You are on page 1of 29

LAPORAN DISKUSI TUTORIAL BLOK KULIT SKENARIO 3

PARASIT PADA KULIT DAN MANIFESTASINYA SERTA PENATALAKSANAANNYA

Disusun Oleh Kelompok 18:

Annisa Pertiwi Aryo Seno Chumaidah Nur Aini Endang Susilowati N Firza Fatchya

G0010024 G0010030 G0010044 G0010072 G0010082

M. Maulana Shofri

G0010116

Maulidina Kurniawati G0010122 Nurul Dwi Utami Rukmana Wijayanto Wahyu Aprillia G0010144 G0010170 G0010194

TUTOR: Nugrohoadji Dharmawan, dr., M.Kes., Sp.KK

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei yang dapat menyerang hewan dan manusia (Iskandar, 2000) Tungau ini adalah parasit obligat untuk manusia. Skabies tidak hanya menular dengan penyakit seksual semata-mata tetapi mempunyai banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhinya seperti personal hygiene yang jelek dan sebagainya. Berikut kasus dalam skenario 3. Seorang laki-laki 7 tahun datang ke dokter umum diantar ibunya dengan keluhan muncul gatal-gatal sejak 1 bulan lalu. Gatal terutama dirasakan pada malam hari. Karena sangat gatal pasien selalu menggaruk sehingga tampak lecet-lecet. Keluhan muncul pertama kali di sela jari tangan kemudian meluas ke bagian tubuh yang lain. Satu minggu yang lalu pasien mengeluh muncul nanah di kedua sela jari tangan yang terasa nyeri. Pasien tinggalnya di asrama sekolah, dimana 1 kamar tidur dihuni oleh 10 anak. Beberapa teman sekolahnya juga menderita penyakit yang sama. Pasien bercerita banyak nyamuk di kamar tidurnya. Pada pemeriksaan fisik di sela jari tangan, pergelangan tangan, lengan bawah, bawah perut dan ketiak tampak papul, eritema, erosi, ekskoriasi, krusta, dan didapatkan juga kanalikuli, penyebaran diskrit. Pada batang penis dan skrotum terdapat nodul. Pada ke dua sela jari tangan terdapat beberapa pustule. Dokter menganjurkan pasien untuk cek ke laboratorium untuk memastikan diagnosisnya, tetapi ibu penderita menolak untuk diperiksa dan minta diobati saja. Dokter kemudian memberikan 2 macam obat oles dan 2 macam obat yang diminum serta memberikan beberapa nasehat kepada pasien dan ibunya.

B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana patofisiologi gejala dalam scenario? 2. Bagaimana mekanisme penyebaran penyakit dalam scenario? 3. Bagaimana siklus hidup Sarcoptes scabiei 4. Apa saja factor resiko kasus dalam scenario? 5. Apa saja pemeriksaan laboratorium yang diperlukan? 6. Apa saja differential diagnosis kasus dalam scenario? 7. Bagaimana penatalaksanaan penyakit dalam scenario? 8. Bagaimana prognosis dan komplikasi penyakit dalam skenario?

C. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui patofisiologi gejala dalam scenario 2. Untuk mengetahui mekanisme penyebaran penyakit dalam scenario 3. Untuk mengetahui siklus hidup Sarcoptes scabiei 4. Untuk mengetahui apa saja factor resiko kasus dalam scenario 5. Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan laboratorium yang diperlukan 6. Untuk mengetahui differential diagnosis kasus dalam scenario 7. Untuk mengetahui penatalaksanaan penyakit dalam scenario 8. Untuk mengetahui prognosis dan komplikasi penyakit dalam skenario

D. Hipotesis Dari tanda dan gejala-gejala yang ditunjukkan dicurigai pasien terkena skabies.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Skabies Skabies adalah suatu infeksi kulit oleh tungau Srcoptes scabiei var hominis. Scabies telah ditemukan sejak 2500 tahun yang lalu. Pada abad ke17, Giovanni Cosimo Bonomo mengidentifikasi tungau sebagai salah satu penyebab skabies. Nama Sarcoptes scabiei berasal dari kata Yunani sarx (daging) dan koptein (untuk memukul atau memotong) dan kata Latin scabere (menggaruk). Skabies adalah masalah kesehatan di seluruh dunia, mempengaruhi orang-orang dari segala usia, ras, dan kelompok sosial ekonomi. Kepadatan penduduk, diagnosis dan pengobatan yang tertunda, serta rendahnya pendidikan masyarakat kalangan menengah ke bawah berkontribusi terhadap prevalensi scabies di negara industri dan nonindustri. Tingkat prevalensi lebih tinggi pada anak-anak dan individu yang aktif secara seksual dibandingkan orang lain. Pasien dengan persepsi sensorik yang rendah karena penyakit seperti kusta dan orang-orang dengan keadaan immunocompromise seperti pada kondisi post-transplantasi, penyakit HIV, dan usia tua, berada pada risiko tertentu untuk scabies varian krusta. Populasi ini hadir dengan lesi klinis atipikal dan sering salah didiagnosa, sehingga menunda pengobatan dan meningkatkan risiko epidemi lokal. Patofisiologi Skabies pada manusia disebabkan oleh tungau scabiei S, var hominis, suatu parasit obligat manusia dan ditunjukkan pada gambar di bawah.

