DAN PEMANFAATAN ECOTOURISME SEBAGAI ENTITAS EKONOMI BAGI MASYARAKAT DI SELECTA BATU MALANG JAWA TIMUR
Vibriza Juliswara vbjuliswara@yahoo.com Program Studi Sosiologi STISIP Kartika Bangsa Yogyakarta

Abstract Community is one of the elements that play a very important role in the development of ecotourism. The role of the community in the development of ecotourism is an attempt to create a culture and natural beauty, as well as foster a love of the homeland and the nation. One of the opportunities to be gained from local communities to improve their welfare in the development of ecotourism as an area manager PT Selecta Selecta Batu Malang provides an opportunity to work directly not only as staffing, employers, and merchants, but also has the companys stock. Ecotourism development in Batu Malang Selecta positive impact on the economy. The relationship between PT. Selecta with the area itself is very tight. They have a reciprocal relationship is very strong. Companies need people to maintain its sustainability, while people need to increase their income. Keywords: ecotourism, fungsionalism struktural, community role, Economic Entities

A. Latar Belakang
Dalam beberapa dekade yang lalu istilah ekotourisme yang di-Indonesiakan dengan istilah ekowisata bukanlah merupakan sebuah istilah yang sangat popular seperti saat ini. apalagi dengan prinsip prinsip yang mewakili kegiatan ekowisata. Istilah yang ada pada saat itu hanyalah merupakan perjalanan wisata yang bernuansa alam, perjalanan yang melihat dan menikmati keindahan alam. Istilah ekowisata kemudian muncul dan mulai banyak dibicarakan oleh berbagai pelaku dan pelaksana wisata dengan mengambil kisah kisah perjalanan Darwin ke Galapagos, Humbolt, Bates, Wallace. Selanjutnya, perjalanan eksplorasi yang telah dilakukan oleh Marcopollo, Tomi Pires, Weber, Junghuhn dan Van Steines dan masih banyak yang lain merupakan awal perjalanan antar pulau dan antar benua yang penuh dengan tantangan untuk mempelajari kondisi alam secara makro, akan tetapi perjalanan tersebut masih saja dikategorikan sebagai adventure tourism or research journey dan umum dilakukan oleh para peneliti dan para petualang lainnya, sama seperti istilah nature based tourism, cultural tourism, back to nature tourism , tanpa adanya nilai nilai konservasi , penghargaan kepada alam , spesies langka Hanya dalam beberapa kurun waktu terakhir ketika nilai konservasi dan wisata back to nature mulai dijadikan sebagai ajang pendidikan dan penyadaran bagi para wisatawan tentang pentingnya lingkungan hidup, dan dimulainya penghargaan terhadap konsep konsep preservasi, konservasi pada lingkungan dan budaya lokal. Istilah ekowisata kemudian muncul dengan harapan akan memberikan nilai lebih kepada wisatawan, selain dapat memberikan kontribusi tersendiri pada masyarakat lokal yang mendiami daerah tersebut.

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

Kota Batu yang terletak di dataran tinggi daerah Malang memang cocok dijadikan sebagai tempat wisata. Udara yang sejuk, segar dan bersih dapat menjadi tempat menenagkan pikiran dari hiruk pikuk kota. Apalagi ditambah dengan pemandangan pegunungan hijau yang indah dapat menjadi tempat peristirahatan yang menyenangkan. Salah satu obyek wisata yang menawarkan ekoturisme adalah Selecta di Batu Malang merupakan salah satu daerah tujuan wisata di Jawa Timur. Tempat ini dapat menjadi oasis, khusunya bagi para pengunjung yang hidup di kota besar yang penuh polusi. Di sini, Anda dapat menikmati udara yang bersih untuk memenuhi paru-paru Anda. Sebagai penambah kesenangan refreshing, Anda dapat menikmati keindahan panorama alam. Letaknya yang strategis dengan prasarana yang sudah baik akan memudahkan pengunjung untuk tiba di tempat ini. Tempat wisata Selecta dikelilingi oleh pegunungan sehingga suasana alami benar-benar terasa. Berbagai fasilitas tersedia untuk Anda maupun anak-anak, membuat tempat ini cocok menjadi tempat wisata keluarga. Undang Undang Otonomi daerah No 22 dan No 25 tahun 1999 juga memberikan kontribusi tersendiri untuk upaya pengelolaan kawasan tersebut, yang sekarang ini berada di tangan pemerintah daerah. Sejak diberlakukannya undang-undang, telah terjadi banyak perubahan pola kebijakan daerah terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam (SDA). Hal ini dimungkinkan karena SDA merupakan modal penting dalam menggerakkan pembangunan di suatu daerah, baik dalam konteks negara, propinsi maupun kabupaten. Oleh karenanya, aspek pemanfaatannya merupakan suatu yang sangat strategis dalam menentukan jumlah penerimaan atau tingkat kontribusinya dalam pembentukan modal pembangunan. Dengan melihat kompleksitas dari berbagai pengertian ekowisata, potensi yang dimiliki oleh daerah tersebut , pengelolaan kawasan yang mulai ditangani daerah dan keinginan masyarakat lokal untuk dapat membangun sebuah kawasan yang berasaskan lingkungan hidup, sehingga timbulah keinginan masyarakat daerah tersebut untuk dapat mengelola langsung kawasan suaka ini dengan tetap memperhatikan kelestarian alam disamping mereka juga mendapatkan insentif secara ekonomis untuk kelangsungan anak cucunya.

B. Rumusan Masalah
Dengan melihat berbagai latar belakang diatas, maka beberapa masalah dapat dirumuskan sebagai berikut : Dengan adanya keinginan masyarakat dan pemerintah daerah untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan ekowisata maka 1. 2. 3. 4. Perlu diketahui pengembangan ekowisata yang ada pada kawasan tersebut Bentuk-bentuk obyek wisata tersebut yang dikembangkan di kawasan wisata Selecta Kota Batu Malang Bagaimana pengembangan Kawasan Selecta Kota Batu Malang sebagai entitas ekonomi Sejauh mana manfaat sosial dan ekonomi yang dapat diterima oleh masyarakat sekitar dan usaha kawasan wisata tersebut.

C. Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : Untuk dapat melihat pengembangan ekowisata, bentukbentuk obyek wisata yang dikembangkan, bagaimana pengembangan kawasan selecta sebagai entitas ekonomi, dan sejauh mana mamfaat sosial dan ekonomi yang dapat diterima oleh masyarakat sekitar dan usaha kawasan wisata tersebut.

Vibriza Juliswara Pengembangan dan Pemanfaatan Ecotourisme sebagai Entitas Ekonomi bagi Masyarakat di Selecta Batu Malang Jawa Timur

D. Tinjauan Pustaka
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan sosial dan ekonomi. Pariwisata merupakan aktivitas yang menyangkut manusia dan masyarakat, sesuai dengan kajian-kajian dalam ilmu sosiologi yang pada perkembangan selanjutnya disebut sosiologi pariwisata. Sosiologi pariswisata adalah cabang dari sosiologi yang mengkaji masalah-masalah kepariwisataan dalam berbagai aspeknya. Pengertian lain mengenai sosiologi pariwisata adalah kajian tentang kepariwisataan dengan menggunakan perspektif sosiologi, yaitu penerapan prinsip, konsep, hukum, paradigma, dan metode sosiologis di dalam mengkaji masyarakat dan fenomena pariwisata, untuk selanjutnya berusaha mengembangkan abstraksi-abstraksi yang mengarah pada pengembangan-pengembangan teori. Pendekatan sosiologis di dalam mempelajari pariwisata dapat dilakukan dengan menggunakan teori atau perspektif sosiologi. Perspektif atau teori sosiologi yang digunakan dalam menganalisis penelitian ini berdasar pada teori fungsional-struktural. Teori fungsional-struktural merupakan teori sosiologi yang berdasar pada unsur-unsur sosiologi dan budaya yang saling berhubungan secara fungsional dan menekankan gejala sosial budaya pada struktur yang mencakup perangkat atau aturan-aturan. Teori fungsional-struktural mengamati bentuk struktur dan fungsi dalam suatu masyarakat sehingga dapat melihat bagaimana suatu masyarakat itu berubah atau mapan melalui setiap unsurnya yang saling berkaitan, dan dinamik untuk memenuhi kebutuhan individu. Teori fungsional-struktural melakukan analisis dengan melihat masyarakat sebagai suatu sistem dari interaksi antar manusia dan berbagai institusinya, dan segala sesuatunya disepakati secara konsensus, termasuk dalam hal nilai dan norma. Teori fungsional-struktural menekankan pada harmoni, konsistensi, dan keseimbangan dalam masyarakat. Menurut Nash, dalam Soerjono Soekamto (1990), teori fungsional-struktural ini dapat digunakan untuk menganalisis pariwisata. Hal ini terjadi dengan melihat pariwisata sebagai suatu sistem sosial yang berperan dalam masyarakat modern. Pendekatan sosiologis digunakan untuk mengetahui kondisi masyarakat dan memahami kelompok sosial khususnya berbagai macam gejala kehidupan masyarakat. Pariwisata adalah fenomena kemasyarakatan yang menyangkut manusia, masyarakat, kelompok, organisasi, kebudayaan, dan sebagainya yang merupakan obyek kajian sosiologi. Ekowisata yang didefenisikan oleh The Ecotourism Society (2002) sebagai suatu bentuk perjalanan wisata yang bertanggung jawab ke kawasan alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. memperlihatkan kesatuan konsep yang terintegratif secara konseptual tentang keseimbangan antara menikmati keindahan alam dan upaya mempertahankannya. Sehingga pengertian ekowisata dapat dilihat sebagai suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaannya. Ekowisata sebagai suatu bagian logis dari pembangunan yang berkelanjutan, memerlukan pendekatan berbagai disiplin dan perencanaan yang hati hati ( baik secara fisik maupun pengelolaannya). Selanjutnya I Gede Ardika (2001) menyatakan : Sebaiknya, perkembangan wisata menerapkan konsep ekowisata. Hal ini disebabkan karena ekowisata dapat dikatakan bukan hanya sebagai salah satu corak kegiatan pariwisata khusus, melainkan suatu konsep wisata yang mencerminkan wawasan lingkungan dan mengikuti kaidah-kaidah keseimbangan dan kelestarian. Oleh karena itu pengembangan ekowisata harus dapat meningkatkan kualitas hubungan antar manusia, meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat dan menjaga kualitas lingkungan. Ekowisata lebih populer dan banyak dipergunakan dibanding dengan terjemahan yang seharusnya dari istilah ecotourism, yaitu ekoturisme. Terjemahan yang seharusnya dari ecotourism adalah wisata ekologis. Yayasan Alam Mitra Indonesia membuat terjemahan ecotourism dengan ekoturisme. Di dalam tulisan ini dipergunakan istilah ekowisata yang banyak digunakan oleh para rimbawan. Hal ini diambil

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

misalnya dalam salah satu seminar dalam Reuni Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (Fandeli, 1998). Kemudian Nasikun (1999), (Fandeli 1998, Nasikun1999 dalam Fandeli 2000) mempergunakan istilah ekowisata untuk menggambarkan adanya bentuk wisata yang baru muncul pada dekade delapan puluhan. Pengertian tentang ekowisata mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Namun, pada hakekatnva, pengertian ekowisata adalah suatu bentuk wisata yang bertanggungjawab terhadap kelestarian area yang masih alami (natural aren), memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budava bagi masyarakat setempat. Atas dasar pengertian ini, bentuk ekowisata pada dasarnya merupakan bentuk gerakan konservasi yang dilakukan oleh penduduk dunia. Pendekatan lain bahwa ekowisata harus dapat menjamin kelestarian lingkungan. Maksud dari menjamin kelestarian ini seperti halnya tujuan konservasi (UNEP, 1980) sebagai berikut: 1. 2. 3. Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan. Melindungi keanekaragaman hayati. Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya.

Di dalam pemanfaatan areal alam untuk ekowisata mempergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan. Kedua pendekatan ini dilaksanakan dengan menitikberatkan pelestarian dibanding pemanfaatan. Pendekatan ini jangan justru dibalik. Kemudian pendekatan lainnya adalah pendekatan pada keberpihakan kepada masyarakat setempat agar mampu mempertahankan budaya lokal dan sekaligus meningkatkan kesejah-teraannya. Oleh karenanya terdapat beberapa butir prinsip pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi. Apabila seluruh prinsip ini dilaksanakan maka ekowisata menjamin pembangunan yang ecological friendly dari pembangunan berbasis kerakyatan (commnnity based). The Ecotourism Society (Eplerwood/1999) menyebutkan ada delapan prinsip, yaitu: a. b. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat. Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam. Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan conservation tax dapat dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan pengembangan ekowisata. Demikian pula di dalam pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut secara aktif. Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam. Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Apabila ada upaya disharmonize dengan alam akan merusak produk wisata ekologis ini. Hindarkan sejauh mungkin penggunaan minyak, mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat. Daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi. Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara. Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa dan belanja wisatawan didorong sebesar-besarnya dinikmati oleh negara atau negara bagian atau pemerintah daerah setempat.

c. d. e.

f.

g.

Vibriza Juliswara Pengembangan dan Pemanfaatan Ecotourisme sebagai Entitas Ekonomi bagi Masyarakat di Selecta Batu Malang Jawa Timur

E. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitiaan


Penelitian studi kasus ini menggunakan penelitian pendekatan kualitatif yang merupakan penelitian yang menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkripsi wawancara , catatan lapangan, gambar, foto rekaman video dan lain-lain. Dalam penelita kualitatif perlu menekankan pada pentingnya kedekatan dengan orang-orang dan situasi penelitian, agar peneliti memperoleh pemahaman jelas tentang realitas dan kondisi kehidupan nyata

2. Subjek Penelitian
Scope penelitian meliputi kegiatan survey lapangan dan pengambilan data dari responden yang ada pada kawasan Batu, untuk melihat bagaimana persepsi masyarakat dan keinginan mereka dalam memanfaatkannya menjadi sebuah kegiatan ekowisata, selain melihat bagaimana potensi wisata tersebut, disamping melihat bagaimana tingkat partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan daerah tersebut di masa yang akan datang.

3. Teknik Analisis Data


Dalam menganalisa penelitian kualitatif terdapat beberapa tahapan-tahapan yang perlu dilakukan diantaranya : a. Mengorganisasikan Data: Peneliti mendapatkan data langsung dari subjek melalui wawancara mendalam (indepth inteviwer), dimana data tersebut direkam dengan tape recoeder dibantu alat tulis lainya. Kemudian dibuatkan transkipnya dengan mengubah hasil wawancara dari bentuk rekaman menjadi bentuk tertulis. Pengelompokan berdasarkan Kategori, Tema dan pola jawaban: Pada tahap ini dibutuhkan pengertiaan yang mendalam terhadap data. Data yang telah dikelompokan tersebut oleh peneliti dicoba untuk dipahami secara utuh dan ditemukan tema-tema penting serta kata kuncinya. Sehingga peneliti dapat menangkap pengalaman, permasalahan, dan dinamika yang terjadi pada subjek. Menguji Asumsi atau Permasalahan yang ada terhadap Data: Setelah kategori pola data tergambar dengan jelas, peneliti menguji data tersebut terhadap asumsi yang dikembangkan dalam penelitian ini, sehingga dapat dicocokan apakah ada kesamaan antara landasan teoritis dengan hasil yang dicapai. Mencari Alternatif Penjelasan bagi Data : Setelah kaitan antara kategori dan pola data dengan asumsi terwujud, peneliti masuk ke dalam tahap penejelasan. Dari hasil analisis, ada kemungkinan terdpat hal-hal yang menyimpang dari asumsi atau tidak terfikir sebelumnya. Menulis Hasil Penelitian : Penulisan data subjek yang telah berhasil dikumpulkan merupakan suatu hal yang membantu penulis unntuk memeriksa kembali apakah kesimpulan yang dibuat telah selesai. Dalam penelitian ini, penulisan yang dipakai adalah presentase data yang didapat yaitu, penulisan data-data hasil penelitian berdasarkan wawancara mendalam dan observasi dengan subjek dan significant other.

b.

c.

d.

e.

DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN


PT. Selecta terletak di. Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota. Batu, Jawa Timur. Secara geografis, tempatnya berada pada ketinggian 1.150 meter dari permukaan air laut, dengan suhu udara antara 15-25 derajad Celcius. Keberadaannya di kelilingi oleh Gunung Panderman, Arjuno, Welirang, dan An-

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

jasmoro. Dengan kondisi geografis semacam ini, kesejukan dan keindahan alam merupakan daya tarik utama dari keberadaan PT. Selecta. Keberadaan PT. Selecta dimulai pada tahun 1.930 ketika seorang warga Belanda yang bernama De Ruyter de Wildt mendirikan pemandian dengan nama Bath Hotel Selecta. Pada masa itu, tempat ini menjadi tujuan tempat peristirahatan warga Belanda yang ada di Indonesia. Bersamaan dengan masuknya Jepang ke Indonesia, antara tahun 1942-1945, tempat ini kemudian dikelola oleh warga negara Jepang bernama Mr. Hashiguchi. Pada akhir tahun 1949, ketika pecah perang revolusi (clash ke dua), Selecta hancur total (dibumi-hanguskan) menjadi puing-puing yang tidak berbentuk. Selecta mulai dibangun kembali pada tahun 1950. Tepatnya pada tanggal 19 Januari 1950, ketika terbentuk panitia pembangunan di Kecamatan Batu yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat Desa Tulungrejo (pamong desa, tokoh pemuda, dan pekerja). Semuanya berjumlah 47 orang yang kemudian ditetapkan sebagai pendiri PT. Selecta. Bersamaan dengan berlangsunya pembangunan fisik, dibuatlah Akte Pendirian dihadapan Notaris Hendrik Ribbers di Malang pada 10 Maret 1954 nomor 20 (dari kemudian diubah dengan Akte nomor 37 tertanggal 19 Mei 1954). Penetapan Selecta sebagai Badan Hukum diperoleh dari Menteri Kehakiman tanggal 18 Juni 1954 dengan nomor J.A.5/50/3. Dengan diberlakukannya UU No.l tahun 1975 tentang Perseroan Terbatas, bentuk perusahaanya disesuaikan menjadi Perseroan Terbatas Taman Rekreasi & Hotel Selecta disingkat dengan PT. Selecta.

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS 1. Pengembangan Kawasan Selecta Sebagai Daerah Wisata
Pada awal masa kemerdekaan, Selecta merupakan tempat wisata dan peristirahatan pilihan bagi semua lapisan masyarakat negeri ini, mulai dari rakyat biasa hingga elit politik negeri ini, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden di masa itu. Dari masa kemerdekaan tersebut hingga masa sekarang, Selecta tetap mempertahankan tatanan sebagai tempat wisata eksotis yang indah dan sejuk, sehingga tetap menjadi tujuan wisata pilihan bagi semua lapisan masyarakat negeri ini dan wisatawan manca negara. Bahkan Selecta telah mengembangkan diri menjadi taman rekreasi dengan fasilitas yang lengkap tanpa mengurangi nilai sejarah dan keasriannya. Sekarang, Selecta tidak hanya mempunyai kolam renang dengan air pegunungan yang segar dan jernih, tetapi juga dilengkapi taman bunga yang luas dan indah serta taman bermain anak dengan segala fasilitas bermain untuk anak, termasuk becak mini dan mobil mini. Kolam perahu dengan fasilitas perahu kano dan sepeda air, arena jogging seluas 6 hektar dan arena untuk berkuda serta tempat out bond yang ideal. Ketika memasuki areal taman rekreasi Selecta, pengunjung dapat dengan mudah mendapatkan tempat parkir, karena luas tempat parkir mencapai 3 hektar dan sebuah masjid yang representatif di areal tersebut. Ketika turun dari kendaraan, pengunjung disuguhi akuarium dalam ukuran yang sangat besar dipenuhi berbagai macam ikan air tawar dan sebuah gua unik yang bernama Gua Singa. Restoran Selecta juga menyediakan berbagai masakan khas Jawa Timur dan chinesse food dalam style tempo dulu dengan cita rasa yang menggugah selera disertai pelayanan standar tinggi, dan dilengkapi berbagai gerai jajanan tradisional hingga modern. Hotel Selecta, di mana para Proklamator negeri ini pernah menginap, sekarang telah menjelma menjadi hotel dengan fasilitas modern yang lengkap tanpa meninggalkan nilai sejarah yang pernah tercatat di Hotel Selecta. Dengan fasilitas yang lengkap pada 60 kamar dan hall berkapasitas 600 orang, sangat ideal sebagai tempat pertemuan, diklat maupun acara pesta. Pelayanan prima dalam suasana kekeluargaan merupakan sikap yang dijunjung tinggi oleh Hotel Selecta. Pasar Wisata Selecta merupakan tempat ideal untuk berbelanja, yang menyediakan berbagai macam tanaman hias, suvenir, makanan ringan khas Batu dan buah-buahan bahkan kelinci ataupun hewan piaraan yang lain. Satu hal yang pasti, Selecta adalah taman rekreasi pilihan. Anda belum pernah

Vibriza Juliswara Pengembangan dan Pemanfaatan Ecotourisme sebagai Entitas Ekonomi bagi Masyarakat di Selecta Batu Malang Jawa Timur

ke Batu kalau anda belum pernah menginjakkan kaki di taman rekreasi Selecta, karena Selecta adalah Batu dan Batu adalah Selecta.

2. Pengembangan Kawasan Selecta Sebagai Entitas Ekonomi


Sejak diberlakukannya Undang-undang tentang Perseroan Terbatas, dilakukan penyesuaian sehingga bentuk perusahaan menjadi Perseroan Terbatas Taman Rekreasi & Hotel Selecta disingkat PT. Selecta Strategi pengelolaan ada 4 divisi, yaitu taman rekreasi, hotel, agro, dan restoran, dari keempat divisi yang menjadi unggulan adalah taman rekreasi. Produk-produk yang dikembangkan PT. Selecta, yaitu perdagangan berupa souvenir, buah-buahan sayur-sayuran, kelinci, semuanya ini bergabung dalam suatu kelompok atau paguyuban. Menambah kolam renang dari yang semula hanya untuk anak-anak sekarang untuk dewasa juga tersedia, yang juga dilengkapi dengan beragamnya permainan. Menyediakan menu-menu khas dari daerah. Pengembangan baik bangunan, ruang maupun fasilitas hotel. Sedangkan untuk kegiatan pembinaan dan pelatihan yang dilakukan oleh PT. Selekta, yaitu pemberdayaan pedagang melalui pinjaman modal koperasi, pelatihan tentang penataan barang dagangan, pelatihan tentang manajemen pengelolaan keuangan, pembinaan tentang etika pelayanan pedagang terhadap konsumen Perkembangan usaha dari tahun ke tahun cenderung meningkat terbukti dari awalnya 50 kios, sekarang menjadi 200. Luas area terjadi peningkatan, terbukti bertambahnya hasil dari agro dan taman parkir. Peran PT. Selecta terhadap Pemkot Batu Malang sangat tinggi dalam kaitan pajak pendapatan sebesar 1,2 milyar per tahun dari pengunjung rekreasi disisihkan Rp. 100 untuk pemerintah Desa. Potensi alam yang ada di daerah batu malang, bahwa masyarakat di sekitar daerah itu bisa hidup lebih sejahtera dengan kegiatan wisata dan kegiatan agro, baik itu tanaman hias, apel, sayur mayur, selain itu dapat juga mendapat penghasilan dari perdagangan, jasa. Modal dari potensi alam yang menarik bagi wisatawan karena banyak wisatawan tertarik oleh kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan di alam terbuka. Dalam kegiatan pariwisata jangka pendek, pada akhir pekan atau dalam masa liburan, orang sering mengadakan perjalanan sekadar untuk menikmati pemandangan atau suasana pedesaan atau kehidupan di luar kota. Wisatawan yang mencari ketenangan di tengah alam yang iklimnya nyaman, suasananya tentram, pemandangannya bagus dan terbuka luas. Wisatawan yang menyukai tempat-tempat tertentu dan setiap kali ada kesempatan untuk pergi, mereka kembali ke tempat-tempat tersebut. Alam juga sering menjadi bahan studi untuk wisatawan budaya, khususnya widya wisata. Alasan wisatawan berkunjung ke Selekta antara lain, tempat luas, memiliki variasi tempat yang dikunjungi, harga sangat terjangkau, lokasinya sangat strategis. Produk yang paling disukai adalah, makanan kecil, yang harganya sangat murah. Wisatawan merasa betah dan ingin terus kembali ke Selecta karena ada dua hal penting , yaitu pertama, pelayanan yang baik. Bayangkan, bila wisatawan sudah datang jauh-jauh, merencanakan perjalanannya sedemikian rupa, serta mengeluarkan uang yang tidak sedikit, tapi ketika datang ke daerah kita ternyata mereka menemui petugas yang kasar, tidak sopan dan menipu penumpang, atau pedagang asongan yang memaksa untuk membeli dagangan, atau akomodasi yang kotor serta warung makan dengan makanan dan minuman yang kotor dan tidak enak. Kedua, menjaga keindahan obyek wisata dan kelestarian alam, serta budaya karena hal tersebut merupakan aset pariwisata. Cara yang dilakukan mewujudkan hal tersebut, tujuh unsur tersebut penting yang diterapkan untuk memberikan pelayanan yang baik serta menjaga keindahan dan kelestarian alam dan budaya di Selecta, yaitu Aman : Keadaan ini dapat tercermin dari keadaan seperti aman dari pedagang-pedagang asongan yang memaksa wisatawan untuk membeli, aman dari pencopetan, pencurian dan lain sebagainya. Kondisi aman juga dapat tercermin dari penggunaan peralatan keselamatan saat berwisata (misal: helm, pelampung, P3K, tali dll.), serta informasi yang jelas mengenai kondisi yang akan dihadapi oleh wisatawan (misal: jalan mendaki, terjal, trek dengan batu besar yang sulit, musim hujan yang mengakibatkan

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

jalan licin, dll). Tertib : Wisatawan akan merasa senang apabila tempat yang didatanginya berada dalam kondisi yang tenang dan teratur. Kondisi seperti ini bisa diciptakan dengan ketertiban, salah satu cara untuk menciptakan ketertiban adalah dengan menetapkan harga yang jelas karena wisatawan lebih senang dengan harga yang pasti. Wisatawan hanya memilih jasa dan barang dengan harga tetap dan/atau rasional (yaitu harga yang sesuai dengan kualitas jasa/barang yang diberikan). Indah : meskipun sederhana, lokasi yang nyaman, rapi dan bersih dapat menciptakan keindahan tersendiri. Oleh karena itu, jagalah keindahan lingkungan sekitar kita. Ramah : Senyum ramah yang tulus dan tidak dibuat-buat saat menyambut wisatawan adalah salah satu hal yang membuat mereka betah di tempat kita. Perilaku tidak sopan dan kasar dari penduduk setempat akan membuat perjalanan wisatawan tidak menyenangkan. Kenangan : Apa yang dinikmati oleh wisatawan selama di tempat yang dikunjunginya tidak bisa dibawa pulang, kecuali cenderamata dan kenangan indah. Namun wisatawan dapat membawa pulang kenangan indah dari daerah yang dikunjunginya. Kenangan indah, keramahtamahan dan kepuasan adalah hal yang tidak terbeli dan selalu membuat wisatawan ingin kembali. Pelestarian : Prinsip kelestarian pada ekowisata adalah kegiatan ekowisata yang dilakukan tidak menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan dan budaya setempat.

3. Pemanfaatan Kawasan Wisata Selecta bagi Peningkatan Ekonomi Masyarakat


Ekowisata juga membuka peluang ekonomi bagi masyarakat terlebih lagi apabila perjalanan wisata yang dilakukan menggunakan sumber daya lokal seperti transportasi, akomodasi dan jasa pemandu. Ekowisata yang dijalankan harus memberikan pendapatan dan keuntungan (profit) sehingga dapat terus berkelanjutan. Untuk dapat mewujudkan hal itu, yang penting untuk dilakukan adalah memberikan pelayanan dan produk wisata terbaik dan berkualitas. Untuk dapat memberikan pelayanan dan produk wisata yang berkualitas, akan lebih baik apabila pendapatan dari pariwisata tidak hanya digunakan untuk kegiatan pelestarian di tingkat lokal tetapi juga membantu pengembangan pengetahuan masyarakat setempat, misalnya dengan pengembangan kemampuan melalui pelatihan demi meningkatkan jenis usaha/ atraksi yang disajikan Pedagang Pasar Windu dilebur menjadi Pedagang pasar Wisata Selecta yang tergabung dalam satu wadah organisasi mandiri. Pengelolaan kebersihan, keamanan dan retribusi dibawah pengawasan manajer unit taman rekreasi Selecta, sedangkan di dalam intern pedagang dibentuk Paguyuban Pedagang Pasar Selecta. Tujuan pembangunan pasar wisata Selecta sebagai bentuk tanggung jawab sosial PT. Selecta kepada masyarakat sekitar dengan cara memberikan peluang kerja kepada masyarakat dengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Pelibatan masyarakat dalam kegiatan ekonomi di kawasan wisata Selecta dilakukan sejak dibangun dan dikelola kembali tahun 1950. Pada awalnya model penjualan mereka dilakukan secara terbuka dan bebas, namun kemudian ditata dalam satu kawasan dan dibuatkan kios yang kemudian menjadi Pasar Windu. Seiring dengan bertambahnya wisatawan dan banyaknya kendaraan, maka jalan utama menuju Taman Rekreasi Selecta sering macet, maka dipindahkanlah lokasi Pasar Windu ke atas lapangan parkir bus yang letaknya di atas Hotel Selecta II, kemudian pada tahun 1970 berkembang produk yang ditawarkan di Pasar Windu bertambah kios souvenir, kios makanan dan jumlah pedagangnya pun bertambah menjadi 125 orang. Seiring dengan tuntutan keadaan wisatawan yang semakin meningkat, tahun 1997 Selecta membeli lahan baru, yang kemudian ditata untuk tempat parkir yang luas, dilengkapi dengan kios buah, kios sayur, kios tanaman hias kios souvenir, kios kelinci dan warung makan yang lebih memadai dan jumlahnya sekitar 200 buah. Pembangunan kios-kios ini murni dari PT. Selecta, sejak itu Pasar Windu dilebur menjadi bagian PT. Selecta.

Vibriza Juliswara Pengembangan dan Pemanfaatan Ecotourisme sebagai Entitas Ekonomi bagi Masyarakat di Selecta Batu Malang Jawa Timur

4. Keterlibatan Masyarakat di PT. Selecta dalam Bentuk Kepemilikan Saham dan Sebagai Karyawan
Menurut sejarahnya, modal dasar PT. Selecta pada saat berdirinya berjumlah Rp 500.000,- (limaratus ribu rupiah). Modal sebanyak itu terbagi atas 5.000 lembar saham sehingga nilai nominalnya mencapai Rp 100,- (seratus rupiah) per lembar saham. Sampai saat ini, modal dasar sudah mengalami perubahan sebanyak dua kali dan nilainya sekarang mencapai Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Dengan jumlah saham yang tetap sebanyak 5.000 lembar, maka nilai per lembar sahamnya adalah Rp 200.000,(dua ratus ribu rupiah). Namun demikian nilai pasar dari saham jauh di atas itu, dimana nilainya hampir mencapai Rp 3.500.000,- (tiga juta lima ratus ribu rupiah) per lembar saham. Jumlah pemegang saham mencapai 1.110 orang dan sebagian besar berdomisili di wilayah Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu). Jumlah kepemilikan saham relatif penyebar, dimana hanya ada satu orang yang memiliki saham sebanyak 126 lembar. Disamping menikmati deviden, para pemegang saham memiliki kemudahan untuk menikmati fasilitas yang dimiliki oleh PT. Selecta. Misalnya, setiap dua tahun sekali para pemegang saham mendapat jatah gratis untuk menginap semalam di hotel, dan mendapatkan 5 tiket gratis untuk masuk Selecta. PT. Selecta memiliki aturan tersendiri mengenai jumlah suara yang dimiliki oleh para pemegang saham. Dimana aturannya adalah setiap satu lembar saham memiliki satu suara. Ketentuan ini berlaku sampai jumlali enam lembar saham. Kepemilikan lebih dari enam lembar saham, memiliki jumlah maksimum enam suara. Sehingga jumlah suara yang dimiliki oleh orang yang memegang saham sebanyak 126 lembar atau 6 lembar besarnya sama, yaitu masing-masing enam suara. Pada saat sekarang ini, ada tiga andalan fasilitas rekreasi yang ditawarkan oleh usaha. swasta ini, yaitu pemandian, restoran dan hotel. Sebelumnya pernah memiliki usaha kebun apel, tetapi karena apel tidak lagi menjadi komoditi yang menguntungkan maka usaha ini dihentikan. Sekitar 90 karyawan dari PT. Selecta sekaligus sebagai pemegang saham. Ada pembatasan jumlah suara bagi pemegang saham yang memiliki saham lebih dari enam lembar. Saham ke-satu sampai ke-enam memiliki masing-masing satu suara. Tetapi lebih dari enam lembar, jumlah suaranya tetap enam. Karyawanya PT. Selecta hampir semuanya berasal dari Desa Tulungrejo dan sekitarnya. Sejak tahun 2007, diperlakukan pembatasan jumlah karyawan dari setiap rumah tangga yang boleh bekerja di PT. Selecta. Aturannya adalah setiap satu rumah tangga hanya ada satu anggota keluarga yang boleh bekerja di PT. Selecta. Sebelum itu, bisa saja semua anggota rumah tangga bekerja di PT. Selecta. Karyawan dari PT. Selecta memiliki koperasi simpan pinjam. Disamping melayani kebutuhan dana bagi anggotanya, koperasi ini mendapatkan order bisnis dari PT. Selecta, yaitu sebagai pemasok bahan pangan bagi kebutuhan makan karyawan PT. Selecta. Semua praktek tersebut menggambarkan betapa kuatnya budaya PT. Selecta dalam melindungi kepentingan ekonomi masyarakat sekitar di mana pemisahaan itu berada. Disamping itu, PT. Selecta juga memberikan dampak yang positip bagi tumbuhnya usaha-usaha kecil di sekitarnya, seperti warung, ikan hias, budidaya dan penjualan tanaman hias di sekitar jalan menuju Selecta. Perlu diketahui bahwa usaha tanaman hias memiliki sumbangan besar terhadap citra Batu sebagai kota wisata alam. Ringkasnya, warna kerakyatan dari PT. Selecta sangat kental dan nilai-nilai kekeluargaan yang diwariskan oleh para pendirinya tetap dipegang teguh dalam menjalankan praktek bisnisnya. Organisasi bisnis merupakan bangunan kolektif yang terbentuk karena adanya hubungan perjanjian yang dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu aktivitas produktif. Kondisi seperti ini juga berlaku bagi PT. Selecta. Seperti telah disebutkan, terdapat hubungan emosional yang sangat erat antara karyawan, perusahaan dan masyarakat sekitar. Sejarah berdirinya dari lingkungan sosialnya, memilki pengaruh yang sangat kuat terhadap munculnya sifat kebersamaan dalam penyelenggaran kegiatan bisnisnya. Disamping memberikan pengaruh yang positip, sifat kebersaman dan kekeluargaan juga memiliki pengaruh yang kurang bagus terhadap perjalanan PT. Selecta. Karyawan yang juga berstatus pemilik

10

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

menempati posisi yang tersebar sehingga mereka mengetahui dengan benar segala aktivitas harian (termasuk aktivitas keuangan) perusahaan. Dalam kondisi seperti ini sangat sulit bagi pihak manajemen untuk bertindak atas dasar kepentingannya (problem moral hazard sulit untuk muncul). Dengan sistem pengelolaan yang didasari oleh semangat kebersamaan tinggi mampu meminimkan biaya transaksi internal perusahaan PT. Selecta yang biasanya hal seperti ini menjadi persoalan yang pelik bagi perusahaan berbentuk perseroan terbatas. Pembatasan tentang pihak manajemen yang harus berasal dari orang dalam, memang telah mampu mengatasi persoalan informasi tidak simetris dalam perusahaan, tetapi hal ini memiliki implikasi yang kurang bagus bagi perkembangan PT. Selecta. Persoalan ini menjadi lebih nyata mengingat SDM yang dimiliki oleh PT. Selecta berasal daerah sekitar yang umumnya memiliki kualitas pendidikan yang kurang bagus. Kebijakan perekrutan karyawan di masa lalu yang tidak mementingkan kualitas tetapi lebih memperhatikan asal daerah, memiliki andil yang besar terhadap rendahnya kualitas SDM yang dimiliki oelh PT. Selecta. Dengan kualitas SDM seperti ini, sulit mengharapkan munculnya ivovasi-inovasi kreatif dari dalam untuk memajukan perusahaan. Masuknya manajemen dari luar yang membawa ide-ide inovatif seririg mengahadapi tantangan yang besar karena dianggap sebagai ancaman bagi kepentingan sebagian besar karyawan. Untuk masa lalu, model pengelolaan seperti ini tidak banyak menimbulkan masalah yang serius karena Selecta menjadi pemain tunggal untuk usaha rekreasi keluarga di Kota Batu. Namun dengan berkembangnya tempat rekreasi yang lebih menarik di Batu, seperti Jatim Park dan Agrowisata yang terus melakukan inovasi kreatif yang cepat. keberlangsungan PT. Selecta akan terancam. Inilah pekerjaan rumah yang harus dicarikan jawabannya.

KESIMPULAN
1. Potensi alam di kawasan Selecta Batu Malang sebagai daerah pengembangan ekowisata dapat membuat masyarakat di sekitar daerah itu bisa hidup lebih sejahtera dengan kegiatan wisata dan kegiatan agro, baik itu tanaman hias, buah-buahan apel, sayur mayur, selain itu dapat juga mendapat penghasilan dari perdagangan, jasa. Ekowisata yang dijalankan harus memberikan pendapatan dan keuntungan (profit) sehingga dapat terus berkelanjutan. Untuk dapat mewujudkan hal itu, yang penting untuk dilakukan adalah memberikan pelayanan dan produk wisata terbaik dan berkualitas. Untuk dapat memberikan pelayanan dan produk wisata yang berkualitas, akan lebih baik apabila pendapatan dari pariwisata tidak hanya digunakan untuk kegiatan pelestarian di tingkat lokal tetapi juga membantu pengembangan pengetahuan masyarakat setempat. Bentuk pelibatan masyarakat dalam aktivitas ekotourim di Kawasan Selecta Batu Malang dengan : Penyertaan sebagai pemilik saham PT. Selecta yang berjumlah 1.110 orang yang sebagian besar berdomisili di wilayah Malang Raya dan sebagai Karyawan dan Pedagang pasar Wisata Selecta yang tergabung dalam satu wadah organisasi mandiri yang dibentuk Paguyuban Pedagang Pasar Selecta.

2.

3.

Vibriza Juliswara Pengembangan dan Pemanfaatan Ecotourisme sebagai Entitas Ekonomi bagi Masyarakat di Selecta Batu Malang Jawa Timur

11

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 2004-a. What isEcotourism. The International Ecotourism Society Washington DC : www. ecotourim.org. Diakses tanggal 15 Oktober 2012 Avenzora, Ricky. 2003. Ekotourisme: Evaluasi Konsep, Media Konservasi Vol. No.2 Juni 2003 Epler Wood, Megan, Ecotourism Then & NowColumn for the 20th Anniversary of The International Ecotourism Society, November 2010 Ardika, I Gede. 2001, Paradigma Baru Pariwisata Kerakyatan Berkesinambungan, Makalah. Damanik, Janianton and Helmut F. Weber. 2006. Perencanaan Ekowisata. Dari Teori ke Aplikasi, Pusat Studi Pariwisata (PUSPAR) UGM dan ANDI Press. Yogyakarta. Fandeli, Chafid dan Muhammad Nurdin. 2005. Pengembangan Ekowisata Berbasis Konservasi di Taman Nasional, Fakultas Kehutanan UGM, Pusat Studi Pariwisata UGM, dan Kantor Kementerian Lingkungan Hidup. Yogyakarta. I Gde Pitana dan Putu G. Gayatri, Sosiologi Pariwisata, Kajian Sosiologis terhadap Struktur, System, dan Dampak-dampak Pariwisata (Yogyakarta: Andi, 2005) I Gusti Ngurah Bagus, Dari Obyek ke Subyek : Memanfaatkan Peluang Pariwisata Sebagai Industri Jasa Dalam Pembangunan Dalam Ilmu-ilmu Humaniora (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1991). Raharjo, Budi Ekoturisme Berbasis Masyarakat dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Pustaka Latin, 2004 Sudarto G. 1999. Ekowisata: Wahana Pelestarian Alam Pengembangan Ekonomi Berkelanjutan dan Pemberdayaan Masyarakat, Yayasan Kalptaru Bahari bekerjasama dengan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bandung Soekanto,soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar(Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1990) Widyastuti, Tri Rini Dampak Peluang Kerja Industri Pariwisata Di Daerah Istimewa Yogyakarta,Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, 1997

PENGEMBANGAN MODEL KELEMBAGAAN KERJASAMA ANTAR DAERAH DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PERBATASAN Sebagai Upaya Mengatasi Kegagalan Kerjasama Antar Daerah Dalam Pembangunan Infrastruktur di Perbatasan
Hendar Klestono bapakhendar@yahoo.com Program Studi Administrasi Negara STISIP Kartika Bangsa Yogyakarta

Abstract Decentralization, as mandated by Law No. 25 Year 1999, which was later revised by Act No. 32 of 2004 has implications for the development of regional decentralization. This means that area (district / city) has the authority and obligation to plan, implement, including development finance his area. Similarly, the construction of public infrastructure such as transport infrastructure, communications, water supply, agriculture and other economic infrastructure to be highly dependent of the planning process on local (district / city). The problem then arises when public infrastructure is to be built across the region. It means that the physical infrastructure, utilization and maintenance must traverse more than one autonomous region. Not infrequently appear bureaucratic obstacles, administrative and funding when these areas are crossed by public infrastructure does not have an agreement. Infrastructure so that the public need for the stunted built. Keyword: Infrastructure, Development, Regional Cooperation.

