You are on page 1of 17

BAB I PENDAHULUAN 1.1.

Latar Belakang Terapi dismenorhea primer masih mengundang banyak kontroversi utamanya dalam hal obat pilihan. Sekarang ini ada dua pihak yang mempunyai pendapat berbeda dalam memilih terapi untuk dismenorhea yaitu penggunaan preparat inhibitor prostaglandin dan preparat hormonal dydrogesteron. Masing-masing pihak mengklaim bahwa obat yang mereka pilih memiliki efektifitas dan keamanan yang paling baik. Meskipun demikian, masih belum banyak ada pengujian perbandingan efektifitas kedua macam preparat ini dalam terapi dismenorhea primer. Asam mefenamat merupakan salah satu substansi penghambat sintesis prostaglandin yang termasuk dalam kelompok fenamat. Obat ini memiliki mekanisme kerja dengan cara menghambat enzim fosfolipase, siklooksigenase dan peroksidase sehingga asam arachidonat yang merupakan prekursor prostaglandin tidak dapat diubah menjadi prostaglandin. Dengan demikian produksi prostaglandin akan sangat berkurang sehingga kontraksi disritmik miometrium yang menimbulkan gejala dismenorhea dapat dikurangi. Berdasarkan penelitian dari Anderson dkk, terbukti bahwa golongan fenamat merupakan penghambat prostaglandin sintetase yang paling poten. Senyawa ini mampu menduduki reseptor prostaglandin miometrium. Khasiat ini hanya dapat ditandingi oleh indometasin. Berkat kemampuan tersebut, obat ini dapat dipakai pada awitan nyeri tanpa pemberian pendahuluan. Sedangkan preparat dydrogesteron memiliki mekanisme kerja yang lebih ke hulu, yaitu dengan memperbaiki keseimbangan estrogen/progesteron yang dianggap sebagai pencetus dari sintesis prostaglandin yang berlebihan dan gejala dismenorhea primer. Preparat inipun pada penelitian pendahuluan memberikan hasil yang cukup efektif dengan efek samping yang sangat minimal, namun kekurangan preparat ini adalah pada protokol pengobatannya dimana pasien harus minum obat ini mulai hari ke-5 sampai ke-25 siklus haid (20 hari) selama 4-6 siklus, tentunya hal ini membawa konsekuensi biaya pengobatan yang lebih besar dan kepatuhan minum obat yang harus

lebih baik. Namun mengingat mekanisme kerja obat ini yang lebih rasional banyak peneliti yang menganjur kan penggunaan obat ini sebagai first line drug. Dengan demikian melalui penelitian ini diharapkan dapat dinilai perbandingan penggunaan klinis obat ini utamanya dari segi efektifitas masing-masing obat. 1.2. Rumusan Masalah Apakah preparat asam mefenamat lebih efektif daripada preparat dydrogesteron pada terapi dismenorhe primer? 1.3. Tujuan Penelitian Untuk membandingkan efektifitas pengobatan asam mefenamat dengan dydrogesteron pada penderita dismenorhea primer. 1.4. Manfaat Penelitian Berdasarkan data yang diperoleh, diharapkan dapat diketahui efektifitas pengobatan asam mefenamat dengan dydrogesteron sebagai bahan pertimbangan dalam pemilihan obat untuk mengatasi keluhan penderita dismenorhea primer.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dismenorhea Primer 2.1.1. Etiologi Penyebab dismenorhea primer adalah peningkatan produksi prostaglandin di endometrium2. Kondisi ini berkaitan dengan siklus haid dengan ovulasi3. Terdapat tiga kali lipat peningkatan pada kadar prostaglandin di dalam endometrium pada fase folikular dibandingkan dengan fase luteal1, yang kemudian meningkat kembali pada saat menstruasi. Wanita dengan dismenorhea primer memiliki jumlah prostaglandin di dalam endometrium yang lebih besar dibandingkan dengan wanita-wanita yang tidak memiliki gejala ini. Pelepasan prostaglandin terjadi pada 48 jam pertama pada saat menstruasi, berhubungan dengan manifestasi berbagai gejala dismenorhea. Prostaglandin F2 (PGF2) adalah prostaglandin yang menjadi penyebab dismenorhea. Prostaglandin ini akan merangsang kontraksi otot uterus sedangkan prostaglandin E akan menghambat kontraksi pada otot uterus yang tidak hamil. Otot uterus pada wanita normal dan wanita dismenorhea sangat sensitif terhadap prostaglandin F2, namun hal yang membedakan adalah jumlah produksi prostaglandin F2 tersebut. Selain itu, faktor-faktor yang memegang peranan sebagai penyebab dismenorhea primer antara lain: Faktor psikis: pada gadis-gadis yang secara emosionil tidak stabil, lebih lagi jika mereka tidak mendapat penerangan yang baik mengenai proses haid mudah timbul dismenorhea. Faktor konstitusional: faktor ini berhubungan dengan faktor sebelumnya di atas dapat juga menurunkan ketahanan terhadap rasa nyeri. Faktor-faktor seperti anemia, penyakit kronis, dll dapat mempengaruhi timbulnya dismenorhea. Faktor endokrin: terdapat anggapan bahwa kejang yang terjadi pada dismenorhea primer disebabkan oleh kontraksi otot uterus yang berlebihan. Faktor endokrin memiliki hubungan yang erat dengan tonus dan kontraktilitas otot.

