You are on page 1of 28

BAB I PENDAHULUAN Awal abad ke-20 menganggap kehamilan yang melebihi waktu (kehamilan postterm) bukanlah suatu masalah,

kecuali kehamilan tersebut dihubungkan dengan makrosomia atau persalinan yang sulit. Induksi persalinan direkomendasikan hanya untuk mencegah pertumbuhan janin sehingga tidak terjadi distosia. Pada tahun 1950-an dipertimbangkan suatu intervensi karena meningkatnya kemungkinan kematian perinatal pada umur kehamilan lebih dari 42 minggu.1 Adalah Ballantyne pada tahun 1902 yang pertama membuat referensi tentang kehamilan posterm di obstetrik modern. Tahun 1954 Clifford menggambarkan lebih jelas sebuah sindrom yang ditemukan pada bayi lahir setelah melewati tanggal kelahiran yang diperhitungkan , seperti misalnya ditemukan pewarnaan mekonium pada cairan amnion dan tanda distress fetus. Auberg(1962) dan Lanman(1968) juga membuktikan bahwa terjadi peningkatan risiko kematian intrapartum berhubungan dengan kehamilan lewat waktu ini dan penelitian dari Skandinavia membuktikan bahwa kehamilan lewat waktu berhubungan dengan peningkatan risiko kematian perinatal. Sebuah penelitian dari Dublin meneliti risiko postmatur pada 6301 kehamilan lewat 42 minggu. Pada kehamilan posterm ini kematian intrapartum empat kali lipat lebih besar dan kematian neonatus tiga kali lebih besar dibanding dengan mereka yang lahir tidak melewati waktu , dan kejang neonatus sepuluh kali lebih besar dibanding yang normal. Setelah tahun 1970an itu barulah dapat diterima bahwa kematian perinatal meningkat pada kehamilan postterm dan hal tersebut mendorong dilakukan intervensi untuk persalinan atau penelitian tentang kesehatan janin. 9 Crowley juga membandingkan antara 247 wanita yang melahirkan setelah 42 minggu dengan 247 wanita yang melahirkan antara 37 sampai 42 minggu sebagai kontrol dalam penelitian : menemukan pewarnaan mekonium pada cairan amnion terjadi dua kali lebih sering pada wanita yang hamil lewat waktu. 9 Wanita dengan kehamilan postterm cenderung memiliki risiko lebih besar untuk mengalami robekan jalan lahir yang luas karena makrosomia, peningkatan risiko terjadinya infeksi dan komplikasi luka jalan lahir serta perdarahan post partum. Mereka juga berisiko lebih besar menjalani seksio sesaria sehubungan dengan makrosomia, gawat janin maupun

kegagalan dan komplikasi induksi persalinan.2,6 Risiko morbiditas perinatal pada kehamilan postterm 2-3 kali lebih banyak daripada kehamilan aterm. Sedangkan mortalitasnya meningkat lebih kurang 3 kali dibandingkan kehamilan aterm dimana 30% kematian tersebut terjadi sebelum persalinan, 55% dalam persalinan dan 15% pasca persalinan.6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DEFINISI Istilah postterm, postdates, prolonged dan postmature sering salah digunakan dalam mengartikan kehamilan yang melebihi waktu dari batas normal. Menurut American College of Obstetricians ad Gynecologist (1997), postterm adalah kehamilan 42 minggu penuh (294 hari) atau lebih dihitung dari hari pertama haid terakhir (HPHT), dengan asumsi ovulasi terjadi 2 minggu setelah haid terakhir.1,7 Sedangkan menurut Federation of Gynecologist and Obstetrians (FIGO), postterm merupakan kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu terhitung dari HPHT dan siklus menstruasi 28 hari.2,4

Umur kehamilan dan perkiraan hari kelahiran ditentukan dengan rumus Naegele.1,2,6 Meskipun kemungkinannya adalah 10% dari seluruh kehamilan, sebagian diantaranya mungkin bukan benar-benar postterm karena kekeliruan menentukan usia kehamilan. Hal ini mungkin disebabkan karena kekeliruan mengemukakan tanggal haid yang terakhir, siklus haid yang tidak teratur dan siklus haid yang terlampau panjang.1 Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa postterm sinonim dengan pregnancy.1,2,6 Terminologi postmatur digunakan untuk menjelaskan kehamilan lewat waktu yang disertai penampakan klinis postmatur pada bayi yang dilahirkan. Variasi dalam siklus menstruasi menjelaskan mengapa pada kehamilan manusia yang mencapai umur 42 minggu penuh hanya sekitar 5-10% yang menghasilkan bayi dengan sindroma postmatur yaitu: tidak ada lanugo, rambut lebat, kuku panjang, kulit keriput dan kering, pewarnaan mekonium pada kulit, verniks tidak ada atau sedikit, wajah tampak tua, tubuh kurus, dengan tungkai panjang.1,2,6 2.2 INSIDEN Secara umum insiden postterm berkisar antara 4 14%.1 Di Indonesia angka kejadian pada beberapa Rumah Sakit pendidikan berbeda-beda. Suastika (1997) melaporkan angka kejadian postterm di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta sebesar 9,5%.3 Adenia dkk (1999) melaporkan angka kejadian postterm di RSUP H.Adam Malik sebesar 6,71%.4 Priyono (2003) melaporkan angka kejadian postterm di RSUP Sanglah sebesar 3,46% untuk periode 1 Januari 2000 31 Desember 2002.7 Ada kecenderungan pada beberapa ibu terjadi persalinan postterm berulang. Faktorfaktor lain yang dinyatakan berhubungan antara lain paritas, sosial ekonomi dan umur ibu. Analisis dari 27.677 kelahiran pada wanita Norwegia ternyata ditemukan bahwa insiden kelahiran postterm berikutnya bertambah dari 10% menjadi 27% jika kelahiran pertama postterm dan menjadi 39% apabila mengalami 2 kali berturut-turut persalinan postterm.1 2.3 ETIOPATOFISIOLOGI Etiologi terjadinya postterm sampai saat ini belum diketahui secara pasti dan hal ini berkaitan dengan belum jelasnya etiologi proses persalinan. postdate dan prolonged