A. Latar Belakang
Otonomi daerah, sebagaimana diamanatkan Undang Undang No 25 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan UU No 32 Tahun 2004 membawa implikasi terhadap desentralisasi pembangunan daerah. Artinya Daerah (Kabupaten/Kota) memiliki kewenangan dan kewajiban untuk merencanakan, melaksanakan termasuk membeayai pembangunan daerah. Demikaian pula dengan pembangunan infrastruktur publik seperti infrastruktur transportasi, komunikasi, air minum, pertanian dan infrastruktur ekonomi lainnya menjadi sangat tergantung dari proses perencanaan di daerah (kabupaten /kota). Masalah kemudian muncul ketika infrastruktur publik yang harus dibangun bersifat lintas daerah. Artinya infrastruktur itu bangunan fisik, pemanfaatan dan pemeliharaannya harus melintasi lebih dari satu daerah otonom. Tidak jarang muncul hambatan birokratis, administratif dan pendanaan ketika daerah-daerah yang dilintasi infrastruktur publik tidak memiliki kata sepakat. Sehingga infrastruktur yang menjadi kebutuhan publik terhambat untuk dibangun. Kasus Gagasan Megapolitan (Kompas.com) yang kala itu digagas Gubernur DKI Sutiyoso adalah bentuk keputusasaan Pemda DKI menghadapi kenyataan bahwa infrastruktur jalan, pengendali banjir dan pengelolaan sampah ternyata harus diselesaikan secara lintas daerah. Padahal menyamakan persepsi antar Daerah untuk membangun infrastruktur publik lintas daerah bukan hal yang mudah.

Hendar Klestono Pengembangan Model Kelembagaan Kerjasama antar Daerah dalam Pembangunan Infrastruktur Perbatasan

13

B. Rumusan Permasalahan
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, merujuk juga dari penelitian Murbanto Sinaga (2005) yang membuktikan ada kecenderungan Pemerintah Daerah berjalan sendiri-sendiri (egosentrisme daerah) dan tak mau berkordinasi dengan Pemda tetangga dalam pembangunan daerah. Kasus serupa misalnya adalah pembangunan Jalan antara Medan-Binjai-Deli Serdang (Mebidang) (lihat M Sinaga:2006), dan pengadaan instalasi Air Bersih di Kota Yogyakarta serta Problem Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah di Kota Bandung; yang semakin menunjukkan dengan jelas bahwa ada persoalan pembangunan Infrastruktur lintas daerah yang dihadapi dalam era otonomi daerah dewasa ini. Padahal berbagai forum kerjasama antar daerah telah dirintis, misalnya Kartamantul (Yogyakarta-Sleman-Bantul), Mebidang (Medan-Binjai-DeliSerdang), Jratunseluna (Jragung-Tuntang-SerangLusi-Juana), dan Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi). Namun hingga kini forum itu belum beranjak bangkit dari sekedar forum komunikasi antar daerah menjadi institusi yang efektif mengakselerasi pembangunan infrastruktur publik lintas daerah. Pemerintah Propinsi sendiri sering tidak mampu mengambil peran itu karena keterbatasan kewenangan dan terutama keterbatasan pendanaan yang dialami. Beberapa model kerjasama antar daerah yang telah dikaji dan dicoba-terapkan perlu di kaji dan dikembangkan agar menjadi model efektif dan aplikabel.

C. Metode Penelitian
Untuk mengembangkan Model Kerjasama Antar Daerah yang lebih aplikatif dan mudah dilaksanakan, agar proses kerjasama antar daerah dalam pembangunan infrastruktur publik lintas daerah mampu menjawab kebutuhan infrastruktur tersebut. Yang meliputi: a. b. c. d. e. a. b. c. d. e. Peta permasalahan pembangunan infrastruktur Lintas Daerah Kekuatan (S), Kelemahan(W) Peluang (O) dan tantangan kelembagaan pembangunan infrastruktur, khususnya infrastruktur Lintas Daerah (perbatasan) Kajian literatur tentang model-model kerjasama antar daerah Penyusunan Prototipe Model Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah untuk Pembangunan Infrastruktur linta daerah. FGD untuk mempertajam model yang disusun Pengembangan Model Kelembagaan Antar Daerah Benchmarking beberapa kerjasama antar daerah yang berhasil Pengumpulan data tambahan untuk mempertajam rumusan kelembagaan Penyusunan draft kebijakan pembentukan kelembagaan antar daerah. Sosialisasi Model Kebijakan Antar Daerah.

Tahun kedua penelitian ini diharapkan dapat memberikan luaran berupa:

D. Tinjauan Pustaka 1. Problem Pembangunan Infrastruktur Publik Lintas Daerah di Era Otonomi belum Terpecahkan
Di era otonomi, pembangunan infrastruktur publik lintas daerah menjadi isu yang signifikan. Ini diakibatkan sifat infrastruktur publik yang cenderung mahal, tidak memberi manfaat langsung bagi daerah, dan yang paling penting bersifat lintas daerah. Infrastruktur pengendali banjir di Jakarta (Banjir Kanal) yang dibangun dengan ongkos sosial dan ekonomi yang cukup mahal, ternyata tidak pernah bisa

14

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

mengatasi persoalan banjir tahunan, manakala konservasi daerah resapan air dan perambahan daerah resapan air di Bogor dan wilayah selatan Jakarta tidak ditangani dengan baik. Persoalan pembangunan instalasi pembuangan akhir (TPA) sampah di Denpasar, dan Kota Bandung, Yogyakarta, Medan dan kota-kota lain selalu tidak bisa ditangani sendiri oleh kota-kota itu. (lihat Kompas.com, M Sinaga,2006; Pustra PU:2007). Hal yang sama terjadi pada infrastruktur jalan-jembatan, irigasi, sanitasi dan jaringan air minum. Padahal semua infrastruktur itu amat mempengaruhi hajat dan kualitas hidup masyarakat luas. Beberapa aktor, seperti pemerintah pusat dan Pemerintah Propinsi serta berbagai jalur pendanaan seperti DAK (dana alokasi khusus), Dana Dekonsentrasi barangkali dapat menjadi alternatif pemecahan masalah; namun kenyataannya alternatif tersebut tidak memadai dibandingkan dengan skala persoalan yang begitu banyak. Oleh karena itu inisiatif daerah yang bersinggungan dengan infrastruktur tersebut perlu bekerja sama untuk mengatasi pembangunan infrastruktur publik lintas daerah. Sayangnya, Indonesia dan Pemerintah Daerah belum banyak memiliki pengalaman dan terutama model yang dapat menjadi banchmark bagi daerah untuk merealisasi niat itu.

2. Kegagalan Pembangunan Infrastruktur Publik Lintas Daerah dan Kerjasama antar Daerah Terus Berlanjut.
Tidak dapat dipungkiri bahwa otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan kepada pemerintah daerah telah merubah cara pandang aktor daerah, baik pemerintah daerah, DPRD, dan kekuatan-kekuatan sosial politik di daerah menjadi cenderrung inward looking dalam menghadapi persoalan-persoalan pembangunan. Setiap perumusan kebijakan selalu diorientasikan kepada pertanyaan apa manfaat bagi daerah?. Cara pandang kemasing-masingan (Pratikno:2007) ini menjadikan gerakan daerah-sentris menjadi mengental. Padahal berbarengan dengan otonomi dan desentralisasi, persoalan potensi daerah yang merupakan faktor utama yang secara aktual menentukan derajat otonomi daerah dapat menjadi variabel yang begitu penting. Pada era ini, daerah yang memiliki potensi pembangunan berlimpah akan mampu mengakselerasi pembangunan daerah. Celakanya satuan daerah otonom (Kota dan Kabupaten) seringkali tidak mememiliki potensi yang cukup untuk mengatasi persoalan pembangunan secara otonom. Persoalan menjadi begitu pelik ketika cara pandang yang daerah-sentris, sumberdaya yang terbatas berhadapan dengan persoalan pembangunan infrastruktur publik yang dalam banyak kasus bersifat lintas daerah. Yang kemudian terjadi adalah terabaikannya infrastruktur publik lintas daerah, karena alasan-alasan keterbatasan anggaran daerah, perlu kordinasi dengan daerah lain, manfaat bagi daerah sendiri kurang sepadan dengan beaya yang harus di tanggung, dan tiadanya aktor yang berinisiatif untuk memulai. Dalam situasi demikian, Kerjasama antar daerah harus dilakukan. Melalui Kerjasama sharing informasi, cara pandang, sharing beban dan sharing tanggung jawab dapat dirumuskan; sehingga problem infrastruktur lintas daerah dapat diatasi. Namun sayangnya, berbagai forum kerjasama yang sudah dibentuk, sebagian besar masih belum mampu mengambil peran yang signifikan. Forum itu kemudian hanya berfungsi sebagai forum diskusi, tukar informasi, keluhan tanpa mampu mengambil keputusan yang berarti. (lihat laporan studi M Sinaga,2006; Pratikno dkk,2007; Pustra Dep. PU,2007). Oleh karena itu perlu dilakukan kajian intensif untuk merumuskan model kerjasama antar daerah yang memiliki kapabilitas memadai untuk memecahkan problem infrastruktur lintas daerah

Hendar Klestono Pengembangan Model Kelembagaan Kerjasama antar Daerah dalam Pembangunan Infrastruktur Perbatasan

15

KEUTAMAAN PENELITIAN:
Otonomi Daerah: Daerah Sentris dalam Perencanaan & Pelaksanaan Pembangunan PROBLEM Pembangunan Infrastruktur Perbatasan

Kelembagaan yang sudah ada, ternyata belum efektif

Kelembagaan baru yang lebih efekti.

3. Ironi Otonomi Daerah dan Pembangunan Infra Struktur Lintas Daerah


Upaya masyarakat dan pemerintah daerah untuk memperoleh otonomi yang lebih besar dari pemerintah pusat seakan mendapatkan momentum, ketika gelombang reformasi politik menumbangkan rezim Suharto pada pertengahan tahun 2008. Sejalan dengan tumbangnya pemerintahan orde baru dimulailah era otonomi daerah yang diawali dengan diterbitkannya UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Euforia semangat otonomi daerahpun memuncak di antara tahun 1999 hingga 2001 ini. Daerah yang selama ini hanya menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat, tiba-tiba memiliki kewenangan besar dan mengelola dana besar untuk dikelola secara otonom Namun sayangnya, pesta tak berlangsung lama. Otonomi daerah yang diyakini publik sebagai solusi bangsa ini telah dianggap melenceng dari tujuan semula. Keluhan, kritik dan makian berkembang di berbagai forum seminar, media massa, kalangan perumus kebijakan dan pembicaraan sehari-hari masyarakat (Karim Abdul Gaffar: 2003) Opini ini nampaknya berkembang berkait dengan penilaian publik atas profil, perilaku dan kebijakan petinggi daerah selama ini iauh dari harapan (Pratikno:2007). Pratikno mengidentifikasi berbagai persoalan yang melanda otonomi daerah, seperti sinisme dan pesimisme atas profil dan kinerja DPRD, sinsime dan kekhawatiran lahirnya raja-raja kecil daerah yang bertindak semau gue, kinerja pelayanan publik yang tak kunjung membaik (Pratikto: 2007). Bahkan laporan Kompas (24 April 2009), menunjukkan betapa terbengkalainya Infrastruktur Publik di era otonomi daerah. Namun yang paling penting dari semua kegagalan itu adalah lahirnya cara berfikir kemasingmasingan (Pratikno:2007), yakni cara pandang yang daerah sentris dalam menyikapi persoalan pembangunan. Cara pandang ini menjadi komplikatif ketika Daerah merespons persoalan-persoalan yang lebih luas; yakni persoalan yang tidak dapat diselesaikan secara parsial. Padahal berbagai persoalan, seringkali bersifat intas daerah. Persoalan penanganan infrastruktur publik seperti DAS, Jalan raya antar daerah, Kanal Pengendali Banjir, Instalasi air bersih dan limbah, transportasi hampir selalu bersifat lintas daerah. Fakta ini kemudian menimbulkan persoalan ketika berhadapan dengan pemerintah daerah yang cenderung inward looking .(Pratikno 2004) Fenomena inilah yang kemudian dikatakan orang sebagai ironi otonomi daerah.

16

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

4. Keniscayaan Kerjasama Antar Daerah


Kerjasama antara daerah adalah perikatan antar dua atau lebih pemerintah daerah untuk mengatasi persoalan bersama. Kerja sama semacam ini niscaya harus dilaksanakan karena kenyataannya banyak persoalan ekonomi, sosial, budaya dan pelayanan publik yang bersifat lintas daerah. Kerjasama semacam ini mudah dilaksanakan (dipaksakan) ketika dominasi Pemerintah Pusat atas pemerintah daerah atas perencanaan dan pendanaan pembangunan masih kuat. Namun pada saat peran itu dilimpahkan kepada daerah; kerjasama yang mestinya menjadi keniscayaan tidaklah mudah dilakukan. Padahal menurut Pratikno (2004) ada beberapa alasan kuat atas terjalinnya kerjasama antar daerah itu: pertama, logika pengaturan cara lama yang didasarkan atas regulasi dan kontrol yang hierarkhis sudah tidak memadai dikarenakan sudah tersebarnya kekuasaan ke tangan banyak aktor (baca:pemerintah daerah) Kedua, peluang dan tantangan yang dihadapi pemerintah daerah seringkali bersifat lintas teritori, sehingga membutuhkan penanganan yang sinergis antar daerah yang berhadapan dengan tantangan itu. Ketiga, kerjasama antar daerah dapat memperkuat posisi tawar daerah tatkala harus berhadapan dengan aktor luar dan keempat, kerjasama antar daerah mampu mengatasi keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Dalam situasi demikian inilah, maka konsep network governance menemukan konteksnya.

E. Hasil Penelitian dan Analisis 1. Model- Model Kerjasama Antar Daerah


Desentralisasi dan otonomi daerah telah merubah pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (hubungan vertikal), maupun antara pemerintah daerah satu dengan pemerintah daerah yang lain (hubungan horisontal). Secara vertikal, pemerintah daerah kini adalah entitas politik dan pemerintahan yang relatif otonom dan memiliki kewenangan untuk mengelola pembangunan daerahnya sendiri; Pemerintah daerah tidak lagi menjadi sekedar kepanjangan tangan pemerintah pusat. Dalam perspektif hubungan antar daerah (horisontal), maka daerah yang satu adalah daerah otonom atas daerah yang lain. Dalam relasi seperti itu, daerah yang satu terpisah secara politis dan kelembagaan atas daerah yang lain. Di depan telah disampaikan, bahwa pergeseran itu menuntut adanya format baru hubungan antar daerah; sebagai akibat adanya tantangan dan peluang pembangunan yang sering bersifat lintas daerah. Intergovernmental network atau jaringan kerjasama antar daerah (baik secara vertikal maupun secara horisontal ) dianggapn pilihan terbaik dalam konteks otonomi daerah. Di banyak negara, praktek intergovernmental network juga telah lama di praktikkan. SALGA (South Africa local Government) di Afrika Selatan, LCP (the League of Cities of Philippines) dan CoR (Commitee of The Regions) adalah kerja sama antar daerah yang telah eksis menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi bersama. Di Indonesia, telah lama dikenal Kartamantul (Yogyakarta, Sleman dan Bantul), Jabotabek (Jakarta Bogor Tangerang Bekasi), Mebidang (Medan Binjai Deli Serdang) adalah contoh-contoh networking antar daerah yanag telah di bentuk. (Pustra Dep. PU:2007) Pada kenyataannya ada asosiasi antar daerah yang dibentuk untuk menangani masalah yang spesifik, namun ada juga yang dibentuk sebagai ajang komunikasi antar daerah untuk membicarakan persoalan persoalan apa saja yang dianggap urgen untuk dibicarakan. Dalam posisi terakhir ini Kerjasama antar daerah lebih berfungsi sebagai Forum atau bahkan ada yang menyebut sebagai Sekretariat Bersama. Secara konseptual, penelitian Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM dalam sebuah penelitiannya menyebutkan manfaat-manfaat yang dapat diraih dalam kerjasama antar daerah:

Hendar Klestono Pengembangan Model Kelembagaan Kerjasama antar Daerah dalam Pembangunan Infrastruktur Perbatasan

17

a.

b.

c.

d.

Manajemen Konflik antar Daerah; Kerjasama antar daerah dapat menjadi ajang untuk mengurai dan mengelola potensi konflik antar daerah; menjadi sesuatu yang lebih produktif. Forum ini dapat juga dipakai untuk saling memahami posisi masing-masing daerah dalam menyikapi sebuah persoalan. Efisiensi dan Standardisasi Pelayanan Publik. ; Kerjasama antar daerah dapat dipakai untuk menjadi collective action dalam pelayanan publik; agar standard dan mutu pelayanan publik antar daerah yang berhimpitan tidak mengalami ketimpangan. Pengembangan Ekonomi; Kerjasama antar daerah dapat dipakai menjadi instrumen pendorong pengembangan sebuah wilayah. Potensi ekonomi yang tidak bernilai oleh satu daerah, bisa jadi memiliki potensi yang meningkat tatkala dikaitkan dengan potensi daerah lain. Melalui upaya ini, maka potensi sumberdaya pembangunan dapat ditingkatkan efisiensi dan efektivitasnya Pengelolaan Lingkungan. Banjir di jakarta misalnya tidak pernah dapat diatasi jika network antara daerah sekitarnya (Bogor, Banten dan Tangerang) tidak dapat di jalin. Demikian pula dengan upaya konservasi lingkunngan yang sering bersifat lintas daerah. (Pratikno dkk, JIP : 2007).

Manfaat networking antar daerah di atas bisa saja diperoleh karena dalam mekanisme government networking dapat dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut: a. b. c. d. e. Identifikasi masalah secara bersama Pertukaran informasi antar daerah Pertukaran sumberdaya pembangunan Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan Perumusan strategi atau program bersama antar daerah. (Pratikno : 2007)

Secara umum persoalan antar daerah, termasuk infrastruktur publik amat beragam potret maupun sifatnya. Karena itu, basis yang dapat dipakai sebagai dasar kerjsama antar daerah juga bisa beraneka ragam; misalnya: a. Basis ketetanggaan secara geografis. Kesamaan geografis sering menjadi cermin kesamaan persoalan yang dihadapi secara bersama; sehingga basis ketetanggan georafis cukup kuat dijadikan alasan kerjasama. Basis kesamaan potensi. Kesamaan potensi antar daerah bisa menjadi tidak sehat tatkala menimbulkan konflik dan persaingan yang tidak sehat pula. Sebaliknya dengan bekerjasama, potensi yang dimiliki bisa dikelola bersama secara lebih efisien. Basis kesetaraan permasalahan. Biasanya kesamaan persoalan yang dihadapi antar daerah, dapat menjadi alasan yang kuat untuk bekerjasama.

b.

c.

Alasan lain yang dapat menjadi dasar kerjasama adalah kesamaan kepentingan atas sebuah persoalan yang dihadapi secara lintas daerah. Kesamaan kepentingan atas infrastruktur publik, seperti jalanraya, dermaga, transportasi, air bersih dan air limbah serta irigasi dapat saja menjadi basis pendirian sebuah forum kerjasama antar daerah. Bentuk dan metode kerjasama antar pemerintah daerah meliputi (1) intergovernmental service contract; (2) joint service agreement, dan (3) intergovernmental service transfer (lihat Henry, 1995). Jenis kerjasama yang pertama dilakukan bila suatu daerah membayar daerah yang lain untuk melaksanakan jenis pelayanan tertentu seperti penjara, pembuangan sampah, kontrol hewan atau ternak, penaksiran pajak. Jenis kerjasama yang kedua diatas biasanya dilakukan untuk menjalankan fungsi perencanaan, anggaran

18

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

dan pemberian pelayanan tertentu kepada masyarakat daerah yang terlibat, misalnya dalam pengaturan perpustakaan wilayah, komunikasi antar polisi dan pemadam kebakaran, kontrol kebakaran, pembuangan sampah. Dan jenis kerjasama ketiga merupakan transfer permanen suatu tanggung jawab dari satu dearah ke daerah lain seperti bidang pekerjaan umum, prasarana dan sarana, kesehatan dan kesejahteraan, pemerintahan dan keuangan publik. Sementrara itu dilihat dari derajat kerja sama antar daerah, dapat dipilah dua bentuk kerjasama. Yang pertama handshake Agreement dan writen agreemen. (Rosen dalam Yeremias T Keban 2007). Bentuk handshake agreements merupakan bentuk yang banyak menimbulkan konflik dan kesalahpahaman (misunderstanding), sementara bentuk yang tertulis dibutuhkan untuk melakukan program kontrak, kepemilikan bersama, atau usaha membangun unit pelayanan bersama. Hal-hal yang harus diucapkan dalam perjanjian tertulis ini meliputi kondisi untuk melakukan kerjasama dan penarikan diri, sharing biaya, lokasi, pemeliharaan, skedul, operasi dan aturan kepemilikan sumberdaya bersama, kondisi sewa, dan cara pemecahan konflik . Rosen (1993: 218 222) menjelaskan bahwa pengaturan kerjasama antar pemerintah daerah terdiri atas beberapa bentuk; yaitu: a. Consortia: yaitu pengaturan kerjasama dalam sharing sumberdaya, karena lebih mahal bila ditanggung sendiri-sendiri; misalnya pendirian perpustakaan dimana sumberdaya seperti buku-buku dan pelayanan lainnya, dapat digunakan bersama-sama oleh mahasiswa, pelajar dan masyarakat publik, dari pada masing-masing pihak mendirikan sendiri karena lebih mahal. Joint Purchasing: yaitu pengaturan kerjasama dalam melakukan pembelian barang agar dapat menekan biaya karena skala pembelian lebih besar. Equipment Sharing: yaitu pengaturan kerjasama dalam sharing peralatan yang mahal, atau yang tidak setiap hari digunakan. Cooperative Construction: yaitu pengaturan kerjasama dalam mendirikan bangunan, seperti pusat rekreasi, gedung perpustakaan, lokasi parkir, gedung pertunjukan, dsb. Joint Services: yaitu pengaturan kerjasama dalam memberikan pelayanan publik, seperti pusat pelayanan satu atap yang dimiliki bersama, dimana setiap pihak mengirim aparatnya untuk bekerja dalam pusat pelayanan tersebut. Contract Services: yaitu pengaturan kerjasama dimana pihak yang satu mengontrak pihak yang lain untuk memberikan pelayanan tertentu, misalnya pelayanan air minum, persampahan, dsb. Jenis pengaturan ini lebih mudah dibuat dan dihentikan, atau ditransfer ke pihak yang lain . Pengaturan lainnya: pengaturan kerjasama lain dapat dilakukan selama dapat menekan biaya, misalnya membuat pusat pendidikan dan pelatihan (DIKLAT), fasilitas pergudangan, dsb.

b. c. d. e.

f.

g.

2. Prinsip Prinsip Jaringan Dalam Pengelolaan Kerjasama Antar Daerah


Kapasitas kerjasama antar daerah seringkali ditentukan oleh derajat sharing yang menjadi pilar terbentuknya kerja sama. Semakin tinggi sharing antar daerah dalam pola kerjasama, maka kerjasama yang dibangun akan memiliki kapasitas didalam mengatasi persoalan-persoalan yang dikerjasamakan. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa saharing sesungguhnya adalah inti dari kerjasama, bukannya manfaat yang selama ini banyak dipahami. Banyak hal yang dapat disharing-kan dalam kerjasama, seperti sharing bebanpengelolaan, pembeayaan, pengalaman, informasi dan tentu saja tanggungjawab. Yudhoyono (2002) menjelaskan sharing dalam kerjasama antara lain berupa sharing of experience, sharing of benefit dan sharing of burden. Faktor lain yang menentukan kapasitas kerjasama, adalah kemampuan mereka dalam mengkonversi sharing menjadi aksi bersama (collective antion). Hanya melalui mekanisme inilah maka kerjasama

Hendar Klestono Pengembangan Model Kelembagaan Kerjasama antar Daerah dalam Pembangunan Infrastruktur Perbatasan

19

yang dibangun dapat dipakai sebagai instrumen untuk mengatasi persoalan, termasuk didalamnya adalah persoalan pembangunan infrastruktur lintas daerah. Dalam salah satu kajian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Stretegis (Pustra) Dep. Pekerjaan Umum (2007) terungkap bahwa berbagai kerjasama antar daerah tak kunjung mampu merumuskan collective action untuk mengatasi persoalan lintas daerah. Oleh karena itu bisa dimengerti jika format kerjasama antar daerah saat ini masih dipandang sebagai forum komunikasi yang seringkali miskin aksi. (Pustra Dep. PU:2007) Dalam format kerjasama antar daerah, collective action yang dikembangkan dapat berbeda satu dengan yang lain. Hal itu ditentukan oleh dua faktor utama, yakni tingkatan kordinasi dan derajat kesamaan kepentingan antar daerah / aktor yang terlibat dalam kerjasama. Lars Carrison (1995) menjelaskan fenomena itu dengan menyebutnya sebagai The Logic oc collective action sebagai berikut:
The Logic of Collective Action
Interest Coordination Divergent High Low Policy Network Election Lars Carrison:1995. Commont Organization Riot

Dari elaborasi di atas dapat dipelajari bahwa collective action yang dapat dikembangkan dalam kerangka kerjasama dapat mengambil bentuk policy network, organization, election atau riot. Pembentukan Organisasi dalam kerjasama antar daerah adalah format ideal ketika kerjsama itu bercirikan koordinasi yang tinggi, dan adanya kesamaan interes diantara para aktor. Policy Network adalah format aksi kelompok yang paling ideal dalam kondisi koordinasi antar aktor tinggi, sekaligus juga interes yang berbeda dari para aktor. Sedangkan riot atau kerusuhan adalah collective action ketika diantara para aktor terikat dalam kordinasi yang longgar, namun memiliki kesamaan interes diantara mereka. Layaknya tanaman, maka kerjasama juga harus di maintain dan dikelola agar tumbuh semakin membesar dan memberi banyak faedah. Dalam konteks otonomi daerah, menurut Ari Ruhyanto (2007) dalam Pratikno (2007) ada banyak sekali faktor yang bermain dalam pengembangan kerjasama antar daerah. Beberapa faktor itu adalah : Adanya fokus outward diantara para aktor yang bekerja sama; Adanya keinginan bersama antar daerah yang tergabung, Adanya refleksi antar daerah yang tergabung;Ada kesadaran diri akan arti penting kerjsama antar daerah, adanya kesadaran untuk belajar dan berbagi, akuntabilitas, transparansi dan kelembagaan yang jelas.

F. Kesimpulan
Dari data yang terjaring di lapangan memiliki karakteristik: a. Rata-rata penelitian masih bersifat evaluasi dan bahkan deskripsi atas kerjasama eksisting. Sehingga hasilnya masih sekedar penggambaran yang cukup detail tentang kondisi, keberhasilan dan problem yang dihadapi kerjsama antar daerah. Tawaran format kerja sama memang sudah mulai diberikan (Pratikno, dkk., 2007), namun masih belum mampu menjadi rujukan pengambil kebijakan untuk mewujudkan kerjasama yang lebih efektif. Akibatnya sebagian besar kerjasama antar daerah masih berhenti sebatas sebagai forum komunikasi antar daerah.

20

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

b.

c.

Obyek penelitian masih bersifat umum; yaitu persoalan-persoalan pembangunan pada umumnya yang bersifat lintas daerah. M Sinaga (2006) misalnya memfokuskan perhatiannya pada persoalan pembangunan, Polokda UGM (2006, 2007) lebih pada persoalan manajemen pembangunan; Pustra Departemen PU (2007) lebih memfokuskan pertanyaan siapa yang menjadi regulator pembangunan di era otonomi daerah. Sementara itu, problem krusial dalam era otonomi adalah pembangunan infrastruktur lintas daerah, yang sifatnya padat modal (mahal), pemanfaatannya sering tidak setimbang antar daerah, dan model kerjasama untuk mengatasi persoalan itu belum memadai untuk dipakai sebagai rujukan. Sebagian besar model kerjasama diadopsi dari kerjasama antar swasta-swasta dan pemerintah-swasta. Dalam berbagai literatur dan hasil penelitian yang dikembangkan sebagai contoh kerjasama antar daerah, sebagian besar diambil dari model kerjasama di sektor privat. Padahal ada banyak perbedaan mendasar antara kerjasama privat dengan privat, dibandingkan dengan publik-publik (daerah-daerah). Kerjasama di sektor swasta (privat) mudah dilakukan, karena obyek yang dikerjakan mudah dinilai dengan uang; sehingga sharing pendanaan, tanggung jawab dan beban menjadi lebih mudah dilakukan. Sementara kerjasama publik-publik cenderung mengangkut penyediaan barang publik yang bersifat non rivalry, dan cenderung susah ditakar dengan uang. Pada situasi seperti ini amat susah menentukan sharing beban, kewajiban dan tanggungjawab dalam kerjasama. Padahal proses sharing inilah yang akan menentukan keberlanjutan kerjasama antar daerah. Karena itu, pengembangan model kerjasama antar daerah perlu dilakukan agar problem pembangunan infrastruktur publik lintas daerah dapat diatasi melalui kerjasama antar daerah yang efektif.

DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Arif., Barbara Hatley, Damien Kingsbury (ed);2000; Harapan dan Kecemasan: Menatap Arah Reformasi Indonesia; Yogyakarta:Bigfraf Carisson; Lars., 1995 Policy Making, Collective Action, and The Governability of Society.; Paper dipresentasikan dalam The Mini Conference on Political Order and Development Gaffar; Karim Abdul (ed).,2003., Kompleksitas Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia, JIP UGM Yogyakarta Henry, N. 1995. Public Administration and Public Affairs. Sixth Edition. Englewood Cliffs, N.J. : Prentice Hall. Kuswanto SA.,2006, Antara Sentralisasi dan Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Air., http://psdal. lp3es.or.id/opini.html Pratikno., 2004 Format Kelembagaan Kerjasama Antar daerah Kartamantul, Yogyakarta - Urban Quality GTZ dan Sekber Kartamantul, Pratikno (ed).,2007, Kerjasama Antar Daerah: Kompleksitas dan Tawaran Format Kelembagaan ; Yogyakarta Polokda JIP UGM Pustra, Dep. Pekerjaan Umum: (2007), Kajian Reformasi Badan Regulator di Lingkungan Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta - Pustra Dep. Pekerjaan Umum . Rosen, E.D. 1993. Improving Public Sector Productivity: Concept and Practice. London: Sage Publications, International Educational and Professional Publisher. Sinaga; Murbanto., 2006. Model Kerjasama Antar Daerah dalam Pembiayaan Pembangunan Daerah, Medan - USU Repository 2006.

Hendar Klestono Pengembangan Model Kelembagaan Kerjasama antar Daerah dalam Pembangunan Infrastruktur Perbatasan

21

Sekber Kartamantul, 2006, Membangun Kawasan Terpadu Perkotaan Kartamantul dengan Semangat Kebersamaan; Laporan Kegiatan Tahun 2005, Yogyakarta. Olson, Mancur., 1971., The Logic of Collective Action., Cambridge Harvard University Press.

PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM DESA (SPAMDES) DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Sudaru Murti murtizagita@yahoo.co.id Program Studi Sosiologi STISIP Kartika Bangsa Yogyakarta

ABTRACT This study aims; want to know monopolistic public organization that taps the source procurement of clean drinking water and healthy and is a basic human need. This is in line with expectations and the achievement of the MDGs RPJMN 2015, but the empirical experience of constraints on human and management system is still low and has not been effective. The study was based on a descriptive analytical research through focus group discussions of data networking, data mining and data sekundair the primary relevant to this study. The analysis was conducted by analysts SWOTT, then summed to obtain the recommendations in the four districts of Yogyakarta through purposive random sampling. The results obtained in this study, the didersivikasikan PDAM management capabilities through SPAMDES in four districts of the organizations management system is still weak due to human resources; background of education, camaraderie and a sense of belonging, perceptions and organizational participation. As a result, the ability of organizations SPAMDES not optimal, supported competence and awareness of the obligations as a user who has been given the ministry of water supply is not comparable to public infrastructure provided. Moreover supra and appropriate infrastructure is still inadequate standardization organization of water supply services. Keyword: Management, Empowerment and Competence

A. Pendahuluan
Tantangan kelembagaan dalam pengembangan SPAM, untuk mengetahui keadaan PDAM saat ini terutama dalam peningkatan kebutuhan air bersih masyarakat. Air minum merupakan salah satu kebutuhan dasar dan keberlanjutan kehidupan manusia. Oleh karena itu air minum harus tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai, namun untuk menyediakan air minum yang memadai menghadapi berbagai masalah. Masalah strategis terkait penyediaan air minum saat ini cukup rumit, semua harus dilihat sebagai tantangan pencapaian target yang ditetapkan RPJMN 2010-2014 maupun kesepakatan MDGs 2015. Perhatian pemerintah dalam pengembangan sistem penyediaan air minum sangat serius, dikarenakan pelayanan air minum masih belum memuaskan.Adapun pelayanan air minum nasional yang telah dicapai sampai akhir tahun 2009 melalui jaringan perpipaan masih rendah yaitu sebesar 25,56 persen; di perkotaan baru 43,96persen dan perdesaan 11,54persen. Pencapaian masih jauh dari target, sesuai sasaran MDGs yaitu 60,3 persen masyarakat Indonesia mendapatkan air minum aman ditahun 2015. Sebagai peningkatan pelayanan, pemerintah giat melakukan pembangunan IKK di daerah yang belum mendapatkan pelayanan air minum. Pemerintah melalui Direktorat Pengembangan Air Minum me-

Sudaru Murti Pemberdayaan Kelembagaan Sistem Penyediaan Air Minum Desa (SPAMDES) di Daerah Istimewa Yogyakarta

23

wajibkan Pemerintah Daerah menunjuk pengelola SPAM IKK agar IKK tersebut dapat segera bermanfaat bagi masyarakat. Selain SPAM IKK perkotaan, terdapat pula program SPAM perdesaan dimana pengelolaan SPAM dilakukan oleh organisasi SPAM berbasis masyarakat, sedangkan di Daerah Istimewa Yogyakarta ada Paguyuban Masyarakat Air Minum Yogyakarta ( PAMMASKARTA). Pembangunan berbasis masyarakat menurut Edi Suharto (2009) menyebutkan sejumlah hasil-hasil yang positif dari pendekatan ini, termasuk meningkatkan rasa kepemilikan terhadap proyek, mengurangi biaya proyek, pendistribusian manfaat yang lebih merata dan sebagainya. Organisasi SPAM berbasis masyarakat dapat mengoperasikan infrastrukttur sistem air minum memiliki umur sarana ( umumnya 10 tahun) dan mengembangkan pelayanan pada mereka yang belum terlayani. PDAM yang belum berkembang baik, masih harus membenahi kelembagaan terutama perencanaan dan pengendalian sumberdaya manusia karena sumberdaya manusia (SDM) memiliki peran penting dalam pengembangan dan pencapaian sasaran organisasi. Pengembangan kelembagaan, didasarkan perencanaan matang dan sesuai dengan Master Plan. Perencanaan yang dipersiapkan, diharapkan mengembangkan PDAM yang sakit. Adapun faktor faktor lain yang mempengaruhi kemampuan seperti : Keterbatasan sistem manajemen komersial Akses sistem pengelolaan modal organisasi Legitimasi dan kejelasan hubungan dengan pemerintah daerah.

B. Rumusan Masalah
1. 2. Apakah pengelola SPAM dengan kinerja yang sehat, mampu memberikan pembinaan kepada pengelola SPAM secara manajemen kelembagaan ? Bagaimana pelaksanaan sosialisasi pemberdayaan masyarakat untuk pencapaian partisipasi serta kesadaran selaku subyek utama pembangunan, sehingga memunculkan rasa memiliki (sense of belonging) dalam pengelolaan dan pemeliharaan prasarana dan sarana SPMA yang dibangun?.

C. Metode Penelitian
Penguatan Kelembagaan Pembangunan SPAM Wilayah DIY (4 Kabupaten) menggunakan analisis deskriptif kualitatif-kuantitatif, dimana analisis dan pembahasan berdasarkan kondisi yang ada baik secara data primer secara kualitatif dan data sekunder secara kuantitatif. Kemudian penarikan kesimpulan berdasarkan keterpaduan Analisis kualitatif dan kuantitatif, dengan penyajian rekomendasi berupa solusi terhadap permasalahan yang muncul. Tahap-tahap kegiatan Lokasi peningkatan Pemberdayaan Kelembagaan Pembangunan SPAM Wilayah DIY ( 4 kabupaten) di Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun langkah-langkah dilakukan melalui : 1. 2. 3. Melakukan inventarisasi kondisi dan potensi pengelola SPAM yang dilaksanakan oleh organisasi berbasis masyarakat di kabupaten/kota serta SPAM IKK agar dapat dikelola dan dimanfaatkan secara optimal Mengumpulkan data primer berupa pelaksanaan pemberdayaan dan pengelolaan Sistem Penyediaan Air Minum untuk dijadikan bahan pembinaan dan sosialisasi Melakukan pembinaan Air minum sesuai dengan kondisi daerah yang bersangkutan serta mudah diaplikasikan oleh masyarakat desa, meliputi kompetensi kelembagaan, manajemen/pengelolaan

24

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

4.

Melakukan Sosialisasi, materi dalam sosialisasi meliputi : Pembentukan Kelembagaan dan kompetensi pengelola SPAM Rencana pembentukan organisasi pengelola air minum tingkat dusun maupun desa serta pengenalan organisasi pengguna dan pengelola air minum (PAMMASKARTA) Permasalahan kelembagaan dan kompetensi pengelola SPAM Memfasilitasi calon pengguna air minum untuk membentuk kelembagaan Memberikan materi tentang arti penting manajemen pengelolaan SPAM yaitu : 1. Tugas dan wewenang pengurus,meliputi : aspek majemen serta aspek kompetensi 2. Legitimasi, kepastian hukum dan kejelasan hubungan dengan pemerintah daerah 3. Terbentuknya kelembagaan pengelola air minum di lokasi pembangunan SPAM

D. Tinjauan Teoritis
Asal kata pemberdayaan terjemahan dari empowerment, yang memiliki kata dasar power atau kekuasaan (keberdayaan). Kekuasaan sering dikaitkan dengan kemampuan membuat orang lain melakukan apa yang diinginkan. Pemberdayaan menunjuk kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah, sehingga memiliki kekuatan : 1. 2. 3. 1. 2. Memenuhi kebutuhan dasar terutama pangan, papan, pakaian, kesehatan dan pendidikan. Menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang/jasa diperlukan. Berpartisipasi dalam proses keputusan-keputusan pembangunan. (Edi Suharto : 2009) to give power or authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas kepada pihak lain to give ability to or to enable atau usaha untuk memberi kemampuan atau keberdayaan, menciptakan peluang untuk mengaktualisasikan keberdayaan. (Wrihatnolo : 2007)

Sedangkan konsep pemberdayaan empowerment mengandung dua pengertian:

Dengan demikian dapat dikatakan pemberdayaan adalah proses menyeluruh yang berupa proses aktif antara motivator, fasilitator, dan kelompok masyarakat yang diberdayakan melalui peningkatan pengetahuan, ketrampilan, pemberian berbagai kemudahan serta peluang mencapai akses sistem sumberdaya dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Wrihatnolo (2007) lebih lanjut, minimal ada tiga strategi pemberdayaan yang dilaksanakan dalam memberdayakan kelompok atau masyarakat yang lemah, sebagai berikut : 1. Pemberdayaan Konformis, karena struktur sosial, struktur ekonomi dan struktur politik dianggap given, maka pemberdayaan sebagai peningkatan daya adaptasi terhadap struktur yang ada. Bentuk aksi strategi ini adalah mengubah sikap mental masyarakat yang tidak berdaya dan pemberian bantuan, baik modal maupun subsidi. Pemberdayaan Reformis, tidak mempermasalahkan tatanan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Tetapi mempersoalkan kebijakan operasional. Sehingga pemberdayaan difokuskan pada peningkatan kinerja, pembenahan pola kebijakan, peningkatan kualitas SDM, serta penguatan kelembagaan. Pemberdayaan Struktural, bahwa ketidakberdayaan kelompok masyarakat itu disebabkan oleh struktur sosial, politik, budaya dan ekonomi yang kurang memberikan peluang bagi kaum lemah (miskin). Dengan demikian pemberdayaan harus dilakukan melalui transformasi struktural secara mendasar dengan mendesain ulang (redesign) struktur kehidupan yang ada karena sasaran utamanya adalah memandirikan masyarakat.