Gambar 1. Tungau scabies dikorek dari liang (perbesaran 400x)

Seluruh siklus hidup tungau berlangsung 30 hari di dalam epidermis manusia. Setelah kopulasi, tungau jantan mati dan tungau betina masuk ke dalam canaliculi pada lapisan kulit superficial dan meletakkan total 60-90 telur. Dari tahap ovum menjadi tungau dewasa membutuhkan 10 hari. Kurang lebih 10% dari telur yang dihasilkan tungau betina dapat tumbuh menjadi tungau dewasa. Tungau bergerak melalui lapisan atas kulit dengan mensekresi protease yang mendegradasi stratum corneum. Tungau tersebut makan pada jaringan yang rusak tetapi tidak menelan darah. Scybala (feses) yang tertinggal saat tungau melakukan perjalanan melalui epidermis, menciptakan lesi linear klinis yang disebut sebagai canaliculi. Untuk scabies krusta, adanya gangguan saraf motorik dapat mengakibatkan penderita tidak mampu menggaruk sebagai respon dari pruritus. Hal ini akan menghilangkan mekanisme menggaruk yang dapat menghilangkan tungau dan menghancurkan canaliculi. Masa inkubasi sebelum munculnya gejala tergantung apakah infeksi merupakan infeksi primer atau merupakan suatu reinfeksi. Pada infeksi primer, muncul hipersensitivitas tipe IV (delayed hypersensitivity) pada 4-6 minggu setelah paparan pertama. Reaksi hipersensitivitas inilah yang mengakibatkan pruritus intens pada scabies. Epidemiologi Sekitar 300 juta kasus skabies dilaporkan di seluruh dunia setiap tahun. Di negara maju, epidemi skabies terjadi seperti dalam penjara dan fasilitas perawatan jangka panjang seperti rumah jompo dan rumah sakit. Tingkat prevalensi di negara berkembang lebih tinggi dibandingkan di negara maju. Untuk epidemiologi berdasarkan ras dan seks, tidak ada perbedaan berarti. Pemeriksaan Fisik Temuan klinis termasuk lesi primer dan sekunder. Lesi primer adalah manifestasi pertama dari kutu, dan ini biasanya meliputi papula kecil, vesikel, dan canaliculi. Lesi sekunder adalah hasil dari menggosok dan menggaruk, dan bisa jadi satu-satunya manifestasi klinis dari penyakit ini. Jika demikian,

diagnosis harus disimpulkan oleh sejarah, distribusi lesi, dan gejala yang menyertainya. 1. Lesi Primer Skabies Liang merupakan tanda patognomonik dan mewakili

terowongan intraepidermal

yang diciptakan oleh tungau betina

yang bergerak. Mereka muncul sebagai serpiginous, ketinggian benang keabu-abuan, mulai dari 2-10 milimeter panjang, seperti yang terlihat pada gambar di bawah.

Gambar 2. Canaliculi linear khas pada lengan fleksor Canaliculi ini tidak tampak dan harus aktif dicari. Sebuah titik hitam dapat dilihat di salah satu ujung liang, menunjukkan adanya tungau. Lokasi untuk liang meliputi sela-sela jari, fleksor permukaan pergelangan tangan, siku, aksila, garis sabuk, kaki, skrotum pada pria, dan areola pada wanita. Pada bayi, liang biasanya terletak di telapak tangan dan telapak kaki, seperti pada gambar di bawah. Tungau sebenarnya mikroskopis dan tidak dapat dilihat dengan mata telanjang manusia. Terdapat juga ujud kelainan papula dan vesikel. Papula jarang mengandung tungau dan kemungkinan besar merupakan reaksi hipersensitivitas. Papula yang umum pada bagian batang penis pada pria dan pada areola pada wanita

Gambar 3. Eritematosa papula dan papulovesikel pada pergelangan tangan

Gambar 4. Papula karena scabies pada batang penis dan skrotum Skabies berkrusta, (Skabies Norwegia) ditandai dengan penebalan dan pengerasan kulit. Lesi sering hiperkeratotik dan mencakup area yang luas. Distrofi kuku dan lesi kulit kepala mungkin terlihat. Tungau dapat mencapai jumlah ribuan hingga jutaan. Orang yang paling berisiko muncul lesi primer berupa scabies berkrusta adalah orang-orang yang immunocompromized, tidak mampu merasakan pruritus, dan/atau tidak mampu

menggaruk kulit (suatu mekanisme untuk membersihkan tubuh dari tungau).

Gambar 5. Crusted scabies

Skabies nodular terjadi pada 7-10% dari pasien dengan skabies, terutama bayi yang belum dapat menggaruk. Pink, cokelat, atau nodul merah mungkin ada dengan diameter 2-20 mm. Tungau jarang ditemukan dalam nodul. Bayi mungkin memiliki papula 1 sampai 3 mm, vesikel, pustula dan di telapak tangan dan telapak kaki.

Gambar 6. Nodular scabies 2. Lesi Sekunder Skabies Hasil dari menggaruk, infeksi sekunder, dan/atau respon kekebalan imun terhadap tungau dan zat-zat yang dihasilkannya. Temuan karakteristik meliputi ekskoriasi, eksim luas, krusta berwarna seperti madu, hiperpigmentasi postinflamasi, eritroderma, nodul

prurigo, dan pioderma frank. Pemeriksaan Laboratorium Diagnosis ditegakkan dengan identifikasi tungau, larva, telur, atau scybala (pelet kotoran) dengan pemeriksaan mikroskopis dari kerokan kulit.

Gambar 7. Sediaan mikroskopis scabies dari kerokan kulit Peningkatan titer Imunoglobulin E dan eosinofilia pada pemeriksaan darah juga dapat ditemukan pada pasien skabies. Secara klinis infeksi tanpa gejala dapat dideteksi dengan amplifikasi DNA Sarcoptes dalam skala

epidermal oleh polymerase chain reaction. Imunosupresi, baik obat atau penyakit yang berhubungan, dapat berhubungan dengan scabies berkrusta. Tatalaksana Pengobatan untuk skabies meliputi pemberian agen scabicidal (permetrin 5%, Lindane lotion 1% atau krim, sulfur topical, dan ivermectin) agen antipruritic seperti antihistamin (mentol dan pramoxine), dan agen antimikroba yang tepat jika terjadi infeksi sekunder. Semua anggota keluarga dan orang yang kontak dengan dekat harus dievaluasi dan diobati untuk skabies, bahkan jika mereka tidak memiliki gejala. Semua karpet dan furnitur berlapis harus disedot dan tas vakum segera dibuang. Instruksikan pasien untuk mencuci pakaian, seprei, dan handuk yang digunakan dalam minggu terakhir dalam air panas sehari setelah pengobatan dimulai dan lagi dalam 1 minggu. Item yang tidak dapat dicuci, dibersihkan atau disegel dalam kantong plastik selama 1 minggu. Pasien dengan scabies berkrusta harus diinstruksikan untuk

menghilangkan kerak berlebih untuk memungkinkan penetrasi agen scabicidal topikal dan mengurangi beban infestasi. Hal ini dapat dicapai dengan membasahi air hangat diikuti dengan penerapan agen keratolitik seperti asam salisilat 5% dalam krim atau petrolatum Lac-Hydrin. (Asam salisilat harus dihindari jika daerah tubuh yang terlibat sangat luas karena potensi risiko keracunan salisilat). Bila pengobatan dan edukasi dijalankan dengan baik oleh pasien, prognosis scabies adalah sangat baik. Namun untuk scabies berkrusta prognosis kurang baik.

