You are on page 1of 16

LUPUS ERITEMATOSUS DISKOID Rikardo Ladesman, S.

Ked Kepaniteraan Klinik Senior Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/Rumah Sakit Umum Dr. Moh. Hoesin Palembang Pendahuluan Lupus eritematosus diskoid (LED) adalah kelainan jinak pada kulit, paling sering mengenai daerah muka, berupa patch berskuama kemerahan dengan ukuran bervariasi. Lupus eritematosus diskoid umumnya terjadi pada orang dewasa muda, dan ditemukan dua kali lebih sering pada wanita. Lesi dimulai sebagai makula yang tidak terlalu jelas atau indurasi plak yang kemudian timbul skuama. Lesi ini kemudian berkembang menjadi atrofi, jaringan parut, dan perubahan pigmen. Gejala klinis LED hampir mirip dengan lupus eritematosus sistemik (LES), tapi LES bermanifestasi pada hampir semua organ internal. Terdapat juga perubahan hematologik dan serologik pada hampir sebagian penderita, yang dengan demikian menunjukkan adanya etiologi autoimun pada LED.1 Lupus eritematosus diskoid dapat menyebabkan jaringan parut, kerontokan rambut dan hiperpigmentasi kulit apabila tidak ditatalaksana dengan segera yang kemudian akan berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita. Penatalaksanaan yang sedini mungkin dapat meningkatkan prognosis penyakit ini. Karena itu perlu diagnosis yang ditegakkan melalui gejala klinis dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi.2 Untuk lebih memahami LED, maka dalam sari pustaka ini akan dibahas mengenai epidemiologi, etiologi, patogenesis, gambaran histopatologik, gejala klinis, kelainan kulit terkait LED, klasifikasi, diagnosis banding, pemeriksaan penunjang, komplikasi dan prognosis dari LED.

Tinjauan Pustaka 2.1 Epidemiologi Kasus LED terdapat sebesar 50-85% dari keseluruhan kasus lupus eritematosus kutaneus. Penyakit ini lebih sering menyerang ras afrika-amerika dan lebih jarang pada ras kaukasia dan asia. Lupus eritematosus discoid dapat timbul pada berbagai umur tetapi terutama pada umur 20-45 tahun, dengan rerata umur 38 tahun. Sementara itu bila dihitung dari dari populasi kasus LES, jumlah LED berkisar antara 15-30%, dan 5% dari kasus LED dapat mengarah ke LES.3,4 Prevalensi LED pada populasi berkisar antara 17-48 per 100.000 orang. Wanita terkena dua kali lebih sering daripada laki-laki, dengan onset puncak pada dekade keempat, walaupun kelainan ini dapat terjadi pada semua umur. Sebuah penelitian menunjukkan, dari 1045 kasus, 3% dimulai sejak umur 15 tahun dan 2.5% pada umur 70 tahun.1 2.2 Etiologi Penyebab dari penyakit lupus eritematosus yang spesifik pada kulit belum sepenuhnya diketahui. Akan tetapi terdapat beberapa faktor yang diketahui dapat menimbulkan terjadinya LED.1 Faktor genetik Hubungan yang bernilai positif pada gen HLA-B7, -B8, -Cw7, -DR2, -DR3 dan -DQw1 telah ditemukan pada beberapa penelitian, namun tidak selalu dikonfirmasi oleh penelitian lainnya. Risiko relatif meningkat bersamaan dengan kombinasi antigen aHLA-Cw7, -DR3 dan -DQw1 serta untuk gen HLA-B7, -Cw7 dan -DR3. Pada pasien dengan lesi yang timbul pada usia antara 15 hingga 39 tahun memiliki peningkatan insidensi dari gen HLA-B7, dan pada perempuan di atas usia 40 tahun terjadi peningkatan pada gen HLA-B8 bila dibandingkan dengan kontrol. Riwayat keluarga juga dapat ditemukan pada kasus LED, di mana pada sebuah penelitian ditemukan riwayat keluarga mencapai 4%. Penelitian terkini juga menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara erupsi polimorfik dan LED pada saudara kembar dan pada keluarga dengan latar

