You are on page 1of 26

MASA PEMERINTAHAN HABIBIE

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998. Sebagai salah satu penguasa terlama di dunia, dia cukup yakin ketika ditetapkan kembali oleh MPR untuk masa jabatan yang ketujuh pada tanggal 11 Maret 1998, segala sesuatu akan berada di bawah kontrolnya. Tetapi dua bulan sesudah Soeharto mengambil sumpah, Rezim Orde Baru runtuh. Ketika mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR pada tanggal 19 Mei 1998, presiden yang sudah berumur 75 tahun ini menyaksikan legitimasinya berkurang dengan cepat dan ia ditinggalkan seorang diri. Soeharto yang selama 32 tahun memanipulasi eksistensi DPR/MPR untuk mengokohkan kekuasaan, akhirnya didepak oleh lembaga yang sama, lewat pernyataan pers tanggal 18 Mei 1998 (pukul 15.30), oleh Ketua DPR Harmoko yang didampingi oleh Ismail Hasan Meutareum, Fatimah Achmad, Syarwan Hamid dan utusan daerah di depan wartawan dan mahasiswa menyampaikan pernyataan sebagai berikut: Pimpinan Dewan baik ketua maupun wakil-wakil ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa agar presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri. Keterangan pers Ketua DPR itu disambut gembira oleh ribuan mahasiswa yang mendatangi Gedung DPR/MPR. Bahkan, DPR/MPR sempat pula mengeluarkan ultimatum bahwa kalau sampai Jumat (22 Mei 1998) presiden tidak mundur, MPR akan melakukan rapat dengan fraksi pada hari Senin (25 Mei 1998). Usaha terakhir Soeharto untuk mempengaruhi rakyat dengan menyampaikan pernyataan dihadapan pers pada tanggal 19

Mei 1998 bahwa selaku mandataris MPR, presiden akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII dengan membentuk Komite Reformasi, untuk lebih meyakinkan rakyat diprogramkan bahwa tugas komite ini akan segera menyelesaikan UU Pemilu; UU Kepartaian; UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD; UU Anti Monopoli; UU Anti Korupsi dan hal lainnya yang sesuai dengan tuntutan rakyat. Akan tetapi Soeharto mulai terpojok secara politik karena 14 Menteri sepakat tidak bersedia duduk dalam Komite Reformasi tersebut. Ke-14 Menteri tersebut adalah Akbar Tanjung, A.M. Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto, Ny. Justika S. Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo Sambuaga, dan Tanri Abeng. Penolakan ini melemahkan posisi Soeharto sebagai presiden karena dukungan untuk membentuk Komite Reformasi gagal ditambah lagi banyak desakan yang menganjurkan presiden untuk mundur. Perasaan ditinggalkan, terpukul telah membuat Soeharto tidak punya pilihan lain kecuali memutuskan untuk berhenti. Pada pagi harinya, tanggal 21 Mei 1998, pukul 09.05, di Istana Merdeka yang dihadiri Menhankam atau Pangab Wiranto, Mensesneg Saadilah Mursjid, Menteri Penerangan Alwi Dahlan, Menteri Kehakiman Muladi dan Wapres B.J. Habibie, beserta Pimpinan Mahkamah Agung, Ketua DPR, Sekjen DPR, dihadapan wartawan dalam dan luar negeri Presiden Soeharto menyampaikan pidato pengunduran dirinya sebagai presiden. Usai Presiden Soeharto mengucapkan pidatonya Wakil Presiden B.J. Habibie langsung diangkat sumpahnya menjadi Presiden RI ketiga dihadapan pimpinan Mahkamah Agung, peristiwa bersejarah ini disambut dengan haru biru oleh masyarakat terutama para mahasiswa yang berada di Gedung DPR/MPR, akhirnya Rezim Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto berakhir dan Era Reformasi dimulai di bawah pemerintahan B.J. Habibie

1.2

Rumusan Masalah Dari latar belakang diatas, kami dapat merumuskan beberapa masalah, yaitu:

1.2.1 1.2.2 1.2.3 1.2.4

Bagaimana proses pengalihan Kepala Pemerintahan dari Soeharto ke B.J. Habibie? Apa saja kebijakan-kebijakan pada masa pemerintahan B.J. Habibie di Era Reformasi? Bagaimana keadaan sosial di masa Habibie? Bagaimana berakhirnya masa pemerintahan B.J. Habibie?

1.3

Tujuan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:

1.3.1 1.3.2 1.3.3 1.3.4

Untuk mengetahui proses pengalihan Kepala Pemerintahan dari Soeharto ke B.J. Habibie Untuk mengetahui kebijakan-kebijakan pada masa pemerintahan B.J. Habibie di Era Reformasi Untuk mengetahui keadaan sosial di masa Habibie Untuk mengetahui berakhirnya masa pemerintahan B.J. Habibie

1.4

Metodologi Metode yang kami gunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode study kepustakaan. Yaitu suatu usaha pengumpulan informasi dengan menggunakan bukubuku saja.

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Proses Pengalihan Kepala Pemerintahan dari Soeharto ke B.J. Habibie Berawal dari dampak krisis ekonomi di tahun 1997 yang melanda Kawasan Asia dan berdampak sangat luas bagi perekonomian di Indonesia. Nilai tukar rupiah yang merosot tajam pada bulan Juli 1997, membuat rupiah semakin terpuruk. Sebagai dampaknya hampir semua perusahaan modern di Indonesia bangkrut, yang diikuti PHK pekerja-pekerjanya, sehingga angka pengangguran menjadi meningkat. Krisis ini juga berimbas langsung pada sektor moneter, terutama melalui penutupan beberapa bank yang mengalami kredit bermasalah dan krisis likuiditas, sehingga perbankan nasional menjadi berantakan. Hal inilah yang memunculkan krisis kepercayaan dari investor, serta pelarian modal ke luar negeri. Kenaikan angka kemiskinan yang melonjak pesat, merupakan dampak krisis ekonomi di Indonesia, daya beli masyarakat desa maupun kota semakin menurun, sehingga memicu rawan pangan dan kekurangan gizi. Di sektor kesehatan, melemahnya nilai tukar rupiah menyebabkan kenaikan biaya medis, baik harga obat-obatan, vaksin, fasilitas kesehatan yang berakibat keadaan masyarakat semakin terjepit. Didorong oleh kondisi yang makin parah, pada bulan Oktober 1997 pemerintah meminta bantuan IMF (International Monetary Fund) untuk memperkuat sektor finansial,

pengetatan kebijakan viskal dan penyesuaian struktural perbankan. Akan tetapi, pengaruh bantuan IMF sangatlah kecil dalam membantu krisis di Indonesia. Beberapa kebijakan seperti kebijakan fiskal dan kebijakan likuidasi. Dimana kebijakan fiskal bertujuan untuk mempertahankan nilai tukar sedangkan kebijakan likuidasi bertujuan untuk membantu bankbank yang bemasalah. Kebijakan ini menerapkan standar kecukupan modal dengan mengusahakan rekapitulasi perbankan. Namun pada kenyataannya kebijakan-kebijakan ini dilakukan tanpa hasil yang berarti, malah IMF-lah yang disalahkan karena justru membuat pekonomian Indonesia lebih parah selama krisis.

Kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk mengatasi krisis yang dilakukan oleh pemerintah ternyata tidak mampu memulihkan perekonomian, dimana harga-harga bahan kebutuhan pokok tetap mengalami peningkatan. Karena itulah masyarakat menilai pemerintah tidak berhasil dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan yang dibuat. Hal inilah yang membuat melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Rasa ketidakpercayaan ini berakibat pada aksi demo mahasiswa di awal Maret 1998 yang menuntut pemerintah menurunkan hargaharga barang dan menindaklanjuti pelaku-pelaku yang menimbun sembako. Banyaknya permasalahan besar yang dihadapi bangsa sebagai akibat krisis ekonomi yang berlarut-larut, mahasiswa melihat bahwa upaya penaggulangan tidak dilakukan dengan serius. Hal ini tampak dari penolakan mahasiswa terhadap pidato pertanggung jawaban Presiden Soeharto di depan Sidang DPR/MPR 1998, dimana presiden sama sekali tidak memperlihatkan rasa tanggung jawab atas musibah yang menimpa tanah air. Kemudian mahasiswa melontarkan isu atau tuntutan mengenai pembubaran Kabinet Pembangunan VII yang dinilai pengangkatan menterinya tidak profesional dan penuh dengan muatan politik yang berbau Nepotisme dan Koncoisme, seperti penunjukan Putri Pak Harto, Ny. Siti Hardianto Rukmana (Tutut) sebagai Menteri Sosial, kehadiran Bob Hasan dalam kabinet menunjukkan ketidakprofesionalan kabinet, dan penunjukan Wiranto Arismunanjar sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sangat mengecewakan mahasiswa serta beberapa nama menteri yang dinilai dekat dengan Tutut. Puncak dari tuntutan mahasiswa agar Presiden Soeharto turun dari jabatan terjadi pada tanggal 12 Mei 1998 di Kampus Trisakti yang dikenal dengan Insiden Trisakti. Berawal dari aksi keprihatinan atas musibah bangsa dan mahasiswa berusaha secara damai keluar kampus menuju Gedung DPR/MPR untuk menyampaikan aspirasinya tetapi niat itu ditolak aparat

keamanan dan memaksa mereka kembali ke kampus. Tiba-tiba situasi berubah menjadi kekacauan dan aparat melepaskan tembakan. Akibatnya empat mahasiswa Trisakti tewas tertembak peluru tajam aparat keamanan. Keesokan harinya, 13 Mei 1998 mahasiswa di kampuskampus menggelar aksi keprihatinan. Pada hari yang sama, siang harinya terjadi kerusuhan massal berupa aksi pengerusakan dan pembakaran fasilitas umum dengan disertai aksi penjarahan, perampokan dan pelecehan seksual terhadap wanita etnis tertentu di Jakarta dan sekitarnya. Aksi kerusuhan berlangsung sampai tanggal 15 Mei 1998, yang memakan korban meninggal samapi 1218 orang, itupun belum secara keseluruhan. Pada tanggal 18 Mei 1998 sampai 22 Mei 1998 ribuan mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR dengan tuntutan mengadakan Sidang Istimewa dengan agenda mengganti Soeharto. Upaya Presiden Soeharto untuk meredam tuntutan mahasiswa dan masyarakat adalah dengan membentuk Komite Reformasi. Dimana Komite ini bertugas melaksanakan dan menyerap aspirasi masyarakat untuk melaksanakan Reformasi. Akan tetapi terjadi penolakan 14 Menteri yang tidak bersedia untuk duduk dalam susunan jabatan Komite Reformasi hasil Reshuffle Kabinet Pembangunan VII, dengan penolakan itu, membuat posisi presiden terpojok secara politik disamping sebelumnya ada desakan Ketua DPR Harmoko agar Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden. Situasi ini membuat Soeharto memutuskan untuk berhenti karena desakan masyarakat yang menuntut beliau mundur sangatlah besar dan secara politik dukungan sudah tidak ada. Pada pagi harinya, tanggal 21 Mei 1998 di Istana Merdeka Jakarta, Presiden Soeharto menyatakan dirinya berhenti dari jabatan Presiden RI, lewat pidatonya dihadapan wartawan dalam dan luar negeri. Usai Presiden Soeharto mengucapkan pidatonya, Wapres B.J. Habibie langsung diangkat sumpahnya menjadi Presiden RI ketiga dihadapan Pimpinan Mahkamah Agung, yang disaksikan oleh Ketua DPR dan Wakil-Wakil Ketua DPR. Teriakan-teriakan kemenangan atas peristiwa bersejarah itu disambut dengan haru-biru para mahasiswa di Gedung DPR/MPR. Suasana kemenangan itu sempat mendinginkan suasana yang sebelumnya panas dengan hujatan dan makian lengsernya Soeharto, akan tetapi tuntutan agar Soeharto mengembalikan uang rakyat mulai berkumandang. Naiknya B.J. Habibie menggantikan Soeharto sebagai Presiden RI ketiga mengundang perdebatan hukum dan kontroversial, karena Mantan Presiden Soeharto menyerahkan secara

sepihak kekuasaan kepada Habibie. Dikalangan mahasiswa sikap atas pelantikan Habibie sebagai presiden terbagi atas tiga kelompok, yaitu: pertama, menolak Habibie karena merupakan produk Orde Baru; kedua, bersikap netral karena pada saat itu tidak ada pemimpin negara yang diterima semua kalangan sementara jabatan presiden tidak boleh kosong; ketiga, mahasiswa berpendapat bahwa pengalihan kekuasaan ke Habibie adalah sah dan konstitusional. Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden B.J. Habibie mengumumkan susunan kabinet baru, yaitu Kabinet Reformasi Pembangunan, dimana seiring dengan diumumkannya susunan kabinet yang baru, berarti presiden harus membubarkan Kabinet Pembangunan VII. Akhirnya gerakan Reformasi yang dipelopori mahasiswa mampu menumbangkan kekuasaan Orde Baru dan Era Reformasi mulai berjalan di Indonesia, di bawah Pemerintahan B.J. Habibie. Lima isu-isu besar yang dihapai Habibie : 1. Masa depan refpormasi 2. Masa depan ABRI 3. Masa depan daerah-daerah yang ingin melepaskan diri dari Indonesia. 4. Masa depan Soeharto keluarganya, kekayaannya dan kroni-kroninya 5. Masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat. 17 bulan kemudian isu pertama menunjukkan perkembangan positif. Isu ke dua mengarah pada pengurangan peranan militer di bidang politik. Isu ketiga terselesaikan dalam konteks Timor-Timur namun tidak pada daerah lain, isu ke empat belum terselesaikan dan isu kelima tetap tidak terpecahkan. Habibie memulai jabatannya dengan kepercayaan rendah dari aktivis mahasiswa, militer, sayap politik utama, investor luar negeri dan perusahaan internasional. Kondisi saat Habibie memimpin perekonomian sedang dalam keadaan terpuruk, inflansi ditargetkan 80% untuk satu tahun berjalan. Indonesia sedang memasuki kekurangan panen akibat badai El NiHo. Perusahaan besar seperti Simpati Air, PT Astra Internasional tidak beroperasi lagi. Nilai tukar rupiah berada di bawah Rp.10000/$ bahkan mencapai lepel Rp 15000-17000/$, 113 juta orang Indonesia ( 56% dari penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan). 2.2 Kebijakan-Kebijakan Pada Masa Pemerintahan B.J. Habibie di Era Reformasi Setelah Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998, maka pada pagi itu juga, Wakil Presiden B.J. Habibie dilantik dihadapan pimpinan Mahkamah Agung menjadi Presiden Republik Indonesia ketiga di

Istana Negara. Dengan berhentinya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia, maka sejak saat itu Kabinet Pembangunan VII dinyatakan demisioner (tidak aktif). Selanjutnya tanggal 22 Mei 1998 pukul 10.30 WIB, kesempatan pertama Habibie untuk meningkatkan legitimasinya yaitu dengan mengumumkan susunan kabinet baru yang diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan (berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 122 / M Tahun 1998) di Istana Merdeka. Dengan Keputusan Presiden tersebut di atas, Presiden Habibie memberhentikan dengan hormat para Menteri Negara pada Kabinet Pembangunan VII. Kabinet Reformasi Pembangunan ini terdiri dari 36 Menteri yaitu 4 Menteri Negara dengan tugas sebagai Menteri Koordinator, 20 Menteri Negara yang memimpin Departemen, 12 Menteri Negara yang bertugas menangani bidang tertentu. Sebanyak 20 Menteri diantaranya adalah muka lama dari Kabinet Pembangunan VII, dan hanya 16 Menteri baru, yaitu Syarwan Hamid, Yunus Yosfiah, Bambang Subianto, Soleh Solahuddin, Muslimin Nasution, Marzuki Usman, Adi Sasono, Fahmi Idris, Malik Fajar, Boediono, Zuhal, A.M. Syaefuddin, Ida Bagus Oka, Hamzah Haz, Hasan Basri Durin, dan Panangian Siregar. Kabinet ini mencerminkan suatu sinergi dari semua unsur-unsur kekuatan bangsa yang terdiri dari berbagai unsur kekuatan sosial politik dalam masyarakat. Hal yang berbeda dari sebelumnya, jabatan Gubernur Bank Indonesia tidak lagi dimasukkan di dalam susunan Kabinet. Karena Bank Indonesia, kata Presiden harus mempunyai kedudukan yang khusus dalam perekonomian, bebas dari pengaruh pemerintah dan pihak manapun berdasarkan UndangUndang. Pada tanggal 23 Mei 1998 pagi, Presiden Habibie melantik menteri-menteri Kabinet Reformasi Pembangunan. Presiden Habibie mengatakan bahwa Kabinet Reformasi

