You are on page 1of 22

TUBERCULOSIS EXTRA PULMONAL

DEFINISI Tuberculosis ekstra paru adalah tuberculosis yang menyerang organ tubuh selain jaringan paru,, misalnya pleura (selaput paru), selaput otak, selaput jantung, kelejar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain. EPIDEMIOLOGI Tuberkulosis paling sering menyerang paru tapi TB juga sangat berbahaya karena dapat menyerang organ selain paru. TB bisa menclok di kelenjar getah bening, usus, tulang, otak dan selaputnya, laring, ginjal, rahim, bahkan payudara. Tuberkulosis bisa mengenai setiap organ pada tubuh manusia, walaupun sebagian besar tuberkulosis mengenai paru, tapi kejadian ekstra paru atau penyakit TB di luar paru dilaporkan mencapai 5 hingga 30 persen. KLASIFIKASI 1. Tuberkulosis Ekstra Paru Ringan Misal : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudatif unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal 2. Tuberkulosis Ekstra Paru Berat Misal : meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudatif dupleks, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.

ORGAN ORGAN YANG TERKENA DAN PENANGANANNYA A. TUBERCULOSIS KELENJAR LIMFE Definisi Limfadenitis Tuberkulosis, suatu peradangan pada satu atau lebih kelenjar getah bening. Patogenesis Siklus munculnya penyakit ini adalah bakteria dapat masuk melalui makanan ke rongga mulut dan melalui tonsil mencapai kelenjar limfa di leher, sering tanpa tanda TBC paru. Kelenjar yang sakit akan membengkak dan mungkin sedikit nyeri. Mungkin secara berangsur kelenjar di dekatnya satu demi satu terkena radang yang khas dan dingin ini. Di samping itu, dapat terjadi juga perilimfadenitis sehingga beberapa kelenjar melekat satu sama lain berbentuk massa. Bila mengenai kulit, kulit akan meradang, merah, bengkak, mungkin sedikit nyeri. Kulit akhirnya menipis dan jebol, mengeluarkan bahan keperti keju. Tukak yang terbentuk akan berwarna pucat dengan tepi membiru dan menggangsir, disertai sekret yang jernih. Tukak kronik itu dapat sembuh dan meninggalkan jaringan parut yang tipis atau berbintil-bintil. Suatu saat tukak meradang

lagi dan mengeluarkan bahan seperti keju lagi, demikian berulang-ulang. Kulit seperti ini disebut skrofuloderma. Limfadenitis sendiri disebabkan oleh berbagai infeksi dari berbagai organisme, seperti bakteri, virus, protozoa, riketsia, dan jamur. Untuk penyebarannya ke kelenjar getah bening melalui infeksi pada kulit, hidung, telinga, dan mata. Macam-macam Limfadenitis TB Secara umum, limfadenitis terdiri dari beberapa macam tergantung penyebabnya, yakni : - Limfadenitis submandibuler, disebabkan adanya sakit gigi atau karies dentis atau pula infeksi stomatitis yang menimbulkan adanya pembesaran kelenjar getah bening mandibuler. - Limfadenitis daerah aksila disebabkan adanya infeksi pada telapak tangan. - Limfadenitis dan inguinal, Paronichya di ibu jari kaki atau infeksi di kaki bagian bawah yang sering membuat rasa nyeri untuk berjalan. Gejala Klinis Gejala untuk menganalisa apakah terkena penyakit ini adalah kelenjar getah bening yang terserang biasanya akan membesar dan jika diraba terasa lunak dan nyeri, selain itu gejala klinis yang timbul adalah demam, nyeri tekan, dan tanda radang. Kulit di atasnya terlihat merah dan terasa hangat, pembengkakan ini akan menyerupai daging tumbuh atau biasa disebut dengan tumor. Dan untuk memastikan apakah gejala-gejala tersebut merujuk pada penyakit limfadenitis maka perlu adanya pengangkatan jaringan untuk pemeriksaan di bawah mikroskop. Limfadenitis pada taraf parah disebut limfadenitis kronis. Limfadenitis ini terjadi ketika penderita mengalami infeksi kronis, misal pada kondisi ketika seseorang dengan faringitis kronis akan ditemukan pembesaran kelenjar getah bening leher (limfadenitis). Pembesaran di sini ditandai oleh tanda radang yang sangat minimal dan tidak nyeri. Pembesaran kronis yang spesifik dan masih banyak di Indonesia adalah akibat tuberkulosa. Limfadenitis tuberkulosa ini ditandai oleh pembesaran kelenjar getah benng, padat / keras, multiple dan dapat berhubungan satu sama lain. Dapat pula sudah terjadi perkijuan seluruh kelenjar, sehingga kelenjar itu melunak seperti abses tetapi tidak nyeri seperti abses banal. Apabila abses ini pecah ke kulit, lukanya sulit sembuh oleh karena keluar secara terus menerus sehingga seperti fistula. Limfadenitis tuberculosa pada kelenjar getah bening dapat terjadi sedemikian rupa, besar dan berhubungan sehingga leher penderita itu disebut seperti bull neck. Pada keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dibedakan dengan limfoma malignum. Limfadenitis tuberkulosa diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi, terutama yang tidak disertai oleh tuberkulosa paru. Penatalaksanaan Pengobatannya sama dengan TB paru, demikian juga dengan lamanya makan obat. Bila terjadi abses yang di sertai infeksi sekunder tentunya di perlukan antibiotika. Kadang-

kadang di perlukan operasi untuk mengeluarkan kelenjar yang membesar. Pengobatan yang tidak teratur akan menyebabkan penyakitnya tidak kujung sembuh dan menjadi kronis dimana seringnya terjadi fistel dan ulkus baru B. PLEURITIS TUBERKULOSIS Patofisiologi Pleuritis TB dapat merupakan manifestasi dari tuberkulosis primer atau tuberkulosis post primer (reaktivasi). Secara tradisional, pleuritis TB dianggap sebagai manifestasi TB primer yang banyak terjadi pada anak-anak. Pada tahun-tahun terakhir ini, umur ratarata pasien dengan Pleuritis TB primer telah meningkat. Hipotesis terbaru mengenai Pleuritis TB primer menyatakan bahwa pada 6-12 minggu setelah infeksi primer terjadi pecahnya fokus kaseosa subpleura ke kavitas pleura. Antigen mikobakterium TB memasuki kavitas pleura dan berinteraksi dengan Sel T yang sebelumnya telah tersensitisasi mikobakteria, hal ini berakibat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang menyebabkan terjadinya eksudasi oleh karena meningkatnya permeabilitas dan menurunnya klirens sehingga terjadi akumulasi cairan di kavitas pleura. Cairan efusi ini secara umum adalah eksudat tapi dapat juga berupa serosanguineous dan biasanya mengandung sedikit basil TB. Beberapa kriteria yang mengarah ke Pleuritis TB primer : (i). Adanya data tes PPD positif baru, (ii). Rontgen thorax dalam satu tahun terakhir tidak menunjukkan adanya kejadian tuberkolosis parenkim paru, (iii). Adenopati Hilus dengan atau tanpa penyakit parenkim. Umumnya, efusi yang terjadi pada Pleuritis TB primer berlangsung tanpa diketahui dan proses penyembuhan spontan terjadi pada 90% kasus. Pleuritis TB dapat berasal dari reaktivasi atau TB post primer. Reaktivasi dapat terjadi jika stasus imunitas pasien turun. Pada suatu penelitian disebutkan bahwa umur rata-rata pasien dengan reaktivasi TB adalah 44,6 tahun. Pada kasus Pleuritis TB rekativasi, dapat dideteksi TB parenkim paru secara radiografi dengan CT scan pada kebanyakan pasien. Infiltrasi dapat terlihat pada lobus superior atau segmen superior dari lobus inferior. Bekas lesi parenkim dapat ditemukan pada lobus superior, hal inilah yang khas pada TB reaktivasi. Efusi yang terjadi hampir umumnya ipsilateral dari infiltrat dan merupakan tanda adanya TB parenkim yang aktif5). Efusi pada pleuritis TB dapat juga terjadi sebagai akibat penyebaran basil TB secara langsung dari lesi kavitas paru, dari aliran darah dan sistem limfatik pada TB post primer (reaktivasi). Penyebaran hematogen terjadi pada TB milier. Efusi pleura terjadi 10-30% dari kasus TB miler. Pada TB miler, efusi yang terjadi dapat masif dan bilateral. PPD test dapat negatif dan hasil pemerikasaan sputum biasanya juga negatif. Gambaran Klinik Gambaran klinis dari Pleuritis TB yang paling sering dilaporkan adalah batuk (71-94%), demam (71-100%), nyeri dada pleuritik (78-82%) dan dispneu. Batuk yang terjadi biasanya nonproduktif terutama ketika tidak terdapat lesi paru aktif. Keringat malam,

