You are on page 1of 348

KATA PENGANTAR

Buku yang tersaji dihadapan anda ini disusun dengan maksud agar dapat dipergunakan sebagai bahan untuk mempelajari, memahami dan mengimplementasikan prinsip-prinsip ketatanegaraan Indonesia dalam rangka menuju konsolidasi sistem demokrasi. Buku ini merupakan hasil revisi dari buku yang sudah pernah penulis susun, berjudul Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia. Judul buku ini memang sengaja penulis ubah, karena penulis menyadari bahwa dalam sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia, proses menuju konsolidasi sistem demokrasi selalu diupayakan oleh setiap penyelenggara Negara. Namun demikian sangat disayangkan, proses tersebut belum mampu dilaksanakan dengan baik. Hal ini berarti konsolidasi sistem demokrasi masih terus berjalan. Bertitik tolak dari gambaran singkat tersebut, maka perubahan judul tersebut dimaksudkan agar buku ini menjadi semacam inspirasi bagi penulis-penulis buku sejenis ataupun para pihak yang tertarik dengan Hukum Tata Negara Indonesia, untuk dapat dilengkapi dengan ide-ide atau gagasan-gagasan lain yang lebih bagus dan lengkap. Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka mulai saat itu sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan yang sangat cepat. Di tingkat kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia sendiri, perubahan tersebut menimbulkan kegagapan tersendiri. Hal ini merupakan gejala wajar bagi suatu masyarakat dan bangsa yang sudah lama hidup dalam struktur dan sistem ketatanegaraan yang otoritarian. Perlu diketahui bahwa langkah untuk melaksanakan konsolidasi sistem demokrasi sudah barang tentu akan melalui berbagai macam tahapan. Bahkan tidak jarang tahapantahapan tersebut memunculkan kesan adanya eksperimentasi atau uji coba sistem ketatanegaraan. Oleh sebab itu konsolidasi sistem demokrasi yang berarti suatu langkah untuk memperteguh atau memperkuat demokrasi dalam sistem ketatanegaraan tentu tidak dengan serta merta dapat dihitung dalam jangka waktu tertentu. Apalagi dengan memberikan patokan setelah tahun 2009, seperti yang diungkapkan oleh Akbar Tanjung atau Daniel Sparringga yang menganggap sebagai masa transisi dengan ukuran progresif berlangsung 2 tahun, dan ukuran konvensional sekitar 10 tahun. (Kompas, 16/2/2009). Sebagai sebuah langkah pemantapan atau penguatan sistem demokrasi, maka bagi negara yang belum akrab dengan sistem demokrasi seperti Indonesia, konsolidasi demokrasi tentu akan melewati beberapa langkah eksperimentasi atau uji coba. Seperti uji coba infra struktur demokrasi, perumusan perangkat hukum untuk mengawal jalannya sistem demokrasi,

serta uji coba penerapan sistem demokrasi. Eksperimentasi itu diarahkan untuk membangun budaya demokrasi dalam konsolidasi demokrasi. Dengan demikian, sebenarnya prasyarat penguatan atau peneguhan demokrasi melalui konsolidasi memang tidak hanya berpijak pada sistem demokrasi prosedural belaka, melainkan yang lebih utama adalah menyangkut substansi demokrasi yakni kultur demokrasi itu sendiri. Henry B. Mayo mengemukakan bahwa demokrasi di samping sebagai suatu sistem pemerintahan dapat juga dikatakan sebagai suatu life style yang mengandung unsur-unsur moril, seperti penyelesaian secara damai dan melembaga,

Kata Pengantar v terjadinya perubahan secara damai, menyelesaikan pergantian kepemimpinan secara teratur, membatasi pemakaian kekerasan, menganggap wajar adanya keanekaragaman, dan menjamin tegaknya keadilan. Unsur-unsur moril seperti ini jelas belum semuanya diterapkan dalam budaya demokrasi di Indonesia. Banyak contoh yang dapat dikemukakan di sini. Maraknya demonstrasi yang dibarengi dengan aksi kekerasan dan memakan korban, hilangnya kesantunan dalam berpendapat atau berargumentasi, black campaign para elit politik, menunjukkan bahwa budaya demokrasi di Indonesia masih jauh dari nilainilai yang dikemukakan oleh Henry B. Mayo tersebut. Dengan demikian sejak tahun 1998 ketika reformasi dikumandangkan sampai dengan amandemen UUD 1945, semuanya tidak termasuk kategori konsolidasi demokrasi, melainkan lebih bernuansakan eksperimentasi demokrasi. Penataan sistem demokrasi prosedural yang mulai dilakukan pasca reformasi 1998 termasuk melakukan amandemen UUD 1945 pada hakikatnya hanya merupakan langkah eksperimentasi demokrasi. Tidak ada satupun yang sifatnya definitif dan subtantif melalui pendekaan kultur demokrasi. Akibatnya sistem demokrasi yang dikembangkan hampir semuanya bersifat coba-coba. Belum ada yang menunjukkan kemantapan dan penguatan kultur demokrasi. Dari tingkatan infra sruktur politik sampai dengan tingkatan supra struktur politik masih tetap menyisakan berbagai persoalan. Di tingkatan infra struktur politik, terutama pembenahan kehidupan kepartaian jauh dari idealisme budaya demokrasi.

Pembatasan jumlah Parpol melalui electoral threshold dan parliamentary threshold sebagai prasyarat dari sistem presidensiil tetap belum final. Uji coba seperti ini malah memunculkan tuntutan Partai-partai kecil melalui yudicial review Mahkamah Konstitusi yang nuansa uji cobanya juga sangat kental. Artinya disetujui oleh Mahkamah Konstitusi atau tidak yang penting nuntut dulu di Mahkamah Konstitusi. Sementara itu keputusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri juga bernuansakan coba-coba, karena keputusan tersebut mengakibatkan terjadinya inkonsistensi dalam menrerjemahkan makna pemilihan presiden/wakil presiden bila dihubungkan dengan norma kesamaan hukum dan pemerintahan sebagaimana tertuang di dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Artinya calon pasangan Presiden dan Wakil Presiden dari tokoh-tokoh independen dan nonpartisan sudah tertutup. Higemoni parpol dalam kancah kehidupan ketatanegaraan semakin menguat. Hal ini berarti tidak semua warga negara memiliki kesamaan di depan hukum dan pemerintahan khususnya dalam mencalonkan diri untuk menjadi Presiden atau Wakil Presiden, kecuali yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Demikian pula dengan sistem pemilu dengan mencontreng nama caleg menunjukkan bahwa budaya demokrasi di tubuh internal Parpol melalui penguatan sistem pencalegan juga belum berjalan. Mekanisme mencontreng nama caleng di masing-masing Parpol dalam pemilu, sebenarnya dapat dilakukan melalui mekanisme internal Parpol melalui konvensi. Di lingkungan internal Parpol, Caleg-caleg itu di fit and propertest terlebih dahulu dengan melibatkan konsituen dan simpatisan masing-masing parpol. Kemudian hasil dari fit and propertest tersebut dipergunakan sebagai dasar untuk penentuan caleg yang ditawarkan kepada pemilih. Cara seperti ini jelas akan membangun budaya demokrasi di masingmasing parpol. Ternyata mekanisme ideal yang seharusnya seperti ini, ditempuh melalui pemungutan suara dalam Pemilu 2009. Akibatnya kemungkinan terjadi konflik antar caleg di masingmasing parpol terbuka lebar. Hal ini berarti konflik antara caleg dengan Parpolnya seperti yang terjadi menjelang Pemilu 2004 karena perebutan nomor urut, diubah melalui eksperimentasi dengan cara menyerahkan pilihan mentah caleg kepada rakyat lewat mencontreng dalam pemilu legislatif tahun 2009. Eksperimentasi demokrasi memang selalu mengandung fenomena coba-coba. Hal ini mengakibatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan justru berperan sebagai kelinci percobaan. Sebagai kelinci percobaan dari elit-elit politik dalam menterjemahkan sistem demokrasi prosedural, maka rakyat hanya sekedar menerima produk-produk hukum yang mengikat mereka untuk dilaksanakan. Penerimaan rakyat ini tidak dapat dikatakan sebagai sebuah penguatan atau peneguhan demokrasi, karena penerimaan mereka tidak

didasarkan pada kehendak dan aspirasi mereka sendiri, melainkan atas dasar paksaan melalui instrument atau preparat eksperimen elit politik. Partisipasi sebagai salah satu nilai terpenting dari budaya demokrasi direduksi menjadi prosedur demokrasi. Besar kecilnya suara di parlemen justru mendominasi pengambilan keputusan politik. Dalam kesempatan yang sangat baik ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada istri tercinta Maria Bernadeth Maitimo, SH yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk terus berkarya di bidang akademik. Dia pernah mengatakan: "Jangan berhenti untuk menulis, karena dengan tulisan itu, kamu dapat menuangkan ide-ide dan ikut mencerahkan masyarakat, walau kamu belum meraih derajad kesarjanaan yang paling tinggi. Biarkan orang lain yang menilai karya-karyamu". Dorongan semangat seperti inilah yang menyebabkan buku ini bisa tersusun. Untuk anak-anak penulis, Giovanni Battista Maheswara dan Alexandra Kevin Maheswara, penulis juga ucapkan terima kasih atas pengertian dan pengorbanan kalian. Karena ambisi papamu yang seperti ini, kadang kala kalian menjadi kurang perhatian. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Mas Joki staff di bagian Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Tanpa bantuannya pasti buku ini tidak mungkin dapat diterbitkan. Penulis tidak mungkin mampu mengingat satu persatu para pihak yang ikut mendorong penulis untuk menyelesaikan naskah buku ini. Oleh sebab itu, sembari menanti sapaan, kritikan, saran, bahkan mungkin cemoohan dari semua pihak guna penyempurnaan buku ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya. Akhir kata, dengan mengutip kata-kata bijak Pujangga Besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu karya tetraloginya berjudul Rumah Kaca: "Pergunakan ilmumu itu kemudian untuk menuntun bangsamu ke luar dari kegelapan yang tiada habis-habisnya ini", Penulis menyampaikan semoga buku ini bermanfaat. Selamat membaca dan Berkah Dalem. Kotagede, Medio April 2009. Penulis; B. Hestu Cipto Handoyo.

Contents
Bab I PENDAHULUAN .................................................................. 8 A. Batasan Pengertian. ................................................................. 8 1. Pengertian Hukum. ........................................................... 8 B. Pengertian Negara Hukum. ................................................ 21 D. Definisi Hukum Tata Negara dan Peristilahan. ............... 26 E. Hubungan Hukum Tata Negara Dengan Ilmu-ilmu Lainnya. ....................................................................................... 29 F. Sumber-Sumber Hukum Tata Negara. ............................. 35 Bab II ................................................................................................. 61 SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA ....................... 61 A. Pendahuluan. ......................................................................... 61 B. Periodesasi Sejarah Ketatanegaraan Indonesia. ............... 62 Bab III ............................................................................................. 101 SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA, BENTUK NEGARA DAN BANGUNAN NEGARA ................................................... 101 A. Pengertian Sistem. ............................................................... 102 B. Pengertian Pemerintahan. ................................................. 102 C. Tiga Pengertian Sistem Pemerintahan Negara................ 104 D. Bentuk Negara. .................................................................... 105 E. Bangunan Negara. .............................................................. 106 F. Organisasi Sistem Pemerintahan Negara. ...................... 107 G. Bentuk Pemerintahan dan Sistem Pemerintahan. .......... 112 1. Sistem Pemerintahan Parlementer (Parliamentary Executive). .............................................................................. 113 2. Sistem Pemerintahan Presidensiil (Fixed Executive). . 114 H. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara. ............... 122 I. Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia......... 128 Bab IV ............................................................................................. 143 LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT INDONESIA .............. 143 A. Pengertian Umum. .............................................................. 143 B. Majelis Permusyawaratan Rakyat. ................................... 145 C. Dewan Perwakilan Rakyat. ................................................ 152 D. Dewan Perwakilan Daerah. ............................................... 154 Bab V .............................................................................................. 162 SUPRA STRUKTUR POLITIK DAN INFRA STRUKTUR POLITIK ......................................................................................... 162 A. Pengertian. ........................................................................... 162 B. Supra Struktur Politik. ....................................................... 165 C. Infra Struktur Politik. .......................................................... 167 D. Hubungan Supra Struktur Politik dan Infra Struktur Politik Dalam Pengambilan Keputusan Politik. .................. 170 E. Mekanisme Sistem Politik Demokrasi Menurut UUD 1945. ............................................................................................ 172 Bab VI ............................................................................................. 187 PEMILIHAN UMUM DAN PARTAI POLITIK ....................... 187 A. Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi Melalui Reformasi Pemilu. ....................................................................................... 187 B. Pemilu dan Rekrutmen Kepemimpinan Nasional. ........ 196 B. Pemilu dan Rekrutmen Kepemimpinan Nasional. ........ 199 C. Asas-Asas Pemilu. ............................................................... 210 D. Partai Politik......................................................................... 214

Bab VII PEMERINTAHAN LOKAL .......................................... 233 A. Peristilahan........................................................................... 233 B. Bentuk Pemerintahan Lokal. ............................................. 234 C. Asas-Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Lokal. ........ 237 D. Sistem Rumah Tangga Daerah. ......................................... 252 F. Hakikat Otonomi Daerah Menurut Sistem Rumah Tangga Daerah.......................................................................... 279 Bab VIII KEWARGANEGARAAN ............................................ 284 A. Pengertian dan Batasan. ..................................................... 284 B. Konsekuensi Yuridis Status Kewarganegaraan. ............ 289 C. Kewarganegaraan Menurut UUD 1945............................ 291 D. Tinjauan Kritis Terhadap UU No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. ................................ 293 E. Asas-asas Kewarganegaraan Menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. .................................................................................. 295 F. Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia. .... 298 G. Syarat dan Tata Cara Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia. ................................................................. 299 H. Hukum Kewarganegaraan Dalam Perspektif Konvensi Internasional. ........................................................... 300 I. Status Yuridis Bagi Orang yang Tidak Memiliki Kewarganegaraan Menurut Konvensi Internasional.226 ..... 303 Bab IX ............................................................................................. 308 HAK-HAK ASASI MANUSIA ................................................... 308 A. Pendahuluan. ....................................................................... 308 B. Sejarah Perkembangan. ...................................................... 310 C. Dimensi Universalitas dan Kontekstualitas Dalam Hak Asasi Manusia. .......................................................................... 313 D. Beberapa Pemikiran Founding Fathers Tentang Hak Asasi Manusia di Indonesia. ................................................... 316 E. Perumusan Hak Asasi Manusia Dalam Amandemen UUD 1945. ................................................................................. 322 F. Hak Asasi Manusia Menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. ............................................................................... 326 DAFTAR KEPUSTAKAAN......................................................... 332

Bab I PENDAHULUAN
Negara se6agai sebuah organisasi kekuasaan memiCiki otoritas untuk^ memaksakan kefiendak^kepada warganya. 'Pemaksaan kehendak^tersebut memiCiki tujuan agar ketertiban dan keamanan hidup bersama dalam organisasi kekuasaan dapat terwujud. Namun demikian otiritas untuk^ memaksakan kehendak^ tanpa dilandasi dengan perangkat aturan akan mengakibatkan Negara melakukan tindakan yang sewenang-wenang dan menindas. <Disinuah arti pentingnya keberadaan Hukum Tata Negara

A. Batasan Pengertian.
1. Pengertian Hukum.
Di dunia Ilmu Hukum terdapat dua kelompok besar yang memahami pengertian mengenai hakikat hukum, yaitu mereka yang memahami pengertian hukum dari sudut pandang sosiologis, dan yang memahami hakikat hukum dari sudut pandang normatif yuridis. Dari sudut pandang sosiologis, hukum dipahami sebagai salah satu dari sekian banyak nilai yang terdapat di dalam pergaulan hidup masyarakat. Ini berarti hukum dipandang sebagai salah satu gejala sosial kemasyarakatan. Oleh sebab itu konsep-konsep teori hukum (bahkan penemuan hukum) diperoleh dari realitas sosial di dalam masyarakat. Sedangkan yang memahami hukum dari sudut pandang normatif yuridis, menekankan pandangannya pada hukum sebagai seperangkat peraturan-peraturan tertulis yang logis dan konsisten.1 Dalam pemahaman pengertian sosiologis tersebut, hukum tidak mungkin dilepaskan dari lain-lain sektor kehidupan masyarakat. Dalam hubungan ini dikenal adanya 4 (empat) proses yang bekerja dalam masyarakat, yaitu: a. Proses adaptasi, meliputi ekonomi, penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. Proses penetapan tujuan/pengambilan keputusan (goal pursuance) yang meliputi sistem politik; c. Proses mempertahankan pola masyarakat yang meliputi sosialisasi; dan d. Proses integrasi yang dilakukan oleh hukum.2 Terkait dengan 4 (empat) proses yang bekerja di dalam masyarakat itu, maka hukum bekerja sebagai mekanisme pengintegrasian dengan memperoleh input dari ketiga subsistem yang lain tersebut. Dalam rangka pengintegrasian itulah hukum memegang peranan untuk melakukan stabilisasi, sinkronisasi dan harmonisasi bekerjanya sistemsistem yang ada di dalam masyarakat tersebut.

Berdasarkan kerangka teoritis tersebut, maka jika ditinjau dari sudut pandang sosiologis, maka pengertian hukum adalah kumpulan nilai-nilai ataupun norma-norma kemasyarakat sebagai hasil dari proses integrasi dari sektorsektor (sub-sub sistem) yang terdapat di dalam pergaulan hidup manusia dalam masyarakat. Dalam kerangka teori hukum, pemahaman hukum jika ditinjau dari sudut pandang sosiologis sebenarnya mulai dikenal pada waktu Von Savignij mengemukakan teori hukum historis. Fokus pemahaman mengenai hakikat hukum menurut teori ini ada pada perkembangan dan pertumbuhan suatu masyarakat. Hukum dianggap merupakan produk dari 1 Satjipto Rahardjo, 1977, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, him. 19, dst. 2 Talcott Parsons, dalam Ibid, him. 146. kebudayaan masyarakat dan berkembang sejalan dengan peradaban serta kebudayaan masyarakat itu sendiri. Inti dari teori hukum historis sebagaimana dikemukakan oleh Von Savigny, antara lain adalah : a. Titik tolak pandangannya teori hukum historis menganggap bahwa setiap bangsa mempunyai volkgeist (jiwa rakyat) yang berbeda, baik menurut waktu maupun tempat. Pencerminan dari volkgeist ini nampak pada kebudayaan masing-masing bangsa. Oleh sebab itu hukum haruslah bersumber dari volkgeist tersebut. b. Hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang dari suatu masyarakat sederhana yang tercermin pada setiap tingkah laku individu-individu kepada masyarakat kompleks, dimana kesadaran hukum nampak pada ucapan-ucapan para ahli hukumnya.3 Pengaruh konsep teori yang dikemukakan oleh Von Savigny tersebut, diikuti oleh para ahli hukum jauh di luar Jerman. Bahkan sampai di Indonesia yang dibawa oleh para ahli hukum Belanda, seperti Van Vollenhoven, Ter Haar serta tokoh hukum adat lainnya, seperti Soepomo dan Imam Sudiyat. Kendatipun teori hukum seperti ini mempunyai pengaruh yang sangat luas, akan tetapi teori ini tetap mengandung kelemahan yang sangat mendasar. Kelemahan yang paling kelihatan di permukaan adalah tidak diberikannya tempat bagi ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat tertulis (Peraturan Perundangundangan) dalam sistem hukum secara keseluruhan. Oleh sebab itu, sumbangan teori ini bagi teori perundangundangan tidak begitu besar, bahkan dapat dikatakan 3 Satjipto Rahardjo, dalam Lili Rasyidi, 1991, Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu?, Remaja Rosdakarya, Bandung, him. 47-49. 4 B. Hestu Cipto Handoyo, 2008, Prinsip-prinsip Legal

tidak ada sama sekali. Hal ini mengingat hukum hanya dipandang sebagai gejala sosial yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan kebudayaan masyarakat.4

Dari pemahaman normatif yuridis, hukum dipandang sebagai sarana pengendali sosial yang mengarahkan kepada tercapainya suatu tertib atau pola kehidupan yang telah ada. Dalam pengertian seperti ini fungsi hukum hanya dianggap hanya sekedar menjaga agar setiap orang menjalankan peranannya sebagaimana yang telah ditentukan, atau sebagaimana yang diharapkan dari padanya.5 Dari pengertian yang demikian inilah, maka hukum dianggap sebagai sarana untuk mempertahankan status quo dan tidak tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Oleh karena menurut pemahaman hukum dari sudut pandang normatif yuridis yang demikian itulah, maka hukum dianggap hanya berfungsi mempertahankan pola kehidupan yang sudah ada. Oleh sebab itu tidaklah berlebihan jikalau hukum hanya dipandang sebagai sekumpulan peraturanperaturan yang tertulis dan bersifat logis, konsisten dan tertutup serta berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia dalam ikatan pergaulan masyarakat. Hukum merupakan kristalisasi norma-norma yang terdapat di dalam masyarakat yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diakui kebenarannya, sehingga menjadi pedoman yang mengikat dalam melaksanakan pergaulan hidup bersama. Munculnya dua pemahaman mengenai hakikat hukum tersebut disebabkan oleh adanya dua madzhab besar di bidang filsafat hukum yang masing-masing melahirkan teori hukum yang relatif berbeda. Dua madzhab besar di bidang hukum tersebut adalah madzhab hukum historis yang dalam perkembangannya melahirkan teori sosiologi hukum dan madzhab positivisme hukum yang melahirkan teori hukum murni. Hukum Ditinjau dari Perspektif Sosiologis-Empiris. Von Savignij sebagai pengagas madzhab hukum historis menegaskan inti ajarannya bahwa das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke (hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat). Pandangan seperti ini bertitik tolak dari pandangan bahwa di dunia ini terdapat banyak bangsa, dan tiap-tiap bangsa tadi memiliki suatu volksgeist (jiwa rakyat/bangsa). Jiwa rakyat/bangsa [volksgeist) ini berbeda-beda, baik menurut waktu maupun tempat. Percerminannya nampak pada kebudayaannya masing-masing yang berbeda-beda. Hukum bersumber dari jiwa rakyat/bangsa ini, oleh karena itu hukum itu akan berbeda-beda pada setiap waktu dan tempat.6 Lebih lanjut Savignij berpendapat: "Apa yang menjadi isi hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa. Hukum berkembang dari suatu masyarakat sederhana yang tercermin pada setiap tingkah laku individu-individu kepada masyarakat yang kompleks, dimana kesadaran hukum rakyat nampak dari ucapan-ucapan para ahli hukumnya".7

Berkaitan dengan pandangan seperti ini Soerjono Soekanto mengemukakan argumentasi sebagai berikut: "Saran dari Von Savignij seperti ini tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Oleh sebab itu bagi ahli sosiologi, penelitian tentang hubungan antara hukum dengan struktur masyarakat beserta sistem nilainya sangatlah penting. Dengan demikian pendapat ini nampak menjadi pegangan banyak ahli sosiologi yang melihat bahwa sistem hukum sesungguhnya tidak terlepas dari sistem sosial yang lebih luas, dan antara sistem hukum tadi dengan aspek-aspek sistem sosial lainnya terdapat hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi".8 Berdasarkan dua pendapat tersebut, maka menurut aliran sosiologis, pemahaman hukum akan selalu dikaitkan dengan struktur masyarakat dan sistem nilai yang ada di dalamnya. Hal ini berarti hukum tidak dapat dilepaskan dari konteks gejala sosial kemasyarakatan. Oleh sebab itulah konsep-konsep hukum maupun teori hukum akan selalu diketemukan di dalam Hukum Ditinjau Dari Perspekstif Normatif Yuridis. Madzhab positivisme hukum merupakan akar dari pemahaman hukum dari perspektif normatif yuridis. Madzhab ini melahirkan teori hukum murni yang pada hakikatnya menolak pandangan dari madzhab hukum historis Von Savignij. Dari perspektif ini hukum dipandang sebagai perintah penguasa yang dituangkan dalam Undang-Undang (perundang-undangan). Artinya hukum tidak lain adalah suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Oleh sebab itu menurut pandangan ini tidak ada hukum di luar UndangUndang (perundang-undangan). Hukum harus bersifat logis (dapat ditangkap oleh akal budi manusia), konsisten (selalu tetap dan tegas), dan tertutup (tidak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan yang tidak yuridis). Dalam pemahaman ini, hukum harus dilepaskan dari anasir-anasir yang tidak yuridis, seperti sejarah, ekonomi, politik, budaya dan anasir lain yang tidak yuridis.11 Pandangan yang demikian inilah yang sering memunculkan argumentasi bahwa hukum, undang-undang maupun perundang-undangan adalah sama. Bahkan tidak jarang, jika terjadi suatu peristiwa hukum yang tidak ada parangkat peraturan secara tertulis (UndangUndang/Perundang-undangan) orang langsung menganggap telah terjadi suatu rechtsvacuum (kekosongan hukum). Dari argumentasi yang seperti inilah, maka pengertian hukum dapat dirumuskan sebagai seperangkat paraturan yang sengaja dibentuk oleh penguasa dan tersusun secara tertulis yang dipergunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat dan berlaku serta bersifat mengikat umum yang apabila dilanggar akan dikenai sanksi yang tegas. Dalam kaitan dengan pengertian tersebut di atas, John Austin menegaskan adanya 4 (empat) unsur penting untuk dapat dinamakan hukum, yaitu perintah, sanksi, kewajiban,

dan kedaulatan. Ketentuan-ketentuan yang tidak mengandung keempat unsur ini bukanlah merupakan hukum positif, melainkan hanya sebagai moral positif. Lebih lanjut dikemukakan bahwa keempat unsur tersebut memiliki keterkaitan yang dapat dijelaskan sebagai berikut: "Unsur perintah berarti bahwa satu pihak menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya, pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan jika perintah itu tidak dijalankan atau ditaati. Perintah itu merupakan pembedaan kewajiban terhadap yang diperintah, dan yang terakhir ini hanya dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah pihak yang berdaulat. Dan yang memiliki kedaulatan itu dapat berupa seseorang atau sekelompok orang (a souvereign person, or a souvereign body of person)".12 Dari pandangan positivisme hukum ini, maka kita bisa membedakan hukum ditinjau dari perspektif sosiologis empiris dan dari perspektif normatif yuridis. Berdasarkan perspektif sosiologis empiris, hukum itu tidak dibuat, karena tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Sanksi yang dimunculkan bukan berdasarkan pada pemegang kedaulatan, melainkan muncul dengan sendirinya, karena sanksi itu justru berasal dari masyarakat itu sendiri. Sanksi yang dimaksud disini - menurut kacamata positivisme hukum -hanyalah dalam dataran moral positif. Sedangkan dari sudut pandang normatif yuridis, hukum itu selalu dibuat, dan yang membuat hukum itu adalah penguasa yang memiliki kedaulatan. Pembuatan hukum itu harus melalui rumusan yang konkrit, yakni tertulis, dan jikalau ada yang tidak menjalankan atau mentaati, maka akan dikenai sanksi oleh pembuat hukum, yakni seseorang atau sekelompok orang yang dianggap berdaulat tersebut. Sanksi yang dimaksud disini tidak lain adalah berupa penderitaan. 2. Pengertian Negara. Untuk mengkaji berbagai hal yang berkaitan dengan Hukum Tata Negara, maka kita perlu memahami terlebih dahulu pengertian dan hakikat negara itu sendiri. Hal ini penting, karena Hukum Tata Negara pada intinya mengatur perihal kehidupan organisasi yang disebut negara. Menurut LJ. Van Apeldorn pengertian negara menunjuk pada berbagai gejala yang sebagian termasuk pada kenyataan, dan sebagian lagi menunjukkan gejala-gejala hukum.13 Lebih lanjut dikemukakan bahwa negara mempunyai berbagai arti, yaitu: a. Perkataaan negara dipakai dalam arti penguasa, jadi untuk menyatakan orang atau orang-orang yang memiliki kekuasaan tertinggi atas persekutuan rakyat yang bertempat tinggal dalam suatu daerah;

b. Perkataan negara juga dapat diartikan sebagai suatu persekutuan rakyat, yakni: untuk menyatakan suatu bangsa yang hidup dalam suatu daerah, di bawah kekuasaan tertinggi, menurut kaidah-kaidah hukum yang sama; c. Negara ialah suatu wilayah tertentu. Dalam hal ini, perkataan negara dipakai untuk menyatakan sesuatu daerah, dimana diam sesuatu bangsa di bawah kekuasaan yang tertinggi; d. Negara diartikan sebagai Kas Negara atau fiskus, yang maksudnya ialah harta yang dipegang oleh penguasa guna kepentingan umum.14 Beberapa arti negara sebagaimana dikemukakan oleh Apeldorn tersebut di atas menunjukkan bahwa unsur utama dan terpenting dari negara adalah kekuasaan dan penguasa. Hal ini berarti pemahaman mengenai negara dan kekuasaan menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan, artinya suatu persekutuan atau organisasi yang ada tanpa ada unsur kekuasaan dan penguasa tentu belum dapat dikategorikan sebagai negara. Lain daripada itu pengertian tersebut di atas mengandung pemahaman mengenai negara baik dalam lingkup sosiologis maupun lingkup hukum. Dengan demikian pemahaman mengenai negara mengandung dua dimensi, yaitu pertama; 13 LJ. Van Apeldorn, 1981, Pengantar Ilmu Hukum, Pradya Paramita, Jakarta, him. 204. negara 14 Ibid. sebagai suatu persekutuan rakyat yang berada di bawah satu kekuasaan menurut kaidah-kaidah hukum yang sama. Kedua; negara ditempatkan dalam persoon-persoon (badan-badan) tertentu yang melakukan kekuasaan tertinggi dalam suatu wilayah (daerah). Berpijak dari pengertian ini, maka pelajaran Hukum Tata Negara tentunya berkisar pada dimensi pengertian tersebut, negara ditnjau dari aspek Hukum sekaligus juga ditinjau dari aspek sosial (politik). Oleh Apeldorn dikemukakan bahwa salah satu pengertian negara adalah suatu wilayah atau daerah tertentu yang didiami oleh suatu bangsa. Pengertian negara yang demikian ini sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan abad modern seperti sekarang ini. Kenyataan menunjukkan bahwa di dalam suatu negara tidak hanya terdiri dari satu bangsa saja, melainkan juga dijumpai adanya negara yang di dalamnya terdiri dari berbagai bangsa (multi bangsa). Pendapat Apeldorn tersebut dapat diterima sepanjang pengertian bangsa yang dimaksud disini dalam lingkup nasionaliteit (kewarganegaraan). Sehubungan dengan hal ini Keniche Ohmae mengemukakan bahwa, kita sekarang hidup dalam dunia tanpa batas, di mana negara bangsa telah menjadi sebuah "rekaan" dan dimana para politikus telah kehilangan semua kekuatan efektif mereka.15

Ketidaksesuaian pendapat yang dikemukakan oleh Apeldorn dengan kenyataan yang berkembang dewasa ini, telah disempurnakan oleh Bierens de Hans yang mengemukakan bahwa negara adalah lembaga manusia; manusialah yang membentuk negara. Manusia yang membentuk negara itu, merupakan mahluk perorangan (endelwezen) dan merupakan juga mahluk sosial (gemeenschapswezen). Masyarakat dalam dirinya secara alami mengandung keinginan untuk berorganisasi yang timbul 15 Anthony Giddens, 1999, The Third Way Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, him. 33. karena

dorongan dari dalam. Negara adalah bentuk berorganisasinya suatu masyarakat, yaitu masyarakat bangsa. Meskipun masyarakat bangsa terbagi dalam kelompok-kelompok, negara membentuk kesatuan yang bulat dan mewakili sebuah cita (een idee vertegemuoordigt). Dalam kaitan dengan pengertian negara, Miriam Budiarjo mengemukakan bahwa negara adalah organisasi kekuasaan atau integrasi dari kekuasaan politik, ia adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat.17 Pengertian tersebut lebih menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara manusia sebagai individu dan mahluk sosial di satu pihak dengan gejala-gejala kekuasaan yang ada di dalam masyarakat di pihak yang lain. Pendek kata, menurut Miriam Budiardjo, negara adalah organisasi kekuasaan politik. Dengan demikian, pandangan ini belum melihat negara dari perspektif hukum. Di dalam setiap pergaulan hidup masyarakat, akan selalu dijumpai adanya fenomena kekuasaan. Pendek kata, kekuasaan merupakan hal yang wajar di dalam setiap kehidupan masyarakat dan interaksi sosial yang ada. Oleh sebab itulah keberadaan negara dapat dipergunakan sebagai sarana (alat) bagi pengaturan kekuasaan-kekuasaan dalam masyarakat tersebut agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Artinya kekuasaan-kekuasaan tersebut dapat dipergunakan selaras dengan norma-norma atau kaidahkaidah hidup bersama, dan kekuasaan tersebut dapat dijalankan dengan tertib. Konsep pengertian negara sebagaimana dikemukakan oleh Miriam Budiardjo tersebut nampaknya lebih mendekati kenyataan,
16 Bierens de Hans, dalam Hamid S. Attamimi, 1990, (Disertasi), Peranan Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu PELITA I - PELITA TV), Pascasarjana UI, Jakarta, him. 53-54. 17 Miriam Budiardjo, 1986, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, him. 38.

khususnya jika diletakkan dalam konteks terbentuknya suau organisasi kemasyarakatan yang disebut negara. Hal ini mengingat terjadinya atau terbentuknya negara di dasarkan oleh adanya penggabungan (baca: integrasi) dari kekuasaankekuasaan politik yang terdapat di dalam masyarakat. Penggabungan ini mempunyai tujuan untuk menertibkan kekuasaan dalam masyarakat itu sendiri. Berdasarkan pemahaman yang demikian itu, pengertian negara sudah mulai dihubungkan dengan perangkat peraturan (rule of the game). Oleh sebab itu keberadaan hukum di dalam pembentukan suatu negara menjadi bagian yang tidak terpisahkan antara satu dengan yang lain. Dengan adanya gejala perangkat peraturan hukum inilah, tindakan penertiban terhadap gejala-gejala kekuasaan (politik) di dalam masyarakat dapat dilakukan. Lain daripada itu membicarakan suatu

organisasi yang disebut negara, maka akan dijumpai adanya unsur yang tidak dapat dipisahkan, yaitu kekuasaan. Pertanyaannya adalah apa hakikat dari sumber kekuasaan itu? Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, Mochtar Kusumaatmaja mengemukakan bahwa kekuasaan sering bersumber pada kekuatan fisik (force), akan tetapi hal ini tidak menjadi satu-satunya ukuran untuk menentukan ada tidaknya kekuasaan. Di samping itu kekuasaan dapat juga bersumber pada wewenang formal (formal authority). Berdasarkan pada pemahaman ini, maka kekuasaan adalah fenomena yang beraneka ragam bentuknya (polyform) dan banyak macam sumbernya. Hanya hakikat kekuasaan dalam berbagai bentuk itu tetap sama, yaitu kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain.18 Bila hakikat kekuasaan itu kita hubungkan dengan pengertian negara, maka yang dimaksud disini adalah kemampuan yang dimiliki oleh unsur-unsur masyarakat untuk memaksakan kehendak atas terbentuknya suatu organisasi 18 Mochtar Kusumaatmaja, Tanpa tahun, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Jakarta, him. 4-6. yang disebut negara. Hal

ini berarti masyarakatlah yang mempunyai kekuasaan (dalam arti kekuatan) untuk melaksanakan kehendak-kehendaknya, khususnya dalam membentuk suatu organisasi yang disebut negara. Pandangan semacam ini dalam perkembangan ilmu negara sering diletakkan dalam konsepsi teori kedaulatan rakyat. Johan Galtung memberikan argumentasi mengenai sifat kekuasaan dengan dua dimensi yang nampak dipermukaan, yaitu dimensi yang mempesona sekaligus dimensi yang menakutkan. Kekuasaan mempunyai sifat dalam konteks dimensi yang mempesona karena dengan kekuasaan itu orang atau kelompok orang akan memperoleh berbagai fasilitas baik materiil maupun moril, dan sekaligus dengan kekuasaan yang dimiliki tersebut akan dapat mengendalikan chaos (kesemrawutan) di dalam masyarakat. Sedangkan dimensi sifat yang menakutkan karena kekuasaan itu cenderung untuk disalahgunakan, menindas, manipulatif yang pada akhirnya sering menyengsarakan masyarakat baik secara individual maupun struktural.19 Di samping unsur kekuasaan menjadi sendi pokok dalam organsasi yang disebut negara, maka ada sendi lain yang tidak dapat dilupakan begitu saja. Sendi yang dimaksud disini adalah menyangkut ada tidaknya proses penyatuan masyarakat-masyarakat (integrasi) dalam rangka membentuk organisasi yang disebut negara. Sehubungan dengan hal ini CR Birch mengemukakan bahwa secara teoritik integrasi masyarakat tersebut dapat dibedakan dan sekaligus melalui dua tahapan sebagai berikut:

a. Integrasi Nasional; adalah proses menyatunya kelompokkelompok masyarakat dalam bidang politik-historis, sosiokultural, interaksi (transportasi-komunikasi) dan ekonomis, sehingga menjadi kelompok yang lebih besar dari kelompok daerah (regional), tetapi bukan kelompok internasional yang mempunyai identitas berbeda dari kelompok lain sesamanya. Integrasi nasional seperti ini disebut Bangsa.

b Integrasi negara; adalah proses munculnya kelompok penguasa yang menguasai wilayah bangsa itu secara bertahap. Pertama, menundukkan saingan-saingannya; kedua, menentukan batas-batas kekuasaannya; ketiga, menciptakan polisi dan pengadilan untuk menciptakan ketertiban, dan keempat, tahap penetrasi administrasi, yaitu pembentukan birokrasi untuk melaksanakan UndangUndang dan pengumpulan pajak.20 Argumentasi CF. Birch tersebut di atas menunjukkan sekali lagi bahwa yang dimaksud negara tidak lain adalah organisasi kemasyarakatan yang dibentuk melalui dua tahapan proses, vakni integrasi nasional dan integrasi negara. Dalam tahapan proses integrasi negara itulah unsur kekuasaan mulai memainkan peranan penting, khususnya dalam hal melakukan pengaturan hidup bersama. Sementara itu dalam proses integrasi nasional yang membentuk bangsa, unsur kekuasaan bukan menjadi satu-satunya pilar untuk mengikat kelompokkelompok masyarakat melainkan lebih pada unsur politikhistoris, sosio-kultural dan interaksi antar kelompok yang menjadi pilar utamanya. Masih berkaitan dengan pengertian negara, Max Weber mengemukakan bahwa negara adalah satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan kepada warganya. Hal ini menunjukkan bahwa kalau kita berbicara mengenai negara salah satu aspek yang paling menonjol adalah kekuasaan yang besar.21 Argumentasi seperti ini menunjukkan bahwa unsur utama dan pertama dari suatu organisasi yang disebut negara tidak lain adalah kekuasaan (dalam arti keabsahan untuk melakukan kekerasan). Oleh sebab itulah tidak berlebihan jikalau negara bisa juga disebut sebagai organisasi kekuasaan. Sebagai suatu organisasi kekuasaan, maka di dalam negara tentunya tidak hanya terdiri dari satu kekuasaan tunggal saja, melainkan tentunya terdapat berbagai jenis kekuasaan. 20 PJ. Suwarno, 1994, Hamengku Buwono IX Dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974 Sebuah Tinjauan Historis, Kanisius, Yogyakarta, him. 37. 21 Arief Budiman, 1996, Teori Negara (Negara, Kekuasaan Dan Ideologi), Gramedia, Jakarta, him. 6. Organisasi kekuasaan sama artinya dengan adanya berbagai kekuasaan yang melakukan penggabungan membentuk suatu persekutuan (organisasi). Argumentasi seperti ini dilandasi oleh anggapan bahwa yang disebut organisasi - entah apapun bentuk dan tujuannya -di dalamnya akan selalu menyangkut berbagai unsur yang saling berhubungan antara satu dengan lain guna mewujudkan suatu tujuan yang sama. Untuk mencapai tujuan tersebut maka unsur-unsur yang ada di dalamnya saling melakukan kerja sama dan pembagian tugas. Negara sebagai organisasi kekuasaan tentunya juga mempergunakan dasar pemahaman yang demikian. Oleh sebab itu sebagai suatu kumpulan kekuasaan yang terintegrasi di dalam suatu organisasi, maka diperlukan perangkat penataan agar ketika kekuasaan-kekuasaan tersebut dilaksanakan justru

tidak menimbulkan dimensi sifat yang menakutkan, sebagaimana dikemukakan oleh Johan galtung di atas. Lain daripada itu perangkat pengaturan tersebut juga sangat diperlukan, mengingat sifat kodrati dari kekuasaan itu cenderung disalahgunakan, seperti yang pernah dikemukakan oleh Lord Acton. Perangkat pengaturan yang dimaksud antar lain menyangkut pembentukannya, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab yang dimiliki oleh masing-masing kekuasaan serta hubungan antara komponen kekuasaan yang satu dengan lainnya maupun hubungan kekuasaan-kekuasaan itu dengan masyarakat yang dikuasai. Terkait dengan hal ini prinsip yang terpenting adalah bagaimanakah kekuasaan-kekuasaan tersebut dibatasi. Komponen pengaturan inilah yang akan menjadi pokok kajian Hukum Tata Negara.

B. Pengertian Negara Hukum.


Munculnya pemikiran tentang negara hukum sebenarnya dimulai sejak abad XIX sampai dengan abad XX. Arti negara hukum itu sendiri pada hakikatnya berakar dari konsep teori kedaulatan hukum yang pada prinsipnya menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara adalah hukum, oleh sebab itu seluruh alat perlengkapan negara apapun namanya termasuk warga negara harus tunduk dan patuh serta menjunjung tinggi hukum tanpa kecuali. Krabe mengemukakan: "Negara sebagai pencipta dan penegak hukum di dalam segala kegiatannya harus tunduk pada hukum yang berlaku. Dalam arti ini hukum membawahkan negara. Berdasarkan pengertian hukum itu bersumber dari kesadaran hukum rakyat, maka hukum mempunyai wibawa yang tidak berkaitan dengan seseorang (impersonal)" ?2 Berdasarkan konsep teori inilah berkembang konsep negara hukum yang menghendaki adanya unsur-unsur tertentu dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan, yaitu: 1. Jaminan Hak Asasi Manusia (Warganegara). Unsur ini ditempatkan yang pertama kali karena sejatinya negara itu terbentuk karena adanya kontrak sosial. Dari kontrak sosial inilah individu-individu dalam ikatan kehidupan bersama dalam negara menyerahkan hak-hak politik dan sosialnya kepada komunitas negara, maka negara harus memberikan jaminan kepada hak-hak yang melekat di dalam inividuindividu maupun di dalam ikatan kehidupan kemasyarakatan. Hal ini bisa terjadi, karena di dalam kontrak sosial tersebut kedudukan antara negara sebagai suatu ikatan organisasi di satu pihak dengan warga negara secara keseluruhan di pihak lain adalah sejajar. Masingmasing mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Oleh sebab itulah diantara keduanya harus saling memberikan perlindungan, dan karena negara adalah organisasi 22 Usep Ranawijaya, 1983, Hukum Tata Negara DasarDasamya, Ghalia Indonesia, Jakarta, him. 181.

kekuasaan - dimana sifat kodrati kekuasaan itu cenderung disalahgunakan - maka kewajiban untuk melindungi hakhak asasi warga negara menjadi mutlak dan diletakkan dalam tanggung jawab maupun tugas dari negara.

Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan. Untuk memberikan jaminan terhadap perlindungan hak-hak asasi manusia, maka kekuasaan di dalam negara harus dipisah-pisah dan dilaksanakan oleh beberapa organ negara. Sejarah peradaban manusia membuktikan bahwa ketika kekuasaan itu dilaksanakan secara absolut oleh satu tangan dan dilaksanakan secara otoriter karena tidak dilandasi aturan main, maka terjadilah penindasan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan. Oleh sebab itulah, antara kekuasaan menjalankan pemerintahan (eksekutif), kekuasaan membentuk perundang-undangan (legislatif), dan kekuasaan untuk melaksanakan peradilan (yudikatif) harus dipisahkan. Implementasi dari prinsip pemisahan kekuasaan ini dapat beraneka ragam. Ada yang berdimensi pembagian kekuasaan, yakni pemisahan dari aspek kelembagaan sedangkan mengenai fungsi dan tugasnya masih tetap bisa saling berhubungan. Ada juga yang berdimensi pemisahan secara tegas baik secara kelembagaan maupun fungsi dari masing-masing pemegang kekuasaan tersebut. Terlepas dari implementasi tersebut, pada hakikatnya unsur adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan yang ada di dalam organisasi kekuasaan yang disebut negara tetap bertujuan agar kekuasan-kekuasaan itu tidak disalahgunakan yang pada akhirnya justru menindas harkat dan martabat kemanusiaan dari warga negara. Asas Legalitas Pemerintahan. Maksud dari asas ini adalah pemerintah dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya harus berdasarkan pada hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hukum harus menjadi landasan bagi negara dalam menjalankan pemerintahan. Prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak. Prinsip seperti ini bagi negara hukum sangatlah penting. Supremasi hukum yang diletakkan dalam kehidupan ketatanegaraan harus benar-benar terjamin pelaksanaannya. Peradilan yang bebas dan tidak memihak tidak semata-mata diletakkan dalam konteks kebebasan lembaga peradilan, yakni melalui prinsip

Pendahuluan 19 independensi hakim, melainkan harus diletakkan dalam konteks proses peradilan dalam rangka penegakan hukum (law enforcement). Dengan demikian dalam mekanisme proses peradilan yang harus bebas dan tidak memihak menyangkut organ-organ penegak hukum, seperti hakim, Jaksa, Kepolisian maupun para pengacara (advokat). Unsur-unsur yang terdapat di dalam konsep negara hukum yang demikian ini, menjadikan negara berperan sebagai pencipta hukum sekaligus penegak hukum dalam rangka menjaga keamanan dan ketertiban hidup bersama dalam ikatan organisasi kekuasaan yang disebut negara. Kendati negara adalah pencipta hukum, namun negara harus tetap tunduk pada hukum ciptaannya. Argumentasi inilah yang mengakibatkan negara hanya berfungsi layaknya sebagai penjaga malam. Artinya negara berfungsi menciptakan hukum, dan melalui hukum ciptaannya itulah diharapkan dapat tercipta keamanan dan ketertiban di dalam negara. Negara hanya dikonstruksikan sebagai alat untuk menjunjung tinggi keamanan dan ketertiban hidup bersama. Konsepsi seperti ini kemudian lazim disebut Negara Hukum Formal. Seturut dengan perkembangan pemikiran mengenai negara dan hukum, unsur-unsur yang terdapat di dalam konsep negara hukum formal tersebut di atas juga mengalami perkembangan. Pendek kata, dalam perkembangan pemikiran negara dan hukum, tugas dan fungsi negara tidak hanya terbatas pada konstruksi tugas dan fungsi ketiga kekuasaan yang ada (legislatif, eksekutif dan yudikatif) serta menjaga keamanan dan ketertiban. Hal ini mengingat semakin beragamnya kehidupan masyarakat (warga negara) dengan berbagai macam dimensi yang ada di dalamnya. Pola-pola kehidupan dan kegiatan dari warga negara makin lama sukar untuk dipisahkan dengan pola dan kegiatan yang dilakukan oleh negara (pemerintah). Di lingkungan warga negara muncul organisasi-organisasi yang manifestasinya juga mengarah kepada kekuasaan, seperti partai politik, golongan fungsional, dan lain sebagainya. diletakkan dalam tataran ide, konsep, dan gagasan yang masih bersifat teoritis dengan pendekatan filsafati. Sedangkan Hukum Tata Negara obyek kajiannya adalah negara dalam pengertian yang konkrit. Pengertian konkrit disini adalah mengkaji Hukum Tata Negara Positif, yakni Hukum Tata Negara yang berlaku saat ini dan di suatu tempat, dalam hal ini adalah Indonesia. Telah kita ketahui bersama bahwa hakikat negara tidak lain adalah organisasi kekuasaan. Sebagai suatu organisasi tentunya susunan negara terdiri dari bagian-bagian yang mempunyai ikatan dengan keseluruhan dan saling melakukan kerjasama untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam rangka melakukan kerjasama tersebut maka suatu organisasi juga harus ada mekanisme pembagian tugas, fungsi dan wewenang

diantara bagian-bagian tersebut. Bagian-bagian yang dimaksud di dalam organisasi kekuasaan tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah cerminan dari aspek-aspek kekuasaan itu sendiri. Dalam lingkup pengetahuan Hukum Tata Negara aspek-aspek dari pelaksana kekuasaan seperti ini sering disebut sebagai alatalat perlengkapan negara. Untuk mencapai tujuan tertentu alat-alat perlengkapan negara tersebut masing-masing mempunyai wewenang, tugas, kewajiban dan tanggungjawab. Akan tetapi dalam melaksanakan hal ini, alat-alat perlengkapan negara tersebut tidak dapat melepaskan diri dari ikatan antara satu dengan yang lain sebagai satu kesatuan organisasi. Berdasarkan pemahaman ini, maka pokok kajian Hukum Tata Negara akan berkisar pada: 1. Bentuk dan cara pembentukan atau penyusunan alat-alat perlengkapan negara. Dalam hal ini juga menyangkut bentuk organisasi negara yang dikehendaki; 2. Wewenang, fungsi, tugas, kewajiban dan tanggungjawab dari masing-masing alat perlengkapan negara; 3. Hubungan antara alat perlengkapan negara baik yang bersifat vertikal maupun horizontal; 4. Hubungan antara warga negara termasuk hak-hak asasi dari warga negara sebagai anggota organisasi. Keempat bidang kajian tersebut pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, sebab baik bentuk, hubungan antar alat perlengkapan negara secara vertikal maupun horizontal (termasuk wewenang, fungsi, tugas, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing), serta hubungan antara warga negara dengan negara (termasuk hakhak asasi manusia/ warga-negara) pada akhirnya akan melahirkan suatu sistem tertentu yang akan dipergunakan dalam menggerakkan mekanisme kehidupan organisasi dari negara yang bersangkutan. Hubungan Antar Alat Perlengkapan Negara. 1. Hubungan Horizontal. Yang dimaksud hubungan horizontal adalah hubungan antar alat perlengkapan negara di tingkat pusat sebagai akibat adanya prinsip trias politika yang menghendaki adanya pemisahan/ pembagian kekuasaan terhadap cabang-cabang kekuasaan di dalam negara. Dengan demikian dimensi dari hubungan ini tidak lain adalah hubungan antara pemegang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun demikian dalam tataran implementasi teori ketatanegaraan yang bersumber pada prinsip negara hukum, hubungan yang dimaksud disini tidak lain hanyalah hubungan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif. Hanya menyangkut hubungan antara pemegang kekuasaan legislatif dan eksekutif, karena sebagaimana telah dikemukakan terdahulu dalam memahami negara hukum, kekuasaan yudikatif (peradilan) diletakkan sebagai kekuasaan yang bebas dan tidak memihak.

Berdasarkan pemahaman mengenai hubungan antara kedua alat perlengkapan negara ini, maka dapat diketahui sistem pemerintahan yang dipergunakan di tingkat pusat. Apakah itu sistem pemerintahan parlementer, presidensiil, campuran ataukah sistem pemerintahan dengan mempergunakan mekanisme Badan Pekerja (Swiss). 2. Hubungan Verikal. Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa salah satu unsur terpenting dari negara menurut Konvensi Montevideo adalah memiliki suatu wilayah tertentu. Dengan adanya unsur ini, maka hubungan yang bersifat vertikal dalam kajian Hukum Tata Negara adalah mengenai kedudukan wilayah-wilayah di dalam negara tersebut. Apakah juga berkedudukan layaknya sebagai suatu negara, ataukah masih dalam satu ikatan negara. Titik tolak pembahasan yang menyangkut hubungan vertikal ini pada hakikatnya berkisar pada persoalan pemencaran kekuasaan dari Pemerintah Pusat (Negara) sampai ke tingkat pemerintahan yang paling rendah. Dengan demikian pembahasan yang dimaksud menyangkut: 1. Bentuk negara ditinjau dari susunannya, yakni negara serikat, konfederasi, dan kesatuan (dengan asas desentralisasi ataukah sentralisasi); dan 2. Sistem Pemerintahan Daerah. 3. Hubungan Negara dengan Warga Negara dan Hak-hak Asasi Manusia. Berdasarkan teori terbentuknya suatu negara, maka warga negara merupakan salah satu unsur terpenting yang harus dipenuhi. Hal ini disebabkan pada hakikatnya tidak ada satupun negara yang tersusun atau lahir secara tiba-tiba tanpa melalui proses yang melibatkan orang-orang yang ada di dalamnya untuk menggabungkan diri ke dalam ikatan organisasi yang disebut negara. Orang-orang yang menggabungkan diri dalam ikatan organisasi kekuasaan yang disebut negara inilah yang kemudian disebut sebagai Warga Negara. Oleh sebab itulah keberadaan warga negara perlu mendapat perhatian dalam melaksanakan pengkajian mengenai obyek Hukum Tata Negara. Pengkajian yang dimaksud meliputi asas-asas dan persyaratan bagi kewarganegaraan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara.

D. Definisi Hukum Tata Negara dan Peristilahan.


Setelah kita membahas pengertian mengenai Hukum dan negara dengan berbagai seluk beluknya serta obyek kajian Hukum Tata Negara, maka secara umum dapat ditarik pemahaman bahwa definisi Hukum Tata Negara adalah: sekumpulan peraturan baik tertulis (berwujud peraturan perundang-undangan) maupun tidak tertulis (kebiasaan/konvensi) yang mengatur organisasi kekuasaan yang disebut negara. Pengaturan tersebut meliputi: 1. Bentuk Negara yang dikehendaki; 2. Tata cara pembentukan alat-alat pemegang kekuasaan (alat-alat perlengkapan negara); 3. Wewenang, tugas, fungsi, kewajiban, dan tanggungjawab masing-masing alat perlengkapan negara; 4. Hubungan antar alat perlengkapan negara (baik secara vertikal maupun horizontal); serta 5. Hubungan antara organisasi kekuasaan (negara dengan warga negara berikut hak-hak asasi manusia). Dengan demikian secara umum, Hukum Tata Negara tidak lain adalah hukum yang mengatur organisasi kekuasaan yang disebut negara beserta seluk-beluk yang ada di dalamnya. Dalam kaitan dengan hal ini di lingkungan Ilmu Hukum Ketatanegaraan, dikenal berbagai macam istilah yang memilki arti yang berbeda-beda, yakni: 1. Constitutional Law. Istilah ini dipergunakan di Inggris yang pada intinya berdasarkan pada alasan bahwa Hukum Tata Negara lebih menitik beratkan kepada unsur-unsur yang terdapat di dalam konstitusi. Dengan kata lain pokok kajian yang akan dilakukan adalah mengenai hukum konstitusinya. 2. State Law. Istilah ini merupakan variasi dari istilah Constitutional Law, dan di dasarkan pada pertimbangan bahwa Hukum Negaralah yang lebih dipentingkan; 3. Droit Constitutionel yang dilawankan dengan Droit Administrative. Peristilahan ini dipergunakan di Perancis dan bertujuan

untuk membedakan antara Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara. Istilah ini pararel dengan yang dipergunakan di Jerman, yakni Verfassungrecht dan Vervaltungrecht.24 Bagi khasanah Hukum di Indonesia yang tradisinya tidak banyak berbeda dengan tradisi hukum Belanda, tidaklah mengherankan jikalau sebagian besar pendapat para ahli Hukum Tata Negara terdapat garis hubungan dengan pendapat para ahli Hukum Tata Negara Belanda. Penggunaan istilah Hukum Tata Negara pun pada intinya merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda, yakni Staatsrecht. Dalam kamus hukum diketemukan bahwa pengertian Staatsrecht sama dengan Hukum Tata Negara atau Hukum Negara, yakni keseluruhan dari norma-norma hukum yang mengatur bagaimana negara itu harus diselenggarakan, perundang-undangan, peradilan dan penentuan kekuasaan masing-masing badan serta hubungannya satu dengan yang lain.25 Istilah Staatsrecht menurut kepustakaan Belanda mempunyai 2 (dua) arti, yaitu Staatsrecht in ruimere zin (Hukum Tata Negara dalam arti luas) dan Staatsrecht in engere zin (Hukum Tata Negara dalam arti sempit).26 Selanjutnya Hukum Tata Negara dalam arti luas dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu: 1. Hukum Tata Negara dalam ari sempit, atau hanya disebut Hukum Tata Negara; dan 2. Hukum Tata Usaha Negara (Administrative Recht), yang dalam khasanah ilmu Hukum di Indonesia lebih populer dengan sebutan Hukum Administrasi Negara.27

18

19 20 21

Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Kajian HTN-UI, Jakarta, him. 23. Lihat Pula Kartasapoetra RG, 1987, Sistematika Hukum Tata Negara, Bina Aksara, Jakarta, him. 1. Simorangkir JTC, et.all, 1980, Kamus Hukum, Cet H, Aksara Baru, Jakarta, him. 161. Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, Op,cit, him. 20. Usep Ranawijaya, Op.cit, him. 11.

Pengertian tersebut di atas terasa membingungkan, akan tetapi kalau dicermati lebih mendalam, maka yang dimaksud dengan pengertian Hukum Tata Negara dalam arti luas adalah gabungan antara Hukum Tata Negara (arti sempit) dan Hukum Administrasi Negara. Sedangkan pengertian Hukum Tata Negara sebagaimana judul dalam buku ini tidak lain adalah Hukum Tata Negara dalam arti sempit. Perumusan seperti ini mendasarkan pada prinsip residu yang menyatakan bahwa Hukum Administrasi itu merupakan Hukum Tata Negara dalam arti luas dikurangi Hukum Tata Negara dalam arti sempit.28 Ph. Kleintjes dalam buku yang berjudul Staatinstelling van Ned. Indiee mengatakan bahwa Hukum Tata Negara Belanda terdiri dari kaidah-kaidah hukum mengenai tata (inrichting) Hindia Belanda, yaitu tentang alat-alat perlengkapan kekuasaan negara (de met overheidsgezag bekleede organen) yang harus menjalankan tugas Hindia Belanda, dan tentang susunan (samenstelling), tata (inrichting), wewenang (bevoegdhegen), dan perhubungan kekuasaan (onderlinge machtverhouding) diantara alat-alat perlengkapan itu.29 Van Vollenhoven mengemukakan bahwa, Hukum Tata Negara itu mengatur semua masyarakat hukum tingkat atas dan bawah, yang selanjutnya menentukan wilayah lingkungan, menentukan badan-badan yang berkuasa, berwenang dan berfungsi dalam masyarakat hukum tersebut.30 Sementara itu Van Der Pot mengemukakan bahwa Hukum Tata Negara itu merupakan peraturan-peraturan yang menentukan berbagai badan yang demikian diperlukan, termasuk wewenang, fungsi dalam hubungan antara badanbadan itu dan antara badan-badan itu dengan para individu serta kegiatan-kegiatannya.31 Sedangkan Wade dan Philips mengatakan bahwa, Hukum Tata Negara merupakan

28 Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, Op.cit, him. 32. 29 Ph. Klientjes dalam Usep Ranawijaya, Op,rit, him. 12. 30 Van Vollenhoven, dalam Kartasapoetra, RG, Op.cit, him. 2. yang dimaksud untuk kumpulan peraturan 31 Loc.cit.

pengaturan alat-alat perlengkapan negara termasuk tugastugas dan hubungan antar alat perlengkapan negara tersebut.32 Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Hukum Tata Negara adalah sekumpulan peraturan (baik tertulis maupun tidak tertulis) yang mengatur mekanisme pembentukan tugas, fungsi, dan wewenang dari alat-alat perlengkapan negara serta hubungan antar alat-alat perlengkapan negara tersebut. Kesimpulan ini memang terasa belum lengkap untuk mewakili pemahaman mengenai definisi Hukum Tata Negara. Oleh sebab itu menurut hemat penulis yang dapat dianggap mewakili adalah pengertian yang telah penulis kemukakan di awal pembahasan ini.

E. Hubungan Hukum Tata Negara Dengan Ilmu-ilmu Lainnya.


1. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Negara. Antara Hukum Tata Negara dengan Ilmu Negara merupakan dua bidang kajian ilmu yang memiliki hubungan sangat dekat. Ilmu Negara mempelajari negara dalam pengertian abstrak (tidak terikat waktu maupun tempat), artinya mempelajari negara yang masih dalam tataran ide ataupun gagasan. Dalam Ilmu Negara yang menjadi pokok bahasan adalah prinsip-prinsip atau konsep-konsep, serta teoriteori mengenai negara dan seluk beluk yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, Ilmu Negara merupakan suatu cabang ilmu yang berusaha untuk mengkaji mengenai hakikat negara. Sedangkan Hukum Tata Negara pada prinsipnya mempelajari negara dalam keadaan konkrit, artinya sudah terikat waktu maupun tempat. Disebut demikian karena dasar pijakan yang dipergunakan untuk mempelajari dan mengkaji Hukum Tata Negara adalah hukum positif yang berlaku di dalam suatu negara. Kendatipun demikian diantara Hukum Tata Negara dan Ilmu Negara sebenarnya sama-sama membahas negara dalam keadaan "diam". Maksud dari pernyataan ini adalah: Hukum Tata Negara mempelajari negara ditinjau dari strukturnya atau dapat dikatakan mempelajari "anatomi" negara, sedangkan Ilmu Negara mempelajari negara dari aspek ide dan konsepnya. Dengan demikian, keduanya sama-sama mempelajari negara yang belum melaksanakan fungsi maupun

tugasnya secara nyata, oleh sebab itu kedua ilmu itu dapat dikatakan mempelajari negara dalam keadaan "diam". Berdasarkan masing-masing kajian dari kedua bidang ilmu tersebut, maka hubungan antara Hukum Tata Negara dengan Ilmu Negara dapat diterangkan sebagai berikut. Untuk mempelajari Hukum Tata Negara dan segala aspek yang terkandung di dalamnya, tentu harus mempelajari dan menguasai terlebih dahulu Ilmu Negara. Artinya Ilmu Negara yang mempelajari dan mengkaji konsep-konsep, ide-ide maupun teori kenegaraan, pada hakikatnya merupakan sumber utama bagi penyelenggaraan praktek kehidupan kenegaraan. Sedangkan penyelenggaraan praktek kehidupan kenegaraan bila ditinjau dari aspek hukum jelas diatur oleh Hukum Tata Negara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa landasan teori untuk mempelajari dan mengkaji Hukum Tata Negara tidak lain dan tidak bukan adalah Ilmu Negara. 2. Hubungan Hukum Tata Negara Dengan Ilmu Politik. Antara Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik mempunyai kedekatan hubungan timbal balik yang sangat erat, bahkan kadang kala terasa sulit untuk dipisahkan. Oleh sebab itu hubungan yang semacam ini sering diibaratkan layaknya dua sisi dalam satu keping mata uang (two sides of one coin). Kedekatan seperti ini disebabkan oleh karena antara kedua ilmu tersebut pada hakikatnya membahas aspek kekuasaan dalam negara dan segala seluk beluk yang ada di dalamnya. Hukum Tata Negara mempelajari paraturan-peraturan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur organisasi kekuasaan, sedangkan Ilmu Politik juga mengkaji persoalan kekuasaan ditinjau dari aspek perilaku kekuasaan tersebut. Berbagai ketentuan hukum yang digariskan oleh Hukum Tata Negara sering disebabkan oleh adanya konsep-konsep perilaku kekuasaan negara sebagaimana dipelajari oleh Ilmu Politik. Demikian pula sebaliknya implementasi dari perilaku kekuasaan di dalam negara sering dan harus di dasarkan oleh konsep hukum yang terkandung di dalam Hukum Tata Negara. Peraturan Perundang-undangan jika ditinjau dari sudut pandang Ilmu Politik sejatinya merupakan hasil dari proses politik yang diwarnai oleh perilaku kekuasaan. Bahkan Peraturan Perundang-undangan itu pada hakikatnya merupakan bentuk dari suatu keputusan politik. Mengapa demikian? Karena Peraturan Perundang-undangan pada hakikatnya disusun dan dibentuk oleh lembaga-lembaga politik. Lain daripada itu Peraturan perundang-undangan pada hakikatnya merupakan kebijakan politik yang sarat dengan kepentingan-kepentingan politik. Sementara itu bagi Hukum Tata Negara, Peraturan Perundang-Undangan adalah produk hukum yang dibentuk oleh alat-alat perlengkapan negara yang diberi wewenang untuk itu dengan melalui prosedur dan tata cara yang telah digariskan oleh Hukum Tata Negara. Dengan mempergunakan cara pandang yang lain dapat juga dikemukakan bahwa perancangan Peraturan Perundang-

undangan di samping merupakan sebuah proses politik karena melibatkan komponen infra maupun supra struktur politik, sekaligus juga merupakan proses hukum. Kondisi yang demikian ini mengakibatkan para perancang peraturan perundang-undangan harus memformulasikan berbagai kepentingan termasuk perilaku kekuasaan yang ada ke dalam norma hukum perundang-undangan sepanjang tidak melanggar kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang dikenal dalam lingkup ilmu hukum termasuk Hukum Tata Negara.33 Politik (sebagai ilmu) dapat dikatakan sebagai ibu dari Hukum Tata Negara, artinya politiklah yang melahirkan rumusan-rumusan Hukum Tata Negara. Sebaliknya rumusan33 B. Hestu Cipto Handoyo, rumusan Hukum Drafting... .,Op.cit,Tata him. 208. Prinsip-Prinsip Legal

Negara dapat pula bertindak sebagai Ibu dari politik, artinya perilaku politik (dalam arti kekuasaan) harus berlandaskan pada rumusan-rumusan Hukum Tata Negara. Pemahaman semacam ini dapat dianalogkan dengan pertanyaan "lebih duluan mana antara telur dengan ayam". Gambaran lain mengenai hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Politik diungkapkan oleh Barents yang memberikan perumpamaan bahwa Hukum Tata Negara itu diibaratkan sebagai kerangka manusia, sedangkan Ilmu Politik bisa diibaratkan daging yang membalut kerangka tersebut.34 Sementara itu dalam argumentasi yang lain Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengemukakan bahwa dalam beberapa hal untuk mengetahui latar belakang dari suatu peraturan perundang-undangan sebaiknya perlu dibantu dengan mempelajari Ilmu Politik, karena kadang-kadang sukar diketahui apa maksud serta bagaimana terbentuknya suatu perundang-undangan itu.35 3. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara. Sebagaimana telah penulis kemukakan terdahulu bahwa, Hukum Administrasi Negara merupakan bagian dari Hukum Tata Negara dalam arti luas setelah dikurangi Hukum Tata Negara dalam arti sempit. Dengan kata lain, Hukum Administrasi Negara merupakan bagian dari Hukum Tata Negara dalam arti luas. Konsepsi seperti ini sering menjadi bahan perdebatan dikalangan ahli hukum. Disatu pihak ada yang menganggap bahwa antara Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara terdapat perbedaan yang bersifat prinsipiil, sedangkan dipihak yang lain menganggap bahwa antara keduanya tidak dijumpai adanya perbedaan yang bersifat prinsipiil. Golongan yang menganggap bahwa Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara terdapat perbedaan yang bersifat prinsipiil adalah Van Vollenhoven, Logemann dan 34 Barent, dalam Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, Op.cit, hlm. 30-31. 35 Loc.cit.

Stelingga. Sedangkan golongan yang menganggap tidak ada perbedaan prinsip adalah Kranenburg, Van der Pot dan Vegting.36 Bagi golongan yang menganggap ada perbedaan yang berifat prinsipiil antara Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara melandaskan pada argumentasiargumentasi sebagai berikut: 1. Hukum Administrasi Negara merupakan peraturanperaturan hukum yang tidak masuk di dalam lingkup bidang hukum materiil, baik Hukum Tata Negara Materiil, Hukum Perdata Materiil maupun Hukum Pidana Materiil. Ini berarti Hukum Administrasi Negara dianggap masuk dalam kategori Hukum Formil. 2. Hukum Tata Negara mempelajari struktur organisasi dari suatu negara beserta aspek-aspek yang terkandung di dalamnya, seperti fungsi dan wewenang organ-organ yang terdapat di dalam organisasi yang disebut negara, hubungan antar organ-organ negara, hubungan antara organ negara dan penduduknya. Sedangkan Hukum Administrasi Negara mempelajari jenis hukum dan akibatakibat hukum yang dilakukan oleh organisasi yang disebut negara. 3. Hukum Tata Negara mempelajari negara dalam keadaan diam, artinya hanya mempelajari susunan organisasi dari suatu negara yang menyangkut tugas, wewenang dan kewajiban. Sedangkan Hukum Administrasi Negara mempelajari negara dalam keadaan bergerak, yaitu mempelajari bagaimana prinsip-prinsip hukum mengenai pelaksanaan dari tugas, wewenang dan kewajiban negara tersebut.37 Sementara itu bagi golongan yang berpendapat bahwa Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara tidak

36 Lihat Kartasapoetra ada Op.cit, hlm. 7-10. 37 Ibid, hlm. 10-11.

RG,

perbedaan yang bersifat prinsipiil melandaskan argumentasi-argumentasi sebagai berikut:

pada

1. Antara Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara tidak ada perbedaan yang bersifat prinsipiil. Kalaupun ada pembedaan hal itu semata-mata sebatas berfungsi sebagai pembagian kerja dalam rangka memenuhi kepentingan Ilmu Pengetahuan. 2. Bidang kajian Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara adalah sama. Sedangkan langkahlangkah pembedaan yang dilakukan hanyalah bermaksud

untuk lebih memperjelas mengenai sistem-sistem hukum yang berlaku diantara keduanya. 3. Obyek kajian Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, yaitu negara sedangkan yang membedakan adalah penyelidikannya, yaitu bahwa Hukum Tata Negara melakukan penyelidikan mengenai hal-hal yang asasi tentang negara. Sedangkan Hukum Administrasi Negara melakukan penyelidikan mengenai hal-hal yang bersifat teknis mengenai negara.38 Dari kedua golongan pandangan tersebut di atas, penulis lebih condong mengikuti pandangan yang mengemukakan bahwa antara Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara tidak ada perbedaan yang bersifat prinsipiil. Hal ini disebabkan kedua merupakan cabang Ilmu Hukum yang sama-sama mengatur mengenai organisasi kekuasaan yang disebut negara. Pembedaan disini hanya menyangkut substansi pengkajiannya. Hukum Tata Negara melakukan pengkajian tentang organisasi negara dan seluk beluk yang ada di dalamnya ditinjau dari aspek hukum materiilnya. Sedangkan Hukum Administrasi Negara melakukan pengkajian tentang organisasi negara, namun subtansinya menyangkut hukum formilnya (acara), artinya mengkaji aspekaspek hukum ketika organisasi kekuasaan yang disebut negara itu melaksanakan aktifitasnya.

Lain daripada itu, sebenarnya pandangan yang mengatakan bahwa antara Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara merupakan cabang ilmu hukum yang mengandung perbedaan-perbedaan yang bersifat prinsipiil, sebenarnya merupakan pandangan klasik yang dewasa ini sudah tidak mungkin lagi dapat dijadikan referensi. Argumentasi seperti ini berlandaskan pada pemahaman bahwa dewasa ini pola kehidupan kenegaraan sudah mengalami perubahan yang sedemikian pesat, khususnya sejak diterapkannya konsep Negara Hukum Materiil atau sering disebut Negara Kesejahteraan (welfare state). Dalam konsep negara hukum materiil fungsi negara tidak hanya sebatas kepada fungsi pemerintahan (eksekutif), pembentukan perundang-undangan (legislatif), dan fungsi peradilan (yudikatif). Fungsi negara hanya sebatas menciptakan ketertiban dan keamanan hidup bersama. Fungsi negara dalam konsep negara hukum materiil sudah bergeser kearah public services dalam rangka peningkatan kesejahteraan umum warga negara. Dengan adanya pergeseran fungsi yang demikian inilah, maka konsep-konsep yang terdapat di dalam bidang kajian Hukum Tata Negara dan yang terdapat di dalam bidang kajian Hukum Administrasi Negara sukar sekali untuk dipisahkan. Walaupun mungkin masih tetap dapat dibedakan. Bahkan dalam berbagai kesempatan, pengkajian terhadap kedua konsep ilmu pengetahuan ini menjadi satu kesatuan dan tidak

bisa untuk dipisahkan. Contohnya adalah fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan. Peraturan Perundang-undangan sebagai produk hukum selalu akan dilandasi dan sekaligus dikaji oleh doktrin-doktrin (teori) Hukum Tata Negara. Kendatipun demikian, dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan, baik itu dari aspek perencanaannya, proses penyusunannya, proses pengesahannya serta pengundangannya, sumbangan dari doktrin (teori) Hukum Administrasi Negara tidak mungkin dinafikan begitu saja. Hal ini mengingat ditinjau dari aspek perencanaan, penyusunan draft yuridis sampai dengan pengesahan dan pengundangan dari suatu peraturan perundang-undangan, kerja-kerja yang bersifat administratif menjadi bagian yang tak terpisahkan. Contoh lain yang dapat dikemukakan disini adalah menyangkut obyek penyelidikan Hukum Tata Negara mengenai pengertian dan hakikat Pemerintah. Pengertian dan hakikat Pemerintah sebagaimana dikembangkan pada saat berlakunya prinsip negara hukum klasik (formal) tentunya sudah tidak sesuai lagi dengan pengertian dan hakikat pemerintah menurut paham negara hukum kesejahteraan (materiil). Dalam konsep negara hukum kesejahteraan, pengertian dan hakikat Pemerintah tidak hanya sebatas pada fungsifungsi eksekutif semata, bahkan kadang kala juga melaksanakan fungsi pengaturan dan fungsi yudisiil. Hal ini disebabkan tugas dan fungsi pemerintah dalam konsep negara kesejahteraan sudah sedemikian kompleks bahkan menjangkau sebagian besar kehidupan ketatanegaraan dan warga negara. Mengapa demikian? Ya karena untuk melaksanakan fungsi public services dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umum, Pemerintah (negara) diberi wewenang untuk mengatur berbagai aspek kehidupan negara dan warga negara. Berdasarkan pemahaman arti pemerintah menurut konsep negara hukum kesejahteraan yang demikian inilah, maka Hukum Tata Negara yang salah satu kajiannya menyangkut tugas, fungsi dan wewenang Pemerintah tidak mungkin akan terlepas dari pelaksanaan dari fungsi dan tugas-tugas secara konkrit yang merupakan bidang kajian Hukum Administrasi Negara. Berkaitan dengan hal ini, Sudargo Gautama mengemukakan: "Negara hukum yang modern dianggap mempunyai kewajiban yang lebih luas. Negara yang modern harus mengutamakan kepentingan seluruh masyarakat. Kemakmuran dan keamanan sosial, bukan hanya keamanan senjata yang harus dikejar. Kemakmuran seluruh lapisan masyarakat yang harus dicapai. Berdasarkan tugas pemerintah ini, maka penguasa jaman sekarang turut serta aktif dalam mengatur pergaulan hidup dari khalayak ramai. Lapangan kerja penguasa pada waktu ini jauh lebih besar daripada pemerintah model kuno".39

Lebih lanjut dikemukakan bahwa untuk menjalankan tugas dengan sempurna, maka penguasa sekarang sangat memerlukan kemerdekaan bergerak. Untuk memelihara kesejahteraan umum, badan penyelenggara penguasa ini, yang lazim disebut administrasi, memerlukan kebebasan bertindak. Segala sesuatu dalam batas-batas patokan yang dalam garis besar ditentukan oleh Undang-Undang.40 Dari pendapat yang dikemukakan oleh Sudargo Gautama tersebut di atas, nampak jelas bahwa pengkajian mengenai pengertian dan hakikat Pemerintah dalam lingkup Hukum Tata Negara dewasa ini menjadi tidak terpisahkan dengan pengertian dan hakikat pemerintah sebagaimana juga dibahas dan dikaji di dalam Hukum Administrasi Negara. Bahkan menurut Sudargo Gautama kata pemerintah dan penguasa dikonotasikan sebagai administrasi. Hal ini merupakan salah satu bukti dari sekian banyak bukti yang menunjukkan bahwa konsepsi negara kesejahteraan (negara hukum modern) baik yang dikaji di dalam Hukum Tata Negara maupun Hukum Administrasi Negara tidak dapat dipisahkan.

F. Sumber-Sumber Hukum Tata Negara.


Pengertian Umum Sumber Hukum. Dalam buku yang berjudul Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Usep Ranawijaya mengemukakan bahwa perkataan sumber hukum sebenarnya mempunyai dua arti. Pertama; sumber hukum sebagai penyebab adanya hukum. Penyebab adanya hukum tidak lain adalah keyakinan hukum dari orang-orang yang melakukan peranan menentukan 39 Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 10. tentang apa yang harus 40 Loc.cit.

menjadi hukum di dalam negara (welbron). Kedua; sumber hukum dalam arti bentuk perumusan dari kaidah-kaidah Hukum Tata Negara yang terdapat di dalam masyarakat darimana kita dapat mengetahui apa yang menjadi hukum itu (kenbron).^ Pengertian seperti ini menunjukkan bahwa sumber hukum terdiri dari segala sesuatu yang menentukan isi dari hukum (sumber hukum ditinjau dari aspek materiil) dan sumber hukum yang menunjukkan pada bentuk perumusan kaidah-kaidah hukum (sumber hukum dalam pengertian formil). Eugen Ehrlich, pemuka aliran sosiologi hukum antara lain mengemukakan bahwa hukum positif yang baik (dan karenanya efektif) adalah hukum yang sesuai dengan living law yang sebagai inner order dari masyarakat mencerminkan nilainilai yang hidup di dalamnya. Oleh sebab itu di dalam pembuatan Undang-Undang hendaklah diperhatikan apa yang hidup di dalam masyarakat.42 Pendapat ini bila dihubungkan dengan pandangan dari Usep Ranawijaya menunjukkan bahwa yang dimaksud sumber hukum dalam arti yang pertama (welbron) tidak lain wujudnya adalah living law yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Dengan demikian sumber hukum dalam arti materiil tidak lain adalah nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat yang diakui kebenarannya serta diberlakukan secara umum dan bersifat mengikat. Dormer mengemukakan bahwa sumber hukum adalah ajaran yang memberikan ukuran atau kriteria apakah suatu ketentuan itu berlaku umum atau tidak. Jika ketentuan itu berlaku umum maka disebut hukum, sedangkan jika tidak berlaku umum maka bukan merupakan hukum.43 Lebih lanjut dikemukakan bahwa untuk menentukan apakah suatu ketentuan itu berlaku umum atau tidak, ukuran atau

41 Usep Ranawijaya, Op.cit, hlm. 22. 42 Eugen Ehrlich, dalam Mochtar Kusumaatmaja, Op.cit, hlm. 3. 43 Dormer dalam Sugeng Istanto, 1983, Hand Out Hukum Tata Negara I, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hlm. 3. kriterianya adalah:

1. Ukuran materiil, yakni ukuran yang dipergunakan untuk menilai apakah isi dari ketentuan tersebut dapat menjadi ketentuan hukum atau tidak; dan 2. Ukuran formil, yakni ukuran yang dipergunakan untuk menilai apakah proses pembentukan suatu ketentuan itu menjadi ketentuan hukum dapat dipenuhi, atau proses tnempositifkan ketentuan yang berlaku umum menjadi ketentuan hukum. Proses pembentukan yang dimaksud disini menyangkut: a. Perumusan; b. Pembahasan; c. Pengesahan; dan d. Pemberlakuan.

Berdasarkan kedua ukuran atau kriteria itulah, maka dikenal adanya sumber hukum materiil yang menyangkut isi sebuah ketentuan itu berlaku umum atau tidak, dan sumber hukum formil menyangkut proses pembentukan atau proses tnempositifkan suatu ketentuan umum itu menjadi ketentuan hukum. Jika pandangan seperti ini diterapkan dalam konteks Hukum Tata Negara Indonesia, maka dapat ditarik garis pemahaman sebagai berikut: 1. Sumber Hukum materiil dari Hukum Tata Negara Indonesia adalah isi dari suatu ketentuan yang berlaku umum, dan bagi bangsa Indonesia tidak lain adalah Pancasila yang berkedudukan sebagai Staatsfundamentalnorm. Dalam kedudukan yang demikian ini Pancasila dapat dikategorikan sebagai isi dari ketentuan yang berlaku umum, karena Pancasila merupakan kristalisasi dari nilainilai yang hidup dan melekat di dalam masyarakat dan bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut telah diakui kebenarannya serta menjadi pedoman hidup (way of life) masyarakat dan bangsa Indonesia. Dengan demikian Pancasila yang terdiri dari lima prinsip (the Five Principles) merupakan manifestasi isi dari berbagai ketentuan yang berlaku umum sehingga nilai-nilai tersebut merupakan isi dari hukum. Dari pandangan seperti ini, maka dapat disimpulkan bahwa Pancasila adalah Sumber Hukum Tata Negara dalam arti materiil. 2. Sumber Hukum Tata Negara Formil tidak lain adalah seluruh tahapan proses untuk membentuk suatu ketentuan umum itu menjadi ketentuan hukum. Atau semua tahapan mempositifkan suatu ketentuan umum menjadi ketentuan hukum. Dalam kaitan dengan hal inilah, maka bentuk dari sumber Hukum Tata Negara Formil adalah: a. Perundang-undangan, yakni proses yang dilakukan oleh alat-alat perlengkapan negara untuk membentuk ketentuan umum menjadi ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat dan dituangkan dalam satu kitab (kodifikasi). Hasil dari proses ini bisa dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden maupun Peraturan Daerah, yang kesemuanya itu bersifat pengaturan. b. Yurisprudensi, yakni proses penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim berdasarkan kasus-kasus konkrit yang terjadi dalam masyarakat yang kemudian menjadi preseden bagi keputusan-keputusan hakim berikutnya yang memeriksa kasus-kasus konkrit yang sifatnya sejenis. c. Kebiasaan atau Konvensi, yakni proses memformulasikan

suatu praktek kehidupan ketatanegaraan yang tidak tertulis namun dilakukan secara berulang-ulang dan bersifat mengikat. d. Traktat, yakni proses merumusan kesepakatankesepakatan dalam perjanjian internasional yang kemudian mengikat negara peserta dan dijadikan sebagai ketentuan yang termuat di dalam hukum nasional. e. Doktrin atau pendapat para sarjana, yakni proses memformulasikan teori-teori ketatanegaraan melalui serangkaian penelitian dan pengujian, kemudian dipergunakan sebagai referensi bagi pembentukan Hukum Tata Negara. Kelima hal tersebut di atas dikatakan sebagai Sumber Hukum Tata Negara dalam arti formil karena kesemuanya menunjuk kepada serangkaian proses dan sekaligus organ yang membentuk. Dengan demikian yang disebut Sumber Hukum Tata Negara formil bukan menunjuk pada jenisnya, seperti UUD, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan lain sebagainya. Jenis-jenis peraturan perundang-undangan ini pada hakikatnya adalah hasil atau produk dari suatu proses. Sebagaimana telah penulis kemukakan bahwa titik tolak pengkajian terhadap Hukum Tata Negara Indonesia adalah hukum positif yakni hukum-hukum yang menyangkut kehidupan ketatanegaraan Indonesia yang berlaku dewasa ini. Berkaitan dengan hal inilah, maka Sumber Hukum Tata Negara Positif perlu mendapat porsi penjelasan yang cukup memadai, agar tidak dijumpai adanya pemahaman yang keliru, sehingga mengakibatkan kerancuan yang mengarah kepada penyamaan arti sumber hukum dan dasar Hukum Tata Negara Indonesia. Pengertian Dasar Hukum Tata Negara Indonesia jelas berbeda dengan pengertian Sumber Hukum Tata Negara Indonesia. Perbedaan tersebut terletak pada sifat dari keduanya. Dasar Hukum sifatnya konkrit, artinya sudah menunjuk pada landasan berpijak dari setiap tingkah laku manusia dalam melakukan hubungan hukum dengan manusia yang lain. Sehingga dasar hukum lebih mengarah kepada bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan yang dipergunakan sebagai pedoman manusia dalam melakukan hubungan hukum. Sedangkan sumber hukum sifatnya masih abstrak, karena menyangkut isi suatu ketentuan itu berlaku umum atau tidak dan bagaimana proses atau mempositifkan ketentuan yang berlaku umum itu menjadi ketentuan hukum. Hamid S. Attamimi mengemukakan bahwa arti sumber hukum (rechtsquelle) dapat beraneka ragam, bergantung jenis hukum yang kita maksud, hukum tertulis atau tidak tertulis. Bagi hukum tidak tertulis sumber hukum itu antara lain adat, petunjuk lisan, petuah, dan kebiasaan. Sedangan bagi hukum

tertulis sumber hukum ialah dasar-dasar bagi berlakunya hukum tertulis tersebut, baik berupa norma-norma maupun berupa aturan yang lebih tinggi

hirarkhisnya daripada jenis hukum tertulis yang dimaksud, sebagaimana dasar-dasar bagi suatu jenis perundangundangan.44 Dari pandangan yang demikian ini, maka kalau diterapkan dalam pemahaman sumber Hukum Tata Negara Indonesia, maka makna sumber Hukum Tata Negara - khususnya dalam arti yang formil - tidak diletakkan dalam pengertian proses mempositifkan ketentuan umum menjadi ketentuan hukum, melainkan justru diletakkan dalam pengertian jenis atau bentuk. Menurut hemat penulis, pemahaman seperti ini menimbulkan kerancuan pengertian sumber hukum dengan dasar hukum. Pandangan tersebut seolah-olah menyamakan sumber hukum dengan dasar hukum. Dasar hukum - di samping telah penulis kemukakan terdahulu - memang sudah menunjuk pada jenis atau bentuk dari peraturan perundang-undangan berdasarkan hirarkhinya. Sedangkan sumber hukum sebenarnya masih terkait dengan kriteria atau ukuran apakah suatu ketentuan itu berlaku umum atau tidak, jadi nuansanya masih bersifat abstrak. Dengan demikian sumber Hukum Tata Negara Indonesia seharusnya diletakkan dalam pengertian dan argumentasi sebagaimana dikemukakan oleh Dormer. Kalaupun Hukum Tata Negara Indonesia berpijak pada Hukum Positif (Hukum Tata Negara yang berlaku pada saat ini), maka bagi sumber Hukum Tata Negara dalam pengertian formil bukan berarti menunjuk pada jenis atau bentuk peraturan perundangundangan yang berlaku dewasa ini, melainkan tetap mengacu pada proses mempositifkan suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum. Terkait dengan hal ini, Undang-Undang No 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan menegaskan antara lain: 1. Pancasila merupakan sumber dari segala hukum negara.45

44 Hamid S. Attamimi, 1992, Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia, dalam Oetojo Oesman dan Alfian, Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, BP7 Pusat, Jakarta, hlm. 71. 45 Pasal 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Peraturan Perundang-undangan. 2. Pembentukan Jenis dan hirarkhi Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Penggantu Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah.46 Menurut Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai

dasar negara dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilainlai yang terkandung dalam Pancasila. Dari pernyataan tersebut, nyata dan jelas bahwa Pancasila merupakan ukuran materiil dan sekaligus sebagai sumber hukum materiil dari setiap materi muatan peraturan perundang-undangan. Pasal 3 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundangundangan. Ketentuan seperti ini, dalam penjelasannya dinyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hukum dasar merupakan sumber hukum bagi pembentukan Peraturan PerundangUndangan di bawah Undang-Undang Dasar. Penjelasan tersebut sekali lagi menunjukkan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disamping sebagai hukum dasar sekaligus merupakan 46 Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. sumber hukum bagi

pembentukan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya. Hal ini berarti posisi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bersifat ganda, yakni bertindak sebagai hukum dasar sekaligus sebagai sumber hukum pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan seperti itu menunjukkan sekali lagi adanya kerancuan tentang penggunaan istilah sehingga menimbulkan pemahaman yang ambigu antara hukum dasar dan sumber hukum. Seharusnya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu diletakkan dalam pengertian Aturan Dasar atau Aturan Pokok (Staatsgrundgesetz) yakni kelompok norma hukum di bawah Norma Fundamental Negara dan merupakan aturan-aturan yang masih bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar, sehingga masih merupakan norma hukum tunggal.47 Jika seperti ini pemahamannya maka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukan merupakan sumber Hukum, melainkan dasar hukum. Mengapa demikian? Karena Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah merupakan norma hukum tunggal, artinya sudah jadi norma hukum. Padahal untuk mencari sumber hukum baik materiil maupun formil bagi Hukum Tata Negara Indonesia tidak lain adalah dengan merumuskan tentang apa yang menjadi isi dan bagaimanakah proses yang mengakibatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 muncul. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sejatinya bersumber pada staatsfundamentalnorm, yakni Pembukaan yang di dalamnya terdapat Pancasila. Inilah yang menjadi Sumber Hukum materiil dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. sedangkan sumber hukum formilnya tidak lain adalah proses mempositifkan isi dari sumber hukum materiil, yakni Pancasila ke dalam ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang i7 Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan), Kanisius, Yogyakarta, hlm. 48. Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pendek kata, Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 pada hakikatnya adalah produk dari proses. Jadi bukan merupakan sumber hukum. Sebagai sumber hukum yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan, pada hakikatnya sifat dan bentuknya masih belum dapat diletakkan dalam pemahaman tertulis maupun tidak tertulis, melainkan harus diletakkan dalam pemahaman ukuran atau kriteria baik materiil maupun formil bagi penyusunan peraturan perundang-undangan. G. Hakikat Konstitusi.

Sebagaimana telah penulis kemukakan bahwa Hukum Tata Negara berasal dari kata Constitutional Law. Kata ini jika diterjemahkan secara harafiah artinya Hukum Konstitusi. Dengan demikian dapat diambil pemahaman bahwa pada hakikatnya mempelajari Hukum Tata Negara juga menyangkut pengkajian mengenai Konstitusi dari suatu negara. Berkaitan dengan hal inilah, maka dalam membahas Hukum Tata Negara perlu disampaikan pula mengenai pengertian dan seluk-beluk konstitusi tersebut. Dalam hal memahami konstitusi, terdapat dua kelompok yang mempunyai pandangan berbeda antara satu dengan yang lain. Satu pihak berpandangan bahwa Konstitusi adalah sama dengan Undang-Undang Dasar, sedangkan di pihak yang lain memandang bahwa Konstitusi berbeda dengan Undang-Undang Dasar. Perbedaan pendapat semacam ini disebabkan oleh adanya dua sudut pandang yang berbeda, seperti halnya orang memandang pengertian dan hakikat dari hukum. Satu sisi memandang Konstitusi dari kacamata normatif yuridis dan di sisi lain memandang Konstitusi dari kacamata sosiologis empiris. Bagi pihak yang memandang Konstitusi dari kacamata normatif yuridis akan selalu beranggapan bahwa konstitusi itu sama dengan Undang-Undang Dasar, yakni kumpulan dari norma-norma hukum dasar yang tertulis dan terangkum dalam satu kitab (terkodifikasi). Sedangkan bagi pihak yang memandang konstitusi dari kacamata

sosiologis empiris, konstitusi tidak sebatas pada norma hukum dasar yang tertulis dalam satu kitab, melainkan juga tersebar di dalam praktek atau konvensi ketatanegaraan. Berkaitan dengan pandangan berdimensi sosiologis empiris tersebut, Herman Heller mengemukakan: 1. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan (Die politische Verfassung als gesellschafliche Wirklichkeit) dan ia belum merupakan konstitusi dalam arti hukum (ein Rechtsverfassung) atau dengan perkataan lain konstitusi itu masih merupakan pengertian sosiologis atau politis belum merupakan pengertian hukum. 2. Baru setelah orang mencari unsur-unsur hukumnya dari konstitusi yang hidup di dalam masyarakat itu untuk dijadikan sebagai suatu kesatuan kaidah hukum, maka konstitusi itu disebut Rechtsverfassung (Die verselbstandigte Rechtsverfassung). Tugas mencari unsur-unsur hukum dalam ilmu pengetahuan hukum disebut abstraksi. 3. Kemudian orang mulai menulisnya dalam suatu naskah Undang-Undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.48 Berdasarkan pendapat di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa antara Konstitusi dengan Undang-Undang Dasar mempunyai makna yang berbeda. Konstitusi memiliki pengertian yang lebih luas daripada Undang-Undang Dasar. Dengan kata lain, Undang-Undang Dasar merupakan bagian dari Konstitusi yang sifatnya tertulis. Lain daripada itu Konstitusi sebenarnya tidak hanya bermakna yuridis semata melainkan juga bermakna sosiologis dan politis.49 Menurut Wirjono Prodjodikoro, istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis constituer yang berarti membentuk. Dalam hubungannya dengan kehidupan ketatanegaraan istilah konstitusi mengandung maksud pembentukan suatu 48 Herman Heller, dalam Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, Op.cit, hlm 65. negara atau menyusun dan menyatakan negara.50 Pendapat 49 Loc.cit. seperti ini masih menunjukkan adanya kelemahan. Jikalau konstitusi itu dianggap mengandung maksud pembentukan suatu negara atau menyusun suatu negara, maka secara empiris negara itu terbentuk tidak karena adanya konstitusi. Dengan kata lain negara tidak terbentuk karena konstitusi. Banyak negara yang dibentuk sebelum konstitusi itu ada. Contohnya konstitusi tertulis Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terbentuk dan dinyatakan berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945, sementara kemerdekaan atau terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah tanggal 17 Agustus 1945. ECS Wade dalam buku Constitutional Law mengatakan bahwa Undang-Undang Dasar adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas pokok dari badan-badan

pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok cara kerja badan tersebut.51 Pendapat ini tidak melihat hakikat dari sifat Konstitusi, melainkan hanya memandang dari substansinya. Wade nampaknya tidak mempersoalkan sifat dari konstitusi, apakah tertulis dalam satu naskah ataukah tersebar dalam berbagai naskah, yang terpenting disini adalah substansi dari konstitusi itu harus mencerminkan kerangka dari ketatanegaraan suatu negara. Rekonstruksi Konstitusi Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi. Samuel P. Huntington pernah mengemukakan bahwa dalam negara demokrasi, perubahan dramatis jarang terjadi dalam satu malam, perubahan itu hampir selalu bersifat moderat dan sedikit demi sedikit. Sistem demokrasi jauh lebih kebal terhadap pergolakan besar revolusioner ketimbang 50 Wirjono Prodjodikoro, Tanpa tahun, Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, hlm. 10. 51 RCS Wade, dalam Sobirin Melian, 2001, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, UH Press, Yogyakarta, hlm. 14. 52 Samuel P. Huntington, 1997,Gelombang Demokratisasi Ketiga, Grafiti,52 Jakarta, hlm. 31. sistem otoriter.

