You are on page 1of 8

MEMBENTENGI APBN INDONESIA 2012 DARI TERPAAN KRISIS KEUANGAN GLOBAL =Juragan Setyo B.

H= PENDAHULUAN Indonesia memiliki pengalaman yang sangat berharga saat melalui goncangangoncangan eksternal seperti tahun 2008 ketika Amerika mengalami krisis subrime mortgage. Menurut Henry Hidayat,1 Meskipun goncangan tersebut tidak begitu terasa di sektor riil namun pasar finansial Indonesia cukup tergoncang ketika krisis tersebut semakin mengkuatirkan dari waktu ke waktu. Kurs Rupiah melemah terhadap U$D sepanjang tahun 2008 sebesar 19,10% dari Rp9.433 ke level Rp11.235 pada akhir tahun 2008. IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) turun bebas -50,35% dari 2731,35 ke level 1340,89 pada akhir tahun 2008. Cadangan devisa Bank Indonesia pun terkuras dari USD 55,9 miliar menjadi USD 51,6 miliar pada akhir tahun 2008 yang menunjukan kepanikan pasar terhadap krisis sehingga banyak modal asing yang mencari save haven yang lebih aman. Setelah rush yang terus berkelanjutan pada tahun 2008, hanya dalam waktu singkat pada tahun 2009 perekonomian Indonesia kembali pulih yang tampak dari menguatnya Rupiah terhadap U$D 16,82%, IHSG kembali menguat hingga 86,98% ke level 2518,99, cadangan devisa tampak kembali menggelembung hingga USD 66,1 miliar. Pulihnya Indonesia dalam periode yang relatif singkat menunjukan kuatnya fundamental perekonomian Indonesia sehingga meskipun dalam jangka pendek terjadi rush ekonomi namun pasar akan kembali rasional untuk kembali masuk ke Indonesia. Rush itu wajar karena banyak orang yang tidak berani mengambil risiko saat terjadi krisis ekonomi global, apalagi Indonesia saat itu belum memiliki rating kredit layak investasi dari lembaga pemeringkat internasional sehingga persepsi Indonesia masih sangat berisiko bagi para investor sebagai emerging market. Memang, pertengahan tahun 2008 menandai awal dari sebuah perubahan penting dalam perekonomian dunia. Seperti perubahan penting dimulai karena default dari subprime mortgage di AS, yang telah dikembangkan untuk menjadi krisis keuangan global (Global Financial Crisis/GFC). Indonesia dan negaranegara lain dengan karakteristik perekonomian terbuka-kecil saja tidak bisa lepas dari 1 http://www.ukrida.ac.id/idxcorner/index.php/14-sample-data-articles/77-analisapasar-finansial

dinamika pasar atau GFC. Gelar tinggi integrasi pasar saham serta arus perdagangan ponsel di seluruh negara memicu krisis untuk mengirimkan relatif cepat dari negara sumber ke seluruh dunia. Masalah terjadi karena bank telah membuat kredit perumahan besar termasuk rumah tangga yang sebenarnya tidak memiliki kapasitas keuangan yang memadai. Kredit perumahan lalu telah disekuritisasi dalam rangka untuk menarik perhatian investor. Mengingat jumlah besar dari kredit, ketika datang ke default bank telah menghadapi kesulitan untuk melakukan pembayaran sedangkan investor merilis produk bank ketika harga masih tinggi. Hal ini menciptakan masalah likuiditas. Lehman Brothers sebagai lembaga keuangan raksasa AS-menginvestasikan sebanyak US $ 60 miliar di sektor properti-yang berfungsi sebagai perantara antara investor dan debitur prospektif di sektor ini mengumumkan kebangkrutannya setelah gagal untuk mendapatkan bantuan dari otoritas moneter pada 15 September 2008. Kepailitan segera diikuti oleh falldowns dari sejumlah lembaga keuangan AS yang bisnis terkait erat dengan sektor properti sebelum mempengaruhi seluruh perekonomian AS. Hal ini memaksa pemerintah AS untuk melakukan bail out dan reformasi ekonomi. Para kebangkrutan dan falldowns secara bergiliran mempengaruhi negara-negara yang ekonomi pemain telah menginvestasikan secara langsung atau tidak langsung dalam keamanan atau turunannya. Kondisi makroekonomi dari negara-negara termasuk Indonesia kemudian mulai berfluktuasi seperti yang terlihat dari volatilitas di sejumlah variabel termasuk saham dan harga komoditas, nilai tukar, volume perdagangan eksternal, dan bahkan tingkat pengangguran. Saluran transmisi krisis ke negara-negara mungkin berbeda untuk setiap negara tergantung pada bagaimana negara itu terkait langsung atau tidak langsung dengan krisis epicentrum. Menilai transmisi krisis adalah penting bagi pemahaman-dan karenanya mengantisipasi-bagaimana krisis akan menular dari negara sumber yang sama bagi perekonomian Indonesia. Pemahaman seperti itu akan membantu dalam merumuskan respons kebijakan yang diperlukan. Menurut Murniningtyas (2009), GFC berdampak pada perekonomian Indonesia melalui tiga jalur transmisi, yaitu (a) melalui pasar saham dan ini adalah yang tercepat, (b) melalui pasar modal, termasuk sektor perbankan, dan (c) melalui sektor riil. Saluran pertama dan kedua dalam divisi ini namun saling terkait dan entah bagaimana tumpang tindih.

