You are on page 1of 29

D.

Faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit TBC

Untuk terpapar penyakit TBC pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti :

1. Faktor Sosial Ekonomi

Disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat bekerja yang buruk dapat memudahkan penularan TBC. Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan penularan TBC, karenapendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat hidup layak dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan (Roebiono.PS, 2009) WHO (2003) menyebutkan 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin dan menurut Enarson TB merupakan penyakit terbanyak yang menyerang negara dengan penduduk berpenghasilan rendah. Sosial ekonomi yang rendah akan menyebabkan kondisi kepadatan hunian yang tinggi dan buruknya lingkungan; selain itu masalah kurang gizi dan rendahnya kemampuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak juga menjadi problem bagi golongan sosial ekonomi rendah (Enarson DA, 1999) Dengan garis kemiskinan yang pada dasarnya ditentukan untuk memenuhi kebutuhan pangan utama, maka rumah tangga yang tergolong miskin tidak akan mempunyai daya beli yang dapat digunakan untuk menjamin ketahanan pangan keluarganya. Pada saat ketahanan pangan mengalami ancaman (misal pada saat tingkat pendapatan mendekati suatu titik dimana rumah tangga tidak mampu membeli kebutuhan pangan) maka status gizi dari kelompok rawan pangan akan terganggu (Tabar SS, 2000) 14 Kriteria Rumah Tangga Miskin Versi BPS (Bistok Saing ) 2008 1. 2. 3. Luas lantai bangunan kurang dari 8 m persegi per orang. Lantai rumah dari tanah, bambu, kayu murahan. Dinding rumah dari bambu, rumbia, kayu kualitas rendah, tembok tanpaplester.

4. 5. 6. 7. 8. 9.

Tidak memiliki fasilitas jamban atau menggunakan jamban bersama. Rumah tidak dialiri listrik. Sumber air minum dari sumur atau mata air tak terlindungi, sungai, air hujan. Bahan baker memasak dari kayu bakar, arang, minyak tanah. Hanya mengonsumsi daging, ayam dan susu sekali seminggu. Hanya sanggup membeli baju sekali setahun.

10. Hanya sanggup makan dua kali sehari atau sekali sehari. 11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di Puskesmas. 12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga petani dengan luas lahan 0,5 hektar,buruh tani, nelayan, buruh bangunan dengan penghasilan < Rp.600 ribu per bulan. 13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga tidak sekolah, tdk tamat SD/hanya SD. 14. Tidak punya tabungan atau barang dengan nilai jual dibawah Rp500 ribu seperti ternak, motor dan lain-lain. Interpretasi : Kategori sangat miskin Kategori miskin Kategori mendekati miskin : skor 12 kriteria

: skor 6 - 10 kriteria : skor 5 -6 kriteria

(Kepala Bidang Sosial dan Budaya Bappeda Kota Padang Rusdi Jamil) Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TB Paru (Depkes RI, 2001) Secara global telah diketahui bahwa penyakit TB paru banyak dijumpai di negara berkembang atau negara miskin.Hal ini dikarenakan status ekonomi yang rendah memiliki kontribusi yang besar terhadap kejadian penyakit TB paru.Keadaan ini terjadi karena dengan status ekonomi yang miskin menurut Mangtani (1995) dapat memicu rendahnya daya tahan tubuh seseorang akibat

asupan makanan bergizi yang kurang, tidak sanggup berobat dan membeli obat. Selain itu, kemiskinan juga mengharuskan seseorang bekerja keras secara fisik sehingga kemungkinan sembuh akan menurun. Masalah kesehatan tidak tepat bila digunakan sebagai suatu

konsumsi.Kesehatan perlu dipandang sebagai suatu intervensi dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat dan sebagai hak asasi manusia.Kaitan antara kemiskinan dengan kesakitan yaitu dipengaruhi oleh penyakit sehingga daya tahan tubuh menurun, tidak menggunakan pelayanan kesehatan, dan sanitasi lingkungan buruk.Hal tersebut dapat terjadi akibat kurangnya pendapatan dan pendidikan, kurang terjangkaunya pelayanan kesehatan. Dengan terserangnya penyakit, maka pendapatan akan berkurang, akan menyebabkan hilangnya pekerjaan, bertambahnya biaya perawatan kesehatan, dan kerentanan terhadap suat penyakit akan meningkat. Kemiskinan pada dasarnya menyebabkan suatu ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar, kerentanan, ketidakberdayaan, dan ketidakmampuan untuk menyalurkan aspirasi. Kategori kemiskinan berdasarkan penyebabnya yaitu bersifat struktural disebabkan oleh kebijakan dibidang ekonomi, sosial dan budaya, politik dapat menyebabkan ketidakberdayaan dalam masyakarat, berdasarkan kultural berkaitan dengan adanya nilai-nilai proaktif, tingkat pendidikan yang rendah dan kondisi kesehatan dan asupan gizi yang buruk, sedangkan secara alamiah dapat dihubungkan dengan kondisi geografi. Kriteria kemskinan berdasarkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di Indonesia adalah bahwa keluarga miskin merupakan keluarga yang tidak dapat memenuhi kebutuhan salah satu atau lebih dari enam indikator penentu kemiskinan dengan alasan ekonomi dari tabel kriteria variabel kemiskinan rumah tangga, yaitumerupakan kriteria variabel yang menjadi indikator tingkat kemiskinan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) yang menggunakan pendekatan basic needs, kemiskinan dipandang sebagai

ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non-makanan yang bersifat mendasar.

Batas kecukupan pangan dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk makanan yang memenuhi kebutuhan minimum energi 2.100 kalori perkapita perhari.Batas kecakupan non-makan dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk non-makanan yang memenuhi kebutuhan minimum seperti perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi.Selain itu kemiskinan juga dapat berkaitan dengan kepadatan penduduk di daerah kumuh dan hal ini dapat meningkatkan transmisi suatu penyakit (Ganguly, 2002).