Pendapat seperti tersebut sengaja penulis kemukakan dalam buku ini dengan maksud untuk mengingatkan bahwa reformasi dengan tujuan utama membangun sistem kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menuju tatanan yang lebih demokratis tidak mungkin terwujud jikalau jalan untuk mengarahkan tujuan tersebut dilakukan secara gegabah, sembrono, dan tergesa-gesa. Menuju tatanan kehidupan yang demokratis tidak seperti membalikkan telapak tangan. Reformasi yang bergulir di negeri ini sejak tahun 1998 dan bertujuan membangun tatanan kehidupan yang lebh demokratis haruslah dilakukan secara bertahap, terencana, sistematis dan terstruktur serta mengindahkan aturan-aturan main yang lazim dikenal dalam konteks negara modern. Tanpa mengindahkan itu semua niscaya reformasi hanya merupakan suatu tindakan yang sia-sia bahkan kalau boleh mengatakan sebagai suatu tindakan yang utopis. Arah reformasi justru akan menuju hal-hal yang kontra produktif, misalnya terjadinya anarkisme politik atau berbaliknya sistem politik ke arah yang semakin otoriter. Pendek kata, jika reformasi tidak diletakkan dalam sifat yang moderat dan berlangsung sedikit demi sedikit, maka justru paradigma non-demokratis yang akan dihadapi oleh suatu negara atau bangsa. Proses yang relatif lambat ini harus dilalui mengingat di dalam perjalanan demokratisasi pada hakikatnya ditempuh melalui pentahapan yang jalannya relatif panjang, yaitu pertama; pengakhiran rezim non demokratis. Kedua; pengukuhan rezim demokratis, dan kemudian ketiga; pengkonsolidasian sistem demokratis.53 Dalam konteks reformasi di Indonesia sejak tahun 1998, relevansi proses pentahapan tersebut nampak jelas dari tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Tahap pengakhiran rezim non demokratis. Tahapan ini telah berlangsung ketika gerakan reformasi di Indonesia tahun 1998 telah berhasil menggulingkan rezim Orde Baru di bawah kekuasaan Presiden Soeharto yang memegang 53 Ibid, hlm. 8. tampuk kekuasaan negara selama lebih kurang 32 tahun. Gerakan reformasi tersebut dipicu oleh keterpurukan Indonesia karena krisis moneter dan mengarah kepada krisis multi dimensional. Ketidakmampuan Indonesia untuk segera bangkit dari keterpurukan tersebut disebabkan oleh runtuhnya moralitas para penyelenggara negara karena praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme serta keterlibatan militer dalam setiap aktifitas politik sipil di Indonesia. Dalam skala global reformasi tersebut sebenarnya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti terjadinya gelombang demokrasi di belahan dunia lain yang mengakibatkan runtuhnya rezim otoriter seperti Marcos di Filipina, runtuhnya komunisme di Uni Sovyet, dan tragedi Tiananmen di RRC. Faktor perkembangan informasi dan telekomunikasi turut memberikan andil,

karena dengan adanya kecanggihan komunikasi dan telekomunikasi semua informasi yang terjadi di belahan dunia dapat di akses dengan cepat oleh seluruh masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia. 2. Tahap pengukuhan rezim demokrasi. Tahapan ini telah terjadi pada waktu diselenggarakannya Pemilihan Umum Tahun 1999 yang dianggap merupakan Pemilihan Umum paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia setelah Pemilu tahun 1955. Hasil dari Pemilihan Umum 1999 tersebut telah tersusun pemerintahan di bawah KH. Abdurrahman "Gus Dur" Wahid sebagai Presiden RI yang kemudian dilanjutkan oleh Megawati Sukarno Putri sebagai akibat "mosi tidak percaya" dari parlemen yang menjatuhkan Presiden melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 2000. Terlepas dari pro dan kontra penjatuhan Presiden KH. Abdurrahman Wahid melalui Sidang Istimewa MPR tahun 2000 tersebut, peristiwa ini tetap merupakan manifestasi dari demokrasi yang berlangsung di Indonesia. Mengapa demikian? Karena sejak Orde Baru sakralisasi jabatan Presiden sungguh luar biasa besarnya. Tidak ada satupun organ negara di Indonesia yang berani menyentuh posisi Presiden yang begitu kuat. Sidang Istimewa MPR Tahun

2000 tersebut merupakan manifestasi desakralisasi kedudukan presiden dalam sistem ketatanegaraan yang demokratis. 3. Tahap Pengkonsolidasian Sistem Demokrasi. Tahapan ini mulai berlangsung ditandai dengan Amandemen UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebanyak 4 (empat) kali. Dalam amandemen tersebut struktur ketatanegaraan yang demokratis mulai dibangun dan diberi landasan konstitusional. Memang dalam rangka melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 masih diwarnai dengan kepentingan dari kelompok atau partai-partai Politik yang menduduki mayoritas di Majelis Permusyawaratan Rakyat, namun amandemen tersebut telah mampu mengubah paradigma supremasi eksekutif menjadi supremasi parlemen. Kendatipun demikian, sampai saat ini upaya-upaya untuk terus menyempurnakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 terus dilakukan. Upaya-upaya penyempurnaan itu antara lain: a. Penegasan mengenai sistem Presidensiil; b. Penguatan DPD-RI dalam sistem Keparlemenan Indonesia; c. Penegasan kembali kekuasaan kehakiman yang meliputi MA, MK dan KY; d. Mekanisme Check and Balances sebagai konsekuensi sistem presidensiil; e. Keberadaan calon Presiden/wk Presiden dari tokoh independen dalam rangka mengimplementasikan Pasal 27 UUD 1945 Dari tahapan-tahapan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada hakikatnya merupakan pengejawantahan konsolidasi sistem demokrasi sebagaimana dikemukakan oleh Samuel P. Huntington tersebut. Perlu diketahui fa ahwa demokrasi bukanlah merupakan tujuan, melainkan merupakan sarana untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Oleh sebab itu pengkosolidasian sistem demokrasi akan terus berlanjut sampai tujuan yang hendak dicapai oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 tercapai. Reformasi di Indonesia tidak hanya sekedar sebuah tuntutan melainkan memang sudah merupakan suatu keharusan. Dalam kondisi yang demikian inilah, paradigmaparadigma baru dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak bisa dilepaskan dari paradigma global dalam rangka menuju tatanan dunia baru. Isu-isu demokratisasi dan hak asasi manusia, kesetaraan gender, lingkungan hidup, transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, good governance, desentralisasi pemerintahan

merupakan isu-isu sentral yang secara langsung maupun tidak langsung menjadi substansi yang harus diperhatikan dalam menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Terkait dengan isu-isu global tersebut, maka tak pelak lagi jikalau reformasi di Indonesia menuntut berbagai pembenahan tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pembenahan tatanan itu tidak hanya diletakkan dalam tataran moral etis belaka, melainkan harus masuk sampai kepada tatanan sistem hukum yang responsif terhadap tuntutan akan terpenuhinya isu-isu di atas secara yuridis. Hal ini disebabkan jikalau hanya mengandalkan pembenahan tatanan dalam ranah moralitas etik, maka dimungkinkan hanya akan terjebak dalam wacana kepatutan dalam konteks tafsir belaka, tanpa adanya kepastian hukum yang mampu mengarahkan perubahan masyarakat. Argumentasi ini mengacu pada pandangan Roscoe Pound yang mengatakan Law as a tool of social engineering. Hukum adalah sarana perubahan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, maka reformasi di Indonesia jelas menuntut adanya rekonstruksi dari dasar pijakan secara struktual dan sistemik melalui pengkajian ulang dan penyusunan sistem ketatanegaraan Indonesia dalam konstitusi (tertulis). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi tertulis memang sejak semula dinyatakan

sebagai konstitusi yang singkat dan darurat. Dikatakan singkat, karena hanya berisi pokok-pokok aturan main (rule of the game) dari ketatanegaraan Indonesia. Sedangkan dikatakan darurat, karena dibentuk "hanya" untuk memenuhi kebutuhan landasan hukum bagi keberadaan Negara Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagai suatu organisasi kekuasaan yang berdaulat. Sifat yang demikian inilah mengakibatkan efisiensi dan efek-tifitas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam mengmplementasikan prinsip-prinsp Negara demokrasi belum dapat berjalan dengan baik. Sehubungan dengan hal ini, Kari Leowenstein mengemukakan tiga jenis penilaian konstitusi sebagai berikut: 1. Nilai Normatif, yaitu suatu konstitusi telah resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi itu bukan saja berlaku dalam arti hukum (legal), tetapi juga merupakan suatu kenyataan (reality) dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif. Dengan kata lain konstitusi itu dilaksanakan secara murni dan konsekuen. 2. Nilai nominal. Dalam hal ini konstitusi itu menurut hukum memang berlaku, tetapi kenyataannya tidak sempurna. Ketidak sempurnaan berlakunya suatu konstitusi ini maksudnya adalah konstitusi tersebut secara hukum berlaku, namun berlakunya itu tidak sempurna karena ada pasal-pasal dari konstitusi itu dalam kenyataannya tidak berlaku. : Nilai semantik, artinya konstitusi secara hukum tetap berlaku, tetapi dalam kenyataannya hanya sekedar untuk memberi bentuk dari tempat yang telah ada dan untuk melaksanakan kekuasaan politik. Mobilitas kekuasaan yang dinamis untuk mengatur, yang menjadi maksud esensiil dari suatu konstitusi diberikan demi kepentingan pemegang kekuasaan. Dengan kata lain konstitusi itu ada hanya sekedar istilah, sedangkan dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan kepentingan rihak penguasa.54 - 3S. ~_eowenstein, dalam Moh. Kusnardi & Harmaily Berdasarkan nilai-nilai konstitusi tersebut di atas dan Ibrahim, Op.cit, hlm. 72-74. berpijak dari sifat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang singkat dan darurat tersebut, maka walaupun rezim Orde Baru dan Majelis Permusyawaratan Rakyat masa itu menegaskan akan melaksanakan secara murni dan konsekuen (Nilai Normatif), namun dalam pelaksanaannya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah dikonstruksikan menjadi konstitusi tertulis yang nilainya nominal dan semantik. Dikatakan bernilai semantik, karena dalam pelaksanaanya sangat tergantung dari aspek penafsiran yang dilakukan oleh para penyelenggara negara. Implementasi semacam ini jelas menimbulkan deviasi dan distorsi pelaksanaan sistem ketatanegaraan secara umum. Contohnya adalah kerancuan Peraturan Perundang-Undangan, kerancuan sistem pemerintahan, lemahnya penegakan hukum dan

penyimpangan-penyimpangan lain dari asas-asas sistem ketatanegaraan yang modem dan demokratis. Sedangkan hanya bernilai nominal, karena kenyataan menunjukkan banyak pasal-pasal dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang hanya berfungsi sebagai dokumen historis yang tidak memiliki kekuatan yuridis apapun. Contohnya Pasal 18, Pasal 33 dan Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh sebab itulah sinkronisasi dan kepastian hukum dalam rangka mengarahkan perubahan tatanan kehidupan organisasi (negara) di era reformasi, maka konstitusi Indonesia harus mulai diberi muatan yang tegas seturut dengan prinsipprinsip negara hukum yang demokratis. Persoalannya adalah, dengan mempergunakan mekanisme yang bagaimanakah penguatan nilai normatif dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut dapat tercipta, dan substansi minimal apa saja yang harus dimasukkan dalam materi muatan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945?

Antara Amandemen (Perubahan) dan Penggantian Konstitusi. Mekanisme penguatan yuridis atau memberikan nilai normatif kepada suatu konstitusi (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) menjadi wacana publik, ketika beberapa ahli Hukum Tata Negara dan Politik menyampaikan gagasan perlu dibentuknya sebuah Komisi Konstitusi. Gagasan ini muncul karena dalam kenyataannya Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat yang diberi wewenang untuk melakukan perumusan Rancangan Amandemen UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dianggap belum mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Walaupun PAH I BP MPR telah dilengkapi dengan Tim Asistensi (Tim Ahli) dari berbagai disiplin ilmu termasuk di dalamnya para ahli Hukum Tata Negara yang kredibilitasnya tidak diragukan lagi. Sistematika amandemen UUD 1945 yang sudah dilakukan sejak Tahun 1999 masih bisa dibilang tumpang tindih dan tidak runtut. Kepentingan-kepentingan politik sesaat masih sangat mendominasi perumusan amandemen UUD 1945. Keberadaan Tim Asistensi ini sebenarnya sudah memenuhi standar pelaksanaan amandemen suatu konstitusi di berbagai negara. Misalnya di Amerika Serikat. Menurut Article I Konstitusi AS yang melakukan amandemen konstitusi adalah Senate dan Congress. Namun dalam prakteknya Senate dan Congress ini memanggil masyarakat sipil (para ahli dalam bidangnya) dan membentuk Komisi Konstitusi. Dengan demikian berdasarkan kelaziman inilah, keberadaan Komisi Konstitusi, sudah dapat diakomodasi oleh Tim Ahli dari PAH I BP MPR tersebut, namun sayangnya keberadaan Komisi ini ternyata hanya diberi tugas untuk melakukan penyelarasan dan rekomendasi substansi UUD 1945 yang sifatnya tidak mengikat. Lain daripada itu, keberadaan Komisi Konstitusi ini baru diletakkan dalam konteks mengamandemen (mengubah) UUD 1945, bukan untuk melakukan penggantian terhadap UUD 1945.

Terlepas dari keberadaan Komisi Konstitusi tersebut, sebenarnya dalam konstruksi UUD 1945 persoalan kelembagaan dan mekanisme dalam rangka penggantian konstitusi belum secara eksplisit dan implisit di atur dalam UUD 1945. Dalam Pasal 3 UUD 1945 sebelum amandemen ditegaskan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan UUD dan Garis-garis Besar daripada Haluan Negara. Kata menetapkan disini tentu menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Apakah menetapkan itu berkaitan dengan setelah MPR mengganti UUD 1945 dengan UUD yang baru. sama sekali, ataukan menetapkan setelah MPR melakukan amandemen terhadap UUD 1945? Penjelasan terhadap Pasal ini hanya menegaskan Cukup Jelas. Namun demikian, jika Pasal 3 tersebut dihubungkan dengan Pasal 37 ayat (1) yang menyatakan bahwa untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir, maka kata menetapkan tersebut hanya dipergunakan oleh MPR setelah melakukan amandemen (mengubah) UUD. Hal ini berarti secara yuridis konstitusional persoalan kelembagaan dan prosedur untuk melakukan penggantian terhadap UUD 1945 tidak diatur secara tegas. Oleh sebab itu, kalau ada kehendak untuk mengganti UUD 1945 dengan UUD yang baru sama sekali, maka satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah dengan melakukan amandemen terlebih dahulu terhadap Pasal 3 dan Pasal 37 ayat (1) UUD 1945. Menurut hemat penulis untuk melakukan penggantian terhadap UUD 1945 dapat ditempuh dengan mencontoh konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, yakni Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Menurut kedua konstitusi tertulis yang pernah berlaku di Indonesia tersebut, mekanisme dan kelembagaan dari organ yang berwenang untuk mengganti konstitusi secara tegas telah diatur. Dalam Pasal 134 UUDS 1950 ditegaskan bahwa Konstituante (Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini. Sedangkan dalam Pasal 186 Konstitusi RIS dinyatakan bahwa Konstituante (Sidang Pembuat Konstitusi), bersama-sama dengan Pemerintah selekaslekasnya menetapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang akan menggantikan Konstitusi sementara ini. Dari kedua ketentuan dalam kedua konstitusi tersebut, jelas kiranya bahwa organ yang berwenang untuk mengganti konstitusi adalah Konstituante.

Lebih lanjut dalam kedua konstitusi tersebut juga ditegaskan bahwa dalam penyusunan keanggotaan dari Konstituante tersebut dilakukan melalui Pemilihan Umum. Persoalannya adalah bisakah mekanisme seperti ini dipergunakan sebagai referensi untuk menyusun dan membentuk sebuah Komisi Konstitusi yang bertugas baik untuk mengamandemen ataupun mengganti UUD 1945? Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah bisa dan sangat lazim, khususnya jikalau dilihat dari konteks teori ketatanegaraan pada umumnya, sebagaimana dikemukakan oleh JJ. Rousseau, John Locke, dan Hobbes, negara dibentuk karena adanya kontrak sosial. Keberadaan Konstitusi dalam suatu negara pada hakikatnya adalah perwujudan dari kontrak sosial tersebut. Oleh sebab itulah dalam rangka untuk mengakomodasi kontrak sosial ini tidaklah mungkin dilakukan oleh rakyat secara langsung, melainkan perlu direpresentasikan dalam suatu kelembagaan melalui Pemilihan Umum. Berarti keberadaan Komisi Konstitusi, mau tidak mau, suka tidak suka harus dibentuk berdasarkan Pemilihan Umum. Jika Komisi Konstitusi dikehendaki bersifat independen dan non partisan dengan cara merekrut para ahli di bidangnya masing-masing, maka para ahli ini dapat ditunjuk dan ditawarkan kepada masyarakat secara langsung untuk dinilai sifat independensinya. Sementara itu komposisi yang diambil dari unsur masyarakat lain seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya yang dipilih melalui Pemilihan Umum, maka hendaknya ditentukan berdasarkan sistem distrik dan tanpa melibatkan tokoh-tokoh politik yang sementara ini dianggap belum mampu mencerminkan aspirasi masyarakat dan hanya mementingkan golongannya sendiri.

Sidang Tahunan MPR tahun 2002, membuka wacana baru dalam persoaan amandemen UUD 1945. Muncul perkembangan positif terhadap berbagai tuntutan masyarakat yang menghendaki penuntasan amandemen UUD 1945. Dalam kaitannya dengan hal ini, menurut catatan media massa, terdapat 11 Fraksi yang menghendaki UUD 1945 hasil amandemen I, II, III, dan IV akan diletakkan dalam UUD Transisi.35 Dengan kedudukan semacam ini, maka keberadaan Komisi Konstitusi menjadi sangat urgen (penting), dan lembaga ini diharapkan akan menuntaskan amandemen yang sudah dilakukan oleh MPR dengan cara melakukan sinkronisasi serta pembenahan terhadap hasil-hasil amandemen tersebut. Kemudian hasil dari sinkronisasi dan pembenahan substansi amandemen UUD 1945 diserahkan kepada MPR hasil Pemilu 2004 untuk ditetapkan sebagai UUD yang definitif. Substansi Konstitusi. Prinsip negara hukum demokrasi sudah menjadi paradigma teori ketatanegaraan yang tidak terbantahkan. Dalam dataran paham konstitusionalisme Indonesia, prinsip semacam ini telah ditegaskan secara eksplisit di dalam UUD 1945 (sebelum dan sesudah amandemen). Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah menghendaki adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, Pemisahan Kekuasaan, Legalitas Pemerintahan, dan peradilan yang bebas. Oleh sebab itulah dalam rangka untuk memberikan isi atau muatan konstitusi Indonesia, maka minimal unsur-unsur inilah yang harus dipergunakan sebagai referensi utama. Dengan demikian substansi konstitusi antara lain menyangkut: 1. Terjaminnya Perlindungan Hak asasi manusia yang meliputi Hak Asasi manusia dalam aspek individu (klasik) maupun aspek sosial politik (HAM Modern). Hal ini memberikan indikasi bahwa persoalan perlindungan Hak Asasi Manusia di samping dituangkan di dalam sebuah UndangUndang, juga harus di tuangkan di dalam Konstitusi. Perbedaannya adalah, kalau Hak asasi manusia yang dituangkan di dalam konstitusi sifatnya adalah pokokpokok yang harus menjadi dasar pelaksanaan perlindungan Hak Asasi Manusia. Sedangkan yang dituangkan di dalam Undang-Undang adalah perlindungan Hak asasi manusia yang sifatnya lebih terperinci, termasuk di dalamnya adalah mekanisme pelaksanaan untuk melakukan penegakan hukumnya. 2. Pemisahan kekuasaan. Sebelum UUD 1945 diamendemen persoalan pemisahan kekuasaan dalam struktur ketatanegaraan Indonesia belum secara tegas dimasukkan di dalam UUD. Balikan dalam kaitannya dengan mekanisme hubungan antar lembaga tinggi negara pernah hanya dituangkan di dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Padahal keberadaan Ketetapan Majelis ini dulunya pernah menimbulkan perdebatan, karena keberadaannya selalu dikaitkan dengan konvensi

ketatanegaraan. Oleh sebab itulah untuk mempertegas unsur pemisahan kekuasaan ini, maka mekanisme hubungan antar lembaga tinggi negara harus dimasukkan dalam UUD. Tidak cukup hanya diatur dalam Ketetapan MPR atau Undang-Undang. 3. Legalitas pemerintahan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintahan (dalam arti luas) yang berdasarkan ramburambu hukum sangat dibutuhkan untuk membatasi pelaksanaan kekuasaan pemerintahan yang ada. Secara teoritis kekuasaan pemerintahan (negara) ini menyangkut tiga cabang kekuasaan, yaitu kekiiasaan pengaturan (legislatif), kekuasaan untuk melaksanakan pemerintahan (eksekutif), dan kekuasaan untuk melaksanakan peradilan (yudikatif). Ketiga cabang kekuasaan ini harus mulai ditegaskan mengenai kelembagaan dan mekanisme hubungan antara satu dengan yang lain. Kerancuankerancuan yang terjadi sebelum UUD 1945 diamendemen, seperti sistem pemerintahan yang dikehendaki, apakah presidensiil ataukan parlementer harus secara tegas dinyatakan di dalam UUD. Kekuasaan eksekutif dalam mengimplementasikan freiss ermessen yang menimbulkan kebijakan-kebijakan diskresi harus mulai dibatasi, karena secara empiris kebijakan-kebijakan yang sifatnya diskresi ini menjadi sumber utama korupsi. 4. Peradilan yang bebas. Unsur ini sampai sekarang masih belum menunjukkan tanda-tanda adanya jaminan pelaksanaannya. Lembaga Peradilan masih banyak dipengaruhi oleh cabang kekuasaan lainnya. Pengawasan terhadap peradilan yang bebas ini juga masih perlu diformulasikan seturut dengan prinsip akuntabilitas. Lain daripada itu prinsip peradilan yang bebas seharusnya tidak hanya ditujukan kepada lembaga peradilan (hakim) semata, melainkan harus dikembangkan dalam tataran proses peradilan. Oleh sebab itu institusi-institusi yang terkait dengan proses peradilan harus dimandirikan (independen). UUD harus mengakomodasi persoalan ini, khususnya dalam rangka menegakkan supremasi hukum yang merupakan mata rantai dari sistem demokrasi. Berdasarkan prinsip-prinsip negara hukum tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa rekonstruksi UUD dalam rangka menangkap tuntutan dan keharusan reformasi Indonesia merupakan sebuah keniscayaan. Reformasi tanpa pembenahan UUD jelas akan mati suri. Hal ini disebabkan dalam praktek ketatanegaraan yang otoritarian, UUD hanya dipergunakan sebagai alat untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan. Celakanya UUD 1945 sebelum di amandemen memang berlanggam executive heavy. Amandemen I, II, III dan IV UUD 1945 sudah terjadi. Namun demikian, kesan tergesagesa memang sangat terasa dalam proses amandemen UUD 1945 tersebut. Padahal dalam dataran praktis maupun teori, amandemen terhadap suatu konstitusi selalu sejalan dengan perkembangan masyarakat dan berproses terus menerus tanpa henti.

Pendek kata, untuk melakukan amandemen terhadap konstitusi tidak hanya dibatasi oleh periodesasi masa jabatan dari badan yang berwenang untuk melakukan amandemen UUD. Kondisi-kondisi tersebut semakin diperparah dengan adanya anggapan bahwa selama UUD 1945 masih dalam proses amandemen, sistem ketatanegaraan seperti berjalan tanpa arah, tanpa aturan main, tanpa landasan konstitusional. Para pelaku politik sudah tidak mengindahkan pakem aturan main secara yuridis. Keadaan semacam ini harus segera dihentikan. Cara yang laing efektif adalah dengan melakukan rekonstruksi konstitusi sambil tetap menjalankan konstitusi yang sudah ada secara normatif tanpa penafsiran yang ambigu. Serahkanlah penafsiran yang ada kepada lembaga yang diberi wewenang untuk itu, yaitu Mahkamah Konstitusi. Prinsip Dasar Melakukan Amandemen Konstitusi. Tidak pernah ada yang namanya konstitusi itu sifatnya tetap. Konstitusi sifatnya selalu akan terus berkembang (working constitution). Nah oleh sebab itu pengkajian kembali terhadap amandemen UUD 1945 tentunya mencakup tiga persoalan utama, yaitu menyangkut substansi, sistematika dan bahasa. Pertama aspek substansi. Bila ditinjau dari aspek substansi, pada umumnya suatu konstitusi dapat dibedakan ke dalam dua jenis, yakni konstitusi politik dan konstitusi sosial. Konstitusi politik tidak lain adalah konstitusi yang materi muatannya hanya mengatur mengenai kekuasaan negara yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara, termasuk di dalam menyangkut hubungan antar lembaga-lembaga negara tersebut. Sedangkan konstitusi sosial tidak lain adalah konstitusi yang disamping mengatur mengenai kekuasaan negara juga mengatur mengenai prinsip-prinsip yang dipergunakan oleh negara dalam mencapai tujuan dan cita-cita nasionalnya. UUD 1945 dapat diindikasikan sebagai konstitusi sosial. Berdasarkan konsep dasar mengenai jenis konstitusi bila ditinjau dari aspek substansi tersebut di atas, maka jikalau kita akan - encoba melakukan kajian-kajian terhadap amandemen UUD 1945 tentunya harus ditegaskan terlebih dahulu tentang jenis konstitusi pang dikehendaki, apakah Konstitusi Politik ataukah Konstitusi Sosial. Penentuan jenis semacam ini perlu dilakukan, mengingat dalam tataran wacana konstitusi di Indonesia berkembang pemahaman-pemahaman yang saling bertolak belakang. Di satu sisi ada yang berkehendak untuk merumuskan muatan materi konstitusi secara singkat (hanya pokok-pokoknya saja), khususnya yang menyangkut pembagian kekuasaan. Sedangkan di sisi lain ada yang berkehendak untuk merumuskan materi muatan UUD yang begitu rinci, laksana UU biasa. Kedua; ditinjau dari sistematika muatan materi. Secara paradigmatik konstitusi tidak lain adalah perwujudan dari kontrak sosial yang dilakukan oleh seluruh komponen rakyat untuk membentuk ikatan hidup bersama dalam suatu organisasi kekuasaan yang disebut negara. Lain daripada itu, keberadaan

konstitusi dalam sistem ketatanegaraan modern pada hakikatnya merupakan tuntutan dari prinsip negara hukum yang demokratis. Berdasarkan konsep pemikiran semacam inilah, maka sistematika dari suatu UUD (konstitusi tertulis) seharusnya tersusun dalam kerangka pasal-pasal yang disesuaikan dengan unsur-unsur dari negara hukum yang demokratis. Oleh sebab itulah, secara singkat kerangka pasal-pasal yang terdapat dalam suatu konstitusi dapat disusun secara sistemik, yaitu (a) pasal-pasal yang mengatur tentang Hak Asasi manusia, (b) Pasal-pasal yang mengatur pemisahan/ pembagian kekuasaan, (c) Pasal-pasal tentang legalitas pemerintahan, (d) pasal-pasal tentang independensi lembaga-lembaga yang melaksanakan proses peradilan, dan (e) pasal-pasal yang mengatur tentang prinsip-prinsip pelayanan publik yang dilakukan negara dalam rangka menunjang tercapainya kesejahteraan umum masyarakat. Prinsip-prinsip pelayanan publik tersebut perlu diatur, karena dalam paradigma welfare state negara harus bertindak sebagai pelayan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umum warganegara. Menurut Anthony Giddens paradigma semacam ini akan berdampak pada munculnya sifat negara yang intervensionis. Negara akan selalu terlibat dalam persoalan-persoalan kemasyarakatan bahkan kalau perlu "memasuki" perse >.>l<in-persoalan dalam area privat. Nah kalau tidak diatur secara tegas di dalam Pasal-pasal UUD, maka kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap prinsip-prinsip negara hukum justru semakin besar. Kalau kita memperhatikan keseluruhan hasil amandemen UUD 1945, maka materi muatan yang terkandung di dalamnya justru tidak tersusun secara sistemik. Pasal-pasal yang menyangkut Warganegara dan perlindungan Hak Asasi Manusia justru diletakkan dibagian paling belakang. Setelah Pasal-paal yang mengatur tentang pilar-pilar kekuasaan negara, seperti MPR, DPR dan DPD, Presiden, Kehakiman serta Pemerintahan Daerah. Sistematika semacam ini tentunya tidak selaras dengan paradigma negara hukum yang demokratis dan paradigma konstitusi sebagai aktualisasi dari kontrak sosial. Di dalam paradigma negara hukum yang demokratis, unsur perlindungan terhadap HAM justru ditempatkan sebagai prinsip yang pertama kali yang harus dipenuhi. Sedangkan dalam paradigma konstitusi sebagai aktualisasi dari kontrak sosial, maka persoalan yang menyangkut hakhak maupun kewajiban-kewajiban dari rakyat sebagai peserta kontrak sosial harus diatur terlebih dahulu. Penyusunan substansi UUD dengan mempergunakan sistematika seperti ini merupakan bentuk pengintegrasian paradigma konstitusi sebagai perwujudan kontrak sosial dan paradigma negara hukum yang demokratis. Khusus menyangkut pasal-pasal yang mengatur tentang legalitas pemerintahan (Pemerintahan berdasarkan hukum)

tentunya harus dikembangkan dalam konteks pengertian yang luas, yaitu menyangkut penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara. Lain dari pada itu, di dalam substansi pengaturannya juga harus memuat tentang bentuk ataupun jenis pemndang-undangan yang dipergunakan untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuanketentuan yang ada di dalam konstitusi. Ketiga, ditinjau dari aspek bahasa. Amandemen UUD 1945 masih tetap menyisakan persoalan yang berkaitan dengan penafsiran, Persoalan Ini jika tidak segera ditanggulangi akan seni, il in menimbulkan kfftidak pastian penafsiran terhadap UUD dikemudian hari. Hal ini mengingat setelah dilakukan empat kali amandemen, maka UUD 1945 hanya terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal (Pasal II Aturan Tambahan). Padahal menurut teori perundang-undangan, konsepsi yuridis yang tertuang di dalam naskah perundang-undangan termasuk UUD - harus mengandung ketegasan makna dan kepastian hukum. Ketegasan makna diperlukan karena, menurut teori perundang-undangan ketentuan yang ada di dalamnya merupakan bentuk penemuan hukum yang mengarah kepada terbangunnya teori Hukum. Dalam konteks Konstitusi (UUD), maka keberadaan konsep yuridis yang terdapat di dalam pasal-pasalnya jelas akan membangun teori Hukum Tata Negara. Oleh sebab itu, jikalau ketegasan makna yang diapresiasikan melalui bahasa UUD dapat secara tuntas dirumuskan, niscaya tidak akan terjadi perdebatan yang menyangkut penafsiran makna dari pasal-pasal yang ada. Salah satu contoh ketidak tegasan makna yang masih terkandung di dalam Amandemen UUD 1945 adalah menyangkut Pasal 26 ayar (1) yang menegaskan bahwa "Yang menjadi warganegara ialah orang-orang bangsa Indonesia Asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undangundang sebagai warganegara". Termasuk Pasal 18 D yang menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Ketentuan Pasal 26 ayat (1) tersebut menimbulkan dua persoalan pokok, yaitu menyangkut kriteria atau ukuran yang dapat dipergunakan untuk menentukan "orang-orang bangsa Indonesia asli" serta prosedur untuk memperoleh status kewarganegaraan Indonesia. Pasal tersebut menyiratkan suatu ketentuan bahwa untuk memperoleh status kewarganegaraan bagi orang-orang bangsa lain harus disahkan dengan undangundang. Sebuah langkah yang terlampau berlebihan. Sedangkan Pasal 18 D ayat (1) tidak ada ketegasan, apakah UU yang dimaksud itu adalah UU Kriteria Kekhususan atau Keistimewaan Suatu Daerah, ataukah UU tentang Pembentukan Suatu Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Rumusan bahasa UUD harus mengandung kepastian hukum, karena menyangkut standarisasi dalam rangka penegakan hukum. A rtinya dengan kepastian hukum

tersebut, maka kepastian ukuran-ukuran yang menyangkut nilai norma yuridis konstitusional dapat ditentukan. Pentingnya standarisasi norma yuridis konstitusional tersebut adalah berguna bagi kristalisasi dari sistem ketatanegaraan Indonesia yang dirancang dalam rangka menuju konsolidasi sistem demokrasi. Kedepan, diharapkan sistem ketatanegaraan tidak lagi menimbulkan perdebatan yang melelahkan diantara para pakar ntau mungkin malah terus menerus menjadi proyek.

Bab II SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA


(Pencarian jati diri yang relatif paling baik^adaCah dengan melamakan penelusuran mengenai sejarah perjalanan hidup secara jujur. (Demikian pula hanya dalam mencari jati diri ketatanegaraan suatu bangsa. Keberadaan Hukum Tata Negara Indonesia tidak^mungkin dilepaskan dari perjalanan sejarah kehidupan Negara %esatuan ^epuBlik^Indonesiayang diproklamasikan sejakj-anggal17 Agustus 1945.

A. Pendahuluan.
Pada umumnya untuk melakukan penelitian dan pengkajian mengenai sejarah akan bersumber pada 3 (tiga) jenis data utama, yakni peninggalan sejarah yang berupa dokumen/arsip, benda atau prasasti, dan sumber hidup dari pelaku sejarah. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa sumber-sumber sejarah tersebut ternyata lidak mampu menelusuri suatu peristiwa sejarah secara obyektif. I Ini ini disebabkan sumber-sumber data tersebut memiliki sifat kelemahan yang cukup substansiil. Sumber sejarah yang berwujud dokumen atau arsip mudah rusak dan hilang sebagai akibat dari kecerobohan pengelola sumber-sumber data yang berwujud seperti ini. Tradisi untuk mendokumentasikan pengelolaan data-data atau sumbersumber secara rapi dari berbagai peristiwa sejarah masih belum dikatakan baik. Bahkan tidak jarang sumber-sumber sejarah yang berupa dokumen atau arsip sering dipalsukan atau sengaja dihilangkan guna menghapus memori sejarah yang dianggap merugikan. Contoh paling aktual adalah menyangkut naskah SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) yang misterius itu. Benda atau prasasti juga relatif sulit untuk dipertahankan keasliannya. Hal ini mengingat data atau sumber sejarah yang berwujud seperti ini relatif tidak kuat menahan serangan alam (hujan dan panas). Sedangkan data atau sumber sejarah yang berasal dari pelaku sejarah juga kadang kala masih diragukan orisinalitasnya, karena memori dan daya ingat manusia jelas sangat terbatas. Berdasarkan keadaan yang melingkupi sumber-sumber atau data penelusuran sejarah tersebut, maka tidak mengherankan jikalau wacana publik dewasa ini menghendaki adanya penelusuran ulang sejarah perjalanan bangsa Indonesia secara obyektif. Hal ini mengingat banyak penulisan sejarah ditengerai telah banyak terjadi upaya penipuan sejarah yang dilakukan penguasa. Permasalahan seperti ini juga ditambah dengan adanya suatu pandangan yang menganggap bahwa penulisan sejarah bangsa dan negara dengan berbagai aspek

yang terkandung di dalamnya sangat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik dari penguasa, khususnya dalam membangun legitimasi "sang Penguasa" dalam mempertahankan kekuasaannya. Kasus yang menyangkut peristiwa penggagas Serangan Umum 1 Maret 1949, apakah Sri Sultan Hamengku Buwono IX ataukah Kol. Soeharto, dan kasus Pemberontakan G-30-S PKI dapat dipergunakan sebagai salah satu contoh. Lain daripada itu, penulisan kembali sejarah suatu bangsa masih juga memunculkan wacana yang pada hakikatnya mempersoalkan, apakah penelitian sejarah dan pengkajiannya itu sampai pada taraf memberikan penilaian benar ataukah salah terhadap suatu peristiwa sejarah tertentu yang ditulis menurut versi tertentu? Menurut hemat penulis, penulisan dan pengkajian sejarah sebenarnya hanyalah langkah untuk menyampaikan suatu realitas perjalanan suatu kehidupan. Jadi tidak sampai pada taraf memberikan argumentasi benar atau salah terhadap realitas sejarah yang ada. Artinya penulisan dalam versi apapun seharusnya tidak sampai pada pembenaran atau penyalahan suatu peristiwa sejarah. Penulisan sejarah dengan berbagai metode dan versinya masing-masing pada hakikatnya hanyalah merupakan bentuk pencatatan kejadian masa lampau tanpa ditambah ataupun dikurangi dengan rgumentasi-argumentasi yang justru akan mengaburkan sejarah itu sendiri. Oleh karena penulis bukan merupakan ahli di bidang sejarah maupun salah satu pelaku dari sejarah ketatanegaran Indonesia, maka dalam menyusun sejarah ketatanegaraan Indonesia - dengan berbagai konsekuensinya - penulis akan tetap melandaskan pada dokumen-dokumen tertulis yang pernah disampaikan oleh para penulis terdahulu, serta tidak berusaha untuk memberikan penilaian terhadap benar atau salah mengenai peristiwa sejarah ketatanegaraan Indonesia yang terjadi. Kendatipun demikian, penulisan sejarah ketatanegaraan Indonesia ini juga tidak akan melihat dan mengkaji hal-hal yang bersifat sosiologis, budaya maupun perjuangan revolusi bangsa Indonesia, melainkan hanya melihat dari aspek hukum dan perubahan yang terjadi. Hal ini mengingat sejarah yang dimaksud disini menyangkut persoalan perjalanan suatu organisasi kekuasaan yang disebut negara yang tentunya landasan yang dipergunakan adalah sistem hukum yang berlangsung pada saat masing-masing sejarah itu berjalan.

B. Periodesasi Sejarah Ketatanegaraan Indonesia.


Sebagai sebuah organisasi kekuasaan, maka sejarah ketatanegaraan Indonesia tentunya bersumber pada berbagi hal yang berkaitan dengan terbentuknya organisasi negara itu sendiri. Seperti pernah kita pelajari bersama, ketika kita masih duduk di bangku Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Atas

(SMA), sejarah Indonesia telah dikaji dan dipelajari sebagai suatu mata pelajaran yang substansinya bermula dari adanya peradaban bangsa Indonesia, yakni ketika orang-orang yang berada di wilayah Nusantara ini membentuk kesatuan masyarakat hukum yang masih bersifat sederhana, seperti kesatuan masyarakat hukum yang berbentuk Desa (dengan berbagai sebutannya), karajaan maupun persekutuanpersekutuan hukum otonom yang dibentuk berdasarkan hukum asli Indonesia atau Hukum adat. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka penulisan kembali Sejarah Ketatanegaran Indonesia di dalam Bab ini, hanya bertitik tolak dari munculnya suatu organisasi kekuasaan yang menguasai wilayah nusantara ini, yakni ketika bangsa asing masuk dan menduduki wilayah nusantara. Dengan demikian pada intinya sejarah ketatanegaran Indonesia akan dibagi ke dalam periodessi sebagai berikut: 1. Periode Sebelum Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang meliputi: a. Masa Penjajahan Belanda. b. Masa Pendudukan Bala Tentara Jepang. 2. Periode Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang meliputi: a. Pasca Pemberlakuan UUD 1945 Sejak 18 Agustus 1945; b. Ketatanegaraan Indonesia di bawah Konstitusi Republik Indonesia Serikat; c. Ketatanegaraan Indonesia di bawah UUDS 1950; d. Ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD 1945 (Dekrit Presiden 5 Juli 1959); 3. Ketatanegaraan Indonesia pada masa Orde Baru. 4. Ketatanegaraan Setelah Reformasi 1998: Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi. Periodesasi tersebut di atas menjadi acuan karena diantara masa-masa yang terdapat di dalamnya, masing-masing menunjukkan adanya karakteristik pengaturan organisasi kekuasaan (negara) yang berbeda antara satu dengan yang lain, khususnya bila ditinjau dari sistem ketatanegaraan yang diberlakukan. 1. Periode Sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. a. Masa Penjajahan Belanda. Pada masa ini Indonesia (yang selanjutnya disebut Hindia Belanda) dikonstruksikan merupakan bagian dari Kerajaan Belanda. Hal ini nampak jelas tertuang di dalam Pasal 1 UUD Kerajaan Belanda (IS 1926). Dengan demikian kekuasaan tertinggi di Hindia Belanda ada di tangan Raja. Akan tetapi dalam pelaksanaannya Raja (Ratu) tidak melaksanakan kekuasaannya sendiri di Hindia Belanda, melainkan dibantu oleh Gubernur Jenderal sebagai reiaksana. Ratu Belanda

sebagai pelaksana Pemerintahan Keraja-i~ Belanda harus bertanggung jawab kepada parlemen. Ini menunjukkan sistem pemerintahn yang dipergunakan di negeri Belanda adalam sistem Parlementer Kabinet. Adapun peraturan perundang-undangan dan lembaga negara mg ada pada masa Hindia Belanda adalah: a Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda 1938. 1. Pasal 1: Indonesia merupakan bagian dari Kerajaan Belanda; 2. Pasal 62: Ratu Belanda memegang pemerintahan tertinggi atas Pemerintahan Indonesia, dan Gubernur Jenderal atas nama Ratu Belanda menjalankan Pemerintahan Umum; B. Pasal 63: Ketatanegaraan Indonesia ditetapkan dengan Undang-Undang, soal-soal intern Indonesia diserahkan pengaturannya kepada badan-badan di Indonesia, kecuali ditentukan lain dengan Undang-Undang.

: 'ndische Staatsregeling (IS) pada hakikatnya adalah UndangUndang. Tetapi karena subtansinya mengatur tentang pokok-pokok dari Hukum Tata Negara yang berlaku di Hindia Belanda (Indonesia), maka secara materiil IS dapat dianggap sebagai Undang-Undang Dasar Hindia Belanda.

Berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan tersebut di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda adalah dengan mempergunakan asas dekonsentrasi. Dengan demikian secara umum, kedudukan dari Gubernur Jenderal dapat disetarakan sebagai Kepala Wilayah atau alat perlengkapan pusat (Pemerintah Kerajaan Belanda). Adapun bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan yang dikenal dimasa berlakunya IS, adalah : a. Wet: dibentuk oleh badan pembentuk Undang-Undang Negeri Belanda, yaitu mahkota (Ratu bersama-sama dengan menterinya) dan Parlemen; b. Algemene Maatsregelen van Bestuur (AmvB), dibentuk oleh mahkota sendiri (dalam sistem perundang-undangan Indonesia dewasa ini dapat disejajarkan dengan Peraturan Pemerintah); c. Ordonnantie, dibentuk oleh Gubernur Jenderal bersamasama dengan Volksraad (dalam sistem perundangundangan Indonesia dewasa ini dapat disejajarkan dengan Peraturan Daerah); d. Reggering Verordeningen (RV), peraturan yang dibentuk oleh Gubernur Jenderal sendiri.56 Keempat peraturan perundang-undangan ini disebut Algemene Verordeningen (Paraturan Umum). Di samping itu juga dikenal adanya Local Verordeningen (Paraturan lokal) yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang di tingkat lokal seperti Gubernur, Bupati, Wedana, dan Camat. Pada masa Hindia Belanda ini sistem pemerintahan yang dipergunakan adalah sentralistik. Akan tetapi agar corak sentralistik tersebut tidak terlalu mencolok, maka asas yang dipergunakan adalah dekonsentrasi yang dilaksanakan dengan seluas-luasnya. Hal ini menjadikan Hindia Belanda (Indonesia) tidak memiliki
56 Soehino, 1984, Hukum Tata Negara Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 3.

kewenangan otonom sama sekali, khususnya dalam mengatur dan mengurus urusan rumah tangga sendiri. Sistem ketatanegaraan seperti ini nampak dari hal-hal sebagai berikut: a. Kekuasaan eksekutif di Hindia Belanda ada pada Gubernur Jenderal dengan kewenangan yang sangat luas dan dibantu oleh Raad van Indie (Badan Penasehat); b. Kekuasaan Kehakiman ada pada Hoge Rechshof (Mahkamah Agung); c. Pengawas keuangan dilakukan oleh Algemene Reken Kamer.

Struktur ketatanegaraan seperti ini berlangsung sampai dengan masa pendudukan Bala Tentara Jepang dan berakhir pada saat Proklamasi kemerdekaan. Memperhatikan susunan ketatanegaraan tersebut di atas, maka dari segi Hukum Tata Negara, Hindia Belanda belum dapat disebut sebagai suatu negara. Hal ini mengingat tidak dipenuhinya unsurunsur untuk disebut negara, seperti mempunyai wilayah, mempunyai rakyat, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Memang realitasnya ketiga unsur tersebut dapat dikatakan sudah terpenuhi. Wilayahnya ada, rakyatnya ada, bahkan pemerintahan yang berdaulat terpenuhi. Akan tetapi hakikat keberadaan ketiga unsur tersebut tidak muncul karena dibangun oleh bangsa Indonesia sendiri, melainkan di dasarkan pada kondisi kolonialisme yang berlangsung pada saat itu. Maksudnya wilayah dan rakyat yang ada di Hindia Belanda sebenarnya sudah ada sejak Belanda belum masuk dan menduduki Indonesia. Dengan kata lain, wilayah nusantara dan masyarakat yang mendiami nusantara itu sudah ada sejak jaman dulu. Ditinjau dari adanya unsur pemerintahan yang berdaulat, sebenarnya Hindia Belanda tidak dapat dikatakan sebagai sebuah pemerintahan yang berdaulat, karena kedaulatan Hindia Belanda ada pada Kerajaan Belanda. Sedangkan Gubernur Jenderal hanya berfungsi sebagai penyelenggara pemerintahan umum di wilayah Hindia Belanda sebagai daerah jajahan kerajaan Belanda. b. Masa Pendudukan Bala Tentara Jepang. Sejarah menunjukkan bahwa dengan adanya Perang Asia Timur Raya atau terkenal dengan sebutan Perang Dunia II muncullah kekuatan angkatan perang yang cukup dominan yaitu Bala Tentara Jepang. Dengan kekuatan inilah hampir seluruh kawasan Asia mampu diduduki oleh Bala Tentara Jepang, tidak terkecual Indonesia yang pada saat itu masih berada di bawah kolonialisme Belanda. Dalam sejarah Perang Asia Timur Raya dapat digambarkan bahwa kedudukan Jepang di Indonesia adalah: 1. Sebagai Penguasa Pendudukan. Sebagai penguasa Pendudukan, maka Jepang tidak dibenarkan untuk mengubah susunan ketatanegaraan/Hukum di Hindia Belanda. Hal ini disebabkan wilayah Pendudukan Jepang merupakan wilayah konflik yang menjadi medan perebutan antara Bala Tentara Jepang dengan pihak Belanda. Oleh karena itu Jepang hanya meneruskan kekuasaan Pemerintah Belanda atas Hindia Belanda. Namun dalam hal ini kekuasaan tertinggi tidak lagi ada di tangan Pemerintah Belanda, melainkan diganti oleh kekuatan Bala Tentara Jepang. 2. Jepang berusaha mengambil simpati dari bangsa-bangsa yang ada di kawasasan Asia Timur Raya termasuk Indonesia dengan menyebut dirinya sebagai saudara tua. Dalam sejarah Indonesia, sebutan seperti ini dilanjutkan dengan pemberian

janji kemerdekaan kepada Indonesia dikelak kemudian hari. Janji tersebut direalisir dengan membentuk BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) yang kemudian melaksanakan persidangan sebanyak dua kali: a. 28 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 menghasilan Rancangan Dasar Negara; b. 10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945 menghasilkan Rancangan Undang-Undang Dasar.

Setelah menghasilkan dua karya ini BPUPKI bubar dan dibentuk PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 11 Agustus 1945. Sebelum PPKI berhasil melaksanakan sidang-sidang untuk melanjutkan upaya-upaya yang telah dilaksanakan BPUPKI, Jepang menyerah kepada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Pada saat itu pula Sekutu belum masuk ke wilayah Indonesia. Menurut Hukum Internasional, penguasa pendudukan yang menyerah harus tetap menjaga agar kedudukan wilayah pendudukan tetap dipertahankan seperti sedia kala atau dalam kondisi status quo. Perlu diketahui pula pada masa Pendudukan Bala Tentara Jepang, wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah besar, yaitu: 1. Daerah yang meliputi Pulau Sumatera di bawah kekuasaan Pembesar Angkatan Darat Jepang dengan pusat kedudukan di BukitTinggi; Z. Daerah yang meliputi Pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Angkatan Darat yang berkedudukan di Jakarta; dan ?. Daerah-daerah selebihnya berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut yang berkedudukan di Makasar.57 Dari pembagian wilayah ini membuktikan bahwa pada masa Pendudukan Bala Tentara Jepang paham militeristik menjadi model bagi pengaturan sistem ketatanegaraan di Indonesia. I: del militeristik seperti ini dipandang lebih efektif karena lebih engedepankan jalur komando dan mampu menghimpun kekuatan yang cukup signifikan guna menghadapi serangan musuh. Dengan menggunakan model seperti ini tidak pelak lagi ukalau sistem ketatanegaraan yang diberlakukan adalah bersifat ~er.tTalistik.

f" Ibid, hlm. 13. 2. Periode Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. a. Pasca Pemberlakuan UUD 1945 Sejak 18 Agustus 1945. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan titik tolak keberadaan Hukum Tata Negara Indonesia, sebab sebelum Proklamasi tidak dijumpai produk Hukum Tata Negara Indonesia, kecuali IS (Produk Belanda) dan Hukum Tata Negara Adat yang berlaku di satuan-satuan pemerintahan asli Indonesia. Proklamasi kemerdekaan bagi suatu Bangsa untuk mendirikan suatu organisasi negara yang merdeka dan berdaulat, merupakan suatu perbuatan hukum dalam lapangan hukum internasional. Sedangkan hakikat perbuatan hukum itu sendiri adalah suatu tindakan atau

perbuatan yang menimbulkan akibat hukum serta mengandung dimensi hak dan kewajiban. Proklamasi Kemerdekaan adalah pernyataan sepihak tentang Kemerdekaan dari suatu bangsa yang berhak menentukan nasibnya sendiri (self determination). Oleh sebab itu Proklamasi (deklarasi) Kemerdekaan mempuyai dua aspek atau dimensi, yaitu: 1. Kebebasan dari belenggu kekuasaan negara lain. Dalam konteks kemerdekaan Indonesia maka yang dimaksud disini adalah dari kekuasaan Pendudukan Bala Tentara Jepang secara de facto. Artinya, secara sosio-historis bangsa Indonesia telah melepaskan diri dari kekuasaan Bala Tentara Jepang melalui kemerdekaan, serta kekuasaan Belanda secara de jure, artinya ditinjau dari aspek yuridis, Indonesia telah melepaskan diri dari ikatan sistem Hukum Belanda. 2. Kemerdekaan juga berarti mengambil kekuasaan tertinggi -baik secara paksa maupun perjanjian - di tangan sendiri untuk menentukan nasibnya sendiri. Berdasarkan rumusan (teks) Proklamasi yang dikumandangkan oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, maka di dalamnya termuat tiga substansi pokok yang selanjutnya disebut Norma Hukum Pertama dari normanorma hukum yang akan dibentuk oleh Negara Indonesia yang berdaulat. Tiga substansi pokok tersebut adalah: 1. Pernyataan Kemerdekaan tersebut mengandung arti sebagai pernyataan akan kedaulatan penuh dalam mengatur atau menata sistem ketatanegaraan sendiri; 2. Pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Maksud dari pernyataan ini adalah pemindahan kekuasaan - baik itu dilakukan secara paksa maupun dengan jalan perundingan - akan diikuti dengan pembenahan struktur kekuasaan bagi Bangsa Indonesia yang dilakukan secepatnya. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah akan dibentuk Dasar Hukum Ketatanegaraan Indonesia dan berbagai peraturan perundang-undangan lain untuk melengkapi sistem ketatanegaraan Indonesia; dan 3. Proklamasi kemerdekaan tersebut merupakan pemberitahuan kepada seluruh rakyat Indonesia dan masyarakat internasional, bahwa telah berdiri satu negara baru dan berdaulat, yakni Negara Republik Indonesia dengan bentuk dan susunan pemerintahannya akan diatur oleh Undang-Undang Dasar. Dasar Hukum Proklamasi kemerdekaan adalah Proklamasi itu sendiri. Hal ini disebabkan proklamasi itu sendiri diterima atas dasar kenyataan dan dikehendaki oleh seluruh bangsa Indonesia (Solus Populi Suprema Lex: Kehendak rakyat adalah hukum yang tertinggi). Dengan demikian Proklamasi adalah NORMA PERTAMA dari Tata Hukum Indonesia, maksudnya adalah norma yang adanya pertama

kali, karena menjadi dasar bagi berlakunya norma-norma yang lainnya.58 Norma seperti ini sering disebut sebagai Norma Fundamental Negara (staatsfundamentalnorm) yakni norma tertinggi di dalam suatu negara yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi bersifat presupposed atau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam suatu negara dan merupakan norma yang menjadi tempat bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya.59

Menurut Hans Nawiasky, isi Staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu Staatsfundamentalnorm ialah syarat berlakunya suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Ia ada lebih dahulu sebelum adanya konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Konsttusi menurut Cari Schmitt merupakan keputusan atau konsensus bersama tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politik (eine Gesammtentscheidung Uber Art und Form einer politischen Einheit), yang disepakati oleh suatu bangsa.60 Berdasarkan konsep teoritis seperti ini menunjukkan bahwa antara Proklamasi dan Staatsfundamentalnorm terhadap hubungan yang sangat erat bahkan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Hal ini mengingat antara keduanya merupakan suatu yang tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi. Konsep seperti ini nampak jelas terungkap di dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan: "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia ini dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia". Lain daripada itu, akibat dari proklamasi adalah bahwa Indonesia membebaskan diri dari kolonialisme dan berdiri sebagai negara merdeka. Oleh karena itu masuknya kembali kekuatan asing di Indonesia setelah proklamasi merupakan suatu tindakan yang tidak sah. Oleh sebab itulah untuk melengkapi Negara Proklamasi dilakukan usaha-usaha 59 Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-Undangcm Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 46. 60 Hamid S. Attamimi, dalam Ibid. sebagai berikut:

Sejarah Ketatanegaraan Indonesia 77 Menetapkan UUD Negara Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945; I Penetapan Soekarno dan Moh. Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden oleh PPKI; 1 Pembentukan Departemendepartemen oleh Presiden; Pengangkatan anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) oleh Presiden yang akan bekerja sama dengan Presiden; dan r. Pembentukan delapan Provinsi oleh PPKI. Usaha-usaha tersebut kemudian dilanjutkan pada tanggal 16 Oktober 1945 melalui penerbitan Maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 194561 untuk memberikan penguatan secara hukum :e:hadap langkah-langkah demokratisasi pemerintahan setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Isi dari Maklumat tersebut antara lain: 1. KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut membuat atau menetapkan Garis-garis Besar daripada Haluan Negara, sebelum terbentuknya MPR dan DPR; Z. Pekerjaan sehari-hari KNIP dilakukan oleh Badan Pekerja (BP) KNIP. Ditinjau dari aspek konstitusional (berdasarkan UUD 1945 yang berlaku saat itu) Maklumat ini jelas menimbulkan persoalan, karena di dalam UUD 1945 fungsi dan wewenang KNIP semata-mata hanyalah pembantu Presiden sebelum MPR, DPR, dan DPA terbentuk. Hal ini nampak jelas di dalam ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, 61 Maklumat ini dikeluarkan oleh Wakil Presiden dan tidak diberi nomor. Oleh sebab itu nomor dari maklumat tersebut adalah X (bukan sepuluh romawi). Wakil Presiden mengeluarkan Maklumat karena pada waktu itu Presiden Soekarno berada di luar negeri, dan ini merupakan satu-satunya keputusan Wakil Presiden yang dikeluarkan dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Dalam khasanah sistem perundang-undangan Indonesia Dewan tidakPerwakilan dikenal Rakyat adanya danMaklumat. Jadi sebenarnya eksistensi dari Maklumat tersebut tidak lain adalah sebuah Pengumuman. Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut UndangUndang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite. Konstruksi Pasal yang demikian ini dapat ditafsirkan bahwa kedudukan KNIP pada hakikatnya adalah pembantu Presiden dalam menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan KNIP tersebut dapat disetarakan dengan kedudukan Menteri yang membantu Presiden dalam melaksanakan fungsi Pemerintahan. Dengan munculnya Maklumat No. X Tahun 1945 tersebut, maka telah terjadi perubahan kedudukan dari KNIP yang

dulunya sebagai pembantu Presiden dalam melaksanakan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA, menjadi sejajar dengan Presiden, khususnya dalam menjalankan fungsi legislatif dan dalam menetapkan Garis-garis Besar daripada Haluan Negara. Berkaitan dengan hal inilah muncul permasalahan, yakni apakah Maklumat No. X Tahun 1945 tersebut telah mengubah UUD 1945, dan bagaimanakah eksistensi maklumat tersebut bila ditinjau dari kedudukan UUD 1945 sebagai Hukum Dasar yang tertinggi? Menurut Joeniarto maklumat tersebut pada hakikatnya telah mengubah UUD 1945. Hal ini mengingat rumusan yang menyatakan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut serta membuat Garis-garis Besar daripada Haluan Negara mengandung makna bahwa KNIP bersama-sama dengan Presiden menetapkan Undang-Undang dan Garis-garis Besar daripada Haluan Negara. Makna ini jelas berbeda dengan makna yang terkandung di dalam Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 yang tegas-tegas menyatakan bahwa KNIP membantu Presiden dalam menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA. Dengan kata lain kata ikut serta mengandung makna adanya kedudukan yang sejajar antara KNIP dan Presiden. Sedangkan kata membantu mengandung makna bahwa kedudukan KNIP tersubordinasi oleh Presiden. Lain daripada itu dengan adanya Maklumat ini kekuasaan Presiden dalam menjalankan fungsi legislatif dan membuat Garis-garis Besar daripada Haluan Negara menjadi berkurang, sebagai akibat sebagian dari fungsi ini dilimpahkan secara bersama-sama dengan KNIP. Menurut Sugeng Istanto keberadaan Maklumat No. X Tahun 1945 pada hakikatnya tidak mengubah UUD 1945, melainkan hanya berfungsi untuk menjelaskan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Kata-kata dibantu oleh KNIP selaras dengan kata ikut serta atau bersama-sama sebagaimana tertuang di dalam Maklumat tersebut. Menurut Sugeng Istanto adanya makna yang selaras harus dihubungkan dengan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 (pen: sebelum amandemen T) yang menegaskan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian menurut argumentasi Sugeng Istanto kata bantuan yang dimaksud Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 itu hanya sebatas pada bidang tertentu, yakni bidang membuat Undang-Undang dan Garis-garis Besar daripada haluan Negara, tidak mengenai bidang eksekutif. Menurut hemat penulis, argumentasi seperti ini jelas tidak dapat diterima menurut logika yuridis konstitusional. Hal ini disebabkan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 pada hakikatnya telah memberikan kekuasaan yang besar kepada Presiden untuk menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA. Dengan adanya ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 tersebut jelas bahwa Presiden menduduki posisi yang super supreme. Dia adalah pengejawantahan kekuasaan MPR, DPR, dan DPD sebelum lembaga-lembaga tersebut dibentuk berdasarkan UUD 1945 ini. Oleh sebab itulah kata dibantu oleh

sebuah Komite tetap meletakkan kedudukan Komite ini di bawah kekuasaan Presiden. Hal ini jelas berbeda dengan rumusan yang terkandung di dalam Maklumat No. X Tahun 1945 yang tegas-tegas menyatakan diserahi kekuasaan legislatif dan ikut serta membuat atau menetapkan Garis-garis Besar daripada Haluan Negara. Oleh sebab itulah penulis tetap berpegang pada argumentasi yang dikemukakan oleh Juniarto. Lain daripada itu jikalau Sugeng Istanto (aim) menyatakan bahwa Maklumat tersebut hanya berfungsi menjelaskan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, maka argmentasi tersebut jelas tidak dapat diterima, karena pada waktu itu perangkat kelembagaan yang berwenang untuk memberikan penjelasan terhadap makna dari ketentuan UUD 1945 tidak dikenal. Bahkan jikalau diletakkan dalam konteks hubungan dengan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, maka pendapat tersebut juga tidak dapat diterima secara yuridis konstitusional, karena kekuasaan Presiden untuk membuat Undang-Undang adalah kewenangan untuk membentuk sebuah peraturan perudang-undangan di bawah UUD 1945. Apalagi sesuai dengan hirarkhi perundangundangan tidak dibenarkan jikalau sebuah Undang-Undang mengandung materi muatan yang menyimpang dari UUD 1945. Berkaitan dengan persoalan yang melingkupi Maklumat No. X Tahun 1945 tersebut, maka bila dikaji dari sudut pandang konstitusionalisme menurut UUD 1945, dapat diterangkan sebagai berikut. Sumber hukum dari keberadaan Maklumat No. X Tahun 1945 tidak lain adalah konvensi ketatanegaraan (Convention of Constitution). Argumentasi ini berdasarkan pada pandangan Decey dalam buku yang berjudul Convention of Constitution yang mengemukakan bahwa suatu peristiwa Hukum Tata Negara dapat dikategorikan sebagai konvensi jika peristiwa tersebut mengandung salah satu dari kriteria, yakni: 1. Understandings, yakni adanya saling pengertian diantara organ atau lembaga negara yang akan mengeluarkan satu produk hukum tata negara; 2. Habits, yaitu kebiasaan atau kelumrahan yang dikenal di dalam kehidupan ketatanegaraan; dan 3. Practices, yaitu praktek-praktek ketatanegaraan, walaupun itu tidak tertulis di dalam sebuah konstitusi.62 Dari ketiga kriteria atau parameter tersebut di atas, jika diletakkan pada konteks keluarnya Maklumat No. X Tahun 1945 maka hal tersebut belum dapat dikategorikan sebagai 62 Decey, dalam Islamil Suny, 1986, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, hlm. 36-37. konvensi

Sejarah Ketatanegaraan Indonesia 81 berdasarkan Habits dan Practices. Dengan demikian, satusatunya kriteria yang dapat dimasukkan disini adalah Understandings, yakni adanya saling pengertian dan kesepahaman antara Presiden (dalam hal ini dilakukan oleh Wakil Presiden) dengan KNIP. Bahkan peralihan tersebut memang dikehendaki oleh KNIP itu sendiri. Walaupun Maklumat No. X Tahun 1945 dikatakan menyimpang dari ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, namun keluarnya Maklumat tersebut tetap memiliki dasar hukum yang jelas, yakni Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 itu sendiri. Berkaitan dengan hal ini Assat mengemukakan bahwa hal-hal yang diatur dalam Maklumat No. X seharusnya diatur oleh Undang-Undang Dasar. Dalam hal ini, Presiden telah menggunakan kekuasaan MPR untuk mengubah Undang-Undang Dasar berdasarkan ketentuan Peralihan Pasal IV, karena itu, Maklumat No. X mempunyai kedudukan yang sama dengan Pasal-pasal UUD 1945.63 Lebih lanjut Assat mengatakan bahwa Maklumat No. X ini merupakan langkah demokratis yang progresif, mengingat kenyataan bahwa pemilihan umum tidak selayaknya diadakan pada saat Indonesia masih berperang melawan Belanda yang ingin mengembalikan dominasi kolonial di Indonesia.64 Pendapat tersebut di atas didukung oleh Pringgodigdo yang mengatakan bahwa Maklumat No. X mempunyai kedudukan hukum yang setingkat dengan ketetapan konstitusional yang dibuat oleh MPR berdasarkan Pasal 37 yang sesuai dengan Pasal IV Aturan Peralihan. Dikemukakan pula bahwa Presiden berwenang antuk menjalankan kekuasaan MPR untuk mengubah Undang-"Jndang Dasar. Syarat bahwa sekurang-kurangnya 2/3 (dua per riga) dari anggota MPR harus hadir dan bahwa keputusan harus i:dukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari i3 Assat, dalam Aduan Buyung Nasution, 1995, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1950-1959, Grafiti, Jakarta, hlm. 17. H Ibid. anggota yang hadir, sudah dipenuhi, karena MPR telah diganti oleh satu

orang, sehingga persyaratan itu sudah dipenuhi 100% (seratus persen). KNIP juga membantu karena usul untuk mengeluarkan Maklumat tersebut berasal dari KNIP.65 Berdasarkan argumentasi yuridis konstitusional inilah, maka sumber hukum keberadaan maklumat No. X Tahun 1945 tersebut adalah konvensi ketatanegaraan dengan berlandaskan pada kriteria understandings, sedangkan dasar hukum dari Maklumat tersebut adalah Pasal IV Aturan Peralihan Jo Pasal 37 UUD 1945. Untuk menindaklanjuti pelaksanaan Maklumat No. X Tahun 1945, dikeluarkanlah Maklumat Pemerintah Tanggal 14 Nopember Tahun 1945. Dalam Maklumat Pemerintah ini dinyatakan antara lain: 1. Pengumuman tentang terbentuknya Kabinet Baru; dan 2. Pengumuman bahwa Kabinet yang baru terbentuk tersebut bertanggungjawab kepada KNIP. Substansi Maklumat Pemerintah ini juga menimbulkan persoalan di bidang sistem pemerintahan. Di dalam Pasal 4 UUD 1945 (pen: sebelum amandemen) ditegaskan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan. Sedangkan Pasal 17 menegaskan bahwa Menteri Negara membantu Presiden serta diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Kedua pasal tersebut memberikan penegasan bahwa sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh UUD 1945 adalah sistem presidensiil. Akan tetapi di dalam Maklumat Pemerintah tersebut justru meletakkan mekanisme pertanggungjawaban kabinet kepada KNIP yang jelas-jelas merupakan ciri dari sistem parlementer (Jikalau KNIP dianggap sebagai sebuah parlemen). Berkaitan dengan hal ini Joeniarto mengatakan bahwa keberadaan Maklumat Pemerintah 14 Nopember 1945 tetap dapat dibenarkan. Hal ini mengingat Maklumat No. X Tahun 1945 juga dapat dibenarkan, karena sumber hukumnya adalah konvensi ketatanegaraan. Bahkan dasar hukumnya adalah Pasal 37 Jo Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Sementara itu menurut S u geng Istanto, keberadaan Maklumat Pemerintah ini jelas-jelas :: dak dapat dibenarkan, karena melanggar Pasal 4 dan Pasal 17 UUD 1945. Dengan demikian Maklumat Pemerintah ini tidak ada dasar hukumnya atau tidak ada ketentuan hukum yang dapat dipergunakan untuk mengeluarkan Maklumat Pemerintah tersebut. Sehubungan dengan perbedaan pendapat tersebut YB. Mangunwijaya mengemukakan bahwa historis nyatanya UUD 1945 yang begitu otoriter segera terasa tidak pas dengan suasana Revolusi, dimana setiap orang dan kelompok gandrung besar akan kemerdekaan berpikir, berpendapat, berkumpul dan berserikat. Maka perlulah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, tanggal 14 Nopember 1945, menetapkan keputusan, yang disebut Revolusi ke-2 tetapi penuh damai untuk menyimpan dulu sistem UUD 1945 yang memang otokris dan serba tergesa-gesa dibuat sekadar, sementara, kilat, kurang lengkap dan kurang sempurna itu; diganti dengan sistem demokrasi revolusioner. Bukan demo-

krasi parlementer seperti yang biasanya di P4-kan, karena waktu itu belum ada parlemen.65 Berdasarkan berbagai argumentasi tersebut di atas, menurut hemat penulis keberadaan Maklumat pemerintah ini merupakan bentuk penyimpangan67 terhadap UUD 1945 yang pertama kali setelah Indonesia membentuk organisasi ketatanegaraan dan memiliki Hukum Dasar tertulis. Hal ini disebabkan karena sejak keluarnya Maklumat No. X Tahun 1945 seharusnya setiap ke-putusan yang menyangkut perubahan sistem ketatanegaraan harus dikeluarkan dengan produk hukum sebagai hasil kerja sama antara KNIP dan Pemerintah (Presiden). Produk hukum tersebut tidak hanya sebatas Maklumat Pemerintah, melainkan minimal harus berwujud Undang-Undang yang dikeluarkan sebagai hasil 66 YB. Mangunwijaya, 1998, Menuju Republik Indonesia Serikat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 20. 67Menurut terminologi Mangunwijaya disebut "menyimpan dulu sistem UUD 1945". kerja sama antara Presiden dan KNIP. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa adanya Maklumat Pemerintah ini telah terjadi perubahan sistem pemerintahan Indonesia tanpa melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Keadaan tersebut di atas tentunya tidak bisa dilihat dari kacamata normatif yuridis. Ada faktor penting yang mengakibatkan sistem ketatanegaraan begitu cepat berubah tanpa melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Secara politis perubahan yang begitu cepat memang sangat dibutuhkan bagi Negara Indonesia yang baru merdeka. Sistem Pemerintahan masih dicari bentuk yang paling ideal. Dalam rangka inilah konstelasi politik di tingkat global tidak mungkin untuk dinafikan begitu saja. Pendek kata pencarian bentuk sistem ketatanegaraan yang akan dibangun dan dikembangkan oleh Negara Indonesia sangat dipengaruhi oleh peta politik di tingkat internasional pada saat itu. Kemerdekaan Indonesia - yang bertepatan setelah Perang Dunia II usai - juga relatif bersamaan dengan kemerdekaan dari bangsa-bangsa di kawasan Asia Pasifik, bahkan di kawasan Eropa. Pada saat itu konstelasi politik di tingkat global menganggap bahwa terjadinya Perang Dunia II yang memporak porandakan harkat dan martabat kemanusiaan disebabkan oleh ulah pemimpin-pemimpin negara yang tidak demokratis, seperti Jerman di bawah Adolf Hitler, Italia di bawah Benito Mussolini, dan Jepang di bawah rezim militer. Oleh sebab itulah ketika Sekutu di bawah AS dan Rusia memenangkan konflik bersenjata dalam Perang Dunia II ada fenomena politik yang menghendaki adanya jaminan kehidupan demokrasi dan perlindungan Hak-hak asasi manusia yang harus dipenuhi dalam rangka memberikan pengakuan kepada negara-negara yang baru merdeka tersebut. Kita juga mencatat bahwa Deklarasi Sedunia Hak-hak Asasi Manusia juga dikumandangkan oleh Perserikatan Bangsabangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948. Tahun dimana

Perang Dunia II masing membekas dalam ingatan masyarakat internasional pada saat itu. Fenomena politik inilah yang kemudian memunculkan kecenderungan bagi negara-negara yang baru merdeka itu untuk menamakan dirinya sebagai negara demokrasi dan pelindung Hak hak asasi manusia. Terlepas dari substansi yang terkandung di dalamnya benar-benar demokratis atau tidak. Contohnya Republik Rakyat Cina (RRC), Republik Demokrasi Jerman (Jerman Timur), Republik Demokrasi Korea (Korea Utara). Jika kita lihat walaupun -egara-negara tersebut mempergunakan nama demokrasi namun kenyataannya negara-negara itu belum dapat dikategorikan seba-cai negara demokrasi. Pencantuman nama demokrasi oleh negara-negara tersebut semata-mata hanya dipergunakan untuk memperoleh pengakuan di dunia internasional, khususnya Sekutu. Kondisi semacam ini secara politis juga berpengaruh bagi Negara Republik Indonesia yang baru merdeka. Oleh sebab :tu untuk memperoleh pangakuan dunia internasional, maka dilakukanlah modifikasi atau perubahan-perubahan sistem ketatanegaraan kearah yang lebih demokratis. Hal ini mengingat menurut konstruksi UUD 1945 sistem ketatanegaraan yang dipergunakan adalah executive heavy atau supremasi eksekutif. Dengan demikian, untuk mengindari anggapan masyarakat internasional bahwa Indonesia yang baru merdeka itu adalah negara yang otoriter (non demokratis), maka jalan satu-satunya adalah dengan melakukan perubahan sistem ketatanegaraan tanpa mengubah UUD 1945, walaupun secara konstitusional adalah tidak dibenarkan alias tidak sah. Cara semacam ini tetap dilakukan karena untuk mengamandemen UUD 1945 membutuhkan proses yang cukup panjang. Dari perubahan-perubahan sistem ketatanegaraan tersebut di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa para pendiri negara pada waktu itu menganggap bahwa sistem parlementer dianggap lebih demokratis bila dibandingkan dengan sistem presidensiil sebagaimana digariskan oleh UUD 1945. Anggapan semacam ini tetap saja dapat dibenarkan jika menyangkut persoalan tentang ada tidaknya mekanisme pertanggungjawaban penyelenggara pemerintahan secara konkrit. Memang dalam sistem parlementer dikenal adanya lembaga mosi tidak percaya yang mengakibatkan kabinet sebagai penyelenggara pemerintahan menjadi tumbang, ketika pertanggungjawabannya tidak diterima oleh parlemen sebagai representasi rakyat. Mekanisme semacam ini tidak dikenal di dalam sistem presidensiil. Akan tetapi sebaliknya bila ditinjau dari mekanisme penentuan kepala pemerintahan, sistem presidensiil bisa dikatakan relatif demokratis, karena rakyat dapat menentukan sendiri secara langsung figur-figur kepala pemerintahan sesuai dengan kehendaknya melalui pemilihan umum. Sedangkan di dalam sistem Parlementer penentuan figur kepala pemerintahan jelas dilakukan secara bertingkat. Artinya rakyat melakukan pemilihan umum secara langsung untuk memilih

wakil-wakil yang akan duduk di parlemen, kemudian parlemen inilah yang akan menentukan kepala pemerintahan. Inilah yang mungkin menjadi alasan mengapa sistem pemerintahan Indonesia pada saat itu mengalami perubahan yang cukup signifikan. b. Katatanegaraan di Bawah Konstitusi Indonesia Serikat. Dengan Proklamasi 17 Agustus 1945 maka kemerdekaan bangsa Indonesia telah tercapai. Menurut Soekarno Proklamasi merupakan jembatan Emas untuk menuju perikehidupan dan peri kebangsaan yang merdeka dan berdaulat. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa Belanda masih tetap ingin menguasai Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Belanda masih tetap mempunyai anggapan bahwa kedaulatan atas Hindia Belanda masih berada di tangan Pemerintah Kerajaan Belanda. Alasan seperti ini didasarkan pada: a. Ketentuan Hukum Internasional, yang menyatakan bahwa suatu wilayah yang diduduki sebelum Perang statusnya tidak berubah. Konsekuensi dari ketentuan seperti ini adalah Hindia Belanda yang diduduki oleh Bala Tentara Jepang masih tetap merupakan bagian dari Kerajaan Belanda. Oleh karena itu setelah Jepang menyerah, maka yang berkuasa atas Hindia Belanda adalah Pemerintah Kerajaan Belanda sebagai pemilik atau penguasa semula.

b. Perjanjian yang diadakan menjelang berakhirnya Perang Dunia II (Perjanjian Postdamn). Perjanian Postdamn merupakan perjanjian yang dilakukan oleh Negara-negara yang bergabung dalam Sekutu dengan pihak Jepang. Dalam perjanjian tersebut antara lain menetapkan bahwa setelah Perang Dunia II selesai, yakni dengan dihancurkannya kekuatan Jepang, Jerman, dan Italia, maka wilayah yang diduduki oleh ketiga negara tersebut akan dikembalikan kepada penguasa semula. Oleh karena adanya perjanjian seperti ini, maka Belanda masih merasa memiliki kedaulatan atas Hindia Belanda secara de jure. Terkat dengan adanya perjanjian ini. Wolhoff memberikan gambaran yang terjadi di Indonesia bila ditinjau dari persoalan kedaulatannya. Wolhof mengemukakan bahwa sejak tanggal 17 Agustus 1945 dalam bagian wilayah Koninkrijk der Nederlanden (wilayah Hindia Belanda) berkembanglah dua macam pemerintahan sentral dan lokal, yaitu: 1. Pemerintah Republik Indonesia yang mempertahankan hak kedaulatannya atas seluruh bekas wilayah Hindia Belanda, baik terhadap Koninkrijk der Nederlanden maupun terhadap dunia internasional berdasarkan hak mutlak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. 2. Pemerintah Nederlands Indie, suatu persekutuan hukum otonoom dalam ikatan negara Koninkrijk der Nederlanden yang kedaulatannya atas wilayah Hindia Belanda diakui secara de jure oleh dunia internasional berdasarkan traktat dan perjanjian-perjanjian internasional. Baik pemerintah Indonesia maupun pemerintah Nederlands Indie, berusaha menguasai wilayah tersebut secara de facto maupun de jure.66 Dari gambaran seperti ini, maka kedaulatan Indonesia yang dinyatakan bersamaan dengan Proklamasi 68 Wolhoff, dalam Tolchah Mansoer, 1983, Pembahasan Tentang Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif Negara Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 16-17. Kemerdekaan 17

Agustus 1945 jelas menimbulkan permasalahan tersendiri. Bagi Pemerintah Republik Indonesia butir pertamalah yang harus dipergunakan sebagai dasar pijakan untk mengakui kedaulatan negara. Pijakan ini bersumber dari moral internasional yang menggariskan bahwa setiap bangsa mempunyai hak mutlak untuk menentukan nasibnya sendiri. Sebaliknya bagi pemerintah Nederland Indie butir kedualah yang harus menjadi landasan berpijak dalam menentukan kedaulatan bagi suatu wilayah, sebab secara de jure wilayah Hndia Belanda telah diakui oleh traktat maupun perjanjian internasional. Pijakan yang dipergunakan oleh pemerintah Nederlands Indie adalah hukum internasional. Pemerintah Republik Indonesia menganggap telah memiliki kedaulatan penuh atas seluruh bekas wilayah Hindia Belanda sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dengan melandaskan pada moral internasional yang sifatnya universal. Kedaulatan adalah hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Sedangkan pemerintah Nederlands Indie merasa masih tetap berdaulat atas seluruh wilayah Hindia belanda karena secara de jure diakui oleh Hukum Internasional melalui traktat-traktat atau perjanjianperjanjian internasional. Berpijak dari pandangan pemerintah Nederlands Indie itulah, maka Indonesia yang secara de facto telah merdeka dianggap bukan merupakan subyek hukum internasional. Indonesia hanya dianggap sebagai obyek hukum internasional dan dibicarakan dalam traktat-traktat atau perjanjianperjanjian internasional. Pandangan seperti inilah yang mengakibatkan pemerintah Nederlands Indie menganggap tetap memiliki hak untuk kembali dan menguasai Indonesia setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Untuk melaksanakan hak inilah Belanda mengadakan perjanjian dengan Inggris yang pada intinya meminta Inggris untuk membantu Belanda kembali ke Indonesia. Oleh sebab itulah ketika Inggris datang sebagai salah satu negara anggota Sekutu, Belanda ikut serta di dalamnya. Kejadian seperti inilah kemudian memunculkan konflik bersenjata antara Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dengan NICA pada tanggal 10 Nopember 1946 di Surabaya. Konflik senjata ini didamaikan Inggris, tetapi berdasarkan kesepakatan antara Inggris dan Belanda tersebut, pihak Inggris tetap lebih condong untuk membantu Belanda. Pada tanggal 17 Nopember 1946 terjadi perundingan antara Indonesia dengan Belanda yang pada akhirnya mengalami kegagalan. Kemudian pada tanggal 25 maret 1947

diadakan perundingan di Linggarjati, yang antara lain menghasilkan: 1. Belanda mengakui RI berkuasa secara de facto atas Jawa, Madura dan Sumatera. Di wilayah lainnya yang berkuasa adalah Belanda; 2. Belanda dan Indonesia akan bekerja sama membentuk Republik Indonesia Serikat; serta 3. Belanda dan Indonesia akan membentuk Uni Indonesia Belanda. Dalam kenyataannya persetujuan ini justru tidak mendamaikan, karena ada perbedaan penafsiran terhadap substansi perjanjian Linggarjati, yakni mengenai kedaulatan Indonesia - Belanda, yaitu: a. Belanda mengatakan: sebelum RIS terbentuk yang berdaulat adalah Belanda, maka hubungan luar negeri atau internasional hanya boleh dilakukan oleh Belanda; b. Indonesia berpendapat: sebelum RIS terbentuk, Indonesia sudah berdaulat setidaknya di Jawa, Madura, dan Sumatera, maka hubungan internasional juga boleh dilakukan oleh Indonesia. c. Belanda meminta dibuat Polisi bersama. Dalam hal ini Indonesia menolak. Akibat adanya perbedaan penafsiran inilah terjadi Clash I antara Indonesia dan Belanda pada tanggal 21 Juli 1947 dan Clash II pada tanggal 19 Desember 1948. Menurut Indonesia kedua Clash tersebut pada hakikatnya adalah bentuk agresi atau aksi militer yang dilakukan Belanda di sebuah negara yang berdaulat. Sedangkan menurut Belanda Clash tersebut adalah aksi kepolisian dalam rangka melakukan penertiban di salah satu wilayah kedaulatan Belanda. Bentrok bersenjata ini kemudian dilerai oleh Perserikatan Bangsa Bangsa dan melakukan gencatan senjata serta persetujuan baru di atas kapal Renville pada tahun 1948. Isi dari perjanjian tersebut antara lain: 1. Wewenang Indonesia dalam persetujuan ini diperkecil, dan Belanda dianggap berdaulat penuh diseluruh Indonesia (Hindia Belanda) sampai terbentuknya Republik Indonesia Serikat. 2. RIS mempunyai kedudukan sejajar dengan Belanda. 3. Republik Indonesia hanya merupakan bagian dari RIS. Untuk mengupayakan berakhirnya konflik antara Indonesia dan Belanda, maka diadakanlah Konferensi Meja Bundar (KMB), akan tetapi sebelum berlangsung konferensi tersebut, Indonesia sudah dipecah-pecah menjadi banyak negara bagian. Kemudian sebagai pelaksanaan dari KMB tersebut, pada tanggal 27 Desember 1949 dibentuklah Negara

Republik Indonesia Serikat dengan Konstitusi RIS. Kondisi seperti ini merupakan bentuk kemunduran dari konsepsi Negara Kesatuan yang disepakati oleh para pendiri negara di dalam UUD 1945. Berubahnya negara kesatuan menjadi negara serikat pada hakikatnya tidak hanya disebabkan oleh adanya campur tangan pihak luar, dalam hal ini Belanda dan PBB. Akan tetapi kondisi internal Indonesia juga memberikan sumbangan. Beberapa ahli sejarah dan pakar Indonesia (Indonesianist) pada intinya menyampaikan bahwa daerah-daerah di Indonesia memang sejak semula mempunyai keinginan untuk melepaskan diri dari ikatan Negara Kesatuan dan membentuk negara sendiri-sendiri. Daerah-daerah ini pada hakikatnya tidak puas terhadap kebijaksanaan Pemerintah Pusat (Jakarta). Mereka menganggap bahwa kebijaksanaan yang diambil oleh Pemerintah Pusat tidak mencerminkan rasa keadilan antara pusat dan daerah. Banyak daerah yang melakukan pemberontakan, misalnya PRRI (Permesta), dan pemberontakan yang dilakukan oleh personil-personil Angkatan Darat yang ditempatkan di daerah, seperti Kol. Simbolon. Perlawanan daerah-daerah inilah yang ikut memicu berubahnya Indonesia ke bentuk Negara Serikat. Republik Indonesia Serikat berlangsung sampai dengan tanggal 17 Agustus 1950, dan menurut Konstitusi Republik Indonesia Serikat sistem pemerintahan negara yang dipergunakan adalah sistem semi parlementer. Hal ini nampak jelas tertuang di dalam Pasal 122 yang menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat yang ditunjuk menurut Pasal 109 dan pasal 110 tidak dapat memaksa kabinet atau masingmasing menteri meletakkan jabatannya. Konstruksi seperti ini dikatakan sebagai sistem semi parlementer, karena prinsip yang dipergunakan tidak sesuai dengan prinsip sistem parlementer murni, dimana Dewan Perwakilan Rakyat dapat memberikan mosi tidak percaya kepada kabinet atau masingmasing menteri, dan jika mosi tidak percaya ini disampaikan, maka kabinet atau masing-masing menteri dapat meletakkan jabatannya. Dalam proses perjalanan antara 27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950, golongan unitaris menghendaki agar Indonesia menjadi negara kesatuan kembali, dan menyarankan agar negara-negara bagian yang dibentuk oleh Belanda mau menggabungkan diri kepada Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta. Kehendak seperti ini menunjukkan tanda-tanda keberhasilan, terbukti mulai bulan Mei 1950 anggota RIS tinggal 3 (tiga) negara bagian, yakni Republik Indonesia, Negara Sumatra Timur, dan Negara Indonesia Timur. Usaha untuk mengesahkan penggabungan negara-negara bagian atau kesatuan kenegaraan ini dinyatakan sah jikalau dilakukan dengan UU Federal. Hal ini nampak jelas tercantum dalam ketentuan Pasal 44 KRIS yang menyatakan: "Perubahan daerah sesuatu daerah bagian, begitu pula masuk ke dalam atau menggabungkan diri kepada suatu

daerah bagian yang telah ada, hanya boleh dilakukan oleh suatu daerah - sungguhpun sendiri bukan daerah bagian - menurut aturan yang ditetapkan dengan undangUndang Federal dengan menjunjung asas seperti tersebut dalam pasal 43, dan sekedar hal ini mengenai masuk atau menggabungkan diri, dengan persetujuan daerah bagian yang bersangkutan". Kenyataan menunjukkan bahwa penggabungan negaranegara bagian hingga tinggal 3 (tiga) negara bagian tersebut di atas tidak dilakukan dengan UU federal. Berkaitan dengan hal inilah, maka penggabungan tersebut perlu disahkan dengan menggunakan landasan pasal 139 KRIS yang menyatakan: (1) Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan Undang-Undang Darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan Pemerintah Federal yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera. (2) Undang-Undang Darurat mempunyai kekuasaan dan kuasa Undang-Undang Federasi; ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal berikut. Berdasarkan ketentuan Pasal 139 itulah, maka dikeluarkan Undang-Undang Darurat No. 11 Tahun 1950 Tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan dari Wilayah Negara Republik Indonesia Serikat. Usaha-usaha tersebut di atas kemudian dilanjutkan dengan usaha untuk menyatukan tiga Negara bagian yang masih ada, yakni RI, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur. Berkaitan dengan hal inilah diadakan perundingan antara RIS (mewakili Negara Sumatera Timur dan Negara Indonesia Timur) dan RI. Dalam perundingan tersebut diajukan tiga alternatif untuk menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu: 1. Pasal-pasal di dalam Konstitusi RIS yang bersifat federalis dihilangkan dan diganti dengan Pasal-pasal yang bersifat kesatuan; 2. Negara Kesatuan dibentuk melalui cara meleburkan Negara Republik Indonesia (Yogyakarta) ke dalam RIS; 3. Negara Kesatuan dibentuk dengan cara menggabungkan RIS ke dalam ikatan Negara Republik Indonesia (Yogyakarta).69 Dari ketiga alternatif tersebut, alternatif pertamalah yang akan dipergunakan sebagai ide dasar untuk menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian pada tanggal 19 Mei 1950 berhasil ditandatangani Piagam Persetujuan yang pada intinya memuat pernyataan bahwa dalam waktu sesingkatsingkatnya bersama-sama melaksanakan Negara Kesatuan, sebagai jelmaan dari Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945.70 Sehubungan dengan adanya persetujuan ini, maka perlu ditempuh dengan melakukan perubahan atau penggantian Konstitusi. Menurut Konstitusi RIS untuk melakukan penggantian Konstitusi dipergunakan Pasal 186 KRIS yang

menyatakan bahwa Konstituante (Sidang Pembuat Konstitusi) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi Indonesia Serikat yang akan menggantikan Konstitusi sementara ini. Sedangkan untuk melakukan perubahan atas Konstitusi dipergunakan ketentuan Pasal 190 KRIS yang menyatakan: (1) Dengan tidak mengurangi yang ditetapkan dalam Pasal 51, ayat kedua, maka Konstitusi ini hanya dapat diubah dengan Undang-Undang Federal dan menyimpang dari ketentuan-ketentuan hanya diperkenankan atas kuasa Undang-Undang Federal; baik Dewan Perwakilan Rakyat maupun Senat tidak boleh bermufakat ataupun mengambil keputusan tentang usul untuk itu, jika tidak sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota sidang menghadiri rapat. (2) Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam ayat pertama dirundingkan pula oleh Senat menurut ketentuan Bagian II Bab IV. (3) Usul Undang-Undang untuk mengubah Konstitusi ini atau menyimpang dari ketentuan-ketentuannya hanya 69 Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN-UI, Jakarta, hlm. 94. 70 Soehino, Op.cit, hlm. 61. diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat ataupun oleh Senat dengan sekurang kurangnya dua pertiga jumlah suara anggota yang hadir. Jika usul itu dirundingkan lagi menurut yang ditetapkan dalam Pasal 132, maka Dewan Perwakilan Rakyat hanya dapat menerima dengan sekurangkurangnya tiga perempat dari jumlah suara anggota yang hadir. Berdasarkan kedua ketentuan Pasal tersebut di atas, maka untuk mengubah bentuk Negara Serikat menuju Negara Kesatuan jelas tidak mungkin dilakukan dengan upaya penggantian Konstitusi, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 186 KRIS. Hal ini mengingat untuk membentuk Konstituante harus dilakukan dengan Pemilihan Umum yang tentunya akan memakan waktu relatif lama. Sebaliknya bila dilakukan dengan cara perubahan Konstitusi, maka langkah ini bisa dikatakan relatif cepat, karena bisa dilakukan dengan mempergunakan Undang-Undang Federal, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 190 KRIS. Berdasarkan hal tersebut, diterbitkanlah Undang-Undang Federal No. 7 tahun 1950 Tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Dengan demikian payung hukum Undang-Undang Dasar Sementara 1950 pada hakikatnya adalah UndangUndang Federal tersebut. Perbedaan antara penggantian Konstitusi dengan perubahan Konstitusi sebenarnya tidak pada hakikat atau esensinya, melainkan hanya berbeda pada tingkatan atau gradasinya. Perubahan Konstitusi pada intinya terjadi penggantian sebagian Pasal-pasal yang terdapat di dalamnya,

sedangkan pada penggantian Konstitusi langkah yang dilakukan adalah dengan mengganti secara total pasal-pasal yang terdapat di dalam Konstitusi. a. Ketatanegaraan di Bawah Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Pasal I Undang-Undang Federal No. 7 Tahun 1950 menegaskan bahwa Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia sehingga naskahnya berbunyi:

MUKADIMAH Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri-keadilan. Dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan Rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dengan berkat rahmat Tuhan tercapailah tingkatan sejarah yang berbahagia dan luhur. Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu piagam negara yang berbentuk republikkesatuan, berdasarkan pengakuan ke-Tuhanan yang Maha Esa, peri-kemanusiaan, kebangsa-an, kerakyatan dan keadilan sosial, untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara-hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna. Kemudian Pasal 134 menyatakan bahwa Konstituante i Sidang pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UndangUndang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini. Kedua ketentuan tersebut menggariskan letak kesementaraan dari konstitusi, oleh sebab itu perlu dilakukan langkah-langkah untuk menetapkan Konstitusi secara definitif. Sistem pemerintahan yang digariskan oleh UndangUndang Dasar Sementara (UUDS) 1950 tidak menunjukkan ketegasan sebagaimana sistem Pemerintahan yang terdapat di dalam Konstitusi RIS. Pasal 83 UUDS menyatakan: 1) Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat. (2) Menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan Pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendirisendiri. Kemudian Pasal 84 UUDS 1950 menegaskan bahwa Presiden berhak membubarkan Dewan perwakilan Rakyat. Keputusan Presiden yang menyatakan pembubaran itu, memerintahkan pula untuk mengadakan pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat baru dalam 30 hari. Kendatipun kedua ketentuan Pasal tersebut di atas menunjukkan adanya ciri-ciri sistem parlementer, seperti kedudukan Presiden dan Wakil Presiden yang tidak dapat diganggu gugat, dan adanya pertanggungjawaban menteri baik sendiri-sendiri maupun secara kolektif, namun secara yuridis konstitusional masih tetap belum dapat dikategorikan mempergunakan sistem parlementer. Hal ini disebabkan mekanisme pertanggungjawaban yang dilakukan menteri tidak menunjukkan kejelasan kepada organ mana dan apa konsekuensinya jikalau pertanggungjawaban tersebut tidak diterima. Bahkan tidak lazim jikalau Presiden dapat

membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 84 UUDS 1950. Berkaitan dengan hal ini, Soehino memberikan catatan bahwa dalam jawaban Pemerintah Republik Indonesia Serikat atas laporan Panitia pelapor Dewan Perwakilan Rakyat tertanggal 3 Agustus 1950 diterangkan bahwa pasal 83 ayat (2) tidak menentukan bahwa Kabinet itu harus bersifat parlementer, melainkan pasal tersebut menetapkan bahwa Kabinet harus bertanggungjawab kepada perlemen. Lebih lanjut dikatakan bahwa Kabinet yang bertanggung jawab itu dapat bersifat parlementer, dapat pula bersifat extra parlementer atau zaken Kabinet, akan tetapi tidak bersifat kabinet presidensiil yang tidak bertanggungjawab.71 Argumentasi atau catatan tersebut di atas jelas menunjukkan keragu-raguan untuk menentukan sistem pemerintahan apakah yang dianut oleh UUDS 1950. menurut hemat penulis sistem pemerintahan yang dianut oleh UUDS 1950 tidak mengikuti pakem teori yang lazim dikenal dalam Hukum Tata Negara khususnya menyangkut sistem pemerintahan, karena tidak secara tegas menunjukkan mekanisme pertanggungjawaban Kabinet yang dimaksud. Oleh sebab itu penulis berpendapat bahwa sistem yang dipergunakan oleh UUDS 1950 mengarah kepada sistem otoritarianisme, dimana kedudukan Presiden tidak dapat diganggu gugat bahkan dapat membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Sistem seperti ini dipergunakan karena komposisi keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat tidak didasarkan pada prinsip-prinsip representasi rakyat, melainkan didasarkan pada penunjukkan, dan yang menunjuk tidak lain adalah Presiden. Padangan seperti ini bersumber pada argumentasi Soehino yang menyampaikan bahwa berulangulang Presiden Soekarno menyatakan pada rapat-rapat raksasa, bahwa beliau bukan saja Presiden Konstitusional, melainkan beliau adalah pemimpin Rakyat. Sebagai Bapak negara dan Pemimpin Rakyat beliau merasa wajib tiap-tiap kali memberi amanat kepada khalayak ramai.72 Catatan sejarah seperti ini menunjukkan sekali lagi bahwa Presiden (Soekarno) memang menduduki posisi sentral dalam setiap bentuk penyelenggaraan pemerintahan negara. Oleh sebab itu tidaklah berlebihan jikalau sistem yang dipergunakan oleh UUDS 1950 mengandung unsur-unsur sistem otoritarianisme. Sistem ini mencapai puncaknya ketika Presiden membubarkan Konstituante melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1950. Pasal 134 UUDS 1950 menegaskan bahwa Konstituante (Sidang pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini. Ketentuan seperti ini menegaskan bahwa jalan satu-satunya untuk memperlakukan UUDS 1950 adalah dengan cara penggantian. Bukan dengan

perubahan. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, maka yang diberi wewenang adalah Konstituante dan pemerintah. Berkaitan dengan kewenangan Pemerintah dalam melakukan penggantian UUDS 1950 tersebut, Pasal 137 ayat (3) UUDS 1950 menegaskan bahwa apabila Konstituante sudah menerima Rancangan Undang-Undang Dasar, maka dikirimkannya rancangan itu kepada Presiden untuk disahkan oleh Pemerintah. Pemerintah harus mengesahkan rancangan itu dengan segera. Pemerintah mengumumkan UndangUndang Dasar itu dengan keluhuran. Ketentuan semacam ini secara tegas memberikan garis kewenangan bagi Pemerintah dalam hal penggantian UUDS 1950, yakni dalam hal pengesahan dan pengumumannya. Pemerintah dan/atau Presiden hanya memiliki kewenangan yang bersifat administratif, yakni mengesahkan dan mengumumkan Undang-Undang Dasar yang menggantikan UUDS 1950. Oleh sebab itu dapat ditarik pemahaman bahwa yang diberi wewenang penuh untuk mempersiapkan dari perancangan draft sampai dengan persetujuan rancangan Undang-Undang Dasar tidak lain adalah Konstituante. Sedangkan Pemerintah hanya melaksanakan fungsi administratif dalam rangka mengesahkan dan mengumumkan. Untuk membentuk Konstituante, maka menurut pasal 135 UUDS 1950 ditegaskan, antara lain: (1) Konstituante terdiri dari sejumlah anggota yang besarnya ditetapkan berdasarkan perhitungan setiap 150.000 jiwa penduduk warganegara Indonesia mempunyai seorang wakil. (2) Anggota-anggota Konstituante dipilih oleh warga negara Indonesia dengan dasar umum dan dengan cara bebas dan rahasia menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Bertitik tolak dari ketentuan tersebut, maka diterbitkanlah Undang-Undang No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum Untuk Anggota-anggota Konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat. Inilah Undang-Undang pertama yang mengatur tentang Pemilihan Umum sejak Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. berdasarkan undang-Undang ini maka pada bulan September 1955 dilaksanakan pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan pada bulan Desember 1955 dilaksanakan Pemilu untuk memilih anggota-anggota Konstituante. Menurut Disertasi Adnan Buyung Nasution, pada hakikatnya Konstituante tidak dapat dikatakan gagal dalam merumuskan Undang-Undang Dasar. Pada waktu itu Presiden dengan bantuan dari Angkatan Darat ingin menerapkan gagasan demokrasi Terpimpin. Gagasan seperti ini kemudian direalisasikan melalu ndang yang diselenggarakan oleh Kabinet Karya pada tanggal 19 Itebruari 1959 dengan

keputusan untuk melaksanakan demokrasi :erpimpin dengan cara kembali kepada Undang-Undang dasar 1945.73 Prosedur untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana diputuskan oleh Kabinet Karya, adalah: 1 . Setelah terdapat kata sepakat antara Presiden dan Dewan Menteri, maka pemerintah meminta supaya diadakan sidang Pleno Konstituante; 2. Atas nama Pemerintah disampaikan Presiden amanat berdasarkan pasal 134 Undang-Undang Dasar sementara 1950 kepada Konstituante yang berisi anjuran supaya UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ditetapkan; 3. Jika anjuran itu diterima oleh Konstituante, maka Pemerintah atas dasar ketentuan Pasal 134 UUDS 1950 mengumumkan UUD 1945 itu dengan keluhuran. Pengumuman dengan keluhuran itu dilakukan dengan suatu Piagam yang ditandatangani dalam suatu sidang pleno Konstituante di Bandung oleh Presiden, para Menteri dan para anggota Konstituante, yang antara lain memuat Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945.74 Setelah melalui berbagai macam usaha, Konstituante tidak dapat mengambil keputusan untuk menerima anjuran Pemerintah tersebut. Hal ini memang dapat dibenarkan mengingat kewenangan untuk mempersiapkan dan membentuk Undang-Undang Dasar tetap berada di tangan Konstituante, sedangkan Pemerintah yang berpijak pada ketentuan Pasal 137 ayat (3) UUDS 1950 hanya memiliki fungsi administratif yakni mengesahkan dan mengumumkan. Oleh sebab itu langkah yang dilakukan Pemerintah dengan

73 Adnan Buyung Nasution, mengemukakan anjuran tersebut dapat Op.cit, hlm. 417-518. 74 Soehino, Op.cit, hlm. 78-79 dianggap merupakan bentuk intervensi kewenangan Pemerintah dalam membentuk UUD. Berdasarkan kondisi itulah Presiden kemudian mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 yang pada intinya menegaskan untuk kembali kepada UUD 1945 dan membubarkan Konstituante. Menurut Djokosoetono tindakan Presiden mengeluarkan Dekrit dalam rangka memberlakukan UUD 1945 dan membubarkan Konstituante adalah sah berdasarkan doktrin staatsnoodrechts dan noodstaatsrecht.75 Adapun yang dimaksud dengan staatsnoodrecht adalah hak darurat yang dimiliki oleh penguasa untuk mengeluarkan produk-produk hukum yang menyimpang dari asas-asas perundang-undangan yang baik, karena adanya kegentingan yang memaksa dan membahayakan keselamatan negara. Penentuan apakah suatu keadaaan dikategorikan sebagai "kegentingan yang memaksa" tersebut dilandasi oleh dua kriteria, yaitu subyekif dan obyektif. Kegentingan memaksa

diukur dari aspek subyektif, jikalau unsur-unsur keadaan yang dikategorikan sebagai kegentingan yang memaksa itu sematamata hanya merupakan penafsiran atau persepsi dari penguasa. Sedangkan kegentingan memaksa diukur dari aspek obyektif apabila keadaan yang dikategorikan sebagai suatu kegentingan yang memaksa itu sudah ditentukan atau sudah diatur di dalam suatu peraturan perundang-undangan. Berkaitan dengan dua ukuran ini, maka Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebenarnya dikategorikan sebagai staatsnoodrecht subyektif. Menurut Djokosoetono, kegentingan yang memaksa hingga mengakibatkan Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut mengandung kelemahan yaitu: 1. Keadaan staatsnoodrecht pada waktu itu nampaknya tidak ada, karena semua alat perlengkapan negara masih utuh dan bekerja secara normal. Ancaman terhadap 75 Yusril Ihza Mahendra, 1996, Dinamika Tata Negara Indonesia Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan Rakyat dan Sistem Kepartaian, Gema Insani Prss, Jakarta, hlm. 82. keselamatan negara juga tidak ada, karena kekuatan PRRI dan Permesta pada pertengahan tahun 1959 telah berada pada titik lemah; 1 Hukum kenegaraan RI pada masa itu tidak berada dalam keadaan darurat. Sementara yang terjadi hanyalah penolakan dari Majelis Konstituante terhadap anjuran Pemerintah untuk kembali ke pada UUD 1945. Secara hukum, andaipun majelis Konstituante gagal membuat UUD yang definitif, maka UUDS 1950 masih berlaku sebagai UUD RI yang sah.76 Menurut Logemann dan Mohammad Hatta, secara akademis riridakan dekrit bukannya harus dinilai atas dasar staatsnoodrecht taupun noodstaatsrecht, melainkan suatu revolusi hukum. Jadi ebagai tindakan revolusioner, dan keabsahannya harus dicari secara post pactum, yaitu sejauh manakah Presiden Soekarno mampu empertahankan langkah yang diambilnya. Kalau berhasil mem-rertahankan keputusannya, maka keputusan itu akan menjadi sah. Sebaliknya, jika gagal, Ia mungkin dapat didakwa melakukan Tindakan coup d'etat atau sekurang-kurangnya melakukan tindakan inkonstitusional .77 Argumentasi ini menurut pandangan penulis adalah argumentasi yang paling masuk akal daripada mempergunakan alasan staatsnoodrecht. Hal ini mengingat untuk menentukan suatu keadaan itu sifatnya darurat dan membahayakan keselamatan negara tentunya harus dilandasi oleh ketentuan-ketentuan hukum yang tegas supaya keputusan yang diambil mencerminkan adanya kepastian hukum. Apalagi sesuai dengan Mukadimah UUDS 1950 dinyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Dengan demikian Dekrit Presiden 5 Juli 1959 jelas bersifat

extra Konstitusional. Kendatipun demikian, dalam perkembangan lebih lanjut keberadaan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilihan Umum 1959 secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959, dan kemudian dikukuhkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan Ketetapan No. XX/MPRS/1966.

