You are on page 1of 37

Aspek-aspek Perkembangan Pembiasaan Anak Usia Dini Martha Christianti, S.

Pd Aspekaspek perkembangan anak usia dini yang sering menjadi perhatian pendidik adalah berkisar aspek kemampuan dasar yang terdiri dari: aspek kognitif, bahasa, motorik dan seni. Diluar aspek tersebut ada beberapa aspek perkembangan yang terlupakan. Aspek ini tidak dapat dipisahkan dan menjadi bagian dalam hidup anak-anak serta sangat penting bagi perkembangan anak. Aspek ini mengajarkan anak untuk menilai positif hidup dan potensi unik dalam dirinya, hidup berdampingan dengan orang lain, dan pada akhirnya mampu diterima dalam lingkungan, serta masih banyak lagi. Aspek pembiasaan dan perilaku ini menunjang berkembangnya aspek perkembangan yang berkaitan dengan kemampuan dasar. Aspek-aspek tersebut antara lain; aspek perkembangan moral, sosial, dan disiplin. Berikut ini penjelasan dari setiap aspek perkembangan anak dalam pembiasaan. A. Perkembangan Moral Pengertian perilaku moral secara umum adalah perilaku yang sesuai dengan standar moral dari kelompok sosial tertentu. Perilaku moral ini dikendalikan oleh konsep moral. Konsep moral terbentuk dari peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya. Jika ada perilaku moral maka diidentifikasikan perilaku tak bermoral dan amoral. Perilaku tak bermoral merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial atau konsep moral yang diakui masyarakat. Sedangkan perilaku amoral/non moral merupakan perilaku yang ditampilkan karena ketidakacuhan terhadap harapan kelompok sosial dan bisa saja terjadi karena orang tersebut belum memahami peraturan atau ketentuan moral yang ada dalam lingkungan tersebut (dilakukan tidak sengaja dilakukan). Perilaku moral negatif anak termasuk dalam kelompok perilaku amoral karena anak belajar untuk memahami peraturan yang berlaku dalam masyarakat. Contoh, ketika anak bertamu kerumah orang, anak langsung duduk di atas meja, 2

selayaknya di rumah sendiri. Anak berlaku seperti itu karena anak belum memahami dan belum tahu peraturan/tata krama bertamu kerumah orang. Setelah orang tua memberi tahu bahwa apa yang dilakukan anak tidak benar maka anak seharusnya tidak boleh melakukan hal yang sama sewaktu bertamu. Namun jika perilaku negatif tersebut tetap diulangi maka tindakan anak tidak dapat dikatakan sebagai perilaku amoral lagi tetapi perilaku tidak bermoral. Perkembangan moral pada anak-anak 1. Usia lahir sampai 3 tahun Seorang bayi yang baru dilahirkan merupakan makluk yang belum bermoral (amoral/non moral). Bayi atau anak-anak yang masih muda tidak mengetahui norma benar dan salah. Tingkah laku anak dikuasai oleh dorongan yang tidak dikuasai tingkah laku tersebut didasari dengan kecenderungan bahwa apa yang menyenangkan akan diulang, sedangkan yang menyakitkan atau yang tidak enak tidak akan diulang. Anak masih sangat muda intelek untuk menyadari dan mengartikan bahwa suatu tingkah laku adalah tidak baik kecuali jika hal itu menimbulkan rasa sakit. Pada usia 3 tahun seandainya disiplin telah ditanamkan dengan teratur pada anak maka anak akan mengetahui perbuatan apa yang diperbolehkan dan benar dan perbuatan apa yang tidak disetujui atau salah. Jika disiplin sudah mulai diajarkan sejak anak berusia 3 tahun tentang apa yang boleh/benar dan yang tidak/salah, maka anak akan semakin mengetahui perbuatan tersebut disetujui atau tidak oleh lingkungannya. 2. Usia 3 sampai 6 tahun Dasar-dasar moralitas dalam kelompok sosial harus sudah terbentuk pada usia 3 sampai 6 tahun. Anak tidak lagi terus menerus diterangkan mengapa perbuatan ini salah atau benar namun ditunjukkan bagaimana harus bertingkah laku dan jika tidak dilakukan maka anak akan memperoleh hukuman. Anak melakukan perbuatan baik tanpa tahu mengapa ia harus berbuat demikian. Anak melakukan perbuatan tersebut untuk menghindar hukuman yang mungkin dialami dari lingkungan sosial dan untuk mendapatkan pujian. 3

Usia 5 sampai 6 tahun, anak sudah harus patuh terhadap tuntutan atau aturan orang tua dan lingkungan sosialnya. Ucapan-ucapan orang lain seperti : tidak boleh, nakal, akan disosialisasikan anak dengan konsep benar atau salah. Penanaman konsep moral mungkin akan mengalami kesulitan karena sifat pembangkang terhadap perintah dan sifat-sifat egoisme dari dalam diri anak. 3. Usia 6 tahun sampai remaja Pada masa ini anak laki-laki maupun perempuan belajar untuk bertingkah laku sesuai dengan apa yang diharapkan oleh kelompok. Dengan demikian nilai-nilai atau kaidah-kaidah moral sebagian besar ditentukan oleh norma-norma yang ada dalam lingkungan kelompoknya. Pada usia 10 sampai 12 tahun anak dapat mengetahui dengan baik alasan-alasan atau prinsip-prinsip yang mendasari aturan. Kemampunanya sudah berkembang sehingga mampu membedakan macam-macam nilai moral serta menghubungkan konsep-konsep moralitas mengenai kejujuran, hak milik, keadilan dan kehormatan. Pada masa mendekati remaja, anak sudah mengembangkan nilai moral sebagai hasil pengalaman moralnya dengan anak lain. Nilai ini sebagian akan menetap sepanjang hidup dan akan mempengaruhi tingkah laku anak sebagaimana hal ini terjadi pada masa kanak-kanak. Sebagian lagi sedikit demi sedikit mengalami perubahan karena hubungan-hubungan dengan lingkungannya sehingga menimbulkan konflik-konflik karena nilai-nilai moral lingkungan yang berbeda dengan nilai-nilai yang sudah terbentuk pada diri anak. Teknik untuk menginternalisasi nilai moral pada anak : 1. Beri kesempatan anak untuk ikut serta atau terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan harapan kelompok sosialnya. 2. Kembangkan keinginan untuk melakukan hal yang benar dan menghindari yang salah. 3. Ikut bertindak untuk kepentingan bersama. 4

4. Memberikan reaksi menyenangkan pada saat anak melakukan hal yang benar dan reaksi yang tidak menyenangkan pada saat anak melakukan hal yang salah. Reinforcement positif (penguatan positif Reinforcement negatif (penguatan negatif) Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral pada anak : kurang tertanam jiwa agama pada setiap orang dalam masyarakat keadaan masyarakat yang kurang stabil banyak tulisan dan gambar yang tidak mengindahkan dasar moral tidak terlaksana pendidikan moral yang baik kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan moral sejak dini banyak orang melalaikan budi pekerti suasana rumah tangga yang kurang baik kurang ada bimbingan untuk mengisi waktu luang kurang tempat layanan bimbingan Menumbuhkan kecerdasan moral pada anak Menghidupkan imajinasi moral artinya menumbuhkan kemampuan individu untuk merenungkan mana yang benar dan mana yang salah. Perilaku moral anak tumbuh sebagai tanggapan terhadap cara anak diperlakukan di rumah dan di sekolah Anak dengan kecerdasan moral mempunyai perilaku yang baik, lembut hati daan mau memikirkan orang lain (empati). Usia 6 sampai 7 tahun anak sudah memiliki hasrat yang jelas untuk bersikap bijaksana, sopan, murah hati. Anak dengan kecerdasan ini biasanya melihat dunia melalui mata orang lain. 5

Moral terbentuk dari hasil meniru atau mempelajari bagaimana sikap terhadap orang lain yang ditangkap dari pengamatannya terhadap orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya. Membentuk kecerdasan moral dengan membicarakan masalah suara hati, keprihatinan etis, mengamati orang yang mempunyai kepribadian baik, dan membicarakan akibatnya jika tidak bersikap baik. Stimulasi perkembangan moral anak Menenggelamkan anak pada lingkungan usaha-usaha yang aktif. Orang tua menanamkan dasar pada anak untuk dapat mempercayai orang lain Memberikan rangsangan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya mengucapkan salam, dll. Orang tua menjalin hubungan yang erat dengan anak, membicarakan pada anak tentang masalah yang dialami sehari-hari. Masalah moral pada anak 1. Anak yang pendusta Sebab : Kekerasan dan kekasaran para orang tua dan guru Orang tua yang pendusta Kesadaran anak akan kekurangannya Ingin dipuji dan terdorong oleh nurani cinta diri Khayalan atau imajinasi Cerita bohong dari orang tua atau guru Solusi : Contoh teladan orang tua/guru dalam kehidupan sehari-hari Memberi tugas yang sesuai dengan kemampuan anak Memberikan reward dan hukuman yang sesuai dengan usia anak Memberikan sesuatu hal yang nyata/benar sehingga anak dapat mengikuti pelajaran moral 6

Memberikan pengertian pada anak tentang cerita sungguhan atau khayalan yang memberikan nilai moral 2. Anak yang pencuri Sebab : Anak tidak memperoleh sesuatu yang amat dibutuhkan Keinginan anak untuk berpetualang seperti kisah heroik yang pernah didengar. Meniru perbuatan orang lain Cemburu dan dendam Rasa ingin memiliki Solusi : Mencukupkan kebutuhan primer anak Adanya pengarahan ke arah yang positif dengan cara mengalihkan anak pada kegiatan yang bermanfaat Mengenalkan konsep sayang terhadap sesama dan toleransi terhadap orang lain serta konsep hal milik 3. Anak yang pendengki Sebab : Tidak terpenuhinya kebutuhan pokok anak Ketidakadilan terhadap anak Membandingkan anak dengan anak yang lain Perhatian yang tidak seimbang Solusi : Menciptakan suasana yang adil dan bijaksana Memperkuat aqidah agama 4. Anak yang perusak Sebab : Naluri anak yang serba ingin tahu tentang sesuatu yang baru baginya Marah atau cemburu Sebab-sebab lain yang tidak disadari Solusi : 7