belakang genetik yang sama. Faktor genetik telah diajukan sebagai bagian dari patogenesis penyakit LED, di mana pada sebuah penelitian didapati imunoglobulin pada dermalepidermal junction dari kulit yang tidak terlibat. 1 Inisiasi dari penyakit ini kemungkinan diawali dari beberapa kejadian acak, baik berhubungan dengan mutasi somatik maupun faktor lingkungan. Akan tetapi dapat disimpulkan bahwa terjadi tiga hal utama, yakni adanya tiga mutasi yang mempengaruhi gen autosom, empat mutasi di mana salah satunya mempengaruhi gen pada kromosom X, dan lima mutasi yang salah satunya melibatkan gen pada kromosom X. Sebagai hasil mutasi ini, terjadi kehilangan kontrol dari limfosit dan setelah 4 tahun pada perempuan serta 2 tahun pada lakilaki, manifestasi penyakit LED mulai timbul. Untuk mengatasi limfosit yang tidak terkontrol ini, tubuh yang normal akan melakukan mekanisme pertahanan endogen. Faktor lingkungan dapat mempresipitasi maupun mengeksaserbasi LED melalui interferensinya pada mekanisme pertahanan ini.1 Faktor Lingkungan Onset lesi dipercepat oleh berbagai faktor. Pada sebuah penelitian, lesi dipercepat dengan adanya trauma (11%), stres mental (12%), sinar matahari (5%), infeksi (3%), suhu dingin (2%), dan kehamilan (1%). Selain itu, adanya antibodi RNA reovirus pada 42% penderita LED menunjukkan adanya peran virus RNA terhadap terjadinya LED.1 Bila lesi telah timbul, dapat terjadi eksaserbasi karena adanya paparan sinar matahari dan trauma. Eksaserbasi dapat dihubungkan dengan berbagai faktor. Pada 120 pasien di sebuah penelitian, riwayat eksaserbasi dengan sinar matahari ditemukan pada 68% pasien LED, akan tetapi hal ini disangkal oleh pasien lainnya. Lesi kulit secara klinis dan histologis yang sesuai dengan lupus eritematosus diinduksi oleh radiasi UVB dan UVA pada 42 % pasien dengan LED, 64% pada pasien dengan subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE), dan 25% pada pasien dengan LES. Tujuh belas persen pasien merasakan adanya eksaserbasi pada suhu dingin, namun lebih dari setengah dari keseluruhan pasien menunjukkan adanya perburukan pada musim panas, di mana 10% dari pasien tersebut memburuk pada musim dingin.1

2.3 Patogenesis Patogenesis LED tidak dapat dipisahkan dari patogenesis LES. Patogenesis tersebut dapat dijelaskan dengan sebuah bagan yang menjelaskan empat tahapan teoritis yang berurutan yang terjadi sebelum adanya manifestasi klinis dari penyakit ini. Tahapan-tahapan tersebut adalah pewarisan gen yang menyebabkan penderita lebih mudah terkena penyakit, induksi autoimunitas, perluasan proses autoimun dan lesi imunologis:5 Tahap pertama adalah pewarisan gen yang dianggap sebagai predisposisi LE. Setidaknya ada empat gen dalam hal ini. Hubungan penyakit kulit spesifik LE dengan major histocompatibility complex (MHC) kelas II DR sudah banyak diketahui. Selain itu, gen lain juga dianggap berperan dalam patogenesis LES, seperti gen yang mengkodekan komplemen dan tumor necroting factor (TNF), gen yang memediasi apoptosis serta gen yang melibatkan proses komunikasi antar-sel serta gen yang berperan dalam pembersihan kompleks imun.5 Tahap kedua dari patogenesis LES adalah fase induksi yaitu permulaan proses autoimunitas yang ditandai dengan kemunculan sel T autoreaktif yang telah kehilangan toleransi terhadap komponen tubuh. Mekanisme yang melandasi autoreaktivitas tersebut antara lain: 5,6 1. Regenerasi klonal. Karena sel limfosit terus menerus diproduksi dari sel punca, jika dosis tolerogenik antigen tidak dipertahankan, sistem imun akan menggantikan sel tua yang toleran tetapi mulai menua dengan sel-sel muda yang tidak toleran. 2. Imunisasi-silang. Pajanan antigen yang bereaksi silang dengan tolerogen dapat memicu aktivasi sel limfosit T helper (Th) spesifik untuk antigen yang bereaksi silang dan juga menyediakan sinyal yang dibutuhkan limfosit autoreaktif untuk menimbulkan efek pada tolerogen.

