You are on page 1of 5

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masa remaja sebagai masa ketika perubahan fisik, mental, dan sosial ekonomi terjadi. Secara fisik, tejadi perubahan karakteristik jenis kelamin sekunder menuju kematangan seksual dan reproduksi. Proses perubahan mental dan identitas usia dewasa berkembang pada masa remaja. Masa ini juga merupakan masa yang paling peting dalam kehidupan, ketika keputusankeputusan penting diambil dan persiapan dilakukan sehubungan dengan karier dan peranan dalam kehidupan (Raymundo, dkk, 1999: 37 dalam Imron, 2012: 39). Pada 2007, jumlah remaja umur 10- 24 tahun sangat besar sekitar 64 juta atau 28,6 % dari jumlah pendududk Indonesia (BKKBN,2009:1). Disamping jumlahnya yang besar, remaja yang punya permasalahan yang kompleks seiring dengan masa transisi yang dialami remaja ( Imron, 2012: 81). Menurut Soetjaningih (2004) dalam Farida (2011) Persoalan dan permasalahan remaja menarik untuk dikaji karena remaja tidak mempunyai status yang jelas dalam periode perkembangannya dan berada dalam masa peralihan. Remaja dianggap sebagai adolescense yakni masa transisi dari anakanak ke masa dewasa. Masa remaja tidak hanya dibatasi oleh umur, melainkan terdapat berbagai karakteristik perubahan baik biologis, psikologis, fisiologis maupun aspek sosial.

Pada remaja putri, akan terjadi proses menstruasi sebagai tanda telah berfungsinya ovarium (Kinanti, 2009 dalam Badriyah 2012). Menstruasi atau yang disebut haid adalah perubahan fisiologis dalam tubuh wanita yang diperanguhi oleh hormon reproduksi. Menstruasi tersebut ditandai dengan perdarahan dari rahim disertai pelepesan selaput lendir rahim yang terjadi secara periodik dan siklik ( bulanan) (Devi, 2012). Gangguan menstruasi yang sering dialami wanita adalah sindrom pramenstrual ( premenstrual syndrome) atau dikenal dengan PMS. Gejala PMS yang dirasakan tiap wanita umumnya berbeda-beda. Ada yang sangat mengganggu kehidupan sehari-hari mereka, tetapi ada pula yang tidak sama sekali. Sebayak 80-90 % sindrom premenstruasi ditandai dengan gejala fisik, psikologis dan emosi yang terjadi dua minggu sebelum menstruasi (Devi, 2012). Statistik di Amerika Serikat menyebutkan bahwa PMS derajat sedang hingga berat diderita sekurang-kurangnya oleh 3-5 % populasi wanita usia reproduksi . Clark (2004) bahkan menyebutkan angka prevalensi ini dapat mencapai 30 % dari seluruh populasi wanita usia reproduksi, dan sepertiga diantara mereka mengalami PMS derajat berat (Suparman, 2012: 4 ). Strickler (1997) bahkan menyebutkan bahwa prevalensi PMS mencakup sekitar 8 % populasi wanita usia reproduksi, dan hampir separuhnya tidak berupaya mencari pertolongan medis. Mishell (2005) memperkirakan prevalensi PMS sebesar 20-40 % dari seluruh wanita usia reproduksi dengan

rentang demografi usia antara 14 tahun hingga 51 tahun (Suparman, 2012: 56). Berdasarkan data statistik tahun 2004, diperoleh bahwa satu dari enam wanita di USA mengalami PMS atau sekitar 40,8 juta orang. Di Indonesia pada tahun yang sama wanita yang mengalami PMS dilaporkan berjumlah 35.767.942 orang ( Octaviana dkk, 2011). Dampak PMS terhadap penurunan produktivitas kerja, sekolah dan

hubungan interpersonal penderita cukup besar. Borenstein (2004) melaporkan penurunan produktivitas 436 penderita PMS yang sangat bermakna dibandingkan kontrol, yang dikaitkan dengan keluhan sukar berkonsentrasi, menurunnya entusiasme, menjadi pelupa mudah tersinggung dan labilitas emosi serta menurunnya kemampuan koordinasi dan lebih tingginya kejadian terganggunya hubungan interpersonal dan aktivitas sosial, pekerjaan atau sekolah pada kelompok penderita PMS yang diteliti (Suparman, 2012: 82-83). Dari penelitian yang dilakukan Armoni suci dewi tahun 2010 terdapat hubungan antara pengetahuan dengan sikap remaja dalam menghadapi sindrom premenstruasi di SMP Al-Azhar Medan, hasilnya responden yang

berpengetahuan baik, sebanyak 52,6 % bersikap positif dan 47,4 % bersikap negatif dalam menghadapi PMS, sedangkan berpengetahuan kurang baik

sebanyak 7,1 % bersikap positif dan 92,9 % bersikap negatif dalam menghadapi PMS. Menurut Widyastuti (2009) dalam Zulaikha (2010), pengetahuan tentang kesehatan reproduksi remaja sangat penting agar remaja memiliki sikap

dan perilaku yang bertanggung jawab. Pembekalan pengetahuan tentang perubahan yang terjadi secara fisik, kejiwaan dan kematangan seksual akan memudahkan remaja untuk memahami serta mengatasi berbagai keadaan yang membingungkannya. Remaja putri membutuhkan informasi atau pendidikan tentang proses dan kesehatan selama menstruasi tentang sindroma premenstruasi beserta penanganannya. Remaja putri akan mengalami kesulitan menghadapi menstruasi jika sebelumnya mereka belum pernah mengetahui atau membicarakannya baik dengan teman sebaya atau dengan ibu atau keluarga (Sarwono 2011 dalam Farida , 2011) Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukanpada tanggal di SMAN 13 Banjarmasin Berdasarkan hal tersebut maka peneliti tertarik megadakan penelitian tentang Hubungan pengetahuan dengan sikap remaja putri kelas X tentang premenstruasi sindrom di SMAN 13 Banjamasin tahun 2013.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang dapat dirumuskan permasalahan sebaai berikut apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan sikap

remaja putri kelas X tentang premenstruasi sindrom di SMAN 13 Banjarmasin.

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dengan sikap remaja putri kelas X tentang premenstruasi sindrom di SMAN 13 Banjarmasin 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan remaja putri kelas X tentang premenstruasi sindrom di SMAN 13 Banjarmasin tahun 2013 b. Untuk mengetahui sikap remaja putri kelas X tentang premenstruasi sindrom di SMAN 13 Banjarmasin tahun 2013 c. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dengan sikap remaja putri kelas X tentang premenstruasi sindrom di SMAN 13 Banjarmasin tahun 2013

D. Manfaat Penelitian

You might also like