You are on page 1of 28

PRESENTASI KASUS

TB PARU BTA (+) LESI LUAS KASUS BARU DALAM PENGOBATAN OAT KATEGORI I BULAN I DENGAN EFUSI PLEURA BILATERAL E.C TB DD NON TB

Oleh: Andriaz Kurniawan Diah Wihdatul Khasanah Shita Ganestya Muhammad Yusuf Arrozhi Monica Sitio Sinta Prastiana Dewi Fatimah Azzaharah Erickson Mathan Amuthan G0005051 G0005082 G0006156 G0006206 G0007106 G0007157 G0007505 G99121014 G99121027

Pembimbing dr. Jatu Aphridasari, Sp.P KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT PARU FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA

2012

BAB I STATUS PENDERITA


I. ANAMNESIS A. Identitas Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Agama Alamat Tanggal Masuk No.RM Berat badan Tinggi Badan B. Keluhan Utama Sesak napas C. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien merupakan rujukan dari BBKPM Jajar dengan TB Paru BTA (+) Lesi Luas Kasus Baru dalam terapi OAT kategori I bulan I (mulai tanggal 01/12/12) dan efusi pleura bilateral. Pasien mengeluh sesak napas sejak satu bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Tidak didapatkan adanya mengi, sesak napas tidak berubah dengan perubahan posisi, sesak pada malam hari (-), sesak napas memberat sejak dua minggu sebelum masuk rumah sakit. Batuk (+) sejak 7 bulan sebelum masuk rumah sakit, dahak (+) warna putih, batuk darah (-), nyeri dada (+) sebelah kiri terutama bila menarik napas. Demam (+) sejak 1 bulan SMRS, nafsu makan menurun (+), berat badan : Ny. S : 29 tahun : Perempuan : Petani : Islam : Sragen : 3 Desember 2012 : 01164818 : 40 kg : 160 cm

menurun (+) sebanyak 10 kg kurang lebih sejak 9 bulan yang lalu, keringat malam (+). BAB dan BAK tak ada keluhan. D. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat OAT Riwayat Hipertensi Riwayat Asma Riwayat Diabetes Melitus Riwayat Alergi Riwayat Penyakit Jantung Riwayat Mondok E. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat Mondok Riwayat Penyakit Serupa Riwayat Hipertensi Riwayat Penyakit Jantung Riwayat DM Riwayat Asma Riwayat Alergi Obat/makanan F. Riwayat Kebiasaan Riwayat merokok Riwayat minum alkohol G. Riwayat Sosial dan Ekonomi Pasien merupakan istri dan belum mempunyai anak. Suami pasien bekerja sebagai seorang Petani. Pasien dirawat di RSDM dengan fasilitas Jamkesmas. H. Riwayat Gizi 3 : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal : (+) sejak 3 hari SMRS (1/12/12 di BPKPM Jajar) : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal : Disangkal

Sebelum sakit, pasien makan teratur 3 kali sehari, sebanyak masingmasing 1 piring nasi sayur dengan lauk pauk protein hewani dan nabati. Sejak pasien sakit, nafsu makan berkurang, pasien hanya makan 2x sehari dengan porsi 3 sendok makan dalam sekali makan. I. Anamnesa Sistemik Keluhan utama Kulit Kepala Mata Sesak napas Menebal (-), gatal (-), luka (-), kuning (-) Sakit kepala (-), pusing (-), rambut mudah dicabut (-), rambut mudah rontok (-) Pandangan kabur (-/-), pandangan dobel (-/-), pandangan berputar-putar (-/-), berkunang-kunang Hidung Mulut (-/-). Pilek (-), mimisan (-), hidung tersumbat (-), gatal (-) Terasa kering (-), bibir biru (-), pucat (-), sariawan (-), gusi berdarah (-), gigi berlubang (-), bibir pecahTelinga Tenggorokan Sistem Respirasi Sistem Cardiovaskular Sistem Gastrointestinal pecah (-), luka pada sudut bibir (-) Berdenging (-), keluar cairan (-), darah (-) Sakit menelan (-), gatal (-) Batuk darah (-), batuk (+), dahak (+) warna putih, sesak napas (+), nyeri dada (+) Nyeri dada (+), terasa tertekan (-), rasa berdebar (-) Mual (-), muntah (-), nafsu makan menurun (+), penurunan BB (+), BAB tak ada keluhan, perut sebah (-), nyeri ulu hati (-), mbeseseg (+), kembung Sistem Genitourinaria Sistem Muskuloskeletal Ekstremitas (-), tinja warna kuning Nyeri saat BAK (-), panas (-), darah (-), nanah (-), anyang-anyangan(-), sering menahan kencing (-), BAK warna seperti teh (-). Lemas (-), nyeri otot (-),nyeri sendi (-), bengkak sendi (-) Atas Kanan/ Kiri: Luka (-), nyeri (-), tremor (-), kesemutan (-), bengkak (-), ujung jari dingin (-). Bawah Kanan/Kiri:Luka (-), nyeri (-), tremor (-),