sensasi mengigil, dyspneu, malaise, dan penurunan berat badan merupakan keluhan umum. Demam dan nyeri dada umumnya terdapat pada pasien muda, sedangkan batuk dan dyspneu umumnya pada pasien yang lebih tua. Durasi rata-rata dari gejala penyakit sekitar 14 hari pada pleuritis TB primer dan 60 hari pada pleuritis TB reaktivasi. Pasien dengan TB efusi pleura dan HIV bergejala dalam periode yang lebih lama dan mempunyai gejala tambahan seperti takipneu, keringat malam hari, malaise, diare, dan mempunyai kemungkinan lebih banyak terjadi hepatomegali, splenomegali dan limfadenopati. Hasil tes PPD negatif dilaporkan pada 30% pasien immunokompetan, dan lebih dari 50% pada pasien terinfeksi HIV. Pemeriksaan fisik ditemukan berkurangnya suara nafas dan perkusi pekak diatas tempat efusi. Pleral friction rub dilaporkan pada 10% pasien5). Pada keadaan tidak diberikannya obat anti tuberkulosis, resolusi dari efusi yang terjadi pada pleuritis TB biasanya spontan dalam beberapa bulan. Akan tetapi, setengah dari kasus yang tidak diterapi akan berkembang menjadi bentuk tuberkulosis paru dan ekstraparu yang lebih berat yang dapat berakibat pada kecacatan dan kematian. Sekule lain pada pleuritis TB primer adalah terjadinya sisa penebalan pleura yang potensial menyebabkan pembatasan ventilasi. Infeksi kronik aktif dapat mengawali berkembangnya tuberkulosa empyema. Pecahnya kavitas parenkim ke ruang pleura dapat berkembang menjadi fistula bronkhopleural dan pyo-pnemothoraks. Diagnosis Pleuritis TB tidak selalu mudah didiagnosis, karena tidak selalu ada gambaran khas seperti adanya eksudat yang kaya limfosit pada cairan efusi, granuloma nekrotik kaseosa pada biopsi pleura, hasil positif dari pewarnaan Ziehl Neelsen atau kultur Lowenstein dari cairan efusi atau jaringan sampel dan sensitivitas kulit terhadap PPD11. Diagnosis dari Pleuritis TB secara umum ditegakkan dengan analisis cairan pleura dan biopsi pleura. Pada tahun-tahun terakhir ini, beberapa penelitian meneliti adanya penanda biokimia seperti ADA, ADA isoenzim, Lisozim, dan limfokin lain untuk meningkatkan efisiensi diagnosis. Hasil thorakosintesis efusi pleura dari Pleuritis TB primer mempunyai karakteristik cairan eksudat dengan total kandungan protein pada cairan pleura >30g/dL, rasio LDH cairan pleura dibanding serum > 0,5 dan LDH total cairan pleura >200U. Cairan pleura mengandung dominan limfosit (sering lebih dari 75% dari semua materi seluler), sering dikiuti dengan kadar glukosa yang rendah. Sayangnya, dari kharakteristik diatas tidak ada yang spesifik untuk tuberkulosis, keadaan lain juga menunjukkan kharakteristik yang hampir mirip seperti efusi parapnemonia, keganasan, dan penyakit rheumatoid yang menyerang pleura. Hasil pemeriksaan BTA cairan pleura jarang menunjukkan hasil positif (0-1%). Isolasi M.tuberculosis dari kultur cairan pleura hanya didapatkan pada 20-40% pasien Pleuritis TB. Hasil pemeriksaan BTA dan kultur yang negatif dari cairan pleura tidak mengekslusi kemungkinan Pleuritis TB. Hasil pemeriksaan BTA pada sputum jarang positif pada kasus primer dan kultur menunjukkan hasil positif hanya pada 25-33% pasien. Sebaliknya, pada kasus reaktivasi pemeriksaan BTA sputum positif pada 50% pasien dan kultur positif pada 60% pasien. Hasil tes tuberkulin yang positif mendukung penegakkan diagnosis pleuritis TB di daerah dengan prevalensi TB yang rendah (atau tidak divaksinasi), akan tetapi hasil tes tuberkulin negatif dapat terjadi pada sepertiga pasien. Biopsi pleura parietal telah menjadi tes diagnositik yang paling sensitif untuk Pleuritis TB. Pemeriksaan histopatologis jaringan pleura menunjukkan peradangan granulomatosa, nekrosis kaseosa, dan BTA positif. Hasil biopsi perlu diperiksa secara PA, pewarnaan BTA dan kultur.

Beberapa penelitian meneliti aktivitas ADA (adenosin deaminase) untuk mendiagnosis Pleuritis TB. Disebutkan bahwa kadar ADA > 70 IU/L dalam cairan pleura sangat menyokong ke arah TB, sedangkan kadar < 40 IU/L mengekslusi diagnosis. Sebuah meta analisis dari 40 penelitian yang diterbitkan sejak tahun 1966 sampai 1999 menyimpulkan bahwa tes aktivitas ADA (sensitivitas berkisar antara 47,1 sampai 100% dan spesifitas berkisar antara 0-100%) dalam mendiagnosis Pleuritis TB sangat baik (cukup baik untuk menghindari dilakukannya biopsi pleura pada pasien muda dari daerah dengan prevalensi TB yang tinggi). INF- sebuah sitokin yang mempunyai hubungan dengan Th, terbukti mempunyai hubungan yang erat dengan efusi pleura yang disebabkan oleh karena TB. (menggunakan cut off point 140 pg/ml Pada sebuah penelitian, INF- dalam cairan pleura) mempunyai sensitivitas 85,7% dan spesifitas 97,1% pada pasien dengan pleuritis TB. Pemeriksaan dengan PCR (polymerase chain reaction) didasarkan pada amplifikasi fragmen DNA mikobakterium. Karena efusi pada pleuritis TB mengandung sedikit basil TB, secara teori sensitivitasnya dapat ditingkatkan mengunakan PCR. Banyak penelitian yang mengevaluasi efikasi PCR untuk mendiagnosis pleuritis TB dan menunjukkan bahwa sensitivitas berkisar antara 20-90% dan spesifitas antara 78-100%. Penanganan Perjalanan alamiah dari efusi pleura TB yang tidak diterapi akan terjadi resolusi spontan dalam 4-16 minggu dengan adanya kemungkinan perkembangan TB paru aktif atau TB ekstraparu pada 43-65% pasien. Data ini menyimpulkan pentingnya diagnosis dan terapi yang tepat untuk kasus ini. Berdasarkan pedoman tata laksana DOTS, pasien dengan sakit berat yang luas atau adanya efusi pleura bilateral dan sputum BTA positif, diberikan terapi kategori I (Fase Intensif dengan 4 macam obat : INH, Rifampisin, Pyrazinamide, Etambutol selama 2 bulan dan diikuti dengan fase lanjutan selama 4 bulan dengan 2 macam oabat : INH dan Rifampisin). Pada pasien dengan pleuritis TB soliter harus diterapi dengan INH, Rifampisin dan Pyrazinamid selama 2 bulan diikuti dengan terapi INH dan rifampin selama 4 bulan. Pasien dengan HIV/AIDS dan pleuritis TB diterapi sama dengan pasien yang HIV negatif. Thorakosintesis berulang tidak diperlukan ketika diagnosis telah dapat ditegakkan dan terapi telah dimulai, tapi thorakosintesis mungkin diperlukan untuk mengurangi gejala. Penggunaan kortikosteroid menurut review metaanalisis Cochrane menunjukkan kurangnya data yang mendukung bahwa kortikosteroid efektif pada Pleuritis TB. C. TUBERKULOSIS SISTEM SARAF PUSAT Tuberkulosis pada sistem saraf pusat ditemukan dalam 3 bentuk meningitis, tuberkuloma, araknoiditis spinalis. Ketiganya sering ditemukan di negara endemis TB. Dengan kasus terbanyak berupa meningitis TB. Di Amerika Serikat yang bukan endemis TB, meningitis TB meliputi 1% dari semua kasus TB. MENINGITIS TUBERKULOSIS Definisi Adalah radang selaput otak akibat komplikasi tuberkulosis primer. Secara histiologik meningitis tuberkulosis merupakan meningo-ensefalitis tuberkulosa dimana terjadi invasi ke selaput dan jaringan susunan saraf pusat.