Seperti telah dikemukakan bahwa dismenorhea primer hanya terjadi pada siklus haid ovulatoar. Steroid seks yakni estrogen dan progesteron berperanan dalam patogenesis dismenorhea primer. Hampir pasti bahwa dismenorhea hanya timbul bila uterus berada di bawah pengaruh progesteron dan peristiwa ini baru terjadi apabila terdapat korpus luteum, yang hanya terbentuk jika ovulasi telah berlangsung. Ovulasi dan produksi progesteron memiliki pengaruh miotonik dan vasospastik terhadap arteriol miometrium dan endometrium7. Tidak diragukan lagi bahwa progesteron meningkatkan kekuatan kontraksi uterus, jika dibandingkan dengan apa yang terjadi dalam fase estrogenik. Namun tekanan intrauterin yang berkembang hanya 15-20 mmHg. Sedangkan tekanan intramuskuler lebih besar lagi dan cukup untuk menyebabkan iskhemia dan nyeri. Di lain pihak, regresi korpus luteum dan penurunan kadar progesteron menyebabkan rusaknya lisosom. Kerusakan ini mengakibatkan terjadinya pengeluaran enzim-enzim seperti fosfolipase, yang akan mengubah fosfolipid di dalam sel-sel endometrium menjadi prostaglandin. Mekanisme kerja yang pasti tentang hormon steroid ini dalam mengendalikan pembentukan prostaglandin masih belum jelas secara keseluruhan. Diduga, progesteron menghambat produksi prostaglandin melalui enzim fosfolipase A2 sehingga tidak terjadi perubahan asam arachidonat, prostaglandin sedangkan melalui 17--estradiol beberapa (E2) meningkatkan yaitu dengan pembentukan merangsang mekanisme

pembentukan enzim siklooksigenase dan sintesa segera dari prostaglandin. Bennet dan Sanger pada hewan percobaan menemukan bahwa sintesa prostaglandin F oleh uterus dirangsang oleh estrogen, sebaliknya progesteron menghambat sintesa prostaglandin F tersebut. Pemberian progesteron 5-500 ng/ml secara bermakna menurunkan produksi PGE dan PGF2 pada fase proliferasi maupun fase sekresi. Kedua hormon estradiol dan progesteron ini juga mempengaruhi pemecahan prostaglandin dalam uterus. Ylikorlala dkk, dalam penelitiannya menemukan bahwa kadar estradiol lebih tinggi pada wanita yang menderita dismenorhea dibandingkan wanita normal. Kadar estradiol yang tinggi ini menyebabkan produksi prostaglandin yang berlebihan oleh endometrium. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya kadar estradiol yang tinggi dalam vena uterina dan vena