Menyediakan tempat khusus untuk bermain Menyediakan mainan/media yang murah harganya namun dapat merangsang kreativitas anak. 5. Anak yang mengumpat dan pengadu domba Sebab : Meniru orang dewasa Marah karena keinginannya tidak dapat tercapai Mengadari kesalahannya Solusi : Menanamkan ajaran agama pada anak sedini mungkin Menyediakan lingkungan yang baik 6. Anak yang tidak sopan Sebab : Anak belum dikenalkan perilaku sopan yang berlaku dalam masyarakat Hal yang dijadikan biasa karena dianggap masih anak-anak Solusi Memberikan dan mengajarkan kesopanan pada anak secara bertahap, latihan dan pengulangan. Tahapan tersebut adalah : o Flash (pemberitahuan) o Splash (pengulangan) o Action (aksi) 7. Anak yang kurang bertanggung jawab Sebab : Kurang perhatian dan kasih sayang dari orang tua Solusi : Mengajarkan dan mengenalkan peraturan-peraturan yang ada disekitar dan yang berlaku Melatih anak untuk mengerjakan tugas yang sudah mampu dikerjakan. B. Perkembangan Disiplin 8

Disiplin berasal dari kata disciple yang artinya adalah belajar secara sukarela mengikuti pemimpin dengan tujuan untuk dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan secara optimal. Pokok utama disiplin adalah peraturan. Peraturan adalah pola tertentu yang ditetapkan untuk mengatur perilaku seseorang. Peraturan yang efektif untuk anak adalah peraturan yang dapat dimengerti, diingat dan diterima. Disiplin sangat penting diajarkan pada anak untuk mempersiapkan anak belajar hidup sebagai makluk sosial. Bentuk-bentuk disiplin antara lain disiplin karena paksaan dan disiplin tanpa paksaan. Disiplin dengan paksaan (otoriter) adalah pendisiplinan secara paksa, anak harus mengikuti aturan yang telah ditentukan. Jika anak tidak melakukan maka anak akan dihukum. Sedangkan disiplin tanpa paksaan (permisif) adalah disiplin dengan membiarkan anak mencari batasan sendiri. Adapun tujuan disiplin pada anak terbagi atas tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek yaitu untuk membuat anak-anak terlatih dan terkontrol, dengan mengajarkan bentuk perilaku yang pantas dan tidak pantas bahkan yang masih asing bagi mereka. Tujuan jangka panjang antara lain untuk membentuk perkembangan pengendalian diri sendiri (self control dan self direction), anak-anak dapat mengarahkan diri sendiri tanpa pengaruh dan pengendalian dari luar. Komponen disiplin antara lain peraturan (petunjuk bertingkah laku), konsistensi (memotivasi tingkah laku yang baik), penghargaan (membuat anak mengerti apakah perilakunya dapat diterima atau tidak), dan hukuman sebagai akibat melanggar peraturan (mengajarkan anak untuk mengerti aturan, menghentikan tingkah laku yang salah). Oleh karena itu untuk membentuk kedisiplinan pada anak maka buat peraturan atau sosialisasikan peraturan yang berlaku, kemudian konsisten terhadap ketentuan dan perjanjian peraturan sebelumnya. Berikan penghargaan pada anak jika anak mematuhi peraturan dan beri hukuman jika anak melanggar peraturan. Taraf perkembangan disiplin menurut Kohlberg : 1. Disiplin karena ingin memperoleh kesayangan atau takut dihukum. 9

Contoh : anak mengikuti peraturan karena ingin disayang orang tua atau orang dewasa. Anak tidak mempunyai perasaan bersalah jika anak melakukan pelanggaran. 2. Disiplin jika kesenangan dipenuhi Contoh : anak mau tidur siang setelah dibelikan es cream 3. Disiplin karena mengetahui ada tuntutan di lingkungan Contoh : anak semakin memahami ada aturan di luar lingkungannya seperti kesekolah dengan pakaian seragam 4. Disiplin karena sudah ada orientasi terhadap otoritas Contoh : anak tahu aturan untuk tidak boleh buang sampah sembarangan 5. Disiplin karena sudah melakukan nilai-nilai sosial, tata tertib atau prinsip-prinsip Contoh : anak mulai dapat memilah yang baik dan yang buruk Perkembangan disiplin anak usia dini 1. Masa bayi 0 sampai 3 tahun Pada masa ini anak sudah mampu mengikuti pola disiplin walaupun sedikit menyulitkan. Disiplin dapat terbentuk berdasarkan pembentukan kebiasaan orang tua, misalnya : menyusui tepat waktu, makan tepat waktu, tidur tepat waktu, dan toilet training. 2. Masa kanak-kanak usia 3 sampai 8 tahun Anak mulai patuh terhadap tuntutan atau aturan orang tua dan lingkungan sosialnya, dapat merapikan kembali mainan yang habis digunakan, mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, membuat peraturan/tata tertib di rumah secara menyeluruh. Teknik yang dapat dilakukan untuk menerapkan disiplin pada anak : 1. Teknik cinta menolak, orang tua tidak langsung memperhatikan kemarahan atau tidak senang terhadap perilaku yang kurang baik atau tidak dapat diterima 10

oleh orang lain. Caranya : mengabaikan/membelakangi anak, pura-pura tidak melihat, menolak untuk bicara dengan anak, menolak untuk mendengar atau tidak memenuhi keinginan anak saat itu. 2. Teknik perbawa, orang tua memberi penjelasan atau alasan mengapa anak harus mengubah tingkah laku mereka. Caranya : dengan memberi contoh melalui bentuk cerita (fiktif atau real), menjelaskan konsekuensi dari perbuatan salah bagi anak maupun orang lain menggunakan hukuman atau penghargaan. C. Perkembangan Sosial Perkembangan sosial adalah proses pemerolehan kemampuan untuk berperilaku yang sesuai dengan keinginan yang berasal dari dalam diri seseorang dan sesuai dengan tuntunan dan harapan-harapan sosial yang berlaku dalam masyarakat. Proses penanaman nilai sosial tersebut dilakukan melalui tahap imitasi, identifikasi dan internalisasi. Proses imitasi adalah proses peniruan terhadap tingkah laku atau sikap dan cara pandang orang dewasa yang dilihat anak secara sengaja dari orang-orang terdekat. Proses Identifikasi adalah proses terjadinya pengaruh sosial pada seseorang untuk menjadi individu lain yang dikagumi/proses menyamakan tingkah laku sosial orang yang berada disekitarnya sesuai dengan perannnya kelak di masyarakat. Penting peran hukum dan hadiah untuk peniruan yang salah dan yang benar. Dan proses internalisasi adalah proses penanaman dan penyerapan nilainilai/relatif mantap dan menetapnya nilai-nilai sosial pada diri seseorang sehingga nilai tersebut tertanam dan menjadi milik orang tersebut. Untuk itu perlu pemahaman terhadap nilai yang baik dan yang buruk sehingga anak dapat berkembang menjadi makhluk sosial yang sehat dan bertanggung jawab. Ciri anak yang masuk dalam masa peka perkembangan sosial adalah : Adanya minat untuk melihat anak lai dan berusaha mengadakan kontak sosial dengan mereka. Mulai bermain dengan anak lain 11

Mencoba untuk bergabung dan bekerja sama dalam bermain. Lebih menyukai bekerja dengan 2 sampai 3 anak yang dipilihnya sendiri. Tahap perkembangan sosial pada anak 1. Paska lahir Anak lebih suka ditinggal tanpa diganggu. Merasa senang waktu berkontak erat dengan tubuh ibu. Menangis keras apabila merasa tidak enak, tetapi bila didekap erat atau diayun dengan lembut anak akan berhenti menangis. 2. 1 bulan sampai 3 bulan Merasakan kehadiran ibu dan memandang ke arahnya bila ibu mendekat. Terus menerus mengamati setiap gerakan orang yang berada didekatnya. Berhenti menangis bila diajak bermain atau bicara oleh siapa saja yang bersikap ramah. 3. 6 bulan Penuh minat terhadap segala sesuatu yang sedang terjadi disekitarnya. Jika akan diangkat, anak akan mengulurkan kedua tangannya. Tertawa kecil bila diajak bermain, walaupun biasanya bersahabat tetapi tidak langsung menyambut dan memberi respon terhadap orang yang tidak dikenalnya. 4. 9 bulan sampai 12 bulan Pada tahap ini anak sudah mengerti kata tidak, melambaikan tangan, bertepuk tangan atau menggoyangkan tangan mengikuti nyanyian. Bermain dengan orang dewasa yang dikenal dan memperhatikan serta meniru tindakan orang dewasa. Mulai memahami dan mematuhi perintah yang sederhana. 5. 18 bulan sampai 21 bulan Ketergantungan terhadap orang lain dalam hal bantuan, perhatian dan kasih sayang. Mengerti sebagian apa yang dikatakan kepada dirinya dan mengulangi kata yang diucapkan orang dewasa dan banyak bercakap-cakap. Usia 3 tahun sampai 5 tahun anak sudah dapat berbicara bebas pada diri 12

