You are on page 1of 10

Penggunaan Antibiotik Empiris pada Meningitis Bakterialis Akut

Meningitis adalah suatu reaksi peradangan yang mengenai satu atau semua lapisan selaput yang membungkus jaringan otak dan sumsum tulang belakang, yang menimbulkan eksudasi berupa pus atau serosa, yang disebabkan oleh bakteri spesifik/non spesifik atau virus. Penyakit ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme, luka fisik, kanker, atau obat-obatan tertentu. Meningitis adalah penyakit serius karena letaknya dekat otak dan tulang belakang, sehingga dapat menyebabkan kerusakan kendali gerak, pikiran, bahkan kematian.1 Kebanyakan kasus meningitis disebabkan oleh mikroorganisme, seperti virus, bakteri, jamur, yang menyebar dari dalam darah ke cairan otak. Daerah penyakit meningitis di Afrika terbentang dari Senegal di Barat sampai ke Etiopia di Timur. Daerah ini dihuni oleh 300 juta orang. Pada 1996 terjadi wabah penyakit meningitis di daerah tersebut, sebanyak 250.000 orang menderita penyakit ini dan terdapat 25.000 korban jiwa.1 Meningitis bakterial biasanya akut, fulminan, dan ditandai dengan demam, nyeri kepala, mual, muntah, dan kaku kuduk. Koma terjadi pada 5-10% kasus dan memiliki prognosis yang buruk. Kejang terjadi pada sekitar 20% kasus, dan kelumpuhan saraf kranial pada 5% kasus. Meningitis bakterial yang tidak ditangani, hampir selalu berakibat fatal. Pemeriksaan cairan serebrospinalis (CSS) secara klasik memperlihatkan leukositosis polimorfonuklear, peninggian protein, dan penurunan glukosa; pewarnaan gram dari CSS dapat memperlihatkan organisme penyebab pada 75% kasus. Kultur CSS dapat menegakkan diagnosis pada 90% kasus, kemudian diperlukan juga melakukan tes sensitifitas antibiotika terhadap mikroba tersebut. sebelum melakukan lumbal pungsi, terutama bila didapatkan

penurunan kesadaran, edema papil atau defisit neurologis fokal, harus dilakukan CT-scan kepala terlebih dahulu untuk menyingkirkan adanya massa atau

hidrosefalus. Hipertensi intrakranial difusa, tanpa ditemukan adanya massa pada CT-scan kepala bukanlah operator harus memiliki kontraindikasi untuk melakukan lumbal pungsi, tapi pengetahuan yang baik tentang herniasi serta

penanggulangannya. Pemeriksaan fisik harus mencakup

pemeriksaan yang teliti di

daerah yang berdekatan seperti otitis dan sinusitis, dan juga mencari etiologi bakteremia contohnya endokarditis.2 Penelitian pada hewan memperlihatkan bahwa etiologi primer meningitis bakterial adalah invasi leptomeningeal bakteri melalui darah, yang biasanya

berkoloni di mukosa nasofaring. Patogen meningeal tersering adalah bakteria yang berkapsul. Setelah membentuk koloni di nasofaring, bakteri berkapsul melintasi epitel dan membuat jalan ke aliran darah. Kapsul tersebut menghambat fagositosis oleh neutrofil, jadi patogen meningeal tersebut memiliki kemampuan untuk mempertahankan dirinya. Mekanisme selanjutnya dimana bakteri dalam darah mencapai leptomeningen dan ruang subaraknoid belum begitu diketahui.2 Sumber lain meningitis bakterial adalah perluasan langsung dari infeksi otorinologis, walaupun angka kejadiannya dapat dikurangi dengan terapi dini antibiotik yang efektif terhadap otitis atau sinusitis. Meningitis yang disebabkan inokulasi langsung pada cedera penetrasi jarang ditemukan.2 Tindakan terhadap meningitis akut, tergantung pada sumber primer, usia pasien, organisma penyebab, dan sensitifitas antibiotik. Tindakan harus diarahkan pada CSS yang terinfeksi maupun sumber primernya. Meningitis yang terjadi sekunder cenderung disebabkan organisme yang biasa berkembang di nasofaring. Usia dapat berpengaruh pada meningitis yang disebabkan oleh organisme tersebut. Meningitis setelah cedera otak traumatik serta fraktur tengkorak, dengan atau tanpa otorinorea CSS, paling sering diakibatkan oleh S. pneumoniae. Meningitis yang terjadi setelah luka penetrasi biasanya disebabkan oleh stafilokokus, streptokokus, atau organisme gram negatif.2

