You are on page 1of 24

BAB IV BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA

A. Definisi
1.

Hyperplasia prostat jinak adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa

majemuk dalam prostat , pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh menekan kelenjar normal yang tersisa ( Price & Wilson 2005). Benigna prostat hipertropi adalah tumor jinak dan kelenjar prostat bagian paling dalam (medial prostat) membesar oleh karena pembesaran ke arah tepi-tepi menimbulkan penyempitan uretra. Pembesaran tersebut dapat menyebabkan dorongan sampai ke arah basis vesika urinaria, sehingga mengakibatkan kesulitan miksi. 2. Benigna Prostat hyperplasia adalah kondisi patologis yang paling umum,

yang banyak terjadi pada pria diatas 50 tahun (Bruner dan Suddarth, 2001) 3. BPH (Benigna Prostat hyperplasia) adalah suatu keadaan dimana prostat

mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002) 4. Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara

umum pada pria > 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra dan pembiasan aliran urinarius. (Doenges, 1999) Kesimpulan BPH (benigna prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan cara menutupi orifisium uretra.

B. Etiologi
S1 Keperawatan, 2010. UPNVJ 43

Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab prostat hiperplasia, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah :
a.

Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan

estrogen pada usia lanjut;


b.

Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu

pertumbuhan stroma kelenjar prostat;


c.

Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel

yang mati;
d.

Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel

stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan. Penyebab BPH belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga akibat pengaruh hormon, yaitu terjadi perubahan keseimbangan antara hormon estrogen dan testoteron. Sebagian besar dihasilkan oleh kedua testis, kira-kira 90 % dan sisanya diproduksi oleh kelenjar adrenal, dengan bertambahnya usia akan terjadi penurunan keseimbangan testoteron dan estrogen, hal ini disebabkan oleh berkurangnya produksi testosteron dan konvensi testoteron menjadi estrogen pada jaringan perifer, estrogen inilah yang kemudian menyebabkan hyperplasia. Pada umumnya dikemukakan beberapa teori : 1. Teori Hormonal. Teori ini dibuktikan bahwa, sebelum pubertas dilakukan kastraksi, maka tidak terjadi BPH. Selain androgen (testoteron), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH. Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal yaitu antar hormon testosteron dan androgen.
2. Teori Reawekering (Neal, 1978)

S1 Keperawatan, 2010. UPNVJ

44

Menyebutkan bahwa jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya. 3. Teori Growth Faktor (Faktor Pertumbuhan) Peranan dari growth faktor ini sebagai pemacu pertumbuhan strauma kelenjar prostat.
4. Teori peningkatan lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel-sel yang mati.

5. Teori sel STEM Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel stem. Prostat, dalam hal ini kelenjar periuretral pada orang dewasa, berada dalam keadaan seimbang antara pertumbuhan sel dan sel yang mati. Oleh karena suatu sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus lain. Maka sel stem dapat berproliferasi dengan cepat, sehingga terjadi hiperplasi kelenjar periuretral. 6. Dehidro Testoteron Testoteron yang dihasilkan oleh sel Lyding Pada testis (90 %) dan sebagian kelenjar adrenal (10 %), masuk kedalam peredaran darah dan 98 % akan terikat oleh globulin menjadi seks hormone dinding globulin.

C. Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini
S1 Keperawatan, 2010. UPNVJ 45

sangat tergantung pada hormon testosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat. Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria). Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesika urinaria tidak mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal

S1 Keperawatan, 2010. UPNVJ

46

akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesika urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

D. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow. Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersensitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Arif Mansjoer, 2000) Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium : 1. Stadium I Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.
2. Stadium II

Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa tidak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.

S1 Keperawatan, 2010. UPNVJ

47

3. Stadium III

Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc. 4. Stadium IV Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara periodik (over flow inkontinen). Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa : Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut.

E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan colok dubur Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan dalam rektum dan prostat. Pada perabaan melalui colok dubur dapat diperhatikan konsistensi prostat, adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat diraba. Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urine setelah miksi spontan. Sisa miksi ditentukan dengan mengukur urine yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urine dapat pula diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi.
a. Rectal Gradding

Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong : Grade 0 Grade 1 Grade 2 : Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam rectum. : Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam rectum. : Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam rectum.

S1 Keperawatan, 2010. UPNVJ

48

Grade 3 Grade 4

: Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam rectum. : Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam rectum

b. Clinical Gradding Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing dahulu kemudian dipasang kateter. Normal Grade I Grade II : Tidak ada sisa : sisa 0-50 cc : sisa 50-150 cc

Grade III : sisa > 150 cc Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.