sendiri, orang lain, bahkan dengan mainannya, mampu berbicara lancar, dan bermain dengan kelompok. Anak kadang merasa puas bila bermain sendiri untuk waktu yang lama dan mulai menyenangi kisah seseorang/tokoh dalam film. 6. 5 tahun sampai 6 tahun Anak dapat bergaul dengan semua teman, merasa puas dengan prestasi yang dicapai, tenggang rasa terhadap keadaan orang lain, dan dapat mengendalikan emosi. Melatih keterampilan bersosialisasi pada anak 1. Terampil berempati Cara untuk melatih empati adalah dengan diskusi. Topik diskusi dapat diambil dari buku, film atau acara TV yang digemari anak. Anak dilatih untuk memikirkan apa yang dirasakan orang lain dan belajar memandang segala sesuatu dari sudut pandang orang lain. 2. Terampil membaca mimik orang lain Melatih anak untuk memahami bahasa yang tidak terucapkan. Orang yang pandai bergaul biasanya juga pandai membaca isyarat-isyarat non verbal (bahasa tubuh dan air muka). 3. Terampil mengenal perbendaharaan emosi anak Anak perlu belajar mengenali dan mengungkapkan emosinya sendiri sebelum ia bereaksi terhadap perasaan orang lain. Bila kita menyebutkan jenis-jenis emosi yang dirasakan anak, maka bantu anak untuk memahami mengapa ia dan orang lain berlaku dan bereaksi dengan reaksi tertentu. 4. Terampil bernegosiasi Ketika anak berebut mainan bantu anak untuk menyelesaikan pertikaian dengan cara menyusulkan agar anak dan temannya bergantian main ayunan selama 15 menit sekali. Dengan demikian anak belajar bahwa ada cara lain yang dapat diambil selain bertengkar. 5. Menghargai setiap keberhasilan anak 13

Untuk menginternalisasi kemampuan sosial yang diharapkan, maka anak perlu pujian dan penguatan. Misalnya anak mampu berteman dengan baik, menyapa dan berbicara dengan manis, menghibur teman yang sedih, menyantuni pengemis atau meminta maaf atas kesalahan yang diperbuatnya, dll. Pola Prilaku sosial yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan harapan kelompok : a. Perilaku sosial yang sesuai dengan harapan kelompok Kegiatan meniru, persaingan, kerjasama, simpati, empati, dukungan sosial, membagi, perilaku akrab adalah beberapa sikap sosial yang diharapkan dalam masyarakat. Sikap ini perlu dikembangkan sejak usia dini, melalui stimulasi-stimulasi dalam kehidupan sehari-hari. b. Pola perilaku yang tidak sesuai dengan harapan Negativisme atau melawan otoritas orang dewasa, perilaku agresif, perilaku bahasa yang tidak pantas diucapkan, keinginan untuk memikirkan dan mementingkan diri sendiri, anak yang suka merusak, pertentangan seks antara laki-laki dan perempuan (memperolok teman), dan prasangka (bermain hanya dengan teman yang satu ras terkenal dalam bentuk geng). Setiap aspek perkembangan baik itu moral, disiplin dan sosial semuanya berkembang pada masing-masing anak. Anak tidak hanya mendapatkan perilaku negatif dari dalam keluarga namun juga dari lingkungan. Orang tua, guru, masyarakat adalah model yang akan ditiru oleh anak. Untuk mengembangkan aspek kebiasaan pada anak maka jalan yang paling efektif adalah dengan menjadi model yang benar untuk anak-anak. Penguatan diberikan pada anak jika anak berada pada garis yang benar dan hukuman juga harus diberikan jika anak tidak mengikuti peraturan. Pembiasaan yang baik akan terinternalisasi pada anak jika kegiatan-kegiatan yang baik terus menerus dilakukan. Oleh karena itu, peran serta orang tua dan pendidik dalam membantu anak membangun dirinya dan berkembang dengan baik pada setiap aspek merupakan saat-saat yang bermakna dan penting untuk anak. 14 Referensi Elizabeth B Hurlock (1978). Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta:Erlangga. Bambang Sujiono & Yuliani Nurani Sujiono (2005). Mencerdaskan Perilaku Anak Usia Dini. Jakarta:PT. Elex Media Komputido.

Konsep Pengembangan Pembiasaan Diri Pada Anak Taman Kanak Kanak


Media, Teknologi, dan Pembelajaran konsep-konsep perkembangan mental menjadi tiga bagian yaitu; schemata (kerangka), assimilation (asimilasi), dan accomodation (akomodasi). Schemata: struktur-struktur mental individu yang mengorganisir lingkungan. Skemata telah diadopsi atau telah berubah sejalan dengan perkembangan mental dan pembelajaran. Skemata digunakan untuk mengidentifikasi, berproses, dan menyimpan informasi yang masuk dan dapat dipahami sebagai kategori individu yang terbiasa digunakan untuk mengklasifikasi informasi ... pengembangan pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan, atau pengembangan tingkah laku sebagai interaksi individu, menyangkut fasilitas-fasilitas fisik, psikologis, metode pembelajaran, media, dan teknologi. Belajar adalah proses

yang dilakukan sepanjang waktu oleh individu manapun. Dengan demikian, belajar adalah proses yang melibatkan proses seleksi, pengaturan, dan penyampaian pesan yang pantas kepada lingkungan dan bagaimana cara pebelajar berinteraksi dengan informasi tersebut. Dengan demiki ... diri dari perspektif behaviorisme. Paham ini merupakan pandangan yang mempelopori dan menjadi peletak dasar lahirnya teori-teori pembelajaran kontemporer dan modern. Perspektif behaviorisme berpendapat bahwa belajar merupakan aktifitas yang dapat diukur dan dikendalikan mulai dari perencanaan sampai dengan hasil yang ingin dicapai. Semua komponen belajar merupakan variabel yang dapat dikontrol dan dikendalikan dengan sangat baik oleh guru. Meskipun dalam pelaksanaannya terdapat berbagai kendala ... Anak kecil belajar mencirikan antara ayah dan ibu. Mereka akhirnya memisahkan anjing dan kucing dan kemudian mengerti akan perbedaan anjiing yang berfariasi. Perbedaan ini berdasar pada pengalaman yang mengarahkan pada perkembangan skemata atau kemampuan untuk mengklasifikasi objek-objek dari karaakteristik-karakteristik yang signifikan bagi mereka. Assimilation: asimilasi adalah proses kognitif yang mana pebelajar mengintegrasi informasi baru dan pengalaman-pengalaman kedalam skemata. Acco ... Dalam sejarah, media dan teknologi memiliki pengaruh terhadap pendidikan. Contohnya, komputer dan internet telah mempengaruhi proses pembelajaran sampai saat ini. Aturan-aturan dari pendidik dan pebelajar telah berubah karena dipengaruhi media dan teknologi yang digunakan di dalam kelas.Perubahan ini sangat esensial, karena sebagai penuntun dalam proses pembelajaran, pendidik (guru) berhak menguji media dan teknologi dalam konteks belajar dan itu berdampak pada hasil belajar siswa.LEARNINGBelajar adalah proses pengembangan pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan, atau pengembangan tingkah laku sebagai interaksi individu, menyangkut fasilitas-fasilitas fisik, psikologis, metode pembelajaran, media, dan teknologi. Belajar adalah proses yang dilakukan sepanjang waktu oleh individu manapun.Dengan demikian, belajar adalah proses yang melibatkan proses seleksi, pengaturan, dan penyampaian pesan yang pantas kepada lingkungan dan bagaimana cara pebelajar berinteraksi dengan informasi tersebut. Dengan demikian hal ini melihat beberapa pandangan-pandangan psikologis dan pandangan-pandangan filusuf. Pembahasan kali ini juga akan menggambarkan berbagai aturan dari media dalam belajar dan menampilkan metode-metode yang berbeda, seperti presentasi-presentasi, demonstrasi-demonstrasi, dan diskusi-diskusi akan teknologi yang berhubungan

dengan belajar.1. Psychological Perspective on LearningBagaimana instruktur menampilkan peran dari media dan teknologi di dalam kelas, ini tergantung akan seberapa jauh mereka memahami akan bagaimana masyarakat telah belajar mengunakannya. Dibawah ini ada beberapa perspektif yang berkaitan dengan psychological perspectives on learningBehaviorist PerspectivePada pertengahan 1950an, fokus ... Read Article Pengertian Pengukuran, Penilaian, Pengujian, Evaluasi, dan Asesmen diri yaitu keadaan peserta didik, misalnya potensi peserta didik. Pengujian merupakan bagian dari pengukuran yang dilanjutkaan dengan penilaian. Ada istilah ujian akhir semester di perguran tinggi dan ujian akhir tahun untuk kenaikan kelas di sekolah. Dalam bahan sosialisasi Kurikulum Berbasis Kompetensi pengertian tersebut
1/2

dijelaskan sbb.: Pengukuran adalah kegiatan yang sistematik untuk menentukan angka pada objek atau gejala. Pengujian terdiri dari sejumlah pertanyaan yang memiliki ... Pengukuran adalah kegiatan mengukur. Mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran. Misalnya mengukur panjang meja dengan satuan panjang yaitu meter, atau mengukur berat badan dengan satuan berat yaitu kilogram. Hasil pengukuran bersifat kuantitatif.Penilaian adalah kegiatan menilai. Menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu berdasarkan membandingkan hasil pengukuran dengan suatu kriteria tertentu (ukuran baik buruk). Putusan itu sesuai atau tidak sesuai dengan kriteria itu.Sedangkan kegiatan mengevaluasi adalah kegiatan mengukur dan menilai itu. Jadi kegiatan pengukuran, penilaian, dan evaluasi itu bersifat hierarkhis, artinya dilakukan secara berurutan dimulai dengan pengukuran, dilanjutkan dengan penilaian, dan diakhiri dengan mengevaluasi.Pengukuran menurut Guilford ( 1982) adalah proses penetapan angka terhadap suatu gejala menurut aturan tertentu. Pengukuran pendidikan berbasis kompetensi dasar berdasarkan pada klasifikasi observasi unjuk kerja atau kemampuan peserta didik dengan menggunakan suatu standar. Pengukauran dapat menggunakan tes dan nontes. Tes adalah seperangkat prtanyaan yang memiliki jawaban benar atau salah, atau suatu pernyataanpermintaan untuk melakukan sesuatu. Nontes berisi pertanyaan atau pernyataan yang tidak memiliki jawaban benar atau salah. Instrumen nontes bisa berbentuk kuesioner atau inventori. Kuesioner berisi sejumlah pertanyaan atau pernyataan, peserta didik diminta menjawab atau memberikan pendapat terhadap pernyataan. Inventori merupakan instrumen yang berisi tentang laporan diri yaitu keadaan peserta didik, misalnya potensi peserta didik.Pengujian merupakan ...