Neuropsikiatri

kesemutan (-), bengkak (-), ujung jari dingin (-). Kejang (-), emosi tidak stabil (-), kesemutan(-), lumpuh (-), gelisah (-), menggigau(-).

II.

PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan dilakukan tanggal 10 Desember 2012 A. Keadaan Umum : tampak sesak : compos mentis : gizi kesan kurang : TB = 160 cm BB = 40 kg BMI = 15,625 Kesan: gizi kurang Tensi Nadi Suhu C. Kulit Warna sawo matang, kelembaban baik, ujud kelainan kulit (-) D. E. Kepala Mata Bentuk mesosefal, rambut beruban sukar dicabut Bulu mata rontok (-), konjungtiva pucat (-/-), palpebra odem (-/-), cowong (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3mm/3mm), refleks cahaya (+/+), air mata (+/ +), oedema palpebra (-/-) F. G. Hidung Mulut Bentuk normal, nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), darah (-/-) Bibir sianosis (-), mukosa basah (+) 5 : 100/70 mmHg : 124 x/menit, reguler, isi tegangan cukup : 36 oC(per axiler) Keadaan umum Derajat kesadaran Status gizi B. Tanda vital Status gizi

Pernafasan : 38 x/menit, tipe thorakoabdominal

H.

Telinga

Bentuk normal, tragus pain (-), mastoid pain (-), discharge (-/-) I. Tenggorok Uvula ditengah, tonsil T1-T1, mukosa faring hiperemis (-) J. Leher Bentuk normocolli, trakea di tengah, kelenjar getah bening tidak membesar, JVPtidak meningkat K. Thorax : Pengembangan dada kanan < kiri : Fremitus raba SIC II/ SIC VI : Redup di SIC II / redup di SIC VI suara tambahan (-/-), egofoni (+/+) SIC V/ SIC VI Cor: Inspeksi Palpasi Perkusi : iktus kordis tidak tampak : iktus kordis tidak kuat angkat : batas jantung kesan tidak melebar bising (-) L. Abdomen : dinding perut sejajar dinding dada, spasme (-) : timpani, asites (+) : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba Inspeksi Perkusi Palpasi Bentuk normochest, retraksi (+) sela iga kanan kiri. Pulmo: Inspeksi Palpasi Perkusi

Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+ di SIC II /+ di SIC VI),

Auskultasi :bunyi jantung I-II intensitas nomal, regular,

Auskultasi : peristaltik (+) normal

M.

Ekstremitas + + + +

Akral dingin

Edema 6

Capillary Refill Time < 2 detik Arteri dorsalis pedis teraba kuat III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium Darah 3 Desember 2012 Hemoglobin Hematokrit Eritrosit Leukosit Trombosit GDS SGOT SGPT Bilirubin total Protein total Albumin Ureum Creatinin Na K Cl HbS Ag : 9,3 g/dl : 30 % : 3,47 x 106/uL : 7,6 x 103/uL : 450x 103/uL : 95 mg/dL : 28 U/l : 16 U/l : 0,58 mg/dL :7,9 g/dL : 2,4 g/dL : 39 mg/dL : 0,5 mg/dL : 137 mmol/L : 4,2 mmol/L : 105 mmol/L : non reaktif (12,0-15,6) (33-45) (4,10-5,10) (4,5-11,0) (150-450) (60-140) (0-35) (0-45) (0.00-1,00) (6,4-8,3) (3,5-5,2) (<50) (0,6-1,1) (136-145) (3,3-5,1) (98-106)

