You are on page 1of 4

KONSEPSI KAWASAN PERI URBAN Istilah peri urban merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris.

Istilah peri merupakan kata sifat yang bermakna pinggiran atau sekitar dari suatu objek tertentu. Sementara istilah urban merupakan istilah yang berarti sifat kekotaan atau sesuatu yang berkenaan dengan kota. Penggabungan dari kedua istilah tersebut yaitu peri dan urban akan membentuk kata sifat baruyang secara harafiah berarti sifat kekotaan dan sekitar, sehingga apabila ditamabah dengan kata region, maka kata peri urban region mempunyai makna sebagai suatu wilayah yang berada disekitar perkotaan. Kawasan peri urban merupakan kawasan yang berdimensi multi, hal ini dikarenakan pengkaburan makna sekitar perkotaan, yang berarti memiliki makna sifat kekotaan dan sifat kedesaan. Pengidentifikasian kawasan peri urban sangat sulit jika dilihat dari dimensi nonfisikal, oleh karena itu pada tahap pengenalan kawasan peri urban hanya didasarkan pada istilah kedesaan maupun kekotaan dari segi fisik morfologiyang diindikasikan oleh bentuk pemanfaatan lahan non-agrarisversus penggunaan lahan agraris.. dari sisi ini wilayah perkotaan merupakan suatu wilayah yang didominasi oleh bentuk pemanfaatan lahan non-agraris, sedangkan wilayah kedesaan adalah wilayah yang didominasi oleh bentuk pemanfaatan lahan agraris. Dari segi sosial-ekonomi pengidentifikasian kawasan peri urban ini sedikit berbeda dengan pengidentifikasian secara fisikal, karena pengidentifikasian segi ini menyangkut perilaku sosial maupun ekonomi masyarakat. Secara ilmiah penentuan batasan kawasan peri urban ini sanagt sulit, namun McGee (1994:13) mengemukakan bahwa batas terluar dari kawasan peri urban ini adalah tempat dimana orang masih maumenglaju untuk bekerja/melakukan kegiatan kekota. Hal seperti ini terjadi juga di daearah administratif Jogjakarta. Pagi hari oranag akan melakukan perjalanan dari kaawsan pedesaan ke kawasan perkotaan, dan sebaliknya di sore hari, orang akan melakukan perjalanan pulang dari kawasan perkotaan ke kawasan pedesaaan. Dengan demikian dari waktu kewaktu kawasan peri urban ini akan semakin meluas baik ditinjau dari segi fisikal morfologis maupun dari segi sosial ekonomi. Hal inilah yang terjadi pada kawasan jalan Palagan tentara Pelajar saat ini. Fenomena seperti ini didasarkan pada kenyataan bahwa moda transportasi saat ini selalu bertambah canggih dengan kemampuan jangkau yang semakin jauh ditambah penyingkatan waktu yang diperlukan untuk melakukan perjalanan. Batasan fisikal morfologis kawasan peri urban mengisyaratkan adanya kecendrungan semakin luasnya kawasan peri urban ini. Hal ini didasarkan pada kenyataan dilapangan bahwa pertambahan penduduk dan kegiatannya selalu diikuti dengan tuntutan peningkatan ruang yang akan dimanfaatkan, baik digunakan sebagai tempat tinggal maupun untuk tempat

kegiatan lainnya. Perkembangan sarana dan prasarana transportasi memegang peranan yang sangat signifikan atas perkembangan kawasan peri urban. Pertambahan volume dan frekuensi kegiatan yang ada juga akan diikuti dengan tuntutan penyediaan ruang yang brfungsi untuk mengakomodasi kegiatan-kegiatan baru tersebut. Dan seperti yang kita ketahui bersama bahwa runag terbuka yanag berda dikawasan dalam kota semakin menyusut, maka tidak semua pertambahan tuntutan akan ruang baik untuk pemukiman maupun kegiatan-kegiatan lainnyadapat diakomodasikan, sehingga penambahan pemukiman dan ruang kegiatan-kegitana lainnya tersebut dilaksanakan diluar kawasan perkotaaan yang sudah terbangun , atau dilahan-lahan terbuka yang masih berupa lahan pertanian yang letaknya tidak jauh dari kawasan perkotaan. Disinilah latar belakang terjadi perembetan kenampakan fisikal kekotaan kearah luar terjadi yang dikenal dengan urban sprawl. Proses urban Sprawl ini mengakibatkan bertambah luasnya lahan kekotaan terbangun (urban built-up land) dan dari sinilah kawasan peri urban dikenali. Menurut Andreas (1942) pengertian kawasan peri urban adalah suatu zona yang didalamnya terdapat percampuran antara struktur lahan kedesaan dan lahan kekotaan ( the intermingling zone of characteristically urban land use structure). Sedangkan Pryor merumuskan definisinya tentang pencitraan kawasan peri urban adalah sebagai berikut : The rural urban fringe is the zone of transition in land use, social and demographic characteristics, lying between (a) the continuously bult-up urban and suburban areas of the central city,and (b) the rural hinterland, characterized by the almost absence of non-farm dwellings, occupations and land use, and of urban and rural social orientation an incomplete range and penetration of urban utility services; uncoordinated zoning or planning regulation; areal extension beyond although contiguous with the political boundary of the cental city; and unactual and potential increase density, with the current density above that surrounding rural districts but lower than the central city. These characteristics may differ both zonally and sectorally, and will be modified through time. Secara komprehansif, definisi tersebutdapat diungkapkan bahwa kaawsan peri urban atau rural urban fringe merupakan zona peralihan pemanfaatan lahan, peralihan karakteristik sosialdan peralihan karakteristik demografis yang terletak antara: a. Wilayah kekotaan terbangun yang menyatu dengan permukiman kekotaan utamanya dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pusat kota, dan