Read Article

ASOSIASI PENGAWAS SEKOLAH INDONESIA (APSI) KABUPATEN NGANJUK


2/2

APSI Kabupaten Nganjuk - Sekretariat Kantor Dinas DIKPORA Drh Jln. Dermojoyo 19 Nganjuk - Jawa Timur (R. Pengawas) No. Tlp.0358-321667 psw 116 email :apsi_ngk@yahoo.co.id

APSI Nganjuk

Asosiasi Pengawas Sekolah Indonesia (APSI) Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur Sebagai Media Informasi Pendidikan & Pembelajaran (Dari Kita Untuk Semua) Kontak: 082143737397 atau 085735336338 Lihat profil lengkapku Blog ini Di-link Dari Sini Web Blog ini

Di-link Dari Sini

Web

Rabu, 08 Juni 2011


KONSEP PENGEMBANGAN PEMBIASAAN di TAMAN KANAK KANAK

Pembiasaan (habituation) merupakan proses pembentukan sikap dan perilaku yang relatif menetap dan bersifat otomatis melalui proses pembelajaran yang berulang-ulang. Sikap atau perilaku yang menjadi kebiasaan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a. Perilaku tersebut relatif menetap. b. Pembiasaan umumnya tidak memerlukan fungsi berpikir yang cukup tinggi, misalnya untuk dapat mengucapkan salam cukup fungsi berpikir berupa mengingat atau meniru saja. c. Kebiasaan bukan sebagai hasil dari proses kematangan, tetapi sebagai akibat atau hasil pengalaman atau belajar. d. Perilaku tersebut tampil secara berulang-ulang sebagai respons terhadap stimulus yang sama. Untuk menanamkan pembiasaan terhadap anak usia Taman Kanak-kanak, yaitu usia 4-6 tahun bersifat fleksibel, dan dapat dilaksanakan secara rutin, spontan dan terprogram. A. Metode Pembelajaran Perilaku melalui Pembiasaan Untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang kondusif dalam rangka mengembangkan model pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan anak di dalam melakukan pengembangan perilaku melalui pembiasaan sejak dini, menurut Campbell dan Campbell dapat dilakukan dengan berbagai metode sebagai berikut. 1. Pengubahan Perilaku (behavior modification) Metode ini merupakan suatu pengubahan perilaku yang berdasarkan atas prinsip-prinsip penguatan (reinforcement). Metode ini biasanya berhasil untuk mengubah/mengurangi perilaku yang berlebihan dan membentuk perilaku yang belum ada pada individu. 2. Pembelajaran (Instructional Technique) Metode ini dilakukan dengan memberikan instruksi yang spesifik dan konkret tentang perilaku yang dikehendaki. Instruksi-instruksi tersebut berfungsi untuk mengkoreksi yang salah dan mengajarkan perilaku baru. 3. Berbasis Hubungan (Relationship-based) Metode ini dilakukan untuk membantu menciptakan suasana yang mendukung untuk dapat terjadi proses belajar. Metode ini bertujuan mempertahankan hubungan antara guru sebagai pelatih dengan anak dalam belajar terstruktur agar terjadi proses belajar yang efektif. Biasanya dapat digabungkan dengan metode pertama dan kedua. Untuk mempertahankan hubungan antara guru dengan anak, antara lain dengan cara: a. Dorongan empati dengan cara mendengarkan kesulitan-kesulitan anak dalam mengikuti belajar terstruktur, menghargai usaha anak, mendorong keterlibatan anak, dan sebagainya. b. Identifikasi masalah anak, yaitu mengenali apa yang menjadi hambatan anak. c. Mengurangi rasa keterancaman pada anak dalam situasi belajar terstruktur, antara lain menciptakan rasa aman, dengan kata-kata atau perilaku dan menyederhanakan prosedur. 4. Penguatan Kelompok (Group Reinforcement) Penguatan kelompok merupakan referensi yang diberikan oleh kelompoknya (peer). khususnya pada remaja. Jenis referensi ini penting karena mereka sangat mengacu kepada kelompok sebaya (peers). Metode ini pada umumnya digunakan untuk menjelaskan kepada anak yang ikut belajar terstruktur tentang apa yang hendak dicapai. Cara pembelajaran ulang (reinstructional) dapat dipakai pula untuk memperjelas perilaku apa yang akan dibentuk. Penguatan Kelompok dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai cara, yaitu: a. Pemodelan (Modelling), yaitu memberikan contoh perilaku apa yang diharapkan atau dengan perkataan lain belajar melalui imitasi.

b. Bermain Peran (Role Playing) sering dilakukan segera setelah modelling, supaya jelas dan tidak terjadi kesalahan persepsi. Bermain peran dilakukan dengan menciptakan suatu situasi dimana individu diminta untuk melakukan suatu peran tertentu (yang biasanya bukan peran dirinya) di suatu tempat yang tidak biasanya peran tersebut terjadi. Manfaat dari role playing adalah membantu seseorang mengubah sikap atau perilaku dari yang selama ini dilakukan c. Simulasi (Simulation) adalah kegiatan yang dilakukan untuk meng-gambarkan suatu situasi atau perilaku yang sebenarnya. d. Balikan Penampilan (Performance Feedback) adalah informasi yang menggambarkan seberapa jauh hasil yang diperoleh dari role playing. Bentuknya dapat berupa reward, reinforcement, kritik dan dorongan. e. Alih Keterampilan (Transfers of Training). Agar penguatan berlangsung efektif, perlu memperhatikan hal hal sebagai berikut: a. Penguatan yang mana yang paling cocok dengan karakter masing-masing individu. Misalnya: material penguatan dapat berupa benda-benda seperti permen, uang, dan sebagainya. b. Penguatan sosial (social reriforcement), seperti: pujian, penerimaan, dan sebagainya. c. Penguatan sendiri (self reinforcement), yaitu evaluasi yang positif dari individu atas perilakunya sendiri. Misalnya rasa puas atas prestasi diri sendiri B. Dimensi Pengembangan Perilaku pada Anak Ada beberapa dimensi pengembangan perilaku pada anak, yaitu: 1. Pengembangan Perilaku Moral Perilaku moral dapat diartikan cara pikir atau cara pandang seseorang yang akan tercermin dalam pola pikir dan pola tindak seperti dalam bersikap,berbicara atau mempersepsikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dimana anak berada. Pengembangan perilaku moral dipengaruhi oleh: a. Keluarga sebagai sekolah pertama bagi anak. b. Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki tujuan menanamkan nilai-nilai budi pekerti dan sopan santun juga tentang aturan-aturan yang berlaku. c. Masyarakat mempengaruhi dalam pembentukan kepribadian anak melalui cara pandang dan perlakuan terhadap anak. Penanaman sopan santun, tata krama dan budi pekerti yang paling baik dan efektif dilakukan sedini mungkin sebab perwujudan dari jiwa yang telah berisi nilai moral akan berkembang bersama nilai-nilai lain yang akan dijadikan nilai sebagai pedoman dalam perilaku keseharian. Pembelajaran Perilaku Moral dapat dilakukan, antara lain melalui: a. Mulai dari hal-hal yang konkret Pada mulanya pemahaman tentang nilai agama dan ketuhanan diperoleh melalui benda-benda konkret, karena anak belum dapat memahami konsep abstrak seperti Tuhan ada tetapi tidak terlihat olehnya. Untuk itu perlu bimbingan dari orangtua mulai dari kejadian yang langsung dapat dirasakannya, misalnya melalui cerita tentang hujan. b. Ciptakan kesenangan Sebaiknya jangan ada paksaan bagi anak dalam mempelajari perilaku keagamaan, sebab segala sesuatu yang dipaksakan tidak akan berdampak positif. Sebaliknya, ciptakan kesenangan, suasana menarik setiap kali anak menjalankan berbagai ritual keagamaan. Misalnya, mengajak anak sholat bersama-sama, pergi ke sekolah minggu di gereja, berdoa sebelum makan dan tidur.