Klasifikasi Rich membagi meningitis tuberkulosa dalam empat jenis menurut klasifikasi patologik yaitu : a. Tuberkulosis miliaris yang menyebar Jenis ini merupakan komplikasi dari tuberkulosis miliaris, biasanya dari paru paru yang menyebar ke selaput otak secara hematogen. Sering terjadi pada anak dan jarang pada dewasa. Pada selaput otak terdapat tuberkel tuberkel yang kemudian pecah sehingga terjadi peradangan difus dalam ruang subarakhnoid. Tuberkel ini juga terdapat pada dinding pembuluh darah kecil di hemisfer otak bagian cekung dan dasar otak. b. Bercak bercak pengijuan fokal Disini terdapat bercak bercak pada sulkus sulkus dan terdiri dari pengijuan yang dikelilingi oleh sel-sel raksasa dan epitel. Terjadi penyebaran ke selaput otak dan dapat menyebabkan peradangan yang luas. c. Peradangan akut meningitis pengijuan Jenis ini paling sering dijumpai lebih kurang 78%. Pada jenis ini terjadi invasi langsung pada selaput otak dari fokus tuberkulosis primer, sehingga terbentuk tuberkel-tuberkel baru pada selaput otak dan jaringan otak. Meningitis timbul karena tuberkel tersebut pecah dan terjadi penyebaran kuman ke dalam ruang subarakhnoid dan ventrikulus. d. Meningitis proliferatif Dapat terjadi pada pembuluh darah selaput otak yang mengalami peradangan berupa endarteritis dan panarteritis. Akibat penyempitan lumen arteri-arteri tersebut dapat terjadi infark otak. Etiologi Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosa jenis hominis, jarang oleh bovinum atau aves. Faktor risiko: - sosio ekonomi rendah - penghasilan tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari - perumahan tidak memenuhi syarat kesehatan minimal - hidup dan tinggal atau tidur berdesakan - kekurangan gizi - higiene yang buruk - faktor suku atau ras - kurang atau tidak mendapatfasilitas imunisasi Meningitis tuberkulosa dapat terjadi pada semua umur terutama pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun, paling sering terjadi pada umur di bawah 2 tahun yaitu antara 9 sampai 15 bulan. Jarang pada umur di bawah 6 bulan. Patofisiologi Meningitis tuberkulosa selalu terjadi sekunder dari proses tuberkulosis primer di luar otak. Fokus primer biasanya di paru- paru. Meningitis tuberkulosa terjadi sebagai komplikasi penyebaran tuberkulosis paru-paru. Terjadinya meningitis bukan karena peradangan langsung oleh karena penyebaran hematogen, melainkan melalui pembentukan tuberkel-tuberkel kecil berwarna putih. Tuberkel kemudian melunak, pecah dan masuk ke dalam ruang sub arakhnoid dan ventrikulus sehingga terjadi peradangan yang difus. Penyebaran kuman dalam ruang subarakhnoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan arakhnoid, CSS, ruang sub arakhnoid dan ventrikulus.

Akibat reaksi radang ini terbentuknya eksudat kental serofibrinosa dan gelatinosa oleh kuman-kuman dan toksin yang mengandung sel-sel mononuklear, limfosit, sel plasma, makrofag, sel raksasa dan fbroblas. Ekudat ini dapat juga terkumpul terutama di dasar tengkorak. Eksudat juga menyebar melalui pembuluh pembuluh darah pia dan menyerang jaringan otak di bawahnya sehingga proses sebenarnya adalah meningoensefalitis. Eksudat juga dapat menyumbat akuaduktus sylvii, foramen magendi, foramen luschka dengan akibat terjadinya hidrosefalus, edema pail dan peningkatan tekanan intrakranial. Kelainan juga terjadi di pembuluh darah yang berjalan dalam ruang subarakhnoid berupa kongesti, peradangan dan penyumbatan, sehingga selain ateritis dan flebitis juga mengakibatkan infark otak terutama pada bagian korteks, medula oblongata dan ganglia basalis yang kemudian mengakibatkan perlunakan otak dengan segala akibatnya. Gambaran Klinis Stadium I Stadium prodromal berlangsung lebih kurang 2 minggu sampai 3 bulan. Permualaan bersifat sub akut dengan tanda-tanda infeksi umum. a. Pada anak kecil, gejala dan tanda nya : - tanpa panas atau kenaikan suhu yang ringan - muntah - tidak nafsu makan dan berat badan turun - murung, cengeng, dan mudah tersinggung - tidur terganggu - gangguan kesadaran apatis b. Pada anak yang lebih besar, gejala dan tandanya : - nyeri kepala - tidak nafsu makan - muntah-muntah - obstipasi - pola tidur terganggu c. Pada dewasa, gejala dan tandanya : - panas yang hilang timbul - nyeri kepal - konstipasi - tidak ada nafsu makan - fotofobia - nyeri punggung - halusinasi - delusi - sangat gelisah Stadium II Gejala dan tandanya yaitu : kejang umum atau fokal terutama anak bayi tanda-tanda rangsangan meningeal nyata, tubuh kaku dan opistotonus peningkatan tekanan intrakranial muntah lebih hebat nyeri kepala yang bertambah berat kesadaran yang makin menurun

- terdapat gangguan nervi kranialis : N. II, III, IV, VI, VII dan VIII Stadium III Gejala dan tanda yaitu : suhu tidak teratur dan semakin tinggi pernapasan dan nadi tidak teratur ( cheyne-stokes atau kussmaul) retensi atau inkotinensia urin gangguan kesadaran makin menurun sampai koma

Diagnosis Anamnesis diarahkan pada riwayat kontak dengan penderita tuberkulosi, keadaan sosioekonomi, imunisasi, dsb. Gejala-gejala yang khas untuk meningitis tuberkulosa ditandai dengan tekanan intrakranial yang meninggi : muntah yang hebat, nyeri kepala yang progresif. Pungsi lumbal memperlihatkan CSS yang jernih, kadang sedikit keruh atau ground glass appearance. Bila CSS didiamkan dakan terjadi pengendapan fibrin yang halus seperti sarang laba-laba. Jumlah sel antara 10 500/ml dan kebanyakan limfosit, kadar glukoasa rendah antara 20 -40 mg%, kadar klorida di bawah 600 mg%. CSS dan endapan sarang laba-laba dapat dibiakan atau dikultur menurut pengecatan Ziehl-Nielsen atau Tan Thiam Hok. Tes tuberkulin biasa dilakukan pada bayi dan anak, hasil sering kali negatif karena keadaan anergi. Pemeriksaan lainnya seperti : foto dada dan kolumna vertebralis, rekaman EEG, dan CT scan. Penanganan Perawatan umum Perawatan penderita meliputi kebutuhan cairan dan elektrolit, kebutuhan gizi, perawatan kandung kemih dan defekasi. Waspada terhadap hiperpireksia, gelisah atau kejang. Pengobatan 1. Isoniazida atau INH Dosis 10 20 mg/kg BB/hari (pada anak) dan pada dewasa dengan dosis 400 mg/hari. ES : poli neuritis. 2. Streptomisin Dosis 30-50 mg/kg BB/hari selama 3 bulan secara IM sampai CSS menjadi normal. Obat jenis lain dapat diteruskan selama 2 tahun. Bersifat : ototoksik, mengganggu sumsum tulang dan nefrotoksik, neuropati. 3. Rifampisin Dosis 10-20 mg/kg BB/hari. Orang dewasa 600 mg/hari dengan dosis tunggal. Hati-hati : neuritis optika pada anak < 5 tahun. ES : muntah, kelainan darah perifer, gangguan hepar, dan flu-like symptoms. 4. PAS atau para amino salicylic acid Dosis 200 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal 12 gram /hari. ES : gangguan nafsu makan. ES : demam, mual, muntah, diare, artritis dan terganggunya nafsu makan.