3. Stimulasi klon anergi. Anergi adalah suatu proses yang menghilangkan kemampuan imunologis klon autoreaktif yang berhasil lolos dari delesi klonal sehingga klon-klon tersebut tidak dapat merespon rangsangan oleh antigen. Diperkirakan bahwa suatu stimulasi sel limfosit T tertentu dapat menghilangkan anergi dan mengawali proses autoreaktivasi. Selain pembentukan klon autoimun, pada tahap kedua dari patomekanisme LE juga dijelaskan antigen yang berperan dalam autoimunitas. Seperti dibahas sebelumnya, antigen LE kebanyakan adalah antigen yang terdapat di dalam inti dan sitoplasma dari sel keratinosit yang terbebaskan ke membran sel akibat mekanisme tertentu. Uji laboratorik telah membuktikan bahwa antigen tersebut dapat keluar akibat pajanan sinar ultraviolet. Selain itu, faktor lain yang dapat memicu lesi LED dan kemungkinan berhubungan dengan pembebasan antigen dari inti dan sitoplasma keratinosit adalah trauma, infeksi, suhu dingin, sinar-X hingga bahan kimia.5,6 Setelah klon autoimun terbentuk, terjadi suatu mekanisme yang memperbanyak dan memperluas klon yang bermasalah ini. Tahap ketiga atau tahap ekspansi kemungkinan melibatkan peningkatan respon autoimun yang dipicu antigen secara progresif. Pada tahap ini, autoantibodi dihasilkan oleh selsel B yang berlipat ganda. Walaupun sangat banyak, autoantibodi LE hanya ditujukan pada beberapa antigen inti dan sitoplasma. Ada tiga target utama yang berperan, yakni nukleosom (anti-DNA dan antibodi antihiston), spliceosome (antiSm dan anti-RNP) molekul Ro dan La (anti-Ro dan anti-La).3 Tahapan terakhir adalah tahapan yang paling penting secara klinis dan menandai awal dari penyakit klinis. Tahapan ini sebagian besar diakibatkan oleh kerja dari autoantibodi dan kompleks imun yang terbentuk yang menyebabkan cedera pada jaringan baik itu dengan kematian sel secara langsung, aktivasi seluler, opsonisasi maupun karena terhambatnya fungsi molekul target.3

2.4 Manifestasi Klinis Gambaran klinis yang umum pada LED adalah plak eritem berskuama, follicular plugging, jaringan parut dan atrofi, telangiektasis, hipopigmentasi, dan tepi yang mengalami hiperpigmentasi seperti yang ditunjukkan oleh gambar 1,2, dan 3. Lesi ini berbatas tegas dan umumnya terdapat pada daerah yang terpapar sinar matahari, yakni di kepala, wajah, dan telinga.7

Gambar 1. Skuama dengan dasar eritem pada LED yang sering terjadi pada fase aktif. Follicular plugging terlihat pada hidung.

Gambar 2. LED pada kulit kepala yang menimbulkan kehilangan rambut secara permanen, terlihat adanya follicular plugging yang sangat jelas.