Tabel Kriteria Variabel Kemiskinan Rumah Tangga

No 1

Variabel Kemiskinan

Kriteria Kemiskinan

Luas lantai bangunan tempat < 8 m2 per kapita tinggal

Jenis lantai bangunan tempat Tanah/bambu/kayu murahan tinggal

Jenis dinding bangunan tempat Bambu/rumbia/kayu tinggal

berkualitas

rendah/tembok tanpa plester Tidak punya atau bersama rumah tangga lain

Fasilitas tempat buang air besar

5 6

Sumber penerangan rumah Sumber air minum

Bukan listrik Sumur/mata air tidak

terlindungi/sungai/air hujan 7 Bahan bakar untuk memasak Kayu bakar/arang/minyak tanah sehari-hari 8 Konsumsi minggu daging/ayam per Tidak pernah/satu minggu sekali

Pembelian pakaian baru setiap Tidak pernah membeli/satu setel anggota rumah tangga dalam setahun

10

Frekuensi makan dalam sehari Satu kali/dua kali/ makan sehari untuk setiap anggota

rumahtangga 11 Kemampuan membayar untuk Tidak mampu berobat berobat Puskesmas/Poliklinik 12 Lapangan pekerjaan kepala Petani dengan luas lahan <0,5 Ha, buruh tani, nelayan, buruh ke

rumah tangga

bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lain dengan pendapata rumah tangga < Rp. 600.000 per bulan 13 Pendidikan tangga 14 Pemilihan kepala rumah Tidak sekolah/tidak tamat SD/tamat SD asset/harta Tidak mempunyai tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai > Rp. 500.000,- seperti sepeda motor, emas perhiasan, motor/atau ternak, barang

bergerak/harta tidak bergerak

perahu/kapal modal lainnya

Faktor Individu

1. Status Gizi.

Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lain- lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh sesoeranga sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB Paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang berpengaruh dinegara miskin, baik pada orang dewasa maupun anak-anak (Roebiono.PS, 2009) Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan dengan orang yang status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap penyakit ( Depkes RI, 2001 ) Status gizi sangat menentukan seseorang dapat menjadi mudah sakit.Jika seseorang kekurangan kalori, protein, dan zat besi maka penyakit TBC paru lebih mudah terjadi.Oleh karenanya dengan status gizi yang baik maka kondisi kesehatan dapat dipertahankan sedangkan keadaan kekurangan gizi (malnutrisi) dapat memberikan kontribusi yang benar terhadap kejadian penyakit infeksi (Weber, 2001; Cegielski, 2004). Menurut Yunus (1992) status gizi juga dapat mempengaruhi pembentukan antibodi dalam tubuh dengan status gizi yang kurang maka pembentukan antibodi akan terhambat, sehingga kemampuan untuk terhindar dari penyakit juga akan berkurang. menurut beberapa penelitian yang dilakukan mengenai status tuberkulosis dengan TBC paru dihasilkan bahwa incident terjadinya penyakit TBC paru pada vegetarian tiga kali lebih besar dibandingkan degan yang tidak penelitian ini dilakukan di India oleh Chanarin dan Stefenson. Sedangkan penelitian yang dilakukan di China dan Inggris adalah bahwa penderita TBC memiliki kecendrungan memiliki kandungan zinc dan copper yang lebih rendah dibandingkan bukan penderita. Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa status gizi dan asupan makan sangat mempengaruhi kejadian penyakit TBC. Selain ini pola hidup suatu masyarakat akan kebiasaan mengkonsumsi makanan juga menjadi pengaruh yang besar dalam memicu timbulnya penyakit TBC (Silviana, 2006).

Kekurangan gizi dapat menimbulkan dampak egatif yang timbul pada paruparu adalah lemahnya dan atrofi otot pernapasan, kapasitas vital dan tidal volume akan menurun, dan cara kerja mukosilier menjadi tidak optimal. Perubahan yang terjadi pada sistem imun merupakan hal terpenting dari rendahnya status gizi, jumlah limfosit total menurun disebabkan berkurangnya sirkulasi sel T, fungsi sel T akan menurun, fungsi imunologi lain juga akan berpengaruh misalnya aktivitas komplemen, fungsigranulosit, serta pertahanan terhadap terjadinya infeksi, hal ini yang dapat mempermudah terjadinya penularan penyakit infeksi termasuk TBC (Baron, 2000; Moura, 2004).

2. Umur.

Penyakit TB-Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usaia produktif (15 50) tahun. Dewasa ini dengan terjaidnya transisi demografi menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB Paru (Roebiono.PS, 2009) Beberapa faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis di Amerika yaitu umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta infeksi AIDS.Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di New York pada Panti penampungan orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun( Depkes RI, 2001 ) Beberapa penyakit tertentu dapat menyerang usia muda atau usia tua yang lebih rentan atau kurang kebal terhadap penyakit menular, hal ini disebabkan kedua kelompok umur tersebut daya tahan tubuhnya rendah. Di Eropa dan Amerika Utara saat tuberkulosis ditemukan, insiden tertinggi terdapat pada usia dewasa muda (Crofton, 2002).

Hasil penelitian Gustafon, P et all (2004) (dikutip dalam Desmon, 2006) membuktikan bahwa ada efek dosis respon yaitu semakin tua umur akan meningkatkan risiko untuk menderita penyakit tuberkulosis dengan OR pada usia 25-34 tahun adalah 1,36 (95% Cl 0,91-2,04) dan pada kelompok umur lebih dari 55 tahun OR sebesar 4,08 (95% Cl 2,664-6,31). Artinya bahwa hasil penelitian gustafon menunjukkan usia diatas 55 tahun berisiko 4,08 kali menderita penyakit tuberkulosis daripada umur kurang dari 55 tahun. Umur dianggap suatu faktor yang penentu yang dapat menyebabkan suatu penyakit.Hal tersebut terjadi dikarenakan oleh pemaparan suatu penyakit biasanya berkaitan erat dengan umur, selain itu, faktor imunitas (daya tahan tubuh) ditentukan pula oleh umur.Infeksi yang sering disebabkan oleh virus, sering ditemukan pada anak-anak, sedangkan apada orang dewasa, biasanya daya tahan tuuhnya lebih kuat dan lebih sedikit dapat terpapar oleh kuman penyebab penyakit. Di negara berkembang kejadian TB paru lebih banyak terjadi pada usia produktif dan 75% kematian akibat TB paru terjadi pada golongan umur ini. Laporan Subdit TB Depkes RI tahun 2010, menyebutkan bahwa golongan umur penderita TB paru di Indonesia terbanyak berusia antara 15-54 tahun dengan keadaan status sosio-ekonomi yang rendah. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, dengan membaiknya keadaan sosial ekonomi serta meningkatnya taraf hidup masyarakat maka jumlah penduduk usia lanjut akan semakin meningkat. Hal ini dapat berarti bahwa penyakit infeksi yang menyerang pada usia tua pun akan semakin meningkat jumlahnya, termasuk TB paru. Seperti halnya negara maju seperti Amerika Serikat, kejadian penyakit TB paru lebih banyak terjadi pada usia di atas 65 tahun (Hanson, 2001) walaupun kejadian penyakit mulai meningkat pada usia 25 tahun. Hal tersebut didukung oleh penelitian John M. Adam dari Brickner di New York di ketahui bahwa penyakit TB banyak menginfeksi kaum gelandangan yang mengenai usia muda, dan diperkirakan 75% penderita TB paru adalah kelompok usia produktif, yaitu umur 15-44 tahun (KNCV, 2005).

