You are on page 1of 7

Vol.14.No.1.Th.

2007 Bacteria

The sensitivity of Staphylococcus aureus as Mastitis Pathogen

The sensitivity of Staphylococcus aureus as Mastitis Pathogen Bacteria Into Teat Dipping Antiseptic in Dairy Cows
Imbang Dwi Rahayu* Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan Perikanan, Universitas Muhammadiyah Malang Jl. Raya Tlogomas No.246 Malang, Telp. (0341) 464318
Email: imb_mlg@yahoo.co.id ABSTRACT Back ground : The mastitis caused by Staphylococcus aureus could only be cured by antibiotics. The antibiotics usage on long term would stimulate the bacteria resistency and also exist on milk as residue. So, its needed effective antiseptic to handle tis problem. Methods: Three levels of each antiseptic were used in the experiment i.e.: 50%, 70% and 90% (alcohol); 20mg/L; 40mg/L; and 60 mg/L (sodium chlorine); 10ml/L; 20 ml/L; and 30 ml/L (Iodophor). Each treatment was replicated three times. The parameters of the research were Minimum Inhibition Concentration (MIC) and Cakram Disk. The best value from each treatment was continued by phenol coefficient test. Result : The suggestion from this research were: 1) The level of antiseptic must be evaluated for efficient and effective application, 2) It needs in vivo research to know the influence of dipping antiseptic after milking into the decreasing of somatic cell. Key word : Mastitis, Staphylococcus aureus, antiseptic, sensitivity, MIC, zone inhibition, Sensitifitas Staphylococcus aureus Sebagai Bakteri Patogen Penyebab Mastitis Terhadap Antiseptika Pencelup Puting Sapi Perah. ABSTRAK Latar belakang: Pengobatan mastitis sapi perah yang disebabkan Staphylococcus aureus, hanya bisa dengan pemberian antibiotik. Namun pemakaian antibiotik sejenis dalam waktu lama akan timbulkan resistensi bakteri dan residu pada air susu. Diperlukan pencegahan dengan penggunaan antiseptika yang efektif terhadap Staphylococcus aureus. Metode penelitian: berupa metode eksperimen, dengan 3 perlakuan antiseptika, masing-masing 3 level, yaitu : alkohol (50%, 70% dan 90%), kaporit (20 mg/L, 40 mg/L dan 60 mg/L) dan Iodophor (10 ml/L, 20 ml/L dan 30 ml /L). Perlakuan diulang 3 kali. Pengujian berupa uji MIC dan cakram. Hasil yang terbaik pada masing-masing perlakuan diuji lanjut dengan uji koefisien fenol. Data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif. Kesimpulan: (1) Sensitifitas Staphylococcus aureus paling tinggi dicapai pada level alkohol 70%, kaporit 60 mg/L dan Iodophor 10 ml/L. (2) Ketiga antiseptika memiliki kekuatan melawan Staphylococcus aureus yang sama besar, yaitu 4,5 kali lipat kekuatan fenol dengan waktu kontak 10 menit. Saran : (1) Diperlukan pertimbangan konsentrasi antiseptik yang tepat dalam penggunaan antiseptik, sehingga efisien dan efektif. (2) Diperlukan penelitian lebih lanjut secara invivo pengaruh dipping puting pada alkohol 70%, kaporit 60 mg/L dan Iodophor 10 ml/L post pemerahan sebagai antiseptika terhadap penurunan jumlah sel somatik pada susu sebagai kriteria prevalensi mastitis. Kata kunci : Mastitis, Staphylococcus aureus, antiseptik, sensitivitas, MIC, zone hambat.