2. 3.

Sudaru Murti Pemberdayaan Kelembagaan Sistem Penyediaan Air Minum Desa (SPAMDES) di Daerah Istimewa Yogyakarta

25

Jadi pemberdayaan (empowerment) adalah serangkaian kegiatan memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami kemiskinan. Dengan proses pemberdayaan dihasilkan kelompok masyarakat berdaya, memiliki kekuasaan, pengetahuan dan kemampuan pemenuhan kebutuhan hidup, baik bersifat fisik, ekonomi, dan social; kepercayaan diri, keberanian menyampaikan aspirasi, mandiri dalam kehidupan, serta mendorong munculnya kompetensi. Kompetensi menurut Dave Ulrich yang dikutip oleh Parulian Hutapea dan Nurianna Thoha (2008), diartikan pengetahuan, ketrampilan atau kemampuan individu yang diperagakan(an individuals demonstrated knowledge, skills or abilities). Adanya kompetensi diharapkan pengelola SPAM memiliki adaptasi dan interaksi tinggi, serta mampu menghadapi setiap tantangan, menyangkut ketersediaan pengelolaan bagi penguatan kelembagaan organisasi SPAM Ada beberapa komponen utama yang membentuk kompetensi: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Tingkat Pengetahuan yang dimiliki Tingkat Ketrampilan Perilaku Individu Konsep Diri (self-concept), bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri atau sesuatu Ciri Diri (trait), karakteristik fisik dan sosial yang melekat secara tetap pada seseorang Motif, sesuatu yang diinginkan secara konsisten, sehingga akan berdampak pada perilaku seseorang. (Hutapea dan Thoha : 2008).

E. Hasil lapangan dan Pembahasan


Tantangan pengembangan kelembagaan SPAM dilakukan untuk mengetahui sejauh mana memperbaiki kemampuan perencanaan dan pengendalian kelembagaan n SPAMDES dan PDAM dengan studi lapangan di 4 (empat) kabupaten Daerah Istimewa Yogyakarta melalui kelompok swadaya masyarakat (KSM) mengelola unit reservoir air bersih untuk disalurkan ke wilayah dusun ataupun desa. Kondisi kelembagaan PDAM relative sudah baik, berbeda struktur spamdes yang dikelola kelompok swadaya masyarakat (KSM). Sumberdaya manusia (SDM) memiliki peran penting dalam mempersiapkan masyarakat menjadi sehat dan dapat mengembangkan SPAM dengan baik sesuai target MDGs. Adapun struktur pemasalahan yang dihadapi oleh PDAM pada umumnya di Indonesia:

26

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

Gambar Struktur Pemasalahan Yang Dihadapi Oleh PDAM Pada Umumnya Di Indonesia

Struktur Organisasi SPAMDES sudah ada tetapi sumberdaya manusia kurang dan diskripsi pekerjaan tidak dibuat secara baku sehingga terjadi rangkap pekerjaan. Kondisi kelembagaan SPAMDES yang dikelola kelompok swadaya masyarakat (KSM) dilakukan untuk peningkatan pengelolaan organisasi, terutama perencanaan dan pengendalian sumberdaya manusia. Ada data pegawai, tetapi pengalaman kerja dan pendidikan tidak sesuai bidang pekerjaan.Upaya peningkatkan keahlian sumberdaya manusia,telah dilakukan pelatihan-pelatihan,walaupun belum ada SOP (Standar Operasional Prosedur). Kegiatan SPAMDES belum maksimal dan tidak terarah dalam pemberdayaan karena belum ada rencana induk, sehingga perlu dibuat Rencana Induk Organisasi. Koordinasi SPAMDES dengan lingkungan dan pemangku kepentingan / stakeholder belum maksimal. Akibatnya SPAMDES belum bisa merespon perkembangan lingkungan dengan baik, sehingga wadah koordinasi pengelolaan SPAMDES antar lembaga perlu ada( Amitai Etzioni,1982). Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Pemberdayaan Kelembagaan: a) Faktor pendukung/kekuatan adalah sebagai berikut : PDAM adalah asset pemerintah daerah perusahaan penyedia air bersih. Kondisi geografis DIY adalah pegunungan dan pesisir pantai dengan air tanah yang sulit dijangkau sehingga kebutuhan akan air bersih cukup tinggi. Faktor penghambat/kelemahan adalah sebagai berikut: Kondisi pegawai dengan skill yang kurang memadai. Sarana dan prasarana penunjang operasional dan administrasi belum memadai. Aturan sanksi pelanggan penunggak pembayaran rekening belum diterapkan. Lembaga belum memberi pelayanan air mengalir 24 jam kepada pelanggan. Faktor kesempatan/peluang adalah sebagai berikut: Adanya potensi peningkatan jumlah pelanggan Adanya pengembangan daerah permukiman baru. Adanya peluang untuk menaikkan tarif penjualan air.

b)

c)

Sudaru Murti Pemberdayaan Kelembagaan Sistem Penyediaan Air Minum Desa (SPAMDES) di Daerah Istimewa Yogyakarta

27

d)

Faktor tantangan/treath adalah sebagai berikut: Kualitas air yang dihasilkan PDAM rendah karena proses penjernihan air pada instalasi pengolahan belum maksimal, sehingga pelanggan sering mendapatkan air keruh pada musim hujan, dan tidak mengalir saat musim kemarau. Kesadaran masyarakat/pelanggan dalam membayar rekening air masih rendah sehingga tunggakan rekening air relatif tinggi. Tinjauan pelaksanaan SPAM di lokasi penelitian diperoleh hasil sebagai berikut: Pelaksanaan program dilakukan dengan koordinasi antara Dit.PAM dan PDAM Sudah dikuatkan dalam bentuk PERDA Belum adanya teknologi baru dalam pelayanan pelanggan dengan sistem online Memberikan bantuan dana hibah Kelembagaan penyelenggaraan PDAM kurang berjalan dengan baik Komitmen pemerintah daerah lemah Masyarakat belum tahu persyaratan pemasangan dan mendapatkan air bersih Akses terhadap informasi rendah Masih ada bidang pekerjaan yang tidak sesuai dengan keilmuan Masih terjadi rangkap jabatan sehingga pelaksanaan kerja tidak bisa fokus. Penetapan pimpinan baru dan pergantian karyawan tidak sesuai keilmuan. Belum adanya Master Plan, Bisnis Plan, dan penataan profil wilayah PDAM Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Perubahan Pola Perilaku SDM Yang Memiliki Kompetensi

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

1. 2. 3. - Konsep Diri 4. Ciri Diri 5. Motivasi 6. 7.


- Penguatan - Pengulangan - Pengarahan

Perilaku yang berubah

SDM yang Punya Kompetensi


Sumber : Parulian Hutapea dan Nurianna Thoha, Kompetensi Plus,

Upaya penanganan permasalahan di atas yang perlu dilakukan oleh Dit. PAM: 1) 2) 3) 4) 5) Perlu adanya kesinambungan program Memberi Juklak dan Juknis terhadap PDAM Perencanaan yang terintegrasi Peningkatan sosialisasi permasalahan di PDAM Memperbanyak pelatihan SDM di PDAM sehingga dapat mengelola organisasinya dengan baik

28

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

Kondisi PDAM yang diinginkan ke depan 1) 2) 3) 4) 5) Perencanaan yang matang sehingga masyarakat yang membutuhkan air bersih bisa segera terpenuhi Kelembagaan yang kuat sehingga kedepannya mampu meningkatkan pendapatan perusahaan Dapat menentukan arah pengembangan perusahaan secara berkala Dapat memenuhi standar air bersih yang sehat Pengembangan jaringan yang teratur dan sesuai dengan perencanaan tata kota

Dit. PAM perlu melakukan hal-hal sebagai berikut untuk mencapai kondisi PDAM yang diinginkan di atas: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) Program yang berkelanjutan dan berkesinambungan Penambahan volume kegiatan Monitoring dalam pelaksanaan program Peningkatan penganggaran untuk pengembangan PDAM Melakukan sosialisasi dan pembinaan Meningkatkan kerjasama dengan stakeholder terkait Kondisi perekonomian masyarakat yang rendah Tingkat pendidikan masyarakat masih kurang memadai Dayabeli masyarakat masih rendah khususnya untuk pemasangan saluran air bersih Adanya tunggakan pembayaran Komitmen pemangku kepentingan kurang Lokasi rumah yang tersebar dengan kondisi alam yang berbeda Rendahnya daya tangkap masyarakat terhadap program-program PDAM Memperkuat kerjasama dengan Perbankan Cepat tanggap dengan permasalahan pelanggan (lama atau baru) Mengutamakan penganggaran bagi kepentingan masyarakat yang membutuhkan air bersih Pelaksanaan program sesuai kondisi lapangan Perlu mengembangkan aturan-aturan baru dalam peningkatan pengadaan air bersih bagi masyarakat Penguatan struktur organisasi sesuai dengan bidang atau lingkup kerja Peran aktif pimpinan dalam pengembangan kelembagaan Dapat membangun citra yang baik melalui kerjasama dengan media.

Tantangan yang perlu diperhatikan untuk mencapai kondisi PDAM yang diinginkan

Saran/pendapat upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam rangka pemenuhan Air Bersih

Untuk mengukur kepuasan masyarakat digunakan atribut yang berisi tentang bagaimana masyarakat menilai suatu layanan yang ditinjau dari sudut pandang pelanggan. Menurut Dulka (1994:41), kepuasan masyarakat dapat diukur melalui atribut-atribut pembentuk kepuasan yang terdiri atas : 1) 2) 3) 4) Value to price relationship. Hubungan antara harga yang ditetapkan oleh organisasi untuk dibayar dengan nilai/manfaat yang diperoleh masyarakat. Product value adalah penilaian dari kualitas layanan yang dihasilkan organisasi. Product benefit adalah manfaat yang diperoleh masyarakat dari mengkosumsi produk layanan yang dihasilkan oleh organisasi Spamdes. Product feature adalah ciri-ciri atau karakteristik tertentu yang mendukung fungsi dasar dari suatu pelayanan sehingga berbeda dengan pelayanan yang ditawarkan pesaing.

Sudaru Murti Pemberdayaan Kelembagaan Sistem Penyediaan Air Minum Desa (SPAMDES) di Daerah Istimewa Yogyakarta

29

5) 6) 7)

Product design adalah proses untuk merancang tampilan dan fungsi pelayanan. Product reliability and consistency adalah kekakuratan dan keandalan pelayanan yang dihasilkan oleh suatu organisasi PDAM. Range of product ar services adalah macam layanan yang ditawarkan oleh organisasi PDAM dan SPAMDES. Kemudian attribute related to service meliputi : Guarantee or waranty adalah jaminan atau garansi yang diberikan oleh PDAM dan SPAMDES diharapkan dapat memuaskan masyarakat. Delivery communication adalah pesan atau informasi yang disampaikan olehPDAM dan SPAMDES kepada masyarakatnya. Complain handling adalah sikap PDAM dan SPAMDES dalam menangani keluhan-keluhan atau pengaduan.

1) 2) 3)

Resolution of problem adalah tanggapan yang diberikan PDAM dan SPAMDES dalam memecahkan masalah masyarakat yang berkaitan dengan layanan yang diterimanya. Selanjutnya attributes related to the purchase meliput: 1) 2) 3) 4) 5) Courtesy adalah kesopanan, perhatian dan keramahan pegawai Communication adalah kemampuan melakukan komunikasi dengan pelanggan. Ease or convinience of acquisition adalah kemudahan yang diberikan oleh badan usaha untuk mendapatkan layanan yang ditawarkan. Company reputation adalah baik tidaknya reputasi yang dimiliki PDAM dan SPAMDES dalam melayani masyarakat. Company competence adalah baik tidaknya kemampuan PDAM dan SPAMDES dalam melayani masyarakat

Uraian di atas, pengelolaan PDAM dan SPAMDES merupakan proses kegiatan mengelola organisasi dengan menggerakkan partisipasi bagi yang memiliki kepentingan. Pengelolaan dalam organisasi SPAMDES memberikan suatu rangkai kegiatan yang berintikan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, yang bertujuan untuk menggali dan memanfaatkan segala potensi yang dimiliki secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan tertentu yang telah direncanakan sebelumnya.(http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/ presenting/2108155-pengertian-pengelolaan/#ixzz1KYYXTGkv, download tanggal 26 April 2011:20.15 ) Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan pengelolaan adalah suatu rangkaian kegiatan yang bertujuan menggali dan memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki secara efektif untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditentukan.

F. Kesimpulan
Peningkatan manajemen sumberdaya manusia merupakan hal yang penting dalam pengembangan usaha serta bagaimana organisasi dapat menjalankan secara baik,dan benar, contoh penyebab dalam sebuah organisasi/perusahaan tidak berjalan dengan baik/ terancam bangkrut adalah karena adanya krisis yang disebabkan oleh kelembagaan lantaran dililit utang, kinerja yang melemah, tidak adanya perencanaan yang matang, serta kurangnya layanan teknologi informasi. Karena itu dengan adanya evaluasi pelaksanaan pembangunan sistem air minum di Daerah Istimewa Yogyakarta, dan untuk merubah bentuk dari PDAM yang sakit menjadi sehat, kedepannya perlu rencana pengembangan SPAM yang sesuai dengan pengendalian mutu dapat mencapai target MDGs.

30

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

Karena itu kedepannya di setiap Kabupaten yang memiliki PDAM di DIY perlu adanya kegiatan pelatihan-pelatihan yang kontinue. Dengan adanya pelatihan ini diharapkan para peserta dapat terbuka wawasan dan mendapat ilmu pengetahuan yang sesuai dengan bidang kerja/ keahlian, sehingga nantinya peserta tahu bagaimana meningkatkan mutu manajemen sumber daya manusia, karena itu perlu dibuat pelatihan-pelatihan apa yang cocok untuk mencapai target SPAM dengan adanya rencana tindak yang dilakukan melalui pelaksanaan program jangka pendek, menengah, dan panjang.

G. Saran
Perlu dilakukan pelatihan motivasi usaha, agar para peserta mengetahui secara jelas dan benar, tujuan serta maksud tentang manajemen dalam sebuah kelembagaan, selain itu pelatihan-pelatihan yang dibentuk dapat memotivasi peserta dalam meningkatkan, mengembangkan, mempertahankan keberlangsungan usaha dan regenerasi dalam organisasi. Pelatihan-pelatihan yang diperlukan antara lain: a. Pelatihan Pembuatan dan Perencanaan Master Plan, Bisnis Plan Dengan adanya pelatihan pembuatan dan perencanaan master plan, bisnis plan para peserta mampu mengembangkan dan merencanakan kegiatan sesuai dengan master plan, bisnis plan yang telah dibuat, dengan adanya master plan dan bisnis plan ini dapat meminimalkan kesalahan dalam pelaksanaan di lapangan dalam periode atau tahapan-tahapan yang telah ditentukan. Pelatihan Pembuatan Profil Perusahaan Dengan adanya pelatihan pembuatan profil perusahaan, diharapkan peserta dapat mengetahui produk usaha yang dijalankan, mengetahui keunggulan produk, dan dapat menginformasikan dengan baik melalui media kepada pelanggan. Pelatihan Peningkatan kualitas Organisasi (pelayanan) Dengan adanya pelatihan peningkatan organisasi, diharapkan peserta memiliki peningkatan kemampuan dalam hal berorganisasi, bekerjasama antar divisi dan pelayanan yang baik terhadap pelanggan. Pelatihan Pengembangan keahlian yang sesuai dengan lingkup/bidang kerja Dengan adanya pelatihan pengembangan keahlian yang sesuai dengan lingkup/bidang kerja diharapkan para peserta mengetahui secara jelas jobdesc dan kemampuan keahliannya sehingga nantinya dalam divisi tidak lagi rangkap pekerjaan yang mampu menurunkan kinerja. Pelatihan perencanaan Pengadaan Barang dan Jasa Dengan adanya perencanaan pengadaan barang dan jasa diharapkan para peserta dapat mengetahui kebutuhan kelembagaan,dan kebutuhan pelanggan serta bagaimana mengatur permintaan kebutuhan kepada PAM pusat/daerah dalam periode tertentu.

b.

c.

d.

e.

DAFTAR PUSTAKA
Amitai Etzioni, 1982, Organisasi-organisasi Modern, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Britha Mikkelsen, 2011, Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya Pemberdayaan, Yayasan Pustaka Obor, Jakarta Dulka, 1994, Tehe New Public Service, M. E Sharpe, Inc, New York Edi Suharto, 2009, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, PT. Refika Aditama, Bandung Hoffman dan Beteson 1997, Public policy; Pengantar Teori dan Praktek Analisis Kebijakan, Kencana, Jakarta.

Sudaru Murti Pemberdayaan Kelembagaan Sistem Penyediaan Air Minum Desa (SPAMDES) di Daerah Istimewa Yogyakarta

31

Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2002,Pengeloalaan Lingkungan Sosial,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Mowen, 1995, the new local governance and capacity building: A Strategic approach, Regional Development Studies, Vol 3 Mendelsohn, 1998, Capacity Building: an approach to people centered Development, Oxford UK,Oxfam GB. CAPACITY BUILDING: AN approach to Peopl e Cent e r ed Development Oxford UK, Oxfam GB Capacity Building: an approach to Peopl e Cent e r ed Development Oxford UK, Oxfam GB Parulian Hutapea dan Nurianna Thoha, 2008, Kompetensi Plus, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Wrihatnolo, 2007, Manajemen Perilaku Organisasi, Prana Media Jakaarta

Referensi hukum
a. b. c. d. e. Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Perpres No. 29/2009 tentang Pemberian Jaminan Dana Subsidi Bunga Oleh Pemerintah Pusat Dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum. Permen PU No.21/PRT/M2009 tentang Pedoman Teknis Kelayakan Investasi Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Permen PU Nomor 20 tahun 2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.

ANALISIS KEBIJAKAN DISTRIBUSI PUPUK BERSUBSIDI


Purnama drspurnama.talkfusion@yahoo.com Program Studi Administrasi Negara Stisipol Kartika Bangsa Yogyakarta

ABSTRACT The availability of fertilizer and agricultural chemicals is one of many factors that influence the effort on increasing rice production. Reasonable price of fertilizer will support the successful or agricultural revitalization programs, but in Indonesia the problem on fertilizer availability for farmers has been always resulting in farmers anxiety and difficulty, particulary on the distrubution and price. This study is designed for viewing the implementation of local government policies on regulating the subsidized fertilizer distribution and to learn the impact of the policy implementation. Many data have been collected through interview and secondary data collection. These data, then are analyzed using descriptiveanalytical discussion from which some conclusions can bee drawn. From the research in Daerah Istimewa Yogyakarta it can be noted that the government has not been able to find a precious solution to guarantee the availability of fertilizer of adequate amount and reasonable price. Some fertilizer distribution abuses have often happened that farmers must buy fertilizer at any, or even, high prices. There must be a soluton made so that the marketing and distribution problems of fertilizer can be handled and those farmers burden can be reduced. There must be a new distribution framework where it gives more proffesional mechanism on distribution, shows a transparancy and accountability on the marketing system. Keyword : regulating the subsidized fertilizer, agricultural revitalization programs

A. Pendahuluan
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa Bangsa, kebutuhan beras dunia pada tahun 2025 akan mencapai 800 juta ton, akan tetapi pada saat ini kemampuan produksi kurang dari 600 juta ton (Kompas, 17 November 2006). Kondisi tersebut menggambarkan bahwa jika produksi padi tidak ditingkatkan, maka dapat mengakibatkan kelaparan di negara-negara pengonsumsi beras. Untuk itu perlu ada upaya serius untuk dapat meningkatkan produksi beras. Upaya peningkatan produksi beras ini tentu terkait dengan kesejahteraan petani, karena dengan produksi beras atau padi dari para petani yang semakin meningkat, maka penghasilan mereka juga akan bertambah. Efek lainnya adalah minat tenaga kerja untuk menjadi petani juga semakin meningkat. Namun demikian hal tersebut nampaknya masih jauh dari ideal. Faktanya tingkat kesejahteraan dan keberpihakan pada nasib petani di Indonesia masih jauh dari haraapan Data BPS (2003) menunjukkan bahwa jumlah petani gurem meningkat 2,5 persen per tahun, yakni dari 10,8 juta menjadi 13,7 juta pada tahun 2003. Sementara itu jumlah lahan petanipun menurun dari 0,5 hektar per petani pada tahun 1993, menjadi hanya 0,3 hektar per petani pada tahun 2003.

Purnama Analisis Kebijakan Distribusi Pupuk Bersubsidi

33

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi upaya peningkatan produksi padi adalah penyediaan pupuk disamping obat-obatan. Ketersediaan pupuk dengan harga yang terjangkau tentu akan mendukung keberhasilan program revitalisasi pertanian untuk meningkatkan produksi padi. Namun dalam kenyataannya di negara kita Indonesia, penyediaan pupuk bagi petani selalu menimbulkan keresahan dan kesulitan bagi petani, baik mengenai distribusinya maupun mengenai harganya. Hal ini terjadi setiap tahun dan oleh petani ini dianggap sebagai perisiwa musiman yang tak terlewatkan. Hingga saat ini pemerintah belum dapat merumuskan solusi untuk menjamin ketersediaan pupuk dalam jumlah yang mencukupi dan dengan harga yang terjangkau oleh petani. Pada hal pusaran sumber utama kelangkaan dan melambungnya harga beras sudah terdeteksi sejak lama, yakni pada mata rantai distribusi pupuk. Pemerintah nampaknya juga belum mampu untuk menumpas kejahatan dalam distribusi pupuk dan ironisnya kebijakan subsidi pupuk yang diberikan kepada petani menjadi tidak berarti manakala musim kelangkaan pupuk tiba. Niat mulia membantu petani dan memacu produktivitas padi ternyata kalah dengan kepiawaian distributor mengakali tata niaga yang telah disusun dan digariskan oleh pemerintah dan tak ada pilihan lain bagi petani kecuali membeli pupuk berapapun harganya. Permasalahan tata niaga pupuk bersubsidi sebenarnya berkisar pada penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) dan tentang distribusinya. Distribusi pupuk bersubsidi menjadi masalah yang penting dan perlu untuk diteliti, sebagaimana diutarakan oleh Menteri Pertanian Anton Apriyanto bahwa sulitnya petani untuk mendapatkan pupuk bersubsidi bukan karena persediaan pupuk, namun karena masalah distribusinya. Hal tersebut disampaikan pada saat terjadi kontroversi tentang kenaikan HET pupuk yang direncanakan akan terjadi pada Januari 2007 sebagai berikut, ..petani tidak perlu khawatir, karena pasokan pupuk sekarang sangat berlebih. Kalau ada hambatan di petani, itu berarti ada masalah dalam distribusinya. Jika itu yang terjadi, tentu distribusinya yang harus dibenahi, bukan menaikkan harga (Kompas, 24 November 2008).

B. Rumusan Permasalahan
Fenomena yang menunjukkan adanya permasalahan tentang distribusi pupuk bersubsidi, antara lain terjadi di Kabupaten Kebumen pada masa tutup tanam di akhir Desember 2005, dimana mereka kekurangan pupuk hingga 4.000 ton pupuk bersubsidi (kedaulatan-rakyat.com. 09 Desember 2005 - 07:58) dan juga di Kabupaten Sleman yang mengalami kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi. Kalaupun ada harga pupuk di pedagang tidak resmi harganya melambung (Kompas, 25 Februari 2006). Untuk itu penelitian ini akan difokuskan pada analisis kebijakan tentang distribusi pupuk bersubsidi. Harapan peneliti adalah dapat mengungkap fakta yang terjadi di lapangan, berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam mengatur distribusi pupuk bersubsidi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengelola kebijakan pertanian di Indonesia.

C. Telaah Pustaka 1. Kebijakan Publik.


Anderson dan Dye (1978) seperti dikutip oleh Wahab (1997) menjelaskan bahwa alasan untuk mempelajari kebijakan negara dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) kategori, yaitu alasan ilmiah (sciencetific reason), alasan profesional (professional reason) dan alasan politik (political reason). Pengkajian kebijakan pemerintah dalam mengatur distribusi pupuk bersubsidi ini dilakukan oleh karena alasan ilmiah, yaitu ingin memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam mengenai asal mula kebijakan negara/publik, berikut proses-proses yang mengantarkan perkembangan serta akibat-akibatnya pada masyarakat. Kebijakan (policy) diartikan oleh Anderson sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan ter-

34

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

tentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu (Islamy, 1997). Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik (public policy) sebagai kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Sedang Dye mendefinisikan kebijakan publik sebagai apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Dengan demikian yang dimaksud dengan kebijakan publik adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah untuk memberikan efek perbaikan terhadap kondisikondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu maka kebijakan pemerintah dalam mengatur distribusi pupuk bersubsidi seharusnya merupakan kebijakan yang berorientasi pada perbaikan kondisikondisi sosial-ekonomi masyarakat, khususnya para petani. Semua kebijakan negara apapun bentuk dan jenisnya sebenarnya dimaksudkan untuk mempengaruhi dan mengontrol perbuatan manusia (aparatur negara) sesuai dengan aturan-aturan dan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau negara. Dengan demikian suatu kebijakan negara akan menjadi efektif bila dilaksanakan atau diimplementasikan dengan baik dan mempunyai dampak positif bagi masyarakat. Kebijakan publik yang sudah menjadi keputusan pemerintah, dalam implementasinya kadang mengalami kegagalan. Mengenai kegagalan pelaksanaan kebijakan publik ini Hogwood dan Guun dalam Wahab (1997) membedakannya dalam 2 (dua) kategori yaitu, 1. 2. Tidak terimplementasikan (non implementation) Implementasi yang tidak berhasil (unsuccesful implementation).

Biasanya kebijakan yang memiliki resiko untuk gagal disebabkan oleh faktor pelaksanaannya jelek (bad execution), kebijakannya sendiri memang jelek (bad policy), atau kebijakan itu bernasib jelek (bad luck). Faktor lain yang dapat menyebabkan kegagalan pelaksanaan kebijakan adalah karena sejak awal kebijakan itu memang jelek, dalam arti bahwa kebijakan tersebut telah dirumuskan secara sembrono, tidak didukung oleh informasi yang memadai, alasan yang keliru atau asumsi-asumsi dan harapan yang tidak realistis (Wahab, 1997). Dalam hal ini pihak-pihak yang terlibat dan berkewajiban untuk melaksanakan kebijakan itu diperlukan pula dukungan dari para anggota legislatif, yudikatif, kelompok-kelompok kepentingan dan juga warga masyarakat (Islamy, 1997).

2. Kebijakan Distribusi Pupuk Bersubsidi


Pupuk adalah bahan yang fital dan sangat diperlukan oleh petani, karena dengan pupuk produktivitas padi/beras yang dihasilkan bisa maksimal. Pupuk yang digunakan petani ada dua macam yaitu pupuk organik dan pupuk unorganik. Pupuk organik adalah pupuk yang dibuat dari bahan-bahan alami dan pupuk unorganik adalah pupuk yang dibuat dari bahan-bahan kimia. Pada saat ini pupuk yang dipergunakan oleh petani dalam rangka memaksimalkan hasil padi sudah sangat tergantung kepada pupuk unorganik. Alasannya sederhana yaitu karena tidak harus membuat sendiri dan cara penggunaannya mudah. Masalah pupuk selalu berulang setiap tahun terutama pada saat musim tanam. Hal ini berkait erat dengan jumlah produksi pupuk yang tersedia, tata niaga pupuk serta sistem distribusi pupuk itu sendiri. Masalah ini tentunya harus secepatnya diselesaikan, karena petani tidak bisa menunggu lebih lama. Bila terjadi keterlambatan pemupukan maka akan berakibat hasil padi akan mengalami penurunan, kualitas padi jelek dan terakhir harga padi juga jatuh. Pupuk adalah salah satu komoditi strategis yang disubsidi oleh pemerintah melalui APBN guna membantu petani dalam meningkatkan pendapatan. Dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomer 03/M-Dag/PER/2/2006 tentang Pengadaan Pupuk dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian Pasal 1 disebutkan bahwa Pupuk Bersubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan

Purnama Analisis Kebijakan Distribusi Pupuk Bersubsidi

35

penyalurannya mendapat subsidi dari Pemerintah untuk kebutuhan petani yang dilaksanakan atas dasar program Pemerintah di sektor pertanian. Dalam hal pendistribusian pupuk bersubsidi saat ini Pemerintah telah resmi menerapkan tanggung-jawab distribusi pupuk secara berjenjang dan diatur dengan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomer 03/M-Dag/PER/2/2006 tentang Pengadaan Pupuk dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian. Dengan diberlakukannya Peraturan Menteri tersebut maka tanggung-jawab distribusi pupuk tidak lagi sepenuhnya ditangan produsen tetapi dilakukan secara terpadu bersama dengan distributor hingga sampai pada tingkat pengecer. Menurut Peraturan Menteri tersebut yang dimaksud dengan distributor dalam penyaluran pupuk bersubsidi adalah :
Perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang ditunjuk oleh produsen untuk melakukan pembelian, penyimpanan, penyaluran dan penjualan pupuk berubsidi dalam partai besar di wilayah tanggung-jawabnya untuk dijual kepada petani dan/atau kelompok tani melalui pengecer yang ditunjuknya.

Dalam Peraturan Menteri tersebut juga disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pengecer adalah :
Perorangan, kelompok tani dan badan usaha baik yang berbentuk badan hukum yang berkedudukan di Kecamatan dan/atau desa yang ditunjuk oleh distributor dengan kegiatan pokok melakukan penjualan pupuk besubsidi di wilayah tanggung-jawabnya secara langsung hanya kepada petani dan/atau kelompok tani.

Dengan demikian maka dalam sistem tersebut diberlakukan pembatasan wilayah operasi baik kepada distributor maupun pengecer pupuk. Hal ini sebagai upaya memperlancar distribusi untuk menekan terjadinya penyelewengan pupuk di lapangan, saat para petani tengah membutuhkan. Dalam hal ini pengecer hanya dapat mengambil jatah dari satu induk distributor. Penyempitan ruang gerak penjualan ini dimaksudkan agar penyaluran benar-benar lebih terfokus kepada para petani. Sebelumnya berbagai kios pengecer resmi maupun tak resmi dapat mengambil pupuk dari berbagai distributor. Karena hal demikian ini maka sering terjadi konsentrasi penyimpanan pupuk pada sejumlah kios. Untuk disributor wilayah operasionalnya juga dibatasi, maksudnya agar penyaluran pupuk bersubsidi menjadi konsentrasi pada kelompok kios yang berada di wilayah operasinya dan menekan terjadinya perembesan ke luar wilayah. Agar Pupuk Bersubsidi dapat disalurkan dengan tepat maka diperlukan adanya pengawasan dalam pelaksanaannya. Dalam hal ini lembaga yang bertugas dalam melakukan pengawasan adalah Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPP) yaitu wadah koordinasi instansi terkait dalam pengawasan pupuk dan pestisida yang dibentuk berdasarkan Peraturan Gubernur untuk tingkat Provinsi dan Peraturan Bupati/Walikota untuk tingkat Kabupaten/Kota. Dalam Permendag Nomer 03/M-DAG/PER/2/2006 pasal 16 disebutkan bahwa
Pengawasan terhadap pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi meliputi jenis, jumlah, mutu, wilayah pemasaran dan harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi serta waktu pengadaan dan penyaluran. Guna menghindari terjadinya kelangkaan pupuk maka Gubernur dan BupatiWalikota melalui Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida berkewajiban membantu kelancaran pelaksanaan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi tersebut di wilayah kerjanya.

Sementara itu Daniel A, Mazmanian dan Paul A. Sabatier dalam Wahab (1997) menjelaskan makna implementasi kebijakan sebagai, Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadiankejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.

36

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

Van Meter dan Van Horn (1975) merumuskan proses implementasi kebijakan sebagai berikut,
.those actions by public or private individuals (or groups) that are directed at achievement of objectives set forth in prior policy decisions (tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan).

Dengan demikian secara singkat implementasi kebijakan adalah seberapa jauh pelaksanaan kebijakan telah berjalan dan mencapai tujuan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Selanjutnya dalam penelitian ini yang akan digunakan sebagai indikator untuk mengetahui pelaksanaan kebijakan pengaturan distribusi pupuk bersubsidi adalah : 1. 2. 3. Kejelasan dan kelengkapan pengaturan prosedur distribusi. Pelaksanaan pengaturan distribusi dan sanksi yan berlaku bagi pelanggar. Persepsi dan respon masyarakat yang terlibat dalam pengaturan distribusi pupuk bersubsidi.

D. Metode Penelitian
Tipe penelitian ini adalah deskripitif eksploratif, karena penelitian yang dilakukan merupakan penelitian penjajakan yang bertujuan untuk mendiskripsikan atau menggambarkan fenomena sosial tertentu (Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1988). Peneltiian ini dilakukan di daerah operasional Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan untuk menggali data diarahkan kepada tiga kelompok informan (untuk menyebut responden dalam peristilahan metode kualitatif ) yaitu, 1. Pejabat Pembuat dan Pelaksana Kebijakan, adalah para aktor pembuat dan pelaksana kebijakan yang berada di daerah penelitian. Aktor dimaksud adalah Bupati/Walikota, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta pejabat instansi terkait. Distributor dan Pengecer, Untuk mengetahui karaktristik kelompok sasaran maka peneliti juga mengambil data dari para distributor pupuk bersubsidi dan pengecer (resmi atau tidak resmi). Petani. Ini ditujukan untuk mengetahui sikap petani dalam menghadapi atau merespon kebijakan pengaturan distribusi pupuk bersubsidi. Instrumen penelitian atau teknik pengumpulan data utama yang digunakan adalah wawancara secara mendalam (depth interview) dan pengamatan langsung di lapangan (observation), disamping memanfaatkan data sekunder yang relevan. Bentuk wawancara yang dilakukan adalah wawancara bebas dan terfokus, dengan harapan para informan dapat dengan bebas mengemukakan pendapatnya, sehingga validitas penelitian ini dapat dijamin obyektivitasnya. Untuk menganalisis data kualitatif ini digunakan kerangka analisis seperti yang dibangun oleh Miles dan Huberman (1992;16) yaitu menggunakan tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan tetulis di lapangan. Reduksi data atau proses transfomasi berlanjut terus sesudah penelitian lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun. Sementara itu untuk data kuantitaif yang merupakan data sekunder ditetapkan sebagai pendukung dalam menganalisis data kualitaif.

2. 3.

E. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Ketergantungan petani kepada pupuk kimia membuat petani dihadapkan pada persolan yang terkait dengan berbagai masalah pemenuhan kebutuhan pupuk mulai dari kesulitan untuk mendapatkan pupuk

Purnama Analisis Kebijakan Distribusi Pupuk Bersubsidi

37

bersubsidi, kelangkaan, ketidakpastian harga, penyimpangan dalam distribusi hingga penyitaan pupuk oleh polisi. Berbagai permasalahan pemenuhan kebutuhan pupuk oleh petani sangat terkait dengan kenyataan bahwa tingkat pemakaian pupuk kimia di Indonesia sangat tinggi. Pengadaan pupuk selain terkait dengan masalah produksi juga terkait dengan masalah distribusi. Masalah pupuk selalu terulang setiap tahun terutama disaat musim tanam. Permasalahan tentang produksi pupuk, tata niaga serta distribusi pupuk harus cepat diselesaikan karena kebutuhan petani terhadap pupuk tidak dapat ditunda. Keterlamabatan pemberian pupuk pada tanaman padi akan berpengaruh kepada hasilnya. Jika hasil produksi padi kualitasnya jelek maka harganya akan jatuh dan petani akan mengalami kerugian. Berbagai kebijakan pemerintah telah dibuat untuk melakukan pengelolaan dan mengontrol terhadap distribusi pupuk bersubsidi agar kebutuhan pupuk bagi petani dapat terpenuhi dengan tepat. Namun dalam kenyataannya berbagai kebijakan yang telah dibuat dan dilaksanakan seringkali menghadapi berbagai kendala atau hambatan sehingga tidak atau kurang dapat terimplementasikan dengan baik. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti mencoba membahas dengan didasarkan pada studi tentang kebijakan publik (public policy) sebagai berikut :

1. Peraturan Tentang Distribusi Pupuk.


Kebijakan tentang pengaturan distribusi pupuk bersubsidi dituangkan dalam surat-surat keputusan, baik yang dibuat oleh Pemerintah Pusat atau Menteri Perindustrian dan Perdagangan sampai pada Surat Keputusan Gubernur dan Bupati/Walikota. Kebijakan pengaturan distribusi pupuk yang dibuat oleh pemerintah tersebut mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan tersebut disebabkan oleh dinamika yang terjadi pada masyarakat yang menyangkut kondisi petani pengguna pupuk, sikap pengecer pupuk, kinerja dari para distributor serta adanya perubahan harga bahan bakar minyak, dll. Melalui SK Memperindag No. 356/MPP/Kep/5/2004 pemerintah menetapkan kebijakan sistem penyaluran pupuk bersubsidi secara terbuka. Pada penyaluran pupuk sistem terbuka ini produsen menyalurkan produknya atau menyalurkan pupuk import kepada distribtor di wilayah (Kabupaten/Kota) kemudian distributor menjualnya kepada pengecer dan petani perorangan atau kelompok tani. Berbagai masalah mengenai distribusi pupuk yang terjadi antara lain kelangkaan pupuk di pasar, harga di tingkat eceran tertinggi melebihi ketetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Peraturan Menteri Pertanian No. 505/Kpts/Sr130/12/2005 tentang HET pupuk bersubsidi menetapkan harga pupuk sama dengan harga pupuk tahu 2005. Ketetapan tersebut di satu sisi pemerintah berpihak kepada petani namun di sisi lain ketetapan tersebut menimbulkan gejolak bagi distributor maupun pengecer. Distribusi pupuk bersubsidi secara tertutup yang juga diatur di dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 505/Kpts/Sr130/12/2005 mengijinkan pengecer resmi menyalurkan pupuk ke kelompokkelompok tani berdasarkan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang dibuat oleh kelompok tani. RDKK ini harus disetujui oleh Dinas Petanian, sebelum diajukan ke produsen pupuk. Penyaluran pupuk dengan sistem tertutup akan dilaksanakan jika RDKK sudah diajukan kepada PT PUSRI. RDKK yang disetujui pemerintah dan dituangkan dalam SK Bupati menjadi dasar penentuan jaminan pupuk urea yang dikirim oleh PT. PUSRI kepada para distributor. Distributor kemudian meneruskan kapada para pengecer untuk dijual kepada para petani. Pelaksanaan kebijakan distribusi pupuk bersubsidi sacara tertutup ternyata juga mengalami berbagai kendala, sehingga disatu sisi dirspon positif oleh pemerintah daerah atau dinas-dinas yang ada di daerah, namun disisi lain juga mengalami hambatan karena kekurangsiapan dari pelaksana kebijiakan mulai dari produsen, distributor, pengecer maupun petani atau kelompok tani. Kebijakan lain yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengatur distribusi pupuk bersubsidi adalah dengan mengadakan sistem distribusi pupuk dengan menggunakan kupon. Sistem ini dinilai oleh beberapa kalangan dapat menimbulkan

38

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

kesulitan dalam implementasinya. Kesulitan yang ditemui dalam pelaksanaan sistem ini antara lain mengenai verifikasi data jumlah petani yang berhak menerima kupon sangat sulit dilakukan karena jenis dan jumlah petani sangat banyak. Dari berbagai kebijakan pengaturan distribusi pupuk bersubsidi, saat ini pemerintah resmi menetapkan tanggungjawab distribusi pupuk secara berjenjang dan diatur dengan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 03/M-Dag/PER/2/2006 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian. Dengan cara itu tangungjawab distribusi tidak lagi sepenuhnya berada di tangan produsen, sekarang dilakukan secara terpadu bersama distributor hingga ke tingkat pengecer.