5. Etambutol Dosis 25 mg/kg BB/ hari sampai 1500 mg/hari, selama 2 bulan. ES : neuritis optika. ES : hepatotoksik, polineuropati dan kejang. 6. Kortikosteroid (prednison) Dosis 2-3 mg.kg BB/hari (dosis normal 20 mg/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 2-4 minggu kemudian diteruskan dengan dosis 1 mg/kg BB/hari selama1-2 minggu. Diberikan bila ada edema otak. 7. Tuberkulin intratekal Untuk mengaktivasi enzim lisosomalyang menghancurkan eksudat di bagian dasar otak. 8. Pemberian enzim proteolitis Untuk menghalangi adesi. Bila berhasil maka nyeri kepala dan gannguan mental akan hilang. D. TUBERKULOSIS GINJAL Patofisiologi Basil tuberkulosis mencapa ginjal atau epididimis secara hematogen dan menyebabkan gambaran patologik yang khas berupa kelainan granulomatosa dengan pengkijauan sentral yang akhirnya cenderung mengalami kalsifikasi atau membentuk kaverne. Dari ginjal terjadi penyebaran infeksi secara desendens melalui ureter yang dapat mengalami striktur fibrosa. Di kandung kemih, tuberkulosis mulai tampak sebagai bengkak dan kemerahan sekitar muara ureter di trigonum. Tuberkulosis menyebar di kandung kemih dengan tukak kecil di mukosa yang menjadi fibrotik dan mengakibatkan pengerutan. Penyebaran tuberkulosis ke saluran kemih dapat terjadi puluhan tahun setelah kompleks primer. Tuberkulosis saluran kemih tidak jarang ditemukan bersamaan dengan tuberkulosis sekunder tulang belakang. Penyebaran hematogen ke prostat atau epididimis tidak berkaitan dengan tuberkulosis ginjal. Tuberkulosis ginjal pada awalnya merupakan penyebaran milier kiri dan kanan di korteks. Sarang milier ini berkembang menjadi rahang granulasi yang mengalami nekrosis secara perkijauan yang mungkin membentuk kaverne atau sembuh lokal dengan fibrosis, pengerutan, retraksi dan kalsifikasi. Perforasi nekrosis kaliks di pielum menyebabkan penyebaran secara desendens. Tuberkulosis di pielum, ureter, kandung kemih dan prostat pada prinsipnya menunjukkan gambaran yang sama, kecuali pengkijauan tidak menyebabkan kaverne melainkan ulkus. Fibrosis menyebabkan retraksi dan penyempitan sehingga terjadi obstruksi dengan segala konsekuensinya. Gambaran Klinik Gambaran klinik tuberkulosis saluran kemih ditentukan oleh kelainan patologik yang disebabkan penyakit. Pada tuberkulosis ginjal yang mengalami radang tuberkulosis, nekrosis dan kaverne. Keluhan mungkin sedikit walaupun keluhan umum tetap ada karena dampak penyakit sistemik atau gangguan faa ginjal progresif. Dapat juga terjadi obstruksi, perdarahan atau radang. Insidens tuberkulosis ginjal dianggap jauh lebih

tinggi daripada yang berhasil didiagnosis. Pielitis dan sistisis dengan penyebaran asendens dan desendens mungkin disebabkan oleh radang bakterial nonspesifik sebagai infeksi ikutan selain radang spesifik tuberkulosis. Epididimitis spesifik tuberkulosis merupakan infeksi spesifik kronik yang sering tembus di kulit skrotum menyebabkan fistel tunggal atau multipel. Nyeri tidak menjadi gejala penting. Pada palpasi, epididimitis mungkin agak keras demikian juga vas deferens teraba mirip dengan rantai tasbih. Diagnosis Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan mikroskopik sediaan sekret untuk mencari Mycobacterium tuberculosis Biakan kuman dan pemeriksaan patologik anatomi selain pemeriksaan jasmani dan pecitraan terarah juga dilakukan. Kesulitan diagnostik disebabkan oleh keanekaragaman manifestasi klinis penyakit tersebut menurut tingkat penyakit dan penyulitnya. Ada beberapa tanda yang bisa menimbulkan kecurigaan adanya tuberkulosis saluran genital, seperti kemih nanah steril, epididimitis kronik tanpa atau disertai fistel, gejala infeksi saluran kemih yang tidak bisa hilang dengan pengobatan biasa, kalsifikasi pada parenkim ginjal dan adanya fokus infeksi tuberkulosis di tempat lain. Penatalaksanaan Penanganan pada garis besar dianjurkan sama dengan dan sesuai dengan terapi tuberkulosis lainnya. Terapi medis merupakan terapi dasar. Antituberkulosis diberikan dalam kemasan kombinasi. Pembedahan pada penderita tuberkulosis dapat dipertimbangkan bila terapi medis gagal, seperti penyaliran atau pengeluaran sarang atau sisa sarang tuberkulosis. Organ yang rusak yang menganggu dan untuk memperbaiki perubahan atau penyulit sekunder seperti stenosis saluran kemih atau kerusakan kandung kemih. Tindak bedah baru dikerjakan setelah diberikan tuberkulosis. Tindak bedah pada penderita yang pernah mengidap tuberkulosis harus dilakukan dengan perlindungan tuberkulosis sebagai tindak profilaktik mencegah kambuhnya tuberkulosis. E. TUBERKULOSIS PERITONEAL Definisi Tuberkulosis peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau visceral yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, dan terlihat penyakit ini juga sering mengenai seluruh peritoneum, alat-alat system gastroinbtestinal, mesenterium dan organ genetalia interna. Penyakit ini jarang berdiri sendiri dan biasanya merupakan kelanjutan proses tuberkulosa di tempat lain terutama dari tuberkulosa paru, namun sering ditemukan bahwa pada waktu diagnosa ditegakkan proses tuberkulosa di paru sudah tidak kelihatan lagi. Hal ini bisa terjadi karena proses tuberkulosa di paru mungkin sudah menyembuh terlebih dahulu sedangkan penyebaran masih berlangsung di tempat lain. Patogenesis Peritoneum dapat dikenai oleh tuberculosis melalui beberapa cara: 1. Melalui penyebaran hematogen terutama dari paru-paru 2. Melalui dinding usus yang terinfeksi 3. Dari kelenjar limfe mesenterium 4. Melalui tuba falopi yang terinfeksi

Pada kebanyakan kasus tuberkulosis peritoneal terjadi bukan sebagai akibat penyebaran perkontinuitatum tapi sering karena reaktifasi proses laten yang terjadipada peritoneum yang diperoleh melalui penyebaran hematogen proses primer terdahulu (infeksi laten Dorman infection. Seperti diketahui lesi tuberkulosa bisa mengalami supresi dan menyembuh. Infeksi masih dalam fase laten dimana ia bisa menetap laten selama hidup namun infeksi tadi bisa berkembang menjadi tuberkulosa pada setiap saat. Jika organism nintrasseluler tadi mulai bermutiplikasi secara cepat. Patologis Terdapat 3 bentuk peritonitis tuberkulosa : 1. Bentuk eksudatif Bentuk ini dikenal juga sebagai bentuk yang basah atau bentuk asites yang banyak, gejala menonjol ialah perut membesar dan berisi cairan (asites). Pada bentuk ini perlengketan tidak banyak dijumpai. Tuberkel sering dijumpai kecil-kecil berwarnaputih kekuning-kuningan milier, nampak tersebar di peritoneum atau pada alat-alat tubuh yang berada di rongga peritoneum. Disamping partikel yang kecil-kecil yang dijumpai tuberkel yang lebih besar sampai sebesar kacang tanah. Disekitar tuberkel terdapat reaksi jaringan peritoneum berupa kongesti pembuluh darah. Eksudat dapat terbentuk cukup banyak, menutupi tuberkel dan peritoneum sehingga merubah dinding perut menjadi tegang, Cairanasites kadang-kadang bercampur darah dan terlihat kemerahan sehingga mencurigakan kemungkinan adanya keganasan. Omentum dapat terkena sehingga terjadi penebalan dan teraba seperti benjolan tumor. 2. Bentuk adhesif Disebut juga sebagai bentuk kering atau plastik dimana cairan tidak banyak dibentuk. Pada jenis ini lebih banyak terjadi perlengketan. Perlengketan yang luas antara usus dan peritoneum sering memberikan gambaran seperti tumor, kadangkadang terbentuk fistel. Hal ini disebabkan karena adanya perlengketanperlengketan. Kadangkadang terbentuk fistel, hal ini disebabkan karena perlengketan dinding usus dan peritoneum parintel kemudian timbul proses necrosis. Bentuk ini sering menimbulkan keadaan ileus obstruksi . Tuberkel-tuberkel biasanya lebih besar. 3. Bentuk campuran Bentuk ini kadang-kadang disebut juga kista, pembengkakan kista terjadi melalui proses eksudasi bersama-sama dengan adhesi sehingga terbentuk cairan dalam kantong-kantong perlengketan tersebut. Beberapa penulis menganggap bahwa pembagian ini lebih bersifat untuk melihat tingkat penyakit, dimana pada mulanya terjadi bentuk exudatif dankemudian bentuk adhesive. Pemberian hispatologi jaringan biopsy peritoneum akan memperlihatkan jaringan granulasi tuberkulosa yang terdiri dari sel-sel epitel dan sel datia langerhans, dan pengkejutan umumnya ditemukan. Gejala klinis Pada pemeriksaan jasmani gejala yang sering dijumpai adalah asites, demam, pembengkakan perut, nyeri perut, pucat dan kelelahan, tergantung lamanya keluhan. Keadaan umum pasien bisa masih cukup baik sampai keadaan kurus dan kahexia, pada wanita sering dijumpai tuberkulosa peritoneum disertai oleh proses tuberculosis pada ovarium atau tuba, sehingga pada alat genital bisa ditemukan tanda-tanda peradangan yang sering sukar dibedakan dengan kista ovari. Diagnosis Pemeriksaan darah tepi sering dijumpai adanya anemia penyakit kronis, leukositosis ringan ataupun leukopenia , trombositosis, gangguan faal hati dan sering dijumpai laju