* Jurusan Peternakan Fakultas Peternakan Perikanan, Universitas Muhammadiyah Malang

31

Rahayu

Jurnal Protein

PENDAHULUAN Radang ambing (mastitis) pada sapi perah merupakan radang yang bisa bersifat akut, subakut maupun kronis, yang ditandai oleh kenaikan sel di dalam air susu, perubahan fisik maupun susunan air susu dan disertai atau tanpa disertai patologis pada kelenjar mammae. Staphylococcus aureus (S. aureus ) merupakan salah satu penyebab utama mastitis pada sapi perah yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar akibat penurunan produkai susu. Berdasarkan uji sensitifitas terhadap berbagai antibiotic diketahui bahwa sebagian besar S. aureus telah resisten terhadap oksasilin (87,5%) dan eritromisin (71,97%) dan ada beberapa isolate yang juga resisten terhadap tetrasiklin (37,46%), ampisillin (25%) dan gentamisin (21,87%) (Salasia dkk, 2005) Berdasarkan sifat resistensi S. aureus terhadap antibiotik tersebut, menunjukkan bahwa pengobatan mastitis dengan berbagai antibiotik tidak efektif lagi, sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan secara tepat. Pada dasarnya, kelenjar mammae sudah dilengkapi dengan perangkat pertahanan, sehingga air susu dipertahankan dalam keadaan steril, tidak tercemar oleh bakteri patogen. Perangkat pertahanan yang dimiliki oleh kelenjar mammae, antara lain: perangkat pertahanan mekanis, seluler dan perangkat pertahanan yang tidak tersifat (non spesifik). Tingkat pertahanan kelenjar mammae mencapai titik terendah pada saat-saat sesudah pemerahan, karena sphincter saat itu masih terbuka untuk beberapa saat, sel darah putih sangat minim jumlahnya dan antibodi serta enzim juga habis, ikut terperah. Pencegahan terhadap mastitis ditempuh dengan berbagai upaya, antara lain dengan dipping (pencelupan) terhadap puting sehabis pemerahan dengan alkohol 70 % selama beberapa menit telah mengurangi infeksi ambing dengan drastis. Preparat lain yang bisa dipakai untuk dipping terhadap puting adalah : Chlorhexidine 0,5%, kaporit 4% dan Iodophor 0,5 1% (Subronto dan Tjahadjati, 2001). Beberapa faktor dapat mempengaruhi daya guna antiseptika dan desinfektan, antara lain : kadar, waktu kontak antiseptika/desinfektan dengan jasad renik dan tempat jasad renik berkembang. Tempat berbiak bakteri berupa

protein atau reruntuhan jaringan, mungkin menghambat kerja desinfektan. Suhu ruangan yang semakin tinggi akan meningkatkan daya kerja antiseptika/desinfektan. Sebagaimana antibiotik, maka antiseptika atau desinfektan juga bisa menyebabkan resistensi bakteri, sehingga perlu dipikirkan untuk mengganti dengan antiseptika atau desinfektan lain. Penelitian tentang efektifitas penggunaan antiseptika post pemerahan dengan cara dipping puting guna meminimalkan kejadian mastitis akibat bakteri Staphylococcus aureus harus terus dilakukan, maka penelitian ini akan mengkaji masalah tersebut. MATERI DAN METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran UMM, sejak tanggal 5 November sampai dengan 5 Desember 2006. Materi Penelitian Materi yang digunakan dalam penelitian ini berupa biakan murni bakteri patogen penyebab mastitis pada sapi perah, yaitu : Staphylococcus aureus. Bahan-bahan yang digunakan, antara lain : media TSA, media cair (Nutrient Broth), lempeng agar (Muller Hinton Agar), aquadest steril. Alat-alat yang digunakan, antara lain : cakram disk mikroskup, inkubator dan kawat usa. Batasan Variabel 1. Mastitis adalah istilah yang digunakan untuk radang yang terjadi pada ambing, baik bersifat akut, subakut ataupun kronis, dengan kenaikan sel di dalam air susu dan perubahan fisik maupun susunan air susu, disertai atau tanpa adanya perubahan patologis pada kelenjar (Subronto, 2003). 2. Bakteri patogen penyebab mastitis adalah bakteri yang sering menyebabkan mastitis pada sapi perah. Pada penelitian ini bakteri yang digunakan untuk uji coba adalah Staphylococcus aureus. 3. Desinfektan adalah semua senyawa yang dapat mencegah infeksi dengan jalan

