You are on page 1of 18

BUDAYA POLITIK PENJAJAHAN 3.

Bidang sosial dan budaya

Pasca proklamasi kemerdekaan banyak terjadi perubahan sosial yang ada di dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada khususnya. Dikarenakan sebelum kemerdekaan di proklamirkan, didalam kehidupan bangsa Indonesia ini telah terjadi diskriminasi rasial dengan membagi kelas-kelas masyarakat. Yang mana masyarakat di Indonesia sebelum kemerdekaan di dominasi oleh warga eropa dan jepang, sehingga warga pribumi hanyalah masyarakat rendahan yang kebanyakan hanya menjadi budak dari bangsawan atau penguasa. Tetapi setelah 17 agustus 1945 segala bentuk diskriminasi rasial dihapuskan dari bumi bangsa Indonesia dan semua warga negara Indonesia dinyatakan memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam segala bidang. Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang telah dicanangkan sejak awal adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan adanya landasan itulah yang menjadikan misi utama yaitu menitik beratkan pembangunan awal dibidang pendidikan yang mana telah di pelopori oleh Ki Hajar Dewantara yang mana di cetuskan menjadi Bapak pendidikan yang juga menjabat sebagai menteri pendidikan pada masa pasca kemerdekaan 1945.

5. Selepas Zaman Jepang


Meski pendudukan Jepang, khasnya di Indonesia dan Semenanjung Melayu, telah meninggalkan jejak yang amat dalam sebagai potret buram pemerintahan fasis, kalangan sejarawan mengakui, bahwa di balik itu, ada angin kebangsaan nasionalisme yang dihembuskan pihak Jepang, terlepas dari persoalan kepentingan yang melatarbelakanginya. Itulah pengalaman masa lalu bangsa-bangsa yang pernah merasakan keganasan pendudukan Jepang. Sebuah catatan sejarah yang tidak patut terulang kembali dalam bentuk apa pun. Di Indonesia, pelarangan penggunaan bahasa Belanda telah menempatkan kedudukan bahasa Indonesia menjadi sangat penting, baik untuk urusan resmi pemerintahan maupun urusan hubungan kemasyarakatan.5 Di Malaysia, bahasa Inggris dinyatakan diganti oleh bahasa Jepang atau bahasa Melayu. Pengaruhnya tentu saja besar dalam memapankan dan mengangkat kedudukan bahasa Melayu. Dalam hal ini, terbuka peluang bagi tokohtokoh pergerakan Melayu untuk menyebarkan semangat

kebangsaan kemelayuan, sebagaimana yang kemudian dilakukan Ibrahim Haji Yaakob, Abdul Rahim Kajai, atau Ishak Haji Muhammad. Tambahan pula, pendudukan Jepang atas Malaysia di dalamnya tercakup wilayah pulau Sumatera. Dengan demikian, pihak Jepang seolah-olah telah mengembalikan lagi hubungan sosio-kultural Sumatera-Melayu yang pernah terputus akibat perjanjian London itu. Pengangkatan bahasa Melayu menjadi bahasa resmi kedua setelah bahasa Jepang dalam kebijaksanaan pemerintah pendudukan Jepang di Semenanjung Melayu, tentu saja mendapat sambutan yang baik dari pihak masyarakat Melayu sendiri. Bagi Ibrahim Haji Yaakob dan tokoh-tokoh pergerakan Melayu lulusan Maktab Perguruan Sultan Idris, terangkatnya bahasa Melayu menggantikan bahasa Inggris, boleh jadi dianggap sebagai kemenangan psikologis dalam tarik-menarik menghadapi pengaruh golongan terpelajar lulusan Maktab Perguruan Kuala Kangsar yang menempatkan bahasa Inggris sebagai bahasa utama. Dengan begitu, di samping keberhasilan
5 Studi

mendalam dan luas mengenai keberhasilan bahasa Melayu menjadi bahasa yang punya kedudukan penting di Nusantara dan kegagalan bahasa Belanda menyebar dan berakar di bekas wilayah jajahannya, telah dilakukan Kees Groeneboer, Jalan ke Barat: Bahasa Belanda di Hindia Belanda 16001950, (Jakarta: Erasmus Taalcentrum, 1995). Bagian mengenai pelarangan bahasa Belanda pada zaman Jepang dibicarakan pada halaman 426--434.

propaganda Jepang dalam mengangkat harkat bangsa Asia, kedatangan Jepang ke Malaysia, awalnya sedikit banyakmendapat sambutan positif dari kalangan tokoh pergerakan Malaysia sendiri. Selain itu, hubungan golongan terpelajar dan para pemuda pergerakan IndonesiaMelayu yang berasal dari Maktab Perguruan Sultan Idris yang sejak awal berdirinya maktab itu memang sudah terjalin dengan baik, makin memberi penyadaran akan adanya kesamaan perasaan senasibsepenanggungan dan tujuan cita-cita yang sama: mencapai kemerdekaan dan terlepas dari belenggu penjajahan. Kedekatan hubungan itu ditandai pula dengan tersebar luasnya bahan-bahan bacaan dari Indonesia di tanah Melayu. Terdapat majalah-majalah yang memuatkan tulisan bersama dari pengarang-pengarang Indonesia dan Tanah Melayu; Semangat Asia yang diterbitkan di Singapura sering memuatkan tulisan-tulisan Adinegoro, Mohammad Hatta, Abdul Rahim Kajai, dan Ishak Haji Muhammad yang membawakan penyatuan suara dalam perjuangan mengecam atau menentang penjajah serta membangkitkan kesedaran rakyat di tanah Melayu dan Indonesia.6 Di Indonesia, tanggapan yang baik atas kedatangan Jepang, juga datang dari tokoh-tokoh pergerakan, termasuk golongan terpelajar dan seniman. Propaganda Jepang mengenai kebesaran kebudayaan bangsa Timur yang sangat bertentangan dengan kebijaksanaan kolonial pemerintah Belanda, telah berhasil menggugah emosi dan sentimen tokoh-tokoh pejuang Indonesia. Hal tersebut memang merupakan salah satu cara yang