endap darah (LED) yang meningkat, sedangkan pada pemeriksaan tes tuberculin hasilnya sering negative. Pada pemeriksaan analisa cairan asites umumnya memperlihatkan exudat dengan protein > 3 gr/dl jumlah sel diatas 100-3000sel/ml. Biasanya lebih dari 90% adalah limfosit LDH biasanya meningkat. Cairan asites yang perulen dapat ditemukan begitu juga cairan asites yang bercampur darah (serosanguinous). Pemeriksaan basil tahan asam (BTA) didapati hasilnya kurang dari 5 % yang positif dan dengan kultur cairan ditemukan kurang dari 20% hasilnya positif. Ada beberapa peneliti yang mendapatkan hampir 66% kultur BTAnya yang positif dan akan lebih meningkat lagi sampai 83% bila menggunakan kultur cairan asites yang telah disetrifugejengan jumlah cairan lebih dari 1 liter. Dan hasil kultur cairan asites ini dapat diperoleh dalam waktu 4-8 minggu. Perbandingan serum asites albumin (SAAG) pada tuberculosis peritoneal ditemukan rasionya < 1,1 gr/dl namun hal ini juga bisa dijumpai pada keadaan keganasan, sindroma neprotik, penyakit pancreas , kandung empedu atau jaringan ikat sedangkan bila ditemukan >1,1 gr/dl ini merupakan cairan asites akibat portal hipertensi. Perbandingan glukosa cairan asites dengan darah pada tuberculosis peritoneal<0,96 sedangkan pada asites dengan penyebab lain rationya >0,96. Penurunan PH cairan asites dan peningkatan kadar laktat dapat dijumpai pada tuberculosis peritoneal dan dijumpai signifikan berbeda dengan cairan asites pada sirosis hati yang steril, namun pemeriksaan PH dan kadar laktat cairan asites ini kurang spesifik dan belum merupakan suatu kepastian karena hal ini juga dijumpai pada kasus asites oleh karena keganasan atau spontaneous bacterial peritonitis. Pemeriksaan cairan asites lain yang sangat membantu, cepat dan non invasive adalah pemeriksaan ADA (adenosin deminase actifity), interferon gama (IFN ) dan PCR. Dengan kadar ADA > 33 u/l mempunyai Sensitifitas 100%. Spesifitas 95%, dan dengan Cutt off > 33 u/l mengurangi false positif dari sirosis hati ataumalignancy. Pada sirosis hati konsentrasi ADA signifikan lebih rendah dari tuberculosis peritoneal (14 10,6 u/l) Hafta A dkk dalam suatu penelitian yang membandingkan konsentrasi ADA terhadap pasien tuberculosis peritoneal , tuberculosis peritoneal bersamaan dengan sirosis hati dan passien-pasien yang hanya sirosis hati. Mereka mendapatkan nilai ADA 131,1 38,1, u/l pada pasien tuberculosis peritoneal, 29 18,6 u/l pada pasien tuberculosis dengan sirosis hati dan 12,9 7 u/l pada pasien yang hanya mempunyai sirosis hati, sedangkan pada pasien dengan konsentrasi protein yang rendah dijumpai Nilai ADA yang sangat rendah sehingga mereka menyimpulkan pada konsentrasi asietas dengan protein yang rendah nilai ADA dapat menjadi falsenegatif. Untuk ini pemeriksaan Gama interferon (INF ) adalah lebih baik walaupun nilainya dalah sama dengan pemeriksaan ADA, sedangkan pada pemeriksaan PCR hasilnya lebih rendah lagi disbanding kedua pemeriksaan tersebut. Fathy ME melaporkan angka sensitifitas untuk pemeriksaan tuberculosis peritoneal terhadap Gama interferon adalah 90,9 % , ADA : 18,8% dan PCR 36,3% dengan masing-masing spesifitas 100%.(17). Peneliti lain yang meneliti kadar ADA adalah Bargava. Bargava dkk melakukan penelitian terhadap kadar ADA pada cairan esites dan serum penderita peritoneal tuberculosis. Kadar ADA >36 u/l pada cairan esites dan > 54 u/l pada serum mendukung suatu diagnosis tuberculosis peritoneal. Perbandingan cairan asites dan serum (asscitic / serum ADA ratio) lebih tingggi padatuberculosis peritoneal dari pada kasus lain seperti sirosis, sirosisdengan spontaneous bacterial peritonitis,Budd chiary dan Ratio > 0,984 menyokong suatu tuberculosis. Pemeriksaan lain adalah pemeriksaan CA-125.CA-125 (Canker antigen 125) termasuk tumor associated glycoprotein dan terdapat pada permukaan sel. CA-125 merupakan antigen yang terkait karsinoma ovarium, antigen ini tidak ditemukan pada ovarium orang

dewasa normal, namun CA-125 ini dilaporkan, juga meningkat pada keadaan benigna dan maligna, dimana kira-kira 80% meningkat pada wanita dengan keganasan ovarium, 26% pada trimester pertama kehamilan, menstruasi, endometriosis, myoma uteri daan salpingitis, juga kanker primer ginekologi yang lain sepeerti endometrium, tuba falopi, endocervix, pancreas,ginjal,colon juga pada kondisi yang bukan keganasan seperti gagal ginjal kronik, penyakit autoimum, pancreas, sirosis hati, peradangan peritoneum seperti tuberculosis,pericardium dan Pleura namun beberapa laporan yang menemukan peningkatan kadar CA-25 pada penderita tuberkulossis peritoneal seperti yang dilaporkan oleh Sinsek H (Turkey 1996). Zain LH (Medan 1996).(8,21) Zain LH di Medan pada tahun 1996 menemukan dari 8 kasus tuberculosis peritoneal dijumpai kadar CA-125 meninggi dengan kadar rata-rata 370,7 u/ml (66,2 907 u/ml) dan menyimpulkan bila dijumpai peninggian serum CA-125 disertai dengan cairan asites yang eksudat, jumlah sel > 350/m3, limfosit yang dominan maka tuberculosis peritoneal dapat dipertimbangkan sebagai diagnose. Bebrapa peneliti menggunakan CA-125 ini untuk melihat respon pengobatan seperti yang dilakukan Mas MR dkk (Turkey, 2000) menemukan CA-125 sama tingginya dengan kanker ovarium dan setelah pemberian anti tuberkulosa kadar serum CA-125 menjadi normal dimana yang sebelumnya kadar rata-rata CA-125, 475,80 5,8 u/ml (Normal < 35 u/ml) setelah 4 bulan pengobatan anti tuberkulosa. Akhir-akhir ini Teruya J dkk pada tahun 2000 di Jepang menemukan peningkatan kadar CA 19-9 pada serum dan cairan asites penderita tuberculosis peritoneal dan setelah diobati selama 6 minggu dijumpai penurunan CA19-9 menjadi normal. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Rontgen : Pemeriksaan sinar tembus pada system pencernaan mungkin dapat membantu jika didapat kelainan usus kecil atau usus besar. Ultrasonografi : Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat dilihat adanya cairan dalam rongga peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-kantong) menurut Rama & Walter B, gambaran sonografi tuberculosis yang sering dijumpai antara lain cairan yang bebas atau terlokalisasi dalam rongga abdomen. Abses dalam rongga abdomen, masa didaerah ileosaecal dan pembesaran kelenjar limfe retroperitoneal, adanya penebalan mesenterium, perlengketan lumen usus dan penebalan omentum, mungkin bisa dilihat dan harus diperiksa dengan seksama. Mizzunoe dkk berhasil menggunakan USG sebagai alat Bantu biopsy secara tertutup dalam menegakkan diagnosa peritonitis tuberkulosa. CT Scan : Pemeriksaan CT Scan untuk peritoneal tuberculosis tidak ada ditemui suatu gambaran yang khas, namun secara umum ditemui adanya gambaran peritoneum yang berpasir dan untuk pembuktiannya perlu dijumpai bersamaan dengan adanya gejala klinik dari tuberculosis peritoneal. Rodriguez E dkk yang melakukan suatu penelitian yang membandingkan tuberculosis peritoneal dengankarsinoma peritoneal dan karsinoma peritoneal dengan melihat gambaran CT Scan terhadap peritoneum parietalis. Adanya peritoneum yang licin dengan penebalan yang minimal dan pembesaran yang jelas menunjukkan suatu peritoneum tuberculosis sedangkan adanya nodul yang tertanam dan penebalan peritoneum yang teratur menunjukkan suatu perintoneal karsinoma. Peritonoskopi (Laparoskopi) : Peritonoskopi / laparoskopi merupakan cara yang relatif aman, mudah dan terbaik untuk mendiagnosa tuberculosis peritoneal terutama bila ada cairan asites dan sangat berguna

