You are on page 1of 11

Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak

PEMANFAATAN LIMBAH PERTANIAN ORGANIK UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PRODUK TERNAK MELALUI SISTEM PERTANIAN TERPADU
(By-products of Organic Crops for Quality Improvement of Animal Products in CropsLivestock System)
INDRANINGSIH1, Y. SANI1, R. WIDIASTUTI1 dan E. MASBULAN2
1Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151 Bogor 16114 2Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor 16151

ABSTRACT The use of organic crops by-products has been conducted to investigate its effects on the quality of animal products. The study is an integrated farming between agriculture (cabbage and corn) and livestock where its by-products were used as animal feed. Residue analysis of pesticides was undertaken for rice straws, corns and cabbages (both organically and non-organically) collected from Yogyakarta, Pangalengan dan Lampung. Pesticide residues were not detected in milk of dairy cattle fed with organic cabbages for 7 days. On the other hand, lindane was detected in milk of cattle fed on non-organic cabbages at 76.7 ppb (day0); 49.6 ppb (day-1) and 10.2 ppb (day-7). Pesticide residues were also not detected in inner layer (for consumption) of organic cabbages, but endosulfan (0.1 ppb) was detected in outer layer (by-products). However, lindane was detected from both layers of non-organic cabbage at 3.4 ppb (inner) and 0.3 ppb (outer). There was only lindane (2.5 ppb) detected in organic corns, while lindane (7,9 ppb) and heptachlor (7,3 ppb) detected in its by-products. Previous to planting, soils were contaminated by lindane (2,7 ppb) and heptachlor (0.9 ppb). Feeding on by-product of corn to Onggole cattle resulted to residues of lindane in sera at 0.26 ppb (week-1); 0.39 ppb (week-2); and 0.25 ppb (week-3). Lindane (3.89 ppb) was detected from organic rice straws of Yogyakarta, while the non-organic rice straws were contaminated by lindane (1.58 ppb); heptachlor (0.93 ppb); diazinon (7.95); and chlorpyriphos-methyl (12.09 ppb). Pesticide residues were still detected in commercial organic corn including lindane (9.6 ppb); heptachlor (1.1 ppb); chlorpyriphos-methyl (7.5 ppb) and diazinon (21.7 ppb); the organic cabbages were contaminated by lindane (0.53 ppb); heptachlor (1.8 ppb); and diazinon (14.2 ppb). The study shows that the quality of animal feed may affect animal products. Organic farming is an alternative to minimize pesticide residues in animal feed and products. It is necessary to select low pesticide residues of byproducts as animal feed in implementing crop livestock system. Key words: agriculture, organic, feed, residues, pesticides ABSTRAK Pemanfaatan limbah pertanian organik dipelajari untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kualitas susu dan daging. Penelitian ini merupakan kegiatan integrasi pertanian terpadu (kol dan jagung) yang limbahnya dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan peternakan. Analisis residu pestisida dilakukan terhadap jerami, jagung dan kol (organik maupun non-organik) yang dikoleksi dari Yogyakarta, Pangalengan dan Lampung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa residu pestisida tidak terdeteksi pada susu sapi perah FH yang diberi pakan limbah kol organik selama 7 hari berturrut-turut. Sebaliknya pemberian pakan limbah non-organik, terlihat adanya residu lindan sebanyak 76,7 ppb (hari-0); 49,6 ppb (hari-1) dan 10,2 ppb (hari-7). Residu pestisida tidak terdeteksi pada lapisan dalam kol organik (untuk konsumsi), tetapi endosulfan (0,1 ppb) terdeteksi pada lapisan luarnya (limbah). Dilain pihak lindan terdeteksi pada kedua lapisan kol non-organik yaitu 3,4 ppb (dalam) dan 0,3 ppb (luar). Pada jagung organik hanya terdeteksi lindan (2,5 ppb) sedang limbahnya terdeteksi lindan (7,9 ppb) dan heptakhlor (7,3 ppb). Sebelum penanaman jagung ternyata tanah terkontaminasi oleh lindan (2,7 ppb) dan heptakhlor (0.9 ppb). Pemberian limbah jagung pada sapi Onggole mengakibatkan terdeteksinya residu lindan pada serum 0,26 ppb (minggu-1); 0,39 ppb (minggu-2); dan 0,25 ppb (minggu-3). Residu lindan (3,89 ppb) terdeteksi pada jerami organik asal Yogyakarta, sedangkan jerami non-organik terdeteksi lindan (1,58 ppb); heptakhlor (0,93 ppb); diazinon (7,95); dan khlorpirifos-metil (12,09 ppb). Analisis residu pestisida pada jagung organik komersial menunjukkan adanya residu lindan (9,6