32

Vol.14.No.1.Th.2007 Bacteria

The sensitivity of Staphylococcus aureus as Mastitis Pathogen

penghancuran atau pelarutan jasad renik yang patogen (Subronto dan Tjahajati, 2001) 4. Antiseptika adalah semua senyawa yang mampu membunuh atau mencegah pertumbuhan jasad renik (mikroorganisme). Antiseptika biasanya dikenakan terhadap jaringan tubuh yang hidup (Subronto dan Tjahadjati, 2001). Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah metode eksperimen. Perlakuan pada penelitian ini berupa 3 jenis antiseptika, dengan masing-masing 3 level, yaitu : alkohol (50, 70%, dan 90% ), kaporit (20 mg/L, 40 mg/L dan 60 mg/L) dan Iodophor (10 ml /L, 20 ml/L dan 30 ml/L). Ulangan yang dipergunakan sebanyak 3 kali untuk setiap perlakuan. Metode Analisis Data Data yang terkumpul yang berupa MIC (Minimal Inhibition Consentration), tes Cakram dan uji koefisien fenol dianalisis secara deskriptif. Pelaksanaan Penelitian Penentuan MIC (Minimum Inhibitory Concentration), Test Cakram dan Uji koefisien fenol HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Uji Minimal Inhibition Concentration (MIC) Hasil uji MIC terhadap bakteri Staphylococcus aureus penyebab mastitis pada sapi perah menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara media cair, Nutrient Broth kontrol dengan perlakuan. Pada Nutrient Broth kontrol, yaitu media cair yang tidak diberi antiseptik terlihat keruh, sedangkan pada perlakuan yang diberi antiseptik terlihat jernih. Hal ini terjadi pada semua antiseptika yang diuji, baik alkohol, kaporit maupun iodofor, mulai konsentrasi terendah sampai tertinggi pada masing-masing antiseptika. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga antiseptik yang digunakan sensitif terhadap Staphylococcus aureus. Uji coba lebih lanjut pada penanaman bakteri di media TSA, Staphylococcus aureus menunjukkan tidak ada pertumbuhan untuk ketiga jenis antiseptika, hal ini membuktikan

bahwa ketiga antiseptik bersifat bakterisidal terhadap Staphylococcus aureus. Hal ini sesuai dengan Boyd (1988) bahwa etanol mampu mendenaturasi protein dan melarutkan lemak yang terdapat pada dinding bakteri. Alkohol yang digunakan secara luas adalah etil dan isopropil alkohol. Keduanya bisa melarutkan lemak dan mempengaruhi aktivitas membran mikrobial dan juga pembungkus lemak pada virus. Dinyatakan oleh Todar (2000) bahwa iodophor merupakan antiseptik pada kulit dan bisa menyebabkan inaktivasi protein. Denaturasi dan inaktivasi protein oleh antiseptika berpengaruh terhadap susunan kimia dinding sel Staphylococcus aureus yang berupa peptidoglikan yang tergolong mukopeptida. Kaporit yang digunakan dalam penelitian ini adalah kalsium hipoklorit. Boyd (1988) menyatakan bahwa aktivitas antimikroba kaporit adalah dengan cara menginaktifkan protein melalui oksidasi sulfhidril pada protein yang mengandung ikatan-ikatan sulfur, sehingga menyebabkan perubahan konformansi protein dan merubah aktivitasnya.

2. Uji Sensitivitas Staphylococcus aureus


Terhadap Antiseptika Alkohol Uji sensitifitas bakteri penyebab utama mastitis, Staphylococcus aureus terhadap alkohol (etanol) dengan uji cakram disk menunjukkan adanya zona hambat yang semakin meningkat diameternya pada level alkohol 50 -70%. Zona hambat tertinggi dicapai oleh alkohol 70%. Pada level alkohol 90% zona hambat berkurang diameternya, hal ini berkaitan dengan jumlah air yang berkurang. Air digunakan untuk aktivitas katalitik dalam mendenaturasi protein bakteri. Alkohol dengan konsentrasi di bawah 50% tidak efektif membunuh bakteri. Guna mengukur kekuatan antiseptika alkohol yang terbesar daya hambatnya, yaitu alkohol 70% terhadap Staphylococcus aureus, maka diuji dengan uji koefisien fenol. Hasil uji menunjukkan bahwa kekuatan alkohol membunuh bakteri S. aureus sebesar 4,5 kali lipat dibanding kekuatan fenol, dengan waktu kontak 10 menit. Tabel 1. menampilkan hasil uji koefisien fenol pada alkohol 70%.

