You are on page 1of 22

6

2.2.4. Patogenesis Gagal jantung didasari oleh suatu beban/penyakit miokard yang mengakibatkan remodeling structural, lalu diperberat oleh progresivitas beban/penyakit tersebut dan menghasilkan sindrom klinis yang disebut gagal jantung. Remodelling ini terjadi akibat berbagai mekanisme kompensasi sehingga fungsi jantung terpelihara relatif normal (gagal jantung terkompensasi). Bila terdapat faktor presipitasi seperti infeksi, aritmia, gangguan metabolik, gangguan eletrolit, dan lain-lain, ini akan menyebabkan tubuh tidak lagi dapat mengkompensasi lalu menyebabkan timbulnya gejala klinis. Keadaan ini disebut sebagai gagal jantung simptomatik atau gagal jantung tidak terkompensasi. Gambar dibawah ini dapat menerangkan pathogenesis tersebut.1

Gambar

berikut

juga

memberikan

suatu

kerangka

konseptual

umum

dalam

pertimbangan perkembangan dan progresi gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun. Seperti terlihat, gagal jantung dapat digambarkan sebagai suatu gangguan progressif yang dimulai setelah kejadian penanda, baik kerusakan pada otot jantung, dengan rusaknya miosit kardiak fungsional, maupun adanya gangguan terhadap kemampuan miokard untuk menciptakan tekanan, sehingga mencegah terjadinya kontraksi normal. Kejadian penanda ini dapat berupa onset yang mendadak, seperti pada kasus infark miokard, dapat pula berupa onset gradual atau perlahan, seperti pada kasus overload tekanan hemodinamik atau volume overload, dan dapat pula herediter, seperti pada banyak kasus kardiomiopati genetik. Tanpa mempertimbangkan sifat dari kejadian merusak ini, gejala yang serupa dari setiap kejadian penanda adalah bahwa gejala ini, pada beberapa cara, menghasilkan penurunan pada kapasitas pompa pada jantung. Pada kebanyakan keadaan, pasien tidak mengalami gejala

apapun atau dengan gejala minimal setelah mengalami penurunan kapasitas pompa jantung, atau gejala berkembang hanya setelah disfungsi ini berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Sehingga, jika ditinjau dari kerangka konseptual ini, disfungsi ventrikel kiri berperan penting, namun tidak cukup, untuk perkembangan kumpulan gejala pada gagal jantung.5

Gagal jantung bermula setelah kejadian penanda menghasilkan penurunan awal pada kapasitas pompa jantung. Akibat terjadinya penurunan kapasitas ini, berbagai mekanisme kompensasi terjadi, termasuk sistem saraf adrenergik, sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan sistem sitokin. Dalam jangka pendek, sistem ini dapat mengembalikan fungsi kardiovaskuler ke derajat homeostatik yang normal dan menyebabkan tidak adanya gejala pada pasien (asimptomatis). Namun, seiring dengan waktu aktivasi sistem kompensasi yang berkepanjangan dapat menyebabkan kerusakan organ dalam ventrikel, disertai dengan remodelling pada ventrikel kiri yang memburuk, dan pada akhirnya dekompensasi kardiak.5 Aktivasi sistem neurohormonal pada gagal ginjal. Penurunan cardiac output pada pasien gagal jantung menghasilkan penghentian dari baroreseptor tekanan tinggi pada ventrikel kiri

(lingkaran) pada ventrikel kiri, sinus karotis, dan arcus aorta. Fraksi ejeksi ini menghasilkan pembentukan sinyal aferen terhadap sistem saraf pusat (CNS) yang menstimulasi pusat kardioregulator pada otak yang menstimulasi pelepasan arginine vasopression (AVP) dari hipotalamus posterior. AVP [antidiuretic hormone (ADH)] merupakan vasokonstriktor kuat yang meningkatkan permeabilitas dari duktus koligens renal, menyebabkan reabsorbsi air. Sinyal aferen ini juga mengaktivasi sistem simpatetik fraksi ejeksi yang menginervasi jantung, ginjal pembuluh darah perifer, dan otot skeletal.5

Stimulasi simpatetik pada ginjal mengakibatkan pelepasan renin, dengan peningkatan resultan pada kadar angotensin II dan aldosteron yang bersirkulasi, Aktivasi sistem renin-angiotensinaldosteron memicu retensi air dan garam dan mengakibatkan vasokonstriksi dari pembuluh darah perifer, hipertropi miosit, kematian sel miosit, dan fibrosis miokard. Sementara mekanisme neurohormonal ini memfasilitasi adaptasi jangka pendek untuk menjaga tekanan darah, dan perfusi kepada organ vital, mekanisme ini juga dipercaya menyebabkan perubahan tahap akhir pada jantung dan sirkulasi.