3. Jenis Kelamin.

Penyakit TB Paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan. Menurut WHO, sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar 1 juta perempuanyang meninggal akibat TB Paru, dapat disimpulkan bahwa pada kaum lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh TB Paru dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agen penyebab TBParu (Roebiono.PS, 2009) Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun 0,7%. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru.(Depkes RI, 2001 ) Terjadinya suatu penyakit menular sebagian besar hanya terjadi pada salah satu jenis kelamin saja.Dimana penyakit yang berhubungan dengan pemaparan yang terjadi di luar rumah lebih banyak didapatkan pada laki-laki, namun penyakit infeksi yang berhubungan dengan pelvis di dapat lebih banyak pada perempuan. Seperti halnya penyakit TB paru lebih banyak ditemukan pada laki-laki (Weber, 2001) dan selalu tinggi pada seluruh tingkatan umur. Kejadian TB paru apada perempuan akan menurun secara cepat pada usia subur (Crofton, 1999). Berbeda dengan teori sebelumnya, di Indonesia kejadian TB paru banyak ditemukan pada perempuan dan biasanya terjadi pada usia subur (Mangunnegoro, 2001). Berdasarkan tingkat interaksi sosial berbeda menurut jenis kelamin pada sejumlah besar perbedaan sosial. Seperti di beberapa negara status interaksi sosial

natara laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama pada aktivitas. Sementara di negara lainnya, perempuan banyak diketahui memiliki tingkat interaksi yang rendah, banyak perempuanwaktu tinggal di rumah lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Menurut penelitian Gustafon (2004) membuktikan bahwa laki-laki mempunyai risiko 2,58 kali menderita tuberkulosis dibadingkan dengan wanita. Hal tersebut juga didukung oleh laporan dari WHO tahun 1998 yang menjelaskan di Afrika penyakit TB banyak menyerang jenis kelamin laki-laki yang jumlah penderita TB paru hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah TB paru pada wanita yaitu sebesar 42,34% pada laki-laki dan 28,92% pada wanita. Dari tahun 1985 sampai tahun 1997 diketahui penderita TB paru berjenis kelamin laki-laki dilaporkan meningkat sebanyak 387 penderita (2,5%), sedangkan penderita pada jenis kelamin perempuan menurun 52 kasus atau sebesar 0,7% (Bloch, 1989). 4. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat. Selain itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya(Depkes RI, 2001) Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi gaya hidup seseorang. Dimana pendidikan yang kurang akan dapat mengakibatkan seseorang tidak dapat meningkatkan tarif hidupnya, dimana dengan taraf hidup yang baik maka pemenuhan akan kebutuhan pokok dapat dipenuhi dengan baik. Dengan terpenuhnya kebutuhan pokok khususnya asupan gizi yang baik maka kejadian penyakit tuberkulosis dapat ditanggulangi, seiring dengan meningkatnya daya tahan tubuh. Menurut Rasmin (1992), taraf hidup bagi seseorang penting sekali untuk menjaga agara terhindardari infeksi termasuk infeksi TB.

5. Pekerjaan

Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru. Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantara konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Kepala keluarga yang mempunyai pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru. Dalam hal jenis kontruksi rumah dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka kontruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya penularan penyakit TB Paru(Depkes RI, 2001) Hal menarik yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan penyakit TB adalah masalah pekerjaan. Jenis pekerjaan tertentu yang dilakukan seseorang akan mempengaruhi angka kejadian TB. Menurut Boris (2004) di negara berkembang banyak dijumpai penderita TB meningkat pada orang yang memiliki jenis pekerjaan yang dilakukan di lingkungan tidak sehat. Di lingkungan pekerjaan dimana terjadi indoor air pollution seperti akibat rokok maupun pencemaran bahan kimia yang lain akan meningkatkan kejadian TB. Jika dihubungkan antara kejadian penyakit TB dengan penduduk yang memiliki pekerjaan atau tidak, pada negara berkembang yang identik dengan kemiskinan, pekerjaan susah didapat, angka kejadian TB cenderung meningkat (Coker, 2005). Menurut Ridwan (1983) masyarakat yang tidak sanggup meningkatkan daya tahan tubuh dengan intake makanan yang kurang maupun gizi makanan yang tidak mencukupi.

6. Kebiasaan Merokok

Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik dan kanker kandung kemih.Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di Indonesia per orang per tahun adalah 230 batang, relatif lebih rendah dengan 430 batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana dan 760 batang/orang/tahun di Pakistan (Achmadi, 2005). Prevalensi merokok pada hampir semua Negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru( Depkes RI, 2001 ) Faktor risiko lain yang dapat memicu kejadian TBC paru yaitu perilaku merokok. Merokok merupakan perilaku yang sangat membahayakan kesehatan masyarakat. Menurut Aditama (1997) kematian yang disebabkan oleh merokok yaitu sebesar 2,5 juta orang setiap tahunnya yang dapat diartikan bahwa setiap 13 detik terjadi kematian. Kebiasaan merokok terbukti dapat memiliki hubungan yang banyak terhadap kejadian suatu penyakit, diantaranya yaitu penyakit kanker paru, bronchitis kronis, emfisema, penyakit kardiovaskular, penyakit TBC paru dan lain sebagainya (Subramanian, 2005; Lam, 2005) Beberapa fakta dapat terungkap dari berbagai penelitian yang dilakukan, salah satunya bahwa seseorang yang memiliki risiko mengidap penyakit TBC paru bila dihubungkan dengan banyaknya jumlah rokok yang dihisap perhari dan lamanya merokok. Penelitian ini dilakukan oleh (Kolappan, 2002) menyebutkan bahwa seseorang yang merokok kurang dari 10 tahun maka risiko mendapatkan peyakit TBC paru meningkat sebanyak 1,72 kali bila sudah merokok selama 20 tahun maka risiko akan meningkat sebanyak 3,23 kali

7. Perilaku Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan

akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya ( Depkes RI, 2001 ) .