Teori Sistem Komunikasi Organ mengatakan bahwa janin memberikan isyarat kepada ibu bila pematangan dari organ-organ janin sudah sempurna. 8 Bahwa kortisol fetus menyebabkan plasenta mengurangi produksi progesteron. Hal ini selanjutnya akan menimbulkan kenaikan prostaglandin dalam amnion yang berguna untuk stimulasi penipisan serviks dan kontraksi ritmik uterus yang merupakan ciri khas proses persalinan.8 Pada kasus postterm, penurunan konsentrasi estrogen tidak cukup untuk menstimulasi pelepasan prostaglandin dan proses persalinan sehingga kehamilan berlangsung lewat waktu.1 Pada informasi terakhir ini diketahui ada peran hormonal Corticotropin-releasing factor (CRF) dan urocortin yang merupakan dua neuropeptid plasenta yang terlibat dalam mekanisme kelahiran dengan memodulasi yang mengalami kehamilan lewat waktu. 10 Ada beberapa faktor yang diduga mempunyai hubungan dengan kehamilan postterm antara lain: 9 1. Ketidaktahuan haid terakhir Paling sering terjadi dan berhubungan dengan pemeriksaan antenatal yang terlambat atau tidak sama sekali. 2. Ovulasi yang ireguler / fase folikuler yang berlebihan Jika ovulasi dan fertilisasi dianggap terjadi 2 minggu sebelum HPHT maka fase folikuler yang bervariasi dapat menyebabkan perkiraan usia kehamilan yang berlebihan. 3. Perbandingan progesteron dan estrogen Faktor-faktor yang berhubungan dengan penundaan produksi estrogen yang akan menyebabkan penundaan persalinan seperti : o Menurunnya produksi 16--hidroksidehidroisoandrosteron sulfat yang merupakan prekursor untuk produksi estriol, misalnya pada kasus anensefalus. o Hipoplasia adrenal mempunyai efek penurunan produksi prekursor untuk sintesa estriol. aktivitas myometrial. CRF dan urocortin meningkat pada plasma ibu pada kehamilan aterm, sementara CRF rendah pada wanita

o Defisiensi sulfatase plasenta, suatu penyakit X-linked herediter yang dapat


mencegah konversi prekursor estrogen sulfat menjadi estrogen oleh plasenta yang ditandai dengan kadar estriol,yang rendah.

4. Umur ibu Angka kejadian postterm meningkat pada umur ibu dibawah 19 tahun dan diatas 30 tahun. Mead dan Marcus (1988) mendapatkan angka kejadian postterm yang paling tinggi pada umur 21 25 tahun baik pada primi / multigravida. 5. Paritas Angka kejadian postterm lebih tinggi pada primigravida dibandingkan dengan multigravida. 6. Jenis kelamin janin Janin laki -laki 5% lebih banyak menjadi postterm dibandingkan jika janinnya perempuan. Kemungkinan terjadinya gawat janin juga lebih besar. 7. Hubungan dengan siklus haid Angka kejadian postterm pada ibu dengan siklus haid yang panjang 13,2 % lebih tinggi dibandingkan ibu dengan siklus haid normal. 8. Sosioekonomi Beberapa peneliti melaporkan bahwa kejadian postterm lebih sering terjadi pada ibi-ibu dengan sosioekonomi rendah. 9. Kelainan kongenital Kelainan kongenital seperti anensefalus, hidrosefalus, dan kelainan congenital lainnya berhubungan dengan bertambahnya angka kejadian postterm.

Fungsi plasenta memuncak pada usia kehamilan 38-42 minggu, kemudian menurun setelah 42 minggu, sirkulasi uteroplasenter akan berkurang 50% dari 500-700 ml/menit menjadi 250ml/menit akibat menurunnya fungsi plasenta ,terlihat juga menurunnya kadar estrogen dan laktogen plasenta. Terjadi juga spasme arteri spiralis plasenta. Akibatnya dapat terjadi gangguan suplai oksigen dan nutrisi untuk hidup dan tumbuh kembang janin intrauterin. Volume air ketuban juga berkurang karena mulai terjadi absorpsi. Volume cairan amnion pada kehamilan aterm 800 ml dan akan menurun menjadi 480 ml, 250 ml dan 160 ml pada kehamilan 42, 43, 44 minggu1. Keadaan-keadaan ini merupakan kondisi yang tidak baik untuk janin. Risiko kematian perinatal pada bayi postmatur cukup tinggi : 30% prepartum, 55% intrapartum, 15% postpartum.

2.4 DIAGNOSIS Sangat jelas dari literatur bahwa diagnosis dari kehamilan lewat waktu adalah sulit. Definisi waktu kehamilan dari WHO didasarkan dari data statistik dilihat dari tanggal menstruasi. Telah dibuktikan bahwa meskipun HPHT telah diketahui secara akurat, tapi bukan merupakan indikator yang dapat dipercaya sebagai tanggal tepat konsepsi. Hal ini karena onset ovulasi dalam siklus menstruasi mungkin bervariasi dari satu siklus ke siklus berikutnya. Penentuan waktu ini membawa implikasi klinis yang penting.
9

Diagnosis kehamilan postterm ditegakkan apabila kehamilan sudah berlangsung melebihi 42 minggu (294 hari). Syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain: HPHT jelas yang dihitung dengan menggunakan rumus Naegele jika siklus haid teratur, dirasakan gerak janin pada umur kehamilan 16-18 minggu, terdengar denyut jantung janin (djj) (normal 10-12 minggu dengan Doppler dan 19-20 minggu dengan fetoskop), umur kehamilan yang sudah ditetapkan dengan USG, dan pada umur kehamilan kurang atau sama dengan 20 minggu, tes kehamilan (urine) sudah positif dalam 6 minggu pertama dari HPHT.1,3,4,8 2.4.1 Menilai umur kehamilan a. Berdasarkan haid terakhir Menilai umur kehamilan postterm kadang sulit karena kebanyakan wanita tidak mengetahui hari pertama haid terakhir (HPHT) dan siklus haid yang tidak teratur. Umur kehamilan berdasar HPHT dapat dihitung dengan menggunakan rumus Naegele (tanggal +7 / bulan 3 / tahun +1) jika siklus haid teratur.1,6 b. Denyut jantung janin Denyut jantung janin mulai terdengar pada umur kehamilan 19-20 minggu dengan stetoskop Laenec sementara dengan Doppler denyut jantung janin mulai didengar pada umur kehamil;an 12 minggu.1,10 c. Gerakan janin Gerakan janin pertama kali dapat dirasakan pada umur kehamilan 18-20 minggu. Gerakan ini akan bertambah intensitasnya secara bertahap.8 d. Ultrasonografi (USG) Dengan pemeriksaan USG usia kehamilan dapat ditentukan secara dini. Ukuran biparietal distance (BPD) dan lingkar abdomen (abdominal perimeter / AP atau

abdominal sircumference / AC) janin yang tidak bertambah atau malah mengecil sangat bernilai untuk mendiagnosa kehamilan postterm. USG menjadi gold standard untuk menetapkan umur kehamilan terutama jika dilakukan pada trimester pertama. Sampai umur kehamilan 12 minggu, pengukuran crown-torump length (CRL) memberikan ketepatan taksiran persalinan 4 hari. Melewati umur kehamilan 12 minggu, CRL tidak reliabel lagi dijadikan patokan. Pada umur kehamilan 14-20 minggu digunakan patokan pengukuran diameter biparietal (BPD) dan femur length yang mempunyai ketepatan taksiran persalinan 7 hari.1,8 2.4.2 Pemeriksaan sitologi vagina Pemeriksaan sitologi vagina pada kehamilan aterm akan dijumpai sel superfisial, intermedier dan sel parabasal. Sedangkan gambaran sitologi vagina pada kehamilan postterm hanya akan ditemukan sel superfisial dan parabasal tanpa sel intermedier. Indikasi insufisiensi plasenta dan gawat janin perlu dipikirkan jika pada pemeriksaan ini hanya dijumpai sel parabasal dan indek piknotik > 20%. 8 2.5 EFEK KEHAMILAN POSTTERM PADA JANIN DAN IBU 2.5.1 Efek pada janin Kehamilan postterm yang tidak terdapat gangguan fungsi plasenta, janin akan tumbuh terus menjadi bayi besar (makrosomia). Hal tersebut akan menyebabkan distosia bahu dan disproporsi fetopelvik yang dapat menyulitkan proses persalinan.1 Insufisiensi plasenta merupakan salah satu efek kehamilan postterm. Pada keadaan ini, pasokan nutrisi dan oksigen ke janin menurun sehingga dapat terjadi gangguan pertumbuhan dan hipoksia. Sehingga saat lahir, bayi kehilangan berat badan yang cukup banyak. Pada kasus yang berat ekstremitas tampak kurus dan panjang, deskuamasi epidermis yang berat, kuku dan amnion mendapat pewarnaan empedu. Risiko gawat janin meningkat tiga kali pada fungsi plasenta yang menurun. Turunnya saturasi oksigen dibawah 10 % tidak akan dapat dikompensasi lagi sehingga dapat menyebabkan kematian janin.1