dilakukan pihak Jepang untuk menarik simpati, dan lebih jauh lagi, dukungan bangsa Asia, khususnya bangsa yang wilayahnya berada dalam pendudukan Jepang, dalam usaha tentara Jepang memenangkan Perang Asia Timur Raya. Pidato P.J.M. Goenseikan pada saat peresmian Kantor Besar Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) di Jakarta, 18 September 1943 yang sebagian dikutip di bawah ini, memperlihatkan bagaimana besarnya perhatian pihak Jepang dalam 'memanfaatkan' kebudayaan sebagai alat propaganda.
Keboedajaan itoe djiwa bangsa, pengaroeh keboedajaan pada segenap lapangan dalam masjarakat, besar dan loeas; madjoe atau moendoernja itoe bergantoeng pada keboedajaan. Oleh karena itoe berkembang soeboer atau tidaknja benih keboedajaan itoe adalah soeatoe soal yang maha penting sekali. Teristimewa poela sebagian besar benoea Asia, -Indonesia termasoek joega dalam lingkoengan itoejang selama ini dibawah tindasan bangsa Barat, terpaksa

Era kolonial
Di masa kolonial, Belanda pernah mengangkat beberapa pemimpin komunitas dengan gelar Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Beberapa di antara mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat umum, misalnya So Beng Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun kanal di Batavia[rujukan?]. Di Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.[12] Pembantaian orang Tionghoa tanggal 9 Oktober 1740 di Batavia Sebetulnya terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah berjuang melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama etnis Jawa, kelompok Tionghoa berperang melawan VOC tahun 1740-1743.[rujukan?] Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam "Republik" Lanfong[rujukan?] berperang dengan pasukan Belanda pada abad XIX. Dalam perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825-1830. Pembantaian di Batavia tersebut [13][14][4] melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.

Masa Revolusi dan Pra Kemerdekaan RI


Pada masa revolusi tahun 1945-an, Mayor John Lie yang menyelundupkan barang-barang ke Singapura untuk kepentingan pembiayaan Republik. Rumah Djiaw Kie Siong di

Rengasdengklok, dekat Karawang, diambil-alih oleh Tentara Pembela Tanah Air (PETA), kemudian penghuninya dipindahkan agar Bung Karno dan Bung Hatta dapat beristirahat setelah "disingkirkan" dari Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1945. Di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD'45 terdapat 4 orang Tionghoa yaitu; Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terdapat 1 orang Tionghoa yaitu Drs.Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian yang meninggal dalam status sebagai warganegara asing, sesungguhnya ikut merancang UUD 1945. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman, pun pertama kali dipublikasikan oleh Koran Sin Po. Dalam perjuangan fisik ada beberapa pejuang dari kalangan Tionghoa, namun nama mereka tidak banyak dicatat dan diberitakan. Salah seorang yang dikenali ialah Tony Wen, yaitu orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya.

[sunting] Pasca kemerdekaan

Selama beberapa dasawarsa, aksara Tionghoa atau Hanzi sempat dilarang atau "tidak dianjurkan penggunaannya" di Indonesia. Namun bahkan kandidat presiden dan wakil presiden Megawati dan Wahid Hasyim menggunakannya pada poster kampanye Pemilu Presiden 2004. [sunting] Orde Lama

Pada Orde Lama, terdapat beberapa menteri Republik Indonesia dari keturunan Tionghoa seperti Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, Siauw Giok Tjhan, dll. Bahkan Oei Tjoe Tat pernah diangkat sebagai salah satu Tangan Kanan Ir. Soekarno pada masa Kabinet Dwikora. Pada masa ini hubungan Ir. Soekarno dengan beberapa tokoh dari kalangan Tionghoa dapat dikatakan sangat baik. Walau pada Orde Lama terdapat beberapa kebijakan politik yang diskriminatif seperti Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965 dan lainnya.