c. Pendidikan, pelatihan dan pembimbingan Pembelajaran perilaku moral melalui pendidikan, pelatihan dan pembimbing-an dapat dilakukan melalui: Keteladanan Anak amat peka terhadap apa yang dia lihat, dengar dan rasakan di sekelilingnya, karena pada hakikatnya anak adalah manusia kecil yang senang meniru. Pendidik dan orang dewasa disekitar anak adalah contoh terbaik dalam pandangan anak, yang akan ditirunya dalam tindak-tanduknya. Adat kebiasaan Kebiasaan yang dilakukan oleh pendidik merupakan hal yang sangat manjur bagi munculnya perilaku yang sama pada anak. Nasihat Nasehat dengan kata-kata yang lemah lembut dan penuh kasih sayang akan sangat mempengaruhi sikap anak yang cenderung menolak keingingan orangtuanya Pemberian perhatian Perhatian adalah suatu cara untuk mencurahkan, memperhatikan dan senantiasa mengikuti perkembangan anak dalam pembinaan sikap beragama. Sebagai contoh perhatian terhadap katakata yang digunakan anak saat membalas salam, cara berpakaian yang sopan ataupun melarang ucapan yang berbohong. 2. Pengembangan Sikap dan Perilaku Beragama/Spiritual Perilaku Sikap Beragama ditunjukkan oleh anak untuk dapat melakukan kebaikan atau menghindarkan pada keburukan sehingga anak kelak mampu memilih jalan yang dapat mengantarkannya kepada kebaikan dan kebahagiaan hidup di dunia. a. Tahapan Perkembangan Sikap dan Perilaku Beragama Perkembangan sikap dan perilaku beragama anak melalui tiga tingkatan, sebagai berikut: 1) Tingkatan dongeng (The Fairy Tale Stage) Tingkat ini dimulai pada anak berusia 3-6 tahun. Pada tingkat ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Penghayatan untuk konsep ke-Tuhanan berkembang sesuai dongeng tingkat perkembangan intelektualnya, artinya anak menanggapi agama masih menggunakan konsep fantasi yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal. 2) Tingkat Kenyataan (The Realistic Stage) Tingkat ini dimulai pada anak berusia 7-15/16 tahun atau sejak anak masuk SD sampai usia remaja akhir (Adolesense). Pada tingkat ini ide anak tentang ke-Tuhanan sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan pada tingkatan (realis). Konsep tentang ke-Tuhanan muncul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pembelajaran ajaran dari orang dewasa lainnya. 3) Tingkat Individu (The Individual Stage) Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi atas tiga golongan yaitu: (1) Konsep ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. (2) Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perseorangan). (3) Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak.

Sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti ideas concept on outhority (ide keagamaan pada anak hampir sepenuhnya autoritarius), artinya konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka. b. Bentuk dan sikap beragama pada anak 1) Tidak Mendalam (Unreflective) Anak menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia. Ajaran agama mereka terima begitu saja tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima cukup sekedarnya saja, tidak perlu mendalam. Seringkali anak sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Meskipun demikian ada beberapa anak yang memiliki ketajaman pikiran untuk mempertanyakan apa yang diajarkan pada mereka. 2) Egosentris Konsep keagamaan dipandang dari kesenangan pribadinya, misalnya anak senang pergi ke rumah ibadah dengan orangtuanya karena sepulang dari sana biasanya orangtuanya mengajak mereka ke toko atau ke warung untuk membeli sesuatu yang anak sukai. 3) Anthromorphis Melalui konsep-konsep yang terbentuk dalam pikiran dan daya fantasi anak, seringkali mereka menganggap bahwa perilaku dan keadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Sebagai contoh, konsep tentang Tuhan itu maha melihat dimaknai oleh anak bahwa Tuhan dapat melihat segala perbuatannya langsung ke rumah-rumah mereka layaknya orang mengintai. 4) Verbalis dan Ritualis Kehidupan beragama pada anak sebagian besar terjadi melalui ungkapan verbal (ucapan). Mereka menghafal doa dan atau kalimat puji-pujian melalui ucapannya. Praktek keagamaan yang bersifat ritualis seperti sholat bersama keluarga di rumah merupakan hal yang sangat berarti bagi perkembangan sikap beragama pada anak. 5) Imitatif Sebagai peniru yang ulung anak mampu mewujudkan tingkah laku keagamaan (religius behaviour). Sifat peniru ini merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak. Anak akan meniru semua perilaku keagamaan baik yang mereka dengar, lihat, rasakan dan lakukan oleh orang dewasa. 3. Pengembangan Perilaku Disiplin Perilaku disiplin adalah kemampuan seorang anak untuk menyeimbangkan antara pola pikir & pola tindakan dikarenakan adanya situasi dan kondisi tertentu dengan pembatasan peraturan yang diperlukan terhadap dirinya oleh lingkungan dimana individu berada. Tujuan perilaku disiplin pada anak: a. Secara umum: membentuk perilaku sedemikian hingga akan sesuai dengan peran-peran yang ditetapkan kelompok budaya atau tempat individu itu diidentifikasi. b. Jangka pendek: Membuat anak terlatih dan terkontrol perilakunya dengan membelajarkan pada anak tingkah laku yang pantas dan tidak pantas atau yang masih baru / asing bagi mereka. c. Jangka panjang: melatih pengendalian diri sendiri (self control and self direction) yaitu dalam hal mana anak-anak dapat mengendalikan diri sendiri tanpa terpengaruh dan pengendalian dari luar. Beberapa alasan kedisiplinan perlu diterapkan pada anak, yaitu: a. Mengontrol tingkah laku anak (mengatur diri sendiri). b. Menjaga anak dari bahaya baik bagi dirinya ataupun orang lain. c. Menghindarkan diri anak dari kesalahan pahaman.

d. Membuat anak disenangi karena dapat berperilaku sesuai dengan harapan masyarakat dimana anak berada. e. Menyadarkan anak anak bahwa ia mampu menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri dan diharuskan melakukan apa yang kita tentukan. f. Melalui disiplin anak belajar bertingkah laku yang menimbulkan pujian, ia akan melihat ini sebagai indikasi dari cinta dan penerimaan . g. Disiplin membantu anak mengembangkan hati nurani atau suara-suara halus didalam diri yang membantunya dalam membuat keputusan dan mengendalikan tingkah laku. Penanaman disiplin mulai diterapkan pada anak a. Sejak anak dilahirkan, melalui pembiasaan pemberian susu. b. Disaat anak mulai mengenal lingkungan rumah dan sekitarnya. Bentuk pendisiplinan pada anak TK a. Disiplin pergi sekolah. b. Disiplin di sekolah. c. Disiplin merapikan mainan. d. Disiplin memakai pakaian & sepatu. e. Disiplin bangun tidur. f. Disiplin waktu makan bersama. 4. Pengembangan Perilaku Emosional Perilaku emosional merupakan bagian dari kecerdasan emosional yang melibatkan perasaaan dan emosi baik pada diri sendiri dan pada orang lain. Perilaku emosional ditunjukkan dengan kemampuan untuk memahami diri dan orang lain, mengungkapkan perasaan, mengendalikan amarah, sampai berempati pada orang lain. Pentingnya pengembangan perilaku emosional, bagi anak usia TK a. Sebagai bekal untuk mengatasi setiap persoalan yang penting dalam kehidupan. b. Kecerdasan emosional perlu diajarkan di TK supaya anak-anak mempunyai peluang untuk memperoleh keterampilan yang akan membantu mereka menjadi lebih kebal terhadap tekanantekanan (depresi) dan atau gangguan emosional lainnya. Sampai akhirnya anak mampu mengendalikan dan mengelola emosinya secara baik. Kemampuan yang berkaitan dengan kecerdasan emosional: a. Kemampuan mengenali emosi diri. b. Kemampuan mengelola emosi. c. Kemampuan motivasi diri. d. Kemampuan mengenali emosi orang lain. e. Kemampuan membina hubungan. Pembentukan Kecerdasan emosional: a. Emosi terbentuk selama proses pengasuhan. b. Pengalaman awal seorang anak akan menjadi dasar bagi pengembangan emosional sepanjang hidupnya. Ciri perilaku emosional pada anak TK, antara lain: a. Lebih mudah bergaul. b. Menaruh minat pada kegiatan orang dewasa.

c. Mampu menahan tangis dan kecewa. d. Menunjukkan rasa saying. e. Minta di ceritakan dongeng dan di dendangkan lagu. f. Mulai melatih kemandirian. g. Mengenal sopan santun. h. Antusias saat belajar. i. Sabar menunggu giliran. Nilai-nilai yang terdapat dalam emosi anak, antara lain: Kemarahan Malu Kesedihan Gembira Afeksi (kasih sayang) Takut Cemburu Anxiety (cemas) Empati Stress Sumber :Depdiknas, Dirjen manajemen Pendidijan dasar dan menengah, Dir Pembinaan TK dan SD 2007 Disajikan oleh Asosiasi Pengawas Sekolah Indonesia (APSI) di 19:13 Tidak ada komentar: Poskan Komentar Link ke posting ini

Menumbuhkan Kemandirian Anak


Oleh: Nur Hayati, M.Pd Dosen PGPAUD UNY Sikap mandiri, sopan santun, baik kepada orang sebaya maupun kepada orang tua, sabar, mengendalikan emosi, menunjukkan kepedulian terhadan sesama dan lingkungan merupaka perilaku yang bisa dibentuk pada seseorang sejak usia dini. Sesuai dengan tahap perkembangan psikososialnya (Erikson, dalam Patmonodewo:2003), anak usia KB memasuki tahap: 1. Tahap 1 : Basic Trust vs Mistrust (percaya vs curiga), usia 0-2 tahun Dalam tahap ini bila dalam merespon rangsangan, anak mendapat pengalaman yang menyenamgkan akan tumbuh rasa percaya diri, sebaliknya pengalaman yang kurang menyenangkan akan menimbulkan rasa curiga. 2. Tahap 2 : Autonomy vs Shame & Doubt (mandiri vs ragu), usia 2-3 tahun Anak sudah mampu menguasai kegiatan meregang atau melemaskan seluruh otot-otot tubuhnya. Anak pada masa ini bila sudah merasa mampu menguasai anggota tubuhnya dapat meimbulkan rasa otonomi, sebaliknya bila lingkungan tidak memberi kepercayaan atau terlalu banyak bertindak untuk anak akan menimbulkan rasa malu dan ragu-ragu. a. Kasus, proses dan metode pembelajaran yang dapat digunakan agar anak usia dini dipersiapkan bisa diterima sebagai anggota masyarakat: Contoh kasus 1 adalah: Anak usia dini mulai dapat mengurus dirinya sendiri. Namun masih banyak ditemukan beberapa anak SD kelas awal masih dimandikan orang tuanya, makan juga masih disuapi dan belum terampil mengurus dirinya sendiri. Oleh karena itu sejak usia dini anak sudah mulai dibiasakan untuk dapat mandiri mengurus dirinya dimulai dari hal-hal yang ringan, seperti mencuci tangan, menyisir rambut, mandi, memakai baju sendiri dan sebagainya. Metode pembelajaran yang dilakukan adalah: Metode Penguatan Kelompok (Group Reinforcement) Penguatan kelompok merupakan referensi yang diberikan oleh kelompoknya (peer) khususnya pada anak usia dini. Jenis fererensi ini penting karena mereka sangat mengacu kepada kelompok sebaya (peers). Metode ini pada umumnya digunakan untuk menjelaskan kepada anak yang ikut belajar terstruktur tentang apa yang hendak dicapai. Cara pembelajaran ulang (reinstruction) dapat digunakan pula untuk memperjelas perilaku apa yang akan dibentuk. Penguatan kelompok dapat dilakukan dengan menggunakan pemodelan (modeling) yaitu memberikan contoh perilaku apa yang diharapkan atau dengan perkataan lain belajar melalui imitasi (peniruan). Contoh kegiatan pembelajaran:

Kegiatan : Makan bersama Sasaran : Siswa Kelompok Bermain Metode : Modeling dengan praktik langsung di kelas Tujuan : Melatih anak bekerja sama Melatih anak makan sendiri dengan tertib Alat dan Bahan : Alat untuk makan (piring, sendok, garpu, gelas) Makanan (nasi, sayur, lauk dan buah) Minuman Serbet Langkah-langkah kegiatan: Metode pembelajaran tersebut dapat melatih anak untuk mandiri dan mengurus dirinya sendiri. Jika guru membiasakan anak melakukan ritual makan sendiri mulai dari mencuci tangan sendiri sebelum makan sampai berdoa sesudah makan dan cuci tangan lagi lama-lama anak akan terbiasa melakukannyanya meskipun tidak disuruh orang lain. Kemampuan mengurus dirinya sendiri tersebut merupakan proses pembelajaran dan perlahan-lahan menjadikan anak siap bergaul di masyarakat dalam perkembangan selanjutnya. b. Contoh Kasus 2. Anak Usia Dini yang bersekolah dikelompok bermain atau TK masih memiliki ego yang tinggi dan belum mengetahui nilai dan norma yang ada dalam masyarakat. Pembelajaran sosial yang dibutuhkan anak usia dini agar bisa berinteraksi dan bermain dengan teman-temannya adalah:
Langkah 1: Guru memerintahkan anak mengeluarkan bekal makanannya masing-masing. Kemudian guru bersama anakanak mencuci tangan sebelum makan Langkah 2: Guru dan anak-anak duduk didepan meja dengan sikap makan yang baik serta berdoa sebelum makan mengikuti satu persatu aturan permainan secara bergiliran Langkah 3: Anak-anak memasang serbet kemudian makan dengan menggunakan sendok di tangan kanan dan garpu di tangan kiri. Anak saling berbagi lauk dengan teman apabila ada yang lauknya berlebihan Langkah 4: Anak mencuci tangan sesudah makan dan membereskan perlengkapan makannya dan berdoa setelah makan.

Kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan menanamkan

pembiasaan pada anak. Pembiasaan merupakan proses pembelajaran yang paling tepat bagi anak usia dini karena terjadi proses pembentukan sikap dan perilaku yang relatif menetap dan bersifat otomatis karena dilakukan berulang-ulang. Dalam pembiasaan tidak memerlukan fungsi berpikir yang cukup tinggi, misalnya untuk dapat mengucapkan salam anak cukup menggunakan fungsi berpikir dengan mengingat atau meniru saja. Dalam pembiasaan bukan hasil proses kematangan tetapi sebagai akibat dari hasil pengalaman atau belajar. Untuk menanamkan pembiasaan terhadap anak usia Kelompok Bermain, yaitu usia 2-3 tahun sebaiknya dilakukan secara fleksibel dan dapat dilaksanakan secara rutin, spontan dan terprogram. Contoh kegiatan pembiasaan: mengucap salam ketika masuk rumah atau ketika bertemu teman, berdoa sebelum dan sesudah melakukan sesuatu, menjaga kebersihan pakaian dan lingkungan disekitarnya, tolong menolong sesama teman, berlatih untuk selalu tertib dan patuh pada peraturan, berani dan mempunyai rasa ingin tahu yang besar, bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan, dan lain sebagainya. 1) Proses pembelajaran penegakan disiplin agar sistem kontrol eksternal bisa berubah menjadi sistem kontrol internal adalah sebagai berikut: Perilaku disiplin adalah kemampuan seorang anak untuk menyeimbangkan antara pola pikir dan pola tindakan dikarenakan adanya situasi dan kondisi tertentu dengan pembatasan peraturan yang diperlukan terhadap dirinya oleh lingkungan dimana individu berada. Proses penegakan perilku disiplin pada anak dimulai dari proses imitasi kemudian identifikasi dan akhirnya menjadi proses internalisasi. Proses imitasi adalah proses peniruan terhadap tingkah laku sikap serta cara pandang orang dewasa (model) dalam aktivitas yang dilihat anak. Proses identifikasi merupakan proses terjadinya pengaruh sosial pada seseorang yang didasarkan pada orang tersebut untuk menjadi seperti individu lain yang dikaguminya. Atau dengan perkataan lain proses menjadi menyamakan tingah laku sosial orang yang berada disekitarnya sesuai dengan perannya kelak di masyarakat. Proses internalisasi berupa proses penanaman serta penyerapan nilai-nilai. Atau relatif mantap dan menetapnya suatu nilai-nilai sosial pada diri seseorang sehingga nilai-nilai tersebut tertanam dan menjadi milik orang tersebut. Contoh: Untuk mengajarkan anak agar disiplin ketika membereskan mainan setelah bermain. Ketika di sekolah, sebelum anak-anak bermain sebaiknya guru menjelaskan dahulu aturan menggunakan mainan, mulai dari mengambil pada tempatnya dan mengembalikan ke tempat semula. Langkah pertama Guru memberikan contoh mengambil mainan pada tempat mainan, kemudian guru mengajak anak untuk mengambil mainan yang

disukainya dan anak-anak mengikuti apa yang dilakukan guru. Langkah kedua, setelah menggunakan satu mainan dan ingin berganti dengan mainan lainnya guru memberi contoh mengembalikan mainan pertama pada tempat semula dan mengambil mainan baru lagi. Langkah ketiga, kemudian anak diminta melakukan hal yang sama apabila ingin berganti mainan baru sambil guru menjelaskan agar mainan tidak terpakai tercecer dan kita tidak lupa tempatnya. Langkah keempat, setelah waktu bermain habis maka guru mengembalikan semua mainan pada tempatnya sesuai dengan tempat semula. Anak-anakpun diminta untuk mengembalikan semua mainannya pada tempat semula dengan tertib tanpa berebutan. Langkah kelima, jika ada anak yang tidak mau mengembalikan mainannya, maka guru harus mengarahkan dengan perlahan agar anak mau mengembalikan mainannya pada tempatnya. Hal tersebut perlu dilakukan agar anak yang lain tidak meniru anak yang tidak disiplin tersebut. Dengan demikian semua anak akan paham bahwa setelah bermain maka harus membereskan mainannya dan mengembalikan mainan pada tempatnya semula. Kebiasaan mengembalikan mainan pada tempatnya selalu rutin ditanamkan guru, maka anak akan terbiasa membereskan mainan yang telah digunakannya dimanapun dia bermain, baik di sekolah, di rumahnya atau di rumah orang lain. Dengan demikian, anak akan terbiasa disiplin saat bermain. Daftar Pustaka Soemiarti Patmonodewo. 2003. Pendidikan Anak Prasekolah, Jakarta: Rineka Cipta Depdiknas. 2006. Pembiasaan Perilaku Sosial, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasonal

otomatis melalui proses pembelajaran yang berulang-ulang. Sikap atau perilaku yang menjadi kebiasaan mempunyai ciri; perilaku tersebut relatif menetap, umumnya tidak memerlukan fungsi berpikir yang cukup tinggi, misalnya untuk dapat mengucapkan salam cukup fungsi berpikir berupa mengingat atau meniru saja, bukan sebagai hasil dari proses kematangan, tetapi sebagai akibat atau hasil pengalaman atau belajar, dan tampil secara berulang-ulang sebagai respons terhadap stimulus yang sama. Proses pembiasaan berawal dari peniruan, selanjutnya dilakukan pembiasaan di bawah bimbingan orang tua, dan guru, peserta didik akan semakin terbiasa. Bila sudah menjadi kebiasaan yang tertanam jauh di dalam hatinya, peserta didik itu kelak akan sulit untuk berubah dari kebiasaannya itu. Misalnya ia akan melakukan shalat berjamaah bila waktu shalat tiba, tidak akan berpikir panjang apakah shalat dulu atau melakukan hal lain, apakah berjamaah atau nanti saja shalat sendirian. Hal ini disebabkan karena kebiasaan itu merupakan perilaku yang sifatnya otomatis, tanpa direncanakan terlebih dahulu, berlangsung begitu saja tanpa dipikirkan lagi.