Janin pada kehamilan postterm berisiko tinggi untuk terjadinya aspirasi mekonium. Pengeluaran mekonium pada masa persalinan adalah suatu tahap kompensasi gawat janin. Pengeluaran mekonium terjadi kalau saturasi oksigen pada vena umbilikalis menurun mencapai 30% ( saturasi minimal 40% ) sehingga menyebabkan hipoksia otot polos saluran gastrointestinal yang mengakibatkan peristaltik dan relaksasi sfingter ani janin.1 Oligohidramnion sering dijumpai pada kehamilan postterm. Beberapa peneliti menemukan bahwa penyebab gawat janin terbanyak pada kehamilan postterm adalah oligohidramnion, dibandingkan dengan insufisiensi uteroplasenta.13 Penurunan jumlah cairan amnion dapat disertai dengan penekanan tali pusat sehingga menimbulkan gawat janin. Janin dengan cairan amnion yang sedikit dan mengandung mekonium akan mengalami risiko asfiksia 33%.1,6 Cairan amnion yang pekat karena mengandung mekonium meningkatkan kemungkinan terjadinya meconium aspiration syndrome.8 Sehingga dapat disimpulkan bahwa bayi yang dilahirkan dalam keadaan postterm mempunyai risiko morbiditas dan mortalitas perinatal yang lebih tinggi daripada bayi aterm.

GAMBARAN KLINIS BAYI POSTTERM Hanya sekitar 5-10% dari kehamilan postterm yang menghasilkan bayi dengan sindroma postmatur.1,2 Pada kehamilan postterm terjadi perubahan fisiologis yang dapat dilihat sebagai tanda-tanda postmatur. Pertama hilangnya verniks kaseosa dan efeknya pada otot. Dengan bertambah tuanya kehamilan, verniks kaseosa makin tipis karena larut dalam cairan amnion. Sementara pada kehamilan postterm tidak terdapat lagi verniks kaseosa. Hal ini menyebabkan terjadinya pengelupasan lapisan epidermis kulit. Pada saat lahir lapisan epidermis tetap utuh karena daya kohesi dari kulit yang basah oleh cairan amnion. Tetapi ketika permukaan kulit mulai kering maka lapisan epidermis ini akan mengeras seperti kertas perkamen, pecah-pecah dan mengelupas.6

Perubahan kedua adalah akibat penuaan plasenta. Hal ini dihubungkan dengan pertumbuhan dan berat badan janin. Dari penelitian diketahui bahwa janin tumbuh pesat sampai umur kehamilan 260 280 hari, selanjutnya pertumbuhan akan berjalan relatif lambat. Pada kehamilan postterm pertumbuhan hanya terbatas pada beberapa organ tertentu seperti kuku dan rambut.10 Tanda-tanda kehamilan postterm dibagi dalam tiga stadium: 10 1. Stadium I Kulit menunjukkan gambaran akibat kehilangan verniks kaseosa sehingga menjadi kering, rapuh, keriput dan mengelupas. Tidak ada pewarnaan mekonium. Keadaan umum menunjukkan adanya kegagalan plasenta untuk menunjang pertumbuhan yang normal sehingga bayi terlihat kurang gizi, wajah tua dan selalu waspada. 2. Stadium II Semua gejala stadium I ditambah pewarnaan mekonium pada kulit. Selaput ketuban dan tali pusat berwarna kehijauan. 3. Stadium III Semua gejala stadium I dan II disertai pewarnaan mekonium yang kuning terang pada kuku dan kulit, serta kuning kehijauan pada tali pusat 7.2 Efek pada ibu Efek kehamilan postterm pada ibu berhubungan dengan meningkatnya persalinan secara operatif, baik seksio sesaria maupun tindakan operatif pervaginam. Hal ini terjadi karena makrosomia, oligohidramnion berat sehingga induksi persalinan tidak dapat dilakukan, gagal drip dan gawat janin.1,3 Tindakan operatif pervaginam meningkatkan risiko laserasi jalan lahir. Seksio sesaria sangat meningkatkan risiko infeksi post partum, perdarahan, komplikasi luka operasi, emboli pulmonal, dan mortalitas ibu.13 Morbiditas ibu tidak saja pada kehamilan sekarang tetapi juga pada kehamilan yang berikutnya.1,3 2.6 PENATALAKSANAAN Kematian neonatal pada postterm dapat terjadi selama kehamilan, persalinan maupun setelah lahir. Mengingat bahwa angka morbiditas dan mortalitas perinatal pada postterm cenderung meningkat seiring dengan pertambahan usia kehamilan, diperlukan penanganan yang serius dan cermat meliputi pengawasan kesejahteraan janin, penanganan intrapartum dan penanganan post partum.5,6

10

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengawasan kesejahteraan janin (fetal survaillance) yang mana hal ini perlu dilakukan untuk menentukan penatalaksanaan lebih lanjut kehamilan postterm. a.Gerakan janin Gerakan janin dapat mencerminkan kesejahteraan janin. Gerakan janin dapat ditentukan secara subjektif ( normal rata- rata 7 kali / 20 menit ) atau objektif dengan tokografi NST ( normal rata rata 10 kali / 20 menit ). Janin masih dianggap baik bila dirasakan sedikitnya 10 gerakan / 12 jam. Hasil non reaktif apabila tidak terdapat gerakan janin selama 20 menit pemeriksaan atau tidak terdapat akselerasi gerakan janin.Gerakan janin akan berkurang 12 48 jam sebelum janin meninggal.5,6 b. Volume cairan amnion Penilaian volume cairan amnion yang dilakukan dengan ultrasonografi pada berbagai penelitian menunjukan bahwa kehamilan postterm dengan oligohidramion tanpa mempunyai risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan kehamilan efek bantalan cairan amnion pada oligohidramion. Oligohidramion didefinisikan sebagai:

oligohidramion. Hal ini disebabkan adanya penekanan tali pusat akibat berkurangnya

1. Pengukuran kedalaman kantung cairan amnion terbesar <2 cm (normal 2- 8


cm).

