You are on page 1of 36

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pencabutan gigi merupakan suatu prosedur bedah yang dapat dilakukan dengan tang, elevator, atau pendekatan transalveolar. Tindakan ekstraksi gigi merupakan suatu tindakan yang sehari-hari kita lakukan sebagai dokter gigi Pencabutan bersifat irreversible dan terkadang menimbulkan komplikasi. Karenanya kita perlu waspada dan diharapkan mampu mengatasi kemungkinankemungkinan komplikasi yang dapat terjadi.1 Respon pasien tertentu dianggap sebagai kelanjutan yang normal dari pembedahan yaitu perdarahan , rasa sakit dan edema. Tetapi apabila berlebihan , perlu dipikirkan lagi apakah termasuk morbiditas yang biasa atau komplikasi. Komplikasi digolongkan menjadi intraoperatif, segera sesudah operasi dan jauh sesudah operasi. Pencegahannya tergantung pada pemeriksaan riwayat,

pemeriksaan menyeluruh, foto rontgen yang memadai, dan formula rencana pembedahan.Tanpa memandang pengalaman operator, kesempurnaan persiapan dan ketrampilan, komplikasi masih bisa terjadi pada situasi perawatan tertentu. Karena itu komplikasi tertentu kadang-kadang tidak terhindarkan. Sebagian besar komplikasi disebabkan oleh kesadaran pembedahan, adalah tidak akurat dan merupakan kesalahan pengertian.2,3

1.2 Tujuan penulisan Mengetahui komplikasi yang terjadi pada intraoperatif, segera sesudah operasi dan jauh sesudah operasi ekstraksi gigi serta penatalaksanaannya.

1.3 Manfaat Penulisan Makalah ini disusun untuk menambah wawasan pembaca tentang komplikasi yang terjadi pada intraoperatif, segera sesudah operasi dan jauh sesudah operasi ekstraksi gigi serta penatalaksanaannya.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komplikasi Intraoperatif 2.1.1 Perdarahan Salah satu komplikasi yang mungkin dapat terjadi saat ekstraksi gigi adalah perdarahan. Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa perdarahan saat ekstraksi dapat terjadi karena faktor lokal maupun karena faktor sistemik. Sebagai seorang dokter gigi, kita dituntut untuk mempunyai pengetahuan dan kemampuan yang memadai dalam melakukan pencegahan dan penatalaksanaannya.2,4,5,6 Etiologi perdarahan: 1. Faktor lokal Setelah tindakan ekstraksi gigi yang menimbulkan trauma pada pembuluh darah, hemostasis primer yang terjadi adalah pembentukan platelet plug (gumpalan darah) yang meliputi luka, disebabkan karena adanya interaksi antara trombosit, faktor-faktor koagulasi dan dinding pembuluh darah. Selain itu juga ada vasokonstriksi pembuluh darah. Luka ekstraksi juga memicu clotting cascade dengan aktivasi thromboplastin, konversi dari prothrombin menjadi thrombin, dan akhirnya membentuk deposisi fibrin. Perdarahan pasca ekstraksi gigi biasanya disebabkan oleh faktor lokal, tetapi kadang adanya perdarahan ini dapat menjadi tanda adanya penyakit hemoragik.4,5,6 2. Faktor Sistemik a. Hipertensi Bila anestesi lokal yang kita gunakan mengandung vasokonstriktor, pembuluh darah akan menyempit menyebabkan tekanan darah meningkat, pembuluh darah kecil akan pecah, sehingga terjadi perdarahan. Apabila kita menggunakan anestesi lokal yang tidak mengandung vasokonstriktor, darah dapat tetap mengalir sehingga terjadi perdarahan apakah pasca dia

ekstraksi. Penting

juga

ditanyakan

kepada

pasien

mengkonsumsi obat-obat tertentu seperti obat antihipertensi, obat-obat pengencer darah, dan obat-obatan lain karena juga dapat menyebabkan perdarahan.4,5,6 b. Hemofilli Pada pasien hemofilli A (hemofilli klasik) ditemukan defisiensi factor VIII. Pada hemofilli B (penyakit Christmas) terdapat defisiensi faktor IX. Sedangkan pada von Willebrands disease terjadi kegagalan pembentukan platelet, tetapi penyakit ini jarang ditemukan.4,5,6 c. Diabetes Mellitus Bila DM tidak terkontrol, akan terjadi gangguan sirkulasi perifer, sehingga penyembuhan luka akan berjalan lambat, fagositosis terganggu, PMN akan menurun, diapedesis dan kemotaksis juga terganggu karena hiperglikemia sehingga terjadi infeksi yang memudahkan terjadinya perdarahan.4,5,6 d. Malfungsi Adrenal Ditandai dengan pembentukan glukokortikoid berlebihan (Sindroma Cushing) sehingga menyebabkan diabetes dan hipertensi.4,5,6 e. Pemakaian obat antikoagulan Pada pasien yang mengkonsumsi antikoagulan (heparin dan walfarin) menyebabkan PT dan APTT memanjang. Perlu dilakukan konsultasi terlebih dahulu dengan internist untuk mengatur penghentian obat-obatan sebelum pencabutan gigi.4,5,6 Penatalaksanaan Perdarahan perioperatif Pencegahan kemungkinan komplikasi perdarahan karena faktor-faktor sistemik a. Anamnesis yang baik dan riwayat penyakit yang lengkap Kita harus mampu menggali informasi riwayat penyakit pasien yang memiliki tendensi perdarahan yang meliputi :
y y

bila telah diketahui sebelumnya memiliki tendensi perdarahan mempunyai kelainan-kelainan sistemik yang berkaitan dengan gangguan hemostasis (pembekuan darah)

y y

pernah dirawat di RS karena perdarahan spontaneous bleeding, misalnya haemarthrosis atau menorrhagia dari penyebab kecil

riwayat keluarga yang menderita salah satu hal yang telah disebutkan di atas, dihubungkan dengan riwayat penyakit dari pasien itu sendiri

y y

mengkonsumsi obat-obatan tertentu seperti antikoagulan atau aspirin Penyebab sistemik seperti defisiensi faktor pembekuan

herediter,misalnya von Willebrands syndrome dan hemofilia Kita perlu menanyakan apakah pasien pernah diekstraksi sebelumnya, dan apakah ada riwayat prolonged bleeding (24-48 jam) pasca ekstraksi. Penting untuk kita ketahui bagaimana penatalaksanaan perdarahan pasca ekstraksi gigi sebelumnya. Apabila setelah diekstraksi perdarahan langsung berhenti dengan menggigit tampon atau dengan penjahitan dapat disimpulkan bahwa pasien tidak memiliki penyakit hemoragik. Tetapi bila pasca ekstraksi gigi pasien sampai dirawat atau bahkan perlu mendapat transfusi maka kita perlu berhati-hati akan adanya penyakit hemoragik.4,5,6 Bila ada riwayat perdarahan dalam (deep haemorrhage) didalam otot, persendian atau kulit dapat kita curigai pasien memiliki defek pembekuan darah (clotting defect). Adanya tanda dari purpura pada kulit dan mukosa mulut seperti perdarahan spontan dari gingiva, petechiae.4,5,6 Apabila riwayat kesehatan menunjukkan kecurigaan pada penyakit tertentu, sebaiknya menghubungi dokter yang merawat sebelumnya, sebelum melakukan perawatan. Bermacam-macam tes laboratorium bisa mengkornfirmasikan/ menyingkirkan masalah atau mengidentifikasikan bagian khusus yang

menyebabkan kegagalan mekanisme pembentukan beku darah yang terganggu, perawatan adalah merupakan kerjasama antara dokter gigi dan dan dokter umum.2

Tabel 1 Tes Koagulasi Jenis Tes Waktu Perdarahan Nilai Normal 2-7 menit Kegunaan Mengamati fungsi vascular dan platelet, deteksi penyakit Wilebrand Hitung Platelet Waktu Protrombin 150.000-400.000/mm3 12-14 detik Deteksi trombositosis, trombositopenia Lebih lama berkaitan dengan defisiensi factor-faktor I,II,V,VII, X. Mungkin

abnormal pada penyakit hati, defisiensi vitamin K, terapi warfarin sodium

(Coumadin), penggunaan aspirin, dan antiradang non-steroid lain. Paruh tromboplastin waktu 60-70 detik Lebih lama, bila ada defisiensi factor pembekuan darah kecuali factor VII hemophilia.