3. Ketatanegaraan di Bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (Dekrit Presiden 5 Juli 1959). Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945, serta mengingat bahwa Lembaga-lembaga Negara sebagaimana digariskan oleh UUD 1945 belum lengkap, maka dilakukanlah beberapa langkah sebaga berikut: a. Pembaharuan susunan Dewan Perwakilan Rakyat melali Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960; b. Penyusunan Dewan Pewakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dengan Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1960 yang antara lain menentukan bahwa anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya terhitung mulai tanggal pelantikan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong oleh Presiden; c. Untuk melaksanakan Dekrit Presiden, oleh Presiden dikeluarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara; dan dilanjutkan dengan d. Penyusunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan Penetapan Presiden No. 12 Tahun 1960; e. Dikeluarkan Penetapan Presiden No. 3 tahun 1959 tentang Dewan Pertimbangan Agung Sementara. Ditinjau dari aspek Konstitusional, langkah-langkah Presiden dalam menyusun DPRGR dan MPRS melalui penetapan Presiden jelas menyimpang dari UUD 1945 yang berlaku berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Apalagi langkah tersebut terlebih dahulu diawali dengan pembubaran DPR hasil Pemilihan Umum berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1953. Lain daripada itu, dalam sistematika UUD 1945 produk hukum (perundang-undangan) yang berjenis Penetapan Presiden sama sekali tidak dikenal. Oleh sebab itu langkah-langkah yang diambil oleh Presiden dalam rangka melaksanakan demokrasi terpimpin dan kembali kepada UUD 1945 justru merupakan langkah yang jauh menyimpang dari Konstitusi. Bahkan kalaupun dalam melakukan langkahlangkah tersebut dianggap berlandaskan pada Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, hal tersebut tetap melanggar Konstitusi,

sebab Dewan Perwakilan Rakyat sudah terbentuk melalui Pemilu tahun 1955. Dengan demikian sejak berlakunya kembali UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam UUD 1945 belum dapat dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Banyak penyimpanganpenyimpangan yang terjadi, seperti: a. Lembaga-lembaga Negara seperti MPR, DPR, dan DPA belum dibentuk berdasarkan Undang-Undang, serta lembagalembaga yang ada masih bersifat sementara; b. Pengangkatan Presiden Soekarno sebagai Presiden seumur hidup melalu ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963. Ketetapan ini jelas-jelas melanggar ketentuan Pasal 7 UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Sejarahketatanegaraanlndonesiamencatatbahwa penyimpangan-penyimpangan Konstitusi ini mencapai Puncaknya di bidang politik dengan terjadinya pemberontakan G 30 S PKL Catatan kelam dan misterius menyangkut pemberontakan ini sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Sejarah mengenai peristiwa berdarah G 30 S PKI masih menyimpan kontroversi. Banyak ahli sejarah dan bahkan pelaku sejarah mencoba melakukan penelusuran kembali sejarah peristiwa tersebut, namun sayangnya banyak dokumen yang hilang. Menurut Kol Sugondho ada 9 (sembilan) versi yang mencatat siapa dalang dibalik pemberontakan PKI tersebut, yaitu: 1. i. ?. 4. 5. 6. 7. 8. Versi PKI; Versi Cornell; Versi Prof Wertheim; Vers Arnold Brackman; Versi Mainstream; Versi Marxist; Versi Dake; Versi K.O.K (Kritik-Oto-Kritik) dan tripanji PKI Pasca 1 Oktober; dan 9. Versi presiden Soekarno sendiri.78 Berdasarkan sembilan versi ini, menurut Atmadji Sumarkidjo dapat dikategorikan menjadi enam versi utama, yaitu: a. Pelaku G 30 S adalah Partai Komunis Indonesia. Versi ini adalah versi resmi yang dipegang oleh Pemerintah RI dan berpatokan pada dua buku resmi, yaitu tulisan Nugroho Notosusanto

dan Ismail Saleh, The Coup Attempt of the September 30 Movement in Indonesia, 1968 dan buku keluaran Sekretariat Negara tahun 1994 yaitu Buku Putih Pengkhianatan G 30 SIPKI (sepengetahuan penulis buku ini justru bersampul warna hitam); b. G 30 S adalah persoalan internal TNI Angkatan Darat. Hasil riset pertama yang mendukung versi ini adalah kertas kerja yang dikeluarkan oleh Universitas Cornell, Ithaca, New York tahun 1965 yang berjudul A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia dan kemudian diikuti oleh berbagai buku dan penelitian seperti buku yang berjudul Whose Plot? New Light on the 1965 Events tulisan Prof. Wertheim. c. Versi Presiden Soekarno sebagai dalang Pemberontakan tersebut. Versi ini muncul dari gerakan mahasiswa yang tidak puas dengan langkah pemegang mandat Surat Perintah 11 Maret 1966, yaitu Jenderal Soeharto, karena tidak melakukan penangkapan terhadap Presiden Soekarno. Versi ini juga nampak dari judul buku Siapa Menabur Angin Akan Menuai 78 Atmadji Sumarkidjo, 2000, Mendung Di Atas Istana Merdeka, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, him. 15. Badai, tulisan Sugiarto Suroso.

d. Versi yang menyatakan Jenderal Soeharto sebagai dalang pemberontakan. Versi ini muncul sejak adanya Cornell Paper. Ada dua asumsi yang dapat dipergunakan untuk menyatakan pendapat ini, yaitu adanya pertemuan antara Kolonel (Inf) A. Latief dengan Mayjen Soeharto di RSPAD dan mengapa Mayjen Soeharto tidak ikut diculik bersama dengan jenderal yang lain. e. Versi yang menyatakan bahwa G 30 S digerakkan oleh kekuatan dinas inteljen luar negeri antara lain CIA, Inggris dan China. Versi ini muncul sejak adanya dokumen palsu yang kemudian dikenal sebagai Dokumen Gilchrist, serta analisis Peter Dale

f.

Scott yang mengasumsikan bahwa CIA tidak ingin Indonesia jatuh ke tangan komunis. Versi G 30 S terjadi karena adanya kombinasi dari berbagai kepentingan dan pihak, baik itu PKI, negara-negara Barat maupun TNI Angkatan Darat.79

Terlepas dari kebenaran dari masing-masing versi tersebut, peristiwa G 30 S PKI telah menimbulkan kekacauan sosial budaya dan instabilitas pemerintahan serta meninggalkan sejarah hitam dalam peta politik dan hukum ketatanegaraan Indonesia. Puncak dari peristiwa ini adalah jatuhnya legitimasi Presiden Soekarno dalam memegang tampuk kepemimpinan nasional. Legitimasi tersebut semakin terpuruk dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 maret 1966 (SUPERSEMAR) yang pada hakikatnya merupakan perintah Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengembalikan segala tindakan dalam menjamin keamanan dan ketenteraman serta stabilitas jalannya pemerintahan. Keberadaan SUPERSEMAR itu sendiri sampai sekarang masih tetap misterius, bahkan penerbitan SUPERSEMAR itu sendiri memunculkan kontraversi sejarah yang berbeda-beda. Kemudian dengan Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966, SUPERSEMAR dikukuhkan dengan masa berlaku sampai terbentuknya MPR RI hasil pemilihan umum yang akan datang.' Oleh karena pemilihan umum yang sedianya akan diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 1968 ditunda hingga 5 Juli 1971 dan mengingat dikeluarkannya Ketetapan MPR No. XXXIII/MPRS/1967 Tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Tangan Presiden Soekarno, maka demi tercapainya kepemimpinan nasional yang kuat dan terselenggaranya stabilitas politik, ekonomi dan Hankam, maka dikeluarkanlah Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 Tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966 Sebagai Presiden Republik Indonesia, yang antara lain menyatakan bahwa mengangkat presiden Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia hingga terpilihnya Presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.81 Terlepas dari kontroversi peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto melalui SUPERSEMAR yang kemudian dikukuhkan melalui Ketetapan MPR tersebut, sejarah ketatatanegaraan Indonesia memasuki babakan baru yang sering disebut sebagai Era Orde Baru. 4. Ketatanegaraan Indonesia Pada Masa Orde Baru. Dengan jatuhnya Presiden Soekarno dari tampuk kepemimpinan nasional, maka Jenderal Soeharto mulai memegang kendali pemerintahan dan di masa ini disebut sebagai Era Orde Baru. Di era ini konsentrasi penyelenggaraan pemerintahan negara menitik beratkan pada aspek stabilitas politik dalam rangka menunjang pembangunan nasional. Untuk mendukung terwujudnya stabilitas politik dalam rangka pembangunan nasional, maka dilakukanlah upaya-

upaya pembenahan sistem ketatanegaraan dan format politik dengan menonjolkan pada hal-hal sebagai berikut: a. Konsep Dwi Fungsi ABRI dipergunakan sebagai platform politik Orde Baru. ABR (militer) tidak hanya berfungsi sebagai alat pertahanan negara atau mesin perang dalam rangka menjaga kedaulatan negara, melainkan juga memainkan peranan sosial politik dan terlibat dalam 80 Soehino, Op.cit, him. 138. pengambilan 81 Ibid, him. 150. keputusan-keputusan politik. I). Pengutamaan Golongan Karya; C. Magnifikasi kekuasaan di tangan eksekutif; d. Diteruskannya sistem pengangkatan dalam Lembagalembaga perwakilan rakyat; i\ Kebijakan depolitisasi khususnya masyarakat pedesaan melalui konsep masa mengambang (floating mass); dan f. Kontrol Arbriter atas kehidupan pers.82 Konsep Dwi Fungsi ABRI secara implisit sebenarnya sudah dikemukakan oleh Kepala Staf Angkatan Darat, Mayjen Abdul Haris Nasution pada tahun 1958. Menurut Nasution Dwi Fungsi ABRI merupakan konsep jalan tengah. Prinsipnya menegaskan bahwa peran militer atau tentara tidak terbatas pada tugas profesional militer belaka, melainkan juga mempunyai tugas-tugas lain di bidang sosial politik.83 Dengan konsep seperti inilah dimungkinkan bahkan menjadi kewajiban jikalau militer berpartisipasi di bidang politik. Sebuah konsep yang tidak lazim di negara demokrasi yang lebih mengedepankan konsep penguatan masyarakat sipil (empowering civil society) Penerapan konsep jalan tengah melalui Dwi Fungsi ABRI ini menurut pandangan penguasa Orde Baru dan Militer bersumber dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 (sebelum amandemen) yang menegaskan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Dengan demikian menurut Orde Baru dan Militer, golongan-golongan yang dimaksud oleh Pasal tersebut adalah termasuk golongan Militer. Sebuah penafsiran UUD 1945 yang menyimpang dari penafsiran konstitusional yang termuat di dalam Penjelasan 82 Mochtar Pabottinggi, dalam Syamsudin Haris & Riza Sihbudi, 1995, Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, him. xii-xiii. 83 Harold Crouch, dalam Ibid, him. 97. UUD 1945. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan golongan-golongan, ialah badanbadan seperti koperasi, serikat sekerja dan lain-lain badan kolektif. Aturan demikian memang sesuai dengan aliran

zaman. Berhubung dengan anjuran sistem koperasi dalam ekonomi, maka ayat ini mengingat akan adanya golongangolongan dalam badan-badan ekonomi. Penjelasan seperti ini sama sekali tidak menyebut golongan militer. Yang dititik beratkan oleh Penjelasan pasal tersebut adalah badan-badan yang terkait dengan kehidupan ekonomi termasuk badan kolektif yang dibentuk oleh masyarakat sipil (Civil Society). Dari penafsiran sepihak yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru dan Militer tersebut, ABRI termasuk di dalamnya POLRI memperoleh jatah di lembaga-lembaga politik baik di tingkat pusat maupun daerah. Mereka memperoleh jatah tersebut tanpa berjuang melalui pemilihan umum, melainkan memperoleh jatah karena pengangkatan atau penunjukan. Di tingkat Pemerintahan Daerah, hampir sebagian besar Kepala Daerah baik tingkat Provinsi Daerah Tingkat I, maupun Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II berasal dari kalangan Militer (termasuk POLRI). Kondisi seperti ini menunjukkan adanya paradigma ketatanegaraan yang tidak lazim dikenal dalam negara demokrasi. Paradigma tersebut lazim dikenal di negara yang mempergunakan paham militeristik. Di bidang kehidupan kepartaian, pada tanggal 27 Pebruari 1970, Presiden Soeharto mengadakan konsultasi dengan Parpol-parpol guna membahas gagasan untuk mengelompokkan partai-partai yang ada. Gagasan ini dengan tujuan jangka pendek yaitu mempertahankan stabilitas nasional dan kelancaran pembangunan dalam menghadapi pemilihan umum, sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah menyederhanakan kehidupan kepartaian sesuai dengan amanat ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966. Sekali lagi stabilitas keamanan menjadi titik sentral dalam mengambangkan sistem ketatanegaraan di era Orde Baru. Dengan pendekatan stabilitas keamanan inilah, maka mesin politik yang paling efektif adalah mempergunakan kekuatan Militer. Menurut Orde Baru penyederhanaan kehidupan kepartaian tersebut tidak hanya mengandung arti pengurangan jumlah partai politik, tetapi juga perombakan sikap dan pola kerja partai politik menuju pada orientasi program. Di samping itu juga disarankan oleh Presiden Soeharto agar partai-partai tersebut mempergunakan asas Pancasila dan UUD 1945. Berdasarkan gagasan inilah, maka disarankan pembentukan dua kelompok, yaitu: a. Kelompok materiil-spirituil yang terdiri atas partai-partai yang menekankan pembangunan materiil tanpa mengabaikan aspek spirituil. Kelompok ini terdiri dari PNI, Murba, 1PKI, Partai katolik, dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo); b. Kelompok spirituil-materiil yang terdiri dari partai-partai yang menekankan pembangunan spirituil tanpa mengabaikan

aspek materiil dan terdiri dari NU, Parmusi, PSII dan Perti.84 Bila ditinjau dari aspek logika politik berdasarkan ideologi, maka dua pengelompokan ini nampak tidak lazim. Mengapa Partai Katolik dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo) tidak dimasukkan kedalam kelompok spirituilmateriil. Ketidak laziman ini memang ada benarnya karena fenomena ideologis dari partai-partai yang dimasukkan dalam kelompok spirituil materiil adalah berbasis Islam, tidaklah mungkin mengelompokkan beberapa partai menjadi satu sementara basis ideologinya sangat berbeda. Menindak lanjuti pengelompokan tersebut, pada tanggal 9 Maret 1970 terjadi pengelompokan Partai Politik (fusi) yang ditandai dengan terbentuknya kelompok Demokrasi Pembagunan yang terdiri dari PNI, Partai Katolik, Parkindo, IPKI, dan Murba. Kemudian pada tanggal 13 Maret 1970 Kelompok Persatuan Pembangunan terbentuk dan terdiri dari gabungan NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Langkah terakhir pada tanggal 5 dan 10 Januari 1977 terbentuklah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Menurut penguasa Orde Baru, disamping kedua kelompok Partai Politik tersebut, ternyata dalam perkembangannya terdapat golongan-golongan fungsional yang tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari kelompok partai tersebut. Golongan-golongan fungsional ini kemudian membentuk kelompok tersendiri yang kemudian disebut Golongan Karya (GOLKAR). Golongan ini dalam kehidupan masyarakat masing-masing menyumbangkan peranan khusus bagi berfungsinya masyarakat seperti organisasi ekonomi, kultural, sosial dan pertahanan.85 Dari konsep seperti inilah, maka di dalam kehidupan politik Indonesia ada keterkaitan antara GOLKAR dan ABRI (Militer). Dalam Pemilu tahun 1977 hanya terdapat tiga kekuatan sosial politik, yaitu dua Partai Politik (PDI dan PPP) dan satu GOLKAR yang dianggap tidak merupakan Partai Politik tetapi golongan fungsional, padahal sepak terjangnya dibidang politik. Keberadaan ketiga kekuatan sosial politik tersebut diperkuat dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang partai Politik dan Golongan Karya. Dengan adanya Undang-Undang inilah dalam kurun waktu lebih kurang 32 tahun konstelasi politik di Indonesia hanya membatasi adanya dua partai politik dan satu golongan karya yang dianggap sah dan berhak hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa dalam setiap penyelenggaraan Pemilu di era Orde Baru, GOLKAR selalu menjadi single majority, dan setiap Pemilihan Presiden yang dilakukan oleh MPR, Soeharto selalu dapat terpilih kembali secara aklamasi untuk menjadi Presiden Republik Indonesia. Kondisi semacam ini mengakibatkan adanya tiga fenomena ketatanegaraan di Indonesia, yaitu:

1. Sistem Ketatanegaraan yang dijalankan pada waktu itu lebih menekankan pada stabilitas politik dan memang berhasil; 2. Terjadinya pemasungan hak-hak politik bagi warganegara, khususnya dalam hal berserikat atau berkumpul karena adanya pembatasan Partai Politik dan pengawasan terhadap r u h Kctatnnc^itniiui linUnir-.iu

Seluruh organisasi kemasyarakatan, termasuk pengawas,in terhadap Media masa; 3, Terpilihnya Suharto sebagai Presiden yang berulang kali mengakibatkan karakter kepemimpinan makin lama semakin otoriter dan tidak terkontrol, akibatnya gejala Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme semakin merajalela. Tidak dapat dipungkiri bahwa rezim Orde Baru memang berhasil dalam mewujudkan stabilitas politik melalui pendekatan keamanan. Pembangunan dapat berjalan secara bertahap dan berkelanjutan. Tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata 7%. Bahkan Indonesia telah mampu berswasembada pangan. Indikator-indikator inilah yang dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan rezim Orde Baru. Akan tetapi sebaliknya di lingkungan infrastruktur politik, telah terjadi pembelengguan hak politik warganegara sebagai pemegang kedaulatan. Puncak dari keadaan semacam ini adalah terjadinya gerakan reformasi sebagai akibat adanya krisis multidimensional pada akhir tahun 1997 dan awal tahun 1998. Kemudian karena krisis tersebut tidak kunjung teratasi, maka diawali dengan terjadinya kerusuhan tanggal 13 s.d 14 Mei 1998, Presiden Soeharto meletakkan jabatannya pada tanggal 20 Mei 1998 dan diganti oleh wakil Presiden BJ. Habibie. Pergantian jabatan tersebut menurut sementara pihak merupakan langkah konstitusional, sebab Pasal 8 UUD 45 telah menegaskan bahwa jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya. Dipihak lain, proses penggantian jabatan tersebut dianggap inkonstitusional, karena proses penggantian tersebut tidak ditandai dengan penyerahan kembali Mandat yang diterima oleh Soeharto kepada MPR. Dalam sistem perundang-undangan di masa Orde Baru dikenal adanya Ketetapan MPR yang memiliki dua sifat, yaitu: 1. Ketetapan MPR yang sifatnya einmalig yaitu berisi norma hukum yang berlaku sekali saja dan sifatnya hanya menetapkan, sehingga dengan adanya penetapan itu norma hukum tersebut

selesai. Ketetapan MPR yang sifatnya seperti ini mirip dengan Keputusan atau Ketetapan Administrasi Negara yang konkrit,

individual dan final; dan 2. Ketetapan MPR yang sifatnya Dauerhaftig yang berisi norma hukum yang berlaku terus menerus dalam jangka waktu yang tidak terbatas, sampai dicabut atau diganti yang baru. Ketetapan MPR inilah yang masuk dalam kategori Peraturan Perundang-undangan.86 Berdasarkan dua sifat tersebut, maka Ketetapan MPR yang memberikan Mandat kepada Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia pada hakikatnya bersifat einmalig, seperti Keputusan atau Ketetapan Administrasi Negara yang konkrit, individual dan final. Artinya konkrit adalah hanya ditujukan pada satu obyek hukum tertentu. Individual, artinya hanya ditujukan kepada satu subyek hukum tertentu, dan final artinya hanya menimbulkan satu akibat hukum tertentu. Berdasarkan sifat seperti inilah, maka peralihan jabatan Presiden dari Soeharto kepada Wakil Presiden BJ. Habibie harus diawali dengan pengembalian mandat (Ketetapan MPR) terlebih dahulu, kemudian MPR menerbitkan lagi Ketetapan MPR yang mengangkat BJ Habibie menjadi Presiden. Pendek kata, Mandat sebagaimana digariskan oleh Ketetapan MPR tidak dapat dialihkan begitu saja. 5. Ketatanegaraan Indonesia Setelah Reformasi 1998: Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi. Dengan tumbangnya rezim Orde Baru, maka dimulailah penataan sistem ketatanegaraan menuju konsolidasi sistem demokrasi di Indonesia. Konsolidasi yang paling penting disini tidak lain adalah dengan melakukan perubahan dan penggantian berbagai Peraturan Perundang-undangan yang dirasa tidak memberikan ruang gerak bagi kehidupan demokrasi dan prinsipprinsip kedaulatan rakyat. Peraturan 86 Maria Farida Indrati S, dalam B. Hestu Cipto Handoyo, 2008, Prinsip-Prinsip Legal Drafting & Desain Naskah Akademik, Univ. Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, him. Perundang-undangan yang dimaksud antara lain: 137.

a. Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 Tentang Referendum; b. Undang-Undang No. 5 tahun 1985 Tentang Referendum; c. Undang-Undang No. 5 tahun 1974 Tentang Pemerintahan Di daerah; d. Paket Undang-Undang Bidang Politik (UU Susduk MPR DPR, DPRD, UU Pemilihan Umum, dan UU Partai Politik dan Golongan Karya). Di samping melakukan perubahan terhadap Peraturan Perundang-undangan tersebut di atas, maka sesuai dengan amanat reformasi, dilakukanlah langkah-langkah untuk mengamandemen UUD 1945. Amandemen UUD 1945 merupakan prasyarat utama bagi terselenggaranya sistem ketatanegaraan yang demokratis. Hal ini mengingat sistematika yang tertuang di dalam UUD 1945 tidak

memberikan ruang yang cukup untuk mengembangkan konsep demokrasi pemerintahan dan prinsip negara yang berkedaulatan rakyat. Dalam rangka melaksanakan amandemen UUD 1945, MPR mempergunakan dasar hukum Pasal 37 UUD 1945. Berkaitan dengan hal inilah, maka dalam kurun waktu tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, dalam setiap tahunnya MPR melakukan pengesahan terhadap hasil-hasil amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR. Pengesahan tersebut dilakukan sebanyak empat kali, yakni setiap MPR melaksanakan Sidang Tahunan pada bulan Agustus tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Setelah amandemen IV UUD 1945 dikukuhkan pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002, maka sistem ketatanegaraan Indonesia secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Bentuk (Bangunan) Negara Kesatuan tetap dipertahankan dan sudah merupakan keputusan yang final; b. Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia, adalah sistem Presidensiil Murni, di mana Presiden dan Wakil Presiden di-

114 pilih langsung oleh rakyat yang calonnya diajukan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memperoleh 20% kursi di DPR-RI atau 25% memperoleh suara sah dalam Pemilu Legislatif. c. Sistem Keparlemenan mempergunakan soft bicameral system, bahkan bisa dianggap sistem keparlemenan dengan tiga kamar, karena MPR, DPR dan DPD masing-masing memiliki wewenang sendiri-sendiri serta masing-masing mempunyai Ketua; d. Seluruh anggota Parlemen (DPR dan DPD) dipilih melalui Pemilihan umum. Tidak dikenal lagi adanya cara penunjukan atau pengangkatan; e. Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi menjadi Lembaga Tertinggi Negara, melainkan hanya merupakan sarana bergabungnya DPR dan DPD. Wewenang dari lembaga ini hanya mengubah UUD, Mengangkat atau melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil Pemilihan Umum, Memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden jika menurut Keputusan

Mahkamah Konstitusi dianggap telah melakukan pelanggaran hukum berat; f. Sistematika UUD 1945 hanya terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal; g. Hubungan Alat Perlengkapan Negara dalam garis vertikal mempergunakan asas desentralisasi dan tugas pembantuan dengan otonomi luas; h. Dijumpai adanya Mahkamah Konstitusi yang mempunyai wewenang untuk melakukan judicial review UndangUndang terhadap UUD 1945, Penyelesaian Sengketa Pemilihan Umum, Memeriksa Presiden dan/atau Wakil Presiden atas permintaan DPR, jika mereka dianggap telah melakukan pelanggaran hukum berat, dan menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga negara. Dari gambaran sejarah ketatanegaraan Indonesia sebagaimana penulis kemukakan dalam Bab ini, dapat ditarik garis pemahaman bahwa sejak Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, konsolidasi sistem demokrasi terus dilakukan dengan berbagai pasang-surut yang terkandung di dalamnya. Hal ini membuktikan bahwa konsolidasi sistem demokrasi di Indonesia masih terus mencari bentuk yang paling ideal dan sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia. Proses konsolidasi sistem demokrasi yang terus berlanjut ini memang memberikan kesan kuat bahwa langkah-langkah eksperimentasi sistem ketatanegaraan Indonesia terus dilakukan. Hal ini wajar, karena membangun sistem demokrasi memang tidak akan pernah selesai. Mengingat demokrasi itu sendiri bukanlah merupakan suatu tujuan melainkan hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan bangsa Indonesia sebagaimana terangkum dalam Pembukaan UUD 1945.

Bab III SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA, BENTUK NEGARA DAN BANGUNAN NEGARA
JLktijitas negara sebagai organisasi kekuasaan menampakkan diri dalam sistem pemerintahan negara yang dikembangkan. Apapun b'entuk^sistem pemerintahan negara yang akan dipergunakan oleh suatu negara f alitor terpenting yang patut dikedepankan adalah tingkat kepercayaan atau legitimasi dari sistem tersebut di

hadapan warga negara berdasakan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat

A. Pengertian Sistem.
Menurut bahasa kaum awam, pengertian sistem sering disamakan dengan cara yang akan ditempuh dalam mencapai suatu tujuan, misalnya pertandingan Sepakbola dengan mempergunakan sistem setengah kompetisi atau sistem gugur. Pengertian seperti ini dalam lingkup Ilmu Hukum Ketatanegaraan jelas tidak dapat diikuti, sebab dengan menunjuk pada pengertian awam tersebut, maka makna yang terkandung di dalamnya bisa ambigu dengan pengertian metode ataupun strategi. Menurut Cari J. Friedrich sistem adalah suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhan, sehingga hubungan itu menimbulkan ketergantungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhannya itu.87 Dengan demikian menurut bahasa Ilmu Pengetahuan sistem adalah suatu tatanan/susunan yang berupa suatu struktur yang terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang berkaitan antara satu dengan lainnya secara teratur dan terencana untuk mencapai suatu tujuan. Apabila salah satu dari komponen/bagian tersebut berfungsi melebihi atau kurang dari kapasitasnya, maka akan mempengaruhi keseluruhan. Hamid S Attamimi mengemukakan bahwa dalam kata sistem pemerintahan, terdapat bagian-bagian dari pemerintahan yang masing-masing mempunyai tugas dan fungsi sendiri-sendiri namun secara keseluruhan bagianbagian itu merupakan satu kesatuan yang padu dan bekerja sama secara rasional.88 Dengan mencermati argumentasi semacam ini, maka pengertian sistem akan selalu berkaitan dengan mekanisme dan cara kerja suatu lembaga, institusi ataupun organ dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

B. Pengertian Pemerintahan.
Di lingkungan Ahli Hukum Tata Negara, pemahaman mengenai kata "Pemerintahan" masih belum ada kesepahaman yang sama. Hal ini disebabkan oleh adanya cara pandang yang berbeda dalam memberikan arti dari Pemerintahan itu. Ketidak sepahaman ini merupakan sesuatu yang lumrah di dalam dunia akademik dan Ilmu Pengetahuan, dan tentunya tidak perlu diperdebatkan sampai berlaurt-larut. Jikalau kata "Pemerintahan" itu diambil dari kata Pemerintah (yang kemudian diberi akhiran "an"), maka hal ini jelas akan menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. 87 Cari J Friedrich, dalam Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, 1980, Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN-UI, Jakarta, him. 160. 88 Hamid S. Attamimi, (disertasi), 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Negara Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden

Sebagian ada yang

menyamakan dengan eksekutif, dan sebagian yang lain menyamakan dengan "negara". Berkaitan dengan dua pandangan mengenai akar kata "Pemerintahan" tersebut, maka dapat diambil pemahaman bahwa kata "Pemerintahan" memang mengandung pengertian ganda, yaitu bisa hanya mengacu pada konotasi eksekutif dan bisa juga mengacu pada konotasi negara. Perbedaan pendapat semacam ini disebabkan oleh adanya ajaran trias politika yang membagi kekuasaan negara kedalam tiga pilar kekuasaan utama, yaitu Eksekutif (kekuasaan untuk melaksanakan Peraturan Perundang-undangan), Legislatif (kekuasaan untuk membuat Peraturan Perundang-undangan), dan Yudikatif (Kekuasaan untuk melaksanakan penegakan Peraturan Perundang-undangan atau sering disebut kekuasaan peradilan). Oleh sebab itu untuk menambah pemahaman mengenai pengertian "Pemerintahan", maka disini penulis mencoba untuk memberikan jalan tengah, yaitu dengan meletakkan pengertian "Pemerintahan" dalam dua arti, yakni arti luas dan sempit. Pemerintahan dalam arti luas adalah segala bentuk kegiatan atau aktifitas penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh organ-organ atau alat-alat perlengkapan negara yang memliki tugas dan fungsi sebagaimana digariskan oleh konstitusi. Pengertian seperti ini mencakup kegiatan atau aktifitas penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif dalam suatu organisasi kekuasaan yang disebut negara. Sedangkan pengertian Pemerintahan dalam arti sempit tidak lain adalah aktifitas atau kegiatan yang diselenggarakan oleh organ pemegang kekuasaan Eksekutif sesuai dengari tugas dan fungsinya yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Presiden ataupun Perdana Menteri sampai dengan level birokrasi yang paling rendah tingkatannya. Dengan kata lain, penyelenggaraan tugas dan fungsi Administratuur atau Bestuur inilah yang disebut sebagai Pemerintahan dalam arti sempit. Bertitik tolak dari dua pengertian tersebut, maka dalam melakukan pembahasan mengenai Pemerintahan Negara, penekanannya menyangkut Pemerintahan dalam arti luas, yaitu meliputi pembagian kekuasaan dalam negara, hubungan antar alat perlengkapan negara yang menjalankan kekuasaan tersebut baik secara horizontal (pemisahan atau pembagian kekuasaan) maupun vertikal (pemencaran kekuasaan) antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Local Government). Dengan demikian, jika pengertian Pemerintahan tersebut dikaitkan dengan pengertian sistem, maka yang dimaksud dengan Sistem Pemerintahan Negara adalah suatu tatanan atau susunan pemerintahan yang berupa suatu struktur yang terdiri dari organ-organ pemegang kekuasaan di dalam negara dan saling melakukan hubungan fungsional diantara organ-

organ tersebut baik secara horizontal maupun vertikal untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki. Berdasarkan pengertian Sistem Pemerintahan inilah, maka pengkajian akan difokuskan pada segala aktifitas ataupun urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyat dan kepentingan negara itu sendiri, sehingga tidak diartikan sebagai Pemerintahan yang hanya difokuskan pada tugas dan fungsi Eksekutif belaka.

C. Tiga Pengertian Sistem Pemerintahan Negara.


Pada umumnya orang menganggap bahwa yang dimaksud dengan Sistem Pemerintahan negara hanya berkisar pada mekanisme hubungan antara sebagian alat perlengkapan negara, khususnya alat perlengkapan negara pemegang kekuasaan Eksekutif dan Legislatif. Anggaran seperti ini tetap dapat dibenarkan sepanjang yang dimaksud dalam sistem pemerintahan ini diletakkan di tingkat Pusat. Menurut doktrin Hukum Tata Negara yang tertuang di dalam konstitusi, Sistem Pemerintahan Negara dapat dibagi kedalam 3 (tiga) pengertian, yaitu: 1. Sistem Pemerintahan dalam arti Paling Luas, yaitu suatu tatanan yang berupa struktur dari suatu negara dengan menitik beratkan pada hubungan antara negara dengan rakyatnya. Pengertian seperti ini akan menimbulkan bentuk Sistem Pemerintahan Negara yang bercorak Monarkhi, Aristokrasi, atau Demokrasi. Sistem Pemerintahan Negara dalam Arti Luas, yaitu suatu tatanan atau struktur pemerintahan negara yang bertitik tolak pada hubungan antara semua organ negara, termasuk hubungan antara Pemerintah Pusat (Central Government) dengan bagian-bagian yang terdapat di dalam negara di tingkat lokal (Local Government). Pengertian seperti ini akan menimbulkan corak sistem Pemerintahan Negara berdasarkan bangunannya, yaitu : a. Bangunan Negara Kesatuan, dimana Pemerintah Pusat memegang otoritas penuh (berkedudukan lebih tinggi) bila dibandingkan dengan Pemerintahan Lokal. b. Bangunan Negara Serikat (Federal), yakni Pemerintah Pusat dengan Negara-negara bagian mempunyai kedudukan yang sama. c. Bangunan Negara Konfederasi, dimana Pemerintah Lokal (kanton/wilayah) mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari Pemerintah Pusat. Sistem Pemerintahan Negara dalam Arti Sempit, yakni suatu tatanan atau struktur pemerintahan yang bertitik tolak dari hubungan sebagian organ negara di tingkat pusat, khususnya hubungan antara Eksekutif dan Legislatif. Struktur atau

tatanan seperti ini akan menimbulkan corak Sistem Pemerintahan Negara, yaitu: a. Sistem Parlementer, yakni Parlemen (legislatif) mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada eksekutif. Parlemen dapat membubarkan Eksekutif melalui mosi tidak percaya. Contohnya di Inggris dan Jepang. b. Sistem Pemisahan Kekuasaan (Sistem Presidensiil), yakni antara Parlemen (legislatif) dengan Eksekutif mempunyai kedudukan yang sama dan tidak dapat saling menjatuhkan melainkan saling melakukan kontrol dan keseimbangan (checks and balances) dalam melaksanakan kewenangannya. Contohnya di AS. c. Sistem Pemerintahan Badan Pekerja (Sistem Pemerintahan dengan Pengawasan Langsung oleh Rakyat), yakni Pemerintah (eksekutif) pada hakikatnya adalah Badan Pekerja dari Parlemen (legislatif), dengan kata lain eksekutif merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari legislatif (parlemen). Oleh karena itu parlemen tidak diberi wewenang untuk melakukan pengawasan kepada eksekutif, sehingga yang berhak mengawasi parlemen dan eksekutif adalah rakyat secara langsung. Contohnya di Swiss. Perlu diketahui pula bahwa di samping pengertian Sistem Pemerintahan atau sering disebut bentuk pemerintahan, dikenal juga adanya istilah bentuk negara dan bangunan negara. Kedua istilah yang terakhir ini sering disamakan dengan Sistem Pemerintahan dan bentuk pemerintahan. Berkaitan dengan inilah, maka dalam Bab ini penulis mencoba memberikan beberapa pandangan mengenai kedua peristilahan tersebut.

D. Bentuk Negara.
Pemahaman mengenai bentuk negara seharusnya dikaitkan dengan persoalan yang menyangkut kriteria sebagaimana di-kemukakan oleh Leon Duguit maupun George Jellinek, yakni menyangkut bentuk negara republik dan monarkhi. Intinya bentuk negara itu berkisar pada pola penentuan kepala pemerintahan dan pola pengambilan keputusan yang dilakukan di dalam negara tersebut. Negara dikatakan berbentuk republik, apabila mekanisme penentuan kepala pemerintahan negara dilakukan melalui pemilihan (langsung atau melalui suatu majelis yang merepresentasikan rakyat) dengan periodesasi masa jabatan yang telah ditentukan. Sedangkan pengambilan keputusan di dalam negara yang bentuknya Republik dilakukan dalam sebuah forum majelis atau dewan yang mencerminkan representasi rakyat. Sedangkan negara dikatakan berbentuk monarkhi apabila penentuan kepala pemerintahan dilakukan berdasarkan prinsip pewarisan alias turun temurun, dan pengambilan keputusannya dilakukan tidak memalui suatu forum majelis

atau dewan yang merepresentasikan kepentingan rakyat. Berdasarkan dua pemahaman bentuk negara inilah kita dapat lebih tegas membedakan antara sistem pemerintahan negara dengan pemahaman mengenai bangunan negara.

E. Bangunan Negara.
Membahas mengenai bangunan negara, maka kriteria yang harus dipergunakan adalah menyangkut struktur atau susunan negara. Dalam hal ini titik tolaknya tertuju pada pembagian dan hubungan kekuasaan antara Central Government (Pemerintah Pusat) dengan Local Government (Pemerintah Lokal). Sehubungan dengan hal ini, maka pada garis besarnya dikenal adanya tiga macam bangunan negara, yaitu Negara Kesatuan (unitaris), negara Serikat (Federalis), dan Serikat negara-negara (Konfederalis). Bangunan negara kesatuan (unitaris), apabila hanya ada satu kekuasaan yang berwenang untuk membuat UndangUndang yang berlaktx untuk seluruh wilayah negara, yakni Pemerintah Pusat. Sedangkan Local Government hanya melaksanakan atau menyesuaikan dengan Undang-Undang yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Kalaupun ada kewenangan untuk membentuk Peraturan Perundangundangan di tingkat lokal, maka kewenangan itu bersumber pada delegasi kewenangan maupun atribusi ke-wenangan. Delegasi kewenangan adalah pelimpahan kewenangan membentuk Paraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi kepada Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, baik dinyatakan dengan tegas maupun tidak. Hasil dari delegasi kewenangan ini berupa Peraturan pelaksana. Kewenangan delegasi ini tidak diberikan, melainkan "diwakilkan", serta kewenangan delegasi ini bersifat sementara dalam arti dapat diselenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada. Sedangkan atribusi kewenangan adalah pemberian kewenangan membentuk Peraturan perundang-undangan kepada suatu lembaga negara atau pemerintah. Hasil dari adanya kewenangan atribusi ini tidak lain adalah Peraturan Otonom. Kewenangan ini melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batas-batas yang diberikan.89 Terkait dengan ada atau tidaknya kedua kewenangan dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan di tingkat lokal tersebut, maka sangat tergantung corak dari bangunan negara kesatuan itu sendiri berdasarkan pada asas penyelenggaraan pemerintahannya, yakni: 1. Negara Kesatuan dengan mempergunakan asas desentralisasi, dimana Pemerintah Lokal dapat membentuk Paraturan Perundang-undangan di tingkat lokal untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan

pemerintahan sendiri (Otonomi) atas dasar delegasi kewenangan ataupun atribusi kewenangan; dan 2. Negara Kesatuan dengan mempergunakan asas sentralisasi, dimana Pemerintah Lokal tidak dapat membentuk Peraturan perundang-undangan di tingkat lokal, karena seluruh kebijakan negara sifatnya terpusat, dan Pemerintah Lokal hanya sekedar sebagai alat dari Pemerintah Pusat. Bangunan negara serikat (federalis), apabila antara Pemerintah Pusat (Pemerintah Federal) dengan Pemerintah Negara bagian (State) mempunyai wewenang yang sama dalam membentuk UU. Bedanya hanya subtansi UU yang dibentuk oleh Pemerintah federal (Pusat) berlaku dan bersifat 89 Maria Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan), Kanisius, Yogyakarta, him. 55 nasional, serta mengatur kewenanganSittem Pemerintahan Negara 12.5 kewenangan yang terkait dengan kedaulatan keluar seperti politik luar negeri, pertahanan, moneter dan fiskal, peradilan. Sedangkan UU yang dibentuk oleh masing-masing Pemerintah Negara Bagian hanya berlaku secara internal di negara bagian tersebut, dan substansinya menyangkut hal-hal yang menjadi kewenangan masing-masing negara bagian. Sumber dari pembentukan UU masing-masing negara bagian bukan karena adanya delegasi ke-wenangan ataupun atribusi kewenangan, melainkan karena adanya teori residu, yakni teori pembagian kekuasaan sisa, dimana masing-masing negara bagian telah mengambil kewenangan-kewenangan terlebih dahulu sedangkan kewenangan sisa diserahkan kepada Pemerintah Federal. Bangunan negara yang berwujud Serikat Negara-negara (konfederasi) justru sebaliknya. Asumsi dasar dari bangunan negara seperti ini terdiri dari gabungan beberapa negara yang sejak semula memang sudah memiliki kedaulatan penuh. Penggabungan negara-negara tersebut tidak serta merta menghapuskan kedaulatan dari masing-masing negara. Oleh sebab itu kewenangan masing-masing negara masih tetap di atas kewenangan Pemerintah Konfederasi.

F. Organisasi Sistem Pemerintahan Negara.


Pada umumnya dalam sistem pemerintahan negara, baik itu di bangunan negara serikat maupun kesatuan dikenal adanya dua organisasi (pengelompokan) dari sistem pemerintahan yang saling melakukan interaksi antara satu dengan yang lain. Organisasi dari sistem pemerintahan negara yang dimaksud adalah:

1. Organisasi Sistem Pemerintahan Negara dalam garis horizontal; dan 2. Organisasi Sistem Pemerintahan Negara dalam garis vertikal. Untuk lebih memahami mengenai kedua organisasi sistem pemerintahan negara tersebut, di bawah ini disampaikan sedikit gambaran pemahaman dari keduanya. 1. Organisasi Sistem Pemerintahan Dalam Garis Horizontal. Sebagaimana telah disinggung di dalam Ilmu Negara bahwa konsep Trias Politika menghendaki agar kekuasaan di dalam negara dibagi menjadi 3 (tiga cabang kekuasaan utama, yaitu: a. Kekuasaan Legislatif, yakni kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang. Biasanya diserahkan kepada Lembaga Perwakilan Rakyat (Parlemen); b. Kekuasaan Eksekutif, yakni kekuasaan untuk menjalankan Undang-Undang atau disebut juga kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan. Kekuasaan ini biasanya dilakukan oleh pemerintah dalam arti sempit (Presiden atau Perdana Menteri); c. Kekuasaan Yudikatif, yakni kekuasaan untuk melaksanakan peradilan. Kekuasaan ini dilakukan oleh badan-badan peradilan dengan susunan yang bertingkat-tingkat sesuai dengan kewenangan masing-masing tingkat dan berpuncak pada Supreme Court atau Mahkamah Agung.90 Ketiga cabang kekuasaan dalam negara ini dipegang oleh lembaga atau badan kenegaraan yang sifatnya dapat terpisah antara satu dengan yang lain secara tegas, dan dapat pula terpisah secara kelembagaan, tetapi masing-masing masing dapat saling melakukan hubungan antara satu dengan lainnya. Kesemuanya itu tergantung dari sistem pemerintahan yang dianut oleh masing-masing negara. Jika sistem pemerintahannya mempergunakan sistem presi-densiil, maka badan kenegaraan yang memegang kekuasaan eksekutif dan legislatif pada hakikatnya terpisah secara tegas dan tidak dapat saling mempengaruhi. Sedangkan jika sistem pemerintahannya adalah sistem parlementer, maka badan kenegaraan yang memegang kekuasaan eksekutif dan 90 Di samping dikenal adanya badan-badan peradilan yang memegang kekuasaan Yudikatif, di dalam khasanah Hukum Administrasi Negara juga dijumpai badan-badan administratif yang melaksanakan fungsi mirip badan peradilan, seperti Majelis Pertimbangan Pajak, Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Badan-badan administrasi ini berhubungan sering disebut Badan Peradilan legislatif dapat saling dan saling mempengaruhi Administrasi Semu {Quasi Rechtspraak) antara satu dengan lainnya.

Maksud pembentukan organisasi sistem pemerintahan negara seperti ini tidak lain agar kekuasaan yang terdapat di dalam suatu negara tidak lagi dipegang atau menumpuk serta dikendalikan oleh seseorang atau sekelompok orang yang biasanya cenderung disalah gunakan. Dengan demikian konsep pengorganisasian sistem pemerintahan dalam garis horizontal pada hakikatnya merupakan implementasi dari konsep trias politika yang dilandasi oleh reaksi terhadap organisasi sistem pemerintahan yang absolut-diktatorik yang pada umumnya terjadi dalam negara yang berbentuk monarkhi absolut. Memperlajari pengorganisasian Sistem Pemerintahan Negara tersebut di atas tentu saja titik tolaknya berkisar pada hubungan antara pemegang kekuasaaan Legislatif dan Eksekutif. Titik tolak semacam ini hanya tertuju pada hubungan Legislatif dan Eksekutif, karena dalam konsep pemisahan atau pembagian kekuasaan sebagai salah satu dari prinsip negara hukum secara doktriner badan pemegang kekuasaan Yudikatif harus dipisahkan dan bebas dari pengaruh kekuasaan-kekuasaan lain di dalam negara. 2. Organisasi Sistem Pemerintahan Negara Dalam Garis Vertikal. Membahas organisasi sistem pemerintahan negara dalam garis vertikal pada intinya bertitik tolak dari bangunan negara, khususnya bangunan negara serikat dan bangunan negara kesatuan. Masing-masing bangunan ini memiliki satuan pemerintahan yang lebih rendah di bawah pemerintah pusat. Di negara serikat, satuan pemerintahan yang lebih rendah diwujudkan dalam bentuk Negara-negara Bagian. Sedangkan di negara kesatuan, khususnya yang mempergunakan asas desentralisasi dikenal ada Pemerintahan Daerah yang berwenang menyelenggarakan pemerintahan sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakat di masing-masing Daerah (otonom).

Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Definisi ini berbeda bila di bandingkan dengan Undang-Undang yang pernah berlaku, yakni Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokokpokok Pemerintahan Di Daerah, dan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang diberlakukan semasa Pemerintahan Orde baru, dinyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah/Daerah Tingkat yang lebih atas kepada Daerah

untuk menjadi urusan rumah tangga sendiri. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan kepada Daerah otonom dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perbedaan definisi dari ketiga Undang-Undang tersebut di atas, dapat ditinjau dari makna yang terkandung di dalamnya, yakni: 1. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 pengertian desentralisasi dititik beratkan kepada penyerahan wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, dan penyerahan tersebut ditujukan kepada Daerah Otonom. Perumusan seperti ini mengandung makna: a. Penyerahan wewenang yang dilakukan itu sematamata dipergunakan untuk melaksanakan fungsi pengaturan dan pengurusan urusan-urusan pemerintahan; dan b. Penyerahan tersebut ditujukan kepada daerah otonom. Ini berarti daerah otonom memang sudah terbentuk. 2. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokokpokok Pemerintahan Daerah pengertian desentralisasi dititik beratkan pada penyerahan urusan pemerintahan. Hal ini berarti sifal dari yang diserahkan itu adalah sempit, karena menyangkut urusan pemerintahan. Oleh sebab itu ketika urusan pemerintahan tersebut diserahkan, maka wewenang dari daerah hanya sebatas pada bidang urusan pemerintahan yang telah diserahkan tersebut. Pendek kata wewenang untuk mengatur dan mengurus tersebut hanya terbatas pada urusan pemerintahan yang telah diserahkan. Lain dari pada itu, makna dari desentralisasi menurut UU ini, menggambarkan bahwa ada atau tidaknya daerah otonom sangat tergantung dari ada atau tidaknya penyerahan urusan pemerintahan tersebut. 3. Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, pengertian desentralisasi justru diperluas, karena yang diserahkan adalah wewenang pemerintahan. Artinya dengan adanya penyerahan wewenang ini, maka daerah otonom dapat mengatur dan mengurus urusan pemerintahan apa saja, sehingga terjadilah perluasan wewenang yang pada akhirnya karakteristik desentralisasi menurut UU ini menjadi bercorak federalistis. Terjadinya perbedaan makna dalam mendefinisikan pengertian desentralisasi tersebut disebabkan memang dalam sejarah perjalanan pengorganisasian Sistem Pemerintahan Negara dalam garis vertikal di Indonesia telah mengalami

perdebatan yang cukup panjang. Ketika tuntutan reformasi adalah memberikan otonomi luas kepada daerah, maka rumusan desentralisasi harus dimaknai penyerahan wewenang pemerintahan yang memungkinkan daerah-daerah dapat mengatur dan mengurus urusan pemerintahan apa saja. Alih-alih dari rumusan seperti inilah, maka terjadi otonomi daerah yang kebablasan dan mengarah kepada konsep negara federal. Rumusan menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tersebut merupakan koreksi total dari pengertian desentralisasi pada zaman Orde Baru sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 yang bernuansakan sentralistik. Nuansa sentralistik ini nampak dari titik tekan desentralisasi yang hanya menggariskan pada pemahaman yang sempit yakni penyerahan urusan pemerintahan bila dibandingkan dengan penyerahan wewenang pemerintahan. Pendek kata, jika dikaji lebih mendalam maka pengertian urusan pemerintahan itu sifatnya lebih sempit daripada pengertian wewenang pemerintahan. Menurut Kranenburg kedua satuan pemerintahan yang lebih rendah, yakni negara bagian di negara serikat dan Pemerintahan Daerah di Negara Kesatuan, masing-masing mempunyai ciri-ciri yang berbeda antara satu dengan lainnya bila ditinjau dari hukum positif, yaitu: a. Negara Bagian yang terdapat di dalam Negara Serikat memiliki pouvoir constituent, yakni wewenang untuk membentuk Undang-Undang Dasar sendiri serta mempunyai wewenang untuk membentuk organisasi sendiri dalam rangka dan batasbatas konstitusi federal. Sedangkan dalam Negara Kesatuan, organisasi bagian-bagian negara (Pemerintah Daerah) secara garis besar telah ditetapkan oleh pembentuk UndangUndang Pusat. b. Dalam Negara Federal (serikat), wewenang membentuk Undang-Undang Pusat untuk hal-hal tertentu telah diperinci satu persatu dalam konstitusi federal. Sedangkan dalam Negara Kesatuan, wewenang pembentukan UndangUndang Pusat ditetapkan dalam satu rumusan umum dan wewenang pembentukan Undang-Undang rendahan (sering disebut Peraturan Daerah/Perda) tergantung pada badan Pembentuk Undang-Undang Pusat itu.91

91 Kranenburg, dalam Miriam Budiardjo, 1986, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, him. 143.

Menurut Hukum Tata Negara Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, wewenang pembentukan Peraturan Per-undang-Undangan tingkat Daerah (Peraturan Daerah) dalam rangka mengatur dan mengurus Urusan-urusan pemerintahan ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Hal ini nampak jelas di dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) yang menegaskan bahwa Pemerintahan Daerah dapat menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi Kewenangannya kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. Selanjutnya di dalam ayat (3)-nya dinyatakan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Menurut F. Isjwara, dalam negara federal wewenang legislatif terbagi dalam dua bagian, yakni antara badan legislatif pusat (federal) dan badan legislatif dari negaranegara bagian. Sedangkan dalam negara kesatuan wewenang legislatif berada dalam tangan badan legislatif pusat, untuk kekuasaan legislatif rendahan (lokal) di dasarkan atas penentuan dari badan legislatif pusat itu dalam bentuk undang-undang organik.92 Hans Kelsen mengemukakan bahwa, dalam negara federal tidak hanya wewenang legislatif saja yang dibagi antara negara federal dengan negara-negara bagian, akan tetapi juga wewenang eksekutif dan administratif.93 Sedangkan menurut Sugeng Istanto prinsip yang terkandung pada negara kesatuan ialah yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara ialah Pemerintah Pusat (Central Government) tanpa adanya gangguan oleh delegasi atau pelimpahan kekuasaan kepada pemerintah daerah (Local government).w

G. Bentuk Pemerintahan dan Sistem Pemerintahan.


Pengertian bentuk pemerintahan dan sistem pemerintahan pada hakikatnya adalah sama. Perbedaan antara keduanya hanya di dasarkan pada sudut pandang dari masing-masing 92 F. Isjwara, dalam Ibid. 93 Hans Kelsen, dalam Ibid. 94 F. Sugeng Istanto, 1971, Beberapa Segi Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam Negara Kesatuan Indonesia, Karyaputera, Yogyakarta, him. 16. peristilahan tersebut. Jika sudut pandangnya adalah sosiologis maka sering dipergunakan istilah bentuk pemerintahan. Hal ini mengingat dalam sudut pandang tersebut kata bentuk lebih

ditujukan untuk menerangkan format atau model tertentu dari suatu organisasi. Sedangkan ditinjau dari susut pandang hukum (yuridis) lebih tepat mempergunakan peristilahan sistem pemerintahan. Hal ini disebabkan kata sistem lebih mengarah pada suatu pola pengaturan yang baku atau suatu pola kerja sama antara bagian-bagian berdasarkan aturan main tertentu, khususnya hubungan antar alat perlengkapan negara sebagaimana diatur dalam konstitusi. Sehubungan dengan hal ini, ada tiga sistem pemerintahan, yaitu: 1. Sistem pemerintahan Parlementer (Parliamentary Executive); 2. Sistem Pemerintahan Presidensiil (Fixed Executive); dan 3. Sistem pemerintahan dengan Pengawasan langsung oleh rakyat terhadap badan legislatif melalui referendum atau usul inisiatif rakyat.

1. Sistem Pemerintahan Parlementer (Parliamentary Executive).


Pada prinsipnya sistem pemerinahan parlementer menitik beratkan pada hubungan antara organ negara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sistem ini merupakan sisa-sisa peninggalan sistem pemerintahan dalam arti paling luas, yakni monarkhi. Dikatakan demikian karena kepala negara apapun sebutannya, mempunyai kedudukan yang tidak dapat diganggu gugat. Sedangkan penyelenggara pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada Menteri (Perdana Menteri). Menurut Arend Lijphart perkembangan sistem parlementer ini pada umumnya melalui tiga fase. Pada awalnya pemerintahan dipimpin oleh seorang raja yang bertanggung jawab atas seluruh sistem politik atau sistem kenegaraan. Kemudian muncul sebuah majelis dengan anggota yang menentang hegemoni raja. Terakhir, majelis mengambil-alih tanggung jawab atas pemerintahan dengan bertindak sebagai parlemen, maka raja kehilangan sebagian besar kekuasaan tradisionil.95 Adapun ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer pada umumnya dapat digambarkan sebagai berikut: a. Terdapat hubunganyang erat antara eksekutif dan legislatif (parlemen), bahkan antara keduanya saling tergantung satu sama lain; b. Eksekutif yang dipimpin oleh Perdana Menteri dibentuk oleh Parlemen dari Partai politik atau organisasi peserta pemilu yang menduduki kursi mayoritas di parlemen. Dalam hal

ini rakyat tidak secara langsung memilih Perdana Menteri dan kabinetnya. Jika ternyata di dalam parlemen tidak ada satupun partai politik yang menduduki kursi mayoritas, maka penyusunan Kabinet dan Perdana Menteri pada umumnya dilakukan dengan cara koalisi, yakni penggabungan dua partai atau lebih di dalam parlemen untuk memperkuat posisi perolehan suara di parlemen; c. Kepala Negara (apapun sebutannya) hanya berfungsi ataupun berkedudukan sebagai kepala negara. Tidak sebagai kepala eksekutif atau pemerintah. Kedudukan seperti ini mengakibatkan Kapala Negara tidak dituntut pertanggunjawaban konstitusional apapun, sebab Kepala Negara hanya berfungsi sebagai simbol negara atau personifikasi negara. Kendatipun demikian Kepala Negara juga diberi wewenang untuk menunjuk formatur kabinet dan membubarkan kabinet bila keadaan negara menghendaki; d. Dikenal adanya mekanisme pertanggungjawaban Manteri kepada Perlemen yang mengakibatkan parlemen dapat membubarkan atau menjatuhkan mosi tidak percaya kepada Kabinet, jika pertanggunjawaban atas pelaksanaan 95 Arend Lijphart (disadur oleh Ibrahim, et.all), 1995, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, him. 36. pemerintahan yang dilakukan oleh Menteri baik di bidangnya masingmasing

ataupun atas dasar kolektifitas tidak dapat diterma oleh parlemen.

2. Sistem Pemerintahan Presidensiil (Fixed Executive).


Sistem pemerintahan ini bertitik tolak dari konsep pemisahan kekuasaan sebagaimana diajurkan oleh teori

Trias Politika. Sistem ini menghendaki adanya pemisahan kekuasaan secara tegas, khususnya antara badan pemegang kekuasaan eksekutif dan badan pemegang kekuasaan legislatif. Adapun ciri-ciri utama dari sistem pemerintahan presidensiil adalah: a. Kedudukan Presiden di samping sebagai Kepala Negara juga sebagai Kepala Eksekutif (Pemerintahan); b. Presiden dan Parlemen masing-masing dipilih langsung oleh Rakyat melalui Pemilihan Umum. Sehingga tidaklah mengherankan jikalau ada kemungkinan terjadi komposisi Presiden berasal dari suatu Partai Politik yang berbeda dengan komposisi mayoritas anggota partai politik yang menduduki kursi di parlemen. Khusus mengenai pemilihan Presiden memang ada berbagai varian yang ada di berbagai negara. Contohnya di AS, pemilihan presiden dilakukan melalui suatu institusi yang disebut electoral college (Panitia Pengumpul suara). Sedangkan menurut Pasal 6 A UUD 1945 hasil Amandemen antara lain dinyatakan: (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. (2) Pasangan calon Persiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. (3) Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapat suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. (4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. (5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut di atur dengan Undang-Undang.

Karena Presiden dan Parlemen dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, maka kedudukan antara kedua lembaga ini tidak bisa saling mempengaruhi (menjatuhkan seperti halnya di sistem parlementer). Hal ini mengingat kedua lembaga ini sama-sama bertanggungjawab kepada rakyat pemilih. Pola semacam ini merupakan bentuk perluasan pola representasi rakyat, yaitu representasi rakyat dalam pengambilan keputusankeputusan politik nasional (Pembentukan UndangUndang) melalui parlemen, dan representasi rakyat dalam melaksanakan pemerintahan melalui Presiden. Kendati Presiden tidak dapat diberhentikan oleh Parlemen di tengah-tengah masa jabatannya berlangsung, namun jkalau presiden melakukan perbuatan yang melanggar hukum, maka presiden dapat dijatuhi Impeachment (Pengadilan DPR). Pelaksanaan Impeachment ini dilakukan oleh Hakim Agung pada Supreme Court (MA), tidak dilakukan oleh anggota-anggota parlemen sendiri. Contoh yang dapat dikemukakan disini adalah Impeachment yang dikembangkan di AS. Di indonesia Impeachment juga dikenal sebagaimana di atur dalam Pasal 7A UUD 1945 yang menyatakan: "Presiden dan/ata Wakl Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atau atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden". Sehubungan dengan ketentuan Pasal 7 A UUD 1945 tersebut di atas, maka mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut diatur dalam Pasal 7 B UUD 1945 yang menegaskan: (1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwaklan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden. (2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah

dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwaklan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah angota Dewan Perwakilan Rakyat. (4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi. (5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskanbahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan Sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. (6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut. (7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurangkurangnya % dari jumlah anggota dan disetujui oleh 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam rangka menyusun Kabinet (Menteri), Presiden wajib minta persetujuan Parlemen. Dalam kaitan dengan hal ini, Presiden hanya menyampaikan nominasi anggota kabinet, sedangkan parlemen memberikan persetujuan personil yang telah diajukan oleh Presiden. Kemudian Presiden mengangkat menteri-menteri tersebut setelah mendapat persetujuan parlemen. Menteri-menteri yang diangkat oleh Presiden tersebut tunduk dan bertanggungjawab kepada Presiden. Di samping dikenal adanya sistem presidensiil dan parlementer, dalam khasanah Ilmu Hukum

Ketatanegaraan dijumpai juga varian dari kedua sistem tersebut, yakni sistem presidensiil semu (Quasi Presidensiil) dan sistem parlementer semu (Quasi Parlementer). Sistem presidensiil semu dikembangkan dalam pola ketatanegaraan di Indonesia sebelum Amandemen UUD 1945. Di dalam Pasal 4 UUD 1945 sebelum amandemen ditegaskan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Kemudian di dalam Pasal 7 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen ditegaskan bahwa Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Konstruksi semacam ini jelas mengindikasikan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut sistem presidensiil. Akan tetapi jika kita mengkaji lebih jauh di dalam Penjelasan Umum UUD 1945, maka unsur-unsur sistem parlementer juga nampak di dalamnya. Di dalam Penjelasan Umum UUD 1945 antara lain dinyatakan bahwa Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia adalah mandataris dari Majelis. Ia wajib menjalankan putusanputusan Majelis. Presiden tidak neben, akan tetapi untergeordnet kepada Majelis. Penjelasan seperti ini mengandung unsur parlementer, karena bila ditinjau dari komposisi keanggotaan MPR yang terdiri dari anggota DPR ditambah utusan daerah dan utusan golongan, maka menunjukkan bahwa MPR pada hakikatnya merupakan lembaga negara yang memiliki karakter parlemen. Dengan demikian bila ditinjau dari mekanisme sistem pertanggungjawaban pelaksana pemerintahan, maka dalam sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945 sebelum amandemen, dikenal adanya dua mekanisme pertanggungjawaban, yakni pertama; pertanggung jawaban Menteri kepada Presiden sebagaimana ditegaskan dalam pasal 7 ayat (2) UUD 1945 yang mencerminkan sistem Presidensiil dan kedua; pertanggungjawaban Presiden kepada Majelis yang memiliki sifat lembaga perwakilan rakyat (Parlemen), sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 yang mencerminkan sistem parlementer. Sistem Pemerintahan Parlementer yang tidak murni dapat dijumpai dalam pola ketatanegaraan Perancis. Di negara Perancis, Presiden dipilih oleh rakyat dalam suatu pemilu. Demikian pula dengan parlemennya. Pola seperti ini nampak mirip dengan sistem presidensiil di AS. Di Perancis, Presiden memiliki kekuasaan yang besar dalam seluruh kehidupan negara dan pemerintah. Presiden juga dapat membubarkan Parlemen, tetapi ia juga mempunyai wewenang untuk mengangkat Perdana Menteri dari partai politik yang menduduki kursi mayoritas di parlemen. Perdana Menteri dan Kabinet bertanggungjawab kepada parlemen. Akan tetapi jikalau pertanggungjawaban tersebut ditolak oleh parlemen, tidak otomatis mengakibatkan kabinet

diberi mosi tidak percaya. Dalam kasus seperti ini Presiden akan memberikan pertimbangan apakah mosi tidak percaya tersebut memang disebabkan oleh kabinet yang tidak mampu lagi menjalankan garis-garis kebijaksanaan politik yang ditetapkan oleh parlemen, ataukah justru parlemen-lah yang sudah bertindak melampaui batas-batas kewenangannya. Jikalau dalam pertimbangan tersebut, Presiden menganggap parlemen-lah yang ternyata melampaui batas kewenangannya, maka justru parlemen-lah yang dapat dibubarkan oleh Presiden. Demikian pula sebaliknya. Kekuasaan Presiden Perancis yang demikian besar itu disebabkan ia dipilih langsung oleh rakyat. Ini berarti Presiden juga berkedudukan dan bertindak sebagai representasi rakyat dan legitimate dalam mengemban amanat kedaulatan rakyat di bidang pemerintahan. Oleh sebab itu, sangat logis jikakalu dalam konflik kelembagaan antara Kabinet dan parlemen, Presiden dapat bertindak sebagai mediator, bahkan dapat juga disebut sebagai juri dalam menyelesaikan konflik antara kabinet dan parlemen tersebut. Inilah letak ketidakmurnian sistem parlementer di Perancis tersebut.

3. Sistem Pemerintahan Negara Dengan Pengawasan Langsung Oleh Rakyat. Sistem pemerintahan seperti ini sering disebut juga Sistem Badan Pekerja. Negara Konfederasi Swiss mempergunakan sistem seperti ini. Menurut Konstitusi Federal Konfederasi Swiss dinyatakan antara lain: a. Pemegang kedaulatan tertinggi di Negara Konfederasi Swiss adalah Sidang Federal yang terdiri dari dua kamar, yaitu Dewan Nasional dan Dewan Negara.96 b. Pemegang kekuasaan eksekutif dan Badan Pelaksana Kekuasaan Tertinggi Konfederasi Swiss dipegang oleh Dewan Federal, yang terdiri dari tujuh anggota dan dipilih oleh Sidang Federal.97 c. Presiden dan Wakil Presiden Konfederasi Swiss dipilih oleh Sidang Federal, diantara para anggota Dewan untuk masa jabatan satu tahun.98 Konstruksi ketatanegaraan seperti ini memang mirip dengan sistem Parlementer, namun kalau dicermati lebih jauh maka tidaklah mungkin apabila Sidang Federal (pemegang kedaulatan tertinggi) dan Dewan Federal (Pemegang kekuasaan eksekutif) saling melakukan kontrol seperti halnya dalam sistem parlementer. Hal ini mengingat Dewan Federal pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Sidang Federal. Bahkan dapat dikatakan bahwa Dewan

Federal sebenarnya hanya merupakan Badan Pekerja dari Sidang Federal dan masa jabatannya hanya satu tahun. Pola seperti inilah yang mengakibatkan munculnya sistem pemerintahan dengan pengawasan langsung oleh rakyat. Dewan Federal (pemegang kekuasaan eksekutif) dan Sidang Federal (pemegang kedaulatan tertinggi) sama-sama memperoleh kekuasaan dari rakyat melalui pemilihan umum, 96 Pasal 71 Konstitusi Federal Konfederasi Swiss. 97 Pasal 96 ayat (1) Konstitusi Federal Konfederasi Swiss. oleh 98 Pasal sebab 98 itu ayat yang (1) Konstitusi berhak untuk Federal melakukan kontrol atas Konfederasi Swiss. jalarnya sistem ketanegaraan tidak lain adalah rakyat secara langsung. Adapun cara yang ditempuh oleh rakyat di Negara Konfederasi Swiss untuk melakukan kontrol atas jalannya pemerinahan adalah melalui: 1. Referendum, yaitu suatu kegiatan politik yang dilakukan oleh rakyat untuk memberikan keputusan setuju atau menolak terhadap kebijaksanaan atau keputusan yang diambil oleh parlemen atau setuju/menolak terhadap kebijaksanaan yang dimintakan persetujuan kepada akyat secara langsung. Referendum ini terdiri dari 3 (tiga) macam, yaitu: a. Referendum Obligator (Wajib), yaitu meminta pendapat secara langsung terhadap suatu Rancangan UndangUndang yang akan diundangkan; b. Referendum Fakultatif, yaitu meminta pendapat secara langsung kepada rakyat tentang setuju atau tidaknya terhadap Undang-Undang yang sudah berlaku, tetapi ada sementara rakyat yang menggugatnya. Dalam hal ini apabila mayoritas rakyat berpendapat bahwa UndangUndang tersebut tetap berlaku seperti semula, maka Undang-Undang tersebut tetap berlaku. Demikian pula sebaliknya. c. Referendum Optatif, yaitu meminta pendapat secara langsung kepada rakyat tentang setuju atau tidaknya terhadap Rancangan Undang-Undang Pemerintah Federal atau Pemerintah Pusat di wilayah-wilayah negara bagian atau daerah otonom. 2. Usul Inisiatif Rakyat, yaitu hak rakyat untuk mengajukan suatu Rancangan Undang-Undang kepada Parlemen atau pemerintah. Bila kita cermati bentuk-bentuk atau sistem pemerintahan sebagaimana telah disebutkan di atas, maka dapat ditarik pema-

haman bahwa bentuk atau sistem pemerintahan tersebut pada hakikatnya dipergunakan untuk menampung tuntutan demokrasi dan kedaulatan rakyat. Akan tetapi dari masingmasing bentuk atau sistem pemerintahan, apakah itu sistem parlementer ataukah presidensiil, kita tidak dapat dengan serta merta mengemukakan bahwa salah satu dari sistem tersebut lebih demokratis daripadayang lain. Berkaitan dengan hal ini Arend Lijphart mengemukakan: "Dalam pemerintahan parlementer, kepala pemerintahan yang bisa dijabat oleh Perdana Menteri, Presiden dan lainnya tergantung pada mosi atau kepercayaan badan legislatif dan dapat turun dari jabatannya melalui mosi tidak percaya dari legislatif. Dalam pemerintahan presidensiil, kepala pemerintahan hampir selalu disebut Presiden - dipilih untuk masa jabatan yang ditentukan oleh UUD dan dalam keadaan normal tidak dapat dipaksa untuk mengundurkan diri oleh badan legislatif (meskipun terdapat kemungkinan untuk memecat Presiden dengan proses pendakwaan luar biasa)".89 Memperhatikan argumentasi tersebut di atas, makanampak jelas bahwa ditinjau dari aspek akuntabilitas atau pertanggungjawaban atas jalannya pemerintahan, maka memang sistem parlementer bisa dianggap lebih demokratis bila dibandingkan dengan sistem presidensiil. Hal ini disebabkan dalam sistem parlementer dijumpai adanya lembaga mosi yang mengakibatkan nasib Pemerintah (eksekutif) sangat tergantung pada badan legislatif yang merupakan pencerminan representasi rakyat. Akan tetap kalau titik pandang kita tujukan pada mekanisme rekrutmen kepala pemerintahan, maka dapat dikatakan bahwa sistem presidensiil lebih demokratis daripada sistem parlementer. Hal ini disebabkan dalam sistem presidensiil penentuan kepala pemerintahan dilaksanakan melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat. Hal ini jelas tidak dikenal di dalam

99 Arenl Lijphart, Op.cit, him. 5. sistem parlementer.

Berkaitan dengan argumentasi tersebut di atas, maka di bawah ini akan penulis sampaikan keterkaitan antara demokrasi dan sistem pemerintahan negara.

H. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara.


Dari sudut pandang etimologi demokrasi berasal dari kata demos (rakyat) dan Cratein (memerintah). Jadi secara harafiah kata demokrasi dapat diartikan sebagai rakyat memerintah. Persoalannya adalah apakah pengertian yang demikian ini dapat dilaksanakan secara praksis di lapangan sistem ketatanegaraan. Dengan kata lain, apakah mungkin rakyat yang demikian banyaknya melaksanakan sendiri pemerintahan negara? Menurut Aristoteles sebagaimana dikutip oleh CF. Strong dalam buku yang berjudul Modern Constitution, dikatakan bahwa demokrasi itu termasuk bentuk pemerosotan.100 Pandangan semacam ini sungguh mengejutkan, mengingat di era sekarang ini paham demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara laksana primadona yang memancarkan pesona bagi setiap bangsa untuk meraihnya. Reformasi Indonesia yang digulirkan pada tahun 1998 juga ingin meraih sang primadona yang namanya demokrasi. Menurut Polybios dalam Cyclus theory dikemukakan bahwa demokrasi merupakan bentuk atau sistem pemerintahan yang paling akhir kemunculannya setelah monarkhi dan aristokrasi. Maurice Duverger, pada intinya mengemukakan bahwa jika arti kata yang dipahami secara awam, maka demokrasi yang sesungguhnya tidak pernah ada, sebab hal ini adalah bertentangan dengan kodrat alam dan sangat utopis. Tidaklah mungkin segolongan orang yang berjumlah besar memerintah, sedangkan yang berjumlah sedikit diperintah.101 Sedangkan Schumpeter mengemukakan apa yang dinamakan teori lain demokrasi, metode demokrasi. Menurut Schumpeter teori lain 100CF. Strong, Dalam Sri Soemantri, 1986, Tentang LembagaLembaga Negara Menurut UUD 1945, Alumni, Bandung, him. 2. 101Ibid. demokrasi atau 144 metode demokrasi adalah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat.102 Dari pemahaman-pemahaman arti tentang demokrasi, kecuali yang dikemukakan oleh Schumpeter, pada hakikatnya bertitik tolak dari pengartian kata demokrasi secara harafiah, atau dapat juga dilandasi oleh pemahaman demokrasi dalam arti formal (dalam arti bentuknya). Intinya paham demokrasi menghendaki adanya keikutsertaan rakyat atau warga negara dalam aktifitas penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan. Keiikutsertaan rakyat dalam aktifitas kehidupan ketatanegaraan ini menurut sejarah sudah dikenal sejak zaman Yunani Kuno (Abad VI s.d XIII SM). Pada waktu itu paham demokrasi diimplementasikan secara langsung di dalam City

State (Polis atau negara Kota). Namun demikian, implementasi demokrasi ini masih terbatas bagi segolongan warga negara saja. Kaum laki-laki dan para bangsawanlah yang mengimplementasikan demokrasi, yakni hak untuk ikut serta mengambil keputusan-keputusan politik negara. Sementara itu bagi golongan pendatang, budak dan wanita tidak diperkenankan untuk ikut berdemokrasi. Di negara modern, implementasi demokrasi sebagaimana pernah dilakukan pada zaman Yunani Kuno jelas tidak mungkin lagi dapat dilakukan dengan baik. Hal ini disebabkan, antara lain: 1. Jumlah penduduk negara dewasa ini sudah sedemikian besar. Hal ini mengakibatkan implementasi demokrasi secara langsung justru menyulitkan, khususnya dalam pengambilan keputusan-keputusan politik. Perlu diketahui bahwa pada umumnya pengambilan keputusan dengan jumlah peserta yang demikian besar sulit untuk dilaksanakan bila dibandingkan dengan pengambilan keputusan dengan jumlah peserta yang relatif sedikit. 102 Samuel P. Huntington, 1997, Gelombang Demokratisasi Ke Tiga, Cet II, Grafiti, Jakarta, him. 5. 2. Masalah-masalah ketatanegaraan di negara-negara modern dewasa ini sudah sedemikian kompleks. Sehingga tidaklah mungkin dalam setiap penyelesaian masalah tersebut selalu melibatkan rakyat secara langsung melalui forumforum pertemuan yang sifatnya kolosal. 3. Pelaksanaan demokrasi langsung jelas membutuhkan dana yang relatif besar, karena ini menyangkut akomodasi dalam memobilisasi rakyat atau warga negara. Contoh yang dapat dipergunakan sebagai ilustrasi disini adalah pelaksanaan Pemilihan Umum. Pesta demokrasi yang sering dipergunakan untuk menggambarkan Pemilihan Umum sebenarnya dapat dikategorikan sebagai demokrasi langsung, karena rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil berbondong-bondong menuju tempat-tempat yang telah disediakan untuk menentukan pilihannya. Proses Pemilihan Umum tersebut dilaksanakan melalui berbagai tahapan termasuk di dalamnya adalah menyelenggarakan pendaftaran pemilih untuk mengetahui secara pasti warga negara yang memiliki hak pilih. Pendaftaran pemilih dan penyediaan logistik (Surat Suara, Kotak Suara, Bilik Suara, Gaji Komisi Pemilihan Umum/KPU dan petugas-petugas di lapangan) untuk pemilihan umum jelas membutuhkan biaya yang tidak sedikit. 4. Ditinjau dari aspek teknis mobilisasi warga negara, bagi negara yang struktur geografinya terdiri dari pulau-pulau dan daerah terpencil seperti di Indonesia, penyelenggaraan demokrasi langsung jelas menghadapi kendala tersendiri. Hal ini mengingat untuk memobilisasi warga negara jelas membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai.

Berdasarkan kesulitan-kesulitan prinsipiil tersebut di atas, maka dewasa ini model demokrasi langsung seperti yang pernah dilakukan pada masa Yunani Kuno sudah tidak mungkin lagi untuk dilaksanakan. Kecuali dalam penyelenggaraan referendum seperti di Swiss. Oleh sebab itulah cara yang cukup efektif dan efisien untuk dilakukan adalah dengan mempergunakan model demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan (indirect democracy atau representative democracy). Berdasarkan model demokrasi tidak langsung inilah, maka hubungan demokrasi dengan sistem pemerintahan negara akan berkisar pada hubungan antara badan-badan perwakilan rakyat dengan badan pemegang kekuasaan eksekutif. Dalam hubungan ini, pada hakikatnya rakyat tetap dilibatkan dan merupakan bagian (subyek) dalam aktifitas kehidupan ketatanegaraan. Keterlibatan tersebut tidak lagi dilaksanakan secara langsung, melainkan melalui wakil-wakilnya yang dipilih untuk menjadi anggota badan-badan perwakilan rakyat. Oleh sebab itulah, sebagai anggota badan perwakilan rakyat, maka tokoh-tokoh politik yang telah dipilih oleh rakyat senantiasa wajib untuk selalu mendengar aspirasi rakyat, tidak malahan hanya mementingkan kelompok politiknya sendiri atau justru malahan mementingkan diri sendiri. Dengan pola yang demikian inilah, maka dikenal adanya tiga sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah diterangkan terdahulu. Sebagai suatu landasan dan prinsip dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan, paham demokrasi tidak muncul begitu saja. Paham demokrasi mengalami pasang surut sejalan dengan sejarah peradaban manusia dalam ikatan hidup bernegara. Pada intinya sejarah perkembangan demokrasi dapat digambarkan secara singkat sebagai berikut:103 1. Zaman Yunani Kuno. Pada zaman ini, demokrasi dilaksanakan secara langsung. Hak untuk berdemokrasi terbatas untuk segolongan warga negara, terutama kaum bangsawan. Sedangkan bagi golongan pendatang, budak dan kaum wanita tidak mempunyai hak untuk berdemokrasi.

103 Dirangkum dari Miriam Budiardjo, Op.cit, him. 53, dst.

Abad Pertengahan. a. Disebut juga abad kegelapan, karena setiap argumentasi dan pendapat manusia harus bisa dikembalikan pada halhal yang bersifat supranatural dan irrasional. Keadaan semacam ini disebabkan munculnya agama baru di barat

b.

c.

d. e.

yaitu agama Katolik. Dimana ideologi yang dikembangkan pada saat itu antara lain menegaskan bahwa kekuasaan yang ada di dunia ini ada di tangan Tuhan dan dilaksanakan oleh seorang Raja atau Paus (pemimpin umat Katolik sedunia) yang memperoleh wahyu dari Tuhan untuk melaksanakan perintah-perintahNya, serta memimpin dunia. Peran Gereja sebagai Institusi Agama di bawah kepemimpinan Paus sangat besar. Bahkan Gereja membawahkan Negara. Hal ini merupakan konsekuensi dari munculnya paham Kedaulatan Tuhan yang dalam implementasinya dilakukan oleh seorang Paus (pemimpin tertinggi Agama Katolik) beserta jajaran Hirarkhi Gereja sebagai wakil Tuhan yang ada di dunia ini. Dengan model seperti ini, paham demokrasi mengalami kemunduran dalam sejarah kehidupan negara setelah zaman Yunani Kuno. Hal ini disebabkan rakyat biasa (kaum awam) tidak lagi mempunyai posisi yang menentukan dalam aktifitas kehidupan kenegaraan. Banyak terjadi perebutan kekuasaan dikalangan kaum bangsawan untuk mempengaruhi Raja maupun Paus. Munculnya konsep demokrasi melalui Magna Charta, yakni kontrak atau perjanjian antara beberapa bangsawan dengan Raja John dari Inggris yang antara lain menghendaki agar raja mengikat diri dan mengakui serta menjamin hak-hak dan privileges dari kaum bangsawan. Piagam ini jelas tidak berlaku bagi rakyat biasa.

Renaisance. a. Renaisance pada hakikatnya adalah suatu ajaran atau pandangan yang berusaha untuk menghidupkan kembali kesusasteraan dan kebudayaan pada zaman Romawi atau Yunani yang telah tersingkir pada abad pertengahan. b. Dengan adanya ajaran atau pandangan tersebut, maka merangsang munculnya paham rasionalitas, yakni suatu paham yang lebih mementingkan kebebasan manusia untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran yang rasional. Hal inilah yang kemudian menimbulkan gagasan: 1. Urusan agama (gereja) dengan urusan negara harus mulai dipisahkan. 2. Meluasnya gagasan di bidang politik ketatanegaraan. 3. Kekuasaan sedapat mungkin dibatas agar tidak terjadi absolutisme kekuasaan seperti pada zaman abad pertengahan. 4. Paham rasionalitas harus diterapkan dengan mempergunakan teori social contract. Teori ini dilandasi oleh asumsi bahwa dunia itu dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam (nature) yang mengandung prinsipprinsip keadilan universal, artinya berlakunya untuk semua waktu dan semua orang. Oleh sebab itulah untuk mengatur kehidupan bersama dan memperhatikan rasa

keadilan, perlu dilakukan perjanjian sosial yang diselenggarakan oleh setiap orang dalam suatu komunitas. Dari konsepsi semacam inilah kemudian muncul pandangan bahwa negara itu dibentuk karena adanya kontrak sosial atau perjanjian masyarakat. Demokrasi Konstitusional Abad IIX dan Negara Hukum. a. Untuk menyelenggarakan hak-hak politik rakyat, maka perlu diadakan pembatasan kekuasaan pemerintah dengan suatu konstitusi. Konstitusi tersebut baik yang bersifat naskah (written constitution) maupun yang tidak bersifat naskah (unzoritten constitution). b. Di dalam konstitusi tersebut terdapat perlindungan hakhak politik rakyat serta menyelenggarakan pembagian kekuasaan negara sedemikian rupa, sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh kekuasaan parlemen dan lembagalembaga hukum. Pola yang demikian inilah yang disebut paham konstitusionalisme. c. Menurut Cari J. Friedrich, Konstitusionalisme adalah gagasan yang menganggap bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan aktifitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi tunduk kepada beberapa pembatasan yang dimaksud untuk memberikan jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalah gunakan oleh mereka yang memerintah.104 d. Menurut ajaran Konstitusionalisme fungsi UUD atau konstitusi adalah untuk menentukan dan membatasi kekuasaan pemerintah serta menjamin hak-hak dari warga negara. e. Ajaran konstitusionalisme ini menimbulkan rechtsstaat di Eropa Barat dan Rule of Law di negara-negara Anglo Saxon. Adapun unsur-unsur rechtsstaat (klasik) adalah: 1. Jaminan Hak-hak asasi manusia; 2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi manusia; 3. Pemerintahan berdasarkan peraturan (wetmatigheid van bestuur); dan 4. Peradilan Administrasi untuk menyelesaikan perselisihan. Sedangkan unsur-unsur Rule ofLaiu (klasik) adalah: 1. Supremasi aturan-aturan hukum (Supremacy of law), artinya tidak ada kekuasaan yang sewenang-wenang dan seorang hanya akan dihukum jikalau ia melanggar hukum; 104 Cari J. Friedrich, dalam Miriam Budiardjo, Ibid, him. 57. 2. Kedudukan yang sama di bidang hukum (equality before the law); dan 3. Terjaminnya hak-hak asasi manusia. 5. Demokrasi Konstitusional Abad XX dan Rule of Law Yang Dinamis.

a. Munculnya konsep negara kesejahteraan (welfare state). Fungsi negara adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat (social services) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umum warga negara. b. Syarat-syarat untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law, adalah: 1. Perlindungan konstitusional, artinya konstitusi selain menjamin hak-hak individu juga harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin; 2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak; 3. Kebebasan untuk menyatakan pendapat; dan 4. Pendidikan kewarganegaraan (civic education). c. Munculnya rumusan yang dikemukakan oleh International Comission of jurist (ICJ) yang menyatakan bahwa demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggungjawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas.105 d. Henry B. Mayo mengatakan bahwa sistem politik dikatakan demokrasi apabila kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang di dasarkan atas kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.106 Lebih lanjut dikemukakan bahwa demokrasi di samping sebagai suatu sistem pemerintahan, juga dapat dikatakan sebagai suatu gaya hidup (life style) serta tata masyarakat tertentu. Oleh sebab itu di dalam demokrasi juga mengandung unsur-unsur moril yang di dalamnya memuat nilai-nilai: 1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga; 2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah; 3. Menyelesaikan pergantian kepemimpinan secara teratur; 4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai seminim mungkin; 5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keaneka ragaman; dan 6. Menjamin tegaknya keadilan.107

Dari gambaran singkat mengenai perjalanan sejarah demokrasi tersebut di atas, maka dapat ditarik pemahaman bahwa demokrasi merupakan bentuk dari sistem pemerintahan yang paling luas, karena titik tolak pengkajiannya diletakkan pada hubungan antara rakyat atau warga negara dengan negara sebagai suatu institusi kekuasaan. Pengkajian demokrasi menjadi penting karena sifat maupun kodrat dari kekuasaan itu sendiri selalu cenderung disalahgunakan. Oleh sebab itu di dalam sistem pemerintahan demokrasi, organ yang paling dianggap memperoleh porsi pengawasan yang lebih menonjol adalah pemerintah (eksekutif). Mekanisme untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah ini dengan mempergunakan prosedur dan tata cara memberikan keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif yang pada hakikatnya merupakan manifestasi dari representasi rakyat. Inilah wujud formil dari demokrasi, sedangkan demokrasi dalam arti yang lain dapat merujuk pada pendapat dari Henry B. Mayo.

I. Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia.


Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, setelah proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Negara Indonesia pernah mempergunakan beberapa konstitusi tertulis selain UUD 1945. masing-masing konstitusi tertulis tersebut mengatur sistem pemerintahan Negara Indonesia yang berbeda-beda, antara satu dengan yang lain. Bahkan menurut UUD 1945 sebelum amandemen maupun sesudah amandemen pun mengalami perbedaan dalam menerapkan sistem pemerintahan negara. Sehubungan dengan hal itulah, maka dibagian ini akan disampaikan sistem pemerinahan Indonesia menurut konstitusi yang pernah dan sedang berlaku. 1. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut Konstitusi RIS. Secara singkat Sistem Pemerintahan Indonesia menurut Konstitusi RIS adalah sistem Pemerintahan Parlementer yang tidak murni. Pasal 118 Konstitusi RIS antara lain menegaskan: a. Presiden tidak dapat diganggu gugat; b. Menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri. Ketentuan Pasal ini menunjukkan secara tegas bahwa Republik Indonesia Serikat mempergunakan sistem pertanggungjawaban Menteri. Kendatipun demikian dalam Pasal 122 Konstitusi RIS juga dinyatakan bahwa DPR tidak dapat memaksa kabinet atau masing-masing Menteri untuk meletakkan jabatannya. Dengan memperhatikan konstruksi kedua Pasal tersebut, maka sistem yang dipergunakan adalah sistem parlementer yang tidak murni. Dengan demikian pertanggungjawaban

yang dimaksud dalam Pasal 118 tidak ada artinya atau dapat dikatakan sebagai pertanggungjawaban tanpa disertai dengan sanksi. Dalam teori Hukum Tata Negara pertanggungjawaban seperti ini sering disebut pertanggungjawaban dalam arti sempit. 2. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUDS 1950. UUDS 1950 masih tetap mempergunakan sistem pemerintahan parlementer seperti halnya diatur dalam Konstitusi RIS. Pendek kata, dalam hal sistem pemerintahan negara, UUDS 1950 masih melanjutkan seperti yang diatur di dalam Konstitusi RIS. Hal ini disebabkan UUDS 1950 pada hakikatnya merupakan hasil amandemen dari Konstitusi RIS dengan menghilangkan Pasal-pasal yang bersifat federalis. Di dalam Pasal 83 UUDS 1950 dinyatakan: a. Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat; b. Menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri. Berkaitan dengan Pasal 83 tersebut di atas, Pasal 84 UUDS 1950 menyatakan bahwa Presiden berhak membubarkan DPR. Keputusan Presiden yang menyatakan pembubaran itu memerintahkan pula untuk mengadakan pemilihan Presiden baru dalam 30 hari. Konstruksi Pasal semacam ini mengingatkan kita pada sistem parlementer yang tidak murni sebagaimana dikembangkan oleh Republik Ke V Perancis. 3. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum Amandemen. Di dalam sistematika UUD 1945, sistem pemerintahan negara tidak secara tegas tertuang di dalamnya. Hal ini agak berbeda dengan kedua konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia. Bahkan dalam beberapa ketentuan secara tersirat mengindikasikan adanya bentuk campuran antara sistem presidensiil dan parlementer. Di dalam Pasal 4 UUD 1945 ditegaskan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan. Sedangkan Pasal 17 menegaskan bahwa Menteri negara membantu Presiden serta diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Lebih lanjut di dalam Penjelasan UUD 1945 dinyatakan bahwa Dewan tidak bisa dibubarkan oleh Presiden. Presiden Republik Indonesia adalah Kepala Eksekutif dan tidak boleh merangkap menjadi anggota DPR dan Mahkamah Agung, apalagi menjadi pimpinan MPR. Kedua pasal dan Penjelasan UUD 1945 tersebut memberikan penegasan bahwa sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh UUD 1945 adalah sistem presidensiil. Akan tetapi karena Presiden Republik Indonesia tidak dipilih oleh rakyat secara langsung melainkan oleh MPR dan dapat diberhentikan oleh MPR sebelum masa jabatannya habis

jika melanggar UUD 1945 dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), maka hal ini menunjukkan bahwa sistem presidensiil yang dianut oleh UUD 1945 bukan sistem presidensiil murni. Persoalannya adalah, apakah konstruksi sistem pemerintahan negara yang ambigu seperti ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 dapat dikatakan mempergunakan sistem presidensiil yang tidak murni (quasi presidensiil)? Untuk mengetahui sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945, kita perlu memperbandingkan dengan sistem pemerintahan negara lain, khususnya yang menganut sistem pemerintahan presidensiil yang murni seperti di Amerika Serikat. Memperbandingkan dengan sistem pemerintahan di AS terasa relevan, karena bagaimanapun juga unsur-unsur presidensiil yang ada di sana relatif mirip dengan yang ada di Indonesia. Adapun karakteristik sistem presidensiil di Amerika Serikat adalah sebagai berikut: a. Lembaga Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif merupakan organ pemegang kekuasaan yang terpisah. Namun demikian mekanisme checks and balances (saling mengadakan kontrol dan keseimbangan) berlangsung diantara ketiga lembaga tersebut. Contohnya adalah dalam penentuan kabinet dan Hakim Agung, peran parlemen (Senat) menduduki posisi yang sangat penting. Mengingat untuk pengisian jabatan-jabatan tersebut harus memperoleh persetujuan Conggres. Hak prerogatif Presiden AS dalam mengajukan calon-calon pejabat publik tersebut lemata-mata hanya menyampaikan nominasi calon dan melakukan pengangkatan setelah diantara nominasi tersebut salah satunya disetujui oleh Congress. b. Dalam bidang Legislatif, misalnya pembuatan suatu UndangUndang wewenang penuh ada pada Congress yang terdiri dari dua kamar yaitu House of Representative dan Senate. Akan tetapi dalam hal-hal tertentu Presiden AS mempunyai hak Veto, yakni hak yang dimiliki oleh Presiden AS untuk tidak menyetujui atau menolak suatu RUU yang diajukan oleh Congress. c. Kekuasaan eksekutif berada di tangan Presiden, dan dalam pelaksanaannya dibantu oleh para menteri yang bertanggung jawab kepada Presiden. Sedangkan Presiden bertanggun jawab kepada rakyat yang memilihnya melalui mekanisme pemilihan umum. d. Apabila ada perbedaan pendapat antara Congress dengan Presiden, maka Presiden tidak serta merta dapat dijatuhkan oleh Conggres. Presiden tidak dapat diganggu-gugat sebelum

masa jabatannya habis. Namun demikian, dalam hal adanya suatu kejadian yang luar biasa, misalnya Presiden melakukan perbuatan yang melanggar hukum, maka Badan Perwakilan dapat menutut Presiden melalui Impeachment (pengadilan Senat/DPR). Pelaksanaan peradilan ini tidak dilakukan sendiri oleh anggota-anggota DPR, melainkan oleh Hakim Agung yang dipanggil ke DPR untuk melakukan pemeriksaan terhadap Presiden. Contoh aktual yang dapat dikemukakan disini adalah tatkala Presiden AS Nixon terkena skandal Watergate. Dia seharusnya akan di impeachment, namun sebelum proses tersebut berlangsung Nixon telah mengundurkan diri dan diganti oleh Wakil Presiden Gerald Ford. Begitu pula ketika Bill Clinton terkena skandal dengan staf Gedung Putih Monica Lewensky, namun karena senat berpendapat bahwa Bill Clinton sudah menyampaikan permohonan maaf secara terbuka dan menurut senat tidak melanggar konstitusi, maka proses Impeachment tidak dilaksanakan. e. Badan-badan Peradilan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Hakim Peradilan ada yang dipilih oleh rakyat dan ada pula yang diangkat untuk seumur hidup sepanjang tenaganya masih mampu menjalankan tugas dan wewenangnya. Bertitik tolak dari karakteristik sistem presidensiil di AS tersebut di atas, maka jika diperbandingkan dengan yang ada di Indonesia, sebagaimana dikonstruksikan di dalam UUD 1945, dijumpai adanya beberapa kesamaan. Hal ini nampak dari ketentuan-ketentuan di dalam UUD 1945 sebagai berikut: a. Pasal 4 ayat (1): Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD. b. Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2): Presiden dibantu oleh Menterimenteri Negara. Menteri-menteri negara itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Ketentuan seperti ini memberikan penegasan adanya pertanggungjawaban Menteri-menteri kepada Presiden. c. Pasal 5 ayat (1): Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan Persetujuan DPR.

d. Pasal 21 ayat (1): Anggota-anggota DPR berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang. e. Pasal 21 ayat (2): Jika Rancangan meskipun disetujui oleh DPR, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan itu tidak boleh dimajukan dalam persidangan masa itu. Ketentuan seperti ini mengingatkan kita pada hak Veto Presiden terhadap suatu Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Parlemen di Amerika Serikat. Dari ketentuan pasal-pasal tersebut di atas, nampak jelas bahwa sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia hampir sama dengan yang dianut di AS. Akan tetapi jika mencermati Pasal 6 Ayat (2) yang menegaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dan diangkat oleh MPR dengan suara terbanyak, maka dalam proses penentuan Kepala Pemerintahan (sekaligus Kepala Negara) tidak mempergunakan pola pemilihan langsung oleh rakyat sebagaimana dilakukan di AS. Lain daripada itu, di dalam Penjelasan Umum UUD 1945 juga dinyatakan bahwa Presiden dalam melaksanakan pemerintahan negara tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis. Penjelasan yang demikian ini memberikan konsekuensi bahwa sistem pemerintahan Indonesia juga mengandung karakteristik sistem parlementer. Berbeda dengan yang ada di Amerika Serikat. Memperhatikan sistem pemerintahan yang demikian ini, maka yang menjadi persoalan adalah lebih condong kemanakah sistem pemerintahan Indonesia tersebut? Apakah presidensiil ataukah parlementer? Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentunya harus mencermati terlebih dahulu eksistensi MPR itu sendiri dalam khasanah ketatanegaraan Indonesia. Lembaga apakah MPR itu? Sehubungan dengan hal ini, di dalam Pasal 1 ayat (2) dinyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kemudian di dalam Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa MPR terdiri dari anggota-anggota DPR, ditambah dengan utusanutusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang. Penjelasan dari ketentuan ini menyatakan bahwa maksudnya ialah, supaya seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah akan mempunyai wakil dalam Majelis, sehingga Majelis akan betulbetul dapat dianggap sebagai penjelmaan rakyat. Berkaitan dengan eksistensi MPR sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 berikut Penjelasannya tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa menurut konstruksi UUD 1945, MPR itu merupakan penjelmaan rakyat. Persoalannya adalah apa arti dari penjelmaan rakyat itu? Apakah MPR itu dianggap identik

dengan rakyat dalam arti sebagai reinkarnasi rakyat, atakah MPR hanya sekedar sebagai lembaga perwakilan? Menurut Bintan R. Saragih dan Kusnardi, kata penjelmaan rakyat yang ditujukan kepada eksistensi MPR tersebut dapat ditafsirkan dalam dua arti, yaitu MPR identik dengan rakyat, dan di lain pihak MPK itu hanya sebatas sebagai lembaga perwakilan. Kedua penafsiran ini jelas menimbulkan konsekuensi yang berbeda, yakni: a. Jika penjelmaan rakyat itu ditafsirkan sebagai identik dengan rakyat atau reinkarnasi rakyat, maka seluruh kebijaksanaan MPR termasuk dalam rangka melaksanakan tugas, fungsi, wewenang, dan tanggungjawab MPR sama halnya atau identik dengan kebijaksanaan, tugas, wewenang, dan tanggungjawab yang dilakukan oleh rakyat sendiri. Konsekuensi dari hal ini berarti dalam melaksanakan seluruh aktifitasnya MPR tidak perlu mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya kepada rakyat. Jika tafsiran ini diletakkan dalam konteks pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, maka tentunya dapat diidentikkan dengan pertanggungjawaban Presiden kepada rakyat. Demikian pula halnya, jika diletakkan dalam konteks Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR, maka hal ini dapat diidentikkan dengan Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat. Oleh sebab itu sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan tafsiran semacam itu dapat dianggap mempergunakan sistem presidensiil. b. Jika kata penjelmaan rakyat tersebut ditafsirkan bahwa MPR itu hanya sebatas sebagai lembaga perwakilan, maka dalam melaksanakan seluruh aktifitasnya MPR harus tetap melaksanakan pertanggungjawaban kepada pihak yang diwakili yaitu rakyat. Bahkan jikalau MPR itu hanya sebatas sebagai lembaga perwakilan, maka ada kemungkinan apa yang menjadi kehendak MPR berbeda dengan apa yang menjadi kehendak rakyat.108 Dalam praktek penyelenggaraan negara di bawah Rezim Orde Baru berdasarkan UUD 1945, nampak jelas bahwa dari kedua penafsiran tersebut, pelaksanaannya lebih condong

108 Bandingkan dengan Bintan R. Saragih & Kusnardi, 1987, Mekanisme Hubungan Lembaga-Lembaga Negara Menurut

kepada penafsiran bahwa MPR sebagai penjelmaan rakyat yang hanya sebatas merupakan lembaga perwakilan. Hal ini terbukti dengan keluarnya Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 Tentang Referendum dan kemudian diterbitkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1985 Tentang Referendum. Menurut kedua Paraturan Perundang-undangan ini jika MPR berkehendak untuk mengubah UUD 1945, maka MPR akan memerintahkan Presiden sebagai mandataris MPR untuk mengadakan referendum, yakni meminta pendapat rakyat secara langsung tentang setuju atau tidaknya terhadap kehendak MPR untuk mengubah UUD 1945 tersebut. Peraturan Perundang-undangan semacam ini jelas telah mengabaikan ketentuan Pasal 37 UUD 1945 yang memberikan landasan konstitusional mengenai kewenangan MPR dalam rangka mengubah UUD. Dengan demikian berdasarkan kedua Peraturan perundang-undangan tersebut, MPR sebagai penjelmaan rakyat tidak bisa bertindak sendiri dalam hal mengubah UUD 1945. MPR harus tetap meminta persetujuan kepada rakyat secara langsung. Oleh sebab itu, jelas kiranya jika dengan adanya kedua Peraturan Perundang-undangan itu, MPR tetap dibebani pertanggungjawaban kepada rakyat dalam melaksanakan salah satu kewenangannya tersebut. Ini berarti MPR tidak memiliki kepercayaan diri sebagai lembaga yang identik dengan rakyat (reinkarnasi rakyat), melainkan lebih punya kepercayaan diri sebagai lembaga perwakilan. Dengan paradigma ketatanegaraan semacam ini, maka jikalau MPR sebagai penjelmaan rakyat itu hanya sebatas bertindak laksana lembaga perwakilan, konsekuensi pertanggungjawaban Presiden sebagai Kepala Pemerintahan kepada MPR lebih condong pada implementasi sistem parlementer. Apalagi jika dipertegas dengan adanya hak DPR sebagai salah satu unsur dari MPR untuk mengajukan memorandum dan mengusulkan diadakannya Sidang Istimewa untuk meminta pertanggunjawaban Presiden. Jikalau fenomena konstitusional semacam ini dibandingkan dengan yang terjadi di Amerika Serikat, maka antara Sidang Istimewa MPR dan Impeachment yang dilakukan oleh Parlemen untuk memeriksa Presiden jika diduga melakukan perbuatan yang melanggar hukum, jelas merupakan dua hal yang serupa tapi tak sama. Dikatakan serupa, karena pada hakikatnya keduanya adalah sama-sama proses untuk meminta pertanggungjawaban Presiden dan sama-sama memungkinkan Presiden jatuh dari tampuk kekuasaan pemerintahan negara. Sedangkan dikatakan tak sama, karena Sidang Istimewa MPR sejatinya merupakan proses meminta pertanggungjawaban politik kepada Presiden, dan Impeachment pada hakikatnya merupakan proses pertanggungjawaban hukum. Prosedur dan tatacara untuk memeriksa Presiden melalui Sidang Istmewa MPR pada hakikatnya merupakan prosedur dan tatacara dalam lapangan politik yang dilakukan oleh lembaga politik. Sedangkan Impeachment yang dilakukan di Amerika Serikat yang memeriksa sebenarnya adalah Hakim Agung, hanya tempatnya dilakukan di Parlemen. Dengan demkian, antara Sidang

Istimewa MPR dan Impeachment jelas memiliki nuansa yang sangat berbeda, walaupun konsekuensi yang ditimbulkan adalah sama, yakni jatuhnya kekuasaan seorang Presiden dari tampuk kekuasaan pemerintahan negara. Dengan melandaskan pada eksistensi MPR sebagai penjelmaan rakyat, Padmo Wahyono berpendapat bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah bukan presidensiil dan bukan pula parlementer, melainkan sistem Majelis. Menurut Padmo Wahyono, sistem semacam ini mempergunakan mekanisme sebagai berikut. Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara, mendistribusikan/mendelegasikan kekuasaannya kepada lembaga-lembaga kenegaraan yang ada. Lembaga-lembaga negara ini masing-masing akan mempertanggungjawabkan kekuasaan yang telah diterima itu kepada MPR. Adapun pendelegasian yang dimaksud adalah: a. Kekuasaan untuk melaksanakan kedaulatan sehari-hari didelegasikan kepada DPR. b. Kekuasaan untuk melaksanakan pemerintahan didelegasikan kepada Presiden yang dibantu oleh Wakil Presiden dan para Menteri. c. Kekuasaan untuk memeriksa keuangan negara kepada BPK. d. Kekuasaan untuk memberikan pertimbangan (konsultatif) kepada DPA. e. Kekuasaan untuk melaksanakan peradilan kepada Mahkamah Agung. Jika kita mencermati Ketentuan Bab V Kaidah Pelaksanaan Angka 3 Tap MPR No. IV/MPR/1999 Tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang menyatakan bahwa semua lembaga tinggi negara berkewajiban menyampaikan laporan pelaksanaan garisgaris Besar Haluan Negara dalam sidang tahunan MPR sesuai dengan fungsi, tugas dan wewenang berdasarkan UUD 1945, maka sistem pemerintahan sebagaimana dikemukakan oleh Padmo Wahyono tersebut, memang ada benarnya. Namun apakah sistem Majelis seperti ini lazim di dalam khasanah Ilmu Hukum Ketatanegaraan? Menurut pendapat penulis, sistem Majelis seperti ini sebenarnya hanya melegitimasi keberadaan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Jikalau sistem ini dilaksanakan secara konsisten, maka seharusnya laporan pelaksanaan GBHN yang dilakukan oleh Lembaga-lembaga negara harus diikuti dengan penilaian keberhasilan dan termasuk konsekuensi yang ditimbulkan. Kenyataan dalam praktek penyelenggaraan negara di masa Orde Baru justru telah menyimpang dari UUD dan GBHN bahkan kemerosotan moral penyelenggara negara sebagai akibat merebaknya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme tetap mewarnai kehidupan para penyelenggara negara. Pendek kata, seandainya sistem Majelis ini dilaksanakan dengan konsisten berikut konsekuensinya ditegakkan, maka tentu kekuasaan Presiden Soeharto pada waktu itu tidak sedemikian hegemonis dan merusak sendisendi negara demokrasi dan prinsip kedaulatan rakyat. 4. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Setelah Amandemen.