[sunting] Orde Baru

Selama Orde Baru dilakukan penerapan ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer disebut SBKRI, yang utamanya ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan". Pada Orde Baru Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia. Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah. Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan[rujukan?]. Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya. Pada masa akhir dari Orde Baru, terdapat peristiwa kerusuhan rasial yang merupakan peristiwa terkelam bagi masyarakat Indonesia terutama warga Tionghoa karena kerusuhan tersebut menyebabkan jatuhnya banyak korban bahkan banyak di antara mereka mengalami pelecehan seksual, penjarahan, kekerasan, dan lainnya.
[sunting] Reformasi

Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut

dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid Hasyim menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa. 3. Bidang sosial dan budaya REFORMASI KEMERDEKAAN Pasca proklamasi kemerdekaan banyak terjadi perubahan sosial yang ada di dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada khususnya. Dikarenakan sebelum kemerdekaan di proklamirkan, didalam kehidupan bangsa Indonesia ini telah terjadi diskriminasi rasial dengan membagi kelas-kelas masyarakat. Yang mana masyarakat di Indonesia sebelum kemerdekaan di dominasi oleh warga eropa dan jepang, sehingga warga pribumi hanyalah masyarakat rendahan yang kebanyakan hanya menjadi budak dari bangsawan atau penguasa. Tetapi setelah 17 agustus 1945 segala bentuk diskriminasi rasial dihapuskan dari bumi bangsa Indonesia dan semua warga negara Indonesia dinyatakan memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam segala bidang. Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang telah dicanangkan sejak awal adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan adanya landasan itulah yang menjadikan misi utama yaitu menitik beratkan pembangunan awal dibidang pendidikan yang mana telah di pelopori oleh Ki Hajar Dewantara yang mana di cetuskan menjadi Bapak pendidikan yang juga menjabat sebagai menteri pendidikan pada masa pasca kemerdekaan 1945.

A. KONFIGURASI POLITIK ERA ORDE LAMA Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 berintikan penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya.[5] Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin.

Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang memberlakukan atau tidak memberlakukan sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme, yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem Trial and Error yang perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas objektif serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila. Berbagai Experiment tersebut ternyata menimbulkan keadaan excessive (berlebihan) baik dalam bentuk Ultra Demokrasi (berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde democratie).[6] Sistem Trial and Error telah membuahkan sistem multi ideologi dan multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan theokratisme Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian Pemilu 1955 melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa: (1). Gerakan separatis pada tahun 1957; (2). Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959. Oleh karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra. Yang Pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis Konstitusional. Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang berlangsung tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau harus kita bayar dengan biaya tinggi.[7]

B. KONFIGURASI POLITIK ERA ORDE BARU

Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada tanggal 1 Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk menandatangani sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno sebagai Presiden. Surat yang kemudian dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu diartikan sebagai media pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh. Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli 1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau Buru.[8] Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu : 1. Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan konsensus utama. 2. Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara pemerintah dan partaipartai politik dan masyarakat. Secara umum, elemen-elemen penting yang terlibat dalam perumusan konsensus nasional antara lain pemerintah, TNI dan beberapa organisasi massa. Konsensus ini kemudian dituangkan kedalam TAP MPRS No. XX/1966, sejak itu konsensus nasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia.[9] Beberapa hasil konsensus tersebut antara lain penyederhanaan partai politik dan keikutsertaan TNI/Polri dalam keanggotaan MPR/DPR. Berdasarkan semangat konsensus nasional itu pemerintah Orde Baru dapat melakukan tekanantekanan politik terhadap partai politik yang memiliki basis massa luas. Terlebih kepada PNI yang nota bene partai besar dan dinilai memiliki kedekatan dengan rezim terdahulu. Pemerintah orde baru juga melakukan tekanan terhadap partai-partai dengan basis massa Islam. Satu contoh ketika para tokoh Masyumi ingin menghidupkan kembali partainya yang telah dibekukan pemerintah Orde Lama, pemerintah memberi izin dengan dua syarat. Pertama, tokoh-tokoh lama tidak boleh duduk dalam kepengurusan partai. Kedua, masyumi harus mengganti nama sehingga terkesan sebagai partai baru.[10] Pada Pemilu 1971 partai-partai politik disaring melalui verifikasi hingga tinggal sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu. Dalam pemilu kali ini didapati Golongan Karya (Golkar) menjadi peserta pemilu. Pada mulanya Golkar merupakan gabungan dari berbagai macam organisasi fungsional dan kekaryaan, yang kemudian pula pada 20 Oktober 1984 mendirikan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Tujuannya antara lain memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok fungsional dan mengkoordinir mereka dalam front nasional. Sekber Golkar ini merupakan organisasi besar yang dikonsolidasikan dalam kelompok-kelompok induk

organisasi seperti SOKSI, KOSGORO, MKGR dan lainnya sebagai Political Battle Unit rezim orde baru. Pasca pemilu 1971 muncul kembali ide-ide penyederhanaan partai yang dilandasi penilaian hal tersebut harus dilakukan karena partai politik selalu menjadi sumber yang mengganggu stabilitas, gagasan ini menimbulkan sikap Pro dan Kontra karena dianggap membatasi atau mengekang aspirasi politik dan membentuk partai-partai hanya kedalam golongan nasional, spiritual dan karya.[11] Pada tahun 1973 konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) sudah dapat diterima oleh partaipartai yang ada dan dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan, sistem fusi ini berlangsung hingga lima kali Pemilu selama pemerintahan orde baru (1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997).