ovarika disertai kadar PGF2 yang juga tinggi dalam endometrium. Hal yang terpenting adalah ditemukannya perubahan nisbah E2/P yaitu pada wanita normal kadar estradiol adalah 93,9+64,3 pg/ml dan kadar progesteron 9,5+7,0 ng/ml, sehingga didapatkan nilai nisbah E2/P = 0,01. Nilai > 0,01 memberikan petunjuk bahwa wanita tersebut mungkin menderita dismenorhea. 2.1.2. Epidemiologi Angka kejadian penyakit ini di Indonesia diperkirakan 1,07-1,31% tetapi angka ini hanya menggambarkan jumlah penderita yang berkunjung ke rumah sakit1, dipercaya bahwa angka sebenarnya jauh lebih besar mengingat banyaknya pasien yang berobat ke praktek dokter swasta, baik itu dokter umum maupun dokter ahli kandungan, dan banyak pula yang mengobati penyakitnya sendiri. Beberapa penulis luar negeri mencatat angka yang berkisar 3-92%. Di AS sendiri keadaan ini diderita oleh 30-50% wanita pada usia reproduksi (sekitar 35% dari semua remaja wanita yang antaranya terpaksa kehilangan kesempatan kerja, sekolah, dan kehidupan keluarga. Sementara itu 60-70% wanita dewasa tidak menikah pada usia 30-40 tahunan mengalami keluhan bulanan yang cukup mengganggu selama 1-2 hari. Dawood mendapatkan 50% keluhan pada wanita pasca pubertas dan 10% diantaranya dengan dismenorhea berat yang menyebabkan hilangnya waktu untuk bekerja, belajar dan sekolah. 2.1.3. Faktor Predisposisi Dismenorhea dipengaruhi oleh faktor-faktor: usia, status sosial, pekerjaan, paritas, dan konstitusional. Misalnya kejadian dismenorhea cukup tinggi pada kelompok gadis usia sekolah dan wanita muda (20-24 tahun), pekerja pabrik dan anggota angkatan bersenjata wanita. Dismenorhea pada dasarnya dirasakan oleh semua wanita pada beberapa saat dalam kehidupannya. Dismenorhea primer ditemukan pada usia 16-25 tahun dan tertinggi pada usia 17-20 tahun. Namun usia yang tepat pada saat awitan / onset dismenorhea tersebut mungkin akan sulit diketahui oleh karena nyeri haid dapat berangsur-angsur menjadi progresif. Ciri yang khas dari dismenorhea primer adalah timbulnya 3-5 tahun setelah menarche, seiring dengan belum berlangsungnya siklus haid ovulatoar yang merupakan ciri khas wanita dewasa normal.

Dalam hubungannya dengan paritas, nullipara lebih sering menderita dismenorhea kemudian berkurang setelah melahirkan, terutama dengan persalinan aterm pervaginal. Diduga hal ini disebabkan oleh uterus yang masih kecil atau uterus yang masih tegang serta ostium uteri yang masih sempit. Pengaruh konstitusional terdiri dari hiperaktifitas atau responsifitas yang berlebihan terhadap rangsangan nyeri dan bukan oleh karena ambang nyeri yang rendah. 2.1.4. Patogenesis Konsep patogenesis disusun berdasarkan beberapa faktor yang diduga berperan dalam terjadinya dismenorhea primer. Timbulnya nyeri pada dismenorhea primer diakibatkan oleh perubahan persepsi nyeri dan sensitisasi syaraf tepi, kontraksi uterus disritmik, dan iskhemi miometrium. Kontraksi miometrium yang meningkat dan disritmik ini terjadi akibat oleh rangsangan prostaglandin (PGF2, PGE2) dan Leukotrien (LTC4, LTD4, LTE4). Peningkatan sintesa prostaglandin itu sendiri disebabkan oleh karena rusaknya sel-sel endometrium akibat iskhemi atau kerusakan dinding lisossom. Lebih detil lagi, kerusakan dinding lisosom diawali oleh gangguan keseimbangnan hormonal antara estradiol dan progesteron. Keseimbangan ini ditentukan oleh nisbah antara kedua hormon tersebut. Pada nisbah E2/P > 0,01 akan mudah terjadi kerusakan dinding lisosom. Di samping itu perubahan nisbah tersebut diduga meningkatkan pengeluaran vasopresin dan merangsang pembentukan katekolamin (adrenalin dan noradrenalin) dilain pihak, pengeluaran katekolamin dan vasopresin dirangsang oleh labilitas emosi, seperti jiwa yang tercekam. Tetapi hubungan antara peningkatan nisbah dengan bertambahnya sintesa vasopresin belum jelas terungkap. 2.1.5. Gejala-gejala Klinik Dismenorhea ini dimulai ketika atau tepat sebelum awitan perdarahan, yaitu sepanjang hari pertama haid dan jarang yang sesudahnya. Puncak nyeri dicapai dalam 24 jam prehaid, dan berulang ketika awitan perdarahan untuk kemudian berlangsung 8-12 jam meskipun terdapat keragaman individuil. Nyeri ringan dapat mengawali aliran haid, namun nyeri yang paling berta mulai menjelang aliran haid dan biasanya berakhir hanya 12-24 jam kemudian. Umumnya menghebat pada hari pertama dan kedua siklus haid.

