Professional Documents
Culture Documents
A. Sejarah Musikalisasi Puisi Sejarah musikalisasi puisi di Indonesia dimulai sejak tahun 1940, pada saat itu seorang komponis bernama Cornel Simanjutak bekerja sama dengan Sanusi Pane, dari angkatan pujangga baru dan menghasilkan karya musik seriosa hasilnya adalah Kemuning dan Oh Angin. Lalu, di tahun 1960-an seorang pemusik yaitu FX Soetopo berkolaborasi dengan penyair Kirdjomulyo menghasilkan lagu-lagu seriosa Puisi Rumah Bambu, Elegie dan lain-lain. Juga sastrawan Taufiq Ismail ditahun 1970-an bekerja sama dengan grup musik Bimbo mencipta lagu lagu pop nasyid/rohani, menghasilkan antara lain Ada Anak Bertanya pada Bapaknya, Sajadah Panjang, Rindu Rosul, dll. (Isfanhari, 2010) Tentang sejarah, Utomo (2010) juga menambahkan pendapatnya seperti berikut ini: Mengenai sejarah musik puisi kita juga harus ingat peran para seniman Yogyakarta, Umbu Landu Paranggi dengan murid-muridnya seperti Ebied G. Ade, Emha Ainun Najib, Ragil Suwarna Pragolapati, Deded Er Moerad yang selalu membawa puisi-puisinya dengan musik. Kemudian seniman jalanan di Surabaya seperti Leo Kristi, The Gembel, Gombloh & The Lemon Tree. Di Bandung ada penyanyi bertutur Doel Sumbang, Harry Rusly and The Gank. B. Definisi, Syarat dan Proses Pembuatan Musikalisasi Puisi KBBI edisi terakhir (2008:987) mengartikan musikalisasi sebagai sesuatu yang bersifat musik dan perihal pemusikan. Sementara musikalisasi puisi adalah pembacaan puisi yang dipadukan dengan musik. Menurut Wahyu (2010), cara memusikkan puisi adalah sebagai berikut: 1. baca puisi, 2. pahami isi puisi, 3. jika sudah mengetahui isi puisi, coba mencari nada sesuai isi puisi (nada sedih, senang, kemerdekaan dll), 4. setelah melakukan kedua hal tersebut satukan puisi yang kita baca dengan musik, 5. musik harus sesuai dengan isi puisi agar pendengar paham dengan isi puisi karna itulah tujuan musikalisasi puisi.
C. Kesulitan yang Dihadapi Tidak semua puisi dapat dijadikan musikalisasi puisi, karena penggunaan notasi (melodisasi) akan sulit diterapkan jika puisi tersebut berbentuk seperti dialog atau ocehan pidato (Ahira, 2010). idak semua orang mengerti tentang partitur nada atau melodi yang menjadi dasar untuk menciptakan musikalisasi puisi. D. Tokoh-tokoh Musikalisasi Puisi 1. Iwan Fals, mengambil dari puisi WS Rendra dan mengangkat tema kritik sosial. 2. Franky Sahilatua, membawakan musik berdasarkan puisi-puisi Yudhistira Massardi. 3. Ebiet G. Ade. 4. Sapardi Djoko Damono, album musikalisasi puisinya yang berjudul Hujan Bulan Juni dan Hujan dalam Komposisi. 5. Ari Malibu (vokalis band LFM), dengan albumnya yang berjudul Akan Kemanakah Angin (1997) berisi puisi-puisi Emha Ainun Nadjib, Ags Arya Dipayana, Acep Zamzam Noor, dan Soni Farid Maulana. 6. Deavis Sanggar Matahari, kelompok ini secara khusus menggarap musikalisasi puisi dengan memadukan musik akustik, etnik, lagu, dan deklamasi. 7. God Bless, memusikkan puisi Taufik Ismail berjudul Panggung Sandiwara. 8. Gigi, membawakan karya Taufik Ismail berjudul Pintu Surga. 9. Bimbo, lagunya yang berjudul Sajadah, Rindu Kami Padamu Ya Rasul dan Balada Sekeping Taman Surga merupakan hasil puisi Taufik Ismail. 10. Katon Bagaskara bersama KLA Project, kelompok musik ini terkenal dengan lirik-lirik yang puitis. 11. Pink Floyd. 12. The Doors, yang memusikkan puisi vokalisnya, Jim Morrison seperti lagu Light My Fire.