2.AGD 3 Desember 2012 Ph: 7,446 BE: -1,7 mmol/L PCO2: 32,5 mmHg PO2: 168,6mmHg Ht: 30% HCO3: 23,0 mmol/L Total CO2: 20,4 mmol/L O2 Saturasi: 99,5% 3. Foto Thorax PA 3 Desember 2012 (7,350-7,450) (-2 +3) (27,0-41,0) (83,0-108,0) (37-50) (21,0-28,0) (19,0-24,0)

Toraks PA - lateral:

Foto Ny. S, 29 tahun, diambil tanggal 4 Desember 2012. Kekerasan cukup, inspirasi cukup. Cor: 8

Pulmo:

Batas jantung tertutup perselubungan, sulit untuk dievaluasi. Tak tampak infiltrat Sinus costophrenicus kanan kiri anterior posterior terutup perselubungan Retrostrernal dan retrocardial space tertutup perselubungan Trakea di tengah Tampak perselubungan di hemitoraks kanan kiri bawah Tampak penebalan pleura kanan Diafragma kanan kiri tertutup perselubungan Sistema tulang baik

Kesan: Efusi pleura bilateral terutama kanan dan penebalan pleura kanan
4. Sputum BTA 4 Desember 2012

Pemeriksaan Gram : Pengecatan BTA sputum: S: P: +1 S: 5. Pengulangan sputum 6 desember 2012 Pemeriksaan Gram : Pengecatan BTA sputum: S: P: S: 6. EKG 3 Desember 2012.

Heart rate Irama Axis Kesan IV. RESUME

: 150 x/ menit : sinus takikardi : normoaxis : OMI anteroseptal

Pasien merupakan rujukan dari BBKPM Jajar dengan TB Paru BTA (+) Lesi Luas Kasus Baru dalam terapi OAT kategori I bulan I (mulai tanggal 01/12/12) dan efusi pleura bilateral. Pasien mengeluh sesak napas sejak satu bulan sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas memberat sejak dua minggu sebelum masuk rumah sakit. Batuk (+) sejak 7 bulan sebelum masuk rumah sakit, dahak (+) warna putih, nyeri dada (+) sebelah kiri terutama bila menarik napas. Demam (+) sejak 1 bulan SMRS, nafsu makan menurun (+), berat badan menurun (+) sebanyak 10 kg sejak 9 bulan yang lalu, keringat malam (+). Pada pemeriksaan fisik didapatkan tensi 100/70 mmHg, nadi 124 x/menit, reguler, isi tegangan cukup, pernafasan 38 x/menit, pemeriksaan thorax ditemukan retraksi (+) sela iga kanan kiri. Pada pemeriksaan paru didapatkan pengembangan

10

dada kanan < kiri pada inspeksi, Fremitus raba SIC II/ SIC VI pada palpasi, Redup di SIC II / redup di SIC VI pada perkusi, dan suara dasar vesikuler (+) di SIC II / (+) di SIC VI, egofoni (+/+) SIC V/ SIC VI. Dari pemeriksaan abdomen didapatkan ascites (+). Pada pemeriksaan Laboratorium 3 November 2012 menunjukkan penurunan pada Hemoglobin (9,3 g/dL), Hematokrit (30%), AE (3,47x 106/L), dan Albumin (2,4 g/dL). Tidak terdapat pembesaran jantung, iskemik ataupun infark. Foto Thorax 4 Desember 2012: kesan efusi pleura bilateral terutama kanan dan penebalan pleura kanan. Pemeriksaan sputum BTA tanggal 4 Desember 2012 mendapakan hasil + 1. V. DIAGNOSIS TB Paru BTA (+) lesi luas kasus baru dalam pengobatan OAT kategori I bulan I. Efusi pleura bilateral e.c TB DD Non TB VI. PENATALAKSANAAN
1. O2 2 lpm 2. Inf NaCl 0,9 % 20 tpm 3. Rifampicin 300 mg 1x1 4.Isoniazid 150 mg 1x1 5. Pirazinamid 500 mg 1x 11/2 (750 mg) 6. Etambutol 500 mg 1x 11/2 (750 mg) 7. Vitamin B6 50 mg 1x 2 8. OBH syr 3x C1 9. GG tab 50 mg 3x1