B. Pedikulosis Kutu merupakan permasalahan di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, insidensi pedikulosis meningkat pada 3 dekade ini dan merupakan kasus epidemik pada siswa sekolah. Kutu adalah ektoparasit yang tinggal di tubuh. Kutu ini mengonsumsi darah dari inangnya setelah menusuk dan

menginjeksikan saliva yang menyebabkan pruritus. Kutu ini dapat hidup jauh dari host nya sampai 10 hari dan akan mati kelaparan. Kutu manusia (P. humanus dan P. pubis) dapat ditemukan di semua negara dan iklim. Berasal dari filum Arthropoda, kelas Insecta, ordo Phthiraptera, dan subordo Anoplura. Mamalia adalah host dari semua Anoplura dan manusia adalah host yang paling disukai oleh kutu. P. humanus diketahui dapat hidup dan berkembang biak di babi. Spesies kutu yang berbeda akan menempati area tubuh yang berbeda. Pada studi pustaka ini, kami akan menjelaskan tentang 3 spesies kutu yang biasa menjadi masalah pada masyarakat, yaitu pediculosis capitis (kutu kepala), pediculosis corporis (kutu badan), dan pediculosis pubis (kutu pubis). Cara penularan Penularan pedikulosis adalah dengan kedekatan fisik antara dua orang atau dari benda-benda pribadi (misalnya sisir, pakaian, dan topi). Kutu badan merupakan vektor dari penyakit typus, quintan fever, dan relapsing fever. Kontak kepala dengan kepala lainnya yang terinfeksi (Brown, 2005). Kutu badan terdapat di pakaian dan menaruh telur-telurnya di benang di pakaian tersebut. Sedangkan kutu kepala berlokasi di rambut dan menaruh telur-telur mereka di batang-batang rambut. Kutu kepala dan kutu badan dapat bergerak dengan bebas dan cepat sehingga penularan pedikulosis ini dapat sangat mudah. 1. Pediculosis capitis Kutu kepala (Pediculus humanus capitis) adalah yang paling sering ditemukan dari ketiga spesien lainnya. Paling sering melibatkan 10-20 kutu dewasa. Panjang kutu kepala 1-2 mm. Permukaan dorsoventral yang pipih. Batas toraks dan abdomen tidak jelas, spirakel jelas terlihat. Ratarata hidup sampai 30 hari. Telur pada kutu rambut diletakkan 1-2 mm dari kulit kepala, disini merupakan temperatur optimal untuk inkubasi. Kutu betina memproduksi 10 telur tiap harinya, biasanya pada malam hari. Area yang paling disukai untuk meletakkan telurnya adalah di bagian occipital kepala dan postauricular. Menyisir kepala dapat

menjauhkan kutu sejauh 1 meter dari kulit kepala. Kutu kepala dapat bergerak dengan kecepatan 23 cm/menit. Pedikulosis menular dengan kontak dengan penderita dan peminjaman alat-alat pribadi (sisir, topi) di mungkinkan dapat menjadi penularan pedikulosis. Faktor risiko pada pedikulosis adalah hidup di pemukiman padat penduduk, hygene yang jelek, individu yang kurang nutrisi. Faktor predisposisi dapat meliputi umur, tinggal di pemukiman padat, wanita, ras asia atau kulit putih, dan musim yang hangat. Risiko infeksi nosokomial rendah, kecuali kontak pasien dengan pasien yang dekat. Manifestasi pada kutu kepala adalah gatal pada kulit kepala, limfaadenopati occipital, dan impetigo. Pemeriksaan pada kulit kepala terlihat adanya exkoriasis, noda gelap dari feses kutu, telur, dan kutu dewasa. Infestasi yang paling berat berada di belakang telinga (postauricular). Untuk mendiagnosis pedikulosis capitis digunakan sisir kutu, ini lebih efisien dibandingkan harus melihat dengan langsung kulit kepala. Gigitan dapat bermanifestasi kepada papula yang gatal. 2. Pediculosis corporis Kutu badan (Pediculus humanus corporis) memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan kutu kepala. Panjangnya sekitar 2-4 mm. Betina lebih besar daripada jantan. Batasan antara dinding toraks dan abdomen jelas, spirakel tidak dapat terlihat jelas. P. humanus corporis lebih suka ditempat yang lebih dingin, biasanya di pakaian. Berjalan ke badan hanya ketika makan pada malam hari. Betina meletakkan 10-15 telur tiap hari pada benang yang terdapat di pakaian. Siklus hidup dari telur sampai mati adalah 35 hari, dengan 3 episode berganti kulit. Rata-rata ditemukan 20 kutu betina pada seorang yang terkena pedikulosis. Faktor risiko adalah berada di tempat yang padat (misalnya bus dan kereta yang penuh) dan jarang mengganti pakaian.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya lesi multiple akibat gigitan. Lesi ini berbentuk papul erithematous, diameter 2-4 mm, dengan dasar eritem. Infeksi sekunder mungkin akan terjadi akibat garukan. Kutu dapat menempati daerah manapun di tubuh, tetapi mereka lebih senang berada di aksila, lipat paha, dan batang tubuh (area yang ditutupi oleh pakaian). Kutu badan akan menjauhi kulit kepala. Penemuan makula cerulea diyakini merupakan patognomonik dari infestasi kutu badan. Macula cerulea berwarna biru keabu-abuan yang merupakan perubahan warna kulit akibat gigitan kutu. Enzim di saliva kutu memecah bilirubun menjadi biliverdin, sehingga warna kulit berubah dan menjadi makula cerulea. Biasanya terdapat 10 kutu badan pada seorang pasien. 3. Pediculosis pubis (Phtiriasis pubis) Pthirus pubis berukuran lebih kecil dibandingkan dengan P. humanus capitis and P. humanus corporis dan memiliki ukuran 0,8 1,2 mm. Rata-rata mengalami siklus hidup selama 35 hari. Setiap hari, kutu betina memproduksi 1-2 telur. Lokasi pthirus pubis biasanya menyerang perianal, aksila, dan lipatan paha. Pada pedikulosis yang berat akan didapatkan kutu ini di alis, bulu mata, rambut ketiak, dan kulit kepala perifer. Kutu pubis ini kurang dapat bergerak dibandingkan kedua kutu lainnya, dan hanya dapat hidup diluar manusia selama 1 hari. Faktor risiko dari terkena kutu pubis adalah tinggal di tempat yang padat penduduk, kontak seksual dengan individu yang terkena pedikulosis. Pada anak-anak, biasanya ditularkan dari orangtuanya biasanya lewat sprei tempat tidur dan kontak nonseksual yang dekat. Gejala primer pada pedikulosis yang disebabkan oleh P. pubis adalah gatal pada area yang ditempati kutu tersebut. Manifestasi klinis lain adalah adanya makula cerulea. Ekskoriasi sering terlihat. Limfadenopati inguinal dan aksila pernah dilaporkan terjadi pada pasien dengan pedikulosis yang disebabkan oleh P. pubis.