2. Pelaksanaan Pengaturan Distribusi Pupuk Bersubsidi dan Sanksi yang berlaku bagi pelanggar.
Implementasi distribusi pupuk bersubsidi selalu menimbulkan persoalan yang dilematis, karena penetapan HET seringkali dihadapkan kepada keadaan perubahan struktur biaya yang harus ditanggung oleh produsen, distributor, pengecer dan para petani. Distributor seringkali mengeluhkan sulitnya menjual pupuk dengan harga tertinggi, karena terjadinya kenaikan biaya transportasi. Selain biaya transportasi, biaya untuk komponen lain seperti manajemen untuk pengelolaan usaha seringkali juga tidak diperhitungkan. Berbagai persoalan tersebut menjadi penyebab harga pupuk bersubsidi selalu berada di atas HET. Perbedaan struktur biaya distribusi juga menjadi penyebab HET di satu wilayah berbeda dengan wilayah yang lainnya. Pelaksanaan pengaturan harga pupuk bersubsidi melalui penetapan HET dalam pelaksanaannya menimbulkan berbagai reaksi baik dari distributor, pengecer maupun petani. Persoalan kelangkaan dan keterlambatan pendistribusian pupuk kepada petani juga serng terjadi. Mengenai hal ini Edi Setyadarma dari CV. Siar Darma Jaya selaku distributor di wilayah Sleman menjelaskan bahwa pendisribusian pupuk seringkali mengalami keterlambatan, karena distribusi pupuk tersebut harus dilakukan secara merata agar tidak terjadi kelangkaan pupuk. Masalah lain yang ditemui adalah ketersediaan fasilitas yang dimiliki oleh distributor maupun pengecer masih kurang memadai atau tidak sesuai dengan standar kuota sehingga fungsi buffer stock yang menjadi bagian tanggungjawab tidak dapat dipenuhi. Akibatnya peran distributor lebih mirip sebagai broker, karena pupuk langsung dikirim pada para pengecer. Berbagai model atau bentuk kebijakan distribusi pupuk yang diberlakukan di Indonesia pada umumnya dan secara khusus di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam pelaksanaannya mengalami berbagai kendala yang antara lain disebabkan oleh adanya pelanggaran-pelanggaran yang secara langsung atau tidak langsung dilakukan oleh pelaksana kebijakan. Untuk mengatasi dan mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran dalam distribusi pupuk bersubsidi, pemerintah berupaya untuk memberikan sanksi bagi pelaksana kebijakan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku. Adapun bentuk-bentuk sanksi tersebut adalah : c. c. d. e. Teguran bagi para pengecer yang menjual pupuk diatas HET. Penghentian pasokan untuk sementara waktu. Kios penjual pupuk bersubsidi ditutup dan pupuknya disita karena kios tersebut tidak resmi sehingga tidak diijinkan menjual pupuk bersubsidi. Pencabutan ijin operasional distributor, oleh Tim Pengawas dan Pengendalian Pupuk dan ObatObatan Pertanian.

Purnama Analisis Kebijakan Distribusi Pupuk Bersubsidi

39

3. Respon Terhadap Pengaturan Distribusi Pupuk Bersubsidi.


Perubahan-perubahan kebijakan pengaturan distribusi pupuk yang terjadi mendapat tanggapan dari berbagai pihak/kalangan baik dari pemerintah maupun masyarakat. Sistem distribusi secara tertutup yang pernah diberlakukan juga tidak dapat dilaksanakan dengan lancar karena tuntutan penyusunan rekapitulasi rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK) kelompok tani sebagai syarat penebusan untuk mendapatkan pupuk juga menyebabkan keterlambatan waktu penebusan. Selain tidak sinkronnya kebutuhan karena tidak semua petani menjadi anggota RDKK, dan data RDKK yang diajukan seringkali tidak akurat. Meskipun sistem distribusi pupuk secara tertutup memiliki beberapa kelemahan namun disisi lain sistem ini justru akan memacu petani untuk bergabung membentuk kelompok tani. Karena jika petani berjuang sendiri-sendiri maka posisi tawar mereka rendah. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pembentukan kelompok tani merupakan hal sangat penting dan menguntungkan, terutama dalam menghadapi kelangkaan pupuk. Permasalahan distribusi pupuk menurut beberapa kalangan antara lain disebabkan karena petani dinilai menggunakan pupuk secara berlebihan, oleh karena itu diharapkan petani dapat berhemat dalam menggunakan pupuk kimia dan beralih menggunakan pupuk organik. Dengan demikian biaya produksi akan berkurang dan pendapatan akan naik. Menanggapi tentang himbauan agar petani menggunakan pupuk organik, salah seorang petani berpendapat bahwa membuat pupuk organik sulit bahan bakunya karena hanya sedikit alias terbatas dan oleh karena itu tidak mencukupi kebutuhan yang diperlukan, disamping prosesnya juga lama serta proses pengangkutannya membutuhkan dana yang besar.

F. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta dapat disimpulkan bahwa pemerintah belum dapat merumuskan solusi yang tepat untuk menjamin ketersediaan pupuk dalam jumlah yang mencukupi dan dengan harga yang terjangkau. Secara terperinci permasalahan yang masih ditemui dalam distibusi pupuk bersubsidi adalah sebagai berikut : 1. Kenaikan harga pupuk merupakan dampak dari kenaikan harga BBM. Hal tersebut dimanfaatkan oleh para spekulan yaitu distributor dan pengecer nakal, pelaku lini III dan lini IV dalam jalur distribusi pupuk untuk melakukan penimbunan pupuk. Dengan spekulasi pemerintah akan menaikkan HET pupuk, para spekulan berharap akan mendapatkan keuntungan besar. Para spekulan juga memanfaatkan kondisi pencabutan subsidi pupuk ZA dan SP 36 dengan melakukan penimbunan. Penimbunan pupuk dimungkinkan karena fungsi pengawasan oleh produsen pada lini III dan lini IV semakin berkurang sejalan dengan berkurangnya kewenangan mereka untuk mendistribusikan pupuk secara langsung kepada petani. Terjadinya gap antara jumlah pupuk subsidi yang disetujui oleh Menteri Pertanian dan kebutuhan riil. Permasalahan yang ditemui di tingkat distributor meliputi keterlambatan, kelemahan manajemen pergudangan, tuntutan kebutuhan petani yang serentak dan kesulitan administrasi terkait dengan pungutan liar. Pada tingkat pengecer masalah yang muncul adalah kekurangan stok sehingga harus mencari pupuk dari daerah lain kemudian penggunaan pupuk di luar ketentuan subsidi (seperti untuk industri dan perkebunan), serta biaya pengangkutan yang tinggi. Sikap petani yang belum nyaman kalau tidak pakai urea, kebutuhan serentak di musim tanam, jatah berkurang, pemakaian berlebih dan belum terjangkaunya distributor.

2. 3.

4. 5.

6.

7.

40

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

G. Saran
Perlu dipikirkan tentang pola distribusi yang baru. Pola distribusi yang ditandai dengan adanya mekanisme distribusi yang lebih profesional, adanya transparansi dan akuntabilitas dalam tata niaga pupuk bersubsidi tersebut. Jika produksi beras di dalam negeri ingin meningkat maka subsidi pupuk diharapkan dapat dinaikkan. Subsidi tersebut dapat dialokasikan untuk keperluan-keperluan sebagai berikut, 1. Pemberian insentif yang cukup kepada penyalur (distributor dan para pengecer) dengan tetap mempertahankan harga eceran tertinggi (HET) serta menurunkan harga jual di tingkat produsen. 2. Pemberian insetif yang cukup kepada penyalur (distributor dan pengecer) dengan tetap mempertahankan harga tebus produsen. 3. Pelaksanaan pengaturan distribusi secara jelas, transparan dan konsisten serta pemberian sanksi yang tegas terhadap pelanggar.

DAFTAR PUSTAKA
Dunn, William N, Pengantar Analisa Kebijakan Publik, Edisi II, Gadjah Mada University Press, Cetakan II, Yogyakarta, 2000. Goggin, Malcolm L, Implementation Theory and Practice Toward a Third Generation, London, 1975. Islamy, M. Irfan, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Penerbit Bumi Aksara, Cetakan ke 8, Jakarta, 1987. Manning Chris, Tadjudin Noer Effendi, Urbanisasi Pengangguran dan Sektor Informal di Kota, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta, 1985. Meyer, Robert R, Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial (Terjemahan), Pustekkom Dikbud dan CV. Rajawali dalam rangka ECD Project (USAID), 1984. Moekijat, Analisis Kebijakan Publik, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, 1995. O.Jones, Charles, Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy), Rajawali Press, Cetakan ke 3, 1995. Samodra Wibawa, Yuyun Purbakusuma, Agus Pramusinto, Evaluasi Kebijakan Publik, Rajawali Press, Jakarta, 1994. Wahab, Solichin Abdul, Analisa Kebijaksanaan, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 1997. Kerjasama BPS Kotamadya Yogyakarta dengan Pemerintah Kotamadya Dati II Yogyakarta, Survey Sosial Ekonomi Nasional Kotamadya Yogyakarta Tahun 1999. Kerjasama BAPPEDA dengan BPS Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka Tahun 1999. Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Permendag Nomer 03/M-DAG/PER/2/2006. www.bantulbiz.com www.depkop.go.id Kompas, 25 Februari 2006. Kompas, 15 Maret 2006. Kompas, 15 September 2006. Kompas, 17 November 2006. Kompas, 24 November 2006.

PASAR TRADISIONAL PUSAT HUBUNGAN SOSIAL DALAM TRADISI GAMEINSCAFT DAN KEPENTINGAN RELASI PENGUASA
Muhammad Hayat Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.

Abstract Traditional markets in history is a public space that is present in a social group. The presence of the hand in hand with the dynamics of the community with all the attributes of these changes happen naturally, so that space exists to bring together individuals in a large physical place is also a pattern that is natural. The market became one of the collectivity in the tradition of how buildings gameinscaft trying to be retained. Meanwhile, a change in the view of policy makers is often understood as the development of physical spaces. For example the authorities prefer to build a magnificent shopping centers with all the attributes of capitalist consumption than on thinking about the empowerment of traditional markets. Or ruler is more focused on urban infrastructure construction with toll roads are very wide with a pretext to accelerate inter-regional connectivity. And true only provide access to large capital owners to be as much as possible to take and exploit the potential of the village and sold only to the interests of capital owners alone. Writing interview data drawn from Yogyakarta Demangan Market is trying to see how important traditional markets as a center of social relations in gameinscaft tradition, but at the same time the interests of the ruling relations is more to do siding with the owners of capital.

A. Latar Belakang
Pasar tradisional dalam sejarahnya merupakan ruang publik yang hadir di sebuah kelompok sosial. Kehadiran yang beriringan dengan dinamika masyarakat dengan segala atribut perubahannya tersebut berlangsung secara alamiah, sehingga ruang hadir untuk mempertemukan individu dalam tempat fisik yang besar tersebut juga merupakan pola-pola yang bersifat natural. Kealamiahan hadirnya pasar berimplikasi pada beranekaragamnya orang yang mencoba berkumpul dalam pusaran besar tersebut. Dalam pemahamaan sosiologi, pasar akhirnya bukan sebatas transaksi jual beli antara penjual dan pembeli, tetapi pasar telah berubah menjadi pusat hubungan sosial baru. Pemenuhan kebutuhan dalam tuntutan ekonomi sehari-hari seringkali bukan menjadi rente utama dalam pasar tradisional. Ekonomi sebatas cara mereka harus memenuhi kebutuhan. Karena itu yang berkembang di dalam pasar tradisional justru polapola gameinschaft dengan segala atribut kolektifitasnya. Masyarakat berkembang dengan segala dinamika sosialnya. Dalam kontek negara berkembang khususnya Indonesia, dinamika sosial dalam masyarakat ditandai lewat interaksi yang semakin beragam, sejatinya tidak menghilangkan identitas-identitas komunalnya sehingga mereka masih menempatkan pasar tradisional sebagai bagian dari cara mereka membangun relasi-relasi sosial. Dengan kata lain, masyarakat di negara berkembang tetap membangun solidaritas sosialnya. Pasar menjadi salah satu tempat bagaimana bangunan kolektifitas mencoba untuk tetap dipertahankan. Tetapi dalam kenyataannnya apa yang sejatinya menjadi kebutuhan masyarakat seringkali tidak sejalan dengan apa yang diinginkan oleh penguasa. Melihat contoh kasus di Indonesia, kenyataan menunjukkan bahwa ada cara pandang yang cukup berbeda dalam mensikapi sebuah perubahan. Bagi penguasa seringkali perubahan cuma ditempatkan dalam ruang-ruang fisik. Misalnya penguasa lebih senang un-

42

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

tuk membangun pusat-pusat perbelanjaan megah dengan segala atribut konsumsi kapitalisnya dari pada memikirkan pemberdayaan pasar tradisional. Atau penguasa lebih terfokus pada pembangunan infra struktur kota dengan jalan-jalan tol yang sangat lebar dengan dalih untuk mempercepat keterhubungan antar daerah. Padahal sejatinya cuma memberikan akses kepada pemilik modal besar untuk bisa sebanyak mungkin mengambil dan mengekploitasi potensi desa dan dijual hanya untuk kepentingan pemilik modal semata. Belum lagi akibat dari pembangunan jalan tol yang sangat merugikan masyarakat. Berapa banyak tanah masyarakat yang ada di sekitar jalan tol yang harus di gusur oleh pemerintah. Kalaupun ada ganti rugi seringkali tidak sesuai dengan apa yang sudah disepakati bersama. Bahkan ada pula yang tidak mendapatkan ganti rugi. Contoh tersebut memberikan gambaran, ada kepentingan yang seringkali tidak bisa dipertemukan dalam memandang esensi masyarakat yang berubah dengan segala dinamikanya.

B. Rumusan Masalah
Tulisan yang data wawancaranya diambil dari Pasar Demangan Yogyakarta ini mencoba untuk melihat sebuah fenomena di dalam masyarakat berkembang, yang sejatinya di tingkat masyarakat masih banyak sekali muncul identitas-identitas komunal yang justru menjadi perekat nilai dalam masyaraka.Pasar tradisional menjadi salah satu alternatif perekat nilai-nilai tersebut. Sementara pada saat yang bersamaan pemerintah dengan kebijakan pembangunan yang bercorak pertumbuhan melihat bahwa perubahan harus ditangkap dan ditafsir dengan mempercepat laju ekonomi lewat pembangunan infra struktur- infra struktur megah dan seringkali dengan meninggalakan identitasidentitas kelokalan.

C. Pembahasan
Pasar tradisional bagaimanapun tetap memberikan kontribusi terhadap pusat hubungan sosial yang lebih mementingkan tradisi gameinschaft. Kemampuan pasar tradisional jadi ruang-ruang relasi sosial bagi masyarakat menunjukkan bahwa kebutuhan untuk selalu berada dalam komunitas bagi setiap individu adalah suatu keniscayaan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan pasar tradisional menjadi harapan masyarakat untuk mempertahankan identitas-identias komunalnya

1. Lokasi Strategis
Secara geografis letak pasar tradisional biasanya ada di tempat yang strategis. Ada di daerah dimana persebaran ekonomi tumbuh. Kalau kita lihat dalam sejarah berdirinya kota-kota di jawa, pada dasarnya menempatkan sebuah bangunan berdasarkan fungsinya. Sehingga bisa dipahami jika tata kelola bangunan di kota-kota tersebut selalu dalam ruang-ruang hadir yang hampir sama. Tata letak bangunan tersebut biasanya menempatkan alun-alun ada di tengah kota. Di sebelah timur alun-alun akan ditemukan kantor-kantor pemerintah. Rumah Kepada Daerah terletak di sebelah utara alun-alun. Sementara di sebelah selatan merupakan jalan besar untuk akses lalu lintas penghubung pusat bisnis yaitu pasar yang biasanya berada di sebelah timur alun-alun tetapi dibelakang kantor-kantor pemerintah. Penjara atau tempat tahanan diletakkan di pojok selatan bagian barat alun-alun. Di bagian barat alun-alun merupakan perkampungan yang dihuni oleh golongan masyarakat yang dikenal agamis. Kampung ini biasa disebut sebagai kampung kauman. Masjid besar ada di kampung kauman.( Hasil observasi di Kota Banjarnegara ).

Muhammad Hayat PASAR TRADISIONAL PUSAT HUBUNGAN SOSIAL DALAM TRADISI GAMEINSCAFT DAN KEPENTINGAN RELASI PENGUASA

43

(Gambar alun-alun kota Surakarta dengan Kraton surakarta yang berada di sebelah utara alun-alun.)

Dari gambaran lokasi tentang kota-kota yang ada di Jawa menunjukkan bahwa pasar menjadi bagian yang sangat penting dalam tradisi berkembangnya sebuah kota atau daerah. Oleh karena itu menempatkan pasar di tempat yang sangat strategis adalah bagian dari cara sebuah kota untuk memberikan ruang pusat hubungan sosial baru bagi masyarakat. Dalam tafsir sosiologis, lokasi strategis berarti memudahkan individu untuk tetap bisa membangun nilai-nilai sosialnya dan berkontribusi bagi terciptanya identitas kelompok sosial. Pasar adalah ruang dahaga untuk semakin menemukan ritme kolektifitasnya. Menempatkan pasar tradisional dalam ruang yang strategis sejatinya adalah ciri alamiah dari masyarakat yang masih menempatkan ikatan-ikatan gameinscaft agar waktu untuk bertemu dengan orang lain sesering mungkin dapat dilakukan. Ada wilayah-wilayah yang tidak bisa diukur dengan uang bisa mereka peroleh. Karl Marx mengatakan bahwa pada awalnya pola hubungan manusia adalah bersifat sosial, tetapi setelah mode of production dengan spirit utamanya adalah material menjadi virus utama manusia berakibat pola hubungan tersebut menjadi sangat didasari pada kepentingan ekonomi semata. Marx dalam Erich Fromm menyatakan bahwa bangunan bawah atau infrastructure yang berbasis ekonomi adalah yang sangat mempengaruhi bangunan atas atau suprastructure (Eric Fromm, 2001). Muara yang terjadi adalah cara memandang manusia terhadap manusia akhirnya hanya didasarkan pada kepentingan ekonomi semata.

2. Pola hubungan yang bersifat egaliter


Pasar tradisional sebagai pusat hubungan sosial dalam tradisi gameinscaft maka cara-cara interaksi yang terjadipun menjadi sangat tidak berjarak. Ada wilayah trust yang dibangun diantara mereka. Seperti yang dikatakan oleh Robert King Merton bahwa interaksi sosial bisa berjalan dengan baik manakala dua pihak yang melakukan interaksi sosial tersebut bisa saling mendefinisikan ( kamanto Sunarto, 2000). Mendefinisikan bisa dipahami bahwa ruang-ruang trust sudah terbangun dalam hubungan antara penjual dengan pembeli tersebut. Dalam tradisi sosiologi jarak yang dibangun bukan lagi jarak sosial yang sangat dibatasi oleh nilai-nilai sosial, tetapi interaksi sosial yang dilakukan sudah berada dalam jarak dekat atau jarak intim. Artinya mereka sudah bisa melakukan konstruksi tentang nilai-nilai yang ada dalam ruang hadir menurut persepsi mereka. Dengan begitu nilai-nilai yang diproduksi antara penjual dan pembelipun menjadi sangat dekat. Sebagai contoh, dengan mudahnya seorang penjual mengolok-olok pembeli. Tetapi pembeli tidak marah karena tradisi interaksi yang sudah sangat egaliter. Atau seorang pembeli yang kaget karena harga barang yang dibelinya ternyata naik lumayan tinggi dibandingkan dua hari yang lalu. Pembeli lalu mengeluarkan omongan yang cukup keras, tetapi karena hubungan terbiasa dibangun dalan relasi yang tidak berjarak, keluhan dari pembeli pun cuma ditanggapi dengan senyum

44

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

atau guyonan. Omongan yang cukup keras dalam tradisi hubungan yang egaliter sejatinya adalah ruangruang hadir yang bukan dalam terminologi ego tetapi lebih dalam kontek semakin bisa mengeratkan hubungan. Tradisi egaliter juga menjadikan barang yang dijual ada diruang yang juga bisa dipahami dan dimaknai bersama. Artinya bahwa barang yang dijual bukan otoritas sepenuhnya dari penjual. Karena si pembelipun bisa memaknai barang tersebut dalam tafsirnya sendiri. Ini bisa dilihat dari tradisi tawar menawar di pasar tradisional manakala barang yang diperjualbelikan ada di ruang yang belum mencapai titik temu. ini menunjukkan bahwa ada ruang untuk berdiri dalam ruang identitas yang sama. Penjual punya otoritas terhadap barang, pembelipun punya otiritas terhadap barang. Hal semacam ini tentuya tidak bisa ditemukan di Super market atau ruang-ruang konsumsi kapitalis. Alam ekonomi kapitalis, otoritas hadir ketika dia punya uang. Manakala uang cukup barang bisa dimiliki. Tetapi ketika uang tidak cukup, tidak mungkin seorang pembeli menawarnya. Uanglah yang jadi penanda ororitas bukan keegaliteran hubungan. Karena di ruang konsumsi kapitalis memang tidak ada ruang bagi keegaliteran.

(Keadaan Pasar Demangan, Jogjakarta, Dokumentasi diambil hari Sabtu, 29 Januari 2011)

3. Tidak bersifat transaksional


Manakala pola hubungan lebih mengedepankan wilayah gameinscaft, tukar menukar kepentingan diantara pembeli dengan penjual tidak lagi dibatasi dengan uang sebagai cara untuk membayar. Sebab ketika uang selalu diartikan sebagai cara membayar, yang terjadi dalam ruang hadir relasi sosial itu menjadi sangat terkooptasi oleh nilai uang. Ini bisa kita lihat di pasar modern ( Hipert Mart, Super Market, Mall, Plaza, dan segala atribut konsumsi modern lainnya). Dengan kata lain ruang relasi tersebut menjadi sangat transaksional. Dalam terminologi transaksional jalinan hubungan menjadi sangat dibatasi oleh kepentingan ekonomi. Ketika tidak ada uang ya jangan beli begitu kira-kira adagium untuk menggambarkan betapa pola hubungan menjadi sangat tidak manusiawi. Atau walau ada uang tetapi karena uang yang harus dibayarkan ternyata tidak ada kembaliannya, dalam tradisi transaksional, si pembeli tidak mungkin untuk berhutang dulu kepada penjual. Sebab walau ada uang tetap transaksi tidak bisa terjadi. Sebab alat otomatis uang yang di namakan barcode tidak diprogram untuk bisa berhutang barang. Sehingga seringkali kasir yang melayani pembeli tersebut akan menyarankan untuk membeli tambahan barang agar ada kembaliannya. Ruang transaksional telah menghilangkan nilai-nilai humanis.

Muhammad Hayat PASAR TRADISIONAL PUSAT HUBUNGAN SOSIAL DALAM TRADISI GAMEINSCAFT DAN KEPENTINGAN RELASI PENGUASA

45

Dehumanisasi menjadi akibat paling mengerikan dari sistem tanda ekonomi yang berbasis uang. Inilah kritik besar Karl Marx terhadap kapitalisme yang dijalankan dengan sistem uang. Karena bagi Marx kapitalisme benar-benar telah menghilangkan ruang-ruang sosial dalam interaksi sosial. Ruang interaksi itu cuma diisi dengan kepentingan ekonomi semata. Sebaliknya pasar tradisional adalah contoh bagaimana pola hubungan yang dibangun bukan berdasarakan tradisi transaksional bisa memunculkan dan menguatkan ruang-ruang relasi sosial. Manakala sistem tanda yang diproduksi adalah sistem dalam ranah gameinscaft sejatinya manusia sedang mendiskusikan dirinya bersama kelompok sosialnya dalam ruang-ruang bersama

(Keadaan Pasar Demangan, Jogjakarta, Dokumentasi diambil hari Sabtu, 29 Januari 2011)

4. Ada kemandirian dalam diri penjual


Kemandirian menjadi salah satu ciri penjual di pasar-pasar tradidional. Walaupun mungkin barang yang diperdagangkan tidaklah banyak tetapi apa yang dilakukan dirinya adalah bentuk otorisasi diri terhadap ruang-ruang sosial maupun ekonomi dimana dia hadir. Karena ada ruang-ruang yang sangat mandiri dari penjual dan mereka hadir di ruang dengan konstelasi utamanya adalah banguan pusat hubungan sosial sehingga yang terjadi adalah melihat pembeli bukan selalu dalam aras ekonomi, tetapi melihat pembeli sebagai bagian cara dirinya menemukan ruang-ruang untuk berbincang. Karena itulah sering kita lihat seorang penjual akan memberikan barangnya kepada pembeli walau dengan harga yang lumayan rendah. Yang penting dirinya untung. Ini seperti yang dialami penulis manakala mau membeli pisang di Pasar Demangan. Setelah terjadi tawar menawar saya bisa mendapatkan harga pisang yang sudah disepakati bersama. Harga yang menurut saya murah. Saya bertanya ke ibu yang ternyata sudah berusia 70 tahun tersebut kenapa berani melepas pisang dengan harga murah. Perempuan yang akhirnya saya kenal sebagai Ibu Hardi Utomo tersebut memberikan jawaban demikian:
Dodolanku asline ya iki mbakaokaro cengkeh sing nggo rokok. Aku adol 3000 wis komplit nggo rokok lintingan. Pisang iki hasil tanine bapake. Aku nggowo akeh. Wis laku. Ora papa tak dol murah, gari loro (Jualan saya sebenarnya adalah tembakau dan cengkeh untuk rokok. Saya jual satu paket Rp. 3000. sudah komplit untuk rokok linting. Pisang ini sebenarnya hasil bertani dari suami. Saya tadi membawa banyak. Sudah laku. Tidak apa-apa pisang saya jual murah. Karena tinggal dua) ( Hasil wawancara dengan Ibu Hardi Utomo, di Pasar Demangan, Sabtu, 29 Januari 2011)

Dalam logika Max Weber inilah yang disebut dengan tindakan berorientasi nilai (Agus Salim, 2002). Bahwa Ibu tersebut dalam melakukan tindakan sosialnya bisa dipahami sebagai tindakan rasional yang

46

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

berorientasi nilai. Nilai-nilai yang diproduksi dipasar tradisional yang berorientasi pada wilayah hubungan sosial dalam ranah gameinscaft memungkinkan orang untuk memandang orang lain dalam bertindak bukan mementingkan ekonomi semata tetapi juga kepentingan sosial. Bisa dipahami manakala pisang yang tersisa tinggal 2 buah, dia merasa tidak masalah untuk menjualnya dengan harga yang lebih murah. Hal seperti ini tidak mungkin kita dapatkan di super market, Mall, pasar-pasar modern, dan lain sebagainya. Pasar Modern tidak mungkin menurunkan harga saat itu juga ketika tahu barang yang tersedia tinggal dua. Itulah logika kapitalis dimana semua dihadirkan dengan uang sebagai ukuran. Berbeda dengan pasar tradisional yang juga masih memberi ruang-ruang sosial untuk berkembang dan menjadi perekat sosial kepada siapa saja yang hadir.

(Ibu Hardi Utomo, Dokumentasi diambil di pasar demangan, Sabtu, 31 Januari 2011)

5. Identitas diri pembeli bisa dihadirkan secara alamiah


Sebagai pusat hubungan sosial berarti bahwa pasar tradisional bisa menjadi ruang hadir bagi individu untuk bisa menunjukkan dirinya secara alamiah. Individu hadir sebagai entitas yang mandiri yang tidak terkooptasi oleh nilai yang dipaksakan.Karena itu kita bisa dengan leluasa melihat orang makan bubur sumsum sambil berbincang akrab dengan pembeli. Ini menunjukkan bahwa ruang-ruang identitas diri bisa tumbuh subur tanpa takut orang akan berprasangka buruk terhadap dirinya. Tentunya sangat berbeda ketika kita akan berbelanja ke mall atau plaza atau pasar modern lainnya. Dalam logika konsumsi modern, pasar modern dan segala etalase konsumsinya adalah uniform (seragam), maka siapa yang masuk kesanapun harus diseragamkan. Misalnya manakala mau masuk Mall harus pakai baju yang bagus dengan dipadukan tas yang bagus. Atau harus membawa uang dalam jumlah lebih karena siapa tahu banyak barang yang harus dibeli. Dengan kata lain, Dunia konsumsi telah membatasi kita dengan aturan-aturan baku yang mereka buat. Dan secara tidak sadar pikiran kita terhegemoni untuk menjadi bagian mainstream dari nilai yang mereka mainkan. Inilah yang disebut Antonio Gramsci sebagai hegemoni dalam ruang pikir individu. Inilah juga yang selalu dikhawatirkan oleh Karl Marx bahwa individu kehilangan makna dirinya sebagai manusia. Seperti yang dikatakan oleh Karl Marx dalam Erich Fromm bahwa kepedulian utama Marx adalah emansipasi manusia sebagai seorang individu, mengentaskan alienasi, restorasi kemampuan manusia untuk menghubungkan dirinya secara utuh dengan sesamanya dan alam (Erich Fromm, 2001)

Muhammad Hayat PASAR TRADISIONAL PUSAT HUBUNGAN SOSIAL DALAM TRADISI GAMEINSCAFT DAN KEPENTINGAN RELASI PENGUASA

47

(Keadaan Pasar Demangan, Jogjakarta, Dokumentasi diambil hari Sabtu, 29 Januari 2011)

6. Memproduksi nilai-nilai komunalitas


Nilai-nilai komunalitas biasanya dibangun berdasarkan adanya ruang-ruang hadir yang ranah akhirnya adalah saling memahami antara satu individu dengan individu lain. Komunalitas dibangun karena ada perasaan dalam identifikasi kelompok sosial yang sama. Menurut Emile Durkheim, solidaritas sosial terbangun karena adanya perasaan sebagai sebuah kesatuan kelompok (Robert lawang, 1990). Manakala kolektifitas terproduksi, maka ruang-ruang hadir yang terbingkai dalam kepentingan bersama di pasar tradisional menjadi cara mereka berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Maka muncullah bentukbentuk solidaritas diantara mereka. Di pasar tradisional arisan menjadi cara mereka menerjemahkan kolektifitas kelompok. Karena dengan arisan, ruang-ruang hadir dalam relasi sosial menjadi lebih banyak terproduksi. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh ibu Nur:
Ada arisan di pasar. Yang buat adalah pedagang di dalam pasar. Setiap orang membayar Rp.150.000. Dan setiap setengah bulan sekali dikocok. Dapatnya banyak yaitu Rp. 6.000.000. ( enam juta rupiah).

Pernyataan dari Ibu Nur tersebut menunjukkan bahwa kolektifitas menjadi lebih penting karena tradisi semacam tersebut semakin mengerucutkan ikatan diantara pedagang yang ada dipasar. L o g i k a ketika orang berdagang biasanya adalah akan sangat senang jika tidak ada saingan. Mungkin hal semacam ini tidak berlaku di pasar tradisional sebab bagi mereka yang penting bisa hadir bersama dalam kelompok besar dan keuntungan bisa di dapat juga oleh banyak orang. Pernyataan dari Bu Nur berikut merupakan contoh bagaimana kolektifitas menjadi bagian penting bagi mereka.
Waktu dulu berjualan 13 tahun lalu pedagang masih sedikit. Sepi. Bagi saya tidak enak. Enak sekarang temannya banyak.

Pernyataan yang menunjukkan bagaimana produksi kolektifitas telah memberi ruang-ruang hadir yang justru bersifat sangat sosial. Padahal mereka ke pasar untuk mencari keuntungan. Ini menunjukkan kepada kita bahwa produksi kolektifitas berimbas pada saling mengerti dan memahami individu bukan cuma dalam wilayah ekonomi saja tetapi ruang sosial pun menjadi bagian maintream cara mereka berhubungan dengan individu lain Pasar tradisional yang bisa memproduksi wilayah hubungan manusia berbasis human seringkali berbeda dengan apa yang ada di pikiran pengambil kebijakan ketika mengkacamatai pola hubungan dalam

48

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

ranah jual beli. Pengambil kebijakan dalam merumuskan rencana tata ruang wilayah seringkali sarat dipenuhi dengan lobby-lobby kepentingan dari pemilik modal. Sehingga garis kebijakan yang diambil seringkali tidak bisa dilepaskan dari kepentingan yang punya kuasa uang. Uang menjadi rente penting dalam tradisi ekonomi. Fenomena peminggiran pasar tradisional yang seringkali dilakukan oleh penguasa, bisa dipahami dari arah kebijakan penguasa yang lebih menitikberatkan pada model pembangunan dalam orientasi pertumbuhan. Model pembangunan yang lebih menitikberatkan pada wilayah kasat mata ini (bangunan gedung, jembatan, Mall, Pasar Modern, Plaza, dan segala atribut ekonomi konsumsi) akhirnya cuma memasukkan manusia dalam jurang dehumanisasi. Apalagi gegap gempitanya Indonesia menyambut pasar bebas semakin menempatkan Indonesia sebagai negara user. Menjadi masyarakat pengkonsumsi ( Jean P. Baudrillard, 2009). Globalisasi yang datang pun disambut dengan sangat suka cita. Padahal hasil akhir dari globalisasi dengan arus deras masuknya barang-barang konsumsi cuma berujung pada mengkonsumsi kehampaan(George Ritzer, 2006). Ujung akhir yang diraih bukanlah kesejahteraan tetapi ketergantungan dan keterbelakangan. Ini yang menjadi kritik tajam dari Cardoso, Paul Baran, Raul Prebisch, dari model pertumbuhan yang banyak ditiru oleh negara-negara berkembang. Di Indonesia menurut Pogge dan Sumodiningrat dalam susetiawan ditandai dengan tingkat kesenjangan, baik terjadi antar penduduk maupun antar sektor ( Susetiawan, 2009). Kebijakan dalam ranah pertumbuhan tadi menjadikan penguasa melihat pasar tradisional bukan merupakan aset yang berharga sebagai komoditas. Ketika tidak punya nilai jual sebagai komoditas berarti sangat tidak punya kemanfaatan jika terus dipertahankan. Menurut Yudi Andhoni dalam tulisannya di blog detik, Ada dua hal utama kenapa pasar tradisional, kini, dipinggirkan atau kalau perlu digusur oleh pemerintah kota (Pemko) untuk diganti dengan pasar modern. Pertama, menyangkut pemasukan keuangan ke Pemkot yang berfungsi sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dibanding pasar tradisional yang bersifat restribusi bernilai ribuan perak, maka pajak dari mall-mall, departmen store, pusat-pusat perbelanjaan mewah jelas lebih besar. Ratusan juta! Tambahan lagi dari papan reklame, maka makin menambah pundi-pundi PAD Pemko. Kedua, aspek kebersihan dan ketertiban pasar tradisional sulit ditangani oleh Pemko dan ini berbeda halnya dengan pasar modern dengan sistem cleaning service. Jorok, sampah-sampah bertebaran, bau, tidak tertib dan kadang menimbulkan kemacetan di sekitarnya merupakan pemandangan yang biasa ditemukan di pasar-pasar tradisional seperti Pasar Bandar Buat, Lubuk Buaya, Gaung atau di Lambau tadi. Kondisi tersebut jelas mengonak duri di mata Pemko, sehingga sebagian besar kini di beberapa kota di Sumatera Barat, pasar-pasar tradisional itu telah diganti dengan yang lebih modern sebagai simbol kemegahan kota. Tambahan lagi ini jelas mengurangi nilai bagi peraihan sebagai kota terbersih yang diadakan tiap tahun oleh pemerintah pusat. Pasar tradisional sebagai thing yang kurang memberikan kontribusi yang maksimal bagi pendapatan pemerintah, maka bisa dipahami jika penggusuran menjadi warna tersendiri dalam penanganan pemerintah terhadap pasar tradisional. Dengan berdalih relokasi, akan dibangun pasar yang lebih representatif sehingga bisa kompetitif, penggusuran terjadi dimana-mana. Manakala penggusuran tidak bisa dilakukan, seringkali kita melihat bahwa beberapa hari berikutnya pasar yang akan digusur tersebut ternyata mengalami kebakaran. Sebagai contoh yang terjadi di Medan, bersumber dari waspada. Co.id bahwa dalam kurun waktu 3 bulan belakangan ini, setidaknya 4 pasar tradisional di Kota Medan terbakar yakni, Pasar Universitas Sumatera Utara, Pasar Sukaramai, Pasar Sore Padang Bulan dan terakhir Pasar Pulo Brayan. Hal ini menimbulkan kesan kalau pasar tradisional itu diabaikan. Karena, hingga kini belum seluruh pasar tradisional itu diperbaiki, sehingga kondisi para pedagang korban kebakaran semakin memprihatinkan. Dalam pemahaman kritis sangat mungkin itu adalah bentuk kuasa kekuasaan dari pengambil kebijakan yang merasa bahwa kebijakannya tidak diindahkan oleh masyarakat. Relasi kepentingan antara

Muhammad Hayat PASAR TRADISIONAL PUSAT HUBUNGAN SOSIAL DALAM TRADISI GAMEINSCAFT DAN KEPENTINGAN RELASI PENGUASA

49

kekuasaan dengan pemilik modal bisa dipahami sebagai cara untuk selalu melanggengkan hegemoninya. Menurut Susetiawan, pada akhirnya kerja politiklah yang menjadi kunci penting dalam perluasan pasar (Susetiawan, 2009). Relasi penguasa dalam lingkaran pasar tradisional tersebut untuk kepentingan penguasa dan pemilik modal juga bisa dilihat dari apa yang terjadi di lingkungan pasar tradisional itu sendiri. Dari hasil observasi di Pasar Demangan, Jogjakarta, ada cukup banyak baliho dalam ukuran kecil yang bertebaran di Pasar Demangan. Di dalam baliho tersebut ada tulisan-tulisan hikmah tetapi disampingnya tertera produk sponsor dari konglomerat Indonesia. Pemandangan ini menunjukkan bahwa kebijakan yang dimunculkan oleh pengelola pasar tradisional sudah tidak imun dari relasi kuasa dengan pemilik modal besar. Manakala ruang hadir yang terjadi di pasar tradisional akhirnya bermuara pada ruang-ruang kuasa kekuasaan dan kuasa ekonomi menjadi semakin sulit untuk ke depan pasar tradisional terbebas dari virus kuasa konsumsi.

(Ruang kuasa Kapitalis masuk di ruang-ruang sosial pasar tradisional. Dokumentasi diambil di Pasar Demangan, Jogjakarta, Sabtu, 29 Januari 2011)

D. Kesimpulan
Pasar tradisional sebagai harapan masyarakat untuk tetap bisa memproduksi pusat-pusat hubungan sosial yang bermuara pada tradisi gameinscaft semakin menemukan ruang terjal yang penuh rintangan. Ini tidak bisa dilepaskan dari pemihakan oleh pengambil kebijakan yang seringkali lebih pro kepada pemilik modal besar. Pemihakan itu dimunculkan dengan kebijakan-kebijakan yang spiritnya adalah semakin menguatkan ruang-ruang kuasa ekonomi maupun politik bagi penguasa maupun pemilik modal.