Gerakan Reformasi 1998 yang dipelopori oleh mahasiswa Indonesia mencapai puncak dengan ditandai oleh mundurnya Presiden Soeharto dari tampuk kepemimpinan nasional pada tanggal 20 Mei 1998 (bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasional). Selama Presiden Soeharto memegang tampuk kekuasaan pemerintahan negara dengan akumulasi lebih kurang 32 tahun, sistem pemerintahan Indonesia berwajah supremasi eksekutif (executive heavy). Wajah seperti ini nampak jelas dari kekuasaan Presiden yang merambah ketiga cabang kekuasaan lain bahkan secara politis cabang-cabang utama kekuasaan negara seperti MPR dan DPR telah terkooptasi oleh kepentingan dan kehendak Presiden. Wajah supremasi eksekutif ini mengakibatkan fenomena politik ketatanegaraan Indonesia bercorak otoritarianisme. Kondisi semacam inilah yang mengakibatkan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan negara menjadi lemah, sehingga mengakibatkan kontrol terhadap pelaksanaan pemerintahan menjadi tidak berjalan. Akibat dari kesemuanya itu adalah, ketika terjadi krisis multi dimensional yang dialami oleh bangsa Indonesia di pertengahan tahun 1997 tidak dapat tertanggulangi. Bahkan keterpurukan moralitas penyelenggara negara melalui praktek-praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) menjadi faktor utama keterpurukan bangsa Indonesia di bidang ekonomi, politik, hukum, dan sosial budaya. Gerakan reformasi yang dikumandangkan oleh mahasiswa Indonesia pada hakikatnya bukanlah merupakan sebuah gerakan yang muncul secara tiba-tiba dan berdiri sendiri. Gerakan tersebut pada hakikatnya dipengaruhi oleh gerakan-gerakan demokrasi yang berkembang di belahan dunia lain yang oleh Samuel P. Huntington dikatakan sebagai efek bola salju, artinya suatu gerakan demokrasi pada awalnya terjadi di suatu negara dengan dipicu oleh suatu issu yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia. Kemudian gerakan tersebut semakin membesar dan menjadi sebuah gerakan yang masif (meluas) hingga merambah batas-batas suatu negara karena pengaruh kemajuan informasi dan komunikasi dunia. Berkaitan dengan hal inilah, Samuel P. Huntington mengemukakan bahwa proses demokratisasi dalam suatu negara pada umumnya melalui tiga periode, yakni periode pengakhiran rezim nondemokratis, pengukuhan rezim demokrasi, dan kemudian pengkonsolidasian sistem demokrasi.109 Bertitik tolak dari gambaran tersebut, maka gerakan reformasi Indonesia yang tujuan umumnya adalah menuju tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis juga dapat dilihat dari tahapan periodesasi sebagaimana dikemukakan oleh Hantington. Ketiga periode demokratisasi di Indonesia tersebut dapat digambarkan, pertama; pengakhiran rezim nondemokratis, yakni ditandai dengan tumbangnya rezim Orde Baru di bawah kekuasaan Presiden Soeharto sebagai akibat ketidakmampuan dalam mempertahankan legitimasi dihadapan massa rakyat dan mahasiswa. Kedua; pengukuhan rezim demokratis yang ditandai dengan dilaksanakannya Pemilihan Umum 1999 dengan sistem multi partai. Dalam Pemilu ini telah dihasilkan DPR dan MPR dengan

komposisi yang relatif heterogen, artinya tidak ada lagi single majority di Parlemen. Dalam periode ini pula telah terpilih Presiden dan Wakil Presiden yang berasal dari tokoh-tokoh pergerakan demokrasi, yakni Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI, dan Megawati Soekarno Putri sebagai Wakil Presiden. Dalam perjalanan selanjutnya Presiden Abdurrahman Wahid tumbang dari tampuk kepemimpinan nasional melalui Sidang Istimewa MPR tahun 2001 dan diganti oleh Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri. Ketiga; periode konsolidasi sistem demokrasi ditandai dengan pembenahan struktur ketatanegaraan melalui empat kali amandemen UUD 1945, penguatan sistem multi partai, penegasan desentralisasi pemerintahan, dan perumusan sistem presidensiil. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses amandemen UUD 1945 pada hakikatnya merupakan sarana untuk menuju konsolidasi sistem demokrasi melalui perangkat konstitusional. Terkait dengan penegasan sistem pemerintahan negara Indonesia tersebut, maka dalam amandemen I UUD 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999, Pasal-pasal yang mengalami perubahan antara lain: a. Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menegaskan: "Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang". Pasal ini sebelumnya menyatakan: "Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat". b. Pasal 7"UUD 1945 menegaskan: "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya satu kali masa jabatan" Pasal ini merupakan bentuk perubahan yang sangat signifikan dari ketentuan UUD 45 sebelum di amandemen yang menegaskan: "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali". Perubahan semacam ini dikatakan sangat signifikan karena sebelum Pasal ini dilakukan perubahan, maka sepanjang rezim Orde Baru menguasai kehidupan ketatanegaraan Indonesia telah dipergunakan sebagai landasan konstitusional bagi Presiden Soeharto untuk dipilih berulang kali, sehingga total waktu yang ditempuh oleh Presiden Soeharto untuk memangku jabatan kepala pemerintahan menjadi kurang lebih 32 tahun. Suatu akumulasi masa jabatan yang luar biasa panjangnya. c. Pasal 17 ayat (2) UUD 1945 menyatakan: "Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden". d. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menegaskan: "Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. Kendati Pasal-Pasal tersebut memberikan indikasi pelaksanaan sistem presidensiil, namun dalam praktek penyelenggaraan sistem ketatanegaraan Indonesia, sistem presidensiil ini masih tetap belum dilaksanakan secara murni. Hal ini nampak jelas tertuang di dalam Tap MPR No. VI/MPR/1999 Tentang Tata Cara Pencalonan

dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Di dalam Pasal 8 antara lain dinyatakan: (1) Fraksi dapat mengajukan seorang calon Presiden. (2) Calon Presiden dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya tujuh puluh anggota Majelis yang terdiri atas satu fraksi atau lebih. (3) Masing-masing anggota Majelis hanya boleh menggunakan salah satu cara pengajuan calon Presiden sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) dan (2) pasal ini. Mencermati ketentuan yang demikian nampak jelas bahwa pemilihan Presiden tidak dilakukan secara langsung, melainkan masih merupakan wewenang dari MPR melalui pengusulan oleh anggota MPR maupun fraksi (sebagai perpanjangan tangan dari Parpol Peserta Pemilu). Ini berarti dalam hal rekrutmen kepala pemerintahan masih tetap mempergunakan model sistem parlementer. Sistem parlementer ini semakin menunjukkan penguatannya ketika Presiden Abdurrahman Wahid memperoleh Memorandum I, II, dan III dari DPR karena dianggap terlibat dalam kasus penyelewengan dana Bulog dan bantuan dari Sultan Brunei. Kasus ini sering disebut Buloggate dan Bruneigate. Dengan adanya dugaan yang dalam sejarah perjalanannya tidak terbukti secara hukum ini, Presiden Abdurrahman Wahid tetap diajukan kehadapan Sidang Istimewa MPR tahun 2001. Dalam kesempatan ini Presiden Abdurrahman Wahid, juga mengeluarkan suatu Dekrit yang isinya membubarkan DPR dan MPR. Keputusan mengeluarkan Dekrit tersebut memang merupakan langkah yang kontroversial dan tidak ada landasan yuridis konstitusionalnya. Akhir dari konflik eksekutif dan parlemen ini mengakibatkan Presiden Abdurrahman Wahid dilengserkan oleh MPR melalui keputusan Sidang Istimewa MPR tahun 2001. Dalam sidang tersebut Presiden Abdurrahman Wahid tidak bersedia hadir dengan alasan bahwa jika menghadiri Sidang Istimewa tersebut berarti dia juga dianggap melanggar UUD 1945, sebab UUD 1945 mempergunakan sistem presidensiil, bukan Parlementer. Peristiwa ketatanegaraan tersebut, merupakan peristiwa kedua setelah Sidang Istimewa MPRS pada tahun 1966 yangmengakibatkan Presiden Soekarno jatuh dari tampuk kepemimpinan nasional. Kedua presiden Indonesia yang jatuh sebelum masa jabatannya berakhir tersebut, sama-sama tidak melalui proses pemeriksaan hukum, melainkan hanya disebabkan oleh adanya proses politik yang sarat dengan kepentingan sesaat. Hal ini menunjukkan bahwa demokratisasi dan supremasi hukum masih tetap belum dilaksanakan secara konsisten. Dengan jatuhnya Presiden Abdurrahman Wahid tersebut, maka tampuk kepemimpinan nasional beralih kepada Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri. Kemudian pada Sidang Tahunan tahun 2001, Megawati Soekarno Putri diangkat menjadi Presiden dan didampingi oleh Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden. Peristiwa ketatanegaraan Indonesia semacam ini masih tetap mengindikasikan bahwa sistem pemerinahan yang

dipergunakan dalam praktek penyelenggaraan ketatanegaraa Indonesia tetap bernuansakan sistem parlementer. Kemudian dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2002 dilakukan amandemen IV yang menegaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Dia tidak bertanggungjawab kepada Majelis yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Konstruksi ketatanegaraan seperti ini paling tidak telah menghentikan konflik ketatanegaraan yang selama ini mewarnai sistem pemerintahan di Indonesia. Di dalam Pasal 6 A UUD 1945 antara lain ditegaskan: (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. (3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapat suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. (4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara

terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden. (5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dengan Undang-Undang. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR, melainkan bertanggungjawab secara langsung kepada rakyat. Sehubungan dengan hal ini, Pasal 3 ayat (3) UUD 1945 (Amandemen) menegaskan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar. Menurut Pasal 7 A UUD 1945, dinyatakan bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatanya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atau atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Ketentuan seperti ini memberikan penegasan bahwa pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus melalui proses hukum terlebih dahulu, baru kemudian proses politik yang dilakukan melalui Sidang Istimewa. Untuk mengusulkan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi ditempuh melalui langkah Memorandum sebagaimana pernah dilakukan ketika Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan oleh MPR, melainkan Dewan Perwakilan

Rakyat terlebih dahulu harus mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tentang adanya dugaan atau indikasi bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan perbuatan melanggar hukum. Sehubungan dengan hal ini, Pasal 7 B UUD 1945 secara lengkap menyatakan: I OH 1 I I I K I J M I AiA N E G A R A I N D O N E S I A (1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/arau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. (2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. (4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi. (5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakl Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. (6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwaklan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut. (7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan

Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kuangnya % dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus melalui tahapan yang cukup panjang. Keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden mirip dengan yang terjadi di Amerika Serikat melalui Impeachment. Perbedaannya hanya ada pada lembaga yang diberi wewenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus. Jika di Amerika Serikat adalah Mahkamah Agung, maka di Indonesia adalah Mahkamah Konstitusi. Dari gambaran tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut di atas, maka setelah Amandemen UUD 1945 dapat disimpulkan telah terjadi perubahan sistem pemerintahan Indonesia yang fundamental. Perubahan tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut: a. Sistem Pemerintahan Presidensiil tidak lagi mengandung dimensi sistem Parlementer, walaupun dalam beberapa hal masih tetap belum konsisten dilaksanakan. Misalnya pada saat Presiden membentuk kabinet, Presiden masih saja mempergunakan mekanisme politik di luar Parlemen dengan melakukan kesepakatan-kesepakatan dengan Pimpinan Partai Politik yang memperoleh suara cukup signifikan di DPR. Padahal seharusnya penentuan kabinet dan menteri itu merupakan hak prerogatif Presiden, dan hak ini harus diimbangi adanya persetujan parlemen. b. Di bidang politik kedudukan Presiden dan Wakil Presiden serta Parlemen yang terdiri dari dua kamar (DPR dan DPD) sama-sama kuat, artinya kedua lembaga ini tidak bisa saling menjatuhkan. c. Dikenal adanya lembaga Mahkamah Konstitusi yang mempunyai wewenang untuk melakukan judicial review UndangUndang terhadap UUD, penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara, penyelesaian terhadap sengketa Pemilihan Umum, dan pemeriksaan terhadap Presiden yang diduga telah melakkan pelanggaan hukum atas usul dari DPR. d. Dikenal lembaga yang bernama Komisi Yudisial yang berwenang untuk memeriksa hakim yang melanggar kehormatan dan martabat serta perilaku hakim.

e. Di bidang pemerintahan daerah diterapkan desentralisasi dan otonomi luas. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak lagi dipilih oleh DPRD melainkan dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum. Tidak dapat dipungkiri bahwa setelah amandemen UUD 1945 sistem pemerintahan negara Republik Indonesia masih terus dilakukan pembenahan. Keinginan untuk melakukan amandemen V terhadap UUD 1945 terus digulirkan. Lembaga negara yang paling bersemangat untuk mengusulkan agar amandemen tersebut dilakukan adalah DPD. Hal ini mengingat dalam sistem keparlemenan di Indonesia, wewenang DPD masih sangat terbatas. Padahal dalam struktur negara kesatuan dengan komposisi masyarakat yang sangat beragam, keberadaan DPD sebenarnya merupakan perekat dari integrasi negara kesatuan tersebut, khususnya dalam rangka memperjuangkan kepentingan-kepentingan daerah yang beragam itu ke dalam kebijakan nasional.

Bab IV LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT INDONESIA


(Prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat menghendaki adanya keikutsertaan rakyat dalam kehidupan ketatanegaraan.<Rakyat atau warga negara bukan hanya sebagai obyek- melainkan subyek^dan ikut memainkan perananpentngdalam kehidupan kenegaraan.1)ntukitulah keberadaan Lembaga (Perwakilan (Rakyat merupakan suatu kemutlakan yang harus dipenuhi dalam negara demokrasi yang berkedaulatan rakyat

A. Pengertian Umum.
Sebagaimana telah disinggung terdahulu bahwa pelaksanaan paham demokrasi dewasa ini tidak mungkin lagi dilaksanakan dengan cara langsung. Paham demokrasi, secara formal dan pro-sedural dilaksanakan melalui mekanisme perwakilan. Keterwakilan rakyat yang diimplementasikan dalam Lembaga Perwakilan Rakyat tentu sangat tergantung dari kepentingan (interst) rakyat yang diwakili. Oleh sebab itulah, dalam dalam sistem keterwakilan rakyat ini dikenal adanya dua sistem lembaga perwakilan rakyat, yaitu: 1. Lembaga Perwakilan Rakyat dengan sistem 1 Kamar (one cameral system). Disebut Lembaga Perwakilan dengan 1 kamar, karena di dalam Lembaga Perwakilan Rakyat ini hanya ada satu bidang kepentingan rakyat yang akan diperjuangkan oleh lembaga ini. Bidang kepentingan rakyat yang yang akan diperjuangkan tersebut pada umumnya menyangkut kepentingan politik rakyat sebagai manifestasi hak-hak politik rakyat. Oleh sebab itu di dalam Lembaga Perwakilan Rakyat dengan 1 kamar ini anggota-anggota yang duduk di dalamnya berasal dari wakil-wakil partai politik peserta pemilihan umum. Contoh yang dapat dikemukakan disini adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebelum Amandemen UUD 1945. Sebelum UUD 1945 di amandemen, Lembaga Perwakilan Rakyat RI hanya dianggap terdiri dari 1 kamar, karena dalam praktek penyelenggaraannya DPR inilah yang dalam kesehariannya memperjuangkan kepentingankepentingan rakyat, khususnya dalam pengambilan keputusan-keputusan politik nasional. Walaupun dalam struktur keanggotaan MPR juga dikenal adanya unsur utusan golongan dan utusan daerah, namun keberadaan dari utusan-utusan tersebut tidak serta merta memperjuangkan kepentingan golongan maupun daerah. Keberadaan utusan-utusan golongan dan daerah ini hanya

komplemen ketika MPR melaksanakan sidang. Bahkan kewenangan dari utusan-utusan tersebut sama sekali tidak nampak. Lembaga Perwakilan Rakyat dengan sistem 2 Kamar (bicameral system). Disebut demikian, karena di dalam struktur Lembaga Perwakilan Rakyat dikenal adanya 2 komponen (Kamar) yang masing-masing kamar memperjuangkan kepentingan rakyat dalam ranah yang berbeda. Kepentingan rakyat yang dimaksud pada umumnya adalah di bidang penentuan kebijakankebijakan politik yang berskala nasional, dan di bidang tertentu yang spesifik, apakah itu menyangkut kepentingan golongan maupun kepentingan yang berdimensi kewilayahan (daerah/ negara bagian) untuk dipergunakan sebagai referensi dalam pengambilan kebijakan di tingkat nasional. Contoh Lembaga Perwakilan Rakyat dengan 2 Kamar, misalnya: a. Di Inggris. Semula di negara ini yang mempunyai kesempatan dalam pengambilan keputusan-keputusan politik terhadap masalah kenegaraan adalah wakil-wakil dari kaum bangsawan dan gereja. Hal ini minucul sebagai konsekuensi dari adanya perjanjian antara Raja John Lackland dengan para bangsawam dan gereja yang tertuang di dalam Magna Charta. Akan tetapi dengan adanya kepentingan rakyat kebanyakan (biasa), demikian pula dengan adanya perjanjian mengenai hak-hak asasi manusia, maka di dalam Lembaga Perwakilan Rakyat muncul institusi baru yang berisi wakil-wakil rakyat yang dipilih langsung melalui pemilihan umum. Dengan demikian di dalam Lembaga Perwakilan Rakyat (Parlemen) Inggris dikenal adanya House of Lord (wakil kaum bangsawan dan gereja) serta House of Commons, yakni anggota parlemen yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Di Negara Serikat, contohnya Amerika Serikat terdapat juga Lembaga Perwakilan Rakyat dengan sistem 2 Kamar, yaitu House of Representative yang terdiri dari wakil-wakil rakyat yang dipilih secara langsung oleh seluruh rakyat Amerika Serikat, dan Senate yang merupakan wakil-wakil rakyat dari masing-masing negara bagian. House of Representative dan Senate ini bergabung (join session) di dalam Congress dan menjalankan kekuasaan legislatif. Menurut Article I, section 3 Konstitusi Amerika Serikat dinyatakan bahwa anggota-anggota Senate ini harus dipilih (chosen) oleh Lembaga Perwakilan Rakyat masing-masing Negara Bagian. Ini berarti semula mekanisme pemilihan anggotaanggota Senate tidak dilakukan secara langsung, melainkan bertingkat. Rakyat masing-masing Negara Bagian melakukan Pemilihan Umum untuk memilih anggota Lembaga Perwakilan Rakyat Negara Bagian, kemudian Lembaga ini melakukan pemilihan diantara anggotaanggotanya untuk diutus menjadi anggota Senate di Congress. Kemudian mekanisme ini mengalami perubahan

di dalam Amandemen XVII Konstitusi Amerika Serikat yang menegaskan bahwa para anggota Senate tersebut harus dipilih melalui pemilihan umum (election) oleh rakyat masing-masing negara bagian, c. Di Negara Berbentuk Kesatuan. Misalnya di Perancis. Menurut Pasal 24 Konstitusi Perancis dinyatakan bahwa Parlemen Perancis terdiri dari Nasional Assembly dan Senate. Nasional Assembly terdiri dari wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat Perancis di dalam pemilihan umum secara langsung sesuai dengan jumlah penduduk warga negara. Sedangkan Senate terdiri dari wakilwakil rakyat yang dipilih secara tidak langsung oleh kesatuankesatuan yang dinamakan Communals dan Departemens (bagian wilayah Negara Perancis yang di Indonesia mungkin bisa disamakan dengan Provinsi, Kabupaten/Kota). Berpijak dari kerangka sistem Lembaga Perwakilan Rakyat tersebut di atas, dalam bagian ini akan disajikan pemahaman tentang Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia setelah Amandemen UUD 1945.

B. Majelis Permusyawaratan Rakyat.


Sejak Amandemen UUD 1945 dilakukan mulai tahun 1999, telah terjadi perubahan yang sangat signifikan mengenai eksistensi Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia. Sebelum dilakukan amandemen eksistensi Lembaga Perwakilan Rakyat Indonesia menunjukkan ketidakjelasan, apakah mempergunakan sistem satu Kamar ataukah menganut sistem dua kamar. Ketidakjelasan ini nampak dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang. Komposisi yang demikian ini menunjukkan bahwa di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat terdapat wakil rakyat yang berasal dari Partai Politik Peserta Pemilu, wakil rakyat dari golongangolongan (baik itu menyangkut golongan profesi ataupun kepentingan tertentu seperti Tentara/Polri), serta wakil-wakil rakyat yang berasal dari daerah-daerah yang dianggap memperjuangkan kepentingan masing-masing daerah. Jika pola seperti ini diperbandingkan dengan yang ada di negara lain. Khususnya yang mempergunakan sistem Lembaga Perwakilan Rakyat dengan sistem dua Kamar, maka di MPR justru mempergunakan tiga golongan wakil. Persoalannya apakah pola ini bisa dikonotasikan bahwa MPR mempergunakan sistem tiga kamar? Jawaban atas persoalan tersebut tidak jelas. Dalam khasanah Hukum Tata Negara Indonesia, banyak para ahli (pakar) dan pengamat Hukum Tata Negara tetap beranggapan bahwa Lembaga Perwakilan Rakyat Indonesia yang namanya MPR itu tetap mempergunakan sistem satu kamar. Hal ini tentu dapat dibenarkan jika sudut pandang hanya ditujukan

kepada model rekrutmen dari anggota-anggota MPR, khususnya yang berasal dari utusan-utusan daerah dan golongan yang tidak berdasarkan pemilihan umum. Keberadaan mereka di MPR semata-mata hanya berdasarkan penunjukkan atau pengangkatan. Namun demikian, pendapat yang mengatakan bahwa sistem Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia itu tetap hanya mempergunakan sistem satu kamar tersebut, bisa juga tidak tepat jikalau sudut pandangnya ditujukan kepada kepentingan yang hendak diperjuangkan oleh masing-masing anggota MPR tersebut. Sejarah membuktikan, bahwa keberadaan utusanutusan daerah maupun utusan golongan di MPR tersebut ternyata tidak menampakkan kejelasan tentang sepak terjang perjuangannya dalam mengusung kepentingan golongan maupun daerah. Artinya keberadaan mereka semata-mata hanya nampak ketika MPR melaksanakan Sidang (baik itu Sidang Istimewa maupun Sidang Umum). Jadi sebelum amandemen UUD 1945 jelas kiranya bahwa Lembaga Perwakilan Rakyat yang dimanifestasikan ke dalam Lembaga yang namanya MPR itu tidak sama dengan Congress sebagaimana dikenal di Amerika Serikat. Setelah UUD 1945 di amandemen, penegasan Sistem Lembaga Perwakilan Rakyat, khususnya yang menyangkut eksistensi MPR mulai menampakkan kejelasan. Dalam Amandemen IV yang ditetapkan pada bulan Agustus 2004 ditegaskan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui Pemilihan Umum dan diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang. Sehububngan dengan ketentuan tersebut, menurut UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD ditegaskan: a. Pasal 7: Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Partai Politik. b. Pasal 11 (ayat (1): Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. Berdasarkan ketentuan UU Pemilu tersebut, dapat disimpulkan bahwa Lembaga Perwakilan Rakyat, khususnya yang menyangkut eksistensi MPR, pada hakikatnya mempergunakan sistem dua kamar. Lain daripada itu, setelah amandemen UUD 1945 di dalam MPR tidak dikenal lagi unsur anggota MPR yang berasal dari utusan golongan. Dalam proses mengamandemen Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, Valina Singka Subekti dari Utusan Golongan menanyakan keberadaan Utusan Golongan sebagai berikut: "....mengenai soal Utusan Golongan yang banyak sekali juga dibicarakan sejak tadi pagi, fraksi kami juga termasuk yang mengusulkan agar Utusan Golongan ini dihapus pada waktu PAH III kemarin dan kami masih tetap

konsisten dengari itu dengan alasan antara lain bahwa ke depan ini kita khan multy party system. Jadi dianggap bahwa suara-suara dari berbagai golongan-golongan dalam masyarakat kita itu sudah cukup direpresentasikan melalui banyak partai tersebut. Di samping itu juga karena kita nantinya mungkin akan mengarah pada sistem distrik sehingga memang suara-suara dari warga-warga, masyarakat lokal karena selama ini termaginalkan karena kita memakai sistem proporsional dalam pemilu maka mungkin nanti kalau perubahan sistem ini terjadi maka suara-suara masyarakat lokal yang selama ini termarginalkan baik secara ekonomi, politik, sosial budaya itu nanti sudah bisa gitu direpresentasikan oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih lewat distrik plus utusan-utusan daerah yang nanti katanya akan dipilih secara langsung juga lewat pemilihan umum, jadi tidak lagi lewat mekanisme DPRD Tingkat I, kemarin kita tahu banyak distorsi juga. Yang menarik adalah bahwa, apa namanya, penjelasan-penjelasan yang diberikan sejak tadi pagi ternyata memang ada latar belakang filosofis tertentu mengapa perlu ada Utusan Golongan di dalam parlemen kita. Saya ingin menanyakan kepada Bapak Sumatri dan pak Ismail Suny, sejauh mana sebetulnya, sebetulnya, apa namanya, perlunya Utusan Golongan ini tetap ada di parlemen. Ini adalah pembahasan akademis, pertama. Lalu kedua mungkin Bapak-bapak bisa memberikan semacam komparasi atau bandingan dengan parlemen-parlemen di negara-negara lain yang juga namanya merepresentasikan Utusan Golongan di dalam parlemennya".110 Sehubungan dengan pertanyaan tersebut di atas, Sri Soemantri memberikan pendapat sebagai berikut: "Jadi mengenai Utusan Golongan begini. Kita melihat kenyataan selama ini Utusan Golongan selama ini ditentukan oleh eksekutif (Presiden) sehingga penyalahgunaan itu bisa terjadi dan selalu terjadi. Dari Presiden kemudian masalah ini dilemparkan kepada KPU. Kita mengetahui bagaimana proses penentuan Utusan Golongan ini, kalau Utusan Golongan umpamanya dipilih dalam Pemilihan Umum, barangkali ini tidak ada masalah. Problem yang dihadapi selama sekarang ini adalah kita menginginkan semua anggota MPR tentu dipilih dalam pemilihan umum. Bahwa TNI/Polri ini sekarang diangkat, ini karena masih sementara sifatnya. Jadi kalau ini yang terjadi barangkali tidak ada masalah Utusan Golongan itu

110Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Buku III Lembaga Permusyawaratan dan Perwakilan Jilid 1, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, him. 108109. di dalam MPR 111Ibid, him. 109 itu".111

Berdasarkan padangan tersebut di atas, maka dapat ditarik pengertian bahwa keberadaan Utusan Golongan dalam

struktur Lembaga Perwakilan Rakyat yang disebut MPR itu memang tidak diperlukan. Keberadaan Utusan Golongan ini sudah tidak relevan lagi dengan proses demokratisasi prosedural yang menghendaki wakil-wakil rakyat itu dipilih langsung melalui Pemilihan Umum, kecuali anggota-angota MPR yang berasal dari unsur utusan golongan juga dipilih melalui Pemilu. Lebih lanjut pada rapat ke-9 PAH I BP MPR, 16 Desember 1999 pada saat dilakukan dengan pendapat dengan pakar, Philipus M. Hadjon, antara lain mengemukakan bahwa apakah kita tetap mempertahankan MPR/DPR sebagai badan perwakilan yang masing-masing terpisah, atau kita akan menuju bicameral system, yang saya mengusulkan bicameral sysfem-nya nanti itu MPR tetap namanya. Nama seperti parlemen kongres, tetapi di dalamnya itu DPR dan Utusan Daerah sehingga Utusan Golongan tidak ada.112 Bertitik tolak dari argumentasi tersebut di atas, maka keberadaan MPR tetap ada dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, namun eksistensinya hanya merupakan join session (forum gabungan) dari DPR dan DPD serta tidak lagi berkedudukan sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Konstruksi seperti ini mengingatkan kita pada keberadaan Congress di Amerika Serikat. Lain daripada itu MPR juga tidak diposisikan sebagai pemegang kedaulatan rakyat secara penuh, namun masih tetap diberi wewenang untuk mengubah UUD. Sedangkan kewenangan dalam hal mengeluarkan produk hukum yang berbentuk Ketetapan MPR sudah tidak dimiliki lagi setelah tahun 2003. Hal ini tersirat dalam Ketentuan Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945 yang menegaskan bahwa Majelis Permusayawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 2003. Ketentuan 112 Ibid, him 113. seperti ini menunjukkan bahwa Ketetapan MPR yang selama ini dibentuk dan diberlakukan sebagai produk hukum, harus diselaraskan dengan amandemen UUD 1945. Menurut Amandemen UUD 1945, MPR tidak diposisikan sebagai pemegang kedaulatan rakyat, karena menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 ditegaskan bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat berdasarkan UUD. Ketentuan seperti ini jelas telah mengubah eksistensi MPR sebagai penjelmaan rakyat, dimana sebelum UUD 1945 diamandemen menimbulkan penafsiran yang ambigu. Berkaitan dengan kewenangan untuk mengubah UUD, ketentuan Pasal 37 UUD 1945 hasil amandemen menegaskan: (1) Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurangkurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.

(2) Setiap usul perubahan diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian-bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. (3) Untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR. (4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen ditambah satu dari seluruh anggota MPR. (5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan. Dalam teori Hukum Tata Negara dikenal adanya 4 (empat) cara untuk mengubah konstitusi, yaitu:113 1. Dilakukan oleh pemegang kekuasaan legislatif dengan pembatasan tertentu. Cara semacam ini dapat dilakukan melalui tiga macam kemungkinan, yakni: a. Untuk mengubah konstitusi (UUD), sidang pemegang kekuasaan legislatif harus dihadiri oleh sekurang113 KC. Wheare, I960, Modern Constitution, kurangUniversity Press, London, him. 67-136. Oxford

nya sejumlah anggota tertentu (qorum), misalnya 2/3 jumlah anggota pemegang kekuasaan legislatif hadir. b. Untuk mengubah konstitusi (UUD), Lembaga Perwakilan Rakyat harus dibubarkan dan kemudian diselenggarakan pemilu. Lembaga Perwakilan Rakyat yang diperbaharui inilah yang kemudian mengubah konstitusi, dengan syaratsyarat seperti dalam cara pertama. c. Di dalam Lembaga Perwakilan Rakyat dengan sistem dua kamar. Untuk mengubah konstitusi (UUD) kedua kamar di dalam Lembaga Perwakilan Rakyat harus mengadakan sidang gabungan. Sidang gabungan inilah yang berwenang untuk mengubah konstitusi. Cara seperti ini, nampak dipergunakan dalam konstruksi UUD 1945 setelah dilakukan amandemen I, II, III, dan IV. 2. Dilakukan melalui referendum yang prosedurnya dapat dilakukan sebagai berikut: a. Apabila ada kehendak untuk mengubah konstitusi (UUD), maka Lembaga negara yang diberi wewenang untuk

itu mengajukan usul perubahan kepada rakyat dalam suatu referendum; b. Usul perubahan yang dimaksud disiapkan terlebih dahulu oleh suatu badan yang diberi wewenang untuk itu; c. Dalam referendum rakyat menyampaikan pendapatnya dengan jalan menerima atau menolak usul perubahan yang telah disampaikan kepada mereka; d. Penentuan diterima atau ditolak suatu perubahan diatur dalam konstitusi yang akan diubah. Cara semacam ini pernah akan digunakan di Indonesia pada saat diberlakukannya Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 Tentang Referendum dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1985 Tentang Referendum. 3. Di negara serikat, untuk mengubah konstitusi, dilakukan oleh sejumlah negara bagian. Dalam negara serikat keberadaan konstitusi dianggap sebagai suatu naskah perjanjian antara negara-negara bagian, maka perubahan terhadapnya harus dengan persetujuan sebagian besar negara-negara bagian tersebut. 4. Dilakukan suatu konvensi atau oleh suatu lembaga-lembaga khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan konstitusi. Cara semacam ini dapat dilakukan baik di negara serikat maupun di negara kesatuan. Apabila ada kehendak untuk mengubah konstitusi, maka sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dibentuklah suatu lembaga khusus yang tugas serta wewenangnya hanya mengubah konstitusi. Usul perubahan dapat berasal dari lembaga khusus tersebut, dan dapat pula berasal dari pemegang kekuasan perundang-undangan. Apabila lembaga khusus ini telah melaksanakan tugas dan wewenangnya, dengan sendirinya lembaga ini membubarkan diri. Sementara itu menurut Ismail Suny, proses perubahan konstitusi dapat terjadi dengan berbagai cara, yakni:114 1. Perubahan resmi; 2. Penafsiran Hakim; dan 3. Kebiasaan ketatanegaraan atau konvensi. Dari berbagai cara tersebut di atas, perubahan (amandemen) UUD 1945 yang telah dilakukan sebanyak 4 (empat) kali sejak Tahun 1999 tidak ada satupun yang dipergunakan. Amandemen UUD 1945 tetap menjadi tugas dan wewenang dari MPR. Sedangkan Komisi Konstitusi yang pernah dibentuk hanya diberi tugas memberikan rekomendasi dalam hal penyelarasan atau penghalusan hasil kerja dari MPR

(PAH I MPR). Pengesahan terhadap hasil perubahan UUD tetap dikembalikan kepada MPR. Untuk memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, MPR sudah tidak diberi wewenang oleh UUD 1945 hasil amandemen. Dalam Pasal 6 A ayat (1) UUD 1945 ditegaskan 114 Ismail Sunv, il.il.nn Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar liukmu Tata Negara Jm/nii.-.iu Sludi HTN FH-UI, Jakarta, him. 85. antara lain: (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. (3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapat suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar dilebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. (4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilh oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. (5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dengan Undang-Undang. Ketentuan tersebut memberikan penegasan bahwa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat, baik dalam putaran pertama maupun putaran kedua. Dengan demikian, tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPR No. VI/MPR/1999 tidak diperlukan lagi alias dicabut. Namun demikian, dalam keadaan tertentu MPR masih tetap mempunyai wewenang untuk memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal ini diatur oleh Pasal 8 UUD 1945 hasil amandemen yang menyatakan, antara lain: (1) Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan 1 oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. (2) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambatlambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden. (3) Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, palaksanaan tugas

kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Mejelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang paket calon Presiden dan Wakil Presiden meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai habis masa jabatannya. Ketentuan pasal tersebut di samping masih tetap memberikan wewenang kepada MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden jika mereka tidak dapat melaksanakan kewajibannya secara bersamaan, juga memberikan penegasan mengenai pejabat negara yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas kepresidenan dengan mempergunakan model triumvirat.

C. Dewan Perwakilan Rakyat.


Di dalam amandemen UUD 1945, ketentuan tentang Dewan Perwakilan Rakyat diatur sebagai berikut: 1. Pasal 19 UUD 1945: (1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui Pemilihan Umum. (2) Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan Undang-Undang. (3) Dewan Perwaklan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.

2. Pasal 20 UUD 1945: (1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. (2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. (3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undangan itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. (4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undangundang. (5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undangundang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. 3. Pasal 20A UUD 1945:

(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. (2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. (3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UndangUndang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas. (4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang. 4. Pasal 21 UUD 1945: (1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang. (2) Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. 5. Pasal 22 UUD 1945: (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang. (2) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. (3) Jika tidak mendapatkan persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. 6. Pasal 22 A UUD 1945 : Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undangundang. 7. Pasal 22 B UUD 1945: Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatanyya yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas memberikan dasar konstitusional bagi Dewan Perwakilan Rakyat dalam mengemban amanat demokrasi dan kedaulatan rakyat. Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat yang demikian strategis tentunya harus diimbangi dengan kualitas dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu sendiri. Tidak cukup jika anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu berasal dari toloh-tokoh terkenal di masyarakat, melainkan dia harus mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang mencukupi untuk mengembang aspirasi masyarakat dalam negara demokrasi. Oleh sebab itu dalam rangka meningkatkan kualitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat tentunya perlu dilengkapi oleh staf ahli yang memiliki kemampuan spesifik dalam bidang

tertentu, sesuai dengan lingkup atau bidang kerja dari masingmasing anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu sendiri. Staf ahli ini sangat dibutuhkan mengingat pada hakikatnya anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu sifatnya adalah generalis. Artinya pemahaman masing-masing anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam suatu bidang tertentu sifatnya adalah umum dan politis. Oleh sebab itulah untuk memahami bidang pekerjaan yang dirangkum dalam Komisi, perlu dilengkapi dengan staf ahli yang memiliki kemampuan di bidang yang lebih spesifik dan teknis.

D. Dewan Perwakilan Daerah.


Perdebatan tentang keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga baru hasil amandemen UUD1945 mulai muncul saat akan dilakukan Perubahan Pertama UUD 1945 pada tahun 1999 yang dikaitkan dengan keberadaan Utusan Daerah sebagai salah satu unsur dalam susunan keanggotaan MPR. Namun masuknya ketentuan DPD dalam UUD 1945 baru dapat diputuskan pada Perubahan Ketiga UUD 1945.115 Dalam proses Perubahan Ketiga UUD 1945, pada Rapat PAH I BP MPR ke 13 yang dipimpin oleh Jakob Tobing pada tanggal 24 April 2001, anggota Tim Ahli, Afan Gaffar menyatakan bahwa seharusnya DPD memiliki kekuasaan legislatif. Lebih lanjut dikatakan: "Draf yang dibuat oleh Tim Ad Hoc I ini memperlihatkan bahwa hanya DPR yang punya legislatif power. Jelas kalau itu tidak menggunakan bikameral. Dalam pengertian konsep lain, dua-duanya mempunyai hak kewajiban, tanggung jawab dan peranan, serta fungsi yang sama. Dua-duanya berhak mengusahakan dan menginisiatifkan undang-undang. Hanya saja kalau memang ada perbedaan maka dibentuk Tim Penyelaras di antara kedua lembaga itu. Jadi kami tidak sependapat dengan draf yang diajukan oleh Panitia Ad Hoc I 115Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Buku III, Lembaga Permusyawaratan dan Perwakilan, Jilid 2, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konsitusi, Jakarta, him. 619. 116Ibid, him. 699. mengenai perbedaan fungsi antara DPD sama DPR".116 Lebih lanjut Jimly Ashiddiqie menjelaskan fungsi DPD dibandingkan dengan DPR sebagai berikut: "Namanya Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Tidak ada masalah untuk Tim Hukum mau namanya Dewan Utusan Daerah, Dewan Perwakilan Daerah itu bisa saja. Toh mereka ini anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Nanti bisa saja disebut Dewan Perwakilan Daerah. Hal yang menjadi soal adalah banyak pertanyaan berkenaan bagaimana membedakan atau apanya yang bisa dibedakan? Sebenarnya memang kalau kita pelajari sejarah negara-negara lain ya tidak

sama. Kayak di Inggris, misalnya, sejarahnya sendiri ada House of Lord, House of Commons itu beda dengan Majelis Tinggi-Mejelis Rendah, beda sekali. Senat di Amerika dengan DPR di Amerika latar belakangnya juga berbeda. Karena itu, memang ada yang membuat dua fungsi itu sama. Ada yang membedakan, tergantung kita. Dengan kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Kalau fungsi DPR dan DPD itu dibuat sama, kesannya tidak ada diskriminasi, tetapi mungkin ada terjadi kompetisi bisa sehat, bisa tidak sehat juga. Oleh karena itu, sementara yang kita pikirkan adalah bahwa dua lembaga ini harus sama-sama harus diberi tiga fungsi sekaligus. Fungsi legislasi dua-duanya punya. Fungsi pengawasan dua-duanya punya dan fungsi anggaran. Nah khusus mengenai fungsi pengawasan lebih mudah. Bisa kita bedakan. Misalnya, DPD melakukan pengawasan tugas pemerintah dalam menjalankan undang-undang yang berkenaan dengan daerah, misalnya begitu, dan yang lain-lain tidak itu dalam pengawasan, sedangkan dalam legislasi itu tadi dua kemungkinannya bisa kita bedakan dibagi tugasnya. Tetapi, resikonya sepandai-pandai kita membagi tentu masih ada celah. Apa namanya itu konflik juga. Itu yang sudah terjadi misalnya dengan pembagian tugas pusat dan daerah dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 sudah sangat rinci sekali, tetapi tetap saja ada yang tidak termasuk di situ. Oleh karena itu, kalau pun akan dibedakan, ya sudahlah ndak usah diatur dalam Undang-Undang Dasar, tetapi bisa juga disamakan saja. Baik DPR dan DPD samasama mempunyai fungsi legislasi, sama-sama bisa membahas RUU, dan bisa bisa sama-sama berinisiatif mengajukan RUU sendiri. Nah, dengan catatan, menurut pendapat kami, jangan kita meniru seperti di Amerika, terlalu berat. Kalau di Amerika, setiap undang-undang harus disetujui oleh dua-dua lembaga ini, sedangkan kita dalam sejarahnya Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah inikan berasal dari MPR minus Utusan Golongan. Kalau selama ini RUU cukup dibahas oleh DPR. Kalau nanti juga harus dibahas oleh DPD itu berarti 2/3 MPR berarti jauh lebih berat. Padahal, kita mengetahui bahwa produk undang-undang setetah lima puluh tahun ini banyak sekali yang harus kita bangun dan kembangkan. Oleh karena itu, kami berpendapat hasil diskusi kawan-kawan di Tim Hukum biarlah wewenang untuk membahas itu diberikan pada satu kamar saja, tetapi kamar yang lain untuk veto, menyatakan setuju materi tertentu atau tidak setuju dengan mekanisme pembahasan. Kalau tidak setuju, diberikan kesempatan untuk rapat konsultasi di MPR yaitu forum bersama itu, tetapi konsultasi sifatnya. Kalau tetap tidak bisa dicapai kesepakatan, maka dikembalikan kepada Dewan yang membahasnya untuk dibahas lagi dengan pangaturan mekanisme voting akhirnya. Jadi, kalau ada peningkatan atau apa kalau itu bisa diputuskan jadi undang-undang. Kemudian, yang kedua, hak veto ini juga dibatasi dalam RUU yang dibahas oleh DPR sudah mendapat dukungan 2/3 suara maka tidak bisa divoting oleh lembaga yang lain. Begitu pun kalau misalnya RUU itu insiatif Dewan Utusan Daerah kalau dia sudah mendapat dukungan dari 2/3 persen suara tidak lagi bisa diveto, kira-

kira begitu. Dengan demikian, ada checks and balances, tetapi di lain segi tidak mempersulit gitu karena sejarah kita, Dewan Perwakilan Rakyat dan Daerah itu berasal dari MPR minus Utusan Golongan, supaya mengesankan kok membuat undang-undang menjadi sulit, padahal masa sekarang ini harusnya banyak tetapi baru berapa undang-undang yang jadi".117 Dari pandangan para pakar terkait dengan eksistensi dari Dewan Perwaklan Daerah tersebut di atas, dapat ditarik pemahaman antara lain: a. Sehubungan dengan nama masih menjadi perdebatan apakah itu Dewan Utusan Daerah ataukah Dewan Perwakilan Daerah; b. Diantara para Pakar yang tergabung di dalam Tim Ahli belum 117 Ibid, him. 699-701. ada kata sepakat, apakah DPD tersebut mempunyai fungsi yang sama dengan DPR atau tidak, khususnya yang berkaitan dengan fungsi legislasi; c. Jikalau DPD juga memiliki fungsi legislasi, maka diperlukan adanya Tim Penyelaras dalam legislasi atau masingmasing lembaga ini diberi hak veto terhadap RUU inistiatif yang diajukan oleh masing-masing lembaga (DPR atau DPD); d. Keberadaan DPD dan DPR dalam Majelis Perwmusyawaratan Rakyat tidak dapat disamakan dengan sistem dua kamar seperti di Inggris atau Amerika Serikat, karena aspek kesejarahan dan kesulitan dalam pembahasan RUU, karena sama saja artinya dengan dibahas oleh 2/3 MPR, sehingga menimbulkan kesan untuk membuat UU menjadi sulit. Kemudian dalam Rapat ke 14 PAH I BP MPR pada tanggal 10 Mei 2001, Maswadi Rauf selaku anggota Tim Ahli menyampaikan pandangan bahwa, DPD merupakan lembaga legislatif dan mempunyai hak legislatif yang sama dengan DPR, dan terlibat di dalam pelaksanaan setiap tugas lembaga legislatif. Oleh sebab itu bisa disebut sebagai bikameralisme yang kuat atau strong bicameralism."8 Sehubungan dengan eksistensi DPD dan DPR yang mempergunakan sistem strong bicameralism tersebut, Maswardi Rauf mengemukakan: Pasal 3 itu kita mencoba untuk membuat pembagian pekerjaan hubungan antara kedua lembaga tersebut. Ayat (1) ditulis di situ bahwa setiap RUU menghendaki persetujuan DPR dan DPD. Jadi, harus lolos dari kedua dewan tersebut.

Ayat (2) itu ada ketentuan bahwa dalam waktu tiga puluh hari sejak RUU disetujui oleh lebih dari 50% suara lembaga yang membahas DPR atau DPD dan tidak ada keberatan dari lembaga lainnya DPR atau DPD. Ayat (3) jika Presiden tidak menyatakan keberatan dalam waktu 30 hari sejak dterima oleh Presiden, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undangundang.119 Menurut Maswardi Rauf, bagi Indonesia bicameralisme yang strong ini sebuah kebutuhan yang sangat mendesak, mengingat beragamnya masyarakat kita dengan berbagai macam kepentingan sehingga bicameralisme yang kuat ini dimaksudkan untuk bisa memperjuangkan lebih baik aspirasi kepentingan yang berkembang di berbagai daerah, sehingga bicameralisme yang kuat ini bisa dianggap merupakan bagian dari usaha untuk memperkuat negara kesatuan.120 Perlunya DPD diberi kewenangan yang besar karena DPD merupakan lembaga yang diperuntukkan bagi penyaluran kepentingan daerah. Maswardi Rauf beranggapan bahwa selama Orde Baru telah terjadi kekecewaan daerah terhadap pengelolaan hubungan pusat dan daerah. Oleh sebab itu demi kepentingan daerah DPD harus dipilih langsung oleh rakyat daerah dan perlu diberi kewenangan yang setara dengan DPR.121 Dari proses pembahasan amandemen UUD 1945 yang menyangkut keberadaan DPD tersebut di atas, maka Pasal-pasal UUD yang menyangkut DPD dirumuskan sebagai berikut: a. Pasal 2 ayat (1) UUD 1945: Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota-anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut di dalam undang-undang. b. Pasal 22 C UUD 1945: (1) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. (2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. (4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang. c. Pasal 22 D UUD 1945: (1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam

dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. (2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undangundang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. (3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasan itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti. (4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang. Memperhatikan ketentuan pasal-pasal tersebut di atas, nampak jelas bahwa fungsi dan wewenang Dewan Perwakilan Daerah dalam sistem keparlemenan di Indonesia sangat minimalis bila dibandingkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam hal keanggotaannya pun sejak diberlakukan Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD menunjukkan adanya degradasi makna keterwakilan kepentingan daerah dalam perumusan kebijakan nasional. Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu) ternyata masih menyisakan persoalan substansiil. Ini terbukti karena begitu muncul UU tersebut langsung dimintakan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Persoalan substansiil yang disengketakan tersebut menyangkut belum tegasnya norma domisili dan non Parpol chcantumkan dalam Pasal 12 dan Pasal 67 sebagai persyaratan dan tata cara pendaftaran bakal calon anggota DPD. Pasal 22 C ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Ketentuan normatif seperti ini jelas masih menimbulkan dua penafsiran. Pertama, setiap provinsi seperti yang dimaksud pasal ini dapat ditafsirkan sebagai sebuah struktur organisasi pemerintah daerah, dan kedua, setiap propinsi dapat juga ditafsirkan sebagai daerah pemilihan sebagaimana diatur

dalam UU Pemilu. Munculnya dua penafsiran ini disebabkan, karena UUD 1945 hasil amandemen sudah tidak menyertakan lagi Penjelasan sebagaimana UUD 1945 sebelum amandemen. Pada hakikatnya, sifat UUD 1945 setelah amandemen adalah konstitusi tertulis. Artinya norma-norma hukum yang menjadi substansi konstitusi telah secara tersurat (tidak tersirat) dicantumkan dalam ketentuan pasal-pasal konstitusi. Hal ini berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen yang mengakui adanya convention of constitutions (kebiasaan ketatanegaraan) sebagaimana tertuang di dalam Penjelasan Umum. Dalam kondisi yang seperti inilah keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi sangat penting dalam kerangka penafsiran konstitusi tertulis. Norma yang tercantum dalam Pasal 22 C ayat (1) UUD 1945 tersebut pada hakikatnya tidaklah berdiri sendiri. Norma ini terkait dengan norma yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiaptiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian, jelas kiranya bahwa yang dimaksud dengan "anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum" seharusnya ditafsirkan oleh MK yakni provinsi sebagai struktur pemerintahan daerah sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan normatif Pasal 18 ayat (1) UUD 1945. Oleh sebab itu norma domisili yang belum dicantumkan dalam persyaratan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu jelas melanggar norma konstitusi dan MK harus berani memberikan putusan judicial review yakni persyaratan calon anggota DPD diubah karena melanggar norma konstitusi. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Ketentuan normatif ini dalam pelaksanaannya jelas menyisakan sebuah pertanyaan, yakni dalam bentuk apakah kedaulatan rakyat tersebut akan diimplementasikan. Sejak pemilu tahun 2004 implementasi kedaulatan rakyat telah diterjemahkan dalam 3 (tiga) model Pemilu, yakni : 1. Implementasi Kedaulatan Rakyat di bidang Politik dilakukan melalui Pemilu anggota DPR yang berasal dari Partai Politik. 2. Implementasi Kedaulatan rakyat di bidang kepentingan yang berdimensi kedaerahan dilakukan melalui Pemilu anggota DPD yang berasal dari perseorangan dan mewakili masing-masing daerah (Provinsi). 3. Implementasi kedaulatan rakyat di bidang pemerintahan dilakukan melalui Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang dicalonkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai politik.

Jika diperhatikan lebih seksama, maka nampak jelas bahwa 2 (dua) model Pemilu, yakni Pemilu anggota DPR dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden telah mengakomodasi kepentingan politik rakyat yang diartikulasikan oleh Partai Politik dengan mengajukan calon-calonnya. Sementara 1 (satu) model pemilu, yakni Pemilu anggota DPD mengakomodasi kepentingan yang berdimensi kedaerahan dalam konteks kebijakan nasional. Oleh sebab itulah, dalam Pemilu anggota DPD norma domisili (bukan norma partai politik) menjadi penting untuk dimasukkan sebagai salah satu ketentuan persyaratan pencalonan anggota DPD dalam UU Pemilu Pasal 22 E ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. Kata "perseorangan" sebagaimana dimaksud pada ketentuan ini secara terminologis harus dimaknai sebagai individu yang mandiri dan tidak terikat oleh kepentingan golongan maupun afiliasi politik tertentu. Hal ini berarti secara konstitusional, persyaratan pemilu untuk anggota DPD seharusnya juga memuat norma perseorangan yang non partai politik. Salah satu ketentuan persyaratan bagi Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD yang sifatnya perseorangan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf 1 UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu, adalah bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundangundangan. Kalimat kunci dalam persyaratan tersebut adalah "serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan". Persoalannya yang terkandung dalam kalimat kunci tersebut adalah apa yang dimaksud dengan konflik kepentingan itu? Penjelasan ketentuan ini menyatakan "Cukup Jelas". Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyatakan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warganegara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita nntuk memperjuangkan kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mencermati pengertian tersebut menunjukkan bahwa organisasi Parpol dibentuk memperjuangkan dan membela terlebih dahulu kepentingan politik anggota, disusul memperjuangkan kepentingan politik masyarakat, baru kemudian memperjuangkan kepentingan politik bangsa dan negara, rumusan seperti ini memberikan penguatan secara

yuridis bahwa Partai Politik memang hanya mementingkan kelompok dan anggota-anggotanya. Ditinjau dari aspek legal drafting, tidak dicantumkannya norma domisili dan non Partai Politik dalam persyaratan Peserta Pemilu serta tatacara pendaftaran bakal calon anggota DPD merupakan tindakan yang melanggar konstitusi dan asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik. Dikatakan melanggar konstitusi karena tidak sinkron dengan Pasal 22 C UUD 1945 yang menegaskan bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum, Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 22 E UUD 1945 yang menyatakan bahwa Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. Sedangkan dikatakan melanggar asas-asas perundang-undangan yang baik, karena dengan tidak dicantumkannya secara tegas persyaratan tersebut menunjukkan bahwa asas kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan dan kepastian hukum belum terpenuhi.

Bab V SUPRA STRUKTUR POLITIK DAN INFRA STRUKTUR POLITIK


(Dalam negara (Demokrasi hubungan antara negara dan rakyat harus merupakan cerminan dari simbiose mutuahstis. Artinya hubungan tersebut harus sating bergantung dan saling menguntungkan. Hubungan itu akan nampakjelas ketika sistem politikjyang dikembangkan oleh suatu negara memberikan ruang gerakjyang cukup bagi aktifitas politik^di lingkungan masyarakat. (Ruang gerak^aktifitas politik,masyarakat inilah yang akan memberikan warna kehidupan demokrasi di dalam suatu negara

A. Pengertian.
Sebagaimana telah penulis kemukakan dalam Bab tentang Sistem Pemerintahan Negara, bahwa titik tolak pengkajian sistem pemerintahan dalam arti paling luas adalah menyangkut hubungan antara negara dengan rakyat. Dengan melandaskan pada titik tolak pengkajian inilah maka muncul salah satu bentuk sistem pemerintahan yang disebut demokrasi. Dengan demikian, bab ini secara spesifik akan membahas mengenai hubungan antara negara dan rakyat dalam konteks sistem politik demokrasi atau dalam khasanah Hukum Tata Negara disebut sebagai Sistem Pemerintahan Demokrasi. Pada umumnya dalam mekanisme sistem politik yang demokratis, selalu akan memunculkan adanya dua suasana (fenomena) kehidupan politik yaitu:

1. Supra Struktur Politik, yakni suasana kehidupan politik atau fenomena kehidupan politik di tingkat pemerintahan. Artinya hal-hal yang bersangkut paut dengan kehidupan lembaga-lembaga negara yang ada serta hubungan kekuasaannya antara satu dengan yang lain. 2. Infra Struktur Politik, yakni suasana kehidupan politik atau fenomena kehidupan politik di tingkat masyarakat. Artinya hal-hal yang bersangkutan dengan kegiatan politik di tingkat masyarakat yang memberikan pengaruh terhadap tugas-tugas dari lembaga-lembaga negara dalam suasana pemerintahan.122 Dalam sistem pemerintahan yang demokratis dua struktur politik tersebut saling berinteraksi antara satu dengan yang lain. Infra Struktur politik memberikan masukan (input) yang berupa dukungan (support) maupun tuntutan (demand) kepada

Supra Struktur Politik, khususnya dalam rangka pengambilan keputusan politik yang menyangkut kepentingan umum. Sebaliknya Supra Struktur Politik akan mengolah berbagai aspirasi masyarakat tersebut untuk menjadi suatu keputusan politik yang memiliki nilai-nilai sosiologis dan diberlakukan di lingkungan masyarakat, sekaligus keputusan politik tersebut oleh Infra Struktur Politik dijadikan sebagai umpan balik yang dijadikan sebagai bahan untuk dikaji ulang dan diperbaiki. Apakah perlu memperoleh pembenahan ataukah bisa tetap dipergunakan untuk menunjang tertib sosial. Dengan demikian, hubungan atau interaksi kedua struktur politik tersebut pada hakikatnya merupakan manifestasi sistem pemerintahan yang demokratis yang lebih mengedepankan asas partisipasi publik. Mengimplementasikan prinsip-prinsip demokrasi merupakan amanat reformasi yang harus segera dipenuhi penyelenggaraannya di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demokrasi harus dijalankan tanpa embel-embel seperti yang 122 Sri Soemantri, 1986, Tentang lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Alumni, Bandung, him. 11. pernah terjadi di masa lalu dengan berbagai sebutan seperti demokrasi terpimpin atau demokrasi Pancasila. Demokrasi adalah demokrasi. Sebagai konsekuensinya adalah penyediaan ruang bagi partisipasi publik yang seluas-luasnya.123 Negara demokrasi adalah negara yang memungkinkan partisipasi rakyat berlangsung secara penuh dalam urusanurusan negara. Demokrasi adalah pemerintahan oleh semua orang, kebalikan dari konsep pemerintahan oleh satu orang (autocracy). Kedua konsep pemerintahan tersebut pada zaman Yunani kuno dianggap sama-sama buruk. Yang diidealkan adalah plutocracy, yakni konsep pemerintahan oleh banyak orang, bukan hanya dikendalikan oleh satu orang. Tetapi banyaknya orang itu tidak berarti semua orang ikut berbondong-bondong (pen) memerintah, sehingga keadaan menjadi kacau dan tidak terkendali.124 Meskipun banyak memiliki kekurangan, demokrasi telah dijalankan oleh sebagian besar negara di dunia dengan praktek yang berbedabeda, bahkan di negara-negara yang selama ini dikenal menganut ideologi komunis seperti Cina dan Cuba sekalipun.125 Demokrasi juga mensyaratkan adanya pengakuan kedaulatan rakyat yang diwujudkan dalam bentuk pengakuan civil society sebagai kekuatan penekan dan pengimbang vis a vis negara. Rakyat sebagai elemen utama civil society secara mutlak mendapatkan kedudukan strategis yang dijamin konstitusi untuk menjalankan peran-perannya sebagai bentuk partisipasi aktif. Civil society yang kuat akan mendorong state untuk memperkuat dirinya agar terjadi balance of power, sehingga terjadi keseimbangan kekuasaan yang bermuara 123Rahmat A. Prakoso, Partisipasi Publik dalam Proses Kebijakan di Masa Transisi, dalam http:// www.ipcos.or.id/index2.php?option=com_content&do_pd f=l&id=42. 124Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, him. 140

pada terjadinya check and balances dalam proses penyelenggaraan negara.126 Dengan demikian keberadaan Infra Strutur Politik yang pada hakikatnya merupakan manifestasi pengakuan keberadaan civil society menjadi sarana bagi keberlangsungan sistem pemerintahan yang demokratis. AS. Hikam mengemukakan bahwa Civil Society dapat didefinisikan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan, antara lain: kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.127 Lebih lanjut dikatakan bahwa civil society sebagaimana dikonsepsikan oleh para pelopornya memiliki tiga ciri utama, yaitu : 1. adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individuindividu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara, 2. adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik, dan 3. adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis.128 Partisipasi publik dalam proses pengambilan kebijakan yang mengikat seluruh warga - adalah cara efektif untuk mencapai pola hubungan setara antara pemerintah dan rakyat. Di negara-negara demokrasi, partisipasi warga dalam proses kebijakan merupakan hal yang lazim. Partisipasi publik dalam proses kebijakan tidak hanya merupakan cermin demokrasi yang paling nyata dalam kehidupan sehari-hari melainkan juga bermanfaat bagi pemerintah. Permasalahan yang datang silih berganti - dan tidak sedikit yang rumit - telah membuat pemerintah tidak cukup sensitif atau memiliki waktu menentukan prioritas kebijakan. Oleh sebab itu keterlibatan masyarakat (civil society) dalam proses kebijakan membantu pemerintah mengatasi persoalan dalam penentuan prioritas 127AS. Hikam, 1999, Demokrasi dan Civil Society, LP3ES, kebijakan. Selain Kedua, itu, karena teribat dalam proses Jakarta, Cetakan him.masyarakat 3. kebijakan, antusias masyarakat memberikan 128Ibid, him.dengan 219. dukungan terhadap pelaksanaan kebijakan. Bahkan masyarakat berharap agar implementasi kebijakan berhasil baik.129 Partisipasi masyarakat merupakan prasyarat dan representasi dari terealisasinya pemerintahan yang demokratis. Tanpa adanya partisipasi dan hanya mengandalkan mobilisasi niscaya yang namanya demokrasi dalam sistem pemerintahan negara tidak akan terwujud sampai kapanpun. Selain itu seiring dengan komitmen negara

yang hendak melaksanakan sistem politik yang lebih demokratis, maka sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk lebih membuka diri dengan menyadari posisi perannya sebagai penyelenggara negara yang bersih untuk penguatan masyarakat sipil (civil society) dengan menegakkan prinsipprinsip good governance yang terdiri dari 5 pilar, yaitu : akuntabilitas, keterbukaan, ketaatan pada hukum, partisipasi masyarakat, dan komitmen mandahulukan kepentingan bangsa dan negara.130 Dari gambaran tersebut di atas, maka dalam sistem pemerintahan yang demokratis peran dari infra struktur politik merupakan wadah atau sarana bagi berlangsungnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan politik maupun kebijakan publik yang dalam dataran normatif menjelma menjadi proses dan penyusunan kaidah hukum yang nampak dari berbagai produk Peraturan Perundangundangan. Oleh sebab itu agar kebijakan publik yang nampak dari berbagai Peraturan Perundang-undangan dapat direspon oleh masyarakat dengan baik, maka partisipasi masyarakat yang ditampung oleh infra struktur politik dan di proses oleh supra struktur politik dalam merumuskan kebijakan publik itu

129Rahmat A. Prakoso, Partisipasi Publik dalam Proses .,Opcit, Him. 2. 130Fauzi Ismail, et.all, 2005, Libatkan Rakyat Dalam Pengambilan Kebijakan, Forum LSM, Yogyakarta, him 83. harus diberi tempat yang cukup memadai.

B. Supra Struktur Politik.


Lembaga-lembaga negara atau alat-alat perlengkapan negara dari suatu negara tidaklah sama antara satu dengan yang lain. Bahkan bagi Negara Republik Indonesia yang pernah mempergunakan konstitusi selain UUD 1945, keberadaan alatalat perlengkapan negara sebagai unsur Supra Struktur Politik juga berbeda antara konstitusi yang satu dengan lainnya. Lembaga-lembaga negara atau alat-alat perlengkapan negara tersebut pada hakikatnya melaksanakan fungsi kekuasaan masing-masing. Berkaitan dengan hal ini yang dimaksud dengan Lembaga-lembaga Negara menurut masing-masing Konstitusi yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia adalah: 1. Lembaga-lembaga Negara menurut UUD 1945 sebelum Amandemen meliputi: a. Lembaga Tertinggi Negara: Majelis Permusyawaratan Rakyat b. Lembaga Tinggi Negara yang terdiri dari:

i. ii. iii. iv. v.

Dewan Perwakilan Rakyat; Presiden dan Wakil Presiden; Dewan Pertimbangan Agung; Badan Pemeriksa Keuangan; dan Mahkamah Agung.

2. Lembaga-lembaga Negara menurut Konstitusi RIS, tercantum di dalam Bab III, yakni menyangkut alat-alat perlengkapan Negara Federal Republik Indonesia Serikat yang terdiri dari: a. Presiden; b. Menteri-menteri; c. Senat; d. Dewan Perwakilan Rakyat; e. Mahkamah Agung; dan f. Dewan Pengawas Keuangan. 3. Lembaga-lembaga Negara menurut UUD 1950, yakni alatalat perlengkapan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari: a. Presiden dan Wakil Presiden; b. Meteri-menteri; c. Dewan Perwakilan Rakyat; d. Mahkamah Agung; dan e. Dewan Pengawas Keuangan. 4. Lembaga-Lembaga Negara menurut Amandemen UUD 1945 terdiri dari: a. Majelis Permusyawaratan Rakyat; b. Dewan Perwakilan Rakyat; c. Dewan Perwakilan Daerah; d. Presiden dan Wakil Presiden; e. Badan Pemeriksa Keuangan; f. Mahkamah Konstitusi; g. Mahkamah Agung; h. Komisi Yudisiil. Keberadaan dari alat-alat perlengkapan negara atau lembaga-lembaga negara yang masuk dalam Supra Struktur Politik tersebut pada hakikatnya merupakan bentuk pengembangan dari konsep trias politika dari Montesquieu. Di dalam teori ini dikehendaki adanya pemecahan kekuasaan (Pemisahan kekuasaan) yang tadinya dipegang oleh satu tangan atau sekelompok orang kemudian diserahkan kepada lembaga-lembaga negara yang terpisah bak menurut fungsi maupun institusinya. Dewasa ini dalam sistem pemerintahan yang demokratis, teori trias politika tidak lagi dilaksanakan secara absolut. Bahkan dalam perkembangannya cabang-cabang kekuasaan tersebut mengalami perkembangan sejalan dengan kebutuhan untuk menampung tuntutan demokrasi. Cabang-cabang kekuasaan itu tidak hanya sebatas pada eksekutif, legislatif dan yudikatif, melainkan berkembang sampai cabang

kekuasaan di bidang pengawasan finansial dari negara, seperti yang terdapat di Indonesia yakni Badan Pemeriksa Keuangan. Lain daripada itu, dewasa ini konsep trias politika juga tidak lagi mengisyaratkan bahwa masing-masing lembaga pemegang fungsi kekuasaan tersebut terpisah satu sama lain. Artinya lembaga-lembaga negara itu masih tetap melaksanakan checks and balances. Bahkan dimungkinkan bisa saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Dengan demikian dalam pelaksanaannya yang dipisahkan itu hanyalah lembaganya, sedangkan fungsinya dapat saling berhubungan dan saling mendukung. Contoh yang dapat dikemukakan disini adalah di Amerika Serikat, dimana kekuasaan legialstif tetap ada pada parlemen, namun dalam prakteknya Presiden Amerika Serikat juga memiliki hak Veto terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh parlemen.

C. Infra Struktur Politik.


Keberadaan Infra Struktur Politik sebagai fenomena kehidupan politik di lingkungan masyarakat berkembang sedemikian pesat sejak abad XVIII sampai dengan abad XX bertepatan dengan perkembangan konsep demokrasi dan kedaualatan rakyat. Di Eropa Barat perkembangan Infra struktur politik muncul setelah terjadi revolusi industri di Perancis yang menumbangkan rezim otoritarian dan absolut di bawah kekuasaan raja. Pada umumnya Infra Sruktur Politik ditandai dengan keberadaan 5 unsur penunjang kehidupan politik di masyarakat, yaitu: 1. Partai Politik (Political Party); Secara umum Partai Politik adalah suaru kelompok yang terorganisir secara teratur baik dalam hal pandangan, tujuan maupun tata cara rekrutmen keanggotaan, dengan tujuan pokok yaitu menguasai, merebut ataupun mempertahankan kekuasaannya dalam pemerintahan secara konstitusional.131 Sedangkan menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik disebutkan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibenruk oleh 131 Miriam Budiardjo, 1986, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, him. 160. Pembahasan selanjutnya mengenai Partai Politik akan dikemukakan lebih terinci dalam bab tentang Pemilihan Umum dan Partai Politik. sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia.132 2. Golongan Kepentingan (Interest Group);

Golongan kepentingan adalah sekelompok orang yang bersatu atau mengadakan persekutuan karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu baik itu merupakan kepentingan umum atau masyarakat luas, maupun kepentingan untuk kelompok tertentu saja. Golongan kepentingan ini dapat dibedakan dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:133 a. Interest Group Assosiasi, yakni suatu golongan kepentingan yang didirikan secara khusus untuk memperjuangkan kepentingankepentingan tertentu, namun masih mencakup beberapa bidang yang luas. Pendek kata issue yang dipergunakan sebagai visi dan misi pendirian dari golongan kepentingan ini semacam ini sifatnya masih luas. Misalnya ORMAS (Organisasi Massa). b. Interest Group Institutional, pada umumnya terdiri atas berbagai kelompok manusia yang berasal dari lembaga yang ada. tujuan yang hendak dicapai adalah memperjuangkan kepentingankepentingan orang-orang yang menjadi anggota lembaga yang dimaksud. Contohnya adalah kelompok-kelompok profesi, misal IKADIN, IDI, IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia). c. Interest Group non Assosiasi. Golongan kepentingan semacam ini tidak didirikan secara khusus. Kegiatannya tidak dijalankan secara teratur dan berkesinambungan. Aktifitasnya hanya 132Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. 133S. Toto Pandoyo, 1985, Ulasan Terhadap Beberapa Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, Sistem Politik dan Perkembangan Kehidupan Demokrasi, Cet. II, Liberty, terlihat keluar apabila kepentingan masyarakat Yogyakarta, him. 24-25. memerlukan dan dalam keadaan mendesak. Yang dimaksud masyarakat

disini misalnya: masyarakat setempat tinggal, masyarakat seketurunan (trah), masyarakat seasal pendidikan, masyarakat paguyuban (gemeinschaft), dan masyarakat patembayan (gesellschaft). d. Interest Group yang anomik. Keberadaan golongan kepentingan semacam ini sifatnya mendadak (spontan) dan tidak bernama. Aksi-aksinya berupa aksi demonstrasi maupun aksi-aksi bersama. Apabila kegiatan-kegiatannya

tidak terkendali dapat menimbulkan keresahan dan keonaran yang dapat mengakibatkan terganggunya keamanan dan ketertiban serta stabilitas politik secara nasional. 3. Golongan Penekan (Pressure Group). Golongan penekan terdiri dari sekelompok manusia yang tergabung menjadi anggota suatu lembaga kemasyarakatan dengan aktifitas yang nampak keluar sebagai golongan yang sering mempunyai keinginan untuk memaksakan kehendak kepada pihak penguasa. Dengan kata lain golongan ini selalu meletakkan dirinya sebagai kaum oposan yang selalu menentang kebijakan dan politik pihak penguasa.134 Ada kemungkinan kelompok ini pada mulanya didirikan tidak dimaksudkan secara spesifik menjadi golongan penekan. Namun kemudian dalam perkembangan selanjutnya, karena situasi dan kondisi politik tempat golongan tersebut berubah tidak kondusif terhadap kehidupan demokrasi, maka golongan ini berubah watak menjadi kelompok penekan. 4. Alat Komunikasi Politik (Media Political Communication). Fungsi utama dari alat komunikasi politik adalah sebagai sarana penghubung dan pemersatu bagi masing-masing golongan. Bagi Partai Politik dan golongan-golongan yang terdapat di dalam Infra Struktur Politik berfungsi sebagai alat untuk menyebarkan konsep-konsep, ajaran-ajaran, ide-ide, program-progran kerja kepada seluruh lapisan masyarakat maupun anggota masing-masing golongan tersebut. Alat komunikasi politik ini bisa berwujud surat kabar, buletin, pamflet, brosur dan media elektonik lainnya. 5. Tokoh Politik (Political Figure). Tokoh poltik adalah orang yang karena latar belakang sejarah dan sepak terjang dalam perjuangan dan idealismenya dikenal oleh masyarakat, sehingga segala pendapat ataupun pikiran dan perbuatannya diikuti oleh banyak orang. Biasanya ia mempunai kemampuan kharismatik, oratorik yang mampu mempersatukan (integrative skill), juru penengah (mediation skill), pandai memanipulasi simbol-simbol, sehingga dapat mengendalikan massa. Hal ini disebabkan karena ia bisa tidak mengikatkan diri secara formal (independent) pada salah satu kekuatan politik, melainkan berdiri di tengah-tengah (centrist).5 Keberadaan tokohpolitik dalam Infra Struktur Politik sebenarnya sangat dipengaruhi oleh budaya politik yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat negara. Bagi masyarakat yang masih bersifat paternalistik, keberadaan tokoh politik sangat dominan, khususnya dalam rangka mempengaruhi penyusunan kebijakan-kebijakan politik dan pengambilan keputusan politik.

Menurut Rusadi Kantaprawira, dalam mekanisme kehidupan politik yang demokratis fungsi yang diemban oleh Infra Struktur Politik antara lain meliputi: a. Pendidikan Politik (Political Education) untuk meningkatkan pengetahuan politik rakyat agar mereka dapat berpartisipasi secara aktif dan cerdas dalam sistem politik suatu negara sesuai dengan paham demokrasi dan kedaulatan rakyat; b. Mempertemukan kepentingan (Interest Articulation) yang beraneka ragam dan nyata-nyata hidup di lingkungan masya135 Rusadi Kantaprawira, 1988, Sistem Politik Indonesia Suatu Model Pengantar, Cet V, Sinar Baru, Bandung, him. 91. rakat;

c. Agregasi kepentingan (Interest Aggregation), yakni menyalurkan segala hasrat atau aspirasi dan pendapat masyarakat kepada pemegang kekuasaan (regime) atau pemegang kekuasaan yang berwenang (authorities) agar tuntutan (demands) atau dukungan (supports) menjadi perhatian dan menjadi keputusan politik; d. Seleksi kepemimpinan (Political Selection), yaitu menyelenggarakan pemilihan pemimpin atau calon pemimpin masyarakat. Penyelenggaraan seleksi ini dilakukan secara terencana dan teratur berdasarkan hukum masyarakat dan norma serta harapan masyarakat; e. Komunikasi Politik (Political Communication), yakni menghubungkan pikiran politik yang hidup dalam masyarakat, baik pikiran intra golongan, institut, asosiasi ataupun sektor kehidupan politik masyarakat dengan sektor 136 pemerintah.

D. Hubungan Supra Struktur Politik dan Infra Struktur Politik Dalam Pengambilan Keputusan Politik.
Hubungan antara kedua struktur politik dalam kehidupan politik di suatu negara sangat tergantung dari paham politik yang dikembangkan oleh masing-masing negara. Artinya hubungan tersebut sangat dipengaruhi corak sistem

pemerintahan dalam arti paling luas yang dikembangkan oleh masing-masing negara yang menitik beratkan hubungan antara negara dan rakyat. Di negara yang corak sistem pemerintahannya demokratis hubungan antara kedua struktur politik tersebut saling kait mengkait, selaras, serasi, dan seimbang. Di dalam menentukan kebijaksanaan umum (public policy), Infra Struktur Politik berfungsi sebagai sarana asupan atau masukan (input) yang berwujud pernyataan keinginan dan tuntutan masyarakat (social demand); sedangkan Supra Struktur Politik, yakni pemerintah dalam arti luas (lembaga-lembaga negara) berfungsi sebagai output dalam hal menentukan public policy yang berwujud keputusan-kepu tusan politik sesuai dengan keinginan dan tuntutan masyarakat. Contohnya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Pasal 53 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan menegaskan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan Rancangan Peraturan Daerah. Di dalam negara yang corak sistem pemerintahannya totaliter-diktatorik, keserasian sebagaimana terdapat di dalam sistem pemerintahan demokratis tidak menampakkan kejelasan. Artinya antara kedua struktur politik tersebut tidak menampakkan hubungan yang serasi. Hal ini disebabkan titik berat dalam menentukan public policy yang berwujud keputusan-keputusan politik ada pada Supra Struktur Politik (negara). Sedangkan Infra Struktur Politik tidak diberi kesempatan atau ruang untuk terlibat dalam menentukan public policy, khususnya dalam memberikan masukan baik yang berwujud tuntutan (demands) maupun dukungan (supports). Hal ini berarti eksistensi Infra Struktur Politik tidak pernah diakui dan tidak pernah diberi kesempatan dalam setiap aktifitas kehidupan ketatanegaraan. Sedangkan negara yang corak politiknya bersifat liberal kapitalistik, titik berat dalam menentukan public policy tergantung dan sangat ditentukan oleh tuntutan para pemegang kapital terkuat di lingkungan Infra Struktur Politik. Sedangkan Supra Struktur Politik hanya merumuskan tuntutan-tuntutan tersebut ke dalam keputusan politik. Hal ini berarti keberadaan Supra Stuktur Politik justru dipergunakan sebagai alat Infra Struktur Politik yang mempunyai modal kuat khususnya di bidang ekonomi. Kondisi yang demikian ini pada umumnya disebabkan oleh munculnya golongan-golongan menengah dalam kehidupan sosial ekonomi yang kemudian golongan ini menjadi tokoh-tokoh politik. Kecenderungan golongan menengah ini menjadi tokoh politik dilandasi oleh kepentingan mereka untuk mengamankan asset ekonomi yang mereka miliki melalui keputusan politik yang diambil oleh Supra Struktur Politik yang pada umumnya telah dikuasai oleh golongan menengah tersebut. Mereka inilah yang disebut oleh Karl marx sebagai kaum borjuis.

E. Mekanisme Sistem Politik Demokrasi Menurut UUD 1945.


1. Sebelum Amandemen UUD 1945. Mekanisme sistem politik demokrasi di Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 pada prinsipnya berlandaskan pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Selanjutnya menurut Pasal 2 ayat (1) menegaskan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah utusan-utusan daerah-daerah dan golongangolongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undangundang. Dengan adanya Konstruksi konstitusional semacam ini tersirat bahwa mekanisme sistem politik demokrasi Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 mempergunakan sistem parlemen dengan 3 (tiga) kamar. Akan tetapi dalam khasanah Hukum Tata Negara Indonesia parlemen dengan sistem 3 kamar ini tidak pernah diakui baik secara akademik maupun praktek. Terlepas dari perdebatan mengenai pengakuan sistem parlemen 3 kamar tersebut, sistem demokrasi yang dikembangkan oleh UUD 1945 sebelum amandemen tetap meletakkan rakyat sebagai the driving force (kekuatan pengendali) dari mekanisme yang akan dijalankan. Namun demikian, rakyat sebagai the driving force tidak melaksanakan sendiri, melainkan dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dalam Penjelasan UUD 1945 (sebelum amandemen) dianggap sebagai penjelmaan rakyat. Selanjutnya di dalam Penjelasan Umum UUD 1945, dikemuka-kan 7 (tujuh) pilar sistem Pemerintahan Negara yang dirumuskan sebagai berikut: a. Indonesia ialah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat); b. Pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar); c. Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan rakyat; d. Presiden adalah penyelenggara Pemerintahan Negara Tertinggi di bawah Majelis; e. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR; f. Menteri Negara ialah pembantu Presiden; Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR; g. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas. Dengan memperhatikan sistem pemerintahan di atas, dapat diketahui bahwa unsur yang mendukung mekanisme sistem

politik demokrasi menurut UUD 1945 sebelum amandemen, adalah sebagai berikut: 1. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di dalam negara dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, menyalurkan aspirasinya melalui Infra Struktur Politik, yakni organisasi kekuatan sosial politik,137 serta golongangolongan yang ada di dalam masyarakat. Penyaluran aspirasi tersebut diwujudkan dengan ikut serta dalam Pemilihan Umum guna memilih anggota DPR baik di tingkat Daerah maupun di tingkat Pusat. Dari hasil Pemilu tersebut, terbentuk juga MPR yang berkedudukan sebagai Lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat dalam negara. 2. MPR yang sudah terbentuk ini kemudian mulai melaksanakan tugasnya melalui proses politik tertentu, yakni melaksanakan Sidang Umum dengan tujuan utama memilih Presiden dan Wakil Presiden serta menetapkan beberapa Ketetapan MPR maupun Keputusan MPR guna menjabarkan kehendak rakyat yang dirangkum dalam 137 Pada masa Orde Baru organisasi kekuatan sosial politik atau Partai Politik di atur dalam UU No. 3 Tahun 1985 Tentang partai Politik dan Golongan Karya. Dengan adanya UU ini, maka dalam sistem politik Indonesia hanya dikenal adanya dua Partai Politik (PPP dan PDI) serta satu Golongan Karya (yang dianggap bukan partai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). politik). Kemungkinan munculnya partai-partai politik tidak diberi peluang sama sekali. Presiden sebagai Mandataris MPR merupakan hasil dari suatu proses politik (Input dan output) di dalam MPR, mulai melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan memilih dan mengangkat Menteri-menteri negara untuk melaksanakan berbagai ketetapan MPR. Sedangkan DPR yang kedudukannya sejajar dengan Presiden serta dianggap merupakan pelaksana kedaulatan rakyat sehari-hari, melaksanakan kegiatan kenegaraan antara lain membentuk UU bersama dengan Presiden, melakukan pengawasan, dan merumuskan anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, maupun melaksanakan ketetapan MPR di bidang legislatif. Jika Presiden diduga melanggar UUD 1945 dan Ketetapan MPR, maka DPR akan melayangkan Memorandum sampai tiga kali, dan seandainya Presiden tidak mengindahkan Memorandun tersebut, maka DPR meminta MPR untuk melaksanakan Sidang Istimewa MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden. 3. Presiden dan para Menteri memegang jabatan selama 5 (lima) tahun, dalam setiap tahunnya mengajukan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) yang kemudian melalui proses politik tertentu oleh DPR disetujui menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang berwujud UU APBN untuk melaksanakan roda pemerintahan tiap tahunnya. Jika RAPBN tersebut tidak disetujui oleh DPR, maka

Pemerintah harus mempergunakan APBN tahun yang baru lalu. 4. Presiden dan para Menteri melaksanakan UU APBN tersebut di bawah pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat, dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memegang fungsi auditing yang akan dilaporkan kepada DPR. Dalam kaitan dengan hal ini, Presiden sebagai pemegang kekuasaan Eksekutif juga mempertanggungjawabkan penggunaan APBN tersebut, serta mengadakan pidato tahunan di depan sidang Paripurna DPR (konvensi ketatanegaran). 5. Setelah lima tahun masa jabatannya berakhir, Presiden mempertanggungjawabkan seluruh pelaksanaan tugas dan fungsinya kepada MPR hasil Pemilu periode berikutnya. Sebelum hal ini berlangsung, rakyat sebagai pemegang kedaulatan kembali mengadakan pesta demokrasi Pemilu untuk memlilih wakil-wakilnya yang duduk di Lembaga Perwakilan Rakyat. Dalam kaitan dengan berakhirnya masa jabatan Presiden ini, maka untuk periode berikutnya dia dapat dicalonkan kembali. Keenam mekanisme sistem politik tersebut di atas menurut UUD 1945 sebelum amandemen sering disebut sebagai siklus lima tahunan. Rutinitas lima tahunan ini selama pemerintahan Orde Baru sifatnya hanya formalistik, karena substansi demokrasi justru mengalami penurunan sejalan dengan semakin menguatnya Presiden dalam setiap penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Kekuasaan orde baru dengan tiga pilar penyangga, yakni Golongan Karya, ABRI dan Presiden Soeharto semakin menghegemoni institusi-institusi demokrasi formal seperti MPR dan DPR. Rakyat sebagai komponen utama dalam penyelenggaraan sistem demokrasi semakin termarginalkan. Mereka hanya sekedar alat untuk memberikan legitimasi formal melalui pemilu yang jauh dari sifat demokratis, karena kecurangan dan manipulasi selalu mewarnai penyelenggaraan pemilu. Akibatnya rakyat tidak memiliki akses untuk ikut terlibat dalam setiap pengambilan keputusan politik, bahkan wakilwakil rakyat yang duduk di DPR hanya berfungsi sebagai stempel bagi kebijakan politik Presiden yang sangat otoriter tersebut. Alih-alih dari kondisi sistem politik seperti ini, maka kemerosotan para penyelenggara negara semakin menjadijadi. Presiden dan kroni-kroninya semakin mencengkeram kehidupan rakyat dan hak-hak asasi manusia terabaikan. 2. Setelah Amandemen UUD 1945. Dengan berlandaskan pada pengertian sistem, maka di dalam memahami sistem politik tentu akan dijumpai adanya unsur-unsur atau komponen-komponen/unit-unit yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya dalam rangka mendukung eksistensi dan ketotalitasannya. Berpijak dari gambaran seperti inilah, maka yang dimaksud sistem politik

tidak lain adalah cara kerja (mekanisme) seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik dalam hubungannya satu sama lain yang menunjukkan proses yang langgeng. Proses tersebut mengandung dimensi waktu (masa lampau, masa kini dan masa mendatang).138 Namun demikian, untuk mewujudkan pengertian tersebut di atas - terutama yang menyangkut masalah eksistensi dan ketotalitasan dari sistem politik - masih perlu memperhatikan berbagai faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternalnya. Faktor internal maksudnya adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam sistem politik itu sendiri yang dapat mempengaruhi eksistensinya. Hal ini disebabkan unsur/komponen/bagian/unit yang terdapat di dalam sistem politik tersebut masing-masing juga terdiri dari sistem-sistem kecil (sub sistem) yang dalam proses lebih lanjut akan berusaha mempertahankan eksistensinya masing-masing, bahkan kadang kala meluas sampai mempengaruhi eksistensi unit yang lain, seperti yang terjadi pada zaman orde baru, dimana eksekutif begitu dominan hingga mengakibatkan pranata-pranata lembaga yang merepresentasikan demokrasi menjadi tidak berdaya. Sedangkan faktor eksternal, adalah faktor yang berasal dari luar sistem politik yang dapat mempengaruhi eksistensi sistem politik itu sendiri secara keseluruhan. Hal ini mengingat, di dalam masyarakat atau negara di samping ada sistem politik juga dikenal adanya sistem-sistem lain yang hidup, seperti sistem ekonomi, sistem hukum, sistem budaya (adat-istiadat) dan lain sebagainya. Sehingga di dalam proses mekanismenya, sistem politik akan dihadapkan pada mekanisme kerja dari sistem-sistem yang lain tersebut. Sistemsistem lain yang hidup dalam masyarakat tentunya juga berusaha untuk mempertahankan eksistensinya. Berkaitan dengan gambaran seperti ini, Rusadi Kantaprawira 138 Rusadi Kantaprawira, Op.cit, him. 8. mengatakan:

"Pada suatu saat tertentu batas-batas sistem itu tetap (contrac) dan pada saat yang lain berkembang (expanding) dan bahkan sekali-sekali dapat juga merambah bidang sistem lain (encroaching). Kesemuanya itu bergantung pada kondisi, waktu dan juga kepentingan pandangan serta intensi pemakai atau pembuat sistem yang bersangkutan. Oleh karena itu pula tidak jarang terjadi tumpang tindih (overlap) yang tak terhindarkan antara dua sistem atau lebih".139 Dengan demikian sistem politik - bila ditinjau dari kerangka ketatanegaraan - walaupun telah dibentuk dan disusun oleh suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar tetap akan dipengaruhi oleh sistem-sistem lain yang terdapat di dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Masih terkait dengan pengertian sistem politik yang berkaitan dengan suatu mekanisme atau cara kerja dari

seperangkat fungsi, Miriam Budiardjo memberikan gambaran sebagai berikut: "Dalam proses sistem politik kita temukan istilah-istilah proses, struktur dan fungsi serta pelaku-pelaku politik.... Proses dalam setiap sistem dapat dijelaskan sebagai input dan output. Begitu pula dalam sistem politik yang konkrit, seperti negara, terjadi proses semacam itu. Dapat dilihat suatu pola tertentu dalam hubungan dan interaksi antara sistem politik dan lingkungan. Yang dimaksud input (yang datang dari lingkungan) ialah tuntutan serta aspirasi masyarakat dan juga dukungan masyarakat. Dalam sistem politik input itu diolah dan diubah (conversion) menjadi output, keputusan-keputusan politik dan kebijaksanaan-kebijaksanaan mengikat dari pemerintah. Keputusan itu mempunyai pengaruh, dan pada gilirannya dipenganihi oleh lingkungan sistemsistem lain seperti ekonomi, sistem teknik dan sebagainya. Dengan demikian feedback (umpan balik) dari output yang kembali menjadi input baru mengalami pengaruh dari luar ini. Dan demikian seterusnya".140 Dari gambaran tersebut di atas, maka sistem politik dapat ditunjukkan secara lebih konkrit dalam kehidupan suatu 139Rusadi Kantaprawira, 1990, Pendekatan Sistem Dalam Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Meninjau Kehidupan Politik Indonesia, Sinar Baru, Bandung, him. 15. 140Miriam Budiardjo, 1986, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, organisasi Jakarta, him. 48.

negara. Di dalam setiap negara akan selalu dijumpai adanya proses (input - output - feedback), struktur, fungsi, dan pelakupelaku politik yang dalam hal ini dapat disebut sebagai alatalat perlengkapan negara, Organisasi kekuatan sosial politik, tokoh-tokoh politik dan sebagainya. Oleh sebab itulah membicarakan sistem politik dalam suatu negara akan selalu berhimpitan dengan sistem ketatanegaraan yang dibahas dalam perspektif Hukum Tata Negara. Bahkan kedua bidang ini dapat diibaratkan seperti layaknya dua sisi dalam satu keping mata uang (two side of once coin). Dalam hal ini Kartasapoetra mengemukakan bahwa antara Hukum Tata Negara dengan ilmu politik terdapat hubungan yang dekat, sehingga dapat dikatakan batas-batas ketentuan yang digariskan dalam Hukum Tata Negara sering diisi atau memerlukan pengisian dari garis politik. Terbentuknya suatu undang-undang (baik Undang-Undang Dasar maupun Undang-Undang Organik) tentu diisi dengan kebijakan-kebijakan politik yang ditarik pada waktu penyusunannya.141 Dengan demikian, sistem politik dalam perspektif Hukum Tata Negara tidak lain adalah mekanisme ketatanegaraan yang berlaku dalam suatu negara sesuai dengan garis-garis yang ditentukan oleh konstitusi atau Undang-Undang Dasar beserta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Inilah

yang menjadi titik pangkal pembahasan mekanisme sistem politik demokrasi menurut UUD 1945 setelah amandemen. Paham demokrasi yang dianut masing-masing negara, bila diselidiki lebih lanjut dapat dilihat dari dua segi, yaitu pertama dalam arti materiil dan kedua dalam arti formil. Demokrasi dalam arti materiil, adalah demokrasi yang diwarnai oleh falsafah atau idologi (sistem gagasan) yang dianut oleh suatu negara. Sedangkan demokrasi dalam arti formil adalah demokrasi yang ditinjau dari bentuk pelaksanaannya, yakni langsung atau tidak langsung. Demokrasi langsung dapat dilihat ketika zaman Yunani Kuno, dimana pada saat itu pelaksanaan demokrasi dilakukan 141 Kartasapoetra R.G, 1987, Sistematika Hukum Tata oleh rakyat Negara, Bina Aksara, Jakarta, him. 6.

di negara kota (city state). Sedangkan demokrasi tidak langsung dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang duduk di Lembaga Perwakilan Rakyat berdasarkan pemilihan langsung secara berkala. Bentuk demokrasi yang terakhir inilah yang digunakan oleh negara-negara demokrasi modern dewasa ini. Sebaliknya dengan adanya pemahaman demokrasi dalam arti materiil, maka banyak dijumpai adanya berbagai macam predikat demokrasi yang dianut oleh masing-masing negara. Salah satu predikat demokrasi yang dapat disebutkan disini adalah demokrasi Pancasila. Suatu paham demokrasi yang dikembangkan di Indonesia. Persoalannya adalah, apakah demokrasi Pancasila itu? Untuk menjawab persoalan tersebut, maka disini perlu memahami terlebih dahulu makna Pancasila sebagai dasar falsafah dan ideologi yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Nurcholis Majid, kata Pancasila tidak dikenal dalam UUD 1945. Pancasila sebenarnya merupakan nama populer yang dikembangkan oleh Ir. Soekarno. Lebih lanjut dikemukakan bahwa Pembukaan UUD 1945 tidak menyebutkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Alinea IV sebagai Pancasila.142 Berkaitan dengan hakikat Pancasila yang dipergunakan sebagai predikat demokrasi, Sri Soemantri mengemukakan: "Apabila kita kaji lebih mendalam, dalam Pancasila dapat kita temukan adanya dua mutiara, yaitu kesatuan dalam perbedaan dan perbedaan dalam kesatuan. Kalau hal ini kita hubungkan dengan manusia, maka kodrat manusia sebagai mahluk Tuhan adalah mahluk pribadi dan sekaligus mahluk sosial, artinya sifat kodrati manusia adalah sebagai individu dan sekaligus mahluk sosial. Dengan demikian Pancasila memandang bahwa kebahagiaan manusia akan tercapai jika dapat dikembangkan hubungan yang selaras, serasi dan 142Argumentasi ini dikemukakan oleh Nurcholis Majid dalam Sarasehan yang diselenggarakan oleh Gerakan Jalan Lurus di Yogyakarta pada bulan Juni 2002. 143Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, him. 21-22.

seimbang antara manusia dan masyarakat".143

Lebih lanjut Sri Soemantri memberikan mengenai demokrasi Pancasila sebagai berikut:

rumusan

a. Demokrasi Pancasila mendasarkan diri atas kemerdekaan dan persamaan serta kemajuan di bidang sosial ekonomi sekaligus; b. Demokrasi Pancasila mengandung makna, bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat yang dalam kurun waktu antara pemilihan umum yang satu dengan yang lain dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan rakyat.144 Lebih lanjut dikemukakan bahwa konsepsi Demokrasi Pancasila dilihat dari aspek materiilnya tidak mendasarkan diri atas kemerdekaan dan persamaan saja, ataupun hanya mendasarkan diri atas kemajuan bidang sosial dan ekonomi saja, melainkan mendasarkan diri atas keduanya sekaligus.145 Rumusan tersebut di atas memberikan gambaran Demokrasi Pancasila dari aspek materiil dan dari aspek formil. Dari aspek materiil nampak dari isi demokrasi yang lebih menekankan pada konteks kemerdekaan dan persamaan berdampingan dengan kemajuan di bidang sosial ekonomi secara simultan. Sedangkan aspek formil lebih menekankan pada aspek demokrasi tidak langsung, yakni demokrasi perwakilan, dimana Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan melakukan institusionalisasi demokrasi tersebut sepenuhnya. Oleh sebab itu dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri dari Demokrasi Pancasila yang membedakan dengan predikat demokrasi yang lain adalah terletak pada aspek materiilnya, yaitu aspek kekeluargaan. Maksudnya adalah kesadaran budi pekerti dan hati nurani yang luhur dan tercermin dalam perilaku sehari-hari dengan mengutamakan kesejahteraan bersama yang selaras, serasi dan seimbang antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Antara hak dan kewajiban sosial. Sehubungan dengan hal ini Sri Soemantri mengemukakan bahwa aspek kekeluargaan yang terdapat di dalam Demokrasi Pancasila dalam perkembangannya lebih lanjut dimanifestasikan pada suatu bentuk asas negara yang disebut negara kekeluargaan. Artinya bahwa suatu negara yang rakyatnya merasa hidup dalam satu keluarga. Sebagai satu keluarga besar, maka masing-masing, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok mempunyai tanggung jawab dalam keluarga (besar) yang bernama negara. Dengan pengertian bahwa masing-masing mempunyai tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup keluarga (besar) itu.146 Terkait dengan pandangan ini, Hamid S, Attamimi mengemukakan:

"Ketika Negara Republik Indonesia dibentuk pada tanggal 17 Agustus 1945 melalui proklamasi kemerdekaannya, maka pada waktu itu telah ada kesepakatan tentang cita negara Indonesia yang menjadi dasar bagi teori bernegara bangsa Indonesia. Cita negara itu ialah negara kekeluargaan atau cita negara persatuan dan digali dari bumi Indonesia sendiri, yang telah lama tertanam dalam kehidupan paguyuban masyarakat Desa yang terdapat diseluruh wilayah Indonesia, dengan berbagai nama dan berbagai bentuk".147 Pendapat-pendapat tersebut memang ideal dan bernuansakan aspek filosofis yang sangat tinggi. Akan tetapi dalam realitas kehidupan masyarakat Indonesia secara empiris ada beberapa hal yang kurang dapat disejajarkan ataupun diterapkan secara ideal. Pemahaman predikat Demokrasi seperti ini sebenarnya sangat rentan bila dipergunakan sebagai landasan ideologi dari sistem politik. Hal ini disebabkan dalam paham seperti itu justru akan terjebak pada hal-hal yang lebih mandahulukan kewajiban yang bermakna sanksionistik daripada mendahulukan hak. Lain daripada itu makna Demokrasi Pancasila yang lebih menekankan aspek kekeluargaan justru akan membuka 146Ibid. 147Hamid S. Attamimi, (Disertasi), 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presidert yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I - Pelita IV, Fakultas Pascasarjana kemungUI, Jakarta, him. 366-367. kinan munculnya dominasi negara dalam mengatasi berbagai persoalan kemasyarakatan. Bahkan tidak jarang negara mengintervansi kepentingan-kepentingan masyarakat dengan alasan untuk menciptakan kesejahteraan umum. Hal ini mengingat pelaksanaan demokrasi yang demikian ini lebih mementingkan moralitas etik daripada aspek prosedural yuridis. Fenomena sosial kehidupan masyarakat dalam lingkup keluarga dan Desa tidak mungkin semudah itu untuk dijadikah contoh dalam menggambarkan hakikat Demokrasi Pancasila. Dalam kehidupan keluarga dan Desa, peran pemimpin sengat dominan dalam menentukan berbagai keputusan dan kebijaksanaan. Sementara anggota keluarga dan komunitas lebih cenderung untuk menunggu secara pasrah keputusan-keputusan yang akan diambil sang pemimpin. Apalagi jikalau budaya politik kaula masih sangat menonjol dalam kehidupan masyarakat. Budaya politik ini merupakan warisan kolonial dan feodalistik jelas memberikan kontribusi yang sangat signifkan terhadap tidak kondusifnya kehidupan demokrasi dalam paham negara kekeluargaan tersebut. Sementara ini di dalam paham kehidupan politik suatu negara yang menganut paham demokrasi akan terjadi interaksi antara komponen Supra Struktur Politik dan Infra Struktur Politik. Interaksi tersebut berkaitan dengan pengambilan keputusan-keputusan politik maupun kebijaksanaan umum.