Kutu sebagai vektor penyakit Kutu badan merupakan vektor dari Bartonella quintana (agen infektif endokarditis) diantara tunawisma dan memiliki manifestasi klinis yang berbeda dengan bartonellosis yang ditularkan lewat lalat. Merupakan penyebab typus epidemik pada perang dunia ke I. Prognosis Terapi pada pedikulosis memiliki efektifitas yang tinggi dalam membunuh nimfa dan kutu yang telah matur tetapi kurang untuk membunuh telur. Terapi menyembuhkan 90% dari kasus pedikulosis. Tetapi, jika tidak diobati akan menetap bertahun-tahun. Kegagalan terapi dapat disebabkan oleh : Kesalahan diagnosis Pemilihan terapi yang tidak tepat Terapi yang tidak lengkap Reinfestasi Resisten dengan pedikulosid Edukasi Pasien Tidak selesainya terapi merupakan penyebab utama kegagalan dalam terapi pedikulosis. Pengetahuan tentang siklus hidup kutu akan menyebabkan pasien memakai kembali obatnya dalam waktu 7-10 hari untuk

menghilangkan seluruh kutu. Gambaran klinis Gejala yang paling mencolok pada pedikulosis adalah pruritus. Pada anak-anak hal ini dapat menyebabkan gangguan tidur karena pada malam hari kutu akan aktif menghisap darah. Lokasi yang biasanya ditempati oleh kutu kepala adalah kulit kepala, belakang leher, dan postauricula. Namun, banyak juga yang asimtomatis. Pada anak-anak, butuh waktu 2 bulan sebelum ditemukannya kutu. Pasien yang terkena pedikulosis yang disebabkan oleh P. corporis akan merasakan gatal pada malam hari (pruritus nocturnal) di ketiak, batang tubuh, dan lipat paha ketika kutu berpindah dari pakaian ke tubuh ketika akan

makan. Biasanya dokter akan menanyakan status ekonomi sosial karena pedikulosis corporis sering mengenai orang dengan status ekonomi sosial yang rendah. Pasien dewasa yang terkena P. pubis biasanya aktif dalam hubungan seksual. Gatal pada daerah lipat paha, ketiak, bulu mata dan alis dapat membedakan pedikulosis yang disebabkan oleh P. pubis dan kedua kutu lainnya. Pada pasien mungkin akan terdapat papula yang mengindikasikan adanya reaksi dari gigitan. Garukan pada kulit dapat menyebabkan infeksi sekunder pada pasien. Tatalaksana Prinsip pengobatan pedikulosis meliputi 2 aspek, yaitu medikasi dan kontrol lingkungan. Termasuk mengobati partner seks yang mengalami pedikulosis. Pedikulosida yang digunakan biasanya malation, karbaril, dan piretroid sintetik (permetrin dan fenotrin). Pengobatan insektisida digunakan karena mudah dan aman digunakan. Obat-obatan yang berbahan dasar air lebih disukai dibandingkan dengan larutan alkohol karena sedikit menyebabkan iritasi. Karena tidak ada satupun insektisida yang dapat membasmi habis semua telur, maka pengobatan harus diulangi sesudah 7-10 hari untuk membunuh setiap kutu kecil yang muncul dari telur yang selamat. Kutu kepala Metode pengobatan fisik yang sederhana antara lain adalah mencuci rambut dengan sampo yang kemudian diikuti dengan penggunaan kondisioner dalam jumlah banyak. Rambut kemudian disisir dengan sisir yang bergigi kecil dan rapat, sehingga semua kutu dapat terangkat. Tindakan ini diulang setiap 4 hari selama 2 minggu. Kutu badan Semua pasien harus mandi. Pakaian harus diganti semuanya dengan pakaian yang bersih, dan pakaian yang penuh dengan kutu dibakar atau

direbus pada suhu 60C atau lebih. Bisa juga dengan pencucian kering ( dry cleaning) atau dengan pengering lainnya. Kutu pubis Malation dan karbaril efektif terhadap pthirus pubis. Obat-obatan ini harus digunakan dengan pelarut air untuk menghindari iritasi pada genitalia eksterna. Seluruh tubuh harus diobati, termasuk kulit kepala bila ditemukan adanya kutu pada bagian tepi kulit kepala. Orang yang berhubungan seksual dengan penderita juga harus diobati. Penggunaan hendaknya diulang sesudah interval 7-10 hari. Infeksi pada bulu mata bisa diobati dengan menggunakan parafin lunak putih (vaselin) tiga kali sehari selama 2-3 minggu. Tindakan ini menghambat sistem respirasi kutu, kemudian akan membuat insekta tersebut mati lemas.

