You are on page 1of 3

Harimu menyenangkan? tanya Elena. Sekarang iya. Stefan tidak mengatakannya, tapi Elena tahu itulah yang dipikirkannya.

Elena bisa melihatnya dari cara Stefan memandang. Elena tidak pernah seyakin ini tentang kekuatannya. Kecuali bahwa sebenarnya Stefan tidak terlihat seperti sedang menikmati harinya; ia kelihatan menderita, kesakitan, seolah ia tidak bisa bertahan lebih dari semenit lagi di sini. Band nya sudah mulai, slow dance. Stefan masih menatap Elena lekat. Mata hijaunya meredup, gelap karena hasrat. Elena tiba-tiba berpikir mungkin Stefan akan menarik tubuhnya dan menciumnya lekat, tanpa mengatakan sepatah katapun. Mau dansa? tanya Elena lembut. Aku bermain api, dengan sesuatu yang tidak kumengerti, pikirnya tiba-tiba. Dalam sekejap ia ketakutan. Jantungnya berdegup menyakitkan. Seolah mata hijau itu bicara pada suatu bagian jauh di dalam diri Elenadan bagian itulah yang meneriakkan alarm bahaya padanya. Insting terdalamnya berteriak-teriak pada dirinya, menyuruhnya lari, menjauh dari sini. Elena tidak bergerak.

The Awakening Chapter One September 4 Dear Diary, Sesuatu yang mengerikan bakal terjadi hari ini. Aku tidak tahu kenapa aku menulisnya. Itu gila. Tidak ada alasan bagiku buat marah dan alasan untuk senang, tapi.... Tapi di sinilah aku pada pukul 5:30 pagi, terbangun ketakutan. Aku terus mengatakan pada diriku sendiri bahwa ini cuma karena perbedaan waktu antara Perancis dan di sini. Tapi itu tetap tidak bisa menjelaskan kenapa aku takut. Sangat kehilangan. Kemarin lusa, waktu Bibi Judith dan Margaret dan aku sedang dalam perjalanan pulang dari airport, aku punya firasat aneh. Ketika kami belok ke jalan menuju rumah, aku berpikir, Mom dan Dad sedang menunggu kami di rumah. Biar kutebak, mereka pasti ada di depan beranda atau di ruang tengah melihat keluar jendela. Mereka pasti kangen sekali padaku. Aku tahu. Itu memang kedengaran gila. Tapi bahkan waktu aku melihat rumah dan halamanku sepi aku masih berpikir begitu. Aku berlari melewati tangga dan mencoba membuka pintu dan mengetuknya. Dan ketika Bibi Judith membuka kunci pintu aku menghambur masuk dan berdiri diam di ruang depan, mendengarkan, mengharap akan mendengar Mom turun dari atas atau Dad memanggil. Kemudian Bibi judith menaruh koper yang berisi pakaian ke atas lantai di belakangku dan menghela nafas, lalu berkata, Kami pulang. Dan Margaret tertawa. Dan perasaan paling mengerikan yang pernah kurasakan seumur hidupku datang menyerbuku. Aku merasa sangat...sangat kecewa. Pulang. Aku di rumah. Kenapa aku tidak merasa begitu? Aku lahir di sini, di Church Fell. Selama ini aku tinggal di rumah ini, selalu. Ini adalah kamar lamaku yang sama, dengan bekas terbakar di lantai waktu aku dan Caroline mencoba merokok di kelas lima dan hampir tersedak karenanya. Aku bisa melongok keluar jendela dan melihat pohon quince besar yang dipanjat oleh Matt dan teman-temannya untuk menghancurkan pesta tidur di ulang tahunku dua tahun yang lalu. Ini tempat tidurku, kursiku, lemari riasku. Tapi sekarang semuanya terasa asing bagiku, seolah aku bukan bagian dari ini semua. Akulah yang asing. Dan hal terburuk adalah aku merasa bahwa ada suatu tempat di mana aku termasuk di dalamnya, cuma aku tidak bisa menemukan di mana itu. Aku terlalu capek untuk pergi Orientasi kemarin.

Meredith mencatatkan jadwal untukku, tapi aku sedang tidak ingin menelponnya. Bibi Judith menyampaikan pada siapapun yang menelponku bahwa aku sedang tidur karena jet lag, tapi dia melihatku dengan wajah lucu waktu makan malam. Toh aku tetap harus bertemu dengan orang-orang hari ini. Rencananya kami akan bertemu di tempat parkir sebelum sekolah. Apa karena itu aku ketakutan? Apa aku takut pada mereka? Elena Gilbert berhenti menulis. Ia menatap kalimat terakhir yang ia tulis, lalu menggelengkan kepalanya, ballpoint mengambang di atas buku kecil dengan sampul biru velvet itu. Kemudian, dengan gerakan tiba-tiba, ia mengangkat kepala dan melempar buku dan ballpointnya ke bay windownya, benda-benda itu terlontar tanpa daya dan mendarat di atas tempat duduk di dekat jendela. Semua ini benar-benar menggelikan. Sejak kapan dia, Elena Gilbert, takut bertemu orang? Sejak kapan ia takut pada apapun? Ia berdiri dan dengan marah memasukkan lengannya ke dalam kimono merah cemerlangnya. Ia bahkan tidak melirik pada cermin gaya Victorian di atas lemari riasnya; ia tahu apa yang akan ia lihat. Elena Gilbert, keren, pirang, dan ramping, fashion trandsetter, anak SMA, cewek yang membuat cowok-cowok akan akan melakukan apapun untuk mendapatkannya, dan cewek-cewek akan melakukan apapun untuk menjadi dirinya. Seorang yang sekarang punya tatapan ganjil di wajahnya dan senyum aneh di bibirnya. Berendam air hangat dan minum secangkir kopi akan menenangkanku, pikirnya. Ritual pagi macam mandi dan berpakaian memang menenangkan, dan ia berlama-lama melakukannya, menata pakaian barunya dari Paris. Akhirnya ia memilih atasan berwarna merah pucat dan celana pendek combo dari linen berwarna putih yang membuatnya kelihatan seperti eskrim frambus. Cukup bagus untuk sarapan, pikirnya, dan cermin itu menampilkan seorang gadis yang tersenyum penuh rahasia. Ketakutannya sudah memudar, terlupakan. Elena! Di mana kau? Kau akan terlambat masuk sekolah! suara itu mengambang dari atas ke bawah.

You might also like