You are on page 1of 16

ANARKISME EPISTEMOLOGIS PAUL KARL FEYERABEND

Disusun untuk dipresentasikan dalam seminar kelas pada mata kuliah Filsafat Ilmu pada Program Pascasarjana UIN SUSKA RIAU

Oleh: ISNAINI SEPTEMIARTI NIM: 0804 S2 780 Dosen Pembimbing Dr. MUHMIDAYELI, M.Ag

KOSENTRASI PENDIDIKAN ISLAM PROGRAM PASCASARJANA (S2) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU 2008

KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah penulis ucapan kehadirat Allah SWT atas karunia dan rahmat-Nya kepada kita semua. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dan dipresentasikan dalam seminar kelas pada mata kuliah Filsafat Ilmu di Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Makalah ini membahas tentang Anarkisme Epistemologis Paul Karl Feyerabend. Pembahasan ini sangat menarik dan sangat perlu untuk kita ketahui lebih lanjut dalam rangka proses pengembangan ilmu pengetahuan kita. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, sebagai penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis, pembaca, dan semua pihak yang tekait. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini, terutama kepada Dosen Pembimbing Dr. Muhmidayeli, M.Ag Pekanbaru, Desember 2008

Penulis

PENDAHULUAN Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan (realitas). Filsafat merupakan refleksi rasional (fikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (kebenaran) dan memperoleh hikmat (kebijaksanaan). Dewasa ini perhatian terhadap filsafat ilmu semakin besar. Keberadaan filsafat ilmu tampak semakin jelas dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dilihat, filsafat ilmu semakin diperukan daa kehidupan, terutama dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejalan dengan pergeseranpergeseran, paradigma dalam filsafat ilmu juga semakin marak. Makalah ini mengungkapkan epistemologis. Ada tiga masalah yang akan diparkan dalam makalah ini; pertama, bagaimana latar belakang pemikiran Feyerabend? Kedua, apa yang dmaksud dengan anarkisme epistemologi? Ketiga, bagaimana implikasi pemikiran Feyerabend dalam pengembangan ilmu pengetahuan. paradigma postmodernisme dalam epistemologi yang dikemukakan oleh Paul Karl Feyerabend, yang dalam hal ini berupa anarkisme

PEMBAHASAN ANARKISME EPISTEMOLOGIS PAUL KARL FEYERABEND 1. Feyerabend dan Latar Belakang Pemikirannya. Paul Kar Feyerabend dilahirkan pada tahun 1924 di Wina, Austria. Tahun 1945 ia belajar seni teater dan sejarah teater di Institute Of Prodution Of Theater, The Methodological Reform Of The Geman Theater di Waimar. Sepanjang hidupnya ia menyukai drama dan kesenian. Hal ini tampak dalam karya-karyanya, di mana ia memasukkan contoh-contoh dari dunia seni untuk menjelaskan pemikiran ilmiahnya.1 Ia mempelajari astronomi, matematika, sejarah, filsafat dan memperoleh gelar doktor dalam bidang fisika di Wina. Dalam hidupnya ia percaya bahwa lmu pengetahuan itu paling hebat dan bahwa terdapat hukum-hukum universal yang berlaku dalam segala tindakan yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Pada tahun 50-an, ia mengikuti seminar-seminar filsafat dari Karl Popper di London. Pada saat itu, ia masih memegang teguh keyakinan rasionalitasnya, namun akibat perkenalannya dengan Lakatos, pemikiran Feyerabend berubah drastis. Ia melihat kenyataan bahwa dalam sejarah mekanika kuantum, bernacam-macam patokan itu dijunjung tinggi oleh para filusuf bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Di sini, kemudian Feyerabend melihat bahwa segala pencarian hukum universal adalah ilusi belaka. Pada tahun 1958, ia menjadi guru besar Universitas California di Berkeley dan berkenalan dengan Carl Freither von Weizsacker inilah pemikiran anarkisme ilmu pengetahuan Feyerabend mencapai puncak. Puncak pemikiran anarkisnya tertuang dalam Againts Method yang terbit pada tahun 1970.2 Pemikiran Feyerabend tentang anarkisme ilmu pengetahuan dilatarbelakangi oleh dominasi paradigma pemkiran positivistik yang telah
Listiyono Santoso, Sunarto, DKK, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2003, h. 149 2 Ibid, h.150 lihat juga http://www.marxists.org/reference/subject/philosophy/index.htm
1