Gambar 3. Telangiektasis pada lupus eritematosus Predileksi LE diskoid umumnya pada daerah pipi, telinga dan hidung, tetapi kadang-kadang mencapai daerah punggung, leher dan bagian dorsal dari tangan. Setiap area wajah termasuk alis, kelopak mata, dan bibir dapat berpengaruh. Lesi yang simetris, hiperkeratotik, berupa plak yang berbentuk kupu-kupu kadang dapat ditemukan di daerah malar dari wajah dan pada jembatan hidung. Lupus eritematosus diskoid jarang terjadi pada telapak tangan atau telapak kaki. Jika folikel rambut ikut terkena, maka akan timbul kebotakan yang terlokalisasi pada kepala (scarring alopecia). Scarring alopecia mengenai 34% dari 89 pasien dengan LED yang dikaitkan dengan proses penyakit berkepanjangan. Lebih dari setengah pasien menderita penyakit kulit kepala. Lupus eritematosus diskoid yang bermanifestasi pada bibir dan mukosa mulut menyebabkan ulkus dan pengelupasan mukosa, yang merupakan predisposisi dari karsinoma sel squamous.7 Diagnosis LED ditegakkan berdasarkan gambaran klinis. Pemeriksaan histopatologik digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis, yaitu berupa reaksi jaringan lichenoid dengan perubahan pada dermo-epidermal junction disertai penebalan dasar membran dan degenerasi vakuola sel basal. Lupus eritematosus diskoid merupakan manifestasi paling sering pada LE. Kelainan ini umumnya ditandai dengan kemerahan, papul berskuama dan plak pada area yang terpapar sinar matahari, walaupun 50% lesi lupus diskoid terjadi pada daerah kulit kepala yang jarang terpapar sinar matahari. Pasien dengan LED

generalisata lebih cenderung menunjukkan kelainan hasil pemeriksaan laboratorik dan lebih besar kemungkinan berkembang menjadi LES. Tabel 1 menunjukkan perbandingan antara LED klasik dengan lupus eritematosus jenis lain.7 Tabel 1. Perbandingan manifestasi LE yang terkait kulit Manifestasi penyakit Manifestasi lesi kulit Indurasi Atrofi dermis Perubahan pigmen Follicular plugging Hiperkeratosis Histopatologi Thickened basement membrane Infiltrat likenoid Inflamasi periapendiks Lupus band Lesi Non lesi ANA Antibodi Ro/SS-A dengan imunodifusi dengan ELISA Anti-double-stranded DNA antibodies Hipokomplemenemia Risiko berkembang menjadi SLE ACLE SCLE 0 0 + 0 + 0 + 0 ++ ++ +++ + ++ +++ +++ +++ 0 0 ++ 0 ++ + ++ + ++ + ++ +++ +++ + + ++ LED klasik +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ 0 + 0 + 0 + +

Lesi LE diskoid biasanya asimptomatik tetapi terlihat sebagai pruritus ringan atau nyeri tanpa terlihat adanya lesi. Biasanya terjadi pada 5% kasus LES, kadang-kadang disertai arthralgia dan arthritis. Lesi pada LED memiliki beberapa karakteristik:6 Alopecia permanen. Lesi primer berupa papul eritem atau plak dengan pengelupasan ringan. Hiperpigmentasi di tepi aktif lesi, dan bagian tengah yang inaktif menunjukkan hipopigmentasi.

Lesi menyebar secara sentrifugal dan dapat menyatu. Ketika lesi yang aktif sembuh, kulit terlihat atrofi dan terbentuk jaringan parut.

2.5 Gambaran Histopatologik Variasi gejala klinis dari LE sesuai dengan gambaran histopatologik pada gambar 5 dan 6. Sementara itu subset LE tidak dapat dibedakan secara histologi.

Gambar 5. Atrofi epidermis, keratotic plugging, degenerasi liquefaksi lapisan basal, edema dan hialinisasi jaringan pengikat dibawah epidermis dan terdapat sebukan radang.