b. Menghindari Pembuluh darah Pengetahuan mengenai anatomi merupakan jaminan terbaik untuk

menghadapi kejadian yang tidak diharapkan yaitu perdarahan pada arteri atau vena. Region-regio risiko tinggi adalah palatum dengan a. palatine mayor,

vestibulum bukal molar bawah dengan a. fasialis, margo jalanan dari a. buccalis dan region apical molar ketiga yang terletak dekat dengan a. alveolaris inferior. Region mandibula anterior juga merupakan sumber perdarahan karena vaskularisasinya sangat melimpah. Keadaan patologi kadang-kadang juga mengakibatkan risiko perdarahan, missal; hemangioma dan malformasi

arterovenous adalah yang paling berbahaya. Secara umum, adanya lesi yang tumbuh dengan cepat adalah potensial berbahaya karena pertumbuhan tersebut memerlukan banyak suplai darah. c. Tindakan untuk mengontrol perdarahan Penanganan awal yang kita lakukan adalah melakukan penekanan langsung dengan tampon kapas atau kassa pada daerah perdarahan supaya terbentuk bekuan

darah yang stabil. Sering hanya dengan melakukan penekanan, dengan tangan atau tekanan tidak langsung dengan perban. Jika ternyata perdarahan belum berhenti, dapat kita lakukan penekanan dengan tampon yang telah diberi anestetik lokal yang mengandung

vasokonstriktor (adrenalin). Lakukan penekanan atau pasien diminta menggigit tampon selama 10 menit dan periksa kembali apakah perdarahan sudah berhenti. Bila perlu, dapat ditambahkan pemberian bahan absorbable gelatine sponge dan Surgicel yang diletakkan di alveolus.4,5,6 Perdarahan yang sangat deras misalnya pada terpotongnya arteri, maka kita lakukan klem dengan hemostat lalu lakukan ligasi, yaitu mengikat pembuluh darah dengan benang atau dengan kauterisasi. Apabila tersedia, dapat digunakan elektokoagulasi dari pembuluh yang diklem sehingga tidak perlu diikat untuk perdarahan dari pembuluh darah yang kecil, atau rembesan. Bila perdarahan dari jaringan keras (seperti arteri inferior dental atau vena), untuk mengikat pembuluh darah sangat sulit. Tekanan dengan memasukkan ribbon gauze dengan varnish Whitehead dapat dilakukan untuk mengatasi perdarahan dari jaringan keras. Perdarahan pada pembuluh darah kecil di jaringan keras dapat diberikan Bone Wax, dengan kompresi alveolar dengan alat tumpul seperti bchisel atau gauge.2,4,5,6,7 Bahan-bahan hemostatik2: y Sepon gelatin penyerap (Gelfoam) yang menyerap darah dari aksi kapiler dan menimbulkan beku darah. y Selulosa yang dioksidasi (Surgicel), yang secara fisik mempercepat pembentukan bekuan darah. y Hemostat kolagen mikrofibrilar (Avitene, Helistat), yang memicu agregasi platelet. y Trombin hewan topical (Trombinar, Trombostat) yang membekukan fibrinogen dengan segera. Jangan melakukan penyuntikan. y Malam tulang (malam tawon) yang diletakkan pada daerah perdarahan di tulang.

Gambar 1: Penanganan perdarahan

2.1.2

Fraktur Fraktur bisa mengenai akar gigi, gigi tetangga, atau gigi antagonis, restorasi,

prosesus alveolaris, dan kadang-kadang mandibula. Semua fraktur yang dapat dihindarkan mempunyai etiologi yang sama; yaitu tekanan yang berlebihan atau tidak terkontrol atau keduanya. Cara terbaik unuk menghindari fraktur disamping tekanan terkontrol adalah dengan menggunakan gambar sinar-X sebelum melakukan pembedahan. Akar yang mengalami delaserasi atau getas atau yang dirawat endodontic sering mengharuskan dilakukannya perubahan pada rencana pembedahan, biasanya dimulai dari prosedur pencabutan dengan tang (close prosedure) sampai melakukan pembukaan flap. Apabila sesudah dilakukan pencabutan dengan tang menggunakan tekanan terkontrol tidak terjadi luksasi dan dilatasi alveolus, ini menunjukkan perlunya dilakukan pembedahan. Pengenalan adanya fraktur biasanya secara klinik dan mudah terlihat, kecuali untuk fraktur mandibula. Apabila ini terjadi pada waktu dilakukan pencabutan dengan tang, atau pembedahan biasanya melibatkan gigi molar ke tiga. Meskipun garis fraktur bisa dilihat pada film periapikal, ketidakberadaannya bukan selalu nerarti tidak terjadi fraktur. Jika masih ada keraguan bisa dilakukan panoramic, atau film

ekstraoral yang lain. Kegagalan mendapatkan gambar sinar-X dari bagian yang dicurigai, merupakan kelalaian yang serius.2 a. Fraktur pada akar Komplikasi fraktur pada akar paling sering trejadi saat dilakukan pencabutan gigi dan kadang-kadang tidak dapat dihindarkan jika operatornya masih kurang berpengalaman. Fraktur pada gigi dapat disebabkan karena pemberian tekanan yang berlebihan atau gigi yang akan dicabut memiliki akar yang divergen yang secara mekanis susah dilakukan pencabutan. Pada gigi yang non-vital sangat rapuh dan mudah dipatahkan. Saat komplikasi ini terjadi, keputusan harus dibuat, antara ingin mengambil fraktur akar atau meninggalkan. Jika frakturnya sebesar kurang dari 3 mm pada gigi yang vital dan tidak dapat dipisahkan dengan periodontal attachment maka bisa ditinggalkan dan tidak perlu dilakukan pengambilan fraktur akar. Sebelum keputusan ini diambil, harus dilakukan gambar radiografi untuk memastikan ukuran akar dan tidak berhubungan dengan secondary patologi. Pasien diberitahu mengenai pertimbangan risiko/manfaat yang mendasari keputusan tersebut.7 Pengeluaran dengan pembedahan: pendekatan yang biasa dilakukan untuk mengeluarkan patahan ujung akar atau frakmen adalah dengan pembedahan. Pertama-tama bisa diusahakan dahulu dengan pendekatan konservatif dari alveolus dengan root picks, elevator cryer atau file saluran akar. Pilihan lain adalah pembuatan flap, tulang diambil secara konservatif untuk mendapatkan jalan masuk ke akar.2 Tulang bisa dipotong dengan elevator kecil, elevator periostel, atau instrument plastic. Elevator gigi yang lurus dan kecil atau kadang-kadang elevator periosteal yang kecil digunakan untuk memisahkan akar dari alveolus. Jika hal tersebut tidak berhasil dan sulit mengarahkan tekanan secara benar, maka dibuat suatu lubang kaitan pada akar untuk insersi elevator. Seperti prosedur flap, operasi diikuti dengan irigasi saline steril dan pemeriksaan bagian yang dioperasi sebelum melakukan penghalusan tulang dan penjahitan.2