Perbandingan Politik Orde Lama dengan Politik Orde Baru


Posted on April 10, 2008 by ahmadsidqi| 1 Komentar Selama hampir 57 tahun sebagai bangsa merdeka kita dihadapkan pada panggung sejarah perpolitikan dan ketatanegaraan dengan dekorasi, setting, aktor, maupun cerita yang berbeda-beda. Setiap pentas sejarah cenderung bersifat ekslusif dan Steriotipe. Karena kekhasannya tersebut maka kepada setiap pentas sejarah yang terjadi dilekatkan suatu atribut demarkatif, seperti ORDE LAMA, ORDE BARU dan kini ORDE REFORMASI. Karena esklusifitas tersebut maka sering terjadi pandangan dan pemikiran yang bersifat apologetik dan keliru bahwa masing-masing Orde merefleksikan tatanan perpolitikan dan ketatanegaraan yang sama sekali berbeda dari Orde sebelumnya dan tidak ada ikatan historis sama sekali Orde Baru lahir karena adanya Orde Lama, dan Orde Baru sendiri haruslah diyakini sebagai sebuah panorama bagi kemunculan Orde Reformasi. Demikian juga setelah Orde Reformasi pastilah akan berkembang pentas sejarah perpolitikan dan ketatanegaraan lainnya dengan setting dan cerita yang mungkin pula tidak sama. Dari perspektif ini maka dapat dikatakan bahwa Orde Lama telah memberikan landasan kebangsaan bagi perkembangan bangsa Indonesia. Sementara itu Orde Baru telah banyak memberikan pertumbuhan wacana normatif

bagi pemantapan ideologi nasional, terutama melalui konvergensi nilai-nilai sosialbudaya (Madjid,1998) Orde Reformasi sendiri walaupun dapat dikatakan masih dalam proses pencarian bentuk, namun telah menancapakan satu tekad yang berguna bagi penumbuhan nilai demokrasi dan keadilan melalui upaya penegakan supremasi hukum dan HAM. Nilai-nilai tersebut akan terus di Justifikasi dan diadaptasikan dengan dinamika yang terjadi. Dalam arti ini, apa yang disuarakan Soekarno tentang negara kebangsaan di tahun 1945 tidak berbeda jauh dengan konsep pembangunan bangsa yang digelorakan orde baru hingga (orde) reformasi sekarang ini. Karena itu benar bahwa pembangunan yang digiatkan dalam orde reformasi dan selama orde baru merupakan mata rantai dari perjuangan menuju pintu gerbang kemerdekaan yang digelorakan Soekarno ketika bersama para pemuda menyatakan kemerdekaan bangsa ini. Perjuangan menuju pintu gerbang ini bertali temali dengan landasan persatuan yang ditonggaki Budi Utomo. Seterusnya semangat Budi Utomo ini ditiupi oleh nafas yang ada dalam dada para pahlawan yang menentang penjajah. Masing-masing era, kurun waktu, orde, karena itu, tidak terlepas satu sama lain dan saling mengeksklusifkan. Setiap orde, kurun, waktu, masa itu kerap diterima sebagai babak baru yang lahir sebagai reaksi sekaligus koreksi terhadap orde sebelumnya. Semangat Budi Utomo digelorakan kembali oleh Soekarno melalui proklamasi kemerdekaan dan orde lama. Berjalan di luar rel, orde lama kemudian diganti dengan orde baru. Kendati banyak ketimpangan, harus diakui bahwa orde lama merupakan anak zaman pada masanya. Tesis politik yang dicetuskan orde baru di awal kelahirannya sangat jelas, yakni demokratisasi politik di samping perbaikan ekonomi. Tesis inilah yang meromantisasikan perlawanan sosial menentang sistem politik yang tidak demokratis dan sistem ekonomi yang hancur-hancuran di zaman orde lama. Gilang gemilang hasil pembangunan orde baru memang sungguh menakjubkan. Masyarakat di bawah orde baru telah berkembang sangat pesat. Namun harus diterima bahwa perkembangan itu adalah perkembangan elitis dalam sistem politik yang tunggal dan monolitik. Pilihan model pembangunan yang bercorak teknokratis yang secara sengaja memperlemah kekuatan politik non negara untuk menghindari

bargaining politik kemudian melahirkan begitu banyak ketimpangan dalam orde baru. Karena itulah ketika desakan arus bawah semakin kuat dan dengan didorong hasrat mau maju, orde baru kemudian ditentang. Orde yang berjalan lebih dari tiga dasawarsa ini kemudian tumbang dan lahirlah orde yang lebih lazim disebut sebagai (orde) reformasi.

Republika Online, Selasa 16 Juni 1998 Trilogi Budaya Politik Orde Baru Oleh Mochtar Naim Guru Besar Sastra Universitas Andalas Padang L'histoire se repete! Sejarah itu berulang, kata para ahli. Dan sejarah memiliki pola dan hukum sendiri. Apa yang direbut dengan kekerasan akan juga direbut kembali dengan kekerasan. Demikianlah, hal luar biasa yang terjadi dalam pergantian kekuasaan dari Soeharto ke BJ Habibie tempo hari, dan dari Soekarno ke Soeharto sebelumnya, adalah justeru yang biasa terjadi dalam sejarah politik di Indonesia ini. Mata rantai sejarah suksesi yang rentangannya sudah panjang ke belakang itu hanya terputus selama masa singkat di awal kemerdekaan, yaitu dari Proklamasi di tahun 1945 ke Dekrit Presiden ditahun 1959. Masa singkat selama 14 tahun di zaman merdeka dengan sistem demokrasi liberal-parlementer itu adalah sebuah kekecualian sejarah yang di zaman Orde Lama dan Orde Baru lazim disebut sebagai ''penyimpangan sejarah.'' Yang biasa adalah yang luar biasa itu, yakni pergantian kekuasaan berjalan secara meletup-letup, melalui pergolakan, perebutan kekuasaan dengan kekerasan, perang dan tak sunyi dari intrik-intrik istana. Dunia terbagi dua Dari segi anutan ideologi politik, dunia ini sebenarnya bisa dibagi dua saja: Demokratik dan otokratik-totaliter. Suksesi dalam ideologi demokratik biasanya berjalan lancar dan teratur, sementara dalam otokratik-totaliter berjalan tersentak-sentak melalui perebutan kekuasaan, yang biasanya berakhir dengan tragedi. Yang demokratik -- seperti yang berlaku di Amerika, Eropa, dan negara-negara demokrasi lainnya -- bisa bertahan sampai ratusan tahun tanpa terjadi perebutan kekuasaan dan tragedi. Yang otokratik-totaliter -- seperti di negara-negara komunis tirai besi di Rusia dan Eropa Timur lainnya, RRC, di beberapa negara di Afrika dan Amerika Latin -- yang terjadi adalah letupan-letupan itu dan

