You are on page 1of 5

Joshua Martin Limyadi, Berawal dari Mimpi AlQuran dan Malaikat

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS 2:256) Joshua Martin Limyadi lahir di Sukabumi, Jawa Barat, pada 05 Desember 1994. Ia merupakan seorang pelajar SMA non-formal tingkat akhir, penulis dan blogger, aktivis muda untuk lingkungan hidup dan pemberantasan narkotika, juga bekerja paruh waktu sebagai desainer grafis untuk merek dan identitas perusahaan. Joshua lahir dari rahim seorang seniwati dan desainer busana, dari benih seorang wiraswasta. Pemuda berdarah Tionghoa-Jawa-Minahasa ini merupakan anak laki-laki yang tunggal dalam keluarganya. Kedua orangtuanya bercerai saat usianya belum genap 8 bulan, dan hingga kini sang ayah tidak diketahui keberadaannya. Setelah ditinggal wafat oleh sang ibunda pada 17 September 2011, kini Joshua hidup sebagai anak yatim piatu. Kehidupannya tidak lepas dari cobaan dan penderitaan. Setelah pada masa kecil ia harus puas diasuh oleh kakek tirinya yang merupakan warga negara Amerika Serikat dan harus bercerai dengan neneknya (dari pihak ibu) pada tahun 2005, Joshua juga mengalami beberapa pasang surut dalam hidupnya. Beberapa yang terberat antara lain harus putus sekolah dan mengorbankan biaya pendidikannya untuk kesembuhan ibunda tercinta. Namun sayang, usaha yang mulia tersebut justru diganjar lain oleh Sang Khalik. Ibunya meninggal dunia karena leukemia yang diidap selama 11 tahun terakhir sebelum kepergiannya. Menjadi seorang Muslim merupakan titik balik dalam hidupnya. Ia memilih untuk meninggalkan kepercayaan lamanya yakni dari Nasrani menuju Islam atas kehendak sendiri. Joshua diislamkan oleh Ustadz H. Yusuf Mansur pada 17 Agustus 2012 (bertepatan dengan 29 Ramadhan 1433 H) di Masjid Agung Sunda Kelapa Jakarta, dengan menyandang nama Muslim Ramadhanna Kareem.

Mengisi waktu luangnya, ia gemar melakukan beberapa jenis kegiatan, diantaranya memasak, membaca, menulis dan mendengarkan musik. Renang dan bulutangkis merupakan olahraga kegemarannya. Dunia kepenulisannya semakin berwarna setelah bergabung di Kompasiana, bahkan beberapa kali artikelnya naik cetak di Harian Kompas. Ia juga menghadirkan blog pribadi berisi catatan tentang dinamika hidup dan pemikiranpemikirannya yang dikenal kritis dan lugas. Seperti cita-citanya di masa depan bahwa ia bertekad untuk menjadi seorang jurnalis, Joshua mengasah kepekaan nurani serta kemampuan menulisnya seiring dengan proses belajar dan waktu yang berjalan. *** Alhamdulillahi Rabbil alamiin, atas hidayah, ridho dan rahmat dari Allah SWT, saya kini mampu berdiri teguh sebagai seorang muallaf. Segala puji dan syukur bagi Dia, yang terawal hingga yang terakhir, yang Maha Esa dan yang Maha Kuasa. Allahu akbar! Jujur, ini bukan kali pertama dalam hidup saya, manakala saya merasa terpanggil dan hati saya disentuh oleh Allah SWT. Beberapa kejadian-kejadian penting dan tak terlupakan yang terjadi sepanjang hidup saya turut menyempurnakan panggilan Allah, hingga pada suatu keadaan saya memutuskan untuk pasrah. Bukan pasrah karena hidup saya diuji, melainkan karena hidayah yang perlahan-lahan meruntuhkan pondasi iman saya yang terbangun dan terbina sejak masa kanak-kanak. Sebelumnya saya merupakan seorang pemeluk agama Kristiani. Anda dapat mendapatinya dari nama saya yang merupakan nama salah seorang nabi besar pada zaman hijrah Bani Israil (dalam Alkitab, Nabi Joshua merupakan pengganti Nabi Musa). Nama tersebut sejatinya memang tidak akan saya hapus seiring perkembangan, karena akan sukar bila proses penggantian nama tersebut diteruskan untuk penggantian identitas diri, bahkan harus melalui berkali-kali persidangan di Pengadilan Negeri. Sebenarnya pemberian nama (Joshua) ini merupakan sejarah terbesar dalam hidup saya. Saat masih kanak-kanak, saya pernah diasuh oleh seorang WNA Amerika Serikat yang kini telah pensiun dan kembali ke tanah kelahirannya di California. Beliaulah yang menyematkan nama tersebut dan menyaksikan kelahiran saya bersama dengan Oma. Dalam perkembangan iman, saya juga dituntun beliau dan dua orang di rumah, yakni tante (kakak dari almh. Ibualmh) beserta suaminya (alm).