10

b. Fraktur gigi sebelahnya dan antagonis Fraktur pada gigi atau restorasi didekatnya, kebanyakan merupakan akibat terlalu kuatnya tekanan yang dikenakan melalui elevator. Suatu elevator yang tertumpu pada gigi atau restorasi didekatnya bisa menggoyahkan gigi tersebut atau restorasi bisa lepas. Pada tumpatan yang lepas selama ekstraksi dikhawatirkan masuk ke dalam soket dan dapat menyebabkan komplikasi sekunder. Cedera pada gigi antagonis biasanya akibat dari pencabutan

eksplosif, yaitu gigi terungkit secara tidak diperkirakan dari alveolus akibat tekanan berlebih kearah oklusal atau sejajar. Perawatannya bersifat individual, mulai dari replantasi gigi yang tercabut tidak sengaja, membuat restorasi sementara atau menyemenkan kembali mahkota prostetik atau inlai. Pencegahan didasarkan pada penggunaan pinch grasp dan tekanan terkontrol.2,7 c. Fraktur prosesus alveolaris Fraktur minor: fraktur prosesus alveolaris yang ringan adalah terikutnya bagian tulang bukal/fasial maksila bersama akr pada pada waktu dilakukan pencabutan dengan tang. Hal tersebut disebabkan oleh tekanan yang besar pada prosesus alveolaris yang tipis. Cara penanganannya dengan menggunakan ronguer untuk mengambil tulangtulang tajam didekatnya dan menggunkan bone file untuk menghaluskan tepitepi tulang. Mukoperiosteum diatasnya perlu dijahit bila sangat terpisah dengan tulangnya. Fraktur mayor: radiograf bisa membantu memperkirakan fratur mayor pada prosesus alveolaris rahang ats. Apabila sinus hiperareasi dan prosesus alveolar ekstrusi, jembatan tulang yang teringgal antara lantai sinus dan puncak linger kebanyakan setipis kertas. Kondisi ini menunjukkan perlunya pembedahan tanpa lebih dulu mencabut menggunakan tang. Pada kasus terjelek, alveolus molar atas mungkin fraktur total, kadang-kadang melibatkan seluruh tuberositas dan dasar antral. Tulang yang terpisah dari periosteum atau suplai darahnya mudah menjadi nekrosis. Karena itu, suatu pendekatan konservatif

11

yang dapat melindungi periosteum kalau memungkinkan dipilih. Umumnya gerakan dari tuberositas bisa dideteksi sebelum dikeluarkan dan pencabutan ditunda. Prosedur ditunda dan gigi atau gigi-gigiyang terlibat displinting dan kalau bisa dibebaskan dari oklusi. Karena sinus maksilaris cedera hingga batas tertentu, maka kasus ini memerlukan pemberian antibiotic spectrum yang luas dan dekongestan sistemik. Pencabutan diselesaikan setelah beberapa saat (biasanya 6-8 minggu) melalui pembedahan. Jika prosesus alveolaris atau tuberositas terangkat pada waktu pencabutan, maka gigi dikeluarkan dengan pembedahan dan tulang dikembalikan pada daerah yang fraktur sebagai graft bebas. Jika ini dilakukan, maka penjahitan mukoperiosteum harus dilakukan, karena sebagian besar dasar sinus maxilaris harus diganti. d. Fraktur mandibula Dalam penelitian Arrigoni dan Lambrecht yang menganalisis 3,980 pencabutan gigi molar tiga, ditemukan angka komplikasi sebesar 0,29%. Insiden tertinggi terjadi pada pasien berusia 25 tahun, dengan usia rata-rata 40 tahun. Karena memiliki tekanan mastikasi yang lebih besar, pria cenderung mengalami late fracture. Fraktur intraoperatif terjadi akibat instrumentasi yang tidak tepat dan tekanan yang berlebihan pada tulang. Elevator yang diinsersikan pada bagian mesial molar ketiga baik yang erupsi atau impaksi, dan ditekan dengan kekuatan yang besar kearah distal atau disto-oklusal menjadikan mandibula terancam fraktur. Mandibula cukup lemah dibagian molar ketiga yang merupakan pertemuan badan dan prosesus alveolar yang berat dan ramus yang tipis.2,8 Penatalaksanaan fraktur mandibula Pendekatan tertutup dan terbuka, ada dua cara penatalaksanaan, pada teknik tertutup, reduksi fraktur dan immobilisasi mandibula dicapai dengan cara menempatkan peralatan fiksasi maksilomandibular. Pada prosedur terbuka bagian yang fraktur dibuka dengan pembedahan dan segmen di reduksi dan di fiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat atau plat.teknik terbuka dan tertutup tidaklah selalu dilakukan sendiri-sendiri terkadang dilakukan

12

secara kombinasi.dasar pemikiran perawatan yang baik adalah respons fleksible, yakni kemauan dan kemampuan untuk menggunakan teknik yang ada (alat-alat yang diperlukan), dengan profesionalitas yang memadai.9,10 Periode imobilisasi Periode stabilisasi fiksasi diperlukan untuk memastikan perbaikan fungsi sepenuhnya adalah berbeda-beda, tergantung dari letak fraktur, ada atau tidaknya gigi yang tertinggal pada garis fraktur, umur pasien dan ada tidaknya infeksi. Dalam lingkungan yang menguntungkan terbentuknya persatuan secara klinis yang stabil rata-rata secara teratur tercapai sesudah 3 miggu sehingga pada saat itu fiksasi bisa dilepas.2,9,10 Pada fraktur korpus madibula suplai darah ke tempat fraktur sangat berarti. Tempat vaskularisasi endosteal relatif miskin seperti halnya pada rahang yang sudah berumur, dan terutama daerah simfisis, pengobatan bertendensi jadi lebih lama. Sebaliknya kayanya suplai darah dan aktivitas osteoblastik yang melimpah pada mandibula yang sedang tumbuh pada anak memastikan akan terjadi persatuan yang cepat.Sebuah fraktur simfisis pada pasien yang sudah berumur 40 tahun yang giginya terdapat pada garis fraktur tetap dipertahankan memerlukan waktu 6 minggu untuk imobilisasi (dasar 3 minggu + 1 minggu untuk tempat yang kurang menguntungkan + 1 minggu untuk umur yang diijinkan + 1 minggu untuk yang ditinggalkan pada garis fraktur). 9,10 y Metode Imobilisasi

Metode imobilisasi pada mandibula apabila terdapat gigi dikategorikan dalam 2 golongan, tergantung dari: a.fiksasi yang diterapkan pada gigi-gigi 1.pengawatan gigi (dental wiring) kemugkinan dapat: a.langsung dan b. Eyelet Pengawatan gigi geligi digunakan bila pasien memiliki seperangkat gigi yang mempunyai bentuk sesuai, baik sempurna maupun hampir sempurna. Banyak perbedaan pendapat mengenai jenis kekuatan (gauge) kawat yang dipakai, tetapi kawat lunak anti karat berdiameter 0,45 mm efektif. Kawat

13

ini memerlukan tarikan sebelum dipakai atau sebaiknya di renggangkan kira-kira 10%. Kalau hal ini tidak dilakukan maka kawat akan menjadi kendor sesudah dipasang beberapa hari. Harus berhati-hati agar jangan sampai regangan berlebih karena kawat menjadi keras dikerjakan dan mudah rusak Pengawatan langsung yang paling sering digunakan adalah sistem eyelet, pada sistem ini kawat dipilinkan satu sama lain untuk membentuk loop, kedua ujung kawat di lewatkan ruang interproksimal, dengan loop tetap disebelah bukal. Salah satu ujung kawat dilewatkan di sebelah distal dari gigi distal dan kembalinya di bawah atau melalui loop, sedangkan ujung lainnya ditelusupkan pada celah interproksimal mesial dari gigi distal. Kedua ujung kawat dipilinkan satu sama lain, dipotong dan dilipat pada aspek mesial gigi mesial. Akhirnya loop dikencangkandengan cara memilinnya.9,10 Beberapa eyelet bisa di tempatkan pada gigi posterior untuk mendapatkan tempat perlekatan kawat atau elastik yang digunakan untuk fiksasi maksilo-mandibular. Sistem eyelet tidak rumit dan mudah dilakukan ini ideal untuk penangan kasus dengan cepat yang membutuhkan stabilitas sementara, atau apabila durasi anastesi harus dikurangi. Empat eyelet, dengan fiksasi maksilomandibular yang baik sering mendapatkan hasil immobilisasi mandibular yang memuaskan untuk merawat fraktur subkondilar unilateral dengan pergeseran hanya sedikit.2 2.berlengkung 3.splin kap B. fiksasi langsung pada tulang

2.1.3 Perforasi sinus/ oroantral fistula Tindakan pencabutan gigi-gigi posterior rahang atas terutama pada gigi molar dan premolar yang tidak hati-hati dan penggunaan elevator dengan tekanan yang berlebihan ke arah superior dalam upaya pengambilan fragmen atau ujung