2. Indeks cairan amnion < 5 cm ( normal 5 20 cm).


Penentuan volume cairan amnion berdasarkan indeks cairan amnion dianggap lebih baik dibandingkan teknik pengukuran 1 kantung amnion.9

c. Pewarnaan mekonium pada cairan amnion


Pelepasan mekonium ke dalam cairan amnion oleh janin masih dipakai sebagai indikator keadaan insufisiensi plasenta dan hipoksia janin. Pewarnaan mekonium pada cairan amnion dapat dinilai dengan pemeriksaan amnioskopi dan amniosentesis. Tetapi tidak tepat menggunakan pemeriksaan ini sebagai skrining karena tidak semua kasus postterm dengan pewarnaan mekonium berarti mengalami hipoksia. Hanya 30 40% kasus posttermdengan pewarnaan mekonium pada cairan amnion mengalami hipoksia. Selain itu pemeriksaan ini sulit dilakukan pada pembukaan kurang dari 2 cm, sering terjadi false negatif dan memerlukan pengalaman dari pemeriksa.1,8

11

d. Penilaian denyut jantung janin (fetal heart rate)


Penilaian denyut jantung janin dapat dilakukan dengan dua cara : 1) Non Stress Test (NST) Pemeriksaan ini dilakukan dengan merekam terus menerus denyut jantung janin menggunakan alat KTG selama 30 menit. Keadaan yang reaktif ditandai dengan akselerasi denyut jantung janin > 15 dpm, sekurang kurangnya 2 kali/15 menit. Normalnya djj aterm 120 160 dpm. Denyut jantung janin yang ireguler sering menunjukkan insufisiensi plasenta dan janin dalam keadaan asfiksia. Bradikardi dimana denyut jantung janin < 110 dpm, merupakan keadaan yang berbahaya dan berhubungan dengan hipoksia intrauterin sedangkan pada takikardi djj > 160 dpm disamping merupakan tanda hipoksia, juga merupakan adanya infeksi atau reaksi simpatis. NST merupakan pemeriksaan yang popular karena mudah dikerjakan tetapi tidak efektif untuk pengawasaan intrauterin karena besarnya nilai negatif palsu ( 3,2 / 1000 ) dan positif palsu ( 80 / 100 ). 1,3,6 2) Stress Test Dasar pemeriksaan ini adalah pencatatan frekuensi denyut jantung janin untuk mendeteksi asfiksia janin akibat kontraksi uterus sebagai rangsangan intermiten terhadap janin. Pada tahap hipoksia akan timbul deselerasi selama kontraksi dan takikardi diluar kontraksi. Dimana setiap kontraksi akan timbul reduksi sementara aliran darah pada ruang interviler. Apabila cadangan oksigen fetoplasenter tidak cukup lagi akan ditemukan denyut jantung janin yang patologis berupa takikardi persisten, deselerasi variabel, deselerasi lambat dan deselerasi memanjang. Tes ini dapat dilakukan dengan oxytocin challenge test ( OCT ) dan niplple stimulation contraction stress test ( NSCST ). OCT disebut negatif jika tidak dijumpai deselerasi lambat, positif jika ada deselerasi lambat pada 3 kontraksi uterus yang berturut-turut dan meragukan jika sekali-sekali timbul deselerasi lambat / hanya terjadi bila ada kontraksi yang hipertonus atau dalam pemantauan 10 menit meragukan ke arah positif atau negatif dan takikardi positif. OCT meragukan maka harus dilakukan pemeriksaan ulangan 1 2 hari kemudian. OCT dapat menunjukan keadaan gawat janin karena gangguan respirasi dengan angka ketepatan 50 70%. NSCST lebih praktis dan kurang invasif dibandingkan OCT tetapi mempunyai kekurangan berupa kontraksi uterus yang berlebihan akibat hiperstimulasi. Untuk

12

mencegah hal ini stimulasi hanya dilakukan pada satu puting susu saja. Akurasi NSCST ini sama dengan OCT.1,3,6 Penatalaksanaan intrapartum tergantung dari hasil pengawasan kesejahteraan janin ( fetal surveillance ) dan penilaian pelvic score ( PS )6: a. Bila kesejahteraan janin baik ( USG dan NST baik ):

PS 5 dilakukan oksitosin drip


PS < 5 dilakukan pemantauan serial NST dan USG setiap 1 minggu sampai umur kehamilan 44 minggu atau PS 5. b. Bila kesejahteraan janin mencurigakan.

PS 5 dilakukan oksitosin drip dengan pemantauan KTG. Bila terdapat


tanda-tanda insufisiensi plasenta, persalinan diakhiri dengan seksio sesarea (SC).

PS < 5 dilakukan pemeriksaan ulangan keesokan harinya


Bila hasilnya tetap mencurigakan dilakukan OCT hasil OCT (+) dilakukan SC hasil OCT (-) dilakukan pemeriksaan serial sampai 44 minggu / PS 5

- hasil OCT meragukan dilakukan pemeriksaan OCT ulangan


keesokan harinya. Bila hasilnya baik dilakukan pemeriksaan serial sampai 44 minggu / PS 5.

b. Bila kesejahteraan janin jelek (terdapat tanda-tanda insufisiensi plasenta), dilakukan


seksio sesarea. Tabel.2.1 Penilaian Pelvic Score (Bishop Score)6 Faktor serviks Dilatasi Penipisan (%) Penurunan Konsistensi Posisi 0 0 0 30 -3 Kaku Posterior Pelvic Score 1 12 40 50 -2 Sedang Medial 2 34 60 70 -1 lunak Anterior 3 5+ 80 - 100 +1,+2

13

Sumber : Pedoman Diagnosis Terapi dan Bagan Alir Pelayanan Pasien. Lab. / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran UNUD / RS Sanglah. Denpasar.2003

Sedangkan di RS Parkland protokol penanganan kehamilan postterm dapat digambarkan sebagai berikut. 42 minggu penuh Yakin Tidak yakin

HPHT

Oligohidramnion ?

Gerak anak

1. Djj mulai 17-20 minggu atau 2. Fundus uteri antara 18-30 mgg 2 cm dari u.k dari HPHT 3. USG sebelum 26 minggu

no

Kontrol tiap minggu no

yes

Induksi persalinan yes

Gambar 2.1 Protokol manajemen penatalaksanaan kehamilan postterm di RS Parkland 3

Pada wanita yang pasti umur kehamilannya, induksi persalinan dilakukan pada umur kehamilan 42 minggu. Hampir 90% induksi persalinan berhasil atau mengalami persalinan setidaknya dalam 2 hari induksi. Jika belum melahirkan pada induksi yang pertama, maka induksi kedua dilakukan pada 3 hari berikutnya. Hampir semua wanita dapat melahirkan dengan cara tersebut tapi kadang-kadang ada juga sedikit yang belum dapat melahirkan maka keputusan penanganannya adalah sepertiga induksi dibandingkan dengan seksio sesaria. Wanita yang dikategorikan kehamilan postterm dengan HPHT yang tidak yakin, diamati seminggu tanpa intervensi apapun kecuali diduga ada gawat janin. Penanganan selanjutnya berdasarkan keadaan klinis atau penurunan jumlah cairan amnion dari gambaran hasil USG serta dengan penurunan gerak janin yang dilaporkan oleh ibunya. Jika diduga ada gawat janin maka induksi persalinan dilakukan sama seperti kehamilan