pemerintahnya rata-rata berumur singkat, seumur rezim yang berkuasa itu sendiri. Bangsa kita kelihatannya justeru tergolong kepada yang kedua, bukan yang pertama. Atau jika dihaluskan, kita di zaman post-kemerdekaan ini menginginkan yang pertama, tetapi mempraktikkan yang kedua. Jadilah kita ini menjadi manusia skizofrenik dengan kebudayaan yang juga skizofrenik: Jiwa terbelah. Kaki yang satu seolah-olah berada di dunia baru yang moderen dan demokratis, sementara kaki yang lain masih tertinggal di dunia lama yang feodal dan paternalistik. Jelas bahwa cita-cita kemerdekaan yang dituangkan dalam Mukaddimah dan dalam fasal-fasal UUD 1945 adalah sebuah keinginan yang diimpikan oleh para pendiri republik ini. Mereka menginginkan sebuah negara merdeka berbentuk republik, seperti di negara-negara maju di Barat yang mereka baca dari buku-buku itu, tempat kedaulatan ada di tangan rakyat dan semua diatur secara demokratis, terbuka, berkeadilan, dan menempatkan hukum di atas semua kepentingan. Tetapi percobaan pertama ke arah itu dinyatakan sebagai sebuah kegagalan, bahkan dikatakan segala ''penyimpangan sejarah''. Dikatakan, demokrasi liberal-parlementer ala Barat tidak cocok dengan kepribadian Indonesia. Maka lahirlah ''Demokrasi Terpimpin'' di zaman Orde Lama dan ''Demokrasi Pancasila'' di zaman Orde Baru kemarin ini. Kedua tipe demokrasi ini sebenarnya setali tiga uang, yang satu kelanjutan dari yang lainnya, dan yang keduanya mengimpikan kembali kepada kepribadian Indonesia yang dikatakan sebagai berkebudayaan tinggi itu. Namun isinya tidak lain adalah neofeodalisme -- sama seperti yang dipraktikkan oleh nenek-moyang kita di zaman Majapahit dan Mataram dan di kerajaan-kerajaan feodal-obsolut lainnya di Nusantara ini. Tak mengenal demokrasi Isi yang sesungguhnya adalah bahwa kita dengan kebudayaan dan kepribadian kita itu tidak pernah mengenal apa yang namanya demokrasi itu. Kecuali masyarakat-masyarakat tribal bersuku-suku yang relatif masih terbelakang dan hidup bersahaja di pedalaman Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya, yang hidup berkelompok dan mempraktikkan ajaran demokrasi asli (''ur-demokrasi''), rata-rata masyarakat Indonesia di mana pun adalah feodal dengan kekuasaan absolut ada di tangan raja. Variasinya, paling-paling, di kutub yang satu berorientasi sentrifugal, sementara di kutub yang lain sentripetal. Artinya, raja-raja di luar Jawa umumnya memerintah untuk rakyatnya, sementara raja-raja di Jawa memerintah untuk dirinya. Di Jawa, dengan pola Majapahit dan