Faktor Lingkungan Rumah 1. Kondisi Rumah Tempat tinggal merupakan kebutuhan pokok bagi setiap masyarakat, samapentingnya, meskipun berbeda fungsinya, dengan dua unsur kebutuhan dasar lainnya,yaitu pakaian (sandang) dan makanan (pangan). Dari kondisi lingkungan tempat tinggaldapat terlihat tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dan kondisi lingkunganyang sehat. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau huniandan sarana pembinaan keluarga; sedangkan perumahan adalah kelompok rumah yangberfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dilengkapi dengansarana prasarana lingkungan (Menteri Kesehatan RI, 1999) (Badan Pusat Statistik Jawa Tengah, 2000) (Badan Pusat StatistikJawa Tengah, 2002) Rumah dikatakan baik dan aman, jika kualitas bangunan dan lingkungan dibuat denganserasi. Adapun rumah yang sehat adalah : (Menteri Kesehatan RI , 1999) (Azwar, 1999) a. Bahan bangunannya memenuhi syarat Lantai tidak berdebu pada musim kernarau dan tidak basah pada musim hujan.lantai yang basah dar berdebu merupakan sarang penyakit, Dinding tembok adalah baik, namun bila di daerah tropis dan ventilasi kurang akan lebih baik dari papan, Atap genting cocok untuk daerah tropis, sedang atap seng atau asbes tidak cocok untuk rumah pedesaan karena disamping mahal juga menimbulkan suhu panas di dalam rumah. b.Ventilasi cukup, yaitu minimal luas jendela/ ventilasi adalah 15% dari luas lantai, karena ventilasi mempunyai fungsi : Menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar, sehingga keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya 02 di dalam rumah

yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat. Menjaga agar udara di ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban (humidity ) yang optimum. Kelembaban yang optimal ( sehat ) adalah sekitar 40 70% kelembaban yang lebih Dari 70% akan berpengaruh terhadap kesehatan penghuni rumah. Kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban Ills akan merupakan media yang baik untuk bakteri - bakteri patogen ( penyebab penyakit ). Membebaskan udara ruangan dari bakteri - bakteri, terutama bakteri patogen,karena disitu selalu terjadi aliran udara yang tents menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Lingkungan perokok akan menyebabkan udara mengandung nitrogen oksida sehingga menurunkan kekebalan pada tubuh terutama pada saluran napas karena berkembang menjadi makrofag yang dapat menyebab infeksi. c. Cahaya matahari cukup, tidak lebih dan tidak kurang, dimana cahaya matahari ini dapat diperoleh dari ventilasi maupun jendela/genting kaca. Suhu udara yang ideal dalam rumah antara 18 - 30C. Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat bervariasi, Mycobacterium tuberculosis tumbuh optimal pada suhu 37C. Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat membunuh Mycobacterium tuberculosis . Bakteri tahan hidup pada tempat gelap, sehingga perkembangbiakan bakteri lebih banyak di rumah yang gelap. d.Luas bangunan rumah cukup, yaitu luas lantai bangunan rumah harus cukup sesuai dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan berjubel ( over crowded ). Rumah yang terlalu padat penghuninya tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi 02 juga bila salah satu anggota keluarga ada yang terkena infeksi akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. Kepadatan hunian ditentukan dengan jumlah kamar tidur dibagi

dengan jumlah penghuni ( sleeping density ), dinyatakan dengan nilai : baik, bila kepadatan lebih atau sama dengan 0,7 cukup, bila kepadatan antara 0,5 0,7 dan kurang bila kepadatan kurang dari 0,5 (Azwar, 1999) Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit TBC. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan kuman.Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman Mycrobacterium tuberculosis.(Depkes RI, 2001) 2. Kepadatan Hunian Kepadatan penghuni merupakan suatu proses penularan penyakit. Semakin padat maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit menular melalui udara akan semakin mudah dan cepat, apalagi terdapat anggota keluarga yang menderita TB dengan BTA (+). Kuman TB cukup resisten terhadap antiseptik tetapi dengan cepat akan menjadi inaktif oleh cahaya matahari, sinar ultraviolet yang dapat merusak atau melemahkan fungsi vital organisme dan kemudian mematikan. Kepadatan hunian ditempat tinggal penderita TB paru anak paling banyak adalah tingkat kepadatan rendah. Suhu didalam ruangan erat kaitannya dengan kepadatan hunian dan ventilasi rumah (Starke JR, 2003) Kepadatan penghuni yang ditetapkan oleh Depkes (2000), yaitu rasio luas lantai seluruh ruangan dibagi jumlah penghuni minimal 10 m2/orang. Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun. Kondisi kepadatan hunian perumahan atau tempat tinggal lainnya seperti penginapan, panti-panti tempat penampungan akan besar pengaruhnya terhadap risiko penularan. Di daerah perkotaan (urban) yang lebih padat penduduknya dibandingkan di pedesaan (rural), peluang terjadinya kontak dengan penderita TB lebih besar. Sebaliknya di daerah rural akan lebih kecil kemungkinannya. Dapat disimpulkan bahwa orang yang rentan (susceptible ) akan terpapar dengan penderita TB menular lebih tinggi pada wilayah yang

