Professional Documents
Culture Documents
Waktu terasa berjalan cepat. Malam ini Ibnu kembali berada di Musholla Buya Nur. Sudah
sepekan pula berlalu semenjak dia menerima penjelasan Buya Nur mengenai tiga kelompok manusia
berdasarkan dimensinya. Dalam sepekan ini Ibnu berulang kali mencermati gambar yang diberikan
Buya Nur. Setiap kali melihat gambar itu, terngiang kembali di telinganya ucapan Buya Nur: “Lihatlah
apa yang ada dibalik gambar itu. Suruhlah gambar itu berbicara. Jangan terpaku dengan
penampakannya. Karena gambar itu hanyalah sebuah model, sebuah penyederhanaan.”
Sementara menunggu kehadiran gurunya, Ibnu merenung: “Kenapa kadang kadang waktu
berlalu cepat; namun adakalanya terasa lambat?” Tiba tiba Ibnu tersedot kedalam terowongan
waktu; dua tahun yang lalu. Dia sedang duduk termenung di teras masjid. Walaupun baru saja
menyelesaikan shalat Jumat, dadanya masih terasa sesak diamuk kemarahan. Dia merasa sangat
terpukul dengan perlakuan yang diterimanya. Dia merasa dizholimi. “Mungkin aku bersalah. Dan
harus dihukum. Tetapi kenapa harus dizholimi?”, katanya setengah berbisik.
Terbayang peristiwa empat hari sebelumnya. Saat dia dipanggil bagian personalia. Dalam
sidang kilat itu dia merasa seperti dinterogasi untuk akhirnya dipojokkan. Disuruh mengundurkan
diri. “Dimana keadilan?”, tanya Ibnu dalam hati. Dia ingin memberontak. Tetapi sistem yang berlaku
seolah tidak mendukung.
Selama empat hari Ibnu berkelana dari masjid ke masjid. Mencari ketenangan. Namun
sampai Jumat itu dia masih sangat gundah. Marah, kesal, dendam semua campur aduk dalam
dadanya. Tiba tiba seorang tua mendekat menyalaminya. Ibnu tidak melihat dan tidak
memperhatikan dari mana datangnya bapak tersebut. Mungkin baru saja keluar dari dalam masjid
yang sudah lengang. Si bapak duduk disebelah Ibnu dan bertanya, “Siapa namamu nak?”. “Ibnu,
Pak”, jawab Ibnu dengan singkat. Dia sedang tidak dalam kondisi siap untuk bercengkerama. Namun
keteduhan wajah tua bapak itu, salamannya yang hangat dan senyumnya yang bening seolah
meniupkan hawa sejuk. Dadanya terasa agak ringan. “Saya Nurdin. Maukah kamu mampir ke
tempatku?”, lanjut si bapak.
“Ibnu, lagi ngapaian?”, tiba tiba suara Buya Nur menarik Ibnu keluar dari terowongan waktu.
Memang dia sedang berada ditempat Buya Nur, namun bukan pada dua tahun yang lalu. Kini dia lagi
sedang duduk didepan Buya. Melihat Ibnu kaget Buya tersenyum dan bertanya, “Apa yang sedang
kamu pikirkan Ibnu?”
1
Agak tergagap Ibnu menjawab, “Saya sedang memikirkan misteri waktu Buya”. Ibnu merasa
heran darimana datang ilham untuk menjawab seperti itu. Tetapi kata katanya sudah diucapkan.
Tidak mungkin ditarik. Dia diam menundukkan wajahnya.
Buya Nur mendehem dan berkata, “Ibnu, coba kamu baca Surat As‐Sajdah, surat ke 32 ayat
5”. Ibnu mengambil mushafnya dari dalam ransel dan mencari surat ke 32 ayat 5:
Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi. Kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam
satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.
Buya diam sejenak setelah mendengar Ibnu membaca ayat tersebut. Kemudian berkata
“Ibnu, pernahkah kamu merasa waktu berlalu cepat? Dan pada kali lainnya justru terasa lambat?”,
tanya Buya Nur.
“Pernah Buya. Bahkan sering”, jawab Ibnu.
“Berapa jamkah waktu dalam sehari semalam? ”, tanya Buya.
“Duapuluh empat jam Buya”, jawab Ibnu.
“Sewaktu engkau merasa waktu berlalu dengan cepat, berapa jamkah sehari semalam? ”,
tanya Buya kembali.
“Duapuluh empat jam Buya”, jawab Ibnu.
“Sewaktu engkau merasa waktu berjalan lambat”, tanya Buya lagi.
“Ya sama Buya. Duapuluh empat jam juga”, jawab Ibnu, kurang mengerti kemana arah
pertanyaan Buya.
“Lalu kalau engkau kadang‐kadang merasa waktu lambat dan adakalanya cepat, siapakah
yang dusta?”, tanya Buya.