Pembangunan disusun untuk melaksanakan tugas pokok reformasi total terhadap kehidupan ekonomi, politik dan hukum. Kabinet dalam waktu yang sesingkat-singkatnya akan mengambil kebijakan dan langkah-langkah pro aktif untuk mengembalikan roda pembangunan yang dalam beberapa bidang telah mengalami hambatan yang merugikan rakyat. Kebijakan-kebijakan pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie Pada bidang politik Ada berbagai langkah-langkah kebijakan yang dilaksanakan pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie setelah terbentuknya Kabinet Reformasi Pembangunan. Kebijakan politik yang diambil yaitu: dengan dibebaskannya para tahanan politik pada masa Orde Baru,

peningkatan kebebasan pers, pembentukan parpol dan percepatan Pemilu dari tahun 2003 ke tahun 1999, penyelesaian masalah Tomor-Timur, pengusutan kekayaan Soeharto dan kronikroninya, pemberian gelar Pahlawan Reformasi bagi korban Trisakti. a) Pembebasan Tahanan Politik Secara umum tindakan pembebasan tahanan politik meningkatkan legitimasi Habibie baik di dalam maupun di luar negeri. Hal ini terlihat dengan diberikannya amnesti dan abolisi yang merupakan langkah penting menuju keterbukaan dan rekonsiliasi. Diantara yang dibebaskan tahanan politik kaum separatis dan tokoh-tokoh tua mantan PKI, yang telah ditahan lebih dari 30 tahun. Amnesti diberikan kepada Mohammad Sanusi dan orang-orang lain yang ditahan setelah Insiden Tanjung Priok. Selain tokoh itu tokoh aktivis petisi 50 (kelompok yang sebagian besar terdiri dari mantan jendral yang menuduh Soeharto melanggar perinsip Pancasila dan Dwi Fungsi ABRI). Dr Sri Bintang Pamungkas, ketua Partai PUDI dan Dr Mochatar Pakpahan ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia dan K. H Abdurrahman Wahid merupakan segelintir dari tokoh-tokoh yang dibebaskan Habibie. Selain itu Habibie mencabut Undang-Undang Subversi dan menyatakan mendukung budaya oposisi serta melakukan pendekatan kepada mereka yang selama ini menentang Orde Baru.

b) Kebebasan Pers Dalam hal ini, pemerintah memberikan kebebasan bagi pers di dalam pemberitaannya, sehingga semasa pemerintahan Habibie ini, banyak sekali bermunculan media massa. Demikian pula kebebasan pers ini dilengkapi pula oleh kebebasan berasosiasi organisasi pers sehingga organisasi alternatif seperti AJI (Asosiasi Jurnalis Independen) dapat melakukan kegiatannya. Sejauh ini tidak ada pembredelan-pembredelan terhadap media tidak seperti pada masa Orde Baru. Pers Indonesia dalam era pasca-Soeharto memang memperoleh kebebasan yang amat lebar, pemberitaan yang menyangkut sisi positif dan negatif kebijakan pemerintah sudah tidak lagi hal yang dianggap tabu, yang seringkali sulit ditemukan batasannya. Bahkan seorang pengamat Indonesia dari Ohio State University, William Liddle mengaku sempat shock menyaksikan isi berita televisi baik swasta maupun pemerintah dan membaca isi koran di

Jakarta, yang kesemuanya seolah-olah menampilkan kebebasan dalam penyampaian berita, dimana hal seperti ini tidak pernah dijumpai sebelumnya pada saat kekuasaan Orde Baru. Cara Habibie memberikan kebebasan pada Pers adalah dengan mencabut SIUPP. c) Pembentukan Parpol dan Percepatan pemilu dari tahun 2003 ke tahun 1999 Presiden RI ketiga ini melakukan perubahan dibidang politik lainnya diantaranya mengeluarkan UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, UU No. 4 Tahun 1999 tentang MPR dan DPR. Itulah sebabnya setahun setelah reformasi Pemilihan Umum dilaksanakan bahkan menjelang Pemilu 1999, Partai Politik yang terdaftar mencapai 141 dan setelah diverifikasi oleh Tim 11 Komisi Pemilihan Umum menjadi sebanyak 98 partai, namun yang memenuhi syarat mengikuti Pemilu hanya 48 Parpol saja. Selanjutnya tanggal 7 Juni 1999, diselenggarakan Pemilihan Umum Multipartai. Dalam pemilihan ini, yang hasilnya disahkan pada tanggal 3 Agustus 1999, 10 Partai Politik terbesar pemenang Pemilu di DPR, adalah: 1). Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) pimpinan Megawati Soekarno Putri meraih 153 kursi 2). Partai Golkar pimpinan Akbar Tanjung meraih 120 kursi 3). Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pimpinan Hamzah Haz meraih 58 Kursi 4). Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pimpinan H. Matori Abdul Djalil meraih 51 kursi 5). Partai Amanat Nasional (PAN) pimpinan Amein Rais meraih 34 Kursi 6). Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra meraih 13 kursi 7). Partai Keadilan (PK) pimpinan Nurmahmudi Ismail meraih 7 kursi 8). Partai Damai Kasih Bangsa (PDKB) pimpinan Manase Malo meraih 5 Kursi 9). Partai Nahdlatur Ummat pimpinan Sjukron Mamun meraih 5 kursi 10). Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) pimpinan Jendral (Purn) Edi Sudradjat meraih 4 kursi d) Penyelesaian Masalah Timor Timur Sejak terjadinya insident Santa Cruz, dunia Internasional memberikan tekanan berat kepada Indonesia dalam masalah hak asasi manusia di Tim-Tim. Bagi Habibie Timor-Timur adalah kerikil dalam sepatu yang merepotkan pemerintahannya, sehingga Habibie mengambil sikap pro aktif dengan menawarkan dua pilihan bagi penyelesaian Timor-Timur yaitu di satu pihak memberikan setatus khusus dengan otonomi luas dan dilain pihak memisahkan diri dari RI. Otonomi luas berarti diberikan kewenangan atas berbagai bidang seperti : politik ekonomi

budaya dan lain-lain kecuali dalam hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan serta moneter dan fiskal. Sedangkan memisahkan diri berarti secara demokratis dan konstitusional serta secara terhorman dan damai lepas dari NKRI. Sebulan menjabat sebagai Presiden habibie telah membebaskan tahanan politik Timor-Timur, seperti Xanana Gusmao dan Ramos Horta. Sementara itu di Dili pada tanggal 21 April 1999, kelompok pro kemerdekaan dan pro intergrasi menandatangani kesepakatan damai yang disaksikan oleh Panglima TNI Wiranto, Wakil Ketua Komnas HAM Djoko Soegianto dan Uskup Baucau Mgr. Basilio do Nascimento. Tanggal 5 Mei 1999 di New York Menlu Ali Alatas dan Menlu Portugal Jaime Gama disaksikan oleh Sekjen PBB Kofi Annan menandatangani kesepakan melaksanakan penentuan pendapat di Timor-Timur untuk mengetahui sikap rakyat Timor-Timur dalam memilih kedua opsi di atas. Tanggal 30 Agustus 1999 pelaksanaan penentuan pendapat di Timor-Timur berlangsung aman. Namun keesokan harinya suasana tidak menentu, kerusuhan dimana-mana. Suasana semakin bertambah buruk setelah hasil penentuan pendapat diumumkan pada tanggal 4 September 1999 yang menyebutkan bahwa sekitar 78,5 % rakyat Timor-Timur memilih merdeka. Pada awalnya Presiden Habibie berkeyakinan bahwa rakyat Timor-Timur lebih memilih opsi pertama, namun kenyataannya keyakinan itu salah, dimana sejarah mencatat bahwa sebagian besar rakyat TimorTimur memilih lepas dari NKRI. Lepasnya Timor-Timur dari NKRI berdampak pada daerah lain yang juga ingin melepaskan diri dari NKRI seperti tuntutan dari GAM di Aceh dan OPM di Irian Jaya, selain itu Pemerintah RI harus menanggung gelombang pengungsi Timor-Timur yang pro Indonesia di daerah perbatasan yaitu di Atambua. Masalah Timor-Timur tidaklah sesederhana seperti yang diperkirakan Habibie karena adanya bentrokan senjata antara kelompok pro dan kontra kemerdekaan di mana kelompok kontra ini masuk ke dalam kelompok militan yang melakukan teror pembunuhan dan pembakaran pada warga sipil. Tiga pastor yang tewas adalah pastor Hilario, Fransisco, dan dewanto. Situasi yang tidak aman di Tim-Tim memaksa ribuan penduduk mengungsi ke Timor Barat, ketidak mampuan Indonesia mencegah teror, menciptakan keamanan mendorong Indonesia harus menerima pasukan internasional.