Gambar 6. Degenerasi lapisan basal dan infiltrasi predominan limfosit Gambaran histopatologiknya adalah liquefaction degenerative lapisan sel basal epidermis, perubahan degeneratif pada jaringan pengikat terdiri atas hialinisasi, edema dan perubahan fibrinoid, sebagian besar terdapat di bawah epidermis, serta terdapat sebukan infitrat limfositik, disertai sedikit sel plasma dan histiosit, sebagian besar menyelubungi appendiks kulit. Sedikitnya dibutuhkan paling tidak dua dari tiga gambaran histopatologik diatas untuk menegakkan diagnosis LE secara histologik.1

Lapisan epidermis biasanya tipis disertai hilangnya corak normal r ete ridge. Terdapat infiltrat radang dan limfositik perivaskuler pada lapisan dermis superfisial dan dermis dalam. Dermis superfisial dapat menjadi edema dan peningkatan mucin biasanya terjadi.3 Tes immunoflouresensi langsung pada lesi kulit umumnya positif pada 75% kasus, karena immunoglobulin dan komplemen terletak pada dermoepidermal junction, dalam pola granuler atau partikuler. Lesi baru biasanya menunjukkan imunofluoresensi negatif , terutama pada area kulit yang selalu tertutup.3 2.6 Klasifikasi Lupus eritematosus diskoid diklasifikasikan ke dalam dua tipe yaitu:3 Tipe lokalisata Lesi diskoid biasanya terlokalisasi pada area diatas leher. Predileksi LED terutama pada kulit kepala, puncak hidung, daerah malar, bibir bawah dan telinga. Jika lesi terdapat pada daerah kulit kepala, maka jaringan parut yang terbentuk lebih sklerotik dibanding area lainnya, dan akhirnya menjadi scarring alopecia. Pada bibir atau rongga mulut, lesi yang terbentuk berupa makula keabuan dan hiperkeratotik, dikelilingi oleh daerah yang meradang. Tipe general Lupus eritematosus diskoid tipe general jarang terjadi dibanding LED tipe lokalisata. Tipe ini paling sering mengenai area thoraks dan ekstremitas atas, selain daripada daerah predileksi LED. Lupus eritematosus diskoid sering disertai abnormalitas darah atau serologi dan cenderung berkembang menjadi LES. Selain itu, terdapat pula LED tipe childhood, yang memiliki gejala dan tanda klinis yang mirip dengan LED lainnya, namun tipe ini jarang terjadi pada anak perempuan, frekuensi gejala fotosensitivitas yang rendah dan 50% berkembang menjadi LES. Tabel 2 dan gambar 4 menunjukkan perbedaan antara LED dengan LES.

10

Tabel 2. Perbedaan antara LED dan LES LED (Lupus Eritematosus Diskoid) - Insidens pada wanita lebih banyak daripada pria, usia biasanya lebih dari 30 tahun - Kira-kira 5% berasosiasi dengan atau menjadi LES - Lesi mucosa oral dan lingual jarang - Gejala konstitusional jarang - Kelainan laboratorik dan imunologik jarang LES (Lupus Eritematosus Sistemik) Wanita lebih banyak daripada pria, umumnya terbanyak sebelum usia 40 tahun (antara 20-30 tahun) Kira-kira 5% mempunyai lesi-lesi LED Lesi mukosa lebih sering, terutama pada LES akut Gejala konstitusional sering Kelainan laboratorik dan imunologik sering

Gambar 4. Pada LES (kiri), erupsi sering tampak hanya sebagai eritem yang kadang muncul sementara, namun melibatkan hampir seluruh area butterfly. Pada LED (kanan) skuama dan jaringan parut dapat terjadi pada area butterfly dan juga di luar area. Beberapa tipe yang jarang ditemui yaitu: Mukosa dapat terkena lesi yang dapat menjadi lichen planus. Telapak tangan dan telapak kaki terkena pada sedikitnya 2% kasus. Lesi pada LED dapat menjadi hipertrofi atau verukosa. Lesi mirip kutil sebagian besar terjadi pada bagian ekstensor lengan. Lesi yang hipertrofi cenderung berkembang menjadi keratoacanthoma atau karsinoma sel skuamosa. Kelainan ini sulit untuk diobati. Lupus panniculitis adalah bentuk kronik yang sering menyertai LED tipikal atau terjadi pada pasien dengan LES.