50

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

Daftar Pustaka:
Baudrillard Jean P, Masyarakat Konsumsi, Kreasi Wacana, Jogjakarta, 2009 Fromm, Erich, Konsep Manusia Menurut Marx, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2001 Ritzer, George, The Globalization of Nothing, Universitas Atma Jaya, Jogjakarta, 2006 Salim, Agus, Perubahan Sosial, Tiara Wacana, Jogjakarta, 2002 Susetiawan, Ketidakberdayaan Para Pihak Melawan Konstruksi Neoliberalisme, Studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan FISIP dan PSPK UGM, Jogjakarta, 2009 http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=170021:pasar-tradisional-tetap-dipertahankan&catid=77:fokusutama&Itemid=131 http://yudhiandoni.blogdetik.com/index.php/2010/12/06/pasar-tradisional-dan-keserakahan-kota/ comment-page-1/

KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL DALAM PENANGGULANGAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
Endang Tri Sudaryanti Email; end_ts@yahoo.co.id Program Studi Administrasi Negara STISIPOL Kartika Bangsa

Abstract Blood Diseases Dengue Fever (DBD) is a disease caused by a virus (dengue virus) transmitted by mosquitoes and dengue hemorrhagic fever. In the development of dengue cases is closely related to 1) the increased mobility of the population because of the increasing number of means of transportation within the city and the region was instrumental in the process of transmission of dengue vector, 2) clean water habits to accommodate the daily needs, let alone the clean water supply has not meet the needs or limited resources or located far from residential to encourage people to hold water at home each, 3) precipitation, which led to stagnant water in places where clean 4) Lack of community attitudes and knowledge about the prevention of disease Until now, drugs or vaccines for deases have not been there, so the way to prevent this disease is to break the chain of transmission by eliminating the vector of transmission of Aedesaegipty. Disease prevention efforts are needed in policy action, an action that has two main objectives; regulation and allocation. Regulation measures are measures designed to ensure compliance with standards and procedures. Allocation are actions that require the allocation of inputs in the form of money, personnel time and equipment. Allocative actions adequate to meet the needs require sufficient funding, time, personnel, and equipment which is becoming a very impotantidea Key words:Blood Diseases Dengue Fever, Policy; regulation and allocation

A. Latar Belakang Masalah


Suatu pembangunan memerlukan baik modal fisik (capital dan sumber daya alam) maupun modal manusia, karena keduanya merupakan modal utama yang saling terkait dalam realisasi target-target suatu pembangunan. Pembangunan kesehatan merupakan salah satu pembangunan untuk menyiapkan modal manusia, karena hanya dengan masyarakat yang sehat diharapkan akan menjadi bangsa yang kuat. Investasi pembangunan manusia melalui pembangunan bidang kesehatan menjadi suatu hal yang tidak bisa ditawar lagi, baik untuk alasan ekonomi maupun kesehatan warga masyarakat itu sendiri khususnya. Pembangunan manusia sangat berpengaruh dalam upaya mengurangi tingkat kemiskinan, karena dengan kesehatan yang baik memungkinkan penduduk miskin untuk meningkatkan nilai asetnya yakni tenaga mereka.Oleh karenanya maka investasi pada kesehatan sangat penting artinya bagi pengurangan kemiskinan dan dalam jangka panjang, investasi sektor kesehatan tersebut akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja yang berpengaruh positip pada pertumbuhan ekonomi. Laporan Pembangunan Manusia 2010 yang dikeluarkan UNDP menunjukkan bahwa indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia berada di peringkat 108 dari 169 negara yang tercatat. IPM merupakan indeks komposit yang mencakup kualitas kesehatan, tingkat pendidikan, dan kondisi ekonomi

52

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

(pendapatan).Di lingkup ASEAN, Indonesia hanya berada di peringkat 6 dari 10 negara. Peringkat ini masih lebih rendah daripada Singapura (27), Brunei Darussalam(37),Malaysia(57), Thailand (92), dan Filipina (97). Dari aspek kualitas kesehatan, di kawasan ASEAN, Indonesia juga berada di peringkat ke6, di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Vietnam, dan Filipina. Untuk aspek ini, peringkat Thailand masih di bawah Indonesia.Sementara untuk tingkat pendidikan, Indonesia bahkan hanya berada di peringkat ke-7 dari 10 negara anggota ASEAN. Berarti, capaian kinerja pendidikan di Indonesia bisa dikatakan masih lebih buruk ketimbang capaian kinerja kesehatan Dalam Rencana Pembangunan Nasional JangkaPanjang (RPJP) 2005-2025 disebutkan bahwa pembangunan sumberdaya manusia diarahkan untuk terwujudnya manusia Indonesia yang sehat, cerdas, produktif dan masyarakat yang semakin sejahtera. Melalui program Indonesia sehat 2010 yang dicanangkan Depkes (2005) gambaran masyarakat Indonesia dimasa depan yang ingin dicapai adalah masyarakat yang antara lain hidup dalam lingkungan yang sehat dan mempraktekkan perilaku hidup sehat.Lingkungan yang sehat termasuk didalamnya bebas dari wabah penyakit menular. Penyakit Demam Berdarah Darah (DBD) adalah penyakit yang disebabkan virus (virus dengue) dan ditularkan oleh nyamuk demam berdarah dengue (Aedesaegypti). Dalam pengembangannya kasus DBD ini erat kaitannya dengan 1) meningkatny amobilitas penduduk karena semakin banyaknya sarana transportasi didalam kota maupun daerah sangat berperan dalam proses penularan vector demam berdarah., 2) kebiasaan masyarakat menampung air bersih untuk keperluan sehari-hari, apalagi penyediaan air bersih belum mencukupi kebutuhan atau sumber yang terbatas atau letaknya jauh dari pemukiman mendorong masyaraka tmenampung air dirumah masing-masing, 3) curahhujan, yang menyebabkan air menggenang pada tempat-tempat bersih 4) sikap dan pengetahuan masyarakat tentang pencegahan penyakit yang masih kurang. Nyamuk aedes aegypti berwarna hitam dan belang-belang (loreng) putih pada seluruh tubuhnya, berkembang biak ditempat penampungan air (TPA) dan barang-barang yang memungkinkan tergenang air. Nyamuk ini tidak dapat berkembang biak diselokan/got atau kolam yang airnya berhubungan dengan tanah. Biasanya menggigit (menghisap darah) pada pagi hari sampai sore hari. Nyamuk dapat terbang sampai 100 m dan obat untuk penyakit DBD belum ada, vaksin untuk pencegahannya juga belum ada, sehingga satu-satunya cara untuk memberantas penyakit ini adalah dengan pemberantasan mata rantai penularan dengan memusnahkan pembawa virusnya (vektornya) yaitu nyamuk Aedes aegypti dengan memberantas sarang perkembangbiakannya yang umumnya ada di air bersih yang tergenang dipermukaan tanah maupun di tempat-tempat penampungan air. Atau yang dikenal dengan istilah pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN-DBD), (Ditjen PPM & PLP 1987). Sebagai contoh kasus adalah Kabupaten Gunungkidul sebagai salah satu daerah endemis DBD dengan Case Fatality Rate (CFR) yang cukup tinggi dalam standar Nasional.Data mengungkapkan bahwa kenaikan kasus DBD yang paling bermakna adalah terjadi pada bulan Maret dan merupakan puncak kasus. Berdasarkan waktu, maka antara bulan Januari sampai dengan April merupakan bulan yang banyak terjadi kasus DBD karena pada bulan-bulan tersebut merupakan waktu dengan curah hujan yang tinggi.Oleh karenanya pada masa ini perlu diwaspadai terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB). Berikut adalah gambaran kasus DBD yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul

Endang Tri Sudaryanti KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL DALAM PENANGGULANGAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

53

Tabel 2 Distribusi Kasus DBD menurut bulan di Kab. Gunung Kidul

90 80 -------------------------------------------------------------------------------70 -------------------------------------------------------------------------------60 -------------------------------------------------------------------------------50 -------------------------------------------------------------------------------40 -------------------------------------------------------------------------------30 -------------------------------------------------------------------------------20 -------------------------------------------------------------------------------10 -------------------------------------------------------------------------------0 -----* ----*----*----*----*-----*-----*-----*-----*-----*-----*-----*-----* Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des
Kasus DBD didaerah ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh perilaku masyarakatnya, seperti kebiasaan menyimpan air (tandon air), karena curah hujan yang kurang, mobilitas masyarakat yang cukup tinggi yaitu banyaknya masyarakat yang pergi keluar daerahnya untuk bekerja, dan pola perilaku hidup sehat seperti perhatian terhadap lingkungan, khususnya tidak membiarkan ada air tergenang disekitar tempat tinggal. Karakteristik nyamuk Aedes aegypti sangat cepat berkembang dalam situasi seperti itu.

B. Rumusan Masalah
Dari fenomena diatas maka tingkat terjadinya wabah penyakit demam berdarah dengue (DBD) ditentukan oleh faktor musim/cuaca, tinggi rendahnya tingkat kesadaran masyarakat akan perilaku hidup bersih dan sehat serta tingkat kesehatan lingkungan. Pada musim pancaroba yakni peralihan dari musim kemarau ke musim penghujan atau permulaan musim penghujan dapat dipastikan akan terjadi peningkatan wabah penyakit DBD, karena musim inilah nyamuk akan cepat berkembang biak. Kondisi ini akan lebih parah apabila tingkat kesadaran(persepsi) masayarakat akan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) rendah dan kondisi lingkungan yang tidak baik. Data penyakit DBD di Kabupaten Gunung kidul selama tahun 2001 s/d 2010mengalami fluktuasi dalam jumlah kasus pada tiap tahun. Fluktuasi kasus tertinggi terjadi di tahun 2010 (974) kasus 13 orang meninggal dan terendah tahun 2002 (68) kasus, 2 orang meninggal

54

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

Tabel 1 Jumlah Kasus dan Kematian Demam Berdarah di kab. Gunung Kidul 2001-2010

Kasus 974 09 290 233 07 327 107 05 123 240 03 146 68 01 81

Mati

13

09 3 07 2 1 05 3

500

1000

7 03 5 2 01 4 051015

Sumber : Dinas Kesehatan Kab. Gunung Kidul

Data DBD sebagaimana kasus di Kab. Gunung Kidul tentu harus diwaspadai dan harus diminimalisir dengan upaya-upaya yang melibatkan seluruh elemen masyarakat.Seiring dengan kebijakan otonomi daerah yang memberi ruang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan aktivitas administrasi publik, perlu disadaripemerintah di daerah untukmemiliki komitmen yang lebih baik bagi penciptaan kualitas pelayanan kesehatan. Mendasarkan pada kondisi dilapangan maka permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah; bagaimanapenanggulangan penyakit DBD yang dilaksanakan di Kabupaten Gunung Kidul?

C.
1. 2.

Tujuan Penelitian
Mengidentifikasi cara kerja dalam penanggulangan DBD Melihat kemungkinan pengembangan penanggulangan DBD berbasis partisipasi masyarakat.

D. Tinjauan Teoritik
Secara teoritik penanggulangan penyakit DBD yang menjangkit pada masyarakat dapat dilihat melalui tindakan kebijakan yang mempunyai dua tujuan utama; regulasi dan alokasi. Tindakan regulasi adalah tindakan yang dirancang untuk menjamin kepatuhan terhadap standard dan prosedur tertentu. Tindakan alokasi adalah tindakan yang membutuhkan masukan yang berupa uang, waktu, personil dan alat. Dalam pelaksanaannya dilapangan dibuat peraturan-peraturan untuk mendukung diperolehnya data ataupun informasi akurat dilapangan.Sistem Informasi Manajemen yang dibangun adalah dengan dibentuknya personil-personil dilapangan secara bertingkat sesuai wilayahnya yang bertanggung jawab dalam tugasnya. Penjangkitan penyakit yang cepat merebak akan merepotkan pemerintah bilamana peran serta masyarakat diabaikan dalam kasus ini. Pelibatan masyarakat dalam penanggulangan penyakit mrupakan bentuk kerjasama yang memberikan peran besar sebagai warganegara. Dalam hal ini menurut Denhard

Endang Tri Sudaryanti KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL DALAM PENANGGULANGAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

55

masyarakattidak hanya sebagai pelanggan (customer) melainkan juga sebagai warga negara yang memiliki negara dan sekaligus pemerintah yang ada di dalamnya. Masyarakat sebagai warganegara dan pengguna layanan atau customer adalah juga pemilik (owner) penyelenggara layanan public, dalam posisi ini pengguna layanan menduduki posisi sentral yang harus dilibatkan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan tersebut.Dalam kebijakan ini pertimbangan-pertimbangan personil, waktu, alat sangat penting untuk mendukung pelaksanaan dilapangan. Untuk itu tentu pemerintah perlu menghitung dan menimbang dengan baik alokasi yang dibutuhkan dengan kondisi dana yang ada. Sebagai isu nasional dalam pemberantasan penyakit DBD pemerintah melalui Mendagri mengeluarkan Keputusan No. 31-VI tahun 1994 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Operasional Pemberantasan Penyakit DBD. Dengan adanya kelompok kerja operasional ini diharapkan diperoleh informasi yang akurat tentang keadaan dilapangan. Pembentukan Pokjanal ini dapat disebut sebagai pembentukan Sistem Informasi Manajemen penyakit DBD. Sistem informasi manajemen adalah suatu sistem yang diciptakan untuk melaksanakan pengolahan data sebagai pengambilan keputusan pemerintah.Dengan bekerjanya pokjanal secara efektif dilapangan diharapkan segera memperoleh informasi-informasi penting tentang DBD yang menjangkit pada wilayah-wilayah tertentu.Adapun upaya-upaya pelaksanaan dilapangan dalam pemberantasan penyakit pemerintah perlu bekerjasama dengan masyarakat ataupun pihak swasta. Upaya penjabaran visi menuju Indonesia sehat 2010 melalui strategi perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dengan orientasi bahwa pelayanan preventif dan promotif mendapatkan porsi lebih utama tanpa mengabaikan pelayanan curative dan rehabilitative. Dalam membasmi vector DBD ini dilakukan melalui 1) Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk(PSN) dengan penggerakan peran serta masyarakat melalui kelompok-kelompok yang dikenal dengan nama kelompok kerja operasional (pokjanal) pada lingkungan masyarakat. 2) Penekanan pola perilaku hidup sehat, 3) Aksi kebersihan secara serentak dan penyemprotan pada tempat yang diduga menjadi sarang. nyamuk. 4) Kegiatan abatisasi pada tandontandon air. 5) Kegiatan abatisasi selektif, pada rumah-rumah yang dari hasil pemantauan terdapat jentik. 6) Fogging/pengasapan pada wilayah tertentu.

E. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan teknik analisis yang digunakan adalah deskriptif.Mendasarkan Newman (1997:19), penelitian deskriptif mampu menyajikan gambaran secara detail dari sebuah situasi dan atau setting social. Dalam hal ini Danzin (2002:61), menyatakan pula bahwa pada pendekatan kualitatif, data yang dikumpulkan umumya berbentuk kata-kata, gambar dan bukan angkaangka, kalaupun ada angka-angka sifatnya hanya sebagai penunjang. Dengan demikian, metode kualitatif dalam penelitian ini lebih bersifat analisis deskriptif, yang bertujuan mendapatkan gambaran nyata pada kebijakan penanggulangan penyakit DBD.

F. Pembahasan
Sebagai isu nasional pemerintah melalui Menkes telah mengeluarkan keputusan No. 581/1992 tentang Pemberantasan Penyakit DBD dan untuk peningkatan kewaspadaan dini luar biasa Menkes mengeluarkan Peraturan No. 949/Menkes/SK/VII/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Luar Biasa (KLB) yang mengatur bahwa yang berwenang menetapkan suatu wilayah terjangkit wabah adalah Menteri Kesehatan. Menteri menetapkan dan mencabut daerah tertentu dalam wilayah Indonesia yang terjangkit wabah sebagai daereah wabah. Kemudian untuk pelaksanaan kerja secara operasional melalui Mendagri dibuat Keputusan No. 31-VI tahun 1994 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Operasional Pemberantasan Penyakit DBD.

56

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

Sasaran Pokja DBD : 1. 2. 3. 4. Agar semua keluarga melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)-DBD di rumah dan di lingkungan masing-masing secara terus menerus. Semua keluarga juga diharapkan memeriksakan kepada dokter / petugas kesehatan / Puskesmas setempat bila ada tanda-tanda penyakit DBD Melaporkan langsung kepada Puskesmas setempat atau Kepaladesa/Kepala Kelurahan melalui pengurus Pokja DBD, Ketua RT/RW/Dusun/Lingkungan (Pamong)atau kader Mengikuti petunjuk-petunjuk petugas dan pamong sert amembantu kelancaran penanggulangan kejadian DBD yang dilaksanakan oleh petugas kesehatan

Kelompok kerja operasioanal (pokjanal) yang dibentuk ini merupakan suatu system informasi yang dapat bekerja sebagai saluran informasi yang efektif pada masyarakat dan pemerintah. Melalui Sistem informasi manajemen tersebut data, informasi dilapangan dapat diperoleh secara akurat dan akan mampu mendukung dalam pembuatan keputusan yang baik. Sampai saat ini obat atau vaksin untuk penyakit DBD belum ada, sehingga cara satu-satunya untuk mencegah penyakit ini adalah dengan memutus rantai penularan dengan menghilangkan vektor penularannya yaitu Aedes aegipty. Pelaksanaan pemberantasan nyamuk sampai dengan saat ini masih sama yaitu masih bersifat reaktif belum bersifat proakatif. Untuk mendapatkan data rinci penyakit dari masyarakat perlu dilakukan survai yang disebut dengan survai mawas diri oleh kader inti yang juga merupakan anggota pokjanal.

Survai Mawas Diri (SMD)


a. Survai dimaksudkan untuk ; Mengetahui penyebaran jentik nyamuk Aedes agypti di masing-masing RW/Dusun/Lingkungan. Menggali pendapat masyarakat tentang cara dan kesediaan masyarakat untuk membasmi jentik nyamuk penular di massing-masing RW/Dusun/Lingkungan SMD dilaksanakan oleh kader inti dengan mengunjungi kurang lebih 30 rumah yang dipilih secara acak dari tiap RW/Dusun/Lingkungan Pada tiap rumah tersebut dilakukan ; Pemeriksaan jentik yang menyatakan ada atau tidaknya jentik.(menggunakan formulir SMD-1) Wawancara dengan kepala Keluarga/Ibu rumah tangga tentang pemberantasan jentik, frekwensi kunjungan dan kesediaan iuran(sebagai acuan dapat digunakan Formulir SMD-2 Hasil SMD dari tiap RW/Dusun/Lingkungan dianalisa oleh kader inti bersama petugas kesehatan (dengan menggunakan format SMD-3) sehingga diperoleh; Angka bebas jentik (ABJ) yaitu prosentase rumah yang tidak ditemukan jentik, Contoh: Dari 30 rumah yang diperiksa di RW/Dusun/Lingkungan 01, 20 rumah diantaranya tidak ditemukan jentik maka; ABJ RW/Dusun/Lingkungan 01 = 20/30 x 100% = 67% Pendapat masyarakat : a) b) c) Cara pemberantasan jentik Pelaksanaan dan frekwensi kunjungan rumah berkala Ada/tidaknya kesediaan masyarakat untuk iuran guna membeli senter, battery, abate atau honor/upah petugas yang melakukan kunjungan rumah berkala

b. c.

d.

Endang Tri Sudaryanti KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL DALAM PENANGGULANGAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

57

Secara umum upaya yang telah dilakukan untuk membasmi vector DBD adalah; 1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan penggerakan peran serta masyarakat melalui kelompok-kelompok yang dikenal dengan nama kelompok kerja operasional (pokjanal). Pokjanal ini berada pada tiap wilayah. Aktifitas Pokjanal memberikan penekanan Pola Perilaku Hidup Sehat (PHBS) Berikut tabel yang akan menunjuk strata PHBS dan kesehatan lingkungan.
Tabel 2 Data kesehatan Lingkungan di Kabupaten Gunung Kidul Tahun 2010
Jenis Saran (target 60%) Rumah sehat TUPM, meliputi: Resto/WM/IM/JB Institusi dibina kesehatan 50, 98 64, 92 60, 54 Cakupan (%)

2.

Sumber: Kesling Dinkes Kab. Gunung Kidul

Cakupan data rumah sehat di Kab. Gunung Kidul pada tahun 2010 menunjukkan angka kurang dari target yang diharapkan. Tempat-tempat umum dan istitusi yang dibina kesehatan lingkungan oleh petugas kesehatan belum semuanya dilakukan. Hal ini karena keterbatasan tenaga dibandingkan dengan jumlah sarana yang tidak seimbang. 3. Aksi kebersihan secara serentak dan penyemprotan pada tempat yang diduga menjadi sarang nyamuk Aksi ini perlu dipenuhi dengan baik karena perkembangan nyamuk dari telur sampai nyamuk memerlukan waktu 7-10 hari sehingga bila aksi tidak dapat serentak perkembangan nyamuk akan dapat meningkat dengan cepat. Pelaksanaan dilakukan dengan 3M (menguras, menutup dan mengubur/menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air). Karenanya aksi ini harus dijadikan gerakan proaktif yang dilakukan sepanjang tahun dengan intensitas menjelang musim hujan 4. Kegiatan abatisasi Abatisasi dilakukan secara selektif, tidak semua rumah dilakukan abatisasi, hanya rumah-rumah yang terdapat jentik nyamuk berdasarkan pemantauan jentik berkala oleh kader jumantik dan pada tendon air dilakukan setiap 3 bulan sekali. Pada wilayah yang berpotensi DBD seyogyanya dilakukan abatisasi lebih sering dan rutin agar pengembangan nyamuk dapat dikurangi. 5. Fogging/Pengasapan pada wilayah tertentu Fogging atau pengasapan dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan khusus dari analisis Dinas Kesehatan Kabupaten dan dilakukan sebagai cara terakhir jika cara lain telah diupayakan tetapi hasilnya belum dapat memperbaiki keadaan. Pengasapan sebaiknya juga dilakukan cukup rutin meskipun dengan waktu yang tidak sering untuk membantu percepatan kematian nyamuk. Secara umum tindakan kebijakan mempunyai dua tujuan utama; regulasi dan alokasi. Tindakan regulasi adalah tindakan yang dirancang untuk menjamin kepatuhan terhadap standard dan prosedur tertentu. Tindakan alokasi adalah tindakan yang membutuhkan masukan yang berupa uang, waktu personil dan alat. Tindakan alokatif untuk memenuhi kebutuhan yang memadai membutuhkan cukup dana, waktu, personel, dan alat yang memang menjadi pemikiran sangat penting. Sementara itu dana untuk kesehatan pada Kab, Gunung Kidul masih jauh dari yang diharapkan. Prosentasi APBD Kesehatan terhadap APBD Kabupaten adalah 11,35% (termasuk gaji 54,6%) masih dibawah yang diamanatkan yaitu 15% dari APBD Kabupaten (tidak termasuk gaji.

58

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

Oleh karena itu dalam penelitian kebijakan ini perlu ada skenario yang dibuat guna meningkatkan kinerja pelaksana, maka untuk hal ini dapat dilakukan dengan; Skenario 1; Pokjanal-pokjanal yang terbentuk dari tingkat Kabupaten, kecamatan, desa/dusun harus dioptimalkan dalam melaksanakan tugas pada levelnya masing-masing dengan cara meningkatkan motivasi dalam bentuk remunerasi dan punishment. Remunerasi dapat berupa penghasilan tambahan diluar gaji bulanan pegawai negeri. Meningkatkan petugas Juru Pemantau Jentik (Jumantik) secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif bekal pengetahuan dan kecakapan terus ditingkatkan, sedang secara kuantitas jumlahnya diperhitungkan dengan nisbah atau rasio ideal perbandingan tertentu antara jumlah petugas : jumlah penduduk. Bersamaan dengan itu penegakan hukum dalam bentuk sanksi hukum yang jelas bagi tim pokjanal yang tidak melaksanakan tugas dengan baik. Antonius Wawan Koban (peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute) merekomendasikan perlunya merevisi UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah penyakit menular terutama pasal 6 dan pasal 14 yang mengatur sanksi pelanggaran dan kelalaian dalam upaya pemberantasan wabah penyakit menular, sehingga partisipasi masyarakat merupakan keharusan, bukan hanya himbauan dengan sanksi yang jelas dan diberlakukan dengan tegas seperti misalnya sanksi denda uang atau penjara bila terjadi pelanggaran atau kelalaian. Skenario 2; Seiring dengan orientasi penciprtaan good governance sebagai paradigma pelayanan publik saat ini dimana sinergi peran ketiga unsur governance yakni pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil, maka dalam pemberantasan wabah penyakit menular dan berbahaya termasuk penyakit demam berdarah yang selama ini sepenuhnya ditangani pemerintah sendiri dapat diserahkan kepada pihak selain pemerintah sendiri. Artinya pemerintah perlu memikirkan dan mengatur atau membuat kebijakan yang membuka peluang sektor swasta maupun masyarakat sipil (lembaga swadaya masyarakat) untuk ikut ambil bagian dalam program ini. Dalam Skenario ke 2 ini pemerintah dapat merumuskan aturan-aturan teknis bagi pihak ketiga yang akan ikut ambil bagian dalam pemberantasan penyakit menular utamanya menyangkut mekanisme atau prosedural, tenaga pelaksana, sarana/prasarana, waktu pelaksanaan, ketentuan biaya dan sebagainya.

Daftar Pustaka
BPS, Bappenas, UNDP, Indonesia Laporan pembangunan Manusia 2004, Ekonomi dari Demokrasi: Membiayai Pembangunan Manusia Indonesia, Jakarta 2004 Murdick, et al, 1984, Sistem Informasi Untuk Manajemen Modern, Erlangga Jakarta Neuman, L.W, 1997, Social Reseach Methodes: Qualitative & Quantitative Approach. Boston: Allyn Bacon. Dinas Kesehatan, Sub Dinas Perencanaan, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul 2010, Profil Kesehatan Kabupaten Gunungkidul Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) Departemen Kesehatan RI, 1987, Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan Wabah Demam Berdarah Dengue (DBD), Jakarta, Departeman Kesehatan RI Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) Departemen Kesehatan RI, 1995, Pokok-pokok kegiatan dan Pengelolaan Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) Lampiran 6, Jakarta Departemen Kesehatan RI

Endang Tri Sudaryanti KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL DALAM PENANGGULANGAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

59

Dunn, William N, 1981, Public policy Analysis, Pearson Prentice Hall, New Yersey Denhardt, J.V. And Denhardt, R.B., 2003; The New Public Service: Serving, Not Steering, Armonk: M.E. Sharpe.

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI INSTITUSI LOKAL SIMPAN PINJAM DI DUSUN SINDET, KELURAHAN TRIMULYO KECAMATAN JETIS KABUPATEN BANTUL
Zulianti zuliantikunden@yahoo.co.id Program Studi Sosiologi STISIP Kartika Bangsa Yogyakarta

Abstract The era of globalization and liberalization require financial institutions to implement the financial system following the demands of the international financial institutions. This is because the existence of financial institutions can not be separated from the international financial institutions ranging from service users (customers) and facilities such as a credit card, debit card, or atm. Banks that do not provide facilities and product excellence will not get high profits. The facility as well as the course the various products that carry consequences for prospective clients and customers. As a result of requirements for prospective creditor banks that complicate the rural poor above the poverty in rural areas untouched by the banking system and have difficulty accessing bank to obtain venture capital. This is because the poor do not have the conditions stipulated by the bank. The impact is strongly felt by the rural poor who need capital for home-based businesses. The role of microfinance as a spearhead in poverty reduction has gained recognition nationally and internationally. In the hamlet Sindet, micro and small businesses, better known by the peoples economy is the largest group of economic actors in the economy. Micro economic enterprises is one of the savings and loan business in general has advantages such as providing jobs for local residents, the local use of natural resources and create value-added rural economic development. Keywords : Financial institutions, Microfinance, Micro economic enterprises

A. Latar belakang masalah


Era globalisasi serta liberalisasi menuntut lembaga keuangan menerapkan sistem keuangan mengikuti tuntutan lembaga keuangan internasional. Hal ini disebabkan karena eksistensi lembaga keuangan tidak lepas dari lembaga keuangan internasional mulai dari pengguna jasa (nasabah ) maupun fasilitas seperti kartu kredit, debit, maupun atm. Bank yang tidak memberikan keunggulan fasilitas maupun produk tidak akan mendapatkan keuntungan yang tinggi. Adanya fasilitas serta produk yang bermacam tersebut tentusaja membawa konsekwensi bagi calon nasabah maupun nasabah. Persyaratan dan ketentuan umum menjadi nasabah pada Bank Pembangunan Daerah 1. Persyaratan Nasabah baru : Mengisi Formulir Permohonan menjadi Penabung, Mengisi Formulir Pembukuan Rekening Tabungan, Mengisi formulir Data Pribadi serta identitas / dokumen, Mengisi Surat Surat Pernyataan Penunjukan Ahli Waris ( Yang di tunjuk dan Penabung. Ketentuan Umum bagi calon Kreditur: Surat permohonan kredit dan lampiran, Photo copy izin usaha (HO, SIUP, dll), NPWP, Akte Perusahaan (bagi Badan Usaha, SK Pengangkatan (bagi PNS), SK Pensiun (Bagi Pensiun PNS) - (Sumber: tanjabbarkab.go.id/ekonomi/index2.php?isinye=&id)

2.

Zulianti PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI INSTITUSI LOKAL SIMPAN PINJAM DI DUSUN SINDET, KELURAHAN TRIMULYO KECAMATAN JETIS KABUPATEN BANTUL

61

Akibat persyaratan bagi calon kreditor bank yang menyulitkan masyarakat miskin pedesaan tersebut diatas maka masyarakat miskin pedesaan tidak tersentuh oleh perbankan serta mengalami kesulitan untuk mengakses perbankan untuk memperoleh modal usaha . Hal ini disebabkan karena masyarakat miskin tidak memiliki syarat yang ditentukan oleh bank. Dampak tersebut sangat dirasakan oleh masyarakat miskin pedesaan yang memerlukan modal untuk usaha rumahan. Peranan keuangan mikro sebagai ujung tombak dalam pengentasan kemiskinan telah mendapat pengakuan secara nasional dan internasional . Di dusun Sindet, pelaku usaha mikro dan kecil yang lebih dikenal dengan ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian. Usaha ekonomi mikro yang salah satu usahanya adalah simpan pinjam pada umumnya memiliki keunggulan antara lain penyediaan lapangan pekerjaan bagi penduduk setempat, pemanfaatan sumberdaya alam lokal serta menciptakan nilai tambah pembangunan ekonomi desa. Disamping itu usaha mikro dan koperasi mempunyai peran strategis dalam memobilisasi dana dan sumber daya lainnya guna mengembangkan usaha masyarakat setempat. - (admin@ybul.or.id.www.ybul.or.id) Melihat kondisi seperti ini mendorong warga dusun Sindet, Kelurahan Trimulyo, kecamatan Jetis, kabupaten Bantul bergerak mancari solusi dari masalah yang mereka hadapi. Kegiatan yang dilakukan masyarakat dusun Sindet adalah dengan menggunakan sarana yang sudah ada selama ini yaitu yaitu usaha simpan pinjam. Dalam upaya membantu masyarakat yang memerlukan modal masyarakat bergotong royong menggali modal usaha lewat tabungan dan iuran warga yang kemudian dipinjamkan kewarga melalui simpan pinjam warga. Usaha ini selanjutnya oleh warga dusun Sindet diberi nama usaha simpan pinjam KTW Boma Prawoto Gati.

A. Permasalahan
Seberapa besar usaha simpan pinjam dapat membantu modal usaha keluarga miskin?.

B. Tujuan penulisan
1. 2. Untuk mengetahui manfaat dari simpan pinjam yang diselenggarakan oleh masyarakat di dusun Sindet. Untuk mengetahui model pemberdayaan masyarakat dusun Sindet.

C. Pembahasan 1. Pemberdayaan Masyarakat Dusun Sindet Melalui Usaha Simpan Pinjam


Dusun Sindet sebagaian besar adalah merupakan daerah pegunungan dengan kondisi penduduk mayoritas mempunyai pekerjaan sebagai petani penggarap atau buruh. Pekerjaan sebagai buruh mengakibatkan pendapatan mereka tidak menentu. Kondisi inilah yang mendorong masyarkat dusun Sindet bergandeng tangan untuk membangun kembali usaha simpan pinjam yang sudah mulai pudar. Usaha Simpan pinjam tersebut mereka mulai dengan menggali simpanan dalam bentuk tabungan , simpanan sukarela serta simpanan wajib yang kemudian mereka kelola dan dipinjamkan kembali pada warga yang membutuhkan. Kegiatan simpan pinjam oleh KTW ( Kelompok Tani Wanita ) di dusun Sindet pertama kali didirikan pada tahun 1983 , dan mengambil nama Boma Prawoto Gati ( Tanah Yang Tandus Karena Ada Upaya Dengan Diolah Akan Menghasilkan ). Kegiatan ini mengalami kevakuman selama beberapa tahun dan mengalami defisit . Hal ini disebabkan karena belum ada aturan yang jelas mengenai simpan pinjam, sehingga mengakibatkan kredit macet . Sedangkan aturan simpan pinjam tersebut mempunyai arti yang

62

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

sangat penting bagi kelangsungan usaha simpan pinjam. Hal ini sesui dengan pendapat Frans Wiryanto Jomo yang menyatakan bahwa dalam usaha simpan pinjam ( Koperasi ) harus ada aturan yang mengatur hak dan kewajiban anggota maupun pengurus demi kelangsungan usaha ( Frans Wiryanto Jomo , 1986) Kesulitan masyarakat miskin dalam mengakses bank untuk memperoleh modal menggugah kesadaran masyarakat mengenai arti penting usaha simpan pinjam dilingkungan mereka. Pada tahun 2000 kegiatan simpan pinjam mulai menggeliat. Kegiatan ini tidak begitu saja bangkit dan berjalan , terdapat beberapa kendala yang dihadapi . Untuk mengetahui kendala yang dihadapi usaha simpan pinjam penulis berusaha menanyakan pada pengurus yang diwakili oleh ibu Umi Yulfah yang sekaligus sebagai sie usaha. Dari hasil wawancara yang dilakukan diketahui bahwa kendala tersebut adalah : 1. Membangun kembali kepercayaan masyarakat . Pengalaman buruk masa lalu yaitu kredit macet pada usaha simpan pinjam mengakibatkan masyarakat tidak begitu saja mudah pencaya terhadap munculnya kembali simpan pinjam. Adanya kecurigaan masyarakat terhadap penggunaan dana usaha simpan pinjam. Masyarakat menganggap pengurus mempunyai keleluasaan dalam menggunakan uang simpan pinjam.

2.

Dari kendala yang ada tersebut menuntut pengurus bekerja ekstra untuk membuktikan bahwa anggapan masyarakat tersebut tidaklah benar diera kebangkitan simpan pinjam tersebut. Penataan kembali dilakukan olah pengurus dengan membuat aturan main dalam usaha simpan pinjam. Aturan memuat hak, kewajiban serta sangsi baik bagi pengurus maupun anggota jika mangkir dalam kegiatan usaha simpan pinjam. Setelah tiga tahun berjalan usaha simpan pinjam mampu membuktikan keseriusan pengurus mengelola usaha simpan pinjam. Bukti keseriusan pengurus dalam mengelola usaha simpan pinjam dibuktikan dengan cara melakukan laporan perkembangan usaha simpan pinjam dan laporan keuangan yang dilakukan tiap tahun yaitu tiap tanggal 29 Juni. Berikut adalah laporan keuangan usaha simpan pinjam dusun Sindet tahun 2007.

Fato laporan tahunan keuangan KTW Boma dusun Sindet tahun 2007.

Usaha simpan pinjam di dusun Sindet saat ini menjadi kepercayaan masyarakat setempat. Kepercayaan masyarakat tersebut terlihat dari jumlah peserta simpan pinjam yang saat ini mencapai 213 orang. Jumlah tersebut adalah keseluruhan dari jumlah rumah tangga yang ada di dusun tersebut ( Data Sekunder Simpan Pinjam KTW Boma 2007) Hal ini disebabkan beberapa keunggulan dari usaha simpan pinjam dibandingkan dengan perbankan. Kelebihan tersebut seperti apa yang dikemukakan oleh Frans Wiryanto Jomo manfaat simpan pinjam tersebut adalah :

Zulianti PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI INSTITUSI LOKAL SIMPAN PINJAM DI DUSUN SINDET, KELURAHAN TRIMULYO KECAMATAN JETIS KABUPATEN BANTUL

63

1.

2. 3.

4.

Usaha simpan pinjam merupakan sumber modal bagi usaha kecil. Bagi pemilik usaha kecil untuk meminjam pada rentenir akan membuat terjerat pada besarnya bunga, sedangkan pinjam pada perbankan memerlukan persyaratan yang berbelit. Usaha simpan pinjam mendidik hidup hemat. Usaha simpan pinjam membina martabat manusia. Usaha ini mampu memberi pertolongan pada anggota yang membutuhkan biaya mendadak yang tidak mungkin didapatkan pada lembaga keuangan. Usaha simpan pinjam sarana memberdayakan masyarakat melalui kerjasama. Usaha simpan pinjam ukan merupakan usaha perorangan melainkan usaha bersama. Usaha simpan pinjam mengutamakan kerjasama antara anggota dan pengurus (Frans Wiryanto Jomo ; 1986)

Simpan pinjam digalakkan oleh warga karena usaha simpan pinjam bukan hanya masyarakat bisa meminjam saja tetapi juga menabung. Hal ini seperti pendapat dari Frans Wiryanto Jomo dalam bukunya Membangun Masyarakat, dikemukakan bahwa usaha simpan pinjam bukanlah merupakan suatu usaha pinjam dimana seseorang bisa meminjam saja tetapi suatu usaha yang bisa membina anggotanya untuk menabung. Oleh karena itu usaha simpan pinjam harus membawa dampak kesejahteraan anggota tidak hanya menanamkan sikap senang pinjam ( Frans Wiryanto Jomo 1986). Pendapat Frans Wiryanto Jomo yang menyatakan usaha simpan pinjam dapat memupuk gemar menabung tampak pada Kelompok Wanita Tani Boma dimana modal usaha pada kelompok tersebut diperoleh dari simpanan atau tabungan anggota yang berupa : Simpanan pokok Rp 5.000,00 ; Simpanan wajib bagi yang mendapat pinjaman sebesar Rp. 10.000 ; Simpanan sukarela diperuntukkan bagi anggota yang mau menabung. Tabungan ini dimanfaatkan warga untuk menabung dalam mempersiapkan memenuhi kebutuhan seperti biaya sekolah, pembelian motor. Tabungan sukarela inilah yang mempercepat perkembangan modal usaha simpan pinjam KTW Boma. Disamping itu modal usaha simpan pinjam diperoleh pula dari jasa pinjaman anggota yaitu sebesar 2%/ bulan dengan model pembagian hasil 60 % untuk penabung dan 40% untuk peminjam. Dari jumlah persentasi bunga yang ditetapkan oleh KTW Boma cukup besar, tetapi ini merupakan salah satu daya tarik bagi penabung disamping itu hal ini tidak merugikan peminjam karena jasa pinjaman dibagikan kembali pada anggota yang terdiri dari penabung dan peminjam dalam 2 tahun sekali. Perhatian pemerintah pada usaha KTW Boma dituangkan dalam bentuk bantuan modal sebesar Rp. 25.000.000,00 . Dana tersebut merupakan dana hibah Departemen Pertanian bagi pemberdayaan kelompok tani wanita . Dana tersebut oleh KTW Boma dimanfaatkan sebagai modal tambahan dalam usaha simpan pinjam. Foto pertemuan rutin dan kegiatan simpan pinjam KTW Boma dusun Sindet.