C. Creeping eruption (hookworm cutaneus larva migrans) Creeping eruption merupakan infeksi larva cacing tambang anjing dan kucing. Penyakit ini terdistribusi hampir di semua area beriklim tropis dan subtropis. Penyebab tersering adalah Ancylostoma braziliense. A. caninum juga dapat menyebabkan penyakit ini disertai dengan eosinofilik enteritis. Etiologi Telur cacing tambang ditemukan di feses anjing dan kucing yang terinfeksi. Ketika telur menetas, larva akan tinggal di tanah. Ketika seseorang kontak dengan tanah yang terkontaminasi, larva akan masuk ke dalam kulit dan menyebabkan respon inflamasi yang ditandai dengan kemerahan dan gatal. Larva tinggal diantara stratum germinativum dan stratum korneum. Larva ini menyebabkan eosinofilik inflamasi lokal. Hampir semua larva tidak dapat masuk ke lapisan lebih dalam dan akhirnya mati setelah beberapa hari sampai bulan. Creeping eruption terdapat pada negara dengan iklim hangat. Faktor risiko penyakit ini terdiri dari kontak dengan tanah yang lembab, berpasir

yang telah terkontaminasi dengan feses anjing dan kucing. Anak-anak lebih banyak terinfeksi dibandingkan dengan dewasa. Gejala Melepuh Gatal, memberat pada malam hari Kulit meninggi, snake-like tracks pada kulit, biasanya 1 cm per hari Gejala sistemik Bersin-bersin, batuk kering, dan urtikaria. Lesi kutaneus Karakteristik lesi pada creeping eruption adalah lesi eritematous, meninggi, dan vesicular, linear. Lesi dapat single maupun multiple. Pemeriksaan dan Tes Biasanya hanya dengan inspeksi. Tes darah untuk melihat peningkatan eosinofil dan biopsi jarang dilakukan. Prognosis Creeping eruption dapat sembuh dengan sendirinya dalam beberapa minggu atau bulan. Terapi akan membantu mempercepat penyembuhan. Komplikasi Infeksi sekunder bakteri karena garukan. Masuknya larva secara hematogen ke paru dan usus halus. Pencegahan Menjaga kebersihan dan mencegah adanya cacing pada anjing dan kucing peliharaan. Gunakan sepatu untuk mencegah infeksi. Laboratorium Mungkin terjadi eosinofilia. Terapi Terapi lini pertama adalah ivermectine dosis tunggal atau 3 hari albendazol. Terapi topikal thiabendazole juga merupakan pilihan. Dipakai 10% krim albendazole 2 kali sehari selama 10 hari.

D. Pioderma 1. Impetigo Definisi Impetigo ialah pioderma superfisialis (terbatas pada epidermis). a. Impetigo Krustosa Impetigo krustosa (impetigo kontagiosa, impetigo vulgaris, impetigo Tillbury Fox) adalah infeksi streptokok primer yang sering berkombinasi dengan infeksi stafilokok, ditandai dengan vesikel berdinding tipis yang diskret (tersebar), cepat menjadi pustul, kemudian ruptur. Etiologi Biasanya Streptococcus hemolyticus grup A (Streptococcus pyogenes). Manifestasi Klinis Penyakit dimulai dengan makula eritematosa yang berkembang menjadi vesikel/bula dalam waktu singkat, kemudian pecah

mengeluarkan sekret seropurulen dan menjadi krusta kuning keemasan, menebal, dan mudah lepas. Krusta dapat dilepaskan dengan cepat, meninggalkan permukaan yang halus, merah, dan lembab. Sering krusta menyebar ke perifer dan sembuh di bagian tengah. Umumnya tidak disertai gejala konstitusi, Hanya terdapat pada anak. Tempat predileksi pada bagian tubuh yang lebih terbuka seperti wajah, yakni sekitar lubang hidung dan mulut, tangan, leher, dan ekstremitas. Penyebaran melalui jari, handuk, dan alat-alat rumah tangga yang sering digunakan. Komplikasi Glomerulonefritis akut (GNA) sebanyak 2-5% yang disebabkan oleh serotipe nefritogenik, sering terjadi pada anak-anak, umumnya di bawah 6 tahun. Diagnosis Banding Ektima dan varisela

Penatalaksanaan Jika jumlah lesi sedikit, bersihkan dan beri salep antibiotik. Jika jumlah lesi luas dan banyak, beri antibiotik sistemik. Untuk infeksi Streptokok pada anak-anak diberikan penisilin 4 x 250mg (12,5 mg/kgBB/hari, 5-7 hari) sedangkan untuk infeksi campuran dengan Stafilokok diberikan eritromisin, kloksasilin, atau sefalosporin dengan dosis sama dengan di atas. Terapi dilakukan selama 7-10 hari. Walaupun terapi dilakukan sedini mungkin dan sesuai/adekuat,tetapi tidak dapat menurunkan risiko kejadian GNA. Untuk membersihkan krusta dapat dilakukan kompres 1-2 x/hari. Setelah bersih diberi salep kombinasi basitrasin dan polimiksin B. b. Impetigo Bulosa (impetigo vesiko-bulosa) Etiologi Biasanya Staphylococcus aureus. Manifestasi Klinis Keadaan umum baik, tetapi dapat timbul gejala konstitusi berupa malaise dan demam. Tempat predileksi di ketiak, dada, punggung, atau daerah yang tidak tertutup pakaian. Terdapat pada anak, bayi, dan orang dewasa. Umumnya sangat mudah menular. Kelainan kulit berupa eritema, bula, dan bula hipopion. Kadang-kadang waktu pasien datang berobat, vesikel/bula telah memecah sehingga yang tampak hanya kolaret dan dasarnya masi heritematosa, erosi, dan ekskoriasi. Diagnosis Banding Herpes simpleks/zoster, impetigo krustosa, dermatofitosis Penatalaksanaan Salep antibiotik atau cairan antiseptik, setelah vesikula dipecahkan. Antibiotik sistemik bila lesi lebih banyak atau luas. Mencari dan menghilangkan faktor predisposisi, misalnya

memperbaiki higiene.