11

2.7 Diagnosis Banding Keratosis Aktinik Gambaran klinis berupa bercak merah dan berskuama, yang secara khas bertambah besar dan berkurang bersamaan dengan jalannya waktu, dapat timbul sebanyak ratusan lesi pada orang-orang yang sering terpapar sinar matahari.8 Psoriasis Psoriasis sulit dibedakan dari plak yang pertama kali muncul pada LED. Akan tetapi pada psoriasis gambaran plak akan timbul lebih besar, berskuama tebal, biasanya simetris dan timbul pada daerah yang berbeda dari daerah predileksi LED. Lupus eritematosus diskoid umumnya terdapat pada wajah dan telinga serta daerah yang terpapar matahari, di mana psoriasis lebih sering terdapat pada siku tangan, lutut, kepala, dan sacrum. Lupus eritematosus diskoid cenderung mengakibatkan jaringan parut dan kehilangan rambut.7
Liken Planus

Liken planus merupakan kelainan yang agak bervariasi bentuknya. Bentuk yang paling sering adalah adanya erupsi akut pada papula yang gatal. Gambaran klinis: lesi-lesi kulitnya berpermukaan rata, mengkilat, dan poligonal. Gambaran permukaannya tampak seperti anyaman halus dari bintik-bintik dan garis-garis, disebut sebagai Wickhams striae.8 Lupus Eritematosus Kutaneus Subakut Terdapat lesi papuloskuamosa atau anular tanpa pembentukan jaringan parut, terutama pada tempat yang terpapar sinar matahari. Mungkin juga didapatkan gejala sistemik, walaupun biasanya ringan.8 2.8 Pemeriksaan Penunjang Pada kasus LED, pemeriksaan penunjang hampir selalu menunjukkan adanya kelainan. Anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia, leukopenia serta peningkatan laju endap darah biasanya terjadi pada LED yang aktif. Sementara itu, hasil uji Coombs yang positif dan faktor reumatoid yang meningkat juga dapat ditemukan pada LED.6

12

Perubahan histopatologik terjadi pada LED yang diobservasi, akan tetapi perbedaan ini tergantung jenis dan lamanya lesi. Sekitar 90% kasus menunjukkan imunonofluoresensi direk positif, tetapi hal ini tidak spesifik.1 Tes serologi sebaiknya dilakukan. Sekitar 20% pasien dengan LED mempunyai antibodi antinuklear positif. Anemia, leukopenia, dan trombositopenia dapat ditemukan pada 1/3 kasus Serum globulin meningkat 29%, peningkatan gama globulin merupakan kelainan yang paling umum Coombs tes terkadang dapat positif Faktor reumatoid mungkin positif Level komplemen cenderung rendah Urinalisis menunjukkan penurunan fungsi ginjal disertai albuminuria. Pemeriksaan darah sebaiknya diulang secara periodik, minimal dilakukan pertahun ketika kondisi pasien stabil untuk mencegah terjadinya penyakit sistemik (LES). 2.9 Penatalaksanaan Tujuan penatalaksanaan LED adalah untuk memperbaiki keadaan pasien, mengontrol lesi yang ada dan mengurangi terbentuknya jaringan parut, serta mencegah terbentuknya lesi baru. Terapi non-medikamentosa Mengurangi paparan sinar matahari dengan cara mengurangi aktivitas di luar ruangan, terutama antara jam 10 pagi sampai jam 4 sore. Pasien disarankan untuk menggunakan pakaian pelindung dan tabir surya. Lesi biasanya terdapat pada tempat yang mudah terlihat, sehingga diperlukan tatalaksana kosmetik. Menghentikan kebiasaan merokok, karena hal ini akan memperburuk penyakit dan membuat terapi dengan obat anti malaria kurang efektif.6

13

Terapi Medikamentosa Lokal penting untuk diaplikasikan secara yang berpotensi lemah digunakan pada muka. Losion lesi yang hipertrofik. Plester yang mengandung