) Pengusutan Kekayaan Soeharto dan Kroni-kroninya Mengenai masalah KKN, terutama yang melibatkan Mantan Presiden Soeharto pemerintah dinilai tidak serius menanganinya dimana proses untuk mengadili Soeharto berjalan sangat lambat. Bahkan, pemerintah dianggap gagal dalam melaksanakan Tap MPR No. XI / MPR /

1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, terutama mengenai pengusutan kekayaan Mantan Presiden Soeharto, keluarga dan kronikroninya. Padahal mengenai hal ini, Presiden Habibie - dengan Instruksi Presiden No. 30 / 1998 tanggal 2 Desember 1998 telah mengintruksikan Jaksa Agung Baru, Andi Ghalib segera mengambil tindakan hukum memeriksa Mantan Presiden Soeharto yang diduga telah melakukan praktik KKN. Namun hasilnya tidak memuaskan karena pada tanggal 11 Oktober 1999, pejabat Jaksa Agung Ismudjoko mengeluarkan SP3, yang menyatakan bahwa penyidikan terhadap Soeharto yang berkaitan dengan masalah dana yayasan dihentikan. Alasannya, Kejagung tidak menemukan cukup bukti untuk melanjutkan penyidikan, kecuali menemukan bukti-bukti baru. Sedangkan dengan kasus lainnya tidak ada kejelasan. Bersumber dari masalah di atas, yaitu pemerintah dinilai gagal dalam melaksanakan agenda Reformasi untuk memeriksa harta Soeharto dan mengadilinya. Hal ini berdampak pada aksi demontrasi saat Sidang Istimewa MPR tanggal 10-13 Nopember 1998, dan aksi ini mengakibatkan bentrokan antara mahasiswa dengan aparat. Parahnya pada saat penutupan Sidang Istimewa MPR, Jumat (13/11/1998) malam. Rangkaian penembakan membabi-buta berlangsung sejak pukul 15.45 WIB sampai tengah malam. Darah berceceran di kawasan Semanggi, yang jaraknya hanya satu kilometer dari tempat wakil rakyat bersidang. Sampai sabtu dini hari, tercatat lima mahasiswa tewas dan 253 mahasiswa luka-luka. Karena banyaknya korban akibat bentrokan di kawasan Semanggi maka bentrokan ini diberi nama Semanggi Berdarah Semanggi. Pemberian Gelar Pahlawan Reformasi bagi Korban Trisakti Pemberian gelar Pahlawan Reformasi pada para mahasiswa korban Trisakti yang menuntut lengsernya Soeharto pada tanggal 12 Mei 1998 merupakan hal positif yang dianugrahkan oleh pemerintahan Habibie, dimana penghargaan ini mampu melegitimasi Habibie sebagai bentuk penghormatan kepada perjuangan dan pengorbanan mahasiswa sebagai pelopor gerakan Reformasi. Pada Bidang Ekonomi Di dalam pemulihan ekonomi, secara signifikan pemerintah berhasil menekan laju inflasi dan gejolak moneter dibanding saat awal terjadinya krisis. Namun langkah dalam kebijakan ekonomi belum sepenuhnya menggembirakan karena dianggap tidak mjempunyai atau Tragedi

kebijakan yang kongkrit dan sistematis seperti sektor riil belum pulih. Di sisi lain, banyaknya kasus penyelewengan dana negara dan bantuan luar negeri membuat Indonesia kehilangan momentum pemulihan ekonomi. Pada tanggal 21 Agustus 1998 pemerintah membekukan operasional Bank Umum Nasional, Bank Modern, dan Bank Dagang Nasional Indonesia. Kemudian di awal tahun selanjutnya kembali pemerintah melikuidasi 38 bank swasta, 7 bank diambil-alih pemerintah dan 9 bank mengikuti program rekapitulasi. Untuk masalah distribusi sembako utamanya minyak goreng dan beras, dianggap kebijakan yang gagal. Hal ini nampak dari tetap meningkatnya harga beras walaupun telah dilakukan operasi pasar, ditemui juga penyelundupan beras keluar negeri dan penimbunan beras. Pada Bidang Manajemen Internal ABRI Pada masa transisi di bawah Presiden B.J. Habibie, banyak perubahan-perubahan penting terjadi dalam tubuh ABRI, terutama dalam tataran konsep dan organisatornya. Pertimbangan mendasar yang melatarbelakangi keputusan politik dan akademis reformasi internal TNI, antara lain: Prediksi tantangan TNI ke depan di abad XXI begitu besar, komplek dan multidimensional, atas dasar itu TNI harus segera menyesuaikan diri. TNI senantiasa harus mau dan mampu mendengar serta merespon aspirasi rakyat. TNI mengakui secara jujur, jernih dan objektif, sebagai komponen bangsa yang lainnya, bahwa di masa lalu ada kekurangan dan distorsi sebagai konsekuensi logis dari format politik Orba ABRI telah melakukan kebijakan-kebijakan sebagai langkah perubahan politik internal, yang berlaku tanggal 1 April 1999. Kebijakan tersebut antara lain: pemisahan POLRI dari ABRI, Perubahan Stat Sosial Politik menjadi Staf Teritorial, Likuidasi Staf Karyawan, Pengurangan Fraksi ABRI di DPR, DPRD I/II, pemutusan hubungan organisatoris dengan partai Golkar dan mengambil jarak yang sama dengan parpol yang ada, kometmen dan netralitas ABRI dalam Pemilu dan perubahan Staf Sospol menjadi komsos serta pembubaran Bakorstanas dan Bakorstanasda. Perubahan di atas dipandang positif oleh berbagai kalangan sebagai upaya reaktif ABRI terhadap tuntutan dan gugatan dari masyarakat, khususnya tentang persoalan eksis peran Sospol ABRI yang diimplementasikan dari doktrin Dwi Fungsi ABRI. 2.3 Kadaan Sosial Di Masa Habibie

Kerusuhan antar kelompok yang sudah bermunculan sejak tahun 90-an semakin meluas dan brutal, konflik antar kelompok sering terkait dengan agama seperti di Purworejo juni 1998 kaum muslim menyerang lima gereja, di Jember adanya perusakan terhadap toko-toko milik cina, di Cilacap muncul kerusuhan anti cina, adanya teror ninja bertopeng melanda Jawa Timur dari malang sampai Banyuangi. Isu santet menghantui masyarakat kemudian di daerah-daerah yang ingin melepaskan diri seperti Aceh, begitu juga dengan Papua semakin keras keinginan membebaskan diri. Juli 1998 OPM mengibarkan bendera bintang kejora sehingga mendapatkan perlawanan fisik dari TNI.