c. Impetigo Neonatorum Merupakan varian impetigo bulosa yang terdapat pada neonatus. Kelainan kulit serupa impetigo bulosa hanya lokasinya generalisata, dapat disertai demam. Diagnosis Banding Sifilis kongenital Penatalaksanaan Antibiotik sistemik. Untuk pengobatan topikal dapat diberikan bedak salisil 2%. d. Folikulitis Superfisialis (Impetigo Bockhart) Folikulitis supsrfisialis adalah radang folikel rambut dengan pustul berdinding tipis pada orifisium folikel yang terbatas di dalam epidermis. Manifestasi Klinis Tempat predileksi adalah ekstremitas terutama di tungkai bawah; kulit kepala, muka terutama sekitar mulut. Kelainan berupa papul atau pustul yang eritematosa dan di tengahnya terdapat rambut, biasanya multipel dan sembuh setelah beberapa hari. Infeksi mungkin terjadi setelah gigitan serangga atau akibat garukan dan trauma kulit lainnya. Penatalaksanaan Bersihkan daerah yang terkena dengan sabun antiseptik dan air 2 x/hari dan berikan salep antibiotik, misalnya mupirosin 5%. Kloksasilin/eritromisin peroral dibenkan terutama pada kasus rekurens atau sulit diobati. Cari dan hilangkan faktor predisposi. e. Folikulitis Profunda Folikulitis profunda adalah infeksi stafilokok berupa pustul petifolikuler kronik ditandai dengan adanya papul dan pustul dan sering terjadi rekurens. Merupakan folikulitis piogenik dengan infeksi yang meluas ke dalam folikel dermis bawah.

Manifestasi Klinis Gambaran klinisnya seperti folikulitis superfisialis, namun terdapat eritema dan gatal, rasa terbakar serta teraba infiltrat di subkutan. Contohnya sikosis barbe yang berlokasi di bibir atas dan dagu; bilateral. Dalam 1-2 bulan menjadi pustul berukuran kecil di tengahnya ada rambut. Kemudian ruptur akibat trauma, lalu timbul bintik eritematosa. Tempat predileksi adalah dagu (jenggot), daerah kumis, alis, aksila, pubis, dan paha. Diagnosis Banding Tinea barbe, lokalisasinya di mandibula/submandibula, unilateral dermatitis kontak, dermatitis seboroika, dan pseudofolikulitis. Penatalaksanaan Topikal dengan salep mupirosin. Jika gagal, diberikan antibiotik sistemik seperti eritromisin,sefalosporin, golongan -laktam (oksasilin, kloksasilin, diklosasilin). Cari dan hilangkan faktor predisposisi.

2. Furunkel Definisi Furunkel atau bisul ialah penyakit infeksi akut pada folikel rambut dan perifolikuler, bulat,nyeri, berbatas tegas yang berakhir dengan supurasi di tengah. Jika lebih dari satu disebut furunkulosis. Karbunkel ialah furunkel yang berkonfluensi dengan mata yang terpisah. Etiologi Biasanya Staphytococcus aureus. Faktor Predisposisi Alkoholisme, malnutrisi, gangguan fungsi neutrofil, faktor

menurunnya daya tahan tubuh termasuk AIDS dan diabetes melitus. Histopatologi Adanya abses yang dalam dengan limfosit dan neutrofil dan pada kasus yang sudah lama terdapat sel plasma dan sel datia benda asing (giant cell)

Manifestasi Klinis Keluhannya nyeri dengan nodus eritematosa berbentuk kerucut, di tengahnya terdapat pustul. Kemudian melunak menjadi abses berisi pus dan jaringan nekrotik, lalu memecah. Tempat predileksi ialah yang banyak mengalami friksi, misalnya aksila, bokong, dan tengkuk/ leher. Penatalaksanaan Jika hanya beberapa buah, cukup dengan antibiotik topikal. Jika banyak, diberikan antibiotik topikal dan sistemik. Untuk furunkel dini dapat diberikan kompres air hangat dan antibiotik, misalnya golongan -laktam, eritromisin, atau sefalosporin per oral dengan dosis 1-2 g/hari bergantung pada beratnya penyakit. Bila mengalami supurasi maka furunkel diinsisi Cari dan hilangkan faktor predisposisi (kalau berulang-ulang mendapat furunkulosis atau karbunkel), misalnya diabetes melitus.

3. Ektima Definisi Ektima ialah ulkus superfisial dengan krusta di atasnya, disebabkan oleh Streptococcus -hemolyticus, hampir selalu terjadi di tungkai bawah bagian anterior atau kaki bagian dorsal. Etiologi Streptococcus - hemolyticus. Gejala Klinis Penyakit dimulai dengan vesikel atau vesiko-pustul yang membesar dan dalam beberapa hari menjadi krusta tebal berwarna kuning, biasanya berlokasi di tungkai bawah, yaitu tempat yang relatif banyak mendapat trauma. Jika krusta diangkat ternyata lekat dan tampak ulkus dangkal dengan dasar kasar dan tepi meninggi. Lesi akan sembuh setelah beberapa minggu dengan sikatriks.

Diagnosis Banding Impetigo krustosa yang hanya terdapat pada anak, berlokasi di muka, dan dasarnya ialah erosi. Penatalaksanaan Jika jumlahnya sedikit, krusta diangkat lalu dibersihkan dengan sabun dan air serta diolesi salep antibiotik, misalnya mupirosin 2 x/hari. Jika banyak, juga diobati dengan antibiotik sistemik seperti penisilin, kloksasilin, atau eritromisin secara oral atau parenteral. Cari dan hilangkan faktor predisposisi.