14

akar gigi molar dan premolar kedua atas melaui alveolus dapat menyebabkan terbentuknya lubang antara prossesus alveolaris dengan antrum.2 Oroantral fistula yang terjadi segera setelah tindakan pencabutan, apabila kecil dan segera dilakukan perawatan dengan cepat dan benar cenderung sembuh spontan karena adanya proses pembekuan darah yang mampu menutup pembukaan yang terjadi.11 Oroantral fistula yang tidak segera ditangani, sehingga lubang yang terbentuk bertahan lebih lama, maka traktus akan mengalami epitelisasi, daerah rongga mulut seringkali mengalami proliferasi jaringan granulasi atau jaringan ikat dan jika berlanjut dapat menyebabkan terjadinya infeksi dan dipercepat pada pencabutan gigi yang mengalami infeksi periapikal. Perawatan yang tidak benar, menyebabkan infeksi dapat menyebar ke arah sinus melaui lubang oroantaral sehingga dapat menyebabkan terjadinya sinusitis maksilaris.2 Secara umum, tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah agar tidak terjadi oroantral fistula adalah dengan melakukan foto rontgen terlebih dahulu sebelum tindakan pencabutan gigi untuk mengetahui posisi akar gigi posterior rahang atas yang letaknya dekat dengan antrum dan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyakit periapikal pada jaringan disekitar ujung akar gigi. Pengontrolan tekanan yang diberikan pada instrumen dan tindakan yang selalu berhatihati multak dilakukan sehingga terjadinya oroantral fistula dapat dihindari.12 Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan untuk penutupan oroantral fistula. Pemilihan metode dibuat berdasarkan cara yang telah dilakukan dalam setiap kasus tertentu, dengan mengobservasi prinsip dasar pembedahan yang diperlukan.13 Daerah kerusakan dan adanya suatu oroantral fistula dapat dilakukan penutupan dengan pembuatan flap. Penentuan desain flap perlu dipertimbangkan agar suplai darah tetap memadai untuk menghindari terjadinya nekrosis dan hilangnya jaringan oleh karena hilangnya sirkulasi darah yang sempurna. Flap harus bebas dari semua perlekatan periosteal agar dapat berotasi atau berubah letak untuk menutupi kerusakan yang terjadi tanpa membuat tekanan pada

15

jaringan. Flap harus di desain agar garis sutura tidak diletakkan di daerah perforasi dan semua margin yang diperlukan dapat diperoleh dan dipertahankan dengan cara penjahitan.13 Beberapa prosedur yang disarankan untuk menutup oroantral fistula yang terjadi diantaranya adalah:14,15 y Penutupan oroantral fistula yang terletak di antara gigi dilakukan dengan insisi melibatkan mukoperiosteum di daerah distal gigi di anterior kemudian melewati daerah oroantral fistula dilanjutkan ke daerah mesial gigi di posterior. Insisi juga di lakukan pada daerah palatal. Setelah itu dilakukan pengurangan tinggi tulang alveol daerah yang mengalami pembukaan kemudian tepi mukosa yang di insisi diangkat dan disatukan kemudian dilakukan penjahitan. Luka pada bagian palatal dibiarkan terbuka untuk mempercepat penyembuhan.
y

Oroantral fistula yang terjadi pada daerah yang tidak bergigi (kehilangan tuberositas maksilaris) yang tidak sengaja setelah pencabutan dapat dilakukan dengan pengurangan pada dinding bukal dan palatal agar terjadi adaptasi flap jaringan lunak bukal dan palatal. Flap jaringan lunak dibentuk secara konservatif agar membentuk suatu garis kemudian flap dijahit.13

Flap bukal merupakan prosedur yang sederhana.Flap bukal dapat dikombinasikan dengan prosedur Caldwell-luc yang digunakan sebagai jalan masuk ke sinus maksilaris bila diperlukan.15 Kelebihan teknik ini adalah mudah di mobilisasi, keterampilan yang minimun dan waktu yang diperlukan lebih singkat. Sedangkan kekurangannya adalah penyatuan jaringan pada flap bukal tidak baik sehingga disarankan untuk penutupan oroantral fistula yang kecil.13

Jaringan yang membentuk lingkaran perifer dari fistula dieksisi dan sisa jaringan mukosa palatal di de-epitelisasi untuk memberikan vaskularisasi yang baik pada daerah yang mengalami kerusakan agar dapat memperlebar flap dan memudahkan penjahitan kemudian

16

dilakukan insisi divergen atau melebar melalui mukoperiosteum dibuat pada pembukaan oroantral ke superior sampai pada mukobukal fold, dan insisi dari flap ini diangkat untuk pembukaan alveolus lateral dibawahnya. Melalui insisi periosteal ini dilakukan pengurangan ketebalan untuk memperpanjang dan mengendorkan flap dan dilakukan penjahitan. Penggunaan antibiotik diindikasikan setelah prosedur diatas untuk dan dekongestan mempertahankan

kesehatan antrum dengan mencegah infeksi dan memberikan drainase secara fisiologis.15 y Teknik flap palatal dilakukan dengan melibatkan insisi dan pengambilan flap mukoperiosteal dan dijahit pada jaringan deepitelisasi yang sudah disiapkan. Perlu perhatian yang lebih terhadap desain flap agar dapat terjadi rotasi dan posisi yang benar. Flap palatal yang didesain dengan baik adalah tebal dan memiliki suplai darah yang sempurna yang diperlukan untuk penyembuhan. Prosedur tersebut mengakibatkan terbukanya tulang palatal dimana perlu dilakukan dresing sampai terbentuknya jaringan granulasi.15 Kelebihan teknik ini adalah lebih mudah dibentuk untuk menutup kerusakan yang terjadi karena mukosa palatal lebih tebal dan lebih padat serta penyatuan dari flap palatal lebih baik sehingga flap palatal lebih dipilih untuk fistula yang kambuh dan lebih besar sedangkan kekurangannya adalah prosedur pembedahannya lebih sulit.11 Adapun tahapan yang dilakukan adalah melakukan eksisi lingakaran jaringan lunak pada oroantral fistula kemudian dibuat desain flap palatal dengan ketebalan penuh mengikutsertakan arteri palatine dalam flap sehingga dapat ikut terotasi selanjutnya dilakukan pemutaran dan penjahitan dari flap.15

17

Gambar 2: Pembuatan bukal flap

Terlepas dari teknik penutupan yang digunakan, keberhasilan penutupan oroantral fistula tergantung pada pengontrolan infeksi sinus, pengambilan jaringan sinus yang berpenyakit dan drainase nasal yang memadai. Infeksi sinus harus dikontrol sebelum pembedahan melalui pemberian antibiotik spectrum luas, dekongestan dan tetes hidung.6 Aliran antara oroantral dapat di hindari dengan pembuatan basis akrilik yang sesuai yang dapat menutupi kerusakan yang terjadi tanpa masuk kedalamnya.5 Jaringan sinus yang berpenyakit seperti adanya polip dihilangkan melalui prosedur Caldwell-Luc dan drainase melalui pembuatan jendela nasoantral pada meatus nasalis inferior.2 Dapat diambil satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya oroantral fistula adalah dengan pengambilan foto rontgen terlebih dahulu sebelum pencabutan gigi dikerjakan, tindakan yang selalu berhati-hati dalam melakukan pencabutan, melakukan tes tiup dan kumur setelah pencabutan untuk mendeteksi apakah terjadi kecelakaan terbukanya antrum atau tidak, sehingga bila terjadi dapat segera diketahui dan dilakukan perawatan dengan cepat dan benar serta komplikasi yang lebih parah dapat dihindari.12 2.1.4 Pergeseran ke dalam mandibula Pergeseran mandibula biasanya hanya melibatkan gigi molar, sedangkan kanalis mandibularis dan ruang submandibularis adalah bagian yang sering mengalami pergeseran ini. Ujung akar molar ketiga baik yang sudah