dimulai pada abad ke-19. Agust Comte sebagai pencetus paradigma positivisme terpengaruh Descartes yang menyatakan bahwa ilmu yang mendasari segala macam ilmu adalah matematika, astronomi, kimia, fisika, biologi dan puncaknya adalah fisika sosial (sosiologi). Comte menyatakan bahwa baru setelah manusia mencapai penyelidikan-penyelidikan kimia, manusia akan mendapatkan temuan-temuan yang bermanfaat. Ilmu-ilmu pengetahuan non alam akan kesulitan mendapatkan legitimasi karena akan berhadapan dengan kesulitan-kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu berkaitan dengan tafsiran-tafsiran yang tidak eksak, sehingga kurang memberikan kemanfaatan bagi manusia modern.3 Aliran positivsme mendeterminasi ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan dipukul rata, harus dirumuskan dan diuraikan sebagai kalkulasi aksiomatis, yang memberikan perangkat-perangkat hukum pada interpretasi terhadap observasi yang terbatas, pendekatan kuantitatif mejadi tak terelakkan. Filsafat ilmu pengetahuan diandang sebagai logika ilmu. Pandangan semacam ini menguasai dan diterima luas oleh para filsuf ilmu pengetahuan pada Abad ke 20 pada saat Feyerabend hidup. Karl Popper adalah orang yang pertama kali meruntuhkan dominasi positivisme logis dengan teori falsifikasinya, sekaligus menginduksikan suatu zaman filsafat ilmu pengetahuan baru yang nantinya dirintis oleh Thomas Khun. Prinsip falsifibilitas berarti bahwa ciri utama pengetahuan ialah dapat dibuktikan salah. Jadi, hipotesis, hanya diterima sabagai bentuk kebenaran sementara, sejauh belum ditemukan kesalahannya.4 2. Anarkisme Epistemologis Paul Karl Feyerabend Feyerabend adalah seorang yang sangat concern terhadap pengkonstruksian filsafat ilmu berdasarkan fakta sejarah ilmu. Ia mengkritik
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1989, h. 73 Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu Kajian atas Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta : Belukar, 2008, h. 122-124. lihat juga K. Bertens, Filasafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2002, h. 81-82
4 3

pandangan yang menganggap metode, aliran atau sistem tertentu saja yang benar. Ia menyatakan bahwa metode ilmiah bukan sau-satunya ukuran kebenaran, termasuk apa yang dikembangan ilmu pengetahuan modern, tapi hanya merupakan salah satu dari berbagai cara atau upaya untuk mengungkapkan kebenaran. Istilah anarkis menunjuk pada setiap gerakan protes terhadap segala bentuk kemapanan. Anarkisme epistemologis yang dimaksudkan Feyerabend adalah anarkisme teoretis dengan alasan historis bahwa sejarah ilmu pengetahuan tidak hanya bermuatan fakta dan kesimpulan-kesimpulannya teapi juga bermuatan gagasan-gagasan dan interpretasi terhadap fakta-fakta itu sendiri serta masalah yang timbul akibat kesalahan interpretasi. Berdasarkan analisis historis kritis, ia menemukan bahwa oleh para ilmuwan, fakta hanya ditinjau dari dimensi ide belaka. Maka tidak mengherankan jika sejarah ilmu pegetahuan menjadi pelik, rancu, dan penuh dengan kesalahan.5 Situasi semacam ini digambarkan oleh Feyerabend sebagai sakitnya epistemologis dan obatnya adalah anarkisme. Anarkisme epistemologis pada dasarnya adalah suatu kritik, kritik terhadap metode yang diberinya nama anti metode (Against Method) dan kritik atas praktik ilmiah dan fungsi serta kedudukan ilmu pengetahuan dalam masyarakat disebut anti ilmu pengetahuan (Against Science).6 Feyerabend menolak metode ilmu pengetahuan sebagai pembelaan terhadap kebebasan individu. Ia menyatakan: salah satu alasan saya menulis Against Method adalah untuk membebaskan manusia dari tirani kegelapan fiosofis dan konsep-konsep abstrak seperti, kebenaran, realitas, dan data obyektivits, yang mengancam visi manusia dan cara berada di dunia ini.7 Semboyan anti metode, dimaksudkan Feyerabend untuk melawan ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap mempunyai satu metode yang baku dan universal serta tahan sepanjang masa, lagi pula dapat membawahi
5 6