Patofisiologi Otak secara alami terlindung dari sistem kekebalan tubuh karena adanya penghalang yang dibentuk oleh meningen antara aliran darah dan otak. Biasanya, perlindungan ini merupakan keuntungan karena mencegah tubuh menyerang diri sendiri. Namun, pada meningitis, penghalang ini bisa menjadi masalah; sekali bakteri atau organisme lainnya telah menemukan cara untuk ke otak, maka mereka menjadi terisolasi dari sistem kekebalan tubuh sehingga dapat menyebar dengan cukup mudah.2

Ketika tubuh mencoba untuk melawan infeksi, masalah dapat menjadi lebih buruk; pembuluh darah menjadi bocor dan memungkinkan cairan, sel darah putih, dan partikel lain untuk masuk ke meningen dan otak. Proses ini menyebabkan pembengkakan otak dan akhirnya dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak, sehingga memperburuk gejala infeksi.2 Proses inflamasi dapat terbatas hanya pada ruang subaraknoid, tergantung pada beratnya meningitis bakteri. Pada bentuk yang tidak teralu parah, penghalang tidak ditembus, dan parenkim bagian dasar tetap utuh. Namun, pada meningitis bakteri yang lebih parah, penghalangnya rusak, dan parenkim bagian dasarnya diserang oleh proses inflamasi. Dengan demikian, meningitis bakteri dapat menyebabkan kerusakan kortikal luas, terutama bila tidak diobati.2 Bakteri yang bereplikasi, peningkatan jumlah sel-sel radang, gangguan sitokin-terinduksi dalam transportasi membran, dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan membran, dapat mememperlama proses infeksi pada meningitis bakteri dan perubahan karakteristik dalam jumlah sel di CSS, pH, laktat, protein, dan glukosa dalam pasien dengan penyakit ini.2 Eksudat dapat menyebar di seluruh CSS, khususnya di bagian basal otak, dan dapat merusak saraf kranial (misalnya, saraf kranial VIII, terjadinya gangguan pendengaran), melenyapkan jalur CSS (menyebabkan hidrosefalus obstruktif), dan dapat juga memicu terjadinya vaskulitis dan tromboflebitis (menyebabkan iskemia otak lokal).3

Komplikasi Tekanan intrakranial dan cerebral blood flow Salah satu komplikasi dari meningitis adalah meningkatnya tekanan intrakranial. Edema interstisial (sekunder terhadap obstruksi aliran CSS, seperti dalam hidrosefalus), edema sitotoksik (pembengkakan elemen seluler dari otak melalui pelepasan faktor toksin dari bakteri dan neutrofil), dan edema vasogenik, semua hal ini dapat berperan dalam meningkatnya TIK. Cedera endotel yang sedang berlangsung dapat menyebabkan vasospasme dan trombosis, lebih lanjut mengorbankan cerebral blood flow (CBF), dan dapat menyebabkan stenosis pembuluh besar dan kecil. Hipotensi sistemik (syok septik) juga dapat mengganggu

CBF, dan pasien dapat meninggal dengan cepat karena komplikasi sistemik atau karena cedera iskemik sistem saraf pusat yang luas.4 Edema Cerebral Viskositas CSS dapat meningkat akibat masuknya komponen plasma ke dalam ruang subaraknoid, aliran balik vena utama yang berkurang karena edema interstisial, dan akibat produk degradasi bakteri, neutrofil, dan aktivasi selular lainnya yang menyebabkan edema sitotoksik. Edema serebral (vasogenik, sitotoksik, dan interstisial) memberikan kontribusi yang signifikan dalam terjadinya hipertensi intrakranial dan penurunan aliran darah ke otak. Metabolisme anaerobik yang terjadi kemudian, berkontribusi terhadap meningkatnya konsentrasi laktat dan terjadinya hypoglycorrhachia. Sebagai tambahan, hypoglycorrhachia terjadi akibat menurunnya transport glukosa ke CSS. Akhirnya, jika proses ini tidak terkontrol atau tidak dimodulasi oleh pengobatan yang efektif, maka dapat terjadi disfungsi saraf yang sementara atau cedera saraf yang permanen.4