2.2.5. Patofisiologi Di sini kita akan bicarakan tentang proses terjadinya disfungsi sistolik, disfungsi

diastolik dan pembentukan semula ventrikel kiri (LV remodeling). Dasarnya LV remodeling terjadi akibat adanya kejadian kompleks yang terjadi pada level molekuler dan seluler. Perubahan ini termasuk : (1) hipertrofi myosit; (2) perubahan pada kemampuan kontraktilitas myosit; (3) kematian myosit progressif melalui nekrosis, apoptosis, dan aotophagic; (4) desensitasi -adrenergic; reorganisasi (5) dari tingkat matriks metabolisme ekstraseluler dan energi abnormal dari pada jantung; dan (6) yang

dengan

kerusakan

struktur

kolagen

mengelilingi

miosit

dan

digantikan

dengan

matriks

kolagen

interstitial

yang

tidak

memberikan dukungan struktural terhadap miosit. Stimulus biologis untuk perubahan ini termasuk regangan mekanis pada miosit, sirkulasi neurohormonal (misalnya, norepinephrin, angiotensin II), sitokin inflamasi [misal. tumor necrosis fator (TNF)], peptide dan faktor pertumbuhan lainnya (mis. endothelin) dan jenis oksigen reaktif (mis. superoxide, NO). Walaupun molekul ini secara kolektif dianggap neurohormon, terminologi neurohormon selama ini hanya mengarah kepada neurohormon klasik seperti norepinephrin dan angiotensin II, yang dapat disintesis langsung di dalam miokard dan kemudian bekerja dalam mekanisme autokrin dan parakrin. Akan tetapi, konsep paling penting adalah adanya ekspresi yang berlebihan dari molekul yang secara biologis aktif berperan dalam menimbulkan fraksi ejeksiek yang merusak pada jantung dan sirkulasi sehingga menimbulkan progresi gagal jantung. Sehingga kemudian, pandangan ini membentuk rasionalisasi klinis untuk

pemakaian agen farmakologis yang melawan sistem ini [mis. angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan beta blocker] dalam menangani pasien gagal jantung.5 Disfungsi Sistolik Dalam memahami bagaimana terjadinya perubahan dalam kerusakan sel miosit jantung berperan terhadap penurunan fungsi sistolik yang menurun dari ventrikel kiri pada

gagal jantung, penting untuk mempelajari kembali histologi dari sel otot jantung. Aktivasi neurohormonal berkepanjangan mengakibatkan perubahan transkripsi dan paska-transkipsi pada gen dan protein yang mengatur eksitasi-kontraksi dan interaksi cross-bridge. Secara bersamaan, perubahan ini mengganggu kemampuan miosit untuk berkontraksi dan kemudian berperan terhadap penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri yang menurun yang diamati pada pasien gagal jantung.5 Disfungsi Diastolik Relaksasi miokard merupakan proses yang bergantung pada ATP yang diregulasi oleh uptake kalsium Ca
2

sitoplasmik

didalam

sarcoplasmic dan

reticulum

oleh

sarcoplasmic oleh

reticulum pompa

adenosin triphosphatase (SERCA2A)

pengeluaran

ion calcium

sarcolemma Sehingga yang terjadi kemudian adalah penurunan konsentrasi ATP, seperti yang terjadi pada iskemia, dapat mempengaruhi proses ini dan mengakibatkan perlambatan relaksasi miokard. Kemungkinan lainnya, jika pengisian LV tertunda karena komplians LV menurunan (mis. akibat hypertrophy atau fibrosis), tekanan pengisian LV akan tetap meningkat pada akhir diastole. Peningkatan heart rate akan menyebabkan pemendekan waktu pengisian diastolic, dimana akan mengakibatkan peningkatan tekanan pengisian pada LV,

10

terutama pada ventrikel nonkomplians. Peningkatan tekanan pengisian pada akhir diastolik LV mengakibatkan peningkatan tekanan kapiler pulmoner, dimana berperan terhadap terjadinya dyspnea yang dialami oleh pasien dengan disfungsi diastolik. Lebih penting lagi, disfungsi diastolik dapat terjadi sendiri atau berkombinasi dengan disfungsi sistolik pada pasien gagal jantung.5

Remodeling Ventrikel Kiri (LV Remodelling) Remodeling ventrikuler berarti adanya perubahan pada massa ventrikel kiri, volume,

bentuk, dan komposisi dari jantung yang terjadi setelah jejas kardiak dan/atau hemodinamika abnormal. LV remodeling dapat berperan secara independent terhadap progresi gagal jantung dengan memberikan beban mekanis yang jelas yang membuat perubahan pada geometri dari ventrikel kiri. Sebagai contoh, perubahan bentuk LV dari bentuk ellipsoid menjadi bentuk yang lebih spheris selama LV remodeling mengakibatkan tekanan dinding meridian pada LV meningkat, sehingga menimbulkan beban mekanis baru pada jantung yang sudah lemah. Sebagai tambahan terhadap peningkatan volume end-diastolic ventrikel kiri, penipisan

dinding ventrikel kiri juga terjadi seiring dilatasi ventrikel. Penipisan dinding bersamaan dengan peningkatan afterload yang ditimbulkan oleh dilatasi ventrikel kiri menyebabkan afterload mismatch (ketidakserasian afterload) fungsional yang berkontribusi lebih lanjut terhadap penurunan stroke volume. Ditambah lagi dengan tingginya tekanan dinding pada akhir diastolik yang secara logis dapat mengakibatkan (1) hipoperfusi pada subendokardium, sehingga fungsi ventrikel kiri semakin memburuk; (2) peningkatan stress oksidatif, yang kemudian mengaktivasi gen yang sensitif terhadap pembentukan radikal bebas (mis. TNF dan interleukin 1); dan (3) ekspresi berkelanjutan dari gen yang diaktivasi oleh regangan (angiotensin II, endothelin, dan TNF) dan/atau aktivasi regangan dari jalur sinyal hipertropi. Masalah terpenting kedua yang terjadi akibat peningkatan spherisitas dari ventrikel adalah otot papillary tertarik mengakibatkan inkompetensi pada katup mitral dan menyebabkan regurgitasi mitral fungsional. Ditambah dengan berkurangnya aliran darah, regurgitasi mitral akan memperburuk Secara keadaan dengan menyebabkan yang overloading pada LV

hemodinamika

ventrikel.