Prasetya dalam Listiyono, Epistemologi Kiri, h. 154 Listiyono, Ibid, h. 155 7 Ibid

semua fakta dan penelitian. Menurut Feyerabend, klaim itu tidak realistis dan jahat. Tidak realistis, karena dalam kenyataannya ilmu pengetahuan hanya diambil dari pandangan sederhana atas dasar kemampuan seseorang dan dari lingkungan tertentu. Jahat, karena ilmu pengetahuan berusaha memaksakan hukum-hukum yang menghalangi berkembangnya kausalitas-kausalitas profesional manusia dengan mempertaruhkan kemanusiaan manusia.8 Langkah pertama kritik Feyerabend dilakukan dengan mengajukan suatu prosedur kontra-induksi (conter induction), yang dimaksudkan sebagai standar kritik dari luar yang sangat diperlukan oleh ilmu pengetahuan sendiri. Sebagai ganti atas metode, ia mengajukan dua prinsip (bukan metode): prinsip pengembangbiakan dan prinsip apa saja boleh. Prinsip pengembangiakan, bermaksud membiarkan semua berkembang sendiri-sendiri. Maksudnya, kita tidak bekerja dalam sistem pemikiran, bentuk-bentuk kehidupan dan kerangka institusional yang tunggal. Ini berarti kita harus menerapkan pluralisme teori ataupun pluralisme metodologi, sistem-sistem pemkiran, dan bentuk-bentuk kehidupan dalam kerangka institusional. Prinsip pegembangbiakan bukan aturan metodologis, ia justru mengatakan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak dapat dicapai dengan mengkuti teori tunggal, aturan atau metode apapun, melainkan dengan membiarkan teori-teori yang beraneka ragam dan berbeda satu sama lain berkembang sendiri-sendiri. Dengan demikian, sebenarnya Feyerabend tidak menolak metode, akan tetapi menolak hegemoni metode atas metode-metode lain. Prinsip apa saja boleh (anythings goes), berarti membiarkan segala sesuatu berlangsung, berjalan tanpa banyak aturan. Dengan ini, ia hendak menyatakan bahwa semua metode, termasuk yang paling jelas sekalipun pasti mempunyai keterbatasan, sehingga tidak seharusnya dipaksakan untuk menyelidiki semua obyek. Ini adalah prinsip yang sejalan dengan kebebasan individu. Menurut prinsip ini, setiap orang boleh mengikuti kecendrungannya
8

Ibid.

sebagai usaha kritis sehingga mencapai tingkat pengungkapan dan kesadaran yang lebih tinggi. Berdasarkan prinsip kebebasan ini, Feyerabend kemudian mempunyai sikap anti ilmu pengetahuan, dalam pengertian ia anti terhadap kekuasaan ilmu pengetahuan yang sering kali keluar dari tujuan utamanya. Ia melawan ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap lebih unggul dibandingkan dengan bentuk-bentuk pengetahuan lain, seperti, sihir, magi voodoo, mitos dan sebagainya.9 Para ilmuwan menganggap ilmu pengetahuan lebih unggul disebabkan dua hal. Pertama, karena ilmu pengetahuan dianggap mempunyai metode yang akurat untuk memperoleh hasil. Kedua, karena ada hasil-hasil yang dapat diajukan sebagai bukti keunggulan ilmu pengetahuan. Feyerabend menolak kedua anggapan tersebut. Baginya ilmu pengetahuan tidaklah mengungguli bidang-bidang pengetahuan lainnya. Kalaupun sekarang ilmu pengetahuan lebih unggul, bukan karena dua hal tersebut, akan tetapi lebih disebabkan oleh propaganda para ilmuwan dan adanya tolak ukur institusional yang diberi wewenang untuk memutuskannya. Ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan beserta institusi terkait dianggap yang paling benar, telah memonopoli kebenaran di dalam masyarakat, sehigga menjadi semacam ideologi yang menindas kebudayaan alternatif. Semboyan extra ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan), yang satu abad sebelumnya ada di dalam Gereja, diadopsi oleh para ilmuwan dengan mengatakan extra scientiam nulla salus (di luar ilmu pengetahuan tidak ada kebenaran). Feyerabend menegaskan bahwa ilmu pengetahuan hanya merupakan salah satu jalan, salah satu ideologi dari sekian banyak ideologi yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian, tidak selayaknya kita mengunggul-unggulkan ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya yang paling unggul dan paling menentukan kehidupan masyarakat.
9