VII. PLANNING
1.Sputum Mo/Gram/ K/R 2.Sputum BTA 3x, kultur BTA 3.Kultur cairan BTA pleura BTA/resistensi 4.Cairan Pleura Mo/ Gram/ K/R 5.Pungsi cairan pleura

11

VIII. EDUKASI
1.Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai penyakitnya

IX. PROGNOSIS 1. Ad vitam 2. Ad sanam 3. Ad fungsionam : dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis Paru 1. Definisi Tuberkulosis merupakan penyakit sistemik yang dapat mengenai hampir semua organ tubuh, yaitu organ pernafasan (TB paru-TBP) ataupun di organ di luar paru (TB Ekstra paru-TBE).Kuman TB dapat hidup lama tanpa aktifitas dalam jaringan tubuh (dormant) hingga sampai saatnya ia aktif kembali. Lesi TB dapat sembuh tetapi dapat juga berkembang progresif atau mengalami proses kronik atau serius. Lesi ini dapat dijumpai secara bersama di organ paru dan ekstra paru ataupun secara sendiri-sendiri.Karena itu dalam penatalaksanaan TB pada umumnya, TB paru pada khususnya, haruslah tercakup usaha yang gigih untuk mencari bukti adanya kejadian TB di organ ekstra paru (Dahlan, 1997). 2. Etiologi Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis. Yang tergolong dalam kuman Mycobacterium tuberculosae complex adalah : 1. M. tuberculosae, 2. Varian Asian, 3.Varian African I, 4.Varian African II, 5.M. bovis.Pembagian tersebut adalah berdasarkan perbedaan secara epidemiologi.(Amin dan Bahar, 2007).

12

3. Klasifikasi TB paru Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatudefinisi kasus yang meliputi empat hal, yaitu : 1) 2) 3) 4) diobati. Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah : 1) Menentukan paduan pengobatan yang sesuai. 2) Registrasi kasus secara benar. 3) Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif. 4) Analisis kohort hasil pengobatan. Beberapa istilah dalam definisi kasus : 1) Kasus TB : Kasus TB pasti atau satu di mana seorang praktisi kesehatan telah didiagnosis TB dan telah memutuskan untuk merawat pasien dengan pengobatan TB sesuai jangka waktu pada pedoman. 2) Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium tuberculosis compleks yang diidentifikasi dari spesimen klinis. Di Negara yang minim fasilitas untuk secara rutin mengidentifikasi M. tuberculosis, spesimen dengan satu atau lebih pemeriksaan BTA awal sputum BTA positif dianggap sebagai kasus pasti (WHO,2010). Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan untuk : 1) Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah timbulnya resistensi. 2) Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective). 3) Mengurangi efek samping. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena : Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis) : BTA Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat. Riwayat pengobatan TB sebelumnya : baru atau sudah pernah

positif atau BTA negatif.

13

1) Tuberkulosis paru Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru.Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. 2) Tuberkulosis ekstra paru Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru : 1) Tuberkulosis paru BTA positif a) b) c) d) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 BTA positif. dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. kuman TB positif. spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. 2) Tuberkulosis paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteriadiagnostik TB paru BTA negatif h.arus meliputi: a) b) c) OAT. d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit. Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non

14

1) TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambarankerusakan paru yang luas (misalnya proses far advanced), dan atau keadaanumum pasien buruk. 2) TB a) ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu : TB ekstra paru ringan, misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. b) TB ekstra paru berat, misalnya : meningitis, milier, perikarditis peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin. Catatan: Bila seorang pasien TB ekstra paru juga mempunyai TB paru, maka untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru. Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu : 1) Kasus Baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). 2) Kasus Kambuh (Relaps) Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatantuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). 3) Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO)