b. Daerah buriloka (hinterland) kedesaannya yang dicirikhasi oleh nyaris langkanya tempat tinggal penduduk bukan petani, mata pencaharian bukan kedesaan dan pemanfaatan lahan bukan kedesaan. Didalamnya terdapat percampuran orientasi sosial ekonomi kedesaan dan kekotaan dan mulai terjadi penetrasi utilitas dan fasilitas kekotaan serta dicirikhasi oleh adanya aplikasi peraturan zoning dan perencanaan yang tidak terkoordinasi dengan baik. Sementara itu perkembangan fisikal kekotaan telah melampaui batas-batas administrasi kota dan di wilayah tersebut sangat potensial terjadinya kenaikan kepadatan penduduk yang signifikan dan menciptakan kepadatan yang lebih tinggi dari rerata kepadatan penduduk di daerak kedesaan di sekitarnya, namun masih lebih rendah dari rerata kepadatan penduduk dibagian dalam kota. Melihat dari beberapa definisi diatas, maka batasan fisikal dari kawasan peri urban masih kabur, namun menekankan pada performa pemanfaatan lahan, maka batasan dari segi ini tidk jauh pergeserannya dari batasan kawasan peri urban dari segi ekonomi. dari buku Deterrminasi kawasan peri-urban. Hadai Sabari Yunus. Banyak bencana yang terjadi dalam dimensi kehidupan masyarakat Indonesia saat ini; banjir dimusim hujan, krisis air dimusim kemarau, krisis ekonomi, krisis moral, krisis panutan (kepemimpinan) dan banyak lagi lainya. Semua itu adalah ragam bencana yang pernah menimpa negeri ini. Namun bencana paling paradoks adalah munculnya fenomena kemiskinan yang kemudian menghasilkan penyakit berupa busung lapar, dan gizi buruk. Padahal negeri ini memiliki kekayaan SDA (Sumber Daya Alam) yang melimpah. Fenomena ini menjadi satu indikasi lemahnya pemerintah pada bidang pengelolaan, terutama pada potensi alam yang telah dikandung bangsa Indonesia sendiri, sehingga untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya pemeritah tidak sanggup memenuhinya. Di lain sisi, bangsa ini kini sedang dihadapkan pada arus besar berupa modernisasi Negara dunia pertama. Jika pemerntah tetap tidak siaga, suatu saat pasti akan memunculkan berbagai macam bencana baru lebih dahsyat. Coba tengok kembali bagaimana kondisi kehidupan masyarakat Indonesia saat ini, terutama pada wilayah pedesaan. Masyarakat di pedesaan kini mulai enggan mempertahankan kehidupan agrarisnya. Mereka lebih tertarik pada pola kehidupan modern yang lebih menitik beratkan pada wilayah industri. Akibatnya, arus urbanisasi dari desa ke kota tiap tahun semakin meningkat.

Bersamaan dengan kuatnya arus urban di wilayah perkotaan, otomatis akan mendorong pula lahirnya transformasi spasial diwilayah peri-urban (WPU). Hal ini dikarenakan terbatasnya kapasitas tampung di wilayah kota. Dan untuk memenuhi daya tampung masyarakat yang semakin meluap itu, wilayah perkotaan terpaksa akan melakukan pengembangan di sekitar WPU. Hal ini sudah tak terbantah lagi, karena peri-urban (urban fringge) adalah wilayah yang berada di pinggiran kota. Wilayah ini yang sesungguhnya sangat penting terhadap peri kehidupan penduduk di masa akan datang, baik di desa maupun di kota. Dan di wilayah ini pulalah yang dapat memunculkan berbagai macam problem kehidupan di Negara ini. Hal ini tampaknya belum disadari oleh pemerintah. Pasalnya, sampai saat ini, pemerintah masih jarang memberi perhatian secara serius fenomena yang tejadi di WPU. Ini dapat kita lihat, masyarakat yang menempati WPU ini masih terlihat sangat semrawut, dan kumuh. Kalau musim penghujan wilayah ini menjadi langganan banjir. Fenomena ini banyak ditemukan di wilayah pinggiran perkotaan seperti di Jakarta, Bogor, Surabaya, Bandung, dan kota-kota besar lainnya. Perkembangan fisikal yang berupa transformasi spasial wilayah perkotaan inilah yang menjadi bahan kajian penulis dalam buku ini. Ada hal yang menarik sebagai bahan refleksi yang disampaikan penulis dalam buku ini; proses pembangunan pemukiman yang tidak tertata dan terkendali akan mengakibatkan munculnya proses densifikasi pemukiman yang tidak terkontrol dan hal ini akan mampu memicu terciptannya pemukiman kumuh yang pada gilirannya akan mengakibatkan menurunya produktivitas kerja dan hal ini akan pula mengakibatkan rendahnya penghasilan dan berakhir dengan kemiskinan masif. Realitas ini yang kini terjadi di WPU. Seperti yang telah di jelaskan di atas, bahwa WPU adalah wilayah pra urban, di mana kondisi kekotaan masa depan akan ditentukan. Wilayah ini yang membatasi antara pedesaan dan perkotaan, selain itu juga yang akan menjadi korban terjadinya transformasi spasial jika masih tidak dikelola secara baik dan benar. *) Penulis Adalah peneliti pada "Lembah Kajian Peradaban Bangsa" (LKPB) UIN Sunan Kalijaga.

You might also like