33

Rahayu

Jurnal Protein

Tabel 1. Hasil Uji Koefisien Fenol Sensitifitas Alkohol 70% Terhadap Staphylococcus aureus Pengenceran 5 menit 10 menit 15 menit Alkohol 70% 1 : 300 Hidup Mati Mati 1 : 350 Mati Mati Mati 1 : 400 Mati Mati Mati 1 : 450 Mati Mati Mati Fenol 1 : 90 Hidup Hidup Mati 1 : 100 Hidup Mati Mati Fenol digunakan sebagai antiseptik pada konsentrasi yang rendah dan bekerja dengan efek mendenaturasi protein dan merusak membran sel (Todar, 2000). Kekuatan etanol dalam membunuh Staphylococcus aureus jauh lebih besar daripada fenol. Hal ini sesuai dengan pernyataan Brooks (2005), bahwa etil alkohol atau etanol menunjukkan aktivitas antimkroba yang cepat dengan spektrum luas melawan bakteri vegetatif, virus, jamur, tetapi tidak sporosidal. Sel Staphylococcus aureus sebagai penyebab mastitis tidak memiliki spora sehingga akan mati dengan pemberian etanol. Dinyatakan oleh Anonimous (1998), bahwa diperlukan pertimbangan konsentrasi dan waktu kontak yang cukup pada penggunaan desinfektan, sehingga penggunaan desinfektan menjadi aman, efisien dan efektif. Penggunaan konsentrasi yang terlalu tinggi dan kontak waktu yang terlalu lama menyebabkan desinfektan menjadi tidak praktis, mahal, membakar kulit dan berbahaya bagi ternak. meningkat akan meningkatkan sensitifitasnya terhadap S. Aureus. Kaporit digolongkan ke dalam senyawa halogen, seperti bromine, fluorine dan iodine. Sebagaimana dinyatakan oleh Boyd (1988), bahwa aksi bakterisidal golongan halogen adalah dengan cara menginaktivasi protein melalui oksidasi gugus sulfhidril pada protein yang tersusun atas asam amino yang mengandung ikatan sulfur, sehingga merubah konformasi dan aktivitas protein. Ditambahkan Boyd (1988) lebih lanjut bahwa larutan chlorin efektif sebagai bakterisidal yang digunakan dalam kolam renang. Khlor (Cl2} dalam air membentuk asam hipoklorit (HOCl) dan asam Hidrokhloride, dengan reaksi: Cl2 + H2O HOCl + H+ Cl-. Asam HOCl selanjutnya berperan sebagai desinfektan, bereaksi dengan bervariasi senyawa, baik dengan senyawa anorganik maupun organik atau terurai menjadi menjadi ion H+ dan OCl-, dengan reaksi: HOCl H+ + Cl-. Derajat ionisasi dipengaruhi oleh pH. Pada pH asam sampai netral, ionisasi akan meningkat, dan sebaliknya akan dihambat pada pH alkalis. Guna mengukur kekuatan kaporit sebagai antiseptik yang bisa mengatasi infeksi Staphylococcus aureus, maka dilakukan uji koefisien fenol. Hasil uji menunjukkan bahwa kekuatan kaporit sebesar 4,5 kali lipat kekuatan fenol, dengan waktu kontak 10 menit. Tabel 2 menunjukkan hasil uji koefisien fenol pada kaporit 60 mg/liter.