18

erupsi/impaksi sering sangat dekat letaknya terhadap tulang kortikal dari bundle neuromuscular canalis alveolar inferior, seperti terbukti dari seringnya laserasi. Film periapikal prabedah akan mengungkapkan kondisi ini. Apabila terdapat dilaserasi maka diperlukan pengeluaran molar ketiga yang menjadi masalah dan mengungkit akarnya dengan sangat hati-hati. Radiograf sangat membantu untuk menentukan adanya ujung akar yang tergeser sangat dalam ke ruang submandibula adalah jarang.2 Penatalaksanaan pergeseran mandibula: pasien diberitahu tentang keadaan yang ada dan dirujuk. Pada kasus pergeseran ke dalam canalis alveolaris inferior, pengeluaran harus dilakukan segera sedangkan pada kasus pergeseran ke dalam ruang submandibularis, pembedahan biasanya ditunda untuk

memungkinkan terjadinya fibrosis dulu, sehingga terjadi imobilisasi frakmen akar. Pendekatan ke arah canalis adalah dengan flap mukoperiosteal bukal yang cukupbesar dan kemudian melalui alveolus dan dekortikasi lateral ke bukal (pengambilan segmen datarn bukal). Dekortikasi memberikan jalan masuk yang bagus dan memungkinkan dekompresi, atau memperbaiki saraf yang cedera. Ruang submandibula biasanya dicapai dengan membuat flap envelope lingual yang cukup besar direfleksikan dari secvikal gigi. M.Mylohyoideus disisihkan sementara sambil memperhatikan n. lingualis.2 2.1.5 Empisema Empisema merupakan suatu keadaan terkumpulnya udara dalam jaringan atau organ secara patologis. Empisema yang terjadi pada daerah subkutan dapat terjadi bila udara masuk ke daerah subkutan kemudian terperangkap di jaringan ikat longgar. Udara yag terperangkap sering terbatas hanya pada daerah kepala dan leher saja, namun penyebaran yang lebih luas dapat terjadi sampai ke daerah parafaringeal dan retrofaringeal. Kondisi ini sangat berotensi untuk meluas ke mediastinum samapai ke rongga thorak.16,17 Etiologi: empisema pada daerah kepala dan leher dapat terjadi karena pembedahan molar tiga atau rupturnya barier intra oral. Pada tahun 1957 Shovelton mengklasifikasikan penyebab empisema subkutan sebagai berikut:18,19

19

Udara yang dikeluarkan langsung pada saat pengambilan tulang dan pemotongan gigi dengan bur, pemakaian semprotan udara bertekanan, penyemprotan sinus dengan hydrogen perioksida, banyaknya laserasi jaringan pada saat odontektomi (kesalahan operator).

Selama pembedahan pasien sering berkumur keras, sering batuk selama atau setelah pembedahan terutama dengan mulut tertutup, meniup terompet atau balon setelah pembedahan/perawatan (kesalahan pasien).

Banyaknya kasus empisema yang terjadi akibat penggunaan high speed turbine.16,17,18

Empisema yang terjadi dapat disertai infeksi sekunder karena masuknya flora normal yang ada di rongga mulut ke dalam jaringan ikat longgar. Laporan penelitian Cunliffe dan Ali dkk, mengatakan adanya bakteri yang terdapat di dalam kompresor yaitu pseudomonas aerogenosa 15-24% dan Legionella pneumophilia. Legionella pneumophilia ini dihubungkan dengan keberadaan amuba. Dari sejumlah sampel yang diambil ternyata 12% ditemukan amuba. Selain udara yang dapat menyebabkan empisema yang terjadi karena terperangkapnya udara dalam jaringan dan infeksi sekunder disebabkan oleh dorongan udara yang dapat menimbulkan komplikasi sekunder yang tidak terduga.16,17,18 Penatalaksanaan: pada empisema subkutan, selama atau setalah pembedahan tidak ada perawatan aktif yang diperlukan, tetapi perlu diyakinkan pasien agar tidak takut dan gelisah. Pada kondisi awal kita dapat memberikan pertolongan berupa: y y Pipi ditekan dengan jari untuk mengeluarkan udara di jaringan. Penggunaan tampon pada luka, dalam hal ini flap tidak dijahit dengan rapat. y Penggunaan kompres es pada muka untuk mencegah pembengkakan berlanjut. y Pengambilan udara dengan alat suntik (needle puncture).

20

Yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan adanya emboli udara bahkan masuknya mikroorganisme ke dalam ruang jaringan. Bila terjadi gangguan pernapasan dianjurkan untuk dilakukan trakheotomi. Pengobatan dapat dilakukan dengan memberikan medikamentosa berupa antibiotic, analgetik serta bed rest. Dalam 3 atau 4 hari bahkan sampai seminggu pembengkakan akan berkurang secara menyeluruh karena udara diserap secara spontan dan terjadi penyembuhan.16,18 2.1.6 Laserasi Gingiva dan luka bakar Cedara jaringan lunak yang paling umum adalah lecet (luka sobek) dan luka bakae/abrasi. Lecet sering diakibatkan oleh retraksi berlebihan dari flap yang kurang besar. Sobeknya mukosa sering terjadi pada tempat yang tak diharapkan yaitu pada tepi tulang, atau pada tempat penyambungan tepo-tepi flap. Komplikasi ini bisa dihindari dengan membuat flap yang lebih besar dan menggunkanan retraksi yang ringan saja. Lecet akibat elevator, scalpel, dan istrumen putar sangatlah jarang terjadi. Lecet dapat dihindari dengan perhatian yang cermat dari operator dan asistennya. Sesudah memberitahu pasien, penjahitan dilakukan jika diindikasikan. Luka bakar/ abrasi sering merupakan akibat dari tertekannya bibir yabg dalam keadaan teranestesi oleh pegangan handpieces lurus. Luka pada bibir dihindari dengan melakukan kerjasama yang baik dengan asisten pada waktu operasi. Luka bakar labial bisa diatasi dengan aplikasi salep antibiotic atau steroid, yaitu bacitracin, atau bethamethasone (valisone).2 2.1.7 Cedera saraf Kerusakan saraf sangat mungkin terjadi pada tindakan operasi gigi molar tiga impaksi dengan frekuensi berkisar 0,5-5% .20 Saraf yang sering cedera selama pencabutan dan pembedahan gigi adalah divisi ketiga dari N. trigeminus. Pada umumnya kerusakan saraf akan mengalami perbaikan secara spontan terutama saraf alveolaris inferior karena terletak dalam kanalis mandibula sehingga ujung-ujung saraf yang rusak dapat dengan lebih baik mendekat secara spontan.

21

Saraf alveolaris inferior : Jejas pada saraf alveolaris inferior terjadi secara primer karena hubungan anatominya dengan gigi molar tiga bawah. Posisi keduanya dapat ditentukan secara radiografi dengan foto panoramik. Secara statistik, faktor yang berhubungan dengan insidensi kerusakan saraf alveolaris inferior pada waktu tindakan pengangkatan gigi molar tiga adalah full bony impaction, impaksi horizontal, pengggunaan bur, apeks gigi pada atau dibawah neurovasculer bundle, bundle terlihat pada waktu tindakan dan perdarahan yang banyak pada waktu waktu operasi.
20

Faktor lain adalah umur pasien karena makin

tua maka semakin sulit tindakan.


y

Saraf lingualis: Kerusakan saraf lingualis lebih sulit diterangkan dan lebih mengganggu pasien karena akan menyebabkan sensasi rasa yang abnormal dan lebih sulit mengalami perbaikan. Diseksi anatomi menunjukan variasi posisi saraf lingualis dan dapat melintas pada daerah retromolar pad. Dengan demikian saraf ini dapat mengalami kerusakan oleh elevasi flap dan retraksi, pengeluaran folikel dan penjahitan. Tidak seperti pada saraf alveolaris inferior, maka pada kerusakan saraf lingualis teknik operasi memegang peran penting. Flap harus didesign lebih kearah bukal sehingga dapat menghindari retromolar pad. Flap ligual jangan dielevasi, jangan memakai lingual bone-splitting technique, dan jangan melakukan kuretase secara agresif serta jahitan pada lingual harus ditempatkan superfisial.20

Saraf mentalis: paling sering cedera pada pembuatan flap bukal di region premolar bawah. Cabang n. mentalis mudah terpotong selama pembuatan flap atau megalami cedera regangan akibat retraksi. Pada rahang tak bergigi, kondisi atropik, yang merupakan akibat sekunder dari dehisense tulang, n. alveolaris inferior, n. lingualis dan n. mentalis mungkin terletak superficial, menempel pada basis mandibula.2