2.4. Berakhirnya Masa Pemerintahan B.J. Habibie Dengan mundurnya Presiden Soeharto dari jabatan presiden pada tanggal 21 mei 1998, maka Wakil Presiden B.J. Habibie menggantikan kedudukannya sebagai presiden. Pelimpahan ini memunculkan reaksi pro dan kontra dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa legitimasi pemerintahan B.J. Habibie sangat lemah, karena keberadaan Habibie dianggap sebagai suatu paket warisan pemerintahan Soeharto. Bahkan beberapa kolompok menuntut pembentukan pemerintahan transisi. Hal lain yang melemahkan legitimasi Habibie dalam memimpin pemerintahan ialah ia tidak dipilih secara luber dan jurdil sebagai presiden dan merupakan satu paket pemilihan pola musyawarah mufakat dengan Soeharto. Selain itu, beberapa tokoh memberi komentar pemerintahan Habibie sebagai pemerintahan transisi (Nurcholis Majid). Belum lepas dari bayang-bayang Soeharto (Amien Rais), Melakukan reformasi hanya pada kulitnya saja dan perpanjangan rezim mantan Presiden Soeharto (Megawati). Komentar-komentar tersebut makin melemahkan legitimasi Habibie sebagai presiden. Meskipun terdapat berbagai kemajuan dan keberhasilan yang dicapai oleh pemerintahan Habibie. Dimana sejak Kabinet Reformasi Pembangunan dibentuk, seperti penyelenggaraan Sidang Istimewa MPR, penyelenggaraan pemilu dan reformasi di bidang politik, sosial, hukum, dan ekonomi. Di tengah-tengah upaya pemerintahan Habibie memenuhi tuntutan reformasi, pemerintah Habibie dituduh melakukan tindakan yang bertentangan dengan kesepakatan MPR mengenai masalah Timor-Timur. Pemerintah dianggap tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR/MPR sebelum menawarkan opsi kedua kepada masyarakat Timor-Timur. Dalam

jajak pendapat terdapat dua opsi yang ditawarkan di Indonesia di bawah Presiden B.J. Habibie, yaitu: otonomi luas bagi Timor-Timur dan kemerdekaan bagi Timor-Timur. Akhirnya tanggal 30 Agustus 1999 pelaksanaan penentuan pendapat di Timor-Timur berlangsung aman dan dimenangkan oleh kelompok Pro Kemerdekaan yang berarti Timor-Timur lepas dari wilayah NKRI. Masalah itu tidak berhenti dengan lepasnya Timor-Timur, setelah itu muncul tuntutan dari dunia Internasional mengenai masalah pelanggaran HAM yang meminta

pertanggungjawaban militer Indonesia sebagai penanggungjawab keamanan pasca jajak pendapat. Hal ini mencoreng Indonesia di Dunia Internasional. Selain kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur tersebut, terjadi kasus yang sama seperti di Aceh melalui Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Irian Jaya lewat Organisasi Papua Merdeka (OPM), dengan kelompok separatisnya yang menuntut kemerdekaan dari wilayah Republik Indonesia. Pada tanggal 1-21 Oktober 1999, MPR mengadakan Sidang Umum. Dalam suasana Sidang Umum MPR yang digelar dibawah pimpinan Ketua MPR Amien Rais, tanggal 14 Oktober 1999 Presiden Habibie menyampaikan pidato pertanggungjawabannya di depan sidang dan terjadi penolakan terhadap pertanggungjawaban presiden sebagai Mandataris MPR lewat Fraksi PDI-Perjuangan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia dan Fraksi Demokrasi Kasih Bangsa. Pada umumnya, masalah-masalah yang dipersoalkan oleh Fraksi-fraksi tersebut adalah masalah Timor-Timur, KKN termasukan pengusutan kekayaan Soeharto, dan masalah HAM. Sementara itu, di luar Gedung DPR/MPR yang sedang bersidang, mahasiswa dan rakyat yang anti Habibie bentrok dengan aparat keamanan. Mereka menolak pertanggungjawaban Habibie, karena Habibie dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Rezim Orba. Kemudian pada tanggal 20 Oktober 1999, Ketua MPR Amien Rais menutup Rapat Paripurna sambil mengatakan, dengan demikian pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie ditolak. Pada hari yang sama Presiden habibie mengatakan bahwa dirinya mengundurkan diri dari pencalonan presiden. Habibie juga iklas terhadap penolakan pertanggungjawabannya oleh MPR. Menyusul penolakan MPR terhadap pidato pertanggungjawaban Presiden Habibie dan pengunduran Habibie dalam bursa calon presiden, memunculkan dua calon kuat sebagai presiden, yaitu Megawati dan Abdurrahman Wahid semakin solid, setelah calon PresidenYusril Ihza Mahendra dari Fraksi Partai Bulan Bintang mengundurkan diri melalui voting, Gus Dur

terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia keempat dan dilantik dengan Ketetapan MPR No. VII/MPR/1999 untuk masa bakti 1999-2004. Tanggal 21 Oktober 1999 Megawati terpilih menjadi Wakil Presiden RI dengan Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1999 mendampingi Presiden Abdurrahman Wahid. Terpilihnya Abdurrahman Wahid dan Megawati sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 1999-2004 menjadi akhir pemerintahan Presiden Habibie dengan TAP MPR No. III/MPR/1999 tentang Pertanggungjawaban Presiden RI B.J. Habibie.

BAB III PENUTUP


3.1. Kesimpulan Tanggal 21 Mei 1998 di Istana Merdeka Jakarta, Presiden Soeharto menyatakan dirinya berhenti dari jabatan Presiden RI, lewat pidatonya dihadapan wartawan dalam dan luar negeri. Usai Presiden Soeharto mengucapkan pidatonya, Wapres B.J. Habibie langsung diangkat sumpahnya menjadi Presiden RI Ketiga dihadapan Pimpinan Mahkamah Agung, yang disaksikan oleh Ketua DPR dan Wakil-Wakil Ketua DPR. Teriakan-teriakan kemenangan atas peristiwa bersejarah itu disambut dengan haru-biru para mahasiswa di Gedung DPR/MPR. Naiknya B.J. Habibie menggantikan Soeharto sebagai Presiden RI ketiga mengundang perdebatan hukum dan kontroversial, karena Mantan Presiden Soeharto menyerahkan secara sepihak kekuasaan kepada Habibie. Meskipun demikian pada tanggal 22 Mei 1998 pukul 10.30 WIB, kesempatan pertama Habibie untuk meningkatkan legitimasinya yaitu dengan mengumumkan susunan kabinet baru yang diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan (berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 122 / M Tahun 1998) di Istana Merdeka. Dengan Keputusan Presiden tersebut di atas, Presiden Habibie memberhentikan dengan hormat para Menteri Negara pada Kabinet Pembangunan VII. Habibie memimpin Indonesia dengan sedikit kepercayaan, ia memimpin Indonesia dalam keadaan jatuh. Ada berbagai langkah-langkah kebijakan yang dilaksanakan pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie setelah terbentuknya Kabinet Reformasi Pembangunan, antara lain: kebijakan di bidang politik, kebijakan pada bidang ekonomi, dan kebijakan pada bidang Manajemen Internal ABRI.

Di tengah-tengah upaya pemerintahan Habibie memenuhi tuntutan reformasi, pemerintah Habibie dituduh melakukan tindakan yang bertentangan dengan kesepakatan MPR mengenai masalah Timor-Timur. Pada tanggal 14 Oktober 1999 Presiden Habibie menyampaikan pidato

pertanggungjawabannya di depan Sidang Umum MPR namun terjadi penolakan terhadap pertanggungjawaban presiden karena Pemerintahan Habibie dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Rezim Orba. Kemudian pada tanggal 20 Oktober 1999, Ketua MPR Amien Rais menutup Rapat Paripurna sambil mengatakan, dengan demikian pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie ditolak. Pada hari yang sama Presiden habibie mengatakan bahwa dirinya mengundurkan diri dari pencalonan presiden.

3.2. Saran Sebaiknya kita sebagai generasi muda janganlah cepat mengambil tindakan yang dapat merugikan semua kalangan seperti tawuran atau demo karena semua yang kita lakukan haruslah berdasarkan akal sehat sehingga apa kita perbuat tidak sampai memakan korban jiwa. Dan bagi pemerintah atau aparat janganlah cepat-cepat mengambil tindakan seperti mengeluarkan senjata (pistol) apabila masyarakat atau mahasiswa yang melakukan demo. Sebaiknya ajaklah mereka berunding dan mencari jalan keluar yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Ricklefs, M.C.2005. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi.