untuk mendapat diagnosa pasien-pasien muda dengan simtom sakit perut yang tak jelas penyebabnya (27,28) dan cara ini dapat mendiagnosa tuberculosis peritoneal 85% sampai 95% dan dengan biopsy yang terarah dapat dilakukukan pemeriksaan histology dan bisa menemukan adanya gambaran granuloma sebesar 85% hingga 90% dari seluruh kasus dan bila dilakukan kultur bisa ditemui BTA hampir 75%. Hasil histology yang lebih penting lagi adalah bila didapat granuloma yang lebih spesifik yaitu jika didapati granuloma dengan perkejuan. Gambaran yang dapat dilihat pada tuberculosis peritoneal : 1. Tuberkel kecil ataupun besar dengan ukuran yang bervariasi yang dijumpai tersebar luas pada dinding peritoneum dan usus dan dapat pula dijumpai permukaan hati atau alat lain tuberkel dapat bergabung dan merupakan sebagai nodul. 2. Perlengketan yang dapat berpariasi dari ahanya sederhana sampai hebat(luas) diantara alat-alat didalam rongga peritoneum. Sering keadaan ini merubah letak anatomi yang normal. Permukaan hati dapat melengket pada dinding peritoneum dan sulit untuk dikenali. Perlengketan diantara usus mesenterium dan peritoneum dapat sangat ekstensif. 3. Peritoneum sering mengalami perubahan dengan permukaan yang sangat kasar yang kadang-kadang berubah gambarannya menyerupai nodul. 4. Cairan esites sering dujumpai berwarna kuning jernih, kadang-kadang cairan tidak jernih lagi tetapi menjadi keruh, cairan yang hemoragis juga dapat dijumpai. Biopsi dapat ditujukan pada tuberkel-tuberkel secara terarah atau pada jaringan lain yang tersangka mengalami kelainan dengan menggunakanalat biopsy khusus nsekaligus cairan dapat dikeluarkan. Walaupun pada umumnya gambaran peritonoskopi peritonitis tuberculosis dapat dikenal dengan mudah, namun gambaran gambarannya bisa menyerupai penyakit lain seperti peritonitis karsinomatosis, karena itu biopsy harus selalu diusahakan dan pengobatan sebaiknya diberikan jika hasil pemeriksaan patologi anatomi menyokong suatu peritonitis tuberkulosa. Peritonoskopi tidak selalu mudah dikerjakan dan dari 30 kasus, 4 kasus tidak dilakukan peritonoskopi karena secara tehnis dianggap mengandung bahaya dan sukar dikerjakan. Adanya jaringan perlengketan yang luas akan merupakan hambatan dankesulitan dalam memasukkan trokar dan lebih lanjut ruangan yang sempit di dalam rongga abdomen juga menyulitkan pemeriksaan dan tidak jarang alat peritonoskopi terperangkap didalam suatu rongga yang penuh dengan perlengketan, sehingga sulit untuk mengenal gambaran anatomi alat-alat yang normal dan dalam keadaan demikian maka sebaiknya dilakukan laparotomi diagnostik. Pengobatan Pada dasarnya pengobatan sama dengan pengobatan tuberculosis paru, obat-obat seperti streptomisin, INH, Etambutol, Ripamficin dan pirazinamid memberikan hasil yang baik, dan perbaikan akan terlihat setelah 2 bulan pengobatan dan lamanya pengobatan biasanya mencapai sembilan bulan sampai 18 bulan atau lebih. Beberapa penulis berpendapat bahwa kortikosteroid dapat mengurangi perlengketan peradangan dan mengurangi terjadinya asites. Dan juga terbukti bahwa kortikosteroid dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian,namun npemberian kortikosteroid ini harus dicegah pada daerah endemis dimana terjadi resistensi terhadap Mikobakterium tuberculosis. Alrajhi dkk yang mengadakan penelitian secara retrospektif terhadap pasien dengan tuberculosis peritoneal mendapatkan bahwa pemberian kortikosteroid sebagai obat tambahan terbukti dapat mengurangi insidensi sdakit perut dan sumbatan pada usus.

Pada kasus-kasus yang dilakukan peritonoskopi sesudah pengobatan terlihat bahwa partikel menghilang namun di beberapa tempat masih dilihat adanya perlengketan. F. TUBERKULOSIS KULIT Tuberkulosis kulit dapat terjadi melalui 2 mekanisme, pertama infeksi primer atau inokulasi langsung kuman TB di kulit dan yang kedua TB pasca primer salah satunya adalah limfadenitis TB yang pecah ke kulit. Contoh yang pertama antara lain tuberculous chancre. Sedangkan contoh kedua adalah skrofuloderma dan lupus vulgaris. Diantara berbagai TB kulit secara klinis, skrofuloderma merupakan yang paling khas dan merupakan manifestasi TB di kulit yang palimg sering dijumpai pada anak. Skrofuloderma terjadi akibat penjalaran perkontinuitatum dari kelenjar getah bening yang terkena TB. Manifestasi klinis skrofuloderma adalah sama dengan gejala umum TB pada anak. Pembentukan Lesi kulitnya dijelaskan sebagai berikut. Pada awalnya terdapat pembesaran kelenjar getah bening yang soliter kemudian melibatkan kelenjar di sekitarnya ( multipel ). Lesi awal skrofuloderma berupa nodul subkutan atau infiltrat subkutan dalam yang keras ( firm ), berwarna merah kebiruan dan tidak menimbulkan keluhan ( asimtomatik ). Infiltrat kemudian meluas / membesar dan menjadi padat kenyal ( matted and doughy ). Lesi kemudian mengalami pencairan dan menjadi fluktuatif. Kemudian lesi pecah ( terbuka ke permukaan kulit ) dan membentuk ulkus berbentuk linier atau serpiginosa. Ulkus ini mempunyai dasar yang bergranulasi dan tidak beraturan, dengan tepi bergaung ( inverted ) dan berwarna kebiruan. Cairan ( discharge ) yang keluar dari lesi ini dapat bersifat cair, purulen, ataupun kaseosa. Dapat dijumpai fistulafistula yang saling berhubungan dan membentuk kantung-kantung subkutan yang lunak dan berisi cairan ( discharge ). Selain kantung-kantung yang lunak ini terdapat juga nodul gummatosa yang sedikit lebih keras. Kemudian terbentuk jaringan parut / sikatriks berupa pita / benang fibrosa padat, yang membentuk jembatan diantara ulhus-ulkus atau daerah kulit yang normal. Pada pemeriksaan, didapatkan berbagai bentuk lesi, yaitu plak dengan fibrosis padat, sinus yang mengeluarkan cairan, serta massa yang fluktuatif. Skrofuloderma biasanya ditemukan di leher dan wajah, di tempat yang mempunyai kelompok kelenjar getah bening, misalnya di daerah parotis, submandibula, subpraklavikola, dan daerah lateral leher. Selain itu, skrofuloderma dapat timbul di ekstremitas atau trunkus tubuh, yang disebabkan oleh tuberkulosis tulang dan sendi. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sama seperti pemeriksaan untuk menentukan diagnosis TB secara umum. Pemeriksaan yang spesifik adalah biopsi kelenjar getah bening dengan cara aspirasi jarum halus ( FNAB, fine nedle aspiration biopsy ) ataupun secara biopsi terbuka ( open biopsy ). Pada pemeriksaan tersebut dicari adanya M. tuberkulosis dengan cara kultur dan pemeriksaan histopatologis ringan. Hasil PA dapat berupa granuloma dengan nekrotik di bagian tengahnya, terdapat sel datia Langhans, sel epiteloid dan limfosit serta basil tahan asam. Tata laksana skrofuloderma sama dengan tata laksana TB paru pada anak yaitu dengan pemberian OAT berupa rifampisin, INH, dan pirazinamid. Lama pemberian OAT pada skrofuloderma berbeda dengan TB paru yaitu pemberian rifampisin dan INH selama 6 bulan sedangkan pirazinamid tetap 2 bulan. Untuk tata laksana lokal / topikal tidak ada yang khusus, cukup dengan kompres atau higiene yang baik. G. TUBERCULOSIS MATA