15

Adalah pasien TB yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. 4) Kasus Gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 5) Kasus Pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. 6) Kasus lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. Catatan: TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik (Depkes, 2006). 4. Patogenesis TB Paru Tuberkulosis Primer : Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap, kuman dapat bertahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel < 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati

16

atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya. Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap jaringan paru.Bila menjalar sampai pleura, maka terjadilah efusi pleura.Kuman dapat juga masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, dan tulang.Bila masuk ke aerteri pulmonalis, maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier. Dari sarang primer, akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal + limfadenitis regional = kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi : Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis

fibrotik, kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan 10% di antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant. Berkomplikasi dan menyebar secara : a). Per kontinuitatum, yakni

menyebar ke sekitarnya, b). Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus, c). Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder) : 17

Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahuntahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer = TB pasca primer = TB sekunder). Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun, seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal.Tuberkulosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apikalposterior lobus superior atau inferior).Tekanan oksigen pada bagian apikal paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.Invasinya adalah ke daerah parenkim paru dan tidak ke nodus hiler paru. Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu, sarang ini menjadi tuberkel, yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB usia tua. Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya dan imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi : Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat. Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan

sebukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar, akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah karena hirolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya. Bentuk perkijuan lain yang jarang adalah cryptic disseminate TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut. 18

Di sini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak. Kavitas dapat: a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas ini masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB milier. Dapat juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan selanjutnya ke usus menjadi TB usus.Sarang ini selanjutnya mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan terdahulu.Bisa juga terjadi TB endobronkial dan TB endotrakeal atau empiema bisa ruptur ke pleura; b. Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma.Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi kavitas lagi; c. Bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity.Dapat juga menyembuh dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk seperti bintang disebut stellate shaped (Amin dan Bahar, 2007). 5. Diagnosis TB Paru Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala klinis tuberkulosis dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala sistemik berupa demam, malaise, keringat malam, anoreksia, dan berat badan menurun. Pada paru akan timbul gejala lokal berupa gejala respiratori. Norman Horne membuat daftar gejala dan tanda respiratori TB seperti tidak ada gejala, batuk, sputum purulen, batuk darah, nyeri dada, sesak nafas, mengi yang terlokalisir. Tetapi tanda dan gejala respiratori ini tergantung pada luas lesi. Pada pemeriksaan fisik, kelainan jasmani tergantung dari organ yang terlibat dan luas kelainan struktur paru (Budiart, 2001). Pada awal perkembangan penyakit sangat sulit menemukan kelainan paru pada pemeriksaan fisik. Kelainan paru terutama pada daerah lobus superior terutama apeks dan segmen posterior, serta apeks lobus inferior (Glassroth, 2001; Iseman, 2000). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain

19

suara nafas bronkial, amforik, suara nafas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum (Aditama, 2002; PDPI, 2006 ). 6. Pengobatan TB Paru Sejarah pengobatan TB paru dimulai pada tahun 1943, dimana Wacksman dan Schatz di New jersey menemukan streptomyces griceus yang dikenal sebagai streptomisin, merupakan OAT pertama yang digunakan. Penggunaan streptomisin sebagai obat tunggal terjadi sampai tahun 1949. Kemudian ditemukan Para Amino Salisilat (PAS), sehingga mulai dilakukan kombinasi antara keduanya, tetapi pada akhir 1946 pemakaian PAS sudah jarang dipublikasikan. Pada tahun 1952 ditemukan isoniazid (INH) yang kemudian menjadi komponen penting pada pengobatan TB, sejak saat itu durasi pengobatan dapat diturunkan. Pada tahun 1972 mulai digunakan rifampisin (R) sebagai paduan obat dikombinasi dengan etambutol (E) dan pirazinamid (Z) (Hopewell, 2005; Iseman, 2000; Vernon, 2004; WHO, 2002). Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB. Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioritas utama WHO. Broadly menyatakan pengobatan TB bertujuan untuk 3 hal yaitu : 1) 2) Untuk mengurangi secara cepat jumlah dari basil mikobakterium Mencegah resistensi obat. Pengobatan yang tidak adekuat dapat sehingga dapat mengurangi durasi dari pengobatan. menyebabkan resistensi obat dengan segera, sehingga dapat meningkatkan kegagalan pengobatan dari kekambuhan. Resistensi tidak hanya pada pasien yang bersangkutan, tetapi juga dapat menular pada seseorang yang sebelumnya belum pernah terinfeksi. 3) Sterilisasi untuk mencegah kekambuhan dan mengurangi jumlah Pemberian OAT berdasarkan kepada 5 prinsip : terapi sedini mungkin, paduan beberapa obat, diberikan secara teratur, dosis yang cukup, lengkap dan kelangsungan hidup kuman (Iseman, 2000).