Dalam khasanah Hukum Tata Negara, keputusan-keputusan politik tidak lain adalah produk-produk hukum yang berwujud berbagai peraturan perundang-undangan. Gambaran tersebut jika diterapkan di dalam mekanisme sistem politik Indonesia menurut UUD 1945, maka untuk menentukan kebijaksanaan umum serta menetapkan keputusan politik (produk-produk hukum) komponen Infra Struktur Politik berfungsi menyampaikan berbagai masukan (input) yang berwujud keinginan dan tuntutan masyarakat (social demand). Sedangkan Supra Struktur Politik, yakni lembaga-lembaga negara, khususnya yang menjalankan fungsi representasi rakyat berperan sebagai sarana untuk menampung input-input tersebut untuk diolah dan menjadi output yang berwujud keputusan-keputusan politik. Mekanisme semacam ini berjalan berdasarkan asas keseimbangan. Asas keseimbangan perlu diterapkan sebab apabila lebih menitik beratkan pada komponen Supra Struktur Politik dalam hal berprakarsa, maka sistem politik yang dijalankan lebih lei watak sistem politik otoritarian atau totalitarian. Sebaliknya jikalau prakarsa tersebut lebih dititik beratkan pada kepentingan-kepentingan Infra Struktur Politik, khususnya komponen Partai Politik, maka kepentingan masyarakat secara umum akan dinafikan, dan kepentingan Partai Politik yang akan ditonjolkan. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Asas keseimbangan seperti itu belum dilaksanakan dalam sistem politik. Di Era Orde Lama dan Orde Baru justru Supra Struktur Politik sangat mendominasi dalam setiap pengambilan keputusan politik. Bahkan di era Orde Lama yang mempergunakan terminologi Demokrasi Terpimpin, peran Presiden sebagai Panglima Besar revolusi dan Presiden seumur hidup begitu dominan, sampai-sampai dia mempunyai kewenangan untuk membubarkan MPR dan DPR hasil Pemilu 1955. Sedangkan di Era Orde Baru, paradigma supremasi eksekutif yang dianut oleh UUD 1945 sebelum amandemen, menjadikan Presiden layaknya sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Hal ini mengingat kedudukannya sebagai mandataris MPR sama halnya dengan bertindak sebagai mandataris dari organ pemegang kedaulatan rakyat. Kedudukan seperti ini jelas mengakibatkan Presiden tidak dapat diganggu gugat, mengingat yang namanya mandataris menurut Hukum Tata Negara tidak diwajibkan untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan kekuasaan yang telah dimandatkan itu. Berbeda dengan pengertian delegataris. Di era Orde Baru, Presiden menduduki posisi yang sangat kuat. Bahkan dengan posisi semacam itu berbagai keputusan politik (paraturan perundang-undangan) mampu dihasilkan tanpa persetujuan DPR. Kita bisa mengambil contoh dikeluarkannya berbagai Keputusan Presiden yang pada hakikatnya melanggar kinan munculnya dominasi negara dalam mengatasi berbagai persoalan kemasyarakatan. Bahkan tidak jarang negara meng-intervansi kepentingan-kepentingan

masyarakat dengan alasan untuk menciptakan kesejahteraan umum. Hal ini mengingat pelaksanaan demokrasi yang demikian ini lebih mementingkan moralitas etik daripada aspek prosedural yuridis. Fenomena sosial kehidupan masyarakat dalam lingkup keluarga dan Desa tidak mungkin semudah itu untuk dijadikah contoh dalam menggambarkan hakikat Demokrasi Pancasila. Dalam kehidupan keluarga dan Desa, peran pemimpin sengat dominan dalam menentukan berbagai keputusan dan kebijaksanaan. Sementara anggota keluarga dan komunitas lebih cenderung untuk menunggu secara pasrah keputusan-keputusan yang akan diambil sang pemimpin. Apalagi jikalau budaya politik kaula masih sangat menonjol dalam kehidupan masyarakat. Budaya politik ini merupakan warisan kolonial dan feodalistik jelas memberikan kontribusi yang sangat signifkan terhadap tidak kondusifnya kehidupan demokrasi dalam paham negara kekeluargaan tersebut. Sementara ini di dalam paham kehidupan politik suatu negara yang menganut paham demokrasi akan terjadi interaksi antara komponen Supra Struktur Politik dan Infra Struktur Politik. Interaksi tersebut berkaitan dengan pengambilan keputusan-keputusan politik maupun kebijaksanaan umum. Dalam khasanah Hukum Tata Negara, keputusan-keputusan politik tidak lain adalah produk-produk hukum yang berwujud berbagai peraturan perundang-undangan. Gambaran tersebut jika diterapkan di dalam mekanisme sistem politik Indonesia menurut UUD 1945, maka untuk menentukan kebijaksanaan umum serta menetapkan keputusan politik (produk-produk hukum) komponen Infra Struktur Politik berfungsi menyampaikan berbagai masukan (input) yang berwujud keinginan dan tuntutan masyarakat (social demand). Sedangkan Supra Struktur Politik, yakni lembaga-lembaga negara, khususnya yang menjalankan fungsi representasi rakyat berperan sebagai sarana untuk menampung input-input tersebut untuk diolah dan menjadi output yang berwujud keputusan-keputusan politik. Mekanisme semacam ini berjalan berdasarkan asas keseimbangan. Asas keseimbangan perlu diterapkan sebab apabila lebih menitik beratkan pada komponen Supra Struktur Politik dalam hal berprakarsa, maka sistem politik yang dijalankan lebih berwatak sistem politik otoritarian atau totalitarian. Sebaliknya jikalau prakarsa tersebut lebih dititik beratkan pada kepentingan-kepentingan Infra Struktur Politik, khususnya komponen Partai Politik, maka kepentingan masyarakat secara umum akan dinafikan, dan kepentingan Partai Politik yang akan ditonjolkan. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Asas keseimbangan seperti itu belum dilaksanakan dalam sistem politik. Di Era Orde Lama dan Orde Baru justru Supra Struktur Politik sangat mendominasi dalam setiap pengambilan keputusan politik. Bahkan di era Orde Lama yang mempergunakan terminologi Demokrasi Terpimpin, peran Presiden sebagai Panglima Besar revolusi dan Presiden seumur

hidup begitu dominan, sampai-sampai dia mempunyai kewenangan untuk membubarkan MPR dan DPR hasil Pemilu 1955. Sedangkan di Era Orde Baru, paradigma supremasi eksekutif yang dianut oleh UUD 1945 sebelum amandemen, menjadikan Presiden layaknya sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Hal ini mengingat kedudukannya sebagai mandataris MPR sama halnya dengan bertindak sebagai mandataris dari organ pemegang kedaulatan rakyat. Kedudukan seperti ini jelas mengakibatkan Presiden tidak dapat diganggu gugat, mengingat yang namanya mandataris menurut Hukum Tata Negara tidak diwajibkan untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan kekuasaan yang telah dimandatkan itu. Berbeda dengan pengertian delegataris. Di era Orde Baru, Presiden menduduki posisi yang sangat kuat. Bahkan dengan posisi semacam itu berbagai keputusan politik (paraturan perundang-undangan) mampu dihasilkan tanpa persetujuan DPR. Kita bisa mengambil contoh dikeluarkannya berbagai Keputusan Presiden yang pada hakikatnya melanggar Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tingakatannya. Misalnya Kepres-kepres tentang Pendirian Yayasan yang diberi wewenang untuk menarik sumbangan kepada masyarakat secara umum. Di era reformasi (menuju konsolidasi sistem demokrasi) pendulum yang mengarah kepada penguatan Supra Struktur Politik telah berubah arah secara absolut. Infra Struktur Politik - khususnya Partai Politik - mulai mendominasi dalam setiap pengambilan keputusan politik. Partai politik yang mempunyai perpanjangan tangan di Supra Struktur Politik yakni DPR melalui fraksi-fraksi yang ada di sana, lebih dominan dalam setiap pengambilan keputusan politik. Kondisi semacam inilah yang mengakibatkan munculnya penilaian bahwa di era konsolidasi sistem demokrasi (sering disebut era reformasi) kepentingan-kepentingan politik dari kelompok-kelompok politik menjadi dasar dalam setiap pengambilan keputusan politik. Bahkan Amandemen UUD 1945 pun disinyalir sarat dengan kepentingan kelompok Partai Politik yang kebetulan mendominasi di MPR. Dengan demikian, dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, rakyat sebagai The Driving Force sistem politik masih belum diberi peran yang cukup signifikan. Hal ini tentu harus segera diakhir. Caranya adalah dengan terus mengupayakan konsolidasi sistem demokrasi, yakni dengan melakukan pembenahan sistem ketatanegaraan Indonesia, dengan merevisi produk-produk hukum yang tidak mendukung implementasi paham demokrasi dan prinsip kedaulatan rakyat. Melalui Amandemen UUD 1945, arah untuk menuju konsolidasi sistem demokrasi mulai dibangun setahap demi setahap. Dalam hal penguatan demokrasi dan prinsip kedaulatan rakyat dapat digambarkan sebagai berikut: pertama, di dalam Pasal 16 A ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan

secara langsung oleh Rakyat. Ketentuan ini jelas menimbulkan perubahan mekanisme penentuan kepala pemerintahan. Sebelum amandemen Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR, maka setelah amandemen berubah menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat. Sehubungan dengan hal ini menurut Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ditegaskan, antara: a. Pasal 8: Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik. b. Pasal 9: Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. c. Pasal 10: (1) Penentuan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik bersangkutan. (2) Partai Politik dapat melakukan kesepakatan dengan Partai Politik lain untuk melakukan penggabungan dalam mengusulkan Pasangan Calon. (3) Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat mencalonkan 1 (satu) Pasangan Calon sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik dan/atau musyawarah Gabungan Partai Politik yang dilakukan secara demokratis dan terbuka. (4) Calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden yang telah diusulkan dalam satu pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh dicalonkan lagi oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik lainnya. Kedua; menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD ditegaskan: a. Pasal 7: Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Partai Politik. b. Pasal 11: Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. Dari desain sistem politik Indonesia setelah Amandemen UUD 1945 tersebut di atas, maka representasi rakyat mulai dikembangkan bahkan diperluas ke dalam 3 (tiga) pola implementasi kedaulatan rakyat, yaitu: 1. Kedaulatan Rakyat di bidang politik direpresentasikan melalui Dewan Perwakilan Rakyat. Mengapa demikian?

Karena dalam pemilihan anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat tersebut lebih menonjolkan peran dan kepentingan Partai Politik untuk mencalonkan wakilwakilnya. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa kepentingan politik rakyat di tingkat Infra Struktur Politik terpecah atau terbagi ke dalam berbagai Partai Politik yang ada. Hal ini sekaligus mengandung arti bahwa keberadaan Partai Politik merupakan sarana bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasi-aspirasi politik sesuai dengan visi, misi, dan platform dari masing-masing Partai politik. 2. Kedaulatan Rakyat dalam lingkup komunitas dan kepentingan kedaerahan diwujudkan melalui Dewan Perwakilan Daerah, karena representasi rakyat melalui Dewan Perwakilan Daerah lebih mengedepankan calon perseorangan yang dikenal dan kredibel oleh konstituen di luar calon-calon yang diajukan oleh Partai Politik. Dengan demikian, secara filosofis keberadaan Dewan Perwakilan Daerah lebih didorong oleh kepentingan mewarnai kebijakan pemerintahan nasional dengan memberikan ruang baru bagi kepentingan masyarakat daerah, dimana pengertian daerah ini bukanlah daerah per daerah, melainkan wilayah geokultural dalam bingkai kemajemukan.148 3. Kedaulatan rakyat di bidang pemerintahan diwujudkan dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Demokrasi yang secara harafiah diterjemahkan sebagai Pemerintahan oleh Rakyat jelas merupakan suatu konsep yang utopis. Rakyat tidak mungkin melaksanakan pemerintahan sendiri, karena jika hal tersebut terjadi maka fenomena anarkhi yang akan mewarnai kehidupan politik ketatanegaraan. Oleh sebab itu, rakyat menyerahkan pemerintahan itu kepada orang-orang atau tokoh politik yang dipercaya mampu men-terjemahkan kemauan dan kehendak rakyat, dengan cara memilih secara langsung figur-figur calon Presiden dan Wakil Presiden yang ditawarkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik sesuai dengan persyaratan yang diatur dalam UU No. 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Berdasarkan gambaran singkat tentang sistem politik ketatanegaraan Indonesia setelah Amandemen UUD 1945 tersebut di atas, maka menimbulkan konsekuensi sebagai berikut: a. Dijumpai adanya ketegasan akan sistem ketatanegaraan Indonesia yang selama sejarah ketatanegaraan Indonesia masih dirasakan membingungkan, antara sistem Presidensiil ataukah sistem Parlementer. Ketegasan ini nampak dari adanya dua mekanisme pemilihan umum, yakni Pemilihan Umum untuk

Parlemen dan pemilihan Umum untuk Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Pola semacam ini sama dengan yang diberlakukan di sistem Presidensiil Amerika Serikat. b. Dengan adanya mekanisme sistem politik ketatanegaraan tersebut memberikan penegasan sistem keparlemenan dalam sistem ketatanegaraan, yakni Parlemen di Indonesia menganut soft bicameralism. Sistem semacam ini belum pernah ditegaskan oleh UUD 1945 sebelum amandemen. c. Dengan pengembangan pola representasi prinsip kedaulatan rakyat menjadi 3 (tiga) pola membuka wawasan baru bagi penegasan hak-hak politik rakyat yang tidak deskriminatif. Artinya warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih dan memilih anggota Parlemen (DPR atau DPD), karena tidak ada satupun anggota Parlemen yang berasal dari pengangkatan. d. Dengan ditegaskannya sistem Pemilu untuk memilih anggota DPR yang mempergunakan sistem proporsional terbuka dan untuk memilih anggota DPD dengan sistem distrik berwakil banyak/49 maka kedekatan antara wakil rakyat dengan konstituennya (rakyat) semakin dipererat. Sistem ini jelas akan memberikan ruang yang lebih luas bagi rakyat untuk mengontrol wakil-wakilnya di parlemen. e. Dengan adanya penegasan sistem ketatanegaraan Indonesia tersebut, maka energi yang selama ini terkuras sebagai akibat adanya konflik kelembagaan antara eksekutif dan legislatif akan terkurangi. Lebih-lebih dalam hal mekanisme penyelesaian konflik tersebut telah disediakan perangkat kelembagaan negara melalui Mahkamah Konstitusi. Demikianlah gambaran singkat mengenai sistem politik ketatanegaraan Indonesia setelah Amandemen UUD 1945. Sistem semacam ini masing mungkin mengalami perubahan, sebab bagaimanapun juga sistem politik suatu negara akan selalu dipengaruhi oleh hal-hal lain di luar sistem politik itu sendiri. Konsolidasi sistem demokrasi akan terus berlanjut dan masih banyak peluang untuk melakukan pembenahan sejalan dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat.

149 Pasal 5 ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Bab VI PEMILIHAN UMUM DAN PARTAI POLITIK


Menurut paham negara demokrasi modern (Partai <PoRti, <PemiRhan Vmum dan (Badan <Perwaki(an (Rakyat merupakan tiga institsiyang tidak^dapat dipisahkan satu dengan yang Cain. Setiap (Partai (PoCitik^akan seCaCu berusaha untukjnemperoteh dukungan rakyat yang besar pada saat pemilihan umum agar (Badan <Perwakitan (Rakyat di dominasi oleh (Partai tPotitikjyang bersangkutan

A. Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi Melalui Reformasi Pemilu.


Pelaksanaan prinsip demokrasi dalam negara modern sudah tidak mungkin lagi dilaksanakan dengan mempergunakan demokrasi langsung. Banyak kendala yang dihadapi, jikalau demokrasi langsung itu akan dilaksanakan. Oleh sebab itu, dewasa ini pelaksanaan prinsip demokrasi dalam negara dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang duduk sebagai anggota Badan Perwakilan Rakyat. Disadari ataupun tidak, sebenarnya dengan pemilihan umum (Pemilu) rakyat memang sudah dibatasi dalam hal menentukan pilihannya. Pada umumnya mereka memilih antara calon-calon yang tidak diajukan mereka sendiri. Organisasi Partai Politik menguasai bagian yang terbesar dari seleksi calon-calon tersebut. Partai politik hanya memberikan kepada rakyat pemutusan antara calon-calon dan calon Partai politik lainnya. Kandidat yang merdeka sangat dipersukar dan sekurang-kurangnya ia membaurkan persoalan. Bahkan untuk seleksi calon-calon yang dilakukan oleh Partai Politik pada umumnya jauh dari proses demokrasi. Pertimbangan-pertimbangan seperti jasa yang telah diberikan dalam hal keuangan, gengsi yang melekat pada golongangolongan keluarga, kesediaan calon untuk mentaati perintahperintah Partai Politik dan keinginan-keinginan pimpinan inti Partai Politik yang mengendalikan Partai politik, sangat mempengaruhi dalam hal seleksi calon-calon yang dilakukan tersebut.150 Memperhatkan realitas politik seperti ini, maka dalam rangka konsolidasi sistem demokrasi pasca reformasi pembenahan terhadap sistem pemilu merupakan sebuah keniscayaan. Dalam kaitan dengan hal ini, maka materi muatan yang harus diperhaikan di dalam peraturan perundang-undangan tentang Pemilu, paling tidak harus memuat 3 (tiga) persoalan pokok, yaitu: 1. Pembenahan dan redefinisi asas Pemilu. 2. Sistem Pemilu yang dipergunakan.

3. Lembaga (badan) pengelola mekanisme pelaksanaan Pemilu. Dengan adanya pembenahan terhadap ketiga persoalan tersebut di atas, diharapkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemilu dapat mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi, misalnya pengingkaran prinsip demokrasi yang pada akhirnya justru akan menodai semangat reformasi dan konsolidasi sistem demokrasi. 1, Pembenahan dan Redefinisi Asas Pemilu. Secara teoritis Pemilu dianggap merupakan tahap paling awal dari berbagai rangkaian kehidupan ketatanegaraan yang demokratis. Pemilu merupakan motor penggerak mekanisme sistem politik demokrasi. Dalam konteks negara Indonesia, dengan Pemilu itulah pengisian badan-badan atau organ150 Mac Iver, dalam Bintan R. Saragih, 1988, Lembaga Perwakilan dan pemilihan Umum di Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta, him. 168-169. organ negara dimulai. Entah itu organ negara yang melaksanakan kedaulatan rakyat seperti MPR, DPR dan DPD, ataupun organ negara yang melaksanakan pemerintahan, yakni Presiden dan Wakil Presiden beserta kabinetnya. Sehubungan dengan hal ini Reinholf Zippelius mengemukakan bahwa Pemilihan Umum harus secara efektif menentukan siapa-siapa yang memimpin negara dan arah kebijaksanaan apa yang mereka ambil, serta bahwa dalam demokrasi pendapat umum memainkan peranan penting.151 Sementara itu bagi Partai Politik tujuan Pemilu adalah untuk memperoleh dukungan sebanyak mungkin suara rakyat sehingga diharapkan dapat merebut atau mempertahankan kedudukannya dalam sistem pemerintahan negara secara konsitusional. Sedangkan bagi warga negara (rakyat) sendiri tujuan Pemilu di samping memilih wakil-wakil yang akan duduk di Parlemen maupun yang akan memimpin negara, juga dipergunakan sebagai sarana untuk melakukan evaluasi terhadap kebijaksanaan yang dilakukan oleh negara dalam melaksanakan kehendak rakyat dalam kurun waktu tertentu. Dengan pemilu itulah membuat negara selalu didesak untuk mempertanggungjawabkan kebijakan-kebijakan kepada masyarakat. Negara dibuat menjadi accountable terhadap rakyat.152 Selama pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, setiap penyelenggaraan Pemilu selalu disinyalir adanya berbagai pelanggaran, baik itu pada tahap awal (pendaftaran pemilih) maupun tahap pelaksanaan sampai dengan penghitungan suara. Sekedar untuk memberikan gambaran terhadap berbagai pelanggaran tersebut, di bawah ini disajikan data-data pelanggaran ketika 151Reinholf Zippelius, dalam Franz Magnis Suseno, 2000, Mencari Sosok Demokrasi Sebuah Telaah Filosofis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, him. 57. 152Arief Budiman, 1996, Teori Negara (Negara, Kekuasaan

dilangsungkan Pemilu tahun 1992.

230 Jenis Pelanggaran Pelanggaran hak kampanye 1. Larangan Pemasangan tanda gambar 2. Larangan menghadiri kampanye Partai Politik 3. Larangan terhadap kampanye Partai Politik mtimidasi dan kekerasan terhadap warga Partai Politik 1. Kekerasan terhadap anggota dan simpatisan Partai Politik 2. Intimidasi terhadap anggota dan simpatisan Partai Politik 3. Penahanan terhadap anggota dan simpatisan Partai Politik Intimidasi untuk memilih GOLKAR Pelanggaran terhadap saksi Partai Politik 1. Penolakan terhadap saksi Partai Politik 2. Intimidasi terhadap saksi Partai Politik 3. Kekerasan terhadap saksi Partai Politik 4. Penahanan terhadap saksi Partai Politik 5. Penyuapan terhadap saksi Partai Politik Pelanggaran dalam pemungutan suara dan perhitungan suara 1. Tidak diberi kartu tanda pemilih 2. Kecurangan penghitungan suara 3. Pencoblosan secara tidak legal Lain-lain 1. Pemerasan untuk dana kampanye GOLKAR 2. Rencana rekayasa hasil Pemilu 3. Pemerasan terhadap simpatisan Partai Politik 4. Penahanan terhadap simpatisan Partai Politik Jumlah 30 12 10 Total 52

18 15 5

38

101 425 26 12 7 2

101 472

17 146 60 9 3 1 1

223

14

Sumber: Alexander Irwan dan Edriana, 1995, Pemilu Pelanggaran Asas Luber, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, him. 22 Data tersebut semakin meningkat pada waktu persiapan dan pelaksanaan Pemilu tahun 1997 (satu tahun menjelang gerakan reformasi 1998). Pelanggaran-pelanggaran prinsip demokrasi yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru menjelang Pemilu tahun 1997 semakin menjadi-jadi, ketika Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hasil Munas di bawah kepemimpinan Megawati Soekarno Putri diluluh lantakkan oleh alat-alat represif Orde Baru dengan cara membentuk PDI Tandingan (hasil Kongres di Medan) pada bulan Juni 1996 yang menurut Pemerintah Orde Baru dianggap konstitusional. Akibat kesemuanya itu meletuslah peristiwa pada tanggal 27 Juli 1996 dimana massa pendukung dari PDI di bawah kepemimpinan Suryadi menyerang secara membabi buta Kantor Pusat PDI di Jakarta. Jika kita cermati data-data tersebut di atas, maka dapat disimpulkan adanya 3 (tiga) penyebab utama terjadinya pelanggaran-pelanggaran Pemilu tersebut, yaitu: 1. Sistem Pemilu yang tidak mengakomodasi secara optimal prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat; 2. Implementasi Asas Pemilu yang tidak konsisten; dan 3. Pengawasan atas jalannya Pemilu serta penerapan sanksi yang tidak berjalan secara efektif. Secara konseptual, penyebab dari adanya pelanggaran-pelanggaran tersebut sebenarnya juga bermuara dari adanya ketidak cocokan antara pelaksanaan pemilu di satu pihak dengan konsep negara hukum yang berkedaulatan di pihak yang lain. Konsep negara hukum yang berkedaulatan rakyat pada intinya mengandung dua dimensi, yaitu: a. Dimensi kedaulatan hukum yang mengendaki seluruh aktifitas kehidupan ketatanegaraan harus tunduk pada hukum. Hukum harus menjadi landasan bagi setiap sikap tindak negara (asas legalitas). Hukum membawahkan negara. b. Dimensi kedaulatan Rakyat yang menghendaki rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi di dalam negara dan menentukan aturan main melalui perangkat-perangkat hukum yang ada. Dengan demikian wewenang untuk menentukan aturan main dalam kehidupan bernegara termasuk dalam hal Pemilu terletak di tangan rakyat, karena merekalah yang memiliki kedaulatan untuk memilih wakil-wakil yang akan merepresentasikan aspirasi-aspirasi rakyat. Namun kenyataan menunjukkan bahwa Pemilu

sepanjang Orde baru diselenggarakan oleh Presiden/Mandataris MPR, dengan mekanisme sistem pelaksanaannya dijabarkan melalui Undang-Undang yang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR.153 Hal ini berarti inisiatif untuk membentuk aturan main Pemilu melalui Undang-Undang justru ada pada pemerintah dalam hal ini Presiden, sedang DPR hanya memberikan stempel persetujuan saja. Pola pengaturan semacam ini secara konseptual menolak prinsip negara hukum yang berkedaulatan rakyat. Pemerintah merupakan lembaga yang mengatur dan menyelenggarakan Pemilu. Terlebih lagi pelaksanaan UU Pemilu diserahkan pengaturannya lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah yang notabene dibentuk dan dikeluarkan oleh eksekutif tanpa persetujuan DPR. Padahal dalam teori politik dan teori Hukum Tata Negara terbentuknya rezim (pemegang kekuasaan) pada umumnya melalui proses pemilu, kecuali rezim yang otoriter diktatorik. Dengan demikian di samping sebagai penyelenggara kegiatan Pemilu, Pemerintah sekaligus sebagai pihak yang ikut serta dalam Pemilu melalui kekuatan sosial politiknya, yakni GOLKAR. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan apabila dalam setiap penyelenggaraan Pemilu pada zaman Orde baru ada interest tertentu untuk memenangkan GOLKAR dengan berbagai cara, termasuk melakukan rekayasa pengaturan tentang Pemilu. Adnan Buyung Nasution mengemukakan adanya tiga tema dari pengamatan mengenai penyelenggaraan Pemilu selama Orde Baru, yaitu: 1. Dalam setiap penyelenggaraan Pemilu mulai dari tahap persiapan sampai penentuan hasilnya sangat jelas peranan dominan birokrasi; 2. Persoalan jumlah anggota MPR/DPR yang dipilih dan diangkat, yakni hanya 75% yang dipilih, itupun melalui seleksi birokrasi yang amat ketat; 153 Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum Amandemen. 3. Kualifikasi calon yang berkailan dengan sistem representatif proporsional memustahilkan masyarakat pemilih memutuskan pilihan atas pertimbangan tentang kualitas calon, sementara calon sendiri diseleksi melalui rekrutmen politik yang kurang transparan.154 Dari sinilah muncul permasalahan, apakah model pembentukan aturan main seperti tersebut di atas dapat menjamin pelaksanaan Pemilu yang demokratis? Dalam arti rakyat dapat memberikan suaranya dengan lebih leluasa, san cerdas sesuai dengan asas Luber dan Jurdil.

Undang-undang Pemilu yang terakhir digunakan pada zaman Orde Baru adalah UU No. 1 Tahun 1985. di dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa Pemilu adalah sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketentuan ini jelas menunjukkan bahwa kekuasaan tertinggi di dalam NKRI ada di tangan rakyat dan di-manifestasikan dalam bentuk Pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di Lembaga Perwakilan Rakyat. Pemilu semata-mata bukan hanya bertujuan untuk melaksanakan demokratisasi pemerintahan, melainkan yang terpenting adalah sarana untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat. Konsepsi semacam ini penting untuk dipahami, sebab sistem politik demokratis yang sebenarnya adalah sistem yang di dasarkan pada perimbangan kekuatan politik nyata (bukan sekedar legalitas formal) antara pemerintah dan masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh Arief Budiman.155 Pada saat Pemilu dijadikan sebagai pencerminan prinsip kedaulatan rakyat, maka mulai saat itulah rakyat diberi kebebasan dalam memilih serta menentukan calon-calon wakil yang tergabung dalam Partai Politik. Pasal 1 ayat (2) Piagam tentang Pernyataan HAM sedunia menyatakan bahwa 154Adnan Buyung Nasution, dalam Alexander Irwan dan Edriana, 1995, Pemilu Pelanggaran Asas Luber, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, him. Vii. 155Arief Budiman, Op.cit, him. 40. kehendak rakyat

ialah dasar kekuasaan pemerintah; kehendak itu akan dilahirkan dalam pemilihan-pemilihan berkala dan jujur yang dilakukan dalam Pemilihan Umum dan berkesamaan atas pengaturan suara yang rahasia dengan cara pemungutan suara yang bebas dan yang sederajad dengan itu. Dengan demikian, kebebasan, kejujuran, rahasia dan berkesamaan merupakan prinsip yang esensial dalam penyelenggaraan pemilu. Masih terkait dengan UU Pemilu di masa Orde Baru. Pasal 1 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1985 menegaskan bahwa pemilu diselenggarakan dengan mengadakan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Guna menuju konsolidasi sistem demokrasi pasca reformasi, ketentuan pasal semacam ini jelas tidak lengkap, mengingat asas jujur dan adil (kesamaan dalam perlakuan) belum terakomodasi dalam ketentuan tersebut. Secara prinsipiil antara asas LUBER dan JURDIL mengandung makna yang berbeda. Pasal 1 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1985 dapat ditafsirkan bahwa asas LUBER hanya dipergunakan pada saat diadakan pemungutan suara. Sementara asas yang dipergunakan dalam seluruh rangkaian proses penyelenggaraan Pemilu, dari pendaftaran pemilih sampai dengan penghitungan suara, bahkan penentuan wakilwakil rakyat secara definitif, belum terangkum dalam ketentuan UU tersebut. Di sinilah asas JURDIL mutlak

diperlukan untuk merangkum seluruh rangkaian proses penyelenggaraan pemilu. Jujur mengandung maksud tidak boleh terjadi kecurangankecurangan dalam Pemilu, baik oleh penyelenggara dengan cara memanipulasi suara untuk kepentingan partai tertentu, ataupun menghalang-halangi warga negara yang memberikan suara dan yang senada dengan itu. Di lain pihak jujur juga berkaitan dengan perilaku Partai Politik, khususnya dalam mempropagandakan berbagai program lewat janji-janji politik pada saat kampanye. Ini semua diperlukan agar rakyat dapat mempergunakan hak pilihnya dengan dilandasi sikap kritis. Sehingga mereka mampu menilai dan kemudian memilih partai politik mana yang cocok untuk dipakai sebagai sarana penyalur aspirasi. Adil maksudnya adalah kesamaan dalam perlakuan. Partai politik peserta pemilu haruslah memperoleh perlakuan yang sama. Jika salah satu partai politik melakukan kampanye premature, dengan perbagai alasan pembenarnya, tentu Partaipartai politik lainnya juga diperkenankan untuk itu. Pencekalan terhadap kegiatan yang dilakukan Partai politik tertentu merupakan salah satu bentuk pelanggaran asas Adil ini. Pasal 23 ayat (2) UU No. 1 tahun 1985 menegaskan bahwa tata cara pelaksanaan penetapan hasil pemilu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Lebih lanjut Pasal 24 UU yang sama menyatakan bahwa pengumuman hasil pemilihan bagi DPR. DPRD I, dan DPRD II dan pemberitahuan kepada terpilih dilakukan oleh Lembaga Pemilihan Umum dengan tata cara diatur dengan Peraturan Pemerintah. Kedua ketentuan tersebut memberikan sinyal betapa kuatnya intervensi Pemerintah di zaman Orde Baru itu dalam setiap langkah penyelenggaraan pemilu. Hal ini menandakan bahwa asas JURDIL sama sekali tidak diperhatikan dalam proses penyelenggaraan pemilu. Dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah tersebut, maka pelanggaranpelanggaran asas JURDIL justru dilakukan oleh Pemerintah dengan melakukan berbagai manipulasi yang dibungkus lewat Peraturan Pemerintah tersebut. Sebenarnya dalam UU No. 1 Tahun 1985 tersebut sanksi atas pelanggaran terhadap asas JURDIL sudah diatur dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 29. akan tetapi sayang dalam setiap kegiatan Pemilu (3 kali mempergunakan UU ini), ketentuan pidana sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal tersebut tidak pernah dilaksanakan secara konsekuen. Bahkan kalau pun dilaksanakan hanya bersifat administratif. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh GOLKAR (mesin politik Orde Baru) dibiarkan begitu saja, sementara pelanggaran yang dilakukan oleh Partai Politik (PDI dan PPP) dengan segera diproses dengan berbagai alasan pembenar. Lagi-lagi rezim Orde Baru telah mengingkari prinsip demokrasi yang menghendaki adanya fair play dalam setiap aktifitas politik.

Sistem Pemilu: Antara Distrik dan Proporsional.

Berdebatan mengenai sistem Pemilu muncul di era Orde Baru, ketika Presiden Soeharto menugaskan kepada LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) untuk melakukan penelitian dan kajian tentang sistem pemilu yang paling tepat diterapkan di Indonesia. Apakah sistem distrik ataukah sistem Proporsional. Keinginan Presiden Soehartio pada saat itu merupakan sebuah kejutan bagi dunia politik di Indonesia, karena selama ini dengan mempergunakan sistem proporsional mesin politik Presiden Soeharto yakni GOLKAR selalu menduduki single majority di parlemen. Selama pemerintahan Orde Baru, sistem Pemilu yang dipergunakan adalah sistem proporsional (perwakilan berimbang) dengan stelsel daftar. Persoalannya adalah, mengapa sistem ini selalu dipergunakan, sedangkan data empiris menunjukkan bahwa sistem ini banyak kelemahannya. Kalau memang tetap dipertahankan bagaimanakah solusinya agar kelemahan dari sistem ini dapat diperkecil? Hampir sebagian besar para ahli Hukum Tata Negara memberikan pandangan kritis mengenai kelemahankelemahan sistem proporsional. Salah satu kelemahan yang paling menonjol dalam mempergunakan sistem ini adalah hubungan antara si terpilih (anggota Lembaga Perwakilan Rakyat) dengan si pemilih menjadi jauh. Setelah calon menjadi anggota Lembaga Perwakilan Rakyat, maka saat itulah hubungan politik dengan para konstituennya menjadi lepas. Sebaliknya hubungan antara para anggota Lembaga Perwakilan Rakyat dengan induk organisasi Partai Politik melalui fraksi-fraksi yang ada di Lembaga perwakilan Rakyat semakin diperkuat dan mesra. Lembaga perwakilan Rakyat berubah watak menjadi Lembaga Perwakilan Partai Politik. Berdasarkan kelemahan ini, maka para ahli Hukum Tata Negara menyarankan agar sistem Pemilu diubah ke sistem distrik. Menurut hemat penulis, perubahan ke sistem distrik tetap tidak akan mengubah keadaan, selama Pemilu dilaksanakan dengan mencoblos al.m memilih tanda gambar Partai Politik, serta apabila hubungan antara organisasi induk Partai Politik dengan si terpilih (anggota Lembaga perwakilan Rakyat) tetap seperti semula. Organisasi induk Partai Politik bertindak layaknya atasan bagi anggota Lembaga Perwakilan Rakyat. Hak untuk melakukan recalling masih tetap ada di tangan Partai Politik melalui alat-alat perpanjangan tangan di parlemen yang berwujud Fraksi. Dengan demikian alternatif yang mungkin dapat dipergunakan adalah tetap mempergunakan sistem proporsional dengan stalsel daftar, akan tetapi para pemilih di samping memilih tanda gambar, mereka juga diberi kesempatan untuk memilih nama-nama calon legislatif (caleg) yang berada di bawah tanda gambar tersebut. Dengan kata lain, di samping pemilih mencoblos atau memilih tanda gambar, mereka juga mencoblos/menusuk/memberi tanda kepada nama caleg yang dikehendaki dari partai politik

pilihannya. Dengan cara seperti ini pemilih menghendaki agar nama tersebut menjadi anggota Lembaga Perwakilan Rakyat. Sistem seperti ini memungkinkan caleg yang populer dan berkualitas dalam satu Partai Politik Peserta Pemilu tertentu dapat terpilih walaupun oleh organisasi induk Partai Politiknya ditempatkan dalam urusan daftar calon terbawah (nomor besar). Kendatipun demikian, sistem ini juga mengandung kelemahan, khususnya menyangkut perhitungan suara pada gambar dan nama caleg. Kelemahan ini di dunia teknologi informasi tentu dapat diperkecil. 3. Lembaga/Badan Pengelola Mekanisme Pelaksanaan Pemilu. Sistem politik yang demokratis akan selalu berhimpitan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Hal ini berarti rakyat rakyat paling sedikit sama kuat atau lebih kuat daripada pemerintah.156 Konsepsi yang demikian ini harus tercermin dalam seluruh rangkaian kegiatan Pemilu, baik dari aspek pengaturan (regulasi melalui undang-undang, maupun aspek 156 Arief Budiman, Ibid. pelaksanaan di lapangan.

Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa selama Orde Baru konsep semacam ini sudah disimpangi. Dari aspek pengaturan atau regulasi nampak bahwa peran dari Dewan Perwakilan Rakyat tetap menduduki posisi subordinasi dari Pemerintah. Hal ini nampak jelas dari inisiatif dari pengajuan Rancangan Undang-undang tentang Pemilu menggambarkan bahwa DPR hanya menunggu inisiatif dari Pemerintah. DPR hanya berfungsi sebagai tukang stampel dalam merumuskan undang-undang. Kita juga bisa melihat bahwa dalam seluruh mekanisme penyelenggaraan Pemilu di masa Orde Baru, peran Pemerintah sangat dominan. Hampir setiap tahapan Pemilu selalu diatur dengan Peraturan Pemerintah. Oleh sebab itu untuk menuju konsolidasi sistem demokrasi melalui reformasi Pemilu tentunya perlu pembenahanpembenahan sebagai berikut: a. Sikap DPR yang serba menunggu harus segera dihilangkan, mengingat yang paling membutuhkan dan sekaligus mempergunakan Undang-Undang Tentang Pemilu tidak lain adalah Lembaga Perwakilan Rakyat itu sendiri. Cara tersebut dapat ditempuh dengan mengoptimalkan hak inisiatif DPR dalam mengajukan RUU Pemilu dengan membentuk Tim di DPR untuk melakukan kajian dan pengumpulan informasi dalam rangka menyusun Rancangan Undang-Undang Tentang Pemilu.

b. Pelaksanaan seluruh tahapan Pemilu yang masih didominasi oleh Pemerintah harus segera diakhiri. Cara yang dapat ditempuh adalah: 1. meminimalkan pendelegasian lebih lanjut ketentuan di dalam UU Pemilu ke dalam Peraturan Pemerintah. Kalau toh masih dibutuhkan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan-ketentuan dalam UU Pemilu, DPR harus dilibatkan dalam penyusunan Peraturan pemerintah yang dimaksud. 2. Harus dibentuk suatu lembaga yang independen untuk melaksanakan seluruh rangkaian proses Pemilu. Lembaga ini tidak melibatkan unsur pemerintah dan Partai Politik, agar dalam pelaksanaan Pemilu dapat lebih jujur dan adil. Lembaga yang dimaksud di sini termasuk juga Lembaga Pemantau Pemilu. 3. Membuka jaringan informasi yang dapat diakses oleh siapa saja, sehingga proses persiapan dan pelaksanaan Pemilu dapat diikuti oleh setiap orang. Lembaga yang membuka jaringan informasi itu tidak lain adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilu itu sendiri. Demikianlah beberapa catatan kritis mengenai pelaksanaan pemilu selama Orde Baru. Dalam rangka menuju konsolidasi sistem demokrasi, lembaga yang diberi wewenang untuk melaksanakan seluruh rangkaian proses pemilu telah dilakukan pembenahan yang sangat signifikan. Lembaga tersebut adalah KPU (Komisi Pemilihan Umum).

B. Pemilu dan Rekrutmen Kepemimpinan Nasional.


Salah satu fungsi utama Pemilu dalam negara demokratis tidak lain adalah menentukan kepemimpinan nasional secara konstutusional. Kepemimpinan yang dimaksud disini menyangkut juga kepemimpinan kolektif yang direfleksikan dalam diri para wakil rakyat. Oleh sebab itu dalam bentuk dan jenis sistem pemerintahan apapun, Pemilu menduduki posisi yang sangat strategis dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut. Dalam sistem presidensiil murni, pada umumnya Pemilu diselenggarakan sebanyak dua kali, yaitu untuk menentukan wakil rakyat yang akan duduk di parlemen dan untuk menentukan presiden (Kepala pemerintahan) dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan. Di dalam sistem parlementer, Pemilu pada prinsipnya hanya dilaksanakan satu kali, yakni utamanya untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di Parlemen. Dari pembentukan parlemen inilah kemudian dibentuk kepala pemerintahan. Penentuan kepala pemerintahan ini bisanya sangat dipengaruhi oleh komposisi perolehan suara Partai Politik peserta Pemilu. Bagi Partai Politik yang menduduki kursi mayoritas, maka diberi kesempatan pertama untuk menentukan komposisi Pemerintahan Negara. Sedangkan

jikalau ternyata dalam pemilu tidak ada satupun Partai Politik yang menduduki kursi mayoritas, maka penentuan komposisi Pemerintahan Negara dilakukan dengan cara koalisi, yakni bergabungnya dua Partai Politik atau lebih untuk memperkuat suara di Parlemen. Dengan demikian dalam konteks sistem parlementer, maka korelasi antara Pemilu dengan Pemilihan Kepala Pemerintahan sifatnya tidak langsung, berbeda dengan yang terjadi di sistem presidensiil. Sehubungan dengan hal ini menurut Henry B. Mayo dengan adanya Pemilihan umum maka salah satu nilai demokrasi dapat terwujud, artinya terjadinya perpindahan kekuasaan negara dari pemegang yang lama kepada pemegang yang baru secara damai.157 Di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pasca sidang umum (SU) MPR tahun 1999, kelaziman dalam sistem presidensiil di tolak, namun tidak berarti sistem ketatanegaraan dianggap menganut sistem parlementer. Karena pemilihan Presiden dan wakil presiden masih tetap menjadi wewenang dari MPR. Oleh sebab itulah hasil Pemilu 1999 tidak dapat dipergunakan sebagai ukuran untuk menentukan secara langsung jabatan Kepala Pemerintahan. Konstitusional kasus semacam inilahyangmengakibatkanMegawati harus berlapang dada untuk memberikan kesempatan kepada Abdurrahman Wahid menjadi presiden, walaupun dalam pemilu 1999 Partai Politik yang dipimpin oleh Megawati memperoleh suara di Parlemen (MPR) lebih kurang 36%, sedangkan Abdurrahman Wahid justru tokoh politik yang masuk menjadi anggota MPR dari 157 Henry B. Mayo, dalam Miriam Budiarjo, 1986, DasarDasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, him. 61. utusan golongan yang tentu saja tidak ikut dalam Pemilu 1999. Hal ini berarti antara Pemilu dengan Pemilihan Presiden tidak merupakan satu tarikan nafas dalam penentuan rezim. Dari gambaran tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk melaksanakan Pemilu guna menentukan seseorang menjadi pejabat negara (Presiden dan Wakil Presiden dapat ditempuh melalui dua alternatif, yaitu: 1. Pemilihan secara langsung, artinya para pemilih melakukan pemilihan orang atau kontestan (peserta) yang disukai; dan 2. Pemilihan secara bertingkat (tidak langsung), yaitu para pemilih melakukan pemilihan orang-orang untuk menjadi anggota suatu lembaga kenegaraan yang mempunyai wewenang untuk memilih orang yang akan menjadi pejabat negara tersebut. Contoh cara seperti ini adalah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang dilakukan oleh MPR sebelum Amandemen UUD 1945. Pada umumnya anggota Partai Politik dapat duduk di Lembaga Perwakilan rakyat melalui Pemilu, akan tetapi karena ada kelompok-kelompok fungsional yang hidup dan

berkembang di dalam suatu masyarakat serta dibutuhkan keterwakilannya di dalam Lembaga Perwakilan Rakyat, maka dikenal pula adanya cara pengangkatan maupun penunjukan. Namun demikian dalam negara yang manganut prinsip demokrasi, tentunya keberadaan anggota Lembaga Perwakilan Rakyat yang berasal dari Pemilu komposisinya harus lebih banyak daripada anggota yang berasal dari pengangkatan atau penunjukan. Sehubungan dengan pola pengisian keanggotaan Lembaga Perwakilan Rakyat tersebut, maka mekanisme untuk menentukan anggota-anggota di Lembaga Perwakilan Rakyat dalam digolongkan ke dalam dua sistem, yaitu:158 1. Sistem pemilihan Organis, yakni mengisi keanggotaan Lembaga Perwakilan Rakyat melalui pengangkatan atau 158 Wolhoff, dalam Bintan R. Saragih, 1988, LembagaLembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta, him. 171 dst. pe-

Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa selama Orde Baru konsep semacam ini sudah disimpangi. Dari aspek pengaturan atau regulasi nampak bahwa peran dari Dewan Perwakilan Rakyat tetap menduduki posisi subordinasi dari Pemerintah. Hal ini nampak jelas dari inisiatif dari pengajuan Rancangan Undang-undang tentang Pemilu menggambarkan bahwa DPR hanya menunggu inisiatif dari Pemerintah. DPR hanya berfungsi sebagai tukang stampel dalam merumuskan undang-undang. Kita juga bisa melihat bahwa dalam seluruh mekanisme penyelenggaraan Pemilu di masa Orde Baru, peran Pemerintah sangat dominan. Hampir setiap tahapan Pemilu selalu diatur dengan Peraturan Pemerintah. Oleh sebab itu untuk menuju konsolidasi sistem demokrasi melalui reformasi Pemilu tentunya perlu pembenahanpembenahan sebagai berikut: a. Sikap DPR yang serba menunggu harus segera dihilangkan, mengingat yang paling membutuhkan dan sekaligus mempergunakan Undang-Undang Tentang Pemilu tidak lain adalah Lembaga Perwakilan Rakyat itu sendiri. Cara tersebut dapat ditempuh dengan mengoptimalkan hak inisiatif DPR dalam mengajukan RUU Pemilu dengan membentuk Tim di DPR untuk melakukan kajian dan pengumpulan informasi dalam rangka menyusun Rancangan Undang-Undang Tentang Pemilu. b. Pelaksanaan seluruh tahapan Pemilu yang masih didominasi

oleh Pemerintah harus segera diakhiri. Cara yang dapat ditempuh adalah: 1. meminimalkan pendelegasian lebih lanjut ketentuan di dalam UU Pemilu ke dalam Peraturan Pemerintah. Kalau toh masih dibutuhkan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan-ketentuan dalam UU Pemilu, DPR harus dilibatkan dalam penyusunan Peraturan pemerintah yang dimaksud. 2 . Harus dibentuk suatu lembaga yang independen untuk melaksanakan seluruh rangkaian proses Pemilu. Lembaga ini tidak melibatkan unsur pemerintah dan Partai Politik, agar dalam pelaksanaan Pemilu dapat lebih jujur dan adil. Lembaga yang dimaksud di sini termasuk juga Lembaga Pemantau Pemilu. 3. Membuka jaringan informasi yang dapat diakses oleh siapa saja, sehingga proses persiapan dan pelaksanaan Pemilu dapat diikuti oleh setiap orang. Lembaga yang membuka jaringan informasi itu tidak lain adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilu itu sendiri. Demikianlah beberapa catatan kritis mengenai pelaksanaan pemilu selama Orde Baru. Dalam rangka menuju konsolidasi sistem demokrasi, lembaga yang diberi wewenang untuk melaksanakan seluruh rangkaian proses pemilu telah dilakukan pembenahan yang sangat signifikan. Lembaga tersebut adalah KPU (Komisi Pemilihan Umum).

B. Pemilu dan Rekrutmen Kepemimpinan Nasional.


Salah satu fungsi utama Pemilu dalam negara demokratis tidak lain adalah menentukan kepemimpinan nasional secara konstutusional. Kepemimpinan yang dimaksud disini menyangkut juga kepemimpinan kolektif yang direfleksikan dalam diri para wakil rakyat. Oleh sebab itu dalam bentuk dan jenis sistem pemerintahan apapun, Pemilu menduduki posisi yang sangat strategis dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut. Dalam sistem presidensiil murni, pada umumnya Pemilu diselenggarakan sebanyak dua kali, yaitu untuk menentukan wakil rakyat yang akan duduk di parlemen dan untuk menentukan presiden (Kepala pemerintahan) dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan. Di dalam sistem parlementer, Pemilu pada prinsipnya hanya dilaksanakan satu kali, yakni utamanya untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di Parlemen. Dari pembentukan parlemen inilah kemudian dibentuk kepala pemerintahan. Penentuan kepala pemerintahan ini bisanya sangat dipengaruhi oleh komposisi perolehan suara Partai Politik peserta Pemilu. Bagi Partai Politik yang menduduki kursi mayoritas, maka diberi kesempatan pertama untuk menentukan komposisi Pemerintahan Negara. Sedangkan jikalau ternyata dalam pemilu tidak ada satupun Partai Politik yang menduduki kursi mayoritas, maka penentuan komposisi

Pemerintahan Negara dilakukan dengan cara koalisi, yakni bergabungnya dua Partai Politik atau lebih untuk memperkuat suara di Parlemen. Dengan demikian dalam konteks sistem parlementer, maka korelasi antara Pemilu dengan Pemilihan Kepala Pemerintahan sifatnya tidak langsung, berbeda dengan yang terjadi di sistem presidensiil. Sehubungan dengan hal ini menurut Henry B. Mayo dengan adanya Pemilihan umum maka salah satu nilai demokrasi dapat terwujud, artinya terjadinya perpindahan kekuasaan negara dari pemegang yang lama kepada pemegang yang baru secara damai.157 Di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pasca sidang umum (SU) MPR tahun 1999, kelaziman dalam sistem presidensiil di tolak, namun tidak berarti sistem ketatanegaraan dianggap menganut sistem parlementer. Karena pemilihan Presiden dan wakil presiden masih tetap menjadi wewenang dari MPR. Oleh sebab itulah hasil Pemilu 1999 tidak dapat dipergunakan sebagai ukuran untuk menentukan secara langsung jabatan Kepala Pemerintahan. Konstitusional kasus semacam inilah yang mengakibatkan Megawati harus berlapang dada untuk memberikan kesempatan kepada Abdurrahman Wahid menjadi presiden, walaupun dalam pemilu 1999 Partai Politik yang dipimpin oleh Megawati memperoleh suara di Parlemen (MPR) lebih kurang 36%, sedangkan Abdurrahman Wahid justru tokoh politik yang masuk menjadi anggota MPR dari utusan 157 Henry B. Mayo, dalam Miriam Budiarjo, 1986, DasarDasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, him. 61. golongan yang tentu saja tidak ikut dalam Pemilu 1999. Hal ini berarti antara Pemilu dengan Pemilihan Presiden tidak merupakan satu tarikan nafas dalam penentuan rezim. Dari gambaran tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk melaksanakan Pemilu guna menentukan seseorang menjadi pejabat negara (Presiden dan Wakil Presiden dapat ditempuh melalui dua alternatif, yaitu: 1. Pemilihan secara langsung, artinya para pemilih melakukan pemilihan orang atau kontestan (peserta) yang disukai; dan 2. Pemilihan secara bertingkat (tidak langsung), yaitu para pemilih melakukan pemilihan orang-orang untuk menjadi anggota suatu lembaga kenegaraan yang mempunyai wewenang untuk memilih orang yang akan menjadi pejabat negara tersebut. Contoh cara seperti ini adalah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang dilakukan oleh MPR sebelum Amandemen UUD 1945. Pada umumnya anggota Partai Politik dapat duduk di Lembaga Perwakilan rakyat melalui Pemilu, akan tetapi karena ada kelompok-kelompok fungsional yang hidup dan berkembang di dalam suatu masyarakat serta dibutuhkan keterwakilannya di dalam Lembaga Perwakilan Rakyat, maka

dikenal pula adanya cara pengangkatan maupun penunjukan. Namun demikian dalam negara yang manganut prinsip demokrasi, tentunya keberadaan anggota Lembaga Perwakilan Rakyat yang berasal dari Pemilu komposisinya harus lebih banyak daripada anggota yang berasal dari pengangkatan atau penunjukan. Sehubungan dengan pola pengisian keanggotaan Lembaga Perwakilan Rakyat tersebut, maka mekanisme untuk menentukan anggota-anggota di Lembaga Perwakilan Rakyat dalam digolongkan ke dalam dua sistem, yaitu:158 1. Sistem pemilihan Organis, yakni mengisi keanggotaan Lembaga Perwakilan Rakyat melalui pengangkatan atau 158 Wolhoff, dalam Bintan R. Saragih, 1988, LembagaLembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta, him. 171 dst. pe-

nunjukan. Sistem ini dilandasi oleh pokok pikiran sebagai berikut; a. Rakyat dalam suatu negara dipandang sebagai sejumlah individu yang hidup bersama dalam beraneka ragam persekutuan hidup, seperti genealogis (keluarga), teritoral (daerah), fungsional spesialis (cabang industri), lapisanlapisan sosial (buruh, tani), dan lembaga-lembaga sosial (LSM/ORNOP); b. Persekutuan-persekutuan hidup inilah yang bertindak sebagai pengendali hak pilih, artinya yang mempunyai kewenangan atau hak untuk mengutus wakil-wakilnya duduk sebagai anggota Lembaga Perwakilan Rakyat adalah persekutuan-persekutuan hidup tersebut; c. Partai-partai Politik dalam struktur kehidupan kemasyarakatan seperti ini relatif tidak dibutuhkan keberadaannya. Hal ini disebabkan mekanisme pemilihan diselenggarakan dan dipimpin sendiri oleh masing-masing persekutuan hidup. Berdasarkan pokok pikiran inilah, maka keberadaan Lembaga Perwakilan Rakyat tidak lain hanya merupakan Lembaga Perwakilan Persekutuan-Persekutuan Hidup. Dengan kata lain, Lembaga Perwakilan yang keberadaannya hanya untuk mengurus kepentingan-kepentingan khusus dari persekutuanpersekutuan hidup yang ada di dalam masyarakat suatu negara. Dengan demikian melalui sistem organis ini, kedudukan Lembaga Perwakilan menjadi lemah, dan tingkat representasinya sangat rendah. Oleh sebab itu apabila Lembaga Perwakilan jenis ini akan menetapkan suatu undangundang yang menyangkut hak-hak rakyat, maka undangundang tersebut dapat berlaku efektif jikalau rakyat telah menyetujui, misalnya melalui referendum. Sistem pemilihan Mekanis, sistem ini sering disebut juga Pemilihan Umum. Sistem ini berpangkal tolak dari pemikiran:

a. Rakyat di dalam suatu negara dipandang sebagai massa individu-individu yang sama; b. Individu-individu inilah yang bertindak sebagai pengendali hak pilih aktif; c. Masing-masing individu berhak mengeluarkan satu suara dalam setiap pemilihan umum untuk satu Lembaga Perwaklan Rakyat; d. Dalam negara liberal mengutamakan individu sebagai kesatuan otonom dan masyarakat dipandang sebagai suatu kompleks hubungan-hubungan antar individu yang bersifat kontraktual. Sedangkan di dalam negara sosialiskomunis lebih mengutamakan totaliteit kolektif masyarakat dan mengecilkan peran individu-individu dalam totalitet kolektif mi; e. Partai Politik atau organisasi Politik berperan dalam mengorganisasikan pemilih sehingga eksistensinya sangat diperlukan, baik menurut sistem satu partai, dua partai ataupun multi partai. Berpangkal tolak dari pemahaman tersebut, maka keberadaan Lembaga Perwakilan Rakyat yang terbentuk bersifat Lembaga yang merepresentasikan kepentingankepentingan politik rakyat secara menyeluruh yang dalam perkembangannya disebut Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan adanya sistem mekanis inilah, maka dikenal sistem Pemilu Distrik dan Sistem Pemilu Proporsional. Dalam perkembangan lebih lanjut, kedua sistem Pemilu ini membuka peluang adanya kombinasi antara keduanya. Sistem Pemilu yang mengkombinasikan antara sistem distrik dan proporsional adalah sistem Pemilu yang dilaksanakan di Indonesia, sebagaimana tertuang di dalam UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Hal ini nampak di dalam ketentuan Pasal 5 yang menyatakan:

(1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. (2) Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak. 1. Sistem Pemilu Distrik. Sistem Pemilu seperti ini dapat digambarkan sebagai berikut. Wilayah suatu negara yang menyelenggarakan pemilihan untuk wakil-wakil di parlemen, dibagi atas distrikdistrik pemilihan yang jumlahnya sama dengan kursi yang

tersedia di parlemen (kursi di parlemen yang diperebutkan dalam Pemilu). Setiap distrik hanya memilih satu orang wakil untuk duduk di parlemen dari beberapa calon yang mengikuti pemilihan di masing-masing distrik. Jikalau pembagian distrik dirasa terlalu banyak, maka dapat juga dipergunakan cara penentuan distrik berdasarkan kursi di Parlemen di bagi dua. Hal ini berarti masing-masing distrik bisa mengirimkan dua wakil untuk duduk di kursi Parlemen. Contohnya: jumlah kursi di Parlemen adalah 500. untuk cara yang pertama ditempuh dengan membagi wilayah negara menjadi 500 distrik. Jikalau cara seperti ini mengakibatkan jumlah distrik terlalu banyak, maka dapat ditempuh dengan membagi wilayah negara menjadi 250 distrik. Cara yang kedua ini mengakibatkan masing-masing distrik bisa mengirimkan wakil sebanyak 2 (dua) orang. Berdasarkan sistem pemilihan yang demikian ini, maka keuntungan yang diperoleh adalah: a. Hubungan antara rakyat dengan wakil relatif dekat. Hal ini disebabkan partai-partai politik tidak mungkin mencalonkan wakil rakyat yang tidak populer di masingmasing distrik. Dampak lebih lanjut dari hal ini adalah wakil yang terpilih tidak akan mengatas namakan Partai politik, karena dalam pemilihan di masing-masing distrik, rakyat memilih orang, bukan Partai Politik. b. Sistem ini mendorong terjadinya penyatuan partai-partai (khususnya jika suatu negara mempergunakan sistem multi partai). Hal ini disebabkan calon yang terpilih di masingmasing distrik hanya satu atau lebih dari satu, dan terpilihnya mereka semata-mata hanya karena kepopuleran dan kredibilitasnya. Oleh sebab itulah ada kemungkinan partaipartai politik itu bergabung untuk mencalonkan seseorang yang dikenal dimasing-masing distrik. Calon yang dikenal di masing-masing distrik itu belum tentu berasal dari satu partai. Bahkan ada kemungkinan tokoh independen dan non partisan yang dapat menjadi wakil di suatu distrik. Bisa jadi seorang tokoh di suatu distrik itu didukung oleh beberapa partai politik melalui koalisi. c. Organisasi dan penyelenggaraan pemilu dengan sistem distrik relatif sederhana, artinya untuk menyusun kepanitiaan pemilu tidak memerlukan banyak orang dengan struktur birokrasi yang beihngkat-tingkat. Biayanya relatif murah dan penyelenggaraannya relatif singkat. Sisa suara yang

terbuang tidak perlu diperhitungkan. d. Denganmempergunakansistem distrik, maka ada kemungkinan pertumbuhan Partai Politik yang cenderung sektarian, ideologis/aliran, serta primordialisme menjadi berkurang. Hal ini mengingat tokoh-tokoh politik yang terpilih di masingmasing distrik akan lebih mengedepankan kepentingan rakyat di masing-masing distrik daripada kepentingan kelompok Partai Politik. Sedangkan kelemahan dari sistem pemilu distrik, dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Banyak suara yang terbuang, bahkan ada kemungkinan terjadi fenomena Low representative versus high representative. Artinya calon yang menjadi wakil dari suatu distrik, sebenarnya hanya memperoleh suara minoritas (low representative) bila dibandingkan dengan gabungan suara yang diperoleh calon-calon yang ada di distrik yang bersangkutan. Contohnya; calon A (40 suara), calon B (39 suara), calon C (25 suara), calon D (20 suara), dan calon E (15 suara). Berdasarkan suara tersebut, maka wakil rakyat dari distrik yang bersangkutan adalah A. Akan tetapi bila dilihat dari total jumlah suara (high representative) yang diperoleh calon-calon lain di distrik yang bersangkutan (B,C,D,E), maka pada hakikatnya Calon A lebih kecil suara yang diperoleh, b. Menyulitkan bagi Partai-partai kecil dan golongan-golongan minoritas untuk mempunyai wakil di Lembaga Perwakilan Rakyat, apalagi mereka ini terpencar dalam berbagai distrik pemilihan. Walaupun sistem distrik ini mengandung kelemahan, namun ditinjau dari kemanfaatannya sistem ini jauh lebih baik daripada sistem proporsional. Dengan mempergunakan sistem ini, akuntabilitas anggota parlemen sebagai wakil rakyat dapat lebih terjamin. Rakyat masing-masing distrik dapat secara langsung meminta pertanggungjawaban anggota parlemen yang berasal dari distrik yang bersangkutan jikalau dalam melaksanakan tugasnya telah melupakan aspirasi rakyat. Jika rakyat disuatu distrik sudah tidak percaya lagi terhadap wakilnya di parlemen, maka rakyat dapat langsung merecall dan dapat melaksanakan penggantian dengan cara melakukan pemilihan di distriknya. 2. Sistem Pemilu Proporsional (Multy Member Constutuency). Sistem Pemilu seperti ini mempergunakan mekanisme sebagai berikut. Kursi yang tersedia di Parlemen Pusat diperebutkan dalam suatu Pemilu, dibagi kepada Partai-partai

Politik atau golongan-golongan politik yang ikut serta dalam Pemilu sesuai dengan imbangan suara yang diperoleh dalam Pemilu yang bersangkutan. Untuk menentukan imbangan suara tersebut, maka ditentukan terlebih dahulu Bilangan Pembagi Pemilih. Menurut Pasal 1 angka 27 UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yang dimaksud dengan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ambang batas perolehan suara 2,5% (dua koma lima perseratus) dari suara sah secara nasional di satu daerah pemilihan dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu. Sedangkan untuk kursi di DPRD, BPP adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dan terpilihnya anggota DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota.159 Dengan mempergunakan perhitungan semacam itu, maka dalam sistem proporsional ini, negara dianggap sebagai satu daerah pemilihan dan setiap suara sah dihitung. Artinya suara yang diperoleh suatu daerah dapat ditambahkan dari suara yang diperoleh dari suatu daerah lainnya, sehingga besar kemungkinan setiap Partai Politik Peserta pemilu memperoleh kursi di Parlemen Pusat. Namun demikian, walaupun negara dianggap satu daerah pemilihan, namun mengingat luas wilayah suatu negara serta jumlah penduduk yang besar, maka pada umumnya dalam sistem proporsional ini sering dibentuk daerah-daerah pemilihan (bukan distrik pemilihan). Wilayah negara dibagi dalam daerah-daerah pemilihan (Dapil). Kemudian, dengan mempertimbangkan wilayah negara, jumlah penduduk dan faktor politik lainnya, kursi yang tersedia di Parlemen Pusat yang akan diperebutkan dalam Pemilu harus lebih dahulu dibagikan ke daerah-daerah pemilihan. Akan tetapi jumlah kursi yang diperebutkan tidak diperkenankan satu untuk satu daerah pemilihan, melainkan harus lebih dari satu. Inilah yang disebut Multy Member Constituency. Sehingga pemenang dari satu daerah pemilihan terdiri dari lebih dari satu orang.

159 Pasal 1 angka 28 UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Contoh yang dapat dipergunakan untuk memperjelas sistem ini adalah: suatu negara yang mempunyai 30 kursi di Parlemen pusat akan menyelenggarakan Pemilu dengan sistem proporsional, maka langkah-langkah yang ditempuh , yaitu:

a. Dibagikan terlebih dahulu 30 kursi tersebut kepada daerahdaerah pemilihan. Misalnya ada 4 (empat) daerah pemilihan; b. Dengan mempertimbangkan wilayah negara, jumlah penduduk dan faktor-faktor lain, maka ditentukan sebagai berikut: 1. Daerah pemilihan A: 10 Kursi; 2. Daerah pemilihan B: 7 kursi; 3. Daerah Pemilihan C: 7 kursi; 4. Daerah pemilihan D: 6 kursi. c. Misalnya kursi yang tersedia di daerah pemilihan A yang berjumlah 10 dibagikan kepada Partai Politik Peserta Pemilu sesuai dengan imbangan suara yang diperoleh dalam pemilihan umum yang bersangkutan; d. Dari hasil yang diperoleh tersebut, Partai Politik dapat menentukan anggota-anggotanya yang akan duduk di Parlemen dengan berlandaskan pada stalsel daftar calon anggota Parlemen. Stelsel daftar ini disusun berdasarkan nomor urut. Oleh sebab itu nomor urut yang paling ataslah yang memungkinkan untuk dapat dipilih oleh Partai Politik yang bersangutan sebagai wakil rakyat yang duduk di Parlemen. Secara ideal sistem Pemilu Proporsional ini mengandung kebaikan, seperti jumlah suara pemilih yang terbuang sangat sedkit, artinya semua suara sah diperhitungkan, memberikan kesempatan bagi Partai-partai kecil dan golongan minoritas memperoleh wakil di Parlemen. Akan tetapi sistem ini tetap mengandung kelemahan yang mendasar, yaitu:160 a. Sistem ini mempermudah terjadinya fragmentasi Partai politik dan menimbulkan partai-partai baru. Dengan keadaan yang demikian ini, maka akan menjurus pada munculnya bermacam-macam Partai politik, sehingga lebih mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada di lingkungan masyarakat. Sistem ini kurang mendorong untuk dipergunakan dalam mencari dan memanfaatkan persamaan-persamaan. Pendek kata, dengan mempergunakan sistem ini peta politik justru mengarah pada politik aliran yang sarat dengan konflik ideologi. b. Wakil-wakil yang terpilih justru merasa lebih dekat dengan induk organisasi Partai Politik. Kurang memiliki loyalitas kepada rakyat pemilih. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan

bahwa keberadaan Partai Politik dalam menentukan seseorang menjadi wakil rakyat lebih dominan daripada kemampuan individu dari sang wakil. Rakyat hanya memilih Partai Politik, bukan memilih seorang wakil. c. Dengan membuka peluang munculnya banyak Partai Politik, maka sistem ini justru mempersulit terbentuknya pemerintahan yang stabil, sebab pada umumnya penentuan pemerintahan di dasarkan pada koalisi dari dua partai atau lebih. UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD disusun dengan filosofi untuk mengurangi kelemahan-kelemahan yang ada di dalam sistem pemilu proporsional. Pasal 5 ayat (1) menegaskan bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Dengan sistem seperti ini, Caleg di masing-masing Partai Politik Peserta Pemilu seharusnya tidak perlu berebutan untuk mencari nomor urut paling kecil, karena posisi strategis caleg untuk menjadi anggota parlemen tidak ditentukan oleh nomor urut, melainkan ditentukan oleh popularitas caleg itu sendiri. Menurut Pasal 153 ayat (1) UU Pemilu, pemberian suara dilakukan dengan cara memberikan tanda satu kali pada surat suara. Hal ini berarti, pemberian suara dapat dilakukan dengan mencontreng tanda gambar Partai Politik Peserta Pemilu atau mencontreng nama caleg yang diajukan oleh masing-masing Partai Politik. Jika dalam memberikan suara dilakukan dengan cara memberikan tanda pada lambang Partai Politik dan memberikan tanda pada nama caleg di masing-masing Partai Politik sekaligus, tentu hal ini dianggap tidak sah. Tata cara seperti ini telah diubah oleh KPU karena adanya putusan Mahkamah Konstitusi, yakni pemilih dapat mencontreng tanda gambar parpol sekaligus mencontreng nama caleg di parpol yang bersangkutan. Tata cara pemberian suara seperti itu mengandung konsekuensi tersendiri bagi karakter anggota Parlemen. Pertama; jika pemberian suara dilakukan dengan cara mencontreng lambang Partai Politik, maka Partai Politik masih tetap menduduki posisi yang sangat kuat dan hegemonis. Nomor urut menjadi ajang perebutan, dan ini membuka terjadinya politik uang (money politic) di masingmasing Partai Politik, serta konflik internal Partai Politik. Semakin kecil nomor urut pencalegan semakin besar "hembusan nafas" money politic di tubuh Partai Politik. Akibat lanjutannya adalah karakter dari anggota parlemen pada hakikatnya hanya sebatas wakil Partai Politik. Sepak terjang anggota parlemen sangat dipengaruhi dan dikendalikan oleh

induk Partai Politik. Pendek kata, "jasa" Partai Politik dalam menghantarkan caleg-calegnya untuk menjadi anggota Parlemen definitif sangat besar, oleh sebab itu anggota parlemen wajib untuk "membalas jasa" tersebut. Kedua; jika pemberian suara dilakukan dengan cara mencontreng nama caleg di masing-masing Partai Politik peserta pemilu dan caleg yang terpilih adalah 30% dari Bilangan Pembagi Pemilih (Pasal 214 huruf a), maka posisi caleg jelas lebih kuat daripada Partai Politiknya. Hal ini mengingat perolehan suara dari masing-masing Partai Politik setelah ditentukan oleh BPP, sangat tergantung dari kekuatan figur dari caleg yang diajukan oleh Partai Politik yang bersangkutan.161 Popularitas dan kredibilitas caleg menjadi penentu kemenangan Partai Politik dalam pemilu 2009. Dengan 161 Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi, caleg dimasing-masing Parpol yang memperoleh suara terbanyaklah yang ditentukan ditetapkan sebagai anggota legislatif, setelah Parpol yang bersangkutan demikian, sadar atau suara tidak pembentukan UU Pemilu memperoleh jumlah sesuai dengan BPP. sebenarnya mengandung spirit ideal, yakni mengeleminir hegemoni Partai Politik dalam sistem keparlemenen di Indonesia, yang pada akhirnya meletakkan posisi anggota Parlemen benar-benar merupakan wakil rakyat, bukan wakil Partai Politik. Jika posisi ideal anggota parlemen memang dikehendaki seperti itu, lambat laun Partai Politik hanya bersifat sebagai patronage party (Partai Politik lindungan), artinya Partai Politik hanya dipergunakan sebagai batu loncatan dari tokoh-tokoh masyarakat untuk meniti karier politik di parlemen. Akibat lanjutannya adalah peran Partai Politik dalam setiap pengambilan keputusan politik di Parlemen misalnya membentuk Undang-Undang menjadi tidak signifikan lagi. Fraksi-fraksi yang merupakan kepanjangan Partai Politik di Parlemen benar-benar "tidak mampu unjuk gigi" dalam mengatur dan mengendalikan sepak terjang anggota Parlemen. Lebih lanjut, sistem seperti ini secara ideal merupakan jembatan untuk menuju sistem pemilu distrik. Namun demikian, sistem pemilu dengan mencontreng nama caleg sebenarnya menunjukkan bahwa budaya demokrasi di tubuh internal Parpol melalui penguatan sistem pencalegan belum berjalan. Mekanisme mencontreng nama caleng di masing-masing Parpol dalam pemilu, sebenarnya dapat dilakukan melalui mekanisme internal Parpol dengan cara konvensi. Di lingkungan internal Parpol, Celeg-caleg itu di fit and propertest terlebih dahulu dengan melibatkan konsituen dan simpatisan masing-masing parpol. Kemudian hasil dari fit and propertest tersebut dipergunakan sebagai dasar untuk penentuan caleg yang ditawarkan kepada pemilih. Cara seperti ini akan membangun budaya demokrasi di masingmasing parpol. Ternyata mekanisme ideal seperti itu, justru ditempuh melalui pemungutan suara dalam Pemilu 2009. Akibatnya

kemungkinan terjadi konflik antar caleg di masing-masing parpol terbuka lebar. Hal ini berarti konflik antara caleg dengan Parpolnya seperti yang terjadi menjelang Pemilu 1999 dan 2004 karena perebutan nomor urut, di ubah melalui eksperimentasi dengan cara menyerahkan pilihan mentah caleg kepada rakyat lewat mencontreng dalam pemilu legislatif. cara penentuan anggota legislatif sebagaimana diputus oleh Mahkamah Konstitusi tersebut juga tetap menimbulkan efek negatif bagi karakter anggota parlemen yang dihasilkan oleh Pemilu 2009. Dulu ketika rakyat hanya memilih tanda gambar parpol, maka fenomena money politic antara Parpol dengan pemilih sangat kental. Parpol menjadi ATMnya rakyat pemilih. Sekarang setelah diputus berdasarkan suara terbanyak masing-masing caleg, maka kemungkinan fenomena money politik antara masing-masing caleg dengan rakyat pemilih terbuka lebar. Caleg menjadi ATMnya para pemilih. Jika fenomena semacam ini tidak dapat dikendalikan, maka karakter anggota parlemen yang dihasilkan pun akan mengalami perubahan yang sangat signifikan, khususnya jika caleg-caleg itu mempergunakan paradigma berpikir bahwa menjadi anggota parlemen baik di pusat maupun di daerah hanya dianggap sebagai sebuah lapangan pekerjaan atau ajang bisnis, bukan sebuah amanah atau pengabdian kepada nusa, bangsa, dan negara. Modal yang dikeluarkan untuk meraih suara terbanyak demi mendapat pekerjaan sebagai anggota parlemen harus diimbangi dengan perolehan keuntungan yang setimpal. Artinya bisa jadi, caleg-celeg tersebut setelah menjadi anggota Parlemen berlomba-lomba mengembalikan modal usaha mereka ketika mencari dukungan suara pemilih dalam pemilu. Akibat lanjutannya, korupsi di lingkungan anggota parlemen semakin besar pula. Apalagi parpol melalui fraksifraksi tidak lagi mampu mengendalikan anggota-anggotanya di parlemen sementara alat perlengkapan parlemen yang namanya Badan Kehormatan Parlemen laksana macan ompong. Keputusan Mahkamah Konstitusi telah mengubah sistem pemilu yang lebih bernuansakan sistem distrik kendati sistem proporsionalnya masih menonjol. Keputusan tersebut di samping memberikan penguatan terhadap makna keterwakilan rakyat, namun juga membawa konsekuensi semakin mahalnya harga kursi di parlemen. Lain daripada itu, keputusan Mahkamah Konsitusi juga memunculkan record baru bagi tata cara rekrutmen anggota parlemen di dunia. Pemilu 2009 merupakan pemilu paling rumit dan paling mahal di dunia ini. Oleh sebab itu penyelenggaraan pemilu di Indonesia tahun 2009 ini layak masuk dalam catatan guiness book record atau MURI. Sungguh merupakan sebuah konsep demokrasi yang aneh, karena rakyat sudah diminta untuk berpartisipasi namun disediakan cara untuk berpartisipasi yang rumit. Padahal seharusnya untuk berpartisipasi dalam kehidupan

demokrasi, sedapat mungkin rakyat tidak dihadapkan pada kerumitan-kerumitan prosedural seperti itu. Keputusan sudah dijatuhkan, sistem pemilu sudah ditegaskan, sekarang yang terpenting adalah bagaimana memberikan pemahaman kepada rakyat untuk melaksanakan sistem tersebut. Oleh sebab itu voters education tentu tidak hanya dibebankan kepada KPU, Partai Politik pun harus mengambil porsi untuk melaksanakan pendidikan politik tersebut, karena sejatinya tanggung jawab parpol salah satunya adalah melaksanakan pendidikan politik. Melalui pendidikan politik inilah niscaya kultur demokrasi sebagai prasyarat bagi keberlangsungan konsolidasi sistem demokrasi akan semakin tumbuh.

C. Asas-Asas Pemilu.
Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2008 menyatakan bahwa Pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sedangkan menurut Pasal 21 ayat (3) Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia ditegaskan bahwa kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kemauan ini harus dinyatakan dalam pemilman-pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara rahasia ataupun menuntut cara lain yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara. Dari kedua ketentuan tersebut di atas, maka dapat ditarik persamaan bahwa asas Pemilu yang paling mendasar adalah, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Maksud dari asas-asas tersebut adalah: 1. Langsung: seseorang pemilih memberikan suaranya tanpa perantara orang lain sehingga terhindar dari kemungkinan manipulasi kehendak oleh parantara, siapapun perantara itu. Hal ini berarti rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.162 Berkaitan dengan hal ini, penyimpangan asas tersebut bisa saja dilakukan jikalau ternyata pemilih mempunyai keterbatasan fisik pada saat akan melakukan pemberian suara. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 156 UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan: (1) Pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai halangan fisik lain saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan pemilih.

(2) Orang lain yang membantu pemilih dalam memberikan suaranya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan pemilih. 2. Umum: setiap warga negara tanpa memandang latar belakang. Apakah kaya atau miskin, apapun suku, ras, dan agamanya, apapun warna (kastanya), apapun jenis kelaminnya, apapun tingkat pendidikannya, dimanapun tempat tinggalnya (dalam atau luar negeri, di kota atau tempat terpencil), cacat tubuh apapun yang disandangnya, apapun status perkawinannya, 162 Penjelasan umum UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. apapun jenis pekerjaannya (kecuali TNI/Polri), dan apapun ideologi yang diperjuangkan dalam bingkai dasar negara Pancasila, sepanjang telah memenuhi persyaratan obyektif seperti umur minimal, tidak hilang ingatan, hak pilihnya tidak sedang dicabut berdasarkan putusan pengadilan, dan tidak sedang menjalani hukuman penjara lima tahun atau lebih, memiliki hak pilih dan dipilih. Dalam UUD 1945 hal ini tegas-tegas tertuang di dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tanpa kecualinya. Berdasarkan asas umum inilah, maka pengaturan seluruh proses penyelenggaraan Pemilu khususnya yang menyangkut tata cara pendaftaran pemilih dan pemungutan suara harus memungkinkan semua warga negara yang berhak dapat mempergunakan hak pilihnya. Penjelasan Umum UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD menyatakan bahwa pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan dan status sosial. Bebas: mengandung dua dimensi, yakni Bebas Untuk dan Bebas Dari. Bebas untuk maksudnya setiap warga negara yang berhak memilih mempunyai kebebasan menyatakan pendapat, aspirasi, dan pilihannya, serta bebas untuk menghadiri, mendengar atau tidak menghadiri atau tidak mendengar suatu kampanye Partai Politik Sedangkan bebas dari, mengandung maksud bahwa setiap warga negara harus terbebas dari intimidasi, dan paksaan dalam bentuk apapun, serta bebas dari perlakuan sewenang-wenang dari pihak manapun dalam menentukan pilihannya. Bagi Partai Politik Peserta Pemilu, asas bebas ini juga mengandung maksud bebas untuk menyatakan pendapat secara lisan maupun tertulis, bebas

berkumpul dan berserikat, serta bebas dari intimidasi, paksaan, dan perlakuan sewenang-wenang dari pihak manapun. Bebas yang dipergunakan oleh Partai Politik tentunya harus tetap dalam koridor sistem moral dan etik bangsa Indonesia. Hal ini perlu dipahami karena pada umumnya Partai Politik jika sudah dibebaskan melakukan i I I I K I I M TATA N I ' . < ; A K A [NDONIUA tindakan apapun. Cenderung anarkhis dan berbau premanisme. Asas bebas ini menurut Penjelasan UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPR, dan DPRD, mengandung makna: a. Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun; dan b. Di dalam melaksanakan haknya, dijamin keamanannya oleh negara, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Rahasia: merupakan asas yang merujuk pada situasi dimana setiap pemilih memberikan suaranya tanpa diketahui oleh siapapun. Kalaupun ada orang lain yang mengetahui pilihan seseorang, maka hal itu semata-mata hanya terjadi karena persetujuan dari pemilih yang bersangkutan, misalnya seseorang yang memerlukan bantuan orang lain pada waktu memberikan suara, karena umur lanjut atau menyandang cacat tertentu. Asas rahasia ini juga tidak berlaku apabila atas dasar kesadaran sendiri pemilih menyatakan pilihannya kepada orang lain, asalkan pernyataan atau pemberitahuan itu tidak bermaksud mempengaruhi pilihan orang lain. Oleh sebab itu penyelenggara Pemilu harus menentukan tatacara pemberian suara, agar tidak memungkinkan orang lain mengetahui apa pilihan yang diambil oleh setiap orang. Sehubngan dengan hal ini, Pasal 142 UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD menegaskan: (1) Jenis perlengkapan pemungutan suara terdiri atas: a. kotak suara; b. surat suara; c. tinta; d. bilik pemungutan suara; e. segel; f. alat untuk memberi tanda pilihan; dan g. tempat pemungutan suara (2) Selain perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk menjaga keamanan, kerahasiaan, dan kelancaran pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara, diperlukan dukungan perlengkapan lain. Dukungan perlengkapan lain pemungutan suara lainnya meliputi sampul kertas, tanda pengenal KPPS/KPPSLN, tanda pengenal petugas keamanan

TPS/TPSLN, tanda pengenal saksi, karet pengikat suara, lem/perakat, kantong plastik, ballpoint. Gembok, spidol, formulir untuk berita acara dan sertifikat, sticker nomor kotak suara, tali pengikat alat pemberi tanda pilihan, dan alat bantu tuna netra.163 5. Jujur: setiap tindakan pelaksanaan Pemilu harus sesuai dengan paratuan perundang-undangan yang berlaku, sesuai dengan etika dan moralitas masyarakat, serta bebas dari praktek-praktek intimidasi, paksaan, manipulasi, penipuan, pembelian suara dan korupsi. Hal ini tidak hanya berlaku bagi penyelenggara pemilu (KPU), tetapi juga bagi peserta Pemilu (Partai Politik), kandidat, pemantau Pemilu, para pemilih dan penegak hukum. Asas kejujuran ini juga diperuntukkan kepada lembaga-lembaga survey yang mulai marak menjelang Pemilu terutama pada saat mereka melaksanakan quick count (hitung cepat). Asas kejujuran ini begitu penting sehingga tidak saja peserta Pemilu mengutus wakilnya untuk menjadi saksi dalam penghitungan suara, tetapi juga dibuka kesempatan yang luas bagi Lembaga Pemantau Pemilu dari luar negeri, dan bagi para pemilih untuk memantau atau menyaksikan seluruh proses pelaksanaan pemilu. 6. Adil: setiap warga negara yang berhak memilih dan dipilih, setiap Partai Politik Peserta Pemilu atau kandidat dan setiap daerah, diperlakukan sama dan setara oleh 163 Penjelasan Pasal 142 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. setiap unsur pe-nyelanggara Pemilu, Panwas dan seperti KPU, instansi

Penegak Hukum. Asas adil ini juga berarti melakukan proses yang sama untuk kasus yang sama, menjamin hasil yang sama untuk kasus yang sama, dan berbagai pihak yang teribat dalam suatu kasus mendapat kesempatan yang sama untuk didengar versinya menganai kasus tersebut. Agar setiap warga negara yang berhak memilih memiliki kesempatan dan sarana yang sama untuk mempengaruhi hasil Pemilu, dan agar setiap Partai Politik peserta Pemilu dan/atau kandidat memiliki kesempatan dan sarana yang sama untuk berkompetisi mendapat simpati pemilih, maka adil juga berarti secara aktif ditempuh upaya pencegahan dominasi seseorang atau perusahaan yang kaya terhadap suatu Partai atau kandidat, dan mencegah keberpihakan pemerintah dan birokrasi sipil dan tentara kepada salah satu Partai Politik/kandidat, tentang dana kampanye, misalnya merupakan upaya untuk menjamin asas adil tersebut. Dari asas-asas Pemilu tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa asas langsung, umum, bebas dan rahasia (LUBER) dipergunakan pada saat pemungutan suara. Sedangkan asas jujur dan adil (JURDIL) dipergunakan untuk seluruh rangkaian proses pentahapan penyelenggaraan Pemilu, yang meliputi:

a. Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih; b. Pendaftaran Peserta Pemilu; c. Penetapan Peserta Pemilu; d. Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan; e. Pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; f. Masa kampanye; g. Masa tenang; h. Pemungutan dan penghitungan suara; i. Penetapan hasil pemilu; dan j. Pengucap,in sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.164

D. Partai Politik.
1. Pengertian. Keberadaan Partai Politik dalam kehidupan ketatanegaraan pertama kali dijumpai di Eropa Barat, yakni sejak adanya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang patut diperhitungkan serta diikut sertakan dalam proses politik. Dengan adanya gagasan untuk melibatkan rakyat dalam proses politik (kehidupan dan aktifitas ketatanegaraan), maka secara spontan Partai Politik berkembang menjadi penghubung antara rakyat disatu pihak dan pemerintah di pihak lain.165 Dengan demikian, dapat ditarik pengertian bahwa sebagai organisasi yang secara khusus dipergunakan untuk sarana pengu-bung antara rakyat dengan pemerintah, keberadaan Partai Politik sejalan dengan munculnya paham demokrasi dan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan. Dalam rangka memahami Partai Politik sebagai salah satu komponen Infra Struktur Politik dalam negara, di bawah ini akan disampaikan beberapa pengertian, yakni:166 a. Cari J. Friedrich: Partai Politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan pemerintah bagi pemimpin Partainya, dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota Partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materiil. b. R.H. Soltou: Partai Politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai 164Pasal 4 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. 165Miriam Budiarjo, 1986, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, him. 159. 166Ibid, him. 160-161. satu

kesatuan politik, yang dengan memanfaatkan kekuasaan memilih, bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka. c. Sigmund Neumann: partai Politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan melawan golongan atau golongangolongan lain yang tidak sepaham. d. Miriam Budiardjo: Partai Politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijaksanaankebijaksanaan mereka. Memperhatikan pengertian-pengertian di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa tujuan Partai Politik itu didirikan adalah untuk merebut ataupun mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan guna melaksanakan kebijakasanaankebiaksanaan yang telah digariskan oleh masing-masing Partai Politik. Untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan tersebut, maka langkah yang dilakukan adalah bersifat konstitusional. Hal ini berarti keberadaan Partai Politik juga dimaksudkan sebagai sarana untuk meredam konflik kepentingan ataupun persaingan yang muncul di lingkungan masyarakat dalam mempengaruhi pemerintahan. Berdasarkan pemahaman yang seperti ini, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun Partai Politik itu didirikan tanpa ada maksud dan tujuan yang berkaitan dengan kekuasaan pemerintahan. Dengan demikian, keberadaan partai politik dalam kehidupan ketatanegaraan modern tidak lain adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan kenegaraan yang lebih beradab. Hal ini disebabkan dalam sejarahnya, perebutan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara sering dilakukan dengan cara kekerasan dan pertumpahan darah. Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Partai adalah pihak, segolongan orang, perkumpulan yang seasas, sehaluan, setujuan dan sebagainya dalam ketatanegaraan. Sedangkan arti politik menurut Kamus Lengkap bahasa Indonesia adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan; segala urusan dan tindakan kebijaksanaan, siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain.167 Dari pemahaman secara terminologis seperti itu dapat ditarik pemahaman bahwa Partai Politik tidak lain adalah

segolongan orang yang berkumpul atas dasar kesamaan asas, haluan dan tujuan yang aktifitasnya berkaitan dengan urusan dan tindakan kebijaksanaan termasuk siasat mengenai pemerintahan suatu negara. Dengan demikian tidak dapat dipungkiri bahwa yang namanya Partai Politik akan selalu erat kaitannya dengan kesamaan asas, haluan, tujuan, kebijaksanaan pemerintah dan siasat. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka pada hakikatnya Partai Politik adalah sekelompok manusia (warga negara) yang terorganisir secara teratur baik dalam hal pandangan, tujuan maupun tata cara rekrutmen keanggotaan dengan tujuan pokok yaitu menguasai, merebut ataupun mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan negara secara konstitusional. 2. Tujuan Partai Politik. Setiap organisasi yang dibentuk oleh manusia pasti memiliki tujuan-tujuan tertentu, demikian pula halnya dengan organisasi yang disebut Partai Politik. Tujuan pembentukan suatu Partai Politik di samping tujuan yang utama adalah merebut, mempertahankan ataupun menguasai kekuasaan dalam pemerintahan suatu negara, juga dapat dilihat dari aktifitas yang dilakukan oleh Partai Politik. Menurut Rusadi Kantaprawira ditinjau dari aktifitas yang dilakukan oleh Partai Politik, maka pada umumnya tujuan yang diemban oleh Partai 167 Dessy Anwar, 2001, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya Abditama, Surabaya, him. 312 dan 328. Politik, adalah:

a. berpartisipasi dalam sektor pemerintahan dalam arti mendudukkan orang-orangnya menjadi pejabat pemerintahan sehingga dapat turut serta mengambil atau menentukan keputusan politik atau output pada umumnya; b. berusaha melakukan pengawasan, bahkan oposisi bila perlu terhadap kelakuan, tindakan, kebijaksanaan para pemegang otoritas (terutama dalam keadaan mayoritas pemerintahan tidak berada dalam tangan Partai Politik yang bersangkutan); c. berperan untuk dapat memadukan tuntutan-tuntutan yang masih mentah, sehingga Partai Politik bertindak sebagai penafsir kepentingan dengan mencanangkan isu-isu politik yang dapat dicerna dan diterima oleh masyarakat secara luas.168 Menurut UU No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, tujuan Partai Politik dirumuskan menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa tujuan umum Partai Politik adalah:

a. Mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan d. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan tujuan khusus Partai Politik dirumuskan di dalam ketentuan Pasal 10 ayat (2), yaitu: a. meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan 168 Rusadi Kantaprawira, 1988, Sistem Politik Indonesia Suatu Model Pengantar, Cet V, Sinar Baru, bBandung, Mm. 62. pemerintahan; b. memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan c. membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Secara pragmatis, tujuan Partai Politik tersebut di atas tidak lain adalah berorientasi pada kekuasaan dalam pemerintahan. Tujuan semacam ini tentu memiliki maksud apabila Partai Politik menguasai kekuasaan dalam pemerintahan maka ideologi, visi dan misi, program Partai Politik dapat dipergunakan sebagai landasan untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan yang pada akhirnya Partai Politik akan memperoleh manfaat baik materiil maupun spirituil. Oleh sebab itu menjadi anggota Partai Politik menjadi dambaan setiap orang yang "suka" dengan kekuasaan. Dengan melihat aktifitas dari Partai Politik, maka rakyat sebagai subyek dalam sistem ketatanegaraan dapat melakukan pilihan-pilihan alternatif, yakni Partai Politik manakah yang akan diikuti atau menjadi saluran politik mereka. Di dalam struktur masyarakat yang masih paternalistik, maka pilihan rakyat untuk berafiliasi kepada suatu Partai Politik sering dipengaruhi oleh tokoh-tokoh politik yang ada di dalam Partai Politik tersebut. Bahkan tidak jarang afiliasi tersebut juga dipengaruhi oleh ideologi atau aliran yang dianut oleh suatu Partai Politik. Oleh sebab itulah di dalam negara yang struktur masyarakatnya masih bersifat primordial paternalistik, partai Politik gemar untuk memainkan ideologi-ideologi atau aliranaliran Partai Politik guna memperoleh dukungan rakyat,

sehingga dapat memperkuat posisi dalam kehidupan ketatanegaraan. Permainan ideologi ini paling mudah dilakukan, karena dalam struktur masyarakat yang primordial paternalistik ikatan emosional antara rakyat dengan aliran atau ideologi yang di bawa oleh tokoh-tokoh politik relatif kuat. Akibat lanjutan dari kondisi Kepartaian yang semacam ini, maka progam kerja Partai Politik tidak menjadi issu utama untuk memperoleh dukungan rakyat. Kehidupan dan aktifitas Partai Politik semacam ini masih dapat dikategorikan sebagai Partai Politik Tradisional. 3. Klasifikasi Partai Politik. Banyak jenis dan bentuk Partai Politik yang hidup dan berkembang di dalam kehidupan ketatanegaraan. Ada partai politik yang berasaskan kebangsaan, kedaerahan, agama dan lain sebagainya. Namun demikian, dari berbagai warna yang ada dalam Partai Politik, pada hakikatnya dapat diklasifikasikan ke dalam 2 (dua) kategori besar partai Politik, yaitu:169 a. Klasifikasi Partai Politik ditinjau dari komposisi dan fungsi keanggotaanya. Klasifikasi ini dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis Partai Politik, yaitu: 1. Partai Massa, yaitu suatu Partai Politik yang lebih mengutamakan kekuatannya berdasarkan keunggulan jumlah anggota. Oleh karena itu biasanya terdiri dari pendukung-pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat berada di bawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang biasanya luas dan agak kabur. 2. Partai Kader, yaitu suatu Partai Politik yang lebih mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja dari anggota-anggotanya. Pemimpin Partai biasanya menjaga kemurnian doktrin Partai yang dianut dengan jalan mengadakan saringan calon-calon anggota secara ketat. b. Klasifikasi Partai Politik ditinjau dari sifat dan orientasinya. Partai Politik dengan klasifikasi semacam ini dapat dikelompokkan ke dalam 2 (dua) jenis, yaitu: 1. Partai Lindungan (Patronage Party), yaitu suatu Partai Politik yang pada umumnya memiliki organisasi nasional yang kendor (meskipun organisasi di tingkat lokal sering cukup ketat). Disiplin yang lemah dan biasanya tidak terlalu mementingkan pemungutan iuran secara teratur. Tujuan utama dari Partai Politik jenis ini adalah memenangkan pemilu untuk anggotaanggota yang dicalonkan. Oleh sebab itu Partai Politik semacam ini hanya giat melaksanakan aktifitasnya 169 Miriam Budiardjo, Op.cit, htm. 166-167. menjelang Pemilu. Contoh yang dapat dikemukakan

disini adalah Partai Demokrat dan Republik di Amerika Serikat. 2. Partai Ideologi (Partai Asas), yaitu suatu Partai Politik (biasanya) yang mempunyai pandangan hidup yang digariskan dalam kebijaksanaan pemimpin danberpedoman pada disiplin Partai yang kuat dan mengikat. Berdasarkan dua klasifikasi Partai Politik tersebut, maka jikalau Partai-partai Politik itu akan melakukan koalisi, maka langkah yang paling mudah dan relatif berhasil untuk ditempuh adalah dengan melakukan koalisi dengan Partai Politik yang berjenis sama, seperti Partai Massa dengan Partai Massa atau Partai Lindungan dengan Partai Lindungan. Koalisi antara Partai Kader atau antara Partai Ideologi relatif sulit dilakukan. Apalagi koalisi antar Partai Politik dengan ideologi yang jauh berseberangan, misal koalisi Partai Politik yang berbasis agama yang berbeda. 4. Sistem Kepartaian. Dalam kehidupan Politik ketatanegaraan, pada prinsipnya dikenal adanya tiga sistem kepartaian, yaitu:170 a. SistemPartai Tunggal (OMePflrii/Si/sfem).Istilahini dipergunakan untuk Partai Politik yang benar-benar merupakan satu-satunya partai Politik dalam suatu negara, maupun untuk memberikan istilah partai Politik yang mempunyai kedudukan dominan di antara beberapa Partai Politik yang lain. Namun demikian, oleh para sarjana hal ini dianggap merupakan bentuk penyangkalan diri (contradictio in terminis), mengingat dalam pengertian sistem itu sendiri akan selalu mengandung lebih dari satu unsur atau komponen. Kecenderungan untuk mengambil sistem Partai Tunggal disebabkan, karena pemimpin negara-negara baru sering dihadapkan pada masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah, suku bangsa yang berbeda corak sosial dan pandangan hidupnya. Dikhawatirkan bahwa bila keanekaragaman sosial budaya ini dibiarkan tumbuh dan berkembang, besar kemungkinan akan terjadi gejolak-gejolak sosial yang menghambat usaha-usaha pembangunan dan menimbulkan disintegrasi. b. Sistem Dua Partai (Two Party System). Menurut Maurice Duverger, sistem ini adalah khas Anglo Saxon (Amerika). Dalam sistem ini Partai-partai Politik yang ada di negara dengan jelas dibagi menjadi Partai Politik yang berkuasa karena menang dalam Pemilu dan Partai Oposisi karena kalah dalam Pemilu. c. Sistem Banyak Partai (Multy Party System). Pada umumnya sistem kepartaian seperti ini muncul karena adanya keaneka-

ragaman sosial budaya dan politik yang terdapat di dalam negara.171 5. Eksistensi Partai Politik Dalam Perspektif Hukum Tata Negara. Dalam perspektif Hukum Tata Negara, teori tentang Partai Politik pada umumnya tidak menjadi bahan kajian yang spesifik dan mendalam. Hal ini disebabkan dalam konteks hukum tata negara yang dipelajari tidak lain adalah menyangkut struktur atau anatomi mengenai negara sebagai organisasi kekuasaan. Sedangkan Partai Politik lebih banyak dikaji dan dibahas oleh ilmu politik yang pada hakikatnya mempelajari tentang perilaku dari organisasi kekuasaan. Namun demikian dalam konteks hukum tata negara keberadaan Partai Politik jelas tidak mungkin untuk dinafikan, mengingat struktur atau anatomi organisasi kekuasaan tentu membutuhkan perangkat atau piranti untuk melengkapi anatomi tersebut. Nah Partai Politik merupakan salah satu dari sekian piranti yang dibutuhkan dalam membangun atau membentuk anatomi organisasi kekuasaan yang disebut

171 Ibid, htm. 169. negara itu.

Partai Politik sebagai salah satu dari piranti untuk membangun anatomi organisasi kekuasaan (negara) muncul karena adanya paham demokrasi dan kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu tidak dapat terelakkan, jikalau katup demokrasi dan kedaulatan rakyat telah dibuka dan menjadi warna dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan, maka sejak saat itulah kemunculan Partai Politik laksana "jamur dimusin hujan". Berbagai jenis Partai Politik dengan berbagai jenis ideologi, visi dan misi tumbuh dalam kehidupan politik ketatanegaraan. Sehingga secara normatif melakukan pembatasan terhadap tumbuh dan berkembangnya Partai Politik dianggap merupakan sebuah tindakan yang anti demokrasi dan anti kedaulatan rakyat. Namun demikian dalam kerangka negara hukum, tumbuh dan berkembangnya berbagai Partai Politik seharusnya juga dibarengi dengan tata aturan yang berlaku dan harus diindahkan oleh Partai Politik. Hal ini mengingat Partai Politik dalam aktifitasnya berfungsi untuk merepresentasikan kepentingan publik ke sektor yang lebih tinggi, yakni negara atau pemerintah. Oleh sebab itulah persyaratan dan tata cara pendirian Partai Politik harus diatur dalam instrumen hukum, yakni Undang-Undang. Secara umum ada berbagai persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendirikan sebuah Partai Politik di Indonesia. Salah satu persyaratan itu tidak lain adalah harus memiliki Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) yang disahkan melalui akta notaris. Kemudian didaftarkan ke

Departemen Hukum dan HAM (DEPKUMHAM). Dengan adanya persyaratan semacam ini, maka sejatinya Partai Politik tidak lain adalah sebuah badan hukum yang merupakan subyek hak. Secara internal posisi AD/ART yang sudah disahkan melalui akta notaris pada hakikatnya berkedudukan sebagai konstitusi Partai Politik. Oleh sebab itu untuk melakukan perubahan terhadap AD/ART tersebut harus dilakukan oleh organ tertinggi Partai Politik tersebut yang pada umumnya diwujudkan dalam bentuk Kongres atau Muktamar dari Partai Politik yang bersangkutan. Menurut UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik disebutkan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia.172 Mencermati pengertian tersebut menunjukkan bahwa organisasi Partai Politik dibentuk untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota terlebih dahulu, baru kemudian memperjuangkan kepentingan politik masyarakat serta baru disusul memperjuangkan kepentingan politik bangsa dan negara. Hal ini menandakan bahwa rumusan UU dalam mengartikan Partai Politik ternyata lebih mendahulukan kepentingan anggota. Sungguh rumusan yang hanya mementingkan kelompok dan tidak berpihak kepada kepentingan bangsa dan negara. Ini sangat memprihatinkan. Pertanyaannya mau dikemanakan negeri ini jikalau rumusan pengertian Partai Politik sudah seperti itu? Jika rumusannya seperti itu, tidak mengherankan jikalau Partai Politik hanya mementingkan kelompok atau anggotanya sendiri daripada kepentingan bangsa dan negara. Menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik ditentukan bahwa Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang warganegara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris. Kemudian menurut ayat (3) pasal ini menegaskan bahwa akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat AD dan ART serta kepengurusan Partai Politik Tingkat Pusat. Memperhatikan persyaratan seperti itu menunjukkan bahwa untuk membentuk sebuah Partai Politik sungguh merupakan suatu pekerjaan yang sangat mudah. Cukup dengan mengumpulkan 50 orang warganegara Indonesia yang telah berusia 21 tahun dengan menyertakan komposisi 30% 172 Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai keterwakilan perempuan173, kemudian diaktakan melalui Politik. Notaris, jadilah Partai Politik. Dengan kemudahan seperti inilah, tidak mengherankan jika Partai Politik di Indonesia begitu banyak dan beragam.