14

postterm yang pasti umur kehamilannya. Penanganan ini telah berhasil hampir selama 20 tahun di RS Parkland dengan sangat sedikit kerugian pada janin atau bayi yang dilahirkan.3 2.7 KOMPLIKASI Janin dengan kehamilan postterm berisiko terhadap hipoksia intrapartum, cedera berat akibat proses persalinan pada distosia bahu dan aspirasi mekonium. Karena itu pada penatalaksanaan persalinan postterm perlu diperhatikan hal- hal tersebut.1,8 a) Hipoksia intrapartum Janin postterm berisiko untuk mengalami distress selama persalinan karena penekanan tali pusat akibat oligohidramnion maupun insufisiensi plasenta. Yang menarik, menurut Leveno dkk (1984) patofisiologi distress lebih disebabkan karena penekanan tali pusat daripada insufisiensi plasenta. Pola denyut jantung janin yang abnormal selama persalinan atau hipoksia neonatal dijumpai pada 12 - 30% kasus kehamilan postterm dimana pemeriksaan antenatalnya normal. Untuk itu janin perlu diawasi secara ketat selama persalinan sehingga intervensi yang diperlukan dapat dilakukan saat itu. Amnioinfusi berguna untuk mengurangi deselerasi variabel dan deselerasi memanjang yang umumnya diakibatkan oleh kompresi tali pusat. Hal ini mungkin karena pulihnya bantalan cairan amnion. Mengubah posisi ibu menjadi tidur miring dan pemberian oksigen pada ibu dapat memperbaiki oksigenasi pada janin. b) Distosia bahu Jika janin tumbuh terus selama masa kehamilan postterm dapat tejadi makrosomia. Perbedaan antara sirkumferensia dada dan diameter biparietal lebih besar 14 mm berhubungan risiko 3 - 13% distosia bahu. Diketahui bahwa kesalahan dalam memprediksi berat badan janin dengan USG sekitar 10 15% maka perlu dipertimbangkan unuk melakukan seksio sesaria elektif jika berat badan janin 4000 gram karena persalinan disfungsional dan distosia bahu akan terjadi pada keadaan ini. Seksio sesaria dilakukan untuk meminimalkan morbiditas perinatal sehubungan dengan distosia bahu pada kasus yang dicurigai. c) Aspirasi mekonium Frekuensi pewarnaan mekonium pada cairan amnion berkisar antara 22 44% pada kehamilan postterm. Mekonium cenderung menjadi pekat pada kehamilan postterm

15

karena sering bersamaan dengan oligohidramnion. Deteksi intrapartum terhadap mekonium yang pekat berguna untuk mengurangi morbiditas akibat sindrom aspirasi mekonium. Penyedotan mekonium dari nasofaring dan orofaring sebelum dada lahir dan penyedotan mekonium pada endotrakea dibawah pita suara janin segera setelah lahir efektif dapat menurunkan morbiditas sehubungan dengan sindrom aspirasi mekonium. Dewasa ini tindakan amnioinfusi untuk mengencerkan mekonium dalam cairan amnion juga disarankan untuk mengurangi morbiditas tersebut. .

BAB III LAPORAN KASUS


A. Identitas Penderita Nama Umur : JKM : 33 tahun Jenis kelamin : Perempuan Status Nikah : Menikah

16

Agama Pendidikan Pekerjaan Alamat

: Hindu : Tamat SLTA : Ibu rumah tangga : Gerokgak, Gede, Tabanan

Suku/Bangsa : Bali/Indonesia

Tanggal MRS : 22-3-2006, pkl 10.45 WITA B. Anamnesis 1. Keluhan Utama : Hamil lewat waktu 14 hari Os datang dikirim dari poliklinik RSU Tabanan dengan G2P1001,42-43 minggu T/H pro terminasi kehamilan dengan induksi serial oksitosin drip sesuai protap. Os tidak mersakan sakit perut hilang dirasakan baik. 2. Riwayat Menstruasi Mensruasi umur 12 tahun, dengan siklus teratur setiap 28 hari, lamanya 5 Hari pertama haid terakhir 14 Desember 2005 Nyeri saat menstruasi hampir tidak pernah dirasakan oleh penderita hari tiap kali menstruasi. timbul, tidak keluar air, gerak anak masih

3. Riwayat Antenatal Care (ANC)

Di bidan secara teratur setiap bulan , saat memasuki kehamilan tujuh bulan,
bidan mengatakan letak bayi normal dengan kepala di bawah , penderita tidak pernah melakukan pemeriksaan USG.

4. Riwayat Persalinan 1. Laki-laki,3400 gr, lahir spontan, bidan,11 tahun 2. Ini 5. Riwayat Perkawinan Penderita menikah satu kali dengan suami yang sekarang sudah 12 tahun 6. Riwayat KB Os memakai KB suntik 2 bulan sejak anak pertama lahir, lalu berganti pil KB tidak ingat kapan, dan berhenti 1 tahun yang lalu (November 2005).

17

7. Riwayat Penyakit Dahulu Penderita tidak memiliki riwayat penyakit Asma, penyakit Jantung, Hipertensi , Diabetes Melitus C. Pemeriksaan Fisik 1. Status Present Keadaan umum Kesadaran Tekanan darah Nadi Respirasi Temperatur Berat badan Tinggi badan 2.Status General Mata THT Thorax Abdomen Vagina Ekstremitas 3.Status Obstetri Pemeriksaan Luar (Abdomen) : Inspeksi : Tampak perut membesar disertai striae gravidarum. : anemis (-)/(-), ikterus (-)/(-) : kesan tenang : Cor : S1S2 tunggal, regular, murmur (-) Pul : Vesikuler (+)/(+), rhonki (-)/(-), whz (-)/(-) : ~ status obstetri : ~ status obstetri : edema (-) : Baik : Compos mentis : 110/70 mmHg : 80 x/menit : 20 x/menit : 36,5 C : 56 kg : 155 cm

Auskultasi : Denyut jantung terdengar paling keras di garis midline inferior


umbilikus,dengan frekuensi 12 11 12.

Palpasi : Pemeriksan Leopold didapatkan : I. Tinggi fundus uteri 3

jari bawah prosesus Xiphoideus (30cm). Teraba bagian bulat dan lunak kesan bokong; II. Teraba tahanan keras di kiri ( kesan punggung ); III. Teraba bagian bulat , keras ( kesan kepala); IV. Bagian bawh sudah masuk 4/5 bagian dari pintu atas panggul.