bersamaan,

beban mekanis

bertambah pada

remodelling diperkirakan mengakibatkan penurunan kardiak output, peningkatan dilatasi LV (regangan), dan peningkatan overloading hemodinamika, yang kesemuanya cukup untuk menyebabkan progresi gagal jantung.5

11

2.2.6. Manifestasi klinis Gejala kardinal dari gagal jantung adalah kelemahan dan sesak napas. Walaupun mudah lelah dahulunya dianggap akibat kardiak output yang rendah pada gagal jantung, sepertinya abnormalitas otot skeletal dan komorbiditas non-kardiak lainnya (mis. anemia) juga berkontribusi terhadap gejala ini. Pada tahap gagal jantung yang dini, sesak napas dialami pada saat beraktivitas berat (dyspneu deffort) ;namun semakin penyakit ini

berkembang, sesak napas juga dialami pada aktivitas ringan, dan pada akhirnya bahkan pada saat beristirahat. Banyak faktor yang menyebabkan sesak napas pada gagal jantung. Mekanisme paling penting adalah kongesti pulmoner dengan adanya akumulasi dari cairan interstitial atau intraalveolar, yang mengaktivasi reseptor juxtacapillary J, yang akan menstimulasi pernapasan cepat dan dangkal yang khas untuk sesak napas akibat penyakit jantung. Faktor lain yang berperan terhadap terjadinya sesak napas pada saat beraktivitas berat adalah menurunnya komplians pulmoner, peningkatan resistensi saluran napas,

kelemahan otot napas atau/dan diaphragma, dan anemia. Sesak napas dapat menjadi lebih jarang dengan adanya onset kegagalan ventrikuler kanan dan regurgitasi trikuspid. 5

Orthopnea Orthopnea, deffort. yang didefinisikan sebagai sesak napas yang terjadi pada posisi

berbaring, biasanya merupakan manifestasi lanjut dari gagal jantung dibandingkan dyspneu Hal ini terjadi akibat redistribusi dari cairan dari sirkulasi splanik dan

ektremitas bawah ke dalam sirkulasi pusat selama berbaring, disertai dengan peningkatan tekanan kapiler pulmoner. Batuk nokturnal (batuk yang dialami pada malam hari) merupakan gejala yang sering terjadi pada proses ini dan seringkali menyamarkan gejala gagal jantung yang lain. Orthopneu umumnya meringan setelah duduk tegak atau berbaring dengan lebih dari 1 bantal. Walaupun orthopneu biasanya merupakan gejala yang relatif spesifik pada gagal jantung, ini dapat pula juga terjadi pada pasien dengan obesitas abdominal atau asites dan pasien dengan penyakit pulmoner dimana mekanisme pernapasan membutuhkan posisi tegak. 5

Paroxysmal Nocturnal Dyspenea (PND) Istilah ini berarti adanya episode akut dari sesak napas yang berat dan batuk yang biasanya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidur, biasanya 1-3 jam setelah pasien tidur. PND dapat bermanifestasi sebagai batuk-batuk atau wheezing,

12

kemungkinan karena peningkatan tekanan pada arteri bronkial menyebabkan kompresi saluran udara, disertai dengan edema pulmoner interstitial yang meyebabkan peningkatan resistensi saluran udara. Diketahui bahwa orthopnea dapat meringan setelah duduk tegak, sedangkan pasien PND seringkali mengalami batuk dan wheezing yang persisten walaupun mereka mengaku telah duduk tegak. Cardiac asthma sepertinya berhubungan dekat dengan PND, ditandai dengan adanya wheezing akibat bronkospasme, dan harus dapat dibedakan dengan asma primer dan penyebab pulmoner lainnya yang menimbulkan wheezing. 5

Pernapasan Cheyne-Stokes Juga disebut sebagai pernapasan periodik atau pernapasan siklik, pernapasan CheyneStokes umum terjadi pada gagal jantung berat dan biasanya berkaitan dengan rendahnya kardiak ouput. Pernapasan Cheyne-Stokes disebabkan oleh berkurangnya sensitivitas pada pusat respirasi

terhadap tekanan PCO2. Terdapat fase apneu, dimana terjadi pada saat penurunan PO2 arterial dan PCO2 arterial meningkat. Hal ini merubah komposisi gas darah arterial dan memicu depresi pusat pernapasan, mengakibatkan hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti rekurensi fase apnea. Pernapasan Cheyne-Stokes dapat dipersepsi oleh keluarga pasien sebagai sesak napas parah (berat) atau napas berhenti sementara. 5