257

Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak

ppb); heptakhlor (1,1 ppb); khlorpirifos-metil (7,5 ppb) dan diazinon (21,7 ppb); dan pada kol organik terdeteksi lindan (0,53 ppb); heptakhlor (1,8 ppb); dan diazinon (14,2 ppb). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas pakan ternak akan menentukan kualitas produk ternak yang dihasilkan. Pertanian organik merupakan salah satu alternatif untuk meminimalkan residu pestisida pada pakan dan produk ternak. Untuk menerapkan sistem pertanian terpadu perlu memilih limbah pertanian yang rendah residu pestisida untuk pakan ternak. Kata kunci: Pertanian, organik, pakan, residu, pestisida

PENDAHULUAN Peranan ternak dalam usaha tani Indonesia semakin meningkat dalam sepuluh tahun terakhir ini. Ternak telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam devisa negara dan kesejahteraan petani (DIWYANTO et al., 2002) Berbagai jenis ternak telah lama dimanfaatkan dalam kegiatan usaha tani antara lain untuk membajak lahan, sebagai alat transportasi dan sebagai penghasil pupuk organik. Selanjutnya ternak ruminansia dapat memanfaatkan limbah hasil pertanian sebagai pakan ternak. Pada saat ini konsep pertanian terpadu yang melibatkan tanaman dan ternak, sedang digalakkan di berbagai daerah seperti Bengkulu, Lampung, Yogyakarta, Pantai Utara Jawa dan Bali. Pengembangan konsep tersebut diarahkan untuk menciptakan suatu pola usaha tani berkelanjutan yang ramah lingkungan, dapat diterima masyarakat, dan bernilai ekonomis. Konsep usaha tani ini diharapkan menerapkan pola produksi zero waste, yaitu seluruh komponen hasil pertanian dapat dimanfaatkan secara maksimal dan berkelanjutan serta ramah terhadap lingkungan. Pola integrasi tanaman dan ternak yang umum diterapkan di beberapa daerah antara lain usaha tani padi-ternak dan/atau jagungternak yang mana limbahnya dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Namun, perlu diingat bahwa penggunaan pestisida dalam produksi kedua jenis tanaman tersebut cukup intensif dan kadang-kadang tidak mengikuti anjuran pemakaian yang telah ditetapkan produsen sehingga mengakibatkan limbah tersebut mengandung cemaran dan residu pestisida. Kondisi ini perlu menjadi perhatian bila limbah hasil pertanian dimanfaatkan sebagai pakan ternak karena dapat menimbulkan residu pada produk ternak dan efek toksik. Selain itu, pada beberapa negara jika ditemukan residu pestisida ilegal dalam produk pertanian maka produk tersebut akan ditolak untuk memasuki pasar (ANONIMOUS, 1997).

Residu pestisida telah dilaporkan di beberapa negara termasuk Indonesia. MAITHO (1992) melaporkan bahwa pestisida golongan organokhlorin (dikloro difenil trikloretan/DDT, dieldrin, aldrin dan lindan) terdeteksi pada 22 dari 25 sampel lemak sapi yang diperiksa. Laporan yang sama juga terjadi pada produk ternak (telur, daging dan susu) di Indonesia (INDRANINGSIH et al., 1988), Australia 1988; CORRIGAN and (NEUMAN, SENEVIRATNA, 1990), Kenya (KAHUNYO et al., 2001) dan Mesir (IBRAHIM et al., 1994). Organokhlorin sering terdeteksi dari beberapa tanaman pangan seperti jagung, kol, padi, tomat dan kedelai (INDRANINGSIH et al., 1990; NUGRAHA et al., 1989; ARDIWINATA et al., 1996; NTOW, 2003; SOEJITNO, 2002). Cemaran pestisida yang terdeteksi dari lingkungan (tanah, air, dan sedimen) diduga sebagai sumber kontaminasi pada produk pertanian dan ternak (INDRANINGSIH et al., 1990; NTOW, 2003; WILLETT et al., 1993). Khusus untuk pestisida golongan organokhlorin dapat menimbulkan pengaruh imunosupresi dan karsinogenitas dalam jangka waktu tertentu (VARSHEYA et al., 1988). Keracunan pestisida pernah dilaporkan terjadi di Jawa Barat pada itik yang digembalakan di sawah (SABRANI dan SETIOKO, 1983; YUNINGSIH dan DAMAYANTI, 1994). Keracunan organofosfat juga dilaporkan menyerang sapi perah di Jawa Barat (INDRANINGSIH, 1988). Gejala keracunan seperti hiperemia mata, eksudasi cairan mukus dari mata, hipersalivasi, diare, sesak napas dan pada akhirnya mengakibatkan kematian terlihat setelah ternak mengkonsumsi rumput yang terkontaminasi. Pakan ternak merupakan komponen terpenting dalam kesehatan dan produktivitas ternak. Jagung adalah komoditas utama yang dapat digunakan sebagai bahan pangan maupun sumber pakan ternak. Umumnya limbah tanaman dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dimana limbah jagung dan jerami