pada penduduknya walaupun insiden sama antara yang penduduk padat dan penduduk tidak padat (Karyadi E, 2006) Beberapa faktor sosialekonomi diperkirakan mempengaruhi tingkat kesakitan maupun kematianakibat penyakit tuberkulosis termasuk faktor kepadatan penduduk.Besarnya prosentase penduduk yang berdiam di kota akan mempengaruhibukan saja kepadatan namun juga hubungan antara seseorang denganorang lainnya. Keadaan perumahan memberikan dampak langsung kepadakesehatan lingkungan dan termasuk didalamnya jumlah orang dalam saturumah.Lingkungan tempat tinggal diyakini beberapa peneliti sebagaifaktor risiko. Dalam program penyehatan lingkungan pemukiman, telahditetapkan syarat-syarat kesehatan untuk rumah tinggal antara lain : o Luas ruangan rumah dibanding penghuni tidak kurang dari 9m2/jiwa o Lantai dan dinding kamar tidur kering (tidak lembab) o Pencahayaan memanfaatkan sinar matahari sebanyak mungkin untuk penerangan dalam rumah pada siang hari (Proyono Tjiptoheryanto, 1983) Pengukuran kepadatan penghuni rumah dilakukan dengan menghitungluas lantai bangunan dengan menggunakan alat ukur meteran standar) kemudian dibagi dengan jumlah penghuninya yaitu 9 m2 perorang (Depkes,2006). Kriteria objektif : Padat : bila luas bangunan< 9m2perorang Tidak padat : bila luas bangunan 9 m2 perorang Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload.Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam m2/orang.Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari

kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia.Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10 m2/orang.Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3 m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun. Untuk menjamin volume udara yang cukup, di syaratkan juga langit-langit minimum tingginya 2,75 m. ( Depkes RI, 2001 ) Berkembangnya industry-industri di suatu daerah akan menyebabkan terjadinya urbanisasi penduduk, sehingga penduduk yang berada di daerah industry tersebut akan semakin padat. Hal ini aka mengakibatkan keadaan perumahan yang padat dan kondisi rumah yang tidak memadai. Kondisi yang demikian yang akan mempengaruhi kesehatan penghuni rumah di daerah tersebut. Cepat lambatnya penyakit menular ditentukan oleh

kepadatan.Kepadatan merupakan pre-requiste untuk penularan penyakit. Semakin padat, maka perpindahan penyakit khususnya penyakit melalui udara akan semakin mudah dan cepat. Oleh karena itu, kepadatan dalam rumah tempat tinggal merupakan variable yang berperan dalam kejadian TB paru (Keputusan Menteri Kesehatan, 1999) Rumah dikatakan padat penghuninya apabila perbandingan luas lantai seluruh ruangan rumah dengan jumlah penghuni kurang dari 10 m2/orang. Penelitian di Ciampea, Bogor yang dilakukan oleh Supriyono (2003) bahwa risiko untuk mendapatkan TB paru 1,3 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal di rumah yang tidak memenuhi persayaratan kesehatan. Keadaan tempat tinggal diperkirakan dapat memberikan kontribusi langsung terhadap status kesehatan seseorang.Dimana kepadatan hunian merupakan salah satu bagian dari lingkungan perumahan yang paling menentukan.Kepadatan hunian ditentukan oleh banyaknya jumlah hunian atau jumlah orang dalam ruangan dibandingkan dengan luas lantai ruangan tersebut. Semakin banyak jumlah penghuni dalam ruangan, maka akan semakin padat hunian yang ditempati. Hal tersebut juga dapat mempengaruhi kualitas udara dalam ruangan juga akan semakin cepat tercemar, termasuk tercemar oleh

Mycobacterium tuberculosis yang dikeluarkan oleh penderita TBC melalui percikan dahak. Dari hasil penelitian Dahlan (2001), dinyatakan bahwa orang yang tinggal dengan tingkat kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 3,8 kali lebih besar untuk terjadi penyakit TBC paru dibandingkan dengan yang tinggal dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat. Luas lantai ruangan sebagai indikator adalah 1 orang membutuhkan luas lantai minimal 10 m2 (Depkes R.I, 1000) Keadaan perumahan memberikan dampak langsung kepada kualitas lingkungan terutama kualitas kesehatan yang dapat mempengaruhi kualitas hidup orang yang tinggal didalamnya. Berdasarkan penelitian Adam (Hermain, 2001) bahwa orang yang tinggal lebih dari 24 bulan mempunyai risiko2,4 kali menderita penyakit TBC paru aktif dibandingkan dengan orang yang tinggal kurang dari 24 bulan. Hal tersebut dapat menjadi suatu indikator bahwa lama tinggal seseorang dalam lingkungan yang kumuh dapat mempengaruhi terjadinya penyakit TBC paru. Menurut Soesanto (2000) suatu rumah dikatakan dapat memenuhi syarat kesehatan bila suatu rumah tersebut memenuhi syarat kesehatan.Terdapat empat hal yang dapat mempengaruhi yaitu rumah yang ditempati dapat memenuhi kebutuhan fisiologis, meliputi pencahayaan, ventilasi, dan ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu tidur.rumah dapat memenuhi kebutuhan psikologis seperti privacy yang cukup, komunikasi yang sehat antar anggota keluarga penghuni rumah. Rumah juga dapat memenuhi persyaratan pencegahan penyakit menular antar keluarga penghuni rumah, meliputi penyediaan air minum, pengelolaan tinja, dan limbah rumah tangga, bebas vector penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindungnya makanan dan minuman dari percemaran disamping pencahayaan dan penghawaan yang cukup. Rumah yang dapat memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul karena keadaan di luar maupub di dalam rumah, seperti persyaratan kontruksi

yang tidak mudah bocor dan roboh, yang tidak mudah terbakar, yang tidak cenderung membuat penghuninya jatuh dan tergelincir. Surat Keputusan Menteri tentang Kesehatan persyaratan Nomor kesehatan