Kortikosteroid poten atau superpoten topikal. Steroid diperlukan untuk

diberikan untuk penggunaan pada kulit kepala. Kortikosteroid potensi tinggi kortikosteroid dapat membantu mengaplikasikan obat ini. Steroid sistemik jarang digunakan karena terbukti kurang efektif. Tetapi pada kasus yang berat, lesi yang luas atau terdapat jaringan parut khususnya yang mengenai kulit kepala, pemberian prednison oral dapat membantu dengan dosis 0,5 mg/kgBB dalam waktu 6 minggu.3 Pengobatan lokal yang paling efektif berupa injeksi intralesi triamcinolon acetonid 2,5-10 mg/ml, diinfiltrasikan ke dalam lesi dengan menggunakan jarum nomor 30 dengan interval 4-6 minggu. Dosis triamcinolon yang digunakan tidak lebih dari 40 mg pada satu waktu. Makrolactam topikal juga dapat digunakan sebagai lini kedua terapi. Sistemik

Antimalaria efektif dan aman sebagai terapi sistemik, tetapi keefektifannya berkurang pada perokok. Hidroksikloroquinon pada dosis tidak lebih dari 6,5 mg/KgBB/hari, digunakan sebagai lini-pertama karena keamanannya. Jika tidak ada respons setelah tiga bulan penggunaan, maka obat yang digunakan dialihkan menjadi klorokuin dengan dosis 250 mg perhari. Jika respons masih kurang adekuat, maka quinacrine dapat digunakan sebagai obat tambahan dengan dosis 100 mg per hari.3 Terapi alternatif berupa auranofin, talidomid, retinoid oral atau topikal dan agen imunosupresif.6

14

2.10 Komplikasi Risiko perkembangan penyakit menjadi LES meningkat jika lesi menyebar dan terdapat abnormalitas hasil pemeriksaan darah dan parameter serologis. Pengobatan dini dapat mencegah terjadinya jaringan parut atau atrofi. Degenerasi malignan jarang terjadi. Pencegahan tumbuhnya lesi baru dianjurkan pada daerah yang sering terekspos.7 2.11 Prognosis Prognosis LED umumnya baik. Hanya sekitar 1-5% saja kasus LED yang akan berkembang menjadi LES. Kemungkinan eksaserbasi dapat muncul terutama pada musim semi dan musim panas. Sekitar setengah dari penderita LED mengalami remisi setelah beberapa tahun. Tingkat mortalitas pada penyakit ini rendah, tetapi nyeri pada lesi dapat berkelanjutan. Jaringan parut adalah hal yang umum dan kehilangan rambut dapat timbul secara permanen jika terdapat jaringan parut pada kulit kepala. Hipopigmentasi permanen akan terjadi setelah bebas dari inflamasi, dan ini sering terjadi pada kulit berwarna gelap.1,7

15

DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. Burns, Tony.,et al. 2008. Rooks Textbook of Dermatology, 7th edition. Chapter 56. London: Blackwell Publishing. Panjwani, Suresh. 2009. Early Diagnosis and Treatment of Discoid Lupus Erythematosus. Am J Med 2009; 22: 206-213 Habif, T.P. 1996. Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy, 3rd edition. Chapter 17. St. Louis: Mosby-Year Book,Inc. p.587-625. AOCD. 2007. Discoid Lupus Erythematosus. www.aocd.org. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Klaus W, Suurmond D. 2001. In colour atlas and synopsis of clinical dermatology, 4th ed. New York (NY): McGraw-Hill Companies; p: 1523-1535. 6. 7. 8. James, WD., Berger, TG., Elston, DM. 2007. Andrews Diseases of Skin, 10th edition. California : Lippincott William & Wilkins. Weller R., Hunter J., Savin J., Dahl M. 2008. Clinical Dermatology 4th edition. Singapore: Blackwell Publishing. Graham-Brown, R., Burns T. 2002. Lecture Notes of Dermatology 8th ed. Leicester: Blackwell Publishing.

16

You might also like