Ibid, h. 156, lihat juga http://l03ki5n0.bravejournal.com/

3. Implikasinya dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Jika dilihat dari karakteristik pemikiran Feyerabend, dapat dikatakan bahwa ia adalah seorang tokoh postmodernisme dalam bidang filsafat ilmu. Sebagai tokoh post modernisme, maka pemikiran-pemikirannya merupakan bentuk kritik atas paradigma postmodernisme. Feyerabend, sebagaimana pemikir postmodernisme lainnya, seperti Lyotard, mengkritik pemikiran abad modern dari Descartes (Renaissance) sampai dengan Hegel, yang dicap sebagai grandnarratives yang dilegetimasikan. Para pmikir postmodernisme menuduh cara berpikir yang menotalisasikan dan mempunyai ambisi untuk menjelaskan segala aspek lewat grand theory (teori besar). Epistemologi Cartesian telah melahirkan keangkuhan epistemologi, bahwa realitas dapat ditaklukkan melalui pendefenisian. kemapanan.10 Dengan karakteristik tersebut, maka corak postmodernisme pemikiran Feyerabend dalam bidang filsafat ilmu terletak pada anarkisme epistemologisnya. Pemikiran Feyerabend ini berimplikasi pada pengembangan ilmu pengetahuan, bahwa dalam pengembangan ilmu pengetahuan alangkah baiknya ilmuwan ketika melakukan penelitian membebaskan diri dari metodemetode yang ada, meskipun terbuka kemungkinan menggunakan metode itu, tidak ada metode tunggal, setiap ilmuwan perlu menerapkan pluralitas teori, sistem pemikiran sesuai dengan kecenderungan masing-masing, karena setiap orang memiliki pilihan.11 Dengan demikian setiap ilmuwan harus menyadari bahwa bidang ilmunya memiliki kekhususan yang tidak dimliki oleh ilmu lain, sehingga tidak perlu terjebak untuk menggunakan metode-meotde yang tidak tepat oleh karena ingin mempertahankan mitos ilmiah. Bertolak Feyerabend di atas, maka pengembangan ilmu-ilmu kemanusiaan misalnya, tidak boleh terjebak pada penggunaan metode ilmu10 11

Pendeknya,

postmodernisme

menolak

segala

bentuk

Listiyono, Op. Cit, h. 157-156 Ibid.