20

diberikan sesuai jangka waktunya. Namun hal ini tidak sepenuhnya bisa dilaksanakan karena hambatan faktor sosial, ekonomi dan keah1ian. Di negara berkembang penyembuhan yang dicapai di bawah 85% karena hal di atas sukar terlaksana, terutama akibat kepatuhan berobat yang kurang hingga timbul resistensi obat yang ganda dari penyebaran penyakit. Namun bila program terapi terkontrol dan fasilitas pemeriksaan BTA tersedia, pengobatan TB dapat berjalan dengan sukses (Dahlan, 1997). Tabel 1. Ringkasan paduan obat (Depkes, 2006; WHO, 2002)
Kategori I Kasus TB paru BTA(+) BTA(-), lesi luas Paduan obat yang dianjurkan 2RHZE / 4RH atau 2RHZE / 6HE *2RHZE / 4R3H3 RHZE / 1RHZE / sesuai hasil uji resistensi atau 2RHZES / 1RHZE/ 5RHE II Gagal pengobatan 3-6 kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin / 15-18 ofloksasin, etionamid, sikloserin atau 2RHZES / 1RHZE/ 5RHE Sesuai lama pengobatan sebelumnya, lama berhenti II TB paru putus berobat minum obat dan keadaan klinis, bakteriologi, dan radiologi saat ini (lihat uraiannya) atau 2RHZES / 1RHZE/ 5R3H3E3 Bila streptomisin alergi, dapat diganti kanamisin Keterangan

Kambuh

III

BTA neg, lesi minimal

2RHZE / 4RH atau 6RHE atau 2RHZE / 4R3H3 RHZES / sesuai hasil uji resistensi

1V

Kronik

(minal OAT yang sensitif) + obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan) Sesuai uji resistensi + OAT lini 2 atau H seumur hidup

IV

MDR TB

21

Tabel 2. Jenis dan dosis obat (WHO, 1999)


Dosis Obat (mg/Kg /BB/hari) R H Z E S 8-12 4-6 20-30 15-20 15-18 Dosis yang dianjurkan Harian (mg/Kg BB/hari) 10 5 25 15 15 Intermitten (mg/Kg BB/kali) 10 10 35 30 15 Dosis (mg)/BB (Kg) Dosis maks (mg) 600 300 < 40 300 150 750 750 Sesuai BB 40-60 450 300 1000 1000 750 > 60 600 450 1500 1500 1000

1000

Tabel 3. Kerja dari lini pertama OAT (Fishman, 2002; Leitch, 2000; Seaton, 2000
INH Rifampisin Bakterisidal melawan basil intraseluler dan ekstraseluler. Bakterisidal melawan basil intraseluler dan ekstraseluler, dan sterilisasi terutama dengan memetabolisme organisme secara perlahan-lahan. Bakterisidal, terutama dengan memetabolisme organisme Pirazinamid secara perlahan-perlahan organisme intraseluler. Aktif pada pH asam, sinergi dengan baik terhadap INH maupun obat lain. Bakterisidal melawan basil intraseluler dan ekstraseluler pada dosis 25 mg/kg, bakteriostatik pada dosis 15 mg/kg. Bakteriostatik dan bakterisidal melawan basil intraseluler dan ekstraseluler.