4. Pionikia Definisi Pionikia adalah radang di sekitar kuku oleh piokokus. Etiologi Stapylococcus aureus dan/atau Streptococcus - hemolyticus grup A. Manifestasi Klinis Penyakit ini didahului trauma. Mulainya infeksi pada lipat kuku, terlihat tanda-tanda radang,kemudian menjalar ke matriks dan lempeng kuku (nail plate), dapat terbentuk abses sub-ungual. Penatalaksanaan Kompres dengan larutan antiseptik dan berikan antibiotik sistemik. Jika terjadi abses sub-ungual, kuku diekstraksi.

BAB III PEMBAHASAN

Pada skenario, seorang anak laki-laki 7 tahun datang ke dokter umum diantar ibunya dengan keluhan muncul gatal-gatal sejak 1 bulan lalu. gatal terutama dirasakan pada malam hari. Gatal yang muncul, kemungkinan disebabkan oleh Sarcoptes scabiei yang menggali kanalikuli di stratum korneum kulit penderita kemudian mengeluarkan ekskret dan sekretnya. Aktivitas tungau scabies ini meningkat ketika malam hari. Hal ini dikarenakan ketika malam hari, biasanya suhu ruangan menurun, sehingga tubuh kita melakukan kompensasi dengan cara meningkatkan suhu tubuh. Peningkatan suhu tubuh inilah yang meningkatkan aktivitas tungau scabies. Karena sangat gatal, pasien selalu menggaruknya sampai lecet-lecet. Garukan menyebabkan kulit mengalami ekskoriasi, sehingga dimungkinkan terjadinya infeksi sekunder yang ditandai dengan perubahan UKK (menjadi polimorf) pada gejala scabies ini. Walaupun begitu, salah satu referensi menyebutkan bahwa menggaruk dapat menghancurkan kanalikuli, dan disebutkan bahwa penderita scabies yang tidak menggaruk lesi tersebut (dikarenakan defek sensorik/motorik) memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami scabies crustosa (Norwegian scabies). Keluhan muncul pertama kali di sela jari tangan kemudian meluas ke bagian tubuh yang lain, hal ini disebabkan predileksi tungau scabies adalah di kulit dengan stratum korneum yang tipis, seperti sela jari, pergelangan tangan, bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilicus, pantat, genitalia eksterna (pria), dan perut bagian bawah. Keluhan meluas karena aktivitas scabies yang terus aktif menggali kanalikuli, tungau scabies memiliki masa hidup 4-6 minggu, sedangkan telur yang keluar sekitar 3 telur perharinya, menetas setiap 3-4 hari. Satu minggu yang lalu pasien mengeluh muncul nanah di kedua sela jari tangan yang nyeri, ini menunjukkan bahwa lesi awal yang berupa kanalikuli dengan ujung papul atau vesikel, berubah menjadi pustule. Hal ini menandakan bahwa telah terjadi infeksi sekunder. Pasien tinggal di asrama sekolah, di mana 1 kamar tidur dihuni 10 anak, dan beberapa temannya menderita penyakit yang

sama menunjukkan dugaan kuat penyakit tersebut adalah scabies. Scabies biasa menyerang daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi, serta menular melalui kontak fisik yang lama (seperti berjabat tangan yang lama), dikarenakan tungau scabies tidak bisa terbang ataupun meloncat. Dimungkinkan beberapa teman pasien juga menderita penyakit tersebut. Pasien bercerita banyak nyamuk di kamar tidurnya, hal ini tidak memiliki kaitan dengan penyakit yang diderita pasien, dikarenakan UKK dan anamnesis nya pun berbeda. Selain itu, tidak ada literature yang menyebutkan bahwa nyamuk memiliki andil dalam siklus hidup Sarcoptes scabiei. Temuan klinis pada scabies biasanya disebabkan hipersensitivitas dan iritasi dari tungau (Sarcoptes scabiei) dan produknya. Penyebaran dari lesi scabies biasanya pada pergelangan tangan, antara jari tangan, jari tangan, siku, kaki dan pinggang. Sedangkan lesi papular, lesi noduler biasanya didaerah putting, umbilicus, aksila atau genital. UKK yang ditemukan pada scabies anak biasanya berupa liang, vesikel, ekskoriasi, sisik atau krusta . Lesi pada anak-anak biasanya lebih parah inflamasinya dari pada orang dewasa dan sering vesicular atau bulosa (Kane et al., 2009; Metry, 2011). Dari pemeriksaan fisik yaitu sudah dapat diketahui bahwa UKK yang didapat merupakan tanda dari scabies. sela jari tangan, pergelangan tangan,

lengan bawah, bawah perut dan ketiak tampak papul, eritema, erosi, ekskoriasi, krusta, dan didapatkan juga kanalikuli. pada pemeriksaan fisik juga ditemukannya diskrit yang mana merupakan karakteristik dari scabies tipe nodular. Scabies nodular selain terdapat adanya diskrit juga ditandai dengan adanya nodul berwarna merah-orange pada aksila, skrotum, punggung, kaki dan paha. Nodul ini muncul biasanya disebabkan karena reaksi hipersensitivitas dari tungau atau antigen (Metry, 2011). Untuk memastikan diagnose scabies pada kasus, diperlukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan yang sederhana dan cepat untuk diagnosis scabies bisa menggunakan kerokan kulit. Caranya yaitu dengan menggunakan scapel yang dilapisi mineral oil untuk mengambil kerokan kulit, kulit yang diambil yaitu yang tersapat kanalikuli, vesikel atau papula yang tidak mengalami ekskoriasi.