Simanjuntak.S.H. 2003.Kabinet-Kabinet Republik Indonesia. Jakatra: PT Ikrar Mandiri Abadi

Setyohadi.tuk. 2004. Perjalan Bangsa Indonesia Dari Masa ke Masa. Bogor: Rajawali Corpuration. Habeahan, B.P, dkk. 1999. Sidang Istimewa dan Semanggi Berdarah. Depok: Permata AD Depok

Jasmi, Khairul. 2002. Eurico Guterres: Melintas Badai Politik Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Kencana Syafiie, Inu, Azhari. 2005. Sistem Politik Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama Mashad, Dhurorudin. 1999. Menggugat Penguasa. Jakarta. Erlangga

Soemardjan, Selo. 1999. Kisah Perjuangan Reformasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Winters, Jeffrey A. 1999. Dosa-Dosa Politik: ORDE BARU. Jakarta. Djambatan

Yulianto, Arif. 2002. Hubungan Sipil Militer Di Indonesia Pasca Orba Di Tengah Pusaran Demokrasi. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada

1.1 Background The fall of Soeharto from the presidency on May 21, 1998. As one of the world's longest-serving ruler, he was quite sure when it re-defined by the Assembly for a seventh term in office on March 11, 1998, everything will be under its control. But two months after Suharto took the oath, the New Order regime collapsed. When students occupied the House of Representatives / Assembly on May 19, 1998, president of 75-year-old has seen its legitimacy diminished rapidly and he was left alone. Suharto's 32 years of manipulating the existence of the DPR / MPR to cement power, eventually deposed by the same institution, through a press release dated May 18, 1998 (at 15.30), by the Speaker of the House Harmoko who was accompanied by Ismail Hasan Meutareum, Fatimah Achmad, Syarwan Hamid and regional representatives in front of journalists and students submitted a statement as follows: "Chairman of the Board both chairman and vice-vice chairman expects sake of national unity to be wise and prudent president should resign". Chairman of the House of Representatives press release has been warmly welcomed by thousands of students who come to the House of Representatives / Assembly. In fact, the DPR / MPR had also issued an ultimatum that if through Friday (May 22, 1998) the president does not resign, the Assembly will conduct a meeting with the factions on Monday (May 25, 1998). Suharto's last attempt to influence people by delivering a statement before the press on May 19, 1998 that as the mandatory of the Assembly, the president will mereshuffle VII to form a Cabinet Development Reform Committee, to further convince people that programmed the task of this committee will soon complete the Election Law; Law Political parties; Law on Composition and Status of the

MPR, DPR and DPRD; Anti-Monopoly Law; Anti-Corruption Act and other matters in accordance with the demands of the people. However, Suharto began cornered politically because 14 Ministers agreed not willing to sit in the Reform Committee. The 14 is the Minister Akbar Tanjung, A.M. Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto, Ny. Justika S. Baharsjah, Kuntoro, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo Sambuaga, and Tanri Abeng. This rejection weakens the position of Suharto as president because of the support to form the Reform Committee fails to mention many of the forces that encourage the president to resign. Feeling abandoned, battered has made Soeharto had no choice but to decide to quit. In the morning, dated May 21, 1998, at 09:05, at the Merdeka Palace which was attended by Minister of Defense or the Armed Forces Commander Wiranto, State Secretary Saadilah Mursjid, Information Minister Alwi Dahlan, Minister of Justice Muladi and Vice President BJ Habibie, along with Chairman of the Supreme Court, Speaker of the House, Secretary General of Parliament, before journalists at home and abroad of President Suharto's resignation speech as president. After President Suharto said his Vice President BJ Habibie was immediately sworn into the third President before the leadership of the Supreme Court, this historic event was greeted with a blue emotion by the people especially the students who were in the Parliament Building / MPR, eventually the New Order regime under Suharto's rule ended and the Age of Reformation began under the administration of President BJ Habibie 1.2 Problem formulation From the above background, we can formulate some problems, namely: 1.2.1 How is the process of transfer of Heads of Government from Soeharto to BJ Habibie? 1.2.2 What are the policies in the reign of BJ Habibie in the Era of Reform? 1.2.3 How social conditions in the Habibie? 1.2.4 How to end the reign of BJ Habibie? 1.3 Objectives The purpose of writing this paper, namely: 1.3.1 To know the process of transfer of Heads of Government from Soeharto to BJ Habibie 1.3.2 To know the policies in the reign of BJ Habibie in the Era of Reform 1.3.3 To know the social conditions in the Habibie 1.3.4 To know the end of the reign of BJ Habibie 1.4 Methodology The method we use in writing this paper is a literature study method. That is a business of collecting information using books alone. CHAPTER II DISCUSSION 2.1 The process of transfer of Heads of Government from Soeharto to BJ Habibie Starting from the impact of the economic crisis in 1997 that struck Asia and a very broad impact on the economy in Indonesia. The rupiah which fell sharply in July 1997, making dollars worse off. As a result almost all modern companies in Indonesia bankrupt, layoffs followed his

workers, so that the unemployment rate to rise. The crisis is also a direct impact on the monetary sector, mainly through the closure of some banks experiencing a credit crunch and liquidity crisis, so that national banks into disarray. This issue of the crisis of investor confidence, as well as capital flight abroad. The increase in poverty rates rose rapidly, the impact of economic crisis in Indonesia, the purchasing power of rural and urban decline, leading to food insecurity and malnutrition. In the health sector, the weakening of the rupiah led to rising medical costs, both the price of medicines, vaccines, health facilities resulting in the state of society increasingly pinched. Driven by the increasingly severe conditions, in October 1997 the government requested the help of the IMF (International Monetary Fund) to strengthen the financial sector, tightening and structural adjustment policies viskal banking. However, the influence of IMF assistance is very little in helping the crisis in Indonesia. Some policies such as fiscal policy and the policy of liquidation. Where fiscal policy aims to maintain its exchange rate policy while the liquidation aims to help banks that bemasalah. These policies apply capital adequacy standards by striving for banking recapitulation. But in fact these policies are carried out without any meaningful results, even the IMF was the one blamed because it makes pekonomian Indonesia during the crisis worse. Policies designed to overcome the crisis by the government was not able to restore the economy, where prices of basic commodities continue to increase. That's why the judge did not succeed in implementing government policies are made. This makes the weakening of public trust in government. This distrust led to student demonstrations in early March 1998 that demanded the government lower the prices of goods and following up actors who hoard groceries. The number of major issues facing the nation as a result of the economic crisis drag on, students see that the handling of the effort is not taken seriously. This is evident from student refusal of President Soeharto's accountability speech before the Session of the DPR / MPR, 1998, in which the president did not show a sense of responsibility for the calamity that befell the country. Then the student throws the issue or claim regarding the dissolution of the Development Cabinet considered the appointment of ministers VII unprofessional and full of political content that smells Nepotism and cronyism, such as the appointment of Princess Pak Harto, Ny. Siti Hardianto Rukmana (Tutut) as Minister of Social Affairs, Bob Hasan's presence in the cabinet shows ketidakprofesionalan cabinet, and Wiranto Arismunanjar appointment as Minister of Education and Culture is very disappointing student ministers as well as some names are considered close to Tutut. The peak of the student demands that President Soeharto stepped down from office occurred on May 12, 1998 at Trisakti campus known as the Incident Trisakti. Starting from the action of the nation's concern over the disaster and the students tried to peacefully exit the campus to the House of Representatives / Assembly to convey their aspirations, but the intention was denied security forces and forced them back to campus. Situation suddenly turned into chaos and forces opened fire. As a result four students were shot and killed Trisakti bullets of security forces. The next day, May 13, 1998 students at campuses staged a concern. On the same day, the afternoon of action in the form of mass riots and arson vandalism of public facilities, accompanied by looting, robbery and sexual harassment of women of certain ethnic groups in Jakarta and surrounding areas. Riots lasted until May 15, 1998, who served until 1218 took the lives of dying people, even then not in its entirety. On May 18, 1998 until May 22, 1998 thousands of students occupied the House of