Keislaman saya sejatinya tumbuh sejak usia masih 6 tahun kala pertama kali mengenal Surah Al-Fathihah didalam perjalanan pulang saat berada di dalam mobil antar jemput sekolah. Saya yang benar-benar masih polos dan tak tahu apa-apa mau mempelajari arti dan makna dari doa wajib umat Islam ini. Saat saya tanyakan ke tante saya ketika itu, beliau marah dan meminta saya untuk tidak keluar rumah karena takut nantinya saya akan dipengaruhi dengan ajaran-ajaran Islam. Hal inipun diadukan pula kepada Ibu saya yang saat itu masih terjerembab dalam pusaran kecanduan minuman keras. Walhasil, saya sering mendapat siksaan fisik.

Menjadi Muallaf
Kemudian ada peran beberapa orang teman yang membantu saya mempelajari lebih dalam tentang Islam, hingga keluarganya merangkul saya dan mengizinkan saya tinggal selama sebulan di rumah mereka sekeluarga. Saat itu penolakan hadir dari Oma saya hingga beliau nekat mengancam saya akan menjual salah satu ginjalnya jika saya tidak pulang dan membelot ke Islam.Hal tersebut saya abaikan dan bohong belaka ketika saya dapati sendiri. Di sana, saya dapat belajar tentang keislaman, baik tentang salat, puasa, dan beberapa syariat Islam lainnya yang tadinya belum saya pahami betul. Mereka memang teman-teman saya sedari saat masih balita. Saya hidup bersama mereka terhitung sebulan sebelum memutuskan jadi muallaf. Belajar tentang Islam pun tanpa paksaan, semuanya mengalir begitu sajadari mulai berpuasa bersama, salat berjamaah, hingga latihan membaca iqra. Tepat di bulan Ramadhan 1433 H, Allah memberi saya kemudahan untuk menjadi Muslim melalui hamba-Nya, Nuzran Joher. Saya mengenal beliau dari Ketua DPR RI, Dr. H. Marzuki Alie. Bang Nuzranbegitulah saya menyapa beliauadalah pribadi yang mengenal saya secara pribadi selama setahun terakhir dan menjadi guru yang mengambil peran serta terbesar dalam proses muallaf ini. Sekadar info, beliau adalah mantan Staf Ahli Ketua DPR RI yang dulu pernah ditugaskan untuk menangani dan mengawasi pelaksanaan beasiswa yang pernah diberikan oleh Pak Marzuki kepada saya. Kini beliau aktif sebagai pebisnis, suami dari seorang dosen ekonomi syariah di salah satu universitas negeri di Jakarta, dan ayah dari tiga orang anak. Berawal dari mimpi Al-Quran dan Malaikat yang saya terima pada bulan Oktober 2011 yang hingga saat ini saya tak mampu ejawantahkan artinya, saya mendapatinya sebagai sebuah panggilan mulia dari Allah SWT untuk berbalik ke jalan yang benar. Selama kurang dari setahun terakhir dengan proses-proses yang panjang hingga tak mampu saya ceritakan,