Nyeri itu sendiri pada awalnya merupakan nyeri yang terdapat di garis tengah abdomen bawah tepat di atas simfisis pubis, bersifat intermeten, spasmodik, tajam, bergelombang, dan beratnya mengikuti kontraksi uterus, menyebar ke punggung bawah (lumbosakral), penjalaran nyeri tersebut seperti halnya kontraksi sewaktu persalinan dan berhubungan dengan perasaan sakit yang umum. Pada bentuk yang berat, nyeri ini menjalar sampai ke sisi dalam dari paha menuju ke lutut, disertai dengan mual, muntah, sakit kepala, dan mudah tersinggung. Untuk menentukan penggolongan dismenorhea, digunakan klasifikasi dismenorhea menurut Andersch dan Milson:

DERAJAT

PERUBAHAN Tanpa rasa nyeri, aktifitas sehari-hari tidak

terpengaruhi Nyeri ringan, jarang memerlukan

analgesik, aktifitas sehari-hari tidak terganggu Nyeri sedang, memerlukan analgesik,

II

aktifitas sehari-hari terganggu, tetapi jarang absen dari sekolah atau pekerjaan Nyeri berat, nyeri banyak berkurang dengan analgesik, tidak dapat melakukan

III

kegiatan sehari-hari, timbul keluhan vegetatif, misalnya nyeri kepala, kelelahan, mual, muntah, dan diare.

2.1.6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dapat dilakukan baik secara medis maupun operatif tergantung dari derajat beratnya masalah. Penatalaksanaan secara medis terdiri dari psikoterapi dan pemberian obat-obatan seperti penghambat sintesis prostaglandin, kontrasepsi hormonal oral, antagonis kalsium, perangsang adrenoseptor-beta, dan sediaan hormonal. Penatalaksanaan operatif meliputi dilatasi dan kuretase, neurektomi presakral atau penyuntikan pleksus pelvikus dan histerektomi total. 2.2. Penghambat sintesis prostaglandin (Asam Mefenamat) Pengobatan dismenorhea primer dengan antiprostaglandin atau obat antiinflamasi non steroid (AINS) telah dipakai lebih dari 10 tahun. Kerja obat ini melalui khasiat analgesik dan hambatan sintesis prostaglandin9. Tetapi, sekali jaringan endometrium rontok, prostaglandin yang memasuki sirkulasi sistemik tidak dapat dicegah, oleh karena itu efektifitas obat tersebut akan lebih tinggi bila diberikan 1-2 hari sebelum haid dan dilanjutkan sampai hari kedua atau ketiga siklus haid. Anderson dkk, memperlihatkan bahwa untuk pengobatan dismenorhea primer, asam mefenamat lebih khasiatnya dibandingkan dengan asam flufenamat. Dan dalam berbagai penelitian menggunakan berbagai macam penghambat sintesis prostaglandin, terbukti golongan asam mefenamat memberikan hasil yang terbaik pada terapi dismenorhea primer. Efek samping utama preparat ini ialah iritasi saluran gastrointestinal, sehingga sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan tukak lambung berat. Saat ini telah banyak dikembangkan sediaan-sediaan dengan tipe enteric coated sehingga efek samping gastrointestinal dapat dikurangi. Dosis yang dipakai dapat disesuaikan dengan berat-ringannya persepsi nyeri sehingga pada prinsipnya pasien dapat menyesuaikan dosis sesuai dengan kebutuhan. Dosis yang biasa dipakai adalah 3 x 500 mg perhari dan kebanyakan wanita hanya memerlukan obat ini selama 2-3 hari dan cukup efektif bila diminum pada saat perdarahan haid pertama terlihat. Pada 80% pasien yang menggunakan obat ini, terdapat perbaikan yang bermakna, bahkan setelah pemakaian selama 6 bulan terdapat perbaikan yang gejalagejala dismenorhea yang bermakna.