PERMASALAHAN Ada dua permasalahan yang diajukan dalam tulisan ini, yaitu Apa dampak krisis keuangan global terhadap perekonomian negara pada umumnya, dan terhadap keuangan negara (APBN) khususnya? Kebiajakan apa yang diambil oleh Pemerintah dalam mengelola dan mengatasi krisis sehingga dapat menyelamatkan anggaran negara? KERANGKA TEORI Ada dua saluran transmisi GFC ke perekonomian Indonesia yang digunakan dalam analisis ini, yaitu ekspor saluran dan saluran investasi. Saluran ekspor menggunakan variabel sebagai berikut: GDP riil Indonesia (GDPINA), tingkat inflasi (INF), total ekspor Indonesia value (XTOT), nilai ekspor Indonesia ke Eropa (XINAEUR), nilai tukar riil rupiah terhadap USD ( RER), dan nilai ekspor Indonesia ke AS (XINAUS). Sebuah kesalahan vektor koreksi model (VECM) dibangun dengan urutan variabel yang disajikan di atas. Data deret waktu yang digunakan adalah bulanan meliputi periode Januari 2004 hingga Juni 2011. Saluran investasi juga dimodelkan sebagai VECM dengan pesanan variabel sebagai berikut: GDP riil Indonesia (GDPINA), tingkat inflasi (INF), Jakarta Indeks Saham (IHSG), Indeks Saham AS (NYSE), Stock Index Jerman ( DAX), nilai investasi asing langsung ke Indonesia (FDI), dan tingkat bunga riil kredit investasi (RINVR). Tingkat bunga riil diperkirakan sebagai perbedaan antara tingkat bunga yang sesuai nominal dan tingkat inflasi yang diharapkan. Yang terakhir adalah proksi sebagai lag periode satu dari inflasi, sebagaimana ditegaskan menggunakan teori inflasi adaptif. Data deret waktu yang digunakan adalah bulanan mulai dari Maret 2004 hingga Juni 2011. ANALISIS Sebelum memperkirakan dan menganalisis model VECMs, koefisien korelasi Pearson dihitung untuk variabel, dan hasilnya seperti disajikan pada Tabel . Di jalur ekspor, ekspor total Indonesia dan ekspor ke Eropa memiliki korelasi positif dengan PDB Indonesia. Ekspor ke AS namun berkorelasi negatif dengan PDB. Tingkat inflasi berkorelasi negatif dengan PDB seperti yang diharapkan. Nilai tukar riil berkorelasi