3. Uji Sensitivitas Staphylococcus aureus


Terhadap Antiseptika Kaporit Kaporit pada penelitian ini berupa kalsium hipoklorit dengan level : 20 mg/L, 40 mg/L dan 60 mg/L. Pada konsentrasi 60 mg/L, kaporit menunjukkan daya hambat yang tertinggi dengan zona hambat terlebar. Penggunaan kaporit dengan level semakin

34

Vol.14.No.1.Th.2007 Bacteria

The sensitivity of Staphylococcus aureus as Mastitis Pathogen

Tabel. 2. Hasil Uji Koefisien Fenol Pada Kaporit 60 mg/liter Pengenceran 5 menit 10 menit 15 menit Kaporit 60 mg/L 1 : 300 Hidup Hidup Hidup 1 : 350 Hidup Hidup Mati 1 : 400 Hidup Mati Mati 1 : 450 Hidup Mati Mati Fenol 1 : 90 Hidup Hidup Mati 1 : 100 Hidup Mati Mati

4. Uji Sensitivitas Staphylococcus aureus


Terhadap Antiseptika Iodofor Uji sensitifitas Iodofor sebagai antiseptika pencelup puting sapi terhadap Staphylococcus aureus menunjukkan bahwa level penggunaan terendah memberikan sensitifitas tertinggi. Level Iodophor yang digunakan pada penelitian ini adalah : 10 ml /L, 20 ml/L dan 30 ml/L, dengan konsentrasi Iodophor 18,5%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Boyd (1988) bahwa respon mikroorganisme terhadap antimikroba ditentukan oleh konsentrasi antimikroba. Pada level Iodophor 10 ml/L menghasilkan daya hambat yang tertinggi terhadap Staphylococcus aureus, karena pada konsentrasi tersebut merupakan konsentrasi maksimal yang efektif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Todar (2000) bahwa iodophor

merupakan antiseptik pada kulit dan bisa menyebabkan inaktivasi protein mikroba. Pada level Iodophor yang lebih tinggi dari 10 ml/L daya hambat Iodophor terhadap Staphylococcus aureus menurun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Boyd (1988), bahwa pada konsentrasi antiseptika yang tinggi akan mengurangi jumlah air, padahal air memiliki peran aktivitas katalitik terhadap denaturasi protein mikroba. Guna mengukur kekuatan Iodofor sebagai antiseptika untuk mengatasi infeksi bakteri penyebab mastitis, yaitu Staphylococcus aureus, maka dilakukan uji lanjut berupa uji koefisien fenol. Hasil uji menunjukkan bahwa iodofor, seperti halnya alkohol dan kaporit, memiliki koefisien fenol sebesar 4,5, dengan waktu kontak 10 menit. Tabel 3. menampilkan hasil uji koefisien fenol pada iodophor.

Tabel. 3. Hasil Uji Koefisien Fenol Pada Iodophor 10 ml/liter Pengenceran 5 menit 10 menit 15 menit Iodophor 10 ml/liter 1 : 300 Hidup Mati Mati 1 : 350 Hidup Mati Mati 1 : 400 Mati Mati Mati 1 : 450 Mati Mati Mati Fenol 1 : 90 Hidup Hidup Mati 1 : 100 Hidup Mati Mati Berdasarkan hasil uji koefisien fenol, ketiga antiseptika memiliki kekuatan yang sama yaitu sebesar 4,5 kali lipat kekuatan fenol dengan waktu kontak yang sama, yaitu 10 menit. Ketiga antiseptika bisa digunakan sebagai antiseptika pencelup puting susu sapi perah post pemerahan, guna menghambat infeksi Staphylococcus aureus sehingga