Proses pembiasaan dalam pendidikan merupakan hal yang penting terutama bagi anak-anak usia dini. Anak-anak belum menyadari apa yang disebut baik dan tidak baik dalam arti susila. Ingatan anak-anak belum kuat, perhatian mereka lekas dan mudah beralih kepada hal-hal yang terbaru dan disukainya. Dalam kondisi ini mereka perlu dibiasakan dengan tingkah laku, keterampilan, kecakapan dan pola pikir tertentu. Menurut Abdullah Nasih Ulwan, pendidikan dengan proses pembiasaan merupakan cara yang sangat efektif dalam membentuk iman, akhlak mulia, keutamaan jiwa dan untuk melakukan syariat yang lurus. Proses pembiasaan sebenarnya berintikan pengulangan. Artinya yang dibiasakan itu adalah sesuatu yang dilakukan berulang-ulang dan akhirnya menjadi kebiasaan. Pembiasaan harus diterapkan dalam kehidupan keseharian anak didik, sehingga apa yang dibiasakan terutama yang berkaitan dengan akhlak baik akan menjadi kepribadian yang sempurna. Misalnya jika guru masuk kelas selalu mengucapkan salam. Bila anak didik masuk kelas tidak mengucapkan salam, maka guru mengingatkan agar bila masuk kelas atau ruangan apapun hendaklah mengucapkan salam. Kebiasaan terbentuk karena sesuatu yang dibiasakan, sehingga kebiasaan dapat diartikan sebagai perbuatan atau ketrampilan secara terus-menerus, secara konsisten untuk waktu yang lama, sehingga perbuatan dan keterampilan itu benar-benar bisa diketahui dan akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang sulit ditinggalkan. Kebiasaan dapat juga diartikan sebagai gerak perbuatan yang berjalan dengan lancar dan seolah-olah berjalan dengan sendirinya. Perbuatan ini awalnya dikarenakan pikiran yang melakukan pertimbangan dan perencanaan, sehingga nantinya menimbulkan perbuatan yang apabila perbuatan ini diulang-ulang maka akan menjadi kebiasaan. Terdapat sedikit perbedaan antara proses keteladanan dan proses pembiasaan. Akan tetapi kedua hal tersebut saling menunjang. Keteladanan merupakan konotasi kata yang positif, sehingga halhal yang mengikuti adalah perilaku, sikap, maupun perbuatan yang secara normatif baik dan benar. Dalam keteladanan terdapat unsur mengajak secara tidak langsung, sehingga terkadang kurang efektif tanpa ada ajakan secara langsung yang berupa pembiasaan. Begitu pula dengan pembiasaan yang secara langsung mengarahkan pada suatu perilaku, sikap maupun perbuatan yang diharapkan, kurang dapat berhasil dengan baik tanpa adanya keteladanan. Referensi Makalah Kepustakaan: Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2005). Departemen Pendidikan Nasional RI, Pedoman Pembelajaran Bidang Pengembangan Pembiasaan Di Taman Kanak-Kanak (Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Direktorat Pembinaan Taman Kanak-Kanak Dan Sekolah Dasar, 2007). Departemen Agama RI, Kendali Mutu Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2001). Umar Hasyim, Cara Mendidik Anak dalam Islam (Surabaya: Bina Ilmu, 1998)
Bagikan referensi ini :
1

Referensi Terkait :

Aspek Motivasi dalam Perencanaan PembelajaranSetiap perbuatan termasuk perbuatan belajar didorong oleh sesuatu atau beberapa motif. Motif atau biasa juga disebut dorongan atau kebutuhan, merupakan suatu tenaga yang berada pada diri individu ata ... [Baca...]

Dasar-dasar Interaksi Belajar MengajarSebagai bahan tambahan dalam referensi makalah anda, terutama untuk bahasan pendidikan, berikut ini akan dirumuskan beberapa dasar interaksi belajar mengajar. Dasar-dasar interaksi belajar yang dimak ... [Baca...]

Kegiatan Siswa dan Kegiatan Guru dalam PembelajaranSebelum proses belajar mengajar itu terlaksana, maka yang harus diperhatikan terlebih dahulu adalah membuat satuan pelajaran yang disusun sedemikian rupa agar menunjang tercapainya tujuan pengajaran ... [Baca...]

Pengertian Minat BelajarZakiah Daradjat mengatakan bahwa titik permulaan dalam belajar yang berhasil adalah membangkitkan minat belajar peserta didik, karena rangsangan tersebut membawa kepada senangnya peserta didik terhad ... [Baca...]

Definisi Psikologi Pendidikan Menurut PakarPsikologi pendidikan menurut pakar adalah subdisiplin psikologi, dan bukan psikologi itu sendiri. Artur S. Reber seorang guru besar psikologi pada Brooklyn College, University of New York City, Unive ... [Baca...]

Model Belajar Bermakna AusabelDavid Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Mengungkapkan teori belajarnya, yang berintikan belajar terbaik adalah belajar bermakna. Teori ini kemudian menjadi model pembelajaran, dan dik ... [Baca...]

Referensi tentang Pendidikan Melalui Proses Pembiasaan. diperbolehkan untuk dicopy paste atau disebar-luaskan, dengan ketentuan meletakkan link (URL) http://www.referensimakalah.com/2012/07/pendidikan-melalui-prosespembiasaan.html, sebagai sumbernya. Pelanggaran atas ketentuan tersebut adalah bentuk plagiasi, dan di luar tanggungjawab penulis. Istilah teknik dalam pembelajaran didefinisikan dengan cara-cara dan alat yang digunakan oleh guru dalam rangka mencapai suatu tujuan, lang...

Pengertian dan Tujuan Perencanaan Pembelajaran Proses pembelajaran bisa disebut interaksi edukatif yang sadar akan tujuan, artinya interaksi yang telah dicangkan untuk suatu tujuan terte...

Pengertian, Jenis, Fungsi, dan Tujuan Laporan Hasil Penelitian

Sebelum menjelaskan tentang penyusunan laporan hasil penelitian, terlebih dahulu penulis mengungkapkan maksud dari ungkapan tersebut. Penyu...

Pengertian Manajemen Kelas Menurut Pakar Manajemen adalah suatu proses atau kerangka kerja yang melibatkan bimbingan atau pengarahan suatu kelompok orang-orang ke arah tujuan-tujua...

Makna dan Manfaat Filsafat Ilmu Filsafat Ilmu adalah suatu bidang studi filsafat yang obyek materinya berupa ilmu pengetahuan dalam berbagai jenis dan perwujudannya. Jadi ...

PRODI PG-PAUD UNP KEDIRI

Search her

February 6

PENGEMBANGAN MORAL DAN NILAI-NILAI AGAMA ANAK USIA DINI


Oleh : Kuntjojo

A.

A. Perkembangan Moral Anak Usia Dini Manusia merupakan makhluk etis atau makhluk yang mampu memahami kaidahkaidah moral dan mampu menjadikannya sebagai pedoman dalam bertutur kata, bersikap, dan berperilaku. Kemampuan seperti di atas bukan merupakan kemampuan bawaan melainkan harus diperoleh melalui proses belajar. Anak dapat mengalami perkembangan moral jika dirinya mendapatkan pengalamanan bekenaan dengan moralitas. Perkembangan moral anak ditandai dengan kemampuan anak untuk memahami aturan, norma, dan etika yang berlaku (Slamet Suyanto, 2005: 67). Mengingat moralitas merupakan factor penting dalam kehidupan manusia maka manusia sejak dini harus mendapatkan pengaruh yang positif untuk menstimulasi perkembangan moralnya.

B. Konsep-konsep Pengembangan Moral Anak Usia Dini Menurut Megawangi, dalam Siti Aisyah dkk. (2007: 8.36), anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila mereka berada di lingkungan yang berkarakter pula. Usaha mengembangkan anak-anak agar menjadi pribadi-pribadi yang bermoral atau berkarakter baik merupakan tangguang jawab keluarga, sekolah, dan seluruh komponen masyarakat. Usaha tersebut harus dilakukan secara terencana, terfokus, dan komprehensif. Pengembangan moral anak usia dini melalui

pengembangan pembiasaan berperilaku dalam keluarga dan sekolah. a. Pengembangan berperilaku yang baik dimulai dari dalam keluarga Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi perkembangan anak. Keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan paling efektif untuk melatih berbagai kebiasaan yang baik pada anak. Menurut Thomas Lickona, sebagimana pendapatnya dikutip oleh Siti Aisyah dkk. (2007: 8.38 8.41), ada 10 hal penting yang harus diperhatikan dan dijadikan prinsip dalam mengembangkan karakter anak dalam keluarga, yaitu sebagai berikut. 1) Moralitas penghormatan

Hormat merupakan kuci utama untuk dapar hidup harmonis dengan masyarkat. Moralitas penghormatan mencakup: a) Penghormatan kepada diri sendiri untuk mencegah agar diri sendiri tidak terlibat dalam perilaku yang merugikan diri sendiri. b) Penghormatan kepada sesame manusia meskipun berbeda suku, agama, kemampuan ekonomi, dst. c) Penghormatan kepada lingkungan fisik yang merupakan ciptaan Tuhan. 2) Perkembangan moralitas kehormatan berjalan secara bertahap Anak-anak tidak bisa langsung berkembang menjadi manusia yang bermoral, tetapi memerlukan waktu dan proses yang terus menerus, dan memerlukan kesabaran orang tua untuk melakukan pendidikan tersebut. 3) Mengajarkan prinsip menghormati Anak-anak akan belajar menghormati orang lain jika dirinya merasa bahwa pihak lain menghormatinya. Oleh karena itu orang tua hendaknya menghormati anaknya. Penghormatan orang tua kepada anak dapat dilakukan misalnya dengan menghargai pendapat anak, menjelaskan kenapa suatu aturan dibuat untuk anak, dst. 4) Mengajarkan dengan contoh Pembentukan perilaku pada anak mudah dilakukan melalui contoh. Oleh karena itu contoh nyata dari orang tua bagaimana seharusnya anak berperilaku harus diberikan. Selain itu, orang tua juga bisa membacakan buku-buku yang di dalamnya terdapat pesan-pesan moral. Orang tua hendaknya mengontrol acara-acara televisi yang sering ditonton anaknya, jangan sampai acara yang disukai anak adalah acara yang berpengaruh buruk pada perkembangan moralnya. 5) Mengajarkan dengan kata-kata Selain mengajar dengan contoh, orang tua hendaknya menjelaskan dengan katakata apa yang ia contohkan. Misalnya anak dijelaskan mengapa berdusta dikatakan sebagai tindakan yang buruk, karena orang lain tidak akan percaya kepadanya. 6) Mendorong anak unruk merefleksikan tindakannya