Etambutol Streptomisin

Penilaian keberhasilan pengobatan didasarkan pada hasil pemeriksaaan bakteriologi, radiologi, dan gejala klinis. Kesembuhan TB paru yang baik akan memperlihatkan sputum BTA (-), adanya perbaikan radiologi, dan menghilangnya gejala (Mansjoer et al., 2000a).

22

EFUSI PLEURA Definisi Efusi pleura adalah penimbunan cairan didalam rongga pleura akibat transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura. Efusi pleura bukan merupakan suatu penyakit, akan tetapi merupakan tanda suatu penyakit. Pada keadaan normal, rongga pleura hanya mengandung sedikit cairan sebanyak 10-20 ml yang membentuk lapisan tipis pada pleura parietalis dan viseralis, dengan fungsi utama sebagai pelicin gesekan antara permukaan kedua pleura pada waktu pernafasan. Penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan efusi pleura adalah tuberkulosis, infeksi paru nontuberkulosis, keganasan, sirosis hati, trauma tembus atau tumpul pada daerah ada, infark paru, serta gagal jantung kongestif. Di Negara-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif, sirosis hati, keganasan, dan pneumonia bakteri, sementara di Negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, lazim diakibatkan oleh infeksi tuberkulosis. Efusi pleura keganasan merupakan salah satu komplikasi yang biasa ditemukan pada penderita keganasan dan terutama disebabkan oleh kanker paru dan kanker payudara. Efusi pleura merupakan manifestasi klinik yang dapat dijumpai pada sekitar 50-60% penderita keganasan pleura primer atau metastatik. Sementara 5% kasus mesotelioma (keganasan pleura primer) dapat disertai efusi pleura dan sekitar 50% penderita kanker payudara akhirnya akan mengalami efusi pleura. (Ali, 2006). Patofisiologi Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini terjadi karena perbedaan tekanan osmotik plasma dan jaringan interstisialsubmesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar

23

pleura. Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga terjadi empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah besar sekitar pleura dapat menyebabkan hemotoraks. Proses terjadinya pneumotoraks karena pecahnya alveoli dekat pleura parietalis sehingga udara akan masuk ke dalam rongga pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada atau alveoli pada daerah tersebut yang kurang elastis lagi seperti pada pasien emfisema paru. Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain bukan primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis peritoneum, hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan, perikarditis konstriktiva, keganasan, atelektasis paru, dan pneumotoraks. Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelialberubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa. Sebab lain seperti parapneumonia, parasit (amuba, paragonimiosis, ekinokokkus), jamur, pneumonia atipik (virus, mikoplasma, fever, legionella), keganasan paru, proses imunologik seperti pleuritis lupus, pleuritis rematoid, sarkoidosis, radang sebab lain seperti, pakreatitis, asbestosis, pleuritis uremia, dan akibat radiasi (Kurniasafi, 2010). Manifestasi Klinik Pada kebanyakan penderita umumnya asimptomatis atau memberikan gejala demam, ringan ,dan berat badan yang menurun seperti pada efusi yang lain. Nyeri dada dapat menjalar ke daerah permukaan karena inervasi syaraf interkostalis dan segmen torakalis atau dapat menyebar ke lengan. Nyerinya terutama pada waktu bernafas dalam, sehingga pernafasan penderita menjadi dangkal dan cepat dan pergerakan pernapasan pada hemitoraks yang sakit