TB pada mata umumnya mengenai konjungtiva dan kornea sehingga sering disebut keratokonjungtivitis fliktenularis. Keratokonjungtivitis fliktenularis ( KF ) adalah penyakit pada konjungtivitis dan kornea yang ditandai oleh terbentuknya satu atau lebih nodul inflamasi yang disebut flikten pada daerah limbus. Umumnya ditemukan pada anak usia 3 - 15 tahun dengan faktor resiko berupa kemiskinan, kepadatan penduduk, sanitasi buruk, dan keadaan malnutrisi. Penyebab KF dapat dibagi 2 kelompok besar yaitu M. tuberculosis dan non tuberkulosis. Pada kelompok kedua yang tersering adalah golongan stafilokokus dan askariasis. Patogenesis KF masih belum diketahui, tetapi diduga akibat respons alergik terhadap tuberkulosis yang sistemik. Hal ini dapat terjadi karena reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen. Manifestasi klinis KF dapat berupa iritasi, nyeri, lakmirasi dan fotofobia serta dapat mengeluarkan sekret mata. Gambaran khas KF adalah berupa nodul kecil berwarna putih / merah muda pada konjungtiva disertai hiperemis disekitarnya. Nodul tersebut dapat timbul berulang dan dapat menimbulkan sikatriks yang mengakibatkan kebutaan. Apabila KF disebabkan TB, maka gambaran TB anak secara umum dapat terlihat seperti demam lama, berat badan tidak naik, dan sebagainya. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah untuk mencari penyebabnya seperti uji tuberkulin, pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan feses. Yang perlu diperhatikan adalah pemeriksaan tuberkulin bila memungkinkan menggunakan tuberkulin dengan kekuatan ringan ( first strength ). Alasannya adalah karena diduga merupakan reaksi hipersensitivitas maka apabila diberikan dengan kekuatan sedang ( second strength ), maka dapat menimbulkan flare up pada konjungtiva maupun reaksi berlebihan pada lokasi penyuntikan tuberkulin. Untuk menyingkirkan penyebabkan stafilokokus perlu dilakukan usap konjungtiva. Tata laksana KF tidak terlepas dari tata laksana TB pada anak secara keseluruhan yaitu pemberian obat anti tuberkulosis seperti rifampisin, INH dan pirazinamid. Dosis dan lama pemberian OAT sama seperti pembuatan TB paru. Selain terapi diatas, pemberian kortikosteroid topikal mempunyai efek yang baik. Tindakan keratoplasti dilakukan apabila telah terjadi komplikasi parut kornea. Komplikasi yang mungkin timbul adalah ulkus fasikuler, parut kornea dan perforasi kornea. Meskipun jarang, penggunaan kortikosteroid topikal dapat menyebabkan glaukoma dan katarak. H. TUBERCULOSIS HATI Tuberkulosis hati merupakan salah satu tuberkulosis extrapulmonal yang jarang ditemukan. Terjadinya tuberkulosis hati melalui proses penyebaran hematogen dari infeksi primer di paru kemudian mencapai sistem hepatobilier melalui vena porta. Selain itu tuberkel di hati dapat terjadi melalui jalur limfatik yaitu rupturnya kelenjar limpe porta hepatik yang membawa M. tuberculosis ke hati. Lesi tuberkulosis di hati dapat berupa granuloma milier kecil ( tuberkel ). Granuloma dimulai dengan proliferasi fokal sel Kupffer yang membentuk nodul kecil sebagai reaksi terhadap adanya M. tuberculosis dalam sinusoid hati. Makrofag dan basil membentuk tuberkel yang mengandung sel - sel epiteloid, sel datia Langhans ( makrofag yang bersatu ) dan limfosit T. Peningkatan aktifitas limfosit T ini terjadi akibat timbulnya hipersensitivitas tipe lambat yang memusnahkan makrofag setempat dan jaringan sekitarnya yang akhirnya membentuk perkijuan. Kejadian diatas akan merusak jaringan sehingga terjadi fibrosis. Manifestasi klinis tuberkulosis hati tidak terlepas dari gejala klinis

umum TB anak seperti demam, berat badan yang tidak naik dan anoreksia. Gejala tambahan adalah hepatomegali, splenomegali, nyeri perut dan ikterus. Pemeriksaan penunjang TB anak secara umum tetap dikerjakan disamping pemeriksaan tambahan untuk menentukan diagnosis tuberkulosis hati. Pemeriksaan tambahan untuk membantu diagnosis tuberkulosis hati adalah uji fungsi hati, USG hati dan biopsi hati. Pada pemeriksaan uji fungsi hati terjadi peningkatan enzim transaminase ( SGOT, SGPT, Gamma GT ). Pemeriksaan USG hati dapat memperlihatkan gambaran nodul multipel dan klasifikasi. Gambaran histopatologi hati pada tuberkulosis hati menunjukkan gambaran granuloma dengan perkijuan dan sel datia Langhans. Tata laksana tuberkulosis hati adalah pemberian obat anti tuberkulosis dengan 4 macam obat yaitu rifampisin, INH, pirazinamid, dan etambutol. Dosis OAT sama seperti TB yang lainnya. Rifampisin dan INH diberikan selama 12 bulan, sedangkan pirazinamid dan etambutol diberikan 2 bulan pertama pengobatan. Mengingat bahwa OAT yang diberikan bersifat hepatotoksik sedangkan fungsi hatinya menurun maka pemantauan terhadap uji fungsi hati sangat diperlukan. Pemantauan ketat sebaiknya dilakukan pada 2 bulan pertama dengan perhatian khusus pada 2 minggu pertama pengobatan. I.TUBERKULOSIS JANTUNG Perikarditis TB jarang, hanya 0,5 4 % dari TB anak. Perikarditis TB biasanya terjadi akibt invasi kuman secara langsung atau drainase limfatik dari kelenjar limfe subkarinal. Gejalanya tidak khas, yaitu demam subfebris, lesu dan berat badan turun, dan nyeri dada. Dapat ditemukan friction rub dan suara jantung melemah dengan pulsus paradoksus. Terdapat cairan perikard yangkhas, yaitu serofibrinosa atau hemoragik. BTA jarang ditemukan pada cairan perikard, tetapi kultur dapat positif pada 30 70 % kasus. Hasil kultur positif dari biopsy perikar tinggi dan adanya granuloma sering menyokong diagnosis. Pada pengobatan perikarditis TB, selain OAT diperlukan jika terjadi penyempitan perikard. J. SKELETAL TUBERKULOSIS Epidemiologi Skelental TB =5% dari pasien TB

TB spine yang sering terjadi pada usia 3-5 tahun. Namun, sekarang sekarang ini orang dewasa dan yang lebih tua juga cenderung terkena Etiologi Organism penginfeksi= my cobacterium tuberculosis Data yang sekarang menunjukan 2 juta orang didunia terkena TB aktip

M.Tuberculosis ini masuk ketubuh manusia melalui paru paru (droplet infection ) dan pencernaan (menelan produk susu yang sudah terinfeksi) atau kulit (jarang) Faktor Predisposisis Debilitating disorder seperti influenza, malnutrisi, hygiene rendah

Pathology

Drug abuse AIDS Penggunaaan corticosteroid jangka panjang

Mybacterium tuberculosis (human,kadangkala bovine) memasuki tubuh melalui paru paru atau usus, atau bahkan kulit . Sehingga menyebabkan reaksi granulomatous yang berkaitan dengan nekrosis jaringan. 1. Primary complex lesi awal biasanya terdapat diparu, pharynx atau usus yang kemudian menyebar melalui aliran limpatik keregional lymph nodes. bakteri terinfeksi didalam nodule an tidak muncul manifestasi klinis.

infeksi awal memiliki dua kemungkinan: didalam nodule yang sembuh atau terkalsifilasi, bacilli mungkin bertahan hidup sampai beberapa tahun, dan menadikan orang yang terinfeksi sebagai reservoir. Tubuh telah dibuat peka terhadap toxin dan apabila terjadi reinfection, respon akan berbeda dan akan cenderung menumbulkan efek destruktif.