35

Rahayu

Jurnal Protein

menekan tingkat kejadian mastitis. Sebagaimana dinyatakan oleh Lay dan Hastowo (1994), bahwa koefisien fenol yang kurang dari satu, berarti bahan antimikroba tersebut kurang efektif dibandingkan fenol. Sebaliknya koefisien fenol lebih dari satu menunjukkan bahwa bahan tersebut lebih ampuh dibandingkan fenol. Hasil yang efektif kemungkinan ditunjang oleh temperatur yang cocok bagi kerja antiseptika, yaitu temperatur dalam inkubator, sebesar 370C. Hal ini sesuai dengan pernyataan Anonimous (1998), bahwa umumnya desinfektan bekerja baik pada temperatur di atas 650F. Klorin dan Iodifor sebagai desinfektan bekerja baik tidak lebih dari 1100F. Penelitian ini dilakukan secara in vitro, dengan kondisi lingkungan yang terkendali. Guna hasil yang akurat, maka penelitian secara in vivo perlu dilanjutkan. Pada waktu kontak 5 menit, antiseptika tidak mematikan Staphylococcus aureus, namun pada waktu kontak 10 menit bakteri ini mati. Hal ini sesuai dengan pernyataan Anonimous (1998), bahwa diperlukan pertimbangan konsentrasi dan waktu kontak yang cukup bagi kerja antiseptika, sehingga penggunaan antiseptika menjadi aman, efisien dan efektif. Penggunaan konsentrasi yang terlalu tinggi dan kontak waktu yang terlalu lama menyebabkan antiseptika menjadi tidak praktis, mahal, membakar kulit dan berbahaya bagi ternak. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Staphylococcus aureus sebagai bakteri patogen penyebab mastitis sensitif terhadap antiseptika alkohol, kaporit dan Iodophor pada berbagai level yang berbeda. 2. Sensitifitas Staphylococcus aureus tertinggi dicapai pada level alkohol 70%, kaporit 60 mg/L dan Iodophor 10 ml/L. 3. Ketiga antiseptika memiliki kekuatan melawan Staphylococcus aureus yang sama besar, yaitu 4,5 kali lipat kekuatan fenol dengan waktu kontak 10 menit. Saran 1. Diperlukan pertimbangan konsentrasi antiseptik yang tepat dalam penggunaan antiseptik, sehingga efisien dan efektif.

2. Diperlukan penelitian lebih lanjut secara invivo pengaruh dipping alkohol 70% post pemerahan sebagai antiseptika terhadap penurunan jumlah sel somatik pada susu sebagai kriteria prevalensi mastitis. DAFTAR PUSTAKA

1. Anonimous,

1998. Cleaning and Disinfection of Premises. Maintaining Livestock Health after a Flood. Missisippi State University Extension Service.

2. Brooks, GF, Butel, JS dan Morse, SA.


2005. Mikrobiologi Kedokteran. Terjemahan. Texbook asli : Medical Mycrobiology. Penerbit Salemba Medika.

3. Boyd,

Robert F., 1988. General Microbiology. Second Edition. Times Mirror/Mosby College Publishing.

4. Dwidjoseputro,

1989. Dasar-dasar Mikrobiologi. Penerbit Djambatan.

5. Lay, Bibiana W dan Hastowo, S., 1992.


Mikrobiologi. PAU-Bioteknologi Pertanian Bogor. Institut

6. Sori Hunderra., Zerihun, A and Abdicho,


S., 2005. Dairy Cattle Mastitis In and Around Sebeta, Ethiopia. National Veterinary and National Animal Disease Research Center, Sabeta, Ethiopia.

7. Subronto, 2003. Ilmu Penyakit Ternak I.


Edisi ke II. Gadjah Mada University Press.

8. Subronto dan Tjahadjati, 2001. Ilmu


Penyakit Ternak II. Gadjah Mada University Press.

9. Todar,

Kenneth, 2000. Controlling Growth with Chemical Agents.University of Wisconsin-Madison

10. Wahyuni, AETH., Wibawan, WT dan


Wibowo, MH., 2005. Karakterisasi Hemaglutinin Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus Penyebab Mastitis

36

Vol.14.No.1.Th.2007 Bacteria

The sensitivity of Staphylococcus aureus as Mastitis Pathogen

Subklinis Pada Sapi Perah. J. Sain Vet. Vol 2. Th 2005.

Disease. Research Physiologist Agricultural Research Service U.S Departement of Agriculture

11. Wall, Robert. 2006. By Way of Example :


Biotechnological Defense Againts Mastitis

37

You might also like