Prinsip pemberian antimikroba untuk meningitis bakterial Butuhnya aktivitas bakterisid pada cairan serebrospinal Meningitis bakterialis merupakan infeksi yang umumnya terjadi pada penderita dengan daya tahan tahan tubuh yang menurun. Antibodi spesifik dan tambahan biasanya tidak terdapat dalam CSS pada pasien meningitis, sehingga tidak terjadi fagositosis kuman yang efisien, dan mengakibatkan multiplikasi bakteri yang cepat (hingga konsentrasi 10 juta atau lebih unit koloni per millimeter pada CSS). Pengobatan yang optimal membutuhkan obat antibiotik yang mempunyai efek pada CSS. Pasien dengan meningitis pneumokokus dan meningitis basil gram negatif yang diobati dengan antibiotik bakteriostatik memiliki hasil klinis yang kurang baik. Sedangkan dalam percobaan pada hewan dengan meningitis, didapatkan hasil bahwa antibiotik bakterisid dapat berperan penting untuk sterilisasi CSS sehingga dapat menyelamatkan penderita meningitis.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas bakterisid pada cairan serebrospinal Tiga efek penting yang mempengaruhi aktivitas antibiotik pada CSS antara lain tingkat penetrasi obat ke cairan, konsentrasi di dalamya, dan aktivitas intrinsik

pada cairan yang terinfeksi. Masuknya antibiotik ke CSS terutama dipengaruhi oleh karakteristik dari antibiotik dan integritas sawar darah-otak. Ketika sawar darah-otak intak, penetrasi/masuknya obat terbatas karena transport vesikular antar sel minimal, dan ikatan antar sel endotelial pada pembuluh darah kecil di otak sangat kuat. Namun, pada meningitis terjadi peningkatan transport vesikular antar sel pada arteri meningeal dan terjadi pemisahan yang komplit dari ikatan yang kuat antara sel-sel endotelial pada vena-vena meningeal. Perubahan ini mengakibatkan peningkatan permeabilitas sawar darah-otak, sehingga untuk beberapa antibiotik (-laktam), tingkat penetrasi ke CSS meningkat hingga 5-10% dari konsentrasi serum. Untuk antibiotik yang yang lebih mudah terserap di lemak (seperti kloramfenikol, refampin, dan trimetroprim) penetrasi ke CSS cukup tinggi (hingga 30-40% dari konsentrasi serum) walaupun meningen tidak mengalami inflamasi.6 Konsentrasi dari antibiotik pada CSS untuk mencapai aktivitas bakterisid maksimal tidak diketahui. Pada meningitis eksperimental, aktivitas bakterisid maksimal yang dibutuhkan sekitar 10 hingga 30 kali konsentrasi bakterisid minimal pada organisme in vitro. Salah satu penjelasan untuk perbedaan ini adalah CSS yang terinfeksi menurunkan aktivitas antibiotik. Sebagai contoh, pada CSS yang terinfeksi, pH-nya yang rendah (6,7-7,1) menurunkan aktivitas aminoglikosida, dan peningkatkan konsentrasi protein mengurangi konsentrasi obat tertentu (terutama golongan sefalosporin). Sebagai tambahan, pada meningitis experimental

pertumbuhan dari S. pneumoniae pada CSS secara substansial lebih lambat pada suhu yang lebih tinggi.6 Potensi bahaya aktivitas bakterisid pada CSS Karena terapi bakterisid sering menyebabkan bakteriolisis dari patogen, pengobatan dapat meningkatkan pelepasan biologis dari produk dinding sel aktif pada CSS (yaitu, lipopolisakarida dari bakteri gram negatif, asam teichoic, dan peptidoglikan dari streptokokus). Pelepasan fragmen dinding sel ini dapat meningkatkan produksi sitokin (interleukin-1, interleukin-6, dan faktor nekrosis tumor ) pada CSS, memperburuk peradangan dan selanjutnya merusak sawar darah-otak. Pada studi terakhir, pada meningitis Eschericia coli eksperimental, bakteriolisis CSS mulai terjadi setelah terapi antibiotik diberikan, tapi jumlah

endotoksin bakteri yang dikeluarkan jauh lebih kecil daripada yang dikeluarkan oleh bakteri yang tidak terkena antibiotik. Oleh karena itu, mencapai efek bakterisidal yang cepat dalam CSS tetap tujuan utama dalam terapi.5