22

Evaluasi kerusakan saraf Bila terjadi kerusakan saraf, maka daerah yang mengalami sensasi abnormal harus didokumentasikan sehingga perbaikan saraf dapat dicatat dengan akurat. Demikian pula dengan sensasi rasa pada lidah (Manis, asin, pahit, asam). Terapi yang dapat diberikan untuk regenerasi saraf adalah methy cobalt, vitamin B kompleks dan fisioterapi. Follow up dilakukan secara periodik. Perbaikan saraf dimulai 6-8 minggu dan selesai 6-9 bulan. Terdapat pula kemungkinan terjadi perbaikan 18 bulan-24 bulan. Follow up yang dianjurkan adalah evaluasi tiap 2 minggu selama 2 bulan, evaluasi tiap 6 minggu untuk 6 bulan berikut, evaluasi tiap 6 bulan selama 2 tahun dan evaluasi tahunan untuk tahun berikutnya. Kerusakan saraf dapat pula disebabkan oleh hematoma dan fibrosis akibat penyuntikan anestesi lokal.20,21

2.2 Kelanjutan dan komplikasi pasca-Pencabutan 2.2.1 Perdarahan Perdarahan ringan dari alveolar adalah normal apabila terjadi pada 12-24 jam pertama sesudah pencabutan atau pembedahan gigi. Penekanan oklusal dengan menggunkan kasa jalan terbaik untuk mengontrolnya dan dapat merangsang pembentukan bekuan darah yang stabil. Apabila perdarahan cukup banyak, lebih dari 1 unit (450 ml) pada 24 jam pertama pada pasien dewasa, harus dilakukan tindakan segera untuk mengontrol perdarahan. Periksalah pasien sesegera mungkin. Tenangkan pasien, periksalah tanda-tanda vital (denyut nadi, pernapasan, tekanan darah). Jika pasien syok, misalnya diaforetik (berkeringat) dengan denyut yang lemah, dan cepat serta pernapasan yang dangkal dan cepat, disertai dengan turunnya tekanan darah, atau kondisi pasien sedang akan menuju syok, maka diperlukan transportasi secepatnya menuju ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang memadai untuk mengatasi hal tersebut.2 Perdarahan pasca ekstraksi umumnya disebabkan oleh faktor lokal, seperti :
y y

trauma yang berlebihan pada jaringan lunak mukosa yang mengalami peradangan pada daerah ekstraksi

23

y y

tidak dipatuhinya instruksi pasca ekstraksi oleh pasien tindakan pasien seperti penekanan soket oleh lidah dan kebiasaan menghisap-hisap

y y

kumur-kumur yang berlebihan memakan makanan yang keras pada daerah ekstraksi

Yang pertama harus kita lakukan adalah tetap bersikap tenang dan jangan panik. Berikan penjelasan pada pasien bahwa segalanya akan dapat diatasi dan tidak perlu khawatir. Alveolar oozing adalah normal pada 12-24 jam pasca ekstraksi gigi. Penanganan awal yang kita lakukan adalah melakukan penekanan langsung dengan tampon kapas atau kassa pada daerah perdarahan supaya terbentuk bekuan darah yang stabil. Sering hanya dengan melakukan penekanan, perdarahan dapat diatasi.4,5,6 Jika ternyata perdarahan belum berhenti, dapat kita lakukan penekanan dengan tampon yang telah diberi anestetik lokal yang mengandung

vasokonstriktor (adrenalin). Lakukan penekanan atau pasien diminta menggigit tampon selama 10 menit dan periksa kembali apakah perdarahan sudah berhenti. Bila perlu, dapat ditambahkan pemberian bahan absorbable gelatine sponge (alvolgyl / spongostan) yang diletakkan di alveolus serta lakukan penjahitan biasa.2,5 Bila perdarahan belum juga berhenti, dapat kita lakukan penjahitan pada soket gigi yang mengalami perdarahan tersebut. Teknik penjahitan yang kita gunakan adalah teknik matras horizontal dimana jahitan ini bersifat kompresif pada tepi-tepi luka. Benang jahit yang digunakan umumnya adalah silk 3.0, vicryl 3.0, dan catgut 3.0. perdarahan yang sangat deras misalnya pada terpotongnya arteri, maka kita lakukan klem dengan hemostat lalu lakukan ligasi, yaitu mengikat pembuluh darah dengan benang atau dengan kauterisasi. Pada perdarahan yang masif dan tidak berhenti, tetap bersikap tenang dan siapkan segera hemostatic agent seperti asam traneksamat. Injeksikan asam traneksamat secara intravena atau intra muskuler.4,5,6

24

2.2.2 Nyeri Pengontrolan rasa sakit sangat tergantung pada dosis dan cara pemberian obat/kerja sama pasien. Rasa sakit pada pada awal pencabutan gigi, terutama sesudah pembedahan untuk gigi erupsi maupun impaksi, dapat sangat mengganggu. Orang dewasa sebaiknya mulai meminum pengontrol rasa sakit sesudah makan tetapi sebelum timbulnya rasa sakit. Pada delapan jam pertama setelah pembedahan, dosis dewasa untuk obat analgesic non-narkotik/narkotik dapat dilipatgandakan. Meskipun control nyeri tidak menimbulkan masalah pada anak-anak, baik karena sifatnya atau sifat dari prosedur yang dialaminya, suspense pediatric yang berisi agen anrkotik atau kombinasi non-

narkotik/narkotik dapat digunakan. Lebih sering dosis resep yang diberikan lebih rendah dari yang seharusnya ketimbang lebih tinggi karena sifat hati-hati yang timbul akibat seringnya penyalahgunaan obat. Meneruskan penggunaan analgesic narkotik sesudah 24 jam atau 48 jam pasca-pencabutan, tidak dianjurkan. Pasien dengan hati-hati diarahkan unuk mengurangi dosis analgesic secara bertahap, misalnya dari dosis awal obat narkotik/non narkotik yang tinggi di kurangi menjadi dosis yang lebih rendah, dan kemudian disusul dengan obat analgesic non-narkotik yang tinggi dan akhirnya dosis yang lebih rendah dari obat yang sama.2 2.2.3 Edema Edema merupakan kelanjutan normal dari setiap pencabutan dan pembedahan gigi, serta merupakan reaksi normal dari jaringan terhadap cedera. Edema adalah reaksi individual, yaitu trauma yang besarnya sama, tidak selalu mengakibatkan derajat pembengkakan yang sama baik pada pasien yang sama atau berbagai pasien. Usaha-usaha untuk mengontrol edema mencangkup termal (dingin), fisik (penekanan), dan obat-obatan.2 y Aplikasi dingin selama 24 jam pertama sesudah pembedahan biasanya bermanfaat.

25

Penekanan dilakukan dengan sebungkus es pada region fasial maupun servical. Pembalut tekanan biasanya digunakan pada pembedahan oral mayor untuk membatasi terjadinya edema maupun hematoma.

Obat yang paling sering digunakan adalah jenis steroid yang diberikan secara parenteral, oral atau topical sebagai pembalut alveolar. Absorsi sistemik yang cukup besar dari steroid yang diaplikasikan secara topical juga ditemukan kerusakan. Walaupun pembengkakan pasca bedah mengganggu estetik tetapi hanya sementara, biasanya pada kebanyakan pasien sampai 7-20 hari.2

Gambar 3: Penekanan dilakukan dengan sebungkus es pada region fasial

2.2.4 Reaksi terhadap obat Reaksi alergi obat terhadap analgesic bisa terjadi, tetapi relative jarang. Yang umum adalah alergi aspirin yang termanifestasi sebagai ruam kulit (urtikaria), angiodema atau asma. Reaksi alergi yang akut terhadap antibiotic (umumnya penisilin), dapat mematikan. Apabila diperhatikan obat berpotensi merangsang reaksi alergi, pasien dianjurkan untuk menghentikan pemakaian obat sesegera mungkin. Pasien yang menunjukkan tanda-tanda reaksi yang

mencurigakan sebaiknya sesegera mungkin dibawa ketempat fasilitas perawatan yang lebih lengkap. Respon alergi sejati dapat diatasi dengan antihistamin (dyphenhidramin, 50 mg secara oral atau intramuskular), epinefrin (0,3 ml dari larutan 1:1000 subkutan atau intramuskular), dan steroid (hydrocortisone, 50-100

26

mg intramuskular). Reaksi alergi paling baik dicegah dengan jalan memeriksa riwayat paien selengkapnya.2

2.3

Komplikasi Beberapa Saat setelah operasi 2.3.1 Dry Socket Setelah pencabutan gigi terbentuk bekuan darah di tempat pencabutan, di mana bekuan ini terbentuk oleh jaringan granulasi, dan akhirnya terjadi pembentukan tulang secara perlahan-lahan. Bila bekuan darah ini rusak maka pemulihan akan terhambat dan menyebabkan sindroma klinis yg disebut alveolar osteitis (dry socket). Alveolar osteitis ini terjadi karena adanya perubahan plasminogen menjadi plasmin yang menyebabkan fibrinolisis pada bekuan darah di soket bekas pencabutan.