Ibnu terdiam. Dia berpikir untuk menjawab pertanyaan Buya yang sepertinya menjebak.
“Tidak ada yang dusta Buya. Hanya saya tertipu”, jawab Ibnu mantap.
“Kamu merasa tertipu. Siapa yang menipumu Ibnu”, tukas Buya dengan cepat.
2
“Saya tertipu oleh perasaan saya sendiri, Buya”, jawab Ibnu mulai menyadari kemana arah
pembicaraan Buya.
“Bagus Ibnu”, lanjut Buya. “Mulai sekarang kamu ingat baik baik. Perasaanmu kadang‐
kadang berdusta atau menipu. Karena itu jangan menghandalkan perasaan dalam mencari
kebenaran.”
Ibnu terhenyak. Jawaban spontannya tadi, mengatakan kepada Buya bahwa dia sedang
memikirkan misteri waktu, telah membawanya kepada suatu pelajaran yang menurut Ibnu sangat
penting. Subhanallah.
Buya Nur meneguk minumannya. Kemudian beliau memandang Ibnu dan berucap:
“Sekarang coba kamu baca Surat Al‐Ma’arij ayat 4”. Ibnu membaca surat ke‐70 ayat 4:
Malaikat‐malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari setara dengan
limapuluh ribu tahun.
Setelah sama sama terdiam sejenak, Buya Nur bertanya, “Nah Ibnu, dari kedua ayat diatas
mana yang dusta?”, Ibnu terdiam. Dia tidak bisa menjawab. Keduanya adalah ayat Al‐Quran. Al‐
Quran adalah firman Allah yang pasti benarnya. Lalu yang mana yang tidak benar? Ayat yang satu
mengatakan 1 hari di langit sana sama dengan 1.000 tahun di bumi. Tapi dalam ayat lainnya
dikatakan 1 hari di langit sana sama dengan 50.000 tahun di bumi.. Betul betul Ibnu tidak bisa
menjawabnya. “Buya, saya tidak tahu dan tidak bisa menjawabnya”, kata Ibnu terus terang.
“Menurut logika saya seribu tidak sama dengan limapuluh ribu. Tapi bagimana ya”, lanjut Ibnu
dengan bingung.
Buya Nur tersenyum singkat dan berkata, “Sangat sederhana Ibnu. Kedua ayat tersebut
adalah dari Al‐Quran. Al‐Quran adalah Firman Allah. Pasti kebenarannya. Tapi menurut logika kamu
tidak mungkin 1.000 sama dengan 50.000. Nah dalam hal ini kamu kembali tertipu. Kali ini yang
menipu adalah logikamu.”
“Dimana letak masalahnya?”, lanjut Buya Nur. “Kamu mencoba mengukur kebenaran dari
Yang Maha Benar dengan logika kamu. Ibaratnya kamu mencoba mengukur keliling bumi dengan
menggunakan mistar. Atau mengajuk dalamnya laut dengan telunjukmu”.
3
Ibnu terdiam. Dia berusaha untuk menangkap penjelasan Buya yang kedengarannya
sederhana, namun tidak mudah. Memang dalam kesehariannya Ibnu adakalanya bertemu dengan
hal hal yang tidak logis. Bahkan kadang kadang paradoks. Tetapi tidak bisa dipungkiri kebenarannya.
Terdengar dentingan cangkir sorbat Buya yang diletakkan kembali diatas tatakannya. Ibnu
memandang Buya menunggu penjelasan lebih lanjut. Buya Nur tahu persis arti pandangan mata
muridnya. Beliau berkata, “Ibnu. Pelajaran kedua untuk hari ini adalah: Logika adakalanya tidak
mampu menilai kebenaran. Karena itu jangan menghandalkan logika dalam mencari kebenaran.”
Ibnu terhenyak diam. Mulanya dia bermaksud akan menerima penjelasan lebih lanjut
mengenai tiga macam dimensi yang diberitahu Buya pekan lalu. Tetapi pembicaraan dengan Buya
telah menggiringnya kepada pelajaran lain yang tidak diduga. Yang kalau waktunya tidak pas
mungkin tidak akan terungkap. Ibnu merasa sangat bersyukur. Walaupun kedua pelajaran tersebut
harus dia renungkan lebih lanjut, namun dia sudah menangkap maksud gurunya.
Buya Nur bangkit beridiri sambil berkata, “Ibnu. Engkau renungkan baik baik kedua ayat tadi.
Insyaallah akan tersingkap kepadamu bahwa hidup dimuka bumi ini betul betul tidak ada artinya
dibanding dengan kehidupan langit.”
Ibnu mengangguk pelan. Buya Nur menuju mihrabnya. Tak lama kemudian kesunyian
menyelimuti mereka berdua. Mereka berdua, guru dan murid, sama sama sibuk dalam kesunyian.
Bahkan musholla itupun seolah hilang ditelan kesunyian.‐
Depok, awal Maret 2009
Syahril Bermawan