Pengelolaan terapi empiris pada meningitis Waktu pemberian dosis awal antibiotik Mengingat potensi morbiditas neurologis dan mortalitasnya, maka penting untuk mempelajari terapi antibiotik secara tepat, selain itu tuduhan kegagalan dalam mengatasi meningitis bakterial dengan segera merupakan alasan umum untuk tuduhan malpraktik. Asumsi intuitif bahwa keterlambatan terapi bahkan dalam beberapa jam, mempengaruhi prognosis menjadi buruk, tapi data klinis yang ada tidak dapat menyimpulkannya. Beberapa kesimpulan ditarik secara tidak langsung dari penelitian observasional membandingkan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan meningitis bakterial berdasarkan durasi gejala sebelum pasien tiba di rumah sakit. Lebih dari 20 penelitian tersebut telah diterbitkan (termasuk 5 studi kohort prospektif observasional) tidak ada hubungan antara durasi dari timbulnya gejala dan hasil klinis akhir. Sebaliknya, pada uji coba secara acak membandingkan ceforuxime dengan ceftriaxone dalam pengobatan pada anak dengan meningitis bakterial, gangguan pendengaran sedang hingga berat lebih sering terjadi (17%) pada kelompok yang diterapi dengan cefuroxime, dimana sterilisasi CSS tertunda, dibandingkan dengan kelompok yang diterapi ceftriaxone (4%). Ada dua kesulitan dalam interpretasi studi ini. Pertama, durasi gejala yang diingat dapat tidak secara tepat mencerminkan durasi sebenarnya dari meningitis. Kedua, hasil akhir klinis dipengaruhi oleh banyak variabel (seperti usia, virulensi patogen, tingkat keparahan penyakit), dan analisis multivariabel yang tepat untuk menilai efek independen dari terapi yang ditunda dan sterilisasi dari CSS yang kurang. Hingga ada data yang menyangkal, terapi segera harus menjadi standar perawatan.7 Pemilihan antibiotik empirik Ketika lumbal pungsi tertunda atau pewarnaan gram dari CSS tidak dapat menegakkan diagnostik, terapi empiris adalah penting dan harus diarahkan ke patogen yang paling memungkinkan berdasarkan usia dan status kesehatan pasien.

Pada kebanyakan pasien, direkomendasikan terapi dengan sefalosporin spektrum luas (cefotaxime atau ceftriaxone), ditambah dengan ampisilin pada bayi yang baru lahir (< 3 bulan) dan pada dewasa yang lebih tua (> 50 tahun), dimana S. agalactiae dan Listeria monocytogens merupakan penyebab tersering pada keduanya. Rekomendasi ini memerlukan modifikasi dalam keadaan khusus. Sebagai contoh, pada pasien dengan imunokompromais (seperti mereka dengan tumor limphoretikular dan yang menerima kemoterapi atau terapi glukokotrokoid dosis tinggi), pengobatan harus ditambahkan ampisilin (untuk kemungkinan listeria) dan sefalosporin spektrum luas (seperti ceftazidime) yang dapat bekerja pada organisme gram negatif. Pada pasien dengan trauma kepala yang baru atau pasien bedah saraf, antibiotik spektrum luas yang efektif melawan organisme gram positif dan negatif harus diberikan, seperti kombinasi dari vancomisin dan ceftazidime. Pada pasien dengan bakteri yang teridentifikasi dengan pewarnaan gram dari CSS, terapi antibiotik harus diarahkan pada patogen yang ditemukan. Pada seluruh pasien, terapi harus dirubah sesuai hasil dari kultur CSS dan kerentanan antibiotik yang sudah tersedia.6,7 Rekomendasi antibiotik empiris menurut faktor predisposisi untuk pasien diduga meningitis bakterial Gambaran predisposisi Usia 0 4 minggu Usia 1 3 bulan Usia 5 bulan- 50 tahun Ampicillin aminoglycoside Ampicillin + cefotaxime + vancomycin* Ceftriaxone atau vancomycin* Usia lebih dari 50 tahun Ampicilin + ceftriaxone + cefotaxime + vancomycin* Impaired cellular immunity Ampicillin + cefrazidime + vancomycin * Neurosurgery, head trauma or CDF Vancommycin + ceftazidime shunt * Vankomisin ditambahkan secara empiris terhadap regimen awal jika kehadiran pneumoniae resisten penisilin S diduga atau jika tingginya insiden resistensi dilaporkan dalam masyarakat. cefotaxime plus Antibiotika + cefotaxime atau