Alhamdulillah, saya mampu menjawab panggilan-Nya dengan penuh kesiapan dan kepasrahan. Oma yang sebelumnya Muslim namun kini masih menganut kepercayaan Kristiani memberi persetujuan kepada Bang Nuzran dan saya tepat di malam Lailatil Qadr pada 25 Ramadhan 1433 H (13 Agustus 2012 AD), hingga harus membatalkan rencana itiqaf Ramadhan. Malam tersebut merupakan malam rekonsiliasi yang menyatukan kembali hati saya dan Oma yang sempat terpisah dalam konflik selama proses pra-muallaf saya. Subhanallah, Allah SWT telah memutarbalikkan hati dan perasaan Oma seratus delapan puluh derajat. Tadinya, Bang Nuzran berencana untuk memfasilitasi pengislaman saya di Masjid Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta, dengan disaksikan oleh Ketua DPR RI (yang nota bene ayah asuh saya) sebagai saksi pengislaman. Namun karena satu dan lain hal, dan salah satu alasannya adalah acara kenegaraan yang harus beliau ikuti, akhirnya Masjid Agung Sunda Kelapa di MentengJakarta, dipilih sebagai tempat prosesi muallaf dilaksanakan, dan tanggal 17 Agustus 2011 AD bertepatan dengan tanggal 29 Ramadhan 1433 H ditentukan sebagai hari pengislaman saya. Barakallah Pengislaman ini sendiri dilakukan secara serentak kepada saya dan 2 orang muallaf lain bernama Doni Martin (musisi) dan Ellen. Keduanya sama-sama pemeluk Kristiani yang kini muallaf. Pelafalan dua kalimat syahadat ini dipimpin (diambil sumpahnya) oleh Ustadz H. Yusuf Mansur dengan disaksikan Sheikh Soleh Ali Jaber dari Madinah, dan H. Aksa Mahmud selaku Ketua Masjid Agung Sunda Kelapa dan pendiri perusahaan semen lokal Indonesia Timur, Bosowa Corporation. Oma pun kemudian bangga melihat saya terlahir kembali sebagai seorang mukmin dan terharu kala tiga kali gema takbir dikumandangkan jemaah yang menyaksikan pengislaman saya. Subhanallah.

Pertentangan Pasca-Muallaf
Keputusan saya untuk menjadi seorang muallaf tidak sepenuhnya diterima oleh sebagian lapisan sosial, baik keluarga maupun teman dekat sekalipun. Contohnya saja saat saya umumkan kemuallafan saya melalui e-mail dan pesan instan, banyak kerabat dan sanak saudara yang mempertanyakan, mengapa saya memilih untuk menjadi muallaf dengan memberitahukannya hanya sehari sebelum ikrar dua kalimat syahadat saya ucapkan.

Begitupula ada yang memprotes bahwa kemuallafan saya tidak serta-merta hanya jawaban saya atas mimpi Al-Quran dan malaikat yang Allah berikan kepada saya. Begini. Ini yang lebih sederhana. Mengapa saya memilih diam selama ini? Karena saya yakin, jawaban setiap orang ada yang pro dan ada yang kontra. Bila saya melihat banyak yang menentang, kenapa saya harus bersusah payah menepis anggapan-anggapan miring yang bercapur tudingan keji dan fitnahan kejam itu? Apalagi ini soal agama. Begitu sensitif bagi keluarga saya yang sebagian besar fanatik dan keras terhadap ajaran agama yang mereka anut (Kristen). Saya hanya ingin lebih serius mendalami Islam, dan hanya bagi Allah taala saya berkiblat. Itu saja. Sederhana. Perkara belum selesai sampai di situ, hingga pacar saya pada suatu kesempatan bertanya lewat telpon, setelah mendengar kabar dari saya, Apakah kamu masuk Islam karena aku? Kemudian saya jawab, Ini panggilan mulia dari Allah, dan akan saya jawab dengan tanpa keraguan. Jadilah aku Islam murni karena Allah taala. Jika suatu hari, Insha Allah saya menikahinya atau pahit-pahitnya tidak, maka takkan ada penyesalan di kemudian hari. Melalui artikel ini, saya perlu menegaskan bahwa Allah SWT telah menyentuh dan memanggil hati saya untuk kembali menengadah dan mengarah kepada-Nya semata. Dan apabila saya didapati sebagai seorang Muslim, saya patut bersyukur dan memanjatkan segala puji pada-Nya karena masuk Islam tanpa sedikitpun tekanan ataupun paksaan. Alhamdulillah, proses pendewasaan saya semakin lengkap dengan menemui titik ini (berpindah iman menuju Islam). Jadi, panggilan Allah SWT yang mana lagi yang tidak boleh saya jawab? Maka nikmat-Nya yang mana lagi yang harus saya dustakan? Maka tanda-tanda-Nya yang mana lagi yang harus saya ingkari? Sesungguhnya Allah SWT mengetahui setiap isi hati manusia, dan semoga Allah SWT semakin meneguhkan saya saat melangkah didalam jalan-Nya yang diridhai-Nya. Amin amin Ya Rabbal alamiin. Semoga sedikit sharing ini dapat menginspirasi dan menumbuhkan semangat baru bagi Anda, terutama bagi yang hendak mencari kedamaian dan ketenangan batin. Carilah Allah SWT dan kembalilah kepada-Nya, niscaya Anda akan dirangkul-Nya dengan hangat dan dirahmati-Nya tanpa batas.

You might also like