18

HIS (-)

Pemeriksaan Dalam (vagina) : Vaginal toucher dilakukan pada pukul 11.00 WITA ( 5 Oktober 2006) didapatkan hasil : P 1 jari efficement 50%, lunak, medial, ketuban +, teraba kepala, sutura sagitalis melintang, denominator belum jelas, penurunan Hodge I, tidak teraba bagian kecil atau tali pusat. D. Pemeriksaan Laboratorium ( 5 Oktober 2006) WBC : 9,4 k/ul HGB : 12,8 gr% PLT : 340 k/ul HCT : 39,5 %

E. Diagnosis Kerja G2 P1001 42-43 minggu, T/H, Primitua sekunder, PBB 3565 gram , PS :5 F. Rencana Kerja Rencana diagnosis : MRS Terapi :

1. Terminasi kehamilan
2. Induksi serial dengan oksitosin drip sesuai protap, 5 oktober 2006 3. Monitor : Vital sign, DJJ, KTG saat inpartu 4. KIE : pasien dan keluarga tentang rencana indakan dan komplikasi perjalanan penyakit. G. Perjalanan Penyakit Pada tanggal 5 oktober 2006 ( 11.15 WITA) diberikan induksi oksitosisn sesuai protap (berupa 5 IU oksitosin dalam 500 ml dextrosa 5 % dimulai dengan tetesan 8 tetes per menit ,dinaikkan kecepatan infus 4 tts/mnt tiap 15 mnt sampai kontraksi adekuat /kontraksi 3 kali tiap 10 menit dengan lama lebih dari 40 detik. Tetesan maksimal sampai 40 tts/mnt atau his adekuat. Pada pasien, tetesan diberikan sampai 40 tts/mnt ).

19

Pada pukul 13.30 ( 5 okt 2006) setelah 2jam 15 mnt induksi yaitu pada tetesan 40 tts/mnt os mengeluh mulas perut hilang timbul. Pemeriksaan abdomen didapat HIS 2x/ 10 mnt selama 30 detik, djj 11 12 12, VT didapat didapat pembukaan 2cm,lunak , eff 50%, medial, ket (+) , ttb bag kecil/tali pusat. Pada pemantauan hingga pukul 15.00 WITA dari KTG didapatkan base line 130155 bpm, akselerasi +, deselerasi -, pada pukul 15.45 didapatkan base line 160-170 bpm, deselerasi berulang + , pemeriksaan abdomen didapat HIS 3x/ 10 mnt selama 40 detik, Djj takikardi yaitu 13 14 14, pemeriksaan VT didapat pembukaan 4cm,lunak , eff 50%, medial, ket (+) , ttb bag kecil/tali pusat. Kesimpulan : G2P1001 42-43 mg T/H PK 1 + KTG patologis. Oleh karena itu diusulkan melakukan SC, menghubungi bagian pediatri, dan menyiapkan darah, serta selalu memonitor DJJ preoperasi. Pada pukul 16.45 (5 okt 2006), dilakukan SCTP, kemudian pada pukul 16.55 lahir bayi laki-laki dengan berat badan 3700 gram, segera menangis, AS : 7-9, kulit yang kering , keriput dan mengelupas disertai pewarnaan mekonium pada kulit, kelainan - , anus + , sisa air ketuban tercampur mekonium, volume kurang, tali pusat layu, belitan tali pusat satu kali. Pukul 17.00 lahir plasenta, lahir komplit, kalsifikasi + . Pada pengawasan 2 jam post SC, kondisi ibu dalam batas normal. Pasca operasi , penderita diterapi dengan infus per drip oksitosin dalam Dextrosa 5% :RL 2:1 selama 6 jam, Amoxycillin 3x I gr IV, Tramal sup 3xI gr IV,Vit C 2x200 mg. Pada hari ke-2 pasca SC, infus off, terapi oral Amoxycilin 3 x 500 mg, As Mefenamat 3 x 500 mg, Viterron 1 x I. Selama observasi selama tiga hari , penderita tidak ada keluhan BAB dan BAK baik, flatus +, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 80x/mnt, respirasi 20 x/mnt, status general dalam batas normal. Pemeriksaan obstetri didapatkan tinggi fundus uteri 2 jari bawah pusat, kontraksi baik, luka operasi terawat baik, peristaltik usus normal, pendarahan aktif pervaginam (-), Lochia (+)rubra. Pada tanggal 9 Oktober 2006, pasien diijinkan pulang dengan anjuran kontrol di poli satu minggu kemudian, ASI eksklusif selama 6 bulan, dan penggunaan KB postpartum.

20

BAB IV PEMBAHASAN
Beberapa masalah pada kehamilan posterm adalah : 1.Penentuan usia kehamilan berdasarkan hari pertama haid terakhir seringkali tidak mudah, karena ibu tidak ingat kapan tanggal hari pertama haid terakhirnya yang pasti. 2. Selain itu, penentuan saat ovulasi yang pasti juga tidak mudah. 3.Faktor-faktor yang mempengaruhi perhitungan : variasi siklus haid, kesalahan perhitungan oleh ibu, dan sebagainya

21

Penentuan usia kehamilan berdasarkan hari pertama haid terakhir pasien

bisa

diperkirakan karena pasien ingat kapan tanggal hari pertama haid terakhirnya (14 Desember 2005). Berdasar perhitungan rumus Naegle tafsir partus diperkirakan tanggal 21/9/06 ( kehamilan 40 mg), pada tanggal 5/10/06 umur kehamilan sudah mencapai 42 mg. Meskipun HPHT jelas tetapi penentuan saat ovulasi tidak pasti hal ini dikarenakan bisa terdapatnya variasi siklus haid, bisa mungkin fase folikular pasien yang panjang sehingga menjadikan penghitungan waktu kehamilannya menjadi berlebihan. Dengan adanya pemeriksaan ultrasonografi (USG) : usia kehamilan dapat ditentukan lebih tepat, dengan penyimpangan hanya lebih atau kurang satu minggu. Pada kasus ini diagnosis kehamilan posterm dapat ditegakkan karena :

1. 2. 3. 4.

Hari pertama haid terakhir jelas dengan pola haid yang teratur ( mens tiap

tgl 14 4 hari tiap bulannya ) Memberikan test kehamilan PPT yang positip saat periksa di puskesmas

pada 1,5 bulan setelah HPHT ( 26 Jan 2006) Dirasakan gerakan janin pada umur kehamilan 18 minggu. Denyut jantung janin dapat terdengar menggunakan fetoskop pada umur

kehamilan 20 minggu selama ANC di bidan. Bila masih meragukan, lebih tepatnya dilihat hasil pemeriksaan USG. Lebih baik bila pada saat kehamilan 14 minggu, dilakukan pemeriksaan USG, hasil perkiraan umur kehamilan berdasar USG dibandingkan dengan hasil perhitungan berdasar Naegle bila didapat < 3 hari maka perhitungan dari HPHT dapat dipakai sebagai penentuan umur kehamilan. Bila hasil perhitungan USG dibanding perhitungan rumus Naegle didapat selisih > 3 hari maka dipakai umur kehamilan berdasar perhitungan USG. Pada kasus disini karena selama ANC kehamilan muda dilakukan di bidan dan selama itu pula tidak pernah dilakukan pemeriksaan USG sehingga tidak bisa membandingkan hasil perhitungan Naegle dengan hasil USG. Data yang menunjang kehamilan posterm kalau dilihat setelah melahirkan bayi didapat : Postmatur sign grade II pada bayi, keadaan plasenta yang layu dan terdapat adanya kalsifikasi, dan penilaian Dubowitz score oleh bagian pediatri ternyata didapat sekitar 41-42 minggu. Pada dasarnya penatalaksanaan kehamilan lewat waktu adalah merencanakan pengakhiran kehamilan, baik dengan jalan menginduksi persalinan ataupun seksio sesarea, tergantung dari pemeriksaan kesejahteraan janin dan penilaian pelvic score (PS). Induksi