Rekomendasi antibiotik untuk pasien meningitis bakterial dan hasil pewarnaan gram cairan serebrospinal Morfologi pewarnaan gram Kokus gram positif Kokus gram negatif Basil gram positif Basil gram negatif Antibiotik Vancomycin + ceftriaxone atau cefotaxime Penisilin G* Ampisilin + aminoglikosida Sefalosporin spektrum luas** + aminoglikosida

* Gunakan ceftriaxone jika resisten penisilin N meningitidis terjadi di masyarakat. **Ceftriaxone lebih disukai. Ceftazidime digunakan ketika infeksi Pseudomonas kemungkinan (misalnya, prosedur bedah saraf ).

Bagan penatalaksanaan meningitis

Durasi pemberian antibiotik Durasi optimal pemberian antibiotik pada meningitis bakterial masih kurang jelas, walaupun pada patogen yang paling umum. Secara tradisional, pengobatan selama 7-10 hari direkomendasikan untuk meningitis meningokokus, dan pemberian yang lebih lama (10-21 hari) direkomendasikan untuk patogen lainnya. Pada percobaan acak, terapi dengan ceftriaxone pada anak dengan meningitis nonmeningokokus (terutama penyakit H. influenzae) terapi selama 7 hari sama efektifnya dengan terapi selama 10 hari. Uji klinis pada pasien dengan meningitis meningokokus menunjukkan terapi selama 7 hari (penisilin, cefotaxime, ceftriaxone, dan kloramfenikol) sangat efektif, dan sebagian besar pasien sembuh dalam 4-5 hari. Terapi dosis tunggal dari kloramfenikol sama efektif dengan pemberian penisilin selama 5 hari dalam mengobati meningitis meningokokus di Nigeria. Walaupun terapi dosis tunggal cukup berguna di negara-negara berkembang dengan sumber daya yang terbatas, hal tersebut tidak

direkomendasikan sebagai pilihan standar. Tidak ada studi perbandingan mengenai durasi perawatan pada pasien dengan meningitis yang disebabkan S. pneumoniae, L. monocytogenes, S. agalactiae, atau basil enterik gram negatif. Direkomendasikan durasi pengobatan masing-masing pasien didasarkan oleh respon klinis dan hasil mikrobiologi.8

Panduan durasi terapi antibiotik Patogen H. influenzae N. meningitides S. Pneumoniae L. momocytogenes Group B streptococci Basil gram negatif (selain Durasi terapi yang disarankan (hari) 7 7 10 - 14 14 - 21 14 - 21 21

H.Influenzae)

DAFTAR PUSTAKA 1. Catzel, Pincus & Ian robets. (1990). Kapita Seleta Pediatri Edisi II. alih bahasa oleh Dr. yohanes gunawan. Jakarta: EGC. 2. Kumar, A. 2005. Bacterial meningitis. Department of Pediatrics and Human Development Michigan State University. College of Medicine and En Sparrow Hospital. www.emedicine.com/PED/topic198.htm. 3. Scheld WM, Koedel U, Nathan B, Pfister HW. Pathophysiology of bacterial meningitis: mechanism(s) of neuronal injury. J Infect Dis. Dec 1 2002;186 Suppl 2:S225-33. 4. Moses S. Meningitis: acute bacterial meningitis. Accessed February 20, 2013. Available at http://www.fpnotebook.com/neuro/ID/Mngts.htm. 5. Worsoe L, Caye-Thomasen P, Brandt CT, Thomsen J, Ostergaard C. Factors associated with the occurrence of hearing loss after pneumococcal meningitis. Clin Infect Dis. Oct 15 2010;51(8):917-24. 6. Razonables R.R. 2005. Meningitis. Division of Infectious Diseases Department of Medicine. Mayo Clinic College of Medicine. www.emedicine.com/med/topic2613.htm 7. Quagliarello, Vincent J., Scheld W. 1997. Treatment of Bacterial Meningitis. The New England Journal of Medicine. 336 : 708-16 URL : http://content.nejm.org/cgi/reprint/336/10/708.pdf 8. Gilbert DN, Moellering RC Jr, Sande MA. Antimicrobial Therapy. In: Sanford Guide to Antimicrobial Therapy. 33rd ed. March 15, 2003.

You might also like