Kemudian specimen diamati menggunakan mikroskop dengan cahaya lemah. Diagnosis scabies jika ditemukan Sarcoptes scabiei, telur, dan atu feses. Tapi pemeriksaan kerokan kulit mempunyai sensitivitas yang rendah (Metry, 2011). Maka dari itu dapat juga dilakukan pemeriksaan Dermoscopy, yaitu dengan menggunakan alat yang bernama dermatoscope. Pada dermocopy dapat dilihat kanalikuli, tungau, atau feses di stratum korneum dan pada dermis terlihat adanya infiltrasi eosinophil (Kane et al., 2009; Metry, 2011). Karena tidak mau diperiksa laboratorium, pada scenario dokter hanya memberikan obat. Pada penatalaksanaan pasien scabies anak-anak dapat diberikan obat oles permethrin, crotamiton 10%, atau sulfu diberikan r 6% - 10% keseluruh permukaan kulit tubuh. Untuk mengatasi pruritus dapat diberikan emollients, antihistamines, dan steroids topical sebagai pengobatan symtomatis (Kane et al., 2009). Lini pertama pada terapi scabies baik pada anak atau orang dewasa adalah permethrin kream 5% atau ivermectin oral dengan dosis 200 mcg/kg sigle dose dan diberikan kembali dengan dosis yang sama 2 minggu setelahnya. Pasien scabies dengan krusta direkomendasikan untuk diobati dengan keduanya. Selain itu keratolytics topical juga diperlukan pada lesi krusta yang tebal (Metry, 2011). Sebagai prevensi agar tidak terjadi kekambuhan pasien perlu dinasehati agar semua pakaian, peralatan tidur dan semua yang kontak dengan anak harus di cuci dengan suhu tinggi. Atau jika tidak bisa barang-barang dapat dibungkus dalam tas plastic yang kedap udara selama 72 jam. Selama pengobatan semua keluarga tidak boleh kontak dengan penderita. Jika perlu dilakukan pemeriksaaan pada semua anggota keluarga dan hewan peliharaan dan diobati jika ditemukan scabies (Kane et al., 2009; Metry, 2011; Burkhart dan Burkhart, 2012 ).

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Pada dikskusi skenario 3, kami menarik kesimpulan bahwa diagnosis kerja pada skenario ini adalah scabies dengan ditemukannya 3 dari tanda cardinal penyakit scabies yaitu pruritus nokturna , menyerang manusia secara berkelompok, adanya terowongan (kunikulus) pada tempat predileksi. Pengobatan yang diberikan adalah sebagai berikut: 1. Belerang endap (sulfir presipitatum) 4-20% dalam salep atau krim.

Obat ini kurang efektif menghadapi stadium telur, maka penggunaannya tidak boleh kurang dari 3 hari. Kelemahnnya juga berbau dan mengotori pakaian dan kadang timbul iritasi. Dapat dipakai pada bayi kurang dari 2 tahun. 2. Emulsi benzil benzoat 20-25%, efektif pada semua stadium,

diberikan setiap malam selama 3 hari. Obat ini sulit diperoleh dan sering terjadi iritasi, bahkan bisa semakin gatal setelah dipakai. 3. Gama Benzena Heksaklorida 1% dalam krim atau losio, efektid

terhadap semua stadium, mudah digunakan dan jarang ada iritasi. Tidak dianjurkan untuk anak dibawah 6 tahun dan ibu hamil, karena toksik terhadap susunan saraf pusat. Pemberian cukup sekali namun bila masih terinfeksi diulangi seminggu kemudian. 4. Krotamiton 10% dalam krim atau losio mempunyai 2 efek sebagai

antiskabies dan antigatal, harus dijauhkan dari mata, mulut, dan uretra. 5. Permetrin 5% dalam krim, kurang toksik dibanding gameksan

dengan efekivitas sama, pemakaian cukup sekali dan dihapus setelah 10 jam. Bila belum sembuh diulangi seminggu kemudian. Tidak dianjurkan pada bayi di bawah 2 bulan.

6.

Antibiotik ivermectin untuk penderita Norwegian Scabies dan

pasien dengan imunokompromi, dengan dosis 200 g/ kg. Diberikan sekali.

B. Saran 1. Tutor: untuk selalu membimbing dan mengingatkan mahasiswa bila sudah mulai keluar dari topik. 2. Pasien: agar menjaga kebersihan diri, tidak menggunakan barang milik orang lain secara bergantian seperti handuk, pakaian, dll, serta melakukan pengobatan bukan hanya untuk pasien melainkan juga lingkungan yang terkena scabies. 3. Skenario: skenario kali ini snagat gamblang menjelaskan semuanya dan sudah menjurus. Sehingga mahasiswa lebih terfokus dan mengerucut dalam membahas skenario. 4. Mahasiswa: untuk lebih aktif dalam berdiskusi, memperhatikan EBM dalam memnentukan diagnosis hingga melaksanakan tatalaksana. Diharapkan mahasiswa juga dapat memahami betul skenario ini.

DAFTAR PUSTAKA

Brown, Robin, Burns, Tony. 2005. Lecture Notes Dermatologi edisi kedelapan. Surabaya: Erlangga.

Burkhart Craig N. dan Burkhart Craig G.. 2012. Scabies, Other Mites, and Pediculosis dalam Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine, Eighth Edition. US: McGraw-Hill Companies.

Cordoro, K.M., 2012. Dermatologic Manifestations of Scabies. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/1109204-overview tanggal 22 November 2012

Djuanda, Adhi. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Badan Penerbit FK UI

Guenther,

Lyn.

2012.

Pediculosis

(Lice).

Diakses

dari tanggal

http://emedicine.medscape.com/article/225013-medication#2 24 November 2012.

Iskandar, Tolibin. 2000. Masalah Skabies pada Hewan dan Manusia serta Penanggulangannya. WARTAZOA, 10; 28-34.

Kane K. Shou-Mei, Lio P. A., Stratigos A. J., Johnson R. A. 2009. Insect Bites and Infestations dalam Color Atlas & Synopsis of Pediatric Dermatology, 2 Edition. US: McGraw-Hill Companies.

Metry D. W. 2011. Infestations dalam Rudolph's Pediatrics, 22 Edition. US: McGraw-Hill Companies.

NIH.

2010.

Creeping

eruption.

Diakses

dari

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001454.htm. tanggal 24 November 2012. Wolff, Klaus, Goldsmith, Lowell et al.. 2008. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7th ed. United State of America: The McGraw-Hill Companies, Inc.

You might also like