22

oksitosin dilakukan apabila kesejahtreraan janin baik dan PS lebih atau sama dengan 5. Begitu diagnosis posterm ditegakkan, kemudian dinilai kesejahteraan janin dan pelvic score. Untuk mengetahui kesejahteraan janin, dilakukan pemeriksaan USG dan NST. Hasil NST didapat dalam batas normal : gerakan janin 11 kali / 20 menit, terdapatnya akselerasi tiap gerakan janin. Denyut jantung janin (fetal heart rate) didapat dalam batas normal dengan baseline 130-140,regular, variabel 15-20, terdapat akselerasi tanpa adanya deselarasi. Hasil USG didapat : FHB (+), , FHB +, BPD ~ 39 40 WSD, FL ~ 39 40 WSD, AK Oligohidramnion (Indeks cairan amnion 4 cm) , Plasenta grade III. Sedangkan untuk mengetahui ada tidaknya pewarnaan mekonium tidak dilakukan amniosentesis, dikarenakan sulit dilakukan pada pembukaan kurang dari 2 cm,bersifat invasif, selain juga tidak tepat menggunakan pemeriksaan ini sebagai skrining karena tidak semua kasus postterm dengan pewarnaan mekonium berarti mengalami hipoksia. Hanya 30 40% kasus postterm dengan pewarnaan mekonium pada cairan amnion mengalami hipoksia. Untuk lebih tepat lagi dalam menentukan tingkat kesejahteraan janin dinilai dengan Biophysical profil oleh Manning, dkk (1986) adalah yang pertama menggunakan multimodal evaluasi terhadap: 5 parameter yaitu; reakatifitas DJJ, gerakan badan, gerakan nafas, tonus janin dan volume cairan amnion (kualitatif). Aktivitas biofisik janin dapat dipandang sebagai cermin aktivitas dan enerji SSP. Selama aktivitas biofisik masih dalam keadaan normal, berarti jaringan SSP janin masih berfungsi penuh dan tidak mengalami hipoksemia. Asfiksia (hipoksemia) janin menyebabkan aktivitas biofisik janin (seperti gerakan nafas, gerakan tubuh, dan tonus) berkurang atau menghilang. Pemeriksaan profil biofisik dilakukan dengan menggunakan alat usg real-time dan ktg. Gerakan nafas janin pada pemeriksaan USG dapat diketahui dengan mengamati episode gerakan ritmik dinding dada ke arah dalam disertai dengan turunnya diafragma dan isi rongga perut; kemudian gerakan kembali ke posisi semula. Gerakan janin pada pemeriksaan USG diketahui dengan mengamati gerakan tubuh ekstremitas, berupa gerakan tunggal atau multipel, Gerakan janin dianggap normal apabila selama 30 menit pemeriksaan terlihat sedikitnya 3 gerakan tubuh. Tonus janin denmgan pemeriksaan USG diketahui sebagai gerakan ekstensi ekstremitas atau tubuh janin, yang dilanjutkan dengan gerakan kembali ki posisi fleksi. Tonus janin dapat juga dinilai dengan melihat gerakan jari-jari tangan yang membuka (ekstensi) dan kembali ke posisi mengepal. Dalam keadaan normal, gerakan tersebut

23

terlihat sedikitnya sekali dalam 30 menit pemeriksaan. Tonus janin juga dianggap normal apabila jari-jari tangan terlihat mengepal terus selama 30 menit pemeriksaan. Setiap parameter diberi skor 2 bila baik dan 0 bila dianggap abnormal. Bila ditemukan skor > 6 maka risiko kecil sekali untuk kematian perinatal, namun dengan nilai dibawah itu tes dilakukan berulang dan risiko sangat besar bila skor < 4. Janin reaktif bila ditemukan 2 kali akselerasi (> 15 dpm). Asumsi kesejahteraan janin baik pada kasus ini tidak berdasar temuan biophysical profil tetapi atas hasil temuan dari NST yang masih dalam batas normal. Penilaian Pelvic score berdasar temuan pemeriksaan dalam VT didapat P 1 jari : 1 , efficement 50% : 1, lunak : 2, medial : 1, penurunan -3 : 0. Pelvic score = 5 sehingga dianggap cukup matang untuk dimulainya induksi persalinan dengan oksitosin. Keputusan untuk melakukan induksi persalinan pada kasus ini sudah tepat karena asumsi kesejahteraan janin baik, pelvic score = 5 , serta tidak didapatkan kontraindikasi induksi oksitosin yaitu : janin diperkirakan bisa lahir pervaginam, tanpa ada kelainan panggul, kelainan letak dan atau kelainan besar dan ukuran janin, presentasi janin kepala, tidak merupakan suatu plasenta previa, solutio plasenta dan bekas sectio. Induksi oksitosin dimulai pada pukul 11.15 WITA. Selama perjalanan induksi dilakukan monitoring dengan electronic fetal heart rate continnue monitoring (EFHCM). Dalam perjalanannya induksi oksitosin serial pertama yaitu pada pukul 13.30 mulai menimbulkan HIS adekuat untuk memicu pembukaan serviks , tapi selama pemantauan monitor EFHCM pada jam 15.40 dijumpai bentuk KTG patologis ( base line di atas normal : 170, adanya variabilitas lebih dari 25 ) yang menandakan suatu keadaan hipoksia janin. Bila takhikardi disertai gambaran variabilitas denyut jantung janin yang masih normal biasanya janin masih dalam kondisi baik. Tetapi pada kasus ini dengan terdapatnya variabel yang lebih dari 25 dpm merupakan suatu keadaan patologis. Variabel Saltatory : bila variabel amplitudo lebih dari 25 dpm Saltatory merupakan tanda peningkatan kebutuhan sirkulasi darah janin, misalnya awal kompresi tali pusat. Disimpulkan kondisi janin dalam keadaan gawat sehingga diambil langkah sectio cesaria. Dilakukan sectio saesaria dilahirkan bayi laki-laki dengan berat badan 3700 gram, segera menangis, AS : 7-9, kulit yang kering , keriput dan mengelupas disertai pewarnaan mekonium pada kulit, kelainan - , anus + , sisa air ketuban tercampur mekonium, volume kurang, tali pusat layu. Tampak disini tanda-tanda postmatur pada bayi, adanya pewarnaan mekonium tetapi ternyata A-S baik.