829/MENKES/SK/VII/1999

menjelaskan

perumahan yang dapat dikatakan memenuhi syarat kesehatan. Rumah tinggal yang dapat dikelompokkan sebagai rumah yang memenuhi syarat apabila rumah tinggal tersebut menggunakan bahan bangunan yang tidak terbuat dari bahan yang dapat melepas zat-zat yang dapat membahayakan kesehatan seperti debu total tidak melebihi dari 150 m. Kusnoputranto (2000) menjelaskan bahwa rumah sehat harus dapat memenuhi kebutuhan fisiologis seperti ventilasi yang baik dengan ukuran 10-20% dari luas lantai, pencahayaan minimal cshaya matahari masuk 60 lux yang tidak menyilaukan dan mampu membunuh kuman patogen yang dapat menyebabkan penyakit, kepadatan tempat hunian dianjurkan minimal luas lantai kamar tidur tidak kurang dari 8 m2 dan dianjurka tideak lebih dari dua orang tidur, rumah juga harus bebas dari tingkat kebisingan maksimal untuk perumahan yang ideal sebesar 40-55 dB. Bahan bangunan yang dianjurkan sebaiknya tidak terbuat dari bahan yang dapat membahayakan kesehatan seperti asbes dan ju7ga tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogen. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dahlan (2001) menyimpulkan bahwa orang yang tinggal dengan tingkat kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko 3,8 kali untuk menderita TBC dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat kesehatan. 3. Pencahayaan Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela kaca minimum 20% luas lantai.Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang leluasa maka dapat dipasang genteng kaca.Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.

Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin atau kurang lebih 60 lux., kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya yang lebih redup. Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya..Cahaya yang sama apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama Penularan kuman TB Paru relatif tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka resiko penularan antar penghuni akan sangat berkurang. ( Depkes RI, 2001 ) Intensitas cahaya alami yaitu sinar matahari sangat ditentukan oleh letak dan lebar jendela.Untuk memperoleh sinar matahari pada waktu pagi hari yang optimal sebaiknya jendela ruangan atau kamar tidur menghadap ke timur atau luas jendela minimal sebesar 10-20 % dari luas lantai.Kebutuhan standar cahaya alami dan buatan, baik langsung maupun tidak langsung ke seluruh ruangan rumah meurut Keputusa Menteri Kesehatan No.

829/MenKes/SK/VII/1999 adalah 60-120 lux. Penularan basil tuberkulsosis relative tidak tahan terhadap sinar matahari. Oleh karena itu bila dalam ruangan siar matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan serta sirkulasi udara diatur, maka risiko penularan diantara penghuni rumah akan sangat berkurang. Kusnindar (1993) menyatakan bahwa pengaruh intensitas cahaya berkaitan degan matinya basil Tuberkulosis oleh sinar matahari terutama sinar ultraviolet.Dan besarnya pencahayaan rumah mempunyai hubungan yang bermakna dengan BTA positif (Sukana, 2000). Pencahayaan dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu pencahayaan alami yang bersumber dari sinar matahari dan pencahayaan buatan yang merupakan rekayasa buatan manusia. Menurut Depkes (1999) pencahayaan ruangan sebaiknya minimal 60 lux dan tidak menyilaukan matan. Cahaya yang terlalu banyak akan menyilaukan mata sedangkan jumlah cahaya yang terlalu sedikit

akan mengakibatkan mudahnya kuman hidup dan berkembang biak. Karena dengan oencahayaan yang kuran kondisi lingkungan akan lembab. Penelitian di Harvard menyebutkan bahwa sinar ultraviolet (UV) dapat membunuh kuman TB paru, penelitian ini kemudian dibuktikan pada individu yang tinggal di tempat penampungan diberikan lampu sinar UV serta individu yang tinggal di rumah diberikan lampu tanpa sinar UV. Hasilnya membuktikan bahwa individu yang tinggal di rumah tanpa sinar UV lebih banyak terinfeksi kuman TB paru, walaupun infeksinya tidak semua bermanifestasi pada kejadian penyakit TB paru (Rosche, 2002).

4. Ventilasi Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB. Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar tidur selalu tetap di dalam kelembaban (humiditiy) yang optimum. Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10% dari luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Udara segar juga diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembaban udara

dalam ruangan. Umumnya temperatur kamar 22 30C dari kelembaban udara optimum kurang lebih 60%. (Depkes RI, 2001 ) Ventilasi mempengaruhi proses difusi udara, dengan kata lain mengencerkan konsentrasi kuman TB paru dengan kuman lain sehingga kuman-kuman tersebut dapat terbawa keluar dan mati terkena siar matahari dan siar ultraviolet. Ventilasi merupakan tempat untuk memasukkan cahaya ultraviolet. Hal ini akan semakin baik apabila konstruksi rumah menggunakan bahan seperti kaca, hal ini merupakan kombinasi yang baik. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 829/MenKes/SK/VII/1999 bahwa ventilasi yang baik adalah 10 % dari lantai rumah. Adrial (2006) yang menyebutkan bahawa kelompok yang mempunyai rumah dengan luas ventilasi kurang dari 10 % luas lantai dapat berisiko 4,55 kali untuk terjadi TB paru dengan BTA positif (+) dibandingkan dengan kelompok yang mempunyai rumah dengan ventilasi lebih dari 10 % dari luas lantai rumah. Kualitas udara di dalah rumah berkaitan dengan ventilasi dan kegiatan penghuninya.Bertambahnya jumlah penduduk dalam pemukiman dalam perkotaan, menyebabkan kepadatan bangunan dan sulit untuk membuat ventilasi. Perjalanan kuman TB paru setelah dibatukkan aka terhirup oleh orang sekitarnya sampai ke paru-paru, sehingga dengan adanya ventilasi yang baik akan menjamin pertukaran udara dan konsentrasi droplet dapat dikurangi. Konsentrasi droplet pervolume udara dan lamanya waktu menghirup udara tersebut memungkinkan seseorang akan terinfeksi kuman TB paru. (Depkes 2002) 5. Kelembaban Kelembaban udara menunjukkan kadar uap air yang di udara. Pertumbuhan bakteri sangat dipengaruhi oleh adanya air atau uap air, karena kelembaban merupakan hal yang pasti dibutuhkan untuk pertumbuhan semua mikroorganisme khususnya bakteri.Kontaminasi bakteri di udara suatu ruangan dapat terjadi akibat adanya debu atau partikel di udara yang mengandung uap air yang melayang dan mengandung bakteri. Kelembaban udara pada setiap ruangan harus diupayakan memenuhi syarat sesuai dengan Keputusan Menteri

Kesehatan No. 829/Menkes/SK/VII/1999 yaitu berkisar 40%-70% kelembaban yang tidak memenuhi syarat kesehatan termasuk akan kuman menjadi TB tempat sehingga

perkembangbiakan

mikroorganisme,

viabilitasnya lebih lama. Berdasarkan penelitian Karminingsih (2002) menyebutkan bahwa rumah dengan kelembaban lebih besar 60% beresiko terkena TB 2,76 kali dibanding rumah dengan kelembaban lebih kecil atau sama dengan 60%. Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22 30C. Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab (Depkes RI, 2001)

6. Lantai Rumah Secara hipotesis, jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian Tb paru melalui kelembaban ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban ruangan.Lantai rumah cenderung menimbulkan kelembaban, dengan demikia viabilitas kuman TB paru di lingkungan juga dipengaruhi dengan keadaan lantai.