2.3. Preparat Hormonal (Dydrogesteron)

Dengan adanya bukti-bukti baru bahwa produksi prostaglandin yang berlebih berkaitan dengan gangguan keseimbangan nisbah E2/P dimana terjadi peningkatan aktifitas estradiol dan/atau penurunan aktifitas progesteron, maka saat ini telah dikembangkan berbagai jenis preparat progesteron sintetis untuk mengobati kondisi ini. Dari berbagai preparat progesteron sintetis yang ada, ternyata dydrogesteron-lah yang merupakan preparat paling efektif dengan efek samping minimal. Bahkan preparat progesteron ini juga tidak menekan ovulasi, seperti preparat hormonal lain sehingga bisa diberikan pada wanita-wanita muda tanpa mengganggu fungsi reproduksinya. Penelitian klinis terhadap obat ini telah memberi hasil yang sangat memuaskan. Obat ini diberikan dengan dosis 10 mg/hari selama hari ke-5 25 siklus haid dan harus diberikan untuk minimal 3-4 siklus sehingga dapat memberikan efek kesembuhan yang nyata. Pada penggunaan selama 6 siklus haid berturut-turut, dydrogesteron akan meniadakan keluhan dismenorhea pada 76% kasus, sedangkan 14% kasus keluhannya berkurang dan hanya 10% saja yang keluhannya tidak berkurang. Sehingga atas dasar ini, banyak ahli yang kemudian menganjurkan pemakaian obat ini sebagai terapi pilihan untuk dismenorhea primer, terutama pada wanita yang belum ingin hamil. Obat/preparat lainnya seperti pada golongan analgesik, narkotik, Ca-channel blocker, perangsang adrenoseptor dan pil kontrasepsi juga pernah diteliti, tetapi efektifitasnya tidak sebaik seperti kedua preparat tersebut.

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Konsep Populasi - Semua penderita dismenorhea primer yang datang berobat ke Poli Ginekologi RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Sampel = nyeri dismenorrea primer +

Umur, Paritas Faktor Internal: Psikis Penyakit penyerta

Hormon Faktor Eksternal: Obat-obatan

Asam Mefenamat

Dydrogesteron

Nyeri menetap / berkurang

3.2. Hipotesis Penelitian Ho: Preparat asam mefenamat tidak lebih efektif dibandingkan dengan preparat dydrogesteron dalam terapi dismenorhea H1: Preparat asam mefenamat lebih efektif dibandingkan preparat dydrogesteron dalam terapi dismenorhea BAB IV METODE PENELITIAN

10

4.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksprimental. O1 PSR O3 O5 P S R O1 O2 O3 O4 O5 O6 : Populasi : Sampel : Randomisasi : Nyeri dismenorhea primer sebelum diberikan Asam Mefenamat : Nyeri dismenorrhea primer sesudah diberikan Asam Mefenamat : Nyeri dismenorrhea primer sebelum diberikan Asam Dydrogesteron : Nyeri dismenorrhea primer sesudah diberikan Dydrogesteron : Nyeri dismenorrhea primer sebelum diberikan Plasebo : Nyeri dismenorrhea primer sesudah diberikan Plasebo Asam Mefenamat Dydrogesteron Plasebo O2 O4 O6