ilmu alam ansich, karena ini hanya akan mendehumanisasikan manusia, mensubordinasikan manusia pada taraf infrahuman (bukan manusia). Gejala manusia adalah unik dengan tidak berhingga, sehingga tidak dapat disejajarkan begitu saja dengan gejala-gejala alam yang lain. Manusia adalah subyek, bukan obyek. Manusia adalah roh, yang tidak dapat diproyeksikan dengan sewenangwenang tanpa menghapuskan kerohaniannya. Manusia adalah makhluk yang bukan hanya masuk kategori alam, tetapi juga hidup. Manusia hidup dengan pengalaman-pengalamannya, ide-idenya, nilai-nilainya, imajinasi-imajinasinya, dan harapan-harapannya. Penggunaan metode ilmu-ilmu alam pada gejala manusia, akan menghapus keunikan, subyektivitas dan kerohanian manusia. Dalam pengembangan ilmu pengetahuan perlu ditumbuhkan sikap keterbukaan kepada alternative metodologis termasuk filsafat yang melandasinya. Artinya, silakan memilih sendiri metode yang dipandang lebih sesuai dengan ilmu yang dikembangkan. Lebih sesuai dalam makna profesional, maka harus didasarkan pada karakteristik obyek, filsafatnya dan atau tujuan yang hendak dicapai dari studi tersebut. Memang tidak dapat disanggah bahwa sering terjadi pemilihan metodologi yang lebih didasarkan pada penguasaan metodologi seseorang. Kuantifikasi dalam ilmu-ilmu sosial dan ilmu keagamaan tidak sepenuhnya salah. Tetapi kuantifikasi pada segala obyek studi keagamaan juga tidak dapat dibenarkan, karena hal ini berarti akan menyederhanakan masalah yang sebenarnya sangat kompleks. 4. Analisis Pemikiran Feyerabend a. Pluralisme Teoritis vs Falsifikasi Popper Di awal abad 20, Karl Popper (1902-1949) mengkritik metoda induktif yang digunakan sains. Ia sepakat dengan pendukung motoda empiris David Hume (1711-1776) bahwa terdapat masalah serius dengan induksi. Seluruh bukti induktif adalah terbatas: kita tidak mengamati Alam Semesta di semua waktu dan di seluruh tempat. Karena itu kita tidak bisa memperoleh pengesahan dalam membuat kaidah umum dari pengamatan-pengamatan khusus.

10

Popper memberikan contoh berikut. Bangsa Eropa selama ribuan tahun telah mengamati adanya angsa putih. Berdasarkan induksi, kita bisa membuat teori bahwa angsa berwarna putih. Namun, penjelajahan di Asutralasia memperkenalkan angsa hitam pada bangsa Eropa. Pernyataan Popper adalah: tak jadi soal berapa pun banyaknya pengamatan telah dilakukan untuk mendukung sebuah teori, selalu ada peluang bahwa pengamatan di masa depan akan mengingkari teori ini. Induksi tidak mampu menghasilkan kepastian. Popper mengusulkan metoda saintifik yang didasarkan pada falsifikasi atau penyangkalan. Betapa pun banyaknya kasus-kasus yang mendukung sebuah teori hanya diperlukan satu pengamatan untuk menyangkalnya. Hanya satu angsa hitam diperlukan untuk meruntuhkan teori bahwa seluruh angsa berwarna putih. Pluralisme teoritis mempersoalkan pembatasan penggunaan teori yang dianut oleh Paham positivisme (neo-positivis) yakni para peneliti hanya dibatasi mempergunakan satu teori saja dalam memecahkan segala persoalan. Feyerabend dengan teori pluralisme teoritisnya menganggap bahwa para peneliti tidak boleh dibatasi hanya dengan satu metode saja dalam melihat atau memecahkan suatu persoalan, tetapi para peneliti bisa mempergunakan berbagai macam metode baik berupa multi disipliner maupun interdisipliner. Dengan penggunaan berbagai macam metode dalam memecahkan persoalan tersebut, maka para peneliti dapat mengkonstruksi teori-teori baru sebanyak mungkin dan mempertahankannya. Jika teori-teori baru ini dapat dipertahankan dan lebih baik daripada teori yang lama, maka dengan sendirinya teori yang baru akan menggantikan yang lama. Selain itu, tujuan dari teori pluralisme teoritis ini adalah untuk memperbesar kemungkinan mem-falsifikasi teori yang berlaku. Semakin banyak teori baru yang dikonstruksi, maka semakin banyak pula teori baru tersebut dapat difalsifikasikan.