2. Laboratorium
a. Pemeriksaan urine untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau

inflamasi saluran kemih. Pemeriksaan kultur urine ini berguna untuk mengetahui kuman penyebab infeksi dan sensitifitas kuman. Sedimen Urin

Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih. Kultur Urin

Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan. b. Pemeriksaan ginjal untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit yang mengenai saluran kemih bagian atas.

S1 Keperawatan, 2010. UPNVJ

49

c. Pemeriksaan darah untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya penyakit diabetes mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persyarafan pada buli-buli.

3. Pencitraan a. Foto polos abdomen Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urin.
b. IVP (Intra Vena Pielografi)

Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
c. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)

Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor. d. Systocopy Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

F.

Penatalaksanaan Medis
Rencana pengobatan tergantung penyebab keparahan obstruksi dan kondisi

klien, jika klien masuk RS dalam keadaan darurat karena tidak dapat berkemih, maka kateterisasi segera dilakukan. Tidak semua klien yang menderita penyakit ini perlu menjalani tindakan medik. Bila keadaan lebih parah, dilakukan tindakan medis dan terapi medikamentosa. Tujuan terapi pada klien ini adalah untuk menghilangkan obstruksi pada leher buli-buli.

S1 Keperawatan, 2010. UPNVJ

50

Penatalaksanaan kolaboratif adalah untuk membantu pengosongan kandung kemih, mengurangi gejala-gejala yang dialami klien dan mencegah atau mengobati komplikasi. Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis.
1. Stadium I

Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama. 2. Stadium II Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra) 3. Stadium III Pada stadium III reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehingga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal. 4. Stadium IV Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.

S1 Keperawatan, 2010. UPNVJ

51

Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH. Jenis-jenis penatalasanaan adalah: 1. Terapi Konservatif Dilakukan bila gejala yang ada masih ringan, atau tidak ada gejala Dilakukan dengan pemberian obat-obatan hormon

2. Nonsurgical Invasive Care Dilakukan dengan pemasangan kateter urine secara intermiten untuk mengurangi gejala dan bypass obstruksi. Pemasanagan kateter urine dalam jangka waktu lama harus dihindari karena akan menigkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pemasangan stens (stainless steel) atau coils (titanium) pada uretra prostatik. Terapi microwave (terapi panas)

3. Surgical Invasive Indikasi operasi penurunan jumlah urine output yang dapat meningkatkan rasa tidak nyaman. Residual urine yang menetap, retensi urine akut. Proses pembedahan yang dapat dilakukan antara lain:
a. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)

Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra. b. Prostatektomi Suprapubis Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih. c. Prostatektomi retropubis
S1 Keperawatan, 2010. UPNVJ 52

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih. d. Prostatektomi Peritoneal Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum dan rektum. e. Prostatektomi retropubis radikal Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat.

Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat dilakukan dengan: a. Observasi Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur. b. Medikamentosa Mengharnbat adrenoreseptor Obat anti androgen Penghambat enzim -2 reduktase

c. Fisioterapi d. Terapi Bedah Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:

S1 Keperawatan, 2010. UPNVJ

53

Terapi Invasif Minimal

Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT) Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter.

Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP) Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)

G. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000) Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
1. Komplikasai Pre op

a. Pielonefritis b. Hidronefrosis c. Azotemia d. Uremia 2. Post op

S1 Keperawatan, 2010. UPNVJ

54

a. Hiponatremia dilusi (TURP) b. Infeksi c. Hidrokel d. Syok e. Retensi urin akut f. Ileus paralitikum g. Peningkatan suhu tubuh h. Nyeri saat jalan

H.

Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Benigna Prostat

Hiperplasia
KASUS: BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA Seorang laki-laki berusia 41 tahun datang ke RS Cinere dirawat dengan keluhan utama disuria dan anuria yang membuat pasien tersebut tidak nyaman. Saat ditanya oleh Ns.Winda keluhan saat ini yaitu nokturia, sering miksi tetapi sedikit, saat miksi harus mengedan agar bisa keluar urinenya. Sehingga Ns.Yono melakukan pemasangan kateter urine untuk membantu mengeluarkan urinenya, saat dilakukan pemasangan kateter selang kateter mengalami kesulitan saat dimasukkan kedalam penis sehingga Ns.Yono mencabut kateter itu kembali. Pada pemeriksaan prostat spesifik antigen (PSA) didapatkan nilai PSA 11 mg/ml.
I. Data Fokus