7. Penggunaan Obat Nyamuk

Penggunaan obat nyamuk perlu diperhatikan lebih lanjut, bahan pembakaran obat nyamuk terbuat dari bahan kimia dan jika menggunakan obat nyamuk nakar maka risiko terjadinya penyakit juga semakin tinggi, akibat adanya bahan kimia yang dikeluarkan dari hasil pembakaran obat nyamuk tersebut. Bahan kimia yang dikeluarkan dapat terakumulasi baik di lingkungan maupun di dalam tubuh manusia yang terpajan oleh polutan yang dihasilkan oleh obat nyamuk bakar. Nursanti (2002) menjelaskan bahwa penggunaan obat nyamuk bakar dapat meningkatkan kejadia TB paru dibandingkan dengan yang tidak

menggunakan obat nyamuk bakar. Paparan yang berulang dapat mengakibatkan peningkatan infeksi saluran pernafasa dan juga dapat menimbulkan penyakit kanker (Chauhan, 1994 dalam Silviana, 2006)

Faktor Demografi 1. Kepadatan Penduduk Kepadatan penduduk ditentukan oleh jumlah dan distribusi penduduk di suatu wilayah.Kepadatan penduduk selain menentukan cepat atau lambatnya kejadian suatu penyaki dapat menular, banyak tidaknya penderita paabila terjadi perubahan secara darurat seperti kejadian kasus luar biasa dan besar kecilnya tempat pelayanan kesehatan.Tingkat kepadatan digunakan untuk membagi daerah hunian menjadi daerah perkotaan dan pedesaan. Perbedaan keduanya yaitu sangat jelas terlihat pada kepadatan penduduknya, ketersediaan airnya, leterseidaan makanan, teknologi, gaya hidup, aktifitas sosial, stress dan kekebalan terhadappenyakit dengan segala konsekuensinya (Soemirat, 2000). Beberapa faktor sosial ekonomi yang dapat mempengaruhi tingkat kesakitan maupun kematian akibat penyakit TBC diantaranya dipengaruhi oleh faktor kepadatan penduduk.prosentase penduduk yang bertemoat tinggal di kota akan mempengaruhi hubungan antara seseorang dengan orang lain. Achmadi (1991) menjelaskan bahwa masalah kesehatan lingkungan cenderung timbul pada daerah dengan kepadatan penduduk tinggi di suatu wilayah, seperti wilayah perkotaan.pertumbuhan penduduk dalam suatu wilayah dengan kecendrungan peningkatan penggunaan energi dan kegiatan dapat memperburuk kondisi kesehatan lingkungan. Sedangkan Lomanta (1989) mengungkapkan bahwa dalam ilmu epidemiologi diketahui bahwa daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi lebih mudah menjadi korban wabah dibandingkan dengan wilayah yang memiliki jumlah penduduk yang jarang

2. Iklim

Pengaruh iklim sangat besar terhadap perkembangan kehidupan agen di lingkungan terutama bagi agen penyakit TB. Agen yang hidup juga dipengaruhi oleh temperature, keberadaan cairan, dan zat lainnya yang terdapat di lingkungan sekitar. Selain itu iklim juga dapat mempengaruhi host beserta perilakunya. Media transmisi penyakit juga dipengaruhi oleh iklim. Unsur-unsur iklim dapat beragam jumlahnya, beberapa diantaranya yaitu presipitasi (hujan), temperature atau suhu, kelembaban, kecepatan angin, cahaya matahari, dan beberapa fenomena lainnya speerti kabut, embun beku, hujan es disertai angin rebut dan unsure-unsur lain cuaca. Iklim dapat mempengaruhi ekosistem, habitat binatang penular penyakit, bahkan tumbuh kembangnya koloni kuman secara alamiah. Dengan demikian secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi terjadinya penyakit, seperti demam berdarah (Achmadi, 2005). Perubahan alam dapat mempengaruhi kesehatan melalui dua cara yaitu scara langsung akan mempengaruhi peningkatan insiden penyakit, kelainan jiwa, cedera, dan kematian yang diakibatkan oleh peningkatan gelombang panas atau banjir, badai, atau kejadian iklim yang ekstrim lainnya. Secara tidak langsung merupakan hal yang penting pada periode yang lebih panjang dimana peningkatan insiden penyakit dapat disebabkan oleh rawannya pangan dan air atau penduduk yang terpaksa pindah atau mengungsi (Rachmat, 2001, Chandra, 2005). Faktor yang mempengaruhi iklim di Indonesia menurut Sandy (1996) terdapat empat indikator, yaitu suhu rata-rata tahunan tinggi sebagai akibat dari letak yang dekat dengan katulistiwa, adanya hembusan angin musim yang membawa musim hujan dan musim kemarau sebagai akibat dari perbedaan tekanan udara di daerah Asia dan Australia, bebas dari hembusan angin taifun karena kepualauan Indonesia sebagian besar terletak tidak lebih dari 10 Lintang Utara dan 10 Lintang Selatan, kadar kelembaban udara senantiasa tinggi sebagai akibat dari sifat kepulauan, yaitu luasnya lautan dan selat-selat serta suhu yang tinggi, dapat mengakibatkan jumlah penguapan selalu tinggi. Pada musim kemarau dan tempat lain dikenal paling kering kadar kelembaban udara selalu