11

b. Metode Anarkis vs Positivisme Positivisme merupakan salah satu akar utama dari filsafat modern selain analisis linguistik. Para postivitis Perancis abad ke-19, di bawah kepemimpinan Auguste Comte, berpegang bahwa pengetahuan (knowledge) harus didasarkan pada persepsi rasa (sense perception) dan investigasi ilmu pengetahuan (science) yang objektif, oleh karena itu, positivisme telah membatasi pengetahuan kepada statements fakta yang dapat diobservasi dan hal-hal yang berkaitan dengannya, dan menolak pandangan dunia yang bersifat metafisik atau pandangan dunia yang berisi unsur-unsur yang tidak dapat diverifikasi secara empiris. Sikap negatif terhadap setiap realitas di luar rasa (sense) manusia telah mempengaruhi banyak bidang-bidang pemikiran modern, termasuk pragmatisme, behaviorisme, naturalisme saintifik, dan gerakan analitik tersebut. Positivisme menjadi tempat berkumpul bagi kelompok ilmuwan abad 20 yang dikenal dengan nama Perkumpulan Vienna (Vienna Circle) . Kelompok ini terdiri dari ilmuwan ahli matematika, ahli logika simbol (symbolic logician) yang tertarik pada filsafat. Lingkaran Vienna tersebut melihat filsafat sebagai logika sains dan bentuk pemikiran mereka yang kemudian dikenal sebagai positivisme logis. Metode anarkis Feyerabend yang mempersoalkan metodologi ilmu pengetahuan secara mendasar ingin menghidupkan kembali ilmu pengetahuan sebagai ekspresi kebebasan manusia. Feyerabend mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun atas metodologi yang kaku, namun harus ada ruang bagi inisiatif ilmuwan. Karena selain kebenaran, kebebasan ilmiah harus merupakan norma ilmu pengetahuan. Sedangkan kontrol ilmu yang terlalu ketat akan mematikan kreativitas ilmuwan. Semua yang dibuat dietikakan, sehingga pada akhirnya orang takut akan kesalahan. Dengan adanya metode anarkis Feyerabend yang bersemboyan anything goes, perkembangan ilmu pengetahuan akan terus meningkat. Seiring dengan tujuan Feyerabend yang berusaha memajukan ilmu pengetahuan, Metode anarkis ini juga menimbulkan pro dan kontra. Layaknya

12

pisau bermata dua, metode anarkis juga memiliki efek negatif yang dapat membahayakan kelangsungan hidup manusia. Sebagai contoh, efek dari dijatuhkannya bom atom yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk menyerang Hiroshima dan Nagasaki masih dirasakan oleh penduduk didaerah tersebut hingga saat ini. Contoh lainnya adalah penelitian-penelitian ilmuwan yang berhubungan dengan senjata nuklir, biologi, dan kimia menjadi senjata pemusnah massal (mass destruction weapon) tentunya juga dapat membahayakan kelangsungan hidup manusia di masa mendatang. Dengan demikian, ada dua manfaat dari munculnya metode anarkis Feyerabend, yaitu ilmu pengetahuan itu akan tetap terus berkembang dan penggunaan ilmu pengetahuan itu sendiri yang sulit dikontrol oleh manusia. c. Anti Saintisme Sains mengalami kemajuan hanya jika sebuah teori terbukti salah dan sebuah teori baru yang bisa menjelaskan dengan lebih baik tampil. Bagi Popper, saintis harus berusaha untuk menyangkal teorinya, alih-alih terus-menerus berusaha membuktikan kebenarannya. Memang Popper tetap berpendapat bahwa sains bisa membantu kita menghampiri kebenaran. Tetapi kita tidak akan pernah bisa bahwa kita telah memiliki penjelasan final. Thomas Kuhn bersikap kritis terhadap gambaran mendangkal yang dilukiskan para pemikir sains. Kuhn menengok pada sejarah sains dan berargumen bahwa sains tidak maju hanya berdasarkan pengamatan-pengamatan. Seperti halnya Popper, ia setuju bahwa seluruh pengamatan itu diwarnai oleh pengatahuan sang pengamat. Dengan kata lain, Kuhn mengakui peran subyek dalam membangun teori saintifik, dan menolak ide tentang obyektifitas murni. Saintis memiliki sebuah pandangan dunia atau paradigma. Paradigma Alam Semesta mekanistik Newton berbeda dengan paradigma Alam Semesta relativistik Eistein. Masing-masing merupakan suatu penafsiran tentang dunia, bukannya penjelasan obyektif. Menurut Kuhn sejarah sains diwarnai oleh revolusi dalam paradigma saintifik. Saintis menerima paradigma yang dominan