Representatives / People's Consultative Assembly held a Special Session with the demands of the changing agenda of Suharto. The efforts of President Soeharto to dampen demands of students and the community is to form the Reform Committee. Where the Committee is tasked to implement and absorb the aspirations of the community to implement the reforms. However, rejection occurred 14 The Minister is not willing to sit in the makeup job reshuffle the Cabinet Committee on Reform of Building VII, with rejections, making politically cornered position of president in addition to previously existing urging House Speaker Harmoko for Soeharto to resign as president. This situation makes Soeharto decided to quit because of public pressure that he backed demands are enormous and the political support is not there. In the morning, dated May 21, 1998 at the Istana Merdeka Jakarta, President Suharto declared himself quit of office the President, through his speech in front of reporters at home and abroad. After President Suharto made his speech, Vice President BJ Habibie was immediately sworn into the third Presidential Leadership in front of the Supreme Court, which was witnessed by ViceChairman of Parliament and Deputy Speaker of the House. The shouts of victory over historic event was greeted with uproar the students at the House of the DPR / MPR. The atmosphere had a chance to win cool the atmosphere before the heat with blasphemy and curses fall of Soeharto, but the demands for Suharto to return the money of the people began to reverberate. Rising B.J. Habibie replaced Soeharto as the third President contentious and controversial law, since former President Suharto handed over power to Habibie unilaterally. Attitudes among students over Habibie's inauguration as president is divided into three groups, namely: first, reject Habibie as a product of the New Order, secondly, to be neutral because there was no leader among the countries that received all the temporary post of president can not be empty; third, students argued that the transfer of power to Habibie is valid and constitutional. On May 22, 1998, President B.J. Habibie announced the new cabinet, namely the Development Reform Cabinet, which along with the announcement of a new cabinet, means the president must dissolve the Cabinet Development VII. Finally, reform movements, spearheaded student is able to subvert the power of New Order and Reform Era began running in Indonesia, under the Government BJ Habibie. Five major issues that dihapai Habibie: 1. Future refpormasi 2. The future of the Armed Forces 3. The future of the areas that want to break away from Indonesia. 4. Soeharto family's future, his wealth and his cronies 5. The future of the economy and welfare. 17 months later the first issue showed a positive development. The second issue leads to a reduction of the military role in politics. The third issue is resolved in the context of East Timor but not in other areas, to four unresolved issues and the fifth issue remains unresolved. Habibie's tenure started with a low confidence of student activists, the military, the political wing of the main, foreign investors and international companies. Conditions when Habibie was in a state led economy slumped, inflansi targeted 80% for one year. Indonesia is entering a shortage of harvest due to El NiH'o storm. Sympathy big companies like Air, PT Astra International does not operate anymore. The rupiah was under Rp.10000 / $ and even reach Rp lepel 15000-17000 / $, 113 million people Indonesia (56% of the population of Indonesia is under the poverty line). 2.2 Policies On The Government BJ Habibie in the Era of Reform After Suharto resign from his position as President of the Republic of Indonesia on May 21, 1998, then in that very morning, Vice President BJ Habibie was sworn in before the leader of the

Supreme Court became the third President of the Republic of Indonesia at the State Palace. With the cessation of Soeharto as President of the Republic of Indonesia, it has since declared the outgoing Cabinet Development VII (inactive). The next date of May 22, 1998 at 10:30 pm, the first opportunity to improve the legitimacy of Habibie to announce a new cabinet named Development Reform Cabinet (based on the Decree of the President of the Republic of Indonesia No.. 122 / M of 1998) at Merdeka Palace. With the above Presidential Decree, President Habibie dismiss with respect to the Cabinet of Ministers of State Development VII. Development Reform Cabinet consists of 36 which is 4 Minister of State Secretary with the duties as Coordinating Minister, Minister of State who led the 20 Department, 12 Minister of State in charge of specific areas. A total of 20 faces of which are old Minister of Development Cabinet VII, and only 16 new Minister, namely Syarwan Hamid, Yunus Yosfiah, Bambang Subianto, Soleh Solahuddin, Muslimin Nasution, Marzuki Usman, Adi Sasono, Fahmi Idris, Malik Fajar, Boediono, Zuhal, AM Syaefuddin, Ida Bagus Oka, Hamzah Haz, Hasan Basri Durin, and Panangian Siregar. This cabinet reflects a synergy of all elements of national power which consists of various elements of socio-political forces in society. This is different from before, the post of Governor of Bank Indonesia no longer included in the composition of the Cabinet. Due to Bank Indonesia, said the president should have a special position in the economy, free from government influence and any party under the Act. On May 23, 1998 morning, President Habibie induct ministers Development Reform Cabinet. President Habibie said that the Development Reform Cabinet prepared to implement the main tasks of a total reform of the economic, political and legal. Cabinet in the shortest possible time will take the policies and pro-active steps to restore the wheel of development in some areas have experienced barriers that harm the people. Policies during the reign of President BJ Habibie In the political field There are various policy measures implemented during the reign of President BJ Habibie after the establishment of the Development Reform Cabinet. Political policies are taken as follows: with the release of political prisoners during the New Order, increased freedom of the press, the formation of political parties and the acceleration of Elections from 2003 to 1999, Tomor-East problem solving, investigation wealth of Suharto and his cronies, giving the title Hero of the Reformation Trisakti victims. a) Liberation Political Prisoners In general release of political prisoners measures increase the legitimacy of Habibie both at home and abroad. This can be seen with the given amnesty and abolition is an important step toward openness and reconciliation. Among the political prisoners freed separatist leaders old and a former Communist Party, which had been held for more than 30 years. Amnesty granted to Mohammed Sanusi and the other people who were detained after the Tanjung Priok incident. In addition to the character's activist leaders petition 50 (a group composed mostly of former generals accusing Suharto violated perinsip Pancasila and the dual function of ABRI). Dr. Sri Bintang Pamungkas, chairman of the Party and Dr. Mochatar Pakpahan PUDI chairman of the Indonesian Prosperity Trade Union and K. H Abdurrahman Wahid is a handful of figures that were released Habibie. Moreover Habibie revoked Subversion Act and states supporting the opposition and cultural approach to those who had opposed the New Order.

b) Freedom of the Press In this case, the government provides for press freedom in preaching, so that during the Habibie government is, a lot of emerging mass media. Similarly, freedom of the press is equipped also by freedom of association so that the organization's alternative press organizations such as AJI (Association of Independent Journalists) can perform its activities. So far there are no bans, bans on the media is not like in the New Order. Indonesian press in post-Suharto era is a very wide freedom, the news concerning the positive and negative sides of government policy is no longer a taboo thing, which is often hard to find the limit. Even an observer of Indonesia from Ohio State University, William Liddle claimed was shocked watching the news content of both private and government television and reading the contents of the newspaper in Jakarta, all as if displaying the freedom in the delivery of news, where things like this have never previously encountered during New Order power. Habibie way to give freedom to the press was to revoke SIUPP. c) Establishment of Political Parties and Acceleration elections from 2003 to 1999 This third President to make changes in the political field more of them issued Law no. 2 of 1999 on Political Parties, Law no. 3 of 1999 on General Elections, Law no. 4 Year 1999 on the MPR and DPR. That's why year after the reforms carried out even before the General Election 1999 elections, the political party who registered after reaching 141 and verified by the Election Commission team 11 to as many as 98 parties, but qualified only 48 political parties following the elections alone. The next date of June 7, 1999, General Election held multiparty. In this election, the results are ratified on August 3, 1999, 10 winners of the largest political party in the House of Representatives elections, are: 1). Indonesian Democratic Party-Struggle (PDI-P) leader Megawati Sukarnoputri won 153 seats 2). Golkar Party leader Akbar Tanjung won 120 seats 3). United Development Party (PPP) leader Hamzah Haz had 58 seats 4). National Awakening Party (PKB) led by H. Matori Abdul Djalil won 51 seats 5). National Mandate Party (PAN) party won 34 seats Amein Rais 6). Crescent Star Party (PBB) led by Yusril Ihza Mahendra won 13 seats 7). Justice Party (PK) led Nurmahmudi Ismail won 7 seats 8). Love Peace Party Nation (PDKB) leader Manasseh Malo won 5 seats 9). Nahdlatur Ummah Party leader Ma'mun Sjukron won 5 seats 10). Justice and Unity Party (PKP) led by Gen. (ret.) Edi Sudradjat won 4 seats d) Settlement of the East Timor issue Since the occurrence of insident Santa Cruz, the international community put heavy pressure on Indonesia on the issue of human rights in East Timor. For East Timor, Habibie is a pebble in the shoe of a troublesome government, so that Habibie took the proactive stance by offering two options for the resolution of East Timor on one side gives special setatus with broad autonomy and on the other hand secede from Indonesia. Means the authority granted broad autonomy over areas such as: political economy and other cultures except in foreign affairs, defense and security as well as monetary and fiscal policy. While separate themselves in a democratic and constitutional means as well as terhorman and peaceful escape from the Homeland. A month served as President Habibie has freed political prisoners in East Timor, such as Xanana Gusmao and Ramos Horta. Meanwhile in Dili on 21 April 1999, the pro-independence and pro-integration sign a peace agreement which was witnessed by the Armed Forces Commander Wiranto, Vice Chairman of