positif dengan PDB, yang berarti depresiasi riil akan mengakibatkan kenaikan ekspor negara dan karenanya dalam GDP. Semua koefisien korelasi memiliki nilai cukup tinggi kecuali tingkat inflasi, namun besarnya koefisien korelasi tersebut kecil. Dalam saluran investasi, indeks harga saham Indonesia dan Jerman berkorelasi positif dengan GDP, namun yang dari AS memiliki korelasi negatif dengan GDP, tetapi nilainya adalah sepele. Korelasi positif juga terjadi antara FDI dan PDB seperti yang diharapkan. Tingkat bunga riil berkorelasi positif dengan PDB menunjukkan bahwa investor akan berinvestasi lebih di Indonesia bila ada pengembalian yang lebih tinggi atas investasi. Dan seperti di saluran pertama, laju inflasi memiliki korelasi negatif dengan GDP, tetapi besarnya korelasi tersebut adalah kecil. Sehubungan dengan penggunaan VECMs, semua variabel di tingkat akar mengandung satuan tetapi semua variabel dalam Perbedaan pertama adalah stasioner. Selain itu ada cointegrations antara variabel (demi singkatnya kita tidak melaporkan output dari unit root dan tes kointegrasi). Semua tes rutin dilakukan sesuai, tetapi mengingat ruang terbatas kami hanya melaporkan fungsi respon impuls (IRF) dan perkiraan kesalahan variance decomposition (FEVD) analisis.
Table: Pearson Correlation Coefficients
Model Export Channel GDPINA with Variables INF XTOT XINAEUR RER XINAUS INF IHSG FDI NYSE DAX RINVR Correlation Coefficient -0.30 0.94 0.88 0.86 -0.87 -0.35 0.90 0.64 -0.02 0.54 0.14

Investment Channel

GDPINA with

Membandingkan dua saluran, jelas bahwa guncangan terhadap PDB memainkan peran paling penting dalam menentukan dinamika PDB tanpa saluran yang digunakan dalam analisis. Semua guncangan lain hanya mungkin memainkan peran yang relatif kecil. Tapi di antara guncangan ini kurang penting, guncangan NYSE bisa memainkan beberapa peranan terutama dalam jangka pendek. Pernyataan ini didukung oleh analisis FEVD seperti disajikan pada Gambar 12. Seperti dapat dilihat dari panel sebelah kanan dari angka ini, guncangan NYSE bisa menjelaskan variabilitas PDB Indonesia upto

sekitar 10 persen. GFC telah memaksa pemerintah untuk merumuskan dan mengimplementasikan sejumlah kebijakan. Karena setiap krisis adalah unik, dengan serangkaian kebijakan yang diambil menghadapi GFC ini berbeda dari yang menghadapi Krisis Keuangan Asia satu dekade sebelumnya. Dalam makalah ini kami mencatat jenis kebijakan hanya empat, yaitu moneter dan kebijakan perbankan, kebijakan fiskal, kebijakan perdagangan, dan kebijakan pertanian yang dirumuskan atau diterapkan oleh pihak berwenang selama tahun 2008 sampai 2010. 4.1. Moneter dan Kebijakan Perbankan Tanggapan kebijakan yang terkait dengan sektor moneter dan perbankan antara lain adalah sebagai berikut. Peningkatan Bank Indonesia (Bank Sentral) suku bunga atau BI rate untuk mengatasi risiko inflasi tinggi akibat fluktuasi harga komoditas. Mengurangi tekanan berlebih di pasar uang antar bank, di 2008Q2 BI dipersempit oleh tiga kali tingkat suku bunga koridor (fasilitas berdiri) sehingga menjadi BI Rate + / - 50bps. Bersantai cadangan wajib minimum bank sehingga menjadi bentuk giro wajib minimum, 5% dari dana pihak ketiga pada bulan Oktober 2008. Meminimalkan volatilitas nilai tukar Rupiah, BI telah pruden menerapkan kebijakan stabilisasi dengan hati-hati mengelola permintaan dan penawaran mata uang asing. Di sisi perbankan, BI menyesuaikan peraturan tentang fasilitas pembiayaan jangka pendek dalam rangka memperluas akses bank untuk fasilitas. Meningkatkan jumlah jaminan deposito di bank masing-masing dari Rp 1 miliar menjadi Rp 2 miliar. Selama tahun 2009, BI menerapkan kebijakan moneter yang longgar seperti yang tercermin dengan penurunan BI rate disertai dengan kebijakan makroprudensial moderat untuk mendukung pemulihan ekonomi sekaligus mempertahankan tingkat inflasi di bawah kendali. Selama tahun 2010, likuiditas kebijakan tersebut diimplementasikan dengan mendukung perubahan dalam pengelolaan likuiditas bank sehingga membuat mereka mempertimbangkan perspektif jangka panjang dengan mengurangi