2.

secondary speread Apabila resistasi terhadap infeksi awal rendah,maka akan terjadi penyebaran melalui aliran darah, menghasilkan military TB atau mengingitis. Pada umumnya penyebaran dapat terjadi beberapa bulan atau tahun setelahnya, dan bacilli terdeposit dijaringan extrapulmonary. Beberapa poci akan berkembang menjadi lesi destruktip yang menjadi tertiary lesion.

3.

Tertiary lesion Paling sering menyerang vertebral bodies dan sendi sendi spynovial besar.dengan kecenderungan berkembangnya multiple lesiaon disepertiga total penderita. Pada kasus ini sulit ditentukan apakah infeksi dimulai dari sendi menyebar ketulang atau sebaliknya, karena membrane spynovial dan subchondral bone memiliki suplay darah yang sama dan dapat terinfeksi bersamaan. Ketika bacilli telah mencapai tulang,terjadi reaksi inflammasi kronis.dengan karakteristik tubercullous granuloma(kumpulan sel-sel epithologi dan multinucleated giant cells mengelilingi area yang nekronis, dengan round cells; biasanya limfosit;dibagian pinggirnya).

Didalam area yang terinfeksi, terlihat adanya bagian kecil caseous necrosis; yang kemudian dapat membesar menjadi masa kekuningan, atau bagian tengah nya pecah membentuk abscess yang mengandung pus dan fragment tulang necrosis. Didalam fibrocaseus mass, mycobacteria dapat tetap hidup dan memiliki potensi untuk menimbulkan active disease beberapa tahun berikutnya. Lesi pada tulang cenderung menyebar dengan sangat cepat. Hal ini dikarenakan epiphyseal cartilage tidak memiliki barrier untuk mencegah invasi dengan cepat infeksi menyebar ke sendi. Hanya pada vertebral bodies, greater trochanter dari femur, atau tulang tulang kecil ditangan dan kaki, infeksi biasanya tetap bertahan sebagai fure chronic osteornyelitis. Apabila synovium terlibat, sendi akan menbal dan akan mengalami ederna.articular cartilage perahan-lahan akan hancur, dan pada ujungb sendi akan muncul erosi aktip. Selain itu, peningkatan vaskularasi dapat menyebabkan local osteoporosis. Apabila tidak tedeteksi ,infeksi akan terus menyebar kejaringan lunak disekitarnya untuk memproducsi yang disebutcold abscessabscess ini dapat keluar kekulit, membentuk sinus, atau menajalar sepanjang pinggiran jaringan sampai mencapai tempat yang jauh. Apabila articular cartilage telah rusak, proses penyembuhan dengan fibrosis dan ankylosis akan dimulai, dengan kemungkinan deformitas pada tulang.

Patogenesis M.tuberculosis masuk via droplet infection maupun susu yang terinfeksi Dilesi yang pertama ini (paru-paru saluran pencernaan maupun kulit),terbentuklah primary complex (bacteri menetap di lymph node disite infection) Jika daya tahan tubuh,rendah terhadap infeksi ini ,terjadi secondary speared dimana M.tuberculosis kemudian menyebar via aliran darah (penyebaran ini bias terjadi berbulan bulan bahkan bertahun tahun kemudian) dan menetap dijaringan extrapulmonary membentuk foci Beberapa dari foci ini kemudian berkembang menjadi lesi yang destructive,disebut tertiary lesion (5% dari pasien TB terjadi lesi tersier ditulang dan sendi)

SKELETAL TUBERCULOSIS Biasanya diawali dari daerah subchondral bone dan membrane spynovial yang banyak supply darah Ketika bacilli memperoleh tempat tinggal yang sesuai,bacteri ini kemudian menghasilkan choronic inflammatory reaction Bacilli yang di ada dijaringan tulang ini kemudian dilawan oleh sel-sel imun tubuh Membentuk tuberculous granuloma- kumpulan sel multinucleated giant yang mengelilingi daerah necrosis serta sel limfosit didaerah perifernya Pada affected area, small patches of caseous necrosis muncul Membentuk massa berwarna kuning Bagian tengahnya jika pecah akan membentuk abscess yang mengandung pus dan fragments of necrotic bone Lesi bisa menyebar cepat KM tidak ada barrier pd epiphyseal cartilage Infeksi bias mencapai kesendi Jika synovium terlibat,maka synovium akan menebal dan membengkak Effusion kedaerah infeksi meningkat Pannus of granulation tissue dapat menyebar keseluruh bagian sendi dan merusak articular cartilage Pada ujung sendi yang berdekatan dengan spynovial terjadi erosi tulang yg diperparah juga dengan vaskularisasi Osteoporosis

Jika tidak terdeteksi, caseation dan infection akan menyebar ke soft tissue sekitar dan membentukcold abscess yang dalam perkembangan selanjutnya dapat menekan jaringan kulit diatasnya sehingga terbentuk sinus (dapat terjadi secondary infection pyogenic organism) Jika articular cartilage sudah rusak,prose healing akan membentuk fibrosis dan incomplete ankylasis disertai progressive deformity. Dibagian dalam massa fibrocaseous ,mycobacteria dapat tertahan dan mempertahankan kemampuan infeksi nya sampai bertahun tahun.

Manifestasi Klinis Sejarah adanya previous infection Sakit dan bengkak pada persendian

Demam,lemas,berat badan,nafsu makan,nigt sweat,chills,anemia ,tachycardia Diagnosis Pemeriksaan adanya manisfetasi klinis ESR ,lymphocytosis Tes mantoux (tuberculin)(+) indikasi adanya infeksi TB Pemeriksaan persendian: o asfirasi cairan synovialtampak cloudy, (protein), WBC, indentifikasi bacteri tahan asam 10-20% dari kasus ditemukan dan kultur (+) o biopsy spynovial terlihat gambaran histology yang khas,bacteri tahan asam terindentifikasi dan kultur (+) di 80% kasus Treatment 1. Rest Istirahat pada awalnya dilakukan dengan prolonged,uninterrupted ,rigid,and enforced.yang dimaksud didalam nya juga adalah splintage pada sendi traction untuk mengatasi muscle spasm dan mencegah collapse pada articular surface night cries Muscle wating,penebalan synovial pergerakan terbatas Erosi acticular deformitas dan kaku sendi Ujung tulang tampakwashed out dan ruang synovial menyempit Mungkin ada cystic lesions diujung tulang yang saling berdekatan

Namun, hal itu tidak lagi dilakukan, melainkan apabila seseorang didiagnosis dan diobati dengan segera disarankan tetap istirahat sampai gejala menghilang, kemudian aktipitas terbatas diperbolehkan sampai sendi membaik (biasanya 6 bulan- 1 tahun). Sedangkan seseorang dengan destruksi tulang yang proggesip membutuhkan waktu yang lebih lama untuk yang istirahat dan splintage untuk mencegah ankylosis diposisi yang buruk. Kemudian apabila gejala menghilang, pergerakan dapat diperbolehkan kembali. 2. Chemoterapy Kobinasi antituberculosis drug, dengan dosis rifampicin, isoniazid, dan ethambutol(atau pyrizenamide) selama 8 minggu, dan kemudian rifamicin dan isoniazid untuk 6-12 bulam berikutnya. Streptomycin dan ethambutol l lebih bersidat toxic dan tidak dapat digunakan untuk long-treatment. 3. Operation Cold abscess biasanya memerlukan draining secepatnya.

Tetapi, apabila sendi terasa sakit dan acticular surface rusak,arthordesis atau reflacement anthroplasty dapat dipertimbangkan.

DAFTAR PUSTAKA 1. Sabiston, David C. Buku Ajar Bedah Bagian 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1994. 2. Sjamsuhidajat. R, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta. 2005. 3. Schwartz. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Karta. 2000. 4. Doherty GM. Current Surgical Diagnosis and Treatment. USA : McGraw Hill. 2006.

5. http://id.wikipedia.org/wiki/Tuberkulosisekstraparu yang diunduh pada tanggal 30 Januari


2011. 6. http://medlinux.blogspot.com/2009/01/Tuberkulosisekstraparuperitoneal yang diunduh pada tanggal 30 januari 2011. 7. Klasifikasi dan penanganan Tuberkulosis ekstra paru yang diunduh dalan halaman website www.scribd.com//tuberkulosisektraparusalurankemih pada tanggal 31 januari 2011.

You might also like