4.2. Populasi dan Sampel - Populasi: Semua penderita dismenorhea primer yang datang berobat ke Poli Ginekologi RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. - Sampel: nyeri dismenorrhea primer +

- Kriteria Inklusi:

* Penderita dismenorhea primer tanpa komplikasi penyakit apapun yang memenuhi kriteria Andersch dan Milson

11

* Sebelumnya tidak minum obat yang bertujuan meringankan dismenorea primernya * Memiliki status kesehatan umum yang baik * Penderita bersedia mengikuti prosedur penelitian dan bersedia menandatangani informed consent. - Kriteria Eksklusi: - Dalam pemeriksaan lebih lanjut terbukti terdapat kelainan ginekologis (dismenorhea sekunder). - Hipersensitifitas terhadap salah satu macam obat. - Timbul reaksi efek samping obat sehingga penggunaan obat tersebut harus dihentikan. - Penggunaan obat lain yang mempunyai interaksi dengan obat yang diteliti. 4.3. Variabel Penelitian - Variabel Bebas : Preparat asam mefenamat dan preparat dydrogesteron nyeri dismenorhea primer - Variabel Tergantung : 4.4. Definisi Operasional 1. 2. 3. 4. Populasi adalah semua wanita yang menederita nyeri haid yang cukup Sampel adalah nyeri yang hebat yang timbul saat haid. Hasil akhir adalah nyeri yang menetap atau berkurang. Nyeri dikatakan menetap apsabila menurut karakterisitik Andersh Milson berat yang datang berobat ke Poli Ginekologi RSU. Prof. R.D. Kandou, Manado.

ada pada derajat yang sama. Sedangan nyeri berkurang apabila menurut kalsifikasi tersebut derajat nyeri mengalami penurunan tingkat derajat. 5. Preparat asam mefenamat: dipilih preparat asam mefenamat jenis enteric coated dengan dosis 3 x 500 mg/hari selama minimal 2 hari dan maksimal 3 hari, diminum mulai saat perdarahan haid pertama, dan diminum selama 6 siklus. 6. Preparat Dydrogesteron, dosis 1 x 10 mg/hari, diminum mulai hari ke 5-25 siklus haid selama 6 siklus.

12

4.5. Instrumen Penelitian 1. Data-data yang diambil dari kartu status pasien (identitas, riwayat penyakit, dll) 2. Hasil pemeriksaan fisik dan ginekologis yang menyingkirkan kemungkinan dismenorhea sekunder 3. Formulir pencatatan hasil pengobatan pasien 4. Kuesioner untuk penderita dalam menilai hasil pengobatan yang dirasakan 5. Pengukuran dengan skala ordinal. 6. Klasifikasi dismenorhea menurut Andersch dan Milson. 4.6. Prosedur Penelitian 1. Penderita yang memenuhi kriteria penelitian diberikan informasi yang jelas tentang penelitian dan menandatangani informed consent 2. Semua penderita yang memenuhi kriteria dibagi dalam tiga kelompok secara acak (random) dimana kelompok 1 mendapat preparat asam mefenamat, kelompok 2 mendapat preparat dydrogesteron, dan kelompok 3 mendapat plasebo. 3. Seluruh kelompok diberikan obat secara single blind. 4. Sebelum diberikan obat, derajat nyeri terlebih dahulu ditentukan dengan memakai kriteria Andersch dan Milson dan dicatat dalam status oleh satu orang pemeriksa. 5. Evaluasi dilakukan tiap bulan dalam atau setelah siklus haid yaitu dengan melakukan pengukuran derajat rasa nyeri dan bila dalam 2 bulan berturut-turut rasa nyeri sangat minimal (yakni dapat ditoleransi tanpa minum obat) maka pengobatan dapat dihentikan. Kepatuhan pasien dalam meminum obat dan efek samping yang timbul juga turut ditanyakan. 6. Di akhir pengobatan (6 bulan) perlu dicatat mengenai kesembuhan/hilangnya gejala dismenorhea. 4.7. Analisa Data Data yang diperoleh, dikumpulkan, kemudian dilakukan analisa data dengan menggunakan uji statistik yang disesuaikan dengan hasil data.