Komnas HAM Djoko Soegianto and Baucau Bishop Mgr. Basilio do Nascimento. Dated May 5, 1999 in New York's Foreign Minister Ali Alatas and Portuguese Foreign Minister Jaime Gama was witnessed by UN Secretary General Kofi Annan signed an agreement implementing the referendum in East Timor to find out the attitude of the people of East Timor in choosing the second option above. Dated August 30, 1999 implementation of the referendum in East Timor took place safe. But the next day, the atmosphere of uncertainty, unrest everywhere. The atmosphere grew worse after the referendum results were announced on September 4, 1999 which states that approximately 78.5% of the people of East Timor voted for independence. At the beginning of President Habibie believes that the people of East Timor would prefer the first option, but in fact the conviction was wrong, where history records that the majority of East Timorese to choose out of the Homeland. The loss of East Timor from the Republic of Indonesia have an impact on other areas that also wanted to break away from the Homeland as the demands of the GAM in Aceh and OPM in Irian Jaya, other than that the Government of Indonesia had to endure waves of displaced East Timorese pro-Indonesia in the border area is in Atambua. East Timor problem was not as simple as one might expect because of the Habibie group clashes between the pros and cons of independence in which the counter is entered into the militant groups who do the killing and arson terror on civilians. Three priests who were killed is a priest Hilario, Francisco, and Dewanto. Unsafe situation in East Timor forcing thousands of residents fled to West Timor, Indonesia's inability to prevent terror, creating a security push Indonesia to accept an international force. e) Property Investigation Suharto and his cronies On the issue of corruption, especially those involving former President Suharto's government seriously considered not handle it, where the process to bring Soeharto to walk very slowly. In fact, the government considered a failure in implementing the MPR Decree No. XI / MPR / 1998 on State Administering the Clean and Free from Corruption, Collusion and Nepotism, especially regarding the prosecution of wealth Former President Suharto, his family and his cronies. And on this, President Habibie - Presidential Instruction. 30/1998 dated December 2, 1998 - New Attorney General has been instructed, Andi Ghalib to take immediate legal action to check Former President Suharto is alleged to have committed corrupt practices. But the results were not satisfactory due on October 11, 1999, Attorney General Ismudjoko official SP3 release, which stated that the investigation against Soeharto issues related to the foundation's funds stopped. The reason, the AGO did not find sufficient evidence to continue the investigation, except to find new evidence. While the other cases there is no clarity. Sourced from the above problem, namely the government considered to have failed in implementing the reform agenda to examine the wealth of Suharto and the judge. This resulted in action demonstration at the Special Session of the Assembly on 10-13 November 1998, and this action resulted in clashes between students and officers. Worse at the close of the Assembly Special Session on Friday (13/11/1998) night. The series of indiscriminate shooting took place from 15:45 o'clock pm until midnight. Blood spattered the Semanggi area, which is only one kilometer from where legislators convened. Until Saturday morning, carrying five students were killed and 253 students were injured. Since the number of victims of the clashes in the area of the clashes Semanggi is named "Bloody Clover" or "Semanggi tragedy". f) Provision of a Friend Reform for Victims Trisakti Giving the title Hero of the Reformation on victims Trisakti students demanding Suharto's resignation on May 12, 1998 is a positive thing that was awarded by the Habibie government, where the award is able to legitimize the Habibie as a form of homage to the struggle and

sacrifice of students as the pioneers of the Reformation movement. On the Economy In the economic recovery, the government managed to suppress significantly the rate of inflation and monetary turmoil than the beginning of the crisis. But measures of economic policy has not been entirely encouraging because it is not mjempunyai concrete and systematic policy as the real sector has not recovered. On the other hand, the number of cases of misappropriation of state funds and foreign aid to Indonesia's economic recovery lost momentum. On August 21, 1998, the government suspended operations of National Commercial Bank, Bank Modern, and National Trade Bank Indonesia. Then at the beginning of next year the government re-liquidate 38 private banks, 7 banks taken over by the government and 9 banks join the program summary. For the main staple food distribution problem of cooking oil and rice, deemed a failed policy. This is apparent from the still rising price of rice even though the market has performed the operation, also encountered overseas rice smuggling and hoarding of rice. In the Field Management of Internal Forces In the transition period under President B.J. Habibie, many important changes occurred in the military body, especially at the level of concept and organizers. Fundamental consideration underlying the political decision of the TNI's internal reform and academic, among others: - Predict the future military challenges in the XXI century is so large, complex and multidimensional, on the basis that the TNI should immediately adjust. - TNI always have to be willing and able to hear and respond to the aspirations of the people. - TNI admit honestly, clearly and objectively, as a component of another nation, that in the past there are shortcomings and distortions as a logical consequence of political format Order Armed Forces have made policies as measures of internal political change, which took effect on 1 April 1999. Policies include: separation from the Armed Forces Police, Social and Political Change Stat become Staff Territorial Staff Employees Liquidation, Reduction of Armed Forces faction in the DPR, DPRD I / II, organizational termination with the Golkar party and take a distance equal to the existing political parties, kometmen and military neutrality in the election and change of staff as well as the dissolution Sospol be komsos Bakorstanas and Bakorstanasda. Changes at the top viewed positively by many as a reactive attempt to demands and lawsuits Armed Forces of the community, particularly on issues exist Sospol role of the Armed Forces who implemented the doctrine of dual function of ABRI. 2.3 Social Kadaan In The Habibie Riots between groups that have sprung up since the 90's increasingly widespread and brutal, conflict between groups is often associated with religion as in Purworejo June 1998 Muslims attacked five churches, in Jember, the destruction of shops owned by Chinese, anti-riot appear in Cilacap China, the masked ninja struck terror in East Java from the poor to Banyuangi. The issue of witchcraft haunt people later in the regions who want to break away as Aceh, Papua, as well as the harder the desire to break free. July 1998 OPM flying the Morning Star flag so get the physical resistance of the TNI. 2.4. The Government's End B.J. Habibie With the resignation of President Soeharto from the presidency on 21 May 1998, then Vice President BJ Habibie replaced his position as president. The delegation of the reaction raises the pros and cons in the community. This suggests that the legitimacy of government BJ Habibie is very weak, because the presence of Habibie regarded as a legacy of the Soeharto government

package. Even some kolompok demanding the formation of transitional government. Another thing that weakens the legitimacy of Habibie's government in the lead is that he does not overflow and Jurdil elected as president and is the selection of pattern packets consensus agreement with Suharto. In addition, some leaders make comments Habibie government as a "transitional government" (Nurcholis Majid). "Not to escape from the shadow of Suharto" (Amien Rais), "Reforming the only skin deep" and "extension of former President Suharto's regime" (Megawati). The comments are further weakened the legitimacy of Habibie as president. However, despite many advances and successes achieved by the Habibie government. Where since the Development Reform Cabinet is formed, such as the implementation of the Special Session of the Assembly, the election and the reforms in the political, social, legal, and economic. In the midst of the Habibie government's efforts to meet the demands of reform, the Habibie government was accused of doing acts contrary to the agreement the Assembly on the question of East Timor. The government considered not consult beforehand with the DPR / MPR before offering a second option to the people of East Timor. In the poll there are two options offered in Indonesia under President BJ Habibie, namely: wide-ranging autonomy for East Timor and independence for East Timor. Finally, the implementation date of August 30, 1999 referendum in East Timor took place safely and was won by the pro-independence East Timor, which means out of the Homeland. The problem does not stop with the release of East Timor, after it emerged the demands of the international community regarding the issue of human rights violations that hold the Indonesian military as a post-poll security responsibility. It is tarnished Indonesia in the World International. Apart from cases of human rights violations in East Timor, the same cases as in Aceh through the Free Aceh Movement (GAM) and Irian Jaya through the Free Papua Organization (OPM), a separatist group demanding independence from the Republic of Indonesia. On October 1 to 21, 1999, the Assembly held a General Assembly. In the atmosphere of the parliamentary session that was held under the leadership of the MPR Chairman Amien Rais, dated October 14, 1999 President Habibie's accountability speech on the stand and place the rejection of accountability by the president as the Mandatory MPR PDI-Struggle faction, the National Awakening Party, Indonesia Nationality Unity Faction Love the Nation and Democracy faction. Habibie. CHAPTER III CLOSING 3.1. Conclusion

3.2. Suggestion

REFERENCES

2004. 1999. 2002. 2005. Bandung: PT. 1999. Jakarta. 1999.

1999. Jakarta. 2002. Jakarta. PT.

You might also like