Edema Pulmoner Akut Edema Pulmoner akut biasanya timbul dengan onset sesak napas pada istirahat, takipnea, takikardia, dan hipoksemia berat. Ronki dan wheezing akibat kompresi saluran udara dari perbronchial cuffing dapat terdengar. Hipertensi biasanya terjadi akibat pelepasan katekolamin endogenous. Kadang kala sulit untuk membedakan penyebab nonkardiac atau kardiac pada edema paru akut. Ekokardiografi dapat mengidentifikasi disfungsi ventrikel sistolik dan diastolik dan lesi katup. Edema pulmoner terkait dengan ST elevasi dan Q wave yang berubah yang biasanya diagnostik untuk infark miokard dan sebaiknya dilakukan protokol infark miokard dengan segera dan terapi reperfusi arteri koroner. Kadar brain natriuretic peptide, jika meningkat secara bermakna, mendukung gagal jantung sebagai etiologi sesak napas akut dengan edema pulmoner . 5

Gejala Lainnya Pasien dengan gagal jantung dapat pula datang dengan keluhan gastrointestinal.

Anorexia, nausea, dan perasaan penuh yang berkaitan dengan nyeri abdominal merupakan

13

gejala yang sering dikeluhkan dan dapat berkaitan dengan edema pada dinding usus dan/atau kongesti hepar dan regangan kapsulnya yang dapat mengakibatkan nyeri pada kuadran kanan atas. Gejala serebral, seperti disorientasi, gangguan tidur dan mood, dapat pula diamati pada pasien dengan gagal jantung berat, terutama pasien lanjut usia dengan arteriosklerosis serebral dan perfusi serebral yang menurun. Nokturia umum terjadi pada gagal jantung dan dapat berperan dalam insomnia. 5 2.2.7. Pemeriksaan Penunjang Pasien dengan onset gagal jantung yang baru atau dengan gagal jantung kronis dan dekompensasi akut sebaiknya melakukan pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urean nitrogen (BUN), kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Pasien tertentu sebaiknya memiliki pemeriksaan tertentu seperti pada Diabetes Mellitus (gula darah puasa atau tes toleransi glukosa), dislipidemi (profil lipid), dan abnormaltas thyroid ( kadar TSH). 5

Elektrokardiogram (EKG) Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah untuk menilai ritme, menentukan keberadaan hipertropi pada LV atau riwayat MI (ada atau tidak adanya Q wave). EKG Normal biasanya menyingkirkan kemungkinan adanya disfungsi diastolik pada LV. 5

Radiologi Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan bentuknya, begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi penyebab nonkardiak pada gejala pasien. Walaupun pasien dengan gagal jantung akut memiliki bukti adanya hipertensi pulmoner, edema interstitial, dan/atau edema puloner, kebanyakan pasien dengan gagal jantung tidak ditemukan bukti-bukti tersebut. Absennya penemuan klinis ini pada pasien gagal jantung kronis mengindikasikan adanya peningkatan kapasitas limfatik untuk membuang cairan interstitial dan/atau cairan pulmoner.5

Penilaian fungsi LV Pencitraan kardiak noninvasif penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi, dan menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling berguna adalah ekokardiogram 2D/ Doppler, dimana dapat memberikan penilaian semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi LV begitu pula dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada katup dan/atau pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI sebelumnya). Keberadaan dilatasi atrial kiri dan hipertropi LV, disertai dengan adanya

14

abnormalitas pada pengisian diastolik pada LV yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang normal. Ekokardiogram 2-D/Doppler juga bernilai untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan pulmoner, dimana sangat penting dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor pulmonale. MRI juga memberikan analisis komprehensif terhadap anatomi jantung dan sekarang menjadi gold standard dalam penilaian massa dan volume LV. 5 Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi LV adalah fraksi ejeksi (stroke volume dibagi dengan end-diastolic volume). Karena fraksi ejeksi mudah diukur dengan pemeriksaan noninvasif dan mudah dikonsepkan. Pemeriksaan ini diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya, fraksi ejeksi memiliki beberapa keterbatasan sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena fraksi ejeksi dipengaruhi oleh perubahan pada afterload dan/atau preload. Sebagai contoh, LV fraksi ejeksi meningkat pada regurgitasi mitral sebagai akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah. Walaupun demikan, dengan pengecualian jika fraksi ejeksi normal (> 50%), fungsi sistolik biasanya adekuat, dan jika fraksi ejeksi berkurang secara bermakna (<30-40%),>. 5

Biomarker Kadar peptide natriuretik yang bersirkulasi berguna sebagai alat tambahan dalam

diagnosis gagal jantung. Baik B-type natriuretic peptide dan N-terminal pro-BNP, yang dikeluarkan dari jantung yang mengalami kerusakan, merupakan marker yang relative sensitif untuk menentukan keberadaan gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang rendah; peptide ini juga meningkat pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang normal, walaupun dengan kadar yang lebih sedikit. Namun demikian, penting untuk diketahui bahwa kadar peptide natriuretik juga meningkat seiring umur dan dengan gangguan ginjal, lebih meningkat pula pada wanita, dan dapat meningkat pada gagal jantung kanan dari penyebab apapun. Kadar ini dapat terlihat lebih rendah pada pasien obesitas dan kadarnya dapat normal pada beberapa pasien setelah pengobatan yang tepat dijalani. Konsentrasi peptide natriuretik yang normal pada pasien yang tidak ditangani sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis gagal jantung. Biomarker lainnya seperti troponon T dan I, C-reactive protein, reseptor TNF, dan asam urat, dapat meningkat pada gagal jantung dan memberikan informasi penting mengenai prognosis. Pemeriksaan berkala dari salah satu (atau lebih) biomarker tersebut sangat membantu untuk mengarahkan terapi pada gagal jantung, namun tidak dianjurkan untuk tujuan ini. 5