Di kalangan etnis Kaili, kekuatan - kekuatan gaib itu dipercaya ada di mana-mana, dalam pengertian bahwa langit dan bumi serta segala isinya di dunia ini memiliki penghuni / penjaga. Kekuatan gaib di langit disebut karampua dan pemilik kekuatan gaib di bumi / tanah disebut anitu. Selain itu segala isi alam seperti batu, pohon, laut, gua, gunung, bukit, dan lain - lain, juga diyakini berpenghuni. Kelalaian, pelanggaran dari perilaku manusia dalam kehidupannya membuat para penghuni dan pemilik kekuatan gaib tersebut murka dan memberikan azab bagi manusia berupa bencana atau penyakit. Konsekwensi dari segala kejadian tersebut, manusia diwajibkan untuk bertobat, memohon kepada Penguasa alam agar dijauhkan dari malapetaka, disembuhkan dari penyakit yang diderita. Wujud pertobatan itulah yang dilakukan oleh orang Kaili melalui upacara ritual Balia dengan memberikan sesajian sebagai persembahan seraya memohon kesembuhan dan keselamatan bagi umat manusia. Mempelajari sejarah orang Kaili dari sudut antropologi, menurut legenda, cikal bakal orang Kaili berasal dari bambu kuning, erat kaitannya dengan Sawerigading Savi = lahir / timbul rigading = di bambu kuning ( bahasa Makassar ), artinya sama dengan bahasa Kaili Topebete ribolovatu mbulava atau orang yang lahir / muncul dari bambu kuning. Sawerigading diyakini oleh orang Kaili sebagai nenek moyang mereka, sehingga apa yang dilakukan oleh Sawerigading diikuti oleh oleh keturunannya, termasuk Balia. Berdasarkan keterangan - keterangan dari tokoh - tokoh pelaku upacara ritual Balia, bahwa yang pertama - tama mempertunjukan Balia adalah Sawerigading. Balia yang dilakukan oleh Sawerigading berupa gerak - gerak tari seperti orang yang kesurupan sampai mengalami trance. Kala itu banyak orang yang datang menonton Balia, termasuk orang yang sakit. Anehnya ketika menyaksikan Balia, orang - orang yang sakit ketika sampai dirumahnya pulang menonton Balia, ia menjadi sembuh. Dari peristiwa itulah, Balia mulai dilakukan oleh orang Kaili. Namun diyakini bahwa penyakit yang diderita tentu ada penyebabnya, hal ini sangat erat kaitannya dengan keyakinan dan kepercayaan kepada kekuatan gaib dan penghuni / penjaga alam semesta. Kaitan keterangan sejarah singkat orang Kaili seperti yang telah disebutkan bahwa antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan semua apa yang dikerjakannya ( Ralfh L Beas dan Harry Hoijen:1954:2 ). Ditengah perkembangan dan kemajuan peradaban dewasa ini, Balia sebagai salah satu media penyembuhan orang sakit, masih dilaksanakan oleh orang Kaili. Tak jarang dijumpai dalam pola hidup orang Kaili, bila ada anggota keluarga yang sakit, sudah dibawa ke dokter, diinapkan di rumah
sakit, tapi tak kunjung sembuh, sebagai upaya penyembuhan secara adat istiadat diupacarakan dengan ritual Balia. Pelaksanaan upacara ritual Balia umumnya dilaksanakan di tempat terbuka, seperti lapangan atau halaman rumah yang luas, terdapat sebuah bangunan besar tidak permanen yang dibangun secara gotong royong oleh keluarga yang akan melaksanakan upacara, dibantu oleh masyarakat sekitarnya. Bangunan ini disebut Bantaya atau balai pertemuan, tempat berkumpulnya para pelaku upacara selama prosesi upacara berlangsung. Waktu pelaksanaan upacara pada malam hari selama 3 - 4 hari berturut - turut. Penetapan waktu pelaksanaannya ditentukan oleh tokoh adat setempat, disesuaikan dengan hari baik menurut kepercayaan orang Kaili. Dalam upacara Balia instrumen musik berupa gendang, gong, lalove (suling panjang khas Kaili) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pelaksanaannya. Instrumen music ini dimainkan untuk mengiringi para pelaku Balia yang menari - nari (bahasa Kaili: Notaro) karena telah kesurupan roh halus. Bila upacara Balia digelar, selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat. Ritual ini menjadi sebuah media pertemuan masyarakat dari segala tingkatan usia dan strata sosial. Selain sebagai sebuah bentuk upacara tradisi, Balia telah menjadi konsumsi hiburan masyarakat bahkan menjadi pasar kecil - kecilan karena masyarakat lainnya juga memanfaatkan momen ritual ini dengan menggelar dagangan makanan kecil seperti : kacang, pisang, kue-kue, minuman, dan lain - lain. Balia adalah salah satu sistem kepercayaan etnis Kaili yang masih terpelihara, membentuk sebuah nilai, norma, etika, tatanan sosial orang Kaili di Sulawesi Tengah yang hingga kini belum ada satu pihak pun menolak keberadaannya. Terlepas dari ajaran Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas etnis Kaili, Balia memiliki nilai seni yang tinggi sebagai salah satu local genius ( kearifan lokal ), wujud dari sebuah kebudayaan yang telah diakui oleh masyarakat Sulawesi Tengah sebagai culture icon ( ikon budaya ). Apresiasi dan penghargaan, itulah yang sangat diharapkan terhadap ke - Bhinneka - an kebudayaan negeri ini. Menjaga, merawat, memelihara dan melestarikan kebudayaan sebagai perekat pemersatu bangsa, tentunya menjadi tugas dan tanggung jawab kita bersama sebagai pemilik kebudayaan tersebut. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai kebudayaannya.