Disahi sisi kemudahan mendirikan Partai Politik ini dapat dianggap merupakan langkah positif karena sangat mendukung proses demokratisasi dan penguatan politik masyarakat serta dalam rangka pemenuhan hak-hak politik warganegara. Namun demikian di sisi lain dengan kemudahan yang seperti itu, mengakibatkan Partai PolitikPartai Politik yang dibentuk tidak mengakar dalam hal pemahaman asas, haluan maupun tujuan Partai Politik yang bersangkutan. Pendek kata dengan kemudahan itu justru sikap pragmatisme politik diantara anggota sangat mendominasi. Hal ini membuktikan bahwa Pranata Hukum kepartaian di Indonesia yang konstruksinya seperti itulah mengakibatkan pengorganisasian Partai Politik sangat rentan konflik. Apalagi jikalau mendekati pelaksanaan Pemilu. Sejarah kepartaian di Indonesia setelah katup demokrasi terbuka lebar sejak reformasi 1998 selalu diwarnai dengan terjadinya konflik internal. Hal ini sangat berbeda ketika rezim Orde Baru masih berkuasa di negeri ini. Pada saat itu intervensi dan pengendalian kehidupan Partai Politik di Indonesia sungguh sangat represif dan terbukti mampu memandulkan dinamika kehidupan Partai Politik. Restu pemerintah dalam hal ini Presiden menjadi dasar bagi kehidupan dan keberlangsungan Partai Politik. Tanpa restu itu jangan harap Partai Politik dapat berkembang dan memainkan peranannya dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Untuk saat ini kondisi semacam itu memang sudah tidak lagi dijumpai. Namun celakanya kebebasan untuk mendirikan Partai Politik tidak diikuti dengan kesadaran para elit Partai Politik untuk secara kolektif mendewasakan kehidupan organisasi. Hal ini merupakan dampak dari mudahnya 173 Pasal 2 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai mendirikan Partai Politik.

Politik di Indonesia. Konflik internal Partai Politik selalu muncul bersamaan dengan kepentingan elit Partai Politik itu sendiri yang semakin beragam. Pada umumnya konflik internal Partai Politik disebabkan oleh adanya perebutan kekuasaan di tubuh Partai Politik itu sendiri. Sehingga aturan main yang sudah tertuang di dalam AD/ART sering diabaikan. Lagi-lagi kepentingan elit mengalahkan dasar konstitusional Partai Politik.174 Berpijak dari realitas semacam itu, maka jika Partai Politik itu menyadari akan arti pentingnya AD/ART yang diibaratkan sebagai konstitusi Partai Politik, konflik internal yang terjadi haruslah dikembalikan kepada ketentuan yang tercantum di dalam AD/ART tersebut. Oleh sebab itu solusi yang terbaik untuk menyelesaikan konflik internal Partai Politik tidak lain harus dikembalikan kepada dasar kontitusi Partai Politik itu sendiri. Terkait dengan konsep normatif seperti inilah, maka solusi yang dapat ditawarkan adalah:

1. solusi konflik dilakukan oleh internal Partai Politik dengan membentuk semacam komisi penegak konstitusi (AD/ART) yang posisinya berada di luar kepentingan pihak yang berkonflik. 2. Jika komisi yang dimaksud tidak ada dalam struktur organisasi Partai Politik, solusi dilakukan melalui jalur hukum (peradilan). Hal ini mengingat AD/ART Partai Politik disahkan melalui akta notaris dan berfungsi sebagai alat bukti yang kuat. 3. solusi juga bisa dilakukan melalui perantaraan lembaga mediasi dengan bersumber pada AD/ART Partai Politik. 4. diadakan kongres (Muktamar) Luar biasa Partai Politik yang bersangkutan. Karena Kongres/muktamar ini 174 Istilah Konflik internal Parpol tidak dikenal dalam UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik. UU ini memberikan istilah Perselisihan Partai Politik. Menurut Penjelasan Pasal 32 ayat (1) yang dimaksud dengan "Perselisihan Partai Politik" meliputi antara lain : (1) Perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan; (2) pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik; (3) pemecatan tanpa alasan yang jelas; (4) penyalahgunaan kewenangan; (5) pertanggungjawaban keuangan; merupakan organ tertinggi Partai Politik. dan/atau (6) keberatan terhadap keputusan Partai Politik. 5. jika konflik Sudah mengarah pada perpecahan Partai Politik, solusi dapat juga dilakukan melalui konvensi internal Partai Politik untuk menguji keabsahan masing-masing pihak yang berkonflik. Konvensi ini dilakukan dengan melibatkan konstituen secara menyeluruh dengan memberikan kebebasan untuk melakukan pilihan. Masih terkait dengan penyelesaian konflik tersebut di atas, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik memberikan rambu-rambu sebagai berikut :175 1. Perselisihan Partai Politik diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat. 2. Jika musyawarah mufakat tidak tercapai, penyelesaian perselisihan ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. 3. Penyelesaian di luar pengadilan dapat dilakukan melalui rekonsiliasi, mediasi, atau arbitrase Partai Politik yang mekanismenya diatur dalam AD dan ART. Tidak dapat dipungkiri bahwa yang namanya Partai Politik adalah organisasi yang sarat dengan kepentingan. Penyelesaian konflik yang terjadi di tubuh Partai Politik jelas didominasi oleh kepentingan tersebut. Jika para pihak tetap bersikukuh dengan kepentingannya masing-masing, maka jalan yang terbaik adalah menyerahkan sepenuhnya pada penyelesaian melalui jalur hukum.176 Namun sayang, sampai saat ini jalur-jalur hukum (peradilan) di Indonesia juga sarat dengan kepentingan dan tingkat independensinya masih juga diragukan. Secara prinsipiil keberadaan Partai Politik dalam sistem ketatanegaraan disamping untuk memenuhi tuntutan demokrasi, juga merupakan manifestasi dari hak politik 175Pasal 32 UU No. 2 Tahun 2008 tentang

warganegara yang dijamin oleh konstitusi. Intervensi terhadap kehidupan kepartaian yang dilakukan oleh pemerintah, secara normatif jelas merupakan pelanggaran terhadap demokrasi dan hak politik warga negara. Bertitik tolak dari konsep dasar seperti inilah, maka jika terjadi konflik internal di tubuh Partai Politik, seharusnya pemerintah tidak perlu ikut campur tangan. Pemberian legalitas atau verifikasi sebagai badan hukum yang dilakukan oleh Pemerintah lewat DEPKUMHAM terhadap Partai Politik yang sedang berkonflik merupakan bentuk intervensi terhadap kehidupan Kepartaian. Oleh sebab itu jika ada salah satu Partai Politik sedang mengalami konflik, pemerintah tidak perlu memberikan legalitas atau menolak verifikasi Partai Politik tersebut, sebelum konflik internal dapat diselesaikan oleh Partai Politik yang bersangkutan. Jika langkah tersebut dilakukan, maka hal ini akan menimbulkan manfaat ganda bagi kehidupan kepartaian itu sendiri. Pertama; proses pendewasaan Partai Politik akan terjadi dengan ditandai adanya kemampuan Partai Politik dalam memanage konflik. Kedua; merupakan seleksi alamiah bagi Partai Politik itu sendiri. Artinya jikalau ternyata Partai Politik memang tidak mampu untuk meredam atau menyelesaikan konflik internal, maka kemungkinan untuk ditinggalkan oleh konstituen akan semakin besar. Hal ini penyederhanaan Partai Politik justru akan terjadi tanpa adanya intervensi Pemerintah. Pendek kata, biarkan aja berkonflik toh yang rugi adalah Partai Politik itu sendiri. Standar Internasional menyatakan bahwa lembaga penyelenggara pemilu harus melakukan semua kegiatan pemilu secara independen, transparan, dan tidak berpihak.177 Terkait dengan hal ini IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance) merumuskan beberapa prinsip yang harus dilakukan oleh lembaga penyelenggara pemilu demi mencapai pemilu yang bebas dan adil:178 1. Independen dan ketidak berpihakan: Lembaga penyelenggara pemilu tidak boleh tunduk pada arahan dari pihak lain manapun, baik pihak berwenang atau pihak partai politik. 177Didik Supriyanto, Menjaga Independensi Penyelenggara Pemilu, USAID, drsp, Perludem, Jakarta, 2007, hlm. Iv. 178Ibid, hlm. 28. Lembaga ini harus bekerja tanpa pemihakan atau praduga politik. Harus mampu menjalankan kegiatan yang bebas dari campur tangan, karena setiap dugaan manipulasi, persepsi bias atau dugaan campur tangan, akan memiliki dampak langsung, tidak hanya terhadap kredibilitas lembaga, tetapi juga terhadap keseluruhan proses dan hasil pemilu. 2. Efisiensi dan Keefektifan: Efisiensi dan keefektifan merupakan komponen terpadu dari keseluruhan kredibilitas pemilu. Efisiensi dan keefektifan tergantung

beberapa faktor, termasuk profesionalisme para staf, sumber daya, dan yang paling penting waktu yang memadai untuk menyelenggarakan pemilu, serta melatih orang-orang yang bertanggung jawab atas pelaksanaan teknis pemilu. 3. Profesionalisme: Pemilu harus dikelola oleh orang-orang yang terlatih dan memiliki komitmen tinggi. Mereka adalah karyawan tetap lembaga yang mengelola dan mempermudah proses pelaksanaan pemilu. 4. Keputusan yang tidak berpihak dan cepat: UndangUndang membuat ketentuan mekanisme untuk menangani, memproses dan memutuskan keluhankeluhan pemilu dalam kerangka waktu tertentu. Hal ini mengharuskan para pengelola pemilu harus mampu berpikir dan bertindak cepat dan tidak memihak. 5. Transparansi: Kredibilitas menyeluruh dari seluruh proses pemilu tergantung pada semua kelompok yang terlibat di dalamnya, seperti Partai Politik, pemerintah, masyarakat madani dan media. Mereka secara sadar ikut serta dalam perdebatan yang mewarnai pembentukan struktur, proses dan hasil pemilu. Lembaga harus bersifat terbuka terhadap kelompok-kelompok tersebut, komunikasi dan kerja sama perlu dilakukan guna menambah bobot transparansi proses penyelenggaraan pemilu. Menurut Pasal 8 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu dinyatakan bahwa Partai Politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi Persyaratan: a. berstatus badan hukum sesuai dengan undang-undang Partai Politik; b. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi; c. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/ kota di provinsi yang bersangkutan; d. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; e. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota; f. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada huruf b dan huruf c; dan g. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.

Persyaratan Partai Politik untuk mengikuti Pemilu tersebut dapat berjalan tanpa kendala, manakala Partai Politik peserta pemilu tidak sedang mengalami konflik internal. Persoalannya bagaimanakah jika ada suatu Partai Politik yang sedang berkonflik? Apakah KPU tetap akan menetapkan Partai Politik tersebut sebagai peserta pemilu, bahkan kalau terjadi perpecahan dari Partai Politik akan menetapkan keduaduanya sebagai peserta pemilu? Untuk menjawab persoalan ini, maka berdasarkan kelima prinsip tersebut di atas, KPU harus mengambil langkah sebagai berikut: 1. Independen dan ketidak berpihakan: KPU harus tetap menjaga netralitas dalam menentukan Partai Politik sebagai peserta Pemilu. Jika Partai Politik yang berkonflik dan masingmasing mendaftar sebagai peserta pemilu, maka KPU harus bertindak tegas agar persoalan internal diselesaikan terlebih dahulu. Jika KPU tetap menerima pendaftaran, maka hal ini menunjukkan bahwa KPU berpersepsi bias yang pada akhirnya akan menurunkan kredibilitas lembaga maupun keseluruhan proses dan hasil pemilu. 2. Efisiensi dan keefektifan: KPU harus mengambil langkahlangkah yang efisien dan efektif dalam mensikapi persoalan yang terjadi dalam tubuh Partai Politik yang sedang mengalami konflik. Cara yang tepat untuk mendukung ini adalah dengan melandaskan pada kepastian hukum tentang posisi dari masing-masing pihak yang ada di dalam Partai Politik yang berkonflik tersebut. Kepastian hukum dapat tercapai jikalau persoalan internal partai telah diputus melalui mekanisme putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap. 3. KPU melakukan klarifikasi terhadap Partai Politik yang sedang berkonflik dengan cara mengkaji AD/ART dari Partai Politik yang bersangkutan. Dasar pijakan untuk klarifikasi ini adalah AD/ART awal pembentukan Partai Politik yang bersangkutan. Bukan AD/ART sebaga akibat adanya konflik. Dokumen yang terkait dengan AD/ART ini tentu sudah ada di arsip KPU ketika menyelenggarakan Pemilu masa sebelumnya. Sehingga jika Partai Politik yang berkonflik telah pecah dan memunculkan dua AD/ART, maka jalan satu-satunya adalah dengan memberikan pilihan kepada Partai Politik tersebut untuk berganti nama dan simbol. Hal ini perlu dilakukan agar masyarakat pemilih tidak mengalami kebingungan ketika proses pemilihan berlangsung. Terkait dengan hal ini jika ada Perubahan AD dan ART sebagai akibat adanya konflik (perselisihan Partai Politik), maka menurut Pasal 8 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik ditegaskan bahwa Menteri tidak dapat mengesahkan perubahan tersebut. 4. KPU harus menentukan syarat-syarat Pendaftaran Pemilu bagi Partai Politik. Di dalam persyaratan tersebut harus ada ketentuan mengenai pernyataan bahwa Partai Politik yang bersangkutan bebas dari persoalan internal. Hal ini

mengingat kedudukan KPU sebagai "wasit" Pemilu harus bersikat tegas dan tidak memihak. Partai Politik sebagai instrumen demokrasi sudah sepantasnya menjadi contoh bagi proses pembelajaran demokrasi yang penuh kedamaian, dan bukan anarkhi. Konflik di tubuh Partai Politik sejatinya menunjukkan ketidak dewasaan dalam berdemokrasi. Jika demokrasi hanya dimaknai sebagai sebuah kelumrahan dalam perbedaan pendapat, maka perbedaan pendapat tersebut tentunya harus dapat diselesaikan secara elegan. Munculnya partai-partai kecil sebagai akibat adanya konflik internal di tubuh partai sejatinya merupakan dampak dari sistem pemilu yang proporsional. Dalam sistem pemilu proporsional, Partai Politik-Partai Politik (besar maupun kecil) memang dimungkinkan akan memperoleh suara dalam pemilu. Namun demikian, jika hal ini terus menerus dilakukan justru akan mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Partai Politik akan semakin terpuruk. Masyarakat akan berpandangan; "mengurus Partai Politik saja tidak mampu, apalagi mengurus negara". Oleh sebab itulah sudah seharusnya elit Partai Politik jangan terlalu percaya diri dan selalu mengklaim bahwa dirinya-lah yang paling legitimate. Tingkat legitimasi Partai Politik di mata masyarakat bukan terletak pada elit politik atau toloh-tokoh yang ada di dalamnya, melainkan seturut dengan kecerdasan masyarakat dalam berpolitik, sangat ditentukan dari kemampuan Partai Politik dalam mengelola konflik yang ada di dalam tubuh Partai Politik itu sendiri. 6. Perkembangan Partai Politik di Indonesia. Di dalam buku yang berjudul Strategi Pembangunan Hukum Nasional, Ali Moertopo memberikan gambaran tentang perkembangan Partai Politik di Indonesia sebagai berikut:179 a. Keberadaan Partai Politik di Indonesia dimulai sejak Pemerintah Hindia Belanda mencanangkan Politik Etis pada tahun 1908. dengan adanya Politik Etis ini, maka banyak kalangan cerdik pandai kaum bumiputera yang mulai tergerak untuk ikut dalam kehidupan ketatanegaraan melalui berbagai organisasi kemasyarakatan. Pelopor dari organisasi kemasyarakatan tersebut adalah Boedi Oetomo. b. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, dan dengan keluarnya Maklumat No. X Tahun 1945 tertanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah 14 Nopember 1945 mulai saat itulah Indonesia menganut sistem

multi partai yang ditandai dengan munculnya 24 Partai Politik yang berbasis aliran (ideologi). c. Menjelang Pemilu tahun 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal terdapat 70 Partai Politik maupun perseorangan yang mengambil bagian dalam Pemilu tersebut. Perlu diketahui bahwa Pamilu Tahun 1955 dipergunakan untuk memilih anggota Konstituante yang bertugas untuk merumuskan UUD yang menggantikan UUDS 1950, dan memilih anggota DPR. d. Mulai Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dilakukanlah penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia, melalui: 1. Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1959 dan Peraturan Presiden No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang Pengakuan, Pengawasan dan pembubaran Partai Politik. 2. Pada tanggal 17 Agustus 1960 PSI dan Masyumi dibubarkan. e. Pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya ada 9 Partai Politik yang mendapat pengakuan, yaitu PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katolik, Perti, Murba, dan Partindo. Dengan berkurangnya jumlah Partai Politik tersebut, tidak berarti konflik ideologi dalam masyarakat karena pertentangan ideologi yang dibawa oleh Partai Politik menjadi berkurang. Untuk mengatasi hal ini, maka pada tanggal 12 desember 1964, di Bogor diselenggarakan pertemuan Partai Politik dan menghaslkan Deklarasi Bogor. f. Tanggal 12 Maret 1966 setelah terjadinya pemberontakan PKI, maka PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai Partai Politik terlarang di Indonesia. Kemudian dimulailah usaha pembinaan Partai Politik yang dilakukan oleh Orde Baru. g. Tanggal 20 Pebruari 1968 didirikan Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) sebagai langkah peleburan dan penggabungan ormas-ormas Islam yang sudah ada dan yang belum tersalurkan aspirasinya. Pendukung dari Parmusi adalah Muhamadiyah, HMI, PII, Aliwasliyah, HSBI, Gasbindo, PUI dan IPM. h. Tanggal 27 Pebruari 1970, Presiden Soeharto mengadakan konsultasi dengan Partai Poliik yang ada, guna membahas

gagasan untuk mengelompokkan Partai Politik yang ada di Indonesia. Gagasan pengelompokan ini dirumuskan dalam tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan jangka pendek adalah mempertahankan stabilitas nasional dan kelancaran pembangunan dalam rangka menghadapi Pemilu. Sedangkan tujuan jangka panjang adalah melakukan penyederhanaan kehidupan kepartaian di Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh Tap MPRS No. XXII/MPRS/1966. i. Gagasan penyederhanaan kehidupan kepartaian di Indonesia ini tidak hanya mengandung arti pengurangan jumlah Partai Politik, tetapi juga melakukan perombakan sikap dan pola kerja dari Partai Politik menuju orientasi pada program. Sehubungan dengan hal ini Presiden Soeharto menyarankan agar Partai Politik mempergunakan asas Pancasila dan UUD 1945.

j. Berdasarkan gagasan ini, maka disarankan pembentukan dua kelompok Partai Politik, sebagai berikut: i. Kelompok materiil-spirituil, yang terdiri dari Partaipartai Politik yang lebih menekankan pada pembangunan materiil tanpa mengabaikan aspek spirituil. Pengelompokan jenis ini diikuti oleh PNI, Murba, IPKI, Partai Katolik, dan Parkindo. ii. Kelompok spirituil-materiil yang terdiri dari partaipartai Politik yang lebih menekankan pada aspek pembangunan spirituil tanpa mengabdikan aspek materiil. Pengelompokan jenis ini diikuti oleh NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Dua model pengelempokan Partai Politik berdasarkan orientasi tersebut memang terasa janggal. Kita ambil contoh misalnya Partai Katolik dan Parkindo yang jelas-jelas bernafaskan spiritual keagamaan, ternyata justru dimasukkan dalam kelompok materiil-spirituil. Kondisi semacam ini mungkin disebabkan adanya kesulitan ideologis untuk menggabungkan kedua Partai Politik ini masuk kedalam kelompok spirituil-materiil, karena kelompok spirituil-materiil terdiri dari Partai-partai politik yang basis ideologinya adalah Islam.

k. Pada tanggal 9 Maret 1970 terjadi pengelompokan Partaipartai Politik dengan terbentuknya Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari PNI, Partai Katolik, Parkindo, IPKI, dan Murba. Kemudian pada tanggal 13 Maret 1970 terbentuk Kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti. 1. Langkah terakhir penyederhanaan kehidupan kepartaian di Indonesia adalah pada tanggal 5 dan 10 Januari 1973 terbentuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai bentuk fusi dari Kelompok Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia sebagai fusi Kelompok Demokrasi Pembangunan. m. Di samping dua kelompk (Fusi) Partai Politik tersebut, menurut Orde Baru, dalam perkembangannya terdapat golongan-golongan fungsional yang tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari Partai Politik yang berfusi tersebut. Golongan-golongan tersebut kemudian membentuk satu kelompok tersendiri yang kemudian disebut sebagai Golongan Karya (GOLKAR). Menurut Ali Moertopo, Golongan Karya adalah golongan-golongan dalam masyarakat yang masing-masing menyumbangkan peranan khusus bagi berfungsinya masyarakat, yakni organisasi ekonomi, kultural, sosial dan pertahanan.180 Pandangan Ali Moertopo tersebut ternyata tidak dapat dibenarkan, karena dalam sejarah perkembangannya Golkar sebagai mesin politik orde baru sebenarnya merupakan reinkarnasi dari gabungan birokrasi dan TNI/Polri. Golkar sebenarnya merupakan bentukan pemerintah Orde Baru untuk mengamankan kekuasaannya. Hal ini nampak jelas dengan dimasukkannya Korps Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia (KORPRI) sebagai organisasi underbow GOLKAR. n. Akhinya dalam Pemilu tahun 1971 hanya terdapat tiga kekuatan sosial Politik peserta Pemilu, yaitu dua Partai Politik (PPP dan PDI) dan satu Golongan Karya (GOLKAR). Keberadaan ketiga organisasi kekuatan sosial politik ini dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Dengan adanya undang-undang tersebut praktis kehidupan kepartaian Indonesia di era Orde Baru dibatasi, artinya tidak diperkenankan munculnya organisasi atau golongan politik lain selain yang sudah ditegaskan dalam Undang-undang tersebut. Walaupun Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 mengalami perubahan berulang kali, namun kondisi kepartaian di Indonesia berjalan tetap seperti semula. Bahkan perubahan-perubahan undang-undang yang dilakukan itu semata-mata hanya untuk memperkuat GOLKAR dalam peta politik ketatanegaraan Indonesia. Dengan kondisi yang demikian ini, berarti kehidupan demokrasi yang menjamin kebebasan masyarakat untuk berkumpul dan berserikat, serta menyampaikan pendapat

baik tertulis maupun lisan, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUD 1945 telah dibatasi. Rezim Orde baru telah melanggar konstitusi demi menjaga kelanggengan kekuasaannya. GOLKAR sebagai kekuatan mayoritas dan selalu memegang posisi single majority terus mendominasi peta kehidupan politik ketatanegaraan Indonesia. Kemampuan GOLKAR yang demikian

ini sebenarnya bukan atas kekuatannya sendiri, melainkan karena GOLKAR memperoleh fasilitas-fasilitas politik dari pemerintah (birokrasi). Pada hakikatnya kekuatan GOLKAR dalam peta kehidupan ketatanegaraan Indonesia disebabkan oleh tiga pilar penyangga, yaitu Presiden Soeharto sendiri yang bertindak sebagai Dewan Pembina GOLKAR, Birokrasi dan Militer (TNI/Polri). Dengan keterpasungan kehidupan kepartaian di era Orde baru inilah, maka pelaksanaan sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi tidak sejalan alias menolak prinsip-prinsip ketatanegaraan yang - demokratis. Puncak dari keterpasungan kehidupan kepartaian di Indonesia mencapai titik yang tidak dapat ditolerir lagi hingga menimbulkan perlawananperlawanan politik, pada waktu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dipecah oleh Pemerintah Orde Baru dengan cara tidak mengakui kepemimpinan Megawati Soekarno Putri, dan hanya mengakui kepemimpinan PDI di bawah Surjadi. Perpecahan di tubuh PDI tersebut menimbulkan kemelut berkepanjangan yang pada akhirnya mengakibatkan peristiwa berdarah yang sering disebut sebagai Peristiwa sabtu kelabu pada tanggal 27 Juli 1996. Massa PDI di bawah kepemimpinan Suryadi dibantu aparat keamanan dan tentara bertindak sangat represif dan membabi buta untuk membubarkan massa PDI di bawah kepemimpinan Megawati Soekarno Putri yang saat itu menguasai kantor Pusat PDI di jalan Diponegoro Jakarta. Peristiwa sabtu kelabu 27 Juli 1996 ini menjadi titik awal perlawanan aktifis pro demokrasi untuk menentang kezaliman rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto dan mencapai titik kulminasi bersamaan dengan terjadinya krisis multidimensional di akhir tahun 1997 sampai dengan pertengahan Mei 1998 yang ditandai dengan merosotnya nilai tukar rupah terhadap dolar sampai berkisar Rp. 15.000,/dolar AS. Kondisi semacam ini menjadi totik tolak untuk menumbangkan Rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang memegang tampuk kepemimpinan Indonesia selama lebih kurang 32 tahun. Kemerosotan moral karena praktek-praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) mengakibatkan bangsa Indonesia tidak mampu untuk melepaskan diri dari krisis multi dimensional. Kerusuhan massa yang berbau rasial pada

bulan Mei 1998 menjadi pemicu mundurnya presiden Soeharto dan diganti oleh wakil Presiden BJ. Habibie pada tanggal 20 Mei 1998, setelah sebelumnya mahasiswa menduduki gedung MPR untuk beberapa hari. Peristiwa inilah yang kemudian disebut sebagai gerakan reformasi 1998. Setelah gerakan reformasi berhasil menumbangkan penguasa Orde Baru, maka mulai saat itulah dilakukan pembenahan sistem demokrasi dengan melaksanakan Pemilu tahun 1999, mengamandemen UUD 1945, dan membenahi sistem politik ketatanegaraan Indonesia menuju kearah sistem demokrasi. Di bidang kehidupan kepartaian dibentuk UU No. 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik yang kemudian diubah dengan UU No. 2 Tahun 2008 yang sekarang ini berlaku. Dengan adanya Undang-undang inilah, maka sistem kepartaian di Indonesia menjadi sistem multi partai.

Bab VII PEMERINTAHAN LOKAL


(Pemerintahan Lokal merupakan sendi dari negara Kesatuan yang demokratis. "Keberadaan (Pemerintahan Lokal (otonom) merupakan bentukjpengakuan terhadap karakteristik^atau ciri masing-masing wiCayah negara, dan merupakan pencerminan dari prinsip negara hukum yang demokratis.

A. Peristilahan.
Keberadaan Pemerintahan Lokal di dalam suatu negara, khususnya di Indonesia pernah menimbulkan perdebatan di lingkungan akademis terkait dengan peristilahannya. Ada yang mempergunakan istilah Pemerintahan di Daerah dan ada pula yang mempergunakan istilah Pemerintahan Daerah. Bagi kalangan awam kedua peristilahan tersebut dianggap mengandung pengertian yang sama, padahal jika ditelaah lebih dalam antara satu dengan yang lain terkandung perbedaan yang bersifat prinsipiil. Istilah Pemerintahan Daerah, lebih tepat dipergunakan untuk menyebut satuan pemerintahan di bawah pemerintah pusat yang memiliki wewenang pemerintahan sendiri. Dalam konteks UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah adalah penyelenggara urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.181 Dengan demikian istilah Pemerintahan Daerah itu dipergunakan untuk menyebut satuan pemerintahan rendahan di bawah pemerinah Pusat (central Government) yang berwenang untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri (urusan pemerintahan sendiri) dengan mempergunakan organ-organ yang dibentuk sendiri. Jadi istilah Pemerintahan Daerah lebih tepat dipergunakan untuk menyebutkan kegiatan yang dilakukan oleh Daerah Otonom dalam melaksanakan urusan atau wewenang pemerintahan sendiri. Istilah Pemerintahan di Daerah pernah digunakan di Indonesia pada waktu dasar penyelenggaraannya mempergunakan UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Istilah ini sebenarnya lebih tepat dipergunakan untuk menyebutkan satuan-satuan atau organorgan Pemerintahan Pusat yang ditempatkan di daerah dalam rangka menyelenggarakan sistem pemerintahan dalam arti luas. Oleh sebab itu istilah Pemerintahan di Daerah sebenarnya bukan dalam lingkup pembicaraan mengenai Pemerintahan Daerah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 18, Pasal 18 A, dan Pasal 18 B UUD 1945.

Menurut Bagir Manan Pasal 18 UUD 1945 mengatur mengenai Pemerintahan Daerah, bukan Pemerintahan di Daerah, karena Pemerintahan di Daerah pada hakikatnya merupakan unsur tata laksana penyelenggaraan Pemerintahan Pusat sebagai cerminan dari pelaksanaan asas 182 dekonsentrasi. Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa antara kedua peristilahan tersebut mengandung makna yang berbeda antara satu dengan lainnya. Bertitik tolak dari adanya perbedaan istilah tersebut di atas, di dalam buku ini Penulis mempergunakan istilah Pemerintahan Lokal. Penggunaan istilah ini, karena mengandung pemahaman lebih umum dan dapat 181Pasal 1 angka 2 UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 182Bagir Manan, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945 (Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaannya), dipergunakan untuk hlm. mengkaji Unsika, Karawang, 35. satuansatuan pemerintahan yang lebih rendah dalam perspektif bangunan negara manapun. Mengingat dalam bangunan negara federal, kesatuan maupun konfederasi juga dikenal adanya satuansatuan pemerintahan yang lebih rendah, seperti negara bagian di Amerika serikat, Pemerintahan Daerah di Indonesia, dan Kanton di negara Konfederasi Swiss.

B. Bentuk Pemerintahan Lokal.


Setelah Amandemen II terhadap Pasal 18 UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 2000, pengaturan mengenai Pemerintahan Lokal secara lengkap diatur sebagai berikut: (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerahdaerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota; tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. (2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (3) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. (4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. (5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. (6) Pemerintah daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. (7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.

Lebih lanjut di dalam ketentuan Pasal 18 B UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditegaskan: (1) Hubungan wewenang antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. (2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undangundang. Sedangkan menurut Pasal 18 B UUD 1945 juga ditegaskan mengenai status daerah yang bersifat istimewa dan kesatuan masyarakat adat. Pasal ini secara lengkap menyatakan: (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionilnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan undang-undang. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam Amandemen UUD 1945 telah diberikan garis secara tegas mengenai penyelenggaraan pemerintahan lokal di Indonesia. Garis tegas tersebut menyangkut pemberian otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan sendiri, serta pengakuan kepada daerah-daerah yang bersifat khusus atau istimewa termasuk kesatuan-kesatuan masyarakat adat asalkan tidak melanggar batas-batas dari Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini berarti setelah Amandemen UUD 1945 titik tolak penyelenggaraan pemerintahan lokal hanya ditekankan pada otonomi daerah. Dalam khasanah teori Hukum Tata Negara dikenal pula adanya dua bentuk penyelenggaraan pemerintahan di tingkat lokal. Kedua bentuk pemerintahan tersebut adalah: 1. Pemerintahan Lokal Administratif, yakni satuan-satuan pemerintahan lokal di bawah pemerintahan pusat yang sematamata hanya menyelenggarakan aktifitas pemerintahan pusat di wilayah-wilayah negara. Satuan pemerintahan lokal seperti ini pada hakikatnya hanya merupakan perpanjangan tangan dari pemerintahan pusat. Adapun cirri-ciri dari

pemerintahan lokal administratif, yaitu: a. Kedudukannya merupakan wakil dari pemerintah pusat yang ada di daerah; b. Urusan-urusan pemerintahan yang diselenggarakan pada hakikatnya merupakan urusan pemerintahan pusat; c. Penyelanggaraan urusan-urusan pemerintahan hanya bersifat administratif belaka; d. Pelaksana urusan-urusan pemerintahan dijalankan oleh pejabat-pejabat pemerintah pusat yang ditempatkan di daerah; e. Hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah lokal adalah hubungan antara atasan dan bawahan dalam rangka menjalankan perintah; dan f. Seluruh penyelenggaraan urusan pemerintahan dibiayai dan mempergunakan sarana dan prasarana pemerintah pusat. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Pemerintahan Lokal Administratif pada hakikatnya hanyalah merupakan kegiatan-kegiatan atau aktifitas pemerintahan yang dilakukan oleh organ-organ pemerintah pusat yang ditempatkan di wilayah-wilayah negara. 2. Pemerintahan Lokal Otonom, yakni satuan-satuan pemerintahan lokal yang berada di bawah pemerintahan pusat yang berhak atau berwenang menyelenggaraan pemerntahan sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat. Ciri-ciri dari pemerintahan lokal seperti ini, adalah: a. Urusan-urusan pemerintahan atau wewenang pemerintahan yang diselenggarakan oleh pemerintahan lokal Otonom adalah urusan atau wewenang yang telah menjadi urusan rumah tangga sendiri. b. Penyelenggaraan Pemerintahan Lokal Otonom dijalankan oleh pejabat-pejabatyangmerupakanpegawai pemerintahan lokal itu sendiri. Atau dengan kata lain pejabat-pejabat tersebut diangkat dan dberhentikan oleh pemerintah Lokal Otonom iu sendiri. c. Penyelenggaraaan urusan-urusan pemerintahan dijalankan atas dasar inisiatif atau prakarsa sendiri.

d. Hubungan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan lokal Otonom adalah hubungan yang sifatnya pengendalian dan pengawasan. Bahkan kalau boleh mengatakan adalah hubungan kemitraan (partnership). Kedua bentuk penyelenggaraan Pemerintahan lokal tersebut di atas (administratif dan otonom) pernah dilakukan secara bersama-sama dalam satu wilayah. Hal ini nampak jelas ketika politik perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia mempergunakan UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Di dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa di dalam satu wilayah akan terdapat pemerintahan Daerah Otonom dan Wilayah Administratif.183 Menurut Undang-undang yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah setelah reformasi 1998 dua bentuk penyelenggaraan pemerintahan lokal tersebut sudah dipisahkan secara tegas. Baik UU No. 22 Tahun 1999 maupun UU No. 32 tahun 2004 menegaskan bahwa Pemerintahan Lokal Otonom hanya dilaksanakan di kabupaten dan Kota, 183 Penetasan umum UU No. 5 Tahun 1974 Tentang PokokPokok Pemerintahan di Daerah. sedangkan untuk penyelenggaraan pemerintahan lokal administratif dan otonom dilaksanakan secara bersama-sama di provinsi yang dalam hal ini dilakukan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Hal ini nampak dari ketentuan Pasal 9 UU No. 22 Tahun 1999 yang menyatakan: (1) Kewenangan provinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya. (2) Kewenangan provinsi sebagai daerah otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah kabupaten dan Daerah Kota. (3) kewenangan Propinsi sebagai wilayah administratif mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 32 tahun 2004 nampak dari ketentuan Pasal 37 ayat (1) yang menyatakan bahwa Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan.

C. Asas-Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Lokal.


Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Lokal dikenal adanya 4 (empat) asas penyelenggaraan, yaitu:

1. Asas Sentralisasi. Yaitu suatu asas pemerintahan yang terpusat, artinya tidak dikenal adanya penyerahan wewenang atau urusan pemerintahan kepada bagian-bagian (daerah/wilayah) negara. Semua kewenangan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal berada di tangan pemerintah pusat, kalaupun ada kewenangan yang berada di pemerintahan lokal, hal itu semata-mata hanya menjalankan perintah dari pemerintah pusat saja. Pemerintah Lokal termasuk pejabatpejabatnya di tingkat lokal hanya melaksanakan kehendak atau kebijaksanaan dari pemerintah pusat. Tidak dikenal adanya inisiatif atau prakarsa dari pemerintahan lokal. Kondisi semacam ini tentu mengandung kebaikan dan kelemahan, yaitu; a. kebaikan; 1. menjadi alat yang ampuh dari kesatuan politik, persekutuan atau masyarakat; 2. dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mencegah timbulnya keinginan dari bagian-bagian negara untuk melepaskan diri dan dapat pula dipergunakan sebagai sarana untuk memperkuat persatuan; 3. mempercepat persamaan dalam perundang-undangan, pemerintahan sepanjang kepentingan-kepentingan wilayah mempunyai sifat yang sejenis; 4. lebmmengutamakankepentmgankepentingankeseluruhan (nasional) di atas kepentingan-kepentingan dari bagian-bagian; 5. sebagai sarana untuk mengumpulkan tenaga dari masing-masing bagian yang tidak kuat menjadi suatu kesatuan yang berarti dan dapat memperbesar kemungkinan untuk menyelenggarakan sesuatu yang lebih besar, baik dalam arti idiil, moril, dan perlengkapannya; dan 6. dalam keadaan tertentu dapat memberikan efisiensi yang lebih besar dalam organisasi pemerintahan, walaupun hal ini belum dapat dipastikan. b. Kelemahan: 1. mengakibatkan rentang birokrasi yang semakin panjang dengan segala keuntungan dan kerugiannya yang melekat; 2. karena urusan negara semakin kompleks sebagai akibat diterapkannya prinsip welfare state, maka tugas, wewenang, dan tanggung jawab pemerintah pusat menjadi semakin berat. Hal ini mengingat urusanurusan pemerintahan yang sifatya lokal harus ditangani juga secara terpusat. Oleh sebab itu sentralisasi jelas akan menghambat efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan secara umum;

3. pengambilan keputusan-keputusan untuk masalah-masalah yang bersifat lokal menjadi sulit untuk segera dipecahkan, karena harus selalu menunggu kebijaksanaan dan keputusan dari pemerintah pusat; 4. pengambilan keputusan cenderung diseragamkan tanpa mengindahkan karakteristik, kondisi dan kemampuan masing-masing daerah, serta menafikan prinsip-prinsip partisipasi; 5. terhambatnya proses demokratisasi dan pemencaran kekuasaan (prinsip negara hukum). Hal ini mengingat kebebasan daerah untuk menentukan kebijaksanaan sendiri sesuai dengan keinginan rakyat masing-masing daerah tidak diberi ruang yang cukup; 6. daerah tidak memiliki alternatif pilihan, kecuali hanya menerima seluruh kebijaksanaan, arahan, dan keputusan pemerintah pusat. Ditinjau dari aspek kelebihan dan kelemahan asas sentralisasi ini, maka nampakjelas bahwa aspekkelemahanjustm mendominasi. Oleh sebab itu dikembangkanlah asas desentralisasi. 2. Asas Desentralisasi. Asas ini menghendaki dalam penyelengaraan pemerintahan, ada sebagian wewenang atau urusan pemerintahan pusat dilimpahkan atau diserahkan kepada pemerintah lokal untuk diatur dan diurus sendiri sebagai urusan rumah tangga sendiri. Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Definisi ini berbeda bila di bandingkan dengan Undang-Undang yang pernah berlaku, yakni Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokokpokok Pemerintahan Di Daerah, dan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang diberlakukan semasa Pemerintahan Orde Baru, dinyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah/Daerah Tingkat yang lebih atas kepada Daerah untuk menjadi urusan rumah tangga sendiri. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan kepada Daerah otonom dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perbedaan definisi dari ketiga Undang-Undang tersebut di atas, dapat ditinjau dari makna yang terkandung di dalamnya, yakni: 1. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 pengertian de-

sentralisasi dititik beratkan kepada penyerahan wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, dan penyerahan tersebut ditujukan kepada Daerah Otonom. Perumusan seperti ini mengandung makna: a. Penyerahan wewenang yang dilakukan itu sematamata dipergunakan untuk melaksanakan fungsi pengaturan dan pengurusan urusan-urusan pemerintahan; dan b. Penyerahan tersebut ditujukan kepada daerah otonom. Ini berarti daerah otonom memang sudah terbentuk. 2. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokokpokok Pemerintahan Daerah pengertian desentralisasi dititik beratkan pada penyerahan urusan pemerintahan. Hal ini berarti sifat dari yang diserahkan itu adalah sempit, karena menyangkut urusan pemerintahan. Oleh sebab itu ketika urusan pemerintahan tersebut diserahkan, maka wewenang dari daerah hanya sebatas pada bidang urusan pemerintahan yang telah diserahkan tersebut. Pendek kata wewenang untuk mengatur dan mengurus tersebut hanya terbatas pada urusan pemerintahan yang telah diserahkan. Lain dari pada itu, makna dari desentralisasi menurut UU ini, menggambarkan bahwa ada atau tidaknya daerah otonom sangat tergantung dari ada atau tidaknya penyerahan urusan pemerintahan tersebut. 3. Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, pengertian desentralisasi justru diperluas, karena yang diserahkan adalah wewenang pemerintahan. Artinya dengan adanya penyerahan wewenang ini, maka daerah otonom dapat mengatur dan mengurus urusan pemerintahan apa saja, sehingga terjadilah perluasan wewenang yang pada akhirnya karakteristik desentralisasi menurut UU ini menjadi bercorak federalistis. Terjadinya perbedaan makna dalam mendefinisikan pengertian desentralisasi tersebut disebabkan memang dalam sejarah perjalanan pengorganisasian Sistem Pemerintahan Negara dalam garis vertikal di Indonesia telah mengalami perdebatan yang cukup panjang. Ketika tuntutan reformasi adalah memberikan otonomi luas kepada daerah, maka rumusan desentralisasi harus dimaknai penyerahan wewenang pemerintahan yang memungkinkan daerah-daerah dapat mengatur dan mengurus urusan pemerintahan apa saja. Alih-alih dari rumusan seperti inilah, maka terjadi otonomi daerah yang kebablasan dan mengarah kepada konsep negara federal. Menurut Hans Kelsen, pengeritian desentralisasi berkaitan dengan pengertian negara. Menurut Hans Kelsen negara itu merupakan tatanan hukum (legal order). Oleh seb-tb itu pengertian desentralisasi menyangkut berlakunya sistem

tatanan hukum dalam suatu negara. Di dalam negara ada kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah untuk seluruh wilayah negara yang sering disebut sebagai kaidah sentral (central norm) dan ada pula kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah dalam bagian-bagian wilayah yang berbeda yang disebut desentral atau kaidah lokal (decentral or local norm). Jadi menurut Hans Kelsen, apabila kita membicarakan tatanan hukum yang desentralistik, maka hal ini akan dikaitkan dengan lingkungan tempat berlakunya suatu tatanan hukum yang berlaku sah tersebut.184 Pendapat yang dikemukakan oleh Hans Kelsen tersebut, dalam konteks pemahaman mengenai desentralisasi, masih terasa lemah. Hal ini disebabkan pendapat tersebut memunculkan persoalan yaitu siapakah yang mempunyai wewenang untuk membentuk kaidah-kaidah hukum yang desentral tersebut? Jika kaidah-kaidah hukum yang desentral tersebut dibentuk atas kewenangan dari bagian-bagian secara mandiri, maka hal ini memang bisa dikatakan sebagai norma yang desentralistik. Sebaliknya, jika ternyata kaidah-kaidah hukum yang desentral tersebut tetap dibentuk atas kewenangan pemerintah pusat, sedangkan pemerintah lokal hanya melaksanakan saja, maka hal ini tentu tidak dapat dikatakan sebagai norma yang desentralistik. Bahkan bisa dikatakan sebagai norma yang sentralistik. Berkaitan dengan argumentasi tersebut, Bagir Manan mengemukakan bahwa yang disebut desentralisasi adalah bentuk dari susunan organisasi negara yang terdiri dari satuan-satuan Pemerintahan Pusatdan satuan pemerintahan yanglebihrendah yang dibentuk baik berdasarkan teritorial ataupun fungsi pemerintahan tertentu.185 Pendapat seperti ini memberikan gambaran kepada kita bahwa yang namanya desentralisasi berkaitan dengan bentuk dan susunan organisasi, bukan menyangkut persoalan pemberlakuan norma hukum. Oleh sebab itu desentralisasi sangat erat hubungannya dengan bangunan organisasi yang terstruktur dan berjenjang-jenjang, dimana masing-masing struktur dan jenjang tersebut diberi kewenangan sendiri untuk menentukan berbagai aktifitas dan fungsinya masing-masing. Irawan Soedjito mengatakan bahwa, desentralisasi memiliki arti sebagai pelimpahan wewenang pemerintahan untuk dilaksanakan.186 Sedangkan Joeniarto mengatakan bahwa desentralisasi adalah asas yang bermaksud 184Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 24. 185Ibid, him. 22. memberikan wewenang dari pemerintah negara kepada pemerintah lokal untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri.187

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas, maka asas desentralisasi pada prinsipnya adalah:

1. penyerahan urusan atau wewenang pemerintahan dari pemerintah atau pemerintah Lokal tingkat yang lebih atas kepada daerah untuk menjadi urusan atau wewenang pemerintahan sendiri; 2. merupakan suatu asas yang bermaksud melakukan pembagian wilayah negara menjadi daerah besar dan daerah kecil yang berhak atau berwenang mengatur urusan pemerintahan (rumah tangga) sendiri; 3. merupakan suatu asas yang bermaksud membentuk pemerintahan lokal yang berwenang menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar inisiatif atau prakarsanya masing-masing; 4. merupakan manifestasi bentuk susunan organisasi negara ditinjau dari bangunannya yang terdiri dari pemerintahan pusat dan pemerintahan lokal serta dibentuk berdasarkan aspek teritorial maupun atas dasar fungsi pemerintahan tertentu. Berkaitan dengan prinsip-prinsp tersebut, maka dalam pelaksanaannya, asas desentralisasi mengandung beberapa kelemahan dan kelebihan, yaitu: a. Kelemahan: 1. membuka kemungkinan adanya bagian-bagian (daerah/ wilayah) untuk melepaskan diri dari ikatan pemerintah 186Irawan Soedjito, 1984, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 20. 187Joeniarto, 1982, Perkembangan Pemerintahan Lokal Menurut Peraturan Perundang-undangan Yang Berlaku Dengan Pelaksanaan di Daerah Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, Alumni, Bandung, hlm. 29. pusat. Hal ini dapat terjadi apabila garis-garis kewenangan yang diserahkan kepada daerah tidak secara tegas dirumuskan. 2. membuka kemungkinan terjadinya ketegangan hubungan (spanning) antara pemerintah pusat dengan bagian-bagian (daerah/wilayah), khususnya dalam pembagian kewenangan dalam mengatur urusan-urusan pemerintahan; 3. membuka kemungkinan timbulnya ketimpangan pertumbuhan dan perkembangan diantara masing-masing bagian (daerah/wilayah), mengingat karakteristik dan kemampuan masing-masing bagian adalah berbeda; 4. membuka kemungkinan munculnya fanatisme kedaerahan. Kelebihan: 1. memberikan penilaian yang relatif tepat pada sifat yang berbeda-beda dari wilayah dan penduduk suatu negara; 2. merupakan senjata ampuh untuk memberantas sistem birokrasi yang bertingkat-tingkat; 3. dalam pelaksanaan prinsip welfare state dapat meringankan beban pemerintah pusat dalam mengambil kebijaksanaankebijaksanaan yang berdimensi kedaerahan (lokal); 4. daerah termasuk rakyat yang ada di dalamnya menjadi subyek dalam pengambilan keputusan-keputusan di

tingkat lokal, artinya rakyat masing-masing daerah merupakan pihak-pihak yang berperan secara aktif dalam mengambil kebijaksanaan-kebijaksanaan yang sifatnya kedaerahan; 5. merupakan sarana yang tepat untuk pemenuhan paham demokrasi dan kebebasan rakyat dalam menentukan berbagai langkah kebijaksanaan pemerintahan di tingkat lokal; 6. merupakan sarana yang tepat untuk mengimplementasikan prinsip negara hukum, khususnya dalam rangka melakukan pemencaran kekuasaan. Desentralisasi sebagai suatu asas penyelenggaraan pemerintahan lokal merupakan salah satu pilar yang dipergunakan dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan negara yang mempergunakan prinsip negara hukum yang demokratis. Penggunaan asas desentralisasi ini di samping bertujuan untuk menyelenggarakan sistem pemerintahan yang efektif dan efisien juga dilandasi oleh beberapa latar belakang prinsipiil. Latar belakang perlunya desentralisasi, khususnya di dalam Negara Kesatuan adalah sebagai berikut:188 1. Prinsip negara hukum: di dalam negara hukum di samping mengenal adanya pemisahan kekuasaan, yakni pemisahan atau pembagian kekuasaan secara horizontal diantara ketiga cabang kekuasaan di dalam negara (eksekutif, Legislatif, dan yudikatif), juga dikenal adanya pemencaran kekuasaan, yakni pendistribusian kekuasaan menurut garis vertikal. Dengan prinsip inilah maka desentalisasi merupakan sarana yang tepat untuk melaksanakan pemencaran kekuasaan. 2. Prinsip Demokrasi: dalam negara demokrasi kebutuhan akan partisipasi rakyat dalam berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan sangat dibutuhkan. Oleh sebab itu keterlibatan rakyat dalam pemerintahan merupakan suatu keharusan. Berdasarkan prinsip semacam inilah, maka desentralisasi merupakan sarana tepat untuk melaksanakan demokratisasi pemerintahan di tingkat lokal, karena rakyat diberi kesempatan ikut terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan politik sesuai dengan kehendak dan kebutuhan rakyat di tingkatan lokal. 3. Prinsip Welfare State: dalam negara kesejahteraan, fungsi negara adalah sebagai pelayan masyarakat (public services) untuk mewujudkan kesejahteraan umum warganya. Fungsi semacam ini tentu tidak dapat berjalan dengan baik jika pe188 Bagir Manan, 1989, Pemerintahan Daerah Bagian 1, Bahan Penataran Administrative and Organization Planning Kerja sama Indonesia-Belanda, UGM, Yogyakarta, hlm 8. laksanaannya dilakukan secara sentralistik. Hal ini mengingat kebutuhan masyarakat di masing-masing bagian atau daerah jelas berbeda-beda sesuai dengan karakteristiknya masingmasing. Dengan demikian dalam prinsip welfare state, asas desentralsasi merupakan sarana yang tepat untuk menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan karakteristik kebutuhan di tingkat lokal. Dengan kata

lain desentralisasi dalam prinsip welfare state merupakan sarana untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat yang dilakukan oleh negara. 4. Prinsip Kebhinekaan: dalam negara yang komposisi masyarakatnya demikian beragam, tidaklah mungkin untuk melakukan penyeragaman (uniformitas) kebijaksanaan dan keputusan-keputusan politik. Karakteristik dan kehendak masing-masing daerah yang berbeda-beda haruslah menjadi bahan pertimbangan utama. Dengan demikian, asas desentralisasi dalam perspektif kebhinekaan merupakan sarana yang tepat untuk menampung keanekaragaman masyarakat. Berdasarkan prinsip-prinsip latar belakang tersebut di atas, maka secara konseptual teoritis dikenal adanya bentuk-bentuk desentralisasi sebagai berikut:189 a. Desentralisasi Teritorial, yakni penyerahanurusan pemerintahan atau pelimpahan wewenang untuk menyelenggarakan suatu urusan pemerintahan dari pemerintah pusat/daerah tingkat yang lebih atas kepada badan-badan yang bersifat kewilayahan (teritorial). Desentralisasi semacam ini menjelma dalam bentuk badan-badan yang berdasarkan aspek kewilayahan, contohnya Pasal 18, Pasal 18 A UUD 1945. b. Desentralisasi Fungsional, yakni penyerahan urusanurusan pemerintahan atau pelimpahan wewenang untuk menyelenggarakan suatu urusan pemerintahan dari pemerintah pusat atau daerah tingkat yang lebih atas kepada badan189 Bagir Manan, Hubungan. ...,Op.cit, hlm. 20-24. badan fungsional tertentu. Desentralisasi semacam ini menjelma dalam bentuk badan-badan berdasarkan pada tujuan-tujuan tertentu, misalnya Subak di Bali. Desentralisasi Politik, yakni pelimpahan wewenang dari pemerintah yang menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah tangga sendiri dari badan-badan politik di daerahdaerah yang dipilih rakyat dalam daerah-daerah tertentu. Pengertian ini sama dengan pengertian desentralisasi teritorial, karena di dasarkan pada sifat kedaerahan sebagai salah satu unsurnya. Desentralisasi Kebudayaan, yaitu memberikan hak kepada golongan-golongan kecil dalam masyarakat (minoritas) untuk menyelenggarakan kebudayaan sendiri seperti mengatur pendidikan, agama dan lain sebagainya. Dalam kebanyakan

negara kewenangan ini diberikan pada kedutaan asing demi pendidikan warga negara masing-masing negara dari kedutaan yang bersangkutan. Dengan demikian sebenarnya desentralisasi yang seperti ini bukan merupakan bentuk penyelenggaraan pemerintahan lokal. Dalam konteks Indonesia, desentralisasi ini nampak dalam ketentuan Pasal 18 B UUD 1945 yang menyatakan: (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionilnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Desentralisasi Administratif, yaitu pemerintah melimpahkan sebagian kewenangannya kepada alat-alat perlengkapan atau organ-organ pemerinahan sendiri di daerah, yakni pejabatpejabat pemerintah yang ada di daerah untuk dilaksanakan. Pengertian semacam ini nampak tidak membedakan antara desentralisasi dengan dekonsentrasi. 300 Sebagai suatu asas yang bermaksud untuk melakukan penyerahan urusan-urusan pemerintahan atau penyerahan wewenang untuk mengurus urusan-urusan pemerintahan, maka dalam implementasinya dikenal adanya dua tipe penyerahan, yaitu: 1. Penyerahan Penuh, yaitu baik tentang asas-asasnya (prinsip-prinsipnya) maupun tentang cara menjalankan kewajiban (pekerjaan) yang diserahkan itu, diserahkan semua kepada daerah sebagai hak otonom; 2. Penyerahan Tidak Penuh, yaitu penyerahan hanya mengenai cara-cara menjalankan saja, sedangkan mengenai prinsip-prinsip (asas-asasnya) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sendiri. Tipe seperti ini disebut juga sebagai asas Tugas Pembantuan (medebewind).1S Dengan adanya dua tipe penyarahan urusan atau wewenang pemerintahan tersebut, maka di dalam asas desentralisasi di samping mengakibatkan adanya hak otonomi bagi suatu daerah, juga menimbulkan hak medebewind. Dalam hal ini Bagir Manan mengemukakan: "Hak medebewind itu hendaknya jangan diartikan sempit, yaitu hanya menjalankan perintah dari atasan saja, sekali-kali tidak, oleh karena Pemerintah Daerah berhak mengatur caranya menjalankan menurut pendapat sendiri, jadi masih mempunyai hak otonomi, sekalipun hanya mengenai cara menjalankan saja, tetapi cara menjalankan ini bisa besar artinya bagi setiap daerah".191 Berdasarkan argumentasi tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa medebewind merupakan aspek dari 190Bagir Manan, Perjalanan Historis....,Op.cit, hlm. 55-56.

desentralisasi atau otonomi, walaupun tidak penuh. Bukti kalau medebewind ini merupakan aspek desentralisasi atau otonomi daerah, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Ketentuan ini memberikan isyarat bahwa antara asas otonomi di satu pihak dengan asas tugas pembantuan dipihak yang lain merupakan dua asas yang dipergunakan oleh pemerintah daerah ketika menyelenggarakan urusan pemerintahan. Dengan demikian, pembedaan antara asas otonomi dan asas tugas pembantuan, hanya terletak pada asal muasal penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Jika otonomi berasal dari wewenang daerah itu sendiri, sedangkan tugas pembantuan berasal dari penugasan oleh Pemerintah Pusat atau daerah tingkat atasnya. Lain daripada itu, asas tugas pembantuan (medebewind) ini termasuk dalam ranah asas desentralisasi juga, karena asas ini sebenarnya dipergunakan untuk melakukan uji coba kesiapan daerah unuk menyelenggarakan urusan pemerintahan secara penuh (menjadi hak otonomi secara penuh). Argumentasi seperti ini, secara yuridis memperoleh penguatan dari Ketentuan Pasal 17 PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, yang menyatakan: (1) Urusan Pemerintahan selain yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)192 yang penyelenggaraannya oleh Pemerintah ditugaskan penyelenggaraannya kepada pemerintahan daerah berdasarkan asas tugas pembantuan, secara bertahap dapat diserahkan untuk menjadi urusan pemerintahan daerah yang bersangkutan apabila pemerintahan daerah telah menunjukkan kemampuan untuk memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang dipersyaratkan. (2) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi yang penyelenggaraannya ditugaskan kepada 192 Urusan pemerintahan yang dimaksud meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional, serta agama. pemerintahan daerah kabupeten/kota berdasarkan asas tugas pembantuan, secara bertahap dapat diserahkan untuk menjadi urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersangkutan apabila pemerintahan daerah kabupaten/kota telah menunjukkan kemampuan untuk memenuhi norma standar, prosedur, dan kriteria yang dipersyaratkan. (3) Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana diatur pada ayat (1) dan ayat (2) disertai dengan perangkat

daerah, pembiayaan, dan sarana atau prasarana yang diperlukan. (4) Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan bagi urusan pemerintahan yang berdampak lokal dan/atau lebih berhasilguna serta berdayaguna apabila penyelenggaraannya diserahkan kepada pemerintahan daerah yang bersangkutan. Berdasarkan pada ketentuan pasal tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa jikalau daerah yang menerima urusan pemerintahan berdasarkan asas tugas pembantuan telah memenuhi norma standar, prosedur, dan kriteria yang dipersyaratkan, maka ada kemungkinan urusan pemerintahan tersebut akan diserahkan secara penuh sebagai hak otonomi. 3. Asas Dekonsentrasi. Asas dekonsentrasi pada hakikatnya merupakan bentuk penghalusan dari asas sentralisasi. Dikatakan demikian, karena di dalam penyelenggaraanya peran dan kedudukan pemerintah pusat masih sangat mendominasi dalam menentukan asas-asas (prinsip-prinsip) maupun cara penyelenggaraan urusan pemerintahan di tingkat daerah. Dalam pelaksanaan asas dekonsentrasi pemerintah pusat menempatkan pq'abat-pejabatnya di daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan pusat. Dengan demikian, di dalam asas dekonsentrasi ini yang ditekankan adalah aspek pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabatpejabat pemerintah pusat yang bertindak sebagai wakil dan di tempatkan di daerah. Menurut undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia, asas dekonsentrasi mengalami perubahan konseptual yang cukup signifikan. Di dalam Pasal 1 huruf f UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dinyatakan bahwa dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabatnya di daerah. Ketentuan seperti ini berbeda dengan ketentuan yang dirumuskan oleh undang-undang setelah reformasi, yaitu: a. Pasal 1 huruf f UU No. 22 Tahun 1999 Pemerintahan Daerah, menegaskan bahwa dekonsentrasi pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur wakil Pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah. b. Pasal 1 angka 8 UU No. 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah, menegaskan bahwa dekonsentrasi pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Gubernur Tentang adalah sebagai

Tentang adalah kepada

sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka makna asas dekonsentrasi dari ketiga undang-undang tersebut mengandung perbedaan yang prinsipiil, yaitu: 1. Di dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004, asas dekonsentrasi hanya diletakkan pada diri Gubernur sebagai wakli pemerintah pusat dan/atau perangkat pusat di daerah (instansi vertikal di wilayah tertentu). Sedangkan UU No. 5 Tahun 1974 diletakkan dalam diri pejabat-pejabat dari pemerintah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya di daerah. Pejabat-pejabat yang dimaksud oleh UU No. 5 Tahun 1974 tidak ditunjuk secara definitif. Hal ini berarti seluruh pejabat yang ada di daerah, seperti Gubernur, Bupati dan Walikota, bisa saja dikategorikan sebagai wakil pemerintah pusat. 2. Di dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 luas cakupan asas dekonsentrasi dipersempit hanya di tingkat Provinsi. Itupun hanya ada dalam diri gubernur sebagai wakil pemerintah pusat serta kepala-kepala instansi vertikal (perangkat Departemen). Sedangkan UU no. 5 Tahun 1974 cakupan asas dekonsentrasi sangat luas, yakni dilaksanakan juga di lingkungan Daerah Tingkat I (Provinsi) dan Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota). Ditinjau dari pengertian dan makna yang terkandung di dalamnya, maka pada hakikatnya asas dekonsentrasi, adalah: a. Merupakan manifestasi dari penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang mempergunakan asas sentralisasi yang dipersempit atau diperhalus. b. Merupakan manifestasi pelimpahan wewenang pemerintahan dari pemerintah kepada pejabat-pejabatnya di daerah. c. Merupakan manifestasi penyelenggaraan tata laksanana pemerintahan umum pusat di daerah; d. Dalam pelaksanaannya, asas dekonsentrasi tidak mengakibatkan adanya kewenangan dari suatu daerah atau organ Pemerintahan untuk menentukan sendiri kebijaksanaankebijaksanaan, atau dengan kata lain tidak memiliki otonomi. Kewenangan, pendanaan, sarana dan prasarana, serta arah kebijakan untuk pelaksanaannya ditentukan semuanya oleh Pemerintah Pusat, sedangkan pejabat-pejabat yang dimaksud hanya melaksanakan perintah.

Pada zaman Orde Baru, melalui UU No. 5 Tahun 1974 pelaksanaan asas dekonsentrasi dilakukan secara bersamasama dengan asas desentralisasi. Dengan mempergunakan konsep seperti ini, maka UU tersebut berwatak sentralistik, sehingga otonomi daerah tidak dapat berjalan dengan baik, bahkan bisa dikatakan tidak ada otonomi daerah. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan antara kedua asas tersebut jika diletakkan secara bersama-sama dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah akan berakibat terjadinya tarik menarik yang pada akhirnya kan mempengaruhi luas cakupan otonomi daerah itu sendiri. Jika tarikan dekonsentrasi menguat, dimana daerah dan/atau pejabat-pejabat di daerah hanya bertindak sebagai alat pemerintah pusat demi melaksanakan asas dekonsentrasi, sehingga hanya melaksanakan kebijakan dan arahan dari pemerintah pusat atas dasar perintah, maka asas desentralisasi akan melemah, sehingga mengakibatkan otonomi daerah akan menyempit. Sebaliknya jika tarikan desentralisasi menguat, dimana daerah dan/atau pejabat lebih dominan melaksanakan urusanurusan pemerintahan yang telah diserahkan untuk diatur dan diurus sebagai urusan rumah tangga sendiri, maka asas dekonsentrasi akan melemah, sehingga mengakibatkan otonomi daerah semakin menguat dan luas. Dalam prektek penyelenggaraan pemerintahan lokal di bawah UU No. 5 Tahun 1974 ternyata konsepsi yang dibangun adalah memperkuat atau memperbesar tarikan dekonsentrasi. Oleh sebab itulah semasa pemberlakuan undang-undang ini di era Orde Baru, otonomi daerah tidak dapat berjalan dengan baik, bahkan penyelenggaraan pemerintahan dalam arti luas menjadi sentralistik. Konsepsi-konsepsi yuridis yang bernafaskan sentralistik tersebut nampak dari: a. Kedudukan Kepala Daerah disemua tingkatan (Dati I dan Dati II) sekaligus sebagai Kepala Wilayah yang dianggap sebagai penguasa tunggal. Konsepsi semacam ini jelas memperlemah posisi DPRD dalam melakukan kontrol terhadap eksekutif di tingkat lokal; b. Dalam mekanisme pemilihan Kepala Daerah (Dati I atau Dati II) peran DPRD hanya sebatas mengusulkan nama-nama calon Kepala Daerah kepada pemerintah. Kemudian dari namanama calon inilah, penentuan akhir ada di tangan peifierintah; c. Mekanisme pertanggungjawaban yang dilakukan oleh Kepala Daerah/Kepala Wilayah pada hakikatnya tidak ditujukan kepada DPRD sebagai lembaga representasi rakyat. Akan

tetapi dilakukan dengan pola hirarkhis dan berjenjang. Ini berarti akuntabilitas publik dari pelaksanaan pemerintahan lokal sangat tergantung dari kepentingan politik dari pemerintah, bukan berdasarkan aspirasi rakyat daerah melalui wakil-wakilnya di DPRD. Pertanggungjawaban semacam ini disebut integrated prefectoral system, yaitu suatu model pertanggungjawaban tunggal dari Kepala Wilayah dan garis komando yang tidak terputus dari atas ke bawah.193 Berpijak dari kelemahan-kelemahan substansiil dan karena adanya tuntutan demokrasi, maka UU No. 5 Tahun 1974 diubah oleh UU No. 22 Tahun 1999 yang selanjutnya diubah lagi oleh UU No. 32 Tahun 2004. Perubahan dari UU No. 22 Tahun 1999 menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dilatar belakangi oleh kelemahan UU No. 22 Tahun 1999 yang lebih mengarah kepada corak federalistis dan dianggap membahayakan integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. 4. Asas Madebewind Secara sepintas asas medebewind ini telah penulis kemukakan ketika menyampaikan asas desentralisasi. Namun demikian untuk lebih memperkuat pemahaman, maka disini akan penulis ulas kembali mengenai asas medebewind tersebut. Ketika sistem Pemerintahan Lokal di Indonesia mempergunakan UU No. 5 Tahun 1974, pengertian asas medebewind (Tugas Pembantuan) tercantum dalam Pasal 1 huruf d yang menyatakan bahwa tugas pembantuan adalah tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintahan Daerah oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya, dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Sementara itu menurut Pasal 1 huruf g UU No. 22 Tahun 1999, tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah 193 Bhenyamin Hoessein, dalam Syamsudin Haris dan Riza Sihbudi (ed), 1995, Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 60-61. kepada Daerah dan Desa ilari dari Daerah ke Desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 9 UU No. 32 Tahun 2004, dinyatakan bahwa tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Dari ketiga UU tersebut, dapat dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam pengertian tugas pembantuan tersebut yang masih menyertakan adanya kewajiban untuk mempertanggung jawabkan kepada pihak yang menugaskan

adalah UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 22 tahun 1999, sedangkan UU No. 32 Tahun 2004 sudah tidak menyertakan lagi aspek pertanggungjawaban dalam merumuskan pengertian tugas pembantuan. Undang-undang yang terakhir ini tidak menyertakan aspek pertanggungjawaban dalam merumuskan pengertian tugas pembantuan karena, asas ini sebenarnya merupakan langkah uji coba untuk melakukan penyerahan secara penuh urusan-urusan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/Kota. Pasal ini menyatakan: (1) Urusan pemerintahan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang penyelenggaraannya ditugaskan oleh Pemerintah ditugaskan penyelenggaraannya kepada Pemerintahan Daerah berdasakan asas tugas pembantuan, secara bertahap dapat diserahkan untuk menjadi urusan pemerintahan daerah yang bersangkutan apabila pemerintah daerah telah menunjukkan kemampuan untuk memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang dipersyaratkan.

(2) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi yang penyelenggaraannya ditugaskan kepada pemerinatah daerah kabupaten/kota berdasarkan asas tugas pembantuan, secara bertahap dapat diserahkan untuk menjadi urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersangkutan apabila pemerintah daerah kabupaten/kota telah menunjukkan kemampuan untuk memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang dipersyaratkan. (3) Penyerahan pemerintahan sebagimana diatur pada ayat (1) dan ayat (2) disertai dengan perangkat daerah, pembiayaan, dan sarana atau prasarana yang diperlukan. (4) Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan bagi urusan pemerintahan yang berdampak lokal dan/atau lebih berhasilguna dan berdayaguna apabila penyelenggaraannya diserahkan kepada pemerintah daerah yang bersangkutan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyerahan urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Paraturan Presiden. Ketentuan tersebut di atas menunjukkan sekali lagi bahwa asas medebewind (tugas pembantuan) merupakan bentuk

desentralisasi atau otonomi tidak penuh. Asas ini diperlukan untuk sarana uji coba kesiapan bagi pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sendiri. Oleh sebab itu sebenarnya kebijaksanaan pemekaran daerah yang sering menimbulkan konflik di tingkat masyarakat dapat dilakukan dengan mempergunakan asas ini terlebih dahulu. Namun dalam praktek sekarang ini, justru pemekaran daerah tidak dilalui dengan langkah uji coba melalui asas medebewind, sehingga secara empiris daerahdaerah hasil pemekaran itu tidak menunjukkan kesiapan untuk melaksanakan otonomi penuh. Pemekaran daerah lebih kental nuansa kepentingan politiknya.

D. Sistem Rumah Tangga Daerah.


Sistem rumah tangga daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas dan tanggung jawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah. Salah satu penjelmaan pembagian tersebut, daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan pemerintahan baik itu atas dasar penyerahan atau pengakuan atau yang dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daerah.194 Dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal dikenal adanya tiga sistem rumah tangga daerah, yaitu: sistem rumah tangga materiil, sistem rumah tangga formil, dan sistem rumah tangga nyata (riil). Ketiga sistem rumah tangga tersebut menimbulkan konsekuensi yang berbeda-beda bagi pelaksanaan penyerahan urusan (wewenang) pemerintahan. Untuk itu di bawah ini akan penulis kemukakan secara singkat prinsip-prinsip dari ketiga sistem rumah tangga daerah tersebut. 1. Sistem Rumah Tangga Materiil. Pada hakikatnya sistem rumah tangga ini berpijak dari isi atau subtansi (materi) dari urusan atau wewenang pemerintahan yang dapat diserahkan kepada daerah. Secara singkat sistem rumah tangga materiil ini mengandung sifatsifat sebagai berikut: a. Isi atau urusan rumah tangga daerah yang merupakan wewenang dari pemerintahan lokal telah ditentukan secara tegas; b. Ada pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab yang rinci antara pusat dan daerah; c. Secara kodrati antara wewenang pemerintah pusat dan wewenang pemerintah daerah sudah dapat dipisahkan; d. Daerah berhak mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangga sendiri apabila urusan tersebut 194 Bagir Manan, Hubungan... .,Op.cit, hlm. 21.

telah diserahkan kepada daerah. Penyerahan tersebut harus

berdasarkan pada prinsip pembedaan urusan pemerintahan antara pusat dan daerah; e. Sistem rumah tangga ini berpangkal tolak dari asumsi bahwa memang ada pembedaan yang mendasar antara urusan pemerintahan pusat dan urusan pemerintahan daerah. Artinya daerah tidak berhak menyelenggarakan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, jikalau urusan tersebut merupakan urusan pusat. Dari sifat-sifat seperti ini, maka kelebihan dari sistem rumah tangga materiil adalah: 1. Ada kepastian mengenai jenis dan jumlah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk diatur dan diurus sebagai urusan rumah tangga sendiri. 2. Daerah dapat dengan segera melaksanakan otonominya, karena adanya kepastian urusan pemerintahan yang diserahkan dan menjadi wewenang untuk diatur dan diurus sebagai urusan rumah tangga sendiri. 3. kemungkinan terjadinya duplikasi dan tumpang tindih pengaturan dan pengurusan urusan pemerintahan antara pusat dan daerah dapat dihindari. Namun demikian, sistem ini juga mengandung kelemahan-kelemahan yang cukup mendasar. Kelemahankelemahan tersebut antara lain:195 a. Sistem rumah tangga meteriil (driekringenleer) bertitik tolak dari asumsi yang keliru. Seolah-olah urusan pemerintahan itu dapat diketahui jumlah dan dapat dipilah-pilah secara pasti pula antara urusan pusat dan urusan daerah; b. Mudah menimbulkan spanning hubungan antara pusat dan daerah, karena kemungkinan daerah banyak menuntut agar 195 Bagir Manan, dalam B. Hestu Cipto Handoyo, 1998, Otonomi Daerah, Titik Berat Otonomi dan Urusan Rumah Tangga Daerah, Univ.Atma Jaya, Yogyakarta, hlm. 5. urusan pemerintahan tertentu diserahkan kepadanya; c. Tidak fleksibel sehingga perkembangan desentralisasi tidak dapat berjalan sesuai dengan perkembangan daerah. Daerah serba tergantung pada kehendak dan kecenderungan-kecenderungan yang ada di pusat;

d. Tidak mendorong insiatif dan kreatifitas daerah dalam mengembangkan pelayanan terhadap masyarakat, karena dibatasi oleh urusan-urusan yang telah diserahkan saja. 2. Sistem Rumah Tangga Formil. Sistem rumah tangga formil berpangkal tolak dari asumsi bahwa antara urusan atau wewenang pemerintahan pusat dan daerah tidak ada perbedaan yang substansiil. Oleh sebab itu ciri-ciri dari sistem rumah tangga ini, adalah: a. Merupakan bentuk penyempurnaan dari sistem rumah tangga materiil; b. Tidak ada perbedaan antara urusan pusat dan urusan daerah; c. Daerah dapat mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tanpa harus menunggu adanya penyerahan; d. Penyerahan urusan pemerintahan harus dilaksanakan secara formal melalui UU desentralisasi.196 Menurut Sujamto, dalam sistem rumah tangga formil, urusan-urusan yang termasuk ke dalam urusan rumah tangga daerah tidak apriori harus ditetapkan dengan undang-undang. Lebih lanjut dikatakan bahwa daerah boleh mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya asal tidak memasuki hal-hal atau urusan-urusan yang telah diatur dan diurus oleh Pemerintah Pusat atau Daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Jadi pembatasan terhadap urusan rumah tangga daerah menurut sistem rumah tangga formil terletak pada tingkatan derajad yang 196Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, 1982, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN-UI, Jakarta, hlm 254-255. 197Sujamto, 1984, Otonomi Daerah Yang Nyata dan Bertanggungjawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 98. mengaturnya.197

Terkait dengan argumentasi di atas, Bagir Manan mengemukakan bahwa menurut sistem rumah tangga formil isi rumah tangga daerah tidak diberikan (toekennen) tetapi sesuatu yang dibiarkan tumbuh (toelaten) atau diberi pengakuan (erkennen).A9a Dengan demikian dalam sistem rumah tangga formil, penentuan isi rumah tangga daerah tidak di dasarkan pada jenis dari urusan tersebut, akan tetapi di dasarkan pada derajad atau tingkat pengaturan serta kemanfaatan dari urusan pemerintahan tersebut. Pendek kata, pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah semata-mata di dasarkan pada keyakinan bahwa suatu urusan pemerintahan

itu akan lebih baik dan lebih berhasil kalau dilakukan oleh satuan pemerintahan tertentu. Begitu pula sebaliknya.199 Menurut Bagir Manan, ditinjau dari perspektif hubungan antara pusat dan daerah, sepintas sistem rumah tangga formil memberikan peluang kuatnya desentralisasi dan kuatnya otonomi. Namun dalam kenyatannya tidaklah demikian. Sistem rumah tangga formil merupakan sarana yang baik untuk mendukung sentralisasi. Ketidak pastian urusan rumah tangga daerah, akan menjelmakan daerah yang serba menunggu dan tergantung dari pusat.200 Terkait dengan pandangan tersebut di atas, menurut hemat penulis penerapan sistem rumah tangga formil ini menimbulkan hambatan-hambatan sebagai berikut: a. Kriteria atau parameter kewenangan Pemerintah Daerah belum dapat ditentukan secara jelas dan tegas. Hal ini mengingat penyerahan suatu wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangga sendiri bagi daerah hanya bertitik tolak dari aspek kemanfaatan dan derajad pengaturannya; 198Bagir Manan, dalam B. Hestu Cipto Handoyo, Op.cit, hlm. 21. 199Ibid, him. 22. 200Ibid. b. Karakterstik dan keadaan daerah tidak menjadi dasar bagi penyerahan urusan pemerintahan, sehingga membuka kemungkinan terjadinya salah sasaran yang justru akan menyimpang dari segi kemanfaatan bagi daerah; c. Daerah dihadapkan pada suatu ketidakpastian apakah suatu urusan pemerintahan yang sedang diselenggarakan itu menyangkut urusan rumah tangga sendiri ataukah belum. Kalau toh sudah diketahui, itupun hanya sebatas pada pembatasan-pembatasan sebagaimana diatur dalam UU desentralisasi; d. Pola penyerahan urusan pemerintahan untuk menjadi wewenang pemerintah daerah tidak jelas, apakah penyerahan langsung ataukah penyerahan tidak langsung. e. Secara politis, penyerahan urusan pemerintahan kepada Daerah hanya tergantung dari Pemerintah Pusat atau Daerah tingkat yang lebih atas. Hal ini mengingat dalam sistem rumah tangga daerah yang lebih menekankan pada aspek prakarsa dan kreatifitas daerah pada hakikatnya sangat dipengaruhi oleh budaya politik yang berkembang di suatu negara. Penerapan sistem rumah tangga daerah dalam rangka menentukan cara pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah sangat dipengaruhi oleh budaya otonomi. Sedangkan budaya otonomi ini memiliki korelasi dengan

budaya politik. Salah satu budaya politik yang dikenal paling rendah tingkatannya adalah budaya politik kaula. Sehubungan dengan hal ini, Rusadi Kantaprawira mengemukakan bahwa manifestasi budaya politik kaula nampak dalam posisi masyarakat yang menganggap dirinya sebagai kaula, sehingga mereka hanya pasif terhadap kebijaksanaan dan keputusan para pemegang jabatan dalam masyarakat. Segala putusan yang diambil oleh pemeran politik dianggap sesuatu yang tidak dapat diubah. Oleh sebab itu tiada jalan lain baginya kecuali menerima, patuh, loyal serta mengikuti segala instruksi dan anjuran para pemimpin (politik)nya. Budaya politik yang demikian ini dapat dipertimbangkan sebagai akibat pengaruh status koloni, penjajahan dan corak diktatur/otiriter.201 Jika gambaran sebagaimana dikemukakan oleh Rusadi kantaprawira tersebut dikaitkan dengan pelaksanaan sistem rumah tangga formal, maka yang namanya budaya politik kaula jelas tidak akan mendukung inisiatif dan kreatifitas bagi masyarakat atau institusi (lembaga) yang ada di dalam masyarakat. Kondisi semacam ini jelas bertolak belakang dengan prasyarat bagi pelaksanaan sistem rumah tangga formil yang mengedepankan inisiatif dan kreatifitas daerah yang tinggi. Inilah kelemahan substansiil yang terkandung di dalam sistem rumah tangga formil jika akan diterapkan dalam kerangka sistem politik pemerintahan lokal di negara yang pernah mempergunakan langgam otoritarian seperti Indonesia. 3. Sistem Rumah Tangga Nyata (Riil). Sistem rumah tangga nyata (riil) merupakan bentuk penyempurnaan dari kedua sistem rumah tangga terdahulu. Disebut nyata karena isi kewenangan pemerintahan bagi daerah di dasarkan pada keadaan atau faktor-faktor nyata yang ada di suatu daerah. Koesoemahatmadja mengatakan bahwa bagaimanapun juga sistem rumah tangga riil itu mengandung unsur-unsur dari sistem rumah tangga materiil dan sistem rumah tangga formil. Jadi merupakan jalan tengah atau campuran antara kedua sistem tersebut, sehingga bagaimanapun juga merupakan sistem tersendiri.202 Menurut Bagir Manan berdasarkan ciri-ciri yang ada tidaklah berlebihan jikalau dikatakan bahwa rumah tangga nyata memang mencerminkan sistem tersendiri yang berbeda dengan sistem rumah tangga formil dan sistem rumah tangga materiil. Lebih lanjut dikatakan bahwa ciri-ciri sistem rumah

201Rusadi Kantaprawira, 1983, Sistem Politik Indonesia Suatu Model Pengantar, Sinar Baru, Bandung, hlm. 22-34. 202Koesoemahamadja, dalam B. Hestu Cipto Handoyo, Op.cit, hlm. 23. tangga riil, adalah:

a. Adanya urusan pangkal yang ditetapkan pada saat pembentukan suatu daerah otonom, memberikan kepastian mengenai urusan tangga daerah. Hal semacam ini tidak mungkin terjadi pada sistem rumah tangga formil. b. Di samping urusan rumah tangga yang ditetapkan secara materiil, Daerah-daerah dalam rumah tangga nyata, dapat mengatur dan mengurus pula semua urusan pemerintahan bagi daerahnya sepanjang belum diatur dan diurus oleh pusat atau daerah tingkat lebih atas. c. Otonomi dalam rumah tangga nyata di dasarkan kepada faktor-faktor nyata suatu daerah. Hal ini memungkinkan perbedaan isi dan jenis urusan rumah tangga daerah sesuai dengan keadaan masing-masing.203 Dari pandangan tersebut dapat dipahami bahwa sistem rumah tangga nyata mengandung unsur sistem rumah tangga materiil dan sistem rumah tangga formil. Unsur rumah tangga formil tercermin dari adanya kebebasan daerah dalam mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan pemerintahan yang dianggap penting bagi daerahnya. Sedangkan unsur rumah tangga materiil menampakkan diri dengan adanya urusan-urusan pangkal yang diserahkan pada saat pembentukan suatu daerah otonom. Sehubungan dengan hal ini, Bagir Manan mengemukakan bahwa diantara kedua unsur (materiil dan formil) tersebut yang paling utama adalah unsur formil, sebab unsur inilah yang memberikan jalan bagi perkembangan inisiatif dan kreatifitas daerah.204 Dalam sistem rumah tangga nyata, isi kewenangan pemerintahan daerah ditentukan oleh faktor-faktor dan keadaankeadaan nyata di daerah yang bersangkutan, maka dalam hal penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah, sistem ini melandaskan pada karakteristik dari masing-masing daerah. Menurut Yosep Riwu Kaho, karena pemberian tugas dan kewajiban serta wewenang di dasarkan pada keadaan riil di 203Bagir Manan, dalam Ibid. dalam masyarakat, 204Ibid, him. 24. maka kemungkinan yang ditimbulkan ialah bahwa tugas atau urusan yang selama ini menjadi wewenang Pemerintah Pusat dapat diserahkan menjadi wewenang kepada Pemerintah Daerah dengan melihat kemampuan dan keperluannya untuk diatur dan diurus sendiri.205 Berdasarkan beberaa pemahaman tersebut di atas, maka di dalam sistem rumah tangga nyata akan dijumpai adanya beberapa prinsip yaitu: a. Dengan sistem rumah tangga nyata disamping memberikan kepastian mengenai isi urusan pemerintahan dengan melihat urusan pangkalnya, juga tidak menutup kemungkinan jika

daerah tetap diberi keleluasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan pemerintahan berdasarkan insiatif, kreatifitas dan aspirasi masyarakat asalkan urusan pemerintahan tersebut bermanfaat bagi perkembangan daerah dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan serta prinsip Negara Kesatuan. b. Isi urusan pemerintahan dan kewenangan pemerintahan pemerintah daerah untuk mengatur ditentukan oleh faktorfaktor atau keadaan masing-masing Daerah. Oleh sebab itu dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah tidak akan dijumpai adanya bentuk-bentuk penyeragaman kewenangan pemerintahan untuk semua daerah. c. Dengan mempergunakan sistem rumah tangga nyata pelaksanaan penyerahan urusan pemerintahan lebih menekankan pada aspek kualitatif, bukan kuantitatif. Artinya penyerahan urusan pemerintahan kepada Daerah semata-mata tidak diukur hanya dengan jumlah urusan pemerintahan yang harus diberikan, melainkan diukur berdasarkan 205 Yosep Riwu Kaho, 1988, Prospek Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 17. kemampuan, keadaan dan kebutuhan masing-masing daerah. Dengan kata lain, keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah akan dilihat dari aspek kualitas penyelenggaraan urusan pemerintahan bagi masing-masing Daerah, d. Sistem rumah tangga nyata mengandung unsur rumah tangga materiil dan unsur rumah tangga formil. Kondisi semacam ini, di samping mempercepat proses pelaksanaan otonomi di masingmasing daerah, karena adanya kepastian urusan pangkal, juga membuka proses demokratisasi di tingkat Pemerintahan Daerah, karena kelanjutan dan keberhasilan pelaksanaan otonomi sangat ditentukan oleh prakarsa atau inisiatif dan kreatifitas dari masing-masing Daerah dengan berlandaskan pada aspirasi masyarakat setempat.

Di dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus memenuhi syarat adminisratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Kemudian menurut ayat (4) ditegaskan bahwa syarat teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan

faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Ketentuan tersebut memberikan indikasi bahwa faktorfaktor nyata yang menjadi dasar dalam penyerahan urusan pemerintahan menurut sistem rumah tangga nyata ditentukan oleh kriteria kemampuan, keadaan dan kebutuhan daerah. Kriteria seperti ini pernah dirumuskan secara rinci pada waktu mempergunakan UU No. 5 Tahun 1974. Menurut PP No. 45 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah Dengan Titik Berat Pada Daerah Tingkat II yang dimaksud faktor-faktor nyata adalah menyangkut kemampuan daerah, keadaan daerah, dan Kebutuhan Daerah. Dalam Pasal 6 ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) PP No. 45 Tahun 1992 antara lain dinyatakan: "Kemampuan daerah adalah kenyataan yang di dasarkan kepada faktor-faktor dan perhitunganperhitungan yang meyakinkan bahwa suatu daerah benar-benar mampu menerima penyerahan urusan pemerintahan tertentu sebagai urusan rumah tangganya. Keadaan daerah adalah karakteristik suatu daerah ditinjau dari kondisi geografis, sosial budaya, politik dan pertahanan keamanan dalam rangka menentukan jenis urusan pemerintahan yang diserahkan. Kebutuhan daerah adalah kehendak suatu Daerah untuk mengatur, mengurus dan menyelenggarakan urusan pemerintahan tertentu sesuai dengan tingkat kemampuan dan kebutuhan daerah" Namun demikian, setelah pengaturan mengenai pemerintahan daerah mempergunakan UU No. 32 Tahun 2004, kriteria faktor-faktor nyata tersebut di atas sudah tidak dikenal lagi. Menurut Pasal 11 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Sehubungan dengan ketentuan seperti ini yang dimaksud dengan kriteria-kriteria tersebut adalah:206 a. Kriteria eksternalitas yakni penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. b. Kriteria akuntabilitas, yakni penanggungjawab penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. c. Kriteria efisiensi, yaitu penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh.

Kriteria-kriteria pembagian urusan pemerintahan tersebut masih menunjukkan adanya ketidak jelasan konsep dalam menentukan suatu urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada daerah ataupun tidak. Persoalan yang paling mendasar dalam memahami kriteria-kriteria tersebut adalah dengan mempergunakan indikasi apakah dampak dari masing-masing kriteria itu dapat ditentukan secara jelas dan nyata, serta siapakah yang menentukan terjadinya dampak di masing-masing kriteria tersebut, termasuk bagaimanakah mengukur daya guna yang tinggi sebagaimana dimaksud oleh kriteria efisensi tersebut? Persoalan-persoalan ini tidak memperoleh porsi jawaban di dalam UU No. 32 Tahun 2004 maupun PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Menurut hemat penulis, kriteria untuk menentukan suatu urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada daerah ataupun tidak dalam sistem rumah tangga nyata akan lebih rasional dan terukur jika mempergunakan kriteria kemampuan, keadaan, dan kebutuhan daerah sebagaimana pernah dirumuskan oleh PP No. 45 tahun 1992 dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Hal ini disebabkan antara lain:207 1. Kriteria kemampuan daerah dapat dipergunakan untuk mengukur dan menentukan jumlah urusan pemerintahan atau besaran wewenang yang akan diserahkan kepada daerah dengan berlandaskan pada kemampuan keuangan, kemampuan aparatur, kemampuan partisipasi masyarakat, kemampuan ekonomi daerah, kemampuan demografi, dan kemampuan administrasi dan organisasi. 2. Kriteria keadaan daerah dapat dipergunakan untuk mengetahui corak atau karakteristik masing-masing daerah sebagai dasar dalam menentukan jenis urusan pemerintahan yang akan diserahkan. Corak atau karakteristik masing-masing daerah ini berkaitan dengan 207 Fisipol UGM & Balitbang Depdagri, dalam B. Hestu Cipto Handoyo, Otonomi Daeraft....,Op.cit, hlm. 102-106. keadaan lingkungan alam (iklim dan curah

hujan, kesuburan tanah, luas dan bentuk daerah, sosial budaya) yang ikut mempengaruhi pola hidup masyarakat daerah. 3. Kebutuhan daerah dapat dipergunakan untuk mengetahui keinginan daerah terhadap suatu urusan pemerintahan yang akan diatur dan diurus sebagai urusan rumah tangga sendiri berdasarkan kemampuan dan keadaan daerah yang bersangkutan. Hal ini berarti jikalau daerah berdasarkan kemampuan dan keadaan yang dimiliki tidak berinisiatif untuk meminta kepada Pemerintah agar suatu

urusan pemerintahan itu diserahkan, maka kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang dimaksud tidak akan menjadi pertimbangan untuk diserahkan kepada daerah. Dengan demikian, melalui kriteria kebutuhan daerah inilah negosiasi mengenai kesanggupan mengatur dan mengurus suatu urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat terjadi, sehingga penentuan tentang dapat tidaknya suatu urusan pemerintahan itu diserahkan kepada Pemerintah Daerah ditentukan berdasarkan kesepakatan, tidak sepihak. Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa, sistem rumah tangga nyata (riil) mengandung aspek rumah tangga materiil dan rumah tangga formil. Di dalam UU No. 32 Tahun 2004 konsep teoritis semacam ini nampaknya tidak diaksanakan secara konsisten. Ketidak konsistenan ini semakin nampak dalam PP No. 38 Tahun 2007 yang merumuskan secara rigid tentang pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kota. Di dalam PP tersebut telah dirumuskan urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Dengan demikian, diluar kedua urusan pemerintahan tersebut, tidak ada lagi urusan pemerintahan yang dapat diatur dan diurus sebagai kewenangan otonomi 208 Lihat Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4) PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. bagi daerah.208 E. Sejarah Pemerintahan Lokal di Indonesia. Sebelum bangsa Indonesia membentuk suatu organisasi kekuasaan yang disebut negara melalui Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 di wilayah Indonesia (Hindia Belanda) sudah banyak dijumpai adanya satuan-satuan pemerintahan asli yang menyelenggarakan sistem pemerintahan sendiri. Penyelenggaraan organisasi pemerintahan yang dimaksud ini berlandaskan pada hukum asli Indonesia (Hukum adat), dan pelaksanaannya masih bersifat tradisional serta pada umumnya bercorak feodalistik. Contohnya kerajaan, kasultanan, dan kasunanan. Setelah bangsa asing khususnya Belanda masuk di bumi Nusantara ini, keberadaan satuan-satuan pemerintahan asli tersebut masih tetap dipertahankan (diakui), bahkan menjadi alat bagi Pemerintah Kolonial untuk meneguhkan hegemoninya dalam menguasai Indonesia. Kondisi yang demikian inilah mengakibatkan otonomi dari masing-masing satuan pemerintahan asli Indonesia mulai dibatasi. Bahkan disana-sini dapat dikatakan mulai tidak memiliki otonomi lagi. Hal ini mengingat sistem pemerintahan yang dikembangkan oleh Pemerintah Kolonial bersifat sentralistik. Berdasarkan gambaran singkat tersebut, maka perjalanan sejarah Pemerintahan Lokal di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa periode:

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Masa Pemerintahan Hindia Belanda. Masa Pendudukan Bala Tentara Jepang. Masa Kurun Waktu Berlakunya UUD 1945 Periode I. Masa Berlakunya Konstitusi RIS. Masa Berlakunya UUDS 1950. Masa Berlakunya UUD 1945 Periode Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. 7. Masa Berlakunya UUD 1945 di bawah Orde Baru. 8. Masa Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi (setelah Amandemen UUD 1945) Mengingat panjangnya sejarah Pemerintahan Lokal d Indonesia serta kompleksitas persoalan yang terkandung di dalamnya, maka dalam menyampaikan pembahasan ini, penulis akan mengemukakan secara singkat mengenai sejarah tersebut di masing-masing periodenya. 1. Masa Pemerintahan Hindia Belanda. a. Sebelum 1903 wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi wilayah-wilayah administratif, kecuali desa dan Swapraja yang dibentuk berdasarkan hukum asli Indonesia. Berkaitan dengan hal ini dijumpai adanya perbedaan pengaturan antara Jawa/Madura dengan yang ada di luar Jawa/ Madura. b. Setelah 1903, tepatnya pada tanggal 23 Juli 1903 dikeluarkanlah Desentralisatiewet 1903. Undang-Undang ini bertujuan untuk membentuk daerah otonom. Kemunculan Desentralisatiewet 1903 ini disebabkan oleh adanya gugatan dari orang-orang Belanda yang progresif sebagai akibat adanya cultuur stelsel. Dengan adanya gugatan inilah, kemudian Belanda menerapkan politik etis. c. Tahun 1922 dikelarkanlah Bestuuringwormingswet yang berisikan antara lain: 1. Di Jawa/Madura dibentuk daerah otonom, yakni Propinsi, Regenschap, Kotapraja. Sedangkan di luar Jawa/Madura dibentuk daerah otonom yang terdiri dari Groupagemenschappen, dan Kotapraja. 2. Masing-masing daerah otonom tersebut dibentuk Dewan-dewan dengan cara penunjukan. 3. Yang menjabat Kepala Daerah Otonom adalah Kepala Pangreh Praja yang setingkat. Oleh sebab itu Kepala Daerah Otonom juga merangkap sebagai Kepala Pangreh Praja. 4. Selain daerah-daerah otonom tersebut terdapat juga daerah-daerah yang belum diperintah oleh Belanda, yakni Swapraja dan Desa yang diperintah oleh Raja dan Kepala Desa berdasarkan hukum asli Indonesia.