ketersediaan sertifikat BI (SBI) di pasar uang serta dengan menerbitkan SBI dengan jangka waktu lebih lama. 4.2. Kebijakan Fiskal Tujuan utama dari respons kebijakan fiskal selama 2008-2010 adalah untuk meredam efek GFC pada pekerja terampil dan orang-orang di bawah garis kemiskinan. Lain Amongt mereka adalah sebagai berikut. Percepatan penyerapan anggaran pemerintah dengan merevisi peraturan mengenai pengadaan barang dan jasa untuk instansi pemerintah. b) Pemberian insentif dan disinsentif bagi sektor riil dengan mengurangi izin usaha dan menyederhanakan pembayaran pajak. Menarik investor luar negeri dengan menyederhanakan peraturan terkait. Melanjutkan pelaksanaan program untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan yang antara lain meliputi bantuan langsung tunai (BLT), beras untuk poors (Raskin), bantuan operasional sekolah (BOS), program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri (PNPM), kredit mikro untuk kecil usaha (KUR). Pada tahun 2009 pemerintah menerapkan kebijakan countercyclical berupa stimulus fiskal bagi perusahaan-perusahaan untuk menghindari perlambatan pertumbuhan ekonomi. Di antara rangsangan yang penurunan tarif pajak penghasilan pribadi, peningkatan batas penghasilan yang dikenakan pajak, penghapusan tarif impor untuk beberapa produk, subsidi untuk pajak pertambahan nilai pada beberapa komoditas termasuk minyak goreng dan biofuel, dan stimulus fiskal untuk infrastruktur dan padat karya pembangunan. 4.3. Kebijakan Perdagangan Kebijakan perdagangan bertujuan untuk meningkatkan ekspor produk bernilai tambah tinggi, diversifikasi pasar ekspor, dan melindungi produsen dalam negeri dengan cara yang sehat. Di antara kebijakan yang diterapkan selama era krisis adalah sebagai berikut. a) Mengantisipasi kebijakan proteksionisme oleh negara-negara lain yang mungkin menuduh bahwa pemerintah telah dipraktekkan pembuangan dengan membuat persiapan yang diperlukan. b) Melindungi pasar domestik dari impor ilegal maupun dari orang-orang hukum tapi suspectedly tunduk pada dumping.

c) Diversifikasi pasar ekspor terutama ke negara-negara Asia yang tidak signifikan dipengaruhi oleh krisis termasuk China, Taiwan, Korea, India, dan Pakistan. PENUTUP GFC telah mempengaruhi perekonomian Indonesia terutama di sisi permintaan, tetapi berlangsung untuk jangka pendek saja. Besarnya efek itu dianggap relatif kecil. Meskipun menimbulkan efek hanya relatif kecil terhadap perekonomian Indonesia, GFC yang direpresentasikan oleh gejolak pada pasar saham AS dapat mengakibatkan volatilitas dalam perekonomian. Relatif kuat dalam negeri penyerapan dan kebijakan yang komprehensif tanggapan dilaksanakan oleh kedua otoritas moneter dan pemerintah telah mampu meredam volatilitas dan memperpendek durasi efek samping yang ditimbulkan oleh GFC. Sebagai hasilnya, perekonomian Indonesia pasca-GFC telah berjalan dengan baik dan cukup prospektif. Ada kemungkinan masih terbuka bahwa krisis bisa datang lagi di masa depan. Untuk mengantisipasi krisis di masa depan, daya beli rumah tangga perlu terus ditingkatkan, dan ini harus seimbang dengan meningkatkan kapasitas produktif perekonomian. Akhirnya, manajemen krisis protokol harus ditingkatkan lebih lanjut dan standar. Untuk CMP untuk bekerja dengan baik, horisontal serta koordinasi vertikal dari lembaga harus ditingkatkan secara signifikan.

REFERENSI Murniningtyas, E. 2009. Global Financial Crisis: Impact Channels in Indonesia, Paper presented in 3rd China-ASEAN Forum on Social Development and Poverty Reduction 4th ASEAN+3 High-Level Seminar on

Poverty Reduction and Asia-wide High-Level Regional Conference and Special Seminar on The Impact of the Global Economic Slowdown on Poverty and Sustainable Development in Asia and the Pacific, 28-30 September 2009, Hanoi, Vietnam. Siregar, H. and Masyitho, S. 2008. Krisis Finansial Global dan Implikasinya pada Sektor Agribisnis Indonesia 2009, Agrimedia, 15(2), 12-20. Wijaya, Henry. Analisa Pasar Finansial Indonesia Hadapi Krisis Hutang Eropa. Dikutip dari http://www.ukrida.ac.id/i, pada 15 Januari 2013.

You might also like