Data Subjektif - Klien mengatakan merasa tidak nyaman - Klien mengatakan merasa nyeri - Klien mengatakan sering miksi tetapi sedikit - Klien mengatakan saat miksi harus mengedan agar bisa keluar urinenya

Data Objektif - Mengalami kesulitan saat pemasangan kateter - PSA: 11mg/ml

S1 Keperawatan, 2010. UPNVJ

55

DATA TAMBAHAN - Kemungkinan klien mengatakan tidak - Pada kandung kemih klien teraba keras puas saat berkemih - Kemungkinan klien mengatakan nyeri dengan skala 7 - Kemungkinan klien mengatakan lama nyeri sekitar 5 menit - Kemungkinan klien mengatakan terasa sakit jika bergerak - Kemungkinan klien mengatakan merasa lemas - Kemungkinan klien mengatakan terasa sakit pada daerah yang luka - Wajah klien tampak meringis - HB : 11 gr/dl - Leukosit: 14.000 - TD: 130/90 mmHg - Klien tampak gelisah - Klien tampak tidak bisa tidur - Klien tampak tiduran - Klien tampak sulit untuk bergerak

II. Analisa Data (Preoperasi) Data DS: 1. Klien sering sedikit 2. Klien saat mengatakan harus miksi mengatakan miksi tetapi Masalah Gangguan pola eliminasi Etiologi Tekanan uretral tinggi karena kelemahan detrusor (dekompensasi otot detrusor).

mengedan agar bisa keluar urinenya 3. Kemungkinan klien mengatakan tidak puas saat berkemih DO: 1. HB : 11 gr/dl 2. Leukosit: 14.000 3. TD: 130/90 mmHg 4. Klien tampak

S1 Keperawatan, 2010. UPNVJ

56

gelisah 5. Pada kemih keras 6. Wajah klien tampak meringis 7. Mengalami kesulitan saat pemasangan kateter 8. Klien tampak tidak bisa tidur DS: 1. Klien 2. Klien mengatakan mengatakan merasa tidak nyaman merasa nyeri 3. Kemungkinan klien mengatakan dengan skala 7 4. Kemungkinan klien mengatakan lama nyeri sekitar 5 menit DO: 1. Mengalami kesulitan 2. PSA: 11mg/ml 3. Pada kemih keras 4. Wajah klien tampak meringis klien kandung teraba saat pemasangan kateter nyeri Gangguan Rasa Nyaman Nyeri agen cidera biologi (terputusnya kontinuitas jaringan akibat pembedahan) klien kandung teraba

S1 Keperawatan, 2010. UPNVJ

57

5. HB : 11 gr/dl 6. Leukosit: 14.000 7. TD: 130/90 mmHg 8. Klien gelisah 9. Klien tampak tidak bisa tidur DS: DO: 1. Mengalami kesulitan 2. PSA: 11mg/ml 3. HB : 11 gr/dl 4. Leukosit: 14.000 5. TD: 130/90 mmHg saat pemasangan kateter Resiko Infeksi peningkatan paparan lingkungan terhadap patogen (pemasangan kateter). tampak

III.Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan Pola Eliminasi berhubungan dengan tekanan uretral tinggi karena

kelemahan detrusor (dekompensasi otot detrusor).


b. Gangguan Rasa Nyaman Nyeri berhubungan dengan agen cidera ( iritasi

kandung kemih, spasme, sesuai dengan prosedur bedah atau tekanan dari balon kandung kemih).
c. Resiko Infeksi berhubungan dengan peningkaran paparan lingkungan terhadap

patogen (pemasangan kateter). IV. Intervensi Keperawatan 1. DX I :Retensi urine berhubungan dengan tekanan uretral tinggi karena kelemahan detrusor (dekompensasi otot detrusor). Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pengeluaran urine lancar. NOC: Inkontinensi urine

S1 Keperawatan, 2010. UPNVJ

58

Kriteria Hasil: 1. Bebas dari kebocoran urine diantara berkemih. 2. Kandung kemih kosong sempurna 3. Tidak ada sisa setelah buang air > 100-200cc. 4. Asupan cairan dalam rentang yang diharapkan. Ket Skala: 1 = Tidak pernah menunjukkan 2 = Jarang menunjukkan 3 = Kadang menunjukkan 4 = Sering menunjukkan 5 = Selalu menunjukkan NIC: Katerisasi urine 1. 2. 3. 4.
2.