2. Masa Pendudukan Bala Tentara Jepang.209 Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, Jepang sebagai salah satu kekuatan di Asia mulai menunjukkan tanda-tanda kemenangannya dalam perang akbar tersebut. Tanda-tanda kemenangan tersebut ditandai dengan keberhasilan Jepang meluluh lantakkan Pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour, serta ditandai dengan keberhasilan Jepang menduduki wilayah-wilayah yang pernah menjadi basis Sekutu. Bahkan hampir seluruh kawasan Asia Pasific dapat dikuasai, tidak terkecuali Indonesia yang merupakan wilayah jajahan Belanda. Di bidang pemerintahan, pada prinspnya Jepang masih tetap meneruskan sistem yang dilaksanakan oleh Pemerintah Belanda di Hindia Belanda (Indonesia). Hanya untuk nama dan istilah-istilah yang dulunya mempergunakan bahasa Belanda diganti dengan mempergunakan bahasa Jepang. Posisi yang dulunya diduduki oleh orang-orang Belanda diganti oleh pembesar-pembesar Bala Tentara Jepang (Dai Nippon). Untuk penggunaan bahasa Indonesia hanya diberi kesempatan sesedikit mungkin. Wilayah Propinsi beserta Gubernurnya, baik di Jawa maupun di Madura dihapus. Afdeling beserta Asisten Residen di Jawa juga dihapus. Sehubungan dengan hal ini UU No. 27 Tahun 2602 (tahun menurut tradisi Jepang) seluruh Jawa terbagi atas Syuu (Karesidenan), Si (Staatsgemeenten), Ken (Regenschap), Gun (District), Son (Onder District), dan Ku (Desa), serta Kooti (Voertenlanden). Sedankan di luar Jawa didapati susunan yang paralel. Pada masa pendudukan Bala Tentara Jepang ini, pemerintahan di Indonesia dibagi ke dalam tiga bagian besar, yaitu: a. Sumatera berada di bawah kekuasaan Kepala Pasukan darat yang berkedudukan di Bukittinggi; 209 Dirangkum dari B. Hestu Cipto Handoyo, Otonomi Daerah.................................................................. ,Op.cit, hlm. 5253. berada di bawah kekuasaan Kepala Pasukan Darat b. Jawa yang berkedudukan di Jakarta; dan c. Lain-lain kepulauan berada di bawah kekuasaan Kepala Pasukan Angkatan laut yang berkedudukan di Makasar (sekarang Ujung Pandang). Memperhatikan pembagian pelaksanaan pemerintahan ini, tersirat bahwa dalam mengembangkan pemerintahan lokal dipergunakan melalui sistem militeristik yang sentralistik. 3. Masa Berlakunya UUD 1945 Periode I. a. Tanggal 19 Agustus 1945 PPKI menetapkan pembagian daerah Republik Indonesia dalam 8 (delapan) Propinsi. Masing-masing Propinsi dibagi ke dalam Karesidenankaresidenan. Penetapan ini merupakan langkah awal

untuk melengkapi ketatanegaraan Indonesia dan berlandaskan pada Proklamasi Kemerdekaan serta Pasal 18 UUD 1945. b. Tanggal 16 Oktober 1945 dikeluarkanlah Maklumat No. X yang mengharuskan di daerah-daerah dibentuk Komite Nasional Daerah. c. Tanggal 23 Nopember 1945 dikeluarkanlah UU No. 1 Tahun 1945 Tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah yang isinya antara lain: 1. KNID diadakan diseluruh daerah-daerah kecuali di Yogyakarta dan Surakarta; 2. KNID bertindak sebagai DPRD yang dipimpin oleh Kepala Daerah dan bersama-sama menjalankan Pemerintahan Daerah; 3. Pemerintah Daerah meliputi Gubernur/Residen dibantu oleh KNID. Undang-Undang ini sifatnya masih sumir dan belum melaksanakan lebih lanjut Pasal 18 UUD 1945. Dikatakan masih sumir karena dalam pengaturannya memberikan fungsi ganda Kepala Daerah, yakni di samping sebagai kepala pemerintahan sekaligus bertindak sebagai kepala legislatif. Sedangkan belum melaksanakan Pasal 18 UUD 1945 karena UU ini hanya berfungsi untuk melaksanakan lebih lanjut Maklumat No. X Tahun 1945. Terbentuknya UU No. 22 Tahun 1948. Di dalam Undang-Undang ini, hal-hal yang paling mendasar dalam mengatur pemerintahan lokal, adalah: a. UU No. 22 tahun 1948 pada hakikatnya hanya mengatur daerah otonom berdasarkan asas desentralisasi. b. Pasal 1 UU No. 22 Tahun 1948 menegaskan bahwa Daerah Negara RI disusun dalam 3 (tiga) tingkatan, yakni Propinsi, kabupaten dan Desa. Daerah yang mempunyai hak-hak asalusul pada jaman Negara RI belum merdeka mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa setingkat Propinsi, Kabupaten dan Desa dan berhak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. c. Pasal 2 ayat (1) menegaskan bahwa Pemerintah Daerah (sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam daerah otonom) adalah DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah sebagai Majelis. Sedangkan ayat (3) menegaskan bahwa Kepala Daerah

menjabat sebagai Ketua merangkap anggota Dewan Pemerintah Daerah. d. Pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa DPRD berwenang membuat Peraturan Daerah. e. Pasal 34 menyatakan bahwa Dewan Pemerintah daerah menjalankan Pemerintahan Daerah sehari-hari danbertanggung jawab kepada DPRD. f. Pasal 36 menyatakan bahwa Kepala Daerah berhak menahan putusan-putusan Pemerintah Daerah. g. Pasal 42 menyatakan bahwa Kepala Daerah dapat menunda/ membatalkan Putusan Daerah. Menurut Penjelasan Umum UU No. 22 Tahun 1948 dinyatakan bahwa untuk membentuk Pemerintah Daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (otonom), oleh Pemerintah Pusat telah ditentukan kewajiban (pekerjaan) mana saja yang dapat diserahkan kepada Daerah. Untuk keperluan ini, maka penyerahan urusan pemerintahan dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu: a. Penyerahan penuh, artinya baik itu tentang asasnya (prinsipprinsipnya) maupun tentang cara menjalankan kewajiban (pekerjaan) yang diserahkan itu, diserahkan semuanya kepada daerah (hak otonom; dan b. Penyerahan tidak penuh, artinya penyerahan hanya mengenai cara menjalankan saja, sedangkan prinsip-prinsipnya (asasasasnya) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sendiri (hak medebewind) .210 Dari dua cara penyerahan urusan pemerintahan tersebut, maka ada dua hal penting yang dapat diambil sehubungan dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1948, yaitu: 1. Prinsip otonomi yang dipergunakan adalah otonomi yang sebanyak-banyaknya, bukan seluas-luasnya. Hal ini mengingat di dalam Penjelasan Umum dinyatakan bahwa sistem rumah tangga yang dipergunakan adalah sistem rumah tangga materiil. Hal ini berarti dalam pembentukan suatu Daerah akan disertai dengan penyerahan urusan pemerintahan (kewajiban/ pekerjaan) yang oleh Pemerintah Pusat telah ditentukan terlebih dahulu urusanurusan (kewajiban/pekerjaan) apa saja yang akan diserahkan kepada suatu Daerah sebagai urusan rumah tangga sendiri. Lain daripada itu, karena sistem rumah tangga materiil lebih menekankan pada aspek penyerahan urusan pemerintahan, maka dengan otonomi luas

mengakibatkan akan terjadi penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah dalam jumlah yang banyak. 2. Undang-Undang ini lebih menekankan pada pelaksanaan otonomi daerah yang dikaitkan dengan asas medebewind. Dengan demikian dalam UU ini tidak membedakan antara prinsip otonomi dengan medebewind, bahkan asas medebewind merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari otonomi. Kendati UU No. 22 tahun 1948 telah menekankan penerapan sistem rumah tangga materiil, namun dalam ketentuan Pasal 28 ternyata juga mengandung aspek rumah tangga formil. Di dalam pasal ini antara lain ditegaskan bahwa kepada Daerah-daerah otonom yang sudah dibentuk masih diberi peluang untuk secara inisiatif dan prakarsa sendiri mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangga sendiri asal saja: a. Tidak mengatur (dan mengurus) sesuatu yang telah diatur dalam UU atau Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya; b. Tidak mengatur dan mengurus hal-hal yang masuk rumah tangga daerah yang lebih rendah tingkatannya; c. Tidak bertentangan dengan UU, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya; dan d. Hak mengatur (dan mengurus) tersebut menjadi tidak berlaku apabila dikemudian hari hal-hal tersebut diatur (dan diurus) dengan paraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Dengan ketentuan Pasal 28 UU No. 22 Tahun 1948 tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sistem rumah tangga yang dipergunakan adalah sistem rumah tangga nyata. Hal ini mengingat dalam rangka penyerahan urusan pemerintahan mempergunakan dua unsur yang dilaksanakan bersama-sama, yakni sistem rumah tangga materiil dan sistem rumah tangga formil. Unsur sistem rumah tangga materiil nampak pada saat pembentukan daerah otonom yang disertai dengan penyerahan urusan-urusan pangkal. Sedangkan unsur sistem rumah tangga formil nampak dari adanya kebebasan daerahdaerah otonom hasil pembentukan untuk berinisiatif dan berprakarsa sendiri mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri asalkan tidak melanggar ketentuan Pasal 28 tersebut. 4. Pada Masa Berlakunya Konstitusi RIS. a. Pasal 51 Konstitusi RIS menegaskan bahwa pengaturan tentang Pemerintahan di daerah menjadi wewenang masing-masing negara bagian. b. Negara Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta hanya merupakan salah satu Negara

Bagian dan tetap mempergunakan UU No. 22 Tahun 1948, sebab Negara Republik Indonesia (Yogyakarta) tetap mempergunakan UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya. c. Sebagian besar negara-negara bagian lainnya belum mengatur mengenai Pemerintahan Daerah, kecuali Negara Indonesia Timur melalui UU NTT No. 44 Tahun 1950. 5. Pada Masa Berlakunya UUDS 1950. Di dalam UUDS 1950 ketentuan mengenai Pemerintahan Daerah dapat dilacak dalam pasal-pasal sebagai berikut: a. Pasal 131 UUDS 1950 menegaskan antara lain: (1) Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi) dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan negara. (2) Kepada daerah-daerah diberi otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri. (3) Dengan undang-undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas kepada daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganya. b. Pasal 132 menyatakan antara lain:

(1) Kedudukan daerah-daerah swapraja diatur dengan undang-undang dengan ketentuan bahwa dalam bentuk susukan pemerintahannya harus diingat pula ketentuan dalam Pasal 131, dasar permusyawaratan dan perwakilan dalam sistem pemerintahan negara. (2) Daerah-daerah swapraja yang tidak dapat dihapuskan atau diperkecil bertentangan dengan kehendaknya, kecuali untuk kepentingan umum dan sesudah undang-undang yang menyatakan bahwa kepentingan umum menuntut penghapusan atau pengecilan itu, memberi kuasa untuk itu kepada Pemerintah. (3) Perselisihan hukum tentang peraturan-peraturan yang dimaksud dalam ayat (1) dan tentang menjalankannya diadili oleh badan pengadilan yang dimaksud dalam Pasal 108. c. Pasal 133 menyatakan bahwa sambil menunggu ketentuanketenuan sebagai dimaksud dalam Pasal 132 maka peraturan-peraturan yang sudah ada tetap berlaku, dengan pengertian bahwa pejabat-pejabat daerah bagian dahulu yang tersebut dalam peraturan-peraturan ini diganti

dengan pejabat-pejabat yang demikian pada Republik Indonesia. Pada tanggal 17 Januari 1957 dikeluarkanlah UU No. 1 Tahun 1957. Undang-Undang ini hanya mengatur pelaksanaan asas desentralisasi dan tugas pembantuan, sedangkan asas dekonsentrasi tidak diatur. Kepada daerah diberikan otonomi seluas-luasnya. Sehubungan dengan hal ini, ketentuanketentuan penting yang menyangkut pengaturan tentang Pemerintahan daerah menurut UU ini, antara lain: a. Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1957 yang menentukan tiga tingkatan daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi), yaitu: 1. Daerah Tingkat I, termasuk Kotapraja Jakarta Raya; 2. Daerah Tingkat U, termasuk Kotapraja; dan 3. Daerah Tingkat III. b. Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1957 menegaskan bahwa Daerah Swapraja dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu: 1. Daerah Istimewa Tingkat I; 2. Daerah Istimewa Tingkat II; dan 3. Daerah Istimewa Tingkat III. Menurut UU No. 1 tahun 1957, bentuk atau susunan Pemerintahaan Daerah, adalah: a. Pasal 5 menentukan bahwa Pemerintah Daerah adalah DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah. b. Pasal 19 ayat (1) menegaskan bahwa anggota Dewan Pemerintah Daerah dipilih dari anggota DPRD. c. Pasal 19 ayat (2) menyatakan bahwa Ketua/Wakil Ketua DPRD tidak boleh menjadi anggota Dewan Pemerintah Daerah. d. Pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa Kepala Daerah karena jabatannya adalah Ketua merangkap anggota Dewan Pemerintah Daerah. e. DPRD pemegang kekuasaan legislatif. f. Pasal 44 ayat (1) menyatakan bahwa Dewan Pemerintah Daerah menjalankan putusan DPRD. g. Pasal 48 menegaskan bahwa Dewan Pemerintah Daerah bertanggungjawab kepada DPRD. h. Kepala Daerah, sebagai ketua merangkap anggota Dewan Pemerintah daerah bukan merupakan organ yang berdiri sendiri. Sebagai organ daerah, Kepala Daerah tidak mempunyai wewenang untuk mengadakan pengawasan preventif maupun represif terhadap Putusan daerah. Memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka walaupun pemerintahan di daerah yang bersifat

administratif tidak diatur namun pemerintahan administratif itu tetap berlangsung berdasarkan peraturan peralihan. Oleh sebab itu untuk menghindari dualisme pemerintahan (otonomi dan administratif), maka dikeluarkanlah UU No. 6 Tahun 1959 Tentang Penyerahan Tugas-tugas Pemerintah Pusat dalam bidang pemerintahan umum, l'riiirrinlahan Lokal 3 3 1 perbantuan Pegawai Negeri dan penyerahan keuangan kepada pemerintah daerah. Undang-undang ini disingkat UU Penyerahan Pemerintahan Umum, artinya penyerahan semua tugas Pemerintah Pusat dalam bidang Pemerintahan Umum yang ada di daerah untuk menjadi urusan rumah tangga daerah. 6. Pada Masa Berlakunya UUD 1945 Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada masa ini UU No. 1 Tahun 1957 tetap dinyatakan berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan dengan penyesuaian tertentu agar sejalan dengan UUD 1945. penyesuaian-penyesuaian ditempuh dengan mengeluarkan produk hukum Penetapan Presiden, yaitu: a. Penetapan Presiden (Penpres) No. 6 Tahun 1959 dan disempurnakan lagi dengan Penpres No. 5 Tahun 1960. Kedua Penetapan Presiden ini dipergunakan untuk menyempurnakan UU No. 6 Tahun 1959. Isi dari kedua Penetapan Presiden tersebut, pada intinya adalah: 1. Penpres No. 6 Tahun 1959 dipergunakan untuk mengatur tugas eksekutif di daerah-daerah otonom. 2. Penpres No. 5 Tahun 1950 dipergunakan untuk mengatur tugas legislatif di daerah-daerah otonom. b. Di dalam Penpres No. 6 tahun 1959 antara lain ditentukan halhal sebagai berikut: 1. Pasal 1: Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. 2. Pasal 2: Kepala Daerah dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh BPH. 3. Pasal 14: Kepala Daerah mempunyai dua fungsi, yakni sebagai alat pusat dan sebagai alat daerah. Sebagai alat pusat Kepala Daerah menyelenggarakan bidang pemerintahan umum di daerah. Sedangkan sebagai alat daerah, Kepala Daerah menyelenggarakan pemerintahan otonom dan tugas pembantuan. c. Menurut Penpres No. 5 Tahun I960, antara lain ditegaskan: 1. Pasal 13: Tugas Legislatif daerah dijalankan oleh Kepala Daerah bersama-sama dengan DPRDGR. 2. Pasal 8 ayat (2): Kepala Daerah karena jabatannya adalah Ketua DPRGR. Bukan anggota DPRDGR.

3. Pasal 4 ayat (6): Kepala Daerah diangkat untuk masa jabatan yang sama dengan masa jabatan DPRDGR yang bersangkutan, dan dapat diangkat kembali setelah jabatannya berakhir. 4. Pasal 4 ayat (7) : Kepala Daerah tidak dapat diberhentikan karena keputusan DPRDGR. 5. Untuk Kepala Daerah Istimewa, kepala Daerahnya diangkat berdasarkan keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan di daerah sebelum RI. Pada tanggal 25 September 1963 dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 1963 Tentang Pernyataan Mulai Berlakunya UU No. 6 Tahun 63 diseluruh wilayah Indonesia. Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah ini, maka Pemerintah Pamong Praja tidak mempunyai tugas lagi. Semua pegawai Pamong Praja diperbantukan kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Dengan demikian dari berbagai ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam kedua Penpres tersebut, maka pola pemerintahan yang desentralistik sejak UU No. 1 Tahun 1957 berbalik arah menuju pola yang sentralistik. Pola yang demikian ini memang sesuai dengan kehendak Presiden Soekarno yang ingin menerapkan demokrasi terpimpin yang sarat dengan nuansa otoritarian. Undang-Undang No. 18 Tahun 1965. a. Di dalam Undang-Undang ini pengaturan Pemerintahan Daerah yang bersifat otonom dengan asas desentralisasi dilakukan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi. b. Pasal 2 ayat (1) mengatur pembagian wilayah, yakni: 1. Propinsi dan/atau Kotaraya sebagai Daerah Tingkat I; 2. Kabupaten/Kotapraja sebagai Daerah Tingkat n, dan 3. Kecamatan/Kolapraja sebagai Daerah Tingkat III. c. Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dibantu oleh Wakil Kepala Daerah dan BPH. d. Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh: 1. Kepala Daerah Tingkat I oleh Presiden; 2. Kepala Daerah Tingkat II oleh MENDAGRI dengan persetujuan Presiden; 3. Kepala Daerah Tingkat III oleh Kepala Daerah Tingkat II dengan persetujuan MENDAGRI. e. Pasal 44 ayat (2) menyatakan bahwa fungsi Kepala Daerah adalah sebagai alat pusat dan alat daerah. Sebagai alat pusat, Kepala Daerah memegang pimpinan kebijaksanaan polisionil daerahnya, antara lain: 1. Menyelenggarakan koordinasi antara jawatanjawatan Pemerintah Pusat;

2. Mengadakan pengawasan atas jalannya Pemerintahan di Daerah; dan 3. Menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat. Sedangkan sebagai alat daerah, Kepala Daerah memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif Pemerintahan Daerah baik di bidang urusan rumah tangganya sendiri maupun bidang tugas-tugas pembantuan. Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tidak sempat berjalan dengan baik karena terjadi pemberontakan G30S/PKI. 7. Masa Berlakunya UUD 1945 di bawah Orde Baru. Undang-Undang No. 5 tahun 1974 a. Judul resmi Undang-Undang ini adalah UndangUndang Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. b. Menurut Bagir Manan, judul tersebut tidak tepat dipergunakan, sebab pengertian Pemerintahan di Daerah pada hakikatnya merupakan unsur tata laksana penyelenggaraan Pemerintahan Pusat sebagai cerminan asas dekonsentrasi. Atau dengan kata lain menunjukkan pada kegiatan organorgan Pemerintah Pusat yang dilakukan di suatu wilayah/ daerah tertentu.211 c. Mengatur mengenai pelaksanaan asas desentralisasi bersama-sama dengan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. d. Menganut prinsip otonomi nyata dan bertanggung jawab, yakni suatu sistem rumah tangga daerah yang menghendaki bahwa isi rumah tangga daerah disesuaikan dengan kondisi dan faktor-faktor nyata di daerah. e. Meletakkan Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat n.212 f. Pelaksanaan Otonomi daerah lebih menekankan aspek kewajiban daripada hak.213 g. Yang disebut sebagai Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD.214 h. Dalam pelaksanaan asas desentralisasi Negara Indonesia dibagi menjadi daerah-daerah otonom, yakni Daerah Otonom Tingkat I dan Daerah Otonom Tingkat II. Jadi prinsip yang dipergunakan adalah desentralisasi teritorial. i. Keberadaan pemerintah Pamong Praja dihapus, tetapi asas dekonsentrasi tetap dijalankan. Bahkan lebih mendominasi ketimbang asas desentralisasi. Hal ini nampak dengan adanya:

1. Instasi Vertikal;

211Bagir Manan, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945 Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaannya, Unsika, Karawang, hlm. 35. 212Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1974. 213Penjelasan Umum UU No. 5 Tahun 1974. 214Pasal 13 UU No. 5 Tahun 1974.

2. Kepala Daerah yang sekaligus berkedudukan sebagai Kepala Wilayah. Berdasarkan pokok-pokok ketentuan yang terkandung di dalam UU No. 5 Tahun 1974 tersebut, maka tidaklah mengherankan jikalau penyelenggaraan pemerintahan lokal bersifat sentralistik. Kondisi seperti ini berjalan lebih kurang 32 tahun di bawah pemerintahan Orde Baru. Sehingga dalam perkembangannya belum ada satupun Daerah di Indonesia yang dapat melaksanakan otonomi dengan sempurna. Bahkan kecenderungan intervensi Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah semakin menonjol. 8. Masa Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi (Setelah Amandemen UUD 1945). Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. a. Undang-undang ini merupakan koreksi total terhadap UU No. 5 Tahun 1974 yang bersifat sentralistik yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokratisasi pemerintahan yang dikumandangkan sejak reformasi tahun 1998. b. Hanya mengatur pembantuan Kabupaten/Kota. c. asas desentralisasi dan tugas di

Asas desentralisasi dan dekonsentrasi dilaksanakan secara bersama-sama di Daerah Provinsi. Dengan demikian kedudukan Provinsi di samping sebagai Daerah Otonom sekaligus merupakan wilayah administratif. Pemberian kedudukan seperti ini dilakukan dengan pertimbangan: 1. Untuk memelihara hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang bersifat lintas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota serta melaksanakan kewenangan otonomi daerah yang belum dapat dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. 3. Untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan tertentu yang dilimpahkan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi.215

d. Terdapat pemisahan yang tegas antara kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam hal ini Pasal 7 UU No. 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa kewenangan daerah adalah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. e. Pengertian desentralisasi menurut Pasal 1 huruf c UU No. 22 tahun 1999 adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. f. Yang dimaksud dengan otonomi daerah menurut Pasal 1 huruf h UU No. 22 tahun 1999 adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan.

g. Menurut Pasal 1 huruf i yang dimaksud daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. h. Pasal 14 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa di Daerah dibentuk Badan Legislatif Daerah dan Pemerintah Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah. Sedangkan 215 Penjelasan Umum UU No. 22 tahun 1999. menurut ayat (2) menyatakan bahwa Pemerintah Daerah terdiri atas Kepala Daerah beserta perangkat daerah lainnya.

i. Menurut Pasal 32 ayat (2) UU No. 22 Tahun 1999, dalam menjalankan tugas dan kewenangannya Kepala Daerah bertanggungjawab kepada DPRD. j. Menurut Pasal 4 UU No. 22 tahun 1999 daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang dibentuk

berdasarkan asas desentralisasi, masing-masing berdiri sendiri-sendiri dan tidak mempunyai hubungan hirarki satu sama lain. Berdasarkan pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalam ketentuan UU No. 22 tahun 1999 tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal dipergunakan model sistem parlementer. Hal ini nampak jelas dari: 1. Kepala Daerah dipilih dan diangkat oleh DPRD sebagai parlemen Daerah. 2. Kepala Daerah dapat dikenai mosi tidak percaya oleh DPRD jikalau pertanggungjawaban Kepala Daerah di tolak oleh DPRD.216 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Belum genap 5 (lima) tahun usia Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU Otonomi Daerah) dilaksanakan dengan baik, wacana untuk melakukan revisi terhadap UU tersebut sudah sedemikian marak. Banyak persoalan yang melingkupi pelaksaanaa UU No. 22 tahun 1999 tersebut. Bahkan secara empiris UU ini justru dikatakan membangun konsepsi otonomi daerah yang lebih maju (baca: kebablasan), ketimbang yang diharapkan oleh UU itu sendiri. Dikatakan lebih maju atau kebablasan, karena dalam tataran praksis UU No. 22 Tahun 1999 telah membangun 216 Pasal 45 dan Pasal 46 UU No. 22 Tahun 1999. konsep yang

justru merusak tatanan Negara Kesatuan RI, yang telah disepakati sejak semula oleh para pendiri negara. Nuansa federalisme dari UU tersebut sungguh sangat kental. Berdasarkan pemahaman semacam itulah, maka diterbitkanlah UU No. 32 tahun 2004 yang menggantikan UU No. 22 tahun 1999. Bila dikaji dari aspek historis, pada hakikatnya penyusunan UU Otonomi Daerah yang mulai bergulir sejak reformasi 1998, dapat diindikasikan sebagai suatu langkah kompromis untuk menyatukan dua wacana yang berbeda. Mengapa demikian ? Pada waktu itu dalam tataran konsolidasi sistem demokrasi di Indonesia (meminjam istilah dari Samuel P. Huntington), khususnya yang menyangkut pembenahan sistem pemerintahan dan bangunan negara, muncul dua wacana yang demikian kuat, yaitu keinginan untuk melakukan perubahan bangunan negara menuju bentuk federal dan keinginan untuk tetap mempertahankan bangunan negara kesatuan dengan memberikan perluasan kepada aspek desentralisasi dan otonomi daerah. Modus kompromi tersebut nampak jelas dari perumusan konsepsi yuridis Pasal 1 huruf c tentang pengertian

desentralisasi dan Pasal 7 ayat (1) UU NO. 22 tahun 1999 tentang kewenangan daerah. Kedua konsepsi yuridis inilah yang pada hakikatnya menjadi pangkal permasalahan dari berbagai permasalahan yang menyangkut pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, sehingga UU Otonomi Daerah tersebut perlu direvisi. Konsepsi yuridis tentang desentralisasi - sebagaimana ditegaskan di dalam UU Otonomi Daerah jelas menimbulkan persoalan yang sangat fundamental, khususnya dalam tataran pelaksanaannya. Kalimat yang menyatakan "penyerahan wewenang pemerintahan", mengandung makna yang sangat luas. Artinya dengan diserahkannya wewenang pemerintahan tersebut, maka Daerah dapat memiliki otoritas pemerintahan apa saja yang dapat dipergunakan sebagai dasar normatif untuk melaksanakan berbagai urusan pemerintahan. Konsep desentralisasi seperti itu kemudian diubah oleh UU No. 32 tahun 2004 dengan konsepsi yang menyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam konteks Negara Kesatuan, maka kewenangan untuk melakukan Pemerintahan dalam arti luas adalah tetap ada pada Pemerintah (Pusat). Otonomi Daerah tidak dapat diartikan sebagai wujud kedaulatan, melainkan harus diartikan sebagai kemandirian daerah untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan (bidang-bidang) pemerintahan yang dilimpahkan/diserahkan kepadanya sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Hal ini berbeda dengan otonomi yang ada di dalam konteks negara federal. Negara bagian di dalam negara federal memang memiliki kedaulatan ke dalam, karena sejak semula - sebelum melakukan integrasi -negara-negara bagian tersebut memang sudah memiliki kedaulatan sendirisendiri secara penuh. Di negara federal desentralisasi mengandung dua dimensi. Pertama, substansi yang diserahkan adalah wewenang pemerintahan, bukan urusan pemerintahan. Hal ini disebabkan, secara normatif munculnya wewenang pemerintahan pada hakikatnya berasal dari ada/tidaknya kedaulatan. Wewenang pemerintahan dan Urusan Pemerintahan merupakan dua istilah yang berbeda bila ditinjau dari maknanya. Urusan Pemerintahan hanya menyangkut bidang-bidang tertentu, sehingga wewenang yang diberikan/ diserahkan juga sesuai dengan bidang pemerintahan yang ada. Oleh sebab itulah, secara konseptual, di dalam Negara Kesatuan seharusnya yang diserahkan kepada Daerah tidak lain adalah Urusan Pemerintahan. Bukan wewenang pemerintahan. Substansi semacam tersebut pernah digunakan oleh UU No. 5 tahun 1974. Dengan demikian, walaupun di dalam UU No. 32 tahun 2004 pengertian desentralisasi tetap menyertakan kalimat "dalam sistem Negara Kesatuan RI", namun dalam pelaksanaanya tetap saja mengarah kepada penguatan konsep

federalisme sebab yang diserahkan menyangkut wewenang pemerintahan.

lebih

dominan

Kedua, model penyerahan wewenang pemerintahan di dalam konteks negara federal adalah bersifat bottom up, tidak top down. Artinya yang memiliki inisiatif untuk melakukan penyerahan wewenang pemerintahan itu tidak lain adalah Negara Bagian. Dengan kata lain Negara Bagian mengambil kewenangan-kewe-nangan pemerintahan terlebih dahulu, baru sisanya diserahkan kepada Pemerintah Federal. Model semacam ini sering disebut residu theory. Wewenang yang diserahkan oleh Negara Bagian kepada Pemerintah Federal pada umumnya menyangkut persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kedaulatan keluar, seperti politik luar negeri, moneter dan fiskal, pertahanan serta peradilan. Oleh sebab itu untuk menghindari warna federalis di dalam UU tentang Pemerintahan Daerah, maka sekali lagi kriteria untuk menentukan urusan pemerintahan bagi daerah otonom wajib dicantumkan di dalam UU Pemerintahan Daerah. Dalam teori perundang-undangan, konsepsi yuridis yang tertuang didalam naskah UU harus mengandung ketegasan makna dan kepastian hukum. Ketegasan makna diperlukan, karena menurut teori perundang-undangan ketentuan yang ada di dalamnya merupakan bentuk penemuan hukum yang mengarah pada terbangunnya teori hukum, sehingga ketika UU tersebut dilaksanakan tidak terjadi perdebatan yang menyangkut penafsiran makna. Sedangkan mengandung kepastian hukum, karena menyangkut standarisasi dalam penegakan hukum, artinya dengan kepastian hukum tersebut kepastian ukuran-ukuran yang menyangkut nilai normatif yuridis dapat ditentukan. Nah Revisi terhadap UU No. 32 tahun 2004 tentunya harus memperhatikan kedua hal tersebut. Bila ditinjau dari aspek substansinya, UU No. 32 tahun 2004 memang lebih lengkap daripada UU No. 22 tahun 1999. Namun demikian justru dengan lengkapnya UU No. 32 tahun 2004 tersebut, kesan intervensi Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah makin terasa. Bahkan intervensi itu makin diperluas sampai ke tingkat Desa. Padahal Desa dalam sejarahnya dimasukkan dalam konteks zelfbestuurende lanschappeu yang sejak /.mi.m hindia bolanda keberadaannya memang diakui melalui ' h-i cntnilisatie wet 1903. Oleh sebab itulah dengan kemunculan UU ini muncul wacana di tingkatan politik praktis maupun akademis bahwa UU No. 32 tahun 2004 mengarah kepada resentralisasi. Wacana resentralisasi di dalam UU No. 32 Tahun 2004 nampak di dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 32 tahun 2004 menegaskan bahwa Pemerintahan daerah adalah penyelenggara urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Ketentuan seperti itu menjadi tidak bermakna jikalau ternyata prinsip otonomi seluas-luasnya itu ternyata dibatasi dalam hal mengatur dan mengurus urusan pemerintahan. Pembatasan urusan pemerintahan nampak jelas tertuang di dalam Pasal 13 yang ditujukan kepada Provinsi dan Pasal 14 yang ditujukan kepada kabupaten/kota. Pembatasan sebagaimana tertuang di dalam pasal-pasal tersebut menyiratkan bahwa sistem rumah tangga yang dipergunakan adalah sistem rumah tangga materiil. Padahal dalam pelaksanaan prinsip otonomi seluas-luasnya sistem rumah tangganya jelas lebih menekankan sistem rumah tangga formil. UU No. 32 Tahun 2004 semakin menunjukkan paradigma resentralisasi jika kita mengkaji PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Di dalam Pasal 4 ayat (1) ditegaskan bahwa pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar tingkatan dan/ atau susunan pemerintahan. Ketentuan semacam itu jelas menyimpang dari sistem rumah tangga nyata yang menghendaki bahwa urusan pemerintahan yang dapat diatur dan diurus oleh daerah adalah urusan pemerintahan yang di dasarkan pada faktorfaktor nyata suatu daerah, seperti kemampuan daerah, keadaan daerah, dan kebutuhan daerah. Sementara itu, kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi jelas tidak menunjukkan adanya aspek karakteristik suatu daerah sebagai prasyarat dari sistem rumah tangga nyata. Menurut Penjelasan Pasal 4 ayat (1) PP No. 38 Tahun 2007 dinyatakan antara lain: a. Eksternalitas adalah kriteria pembagian urusan pemerintahan dengan memperhatikan dampak yang timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Sedangkan apabila dampaknya bersifat lintas kabupaten/kota dan/atau regional maka urusan pemerintahan itu menjadi kewenangan provinsi, dan apabila dampaknya bersifat lintas provinsi dan/atau nasional, maka urusan itu menjadi kewenangan pemerintah. b. Akuntabilitas adalah kriteria pembagian urusan pemerintahan dengan memperhatikan pertanggungjawaban pemerintah, pemerintahan daerah Provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tertentu kepada masyarakat. Apabila dampak

penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan secara langsung hanya dialami secara lokal (satu kabupaten/kota), maka pemerintahan kabupaten/kota bertanggungjawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tersebut. Sedangkan apabila dampak penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan secara langsung dialami oleh lebih dari satu kabupaten/kota dalam satu provinsi, maka pemerintah daerah provinsi yang bersangkutan bertanggungjawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tersebut; dan apabila dampak penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut dialami lebih dari satu provinsi dan/atau bersifat nasional maka Pemerintah bertanggungjawab untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tersebut. c. Efisiensi adalah kriteria pembagian urusan pemerintahan dengan memperhatikan daya guna tinggi yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Apabila urusan pemerintahan lebih berdayaguna ditangani pemerintahan daerah kabupaten/kota, maka diserahkan kepada pemerintahan daerah kabupaten kota, sedangkan apabila akan lebih berdayaguna bila ditangani pemerintahan daerah provinsi, maka diserahkan kepada pemerintahan daerah provinsi. Sebaliknya apabila suatu urusan pemerintahan akan berdayaguna bila ditangani Pemerintah maka akan tetap menjadi kewenangan pemerintah. Kriteria-kriteria tersebut di atas menunjukkan sekali lagi bahwa sistem rumah tangga nyata tidak secara tegas dan pasti dipergunakan sebagai parameter dalam pembagian urusan pemerintahan. Bahkan jika kita mencermati secara lebih mendalam, maka kriteria-kriteria tersebut lebih menunjukkan aspek ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, karena penentuan kriteria-kriteria tersebut pada akhirnya yang akan memberikan garis penegasan tetap ada pada pemerintah pusat. Lain daripada itu, dengan menelaaah kriteria-kriteria tersebut maka aspek supervisi ataupun pengendalian pemerintah pusat kepada pemerintah daerah lebih ditonjolkan. Demikianlah gambaran singkat mengenai perjalanan sejarah pengaturan tentang pemerintahan lokal di Indonesia. Menyimak perjalan sejarah tersebut nampak jelas bahwa eksperimentasi sistem desentralisasi dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia terus dilakukan. Hal ini memang masuk akal karena dalam sejarahnya perjalanan ketatanegaraan Indonesia, desentralisasi dan otonomi memang belum akrab dalam khasanah sistem pemerintahan dalam arti

luas, walaupun sejak zaman kolonial memang sudah dikenal adanya satuan-satuan pemerintahan otonom yang diatur berdasarkan hukum asli Indonesia.

F. Hakikat Otonomi Daerah Menurut Sistem Rumah Tangga Daerah


Menurut Pasal 1 angka 5 UU No. 32 tahun 2004 otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Rumusan seperti ini mirip dengan rumusan yang tertuang di dalam UU No. 22 Tahun 1999. Persoalannya adalah, apakah hak, wewenang, dan kewajiban tersebut merupakan sesuatu yang tumbuh dan berkembang secara alami serta melekat dalam diri masingmasing daerah otonom yang kemudian diakui oleh pemerintah pusat melalui perundang-undangan, ataukah hanya sekedar pemberian atau penyerahan dari pemerintah pusat. Serta bagaimanakah konsekuensinya jika otonomi yang akan diterapkan tersebut adalah otonomi luas? Untuk menjawab persoalan tersebut, maka secara teoritis harus dikaitkan dengan sistem rumah tangga daerah yang akan dipergunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Oleh sebab itu di bawah ini akan disajikan hakikat otonomi daerah menurut masing-masing sistem rumah tangga daerah. 1. Hakikat Otonomi Daerah Menurut Sistem Rumah Tangga Materiil. Konsep dasar dari sistem rumah tangga materiil adalah, adanya pembedaan antara urusan pemerintahan Pusat dan Urusan Pemerintahan Daerah. Dalam sistem rumah tangga materiil agar daerah memiliki urusan pemerintahan maka prinsip tentang ada atau tidaknya penyerahan urusan pemerintahan dari pusat kepada daerah juga harus menjadi alasan utama. Konsep teoritis semacam inilah yang mengakibatkan ada atau tidaknya otonomi daerah sangat bergantung dari ada atau tidaknya penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa hakikat otonomi daerah menurut sistem rumah tangga materiil bukan merupakan sesuatu yang tumbuh dan berkembang secara alami yang kemudian oleh pemerintah diakui keberadaannya, melainkan semata-mata hanya merupakan pemberian dari pemerintah pusat. Konsekuensi lebih lanjut dari konsepsi seperti apabila diletakkan dalam rangka pemberian otonomi luas, maka keluasan itu akan diukur berdasarkan pada banyak atau sedikitnya urusan pemerintahan yang akan diserahkan kepada pemerintah daerah. Jadi otonomi luas akan diukur dari aspek kuantitas urusan pemerintahan yang menjadi hak, wewenang,

dan kewajiban pemerintah daerah untuk diatur dan diurus sebagai urusan rumah tangga sendiri. 2. Hakikat Otonomi Daerah Menurut Sistem Rumah Tangga Formil. Titik tolak pandangan sistem rumah tangga formil adalah tidak membedakan antara urusan pemerintahan pusat dengan urusan pemerintahan daerah. Daerah tetap saja dapat mengatur dan mengurus urusan pemerintahan apa saja tanpa harus menunggu ada/tidaknya penyerahan dari pemerintah pusat, asalkan urusan pemerintahan tersebut bermanfaat bagi perkembangan dan pertumbuhan daerah dan masyarakatnya. Di dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Mencermati bunyi ketentuan tersebut, maka titik tolak otonomi daerah adalah ada pada kalimat "mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat". Sedangkan kalimat "sesuai dengan peraturan perundang-undang" pada hakikatnya merupakan bentuk pembatasan yuridis agar dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut tidak menyimpang dari rambu-rambu paraturan perundang-undangan. Berdasarkan kalimat kunci dari ketentuan tersebut, maka penafsiran gramatikalnya adalah bahwa penyelenggaraan otonomi daerah lebih ditekankan pada inisiatif dan prakarsa daerah, bukan merupakan sesuatu yang bersifat pemberian atau penyerahan dari pemerintah pusat, namun dalam pelaksanaannya harus tetap mengindahkan rambu-rambu peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut berarti kalau kebijakan otonomi luas akan dilaksanakan dalam sistem pemerintahan lokal, maka aspek kualitas penyelenggaraan urusan pemerintahan harus menjadi kerangka acuan utama. Artinya urusan pemerintahan yang menjadi hak, wewenang, dan kewajiban daerah harus diletakkan pada aspek dayaguna dan hasilguna bagi masyarakat daerah dengan tetap memperhatikan ramburambu peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Hakikat Otonomi Daerah Menurut Sistem Rumah Tangga Riil (Nyata). Menurut sistem rumah tangga riil (nyata) urusan pemerintahan yang dapat diatur dan diurus sendiri oleh pemerintah daerah di dasarkan pada keadaan atau faktorfaktor nyata yang ada di masing-masing daerah. Lain daripada itu, sistem rumah tangga riil mengandung unsur rumah tangga materiil dan unsur rumah tangga formil. Unsur sistem rumah tangga materiil nampak dari adanya pembedaan urusan pemerintahan di tingkat pusat dan di tingkat daerah melalui penyerahan urusan pemerintahan pangkal pada waktu pembentukan daerah otonom. Sedangkan

unsur sistem rumah tangga formil nampak dari adanya kebebasan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan di luar urusan pangkal yang telah diserahkan sesuai dengan inisiatif dan kreatifitas daerah asalkan tidak melanggar rambu-rambu peraturan perundang-undangan yang berlaku. Konsep sistem rumah tangga riil (nyata) yang demikian ini, apabila dikaitkan dengan otonomi daerah, dapat digambarkan bahwa keberadaan otonomi daerah bersumber dari aspek pemberian sekaligus merupakan bentuk pengakuan terhadap insiatif dan kreatifitas daerah yang berlandaskan pada kepentingan masyarakat setempat. Oleh sebab itu dalam konsepsi sistem rumah tangga riil (nyata), otonomi luas bertitik dari penggabungan aspek kuantitas dan aspek kualitas. Aspek kuantitas akan muncul dengan sendirinya jikalau daerah otonom secara kualitas memang mampu menyelenggarakan urusan pemerintahan sesuai dengan karakteristik dan aspirasi masyarakat di daerahnya masingmasing. Berdasarkan pemahaman tersebut di atas, maka jikalau otonomi luas itu diletakkan dalam konsepsi sistem rumah tangga riil (nyata), maka akan meninbulkan konsekuensi sebagai berikut: a. Basis penyelenggaraan otonomi luas akan lebih menekankan pada kondisi atau kedaaan nyata dari suatu daerah (otonom). Bukan tingkatan daerah (otonom) tertentu. Artinya perluasan otonomi daerah itu akan diarahkan kepada Daerah-daerah yang memang telah memenuhi kriteria kemampuan, kedaaan dan kebutuhan. b. Perluasan otonomi akan lebih menekankan pada aspek kualitas daerah dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan. Artinya daerah akan diberi keleluasaan dan kebebasan dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan asalkan daerah tersebut memang mampu berdasarkan keadaan yang dimiliki. c. Perluasan otonomi daerah mengandung maksud untuk meningkatkan kemandirian daerah dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, jadi bukan dimaksud untuk memberikan kedaulatan, karena kemandirian tersebut tetap harus dalam koridor paraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. d. Berdasarkan prinsip sistem rumah tangga riil (nyata), kebijaksanaan perluasan otonomi tidak berarti seluruh urusan pemerintahan akan diserahkan kepada daerah. Hanya

urusan pemerintahan yang sesuai dengan kondisi atau karakteristik daerah-lah yang akan diserahkan. Sehingga akan dijumpai keanekaragaman urusan pemerintahan di masing-masing daerah. Dengan demikian, perluasan otonomi daerah berdasarkan prinsip rumah tangga riil (nyata) pada hakikatnya merupakan bentuk penolakan terhadap penyeragaman urusan pemerintahan di seluruh daerah otonom. Tidak dapat dielakkan, bahwa dalam rangka mencari format pemerintahan lokal menuju konsolidasi sistem demokrasi memang nuansa eksperimentasi (coba-coba) dalam membentuk sistem pemerintahan lokal amat terasa. Dalam wacana otonomi daerah, terdapat dua pandangan yang mencoba memberikan konsep ideal mengenai pengaturan pemerintahan lokal di Indonesia. Di satu pihak menghendaki dengan mengembangkan konsep federalistis dan dilain pihak tetap bersikukuh untuk mempertahankan bangunan negara kesatuan dengan prinsip desentralisasi. Perbedaan argumentasi mengenai bangunan negara dalam rangka menyusun sistem pemerintahan lokal, pada hakikatnya tidak perlu dipanjang lebarkan. Hal ini mengingat dalam dataran teoritis antara federalisme dan unitarisme dengan prinsip desentralisasi tidak menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Kalaupun ada perbedaan itupun hanya berkaitan dengan mekanisme pemencaran kekuasaan dan pembagian urusan pemerintahan saja. Di negara federal, asumsi dasarnya adalah terbentuk karena adanya penggabungan negara-negara kecil yang sejak semula memang sudah memiliki kedaulatan secara penuh. Dalam angka penggabungan itulah, maka dilakukan perjanjian di antara negara-negara kecil tersebut disertai dengan penyerahan sebagian kedaulatannya yang berwujud wewenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan. Kedaulatan yang diserahkan kepada pemerintah gabungan (federal) tidak lain adalah kedaulatan keluar yang pada umumnya menyangkut urusan pemerintahan di bidang politik luar negeri, pertahanan, penentuan mata uang (moneter dan fiskal), peradilan. Sementara kedaulatan ke dalam tetap melekat di masing-masing negara bagian yang tercermin dari urusan-urusan pemerintahan yang bersifat lokal yakni urusan pemerintahan di luar yang telah diatur dan diurus oleh pemerintah federal. Sedangkan di dalam bangunan negara kesatuan, asumsi dasarnya adalah terbentuk karena tidak ada satupun wilayah negara yang sejak semula telah memiliki kedaulatan. Artinya negara kesatuan itu terbentuk karena tidak ada komplain dari wilayah-wilayah negara yang sejak semula telah berdaulat. Negara kesatuan itu terbentuk dengan kedaulatan yang penuh dan tak terbagi-bagi. Dengan konsepsi seperti ini, maka demi melaksanakan prinsip pemencaran kekuasaan, efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan serta demokratisasi,

dilakukanlah pembagian urusan pemerintahan kepada daerahdaerah. Oleh sebab itu keberadaan daerah-daerah otonom yang memiliki urusan pemerintahan sendiri pada hakikatnya karena adanya kehendak dari pemerintah pusat. Berdasarkan kerangka konsepsional seperti inilah, maka nampak bahwa perbedaan federalisme dan unitarisme hanya ada pada mekanisme pendistribusian urusan-urusan pemerintahan. Di dalam negara federal prakarsa untuk menyerahkan sebagian urusan pemerintahan ada pada negara yang bergabung. Sedangkan di dalam konsep negara kesatuan, prakarsa untuk menyerahkan sebagian urusan pemerintahan ada pada pemerintah pusat. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa di dalam konsep negara federal dikenal adanya bottom up decentralization, artinya penyerahan urusan-urusan pemerintahan dari negara-negara yang bergabung kepada pemerintah pusat (federal) untuk diatur dan diselenggarakan sebagai kewenangan nasional dalam rangka pencapaian tujuan bersama. Sedangkan di negara kesatuan dikenal adanya top down decentralization, artinya penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah lokal, dalam rangka melaksanakan efisiensi, efektifitas pemerintahan, serta demokratisasi dan prinsip negara hukum. Pemberian otonomi kepada daerah justru merupakan saru syarat penting agar kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat terjaga. Bahwa sekarang dalam pelaksanaan otonomi kepada daerah terjadi berbagai masalah, hendaknya harus dipandang sebagai proses pembelajaran. Selama lebih dari 50 tahun, daerah dikendalikan secara terpusat oleh Jakarta. Maka sebagaimana tahun 1945 bangsa Indonesia belajar menjadi bangsa merdeka, kini orang daerah belajar hidup secara otonom. Tanpa otonomi daerah, bangsa Indonesia akan terus mengalami guncangan dari dalam dan hal ini jelas akan dimanfaatkan kekuatan luar yang tidak menghendaki terwujudnya Republik Indonesia yang maju, sejahtera, dan kuat. Bahkan, tidak mustahil ada kekuatan luar yang memanfaatkan masalah daerah untuk mempengaruhi daerah tertentu untuk merdeka, lalu menjadi negara yang dikuasai kekuatan luar itu.

Bab VIII KEWARGANEGARAAN


Setiap orang BerHak^atas sesuatu kewarganegaraan. (Dan tidak\_seorangpun dengan semena-mena dapat dikeluarkan dari pewarganegaraannya atau ditolak.untuk^mengganti pewarganegaraannya (Article IS (Declaration Universalof Human (Rights)

A. Pengertian dan Batasan.


Sebagaimana telah penulis kemukakan dalam bab-bab terdahulu, bahwa obyek kajian Hukum Tata Negara, di samping membahas mengenai organisasi dan tata kerja organ-organ atau alat-alat perlengkapan negara, hubungan antar alat perlengkapan negara baik horizontal maupun vertikal, juga mempelajari hubungan antara alat-alat perlengkapan negara dengan Warga Negara. Obyek kajian Hukum Tata Negara yang demikian ini tentu dilandasi oleh kenyataan bahwa proses terbentuknya negara, tidak mungkin meninggalkan salah satu unsur utamanya, yakni Warga Negara (rakyat). Di dalam teori kedaulatan rakyat sebagaimana dikemukakan oleh JJ. Rousseau, terbentuknya negara tidak lain adalah disebabkan oleh adanya kontrak sosial atau perjanjian masyarakat. Bahkan menurut Bierens de Haan dikatakan: "Negara adalah lembaga manusia; manusialah yang membentuk negara. Dan manusia yang membentuk negara itu, merupakan

makhluk perorangan (cdehoelzen) dan merupakan juga mahluk sosial (gemeenschapswezen). Masyarakat dalam dirinya secara alami mengandung keinginan untuk berorganisasi yang timbul karena dorongan dari dalam. Dan negara adalah bentuk berorganisasinya suatu masyarakat, yaitu masyarakat bangsa. Meskipun masyarakat bangsa terbagi dalam kelompok-kelompok, negara membentuk satu kesatuan yang bulat dan mewakili sebuah cita (eed idee vertegenwoordigt)" .217 Terkait dengan persoalan berorganisasinya suatu masyarakat. CF. Birch mengemukakan bahwa untuk membentuk organisasi negara, maka secara teoritis terdapat dua tahapan yang harus dilalui, yaitu: 1. Tahap Integrasi Nasional, yaitu proses menyarunya kelompok-kelompok masyarakat dalam bidang politikhistoris, sosiokultural, interaksi (transportasi-komunikasi), dan ekonomi, sehingga menjadi kelompok yang lebih besar daripada daerah (regional), tetapi bukan kelompok internasional, yang mempunyai identitas berbeda dengan

kelompok lain sesamanya. Hasil integrasi ini sering disebut Bangsa. 2. Tahap Integrasi Negara, yaitu proses munculnya kelompok penguasa yang menguasai wilayah bangsa itu secara bertahap, yakni: a. menundukkan saingan-saingannya; b. menentukan batas-batas wilayah kekuasaannya; c. menciptakan polisi dan pengadilan untuk mendukung ketertiban; dan d. tahap penetrasi administrasi, yakni pembentukan birokrasi untuk melaksanakan undang-undang dan pengumpulan 217Bierens de Haan, dalam Hamid S. Attamimi, (Disertasi), 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Pascasarjana UI, Jakarta, hlm. 53-54. 218CF. Birch, dalam PJ. Suwarno, 1994, Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta, pajak.218 Kanisius, Yogyakarta, hlm. 37.

Krtrtii 'gantgainun

353

Berkaitan dengan hubungan antara rakyat (Warga Negara) dengan negara, KG. Kartasapoetra mengatakan: "Rakyat merupakan salah satu unsur bagi terbentuknya suatu negara, di samping unsur wilayah dan unsur pemerintah. Suatu negara tidak akan terbentuk tanpa adanya rakyat walaupun mempunyai wilayah tertentu dan pemerintahan yang berdaulat, demikian pula kalau rakyatnya ada yang berdiam pada wilayah tertentu akan tetapi tidak memiliki pemerintahan sendiri yang berdaulat ke dalam dan ke luar, maka negara itupun jelas tidak bakal ada".219 Pendapat-pendapat tersebut di atas menunjukkan sekali lagi bahwa antara negara dan Warga Negara merupakan dua hal yang saling berkaitan. Bahkan tidak mungkin dapat dipisahkan. Dengan demikian pendapat-pendapat tersebut memberikan pertanda bahwa pembahasan mengenai Hukum Tata Negara tidak mungkin akan melepaskan diri dari peran dan fungsi dari Warga Negara. Oleh sebab itu masalah kewarganegaraan termasuk di dalamnya hak-hak asasi manusia menjadi pokok bahasan yang tidak akan ditinggalkan dalam mempelajari Hukum Tata Negara. Lain daripada itu dengan mencermati pendapat-pendapat tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur utama yang harus dipenuhi oleh negara sebagai organisasi kekuasaan tidak lain dan tidak bukan adalah adanya rakyat (Warga Negara) yang bertindak sebagi anggota sekaligus sebagai unsur pembentuk organisasi negara tersebut. Oleh sebab itu di dalam mekanisme kehidupan ketatanegaraan, keberadaan Warga Negara (rakyat) menduduki posisi sentral bahkan kalau boleh mengatakan sangat menentukan. Persoalan akan

menjadi lain, jikalau posisi yang demikian itu tidak nampak dalam seluruh mekanisme kehidupan ketatanegaraan di suatu negara. Salah satu sebab yang dapat dikemukakan disini tidak lain adalah sistem pemerintahan dari negara itulah yang tidak kondusif dalam meletakkan posisi Warga Negaranya.

Di dalam buku Diskriminasi Warga Negara dan Hak Asasi Manusia, antara lain dikemukakan bahwa istilah Warga Negara merupakan terjemahan istilah Belanda Staatsburger. Dalam pengertian yang sama, terjemahan istilah Inggris adalah citizen, dan pada terjemahan istilah Perancis adalah citoyen. Di dalam buku ini, juga dikemukakan pendapat Sutandjo Wignjosoebroto bahwa istilah tersebut menggambarkan adanya pengaruh konsep polis pada masa Yunani Purba, karena kedua terjemahan istilah Inggris dan Perancis itu secara harafiah artinya adalah warga kota. Sementara itu menurut bahasa Indonesia dikenal istilah kaula negara, yang berasal dari kata kaula dalam bahasa Jawa.220 Dalam terminologi keseharian (awam) pengertian mengenai kewarganegaraan atau Warga Negara/rakyat sering disamakan dengan penduduk. Sehubungan dengan hal ini RG. Kartasapoetra mengemukakan penjelasan sebagai berikut: 1. Yang dimaksud dengan rakyat suatu negara haruslah mempunyai ketegasan bahwa mereka itu benar-benar tunduk pada UUD negara yang berlaku, mengakui kekuasaan negara tersebut dan mengakui wilayah negara tadi sebagai wilayah tanah airnya yang hanya satusatunya; 2. Penduduk ialah semua orang yang ada ataupun bertempat tinggal dalam wilayah negara dengan ketegasan telah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh peraturan negara, sehingga mereka dapat melakukan kegiatan-kegiatan kehidupan yang sewajarnya di wilayah negara yang bersangkutan. Dengan demikian bukan penduduk yaitu mereka yang berada di wilayah suatu negara hanya untuk sementara waktu, jelasnya mereka tidak bermaksud bertempat tinggal di wilayah negara yang bersangkutan.221 Dari batasan pengertian tersebut, maka rakyat mengandung pengertian atau sering disamakan dengan 220M. Indradi Kusuma, et.al, 2000, Diskriminasi Warga Negara dan hak Asasi Manusia, Komnas HAM, Jakarta, hlm. 3. warganegara. Sedangkan 221RG. Kartasapoetra, Op.cit, hlm. 212. penduduk mempunyai arti yang lebih luas, yakni meliputi Warga Negara atau rakyat maupun bukan Warga Negara. Yang penting di sini bagi penduduk, adalah menyangkut domisilinya.

Terkait dengan pembedaan antara Warga Negara dan penduduk tersebut di atas, UUD 1945 juga mengatur mengenai pembedaan dalam perlakuan, khususnya mengenai perlindungan terhadap Warga Negara dan perlindungan terhadap penduduk. Contoh Pasal-pasal UUD 1945 yang mencerminkan hal tersebut, adalah: a. Pasal 27 menegaskan: (1) Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. (2) Tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. (3) Setiap Warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Ketentuan pasal seperti ini memberikan penegasan akan perlindungan terhadap Warga Negara. b. Pasal 29 menegaskan: (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan pasal seperti ini jelas memperlihatkan adanya perlindungan bagi seluruh penduduk. Apakah mereka ini Warga Negara ataupun bukan Warga Negara. Pendek kata siapapun yang berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia di jamin haknya untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Pembedaan perlindungan sebagaimana dicontohkan dalam pasal-pasal tersebut di atas pada hakikatnya merupakan bentuk implementasi pelaksanaan perlindungan hak-hak asasi manusia. Dalam konteks hak asasi manusia dikenal adanya hak yang bersifat individual (HAM Klasik) dan hak yang bersifat sosial dan politik (HAM Modern). Perlindungan terhadap Hak asasi manusia yang bersifat pribadi pada hakikatnya mengadung dimensi universal. Artinya setiap orang harus memperoleh jaminan akan hak tersebut. Contohnya hak untuk memeluk agama. Sedangkan perlindungan Hak Asasi manusia di bidang sosial dan politik, pada hakikatnya bersifat kontekstual. Artinya perlindungan itu hanya ditujukan kepada anggota organisasi kekuasaan yang disebut negara, karena anggota inilah yang terikat kontrak sosial pada saat pembentukan negara. Anggota tersebut tidak lain adalah Warga Negara. Negara sebagai lembaga yang diciptakan oleh manusia, sebagaimana dikemukakan oleh Bierens de Haan, jelas membutuhkan Warga Negara. Akan tetapi persoalannya adalah siapakah yang dapat mengklaim bahwa seseorang itu

merupakan Warga Negara atau bukan dan apakah setiap orang mempunyai hak untuk disebut sebagai Warga Negara dari suatu negara? Menurut Pasal 1 Konvensi Den Haag 1930 dinyatakan bahwa penentuan kewarganegaraan merupakan hak mutlak dari negara yang bersangkutan. Namun demikian hak mutlak ini dibatasi oleh apa yang disebut sebagai general principles, yaitu: 1. Tidak boleh bertentangan dengan konvensi-konvensi internasional; 2. Tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan internasional; dan 3. Tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum umum yang secara internasional diterapkan dalam hal penentuan kewarganegaraan. Berdasarkan pada konvensi Den Haag 1930 tersebut, maka negara mempunyai wewenang untuk membentuk berbagai ketentuan mengenai kewarganegaraannya. Hal inilah yang menyebabkan dalam penentuan status kewarganegaraan seseorang dikenal adanya asas ius sanguinis, yakni penentuan status kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan (pertalian darah), Kewarganegaraan 357 dan asas ius soli, yaitu penentuan status kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat dimana orang tersebut dilahirkan. Kendati negara mempunyai wewenang mutlak untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang, apakah mempergunakan asas ius sanguinis atau ius soli, namun menurut Pasal 5 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kewarganegaraannya, dan tidak seorangpun dapat dengan sewenang-wenang dicabut kewarganegaraannya ataupun tidak dapat diingkari hak untuk mengganti kewarganegaraannya.222 Dari dua konstruksi hukum internasional tersebut, maka jikalau diterapkan pasti akan menimbulkan benturan kepentingan. Disatu sisi negara memiliki wewenang mutlak untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang, sementara di sisi lain setiap orang juga berhak atas kejelasan status kewarganegaraannya. Termasuk memilih kejelasan status kewarganegaraannya. Dengan adanya benturan kepentingan inilah, maka menurut teori hukum umum akan menimbulkan kewajiban di masing-masing pihak. Kewajibanyang dimaksud tidak lain adalah, bagi negara dituntut atau wajib memberikan pengakuan dan perlindungan bagi setiap orang yang berkeinginan menjadi Warga Negara melalui perangkat hukum nasional. Sementara itu bagi setiap orang dituntut atau wajib untuk mengambil ketegasan mengenai status kewarganegaraannya melalui tata cara yang telah diatur oleh perangkat hukum nasional.

B. Konsekuensi Yuridis Status Kewarganegaraan.


Status kewarganegaraan seseorang akanmembawakonsekuensi yuridis bagi keberadaannya di dalam organisasi kekuasaan yang disebut negara. Konsekuensi yuridis tersebut meliputi bidang Hukum Perdata 222 Peter Baehr, et.al, 1997, Instrumen Internasional Pokok Hak-hak Asasi Manusia, Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 839. Internasional, Hukum Kekeluargaan (Familie

Rcclit), dan Hukum Publik. Konsekuensi yuridis di masingmasing bidang hukum tersebut, adalah:223 1. Konsekuensi di bidang Hukum Perdata Internasional, dikenal adanya asas nasionalitas (nationaliteit principles) yang intinya merumuskan bahwa status hukum seorang Warga Negara dalam hal hak dan kewajiban akan melekat dimana ia berada. Hal ini berarti bila ditinjau dari aspek Hukum Perdata Internasional, keberadaan hukum nasional akan tetap mempengaruhi sikap dan tindak seorang Warga Negara, walaupun ia berada diluar wilayah yuridiksi hukum nasional suau negara. Prinsip semacam ini sangat penting untuk diterapkan, karena aspek perlindungan hukum bagi seorang Warga Negara akan selalu dibutuhkan dimanapun mereka berada. Bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia, prinsip semacam ini selaras dengan visi dan misi yang teruang di dalam Pembukaan UUD 1945, yakni melindungi segenap tumpah dan darah Indonesia. Namun demikian, penerapan nationaliteit principles ini ternyata acap kali sulit untuk diterapkan dalam melakukan perlindungan dan penegakan hukum nasional bagi Warga Negara yang berada di luar wilayah kedaulatan negara, manakala ada peristiwa-peristiwa hukum yang tidak memungkinkan hukum nasional ikut terlibat di dalamnya. Hal ini disebabkan dalam lingkup hukum internasional juga dikenal adanya prinsip domisili. Prinsip ini menghendaki bahwa status hukum mengenai hak dan kewajiban seseorang ditentukan oleh hukum dimana orang tersebut berada. Contoh konkrit yang dapat dikemukakan disini adalah kasus yang menimpa beberapa Tenaga Kerja Indonesia yang diduga melakukan kejahatan di luar negeri, termasuk yang divonis oleh lembaga peradilan suatu negara di mana Warga Negara Indonesia berada. Dengan demikian dalam pelaksanaan kedua prinsip tersebut, negara sebagai organisasi kekuasaan yang 223 Bandingkan dengan M. Indradi Kusuma, et.al, Op.cit, berkewajiban melindungi Warga Negaranya sering hlm. 2-3. dihadapkan pada dilema hukum. Di satu pihak mempunyai kewajiban untuk melindungi Warga Negaranya dengan menerapkan hukum nasional dimanapun berada, sedang dipihak lain juga harus

menghormati hukum negara lain karena alasan prinsip domisili. Berkaitan dengan hal inilah, maka langkah yang sering dilakukan adalah dengan mengadakan perjanjian ekstradisi yang dalam tataran substansinya banyak mengandung aspek politis. Konsekuensi di bidang Hukum kekeluargaan (Familie Recht). Status kewarganegaraan seseorang akan membawa implikasi adanya kepastian hubungan hukum, khususnya mengenai hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, pewarisan, perwalian ataupun pengampuan. Dalam persoalan pewarisan, fenomena hukum di Indonesia sebagian besar masih menggariskan pada pemberlakuan Hukum Adat, yang kadang kala justru dianggap tidak memenuhi rasa keadilan dan tidak mencerminkan kesetaraan gender. Kesan diskriminatif dalam hal pewarisan dalam konsepsi Hukum Adat masih sangat kental. Misalnya Hukum Waris Adat bagi masyarakat Jawa yang menekankan pembagian waris dengan konsep segendong-sepikul. Artinya laki-laki memperoleh dua bagian sementara wanita hanya memperoleh satu bagian. Demikian juga pola yang berlaku di lingkungan Hukum Adat yang lain seperti di Bali dan Batak yang mempergunakan garis patrilineal (garis lakilaki) maupun Minangkabau (Sumatera Barat) yang mempergunakan garis matrilinial (garis perempuan). Namun demikian, persoalan keadilan dan kesetaraan gender dalam Hukum Waris Adat tentunya tidak terkait dengan persoalan hukum kewarganegaraan yang akan disusun. Hal ini disebabkan, pada prinsipnya hukum kewarganegaraan hanya dibentuk dan diimplementasikan dalam kaitannya dengan status seseorang bila berhadapan dengan negara. Pendek kata, konsekuensi yuridis status kewarganegaraan seseorang di bidang Hukum kekeluargaan akan memberikan penegasan mengenai status kewarganegaraan anak dari seorang Warga Negara. 3. Konsekuensi Yuridis di bidang Hukum Publik. Status kewarganegaraan seseorang merupakan bukti keanggotaan mereka dalam organisasi kekuasaan yang disebut negara. Oleh sebab itu negara wajib untuk melindunginya. Perlindungan yang dimaksud disini berdimensi HAM dan KAM (Hak Asasi Manusia dan Kewajiban Asasi Manusia). Lain daripada itu dalam dimensi Hukum Publik, maka status kewarganegaraan seseorang akan menimbulkan konsekuensi bahwa setiap orang yang disebut sebagai Warga Negara harus tunduk dan patuh pada hukumhukum negara sebagai manifestasi kehendak bersama dalam ikatan kontrak sosial yang merupakan prasyarat normatif terbentuknya negara, sebagaimana pernah dikemukakan oleh JJ. Rousseau. Dari ketiga konsekuensi yuridis status kewarganegaraan tersebut di atas, maka dalam pembentukan hukum kewarganegaraan tentunya harus memuat ketiga bidang hukum tersebut. Persoalannya adalah bagaimana konsekuensi yuridis

itu dapat dimuat di dalam UU Kewarganegaraan tanpa harus melanggar hukum-hukum yang lain sebagaimana telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, misalnya UU HAM.

C. Kewarganegaraan Menurut UUD 1945.


Menurut Pasal 26 ayat (1) UUD 1945, ditegaskan bahwa yang menjadi Warga Negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara. Ketentuan seperti ini memberikan penegasan bahwa untuk orang-orang bangsa Indonesia asli secara otomatis merupakan Warga Negara, sedangkan bagi orang-orang bangsa lain untuk menjadi Warga Negara Indonesia harus disahkan terlebih dahulu dengan undang-undang. Persoalan yang dapat ditarik dari ketentuan tersebut adalah apa yang menjadi ukuran atau kriteria seseorang itu dikategorikan sebagai orang-orang bangsa Indonesia asli? Dan mengapa bagi orang-or.inj; bangSB lain yang ingin menjadi Warga Negara Indonesia harus disahkan dengan undangundang? Pertanyaan ini muncul karena Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 memang menimbulkan kerancuan sekaligus mengandung nuansa diskriminatif perlakuan menyangkut pengakuan status kewarganegaran. Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 pada hakikatnya menimbulkan dua persoalan sosiologis dan yuridis di bidang kewarganegaraan, yaitu: 1. Pemahaman orang-orang bangsa Indonesia asli, menimbulkan penafsiran yang ambigu, yakni dapat dipahami sebagai: a. Orang-orang berikut keturunannya yang telah ada di Indonesia semenjak Indonesia menyatakan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945; atau b. Orang-orang yang sejak peradaban Indonesia terbentuk sudah ada di bumi Nusantara ini. Termasuk dalam hal ini adalah golongan Meganthropus Palaeojavanicus (manusia terbesar tertua di Jawa) yang fosilnya diketemukan oleh Ralp Von Koenigswald di Sangiran Jawa Tengah; atau c. Orang-orang yang pada prinsipnya dianggap cikal bakal atau nenek moyang pembentuk bangsa Indonesia yang berarti ditinjau dari aspek rasnya; atau d. Orang-orang yang dalam sejarah bangsa Indonesia berasal dari Yunan Selatan di daratan Cina serta pedagang dari Gujarat. Keempat penafsiran semacam ini, dalam dataran hukum jelas sulit untuk dilacak dan dibuktikan, karena yang disebut "bangsa asli" sering hanya dikaitkan dengan aspek fisiologis manusia, seperti warna kulit, bentuk

wajah. Padahal dari aspek fisiologis manusia ini juga dapat direkayasa melalui berbagai cara, entah karena alam atau rekayasa genetika seperti kloning. Ambigusitas kriteria orang-orang bangsa Indonesia asli tersebut tidak akan terjadi apabila keaslian yang dimaksud disini adalah menyangkut keaslian tempat kelahiran {original born citizen), bukan keturunan. 2. ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 menyiratkan adanya dua kelompok Warga Negara Indonesia, yaitu kelompok Warga Negara asli dan kelompok Warga Negara keturunan yang pada akhirnya berakibat pada pembedaan perlakuan bagi Warga Negara.224 Jika hal ini terus menerus dilakukan maka pada akhirnya jelas akan menghambat proses integrasi bangsa Indonesia. 3. Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 yang antara lain menegaskan "dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undangundang sebagai Warga Negara", merupakan ketentuan yang sangat berlebihan, karena bagi orang-orang bangsa lain untuk menjadi Warga Negara Indonesia harus disahkan dengan undang-undang. Hal ini berarti akan melibatkan DPR dalam setiap pemberian status kewarganegaraan bagi orang-orang bangsa lain yang ingin masuk menjadi Warga Negara Indonesia. Sebuah cara pemberian status kewarganegaraan yang sungguh luar biasa sulitnya, karena harus melalui mekanisme proses pembentukan undang-undang. Padahal pemberian status kewarganegaraan tersebut cukup dengan Keputusan Tata Usaha Negara, misalnya dengan Keputusan Presiden atau Keputusan Menteri yang membidangi masalah kewarganegaraan. Persoalan-persoalan sosiologis dan yuridis tersebut di atas, dalam dataran pelaksanaan lebih lanjut melalui peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya jelas akan menimbulkan penegakan hukum yang bernuansa diskriminatif. Bagi Warga Negara yang berasal dari orangorang bangsa Indonesia Asli (ditinjau dari aspek keturunan) secara otomatis sudah menjadi Warga Negara Indonesia begitu yang bersangkutan dilahirkan oleh orang-orang yang dikategorikan bangsa Indonesia asli. Sedangkan bagi golongan Warga Negara yang berasal dari orang-orang bangsa lain untuk disebut sebagai Warga Negara kfuuii ganegai mm 224 Samuel S. Nitisaputra, dalam M. Indradi Kusuma, et.al, . w> \ Ibid, hlm. 40. Op.cit,

harus melakukan upaya hukum tertentu dan memakan waktu, biaya dan tenaga yang relatif besar sebagai akibat birokrasi yang berbelit-belit. Kasus Hendrawan, Pahlawan Bulutangkis Indonesia dalam perebutan Piala Thomas tahun 2002 yang mengalami kesulitan dalam mengurus status

kewarganegaraan anaknya dapat dipergunakan sebagai salah satu contohnya.

D. Tinjauan Kritis Terhadap UU No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Undang-Undang Kewarganegaraan yang menggantikan UU No. 62 tahun 1958 telah disetujui oleh DPR-RI pada tanggal 11 Juli 2006. Kemudian pada tanggal 1 Agustus 2006 undang-undang tersebut disahkan. Secara umum, kemunculan undang-undang ini memperoleh tanggapan positif dari berbagai pihak. Bahkan UU ini disebut-sebut sebagai UU yang progresif dan telah mengubah paradigma tentang kewarganegaraan yang selama ini nuansa diskriminatifnya sangat tinggi. Terlepas dari itu semua, di bagian ini penulis akan mencoba memberikan sedikit catatan kritis tentang keberadaan UU tersebut. Pasal 2 menegaskan bahwa yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undangundang sebagai Warga Negara. Ketentuan semacam ini pada hakikatnya merupakan copy paste dari ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 yang masih tetap bernuansa diskriminatif. Penjelasan Pasal 2 tersebut menyatakan bahwa Yang dimaksud dengan "bangsa Indonesia asli" adalah orang Indonesia yang menjadi Warga Negara sejak kelahiran dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri. Penjelasan semacam ini memang telah menutup perdebatan tentang kriteria atau ukuran dalam memahami pengertian "bangsa Indonesia Asli". Pendek kata, keaslian itu sudah berlandaskan pada tempat kelahiran alias Original born citizen. Namun demikian, bila ditinjau dari aspek teori perundangundangan, maka penempatan pengertian "bangsa Indonesia asli" di dalam penjelasan merupakan langkah yang tidak tepat, sebab pengertian tersebut sejatinya merupakan asas yang akan dipergunakan dalam seluruh materi muatan UU Kewarganegaraan tersebut. Oleh sebab itu alangkah baiknya jikalau rumusan pengertian tersebut dicantumkan di dalam Pasal 2 atau di dalam Pasal 1 Ketentuan Umum. Lain daripada itu Pasal ini juga masih menyisakan persoalan yang berkaitan dengan prosedur dan tata cara untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia bagi orang-orang bangsa lain. Hal ini nampak dalam rumusan yang menyatakan "disahkan dengan Undang-undang sebagai Warga Negara". Persoalan yang dimaksud telah penulis kemukakan terdahulu. Menurut Pasal 1 Konvensi tentang kewarganegaraan Perempuan yang sudah menikah, pada prinsipnya menyatakan bahwa seseorang wanita Warga Negara yang menikah dengan laki-laki Warga Negara lain tidak secara otomatis mempengaruhi status kewarganegaraan istri. Norma hukum internasional semacam ini ternyata diimplementasikan

ke dalam Pasal 26 ayat (1) secara ragu-ragu, karena di dalam ketentuan pasal ini dinyatakan bahwa perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki Warga Negara asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut. Ketentuan seperti ini menunjukkan bahwa perancang UU ini nampak masih kurang memiliki kepercayaan diri bahwa Hukum internasional sudah menjamin tentang kewarganegaraan perempuan yang sudah menikah. Lebih lanjut kalau mencermati Pasal 23 huruf i dan Pasal 26 maka nampak bahwa UU ini masih bersifat diskriminatif terhadap perempuan yang potensial menjadi korban dari UU Kewarganegaraan ini. Pasal 23 huruf i misalkan mengatakan, siapa saja Warga Negara yang tidak melaporkan kesediaannya atau keinginannya menjadi Warga Negara dalam waktu lima tahun maka akan gugui Ketentuan seperti ini tidak melihat pengalaman-pengalaman buruh migran yang ada di Malaysia maupun negara-negara lain. Kemudian juga tidak melihat bagaimana Warga Negara Indonesia yang stateless yang saat ini berada di Eropa karena kebijakan Orde Baru di masa lalu, ketika itu ada mahasiswa-mahasiswa Indonesia sekolah Eropa kemudian dapat stigma Soekarnois atau komunis. Mereka ini tidak bisa kembali dan paspornya tidak diperpanjang KBRI setempat. Diskriminasi lain ada pada Pasal 26. Di situ disebutkan bahwa, perempuan berwarganegara Indonesia yang menikah dengan orang asing, setelah tiga tahun, harus memilih mau tetap WNI atau ikut kewarganegaraan suami. Aturan itu harus dicabut dan perempuan yang bersangkutan diberi keleluasaan memilih kewarganegaraannya, tanpa batasan waktu. Lain daripadaitu UUNo. 12 Tahun 2006juga dapat memunculkan kemungkinan adanya jutaan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, terutama Malaysia dan Timur Tengah, terancam kehilangan kewarganegaraan. Sebab Undang-Undang Kewarganegaraan mewajibkan setiap WNI untuk mendeklarasikan kewarganegaraan mereka setiap lima tahun sekali. Di tempat-tempat inilah mereka sulit mengakses KBRI, misalnya kalau memang mereka diwajibkan untuk melapor. Apalagi di Timur Tengah. Ini memperlihatkan bahwa UU ini sangat bias kelas. Artinya UU ini mengasumsikan bahwa semua WNI di luar negeri punya akses informasi yang luas, bisa mudah berkomunikasi, mobilitasnya sangat tinggi. Padahal kalau kita ketahui buruh migran kita yang di Malaysia umpamanya yang kerja di perkebunan-perkebunan ada yang lima atau enam tahun tidak bisa ke bandar atau ke kota, apalagi ke KBRI." Kemudian di Saudi Arabia, di dalam kultur mereka sangat sulit majikan-majikan mereka membebaskan atau memberi sedikit keleluasaan kepada para buruh migran perempuan kita yang bekerja di sana untuk keluar rumah apalagi datang ke KBRI. Jadi menurut pandangan penulis hal ini memang ancaman bagi buruh migran yang jumlahnya jutaan. Di

Malaysia ada sekitar 1,2 juta TKI kita yang bekerja tidak berdokumen, mayoritas mereka ada di perkebunanperkebunan yang jauh dari bandar-bandar raya. Kemudian juga di Saudi Arabia, utamanya dan juga di beberapa negara di Timur Tengah. Mereka pada umumnya sangat sulit keluar rumah. Oleh sebab itu kondisi yang demikian harus juga dicermati Undang-undang Kewarganegaraan sudah diketok oleh DPR-RI. Tentu ada yang masih belum puas. Sebuah undangundang memang tak pernah sempurna. Selalu ada kekurangan di sana-sini. Yang jelas, undang-undang ini sudah menghapus banyak diskriminasi, walaupun mungkin belum semua diskriminasi. Sekarang tinggal melihat diskriminasi yang tersisa. Sebagai manusia yang hidup bermasyarakat dan bernegara orang Indonesia memang harus terus-menerus belajar. Dan yang paling penting adalah belajar untuk menghilangkan stigma pribumi dan non pribumi. Belajar untuk tidak saling curiga.

E. Asas-asas Kewarganegaraan Menurut UndangUndang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Menurut Penjelasan Umum Undang-Undang No. 12 Tahun 2006, terkandung asas kewarganegaraan Umum dan asas kewarganegaraan khusus. Asas kewarganegaraan umum meliputi: 1. Asas Ius Sanguinis yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukanberdasarkan negara tempat kelahiran; 2. Asas Ius Soli terbatas, yaitu asas menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran yang secara terbatas diberlakukan bagi anakanak sesuai dengan ketentuan undang-undang ini; 3. Asas kewarganegaraan tunggal, yaitu asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang; 4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undangundang ini. Adapun asas kewarganegaraan khusus yang terkandung di dalam undang-undang ini, meliputi: 1. Asas kepentingan nasional, yaitu asas yang menentukan bahwa peraturan kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia yang bertekad mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri; 2. Asas perlindungan maksimum, yaitu asas yang menentukan bahwa pemerintah wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap Warga Negara

3.

4.

5.

6.

Indonesia dalam keadaan apapun baik di dalam maupun di luar negeri; Asas persamaan di muka hukum dan pemerintahan, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap Warga Negara Indonesia mendapatkan perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan; Asas kebenaran substantif, yaitu asas yang menentukan bahwa prosedur pewarganegaraan tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga disertai dengan substansi dan syarat-syarat permohonan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya; Asas nondiskriminatif, yaitu asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan Warga Negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan gender; Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, yaitu asas yang dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan Warga Negara harus menjamin, melindungi, dan memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan hak Warga Negara pada khususnya;

7. Asas keterbukaan, yaitu asas yang menentukan bahwa dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan Warga Negara harus dilakukan secara terbuka; dan 8. Asas publisitas, yaitu asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh atau kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia agar masyarakat mengetahuinya. Menurut Pasal 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 krirteria seseorang merupakan Warga Negara Indonesia, adalah: a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundangundangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah RI dengan negara lain sebelum UU ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia; b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia; c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu Warga Negara asing; d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara asing dengan ibu Warga Negara Indonesia; e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut;

f.

Anak yang lahir dengan tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia; g. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia; h. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin; i. Anak yang lalui di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahirnya tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya; j. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui; k. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya; 1. Anak yang dilahirkan di wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan; m. Anak dari seorang ayah dan ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibu meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. Lebih lanjut menurut Pasal 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 dinyatakan: (1) Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia. (2) Anak Warga Negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh Warga Negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia. Berdasarkan kriteria mengenai Warga Negara Indonesia tersebut di atas, menurut Pasal 6 ayat (1) dinyatakan bahwa dalam hal status kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i, dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas)

tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya. Dari ketentuan seperti inilah, maka Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 juga dimungkinkan terjadi kewarganegaraan ganda (bipatride), khususnya bagi anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin.

F. Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia.


MenurutPasal23UUNo.l2Tahun2006,WargaNegaraIndones ia kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan: a. memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri; b. tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu; c. dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan; d. masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden; e. secara suka rela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh Warga Negara Indonesia; f. secara suka rela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut; g. tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing; h. mempunai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya; atau i. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun terus menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi

Warga Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu berakhir, dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi Waga Negara Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal Perwakilan Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.

G. Syarat dan Tata Cara Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia.


Menurut Pasal 9 UU No. 12 Tahun 2006, Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. telah berusia 18 (delapan belas) tahun; b. pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut; c. sehat jasmani dan rohani; d. dapat berbahasa Indonesia serta mengakui Dasar Negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih; jika memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak menjadi berkewarganegaraan ganda; mempunyai pekerjaan dan/atau penghasilan tetap; dan membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara. Adapun prosedur permohonan pewarganegaraan diatur dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 18 dan Pasal 22. Prosedur yang dimaksud secara singkat dapat diterangkan sebagai berikut: 1. Permohonan diajukan di Indonesia secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada Presiden melalui Menteri; 2. Menteri meneruskan permohonan tersebut disertai pertimbangan kepada Presiden dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak permohonan diterima; 3. sehubungan dengan permohonan ini, pemohon dikenai biaya yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. 4. Presiden mengabulkan atau menolak permohonan pewarganegaraan. Jika permohonan dikabulkan maka ditetapkan dengan Keputusan Presiden yang ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima

5.

6.

7.

8.

oleh Menteri dan diberitahukan kepada pemohon paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak Keputusan Presiden ditetapkan. Sedangkan jika ditolak harus disertai dengan alasan dan diberitahukan oleh Menteri kepada yang bersangkutan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal permohonan diterima oleh Menteri. Keputusan Presiden berkenaan dengan pengabulan permohonan pewarganegaraan tersebut berlaku efektif terhitung sejak tanggal pemohon mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. Paling lambat 3 (tiga) terhitung sejak Keputusan Presiden dikirim kepada pemohon, Pejabat memanggil pemohon untuk mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. Jika pemohon telah dipanggil secara tertulis oleh Pejabat untuk mengucapkan sumpah atau menyatakan janji pada waktu yang telah ditentukan ternyata pemohon tidak hadir tanpa alasan yang sah, Keputusan Presiden tersebut batal demi hukum. setelah mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia, pemohon wajib menyerahkan dokumen atau surat-surat keimigrasian atas namanya kepada kantor imigrasi dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia.

9. salinan Keputusan Presiden tentang pewarganegaraan dan berita acara pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia dari Pejabat menjadi bukti sah Kewarganegaraan Republik Indonesia seseorang yang memperoleh Kewarganegaraan. 10. Menteri mengumumkan nama orang yang telah memperoleh kewarganegaraan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Bagi seseorang yang telah kehilangan kewarganegaraan Republk Indonesia, maka menurut Pasal 31 UU No. 12 tahun 2009 dapat memperoleh kembali kewarganegaraannya melalui prosedur yang sama dengan pewarganegaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 18 dan Pasal 22.

H. Hukum Kewarganegaraan Dalam Perspektif Konvensi Internasional.


Dalam Konvensi Internasional, persoalan yuridis yang menyangkut kewarganegaraan antara lain diatur dalam:225 I. Konvensi Tentang Kewarganegaraan Perempuan yang sudah menikah (disetujui pada tanggal 30 Agustus 1961); 2. Konvensi Tentang Pengurangan Ketiadaan Kewarganegaraan (disetujui pada tanggal 30 Agustus 1961);

3. Konvensi Mengenai Status Orang yang Tidak Memiliki Kewarganegaraan (disetujui pada tanggal 28 September 1954). Dengan berlandaskan pada Pasal 15 Deklarasi Universal HAM, Pasal 1 Konvensi Tentang Kewarganegaraan Perempuan yang sudah menikah menegaskan: "Setiap negara peserta menyetujui bahwa baik penyelenggaraan ataupun pembubaran suatu perkawinan antara salah satu warga negaranya dan seorang asing, ataupun perubahan kewarganegaraan oleh suami selama perkawinan, tidak secara otomatis 225 Dirangkum dari Komnas HAM, 2000, Referensi Fundamental Diskursus Hukum Kewarganegaraan, Cet I, Komnas HAM, Jakarta. mempengaruhi kewarganegaraan istri".

Ketentuan konvensi seperti ini jelas-jelas telah menghilangkan unsur diskriminasi gender. Artinya dalam hal status kewarganegaraan sudah diletakkan dalam perspektif kesetaraan gender. Ketentuan seperti ini nampaknya tidak dipergunakan sebagai referensi dalam menentukan status kewarganegaraan wanita Indonesia yang menikah dengan laki-laki warga negara asing. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2006 yang menegaskan bahwa perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti. Ketentuan pasal 26 ayat (1) tersebut jelas tidak selaras dengan Konvensi Internasional tentang Kewarganegaraan Perempuan Yang sudah menikah. Dimensi bias gender atau ketidaksetaraan gender dalam penentuan status kewarganegaraan bagi perempuan-perempuan Indonesia sangat terasa. Penentuan status kewarganegaraan wanita Indonesia yang menikah dengan laki-laki warga negara asing, masih sangat tergantung pada hukum kewarganegaraan dari negara sang suami tersebut. Hal ini menunjukkan kekuatan hukum Indonesia justru lemah dihadapan hukum dari negara di mana suami berasal. Dalam Pasal 1 ayat (1) Konvensi Tentang Pengurangan Ketiadaan Kewarganegaraan, ditegaskan: "Suatu negara peserta akan memberikan kewarganegaraannya kepada seseorang yang dilahirkan di dalam wilayahnya, yang jika sebaliknya, akan tidak memiliki kewarganegaraan tersebut diberikan: a. pada kelahiran, karena berlakunya hukum, atau b. atas suatu lamaran yang diajukan atas nama orang yang bersangkutan, dalam cara yang ditetapkan oleh hukum nasional. Dengan tunduk pada ketentuan ayat (2) pasal ini, tidak satupun lamaran tersebut ditolak.

Ayat (2) dalam Konvensi tersebut juga menegaskan bahwa suatu negara peserta dapat membuat pemberian kewarganegaraan menurul ketentuan ayal ('l) sub b, tunduk pada satu atau lebih syarat-syarat berikut: a. lamaran diajukan selama jangka waktu yang ditetapkan oleh negara peserta, mulai kurang dari 18 tahun, dan berakhir tidak lebih awal dari umur 21 tahun, sehingga bagaimanapun, orang yang bersangkutan akan diperkenalkan paling sedikit 1 tahun yang selama itu dia dapat membuat sendiri lamaran tanpa memperoleh penguasaan hukum. b. orang yang bersangkutan sudah terbiasa bertempat tinggal di dalam wilayah negara peserta untuk satu jangka waktu seperti yang mungkin ditetapkan oleh negara tersebut, tidak melebihi 5 tahun segera sebelum pengajuan lamaran atau tidak melebihi 10 tahun seluruhnya. c. orang yang bersangkutan belum pernah dihukum baik karena suatu pelanggaran terhadap keamanan nasional atau belum pernah diputuskan hukuman penjara untuk periode 5 tahun atau lebih atas tuduhan pidana. d. Bahwa orang yang bersangkutan sudah tidak berkewarganegaraan. Ketentuan tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam menentukan status kewarganegaraan juga dimungkinkan mempergunakan asas ius soli dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Selanjutnya di dalam Pasal 1 ayat (1) Konvensi mengenai Status orang yang tidak memiliki kewarganegaraan ditegaskan bahwa orang yang tidak berkewarganegaraan berarti seorang yang tidak dianggap sebagai warga negara oleh negara manapun menurut berlakunya hukum. Kemudian di dalam ayat (2) ditegaskan bahwa Konvensi ini tidak berlaku: a. Pada orang-orang yang pada saat sekarang sedang menerima dari organ-organ atau badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, selain Komisi Tinggi Perserikatan BangsaBangsa, untuk perlindungan pengungsi atau bantuan sepanjang mereka sedang menerima perlindungan atau bantuan tersebut; b. Pada orang-orang yang diakui oleh para penguasa yang berwenang dari negara dimana mereka telah bertempat

c.

tinggal, sebagai mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dilekatkan pada pemilihan kewarganegaraan dari negara tersebut; Pada orang-orang yang mengenainya ada alasan-alasan gawat untuk menganggap bahwa: 1. Mereka telah melakukan suatu kejahatan terhadap perdamaian, suatu kejahatan perang atau suatu kejahatan kemanusiaan, seperti didefinisikan dalam instrumeninstrumen internasional yang disusun untuk membuat peraturan mengenai kejahatan-kejahatan tersebut; 2. Mereka telah melakukan suatu kejahatan non-politik yang berbahaya di luar negara tempat tinggal mereka sebelum masuknya mereka ke negara tersebut; 3. Mereka telah bersalah karena melakukan perbuatanperbuatan yang bertentangan dengan tujuan-tujuan dan asas-asas Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Berkaitan dengan perlakuan terhadap orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan, Pasal 3 Konvensi ini menegaskanbahwa para negara peserta memberlakukan ketentuan-ketentuan dalam konvensi ini kepada orang-orang yang tidak berkewarganegaraan tanpa diskriminasi mengenai ras, agama, atau asal-usul negara. Ketentuan semacam ini merupakan manifestasi dari non-diskri-minasi dalam perlakuan hukum bagi warga negara dan bagi orang yang tidak berkewarganegaraan.

I. Status Yuridis Bagi Orang yang Tidak Memiliki Kewarganegaraan Menurut Konvensi Internasional.226
Dengan adanya nationaliteit principles yang terkandung di dalam konsekuensi yuridis status kewarganegaraan di bidang 226 Dirangkum dari Komnas HAM, 2000, Referensi Fundamental Diskursus Hukum Kewarganegaraan, Komnas Ham, Jakarta. Hukum

Perdata Inleniasiiinal, maka dapat ditafsirkan bahwa seseorang yang tidak memiliki kewarganegaraan tentunya tidak memiliki status yuridis dari hukum nasional suatu negara manapun. Oleh sebab itu mereka tidak akan memperoleh perlindungan hukum dari suatu negara manapun. Penafsiran seperti ini ternyata tidak sesuai dengan Konvensi mengenai Status orang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Menurut Konvensi ini, status hukum bagi orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan diatur sebagai berikut: 1. Pasal 12 tentang Status Pribadi, menyatakan:

a. Status Pribadi orang yang tidak berkewarganegaraan diatur dengan undang-undang dari negara domisilinya atau, kalaupun dia tidak mempunyai domisili, menurut undang-undang dari negara tempat tinggalnya. b. Hak-hak yang diperoleh sebelumnya oleh seorang yang tidak berkewarganegaraan dan tergantung pada status pribadi lebih teristimewa hak-hak yang melekat pada perkawinan, harus dihormati oleh negara peserta dengan tunduk pada penataan, kalaupun ini diperlukan, terhadap formalitas-formalitas yang dipersyaratkan oleh undangundang negara tersebut, dengan syarat bahwa hak yang dipertanyakan itu adalah hak yang harus diakui menurut undang-undang negara tersebut andai kata dia tidak menjadi berkewarganegaraan. 2. Pasal 13 tentang harta Kekayaan bergerak dan tidak bergerak menegaskan bahwa para negara peserta akan memberikan kepada seseorang yang tidak berkewarganegaraan perlakuan sebaik mungkin dan, dalam kejadian apapun, setidaktidaknya sama dengan perlakuan yang pada umumnya diberikan kepada orang-orang asing dalam keadaan-keadaan yang sama, mengenai perolehan harta kekayaan yang bergerak dan tidak bergerak dan hak-hak lain yang menyinggung orang yang bersangkutan, dan pada sewa dan perikatan lainnya mengenai harta kekayaan bergerak dan tidak bergerak. 3. I'asal 14 tentang Hak Karya Seni dan Harta benda Perindustrian, menegaskan bahwa mengenai perlindungan hak miliki industri seperti penemuan-penemuan, desaindesain, atau model-model, merek dagang, nama dagang, dan hak-hak dalam kesusasteraan, seni dan karya-karya ilmiah, maka seseorang yang tidak berkewarganegaraan, di negara dimanapun ia bertempat tinggal tetap harus diberikan perlindungan yang sama seperti yang diberikan kepada warga negara dari negara tersebut. Di dalam wilayah dari Negara Peserta yang lain manapun, dia harus diberi perlindungan yang sama seperti yang diberikan di dalam wilayah tersebut kepada warga negara dari negara yang pada dia memiliki tempat tinggalnya yang biasanya. 4. Pasal 15 Hak untuk berserikat, menegaskan bahwa mengenai pendirian perhimpunan non-politik dan nonprofit dan serikat kerja, maka para negara peserta harus memberikan kepada orang-orang yang tidak berkewarganegaraan, yang secara sah berdiam di dalam wilayah mereka, perlakuan sebaik mungkin, dan dalam

kejadian apapun, setidak-tidaknya sama dengan perlakuan yang pada umumnya diberikan kepada orang-orang asing dalam keadaan-keadaan yang sama. 5. Pasal 16 tentang Akses ke Pengadilan, menyatakan: a. Seseorang yang tidakberkewarganegaraan akan mempunyai akses yang bebas ke pengadilan hukum di dalam wilayah semua negara peserta; b. Seseorang yang tidak berkewarganegaraan, di negara peserta dimana dia bertempat tinggal, memperoleh perlakuan yang sama seperti seorang warga negara dalam hal-hal yang menyangkut akses ke pengadilan, termasuk bantuan hukum dan pengecualian dari cautio judicatum solvi; c. Seseorang yang tidak berkewarganegaraan dalam masalahmasalah yang ditunjuk dalam ayat (2), di negara-negara selain Negara di mana dia bertempat tinggal, akan diberi perlakuan sama dengan yang diberikan kepada seorang warga negara dari negara tempat tinggalnya yang biasanya. 6. Pasal 17 tentang Pekerjaan yang menghasilkan upah, ditegaskan: a. Para negara peserta akan memberikan kepada orangorang yang tidak berkewarganegaraan yang secara sah berdiam di dalam wilayah mereka perlakuan sebaik mungkin, dan dalam kejadian apapun, setidak-tidaknya sama dengan perlakuan yang pada umumnya diberikan kepada orangorang asing dalam keadaan yang sama mengenai hak untuk ikut serta dalam pekerjaan yang menghasilkan upah. b. Para negara peserta akan memberikan perhatian yang simpatik dengan mengasimilasi hak-hak semua orang yang tidak berkewarganegaraan, mengenai pekerjaan yang menghasilkan upah pada warga negaranya, dan terutama orang-orang yang tidak berkewarganegaraan, yang telah memasuki wilayah mereka sesuai dengan programprogram pemerimaan tenaga kerja, atau menurut polapola imigrasi. 7. Pasal 18 tentang Usaha Sendiri, menegaskan bahwa para Negara peserta akan memberikan seseorang yang tidak berkewarganegaraan yang secara sah berdiam di dalam

wilayah mereka perlakuan sebaik mungkin, dan dalam kejadian apapun, setidak-tidaknya sama dengan perlakuan yang pada umumnya diberikan kepada orang-orang asing dalam keadaan-keadaan yang sama, mengenai hak untuk ikut serta demi kepentingan sendiri dalam pertanian, industri, kerajinan tangan dan perdagangan, dan mendirikan perusahaan-perusahaan komersial dan industri. 8. Pasal 19 Tentang Profesi Bebas menyebutkan bahwa setiap negara peserta akan memberikan kepada orang-orang yang tidak berkewarganegaraan yang secara sah berdiam di dalam wilayah mereka yang memiliki ijasah yang diakui oleh penguasa yang berwenang dari negara yang bersangkutan, dan yang mendambakan mempraktekkan profesi liberal perlakuan sebaik mungkin, dan dalam kejadian apapun, setidak-tidaknya sama dengan perlakuan yang pada umumnya diberikan kepada orang-orang asing dalam keadaan-keadaan yang sama. 9. Pasal 20 tentang Pencatuan menegaskan bahwa apabila suatu sistem pemberian ransum ada, yang berlaku pada penduduk secara luas dan mengatur distribusi umum produk-produk dalam keadaan kekurangan pemasokan, maka orang-orang yang tidak berkewarganegaraan akan diberikan perlakuan yang sama seperti yang diberikan kepada warga negaranya. 10. Pasal 21 tentang Perumahan menyatakan bahwa mengenai perumahan, para negara peserta sejauh masalah itu diatur oleh undang-undang atau peraturan-peraturan atau tunduk pada peradilan para penguasa pemerintah, akan memberikan kepada orang-orang tidak berkewarganegaraan yang secara sah berdiam di wilayah mereka perlakuan sebaik mungkin, dan dalam kejadian apapun, setidak-tidaknya sama dengan pada umumnya diberikan kepada orang-orang asing dalam keadaankeadaan yang sama. 11. Pasal 22 tenang Pendidikan Umum, antara lain menegaskan: a. Para Negara Peserta akan memberikan kepada orangorang tidak berkewarganegaraan, perlakuan yang sama seperti yang diberikan kepada warga negara dalam pendidikan dasar. b. Para negara peserta akan memberikan kepada orangorang tidak berkewarganegaraan perlakuan sebaik mungkin dan pada kejadian apapun, setidak-tidaknya sama dengan yang pada umumnya diberikan kepada orang-orang asing dalam keadaan-keadaan yang sama, dalam hal

pendidikan selain pendidikan dasar, terutama mengenai akses studistudi, pengakuan sertifikat-sertifikat, ijasah-ijasah dan gelar-gelar sekolah asing, pengurangan uang pembayaran dan ongkos-ongkos dan pemberian beasiswa. 12. Pasal 23 tentang Pertolongan Umum, menyebutkan bahwa para negara peserta harus memberikan kepada orangorang yang tidak berkewarganegaraan yang secara sah berdiam di dalam wilayah mereka perlakuan yang sama berkenaan dengan pertolongan dan bantuan umum seperti yang diberikan kepada warga negara mereka. Berdasarkan ketenuan-ketentuan tersebut, maka jelas kiranya bahwa Konvensi Internasional juga memberikan perlindungan hukum bagi orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Perlindungan hukum melalui hukum nasional negara peserta tentunya harus memperhatikan kepentingan negara peserta. Artinya tidak semua perlindungan hukum tersebut diakomodasi dalam UU Kewarganegaraan, karena bagaimanapun juga negara akan tetap mendahulukan kepentingan warga negaranya. Oleh sebab itu dalam konteks Indonesia persoalan ini tentunya harus menjadi catatan tersendiri dalam merumuskan mengenai perlindungan huktim bagi orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Tidak semua ketentuan tersebut dijadikan sebagai referensi untuk muatan materi hukum yang mengatur tentang kewarganegaraan dan Hak Asasi manusia.