13

BAB V LOKASI, WAKTU dan CARA PENELITIAN

14

5.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Poliklinik Ginekologis RSU Prof. Dr. R. D. Kandou, Manado dari Maret 2006 sampai September 2006. 5.2. Cara Penelitian

BAB VI PERSONALIA dan PERKIRAAN BIAYA PENELITIAN

Minggu Kegiatan Persiapan (Maret 2006 September2006) Pembuatan usulan penelitian Pembuatan organisasi Pembuatan status pasien Melatih tenaga penelitian Uji lapangan Pengadaan alat-alat Pengurusan surat-surat Pelaksanaan Penelitian Pengumpulan data Pengolahan data Analisis data Pengolahan Data Diskusi Pelaporan Hasil * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 2 0

6.1. Personalia Penelitian

15

1.Ketua Penelitian 2.Konsultan 3.Anggota Peneliti 4.Tenaga Laboratorium dan teknisi 5.Pencacah 6.Tenaga Administrasi 6.2. Perkiraan Biaya Penelitian Rincian biaya penelitian yang mengacu pada kegiatan penelitian berupa : 1. Honorarium 2. Bahan dan peralatan penelitian 3. Perjalanan/transportasi untuk pengumpulan data 4. Alat tulis menulis 5. Biaya analisis dan pembuatan laporan penelitian Rp.3.000.000,00 Rp.5.000.000,00 Rp.2.000.000,00 Rp. 500.000,00 Rp.1.000.000,00

DAFTAR PUSTAKA

1. Jacoeb TZ, Endjun JJ, Baziad A. Aspek Patofisiologi dan Penatalaksanaan Dismenore. Dalam: Baziad A, Jacoeb TZ, Surjana EJ, Alkaff Z, eds.

16

Endokrinologi Ginekologi; edisi ke-1. Jakarta: Kelompok Studi Endokrinologi Reproduksi Indonesia (KSERI), 1993:71-101. 2. Goldfien A, Monroe SE. Ovaries. In: Greenspan FS,eds. Basic and Clinical Endocrinology; 3rd ed. Norwalk, Connecticut, 1991:442-88. 3. Simanjuntak P. Gangguan Haid dan Siklusnya. Dalam: Prawirohardjo S, Winkjosastro H, Sumapraja S, Saifuddin AB, eds. Ilmu Kandungan; edisi ke-1. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1989:152-78. 4. Winkjosastro H. Fisiologi Haid. Dalam: Winkjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, eds. Ilmu Kebidanan; edisi ke-3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1991:45-50. 5. Rapkin AJ. Pelvic Pain and Dysmenorrhea. In: Berek JS, Adashi EY, Hillard PA, eds. Novaks Gynecology; 12th ed. Baltimore, Maryland : Williams & Wilkins, 1996:339-425. 6. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility; 5th ed. Baltimore, Maryland : Williams & Wilkins, 1994. 7. Cuningham FG, Gant NF, Leveno KJ et all. Williams Obstetrics; 20th ed. New York: McGraw-Hill, 2001. 8. Robertson RP. Eicosanoids and Human Disease. In: Wilson JD, Braunwald E, Isselbacher KJ, Petersdorf RG, Martin JB, Fauci A, et al. Harrisons Principle of Internal Medicine; 12th ed. New York: Mc Graw Hill, 1991:397-401. 9. Insel PA. Analgesic-antipyretics and Antiinflammatory Agents: Drugs employed in the Treatment of Rheumatoid Arthritis and Gout. In. Gilman AG, Rall TW, Nies AS, Taylor P, eds. The Pharmalogical Basis of Theurapeutics. 8th ed. New York: Mc Graw Hill, 1992:638-79.

17

You might also like