64

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

Kepercayaan masyarakat Sindet terhadap usaha simpan pinjam terbukti dengan banyaknya modal yang tergali dari masyarakat setempat. serta meningkatnya jumlah usaha rumahan didusun Sindet . Dana yang tergali sejak tahun 2000 hingga tahun 2007 sebesar Rp 301.331.850,00. (Sumber : pembukuan simpan pinjam KTW Boma ) Menurt pengurus KTW Boma modal tersebut dipinjamkan kepada anggota sebagai modal usaha. Hingga saat ini KTW Boma mampu memberikan pinjaman modal sebesar 2 juta sampai 3 juta perorang dengan jumlah peminjam pada tiap kali pertemuan sebanyak 10 orang. Pinjaman diberikan pada anggota secara bergilir dengan maksud agar semua anggota dapat memanfaatkan pinjaman tersebut. Pengembalian pinjaman diangsur maksimal 20 kali dan diangsur tiap dua minggu sekali. Angsuran dua munggu sekali dimaksudkan agar peminjam tidak keberatan dalam mengangsur pinjaman . Perkembangan hasil pemberdayaan masyarakat dengan memanfaatkan usaha simpan pinjam pada usaha rumahan yang ada di dusun Sindet saat ini ada 70% dari jumlah penduduk yang ada. Semula jumlah usaha rumahan sebanyak 30 % dari jumlah penduduk yang ada. ( Sumber : Sindet dalam angka 2007). Jenis usaha yang ada didusun sindet adalah :
Jenis Usaha Masyarakat Dusun Sindet tahun 2007
No 1 2 3. 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Jenis Usaha Pembuat jenang ketan Pembuat wajid dan jadah Pembuat tempe Warung makan Warung klontong Pengolah ubi gadung Pembuat rempeyek Pembuat susu kedelai Pengrajin sulaman Penjahit Warung angkringan Penjual gorengan Peternak bebek Jumlah 2000 1 1 2 1 5 30 ( musiman) 3 10 1 1 4 Sumber : Sindet dalam angka 2007. Jumlah th 2007 3 4 7 5 13 47 ( musiman) 8 4 25 2 2 5 8

Melihat data tersebut dari jumlah modal yang terkumpul serta jumlah usaha kescil masyarakat yang ada maka dapat diketahui bahwa proses pemberdayaan masyarakat dusun Sindet dengan memanfaatkan usaha simpan pinjam dapat dikatakan berhasil karena dengan usaha simpan pinjam telah mampu meningkatkan perekonomian masyarakat miskin tanpa harus menggantungkan diri pada bantuan yang tidak memberikan penyelesaian pada masalah kemiskinan yang dihadapi. Hal tersebut sejalan denga apa yang diukemukakan Pranarka dan Moeljarto dalam buku Manajemen Pemberdayaan karangan Randi R Wrihatnolo bahwa pemberdayaan adalah :

Zulianti PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI INSTITUSI LOKAL SIMPAN PINJAM DI DUSUN SINDET, KELURAHAN TRIMULYO KECAMATAN JETIS KABUPATEN BANTUL

65

1.

2.

3.

Pemberdayaan adalah penghancuran kekuasaan atau power to nobady. Pandangan ini didasarkan pada keyakinan bahwa kekuasaan telah mengalienasi serta menghancurkan manusia dari eksistensinya. Pemberdayaan adalah pemberian kekuasaan pada setiap orang atau power to everybody. Hal ini didasarkan adanya keyakinan bahwa kekuasaan yang terpusat akan menimbulkan abuse dan cenderung mengalienasi hak normative manusia yang tidak berkuasa. Pemberdayaan adalah penguatan kepada yang lemah tanpa menghancurkan yang kuat . ( Randi R Wrihatnolo ; 2007).

Foto usaha kecil masyarakat dusun Sindet yang memanfaatkan jasa usaha simpan pinjam sebagai modal usaha.

Peternak bebek milik bapak Arjo memanfaatkan pinjaman KTW Boma sebagai modal usaha.

Industri rumah tangga pembuatan bakso goreng.

Warung makan ibu Siti

Warung klontong ibu Anton

66

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

D. Model Pemberdayaan Masyarakat Dusun Sindet.


Dalam kondisi mutakhir seperti sekarang ini banyak pilihan prespektif pemberdayaan masyarakat. Randhi R. Wrihatnolo mengemukakan bahwa perpektif pemberdayaan masyarakat dimulai dengan perspektif tindakan untuk komunitas , tindakan ini biasanya dilakukan terhadap golongan minoritas atau kelompok yang kurang beruntung . Selanjutnya adalah perpektif gerakan sosial untuk merangsang kapasitas pembangunan lokal secara partisipatif. Saat ini perspeltif yang marak dipergunakan adalah perspektif pembangunan yang digerakkan masyarakat . Perspektif ini dapat didefinisikan sebagai kontrol keputusan dan sumber daya oleh komunitas (Randhi R. Wrihatnolo ; 2007). Lebih lanjut dikemukakan Randhi bahwa konsep pembangunan yang digerakkan masyarakat relevan pada kondisi skala kecil , tidak komplek dan membutuhkan kerjasama lokal serta pengelolaan kelompok dalam komunitas memungkinkan diklakukan secara akrab. Keberhasilan pemberdayaan masyarakat dusun Sindet melalui ekonomi mikro yang salah satu jenis usaha simpan pinjam disebabkan karena mereka menerapkan partisipasi pada semua anggota simpan pinjam. Arti penting partisipasi pada pemberdayaan dikemukakan oleh Midgley
....participation refers to an active process whereby beneficiaries influence the direction and axecution of develpment project rather than merely receive a shere of project beneficts. ( Randhi R. Wrihatnolo; 2007).

Keterlibatan masyarakat dusun Sindet dalam usaha simpan pinjam dimulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil serta evaluasi . Partisipasi mendukung masyarakat untuk sadar akan situasi dan masalah masalah yang dihadapi serta berusaha mencari solusi dari masalah yang dihadapi masyarakat. Untuk mengetahui bentuk partisipasi anggota KTW Boma, penulis menanyakan pada anggota yaitu pada ibu Sunarni . Dari pertanyaan yang diajukan yaitu apa yang ibu lakukan dalam persiapan pembentukan KTW Boma , serta partisipasinya pada pelaksanaan usaha simpan pinjam. Dari pertanyaan tersebut diketahui bahwa bentuk partisipasi dalam pembuatan keputusan terlihat dari adanya usulan-usulan anggota mengenai aturan-aturan simpan pinjam. Partisipasi dalam penerapan keputusan terlihat dari kepatuhan seluruh anggota dan pengurus pada aturan yang berlaku serta kemauan anggota untuk menegur pada anggota maupun pengurus jika terjadi pelanggaran terhadap aturan yang berlaku. Demikian pula dalam evaluasi, anggota KTW Boma tidak segan - segan mengajukan pertanyaan jika terjadi kejanggalan laporan. (Sumber hasil wawancara dengan informan.).

E. Kesimpulan
Pemberdayaan masyarakat dusun Sindet dengan memanfaatkan istitusi lokal yang ada yaitu gotong royong yang diujudkan dalam bentuk usaha simpan pinjam. Usaha simpan pinjam merupakan salah satu unit usaha mikro. Keberhasilan pemberdayaan masyarakat di dusun Sindet disebabakan karena beberapa faktor : 1. 2. 3. 4. Kerja keras baik pengurus maupun anggota dalam menggali modal awal yang berupa simpanan pokok serta simpanan sukarela. Transparansi kagiatan dan laporan keuangan yang dilakukan pengurus. Partisipasi anggota pada kegiatan usaha simpan pinjam mulai dari penentuan aturan sampai pada pelaksanaan serta evaluasi kegiatan. Kesadaran masyarakat akan arti penting kemandirian. Tidak menggantungkan pada bantuan dari pihak lain.

Dari hasil obeservasi yang dilakukan tersebut diketahui bahwa pemberdayaan masyarakat dapat berhasil dan berjalan terus jika ada kesadaran dari masyarakat akan arti penting kemandirian. Jika hal tersebut sudah ada maka akan muncul rasa memiliki pada program pemberdayaan.

Zulianti PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI INSTITUSI LOKAL SIMPAN PINJAM DI DUSUN SINDET, KELURAHAN TRIMULYO KECAMATAN JETIS KABUPATEN BANTUL

67

Daftar pustaka
Sunartiningsih , Agnes ; Pemberdayaan Masyarakat Melalui Institusi Lokal, Universtas Gadjah Mada, 2004 Sunartiningsih , Agnes ; Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Universtas Gadjah Mada, 2004. Wrihatnolo, Randy R dan Riant Nugroho Dwijowijoto, Manajemen Pemberdayaan , Sebuah Pengantar Dan Panduan Untuk Pemberdayaan Masyarakat, PT Elex Media Komputindo, 2007. Wiryanto Jomo, Frans , Membangun Masyarakat, Alumni Bandung, 1986. Sindet Dalam Angka 2007. Pembukuan simpan pinjam KTW Boma Prawoto Gati admin@ybul.or.id.www.ybul.or.id. tanjabbarkab.go.id/ekonomi/index2.php?isinye=&id )

REMAJA, SEKOLAH, DAN PERGAULAN BEBAS: (Studi di SMTA Berbasis Agama Islam di Kota Purwokerto)
Mintarti dan Nanang Martono nmintarti@yahoo.co.id, nanang_martono@yahoo.co.id Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

ABSTRACT The purpose of this research were: (1) to know the perception of Islam religion-based senior high school students to free-sex relationships of the youth groups, (2) to know the relationship of Islam religion-based senior high school students inside the school environment and it regulation mechanism, (3) to know the relationship of senior high school students outside the school. This study was basically a qualitative research. On the basis of the difficulty to obtain the required matched informant, this study used survey method. The study location was in Purwokerto City, namely at three Islam religion-based high schools. The main subjects of this study were male and female students of those schools. The data were obtained via the distributions of questionaires, deep interviews, and observation using observer as participant type. The conclusion of this study were: (1) the students of Islam religion-based high schools define the free intra-sex relationships as extensive, obstructive or deviate shape of relationships, normatively, socially, or religiously. In their opinions, the current free intra-sex relationship in the youth environment has been in the category of worrying and severe. The free intra-sex relationships in their opinions can cause the negative impact, even destroy the life of the doers, (2) in the Islam religion-based high schools the intrasex relationships were controlled by same regulation, that are not always in the written form. The details of the regulations is usually forwarded orally by the teachers, (3) although the intra-sex interactions were limited in the schools, however, outside the schools the interactions are freely conducted constantly. Most of the students (84.15%) said that they have boy or girl-friends. Keywords: student, free intra-sex relationships, Islam religion-based high school

PENDAHULUAN
Munculnya pemberitaan mengenai video porno yang dimainkan oleh tiga orang yang diduga artis papan atas Indonesia pada akhir minggu pertama bulan Juni 2010 kembali menyentak benak banyak orang dari berbagai kalangan. Tidak kurang dari menteri bahkan presiden pun ikut berkomentar dan memberikan pendapatnya (Kompas, 19 Juni 2010). Demikian luasnya pemberitaan di seputar kasus itu, membuat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberi peringatan kepada sejumlah stasiun televisi untuk tidak menayangkan potongan gambar dari video yang menghebohkan itu. Begitu pula Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga memberi komentar keras terhadap beredar luasnya video yang dengan mudah dapat diunduh dari internet. Hal itu didasari oleh kekhawatiran banyak pihak akan dampak negatif dari beredar luasnya pemberitaan itu terhadap para remaja bahkan anak-anak.

Mintarti dan Nanang Martono REMAJA, SEKOLAH, DAN PERGAULAN BEBAS: (Studi di SMTA Berbasis Agama Islam di Kota Purwokerto)

69

Merebaknya video porno tersebut dengan didukung oleh kemudahan mengaksesnya, telah memberi andil bagi terjadinya tindak asusila yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal itu bukan saja dilakukan oleh orang dewasa melainkan juga oleh anak-anak di bawah umur. Kasus lima orang bocah laki-laki yang semuanya berusia di bawah 11 tahun, memperkosa dua orang bocah perempuan berumur 5 tahun dan 7 tahun, merupakan contoh dari kejadian yang mengerikan itu (Amarula, 2011). Kenyataan-kenyataan pahit di dalam masyarakat itu mengharuskan orang tua untuk makin waspada. Salah satu bentuk kewaspadaan tersebut adalah dengan memasukkan anak-anaknya di sekolah-sekolah berbasis agama. Di sekolah tersebut anak bukan hanya dibekali dengan ilmu-ilmu umum, melainkan juga ilmu-ilmu agama yang porsinya jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang diberikan di sekolah umum. Di sekolah itu pun pergaulan anak-anak dalam konteks relasi antara laki-laki dan perempuan - menjadi lebih terbatas. Di dalam masyarakat terdapat berbagai sekolah berbasis agama khususnya agama Islam. Sekolahsekolah tersebut ada yang dikelola oleh pemerintah di bawah Kementerian Agama seperti Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) sampai dengan Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Selain itu, pihak swasta/masyarakat melalui organisasi-organisasi keagamaannya juga banyak yang menyelenggarakan pendidikan berbasis agama ini. Dapat disebut di sini antara lain, sekolah-sekolah Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Nahdhatul Ulama yang biasanya menggunakan nama Maarif. Di era sekarang ini, sekolah berbasis agama Islam cukup banyak diminati masyarakat. Kenyataan bahwa masyarakat semakin berminat untuk memasukkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah berbasis agama Islam ini juga tampak di Kota Purwokerto. Fenomena tersebut di satu sisi menggembirakan karena di tengah gempuran persoalan dekadensi moral, agama masih dijadikan tempat berpaling dan berfungsi sebagai penjaga moral. Namun pada sisi yang lain, kekhawatiran masih tetap membayangi. Sudah selesaikah permasalahan dengan menyekolahkan anak-anak ke lembaga pendidikan berbasis agama? Pertanyaan ini layak untuk diajukan mengingat bahwa dewasa ini pergaulan di kalangan remaja sudah makin bebas. Berbagai penelitian maupun survei yang dilakukan di berbagai kota di Indonesia juga makin memperkuat fakta adanya perubahan pola pergaulan di kalangan anak-anak muda. Kesimpulan survei terbaru dari KPAI menyatakan bahwa sebanyak 32 persen remaja usia 14-18 tahun di Jakarta, Bandung, dan Surabaya mengaku pernah melakukan hubungan seksual. Terungkap pula bahwa perilaku tak pantas para remaja itu dipicu oleh muatan pornografi yang mereka akses dengan mudahnya di internet (Silalahi, 2011). Atas dasar fenomena tersebut, maka kajian mengenai permasalahan ini menjadi menarik dan penting untuk dilakukan. Kajian ini ditujukan kepada kalangan remaja yang dalam hal ini adalah siswa-siswi yang duduk di bangku Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA) karena di usia inilah gejolak emosi dan ketertarikan kepada lawan jenis sedang tumbuh dan berkembang dengan sangat pesat. Kajian terhadap tema ini menjadi cukup strategis untuk dilakukan agar masyarakat terutama para orang tua yang memiliki anak-anak di usia remaja dapat selalu waspada dalam mengawasi pergaulan putra-putrinya, dan tidak sekedar menyerahkannya kepada sekolah bahkan yang berbasis agama sekali pun. Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana pergaulan di kalangan remaja yang bersekolah di SMTA berbasis agama Islam? Secara lebih spesifik, pertanyaan tersebut akan diurai dalam pertanyaanpertanyaan yang lebih rinci sebagai berikut: (1) bagaimana pandangan siswa SMTA berbasis agama Islam terhadap pergaulan bebas di kalangan remaja? (2) bagaimana pergaulan antara siswa laki-laki dan perempuan di sekolah tersebut? (3) apakah ada mekanisme di sekolah yang mengatur tata cara pergaulan antara siswa laki-laki dan perempuan? Jika ada, bagaimana mekanisme tersebut diberlakukan? (4) bagaimana pergaulan antara siswa laki-laki dan perempuan di luar sekolah?

70

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

KAJIAN PUSTAKA 1. Peran Lembaga Pendidikan Islam dalam Masyarakat


Di dalam masyarakat, lembaga persekolahan selain berfungsi sebagai sarana transformasi kebudayaan, juga menjadi tempat bagi generasi muda untuk bersosialisasi,serta mengenal teman-teman sebaya dari berbagai latar belakang sosial budaya yang beragam. Pertemanan antar remaja yang duduk di bangku SMP dan SMA biasanya menumbuhkan rasa solidaritas yang sangat kuat. Akibatnya, tidak mengherankan apabila perilaku mereka mudah menjadi seragam karena faktor imitasi atau meniru di antara temanteman sebaya mereka. Jika yang ditiru adalah hal-hal yang baik atau positif, seperti belajar bersama dalam kelompok studi atau hobi-hobi positif lainnya, tentu tidak menimbulkan masalah. Namun sebaliknya, apabila peniruan yang dilakukan sudah menyangkut hal-hal yang negatif seperti merokok, mengonsumsi narkoba, sampai mengakses hal-hal berbau pornografi dari internet, hal seperti ini seringkali membuat orang tua di rumah cemas dan khawatir. Menyadari akan pentingnya lingkungan sekolah bagi pergaulan putra-putri remajanya, banyak orang tua yang kemudian melirik lembaga pendidikan berbasis agama seperti pesantren dan sekolah-sekolah berbasis agama Islam sebagai tempat anak-anak menuntut ilmu. Ketertarikan orang tua untuk memasukkan anak-anaknya ke lembaga pendidikan berbasis agama Islam antara lain karena kurikulumnya yang bernilai plus, dalam arti selain mengajarkan ilmu-ilmu umum juga mengajarkan ilmu agama. Dengan bekal ilmu agama, siswa menjadi lebih tahu serta paham akan norma-norma dan nilai-nilai ajaran agama, sehingga diharapkan akan menjadi benteng moral di dalam berperilaku. Antusiasme orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah berbasis agama Islam membuat makin tumbuh suburnya sekolah-sekolah ini. Berbagai kalangan pun kini tidak ragu-ragu lagi untuk mendirikan sekolah berbasis agama Islam, tidak terkecuali di Kabupaten Banyumas. Menurut data Kemenag Kabupaten Banyumas, ada 13 MA (Madrasah Aliyah), 43 MTs (Madrasah Tsanawiyah), dan 139 MI (Madrasah Ibtidaiyah), 112 RA/BA(Raudlatul Athfal/Bustanul Athfal). Jumlah ini belum termasuk sekolah-sekolah Islam di bawah koordinasi Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas (Umar, 2010). Meskipun besarnya jumlah sekolah Islam tidak selalu identik dengan kualitasnya, paling tidak hal itu mencerminkan tumbuhnya gairah masyarakat untuk menjadikan agama sebagai basis moral. Berbagai kelemahan dan kekurangan yang masih terdapat di sejumlah sekolah Islam pun tidak berarti bahwa sekolah jenis ini tidak dapat memberi sumbangsih yang besar bagi masyarakat. Kajian terhadap novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang dilakukan oleh Mintarti, dkk. (2009) menunjukkan bahwa sekolah didefinisikan dan dimaknai sebagai institusi sosial yang memerdekakan walaupun secara fisik tidak layak sebagai sebuah tempat belajar. Artinya, sekolah berfungsi sebagai pembebas dari jerat kebodohan, motivator bagi murid-muridnya untuk maju, dan sekaligus sebagai penjaga nilai-nilai moral. Kisah yang didasarkan pada pengalaman pribadi penulisnya saat bersekolah di SD Muhammadiyah yang miskin dan hampir roboh di Belitong itu menjadi bukti bahwa sekolah Islam berperan cukup besar dalam melepaskan masyarakat dari belenggu kebodohan. Dari sekolah miskin itulah justru lahir orang yang mempunyai mimpi melambung tinggi dan terus berusaha mewujudkan mimpinya itu hingga berhasil. Sekolah Islam, dalam kisah ini menjadi sumber energi yang besar untuk maju.

2. Remaja dan Sekolah


Bagi remaja, sekolah dapat menjadi tempat yang menyenangkan namun dapat pula menjadi tempat yang membosankan dan membelenggu. Dilema institusi pendidikan bernama sekolah ini disebabkan oleh fungsi manifesnya yaitu sebagai tempat transformasi ilmu pengetahuan, dan fungsi latennya sebagai tempat untuk memperpanjang masa remaja. Sebagai sarana transformasi ilmu pengetahuan, sekolah

Mintarti dan Nanang Martono REMAJA, SEKOLAH, DAN PERGAULAN BEBAS: (Studi di SMTA Berbasis Agama Islam di Kota Purwokerto)

71

membuat kurikulum dan berbagai aturan yang mengikutinya yang mengikat dan memaksa siswa untuk patuh sehingga mereka menjadi individu yang tidak bebas. Di sisi lain, di tempat ini pula para siswa berusia remaja itu bertemu dengan teman-teman sebaya mereka, baik laki-laki maupun perempuan sehingga dari situ terciptalah interaksi yang menyenangkan. Dengan bersekolah, para remaja juga tidak dituntut untuk segera menikah dan menjadi orang tua dengan segala kewajiban yang berat. Akibatnya, masa remaja pun menjadi lebih panjang. Panjangnya masa remaja menjadi masa yang menyenangkan karena mereka dapat bebas bermain dan mengekspresikan diri sesuai dengan keinginan mereka. Secara definitif, terdapat berbagai interpretasi mengenai remaja. Partini dan Asriani (dalam Azca, Margono, dan Wildan: 2011) menyebutkan bahwa berdasarkan usia, menurut WHO terdapat dua kategori usia untuk mendudukkan remaja, yakni remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun. Sementara dalam konseptualisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) remaja adalah subjek yang sama dengan pemuda yakni seseorang yang berada dalam rentang usia 15-20 tahun. Definisi remaja yang hanya dijelaskan melalui ukuran usia tertentu, secara psikologis dan sosial menjadi sulit untuk dibenarkan. Pada hakikatnya remaja bukan sebagai subjek yang mandiri dalam konteks Indonesia. Remaja hanya sebagian dari fase yang secara sosial melekat pada diri pemuda. Terlepas dari interpretasi tentang penyebutan remaja atau pemuda, pada rentang usia antara 1520 tahun pada umumnya mereka sedang menuntut ilmu di jenjang SMTA. Pada masa usia ini, secara sosiologis mereka sedang dalam posisi yang rentan terhadap pengaruh dari luar. Mereka juga senang berkumpul bersama kelompok seusianya bahkan terkadang sulit untuk keluar dari peer groupnya tersebut. Dengan karakteristik yang demikian itu maka bagi remaja di tahap ini, sekolah menjadi tempat yang indah karena di tempat itulah sosialisasi dengan teman-teman sebayanya baik laki-laki maupun perempuan berjalan lebih intens. Mulai tumbuhnya perasaan tertarik terhadap lawan jenis atau yang secara umum lebih dikenal dengan istilah jatuh cinta, juga menjadikan sekolah menjadi lahan subur terjalinnya hubungan antara remaja laki-laki dan perempuan atau yang lebih populer disebut dengan istilah pacaran. Kenyataan bahwa pada masa SMTA inilah remaja mulai mengenal cinta, kadangkala membuat mereka lupa diri sehingga mudah terjerumus kepada pergaulan yang terlalu bebas tanpa mengindahkan norma-norma sosial dan agama. Hasil penelitian di Denpasar mengenai perilaku seks remaja sekolah menyatakan bahwa bahwa dari 766 responden, terdapat 526 responden yang menyatakan mereka telah melakukan aktivitas seksual seperti pelukan, 458 responden sudah berciuman bibir, 202 responden sudah pernah mencium leher (necking), disusul 138 responden sudah menggesek-gesekkan alat kelamin tanpa berhubungan seks (petting), 103 responden sudah pernah hubungan seksual, dan 159 menyatakan aktivitas seksual lain selain yang disebutkan tadi (Rasmini, 2007). Studi tersebut menunjukkan bahwa para siswa di SMTA telah mengenal aktivitas seksual yang cukup jauh. Kenyataan tersebut mengharuskan orang tua lebih waspada dalam mengawasi putra putrinya. Demikian pula dengan pihak sekolah khususnya sekolah-sekolah berbasis agama Islam, sudah seharusnya membuat mekanisme yang memungkinkan bagi tumbuhnya kesadaran para siswa untuk tidak melakukan hal-hal yang belum boleh mereka lakukan. Kesadaran menjadi penting artinya karena hal itu merupakan pendorong dari dalam (faktor internal). Di tengah kepungan faktor eksternal berupa suguhan materi berbau pornografi dari media massa baik cetak maupun elektronik yang begitu mudah diakses, dorongan untuk mengontrol diri yang tumbuh dari dalam akan lebih efektif hasilnya dibanding paksaan yang hanya akan melahirkan ketaatan semu.

3. Review Studi Terdahulu


Studi pertama, dilakukan oleh Oktiva (2010) dengan judul Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan mengenai Kesehatan Reproduksi Remaja dan Pola Asuh Orang Tua dengan Sikap Remaja men-

72

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

genai Seks Bebas di SMA N 1 Tawangsari Sukoharjo. Ada beberapa kesimpulan dari studi tersebut. Pertama, pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi siswa di SMA N 1 Tawangsari Sukoharjo sebagian besar baik; kedua, pola asuh orang tua siswa di SMA N 1 Tawangsari Sukoharjo sebagian besar otoritatif, ketiga, sikap remaja mengenai seks bebas pada siswa SMA N 1 Tawangsari Sukoharjo sebagian besar baik, keempat, ada hubungan yang sedang antara pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi dengan sikap remaja mengenai seks bebas pada siswa SMA N 1 Tawangsari Kabupaten Sukoharjo. Semakin baik peningkatan pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi, maka sikap remaja mengenai seks bebas juga semakin baik, dan kelima, terdapat hubungan yang rendah antara pola asuh orang tua dengan sikap remaja mengenai seks bebas pada siswa SMA N 1 Tawangsari Kabupaten Sukoharjo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang memiliki pola asuh otoritatif memiliki sikap mengenai seks bebas lebih baik daripada siswa yang memiliki pola asuh permisif. Studi 2 dilakukan oleh Rahman (2010) dengan judul Implikasi Pemahaman Nilai-nilai Keagamaan terhadap Perilaku Kenakalan Remaja (Studi Deskriptif Analitis di SMP Yayasan Budi Bakti Bandung). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama, pemahaman remaja SMP Yayasan Budi Bakti (YBB) terhadap nilai-nilai keagamaan masih parsial, belum secara utuh dan mendalam. Nilai-nilai keagamaan (aqidah, syariah dan akhlak) yang menunjukkan aktivitas rohani dan jasmani dalam wujud perintah, larangan, dan ibadah, juga dengan kualitas nilai baik dan buruk tidak difahami seutuhnya; kedua, kenakalan remaja yang dominan dilakukan adalah yang bersifat amoral, sedangkan yang sifatnya melanggar hukum hanya dilakukan oleh sebagian kecil remaja dengan berbagai faktor baik internal maupun eksternal; ketiga, nilai-nilai keagamaan yang dipahami dengan baik, kemudian beramal sejauh isi ajaran Islam, memiliki implikasi positif terhadap perilaku remaja, dengan ciri khas tidak akan melakukan hal-hal yang merugikan atau menyimpang. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pemahaman nilai-nilai keagamaan memiliki implikasi yang signifikan terhadap perilaku kenakalan remaja, sehingga pembinaan moral melalui agama terhadap remaja dan remaja delinkuen layak dilakukan dengan lengkap secara teoritis dan aplikatif baik di keluarga, sekolah serta masyarakat. Studi 3 berjudul Kenakalan Siswa Madrasah Salafiyah Ula (Studi Kasus di Kelas 5 MSU Al Ukhuwah Joho, Sukoharjo Tahun Ajaran 2007/2008) yang dilakukan oleh Setiawan (2010). Hasil penelitian yang diperoleh adalah bahwa bentuk-bentuk kenakalan yang terjadi adalah kenakalan yang sudah di luar batas kewajaran yang dampaknya sebagian besar merugikan orang lain dan sebagian kecil merugikan diri sendiri. Faktor-faktor yang menjadi sebab dari munculnya kenakalan-kenakalan pada kasus ini lebih banyak berasal dari faktor eksternal, yaitu kondisi fasilitas sekolah yang sementara ini belum memadai, peraturan dan kegiatan yang dirasa cukup mengikat, sarana dan metode pengajaran yang kurang adaptif dengan tuntutan pembelajaran serta faktor media massa dan lingkungan pergaulan di lingkungan rumah yang kurang mendapat pengawasan. Kesimpulan yang bisa diambil secara umum dari penelitian ini adalah keadaan lingkungan pergaulan sangat berpengaruh terhadap perasaan dan perilaku komunitasnya. Ketiga hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sikap remaja terhadap pergaulan bebas khususnya dan kenakalan remaja pada umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor. Di antaranya adalah pola asuh orang tua di rumah, lingkungan pergaulan di sekolah, serta tingkat religiusitas dari individu remaja itu sendiri. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa pemahaman yang baik terhadap ajaran agama berimplikasi positif terhadap upaya menangkal kenakalan remaja. Namun demikian, penelitian-penelitian tersebut tidak satu pun yang mengambil fokus pada persoalan pergaulan bebas di lingkungan sekolah berbasis agama Islam. Mengingat bahwa pemahaman yang baik terhadap ajaran agama serta lingkungan pergaulan di sekolah memberi andil bagi muncul atau tidaknya kenakalan remaja termasuk sikap remaja terhadap pergaulan bebas, maka penelitian yang akan dilakukan ini menjadi menarik untuk dilaksanakan. Kajian ini ingin melihat apakah sekolah-sekolah berbasis agama Islam khususnya yang ada di kota Purwokerto telah benar-benar menjadi lingkungan

Mintarti dan Nanang Martono REMAJA, SEKOLAH, DAN PERGAULAN BEBAS: (Studi di SMTA Berbasis Agama Islam di Kota Purwokerto)

73

yang baik dan aman bagi siswa untuk terhindar dari pergaulan bebas, dan apakah tingginya muatan keagamaan pada kurikulum sekolah tersebut dapat terinternalisasi dengan baik kepada para siswanya.

Metode Penelitian
Penelitian ini pada dasarnya adalah penelitian kualitatif. Namun demikian, dalam praktiknya karena mempertimbangkan sulitnya mendapatkan informan yang dibutuhkan secara tepat, maka penelitian ini juga menggunakan survei yang merupakan bagian dari metode kuantitatif, dengan cara membagikan kuesioner kepada siswa di sekolah-sekolah yang telah ditetapkan sebagai lokasi penelitian. Hasil yang diperoleh dari survei dengan kuesioner tersebut, kemudian dijadikan dasar untuk memilih dan menentukan informan-informan yang diperlukan dalam penelitian ini. Para informan tersebut selanjutnya diwawancarai secara lebih mendalam agar diperoleh data yang lebih dalam.

1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Purwokerto, yaitu di SMTA berbasis agama Islam. Dengan mempertimbangkan perimbangan negeri-swasta dan organisasi massa Islam terbesar yang ada di Indonesia yang menaungi sekolah-sekolah tersebut, maka penelitian ini menetapkan tiga sekolah yang terdiri atas satu sekolah negeri dan dua sekolah swasta. Atas dasar etika penelitian, maka dalam laporan penelitian ini ketiga sekolah tersebut cukup disebut dengan sekolah A, B, dan C. Pertimbangan untuk tidak menyebut nama sekolah secara terbuka diambil karena untuk tetap menjaga kerahasiaan dan nama baik (citra) sekolah-sekolah tersebut.

2. Subjek Penelitian
Subjek utama penelitian ini adalah para siswa baik laki-laki maupun perempuan di sekolah-sekolah berbasis agama Islam yang telah dilipih sebagai lokasi penelitian. Di masing-masing sekolah diberikan 30 kuesioner sehingga jumlah seluruhnya adalah 90. Namun demikian, tidak semua kuesioner dapat kembali dan terisi semua. Kuesioner yang kembali dan terisi berjumlah 82. Jumlah responden yang bersedia menjadi informan penelitian ini ada 11 orang yang terdiri atas 6 siswa laki-laki dan 5 siswa perempuan. Subjek pendukungnya adalah guru dan pengelola sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah).

3. Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan cara memberikan kuesioner, wawancara mendalam dan observasi dengan tipe observer as participant.

4. Metode Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan terdiri atas dua tahap. Pertama adalah dengan memeriksa hasil pengisian kuesioner dengan cara menghitung distribusi frekuensi dari jawaban-jawaban yang diberikan oleh responden. Tahap kedua adalah analisis kualitatif mengenai hasil wawancara dengan informan.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Pandangan Siswa terhadap Pergaulan Bebas


Sejumlah pengertian yang dapat disarikan dari kuesioner yang dibagikan kepada para siswa di tiga sekolah yang menjadi sasaran penelitian ini menunjukkan bervariasinya jawaban mereka terhadap pertanyaan apa yang dimaksud dengan pergaulan bebas? Berikut ini adalah ringkasan pendapat para responden:

74

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

Tabel 1 Pendapat Responden Mengenai Pergaulan Bebas


No. 1 Sekolah A Definisi/Pendapat mengenai Pergaulan Bebas Pergaulan yang tidak baik, yang melebihi batas dan yang menyimpang dari norma dan nilai moral agama. Bermain yang tidak menggunakan waktu. Segala sesuatu yang dilakukan oleh para remaja yang tanpa dipikir resiko baik dan buruknya. Free sex Pergaulan yang di luar norma-norma bergaul dalam masyarakat. Masa pergaulan yang mengikuti perkembangan jaman di usia pubertas. Pergaulan yang jauh dari pengawasan guru dan orang tua (minum minuman keras, obat-obatan terlarang, clubbing, dan seks). Pergaulan yang berdampak buruk pada pelaku. Pergaulan remaja yang tidak sewajarnya (berlebihan) dari batas usianya. Pergaulan yang menjurus kepada situasi yang salah dan tidak seharusnya (terjerumus). Pergaulan yang semaunya sendiri, melewati batas norma sosial dan agama, tanpa tahu akibat untuk diri sendiri dan orang lain. Pergaulan/tindakan yang di luar batas kewajaran untuk usianya. Pergaulan remaja yang melampaui batas kewajaran yang dapat membuat moral remaja rusak, bahkan hancur. Pergaulan yang berlebihan. Sumber: Data primer, 2011.

2.

3.

Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa menurut responden pada intinya yang disebut dengan pergaulan bebas adalah pergaulan yang melebihi, melewati, melanggar, atau menyimpang dari norma-norma baik sosial maupun agama. Mereka juga menyebutkan bahwa pergaulan bebas dapat berdampak buruk bahkan menghancurkan hidup pelakunya. mengonsumsi obat-obat terlarang, clubbing hingga melakukan seks bebas. Dari tabel tersebut juga dapat diketahui bahwa para responden mengetahui dampak negatif yang ditimbulkan dari pergaulan bebas. Secara lebih spesifik, informan penelitian ini memberikan pandangannya mengenai pergaulan bebas di kalangan remaja, sebagaimana tampak dari pernyataan-pernyataan berikut ini:
Mengkhawatirkan...ya maksudnya remaja sekarang itu udah nggak kayak dulu. Sekarang pacaran itu terlalu sampai ke sana-sana..maksudnya, itu lho..kebanyakan pacaran sekarang itu kan udah nyampe hamil...hamil di luar nikah.(KF). Mengkhawatirkan, karena di kalangan remaja saat ini sungguh sangat tidak bermoral dan tidak ada sopan santunnya sama sekali. Contoh saja bagi mereka yang sedang pacaran. Ujung-ujungnya pasti melakukan hal yang negatif. Saya pribadi juga jujur seperti itu...ha ha ha ha ha...(MGS). Pergaulan bebas saat ini sudah mengkhawatirkan, karena banyak remaja yang sudah rusak atau tidak bener akibat pergaulan bebas...Contohnya saya ini...he he he he....(RAM) Pergaulan bebas remaja sekarang tu udah parah..kayaknya banyak anak-anak di bawah umur udah mengalami hal-hal yang seharusnya tu belum mereka alami, tapi udah dialami sekarang..ya kayak gitu menurut aku (PSN).

Terkait dengan dampak pergaulan bebas, lebih lanjut para informan mengemukakan pendapat mereka seperti yang mereka nyatakan berikut ini:

Mintarti dan Nanang Martono REMAJA, SEKOLAH, DAN PERGAULAN BEBAS: (Studi di SMTA Berbasis Agama Islam di Kota Purwokerto)

75

Dampak bagi diri saya sendiri ya sangat merugikan lah..dan jangan sampai saya kembali lagi terjerumus dengan pergaulan bebas..cukup satu kali saja. Kasihan orang tua kita..ngisin-isini wong tua. Bila ketahuan hamil di luar nikah akan dikeluarin dari sekolah, dan nama baik sekolah pasti tercemar (MGS). Akan menghancurkan masa depan dan mencoreng nama baik diri sendiri. Keluarga akan dibuat malu, sekolah juga kena dampak negatif karena masyarakat memandang gurunya kurang bener dalam menghadapi anak yang terkena pergaulan bebas (RAM). Untuk diri sendiri, masa depan seperti madesu (masa depan suram), nama baik orang tua dan sekolah tercemar, dalam masyarakat juga dikucilin, dijauhin sama orang dan teman-teman (INS). Ya pokoke merusak masa depan gitu lah...ya jelas merusak tubuh, ke depannya bingung mau gimana..kalau udah terkena pergaulan bebas secara otomatis susah kan diterima dimana-mana. Keluarga jelas pasti malu, wong anaknya baru segini masih sekolah kok udah gitu.. (PSN).

Temuan ini menjadi menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Pengakuan mereka menunjukkan kejujuran atas apa yang mereka lakukan, tetapi pada sisi yang lain pengakuan ini sekaligus mengungkap fakta bahwa bersekolah di lembaga pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai keagamaan dengan porsi lebih banyak bukan merupakan jaminan atau secara otomatis akan menjamin terjaganya perilaku siswa. Temuan ini juga dapat menjadi indikasi bahwa nilai-nilai keagamaan yang disosialisasikan sekolah masih kurang terinternalisasi dengan baik ke dalam diri para siswa.

2. Pergaulan Siswa Laki-laki dan Perempuan di Sekolah dan Mekanisme Pengaturannya


Sebagai sekolah dengan basis pendidikan agama, ketiga sekolah yang menjadi lokasi penelitian ini sudah barang tentu memiliki aturan-aturan khusus yang tidak ditemui di sekolah-sekolah umum yang tidak berbasis pendidikan agama. Aturan-aturan tersebut terutama berkaitan dengan persoalan relasi antara siswa laki-laki dan siswa perempuan, lebih khusus lagi mengenai siswa yang berpacaran. Dalam masalah ini, agama Islam memandang manusia sebagai makhluk yang amat mulia, sehingga kehadirannya di dunia ini juga harus melalui cara-cara yang terhormat. Oleh karena itu, hubungan antara laki-laki dengan perempuan pun diatur sedemikian rupa agar tetap dalam bingkai kesucian yang bermartabat. Mengingat ajaran yang demikian itulah maka sekolah-sekolah yang berbasis agama Islam sudah barang tentu berusaha untuk menerapkannya melalui berbagai aturan yang membatasi relasi antara siswa laki-laki dan siswa perempuan. Aturan-aturan tersebut ada yang dibakukan secara tertulis, dan ada pula yang hanya berupa aturan lisan atau kebiasaan di sekolah tersebut. Namun demikian, tidak semua informan mengetahui dan memahami adanya aturan itu utamanya aturan tertulis, sehingga jawaban mereka pun bervariasi. Pernyataan berikut ini berasal dari informan yang menyatakan tidak adanya aturan tertulis:
Ya gak ada sih...sebenere gak ada aturan tertulis..ya palingan cuma ditegur tok, gak ada sanksi..tapi kalau yang udah berlebihan kayak mesum ya diskorsing atau dikeluarin (OS).

Selain yang dengan tegas menyatakan tidak adanya aturan tertulis di sekolahnya, ada pula informan yang tidak tahu atau ragu-ragu mengenai ada tidaknya aturan tertulis dari sekolah yang mengatur mengenai relasi antara siswa laki-laki dan perempuan. Berikut ini pernyataan mereka:
Kalau aturan tertulis belum tahu malah, kayaknya sih gak ada..Kalau di sekolah sini sih anak laki-laki gak boleh boncengan sama anak cewek. Misal kayak kemarin ada yang masuk ke gerbang sekolah masih boncengan cowok cewek..yaa itu ditegur. Mungkin kalau di sekolah lain, yaa perasaan gak ada peraturan kayak gitu (AH). Ya kayak itu...nggak boleh pulang bareng. Misale lagi istirahat cerita berduaan, terus deket-deketan gitu nggak boleh, apalagi sampe ketahuan pegangan tangan, pasti nggak boleh..salaman juga nggak boleh. Duh..ditulis apa nggak ya? Tahunya dari lisan, jadi gurunya yang ngomong (KF).