Mataramnya itu, raja (ratu) tidak hanya memiliki tanah tetapi seluruh yang ada di atas tanah itu, termasuk rakyatnya. Mereka diperlakukan sebagai para kawula -- hak milik raja inilah yang menggarap tanah yang ditempatinya untuk rajanya. Kekuasaan raja yang absolut dan sekaligus despotik inilah yang menjadi acuran dari cara berfikir Soekarno dan Soeharto ini. Mereka menempatkan diri sebagai titisan raja Jawa dengan pola Majapahit-Mataram yang sekarang memerintah seluruh Indonesia dengan impian Palapa. Sebuah kekuasaan yang absolut menempatkan semua simpul kekuasaan di tangan raja itu sendiri. Yang lain-lain di bawahnya mengerjakan apa saja untuk sang raja dan kebesarannya. Di tangannya, berhimpun semua kekuasaan: Politik, militer, dan ekonomi. Sebuah pengawal istana, karenanya harus kuat dengan sistem pertahanan berlapis-lapis dan siaga penuh, dan dengan komandan yang telah teruji melalu proses skrining yang ketat sebagai ajudan pribadi. Trilogi budaya Kekuasaan raja yang absolut hanya mungkin terwujud jika di tangannya berhimpun ketiga kekuasaan -- politik, militer, dan ekonomi itu. Triloginya adalah: ''feodalisme,'' ''militerisme'', dan ''kapitalisme.'' Neofeodalisme yang diciptakan oleh Soekarno dan Soeharto kemarin ini benar-benar telah menempatkan dirinya sebagai raja yang absolut, segala hal tergantung di tangannya. Feodalisme memerlukan perangkat pemerintahan yang tersentralisasi secara sentripetal, yang diatur secara hirarkis dan vertikal, dari atas sampai ke bawah. Para pegawai dan punggawa adalah abdi negara, yang sebenarnya adalah abdi raja. Yang ditekankan adalah pengabdian dan kepatuhan kepada atasan. Abdi raja boleh memberikan saran, tetapi keputusan akhir tetap di tangan raja. Musyawarah dilakukan bukan untuk tujuan penentuan kebijaksanaan untuk dimufakati secara bersama-sama, tapi untuk menghimpun pemikiran yang diteruskan kepada raja, dan rajalah yang mengambil keputusan itu. Raja sendiri tidak terikat kepada hasil musyawarah para abdi. Hasil musyawarah hanyalah input, bahan masukan, sementara yang dimusyawarahkan biasanya adalah aspek teknis-operasionalnya, bukan hal-hal yang mendasar yang bersifat prinsip. Militerisme menjadi keharusan karena feodalisme tidak akan jalan tanpa militerisme. Yang dihadapi bukan hanya musuh-musuh yang datang dari

luar, tetapi tidak kurangnya juga yang dari dalam sendiri. Mulut-mulut yang ditutup, kebebasan yang dikekang, dan sistem informasi yang dikendalikan, tidak akan mungkin efektif kalau tidak dengan kekuatan militer. Jika dalam sistem liberal-demokrasi para hulubalang hanya berkeliaran di sekitar kampung untuk menjaga keamanan kampung, dalam sistem neofeodalisme -- seperti yang dipraktikkan selama masa Orde Lama dan Orde Baru kemarin ini -- hulubalang itu betul-betul telah naik ke balairung. Mereka tak hanya ikut rapat bersama dengan ninik-mamak, alim ulama, dan cerdik pandai dalam negeri, tetapi malah yang mengatur dan mendiktekan kemauannya. Untuk itu, mereka diberi jatah kursi tanpa pemilu yang porsinya jauh melebihi jumlah mereka sendiri di angkatan. Mereka juga masuk ke bidang-bidang eksekutif dan yudikatif, dari atas sampai ke bawah, dan merebut posisi-posisi penting di hampir semua bidang. Yang dipilih biasanya juga posisi-posisi strategis, Dan mereka, dalam memasuki dan menjabat posisi-posisi penting di pemerintahan, di korps diplomatik, di legislatif, di yudikatif, dan di badan-badan usaha milik negara, tidak hanya sebagai warga negara seperti yang lain-lainnya, tetapi sebagai angkatan bersenjata dan atas nama angkatan. Mereka sekaligus mengemban misi angkatan. Kapitalisme Feodalisme dan militerisme juga tak akan efektif kalau kekuasaan ekonomi tidak di tangan yang berkuasa. Sistem yang terbaik adalah yang akan memberikan keuntungan maksimal bagi kelangsungan kekuasaan itu. Pilihannya sudah barang tentu adalah kapitalisme, bukan sosialisme atau pun koperasi -- yang berorientasi kerakyatan dan pemerataan. Para kapitais luar negeri maupun dalam negeri sendiri jauh lebih menyukai berhubungan dengan pemegang kekuasaan yang otoriter-absolut daripada berhubungan dengan pemerintahan yang demokratis. Berhubungan dengan seorang penguasa otokratik jauh lebih mudah asal mereka juga diikutsertakan, dan diberi jatah saham dan keuntungan tertentu. Sementara berhubungan dengan pemerintahan yang demokratik banyak liku-likunya, dan harus transparan dengan disetuji oleh wakil rakyat di parlemen terlebih dahulu. Praktik-praktik KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme), oleh karena itu bukanlah barang baru, tetapi setua umur sistem feodalisme itu sendiri. Di mana ada feodalisme, di sana ada praktik-praktik KKN itu. Penguasa-penguasa pribumi di Indonesia ini rata-rata adalah penganut paham Hindu lama yang melihat kegiatan dagang dan ekonomi sebagai kasar dan tak pantas mereka lakukan. Kegiatan dagang dan ekonomi