tinggi. Pada musim kemarau dan tempat lain di kenal paling kering kadar kelembaban udara diantaranya 70-80%, sehingga Indonesia dikenal memiliki iklim tropis basah dan kadar kelembaban udara yang tinggi, sehingga menyebabkan tidak adanya perbedaan yang ekstrim antara suhu yang minimum dengan maksimum. Menurut buku ilmu pengetahuan popular menjelaskan bahwa suhu dan kelembaban udara merupakan salah satu yang mempengaruhi cuaca. Cuaca selalu berpengaruh terhadapa kehidupan manusia. Cuaca dilapisan troposfer akan semakin tinggi altitude dan akan menyebabkan suhu udara semakin menurun serta semakin rendah juga kelembaban udaranya (Chandra, 2005). Kelembaban udara yang standar apabila kelembaban mencapai 40-70% dikatakan kelembaban tidak memenuhi standar bisa lebih dari 70% atau kurang dari 40%. Kelembaban merupakan media yang baik untuk kelangsungan hidup bakteri patogen termasuk kuman TB paru (Depkes, 1999). Diketahuinya bahwa kuman TB paru ini akan mudah hidup pada kondisi lingkungan yang lembab dan akan mudah mati pada kondisi lingkungan yang terkena sinar matahari langsung.

3. Ketinggian Wilayah

Ketinggian wilayah merupakan bagian dari kondisi geografi. Dimana pengetahuan tentang kondisi geografi bermanfaat untuk melakukan perencanaan kesehatan yang dapat memberikan penjelasan mengenai etiologi penyakit. Perbandingan pola penyakit sering dilakukan antara batas-batas daerah pemerintahan, kota dan desa, daerah atau tempat yang berdasarkan batas-batas alam seperti pegunungan, sungai, laut, atau padang pasir. Epidemiologi geografis mempelajari tentang distribusi penyakit atas dasar tempat dan analisisinya dihubungkan dengan sifat agen dan lingkungan setempat, cara transmisi, dan mekanisme reservoirnya. Berbagai penyakit didata atas dasar lokasi dengan tujuan pengendalian dan pencegahan wabah (Soemirat, 2000). Epidemiologi geografi dapat menjelaskan gambaran spasial insiden suatu penyakit dan kematian. Studi ini merupakan bagian dari epidemiologi deskriptif yang

secara umum berhubungan dengan gambaran timbulnya penyakit yang dihubungkan dengan karakteristik demografi (umur, jenis kelamin), selain itu juga dihubungkan dengan tempat dan waktu (Chandra, 2005). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menyebutkan bahwa perkiraan kejadian TB di daerah dataran tinggi di Peru, terbukti bahwa di dataran tinggi (3.340 m dan 3.500 m dari permukaan laut) prevalensi kasus TB pada penduduk di dataran tinggi lebih rendah (5,7% dan 6,8%) dibandingkan dengan penduduk yangtinggal di dataran rendah (sea level) yaitu 25% dan 33% dengan odds ratio= 4,5-5. Jadi dapat disimpulkan bahwa prevalensi kejadian TB paru di dataran rendah 4,5 sampai 5 kali lebih besar dibandingkan dengan prevalensi di dataran tinggi (Chandra, 2005). Penelitian ini didukung oleh penelitian lainnya yang dilakukan di Kenya dan Afrika Selatan yang menyebutkan prevalensi penyakit TB paru dua kali lebih besar terjadi di dataran rendah dibandingkan dengan dataran tinggi. Penyebaran penyakit TB didaerah dataran tinggi dapat dipengaruhi oleh berkurangnya kemampuan bertahan hidup kuman penyebab TB dikarenakan kelembaban udara di dataran tinggi yang lebih rendah dan daerah dataran tinggi terpapar lebih besar sinar UV. Selain itu dipengaruhi oleh adanya kekebalan tubuh terhadap penyakit TB yang mungkin disebabkan oleh kurangnya reaksi oksigen dalam tubuh atau faktor genetik yang sudah menetap pada populasi yang tinggal di dataran tingg (Chandra, 2005).

Faktor Penularan

1. Sumber Penularan Seseorang dengan BTA positif, seringkali akan menularkan anggota keluarganya sendiri khususnya anak-anak. Jelaslah keluarga merupakan kontak yang dekat.Apalagi ditambah dengan keadaan rumah dengan luas kamar tidur yang kurang dari 8 m2 yang memungkinkan anggota keluarga tidur lebih dari 2 orang.Penelitian Chapman menemukan bahwa terjadinya

tuberkulosis pada anak-anak lebih kuat jika berada dalam satu rumah dengan BTA positif (Nelson, 2001).

2. Serumah dengan Sumber Penular Kontak serumah dengan penderita TBC merupakan salah satu faktor risiko terjadinya TBC.Semua kontak penderita TBC positif harusdiperiksa dahak.Kontak erat seperti dalam keluarga dan pemaparan besar-besaran seperti pada petugas kesehatan memungkinkan penularan lewatpercikan dahak.Faktor risiko tersebut semakin besar bila kondisi lingkunganperumahan jelek seperti kepadatan penghuni, ventilasi yang tidak memenuhi syarat dan kelembaban dalam rumah merupakan media transisikuman TBC untuk dapat hidup dan menyebar. Untuk itu penderita TBCdapat menularkan secara langsung terutama pada lingkungan rumah,masyarakat di sekitarnya dan lingkungan tempat bekerja,

makinmeningkatnya waktu berhubungan dengan penderita memberikemungkinan infeksi lebih besar pada kontak.Hal tersebut memberikan gambaran bahwa pemaparan kuman TBCdapat dipengaruhi oleh faktor individu, keeratan kontak dan faktor lingkungan rumah seseorang

3. Lama Kontak Lama kontak adalah kurun waktu kontak tinggal bersama denganpenderita secara terus-menerus sehingga pada proses ini melalui batuk atau bersin, penderita TBC paru BTA (+) menyebarkan kuman ke udaradalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei).Sekali batuk dapatmenghasilkan sekitar 3000 percikan, Selain itu faktor yangmemungkinkan seseorang terpajan kuman TBC paru ditentukan olehkonsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebutkarena risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikandahak dimana pasien TBC paru dengan BTA (+) memberikankemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TBC paru BTA (-)(Depkes, 2008).

Masa inkubasi kuman TBC mulai dari masuknya kuman sampaiterjadi infeksi diperkirakan 6 bulan sampai dengan 2 tahun (Depkes,2002).

You might also like