Pantau asupan dalam haluaran urine. Pantau derajat distensi kandung kemih dengan palpasi dan perkusi. Instrusikan pasien dan keluarga untuk mencatat haluran urine bila Rujuk pada spesialis kontinensia urine jika diperlukan. DX II : Gangguan Rasa Nyaman Nyeri berhubungan dengan agen

diperlukan.

cidera ( iritasi kandung kemih, spame, sesuai dengan prosedur bedah atau tekanan dari balon kandung kemih) Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang atau hilang. a. NOC 1: Level Nyeri 1. Laporkan frekuensi nyeri 2. Kaji frekuensi nyeri 4. Lamanya nyeri berlangsung 5. Ekspresi wajah terhadap nyeri 6. Perubahan TTV b. NOC 2: Kontrol Nyeri Kriteria Hasil: 1. Mengenal faktor penyebab
59

Kriteria Hasil:

S1 Keperawatan, 2010. UPNVJ

2. 3. 4.

Gunakan tindakan pencegahan Gunakan tindakan non analgetik Gunakan analgetik yang tepat

Ket Skala: 1 = Tidak pernah menunjukkan 2 = Jarang menunjukkan 3 = Kadang menunjukkan 4 = Sering menunjukkan 5 = Selalu menunjukkan NIC: Manajemen Nyeri 1. 2. 3. 4. 5. Kaji secara menyeluruh tentang nyeri termasuk lokasi, durasi, Observasi isyarat non verbal dari ketidaknyamanan terutama jika Berikan analgetik dengan tepat. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama Ajarkan teknik non farmakologi (misalnya: relaksasi, guide, frekuensi, intensitas, dan faktor penyebab. tidak dapat berkomunikasi secara efektif.

akan berakhir dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur. imagery,terapi musik,distraksi)


3.

DX III : Resiko infeksi berhubungan dengan peningkaran paparan

lingkungan terhadap patogen (pemasangan kateter). Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan infeksi tidak terjadi. a. NOC 1: Deteksi Infeksi Kriteria Hasil: 1. 2. 3. Mengukur tanda dan gejala yang mengindikasikan infeksi Berpartisipasi dalam perawatan kesehatan Mampu mengidentifikasi potensial resiko

b. NOC 2: Pengendalian Infeksi Kriteria Hasil: 1. 2. 3. Pengetahuan tentang adanya resiko infeksi Mampu memonitor faktor resiko dari lingkungan Membuat strategi untuk mengendalikan resiko infeksi
60

S1 Keperawatan, 2010. UPNVJ

4. Ket Skala:

Mengatur gaya hidup untuk mengurangi resiko

1 = Selalu menunjukkan 2 = Sering menunjukkan 3 = Kadang menunjukkan 4 = Jarang menunjukkan 5 = Tidak pernah menunjukkan NIC: Teaching diases proses 1) 2) 3) 4) 5) Deskripsikan proses penyakit dengan tepat Sediakan informasi tentang kondisi pasien Diskusikan perawatan yang akan dilakukan Gambaran tanda dan gejala penyakit Instruksikan pasien untuk melaporkan kepada perawat untuk

melaporkan tentang tanda dan gejala yang dirasakan. II. Analisa Data (Pascaoperasi) Data DS: 1. Klien mengatakan merasa tidak nyaman 2. Kemungkinan klien mengatakan merasa lemas DO: 1. HB : 11 gr/dl 2. Leukosit: 14.000 3. TD: 130/90 mmHg 4. Klien gelisah 5. Klien tiduran DS: 1. Klien mengatakan Nyeri Akut agen cidera ( iritasi kandung kemih, spame, tampak tampak Masalah Resiko Kekurangan Volume Cairan Etiologi pasca obstruksi dengan diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis

S1 Keperawatan, 2010. UPNVJ

61

merasa tidak nyaman 2. Klien 3. Klien sering sedikit 4. Klien saat mengatakan harus miksi mengatakan mengatakan miksi tetapi merasa nyeri

sesuai dengan prosedur bedah atau tekanan dari balon kandung kemih)

mengedan agar bisa keluar urinenya 5. Kemungkinan klien mengatakan dengan skala 7 6. Kemungkinan klien mengatakan lama nyeri sekitar 5 menit 7. Kemungkinan klien mengatakan terasa sakit jika bergerak 8. Kemungkinan klien mengatakan lemas 9. Kemungkinan klien mengatakan luka DO: 1. PSA: 11mg/ml 2. Pada kemih keras 3. Wajah klien tampak
S1 Keperawatan, 2010. UPNVJ 62