Gambar 4: Dry socket

Etiologi: Kerusakan bekuan darah ini dapat disebabkan oleh trauma pada saat ekstraksi (ekstraksi dengan komplikasi), dokter gigi yang kurang berhati-hati, penggunaan kontrasepsi oral, penggunaan kortikosteroid, dan suplai darah (suplai

27

darah di rahang bawah lebih sedikit daripada rahang atas). Kurangnya irigasi saat dokter gigi melakukan tindakan juga dapat menyebabkan dry socket. Gerakan menghisap dan menyedot seperti kumur-kumur dan merokok segera setelah pencabutan dapat mengganggu dan merusak bekuan darah. Selain itu, kontaminasi bakteri adalah faktor penting, oleh karena itu, orang dengan kebersihan mulut yang buruk lebih beresiko mengalami dry socket paska pencabutan gigi. Demikian juga pasien yang menderita gingivitis (radang gusi), periodontitis (peradangan pada jaringan penyangga gusi), dan perikoronitis (peradangan gusi di sekitar mahkota gigi molar tiga yang impaksi). Gambaran klinis Daerah paska pencabutan yang mengalami dry socket awalnya terisi oleh bekuan darah yang berwarna keabu-abuan yang kotor, kemudian bekuan ini hilang dan meninggalkan soket tulang yang kosong (dry socket). Tulang terekspos dan sangat sensitif. Penderita biasanya mengeluhkan sakit yang parah, dan dapat timbul bau tak sedap. Hal ini dapat terjadi kurang dari 24 jam setelah gigi dicabut, namun dapat juga terjadi 3-4 hari paska pencabutan. Kadang-kadang dapat terjadi pembengkakan dan limfadenopati. Frekuensi alveolar osteitis lebih tinggi pada rahang bawah dan di gigi daerah belakang (posterior). Dry socket dapat saja terjadi pada setiap pencabutan gigi namun lebih sering terjadi pada saat pencabutan gigi molar tiga impaksi. Kemungkinan terjadinya dry socket paling besar pada kelompok umur 40 tahun. Penatalaksanaan Bila pasien mengeluhkan rasa sakit paska pencabutan gigi, perlu dilakukan pemeriksaan radiograf untuk mengetahui apakah ada ujung akar yang tertinggal atau ada benda asing. Dry socket adalah suatu reaksi peradangan, namun dapat terinfeksi oleh bakteri. Oleh karena itu, tidak setiap kejadian dry socket membutuhkan perawatan dengan antibiotik. Hal penting dalam perawatan dry socket adalah irigasi. Irigasi dilakukan dengan larutan saline, atau hidrogen peroksida 3 % bila sudah terjadi infeksi. Palpasi yang hati-hati dengan menggunakan aplikator kapas membantu

28

dalam menentukan sensitivitas. Pembalut obat-obatan dimasukkan ke dalam alveolus. Pembalut diganti sesudah 24-48 jam., kemudian diirigasi dan diperiksa lagi. Kadang-kadang diperlukan resep analgesic.

Tabel 2. Pembalut obat-obatan Salep benzocaine Salep acrithesin Pasta BIPP Benzocaine Augenol 5% Benzocaine 1% Minyak cengkeh 6% Cholrobutanol 8% Bismuth subnitrate 20% Hyd. Wool fat 25% Benzocaine Iodoform 40% Petrolum 63% Aquaphor Petrolum 39% Preparat Komersial Pasta Sultans Dry socket: guaiacol, balsam peru, eugenol, dan chlorobutanol Pembalut D.S: kasa radiopak dijenuhkan dengan eugenol dalam petroleum putih Catatan: kasa biasa berukuran atau inci digunakan dan dianjurkan untuk pembalut obatobatan. Iodoform tidak dianggap sebagai bahan bakterisidal yang efektif dan mempunyai rasa yang tidak enak.

Proses penyembuhan dilai secara obyektif dan subyektif. Berkurangnya rasa sakit dan granulasi dengan epitelisasi ulang yang perlahan menggunakan tandatanda resolusi yang paling nyata. Jika terlihat nanah, maka diperlukan terapi antibiotic dan kultur. Kebanyakan dry socket sembuh sesudah 4-5 hari. Persistensi yang berkepanjangan, yaitu sampai lebih dari 10 hari, kemungkinan adanya osteitis akut atau osteomielitis. Pada perawatan dry socket yang timbul 2-3 bulan sesudah pencabutan. Kondisi ini dimanifestasikan sebagai sepsis dan kegagalan pembentukan bekuan darah yang terjadi bersama proses penyembuhan mukosa. Secara klinis, dry socket yang tertunda termanifestasi berupa pembengkakan dari daerah operasi yang sedang mengalami penyembuhan. Penatalaksaannya dengan jalan membuka kembali daerah pencabutan dibantu dengan anestesi local, kuretase ringan dan irigasi, diikuti dengan pengisian longgar menggunakan pembalut obat-obatan. Terapi antibiotic misalnya penisilin atau bila alergi eritromisin diberikan segera. Diperlukan pula penggantian pembalut setiap 24-48 jam sampai 2-3 kali. Apabila infeksi sudah terkontrol, biasanya ada suatu cacat menetap yang besar pada mukosa yang menimbulkan kendala dalam pembersihan mulut. Menganjurkan

29

pasien melakukan irigasi sendiri dirumah dengan menggunakan spuit disposable 10 ml, sering meningkatkan upaya kebersihan selam di rumah.2 Pencegahan: Wanita yang menggunakan kontrasepsi oral lebih beresiko mengalami dry socket saat pencabutan. Oleh karena itu sebaiknya tindakan pencabutan dijadwalkan pada hari di mana kadar estrogen rendah (yaitu saat tidak ada suplementasi estrogen, sekitar hari ke-22 hingga 28 dari siklus menstruasi).Irigasi yang baik selama tindakan pencabutan juga dapat mencegah terjadinya dry socket.Beberapa penelitian menganjurkan pemakaian obat kumur chlorhexidine 0.12 % segera setelahpencabutan dan 7 hari paska pencabutan dapat mencegah terjadinya dry socket. 2.3.2 Hematoma Dapat terjadi sedikit echymosis setelah pencabutan gigi terutama pada penderita usia lanjut. Pada hematoma terlihat luka memar pada jaringan. Pembengkakan dapat juga terjadi pada hematoma jika pada daerah tersebut mengalami banyak perdarahan dan lunak disentuh. Temperature tubuh dapat meningkat.

Gambar 5: hematoma dalam rongga mulut

Pada hematoma yang besar, perawatannya dapa diberikan antibiotic untuk mencegah infeksi pada clot/ bekuan darah. Aspirasi tidak pada tempatnya pada pasien terlihat dalam beberapa jam pada sebelum pembentukan bekuan darah.