yang sering mereka asosiasikan sebagai kegiatan maling dan mencuri (sama seperti orang Yunani yang memperlakukan Dewa Merkuri sebagai dewa pedagang dan pencuri), mereka serahkan kepada pendatang yang bukan pribumi. Dari sanalah berperannya orang Cina, Arab, dan orang Gujarat di masa-masa silam, yang berlanjut sampai ke masa ini. Para pedagang pendatang inilah yang lalu mengerjakan semua urusan bisnis istana, dari mengekspor hasil-hasil dalam negeri, mengimpor barang-barang keperluan dari luar negeri, dan melakukan kegiatan produksi dan manufaktur, sampai ke penyaluran distribusi, dari hulu sampai ke hilir, dari yang partai besar sampai ke toko-toko dan warung-warung kecil sekalipun di pasar-pasar di kota-kota sampai ke desa-desa di seantero negeri. Kendatipun jumlah mereka relatif sangat kecil (tidak sampai tiga persen dari jumlah penduduk), mereka menguasai semua jalur produksi dan distribusi barang-barang di seluruh kerajaan Nusantara ini. Di tangan mereka terpegang ekonomi Indonesia ini dengan bekerja sama dengan para kapitalis luar negeri dan dengan penguasa tunggal di negeri ini beserta para kroninya. Dan ini hanya mungkin karena adanya trilogi kekuasaan itu. Jika trilogi ini tidak lagi dikehendaki, mengubahnya tidak lain adalah dengan melenyapkannya. Lenyapkan feodalisme, militerisme, dan kapitalisme -yang saling berkawan dan tunjang menunjang itu, dan ganti dengan yang serasi dengan tuntutan konstitusional, UUD 1945. Ke sinilah mestinya arah dari perjuangan Orde Reformasi sekarang ini: Bukan feodalisme, tetapi demokrasi. Bukan militerisme, tetapi civil society. Bukan kapitalisme, tetapi ekonomi koperasi -- untuk sebesar-besarnya kepentingan dan kemakmuran rakyat banyak. ?
Kondisi politik nasional akan sulit berubah dalam waktu lima tahun ke depan. Penyebabnya, budaya politik Orde Baru masih sangat dominan. Demikian dikemukakan pengamat politik Indira Samego dalam saresehan Budaya Politik di Departemen Dalam Negeri Jakarta, Kamis (25/10). Menurut Indira, tak akan ada perubahan mendasar dalam politik Indonesia. Sebab budaya politik masih cenderung status quo. Kultur politik yang dibangun Soeharto selama 32 tahun sudah sangat kuat dan mengakar. Sementara itu, budayawan Mudji Sutrisno menilai konflik sosial dan politik yang ada di masyarakat saat ini muncul sebagai akibat dari tidak adanya perekat yaitu keadilan dan perasaan kebersamaan sebagai warga satu bangsa. Di sisi lain pada saat yang sama muncul rasa ketidakpercayaan. Karena itu, Mudji Sutrisno mengharapkan agar dibangun rasa keadilan dan rasa kebersamaan dengan menegakkan supremasi hukum.(YYT/Diah Kusuma dan Effendi)

budaya politik pada masa reformasi


stem politik indonesia pada masa reformasi saat ini mengalami budaya politik adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan [br]mulai sistem politik pada zaman parlementer, demokrasi terpimpin, pada masa demokrasi pancasila, dan yang terakhir pada masa reformasi sebagaimana tengah berlangsung saat ini orientasi individu sebagai dasar penentuan budaya politik[br]akibatnya terjadi penegasian budaya setempat dan rusaknya perkembangan kultural . sejak masa kabinet reformasi, terjadilah perubahan mendasar pada tataran politis gejolak politik pada tingkat regional, termasuk sparatisme, [br]pada masa orde baru, diskusi-diskusi politik banyak muncul di kampus-kampus reformasi politik sejak tahun 1998, budaya politik dan fungsi-fungsi politik [br]kedua, rekruitmen politik bersifat tertutup. ketiga, pemilihan umum. keempat, pelaksanaan hak dasar waega negara. e.demokrasi pada masa reformasi (1998 [br]pada tahun 1996, indonesia mengalami masa reformasi. . beberapa motif mengalami perubahan akibat perkembangan filosofi dan politik, sosial budaya. [br]masa reformasi adalah kesempatan luar biasa untuk meninjau kembali kekurangan ada pejabat maupun unsur dalam sistem dan budaya politik orba yang sangat baik. katholik yang mendirikan gerakan buruh katholik pada awal abad ini. [br]pada masa orde baru, dengan kebijakan monoloyalitasnya, mesin birokrasi (baca: pns) setelah rezim orde baru jatuh, dan digantikan oleh era reformasi tahun 1998, pada masyarakat yang masih menganut patronase politik dan budaya[br]birokrasi indonesia pada masa orde lama. birokrasi indonesia pada masa orde baru mahasiswa merekonstruksikan langkah-langkah reformasi birokrasi secara kasus di sulawesi selatan (dalam; profil budaya politik indonesia;.....

Keadaan politik sekarang dalam era reformasi


Posted on April 5, 2008 by sma6semarang

Keadaan Politik Sekarang dalam era reformasi Keadaan Dewasa Ini Meskipun kran demokrasi telah dibuka secara luas sejalan dengan bergulimya proses reformasi, namun perkembangan demokrasi belum terarah secara baik dan aspirasi masyarakat belum terserap secara maksimal. Distorsi atas aspirasi, kepentingan, dan kekuasaan rakyat masih sangat terasa dalam kehidupan politik, baik dari elit politik, penyelenggara pemerintah, maupun kelompok-kelompok kepentingan. Di lain pihak, institusi pemerintah tidak jarang berada pada posisi tidak berdaya menghadapi kebebasan yang terkadang melebihi batas kepatutan, sebab walaupun kebebasan yang berlebihan tersebut bersifat kontekstual dan polanya tidak melembaga, cenderung mengarah pola tindakan anarkis. Demikian pula dengan potensi kemajemukan masyarakat Jawa Tengah yang didalammya mengandung benih konflik sosial dan sara. Kasus-kasus pemilihan pimpinan daerah sampai pemilihan Kepala Desa memunculkan pertengkaran warga diberbagai daerah menjadi ancaman bagi keutuhan