nyeri

merasa

terasa

sakit pada daerah yang

kandung klien teraba

meringis 4. HB : 11 gr/dl 5. Leukosit: 14.000 6. TD: 130/90 mmHg 7. Klien gelisah 8. Klien tampak tidak bisa tidur DS: 1. Klien mengatakan merasa tidak nyaman 2. Klien mengatakan merasa nyeri 3. Kemungkinan klien mengatakan terasa sakit jika bergerak 4. Kemungkinan klien mengatakan merasa lemas DO: 1. PSA: 11mg/ml 2. HB : 11 gr/dl 3. Leukosit: 14.000 4. TD: 130/90 mmHg 5. Klien gelisah 6. Klien tiduran 7. Klien tampak sulit untuk bergerak III. Diagnosa Keperawatan tampak tampak Gangguan Mobilitas Fisik kerusakan neurovaskuler (nyeri). tampak

S1 Keperawatan, 2010. UPNVJ

63

1. Resiko Kekurangan Volume Cairan berhubungan dengan pasca obstruksi dengan

diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis.
2. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cidera ( iritasi kandung kemih, spame, sesuai

dengan prosedur bedah atau tekanan dari balon kandung kemih)


3. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (nyeri).

IV. Intervensi Keperawatan 1. DX I : Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstruksi dengan diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan kebutuhan cairan dan elektrolit terpenuhi. NOC KH : : 1. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia 2. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal 3. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas turgor kulit baik. 4. Membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan. Keterangan skala: 1. Tidak pernah menunjukkan 2. Jarang menunjukkan 3. Kadang menunjukkan 4. Sering menunjukkan 5. Selalu menunjukkan NIC: Fluid manajement 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat. Monitor status hidrasi (kelemahan membran mukosa, nadi adekuat) Monitor vital sign Monitor cairan/makanan dan hitung intake kalon harian Kolaborasikan pemberian cairan IV Masukkan oral Keluarga untuk membantu pasien maka Fluid balance

S1 Keperawatan, 2010. UPNVJ

64

2.

DX II : Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologi ( terputusnya Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang atau

kontinuitas jaringan akibat pembedahan). Tujuan: hilang. a. NOC 1: Level Nyeri Kriteria Hasil: 1. 2. 3. 4. 5. b. Laporkan frekuensi nyeri Kaji frekuensi nyeri Lamanya nyeri berlangsung Ekspresi wajah terhadap nyeri Perubahan TTV

NOC 2: Kontrol Nyeri Kriteria Hasil: 1. 2. 3. 4. Mengenal faktor penyebab Gunakan tindakan pencegahan Gunakan tindakan non analgetik Gunakan analgetik yang tepat

Ket Skala: 1 = Tidak pernah menunjukkan 2 = Jarang menunjukkan 3 = Kadang menunjukkan 4 = Sering menunjukkan 5 = Selalu menunjukkan NIC: Manajemen Nyeri 1) Kaji secara menyeluruh tentang nyeri termasuk lokasi, durasi, frekuensi, intensitas, dan faktor penyebab. 2) Observasi isyarat non verbal dari ketidaknyamanan terutama jika tidak dapat berkomunikasi secara efektif. 3) Berikan analgetik dengan tepat. 4) Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berakhir dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur. 5) Ajarkan teknik non farmakologi (misalnya: relaksasi, guide, imagery,terapi musik,distraksi)
S1 Keperawatan, 2010. UPNVJ 65

3.

DX III : Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan

neurovaskuler (nyeri). Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien dapat meningkatkan mobilisasi pada tingkat yang paling tinggi NOC: Mobility level Kriteria Hasil: a. b. c. d. e. Ket Skala: 1 = Dibantu total 2 = Memerlukan bantuan orang lain dan alat 3 = Memerlukan orang lain 4 = Dapat melakukan sendiri dengan bantuan alat 5 = Mandiri NIC: Exercise Therapy: Ambulation 1) Bantu pasien untuk menggunakan fasilitas alat bantu jalan dan cegah kecelakaan atau jatuh 2) Tempatkan tempat tidur pada posisi yang mudah dijangkau/diraih pasien. 3) Konsultasikan dengan fisioterapi tentang rencana ambulansi sesuai kebutuhan 4) Monitor pasien dalam menggunakan alatbantujalan yang lain
5) Instruksikan pasien/pemberi pelayanan ambulansi tentang teknik ambulansi.

Keseimbangan penampilan Memposisikan tubuh Gerakan otot Gerakan sendi Ambulansi jalan

f. Ambulansi kursi roda

S1 Keperawatan, 2010. UPNVJ

66

You might also like