Ketika anak telah melakukan tindakan yang salah, misalnya merebut mainan adiknya sehingga adiknya menangis, anak disuruh untuk berpikir jika ada anak lain yang merebut mainannya, apa reaksinya. 7) Mengajarkan anak untuk mengemban tanggung jawab Anak-anak harus dididik untuk menjadi pribadi-pribadi yang altruistik, yaitu peduli pada sesamana. Untuk itu sejak dini anak harus dilatih melalui pemberian tanggung jawab. 8) Mengajarkan keseimbangan antara kebebasan dan kontrol Keseimbangan antara kebebasan dan kontrol diperlukan pengembangan moral anak. Anak diberi pilihan untuk menentukn apa yang akan dilakukannya namun aturanaturan yang berlaku harus ditaati. 9) Cintailah anak, karena cinta merupakan dasar dari pembentukan moral Perhatian dan cinta orang tua kepada anak merupakan kontribusi penting dalam pembentukan karakter yang baik pada anak. Jika anak-anak diperhatikan dan disayangi maka mereka juga belajar memperhatikan dan menyayangi orang lain. 10) Menciptakan keluarga bahagia Pendidikan moral kepada anak tidak terlepas dari konteks keluarga. Usaha menjadikan anak menjadi pribadi yang bermoral akan lebih mudah jika jika anak mendapatkan pendidikan dari lingkungan keluarga yang bahagia. Untuk itu usaha mewujudkan keluarga yang bahagia merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh orang tua sehubungan dengan erkembangan moral anaknya. b. Pengembangan kebiasaan berperilaku yang baik di sekolah Perkembangan moral anak tidak terlepas dari lingkungan di luar rumah. Menurut Goleman (1997) dan Megawangi 2004) dalam Siti Aisyah dkk. (2007: 8.41 8.42), bahwa lingkungan sekolah berperan dalam pengembangan moral anak usia dini. Pendidikan moral pada lembaga pendidikan formal dimulai ketika anak-anak mengikuti pendidikan pad ataman kanak-kanak. Menurut Schweinhart (Siti Aisyah dkk., 2007:

8.42), pengalaman yang diperoleh anak-anak dari taman kanak-kanak memberikan pengaruh positif pada pada perkembangan anak selanjutnya. Di lembaga pendidikan formal anak usia dini, peran pendidik dalam pengembangan moral anak sangat penting. Oleh karena itu, menurut Megawangi (Siti Aisyah, 2007: 8.45), pendidik harus memperhatikan beberapa hal, yaitu sebagai berikut. 1) Memperlakukan anak didik dengan kasih sayang, adil, dan hormat. 2) Memberikan perhatian khusus secara individual agar pendidik dapat mengenal secara baik anak didiknya. 3) Menjadikan dirinya sebagai contoh atau tokoh panutan. 4) Membetulkan perilaku yang salah pada anak didik. C. Strategi dan Teknik Pengembangan Moral Anak Usia Dini Pengembangan moral anak usia dini dilakukan agar terbentuk perilaku moral. Pembentukan perilaku moral pada anak, khususnya pada anak usia dini memerlukan perhatian serta pemahaman terhadap dasar-dasar serta berbagai kondisi yang mempengaruhi dan menenytukan perilaku moral. Ada 3 strategi dalam pembentukan perilaku moral pada anak usia dini, yaitu: strategi latihan dan pembiasaan, 2. Strategi aktivitas dan bermain, dan 3. Strategi pembelajaran (Wantah, 2005: 109). 1. Strategi Latihan dan Pembiasaan Latihan dan pembiasaan merupakan strategi yang efektif untuk membentuk perilaku tertentu pada anak-anak, termasuk perilaku moral. Dengan latihan dan pembiasaan terbentuklah perilaku yang bersifat relatif menetap. Misalnya, jika anak dibiasakan untuk menghormati anak yang lebih tua atau orang dewasa lainnya, maka anak memiliki kebiasaan yang baik, yaitu selalu menghormati kakaknya atau orang tuanya. 2. Strategi Aktivitas Bermain Bermain merupakan aktivitas yang dilakukan oleh setiap anak dapat digunakan dan dikelola untuk pengembangan perilaku moral pada anak. Menurut hasil penelitian Piaget (dalam Wantah, 2005: 116), menunjukkan bahwa perkembangan perilaku moral anak usia dini terjadi melalui kegiatan bermain. Pada mulanya anak bermain sendiri tanpa dengan menggunakan mainan. Setelah itu anak bermain menggunakan mainan

namun dilakukan sendiri. Kemudian anak bermain bersama temannya bersama temannya namun belum mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Selanjutnya anak bermain bersama dengan teman-temannya berdasarkan aturan yang berlaku. 3. Strategi Pembelajaran Usaha pengembangan moral anak usia dini dapat dilakukan dengan strategi pembelajaran moral. Pendidikan moral dapat disamakan dengan pembelajaran nilainilai dan pengembangan watak yang diharapkan dapat dimanifestasikan dalam diri dan perilaku seseorang seperti kejujuran, keberanian, persahabatan, dan penghargaan (Wantah, 2005: 123). Pembelajaran moral dalam konteks ini tidak semata-mata sebagai suatu situasi seperti yang terjadi dalam kelas-kelas belajar formal di sekolah, apalagi pembelajaran ini ditujukan pada anak-anak usia dini dengan cirri utamanya senang bermain. Dari segi tahapan perkembangan moral, strategi pembelajaran moral berbeda orientasinya antara tahapan yang satu dengan lainnya. Pada anak usia 0 2 tahun pembelajaran lebih banyak berorientasi pada latihan aktivitas motorik dan pemenuhan kebutuhan anak secara proporsional. Pada anak usia antara 2 4 tahun pembelajaran moral lebih diarahkan pada pembentukan rasa kemandirian anak dalam memasuki dan menghadapi lingkungan. Untuk anak usia 4 6 tahun strategi pembelajaran moral diarahkan pada pembentukan inisiatif anak untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan perilaku baik dan buruk. Secara umum ada berbagai teknik yang dapat diterapkan untuk mengembangkan moral anak usia dini. Menurut Wantah (2005: 129) teknik-teknik dimaksud adalah: 1. membiarkan, 2. tidak menghiraukan, 3. memberikan contoh (modelling), 4. mengalihkan arah (redirecting), 5. memuji, 6. mengajak, dan 7. menantang (challanging). D. Pengembangan Nilai-nilai Agama Anak Usia Dini Menurut Zakiah Darajat (dalam Lilis Suryani dkk., 2008: 1.9), agama suatu keimanan yang diyakini oleh pikiran, diresapkan oleh perasaan, dan dilaksanakan dalam tindakan, perkataan, dan sikap. Perkembangan nilai-nilai agama artinya

perkembangan dalam kemampuan memahami, mempercayai, dan menjunjung tinggi

kebenaran-kebenaran yang berasal dari Sang Pencipta, dan berusaha menjadikan apa yang dipercayai sebagai pedoman dalam bertutur kata, bersikap dan bertingkah laku dalam berbgaia situasi. Pemahaman anak akan nilai-nilai agama menurut Ernest Harms (dalam Lilis Suryani dkk., 2008; 1.10 1.11) berlangsung melalui 3 tahap, yaitu sebagai berikut. 1. Tingkat Dongeng (The Fairy Tale Stage) Tingkat ini dialami oleh anak yang berusia 3 6 tahun. Ciri-ciri perilaku anak pada masa ini masih banyak dipengaruhi oleh daya fantasinya sehingga dalam menyerap materi ajar agama anak juga masih banyak menggunakan daya fantasinya. 2. Tingkat Kenyataan (The Realistic Stage) Tingkat ini dialami anak usia 7 15 tahun. Pada masa ini anak sudah dapat menyerap materi ajar agama berdasarkan kenyataan-kenyataan yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Anak sudah tertarik pada apa yang dilakukan oleh lembagalembaga keagamaan. Segala bentuk tindak amal keagamaan mereka ikuti dan tertarik untuk mempelajari lebih jauh. 3. Tingkat Individu (The Individual Stage) Tingkat individu dialami oleh anak yang berusia 15 ke atas. Konsep keagaamaan yang individualistic ini terbagi atas tiga bagian, yaitu: a. konsep keagamaan yang konvensional dan konservatif yang dipengaruhi oleh sebagian kecil fantasi, b. konsep keagamaan yang murni dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal, dan c. konsep keagamaan yang humanistic. Agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Pengembangan nilai-nilai agama pada anak harus didasarkan pada karakteristik perkembangan anak. Jika memperhatikan pendapat Ernest Harms sebagaimana dikemukakan di atas, maka usaha pengembangan nilai-nilai agama menjadi efektif jika dilakukan melalui cerita-cerita yang di dalamnya terkandung ajaran-ajaran agama. Dengan demikian daya fantasi anak berperan dalam menyerap nilai-nilai agama yang terdapat dalam cerita yang diterimanya. Referensi

Lilis Suryani dkk. (2008) Metode Pengembangan Perilaku dan Kemampuan Dsar Anak Usia Dini. Jakarta: Universitas Terbuka. Masitoh dkk. (2005) Strategi Pembelajaran TK. Jakarta: 2005. Siti Aisyah dkk. (2007) Perkembangan dan Konsep Dasar Pengembangan Anak Usia Dini. Jakarta: Universitas Terbuka. Slamet Suyanto. (2005) Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan an Ketenagaan Perguruan Tinggi. Wantah, Maria J. (2005) Pengembangan Disiplin dan Pembentukan Moral pada Anak Usia Dini. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan an Ketenagaan Perguruan Tinggi.

You might also like