24

menjadi tertinggal. Sesak napas terjadi pada waktu permulaan pleuritis disebabkan karena nyeri dadanya dan apabila jumlah cairan efusinya meningkat, terutama kalau cairannya penuh. Batuk pada umumnya non produktif dan ringan, terutama apabila disertai dengan proses tuberkulosis di parunya (Halim, 2007). Diagnosis Adanya efusi pleura memberikan kelainan pada hemitoraks yang sakit dengan pergerakan pernapasan yang tertinggal, cembung, ruang antar iga yang melebar dan mendatar, getaran nafas pada perabaan menurun, trakea yang terdorong, suara ketuk yang redup dan menghilangnya suara pernapasan pada pemeriksaan auskultasi. Gambaran radiologik posterior anterior (PA) terdapat kesuraman pada hemitoraks yang terkena efusi, dari foto toraks lateral dapat diketahui efusi pleura di depan atau di belakang, sedang dengan pemeriksaan lateral dekubitus dapat dilihat gambaran permukaan datar cairan terutama untuk efusi pleura dengan cairan yang minimal (Suyono, 2005). Penatalaksanaan Pada dasarnya pengobatan efusi pleura tuberkulosis sama dengan efusi pleura pada umumnya, yaitu dengan melakukan torakosentesis (mengeluarkan cairan pleura) agar keluhan sesak penderita menjadi berkurang, terutama untuk efusi pleura yang berisi penuh. Beberapa penelit tidak melakukan torakosentesis bila jumlah efusi sedikit, asalkan terapi obat anti tuberkulosis diberikan secara adekuat (Ali, 2006). Torakosentesis biasanya dilakukan untuk menegakkan diagnosis, tetapi pada prosedur ini juga bisa dikeluarkan cairan sebanyak 1,5 liter. Jika jumlah cairan yang harus dikeluarkan lebih banyak, maka dimasukkan sebuah selang melalui dinding toraks. Pada empiema diberikan antibiotik dan dilakukan pengeluaran nanah. Jika nanahnya sangat kental atau telah terkumpul di dalam bagian fibrosa, maka pengaliran nanah lebih sulit dilakukan dan sebagian dari tulang rusuk harus diangkat sehingga bisa dipasang selang yang

25

lebih besar. Kadang perlu dilakukan pembedahan untuk memotong lapisan terluar dari pleura (dekortikasi) (Suyono, 2005). Pengobatan dengan obat-obat antituberkulosis (Rimfapisin, INH, Pirazinamid/Etambutol/Streptomisin) memakan waktu 6-12 bulan. Dosis dan cara pemberian obat seperti pada pengobatan tuberkulosis paru. Pengobatan ini menyebabkan cairan efusi dapat diserap kembalai, tapi untuk menghilangkan eksudat ini dengan cepat dapat dilakukan torakosentesis. Umumnya cairan diresolusi dengan sempurna, tapi kadang-kdang dapat diberikan kortikosteroid secara sistematik (Prednison 1 mg/kgBB selama 2 minggu, kemudian dosis diturunkan) (Halim, 2007).

26

DAFTAR PUSTAKA Aditama, T. Y. 1995. Perkembangan Mutakhir Diagnosis Tuberkulosis Paru, dalam Cermin Dunia Kedokteran No.99. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan PT.Kalbe Farma. Ali. 2006. Efusi Pleura Tuberkulosis. Diakses dari: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/06_EfusiPleuraTuberkulosis.pdf/06_Efusi PleuraTuberkulosis.html. Diakses tanggal 11 Desember 2012. Amin Z., Asril Bahar. 2007. Tuberkulosis Paru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp: 989-990. Dahlan Zul. 1997. Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis. Cermin dunia kedokteran no. 115. Jakarta : Grup PT Kalbe Farma. Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta, pp: 16-18. Fishman J. A. 2002. Mycobacterial infections. In: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM eds. Fishmans Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. Philadelphia: MC Graw Hill, pp: 763-799. Halim, Hadi. 2007. Penyaki-Penyakit Pleura dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal: 1056 dan 1058. Iseman M. D. 2000. Tuberculosis chemotherapy, including directly observed therapy. In : Iseman MD, Girard, Beno M. A eds. Clinicians Guide to Tuberculosis. Philadelphia: Lippincott. Kurniasafi. 2010. Efusi Pleura. Diakses dari: http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/103/jtptunimus-gdl-kurniasafi-5149-1bab1.pdf. Diakses tanggal 11 Desember 2012. Mansjoer, et al. 2005. Pulmonologi: Tuberkulosis paru. Kapita selekta kedokteran. Jakarta: FKUI. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. Tuberkulosis. Jakarta. Suyono. 2005. Efusi Pleura. Diakses dari: http://www.indonesiaindonesia.com/f/9917-efusipleura/. Diakses tanggal 11 Desember 2012. World Health Organization. 2010. Treatment of Tuberculosis Guidelines. Geneva: world Health Organization.

27

28

You might also like