15

Pemeriksaan latihan Treadmill atau latihan bersepeda tidak rutin dianjurkan pada pasien gagal jantung, namun bermanfaat untuk menilai perlunya transplantasi kardiak pada pasien dengan gagal jantung berat. peak oxygen uptake (VO2) <14>O2 <14> . 5 2.2.8. Diagnosis Diagnosis gagal jantung dapat dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti foto toraks, elektrokardiografi, eko-kardiografi, pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urean nitrogen (BUN), kreatinin serum, enzim hepatik, urinalisis, dan pemeriksaan biomarker.5 Sebuah riwayat pasien yang menyeluruh dapat mengungkapkan adanya satu atau lebih dari gejala gagal jantung kongestif yang telah dijelaskan di atas. Selain itu, riwayat penyakit arteri koroner yang signifikan, serangan jantung sebelumnya, hipertensi, diabetes, atau penggunaan alkohol yang signifikan dapat dijadikan pendukung tambahan untuk mendiagnosa gagal jantung.9 Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan gejala yang disebabkan

terjadinya pembendungan pada jantung (suara napas ronkhi basah basal, pembengkakan kaki, dan/atau peningkatan vena jugularis) serta hati-hati mencirikan kondisi jantung (denyut nadi, ukuran jantung, suara jantung, dan murmur).9 Untuk mendiagnosis penyakit ini, kita juga bisa menggunakan kriteria Framingham yang terdiri atas kriteria mayor dan minor.1

Kriteria Mayor PND Bendungan vena sentral Peningkatan TVJ Ronkhi paru Bunyi jantung S3 gallop Refluks hepatojugular Edema Paru Kardiomegali Kriteria Mayor atau Minor

Kriteria Minor Batuk pada malam hari Dyspnea seffort Edema ekstremitas Takikardi (>120x/menit) Hepatomegali Efusi pleura Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal

Penurunan berat badan >4,5 kg dalam 5 hari pengobatan Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.

16

2.2.9. Penatalaksanaan Menurut 2009 Focused Update Incorporated Into the ACC/AHA 2005 Guidelines for the Diagnosis and Management of Heart Failure in Adults, penatalaksanaan gagal jantung dibagi berdasarkan staging dari gagal jantung itu sendiri yang telah ditetapkan oleh ACC/AHH 2005. Algoritme penatalaksanaan ini dapat dilihat pada gambar 4 dibawah.6

2.2.10. Prognosis Walaupun banyak perkembangan terkini mengenai penatalaksanaan HF, perkembangan HF masih memberikan prognosis yang buruk. Penelitian berbasis komunitas mengindikasikan bahwa 30-40% pasien HF akan meninggal dalam 1 tahun setelah diagnosis ditegakkan dan 60-70% dalam waktu 5 tahun, terutama dikarenakan memburuknya HF atau sebagai kejadian mendadak(kemungkinan karena adanya aritmia ventrikuler). Walaupun sulit untuk memprediksi prognosis pada seseorang, pasien dengan gejala pada istirahat [New York Heart Associtaion (NYHA) class IV] memiliki angka mortalitas sebanyak 30-70% pertahun, dimana

17

pasien dengan gejala pada aktivitas moderat (NYHA class II) memiliki angka mortalitas tahunan sebanyak 5-10%. Sehingga status fungsional merupakan suatu predictor penting untuk outcome pasien.5

2.3 Penyakit Jantung Koroner

2.3.1.Etiologi Aterosklerosis merupakan penyebab utama penyempitan lumen arteri dan penyakit jantung koroner. Penyebab lain selain aterosklerosis adalah penyakit kongenital dan didapat yang juga dapat menyebabkan penyempitan lumen dan timbulnya gejala-gejala koroner (angina pektoris, infark miokard akut, dan kematian yang mendadak).11 2.3.2. Faktor Risiko12,13 a) Faktor risiko yang dapat dimodifikasi Dislipidemia (peningkatan LDL, penurunan HDL) Peningkatan kadar LDL berkorelasi terhadap terjadinya aterosklerosis dan penyakit jantung koroner. LDL dapat terakumulasi di subendotel dan mengalami modifikasi kimiawi yang selanjutnya merusak intima, menginisiasi perkembangan lesi aterosklerotik, sehingga LDL disebut sebagai kolesterol yang bersifat buruk. Sebaliknya, peningkatan HDL menghambat terjadinya aterosklerosis karena kemampuan HDL mentrasportasikan kolesterol dari jaringan perifer ke hati dan memiliki efek antioksidan. Merokok Merokok dapat menyebabkan aterosklerosis melalui beberapa cara, yaitu meningkatkan modifikasi oksidatif LDL, menurunkan kadar HDL sirkulasi, disfungsi endotel yang mendorong hipoksia sel dan peningkatan stres oksidan, meningkatkan adhesi trombosit, meningkatkan ekspresi molekul-molekul adhesi leukosit, stimulasi sistem saraf akibat nikotin, dan penggeseran oksigen oleh karbon monoksida dari hemoglobin. Hipertensi Peningkatan tekanan darah mencederai endotel vaskular dan meningkatkan permeabilitas dinding pembuluh darah terhadap lipoprotein. Angiotensin II, yang merupakan mediator hipertensi selain sebagai vasokontriktor, juga merupakan sitokin proinflamasi. Diabetes melitus dan sindrom metabolik