24

Dalam sehari-hari sering dijumpai dalam pemantauan gambaran kardiotokografi yang menyimpang dari normal, namun saat lahir bayi dalam kondisi baik. Dikatakan dalam literatur sensitivitas KTG dalam mendeteksi adanya gawat janin hanya sebesar 23 %. Tapi bila hasil KTG didapat normal kemungkinan memang 70 % janin dalam keadaan baik. Untuk lebih tepatnya dalam menilai adanya kegawatan janin seharusnya dilakukan pemeriksaan tambahan Scalp Blood Sampling untuk bisa menilai tingkat keasaman darah janin, bila didapat pH< 7,2 adalah hipoksia berarti terjadi kegawatan janin sedangkan bila di atas 7,2 berarti janin dalam keadaan baik. Istilah gawat janin atas dasar gambaran KTG saja sebenarnya sering menyesatkan. Ketidak pastian terjadi karena pola perubahan denyut terjadi karena proses fisiologik (akibat reaksi reseptor kimia atau tekanan). Pengeluaran mekonium pada masa persalinan dapat terjadi secara akut dan kronik. Suatu keadaan akut adalah suatu tahap kompensasi gawat janin. Kalau saturasi oksigen pada vena umbilikalis menurun sehingga menyebabkan hipoksia otot polos saluran gastrointestinal yang mengakibatkan peristaltik dan relaksasi sfingter ani janin. Adapun suatu keadaan kronik yang dapat terjadi pada kehamilan posterm karena semata-mata sudah terjadi pematangan fungsi gastrointestinal, janin sudah mulai BAB mengeluarkan mekonium. Tidak semua kasus postterm dengan pewarnaan mekonium berarti mengalami hipoksia. Tanda asfiksisa disini tidak bisa dilihat hanya dengan adanya pewarnaan mekonium. Bisa jadi merupakan suatu proses yang kronik, dan janin tidak mengalami keadaan hipoksia ataupun sebelumnya sudah terjadi pewarnaan mekonium oleh suatu proses yang kronik untuk kemudian karena fungsi plasenta menurun , atau adanya belitan tali pusat karena oligohidramnion menyebabkan keadaan hipoksia akut lalu mewarnai air ketuban yang sebelumnya sudah hijau oleh proses yang kronik tadi. Hanya 30 40% kasus postterm dengan pewarnaan mekonium pada cairan amnion mengalami hipoksia. Asfiksia janin merupakan serangkaian keadaan yang bervariasi mulai dari yang paling ringan (berupa episode hipoksemia transien yang tidak disertai asidosis), sampai yang berat (hipoksemia yang permanen dan disertai asidosis metabolik atau respiratorik). Hipoksia ialah keadaan jaringan yang kurang oksigen, ,hipoksemia ialah kadar oksigen darah yang kurang. Asidemia ialah keadaan lanjut dari hipoksemia yang dapat disebabkan akumulasi asam kemudian berakibat kegagalan multiorgan yang manifestasi pada penilaian A-S tampak jelas nilainya kecil. Pada kasus ini bisa kemungkinan merupakan suatu episode hipoksemia transien yang tentunya didapat gambaran KTG patologis tetapi hasil temuan

25

tanda hipoksia janin sewaktu dilahirkan didapat A-S yang bagus. Tapi tidak dapat dipungkiri bisa ada kemungkinan dikarenakan penilaian A-S yang bersifat subyektif. Karena itu seharusnya pemeriksaan tambahan pH darah tali pusat diperlukan.

KESIMPULAN 1. Kehamilan posterm terjadi penurunan fungsi plasenta, terjadi gangguan suplai

oksigen dan nutrisi untuk hidup dan tumbuh kembang janin intrauterin, risiko morbiditas dan mortalitas perinatal lebih tinggi daripada bayi aterm. 2. Diagnosis kehamilan postterm ditegakkan apabila kehamilan sudah berlangsung melebihi 42 minggu (294 hari). 3. Syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain:

26

a. b. c.

HPHT jelas yang dihitung dengan menggunakan rumus Naegele jika dirasakan gerak janin pada umur kehamilan 16-18 minggu terdengar denyut jantung janin (djj) (normal 10-12 minggu dengan

siklus haid teratur

Doppler dan 19-20 minggu dengan fetoskop)

d.
HPHT.

tes kehamilan (urine) sudah positif dalam 6 minggu pertama dari

4. Prinsip penatalaksanaan kehamilan lewat waktu adalah pengakhiran kehamilan.


Setelah diagnosis kehamilan lewat waktu telah ditegakkan selanjutnya penatalaksanaan tergantung pada penilaian kesejahteraan janin dan pelvic score. Bila kedua penilaian di atas tepat sehingga penatalaksanaanya rasional. Setiap kesejahteraan janin yang buruk dilakukan langkah seksio sesaria, bila kesejahteraan janin yang baik oksitosin. 5. Pemeriksaan kesejahteraan janin dilakukan dengan NST dan USG. Lebih ideal lagi dilakukan pemeriksaan biophysical profil. Hasil sensitivitas NST yang rendah (23%) dapat memberikan positip palsu sehingga semestinya diperlukan pemeriksaaan Scalp Blood sampling untuk menilai pH darah janin yang dapat memberikan gambaran asfiksia lebih baik. 6. Penilaian pelvic score didapat dari pemeriksaan dalam meliputi pembukaan portio, pelunakkan, efficement, arah portio, dan penurunan kepala. atau mencurigakan dengan serviks yang sudah matang dilakukan terminasi induksi

DAFTAR PUSTAKA

1. Bankowski BJ, Hearne AE, Lambrou NC, et al. Postterm Pregnancy. In: The Johns
Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics. 2nd edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2002. p: 118-9.

2. Barton JR. Prolonged Pregnancy. In: Clinical Manual Obstetric 2nd Edition. New
York : McGraw Hill Inc. 1993. p: 313-29.

27

3. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Postterm Pregnancy.In: William
Obstetrics. 21st Edition. New York: The Mc Graw Hill Companies.2001. p:729-42.

4. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Postterm Pregnancy. In: William,
Manual of Obstetrics. 21st Edition. New York: The Mc Graw Hill Companies.2001. p:418-20.

5. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Phisiological and Biochemical
Processes of Parturition. In: William Obstetrics. 21st Edition. New York: The Mc Graw Hill Companies.2001. p:251-87

6. Pedoman Diagnosis Terapi dan Bagan Alir Pelayanan Pasien. Lab. / SMF
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran UNUD / RS Sanglah. Denpasar. 2003 7. Priyono. Profil Persalinan Postterm di RS Sanglah periode 1 Januari 2000 31 Desember 2002(penelitian deskriptif). Denpasar: Bag./SMF Obgin FK Unud. 2003. 8. Wibowo B, Wiknjosastro GH. Kehamilan Lewat Waktu. Dalam: Ilmu Kebidanan. Edisi ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 1999. hal:317-20.

9. Odutayo ,Rotimi , Odunsi , Kunle , Post Term Pregnancy. Available from :


http://www.Hygeia.com/clindisc/vo2no9.html.Last Updated: 1997. Accessed: October 3th 2006

10.

Torriceli,M., Giovanelli, A., Maternal plasma corticotrophin-releasing factor and urocortin levels in post-term pregnancies. Available from :www.pubmed.gov/Eur J Endocrinol/vol3no7html. Last Updated: 2006 Feb. Accessed: October 3th 2006

28

You might also like