30

Pasien harus diinformasikan bahwa pembengkakan akan menunjukkan perubahan warna dan terlihat luka memar dan akan menyebar hingga leher. Bila terdapat echymosis dan hematoma dapat diatasi dengan kompres es pada hari pertama dan selanjutnya dengan terapi panas.14 2.3.3 Trismus Trismus merupakan susahnya membuka mulut setelah ekstraksi gigi sering terjadi. Trismus dapat disebabkan oleh edema pasca bedah. Hal ini didukung pendapat Osmani, edema sekitar bekas pembedahan molar ketiga akan meyebabkan perubahan jaringan sekitarnya dan muskulus pengunyahan mengalami kontraksi sehingga akan menimbulkan trismus. Menurut Vriezen, trismus terjadi bukan karena meningkatnya volume dari muskulus karena edema dan infiltrate tetapi lebih disebabkan karena reaksi atas rasa sakit yang disebabkan oleh gerakan rahang.22,23

Gambar 6: salah satu perawatan pada trismus

31

Pembukaan intersisal biasanya tidak lebih dari 15-20 mm. reduksi rentang gerakan mandibula yang serupa terjadi pada spasme otot yang akut atau kelainan susunan internal dari sendi temporomandibular yang aku, kemungkinan ini harus ikut dipertimbankan. Jika terbukti ada infeksi, yaitu adanya pembengkakan, nyeri, demam, lemas maka diperlukan antibiotic. Trismus yang persisten kadang-kadang terjadi sesudeh hilangnya selulitis yang luas, tap bisa juga terjadi karena anestesi blok mandibula tanpa melibatkan tindakan pembedahan. Apabila tidak ada buktibukti infeksi akut, maka perawatan dilakukan dengan aplikasi panas, pemijatan dan latihan penggunan tongue blade untuk memperbaiki hubungan intersisal (beberapa tongue blade setebal celah intersisal dimasukkan sekaligus kemudian untuk meningkatkan lebar intersisal dilkukan latihan dengan memasukkan blade tambahan yang berlaku sebagai pengungkit sehingga bisa merenggangkan otototo yang terlibat).2 2.3.4 Infeksi Pencegahan infeksi dapat didasrkan atas potensi penyebaran infeksi, kemungkinan bakteremia atau keduanya, pencabutan suatu gigi yang melibatkan prose infeksi akut, yaitu perikoronitis atau abses, bisa mengganggu proses pembedahan. Terapi antibiotic yang sesuai (kadar penisilin terapetik dalam darah dicapai 1 jam sesudah pemberian secara oral) dan apabila diindikasikan, insisi dan drainase digunakan untuk mengontrol keadaan akut. Apabila akan segera dilakukan pembedahan, pengontrolan rasa sakit dengan anestesi local, menunggu 1 jam sesudah pemberian antibiotic akan member manfaat sebagai pelindung sebelum dilakukan insisi abses, drainase atau pencabutan gigi. 2 Infeksi pasca-bedah, abses atau selulitis bisa terjadi pada awal atau bersamasam dengan edema. Diagnosis banding ditentukan dengan adanya fakta bahwa infeksi biasanya diikuti oleh peningkatan rasa nyeri, lemas, dan demam. Perkembangan fluktuan merupakan tanda yang jelas dari adanya penanahan dan sering memerlukan aspirasi jarum untuk mengkonfirmasikannya diikuti dengan insisi dan drainase. Studi laboratorium juga sangat membantu dalam menentukan diagnosis, dimana leukositosis dan meningkatnya laju sedimentasi eritrosit (ESR)

32

biasanya menunjukkan adanya infeksi. Apabila ada tanda-tanda tersebut, maka perlu dilakukan tindakan untuk merawat infeksi, yaitu terapi antibiotic serta tindakan pembedahan dan terapi pendukung.2

33

BAB 3 PENUTUP

3.1

Kesimpulan Tindakan ekstraksi gigi merupakan suatu tindakan yang sehari-hari kita

lakukan sebagai dokter gigi Pencabutan bersifat irreversible dan terkadang menimbulkan komplikasi. Komplikasi digolongkan menjadi intraoperatif, segera sesudah operasi dan jauh sesudah operasi. Penatalaksanaan dari sebagian besar komplikasi baik intraoperatif, segera sesudah operasi dan jauh sesudah operasi merupakan bagian dari pekerjaan seorang dokter gigi. Beberapa kejadian bisa ditangani baik dengan jalan rujukan, misalnya, perdarahan akut atau berkepanjangan, pergeseran gigi atau frakmrn akar dan cedera saraf.

4.2 Saran Dengan adanya tulisan ini dokter gigi diharapkan lebih menguasai tentang pencegahan, pengenalan dan penatalaksanaan komplikasi ekstraksi gigi baik intraoperatif, segera sesudah operasi dan jauh sesudah operasi.

34

DAFTAR PUSTAKA

1. Santoso T.I, Poedjiastoeti W, Ariawan D. 2010. Perdarahan Pasca Ekstraksi Gigi, Pencegahan dan Penatalaksanaannya. Available in http://www.pdgi

online.com/v2/index.php?option=com_content&task=view&id=592&Itemid=1. Diakses 15 November 2010. 2. Pedersen, GW. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 3. Rendra. 2007. Penanganan Perdarahan Pasca Ekstraksi Gigi. Available in http://psmkgi.org/forums/showthread.php?t=284. Diakses 15 November 2010. 4. Scully C. and Cawson, RA. 1998. Medical Problems in Dentistry. 4th ed. London.: Wright. 5. Malame, SF. 2000. Medical Emergencies in the Dental Office. 5th ed. .; St.Louis: Mosby, Inc. 6. Hawkesford, JE. and Banks, JG. 1994. Maxillofacial and Dental Emergencie. Oxford: Oxford University Press. 7. Moore, JR. 1985. Surgery Of the Mouth and Jaws. London: Balckwell Scientific Publicatins. Pp: 395-408. 8. Dhini. 2010. Komplikasi Langka Akibat Pembedahan Gigi Molar Tiga. Available in http://doktergigimuda.com/?p=16. Diakses 16 November 2010. 9. Banks,P. 1992. Fraktur Pada Mandibula Menurut Killey. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 10. Mathong, Robert H. et al. 1995. Trauma of the Nose and Paranasal Sinuses. United States of Amerika: Thieme. 11. Yilmas, Suslu, Gursel. 2003. Treatment of Oroantral Fistula: Experience with 27 Cases. Amer J of Otolaryngol; 24:4. Pp: 221-3. 12. Surjanto. 2000. Problem dan Penanganan Oroantral Fistula. Maj Ked Gigi; 33: 2.pp: 68-71.

35

13. McCarthy. 1967. Emergencies in Dental Practice. Philadelphia, London: WB. Sounders Co. pp: 438-40 14. Kruger, GO. 1967. Oral and Maxillofacial Surgery. 6th ed. Toronto: The C.V. Mosby Co. pp:335-7 15. Steiner and Thomson. 1977. Oral Surgery and Anesthesia. Philadelphia: WB. Sounders Co. pp: 356-9 16. Rusdy. H and Nurwiyadh. 2008. Empisema sebagai komplikasi pembedahan molar tiga bawah dengan menggunakan high speed turbine. Dentika Dental Journal; 13:1. pp: 90-92. 17. Fruhauf J, Weinke R, Pilger U. 2005. Soft tissue cervifacial emphysema after dental treatment. Arch Derm; 141. pp: 1437-40. 18. Mather AJ, Stoykewyeh AA, Curan JB. 2006. Cervicofacial adan mediastinal emphysema complicating a dental procedure. J Can Dent Assoc; 6. pp:565-8. 19. Pedlar J, Frame Jw. 2001. Oral and maxillofacial surgery in surgical endodontics. WB Saunders. pp: 81-5 2o. Pogrel, MA. 1990. Complications of third molar surgery. Oral and maxillofacial surgery clinics of North America. 21. Zwerner T, Fehrenbach MJ, Emmons M, Tiedemann MA. 2004. Mosbys Dental Dictionary. India: Elsevier. 22. Soemartono. 2003. Penggunaan mouth gage sederhana untuk perawatan trismus pasca pencabutan gigi. Majalah Kedokteran Gigi; Edisi Khusus Temu Ilmiah Nasional III:323. 23. Asmordjo, Muchlis. 1992.. Hubungan antara pembengkakan pipi dengan trismus pasca odontektomi impaksi gigi molar ketiga. Semarang: Kumpulan Makalah ilmiah Kongres PDGI XVIII; h. 521.

36

You might also like