persatuan serta kesatuan masyarakat. Kondisi ini merupakan tantangan yang perlu mendapat perhatian dan ditindaklanjub dengan cepat, tepat serta menyentuh substansi permasalahannya. Tumbuh dan berkembangnya partai politik dan organisasi massa yang berorientasi penonjolan agama, etnis dan kecemburuan sosial merupakan tantangan pula untuk mewujudkan sistem politik yang stabil transparan dan aemokratis. Banyaknya kasus yang lebih mengedepankan kepentingan politik daripada penegakan supremasi hukum dan penghargaan atas hak asasi manusia serta persatuan dan kesatuan bangsa, merupakan contoh betapa kerasnya usaha yang harus diperjuangkan dalam mempercepat proses penegakkan demokrasi yang benar. Oleh karena itu diperlukan karakter budaya politik dan tingkat pendidikan politik yang representatif dapat menjadi faktor penting terwujudnya kehidupan demokrasi yang bermartabat. Strategi Kebijakan Untuk mengatasi permasalahan dan tantangan yang dihadapi, maka strategi kebijakan pembangunan politik yang ditetapkan adalah (a) fasilitasi penyeienggaraan pendidikan politik secara intensif dan komprehensif; (b) peningkatan partisipasi politik masyarakat, dengan meningkatkan keikutsertaan rakyat dalam proses penentuan keputusan oan kebijakan daerah; (c) peningkatan peran dan fungsi lembaga legislatif, sehingga lebih mampu melaksanakan kegiatan sesuai dengan fungsinya; (d) mendukung peiaksanaan/ penyeienggaraan Pemiiu yang lebih demokratis, jujur dan adil dalam rangka penegakan kedaulatan rakyat di segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tujuan dan Sasaran Tnjuan pembangunan politik adalah menciptakan stabilitas politik yang kondusif bagi terselenggaranya pembangunan di segala bidang, dengan menciptakan kehidupan politik yang dinamis dan mampu mengakomodasikan setiap perubahan kepentingan serta aspirasi rakyat dan perkembangan lingkungan strategis regional maupun nasional. Sasaran pembangunan politik Jawa Tengah adalah: (a) terwujudnya partisipasi dan kesadaran masyarakat yang lebih baik dalam proses proses politik dengan berlandaskan etika dan morai yang menjunjung tinggi kebenaran, kejujuran serta keadilan; (b) terwujudnya kemandirian partai politik dalam memperjuangkan aspirasi rakyat; (c) terwujudnya kehidupan kepartaian yang saling menghormati keberagaman aspirasi partai politik: (d) meningkatnya efektivitas peran lembaga legislatif sehingga lebih mampu melaksanakan kegiatan sesuai dengan fungsinya; (e) terselenggaranya kehidupan politik yang demokratis dalam rangka perwujudan kedaulatan rakyat. Program Pembangunan Fasilitasi Penyelenggaraan Pendidikan Politik Rakyat dan Pengembangan Sistem Politik Program ini bertujuan menfasilitasi penyelenggaraan pendidikan politik rakyat dan pengembangan Sistem politik yang dapat meningkatkan kesadaran serta pemahaman masyarakat terhadap hak dan kewajiban politiknya dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kegiatannya meliputi: (1) fasilitasi bagi partai politik dan organisasi kemasyarakatan untuk melakukan sosialisasi dan pembinaan . kader-kadernya; (2) fasilitasi pendidikan politik dan pengembangan budaya politik; (3) fasilitasi terhadap pembenahan secara sistematik ketembagaan, tata kerja, personil, dan proses yang terjadi baik di tingkat suprastruktur politik maupun di tingkat infrastruktur politik; (4) pengembangan pemerintahan yang bersih dan berwibawa melalui penegakan hukum secara adil dan konsisten sebagai cermin pengembangan etika politik dan budaya politik yang positif konstruktif. Peningkatan Peran Lembaga Legislatif Program ini bertujuan untuk meningkatkan peran lembaga legislatif sebagai institusi politik yang mampu menjabarkan aspirasi rakyat, terciptanya mekanisme kontrol yang efektif, mendorong proses demokratisasi serta menciptakan iklim yang mendukung terwujudnya sikap keterbukaan dan tanggungjawab. Program ini meliputi kegiatan:

(1) peningkatan peran lembaga egislatif secara proporsional dan lebih peka, inovatif, aspiratif terhadap keinginan masyarakat; dan (2) peningkatan peran lembaga legislatif dalam menjalankan fungsi kontrol. Fasilitasi/Dukungan Penyelenggaraan Pemilu 2004 dan Sosialisasi Sistem Pemilu Program ini bertujuan untuk mendukung peningkatan Penyelenggaraan pemilihan umum dengan memberikan peran yang ebih efektif kepada organisasi peserta pemilihan umum, baik dalam perencanaan. pelaksanaan maupun pengawasan di daerah, serta sosialisasi sistem Pemilu yang telah disepakati kepada masyarakat. Program ini meliputi kegiatan: (1) Penyelenggaraan pemilihan umum yang lebih berkualitas dengan prinsip jujur , adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia; (2) peningkatan sarana dan prasarana pemilihan umum yang representatif; (3) peningkatan infrastruktur komunikasi dalam mendukung kualitas Penyelenggaraan pemilihan umum

You might also like