76

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

Selain yang tegas menyatakan tidak ada aturan tertulis dan yang ragu-ragu atau tidak tahu akan adanya aturan, ada juga informan yang menyatakan aturan itu ada meski hanya berupa aturan lisan.
Kalau di sekolah biasa, kalau duduk laki dan perempuan kan boleh..Kalau sekolah agama dilarang, seperti di sini. Kalau aturan, ada yang tertulis dan tidak tertulis. Guru yang ngasih tahu, wali kelas masuk mengarahkan laki-laki dan perempuan dipisah. Semua aturan dikasih tahu dari awal masuk (INS). Larangannya paling kalau di kelas duduknya dipisahin, barisannya dibedain, gitu..udah paling gitu aja..Aturan tertulis sih nggak ada, paling kebiasaan aja (PSN). Ya ada..kalau di sekolah agama..nggak boleh duduk cowok sama cewek, kalau di sekolah umum kan boleh bareng. Nggak boleh berpacaran di sekolah. Kalau melanggar, dibilangin secara lisan dulu, terus dikasih skors, habis itu kalau dibilangin nggak bisa baru dikeluarin. (RD)

Bervariasinya jawaban dari para informan menunjukkan bahwa aturan-aturan tersebut tidak sepenuhnya diketahui dan dipahami oleh para siswa. Ketika hal ini dicek ke pihak sekolah dan guru diperoleh informasi bahwa sekolah sebenarnya memiliki aturan tertulis mengenai jenis-jenis pelanggaran beserta nilai angka kredit dan sanksinya. Berdasarkan daftar pelanggaran tersebut dapat langsung diketahui jumlah poin pelanggarannya dan sanksi yang diterima siswa. Jenis pelanggaran tersebut terbagi menjadi tiga kategori yaitu ringan, sedang, dan berat. Masing-masing jenis pelanggaran di tiga kategori itu memiliki nilai angka kredit dengan rentang nilai dari 1-100. Dalam aturan tertulis yang ada di sekolah A, tidak ada satu pun aturan yang menyebutkan secara khusus dan eksplisit mengenai relasi antara siswa laki-laki dan perempuan. Aturan dengan judul Peraturan Tata Tertib Siswa No.322/I03.22/SMA Dip/U.2/2011 itu berisi sembilan bab. Meskipun tidak secara eksplisit dan khusus menyebutkan mengenai relasi antara siswa laki-laki dengan perempuan, pada bab terakhir dari peraturan tersebut terdapat pasal yang menyebutkan segala sesuatu yang belum tercantum dalam peraturan ini akan ditentukan kemudian. Pasal inilah yang barangkali menjadi dasar bagi diterapkannya aturan pemisahan tempat duduk antara siswa laki-laki dengan perempuan sebagaimana dikemukakan oleh PSN dan RD yang merupakan siswa di sekolah A tersebut.

3. Pergaulan Siswa di Luar Sekolah


Khusus untuk masalah yang berkaitan dengan relasi antara siswa laki-laki dan perempuan, secara umum hasil penelitian menunjukkan hal yang cukup mengejutkan. Berdasarkan kuesioner yang mereka isi tampak bahwa pergaulan antara siswa laki-laki dan perempuan dapat dikatakan tidak ada bedanya dengan teman-teman mereka yang bersekolah di sekolah umum. Hal tersebut tercermin dari fakta bahwa hampir semua responden menyatakan memiliki pacar. Bahkan wawancara lebih dalam terhadap sejumlah responden yang dipilih secara acak untuk dijadikan informan menunjukkan ada di antara mereka yang pergaulan dengan pacarnya sudah terlalu jauh. Tabel di bawah ini menunjukkan informasi mengenai responden yang menyatakan memiliki pacar dan tidak di tiga sekolah lokasi penelitian:
Tabel 2. Pernyataan Responden Mengenai Kepemilikan Pacar
No. 1. 2. 3. Nama Sekolah A B C Jumlah Punya Pacar 17 (20,73%) 29 (35,37%) 23 (28,05%) 69 (84,15%) Tidak Punya Pacar 9 (10,98%) 1 (1,22%) 3 (3,66%) 13 (15,85%) Jumlah 26 (31,71%) 30 (36,59%) 26 (31,71%) 82 (100%)

Sumber: Data primer, 2011.

Mintarti dan Nanang Martono REMAJA, SEKOLAH, DAN PERGAULAN BEBAS: (Studi di SMTA Berbasis Agama Islam di Kota Purwokerto)

77

Secara umum, dalam masalah hubungan dengan lawan jenis, saat pertama kali memunyai pacar, mereka berada di usia yang cukup dini. Tabel 3 berikut ini akan memperjelas hal tersebut:
Tabel 3 Saat pertama kali mempunyai pacar
No. 1. 2. 3. 4. Saat pertama kali punya pacar Di SD Di SMP Di SMA/MAN Tidak mengisi/tidak menjawab Jumlah Sekolah A 3 (3,66%) 15 (18,29%) 3 (3,66%) 5 (6,10%) 26 (31,71%) B 6 (7,32%) 18 (21,95%) 3 (3,66%) 3 (3,66%) 30 (36,59%) C 0 11 (13,41%) 9 (10,98%) 6 (7,32%) 26 (31,71%) Jumlah 9 (10,98%) 44 (53,66%) 15 (18,29%) 14 (17,07%) 82 (100%)

Sumber: Data primer, 2011.

Sering dikatakan bahwa dalam agama Islam tidak ada konsep berpacaran. Namun demikian, kenyataan menunjukkan para siswa tidak mengindahkan hal tersebut, meski mereka mengetahui kalau hal tersebut dilarang oleh agama. Ini dapat disimak dari pernyataan para informan mengenai masalah ini: Menurut ajaran Islam ya gak boleh...ya bukan muhrimnya lah ya.. (AW).
Ya gak boleh..lihat sehelai rambut saja dosa, apalagi pacaran (MGS). Nggak boleh, kan kalau belum muhrimnya menurut Islam nggak boleh..he he(DNR) Nggak boleh, bolehnya nanti kalau setelah nikah..haaaa...(PSN). Ajaran agama Islam nggak boleh..kan ajaran Islam sudah memberikan cara yaitu taaruf untuk ukhti yang sudah dewasa dalam mengatur perkenalan satu sama lain (RF).

Akan tetapi, ada juga informan yang menyatakan boleh berpacaran seperti yang dapat dibaca dari pernyataan berikut ini:
Ya boleh sih..tapi ya lebih apa ya...lebih punya batasan lah, nggak kelewatan, sewajarnya lah..(OS).

Pengetahuan yang dimiliki mengenai suatu ajaran agama memang tidak selalu sejalan dengan praktik dalam kehidupan keseharian. Terdapat sejumlah alasan yang mereka kemukakan mengenai tindakan tersebut, seperti yang dapat dibaca pada pernyataan-pernyataan berikut ini:
Setiap orang mengikuti perkembangan jaman lah..sama gak mau kalah, takut tersaingi. (AW). Ya buat motivasi sekolah atau belajar, biar tambah semangat. (MGS). He..he..he..lah kalau langsung nikah, nggak tahu orangnya gimana, sifat-sifatnya gimana. Ya ngerasa dosa, ngerasa salah juga, tapi ya.. (DNR). Buat ngisi waktu luang lah...ditembak terus masa ditolak terus, apalagi sama teman dekatku..mbok marah loh...(R). Kalau lagi nglakuin seneng, happy...tapi kalau pas putus, terus jadi inget ngapain pacaran, padahal dosanya gede pisan heee....tapi kalau pas lagi nggak inget yaa pengin cari lagi (PSN). Ya karena kepingin bae si...biasa bae lho, ora ngrasa dosa (RAM).

78

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

Sebenarnya selama saya nggak melakukan apapun, istilahnya cuma untuk mengikat hati aja tujuannya, bukan untuk meluapkan nafsu, menurut saya nggak masalah...jadi sekedar untuk penyemangat belajar aja..Dia pinter, saya juga pingin pinter kayak dia..gitu (RF).

Beragamnya alasan dari para siswa tersebut kemudian berimplikasi pada beragamnya perilaku berpacaran yang mereka praktikkan. Pernyataan-pernyataan informan berikut ini menunjukkan hal tersebut:
Ketemu lewat FB (facebook) doang, telepon...belum pernah ketemu. Ya cuma telpon-telponan (INS). Yaa jalan-jalan tok, nggak pernah ngelakuin apa-apa. Kalau di motor dia nggak pernah mau pegangan sama aku. Pegangan pinggang aja enggak, gimana mau ngapa-ngapain? Wong jalan bareng biasa doang. Tapi kalau pegangan tangan doang sih pernah (AH).

Kelompok informan berikutnya adalah mereka yang cara berpacarannya sampai pada sentuhan fisik yang sedikit lebih jauh apabila dibandingkan dengan kelompok pertama. Berikut ini pernyataan mereka:
Ya main bareng, terus duduk bareng, pegang-pegang tangan..ciuman juga pernah, tapi gak sering, kadangkadang saja..ya cipika-cipiki aja. Biasanya nggak nyadar sih..tiba-tiba aja gitu, refleks lah. Kalau yang lebih dari itu gak berani, merasa bersalah. Ibu kita kan perempuan, aku juga punya adik perempuan..kalau digituin rasanya gimana gitu (AW). Paling ya pegangan tangan..kalau ciuman ya pernah. Pertama sih kening, bibir juga pernah..paling sering ya pegangan tangan, soalnya udah janji sama orang tua sih..jadi gak bakal macem-macem (DNR). Yaa paling ciuman. Pertama dateng ke rumah..dateng terus gitaran. Nah, pas udah pacaran baru deh pegangan tangan, cium pipi, cium kening, cium tangan...ya gitu deh. Gak pernah lebih. Kalau pacar minta lebih sih pernah...ya gitulah, minta tidur bareng, nginep. Aku gak mau lah, aku marah diajak-ajak tidur bareng. Kalau yang menjurus-menjurus pernah juga..misalnya kalau lagi ciuman tangannya geratil, megang yang macem-macem, tapi aku marahin (KF). Palingan cuman ciuman, pelukan doang, gitu-gitu doang. Cuma kayak gitu tok, gak lebih lah. Takut itu sih.. takut kebablasen gitu lah. Apalagi bapaknya kan polisi, jadi saya gak berani (OS).

Kategori terakhir dari gaya berpacaran para remaja ini adalah mereka yang sudah kebablasan di dalam berhubungan dengan pacarnya. Berhubungan seks sebagaimana layaknya suami isteri sudah menjadi hal yang biasa mereka lakukan, seperti yang dinyatakannya dalam kalimat-kalimat berikut ini:
Hmmm..gimana ya...ngeseks atau ML, terus minum-minuman sama cewek saya. Ngeseks itu biasane di rumah, kalau lagi kosong rumahnya. Kalau lagi ada duit ya nyewa kamar..malah seringe di rumah aku. Kalau kemutan ya pakai kondom, kalau ora ya ora..he he he...Aku ngelakuin gitu ya suka sama suka. Kalau gak ya sama aja dosa jenenge (RAM). Kissing atau ciuman, terus ML tapi jarang. Biasanya kalau ML di hotel lah..gak berani di rumah mbokan ketahuan..he he he..Ngelakuin kayak gitu cuma kalau lagi kepengin aja..Sebenernya sih paling takut tuh kalau sampai hamil atau kena penyakit kelamin..Abis gimana ya, enak sih (MGS).

Bervariasinya perilaku berpacaran yang dilakukan oleh para siswa yang bersekolah di SMTA berbasis agama mengindikasikan bahwa muatan agama yang lebih banyak yang ada di sekolah-sekolah tersebut tidak memengaruhi cara pandang mereka mengenai relasi laki-laki dan perempuan dewasa. Ini berarti, nilai-nilai dan norma-norma keagamaan tersebut kurang terinternalisasi sehingga kurang dapat membentuk kepribadian siswa. Narwoko dan Suyanto (2004) menyatakan bahwa norma-norma, tingkah laku, dan nilai-nilai kultural yang disosialisasikan diterima oleh individu yang tengah terbentuk kepribadiannya. Jika individu telah terbentuk organisasi kepribadiannya, maka ia telah berkepribadian. Sebaliknya, jika proses tersebut terhalang

Mintarti dan Nanang Martono REMAJA, SEKOLAH, DAN PERGAULAN BEBAS: (Studi di SMTA Berbasis Agama Islam di Kota Purwokerto)

79

atau terganggu sehingga organisasi kepribadian tidak terbentuk secara sempurna, maka yang bersangkutan tidak dapat bertingkah laku sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang disosialisasikan.

SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan


a. Siswa SMTA berbasis agama Islam mendefinisikan pergaulan bebas sebagai pergaulan yang melebihi, melewati, melanggar, atau menyimpang dari norma-norma baik sosial maupun agama. Mereka memandang bahwa pergaulan bebas di kalangan remaja dewasa ini sudah mengkhawatirkan dan parah. Pergaulan bebas mereka lihat dapat berdampak buruk bahkan menghancurkan hidup pelakunya. Pergaulan antara siswa laki-laki dan perempuan dibatasi oleh beberapa aturan, seperti duduk secara terpisah di dalam kelas, tidak boleh berinteraksi terlalu dekat dengan lawan jenisnya. Aturan-aturan tersebut tidak secara eksplisit ditulis dalam peraturan sekolah. Aturan-aturan tertulis hanya memuat bentuk-bentuk perilaku yang dianggap melanggar secara sangat umum disertai dengan kredit poin untuk menentukan sanksinya. Rincian aturan seperti diuraikan di muka biasanya disampaikan secara lisan oleh guru, disertai dengan teguran bagi siswa yang melanggarnya. Meskipun di sekolah siswa laki-laki dan perempuan interaksinya dibatasi, di luar sekolah mereka tetap bebas berhubungan. Sebagian besar (84,15%) bahkan menyatakan memunyai pacar. Mereka juga mengetahui bahwa berpacaran itu melanggar norma agama, namun dengan berbagai alasan mereka tetap melakukannya.

b.

c.

2. Saran
a. SMTA yang berbasis agama Islam perlu lebih jelas, tegas, dan rinci dalam membuat aturan yang berkaitan dengan relasi antara siswa laki-laki dan perempuan, sehingga misi sebagai sekolah yang mengedepankan akhlak mulia berbasis ajaran agama Islam dapat terwujud. Aturan-aturan tersebut hendaknya didokumentasikan secara tertulis, jika perlu dalam bentuk handbook sehingga dapat menjadi panduan bagi guru, siswa, dan orang tua. Agar dapat terinternalisasi dengan baik, peraturan tersebut hendaknya disosialisasikan dan dikomunikasikan kepada seluruh elemen sekolah. Hal ini untuk menghindari ketidaktahuan terutama dari pihak siswa, yang terkadang menjadikan ketidaktahuan itu sebagai alasan pembenar bagi pelanggaran yang mereka lakukan.

b. c.

DAFTAR PUSTAKA
Amarula. 2011. Rumitnya Kasus Lima Anak Memperkosa Dua Korban yang Juga Anak-Anak Polisi Tak Tega, Isteri Bupati Turun Tangan. Fajar Online, situs: http://www.fajar.co.id/read-20110203123125--polisi-tak-tega-menghukum-isteri-bupati-pun-turun-tangan-. Azca, M. Najib, Subando Agus Margono, dan Lalu Wildan (editor). 2011. Pemuda Pasca Orba, Potret Kontemporer Pemuda Indonesia. Youth Studies Centre FISIPOL UGM dan Deputi Bidang Harmonisasi dan Kemitraan Kemenpora RI. Coloroso, Barbara. 2007. Stop Bullying! Memutus Rantai Kekerasan Anak dari Prasekolah hingga SMU. PT. Serambi Ilmu Semesta. Jakarta.

80

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

Henslin, James M. 2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi Edisi 6 Jilid 2. Erlangga, Jakarta (diterjemahkan dari Essential of Sociology: a Down-to-earth Approach 6th Edition oleh Kamanto Sunarto) Kompas. Sabtu, 19 Juni 2010. Halaman 24. Video Seks, Keterangan Enam Saksi Ditelusuri. Situs: http:// cetak.kompas.com/read/2010/06/19/04522560/keterangan.6.saksi.ditelusuri Lawson, Tony. et.al. 2000. Advance Sociology through Diagrams. Oxford University Press. Mintarti, Muslihudin, dan Joko Santoso. 2009. Telaah Atas Konsep Sekolah pada Buku Laskar Pelangi dan Dunia Tanpa Sekolah. Laporan Penelitian. Unsoed Purwokerto. Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto (ed). 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Kencana. Jakarta. Nasution, S. 1995. Sosiologi Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta. Oktiva, Yayuk Dwi. 2010. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Tentang Kesehatan Reproduksi Remaja Dan Pola Asuh Orang Tua Dengan Sikap Remaja Tentang Seks Bebas Di Sma N 1 Tawangsari Sukoharjo. Skripsi. Situs: http://etd.eprints.ums.ac.id/9492/, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Diakses 30 Maret 2011. Rahman, Ilman Fatuh. 2010. Implikasi Pemahaman Nilai-nilai Keagamaan Terhadap Perilaku Kenakalan Remaja (Studi Deskriptif Analitis di SMP Yayasan Budi Bakti Bandung) situs:: http://digilib.upi.edu/ pasca/available/etd-0313108-112232/. Universitas Pendidikan Indonesia. Diakses 30 Maret 2011. Rasmini, Made Putri Ayu. 2007. Menguak Perilaku Seks Remaja Denpasar. Situs: http://www.balebengong.net/kabar-anyar/2007/07/18/menguak-perilaku-seks-remaja-denpasar.html. Diakses 30 Maret 2011 Setiawan, Nunung. 2008. Kenakalan Siswa Madrasah Salafiyah Ula (Studi Kasus di Kelas 5 MSU Al Ukhuwah Joho Sukoharjo Tahun Ajaran 2007/2008). Skripsi. Situs: http://etd.eprints.ums.ac.id/2716/, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Diakses 30 Maret 2011. Silalahi, Mustofa. 2011. Pornografi Remaja di Lampu Merah, situs: (http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/remaja.mesum/page02.php.) diakses: 10 Januari 2011 Umar, Suhairi. 2010. Sekolah Islam Saatnya Hijrah. Adzkia Indonesia. Edisi 32, Desember 2010. UNESCO. 2007. Akar Kokoh Pengasuhan dan Pendidikan Anak Usia Dini. Ringkasan Laporan Pemantauan Global PUS 2007.

SOLIDARITAS SOSIAL SEBAGAI SEBUAH ORIENTASI JATI DIRI MASYARAKAT DESA DALAM MEWUJUDKAN MEKANISME JAMINAN SOSIAL KOMUNITASNYA
R. Sapto Hadi Priyo Siswanto Program Studi Sosiologi STISIP Kartika Bangsa Yogyakarta

Abstract This study aims to look at the people in the rural social solidarity and social security menekanisme, as for the problem to be explored in this research is how the shape and role of social solidarity as an orientation identity villagers in realizing social security mechanism for the community? The research location is selected in a hamlet located in the Limestone District, Sleman, Yogyakarta. This study is a survey research which combines the two approaches of quantitative and qualitative. Data collection was done using secondary and primary data were collected through questionnaires, unstructured interviews, in depth interviews and participant observation. Meanwhile, data analysis techniques performed by frequency distribution or percentage through dialogical approach to interpretation. Based on the results of research known forms of social solidarity that still exist in the study area are: Autumn mountain or community service, social gathering, brainstorming donate, tetulung, while other types of mutual assistance as the splice is rarely done or rare, in case done was only to capitalize only those nearby such as family and close relatives. Villagers allocate more money to give back than to tetulung, the amount of money given to the public for donations usually between Rp. 10.000, - to Rp. 20.000, - while for tetulung usually between Rp. 5.000, - to Rp. 10.000, -. The factors underlying the formation of social solidarity villagers are: 1). The tradition / habit: mutual cooperation, mutual help, splice, etc., 2). As a medium for realizing social security (social assistance) for villagers and 3). As a means to anticipate the life of the village. Developing social protection mechanisms are all internal, yaknii relief ever obtained from his / her relatives and family (78.18%) and neighbors (21.82%). While external social security no one respondent had ever felt. Rural social solidarity plays quite well even tend to be very good, because if there is trouble there are still places to ask for help so that no social security for its citizens, and therefore such traditions still should be maintained. Social security mechanisms in accordance with the character of the people that tend to be group. To anticipate the necessary formalization of local or traditional institutions towards a more formal social institution with a clearer management. To achieve all that it is necessary to set up social protection mechanisms that are adaptive to the way of thinking and the nature of public relations, a mechanism sensitive to the nature of rural social relations which emphasizes the social nature of the individual is required than the mere assertion. Keywords: social solidarity, villagers, social security mechanisms

82

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

A. Latar Belakang Masalah


Masalah-masalah sosial ekonomi di perdesaan banyak dipecahkan melalui bentuk kerja sama atau yang lebih dikenal dengan istilah gotong royong. Aktivitas tolong menolong, memang merupakan kegiatan sosial yang sangat penting di perdesaan Jawa. Aktivitas tolong menolong dilakukan agar warga desa dapat teringankan dari beban sosial, ekonomis dan psikologis yang sedang ditanggung (Kutanegara, 2002). Bantuan yang diberikan dapat berupa tenaga, uang maupun barang-barang kebutuhan seharihari. Kebiasaan untuk saling membantu diantara warga masyarakat desa ini telah memunculkan proses tukar menukar dalam bentuk uang, barang dan tenaga. Melalui kegiatan tolong menolong selain beban warga desa dapat diringankan, maka hubungan sosial diantara warga komunitas juga dapat terjalin dengan baik. Oleh karena itu, di samping tolong menolong memiliki nilai ekonomis dan sosial, di dalamnya juga terdapat nilai simbolis, sebagai wujud solidaritas sosial masyarakat perdesaan Jawa (Koenjaraningrat, 1974), dan melalui kegiatan semacam itulah penduduk perdesaan mengembangkan nilai-nilai guyub, rukun dan selaras. Tekanan-tekanan yang dialami rumah tangga perdesaan sejak lama telah dipecahkan dengan kekuatan-kekuatan dari dalam yang berasal dari keluarga dan komunitas. Bentuk-bentuk kerjasama antar anggota keluarga merupakan mekanisme yang paling tua dalam memecahkan masalah sosial ekonomi yang dihadapi sebuah keluarga. (Abdullah, 1998) Di samping itu hubungan-hubungan timbal balik yang dibentuk antar rumah tangga dalam suatu keluarga luas juga menjadi penting dalam menghadapi berbagai tekanan yang dihadapinya. Dengan demikian konsep shared poverty yang dikemukakan oleh Geertz (1983) sesungguhnya merupakan sebuah kebersamaan suatu keluarga luas dalam menghadapi tekanan penduduk dan keterbatasan lahan pertanian di perdesaan Jawa. Konsep tersebut pada tingkat komunitas dapat dilihat sebagai kuatnya komunalisme dalam masyarakat Jawa yang membagi rata beban kebutuhan sumber penghasilan. Saat ini komunalisme masyarakat desa telah berubah sedemikian rupa sejalan dengan munculnya diferensiasi secara meluas (Husken dan White, 1989). Kondisi di perdesaan telah mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dahulu sistem bawon masih berjumlah seperlima (Kartohadikoesoemo, 1965) dan sekarang ini telah mencapai sepersepuluh hingga seperduabelas (Abdullah, 1998). Berdasarkan uraian di atas, nampaknya di perdesaan saat ini telah terjadi perubahan institusi jaminan sosial. Hal ini ditunjukkan dengan berlakunya sistem bawon yang saat ini memperlihatkan terjadinya proses melemahnya jaminan sosial lokal dan jjuga menegaskan adanya tekanan-tekanan baru yang direspons dengan cara baru pula oleh penduduk. Pada saat ini penduduk desa mulai menggali bentuk jaminan sosial dari dalam, dan eksistensi bentuk jaminan sosial yang dikembangkan oleh komunitas penduduk menunjukkan suatu tanda bahwa mekanisme dari luar yang diwujudkan dalam institusi formal tidak dapat mereka akses (Benda Beckman et al, 1988). Pada saat seperti ini, yaitu ketika pemerintah tidak mampu menyediakan mekanisme formal dalam menjamin kesejahteraan penduduk, maka sekelompok orang mengatur cara-cara tertentu berdasarkan sumberdaya yang tersedia untuk memecahkan masalah mereka. Secara hipotetis, berbagai bentuk dukungan sosial bukan hanya tidak mungkin disediakan oleh pemerintah, tetapi dalam kondisi semacam ini banyak sumber-sumber yang telah tersedia melemah kekuatannya dalam mendukung kekuatan ekonomi penduduk (Abdullah, 1998). Krisis yang terjadi secara makro, tentu saja memiliki dampak yang berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya. Pada tingkat keluarga dan komunitas, menurut Zakcher (1988) pengaruh dari kondisi ekonomi yang buruk terikat pada tiga hal pokok, yaitu : Pertama, konteks ekonomi makro yang memburuk akan melemahkan ekonomi keluarga jika anggota-anggota keluarga kehilangan pekerjaan dan pendapatan mereka. Anak-anak yang bekerja merupakan sumber keuangan yang penting bagi keluarga. Kedua, kekuatan ekonomi keluarga juga melemah

R. Sapto Hadi Priyo Siswanto SOLIDARITAS SOSIAL SEBAGAI SEBUAH ORIENTASI JATI DIRI MASYARAKAT DESA DALAM MEWUJUDKAN MEKANISME JAMINAN SOSIAL KOMUNITASNYA

83

sejalan dengan hilangnya kemampuan kepala keluarga dalam hal mencari nafkah, ini berarti bertambahnya beban jumlah anggota keluarga yang tidak produktif dalam satu keluarga. Ketiga, kemampuan dukungan internal akan mengalami kerugian jika pada tingkat komunitas tidak tersedia social capital yang dapat dibagi karena dalam keadaan ekonomi yang sulit, berbagai sumberdaya diperebutkan oleh lebih banyak orang.

B. Permasalahan
Aktivitas tolong menolong, seperti yang telah disebutkan di muka merupakan salah satu kegiatan sosial yang sangat penting di perdesaan Jawa. Aktivitas tersebut dilakukan baik dalam kegiatan yang menyangkut lingkaran hidup manusia seperti kelahiran, sunatan, perkawinan, sakit dan kematian; juga kegiatan-kegiatan yang lain seperti : membangun rumah, memperbaiki dan memperindah lingkungan serta bencana alam yang dialami salah satu atau bersama-sama masyarakat desa tersebut. Masyarakat perdesaan Jawa hidup hidup dalam keharmonisan dan penuh dengan kegiatan tolong menolong (Kutanegara, 2002). Kegiatan tolong menolong dilakukan untuk saling membantu dan saling merasakan kesulitan atau kesukaan yang sedang dialami oleh salah seorang warga desa dan kemudian warga lainnya memberikan bantuan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya; sehingga terjadi hubungan yang timbal balik satu dengan lainnya. Hal ini didukung oleh pendapat Koentjaraningrat (1974) yang menjelaskan bahwa hubungan resiprositas sangat kuat di perdesaan Jawa. Dengan demikian di daerah perdesaan Jawa, suatu rumah tangga pertama-tama harus menjaga hubungan yang baik dengan tetangga sekitarnya, kemudian dengan tetangga satu pedukuhan dan baru kemudian dengan tetangga atau keluarga lain yang tinggal di dukuh-dukuh lain. Penekanan hubungan baik dengan tetangga yang harus dipupuk pertama kali menandakan bahwa peran dan fungsi tetangga sangat penting bagi masyarakat perdesaan. Jalinan hubungan baik itu bahkan harus mengalahkan hubungan baik dengan kerabat yang berada di tempat yang lebih jauh. Sebagai wujud hubungan baik mereka nyatakan dengan berbagai cara bergotong royong dan tolong menolong. Selain itu, mereka juga melakukan kegiatan tetulung atau layat ketika mereka mengalami musibah sakit dan kematian. Memberikan sumbangan ketika ada salah seorang tetangga maupun kerabat yang sedang punya hajat, dan bahkan kegiatan ini sepertinya telah menjadi semacam keharusan. Kegiatan saling membantu yang dilakukan oleh warga desa selain dalam bentuk barang, tolong menolong juga diwujudkan dalam bentuk tenaga. Berdasarkan uraian seperti tersebut di atas, maka masalah yang akan digali dari penelitian ini adalah mengenai : Bagaimana bentuk dan peranan solidaritas sosial sebagai sebuah orientasi jati diri masyarakat desa dalam mewujudkan mekanisme jaminan sosial bagi komunitasnya?

C. Tinjauan Pustaka 1. Karakteristik Umum Perdesaan


Kerangka pemikiran umum yang sering dipergunakan untuk menjelaskan sebuah desa adalah dengan perspeksi evolusioner. Menurut perspeksi ini desa ditempatkan sebagai gambaran dari masyarakat yang masih bersahaja dan kota sebagai wakil dari masyarakat yang sudah maju, kompleks, sehingga karakteristik yang terlekat pada dua gejala itu menjadi bersifat polair, kontras satu sama lain. Kekontrasan yang ada oleh beberapa ahli dilihat sebagai sesuatu yang bersifat konkrit sekali, namun ada sejumlah ahli tertentu yang menganggap hanya sebagai suatu tipe ideal (ideal type). Dalam merumuskan karakteristik yang kontras itu, ada sejumlah sosiolog yang cenderung mengacu ke pola-pola pemikiran yang bersifat teoritik, seperti konsep-konsep dikhotomik dari Tonnies (Gemeinschaft-Gesellscahft), kemudian Cooley (Primary and Secondary group), Durkheim tentang solidaritas

84

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

mekanik dan organik, dan lainnya. Namun umumnya tidak terlepas dari pengamatan empirik di suatu tempat dan waktu tertentu. Situasi dan kondisi desa dulu dan sekarang sudah sangat berbeda, saat ini sebagian besar desa di Indonesia telah mengalami suatu perubahan yang sangat penting. Perubahan yang terjadi nampak dengan semakin menipisnya perbedaan antara desa dan kota (Rahardjo, 1999). Hal ini terutama disebabkan oleh semakin menyebar dan meluasnya transportasi dan komunikasi modern yang tengah berkembang di desa. Isolasi fisik dan sosial kultural yang dulu menciptakan kondisi bagi kuatnya akar tradisionalisme dalam kehidupan masyarakat desa, kini menjadi semakin berkurang atau bahkan hilang. Desa semakin terbuka terhadap pengaruh-pengaruh luar baik dari lingkup regional, nasional, maupun internasional. Pengaruh-pengaruh tersebut mencakup pelbagai aspek, khususnya aspek sosial, kebudayaan dan ekonomis. Pelbagai bentuk media massa telah menjadi wahana yang sangat efektif dalam menyebarkan kebudayaan modern secara luas dan mendalam. Dimensi-dimensi hubungan sosial dan gaya hidup perdesaan mulai berubah dan menyesuaikan diri dengan hubungan dan gaya hidup modern sesuai kemampuan dan akses yang dimiliki. Pengaruh aspek ekonomis saat ini sangatlah kuat. Hal ini ditambah lagi dengan semakin besarnya peranan sistem kapitalisme modern yang ditunjang oleh sains teknologi yang menjadi inti dari proses globalisasi, aspek ekonomi telah menjadi kekuatan yang sangat besar pengaruhnya dalam proses perubahan yang terjadi di desa.

2. Aspek Kultural Masyarakat Desa


Masyarakat desa umumnya mengembangkan falsafah hidup yang organis sebagai akibat dari kedekatannya dengan alam. Oleh karena itu mereka cenderung memandang segala sesuatu sebagai suatu kesatuan, dan refleksi dari filsafat semacam ini dalam hubungan antar manusia adalah tebalnya rasa kekeluargaan dan kolektivitas. Ketundukan masyarakat desa terhadap alam ini juga menyebabkan rendahnya kesadaran mereka akan waktu. Hal ini dapat dimengerti, karena alam memiliki irama sendiri. Alam tidak menempatkan orang ke dalam kotak-kotak waktu, melainkan orang sendirilah yang menciptakan kotak-kotak waktu itu. Tanaman memiliki proses alami dengan paket waktu tersendiri terlepas dari pengaturan dan campur tangan manusia. Berdasarkan proses alami yang demikian itu, orang tinggal menanti atau menunggunya. Akibatnya mereka tidak memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya waktu. Besarnya pengaruh alam juga mengakibatkan orang desa cenderung bersifat praktis. Artinya, mereka tidak begitu mengindahkan segi keindahan dan ornamen-ornamen. Berkaitan dengan sifat praktis tersebut, masyarakat desa karenanya cenderung kurang mengindahkan etika dalam pergaulan satu dengan yang lainnya. Terlebih lagi mereka hidup dalam kelompok dan lingkungan primer, saling akrab, sangat mengenal satu sama lain. Beradasarkan situasi yang semacam ini maka kurang memungkinkan mereka untuk menyembunyikan sesuatu dari teman atau tetangga. Oleh karena itu mereka tidak perlu berbicara panjang lebar dan berbasa basi satu sama lain. Hal ini mendorong tumbuh dan berkembangnya sifat-sifat jujur, terus terang dan suka bersahabat (friendly).

3. Perubahan Dan Perkembangan Yang Terjadi Dalam Masyarakat Desa


Situasi dan kondisi desa saat ini telah mengalami suatu perubahan yang disebabkan adanya modernisasi dan pembangunan di perdesaan. Dengan demikian berbicara mengenai desa saat ini tidaklah dapat dilepaskan dari tiga kekuatan, yakni : kekuatan internal yang ada dalam masyarakat desa, kekuatan eksternal terutama yang datang dari arus globalisasi, dan program-program pembangunan pemerintah. Kekuatan internal baik kultural maupun strukturalnya, cenderung merupakan kekuatan statis yang sering kali dicap sebagai faktor penghambat pembangunan, akan tetapi sebenarnya merupakan faktor penentu adaptasi masyarakat desa terhadap pengaruh-pengaruh yang datang dari luar.

R. Sapto Hadi Priyo Siswanto SOLIDARITAS SOSIAL SEBAGAI SEBUAH ORIENTASI JATI DIRI MASYARAKAT DESA DALAM MEWUJUDKAN MEKANISME JAMINAN SOSIAL KOMUNITASNYA

85

Pengaruh-pengaruh dari luar yang masuk ke desa mencakup berbagai aspek, khususnya aspek sosial, kebudayaan dan ekonomis. Berbagai bentuk media massa telah menjadi wahana yang sangat efektif dalam menyebarkan kebudayaan modern secara luas dan mendalam. Dimensi-dimensi hubungan sosial dan gaya hidup perdesaan mulai berubah dan menyesuaikan diri dengan hubungan dan gaya hidup modern sesuai kemampuan dan akses yang dimilikinya. Pengaruh aspek ekonomi di perdesaan saat ini sangatlah kuat (Rahardjo, 1999). Dengan demikian besarnya peranan sistem kapitalisme modern yang ditunjang oleh sain dan teknologi yang menjadi inti dari proses globalisasi, akan menempatkan aspek ekonomi menjadi kekuatan yang sangat besar dalam proses perubahan yang terjadi di perdesaan. Oleh karena itu komersialisasi dan modernisasi pertanian menyebabkan retaknya tradisi lama beserta kerukunan-kerukunan (kolektivitas) yang melekat pada tradisi masyarakat desa tersebut. Akibatnya komersialisasi dan modernisasi yang terjadi seringkali menjadi penyebab terjadinya kesenjangan ataupun polarisasi sosial ekonomis di antara masyarakat desa. Berdasarkan kondisi di atas, maka desa saat ini menjadi suatu kawasan yang tidak mandiri lagi, dengan sendirinya secara struktural desa juga semakin berubah menjadi bagian dari struktur masyarakat yang lebih besar. Oleh karena itu sejalan dengan perkembangan yang terjadi, bisa saja kemudian desa tidak lagi merupakan kesatuan komunitas dengan basis sosial kultural yang jelas. Oleh karena itu masyarakat desa harus mampu menghadapi dan selektif di dalam menerima setiap perubahan yang terjadi di perdesaan. Untuk itu kekuatan internal yang bersifat memupuk kebersamaan dan menggalang persatuan seperti gotong royong, tenggang rasa, tolong menolong dan lain-lainnya yang dimiliki masyarakat desa masih perlu dipertahankan dalam rangka untuk menghadapi berbagai kendala dan terpaan hidup yang mereka hadapi.

4. Peranan Sumbangan Bagi Masyarakat Desa


Salah satu bentuk social security mechanism di perdesaan adalah berupa gift giving (menyumbang), dan hal ini merupakan salah satu bentuk gotong royong (Faturochman, 1998). Bentuk sumbangan yang diberikan pada umumnya adalah barang atau uang. Pada umumnya sumbangan lebih dikenal sebagai pemberian pada orang atau keluarga yang mempunyai hajat seperti : selamatan, pesta, perayaan, upacara, dan lain sebagainya. Pada perkembangannya uang dan barang sumbangan juga diberikan sebagai ganti dari absennya individual dalam kegiatan gotong royong yang mengutamakan tenaga (Rahardjo, 1979). Aktivitas sumbang menyumbang merupakan suatu bentuk dari eksistensi solidaritas sosial yang terjadi dalam masyarakat desa. Aktivitas sumbang menyumbang ini dibagi menjadi dua, yakni : pertama, berkaitan dengan sumbangan pada saat suka seperti kelahiran, supitan dan perkawinan; kedua, sumbangan yang bersifat duka terutama untuk kematian, sakit, dan bencana alam. Penggunaan kata suka telah menunjukkan bahwa kegiatan ini berkaitan dengan saat-saat yang penuh dengan kegembiraan. Tolong menolong berupa barang dan uang untuk kegiatan yang berkaitan dengan suka disebut dengan sumbangan, sedangkan kegiatan yang berkaitan dengan saat duka terutama kematian disebut dengan layatan. Secara umum bantuan dalam wujud sumbangan bertujuan untuk meringankan beban orang lain. Namun apabila dicermati, sebenarnya ada pertimbangan yang lebih khusus ketimbang hanya sekedar meringankan beban saja. Sumbangan untuk famili pada umumnya didasari oleh kewajiban. Sumbangan saat keluarga lain ada kematian juga cukup besar pertimbangan kewajibannya, sementara sumbangan untuk kecelakaan di samping pertimbangan kewajiban juga disebabkan adanya rasa iba atau kasihan. Sumbangan untuk tetangga yang meliputi peristiwa life cycle seperti : kelahiran, sakit, kematian dan seterusnya serta pembangunan rumah lebih banyak didasari oleh reciprocity. Sumbang menyumbang yang menjadi kebiasaan masyarakat desa, mengandung nilai positif dan negatif. Secara umum masyarakat desa menyatakan bahwa mereka merasa senang ketika menerima sum-

86

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

bangan, namun terasa ada beban ketika harus mengembalikannya. Sumbangan sebagai beban terutama terasa bagi masyarakat desa yang berasal dari golongan ekonomi yang rendah. Meskipun nilai normatif lokal menyatakan orang miskin tidak harus menyumbang, namun penduduk desa selalu berusaha mengikuti aturan umum. Hal ini seperti disebutkan oleh Kutanegara (2002) yang dalam penelitiannya menemukan bahwa aktivitas sumbang menyumbang dilakukan oleh masyarakat desa baik yang tergolong kaya maupun miskin. Dalam kesulitan ekonomi yang semakin menghimpit di perdesaan, kebiasaan untuk saling membantu dan meminjam uang antara kerabat juga semakin menurun pada masyarakat yang tergolong miskin. Apalagi untuk keperluan makan sehari-hari dan untuk sumbangan, rumah tangga miskin juga jarang meminjam kepada kerabatnya. Mereka lebih suka meminjam di tetangga dan warung. Rasa malu dan enggan jika meminjam dengan kerabat semakin meningkat. Penetrasi ekonomi uang yang semakin meningkat telah menggantikan komunalisme menjadi individualisme di perdesaan Jawa (Abdullah, 2001).