Bab IX HAK-HAK ASASI MANUSIA


(Penegakan hak^asasi manusia merupakan mata rantai yang tap, terputus dari prinsip demokrasi, kedaulatan rakyat dan negara Hukum. Tanpa ada penghargaan terhadap hak^asasi manusia mustahilpelaksanaan pemerintahan yang demokratis dan Berkedaulatan rakyat dapat terwujud

A. Pendahuluan.
Scott Davidson mengemukakan bahwa kepedulian internasioal terhadap hak asasi manusia merupakan gejala yang relatif baru, meskipun kita dapat merujuk pada sejumlah traktat atau perjanjian internasional yang mempengaruhi isu kemanusiaan sebelum Perang Dunia II.227 Di Indonesia sendiri kepedulian mengenai hak asasi manusia, dalam kurun waktu perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, baru muncul dipermukaan dan menjadi isu paling populer semenjak gelombang reformasi pada tahun 1998 yang membuka katupkatup demokratisasi di bidang kehidupan ketatanegaraan. Sebelumnya kepedulian mengenai hak asasi manusia hanya sebatas dibicarakan di dalam ranah akademik tanpa adanya

227 Scott Daidson, 1994, Hak Asasi Manusia, Grafiti, Jakarta, upaya hlm. 1.penerapan secara konsisten. Pendek kata,

sebelum reformasi, pemahaman mengenai hak asasi manusia hanya sebatas pada ilmu pengetahuan tanpa praktek yang nyata. Dalam buku yang sama, Scott Davidson memberikan gambaran tentang kepedulian terhadap hak asasi manusia sebagai berikut: "Baru setelah dimasukkannya kedalam Piagam PBB pada tahun 1948, kita dapat berbicara adanya perlindungan hak asasi manusia yang sistematis di dalam sistem internasional. Namun jelas upaya domestik untuk menjamin perlindungan hukum bagi individu terhadap akses sewenang-wenang dari penguasa negara, mendahului perlindungan internasional terhadap hak asasi manusia".228 Lebih lanjut dikatakan bahwa semua instrumen internasional mewajibkan konstitusional domestik setiap negara memberikan kompensasi yang memadai kepada orangorang yang haknya dilanggar.229 Dengan demikian yang namanya hak asasi manusia dapat dikatakan merupakan paradigma universal yang harus diindahkan oleh setiap

pemerintahan negara yang beradab, demokratis dan berkedaulatan rakyat. Oleh sebab itulah bagi setiap negara yang menganggap dirinya beradab, harus mencantumkan jaminan perlindungan hak asasi manusia di dalam konstitusinya. Dalam Kitab Kejadian, setelah Tuhan menciptakan manusia laki-laki dan perempuan, maka berfirmanlah Dia: "Beranak cuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukkanlah, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burungburung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi".230 Berdasarkan firman Tuhan tersebut, maka dapat diambil pengertian bahwa sejak semula manusia telah diberi kebebasan ataupun hak yang paling mendasar oleh Tuhan untuk melakukan berbagai aktiftas kehidupan. Kebebasan ataupun hak ini bersifat pribadi, maupun kebebasan ataupun hak yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Oleh sebab itu tepat apabila dikatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak yang 228Loc.cit. 229Loc.cit. 230Kitab Kejadian 1:27:28. melek.il tl.il.im diri manusia sejak ia dilahirkan. Bahkan dalam perkembangannya, hak ini dianggap sudah ada sejak manusia masih berada di dalam kandungan ibundanya.231 Di dalam Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak. Mereka dikaruniai akal dan budi nurani dan harus bertindak terhadap sesama manusia dalam semangat persaudaraan. Berdasarkan ketentuan semacam ini, Adnan Buyung Nasution mengatakan: "Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makna ganda, baik ke luar (antar negara bangsa) maupun ke dalam (intra negara bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negaranya masing-masing. Makna keluar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM sedunia itu harus senantiasa menjadi kriteria obyektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahnya".232 Pendapat tersebut di atas menyiratkan pandangan bahwa perlindungan dan penghargaan hak asasi manusia tidak semata-mata ditujukan kepada warga negara saja, melainkan harus dikembangkan dan ditujukan bagi setiap orang yang ada di dalam suatu negara, entah itu warga negara ataupun 231Pada tahun 1995 Pemimpin Umat Katolik Sedunia Paus Johanes Paulus IX mengeluarkan sebuah Insiklik (fatwa) yang pada intinya menentang disebarluaskannya praktek-prektek aborsi dan euthanasia dalam kehidupan manusia modern dewasa ini, khususnya di lingkungan masyarakat barat. Insiklik ini merupakan salah satu bukti penegasan tentang diakuinya hak asasi manusia sejak manusia itu masih berada di dalam kandungan

warga negara asing.

Dengan demikian, hak asasi manusia menjadi penting artinya dalam kehidupan ketatanegaraan satu negara, karena merupakan sarana etis dan hukum untuk melindungi individu, kelompok dan golongan lemah terhadap kekuatankekuatan raksasa dalam masyarakat modern.233 Atau dengan kata lain hak asasi manusia menjadi penting, bukan karena diatur ataupun diberikan oleh suatu negara, melainkan karena kesadaran manusia yang memiliki harkat dan martabat sebagai mahluk yang berbudi dan ciptaan Tuhan.

B. Sejarah Perkembangan.
Dalam perkembangannya, pemikiran mengenai hak asasi manusia mengalami pasang surut sejalan dengan sejarah peradaban umat manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pasang surut hak asasi manusia ini, sebenarnya mulai muncul setelah manusia mampu memikirkan tentang dirinya sendiri dalam lingkungan alam semesta. Pemikiran mengenai hak asasi manusia mulai mencapai titik paling rendah setelah berkembangnya konsep Kedaulatan Tuhan yang di dunia ini dilakukan oleh Raja atau Paus (Pemimpin Gereja Sedunia). Inilah salah satu puncak kegagalan Dunia Barat dalam menghargai harkat dan martabat manusia. Kedaulatan Tuhan yang dilaksanakan oleh Raja ataupun Paus tersebut mengakibatkan Raja atau Paus mempunyai kekuasaan yang maha dahsyat, sehingga hak-hak atau wewenang Raja atau Paus termasuk keturunan Raja dapat terpenuhi secara optimal, tetapi bagi manusia kebanyakan (rakyat jelata) sama sekali tidak memiliki hak apapun. Raja ataupun Paus mampu melakukan itu semua, karena menganggap bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata adalah perintah Tuhan si empunya kedaulatan, dan memperoleh kuasa dari Tuhan. Dalam kondisi yang demikian 233 Franz Magnis Soeseno, dalam Komnas HAM, 1997, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Budaya Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. Xiii. ini, maka hak asasi manusia dapat diibaratkan merupakan suatu impian dan barang komoditas yang sangat mahal harganya, sekaligus langka keberadaannya. Sebelum abad XIX dapat dikatakan bahwa masalah hak asasi manusia hanya menjadi bahan perdebatan di tingkat domestik. Artinya masalah hak asasi manusia ini belum dipersoalkan secara umum dan luas di tingkat pergaulan internasional. Pada saat itu kesewenang-wenangan penguasa kepada rakyat semata-mata hanya dipandang merupakan urusan kedaulatan masing-masing penguasa negara atau urusan domestik. Orang hanya mengenal masalah ini sebatas pada berbagai dokumen sejarah dari suatu negara dan

rumusannya masih sangat dipengaruhi oleh kondisi (politik) yang berkembang di negara yang bersangkutan. Oleh sebab itulah perkembangan pemikiran hak asasi manusia dapat digambarkan sebagai berikut:234 1. Abad XVII dan XVIII. Pada abad ini pemikiran-pemikiran atau konsep-konsep yang bersinggungan dengan persoalan hak asasi manusia diketemukan dalam beberapa naskah atau dokumen seperti: a. Magna Charta (Piagam Agung) 1215, yaitu suatu dokumen yang mencatat hak yang diberikan oleh Raja John Lackland dari Inggris kepada beberapa bangsawan di bawahnya atas tuntutan mereka. Dengan adanya piagam ini menimbulkan konsekuensi terhadap pembatasan kekuasaan Raja John Lackland. Sedangkan hak yang diberikan kepada para bangsawan itu merupakan kompensasi dari jasa-jasa kaum bangsawan tersebut dalam mendukung Raja John di bidang keuangan. b. Bill of Rights ( UU Hak 1689), yaitu suatu UndangUndang yang diterima oleh Parlemen Inggris sesudah berhasil dalam tahun sebelumnya mengadakan perlawanan ter234 Dirangkum dari Miriam Budiardjo, 1986, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, hlm. 120, dst. hadap Raja James II, dalam suatu revolusi gemilang.

Dalam analisis Marxis, revolusi gemilang tahun 1688 dan Bill of Rights yang melembagakan kaum borjuis hanya menegaskan naiknya kelas bangsawan dan pedagang di atas monarkhi.235 Sementara itu rakyat kebanyakan dan kaum pekerja (proletar) tetap tertindas. c. Declaration des droits de I'homme et du citoyen (Pernyataan hak-hak manusia dan warga negara 1789), yakni suatu naskah yang dicetuskan pada permulaan Revolusi Perancis, sebagai perlawanan terhadap kesewenang-wenangan dari rezim lama. d. Bill of Rights (UU Hak), yakni suatu naskah yang disusun oleh Rakyat Amerika dalam tahun 1789 (sama dengan deklarasi Perancis), dan menjadi bagian dari UUD Amerika pada tahun 1791.

Berdasarkan dokumen naskah-naskah tersebut, maka dapat ditarik pemahaman bahwa perkembangan hak asasi manusia abad XVII dan XVIII muncul sebagai akibat adanya kesewenang-wenangan penguasa. Pendek kata, naskah-naskah itu merupakan ekspresi perlawanan terhadap penguasa yang dzalim. Lain daripada itu hak-hak yang dirumuskan pada abad ini sangat dipengaruhi oleh gagasan Hukum Alam (natural law) oleh John Locke (16321714) dan JJ. Rousseau (1712-1778) yang hanya terbatas pada hak-hak yang bersifat politis saja seperti kesamaan hak, hak atas kebebasan, hak untuk memilih dan sebagainya. 2. Abad XX. Abad ini ditandai dengan terjadinya Perang Dunia II yang memporak porandakan kehidupan kemanusiaan. Perang Dunia II ini ditengerai disebabkan oleh ulah pemimpin-pemimpin negara yang tidak demokratis, seperti Jerman oleh Hitler, Italia oleh Mussolini, dan Jepang oleh Kaisar Hirohito. Berkaitan dengan hal ini, maka hak-hak politik sebagaimana tertuang di dalam naskah-naskah dokumen yang 235 Scott Davidson, Op.cit, hlm. 3. diketemukan pada abad XVII dan XVIII dianggap kurang sempurna dan Hak-hak Asasi Manusia - 389 perlu diperluas ruang lingkupnya. Franklin D. Roosevelt pada permulaan Perang Dunia II merumuskan adanya 4 (empat) hak, yaitu: a. Kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech); b. Kebebasan beragama (freedom of religion); c. Kebebasan dari ketakutan (freedom of fear); dan d. Kebebasan dari kemelaratan (freedom from want). Kemudian pada tahun 1946, Commision of Human Rights (PBB) menetapkan secara terperinci beberapa hak ekonomi dan sosial, di samping hak-hak politik. Penetapan ini kemudian dilanjutkan pada tahun 1948 dengan disusun pernyataan sedunia tentang hak-hak asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948. Dari gambaran sejarah perkembangan tersebut di atas, nampak bahwa pengertian hak asasi manusia mengalami masa peralihan yang cukup signifikan, yakni dari semata-mata kepedulian akan perlindungan individu-individu dalam menghadapi absolutisme kekuasaan negara, beralih kepada penciptaan kondisi sosial ekonomi yang diperhitungkan akan membuka kemungkinan individu-individu mengembangkan potensinya sampai maksimal. Terkait dengan hal ini Szabo mengemukakan bahwa tujuan hak asasi manusia, adalah mempertahankan hak-hak manusia dengan sarana kelembagaan terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang

dilakukan oleh aparat negara, dan pada waktu yang bersamaan mendorong perkembangan pribadi manusia yang multidimensional.236 Sudah layak dan sepantasnya jikalau persoalan hak asasi manusia memperoleh jaminan perlindungan secara kelembagaan. Persoalannya adalah bagaimanakah perlindungan tersebut dapat dilakukan atau diimplementasikan kedalam aturan hukum masing-masing 236 Szabo, dalam Ibid, hlm. 9. negara? Terkait dengan hal ini, maka persoalan budaya dari 390 suatu masyarakat di dalam suatu negara menjadi penting untuk diperhatikan. Oleh sebab itu di bawah ini akan penulis sampaikan secara singkat mengenai keterkaitan budaya terhadap penerapan hak asasi manusia.

C. Dimensi Universalitas dan Kontekstualitas Dalam Hak Asasi Manusia.


Budaya merupakan suatu ungkapan yang bermakna ganda. Disatu sisi bisa diartikan sebagai perilaku manusia dalam menghadapi suatu fenomena kehidupan kemasyaratakan, sedangkan disisi lain dapat diartikan sebagai hasil cipta, karsa dan karya manusia guna mengekspresikan dirinya dalam ikatan kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara. Kedua arti tersebut pada hakikatnya tetap bermuara pada keberadaan manusia itu sendiri sebagai mahluk individu maupun mahluk sosial. Dalam wacana kebudayaan muncul stereotype yang mencoba melakukan dikotomi antara kebudayaan Barat dan kebudayaan Timur. Kebudayaan Barat dianggap membawa sifat individualistik yang lebih mementingkan hak, sedangkan kebudayaan Timur lebih komunalistik yang lebih mementingkan kewajiban dalam kehidupan bersama. Kebudayaan Timur menganggap bahwa harkat dan martabat manusia akan semakin "bernilai" jikalau ada keselarasan, keharmonisan, dan keseimbangan antara kepentingan individu dan kelompok. Wacana kebudayaan semacam ini tentu akan berpengaruh terhadap implementasi hak asasi manusia secara kontekstual. Artinya penerapan hak asasi manusia memiliki korelasi dengan kontekstualitas budaya dari' suatu masyarakat negara. Wacana kontekstualitas kebudayaan dalam pelaksanaan hak asasi manusia juga pernah dimunculkan oleh Soepomo pada saat menyampaikan pidato pada tanggal 31 Mei 1945 dihadapan Sidang BPUPKI. Beliau mengemukakan bahwa dalam konsep negara integralistik prinsip-prinsip mendasar hak asasi manusia tidak akan cocok untuk diterapkan, karena mengambil nilai-nilai budaya

I Ink liuk Asasi Manusia Barat yang Individualistis. Lebih lanjut dikemukakan bahwa dengan adanya jaminan hak asasi manusia justru mencerminkan sikap keragu-raguan, ketidakpercayaan, dan curiga terhadap kekuasaan. Di dalam negara kekeluargaan yang integralistik, sikap curiga apalagi oposisi, adalah tabu.237 Menurut Franz Magniz Soeseno, tuduhan bahwa hak asasi manusia itu adalah konsep individualistis didasarkan pada dua pertimbangan, yaitu: 1. Paham hak asasi manusia memfokuskan perhatian orang pada hak-haknya sendiri. Sedangkan masyarakat hanya sekedar sarana pemenuhan kebutuhan induvidual saja; dan 2. Paham hak asasi manusia dilihat sebagai menempatkan individu, kelompok dan golongan masyarakat berhadapan dengan negara dan bukan dalam kesatuan dengannya. Warga masyarakat bukannya menyatu dengan negara, melainkan diandaikan perlu dilindungi terhadapnya.238 Pandangan semacam ini nampak sekali dalam konsep budaya Jawa yang sering dianggap sebagai cerminan budaya Timur. Dalam konsep Budaya Jawa, keselarasan, keharmonisan, dan keseimbangan hidup antara individu dan masyarakat menjadi acuan utama dalam mengembangkan harkat dan martabat manusia. Individu dan kelompok, baik itu suatu komunitas kehidupan bersama maupun dalam kaitannya dengan negara sebagai organisasi kekuasaan, adalah merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Antara penguasa (negara) dengan rakyat sebagai individu-individu diletakkan dalam konsep manunggaling kawula lan Gusti. Artinya menyatunya rakyat dengan penguasa. Dengan adanya konsep budaya seperti inilah, maka persoalan hak asasi manusia berikut perlindungan terhadapnya dianggap tidak

237Lihat Adnan Buyung Nasution dalam Peter Baehr, relevan untuk diterapkan. et.al, Op.cit, hlm. xxii-xxiii. 238Franz Magnis Soeseno, dalam Komnas HAM, Op,cit, hlm. 52-53. Dalam kaitan dengan hal ini, Nurcholis Madjid mengemukakan bahwa di negara-negara berkembang, usaha meluaskan penerimaan akan ide-ide tentang hak asasi manusia sering mengalami hambatan. Salah satu hambatan itu datang dari argumen bahwa konsep hak asasi manusia itu adalah buatan barat, dengan konotasi sebagai sumber kejahatan kolonialisme dan imperialisme. Dalam retorika yang menyangkut masalah pandangan hidup, hak asasi manusia yang merupakan konsep barat adalah sama dengan sekularisme, jika bukan atheisme sekalian.239

Lebih lanjut Nurcholis Madjid mengemukakan beberapa contoh, misalnya argumentasi yang dikemukakan oleh Lee K wan Yew, Menteri Senior Singapura yang kemana-mana mengkhotbahkan bahwa demokrasi dan ide hak asasi manusia adalah tidak urgen untuk bangsa-bangsa Asia, jika bukan malah tidak diperlukan. Demikian pula Mahatir dan tokohtokoh RRC yang sering terdengar mengajukan argumentasi yang sama.240 Menurut Franz Magnis Soeseno, pandangan yang mencoba mendikotomikan hak asasi manusia berdasarkan perspektif budaya Barat dan Timur tersebut nampak mulai terbantahkan, ketika nilai-nilai masyarakat tradisionil mulai roboh dan muncul masyarakat modern.241 Pendek kata menurut Franz Magniz Soeseno hak-hak manusia Barat dapat disadari sesudah struktur-struktur sosial tradisionil dan kelompok-kelompok masyarakat tidak lagi berdaya serta memberikan tempat terjamin kepada masing-masing kelompok dan golongan telah ambruk. Selama keutuhan manusia masih terjamin oleh adat dan struktur-struktur sosial lainnya, tidak ada kebutuhan untuk merumuskan paham hak asasi manusia. Tetapi dalam situasi perubahan sosial dimana individu (yang ditangkap Kopkamtib), kelompok orang (kelompok tani yang tanahnya di buldozer untuk lapangan golf), golongan (misalnya agama minoritas) maupun suku (suku terasing yang hutan adanya mau dieksploitasi) terancam 239Nurcholis Madjid, dalam Op.cit, hlm. 41. 240Ibid, hlm. 42. 241Ibid, hlm. 56. oleh kekuasaan negara maupun kekuatan-kekuatan sosial lainnya, hak-hak asasi manusia semakin menjadi sarana untuk menjamin keutuhan individu, kelompok, golongan dan suku itu.242 Pandangan yang seperti itu memberikan penegasan bahwa hak asasi manusia tidak lagi harus didikotomikan dalam perspektif budaya. Hak asasi manusia sebagai sebuah konsepsi sifatnya lintas negara dan lintas budaya, sepanjang harkat dan martabat kemanusiaan tidak mampu lagi dilindungi oleh struktur kehidupan sosial masyarakat, karena munculnya kekuatan-kekuatan baru di masyarakat yang merampas harkat dan kemartabatan kemanusiaan. Berdasarkan argumentasi tersebut menunjukkan bahwa dalam perkembangan pemahaman mengenai ide-ide hak asasi manusia, maka dapat diambil pengertian bahwa konsep hak asasi manusia itu memang berdimensi ganda, yaitu: 1. Dimensi Universalitas, maksudnya bahwa substansi hak asasi manusia itu pada hakikatnya bersifat umum, dan tidak terikat oleh waktu maupun tempat. Substansi Hak asasi manusia akan selalu dibutuhkan oleh siapa saja dan dalam aspek kebudayaan dimanapun itu berada, entah itu di dalam kebudayaan Barat maupun Timur. Dimensi hak asasi manusia seperti ini, pada hakikatnya akan selalu dibutuhkan dan menjadi sarana bagi individu untuk 242Loc.cit.

mengekspresikan dirinya secara bebas dalam ikatan kehidupan kemasyarakatan. Dengan kata lain hak asasi manusia itu ada karena yang memilik hak itu adalah manusia sebagai manusia. Jadi sejauh manusia itu memiliki harkat dan martabat, hak asasi manusia akan selalu ada, dan bukan karena ciri-ciri tertentu yang dimiliki.243 2. Dimensi Kontekstualitas, maksudnya adalah menyangkut penerapan atau implementasi ide-ide hak asasi manusia bila ditinjau dari "tempat" berlakunya hak asasi manusia tersebut. Artinya sepanjang ide-ide hak asasi manusia dapat diterapkan dalam suatu 'tempat" yang kondusif, maka niscaya kepentingan akan perumusan hak asasi manusia sangat dibutuhkan. Dengan kata lain, ide-ide hak asasi manusia akan dapat dipergunakan secara efektif dan menjadi landasan etis maupun moral dalam pergaulan hidup manusia, jikalau struktur kehidupan masyarakat entah di Barat maupun Timur sudah tidak memberikan tempat bagi terjaminnya harkat dan martabat kemanusiaan. Dua dimensi inilah yang memberikan pengaruh signifikan terhadap penerapan ide-ide hak asasi manusia di dalam komunitas kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Oleh sebab itu dengan adanya dua dimensi ini, maka perdebatan mengenai pelaksanaan ide-ide hak asasi manusia yang selalu diletakkan dalam konteks budaya, suku, ras maupun agama sudah tidak mempunyai tempat lagi atau tidak relevan dalam wacana publik masyarakat modern.244

D. Beberapa Pemikiran Founding Fathers Tentang Hak Asasi Manusia di Indonesia.


Masalah perlindungan dan penegakan hak asasi manusia bukan saja merupakan masalah yang dihadapi oleh negaranegara tertentu saja, melainkan sudah merupakan masalah global. Artinya masalah ini akan selalu dihadapi oleh masyarakat internasional, tidak terkecuali Indonesia yang dalam penerapan demokratisasi pemerintahannya relatif baru. Dengan demikian persoalan hak asasi manusia jelas universal dan lintas budaya.245 Salah satu materi yang harus diatur di dalam konstitusi (UUD) suatu negara adalah mengenai jaminan terhadap perlindungan hak asasi manusia warga negara. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa masalah perlindungan hak asasi 244Bandingkan dengan Adnan Buyung nasution, 1995, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia Studi Sosio-Legal, Cet I, Grafiti, Jakarta, hlm. 161, dst. 245B. Hestu Cipto Handoyo, 1995, Aspek-aspek Hukum Administrasi Negara Dalam Penataan Ruang, Univ. Atma manusia menjadi salah satu materi terpenting yang harus Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 19. dimuat di dalam konstitusi atau UUD? Jawaban atas

pertanyaan ini adalah, karena negara sebagai organisasi kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan. Oleh sebab itu untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia, maka dalam setiap konstitusi (UUD) akan selalu memuat ketentuan mengenai hal ini. Dalam sejarah pemikiran negara dan hukum menunjukkan bahwa negara selalu dikonotasikan sebagai suatu lembaga yang mempunyai keabsahan untuk memaksakan kehendak kepada warga negaranya. Pemaksaan kehendak ini tentu dapat diperkenankan sepanjang langkah tersebut tidak menindas harkat dan martabat kemanusiaan. Oleh sebab itu, agar keabsahan untuk melakukan pemaksaan kehendak tersebut dapat dilakukan tanpa melanggar harkat dan martabat kemanusiaan, maka harus ada seperangkat ramburambu yang diperuntukkan untuk melindungi hak asasi manusia warga negara. Konstitusi dibentuk sejatinya adalah untuk membatasi kekuasaan agar tidak diterapkan secara sewenang-wenang, dan pemaksaan itu tidak dilakukan negara tanpa batas. Dengan demikian, pengaturan mengenai hak asasi manusia akan selalu disejajarkan dengan materi-materi lain di dalam suatu konstitusi negara. Bahkan salah satu ciri dari negara hukum adalah adanya jaminan hak asasi manusia, di samping pemisahan kekuasaan, legalitas pemerintahan, dan peradilan yang bebas. Dalam catatan sejarah ketatanegaraan Indonesia, persoalan hak asasi manusia pernah menjadi bahan perdebatan yang serius, terutama di saat para founding fathers (para pendiri negara) merumuskan Undang-Undang Dasar di dalam sidangsidang BPUPKI. Dalam buku Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Sri Soemantri menyampaikan ilustrasi perdebatan sebaga berikut. Moh. Hatta dan Moh. Yamin berpendapat bahwa hak tersebut perlu dirumuskan dalam konstitusi untuk menjamin warga negara terhadap tindakan sewenang-wenang dari pihak penguasa. Di lain pihak, Soekarno dan Soepomo beranggapan bahwa hak-hak tersebut bertentangan dengan falsafah negara dan bangsa seperti yang telah disepakati, yang kemudian tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945, yang dalam hal ini disebut sebagai aliran pikiran kekeluargaan atau falsafah kekeluargaan.246 Dengan menyampaikan konsep negara integralistik, Soepomo menjelaskan adanya tiga perspektif mengenai negara dan masyarakat, khususnya bila dihubungkan dengan penerapan hak asasi manusia, yaitu: 1. Perspektif individualistik yang diajukan oleh Hobbes, Locke dan Rousseau. Dalam perspektif ini negara merupakan masyarakat hukum yang berdasarkan kontrak; 2. Perspektif kelas yang diajukan oleh Marx dan Lenin dan memandang negara sebagai alat golongan yang menguasai sistem ekonomi untuk menindas golongan lain; dan 3. Perspektif integralistik yang dianjurkan oleh Spinoza, Adam Muller, dan Hegel yang menganggap bahwa fungsi

negara bukan untuk melindungi kepentingan pribadi atau golongan (kelas), melainkan untuk melindungi kepentingan masyarakat secara keseluruhan.247 Dengan berlandaskan pada ketiga perspektif hubungan negara dan masyarakat tersebut, Soepomo mengemukakan: "Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan satu persatuan masyarakat yang organis. Yang terpenting dalam negara yang berdasarkan aliran pikiran integral ialah penghidupan bangsa seluruhnya. Negara tidak memihak satu golongan yang paling kuat, akan tetapi negara menjamin keselamatan hidup seluruhnya sebagai persatuan yang tak dapat dipisahkan".248 link link Asasi

246Sri Soemantri, 1986, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, hlm. 51. 247Adnan Buyung Nasution, Op.cit, hlm. 88-89. 248Loc.cit. Manusia 397

Argumentasi Soepomo ini didukung dan disetujui oleh Soekarno dalam Rapat BPUPKI tanggal 15 Juli 1945. Soekarno mengatakan: "Sebenarnya soal systeem, soal dasar, soal falsafah itu, meskipun tidak berupa suatu keputusan yang nyata dari pada Dokuritzu Zyunbi Tioosakai, yaitu dasar kekeluargaan atau dasar yang saya namakan gotong royong. Tetapi meskipun kita dengan diam-diam ataupun tidak dengan diam-diam menyetujui dasar kekeluargaan atau dasar gotong royong ini, maka sesudah rancangan UndangUndang Dasar ini dibagikan dikalangan anggota-anggota, kami Panitia didatangi oleh banyak sekali anggota-anggota yang menanyakan apa sebabnya dalam Undang-Undang Dasar, Undang-Undang Dasar kita rancangkan, misalnya tidak dimaktubkan hak-hak manusia, hak warga negara, tidak diterangkan di situ, bahwa kitapun menghendaki di dalam Undang-Undang itu apa yang dinamakan droits de I'home et du citoyen atau the rights of the citizen. Kenapa dalam Undang-Undang Dasar tidak dinyatakan dengan tegas bahwa misalnya manusia mempunyai hak akan kemerdekaan, bahwa dijamin kemerdekaan mengeluarkan pikiran, bahwa misalnya dijamin hak bersidang dan berkumpul dan lain-lain sebagainya".249 Dalam uraian lebih lanjut, Soekarno mengemukakan berbagai kelemahan dari praktek negara-negara Eropa dan Amerika yang menganut paham individualisme dan liberalisme. Ungkapan beliau adalah sebagai berikut: "Maka oleh karena itu saya minta, saya menangisi kepada anggota-anggota Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai, jika kita ingin nasib kita sendiri dikelak kemudian hari, nasib seluruh benua Asia dikelak kemudian hari, saya minta dan 249Moh. Yamin, 1959, Naskah Persiapa>i Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, Prapanca, Jakarta, hlm. 287. 250Moh Yamin, dalam Kotan Y. Stefanus, 1998, Kajian Kritis Terhadap Teori Integralistik Indonesia, Univ. Atma Jaya

menangisi kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya, buanglah sama sekali paham individualisme itu, jangan dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar kita yang namanya rights of citizen sebagai yang diancurkan oleh Republik Perancis itu adanya".250

Pendapat seperti ini serta merta memperoleh tanggapan penolakan dari anggota BPUPKI lainnya, yaitu Moh. Hatta, Moh Yamin, Sukiman, dan Liem Koen Hiam. Bahkan pada tanggal 15 Agustus 1945, Moh. Hatta mengemukakan: "Memang kita menentang individualisme dan saya sendiri boleh dikatakan lebih dari 20 tahun berjuang untuk menentang individualisme. Kita mendirikan negara baru atas dasar gotong royong dan hasil usaha bersama. Tetapi suatu hal yang saya khawatirkan, kalau tidak ada suatu keyakinan atau suatu pertanggungan kepada rakyat dalam Undang-Undang Dasar yang kita susun sekarang ini, mungkin terjadi suatu bentukan negara yang tidak kita setujui. Sebab dalam hukum negara sebagai sekarang ini mungkin timbul suatu keadaan kadaver dicipline seperti yang kita lihat di Rusia dan Jerman, inilah yang saya khawatirkan. Tentang dimasukkan hukum yang disebut droits de I'home et du citoyen, memang tidak perlu dimasukkan disini sebab itu semata-mata adalah syarat untuk mempertahankan hak orang seorang terhadap kezaliman raja-raja dahulu. Hak-hak itu dimasukkan dalam Grondwet-grondwet sesudah Franse Revolutie sematamata untuk menentang kezaliman itu. Akan tetapi kita mendirikan negara baru. Hendaklah kita memperhatikan syarat-syarat negara yang kita bikin, jangan menjadi kekuasaan. Kita menghendaki negara Pengurus, kita membangun masyarakat baru yang berdasarkan gotong royong, usaha bersama; tujuan kita ialah memperbaharui masyarakat. Tetapi di sebelah itu janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan. Sebab itu, ada baiknya dalam salah satu fasal, misalnya fasal yang mengenai warga negara, disebutkan juga disebelah hak kepada misalnya tiap-tiap warga negara rakyat Indonesia, supaya tiap-tiap warga negara jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebutkan disini hak untuk berkumpul dan bersidang atau menyurat dan lain-lain. Formuleringnya atau redaksinya boleh kita serahkan kepada panitia Kecil".251 Dalam kesempatan yang sama Moh. Yamin juga mengajukan usulan yang menolak argumentasi dari Sukarno dan Soepomo, dengan mengatakan: 251 Loc.cit. "Supaya aturan kemerdekaan warga negeri dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar dengan seluas-luasnya. Saya menolak segala alasan yang dimajukan untuk tidak memasukkan dan seterusnya dapatlah saya memajukan beberapa alasan pula, selain daripada yang dimajukan anggota yang terhormat Drs. Moh. Hatta tadi. Segala constitution lama dan baru di atas berisi perlindungan aturan dasar itu, misalnya Undang-

Undang Dasar Dai Nippon, Republik Filipina dan Republik Tiongkok. Aturan dasar tidak dihubungkan dengan liberalisme, semata-mata suatu keharusan perlindungan kemerdekaan, yang harus diakui dalam Undang-Undang Dasar".252 Berkaitan dengan argumentasi Moh. Yamin tersebut, Soekiman mengemukakan pendapat senada, yaitu: "Dewasa ini rakyat merasa tidak mempunyai hak apaapa, sebagai akibat 350 tahun penjajahan, baik yang mengenai jasmani maupun mengenai rohaninya. Pikiran rakyat Indonesia sungguh dikuasai oleh rasa tidak mempunyai harga diri (minderwaardigheids complex). Untuk membasmi rasa demikian itu maka segala usaha harus dijalankan. Berkenaan dengan itu maka setuju sekali untuk memasukkan beberapa hak dasar kewargaan dalam Undang-Undang Dasar".253 Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Liem Koen Hiam yang mengatakan bahwa dalam Grondrechten yang diusulkan tadi, yang ditetapkan tidak hanya hak bersidang dan berkumpul, tetapi juga hak kemerdekaan buat drukpers, onschenbaarheid van woorden. Kemerdekaan drukpers, perlu sekali sebagai alat untuk sedikit-dikitnya mengurangi kejelekan-kejelekan daripada masyarakat. Dalam berbagai perkara tidak baiklah bertambah-tambah, tetapi dengan disinari oleh penerangan dari surat kabar, bisa dikurangi kejelekan-kejelekan daripada negara sama sekali.254 Perdebatan-perdebatan yang terjadi pada waktu sidang BPUPKI tersebut di atas menunjukkan sekali lagi bahwa pemahaman mengenai perlunya perlindungan hak asasi manusia warga negara juga masih diwarnai konsep dikotomi budaya Barat dan Timur. Dikotomi antara negara berdasarkan kontrak sosial dan negara berdasarkan kekeluargaan atau gotong royong. Pendek kata, bagi kalangan yang menolak menganggap bahwa hak asasi manusia yang memang lahir di dunia Barat selalu dikonotasikan membawa paham individualisme dan liberalisme. Oleh sebab itu tidak ada kepentingan untuk dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar Indonesia yang menganut cita negara kekeluargaan atau gotong royong. Dari perdebatan-perdebatan tersebut dan setelah melalui proses pembicaraan yang cukup alot, maka dicapailah kompromi. Hak asasi manusia yang dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar, tidak ditekankan pada hak asasi manusia sebagaimana lahir dan berkembang di negara-negara Barat yang dianggap lebih mencerminkan paham individualisme dan liberalisme. Melainkan diambil dari falsafah bangsa Indonesia sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut, pencantuman hak asasi manusia dalam naskah Undang-Undang Dasar diformulasikan ke dalam dua kategori hak asasi manusia, yaitu hak asasi klasik dan hak asasi sosial. Dua kategori hak asasi manusia ini dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Percerminan hak asasi manusia klasik, tercantum dalam ketentuan Pasal-pasal sebagai berikut: 1. Pasal 27 ayat (1): Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. ' 2. Pasal 28: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan undang-undang. 3. Pasal 29 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 4. Pasal 30 ayat (1): Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara. b. Pencerminan hak asasi manusia sosial tercantum di dalam ketentuan-ketentuan Pasal-pasal sebagai berikut: 1. Pasal 27 ayat (2): Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. 2. Pasal 31 ayat (1): Tap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. 3. Pasal 34: Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Bila ketentuan yang terdapat di dalam UUD 1945 tersebut di atas dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat di dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950, maka nampak bahwa Konstitusi RIS dan UUDS 1950 lebih lengkap dan terperinci dalam merumuskan hak asasi manusia. Di dalam Konstitusi RIS hak asasi manusia klasik dituangkan dalam 27 (dua puluh tujuh) pasal, yakni Pasal 1 sampai dengan Pasal 33. Sementara itu hak asas manusia sosialnya dituangkan dalam 8 (delapan) pasal yaitu dari Pasal 34 sampai dengan Pasal 41. Sedangkan di dalam UUDS 1950, hak asasi manusia klasik dirumuskan dalam 28 (dua puluh delapan) pasal, yakni dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 34, dan hak asasi manusia sosialnya dirumuskan dalam 9 (sembilan) pasal, yakni dari pasal 35 sampai dengan Pasal 43.255 Adanya perbedaan jumlah dan jenis perumusan mengenai kedua kategori hak asasi manusia tersebut di atas, disebabkan oleh adanya perbedaan dan suasana kebathinan dari para perumus masing-masing konstitusi (UUD). Situasi dan suasana kebathinan dari perumus UUD 1945 diliputi oleh kecintaan terhadap falsafah negara kekeluargaan atau gotong royong sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945. Sedangkan situasi atau suasana kebathinan dari perumus 255 B. Hestu Cipto Handoyo, Aspek-aspek Hukum...,Op.cit, Konstitusi hlm. 21. RIS dan UUDS 1950 diliputi

oleh perkembangan politik tingkat dunia pada saat itu. Perumusan Konstitusi RIS dan UUDS 1950 banyak dipengaruhi oleh nuansa ephoria munculnya pernyataan sedunia tentang hak asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights) oleh Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948.256 Kita ketahui bahwa dasar pemberlakuan Konstitusi RIS adalah Keputusan Presiden RIS No. 49 Tertanggal 31 Januari 1950 dan diundangkan pada tanggal 6 Pebruari 1950. Sedangkan untuk UUDS 1950 diundangkan pada tanggal 15 Agustus 1950, yakni berdasarkan UU Federal No. 7 Tahun 1950. Hal ini berarti perumusan atau pembentukan kedua konstitusi tersebut secara sadar atau tidak telah mengambil acuan atau minimal terpengaruh oleh keberadaan Universal Declaration of Human Rights tersebut.257

E. Perumusan Hak Asasi Manusia Dalam Amandemen UUD 1945.


Sejak diberlakukan kembali UUD 1945 setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, praktis secara yuridis UUD 1945 belum pernah mengalami perubahan, walaupun dalam praktek ketatanegaraan Indonesia sejatinya sudah mengalami perubahan berulang kali. Perubahan yang dimaksud disini sebenarnya dalam ranah penafsiran. Artinya pelaksanaan UUD 1945 yang dalam kurun waktu demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila (menurut terminologi Orde Baru) harus diletakkan secara murni dan konsekuen ternyata hanya sebatas retorika politik dari pemegang kekuasaan di masingmasing rezim. Praktek ketatanegaraan justru jauh dari nilai-nilai demokrasi dan penghargaan terhadap hak asasi manusia sebagaimana telah digariskan oleh UUD 1945 itu sendiri. Langgam kekuasaan justru bersifat sentralistik, otoriter dan hegemonis. Ini semua akibat prinsip executive heavy yang 256M. Hutauruk, 1983, Kenalilah PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa), Erlangga, Jakarta, hlm. 49. 257Loc.cit. dikembangkan oleh UUD 1945 itu sendiri. Kekuasaan Presiden sebagai Mandataris MPR telah merambah ke cabang-cabang kekuasaan lain yang pada akhirnya mengakibatkan pelaksanaan paham kedaulatan rakyat menjadi semu adanya. Gerakan reformasi yang digulirkan oleh mahasiswa sejak permulaan tahun 1998 ternyata telah mengubah peta kekuasaan dan sistem ketatanegaraan Indonesia. Terkait dengan hal ini, kesakralan UUD 1945 yang menjadi paradigma Orde Baru mulai diganggu gugat. Pendek kata perubahan suatu konstitusi dalam negara merupakan sebuah keniscayaan. Dengan kondisi yang demikian inilah, maka terjadi paradigma baru dalam wacana politik dan ketatanegaraan Indonesia, yakni dengan lebih membuka diri

untuk mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi pemerintahan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia. Terkait dengan kesadaran seperti ini, Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 di dalam konsideran "Menimbang" menyatakan bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut menghormati hak asasi manusia yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia. Dengan adanya Ketetapan MPR inilah, maka mulai tahun 1998 Pemerintah Indonesia dan berbagai komponen Supra Struktur Politik lainnya mulai melakukan berbagai langkah untuk merumuskan dan mengimplementasikan hak asasi manusia sebagaimana tertuang di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Sehubungan dengan hal ini Pasal 1 Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 secara tegas menyatakan: "Menugaskan kepada lembaga-lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat". Lebih lanjut dalam Pasal 2 juga dinyatakan: "Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk meratifikasi instrumen Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hak asasi manusia sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945". Di dalam Amandemen I dan II UUD 1945, pengaturan mengenai hak asasi manusia tercantum di dalam Bab X, Bab X A, dan Bab XI. Lebih lanjut, secara lengkap pengaturan mengenai hak asasi manusia di dalam amandemen UUD 1945 adalah sebagai berikut: a. Pasal 27: (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. (3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. b. Pasal 28: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. c. Pasal 28 A: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

d. Pasal 28 B: (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. e. Pasal 28 C: (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. (2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. f. Pasal 28 D: (1) Setap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. (2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. (3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan

g. Pasal 28 E: (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. h. Pasal 28 F: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. i. Pasal 28 G: (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat yang merupakan hak asasinya. (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajad martabat

manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. j. Pasal 28 H: (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. (2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. (3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. (4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun. k. Pasal 28 I: (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif. (3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisionil dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah. (5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. 1. Pasal 28 J: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dalam undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. m. Pasal 29 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan

untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal ini dalam proses amandemen IV, Pada Sidang Tahunan MPR bulan Agustus 2002 teriah menjadi perdebatan yang cukup alot. Ada sementara fraksi di MPR (Fraksi Partai Bulan Bintang dan Fraksi Persatuan Pembangunan) menghendaki dimasukkannya kembali 7 (tujuh) kata Piagam Jakarta, dan ada sementara fraksi yang menghendaki rumusan terhadap pasal tersebut tetap seperti semula. Proses perdebatan seperti ini merupakan pengulangan sejarah seperti yang pernah terjadi dalam sidang BPUPKI dan Konstituante pada saat merumuskan Rancangan UUD untuk menggantikan UUDS 1950. Setelah melalui proses perdebatan yang panjang, maka diputuskan bahwa Pasal 29 ayat (2) tersebut dikembalikan ke naskah asli, atau tidak diamandemen. Menurut hemat penulis, jika Pasal 29 ayat (2) memasukkan 7 (tujuh) kata Piagam Jakarta, yakni dengan kewajiban menjalankan syariat bagi pemeluknya, maka hal ini justru menimbulkan pemahaman yang bersifat kontradiktif dalam satu pasal. Pada hakikatnya yang namanya "hak" itu sifatnya optional (pilihan), artinya akan dilaksanakan atau tidak sangat tergantung dari perspektif masing-masing individu. Sedangkan kalau kewajiban yang berbarengan dengan hak menjadi satu aspek yang kemudian dicantumkan dalam satu pasal konstitusi, maka sifat optional ini akan mengalami penyimpangan, mengingat dalam kata "kewajiban" terkandung dimensi sanksionistik. Dengan memperhatikan pasal-pasal hasil amandemen UUD 1945 tersebut di atas, ternyata dalam merumuskan ketentuan yang menyangkut perlindungan hak asasi manusia masih bersifat tumpah tindih dan tidak sistematis bahkan terjadi duplikasi di sana-sini. Contoh yang dapat dikemukakan disini adalah Pasal 28 I dan Pasal 29 ayat (2). Kedua pasal tersebut secara tegas sama-sama memberikan perlindungan hak asasi manusia di bidang agama.

F. Hak Asasi Manusia Menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999.


PadahakikatnyaUndang-Undang No. 39 Tahun 1999 merupakan undang-undang yang dibentuk dengan cara mempersatukan sifat universalitas dan sifat kontekstualitas hak asasi manusia. Sifat universalitas dari hak asasi manusia mengandung dimensi individualistik, sedangkan sifat kontekstualitasnya mengandung dimensi budaya yang berlaku di suatu komunitas masyarakat. Kolaborasi kedua sifat tersebut nampak jelas di dalam Pasal 6 yang menyatakan: (1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah.

(2) Identitas budaya masyarakat adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Pasal tersebut dianggap merupakan langkah kolaborasi sifat universalitas dan kontekstualitas hak asasi manusia, karena dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 di samping mengadopsi secara penuh Deklarasi sedunia hak asasi manusia, juga masili tetap memberikan ruang gerak bagi komunitas-komunitas masyarakat adat dan budaya di Indonesia untuk mengembangkan sendiri pemahaman mengenai hak dan kewajiban para anggota komunitasnya masing-masing. Bahkan dalam undang-undang ini memberikan perlindungan terhadap eksistensinya. Berdasarkan pasal 28 I ayat (5) UUD 1945, pelaksanaan penegakan hak asasi manusia akan diatur dengan paraturan perundang-undangan, berpijak dari ketentuan inilah, maka dikeluarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 dinyatakan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan dan martabat manusia. Lebih lanjut di dalam Pasal 1 angka 6 disebutkan: "Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan/atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku". Berdasarkan kedua ketentuan pasal tersebut, maka dapat diambil suatu garis pengertian bahwa hak asasi manusia merupakan hak yang ada dalam diri seseorang sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, baik sebagai mahluk individu maupun sosial. Oleh sebab itulah pelanggaran atas hak asasi manusia dapat dikategorikan merupakan pelanggaran hukum yang sifatnya struktural. Artinya, pelanggaran itu bukan bukan merupakan pelanggaran hukum biasa, sebagaimana diatur dalam hukum pidana pada umumnya, melainkan suatu pelanggaran yang sifatnya mengurangi eksistensi keberadaan manusia yang memiliki harkat dan martabat. Pelanggaran hukum yang sifatnya struktural juga dapat diartikan suatu perbuatan yang secara sistemik dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara yang sifatnya mengurangi, menghalangi, membatasi dan/atau mencabut hak asasi manusia, dan dengan adanya tindakan tersebut seseorang atau sekelompok orang menjadi insan yang

telah kehilangan harkat dan martabatnya sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Pemahaman ini tentu berbeda dengan pengertian pelanggaran atau kejahatan sebagaimana telah diatur dalam Hukum Pidana pada umumnya. Lain daripada itu, di dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tidak membedakan secara tegas antara pengertian pelanggaran dan kejahatan terhadap hak asasi manusia. Pendek kata, setiap bentuk perbuatan seseorang atau sekelompok orang maupun aparat negara yang menafikan hak asasi manusia dimasukkan dalam kategori pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Berkaitan dengan sifat yang istimewa inilah, maka undang-undang ini juga memberikan upaya hukum yang istimewa, yaitu dengan cara class action. Pasal 90 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang dan/atau sekelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan secara lisan atau tertulis pada Komnas HAM. Lebih lanjut Pasal 101 menyatakan: "Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia kepada Komnas HAM dan lembaga lain yang berwenang dalam rangka perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia". Ketentuan pasal-pasal tersebut di atas mengandung makna bahwa class action yang dimaksud disini tidak diarahkan kepada mekanisme penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, melainkan hanya diarahkan kepada aspek pelaporan. Menurut Pasal 104 antar lain ditegaskan bahwa untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia yang akan dibentuk dengan undang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun. Namun demikian, sebelum dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia ini, kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia diadili oleh pengadilan yang berwenang. Berdasarkan ketentuan pasal 104 inilah, maka dikeluarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Di dalam Pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Ketentuan semacam ini menunjukkan sekali lagi bahwa pelanggaran hak asasi manusia merupakan pelanggaran yang bersifat khusus. Bahkan kalau boleh mengatakan pelanggaran yang bersifat struktural. Adapun menurut Pasal 7 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, meliputi: a. Kejahatan genosida; b. Kejahatan terhadap kemanusiaan. Menurut Pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 yang dimaksud dengan kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang

dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: a. Membunuh anggota kelompok; b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Sedangkan menurut Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 yang dimaksud kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistemik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, bangsa berupa: a. b. c. d. e. Pembunuhan; Pemusnahan; Perbudakan; Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. Penyiksaan; g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang di dasari persamaan pemahaman politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional. Memperhatikan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia (genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan) tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sifat struktural dari pelanggaran hak asasi manusia juga dapat dilihat dari pelaku pelanggaran hak asasi manusia tersebut. Secara logika sosiologis, pelaku pelanggaran sebagaimana telah disebutkan di atas, tidak mungkin dilakukan oleh orang per orang. Pelanggaran tersebut tentunya hanya bisa dilakukan oleh sekelompok orang yang terorganisir. Termasuk di dalamnya adalah aparat negara.

Terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut, maka organ yang berwenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan di atur sebagai berikut: a. Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat: 1. Dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau sering disebut Komnas HAM.258 2. Dalam rangka melaksanakan proses penyelidikan tersebut, Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat.259 b. Penyidik Perkara Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat: 1. Jaksa Agung.260 2. Untuk melaksanakan fungsi penyidikan ini, Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan/atau masyarakat.261 c. Penuntut Perkara Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat: 1. Jaksa Agung.262 2. Dalam melaksanakan tugas, Jaksa Agung dapat mengangkat penuntut ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan/ atau mesyarakat.263 Berkaitan dengan proses hukum tersebut di atas, maka menurut Pasal 25 UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM menegaskan bahwa Komisi nasional Hak Asasi Manusia sewaktu-waktu dapat meminta keterangan secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran hak asasi yang berat. Secara ideal, ketentuan
258 259 260 261 262 263 Pasal 18 ayat (1) UU No. Pasal 18 ayat (2) UU No. Pasal 21 ayat (1) UU No. Pasal 21 ayat (3) UU No. Pasal 23 ayat (1) UU No. Pasal 23 ayat (2) UU No.

26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.

semacam ini memberikan jaminan akuntabilitas publik terhadap proses yang dilakukan dalam menangani perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Akan tetapi sayang dalam hal pemberian keterangan tersebut, tidak dijumpai adanya ketentuan yang tegas mengenai kewajiban yangbersif at sanksionistik jikalau Jaksa Agung tidak menyampaikan keterangan secara tertulis sebagaimana diminta oleh Komnas HAM. Penjelasan Pasal ini, sekali lagi hanya menyatakan cukup jelas. Oleh sebab itu, untuk lebih memberikan jaminan atas penegakan hukum dari UU No. 39 Tahun 1999 Jo UU No. 26 Tahun 2000, maka kewajiban

Jaksa Agung untuk memberikan laporan kepada Komnas HAM harus dituangkan dalam undang-undang.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Buku-buku: Adnan Buyung Nasution, 1995, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1950-1959, Grafiti, Jakarta.

Arief Budiman, 1996, Teori Negara (Negara, Kekuasaan Dan Ideologi), Gramedia, Jakarta. Atmadji Sumarkidjo, 2000, Mendung Di Atas Istana Merdeka, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Anthony Giddens, 1999, The Third Way Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Arend Lijphart (disadur oleh Ibrahim, et.all), 1995, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Ali Moertopo, 1982, Strategi Pembangnan Nasional, Cet II, CSIS, Jakarta. AS. Hikam, 1999, Demokrasi dan Civil Society, Cetakan II, LP3ES, Jakarta. Alexander Irwan dan Edriana, 1995, Pemilu Pelanggaran Asas Luber, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

T I <i

i I I I K I I M TATA N I M J A K A INDONESIA

B. Hestu Cipto Handoyo, 1995, Aspek-aspek Hukum Administrasi Negara Dalam Penataan Ruang, Univ. Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta. ----------------------------- / 1998, Otonomi Daerah, Titik Berat Otonomi dan Urusan Rumah Tangga Daerah, Univ. Atma Jaya, Yogyakarta. ----------------------------- / 2008, Prinsip-prinsip Legal Drafting & Desain Naskah Akademik, Univ. Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta. Bintan R. Saragih & Kusnardi, 1987, Mekanisme Hubungan Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Gramedia, Jakarta. ----------------------------- f 1988, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta. Bagir Manan, 1989, Pemerintahan Daerah Bagian I, Bahan Penataran Administrative and Organization Planning, Kerja sama

Indonesia-Belanda, UGM, Yogyakarta. -----------------, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945 (Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaannya), Unsika, Karawang. -----------------f 19947 Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Sinar Harapan, Jakarta. Dessy Anwar, 2001, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya Abditama, Surabaya. Didik Supriyanto, 2007, Menjaga Independensi Penyelenggara Pemilu, USAID, DRSP, Perludem, Jakarta. F. Sugeng Istanto, 1971, Beberapa Segi Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam Negara Kesatuan Indonesia, Karyaputera, Yogyakarta. ----------------------- f 1983, Hand Out Hukum Tata Negara I, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta. Franz Magnis Suseno, 2000, Mencari Sosok Demokrasi Sebuah Telaah Filosofis, Gramedia Pustaka Utama. Dlljiill KfjnishlklllUl 417 Fauzi Ismail, et.all, 2005, Libatkan Rakyat Dalam Pengambilan Kebijakan, Forum LSM, Yogyakarta. Hamid S. Attamimi, (disertasi), 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Negara Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I Pelita II, Fakultas Pascasarjana UI, Jakarta. I Warsana Windhu, 1992, Kekuasaan & Kekerasan Menurut Johan Galtung, Kanisius, Yogyakarta. Irawan Soedjito, 1984, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Bina Aksara, Jakarta. Ismail Suny, 1986, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta. ----------- , 1982, Perkembangan Pemerintahan Lokal Menurut Peraturan Perundang-undangan Yang Berlaku Dengan Pelaksanaan di Daerah Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, Alumni, Bandung. Joeniarto, 1984, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bina Aksara, Jakarta. Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta. Kartasapoetra RG, 1987, Sistematika Hukum Tata Negara, Bina Aksara, Jakarta. Komnas HAM, 1997, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Budaya Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. -------------- , 2000, Referensi Fundamental Diskursus Hukum

Kewarganegaraan, Cet I, Komnas HAM, Jakarta. KC. Wheare, 1960, Modern Constitution, Oxford University Press, London. Kelompok DPD di MPR RI, 2006, Untuk Apa DPD, Jakarta. Kotan Y. Stefanus, 1998, Kajian Kritis Terhadap Teori Integralistik Indonesia, Univ. Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta. T I H 1 I I I K I I M T A T A N K C A K A I N I I O N I '. M A Lili Rasyidi, 1991, Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu?, Remaja Rosdakarya, Bandung. LJ. Van Apeldorn, 1981, Pengantar Ilmu Hukum, Pradya Paramita, Jakarta. Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Jakarta. -------------------- f Tanpa tahun, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Jakarta. Miriam Budiardjo, 1986, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta. Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, 1980, Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN-UI, Jakarta. ------------------ f 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Kajian HTN-UI, Jakarta. Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan), Kanisius, Yogyakarta. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Buku III Lembaga Permusyawaratan dan Perwakilan Jilid 1, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta. 2008, Naskah Komprehensif Perubahan Undang1 Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Buku III, Lembaga Permusyawaratan dan Perwakilan, Jilid 2, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konsitusi, Jakarta. M. Indradi Kusuma, et.al, 2000, Diskriminasi Warga Negara dan Hak Asasi Manusia, Komnas HAM, Jakarta. Moh. Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, Prapanca, Jakarta. M. Hutauruk, 1983, Kenalilah PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa), Erlangga, Jakarta. Daftar Kepustakaan 4 I Oetojo Oesman dan Alfian, Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, BP7 Pusat, Jakarta.

PJ. Suwarno, 1994, Hamengku Buwono IX Dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974 Sebuah Tinjauan Historis, Kanisius, Yogyakarta. Peter Baehr, et.al, 1997, Instrumen Internasional Pokok Hak-hak Asasi Manusia, Obor Indonesia, Jakarta. Rusadi Kantaprawira, 1988, Sistem Politik Indonesia Suatu Model Pengantar, Cet V, Sinar Baru, Bandung. -----------------11990, Pendekatan Sistem Dalam Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Meninjau Kehidupan Politik Indonesia, Sinar Baru, Bandung. S. Toto Pandoyo, 1985, Ulasan Terhadap Beberapa Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, Sistem Politik dan Perkembangan Kehidupan Demokrasi, Cet. II, Liberty, Yogyakarta. Satjipto Rahardjo, 1977, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Alumni, Bandung. Simorangkir JTC, et.all, 1980, Kamus Hukum, Cet II, Aksara Baru, Jakarta. Sobirin Melian, 2001, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, Uli Press, Yogyakarta. Samuel P. Huntington, 1997,Gelombang Demokratisasi Ketiga, Grafiti, Jakarta. Soehino, 1984, Hukum Tata Negara Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung. Sri Soemantri, 1986, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Alumni. ------------- , 1986, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, I.'O Bandung. I l i i k U M [ A i A N i '.i. A H A I N D O N E S I A

------------- f 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung. Syamsudin Haris dan Riza Sihbudi (ed), 1995, Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sujamto, 1984, Otonomi Daerah Yang Nyata Bertanggungjawab, Ghalia Indonesia, Jakarta. Scott Davidson, 1994, Hak Asasi Manusia, Grafiti, Jakarta. Tolchah Mansoer, 1983, Pembahasan Tentang Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif Negara Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta. Usep Ranawijaya, 1983, Hukum Tata Negara Dasar-dasarnya, Ghalia Indonesia, Jakarta. dan

Wirjono Prodjodikoro, Tanpa tahun, Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta. YB. Mangunwijaya, 1998, Menuju Republik Indonesia Serikat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Yusril Ihza Mahendra, 1996, Dinamika Tata Negara Indonesia Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan Rakyat dan Sistem Kepartaian, Gema Insani Press, Jakarta. Yosep Riwu Kaho, 1988, Prospek Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, Rajawali Press, Jakarta. Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dajltir Kei'iisliikiiiui - 42 I Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Website: http://www.ipcos.or.id/index2.php?option=com content&do pdf=l&id=42. http://www. goodgovernance-bappenas.co.id/artikel_60.htm.

INDEKS

Abdul Haris Nasution, 107 ABRI, 106,107,108,110, 213 absolut, 18,127, 203, 204, 222 abstraksi, 45 AD, 267, 268, 270, 271, 275 Adam Muller, 396 adaptasi, 2 adat, 3, 40, 68, 214, 286, 299, 321, 392, 408, 409 administrasi, 15, 21, 36,126, 319, 352 Administrative Recht, 26 Administratuur, 119 Adnan Buyung Nasution, 81, 98, 99, 232, 233, 385, 391, 396, 415 Adolf Hitler, 84 advokat, 19,194 Afan Gaffar, 186 Afdeling, 323 agresi, 89 aklamasi, 101,110 akta notaris, 267, 268, 270 akuntabilitas, 50, 58,142,162, 201, 246, 306, 318, 342, 414 A. Latief, 105 Alexander Irwan, 230, 233, 415 Algemene Reken Kamer, 71 Algemene Verordeningen, 70 Ali Moertopo, 109, 276, 279, 280, 415 Amandemen, xii, 49, 53, 58, 59, 61, 62, 113,134,138,153,161,167,

169,172, 173,174, 176, 179, 181, 202, 203, 210, 213, 222, 224, 225, 226, 232, 241, 285, 286, 321, 335, 340, 402, 404 ambigu, 43, 59,117,154,179, 361 AmvB, 70 anarkhi, 225, 276 anatomi, 29, 266, 267 Angkatan Darat, 73, 91, 99, 104, 105, 107 angket, 184 anglo saxon, 7 Anglo Saxon, 7,149, 266 Anthony Giddens, 11, 20, 60, 415 apriori, 311 Arend Lijphart, 132,133,142,415 Arief Budiman, 15, 229, 233, 237, 415 Aristokrasi, 121 Arnold Brackman, 104 ART, 267, 268, 270,271, 275 Article I Konstitusi AS, 53 Article I, section 3,173 AS, 53, 84, 122, 134, 135, 139, 154, 155, 156,157, 200, 281, 415 Asas Dekonsentrasi, xi, 302 asas desentralisasi, 24, 114, 124, 127, 291, 295, 297, 298, 300, 301, 304, 305, 306, 325, 329, 332, 334, 335, 337 Asas Sentralisasi, xi, 289

AS. Hikam, 200, 415 Asia Pasific, 323 Asia Pasifik, 84 Assat, 81 Atmadji Sumarkidjo, 104, 415 atribusi, 123,124,125 authorities, 208

budaya politik, 207, 220, 263, 313, 314 budaya politik kaula, 314 BukitTinggi, 73 buldozer, 392 Buloggate, 165 bumiputera, 276 Bupati, 70, 285, 303 Benito Mussolini, 84 Bestuur, 70,119 Bestuuringwormingswet, 322 bhinneka tunggal ika, 195 bicameral system, 114,172,178 Bierens de Hans, 11,12 Bill Clinton, 155 Bill of Rights, 387,388 Bintan R. Saragih, 157, 158, 228, 241, 248, 416 bipatride, 370 birokrasi, 15, 119, 232, 245, 258, 280, 281, 290, 296, 352, 363 BJ. Habibie, 111, 112, 282 Boedi Oetomo, 277 bola

Badan Pekerja (Swiss), 23 Bagir Manan, 7, 284, 294, 297, 298, 300, 309, 310, 312, 314, 315, 334, 416 bahasa, 26, 45, 59, 61, 62, 63, 117, 118, 261, 323, 354,372 balance of power, 199 Bala Tentara Jepang, 68, 71, 72, 73, 74, 86,321, 323 Bandung 2,3, 36, 99,143,198, 207, 215, 217, 295, 314, 396, 417, 418, 419, 420, 423 bangsa Indonesia asli, 62,360,361, 362, 363, 364 Barents, 31 Bebas Dari, 255 Bebas Untuk, 255

salju, 162 bottom up, 340, 350 BPP, 246, 247, 250 BPUPK, 72 BPUPKI, 73, 390, 395, 397, 398, 399, 407 Bruneigate, 165 Camat, 70 Cari J. Friedrich, 117,149, 259 Cari Schmitt, 76 cautio judicatum solvi, 378 central norm, 293 CF. Birch, 14,15, 352 CF. Strong, 143 chaos, 14 Check and Balances, 49 checks and balances, 122,154,188, 204 CIA, 105 citizen, 354,363, 397 citoyen, 354, 397, 398 City State, 144 civil society, 107,199, 200,201 Civil Society, 108, 200,415 Clash I, 89 class action, 410

Commision of Human Rights, 389 Communals, 174 Congress, 53,155,173,175,178 constituer, 45 Constitutional Law, 25,44,46 contradictio in terminis, 265 Cornell, 103,104,105 coup d'etat, 101 cultuur stelsel, 322 Cyclus theory, 143

Daerah Istimewa, 295, 325, 330, 332, 340, 417, 424, 425, 426 daerah otonom, 128,129,141, 289, 291293, 315, 322, 325, 327, 331, 334, 336, 339, 340, 344, 346-349 Dai Nippon, 323, 399

Dake, 104 dasar hukum, 40, 41, 43, 81, 82, 113, 406 Dauerhaftig, 112 decentral or local norm, 293 Decey, 80 Declaration des droits de Thornme et du citoyen, 388 de facto, 74, 87-89 dejure, 74, 87, 88 Deklarasi Bogor, 277 Dekrit, ix, 68, 97,100,101,102,103,165, 277, 321, 331,402 delegasi, 123,124,125,131 delegataris, 221 demand, 198, 208, 220 Demokrasi, i, ii, x, xi, 11, 20, 46, 49, 68, 85, 109, 112, 121, 143, 148, 150, 197, 198, 199, 200, 205, 210, 216, 218, 219, 220, 221, 224, 227, 229, 230, 279, 281, 297, 321, 335, 415, 416, 419, 425 demokrasi Pancasila, 199, 217, 218, 402 demokrasi terpimpin, 99,102, 199, 332, 402 Departemens, 174 DEPKUMHAM, 267, 272 depolitisasi, 107 Desa, 68, 219, 220, 307, 323, 325, 341 desentralisasi, 24, 50,114,124,127,128, 129, 163, 170, 291, 292, 293, 294, 295, 297, 298, 299, 300, 301, 304, 305, 306, 308, 311, 312, 313, 325, 329, 332, 334, 335, 336, 337, 338, 339, 341, 344, 348 Desentralisasi Administratif, 299 Desentralisasi Fungsional, 298

Desentralisasi Kebudayaan, 299 Desentralisasi Politik, 299 Desentralisasi Teritorial, 298 Desentralisatiewet 1903, 322 Dewan Federal, 140 "diam", 29 diskresi, 58 Djokosoetono, 100 doktrin, 34,100,120, 264 dokumen, 52, 65, 66, 67, 103, 105, 372, 387, 388 Dokuritzu Zyunbi Tioosakai, 397 Dormer, 37, 41 DPD, 49, 61, 79, 114, 170,176, 178, 186, 187,188, 189,190, 192, 193, 194,195, 223, 224, 225, 226, 229, 243, 244, 246, 247, 249, 254, 255, 256, 257, 258, 259, 417, 421,424, 426 DPR, 61, 77-79, 102, 103, 113, 114, 135, 138, 152-160, 162, 163, 165, 170, 172, 176, 178, 186-190, 192, 193, 194, 211213, 221-223, 225, 226, 229, 232, 235, 238, 243, 244, 246, 247, 249, 254-259, 277,362, 363, 366, 421, 426 DPRDGR, 332 driekringenleer, 310 Droit Administrative, 25 Droit Constitutionel, 25 Drs. Mohammad Hatta, 74 drukpers, 399 Dwi Fungsi, 106,107 ECS Wade, 46

edelwelzen, 352 Edriana, 230, 233, 415 efisiensi, 51, 290,

318, 342, 349, 350 einmalig, 111,112 eksekutif, 18, 19, 23, 34, 35, 49, 57, 71, 79, 85, 107, 119, 121, 122, 126, 127, 131-134, 140,142, 146, 149, 151, 155, 162,165, 177, 203, 214, 221, 226, 232, 297,305,331, 333 eksperimentasi, 115, 251, 344, 348 eksternalitas, 318, 342 ekstradisi, 359 electoral college, 134

erkennen, 312 Eugen Ehrlich, 7, 37 executive heavy, 58, 85,162, 402

fair play, 235 Fakultatif, 141 Filipina, 48, 399 final, 112,113 F. Isjwara, 131

fisk.il, 125, 131,336,340,349 fit and propertest, 251 floating mass, 107 Founding Fathers, xii, 394 fraksi-fraksi, 222, 236, 252 Franklin D. Roosevelt, 389 Franse Revolutie, 398 Franz Magniz Soeseno, 391, 392 freiss ermessen, 57 fusi, 109, 279

G-30-S PKL 66 gemeenschapswezen, 11, 352 gemeinschaft, 206 gender, 50, 359, 367, 374 generalis, 186 general principles, 356 genosida, 411, 412 George Jellinek, 122 Gereja, 147, 386 gesellschaft, 206 golf, 392 GOLKAR, 110, 230, 232, 235, 236, 279, 280,281 good governance, 50, 201 Grondrechten, 399 Grondwet-grondwet, 398 Groupagemenschappen, 322 gubernur, 289, 304 Gubernur, 69, 70, 71, 285, 289, 303, 324, 426 Gubernur Jenderal, 69, 70, 71 guiness book record, 253 Gun (District), 323

321-323 Hobbes, 55, 396 Hoge Rechshof, 71 horizontal, 22, 23, 25,120,125,127,297, 351 House of Commons, 173,187 House of Lord, 173,187 House of Representative, 155,173 Hukum Administrasi Negara, 26, 27, 31-36,126, 394, 416, 425 Hukum Internasional, 73, 74, 86, 88, 357, 358, 364,412 Hukum Kekeluargaan, 357 Hukum Konstitusi, 44 Hukum Perdata internasional, 357, 358, 376 hukum positif, 7, 8, 28, 37, 40,130 Hukum Publik, 358, 360 Hukum Tata Negara Adat, 74 ICJ, 150 IDEA, 272 Ilmu Negara, 21, 28, 29,126, 424 Ilmu Politik, 12, 29-31, 130, 204, 215, 240, 259, 387, 418 Imam Sudiyat, 3 imbangan suara, 246, 248 Impeachment, 135,155,159,160,169 independensi, 19, 60 Indische Staatsregeling, 69 individual, 14,112, 356 individualistik, 390, 396, 408 Infra Struktur Politik, 197, 198, 204, 206-209, 211, 220-222, 224, 259 Inggris, 7, 25, 88, 89, 105, 121, 147, 172, 173,187,189,354, 387 integrasi, 2, 12-15, 170, 306, 339, 352, 362 integrated prtftCtOtal system, 306 integrative skill, 207 Interest Aggregation, 208 Interest Articulation, 207

Habits, 80, 81 Hakikat Otonomi, xi, 344, 345, 346 Hamid S Attamimi, 118 Hamid S. Attamimi, 12, 40, 41, 76, 118, 219,352,417 Hamzah Haz, 166 Hans Kelsen, 131, 293, 294 Hans Nawiasky, 76 Harmaily Ibrahim, 26, 27, 31, 45, 51, 93, 118, 181, 311,418 Hegel, 396 hegemonis, 161, 250, 402 Henry B. Mayo, iv, v, 150,152, 240 High Representative, 245, 246 Hindia Belanda, 27, 69-72, 888,90,276,

Interest Group, 205, 206 interpelasi, 184 Interst Group Assosiasi, 205 intervensionist, 20 IPKI, 109, 278, 279 Irawan Soedjito, 294, 295, 417 irrasional, 147 Ir. Soekarno, 74, 217 IS 1926, 69 Islam, 109, 278, 279 Ismail Saleh, 104 Ismail Suny, 177,181, 417 ius sanguinis, 356, 357 ius soli, 357, 375

Jakob Tobing 186 Jaksa, 19, 413, 414 jalan tengah, 107,119, 314 Jawa, 73, 89, 295, 322-324, 354, 359, 361, 391, 417 jembatan Emas, 86 Jepang, 68, 71-74, 84, 86-88, 121, 321, 323, 388 Jerman Timur, 85 Jimly Ashiddiqie, 187 JJ. Rousseau, 55, 351, 360, 388 Joeniarto, 75, 78, 82, 295, 417 Johan Galtung 14, 417 John Austin, 8 John Lackland, 173, 387 John Locke, 55, 388 join session, 173,178 judicial review, 114,170,193, 426 Jurdil, 233 Kabinet Karya, 99 kadaver dicipline, 398 kapital, 209 karakteristik, 68,129,154,156,157, 283, 291, 293, 296, 298, 315, 318, 319, 342, 347,348 Karl Leowenstein, 51 Karl marx, 210

Kartasapoetra, 26, 27, 32, 216, 353, 354, 417 Katolik, 109,147, 277-279, 385, 423 keadaan daerah, 313, 317-320, 342 Kebhinekaan, 298 Kebutuhan Daerah, 317 kedaulatan, -8, 9, 14, 17, 71, 75, 86-90, 106, 111, 113, 117,125, 139, 140, 142, 157, 160, 161,171, 178,179, 185,193, 199, 207, 211-213, 221, 222, 224, 225, 229, 231, 233, 237, 259, 262, 267, 339, 340, 348, 349, 351, 358, 383, 386, 387, 403 Keistimewaan, 63, 340, 425 kekeluargaan, 218, 219, 220, 359, 391, 396, 397, 400, 401 kemampuan daerah, 317, 319, 342 kenbron, 37 Keniche Ohmae, 11 Ken (Regenschap), 323 Kepolisian, 19 Keputusan Tata Usaha Negara, 362 kesatuan, 10, 12, 22, 24, 34, 45, 68, 76, 90-92, 95,118,123-125,127,131,170, 174,181, 190, 217, 243, 260, 285, 286, 290, 299, 336, 338, 348-350, 352, 367, 391 kewajiban, 8,9,17, 20, 22, 23, 25, 32, 35, 61, 74, 107, 186, 201, 218, 219, 300, 306, 307, 315, 326, 334, 344-346, 357359, 376, 390, 407-409, 414 KH. Abdurrahman "Gus Dur" Wahid, 48 Kitab Kejadian, 384 KMB, 90 KNID, 324 KNIP, 77-79, 81-83 koalisi, 133, 240, 245, 249, 265 kodifikasi, 39 Koesoemahatmadja, 314 K.O.K, 104 kolonialisme, 71, 72, 76, 392

Kol. Simbolon, 91 Kol. Soeharto, 66 Kol Sugondho, 103 kolusi, 48 komando, 73, 306 Komisi Konstitusi, 53-56,181 Komisi Yudisial, 170 Komnas HAM, 354, 373, 376, 386, 391, 410, 413, 414,417, 418 komplain, 349 kompromis, 338 komunalistik, 390 konfederasi, 24,125, 285 konflik kepentingan, 194,195, 260 Kongres, 231, 267, 270 konkrit, 7, 9, 22, 28, 35, 39, 40, 85, 112, 215, 358

konsisten, 2,4,8,161,166,169,176,231, 320,383 konsolidasi, 46, 49, 63, 68,112,115,163, 222, 226, 227, 228, 234, 238, 239, 253, 321, 335, 338, 340, 348,425. konstelasi, 84,110 Konstituante, 54, 55, 81, 9395, 97-101, 277,407, 415 konstitusionalisme, 56, 80,149 konstitusi politik, 59 konstitusi sosial, 59 kontrak sosial, 17, 55, 60, 61, 148, 351, 356,360,400 kontroversi, 103,106 Konvensi, 24, 25, 39, 45, 57, 80, 82, 181, 212, 251, 271, 356, 364, 374, 376, 381 Konvensi Den Haag

356 konvensi ketatanegaraan, 45, 57, 82 Konvensi Montevideo, 24 Kooti (Voertenlanden), 323 koperasi, 108 Kopkamtib, 392 Korea Utara, 85 KORPRI, 280 korupsi, 48, 58, 135-137, 167, 168, 252, 257 Kotapraja, 322, 329, 332, 333 KPU, 145, 177, 239, 250, 253, 257, 274, 275 Krabe, 17 Kranenburg, 32, 130 kristalisasi, 4, 38, 63 kriteria, 37, 38, 41, 44, 62, 8082, 100, 122, 123, 301, 302, 307, 308, 317-320, 339, 340, 342, 343, 347, 360, 361, 363, 369, 385 kualitatif, 316 kuantitatif, 316 Ku (Desa), 323 Kusnardi, 26, 27,31,45, 51,93,118,157, 158,181, 311, 416, 418 KY,49 law enforcement, 19 Lee Kwan Yew, 392 legal drafting, 195 Legalitas, 18, 21, 56, 57 legal order, 293 legislatif, vi, 18, 19, 23, 34, 57, 77-79, 121, 122, 126, 127, 131-134, 142, 151, 173,179, 180, 186, 189, 203, 212, 226, 237, 250, 252, 325, 330, 331 legitimasi, 66, 105,117,163, 213, 276 Lenin, 396 Leon Duguit, 122 Liem Koen Hiam, 398, 399 Linggarjati, 89 LIPI, 236 living law, 7, 37 LJ. Van Apeldorn, 10, 418 Logemann, 32,101 logis, 2, 4, 8,139 Lord Acton, 16 Low representative, 245 LSM, 55, 201, 242, 417 Luber, 230, 233, 415

manunggaling kawula lan Gusti, 391 Marx, 396 Marxist, 104 Maswardi Rauf, 189,190 materiil-spirituil, 109, 278, 279 mati suri, 58 matrilinial, 359 Maurice Duverger, 143, 266 Max Weber, 15 medebewind, 300, 301, 306, 308, 326, 327 Media, 111, 206, 228, 241,416,425 mediation skill, 207 mediator, 139 Megawati Sukarno Putri, 48 memorandum, 159 metode, 67,117,143,144 militeristik, 73, 108, 324 minderwaardigheids complex, 399 Miriam Budiarjo, 12, 240, 259, 260 MK, 49,192,193 Mochtar Kusumaatmaja, 13, 37 Mohammad Hatta, 74, 83,101 Moh. Hatta, 77, 395, 398,399 Moh. Kusnardi, 26, 27, 31, 45, 51, 93, 118,181, 311,418 Moh. Yamin, 395, 397, 398, 399, 418 Monarkhi, 121 moneter, 48,125,131, 301, 336, 340, 349 Monica Lewensky, 155 moral internasional, 88 mosi tidak percaya, 48, 85, 91,121,133, 139,142, 337 MPR, 48, 53, 54, 56, 57, 61, 7779, 81, 103, 105, 106, 110114, 138, 154, 156-167, 172, 175-183, 186, 188, 189, 211213, 221, 222, 224, 229, 232, 240, 241, 282, 403, 407, 417 Mukadimah, 101 Muktamar, 267, 270 multidimensional, 111, 281 multi partai, 163, 243, 245, 277, 282 Multy Party System, 266 Murba, 109, 277-279 MURI, 253

MA, 49,135 Magna Charta, 147,173, 387 mahasiswa, 104, 161-163, 282, 365, 403, 424 Mahatir, 392 Mainstream, 104 Makasar, 73, 324 Maklumat, 77-84, 277, 324, 325 Mandat, 111,112 mandataris, 138, 159, 221

Nasional Assembly, 174 nasionaliteit, 11 nationaliteit principles, 358, 376 neben, 138 negara integralistik, 390, 396 negosiasi, 320 nepotisme, 48 New York, 104 NICA, 89 Nilai nominal, 51 Nilai Normatif, 51, 52 Nilai semantik, 51 non Parpol, 192 non partisan, 55, 245 noodstaatsrecht, 100,101

norma domisili, 192,193,194,195 normatif, 1, 4, 8, 9, 44, 53, 59, 84, 192, 193, 201, 267, 270, 271, 338, 339, 341, 360 NU, 109, 277, 279 Nugroho Notosusanto, 104 Nurcholis Madjid, 217, 392 nusantara, 68, 71

Obligator, 141 one cameral system, 171 One Party System, 265

onschenbaarheid van woorden, 399 oposan, 206 oposisi, 262, 391 Optatif, 141 Orde Baru, 47, 48, 52, 68, 106112, 129, 158,161,163, 164, 190, 211, 213, 221, 229-236, 238, 239, 269, 278-282, 292, 304-306, 321, 333, 335, 365, 402, 403, 420 Ordonnantie, 70 original born citizen, 361 otoritarianisme, 97,162 otoriter, 18, 46, 47, 48, 83, 85, 111, 213, 232, 402

Padmo Wahyono, 160, 161 Pancasila, 38, 39, 41-43, 109, 195, 199, 205, 217-220, 233, 254, 262, 268, 278, 371, 402, 404, 419, 424 Panitia Ad Hoc, 53,113,186, 426 Parkindo, 109, 278, 279 parlementer, 23, 57, 82, 83, 85, 91, 96, 126, 132, 133, 135, 138-140, 142, 152, 153, 157, 159, 160, 165, 166, 239, 240, 337 Parmusi, 109, 278, 279 Partai Ideologi, 265 Partai Kader, 264, 265 Partai katolik, 109 Partai Lindungan, 264, 265 Partai Massa, 264, 265 Partai Oposisi, 266 partai politik, -19, 109, 110, 133, 134, 139, 172, 182, 194, 211, 234, 235, 237, 244, 245, 260, 264, 272, 274, 279 Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, 77, 78, 79, 81, 83,103 paternalistik, 207, 263 patrilineal, 359 patronage party, 251 Paus, 147,385, 386 PBB, 84, 90, 384, 389, 402, 418 PDI, 109, 110, 211, 230, 231, 235, 280, 281 Pearl Harbour, 323 pelaku, 59, 65, 66, 67,103, 215,216, 412 pemandulan, 412 pemekaran daerah, 308 pemencaran kekuasaan, 24, 120, 291, 296, 297, 349 pemerintahan asli, 74, 321 Pemerintahan Lokal Administratif, 287 Pemerintahan Lokal Otonom, 287, 288 Pemilihan Umum, 48, 55, 94, 98, 101, 102,113,114,

134,145,163, 170,173, 176178, 183, 204, 211, 223, 225, 227, 229, 234,235, 239, 241, 242, 416,426 Pemilu Distrik, 243, 244 Pemilu Proporsional, 243, 246, 248 penetrasi, 15, 352 pengendali, 4, 210, 242, 243 penjaga malam, 19, 20 penjelmaan rakyat, 157, 158, 159, 160, 179, 210 Penpres, 331, 332 peradilan, 18, 19, 21, 23, 26, 34, 56, 57, 58, 60, 119, 125, 126, 155, 161, 270, 271, 336, 340, 349, 358, 380, 395 Perancis, 25, 45, 139, 153, 174, 204, 354, 388, 397 Perang Dunia II, 72, 84, 87, 323, 383, 388, 389 Peraturan Daerah, 39, 42, 70, 130, 209, 285, 325, 327, 426 Perdana Menteri, 119, 126, 132, 133, 139,142 perilaku kekuasaan, 29, 30 perintah, 8, 9, 105, 147, 228, 287, 289, 300, 304, 305, 386 perjanjian masyarakat, 148, 351 Permesta, 91,101 pers, 107 persekutuan hidup, 242 personifikasi, 133 persoon, 11 Perti, 109, 277, 279 Perundang-undangan, 3, 7, 8, 30, 34, 39,4143,112,113,119,123,124,159, 201, 209, 222, 295,417, 420 Philips, 27 Philipus M. Hadjon, 178 Ph. Kleintjes, 27 Piagam Jakarta, 99, 407 plutocracy, 199 PNI, 109, 277, 278, 279 Political Communication, 206, 208

Political Education, 207 Political Selection, 208 Politik (sebagai ilmu), 30 POLRI, 108 Polybios, 143 positivisme, 4, 8, 9 Postdamn, 87 post pactum, 101 pouvoir constituent, 130 PPKI, 73, 77,324 PPP, 109,110, 211, 235, 279, 280 Practices, HI), HI prasasti, 65, 66 premature, 235 prerogatif, 154,170 preseden, 39 presidensil, 23, 49, 57, 82, 85, 86, 96, 126,134, 138,139, 142,153,154,156, 157,158,160,163,164,165, 239, 240 Presiden Soeharto, 47, 108, 109, 111, 161, 162, 163, 164, 213, 229, 236, 278, 281 Pressure Group, 206 pre-supposed, 75 primordialisme, 245 Pringgodigdo, 81 prinsip domisili, 358, 359 privileges, 147 Prof Wertheim, 103 progresif, 81, 322, 363 Proklamasi, 51, 68, 69, 71, 7477, 86-88, 93, 98,115, 277, 321, 324 proses mempositifkan, 38, 41, 43 proses politik, 30, 166, 167, 211, 212, 259 PRRI, 91,101 PSII, 109, 277, 279 public policy, 208, 209 public services, 20, 34, 35, 297

Renaisance, 148 Renville, 90 residu, 27, 340 revolusi hukum, 101 revolusioner, 46, 83,101 R.H. Soltou, 259 Roscoe Pound, 50 RRC, 48, 85, 392 Rusadi Kantaprawira, 207, 214, 215, 261, 262, 313, 314, 419 RV,70 sakralisasi, 48 Samuel P. Huntington, 46, 49,144,162, 163,338,41 9 Sanksi, 9 sanksionistik, 219, 408, 414 Schumpeter, 143,144 Scott Davidson, 383, 384, 388,420 sektarian, 245 self determination, 74 Senate, 53,155,173,174 sentralisasi, 24, 124, 290, 291, 302, 304, 312 Serangan Umum, 66 serikat, 24, 90, 108, 124, 125, 127, 130, 180,181, 285, 378 Sidang Federal, 140 Sidang Istimewa, 48, 159,160, 163,165, 167,175, 212 Sigmund Neumann, 260 single majority, 110,163, 236,280 sinkronisasi, 2, 52,56 Si (Staatsgemeenten), 323 Sistem pemilihan Mekanis, 242 Sistem pemilihan Organis, 241 Sistem Politik, 205, 207, 210, 262, 314, 419 Sistem Rumah Tangga Daerah, xi, 309, 344 sistem rumah tangga formil, 311, 312, 314,327,341, 345,347 sistem rumah tangga materiil, 309, 310, 311, 326, 327, 341, 345, 347 sistem rumah tangga nyata (riil), 320 Soehino, 70, 93, 96, 97, 99,106,419 Soekarno, 74, 77, 83, 86, 97, 101, 103, 104, 105, 106, 163-1.66, 217, 230, 281, 332, 395, 397 Soepomo, 3, 390, 395-398 Soerjono Soekanto, 5 soft bicameral system, 114 Solus Populi Suprema Lex, 75 Son (Onder District), 323 sosiologis, 1,2,5-7,9,10,44,45, 67,132, 198, 361, 362, 412 spanning 296, 310 Spinoza, 396 spirituil-materiil, 109, 278, 279 Sri Soemantri, 143, 177, 198, 217-219, 395, 396, 419 Sri Sultan Hamengku Buwono IX, 66

Quasi Parlementer,'. Quasi Presidensiil, 138 quick count, 257

Raad van Indie, 71 Ralp Von Koenigswald, 361 rasionalitas, 148 recalling, 237 rechtsvacuum, 8 Referendum, 113,141,159,180 reformasi, 47, 48, 50, 52, 58, 111, 113, 129, 162, 163, 198, 222, 228, 230, 234, 238, 269, 282, 288, 293, 303, 335, 338, 383, 384,403 Regenschap, 322 regime, 208 Reinholf Zippelius, 229 reinkarnasi, 157,158,159, 280 rekonstruksi, 50, 58, 59

Staatsburger, 354 staatsfundamentalnorm, 43, 75 Staatsfundamentalnorm, 38, 76 Staatsgrundgesetz, 43 staatsnoodrechts, 100 Staatsrecht, 26 Staatsverfassung 76 standarisasi, 63, 341 State, 25, 124, 297 State Law, 25 stateless, 365 status quo, 4, 73 Stelingga, 32 stelsel daftar, 236 sterilisasi, 412 strategi, 117 strong bicameralism, 189 Subak, 299 Sudargo Gautama, 35, 36, 419 Sugeng Istanto, 37, 79, 83,131,416 Sugiarto Suroso, 104 Sukiman, 398 Sumatera, 73, 89, 92, 323, 359 Sumber Hukum, ix, 36, 38, 39, 40, 43 SUPERSEMAR, 66,105,106 super supreme, 79 support, 198 Supra Struktur Politik, x, 197, 198, 202, 203, 208, 209, 220, 221, 222, 403 Supremasi, 18, 149 Supreme Court, 126,135 Sutandjo Wignjosoebroto, 354 Swiss, 23,122,140,141,145, 285 Syuu (Karesidenan), 323 Szabo, 389 Usep Ranawijaya, 17, 26, 27,36,37, 420 utopis, 47,143, 225

teori residu, 125 Ter Haar, 3 tertutup, -4, 8 the Five Principles, 38 the rights of the citizen, 397 Tim Asistensi, 53 Tiongkok, 399 TNI, 104,105,177, 254, 280, 281 toekennen, 312 toelaten, 312 Tokoh Politik, 207 top down, 340, 350 trah, 206 traktat, 87, 88, 383 transparansi, 50, 273 TRI, 89 trias politika, 23,119,127, 203 triumvirat, 183 tugas pembantuan, 114, 283, 285, 301, 302, 306, 307, 308, 329, 331, 333-335, 341 Two Party System, 266

ukuran, 13,37,38,41,42, 44, 62, 63,100, 240, 341,360, 363 Ukuran formil, 38 Ukuran materiil, 38 underbow, 280 Understandings, 80, 81 uniformitas, 298 unitaris, 91,123 untergeordnet, 138

Valina Singka Subekti, 176 Van der Pot, 32 Van Der Pot, 27 Van Vollenhoven, 3, 27, 32 Vegting, 32 Verfassungrecht, 26 versi, 66, 67,103-105 vertikal, 22-25, 114, 120, 125, 127, 129, 293, 297, 303, 304, 351 Vervaltungrecht, 26 veto, 188,189 volkgeist, 3 Volksraad, 70 Von Savignij, 2, 4, 5, 8 voters education, 253 voting, 188 Wade, 27, 46 Walikota, 285, 303 way of life, 38 Wedana, 70 welbron, 37 welfare state, 20, 21, 34, 60, 150, 290, 296, 298 Wet, 70

Wirjono Prodjodikoro, 45, 46, 420 Wolhoff, 87,241 working constitution, 59 YB. Mangunwijaya, 83, 420 Yogyakarta, 2, 3, 14, 15, 37, 43, 46, 70, 76, 9193,112,124,131, 201, 205, 217, 295, 297, 310, 324, 328, 352, 394, 397, 416-419, 423426 Yosep Riwu Kaho, 315, 316, 420 yudikatif, 18, 19, 23, 34, 57, 203, 297 Yunani, 144-148,199, 216, 354 Yurisprudensi, 39 zelf bestuurende lanschappen, 341

SEKILAS TENTANG PENULIS

Benediktus Hestu Cipto Handoyo, lahir di Blora pada tanggal 3 Juli 1962. Suami dari Maria Bemadeth Maitimo, SH dan bapak dari dua anak Giovanni "Ivan" Battista Maheswara dan Alexandra Kevin Maheswara ini, menyelesaikan pendidikan di SD. Katolik Kridadharma Blora tahun 1974. Kemudian melanjutkan di SMP Negeri I Blora lulus tahun 1978, serta SMA Jurusan Ilmu Pasti Alam (IPA) di SMA Katolik Wijayakusuma Blora, lulus tahun 1981. Jenjang Pendidikan Tinggi ditempuh dengan melanjutkan studi di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Lulus Sarjana Hukum pada tahun 1988. Kemudian melanjutkan studi pada Program Pascasarjana (S2) Universitas Padjajaran Bandung lulus dan memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada tahun 1995. Pada tanggal 20 Desember 1997 sampai dengan 4 Maret 1998 (dua bulan menjelang Gerakan Reformasi 1998) mendapatkan kesempatan mengikuti kursus di LEMHANNAS (Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional) Jakarta. Awal karier sebagai dosen di Fakulas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta dimulai pada tahun 1988 dengan Jabatan akademik Asisten Ahli Madya, dan memegang mimbar mata kuliah Hukum Tata Negara, Teori dan Teknik Perundang-undangan, Hukum Pemerintahan Lokal, Kewarganegaraan (d/h Kewiraan), seria pernah mengajar mata kuliah Statistik, Pancasila dan Ilmu Negara. Pada tahun 2007 mengajar mata Kuliah Hukum Desentralisasi dan Legal Drafting pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Pada tahun 1996 sampai dengan tahun 2000 menjabat sebagai Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Kemudian dilanjutkan menjabat sebagai Sekretaris Lembaga Pengabdian pada Masyarakat (LPM) Universitas Atma Jaya Yogyakarta, selama 2 (dua) periode, yakni dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2006. Sekitar tahun 1999 menjadi anggota Tim Independen untuk Rekonsiliasi Ambon (TIRA) yang diprakarsai oleh Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta. Sejak tahun 2006 sampai dengan bulan Pebruari 2009 menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Kemudian mulai tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 menjabat sebagai Wakil Rektor III Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Mulai tahun 2000 sampai dengan sekarang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Parliament Watch Yogyakarta, suatu Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) yang bergerak di bidang Pemantauan dan Pemberdayaan Parlemen Daerah. Sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 diminta

salah seorang anggota DPD-RI utusan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, H. Subardi untuk menjadi Staf Ahli. Aktifitas keseharian sejak masih menjadi mahasiswa dilewati dengan mengikuti organisasi kemahasiswaan seperti Pencinta Alam Mahasiswa (PALAWA) Universitas Atma Jaya Yogyakarta, UKM Sepak Bola, dan pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta periode 1983 sampai dengan 1986. Hobby Olah Raga (Sepak Bola) digeluti sejak masih duduk di bangku SMP sampai dengan sekarang. Bahkan sekitar tahun 1982-1983 pernah direkrut dan magang menjadi Kiper (penjaga gawang) salah satu klub Sepak Bola Galatama, yakni PS. Sari Bumi Raya

436

i I I I K I I M TATA N W . A K A [NDONBSLA

serta pernah memperkuat Klub Perserikatan Sepak Bola PSIM Selection. Dari hobby inilah kemudian sekitar tahun 2000 sampai dengan tahun 2002 direkrut oleh Klub PSS Sleman untuk menjadi pelatih Kiper pada saat putaran Kompetisi Liga Bank Mandiri IX Adapun Karya ilmiah di bidang ilmu Hukum yang telah dipublikasikan, antara lain: a. Aspek-aspek Hukum Administrasi Negara dalam Penataan Ruang; b. Dasar-dasar Hukum Tata Negara Indonesia; c. Otonomi Daerah, Titik Berat Otonomi dan Urusan Rumah Tangga Daerah; d. Kilas Balik Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (Sebuah Tinjauan Historis Yuridis); e. Hukum Tata Negara, Kewargenegaraan dan Hak-Hak Asasi Manusia; f. Prinsip-prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik. g. Hukum Tata Negara Indonesia Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi. h. Sejumlah paper dan makalah dalam bidang Hukum Tata Negara, baik yang disampaikan dalam berbagai seminar (lokal, regional, dan nasional), Focus Group Descussion (FGD), Expert Meeting, Lokakarya; maupun pelatihan; dan i. Sejumlah artikel yang dimuat di media massa lokal maupun Nasional. Di samping sebagai Dosen, aktifitas lain yang pernah dan masih dilakukan sampai saat ini antara lain :

1. Konsultan Ahli dan Staf Pengajar pada Lembaga Pendidikan dan Latihan Media Solusindo Yogyakarta. 2. Konsultan Ahli dan Staf Pengajar pada Lembaga Pendidikan dan Latihan Padma Yogyakarta. 3. Ketua Tim Penyusunan Statuta Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 4. Koordinator Tim Expert LBH Yogyakarta dalam Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Lembaga Ombudsman Swasta. Sekilas Tentang Penullt A V7 5. Koordinator Tim Expert LBH Yogyakarta dalam Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Tata Ruang. 6. Konsultan Ahli Dinas Sosial Propinsi DIY dalam Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Gelandangan Pengemis dan Perlindungan Anak. 7. Konsultan Ahli Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia dalam Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Cagar Budaya. 8. Konsultan Ahli Stuppa Indonesia dalam Penyusunan Naskah Akademik dan Draft Rancangan Undang-Undang tentang Kepariwisataan. 9. Anggota Tim Perumus dari Tim Kerja Panitia Ad Hoc I DPD-RI dalam penyusunan Naskah Akademik dan Draft Rancangan Perubahan Ketiga atas Undang-Undang UU No. 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. 10. Saksi Ahli DPD-RI dalam permohonan kepada Mahkamah Konsitusi untuk melakukan judicial review Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD 1945. 11. Anggota Tim Perumus Panitia Ad Hoc I DPD-RI dalam penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan UndangUndang Tentang Perlindungan Masyarakat Adat dan Hakhak Ulayatnya Tahun 2008. 12. Tim Perumus Rancangan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tentang Pedoman Pelaksanaan dan Pedoman Teknis Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 11 tahun 1995 tentang Pengelolaan kawasan Cagar Budaya dan Benda Cagar Budaya. 13. Tim Ahli Stuppa Indonesia dalam Perumusan Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2008. Kontak E-mail : benddict(>yahoo.com atau hestu@mail.uajy.ac.id

Sebagai sebuah langkah pemantapan atau penguatan sistem demokrasi, maka bagi negara yang belum akrab dengan sistem demokrasi seperti Indonesia, konsolidasi demokrasi tentu akan melewati beberapa langkah eksperimentasi atau uji coba seperti uji coba infra struktur demokrasi, perumusan perangkat hukum untuk mengawal jalannya sistem demokrasi, serta uji coba penerapan sistem demokrasi. Eksperimentasi itu diarahkan untuk membangun budaya demokrasi dalam konsolidasi demokrasi. Dengan demikian, sebenamya prasyarat penguatan atau peneguhan demokrasi melalui konsolidasi memang tidak hanya berpijak pada sistem demokrasi prosedural belaka, melainkan yang lebih utama adalah menyangkut substansi demokrasi yakni kultur demokrasi itu sendiri. Di dalam buku ini penulis memaparkan bahwa sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia, proses menuju konsolidasi sistem demokrasi selalu diupayakan oleh setiap penyelenggara negara. Namun demikian, sangat disayangkan proses tersebut belum mampu dilaksanakan dengan baik. Hal tersebut berarti bahwa konsolidasi sistem demokrasi masih terus berjalan. Buku ini dapat dipergunakan sebagai bahan bagi para mahasiswa atau siapapun yang bermaksud mempelajari, memahami dan mengimplementasikan prinsip-prinsip ketatanegaraan Indonesia dalam rangka menuju konsolidasi sistem demokrasi. Isi buku ini, antara lain: 1. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia 2. Sistem Pemerintahan Negara, Bentuk Negara dan Bangunan Negara 3. Lembaga Perwakilan Rakyat Indonesia 4. Supra Stmktur Politik dan Infra Struktur Politik 5. Pemilihan Umum dan Partai Politik 6.Pemerintahan Lokal 7. Kewarganegaraan 8. Hak-Hak Asasi Manusia

You might also like