13

sampai suatu kejanggalan muncul. Saintis kemudian mulai mempertanyakan basis paradigma itu. Teori-teori baru bermunculan dan menantang paradigma dominan tersebut sampai akhirnya teori-teori baru ini diterima sebagai paradigma yang baru. Paul Feyerabend berpendapat bahwa tidak seharusnya kita mengasumsikan superioritas dari metoda saintifik modern. Ia berargumen bagi pendekatan yang anarki: kita tidak bisa memprediksi seperti apa pengetahuan di masa depan akan berbentuk, karena itu kita tidak perlu membatasi diri hanya pada satu metoda untuk meraih pengetahuan. Feyerabend setuju dengan Kuhn bahwa sejarah sains menghimpun sejumlah pandangan dunia yang berbeda. dan bagi Feyerabend, ini berarti bahwa yang akan menjadi pengetahuan di masa depan bisa jadi paradigma-paradigma yang kita tidak tahu sama sekali saat ini. Karena kita tidak dapat mengetahuinya sekarang, kita tidak boleh melarang upaya-upaya intelektual masa depan dengan membatasi hanya pada satu paradigma sempit menggunakan model-model fisika. Feyerabend menganggap bahwa kebenaran bukan monopoli ilmu pengetahuan karena monopoli berdampak kepada ideologi tertutup. Mengutip Popper, Ideologi tertutup tidak bisa difalsifikasi. Karena itu, ilmu pengetahuan harus menjadi realisme ilmiah. Ilmu pengetahuan hanyalah salah satu usaha untuk memahami semua realitas, di mana manusia dan alam berada di dalamnya. Menurut Feyerabend kita tidak bisa mengabaikan faktor lain di luar ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, fenomena manusia kawat yang terjadi di Indonesia dimana didalam perut seorang wanita tumbuh banyak kawat yang secara ilmu pengetahuan tidak dapat dijelaskan bagaimana hal tersebut dapat terjadi. Walaupun saat ini terdapat ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hal-hal tersebut seperti metafisika, namun pembuktian secara ilmiah masih diperdebatkan hingga saat ini.

14

PENUTUP Kesimpulan Pertama, pemikiran Feyerabend tentang anarkisme epistemologis dilatarbeakanggi oleh setting sosio-historis dan sosio-kultural dominasi paradigma positivistic yang melihat bahwa sesuatu yang ilmiah adalah yang dapat diverifikasi melalui observasi, dan eksperimen di aboratorium sehingga memiliki nilai kebenaran yang tidak tergoyahkan. Semua yang ada di luar itu dinilai tidak ilmiah. Kedua, anarkisme epistemologis yang dimaksudkan oleh Feyerabend adalah suatu gerakan protes teoretis terhadap metode keilmuwan yang dianggap mampu mentotalisasi obyek penelitian. Bagi Feyerabend, setiap ilmu pengetahuan terbentuk baerdasarkan kemampuan sejarahnya sendiri-sendiri, sehingga klaim ilmiah pada ilmu tertentu hanya sebagai mitos yang diideologiskan. Maka, yang terpenting bukan mono-metodologi tetapi plurimetodologi. Ketiga, pemikiran Feyerabend tentang anarkisme epistemologis, berimplikasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan bahwa seorang ilmuwan harus membebaskan diri dari metode-metode yang telah ada. Karena perkembangan ilmu pengetahuan sebenarnya terjadi karena adanya kreativitas individual, maka dari itu anything goes, metode atau sistem apa pun boleh dipakai agar manusia terbebas dari tirani yang memasung kreativitas tersebut.

15

DAFTAR PUSTAKA Jujun S. Suriasumantri,Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan, 2007. K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1989 ________, Filasafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2002. Listiyono Santoso, Sunarto, DKK, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2003. Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu Kajian atas Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta : Belukar, 2008. http://www.marxists.org/reference/subject/philosophy/index.htm http://l03ki5n0.bravejournal.com/

16

You might also like