18

Pada pasien diabetes, terbentuknya plak aterosklerosis dicetuskan oleh disfungsi endotel, terganggunya aktivitas antifibrinolitik, serta meningkatnya fagositosis LDL oleh makrofag. Inaktivitas fisik Aktifitas bermanfaat dalam meningkatkan sensitivitas insulin dan produksi NO oleh endotel.

b) Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi Usia Plak aterosklerosis semakin bertambah seiring dengan pertambahan usia. Usia 45 tahun pada laki-laki dan usia 55 tahun pada wanita merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner. Laki-laki Jenis kelamin laki-laki lebih berisiko terkena PJK dibandingkan dengan wanita. Tetapi pada wanita yang sudah menopause risiko PJK meningkat dan hampir tidak didapatkan perbedaan dengan laki-laki. Hal ini berhubungan dengan penurunan kadar estrogen yang merupakan ateroprotektif. Estrogen meningkatkan kadar HDL dan menurunkan kadar LDL serta berpotensiasi dalam aktivitas antitrombotik dan vasodilatasi. Herediter 2.3.3. Patogenesis Plak Aterosklerosis12 Dalam keadaan normal, trombosit bersirkulasi dalam pembuluh darah tanpa berinteraksi dengan sel lain. Sel endotel pembuluh darah normal mencegah perlekatan maupun aktivasi trombosit dengan produksi bahan antitrombotik antara lain prostasiklin (prostaglandin I2 atau PGI2) dan nitric oxide (NO), ekspresi ecto-ADPase pada permukaan endotel. Adanya faktor resiko (merokok, diabetes, hipertensi, kadar LDL yang tinggi, tekanan tinggi pada stenosis arteri, vasoaktif amine, radikal bebas dan infeksi mikroorganisme) menyebabkan disfungsi endotel. Akibat terjadinya disfungsi endotel maka akan menyebabkan (1) rusaknya peran endotel sebagai permeability barier, (2) melepaskan sitokin inflamasi, (3) meningkatkan produksi molekul adhesi yang merekrut leukosit, (4) mengganggu pelepasan substansi vasoaktif ( prostasiklin, NO), dan (5) mengganggu antitrombus. Efek yang tidak diinginkan ini menjadi dasar terjadinya arteroslerosis. Disfungsi endotelium menyebabkan endotel tidak lagi memiliki barier yang dapat menghambat masuknya lipoprotein ke dalam pembuluh darah arteri. Peningkatan permeabilitas dari endotel

membuat LDL masuk ke intima, selanjutnya LDL akan terakomodasi di ruang subendotel dengan berikatan dengan matriks ekstraseluler yaitu proteoglikan. LDL tersebut akan dioksidasi oleh ROS (Reactive Oxygen Species) dan pro enzym yang dihasilkan oleh makrofag dan sel otot pembuluh darah

19

sehingga menjadi mLDL (modified LDL). mLDL ini akan merangsang rekrutmen dari leukosit ke ruang sub intima (terutama monosit dan limfosit T) melalui 2 cara yaitu (1) ekspresi LAM ( leukocyte adhesion molecule) pada pada permukaan endotel non adhesi, (2) signal kemoatraktan (MCP 1, IL 8). Masuknya monosit ke dalam ruang sub intima, monosit berdiferensiasi menjadi makrofag dan memakan mLDL melalui reseptor scavenger (pada makrofag) dan membentuk sel busa (foam cell). Sel busa menghasilkan beberapa faktor yang dapat merekrut sel otot. Sebagai contoh sel busa menghasilkan platelet derived growth factor (PDGF) yang menyebabkan terjadinya migrasi sel otot dari internal elastic lamina ke ruang sub intima, tempat dimana sel otot bereplikasi. Sel busa juga melepaskan sitokin (IL-1, TNF ), dan faktor pertumbuhan (Fibroblast growth factor, TGF ) yang akan menstimulasi sel otot berproliferasi dan menghasilkan protein matriks ekstraseluler (kolagen dan elastin) dan lebih lanjut mencetuskan pelepasan sitokin yang mendorong dan mempertahankan inflamasi pada lesi. Adanya sel otot yang menghasilkan kolagen akan membentuk fibrous cap.