5. Resiprositas Suatu Bentuk Hubungan Sosial Masyarakat Desa


Aktivitas sumbang menyumbang di perdesaan Jawa dapat dijelaskan dalam kerangka proses tukar menukar (resiprositas) antar warga masyarakat. Resiprositas diartikan sebagai proses perpindahan barang atau jasa secara timbal balik dari kelompok-kelompok yang berhubungan secara simetris dan dengan didukung oleh adanya hubungan personal di antara mereka. Pola hubungan ini terutama terjadi di dalam komunitas kecil dimana anggota-anggotanya menempati lapangan hidup yang sama (Polanyi, 1968). Dalam komunitas kecil itu, kontrol sosial sangat kuat dan hubungan sosial yang intensif mendorong orang untuk mematuhi adat kebiasaan. Mencermati pola sumbang menyumbang di perdesaan Jawa, tampaknya sedang berlangsung pergeseran secara intensif dari generalized reciprocity menuju direct reciprocity (Kutanegara, 2002). Terjadinya perubahan bentuk sumbangan serta bantuan dan cakupan wilayahnya yang semakin menyempit menunjukkan bahwa proses transformasi sosial telah terjadi di perdesaan Jawa. Kartodirdjo (1990), menyatakan bahwa berbagai kegiatan resiprositas yang berkembang di perdesaan Jawa telah mengalami perubahan. Hal itu tampak dari semakin rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam melakukan praktek gotong royong dan berkurangnya jenis-jenis gotong royong dalam masyarakat. Penyebab berkurangnya praktek gotong royong adalah semakin besarnya pengaruh ekonomi uang ke perdesaan. Gotong royong yang masih hidup di desa adalah bentuk gotong royong di luar kegiatan ekonomi, misalnya : peristiwa penyelenggaraan pesta perkawinan, sunatan, dan upacara kematian. Berdasarkan kondisi di atas, maka masyarakat desa sangat membutuhkan wadah jaminan sosial bagi mereka di dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Jaminan sosial dibutuhkan agar mereka dapat terlepas dari kesulitan yang dihadapi. Inti dari studi jaminan sosial telah berkembang sejak lama di Indonesia terutama dalam ilmu-ilmu sosial seperti Sosiologi dan Antropologi. Di dalam disiplin Antropologi, inti dari studi jaminan sosial dapat ditemui dalam studi mengenai resiprositas seperti yang dikembangkan Marcel Mauss dan studi mengenai pertukaran yang dikembangkan oleh Levi Strauss. Sedangkan di dalam disiplin ilmu Sosiologi konsep mengenai pertukaran dapat diketemukan dalam teorinya Peter P. Ekeh (Bayu Aji, 1998).

6. Makna Dan Kemanfaatan Jaminan Sosial Bagi Masyarakat Desa


Jaminan sosial kurang lebih memiliki makna sebagai berikut: tanggungan seseorang terhadap orang lain atas hubungan (sosial) yang telah diciptakannya. Kata hubungan dalam pengertian itu lebih menekankan pada hubungan sosial. Hubungan ini mendahului hubungan lain yang menimbulkan tanggungan seseorang terhadap orang lain. Hubungan sosial itu terjadi antara individu atau kelompok yang diciptakan

R. Sapto Hadi Priyo Siswanto SOLIDARITAS SOSIAL SEBAGAI SEBUAH ORIENTASI JATI DIRI MASYARAKAT DESA DALAM MEWUJUDKAN MEKANISME JAMINAN SOSIAL KOMUNITASNYA

87

untuk menjalin relasi sosial seperti persahabatan (friendship), hubungan atasan-bawahan (patron-klien) apabila terjalin antara dua individu, yang menimbulkan konsekuensi sosial seseorang terhadap orang lain. Sementara itu dari sudut pandang fungsional melihat, jaminan sosial sebagai suatu mekanisme sosial yang digunakan untuk mencapai keadaan-keadaan yang lebih efektif yaitu perlu adanya optimalisasi unsur-unsur yang bekerja di dalam sistem tersebut. Dalam sudut pandang ini, pengertian jaminan sosial meliputi bentuk upaya masyarakat (yang kurang mampu) untuk mendapatkan nilai kualitas hidup yang lebih baik dari keadaan sebelumnya. Segala bentuk upaya itu dianggap sebagai suatu rencana yang sudah dimiliki, baik itu secara taktis maupun strategis, yang berarti pula perwujudan dari suatu mekanisme, sehingga setiap upaya-upaya mereka itu dalam segi-segi kehidupan (pokok) harus diakui sebagai suatu kenyataan empiris. Mekanisme strategi survival tidak jarang mewarnai pengertian ini dan memberikan penekananpenekanan khusus terhadap tema jaminan sosial yang menarik. Nooteboom (1995) misalnya, dalam pengertian ini melihat jaminan sosial sebagai suatu bentuk perjuangan orang-orang miskin untuk memperoleh akses yang lebih baik terhadap kebutuhan dasar, strategi kelangsungan hidup dan hubunganhubungan sosial. Selanjutnya teori jaminan sosial dilihat dari sudut pandang struktural pendekatan sosiologis, dapat dilihat dari pendapat Nugroho (1997). Ia telah memberikan sumbangan pada sudut pandang ini sebagai suatu dasar dari bangunan kelembagaan sosial pada hubungan saling mempengaruhi secara sadar, untuk mengatasi masalah sosial ekonomi sehari-hari bersama-sama anggota suatu komunitas. Menurut Nugroho, bentuk populer dari jaminan sosial ini adalah arisan yang berlangsung di perdesaan terutama yang banyak dilakukan oleh kalangan perempuan. Sudut pandang lain dari pendekatan antropologi, melihat jaminan sosial pada struktur gagasan yang tersembunyi di balik gejala sosialnya. Ahimsa-Putra (1994) melihat sistem jaminan sosial yang berkembang dalam arisan dan gotong royong di perdesaan tidak terlepas dari konsep pertukaran. Senada dengan pendekatan sosiologi yang menyatakan bahwa dengan arisan individu bisa merasa at home dalam masyarakat. Dengan demikian kajian antropologis (berdasarkan teori pertukaran Ekeh, 1974) tentang arisan melihat bahwa individu mulai mendapat tempat di dalamnya, tanpa mengurangi porsi yang telah diberikan pada kelompok.

7. Teori-teori Yang Berkaitan Dengan Studi Jaminan Sosial


Ada beberapa teori yang berkembang dalam studi jaminan sosial ini, yaitu teori pertukaran dan teori strategi survival. Teori pertukaran merupakan inti dari teori yang melandasi bentuk pertukaran masyarakat tradisional dan yang berkembang dalam sistem jaminan sosial (informal) saat ini. Sistem barter maupun bentuk yang lebih luas lagi seperti gotong royong dan arisan, tidaklah dapat dilepaskan sari konsep dasar pertukaran (exchange). Pertukaran merupakan suatu teori dasar dari bidang studi yang paling tua yaitu sistem kekerabatan, dan saat ini bentuk tersebut diwujudkan dalam studi mengenai gotong royong dan arisan (Bayu Aji, 1998). Gotong royong termasuk jenis pertukaran meluas menjala dan memusat pada individu dan kelompok, bertahan dalam kelompok primer (Cooley, 1902) atau dalam lingkungan sosial yang terbatas yaitu dalam masyarakat yang relatif homogen, yang bertatapan muka face to face secara intensif. Sedangkan pertukaran sosial yang terbatas diartikan sebagai suatu bentuk pertukaran yang terjadi di antara dua individu. Bentuk pertukaran sosial terbatas ini menghasilkan fenomena yang biasa disebut dengan 1) persahabatan (friendship) ataupun colleague jika pertukaran itu seimbang dan terjadi di antara dua orang yang relatif sama status sosial ekonominya, dan 2) patronase (patronage) atau hubungan patron dan klien, jika hal itu terjadi antara individu yang tidak sama status sosial ekonominya sehingga pertukaran berjalan dengan tidak seimbang (Foster, 1967).

88

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

Teori survival dalam studi jaminan sosial menitikberatkan persoalannya pada aspek sosial budaya, sebagai respon terhadap tekanan yang dikembangkan oleh hubungan-hubungan sosial serta hubungan timbal balik yang berlangsung dalam prosesnya. Stategi survival dilakukan oleh para petani sebagai usaha untuk mempertahankan diri dari kekurangan yang mereka alami, dan berusaha untuk melepaskan diri dari himpitan yang dirasakannya tersebut. Dengan demikian teori survival menempatkan pokok perhatiannya pada keseluruhan upaya yang dilakukan oleh komunitas untuk mengatasi kondisi deteriorasi (penurunan mutu) yang dihadapi dan usaha untuk meningkatkan kualitas hidupnya (Hirzt, 1995).

D. Metodologi
Lokasi penelitian yang dipilih adalah suatu dusun di Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, DIY. Alasan pemilihan lokasi dilakukan dengan pertimbangan bahwa daerah perdesaan ini bukan lagi menjadi kawasan pertanian murni, melainkan telah berbaur dengan kawasan perumahaan yang dihuni oleh masyarakat kota. Dengan demikian diasumsikan bahwa problem yang dilami oleh masyarakat desapun menjadi kompleks dan lebih bervariasi, terutama dalam mewujudkan solidaritas sosial dan juga social security mechanism masyarakat desanya. Sampel penelitian adalah individual dalam rumah tangga yang tinggal di Dusun suatu Desa Ambarketawang. Sampel diambil dengan menggunakan teknik snowballing atau teknik bola salju. Sementara itu cara pengambilan sampel akan dilakukan dengan metode purposive, hal ini dilakukan agar sampel yang diperoleh dapat menggambarkan subjek penelitian sesuai dengan topik yang dipilih. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dua jenis pendekatan, yaitu pendekatan kuantitatif (survey) dan pendekatan kualitatif akan dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang mendalam mengenai topik penelitian ini. Kedua jenis penelitian ini dipilih agar dapat diperoleh informasi dan data secara lebih comprehensive dan mendalam. Penelitian menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui: 1. kuesioner, 2. wawancara tak berstruktur, 3. in depth interview, 4. pengamatan terlibat. Sedangkan Data sekunder diperoleh melalui: 1. data statistik; 2. literatur; dan 3. dokumentasi relevan. Metode analisis yang dipergunakan ada dua tipe, yaitu analisis kuantitatif yang berupa frequency distribution atau persentase dan juga analisis kualitatif dilakukan dengan menggunakan pendekatan dialogical interpretation, yaitu mendialogkan pemahaman emic dan etic untuk memperoleh comprehensive understanding. Hal ini dilakukan agar hasil penelitian akan menghasilkan pemahaman yang akseptabel di hadapan subjek penelitian.

E. Data dan Analisis


Penelitian ini dilakukan di suatu dusun di Desa Ambarketawang. Dusun ini letaknya di sekitar Perumahan Griya Ketawang yang didirikan sejak tahun 1991. Sebelum berdirinya perumahan sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani, akan tetapi setelah ada pembangunan perumahan mereka banyak yang melakukan alih profesi, seperti menjadi buruh, peternak babi, pedangan dan lain sebagainya. Rata-rata masyarakat yang tinggal di dusun tersebut kondisi sosial ekonominya cukup bahkan cenderung berada pada strata menengah ke bawah. Jumlah responden yang berhasil dihimpun dalam penelitian ini sebanyak 55 responden, jumlah responden perempuan lebih banyak dibandingkan responden laki-laki. Berdasarkan umur responden nampaknya laki-laki maupun perempuan berada pada interval umur produktif. Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditempuh responden, rata-rata responden perempuan mempunyai tingkat pendidikan yang lebih rendah daripada laki-laki. Sebagian besar responden perempuan memiliki pendidikan hingga tamat SLTP, sedang responden laki-laki lebih banyak yang berpendidikan SLTA dan bahkan ada yang mempu-

R. Sapto Hadi Priyo Siswanto SOLIDARITAS SOSIAL SEBAGAI SEBUAH ORIENTASI JATI DIRI MASYARAKAT DESA DALAM MEWUJUDKAN MEKANISME JAMINAN SOSIAL KOMUNITASNYA

89

nyai tingkat pendidikan hingga Perguruan Tinggi. Hal ini tidak jauh berbeda dengan tingkat pendidikan pasangan. Jumlah anak yang dimiliki responden rata-rata adalah 12 orang, hasil penelitian memperlihatkan ada sebanyak 25 orang (43,64 %) yang mempunyai anak 12 orang, kemudian yang mempunyai anak sebanyak 34 orang ada 19 orang (34,55 %), lalu responden yang mempunyai anak lebih dari 4 orang ada sebanyak 8 orang (05,45 %). Responden yang berpendidikan lebih tinggi akan cenderung memiliki anak yang lebih sedikit. Jenis pekerjaan atau mata pencaharian yang dimiliki oleh responden sangat bervariasi. Ada yang menjadi Pegawai Negeri, Pegawai Swasta, Wiraswasta, Petani Pemilik dan lain sebagainya. Responden yang bermata pencaharian seperti tersebut di atas cenderung memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dibandingkan yang bermata pencaharian lainnya yakni rata-rata tamat SLTA bahkan untuk yang Pegawai Negeri dan Pegawai Swasta tingkat pendidikannya sampai tamat Perguruan Tinggi. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri sebanyak 4 orang (07,27 %), dari jumlah tersebut sebanyak 4 orang (100,00 %) berjenis kelamin lakilaki. Responden yang bekerja Srabutan ada sebanyak 9 orang (16,36 %), mereka sebagian besar lakilaki (66,67 %). Namun jika dilihat responden yang berprofesi sebagai pedagang, dari sebanyak 7 orang (12,73 %) maka yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 6 orang (85,71 %) dan yang berjenis kelamin laki-laki hanya 1 orang saja (14,29 %). Hal ini disebabkan pekerjaan sebagai pedangan adalah identik dengan aktivitas perempuan, karena profesi berdagang tidak jauh dari aspek-aspek ketelatenan dan kepandaian didalam merayu pembeli agar mereka membeli dagangan yang jual. Jenis pekerjaan pasangan seperti halnya jenis pekerjaan responden adalah bervariasi, yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri sebanyak 1 orang (01,82 %). Justru untuk pasangan responden yang paling banyak adalah tidak bekerja yakni ada sebanyak 18 orang (32,73 %). Pasangan responden yang berprofesi sebagai Pegawai Swasta ada sebanyak 7 orang (12,73 %) lalu yang berprofesi sebagai Pedagang ada sebanyak 8 orang (14,55 %). Kemudian yang bekerja sebagai Buruh Tani dan Srabutan diketahui masing-masing sebanyak 6 orang (10,91 %). Sebagian besar responden memiliki total penghasilan keluarga Rp. 750.000,-. Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian ini yang memperlihatkan ada sebanyak 29 orang (52,73 %) memiliki jumlah penghasilan dengan kisaran di atas. Kondisi ekonomi keluarga responden, rata-rata berada pada status sosial ekonomi yang rendah. Hal ini terlihat ada sebanyak 32 orang (58,18 %) yang termasuk dalam kategori tingkat status sosial ekonomi yang rendah, sementara yang termasuk dalam kategori tingkat status sosial ekonomi tinggi hanya sebanyak 9 orang (16,37 %), dan sisa lainnya yakni sebanyak 14 orang (25,45 %) berada pada tingkat status sosial ekonomi yang sedang. Berdasarkan kesulitan yang dirasakan oleh rumah tangga, nampak bahwa sebagian besar responden (29,08 %) menyatakan kesulitan akan kebutuhan sehari-hari yang mereka rasakan, kemudian kesulitan pendapatan (23,64 %) dan macam kesulitan lain yang sangat dirasakan oleh sebagian responden adalah mengenai pendidikan (21,82 %). Kesulitan akan kebutuhan harian, pendapatan dan pendidikan terkait dengan daya beli masyarakat saat ini yang semakin kecil. Pendapatan mereka dirasa tidak mencukupi lagi untuk memenuhi kebutuhan mereka bahkan kebutuhan dasar mereka sekalipun. Oleh karena itu untuk mengatasi kesulitan yang mereka hadapi, maka keluarga mempunyai peranan yang cukup penting. Hal ini disebabkan keluarga merupakan unit pendukung yang cukup penting dalam situasi sulit. Sumbangan pendapatan tidak hanya dari kepala keluarga, tetapi juga dari istri dan anak-anak. Secara umum lebih dari separoh istri dilokasi penelitian ini terlibat dalam kegiatan ekonomi untuk menambah pendapatan, selain mengurus rumah tangga. Nampak para istri terlibat dalam kegiatan pertanian sebagai petani atau buruh tani, selain itu juga dalam kegiatan kerajinan dan perdagangan.

90

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa di lokasi penelitian diketemukan bahwa solidaritas sosial yang masih terwujud dan dapat dirasakan adalah bentuk gugur gunung atau yang disebut dengan kerja bakti dan sumbangan atau punjungan. Gugur gunung atau kerja bakti dilaksanakan sekali dalam seminggu, adapun aktivitas yang dilakukan adalah : membuat gorong-gorong, memperbaiki jalan, membersihkan lingkungan, membuat atau memperbaiki fasilitas olah raga dusun, memasang konblok, membuat atau memperbaiki pos ronda dan lain sebagainya. Saat ini terutama dalam mempersiapkan hari jadi RI, maka aktivitas lain yang dimasukkan dalam jadual kerja bakti adalah mengecat rumah dan tembok di lingkungan pedukuhan yang bersangkutan. Berdasarkan hal di atas, nampaknya aktivitas gotong royong yang sifatnya untuk kepentingan umum masih dilaksanakan di dusun ini. Masyarakat masih merasakan perlu dan memetik manfaat yang cukup besar dengan adanya kerja bakti di wilayahnya. Nyatanya dengan pelaksanaan kerja bakti akan dapat memperingan tugas dan juga kepentingan bersama akan dapat dicapai secara lebih merata dan adil. Sementara jenis gotong royong yang lain seperti sambatan di lokasi penelitian sudah jarang dilakukan atau jarang terjadi. Sambatan adalah bentuk tolong menolong yang lebih bersifat pribadi, seperti membantu pembagian air irigasi, membantu pindah rumah baru, membantu memasang atap, membantu memperbaiki rumah dan lain sebagainya. Sambatan biasanya dilakukan hanya memanfaat orang-orang terdekat saja seperti keluarga dan kerabat dekat. Hal tersebut seperti tampak dalam penelitian yang memperlihatkan ketika orang akan membangun atau memperbaiki rumah mereka lebih cenderung untuk minta bantuan kepada keluarga sendiri (50,91 %) dan kerabat atau saudaranya (25,45 %). Hanya sebanyak 9 orang (16,36 %) dan 4 orang (07,28 %) yang minta bantuan kepada tetangga atau yang lainnya. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sambatan yang melibatkan warga saat ini menjadi sulit dilakukan. Hal ini disebabkan telah terjadi diskrepansi antara individu dan masyarakat. Dalam pemahaman sosiologis, diskrepansi ini berupa adanya perbedaan antara das Sollen dan das Sein. Atau antara norma (pemikiran) dan kenyataan (praxis). Dengan demikian berdasarkan asumsi ini orang cenderung akan menghitung untung rugi jika memberikan bantuan kepada orang lain. Masyarakat saat ini memahami uang secara umum dianggap sebagai instrumen dalam pertukaran ekonomi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari. Istilah kebutuhan hidup sebenarnya tidak hanya menunjukkan pada bidang ekonomi saja seperti sandang, pangan dan papan akan tetapi juga kebutuhan-kebutuhan sosial, politik, budaya dan psikologis. Namun kenyataannya dalam melaksanakan interaksi sosial di perdesaan uang memegang kendali masyarakat, sehingga mereka akan melihat segi keuntungan dan kerugian yang akan mereka peroleh atau terima. Berdasarkan hal tersebut di atas, jelas bahwa sambatan yang mempunyai arti agar dapat memperoleh pertolongan tanpa pamrih dari orang lain sudah mengalami distorsi. Orang telah terpengaruh pada orientasi kapitalistik, dimana uang lebih dipandang sebagai instrumen ekonomis semata sehingga jika terjadi interaksi sosial dalam masyarakat maka akan diukur dengan untung rugi penerimaan yang akan diperoleh. Sumbangan adalah merupakan suatu bentuk solidaritas sosial. Masyarakat Jawa, khususnya di perdesaan mengenal dan masih menggunakan perhitungan hari dan bulan baik untuk melakukan upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidupnya. Pada bulan Besar, Mulud, dan Sapar, banyak acara perkawinan dan supitan yang dilaksanakan di perdesaan Jawa. Oleh karena itu, masyarakat desa kadangkala menyebutnya sebagai wulan ewuh (bulan pesta). Dalam satu hari, kadangkala dua sampai tiga acara pernikahan berlangsung di suatu desa. Mereka membedakan aktivitas sumbangan menjadi dua, yakni: pertama, yang berkaitan dengan sumbangan pada saat suka seperti kelahiran, supitan, dan perkawinan; kedua, sumbangan yang bersifat

R. Sapto Hadi Priyo Siswanto SOLIDARITAS SOSIAL SEBAGAI SEBUAH ORIENTASI JATI DIRI MASYARAKAT DESA DALAM MEWUJUDKAN MEKANISME JAMINAN SOSIAL KOMUNITASNYA

91

duka terutama untuk kematian, sakit, dan bencana alam. Penggunaan kata suka telah menunjukkan bahwa kegiatan ini berkaitan dengan saat-saat yang penuh dengan kegembiraan. Tolong menolong berupa barang dan uang untuk kegiatan yang berkaitan dengan suka disebut sumbangan, sedangkan kegiatan yang berkaitan dengan saat duka disebut tetulung atau layat. Uang yang diberikan pada tetulung atau layat jumlahnya lebih kecil bila dibandingkan dengan besarnya sumbangan yang umumnya mereka berikan. Biasanya uang yang dialokasikan untuk hal tersebut antara Rp. 5000,- hingga Rp. 10.000,- bagi tetangga jauh dan kerabat jauh, sementara untuk kerabat dekat antara Rp. 20.000,- hingga Rp. 25.000,-. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa sumbangan yang dialokasikan masyarakat untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat gembira jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan uang yang mereka berikan untuk tetulung atau layat yang notabene merupakan peristiwa yang menyedihkan. Padahal jika di cermati kematian dan orang yang menderita sakit memerlukan alokasi uang yang tidak sedikit, namun masyarakat menganggap bahwa kematian dan sakit adalah merupakan suatu musibah dan takdir yang harus ditanggung pihak yang terkena musibah tersebut. Di dusun tempat penelitian ini dilakukan, masyarakat membedakan hajatan perkawinan menjadi dua macam, yakni hajatan perkawinan besar (ewuh gedhen) dan hajatan perkawinan kecil (among-among). Perbedaan nama kedua acara tersebut juga berpengaruh terhadap tata cara sumbang menyumbang di desa. Pada acara yang pertama, penyelenggara menerima sumbangan uang, sedangkan pada acara yang kedua, mereka tidak menerima sumbangan uang dari tetangga maupun kerabatnya. Bentuk solidaritas sosial lain yang diketemukan adalah : arisan. Ada beberapa jenis kelompok arisan di dusun lokasi penelitian yaitu : kelompok arisan ibu-ibu, kelompok arisan bapak-bapak dan kelompok arisan pemuda-pemudi. Kelompok arisan biasanya dibentuk oleh kelompok masyarakat setempat berdasarkan kesamaan kepentingan, seperti : RT, kelompok pengajian, kelompok dasawisma, PKK, kelompok tani, kelompok peternak, dan lain sebagainya. Kecenderungan kelompok arisan saat ini diketahui menjadi semakin ekonomis dibandingkan sebagai lembaga sosial. Hal tersebut juga tampak dalam penelitian ini yang lebih menekankan kepentingan ekonomis dibandingkan kepentingan-kepentingan lainnya. Saat ini arisan lebih dipandang dalam kaitan dengan segi praktisnya, pentingnya sebagai alat, dan sebagai mekanisme penggunaan penghasilan seseorang secara efektif, dibandingkan dengan yang dilakukan penduduk desa. Arisan di lokasi penelitian juga telah bercampur dengan tradisi perkotaan yakni urutan penarikan didasarkan pada undian dan bukan berdasarkan musyawarah. Berdasarkan hasil penelitian ini nampaknya jumlah iuran arisan bervariasi mulai dari Rp. 3000,hingga Rp. 20.000,-. Iuran arisan di kelompok RT, dasawisma dan PKK cenderung lebih kecil bila dibandingkan dengan jumlah iuran yang dikumpulkan oleh kelompok tani, kelompok peternak, kelompok arisan bapak-bapak. Kelompok-kelompok yang disebutkan terakhir ini adalah merupakan kelompok arisan yang teridiri dari bapak-bapak dan iuran yang mereka kumpulkan adalah lebih besar yakni Rp. 10.000,- hingga Rp. 20.000,-. Berdasarkan bentuk-bentuk solidaritas sosial yang diketemukan di lokasi penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang melatarbelakangi terbentuknya solidaritas sosial masyarakat desa : 1). Adanya Tradisi/Kebiasaan : gotong royong, tolong menolong, sambatan, dsb; 2). Sebagai Media untuk mewujudkan jaminan sosial (bantuan sosial) bagi masyarakat desa; 3). Sebagai sarana untuk mensiasati hidup. Solidaritas sosial yang terbangun di desa bertujuan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, baik berupa ekonomi maupun non ekonomi. Salah satu strategi yang diterapkan masyarakat desa untuk menghadapi keterbatasan ekonomi adalah melakukan penghematan terhadap berbagai pengeluaran mereka. Masyarakat desa berusaha menekan pengeluaran yang bersifat non pangan dan mereka lebih mengutamakan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan pangannya.

92

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat desa, terutama bagi mereka yang kurang mampu dari segi finansial, maka hutang piutang diantara tetangga menjadi sarana yang cukup efektif. Warung-warung kecil di perdesaan menjadi pilihan utama mereka dalam berhutang. Hutang di warung tidak hanya berwujud barang kebutuhan sehari-hari, kadang kala juga berupa uang. Ketika tiba-tiba ada tetangga mereka yang meninggal, maka kewajiban menyumbang harus mereka lakukan. Perilaku hutang piutang juga akan mereka lakukan ketika di rumahnya barang-barang kebutuhan kosong sama sekali. Dengan demikian mereka terpaksa akan meminjam beras di warung bahkan terkadang juga dengan uang kontannya sekaligus. Berdasarkan hasil di atas maka selain keluarga maka tetangga memainkan peran penting pula dalam berbagai bentuk. Jaminan sosial selain diperoleh dari keluarga juga dapat diperoleh dari tetangga. Tetangga memainkan peran penting dalam berbagai bentuk. Peran tetangga yang penting dapat dilihat dari berbagai peristiwa, khususnya dalam berbagai kegiatan yang dilakukan dengan cara gotong royong, seperti membangun rumah dan berbagai kegiatan seremonial yang terkait dengan siklus hidup. Sebagian besar sumbangan atau bantuan yang diberikan kepada tetangga, biasanya untuk peristiwa kelahiran, sunatan, pernikahan dan kematian. Hubungan ketetanggaan yang dirasakan oleh masyarakat desa menunjukkan batas-batas yang jelas dalam pendifinisian tanggung jawab sosial, sehingga sumbangan atau bantuan yang diberikan lebih bersifat sebagai ungkapan moralitas masyarakat setempat. Mekanisme tolong menolong yang dikembangkan oleh keluarga dan tetangga di lokasi penelitian, menunjukkan ketergantungan personal yang cukup kuat, dan ketergantungan ini didasari oleh suatu prinsip resiprositas. Ketergantungan yang terjadi di masyarakat memperlihatkan adanya suatu bentuk solidaritas sosial. Solidaritas sosial sesungguhnya dilandasi oleh suatu kepentingan individual yang suatu saat bisa berubah sesuai dengan kepentingannya, dan secara tidak langsung dengan adanya perubahan kepentingan itu akan mengakibatkan terjadinya perubahan mekanisme jaminan sosial yang ada di desa. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa jaminan sosial yang pernah diterima responden seluruhnya adalah bersifat internal, yakni bantuan yang pernah mereka peroleh dari saudara/kerabat dan keluarga (78,18 %) serta tetangga (21,82 %). Sementara jaminan sosial yang bersifat eksternal belum ada satu orang respondenpun yang pernah merasakannya. Untuk itu dalam kasus ini jaminan sosial yang bersifat internal masih bisa dikembangkan untuk membantu masyarakat jika terjadi kesulitan, namun demikian tidak menutup kemungkinan jaminan sosial yang bersifat eksternal perlu diupayakan agar masyarakat dapat memperoleh pilihan yang lebih bervariatif untuk memperoleh bantuan jika terjadi kesulitan. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa lingkup solidaritas sosial terbanyak adalah persaudaraan/persahabatan (40,00 %). Hal ini berarti bahwa ketika mengalami kesulitan maka yang pertama kali akan memberikan pertolongan adalah saudara atau sahabat mereka. Kemudian lingkup solidaritas sosial berupa ketetanggaan dikemukakan oleh sebanyak 19 orang (34,55 %) sementara lingkup solidaritas berupa patronase ada sebanyak 14 orang (25,45 %). Responden yang menyatakan lingkup solidaritas sosial berupa persaudaraan/persahabatan memberi tanggapan bahwa peranan solidaritas sosial cenderung sangat baik. Hasil tersebut didukung dari penelitian ini yang menunjukkan jumlah terbanyak (63,64 %) pada jawaban menyatakan bahwa peranan solidaritas sosial memiliki kategori sangat baik. Selanjutnya untuk responden yang menyatakan lingkup solidaritas sosial ketetanggaan cenderung menyatakan peranan solidaritas sosial adalah cukup baik (47,37 %). Dengan demikian kuat atau tidaknya solidaritas sosial terkait dengan hubungan baik yang terjalin diantara masyarakat. Saudara atau sahabat mempunyai hubungan yang lebih akrab atau dekat dibanding dengan tetangga, lebih-lebih jika dibandingkan dengan hubungan antara patron dan klien yang memiliki hubungan yang hirarkis. Oleh karena itu kategori solidaritas sosial yang terbentukpun dipengaruhi oleh keakraban hubungan yang terjalin diantara anggota masyarakat.

R. Sapto Hadi Priyo Siswanto SOLIDARITAS SOSIAL SEBAGAI SEBUAH ORIENTASI JATI DIRI MASYARAKAT DESA DALAM MEWUJUDKAN MEKANISME JAMINAN SOSIAL KOMUNITASNYA

93

Melihat paparan di atas nampaknya mekanisme jaminan sosial yang lebih cocok untuk diterapkan dalam hal ini adalah mekanisme jaminan sosial dengan model kelompok atau kerjasama dibandingkan individu. Hal ini disebabkan dengan kelompok atau kerjasama maka kesulitan yang dialami akan lebih mudah teratasi dibandingkan dengan model individu. Asumsi tersebut diperkuat dari hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa solidaritas sosial yang sangat baik dan cukup baik cenderung menggunakan mekanisme jaminan sosial secara kelompok atau kerjasama (lebih dari 50 %), untuk solidaritas sosial yang sangat baik terlihat sebesar 76,92 % dan untuk solidaritas sosial yang cukup baik 65,22 %. Sedangkan solidaritas sosial yang tidak baik cenderung menyatakan bahwa mekanisme jaminan sosial yang dilakukan secara individu (83,33 %). Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme jaminan sosial berupa kelompok atau bentuk kerjasama membentuk solidaritas sosial yang cukup baik bahkan sangat baik dibandingkan mekanisme jaminan sosial yang berbentuk individu. Oleh karena itu peran kelompok sangat menentukan keberhasilan solidaritas sosial yang terbentuk, di samping itu juga dengan solidaritas sosial yang cukup baik akan memberikan bantuan bagi masyarakat yang membutuhkan bantuan ketika mengalami kesulitan.

F. Kesimpulan dan Saran


Berdasarkan hasil penelitian dapat disebutkan bahwa secara geografis letak Desa Ambarketawang adalah sangat strategis, karena terletak di sepanjang jalan raya yang menghubungkan Kecamatan Gamping dengan kota Yogyakarta. Di samping itu kondisi desa sekarang sudah sangat berubah jika dibandingkan kondisi 15 tahun yang lalu sebelum terbangunnya perumahan di wilayah sekitar. Perubahan bisa dilihat dari kondisi fisik desa dan sekitarnya, kemudian ragam mata pencaharian penduduk yang lebih bervariasi, sikap dan perilaku penduduk yang mulai ke arah tradisi perkotaan. Namun demikian nilai tradisional masyarakat Jawa seperti orang harus mengerti perasaan orang lain (tepa slira) untuk saat ini masih dapat diketemukan dalam tradisi masyarakat perdesaan di lokasi ini. Hal tersebut disebabkan kehidupan bersama yang terjadi di desa memiliki tujuan untuk mencapai keadaan yang harmonis. Oleh karena itu berdasarkan nilai-nilai di atas, maka solidaritas sosial di desa lokasi penelitian masih terbangun dengan baik. Hal ini terjadi karena masyarakat desa menjaga keselarasan dan sangat menekankan hubungan yang akan sejauh mungkin menghindari konflik, selain itu mereka juga akan terus berada dalam kebersamaan dan saling membantu dalam berbagai hal. Adanya solidaritas sosial yang terjadi kemudian muncul aktivitas tolong menolong, dan aktivitas ini memang merupakan salah satu kegiatan sosial yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat desa. Aktivitas tolong menolong yang terjadi selanjutnya dapat meringankan beban sosial, ekonomis dan psikologis yang mereka tanggung. Pada saat yang lain, masyarakat yang telah menerima sumbangan akan mengembalikannya kepada mereka yang pernah membantu. Bantuan yang diberikan bervariasi dapat berupa tenaga, uang maupun barang-barang kebutuhan sehari-hari, terutama yang akan digunakan dalam acara tersebut. Kebiasaan untuk saling membantu diantara warga masyarakat telah memunculkan proses tukar menukar dalam bentuk uang, barang dan tenaga. Besarnya sumbangan yang diberikan masyarakat sekitar untuk suatu peristiwa yang membahagiakan, lebih banyak jika dibandingkan uang yang diberikan untuk membantu masayarakat lain yang tertimpa musibah (peristiwa menyedihkan). Hal ini disebabkan adanya asumsi bahwa peristiwa sedih adalah merupakan suatu nasib yang dialami dan ditanggung oleh keluarga bersangkutan, akan tetapi jika peristiwa menggembirakan adalah merupakan suatu aktivitas yang harus ditanggung secara kolektiv, sehingga dalam peristiwa gembira tersebut orang wajib untuk memberi sumbangan dan bukan tetulung.

94

JURNAL SOSIOPUBLIKA VOL. 2 NO. 2 DESEMBER 2012

Solidaritas sosial yang terjadi di masyarakat dapat dipergunakan sebagai media jaminan sosial, karena masyarakat dapat memperoleh keringanan terhadap kesulitan yang dialaminya. Sementara itu bentuk jaminan sosial masyarakat desa yang diketemukan adalah bentuk jaminan sosial yang bersifat internal, sedangkan bentuk jaminan sosial yang berisfat eksternal belum diketemukan di masyarakat lokasi penelitian ini. Peranan solidaritas sosial di lokasi penelitian ini rata-rata adalah cukup baik bahkan masih sangat baik. Mekanisme jaminan sosial yang berkembang lebih banyak dengan menggunakan model kelompok atau kerjasama dibandingkan individu. Hal ini disebabkan adanya kolektivitas yang menjadi ciri masyarakat desa dan adanya nilai tradisi keselarasan dan keserasian yang masih berlaku, sehingga berpengaruh terhadap sikap dan perilaku masyarakatnya. Meskipun nilai-nilai perkotaan sudah berbaur dengan nilai-nilai tradisi, nampaknya nilai-nilai tradisi masih eksis di dalam masyarakat sehingga jika ada suatu kesulitan maka masyarakat cenderung menggunakan model kelompok daripada model individu. Pengaruh budaya perkotaan sebagai akibat pembangunan perumahan di sekitar desa, dikhawatirkan lambat laun akan mempengaruhi pola pikir, sikap dan perilaku masyarakat desa. Dengan demikian jika tidak ada langkah-langkah antisipatif akan dapat mereduksi ikatan solidaritas sosial masyarakat desa, karena derasnya terpaan pengaruh dari luar. Untuk mengurangi reduksi maka diperlukan upaya untuk dapat melestarikan ikatan solidaritas tersebut. Hal ini disebabkan solidaritas sosial terbukti telah banyak memberikan pertolongan serta dapat meringankan beban yang dialami masyarakat, sehingga media untuk menggalang solidaritas sosial yang ada di wilayah perdesaan mendesak untuk mendapatkan perhatian dan penataan. Salah satu media yang dapat mengikat solidaritas sosial masyarakat adalah sengan sistem jaminan sosial. Namun sayangnya untuk saat ini bentuk jaminan sosial yang berkembang di masyarakat adalah masih bersifat internal saja, sedangkan bentuk jaminan sosial yang eksternal belumlah ada. Oleh karena itu agar masyarakat desa dapat mempertahankan kehidupannya secara lebih baik dan sejahtera maka jaminan sosial yang bersifat eksternalpun perlu dipikirkan eksistensinya. Perubahan ini dimungkinkan dengan proses formalisasi institusi lokal atau tradisional dengan merubah institusi yang berbasis hubungan personal dan kontrol sosial keluarga dan ketetanggaan ke dalam suatu institusi sosial yang lebih formal dengan manajemen yang lebih jelas. Institusi arisan, gotong royong, harus diwujudkan dalam bentuk kumpulan sumberdaya atau dana yang didistribusikan dengan mekanisme yang jelas pula. Untuk mencapai pada semua itu maka perlu dibentuk mekanisme jaminan sosial yang adaptif terhadap cara berpikir dan sifat-sifat hubungan masyarakat. Oleh karena itu jika ada bentuk mekanisme jaminan sosial hendaknya adalah mekanisme yang sensitive dengan sifat-sifat hubungan sosial perdesaan yang lebih menekankan sifat sosial daripada penonjolan individu.

Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 1998, Social Security Dari Solidaritas Mekanis Ke Formalisasi Mekanisme Sosial, dalam Seminar Social Security And Social Policy, Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. ---------------------. 2001, Teori dan Praktek Komunalisme : Krisis Ekonomi, Sumber Daya Lokal dan Respon Sosial di Sriharjo, Yogyakarta dalam Frans Von Benda-Beckmann et. al. (eds.), Sumber Daya Alam dan Jaminan Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Ahimsa-Putra, Heddy Sri. 1994, Prinsip Pranata Keluarga, Kekerabatan dan Kerjasama dalam Masyarakat : Perspective Pertukaran, Makalah Ceramah Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta.

R. Sapto Hadi Priyo Siswanto SOLIDARITAS SOSIAL SEBAGAI SEBUAH ORIENTASI JATI DIRI MASYARAKAT DESA DALAM MEWUJUDKAN MEKANISME JAMINAN SOSIAL KOMUNITASNYA

95

Bayu Aji, Gutomo. 1998, Studi Mengenai Jaminan Sosial Di Indonesia : Suatu Reproduksi Terhadap Konsep-Konsep Pertukaran dalam Seminar Social Security And Social Policy, Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Benda-Beckmann et al. 1988, Between Kinship and the State: Social Security and Law in Developing Countries, Foris Publications, Dordrect. Cooley, Charles Horton. 1925, Human Nature and Social Order, Scribners, New York. Faturochman. 1998, Bertahan Hidup Di Masa Krisis : Kasus Kalitengah, dalam Seminar Social Security And Social Policy, Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Foster, G.M. 1967, The Dyadic Contract : A Model for The Social Structure of a Mexican Peasant Village, American Anthropologist 62 (6) : 1173 1192. Geertz, Clifford. 1983, Involusi Pertanian, Bharata, Jakarta. Hirzt, Frank. 1995, Managing Insecurity State Social Policy and Family Networks in The Rural Philipines, Verlag fur Entwicklungspolitik Breitenbach Gmbh Saarbrucken. Husken, Frans dan Ben White. 1989, Java : Social Differentiation, Food Production, and Agrarian Control, dalam G.Hart et al. (ed), Agrarian Transformations : Local Processes and the State in Southeast Asia. University of California Press, Berkeley. Kartodirdjo, sartono. 1990, The Impact of Science and Technology on Societies in Southeast Asia, dalam Sartono Kartodirdjo (ed.), Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Kartohadikoesoemo, Soetarjo. 1965, Desa, Sumur Bandung, Bandung. Koentjaraningrat. 1964, Masyarakat Desa Masa Ini, Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Jakarta. Kutanegara, Pande Made. 2002, Sumbangan dan Solidaritas Sosial : Jerat Kultural Masyarakat Pedesaan Jawa, Makalah Seminar Bulanan, Tidak Diterbitkan, Pusat Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Noteboom, Gerben. 1995, The Art of Surviving : Social Security Strategies, Arrangements and Conditions in Itugao, The Philipines, Netherland. Nugroho. 1997, Social Security, Labour and Agro-ecological Diversity in East Java : a Preliminary Research Proposal, Makalah Workshop Social Security, PPK UGM, Yogyakarta. Polanyi, Karl. 1968, Sociatis and Economic System, dalam George Dalton (ed.), Primitive, Archaic and Modern Economies, Essays of Karl Polanyi, Beacon Press, Boston. Rahardjo. 1979, Gotong Royong di Desa Kadilaju dan Desa Jambitan : Suatu Perbandingan, Lembaga Studi Pedesaan dan Kawasan, UGM, Yogyakarta. ------------. 1999, Pengantar Sosiologi Pedesaan Dan Pertanian, Cetakan Pertama, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Zacher, H.F. 1988, Traditional Solidarity and Modern Social Security, dalam F. Von Benda-Beckmann et al. (ed.), Between Kinship and the State: Social Security and Law in Developing Countries, Foris Publications, Dordrect.

You might also like