Pembentukan fibrous cap dan deposisi matriks ekstraseluler ini sebenarnya merupakan proses sintesis dan degradasi yang saling bergantian yaitu dimana (1) sintesis yaitu sel otot merangsang kolagen melalui TGF dan PDGF, dan (2) degradasi yaitu T - lymphocyte derived cytokine IFN

menghambat sintesis kolagen dan lebih lanjut sitokin akan merangsang sel busa untuk menghasilkan MMP (matrix metalloproteinase) yang akan melemahkan fibrous cap sehingga mudah ruptur. Proses sintesis dan degradasi ini terus berlanjut tanpa menyebabkan gejala. Kematian dari sel otot dan sel busa baik karena stimulasi inflamasi yang berlebihan maupun karena apoptosis menyebabkan lemak dan debris seluler membentuk lipid core. Ukuran dari lipid core memiliki peranan biomekanikal untuk stabilnya plak. Selain itu deposisi dan distribusi fibrous cap merupakan hal yang penting dalam intergritas plak, jika fibrous cap tebal maka plak tersebut akan jarang ruptur yang sering kita sebut plak stabil, tetapi apabila fibrous cap tipis akan cenderung menyebabkan ruptur dari plak

2.3.4. Patofisiologi Kebutuhan oksigen yang melebihi kapasitas suplai oksigen oleh pembuluh darah yang mengalami gangguan menyebabkan terjadinya iskemia miokardium lokal. Iskemia yang bersifat sementara akan menyebabkan perubahan reversibel pada tingkat sel dan jaringan, dan menekan fungsi miokardium.14 Bila plak aterosklerosis menyebabkan penyempitan lumen arteri koroner lebih dari 70%, kapasitas aliran darah yang menurun mencukupi kebutuhan oksigen miokardium, tetapi tidak mencukupi untuk kebutuhan saat beraktivitas. Selama beraktivitas, aktivasi sistem saraf simpatis menyebabkan peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan kontraktilitas, yang mana

20

keseluruhannya meningkatkan pemakaian oksigen. Selama periode ini terjadi iskemi miokardium, yang menyebabkan pelepasan mediator dari sel-sel miokardium yang iskemik, yaitu adenosine dan laktat yang merangsang ujung saraf lokal sehingga timbul nyeri dada. Iskemi dan gejala menetap selama terjadi peningkatan kebutuhan oksigen dan akan hilang sampai keseimbangan ketersediaan dan pemakaian oksigen tercapai.Pola angina yang timbul selama beraktivitas dan kondisi stres emosional disebut sebagai angina pektoris stabil.12 Sebagian besar sindrom koroner akut (SKA) adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner yang ruptur. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrous yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktifasi jalur koagulasi. Trombus ini akan menyumbat lumen pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan

vasokontriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).15 Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokontriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya infark miokard. Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), disritmia, dan remodeling ventrikel (perubahan bantuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami ruptur plak seperti diterangkan di atas, sebagian mengalami SKA karena obstruksi dianmis akibat spasme lokal dari arteria koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trobus dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Percutaneous Coronary Intervention (PCI). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipertensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis. 15 2.3.5. Diagnosis15 Anamnesis15 Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal brupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area intraskapula, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermitten/beberpa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaforesis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak nafas, dan sinkop.

21

Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai, yatu daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak nafas yang tidak dapat diterangkan, atau mendadak merasa lemah yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalaen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluahan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA. Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien dengan karakteristik pria, diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis nonkoroner penyakit arteri perifer/karotis, diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah pintas koroner atau PCI serta memiliki faktor risiko. Nyeri dada nonkardiak dapat berupa nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk), nyeri abdomen tengah atau bawah, nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari terutama di daerah apeks ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral, nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi, nyeri dada dengan durasi beberapa detik, atau nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah. Selain untuk tujuan penapisan diagnosis kerja, anamnesis juga ditujukan untuk menapis indikasi-kontra terapi fibrinolisis, seperti hipertensi, kemungkinan deseksi aorta (nyeri dada tajam dan berat yang menjalar ke punggung disertai sesak nafas atau sinkop), riwayat perdarahan, atau riwayat penyakit serebrovaskuler. Pemeriksaan Fisik15 Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaforesis, ronkhi basah halus atau edema paru, meningkatkan dugaan SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotiraks, nyeri pleuritik disertai suara nafas yang tidak seimbang, perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA. Selain untuk tujuan di atas, pemeriksaan fisik juga ditujukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia, komplikasi iskemia, dan penyakit penyerta. Hipertensi, tirotoksikosis, dan anemia dapat mencetuskan iskemia akut pada pasien PJK. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus, dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mebgidentifikasi komplikasi iskemia.

22

Pemeriksaan EKG15 Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu : normal, nondiagnostik LBBB, baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa gelombang T. Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet) baru/ persangkaan baru mengingat pasien tersebut diduga memerlukan terapi reperfusi Pemeriksaan Enzim Jantung15 Kreatinin kinase-MB atau troponin I/T merupakan pertanda nekrosis miosit jantung dan menjadi tanda untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Walapun dapat menunjukkan adanya nekrosis miosit, enzim jantung ini tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/ non koroner). Dalam keadaan pemeriksaan CKMB atau Tropinin I/T menunjukkan kadar normal dalam 6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Pemeriksaan Laboratorium15 Data laboratorium, dissamping enzim jantung, yang harus dilakukan pemeriksaan adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan proil lipid. Pemriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi SKA. Pemeriksaan Foto Polos Toraks15 Pemeriksaan foto toraks ditujukan untuk membuat diagnosis banding, identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta. 2.3.6. Penatalaksanaan15 Terapi awal yang diberikan adalah morfin, oksigen, nitrat, aspirin, serta clopidogrel, yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan. Pasien tirah baring, diberikan suplemen oksigen, diberikan nitrogliserin (NTG) spray/sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang masih berlangsung, jika nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual. Dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai

23

pengganti. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi apsien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui intoleransinya terhadap aspirin. Dosis awal clopidogrel 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari. Kombinasi dari asam asetil salisilat (ASA), clopidogrel, unfractionated heparin (UFH atau Low Molecular Weight Heparin (LMWH) dan antagonis reseptor GPIIb/IIIa merupakan terapi yang paling efektif saat ini. a) Antitrombotik Asam aseti salisilat (ASA) ASA bekerja secara ireversibel menghambat COX-1 di dalam platelet, dengan menghambat pemebentukan tromboksan A2. Aspirin 160-320 mg (nonenterik) direkomendasikan bagi semua pasien UAP/NSTEMI selama tidak terdapat kontraindikasi. Clopidogrel atau Ticlodipine Obat ini menghambat adenosine diphosphate (ADP) sehingga terjadi penghambatan agregasi trombosit. Clopidogrel 300 mg dilanjutkan dengan 75 mg/hari diberikan pada pasien yang hipersensitif atau intoleransi gastrointestinal terhadap aspirin. Dosis pemeliharaan clopidogrel (pilihan pertama) dapat diganti dengan tiklodipin (pilihan kedua). Pada pasien hendak menjalani bedah pintas koroner elektif, hentikan : clopidogrel 5-7 hari sebelum operasi dan berikan inhibitor GP Iib/IIIa intravena (eptifibatide atau tirofiaban) 4 jam sebelum operasi. b) Antikoagulan Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin. Heparin tak terfraksinaasi (UFH) merupakan campuran mukopolisakarioda sulfat yang terikat dengan antitrombin III menginaktivasi faktor IIa (trombin), faktor Ixa dan Xa, sehingga menghambat koagulasi. Heparin berat molekul rendah (LMWH) memiliki keunggulan dibandingkan dengan dengan UFH. c) Anti-iskemik Nitrat Nitrat mengurangi kebutuhan oksigen dan mningkatkan suplai oksigen. Nitrat IV harus diberikan pada pasien : yang masih mengalami nyeri dada setelah pemberian 3 tablet nitrat sublingual, EKG menunjukkan iskemia miokard, dan menderita gagal jantung. Pada pasien dengan normotensi tekanan darah sistolik tidak boleh turun di bwah 110 mmHg, sedangkan pada pasien hipertensi, tekanan darah tidak boleh turun >25%. Nitrat oral diberikan setelah 1224 jam periode bebas nyeri.

24

Penyekat Beta Penyekat beta secara kompetitif menghambat efek katekolamin pada reserptor beta. Penyekat beta mengurangi konsumsi iksigen miokard melalui pengurangan kontraktilitas miokard, denyut jantung (laju sinus), konduksi AV dan tekanan darah sistolik. Bila tidak ada kontraindikasi , pemberian beta harus dimulai segera. Antagonis kalsium Antagonis kalsium menguramngi influx kalsium yang melalui membran sel. Obat ini menghambat kontraksi miokard dan otot polos pembuluh darah, melambatkan konduksi AV dan depresi sinus SA. Efek vasodilatasi, inotropik, blok AV dan depresi nodus SA bervariasi pada antagonis kalsium yang berbeda.

ACE- inhibitor Penghambat ACE menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. Tetapi Angiotensin II juga dibentuk oleh enzim-enzim non-ACE misalnya kimase yang banyak terdapat di jantung. Kebanyakan efek biologik angiotensin II diperantarai oleh reseptor angiotensin tipe 1. Stimulasi reseptor ini emnyebabkan vasokonstriksi, stimulasi dan pelepasan aldosteron, peningkatan aktivitas simpatis dan hipertrofi miokard. ACE inhibitor merupakan terapi lini pertama untuk pasien dengan fungsi sistolik ventrike yang menurun yanitu dengan fraksi ejeksi di bawah normal ( < 4045%)
d) Statin Statin diberikan untuk memperbaiki kadar lipid serum. e) Trombolitik Indikasi terapi trombolitik adalah gejala sesuai dengan infark miokard akut, terjadi perubahan EKG, ST elevasi >0,1 mm pada minimal 2 sadapan yang berdekatan atau gambaran bundle branch block baru atau diduga baru, onset nyeri dada 12 jam atau >12 jam dengan iskemia yang berlanjt, terbukti dari berlanjutnya nyeri dada dan ST elevasi pada EKG. Terapi trombolitik tidak boleh diberikan pada infark non ST elevasi. f) Primary PTCA Primary PTCA terbukti telah memiliki keberhasilan membuka dan mempertahankan patensi arteri koroner yang tersumbat lebih baik dari trombolitik. Primary PTCA harus

dipertimbangkan sebagai alternatif tindakan reperfusi pada pusat jantung yang berpengalaman, tindakan ini tidak dianjurkan jika door to needle time melebihi 60-90 menit,pada pasien yang

25

memiliki kontraindikasi absolut untuk tindakan trombolitik, dan pada pasien dengan syok kardiogenik.

26

27

You might also like