258

Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak

padi sudah dimanfaatkan dalam sistem pertanian terpadu. Sedangkan limbah sayuran belum banyak digunakan sebagai pakan padahal umumnya memiliki nilai nutrisi cukup tinggi. Residu pestisida pada produk pertanian dan peternakan menjadi kendala di dalam program keamanan pangan dan perdagangan produkproduk pertanian masa kini. Untuk mengurangi residu pestisida tersebut perlu dicari alternatifalternatif pemecahan masalah yang dihadapi oleh peternak. Pola pertanian organik merupakan salah satu alternatif untuk mengurangi residu pestisida pada produk pertanian. Sehubungan banyaknya limbah pertanian dimanfaatkan sebagai pakan, maka peran pola pertanian organik dalam memilih bahan pakan yang aman dan sehat perlu dipelajari dalam mengembangkan sistem pertanian terpadu. MATERI DAN METODE Analisis residu pestisida pada limbah pertanian organik Sampel analisis meliputi produk pertanian organik dan non-organik yang terdiri dari jerami padi (22 sampel), jagung (11 sampel); dan kol (12 sampel). Sampel dikoleksi langsung dari lahan pertanian milik petani, masing-masing berasal dari Yogyakarta (jerami), Lampung (jagung) dan Pangalengan/Jawa Barat (kol). Sampel ditempatkan dalam plastik, dan langsung dikirim untuk diperiksa di laboratorium terhadap residu pestisida. Analisis residu pestisida pada produk pertanian tersebut berdasarkan metoda standar dari CASANOVA (1996) menggunakan khromatografi gas Varian Model 3700 dengan electron capture detector (ECD), kolom berisi 1,5% OV-17 dan 1,95% OV-210 pada suhu injektor 240C, kolom 220C dan detektor 300C. Nitrogen digunakan sebagai gas pembawa dengan kecepatan aliran 40 ml/menit. Pola pertanian organik (kol dan jagung) untuk menghasilkan limbah pakan ternak Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan pakan ternak asal limbah pertanian organik

yang rendah residu pestisida. Penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan on farm research di Pangalengan (Jawa Barat) dan Astomulyo (Lampung) berturut-turut untuk kol dan jagung. Limbah kol digunakan sebagai pakan ternak untuk sapi perah Frisien Holstein, sedangkan limbah jagung diberikan kepada sapi potong Peranakan Onggole. Penelitian ini dilakukan selama tiga tahun berturut-turut dari tahun 2001 sampai 2003. Penanaman kol dilakukan pada lahan milik petani di Pangalengan seluas 3.000 m2. Bibit kol diperoleh secara komersial dari pembibitan setempat. Lahan dibagi dua petak sama besar masing-masingnya seluas 1.500 m2 untuk kol organik (A) dan kol non-organik (B). Masingmasing lahan ditanami dengan 1.000 buah bibit kol untuk masa produksi selama 90 hari. Pola pertanian organik adalah pola produksi tanpa menggunakan bahan agrokimia, tetapi menggunakan pestisida botani dan pupuk organik. Teknologi pembuatan pestisida botani dan pupuk organik diadopsi dari teknik yang telah diterapkan oleh petani setempat, seperti pemanfaatan tanaman Tagetes sp. (bunga kenikir), Manihot sp. (singkong kerikil) dan Bamboo sp. (rebung bambu tali) sebagai bahan pestisida botani serta kompos kotoran ternak dan urin kelinci sebagai pupuk organik. Sementara itu produksi jagung dilakukan hanya untuk pola pertanian organik pada lahan seluas 7500 m2 milik petani di Astomulyo (Lampung). Lahan ditanam dengan jagung dari varietas C7 tanpa bahan agrokimia dan menggunakan pupuk kompos yang diproses dengan bio-starter komersial. Disamping itu, penanaman padi organik tidak dilakukan dalam penelitian ini tetapi sampel jerami dikoleksi dari lahan pertanian di Yogyakarta yang telah melakukan pola pertanian organik selama 3 tahun. Percobaan pakan limbah pertanian organik pada sapi perah dan sapi potong Pemberian pakan limbah pertanian organik pada sapi perah dan sapi potong dimaksudkan untuk mempelajari tingkat residu pestisida pada produk ternak yang dihasilkan. Sapi perah Frisien Holstein (FH) diberi pakan limbah kol organik dan sapi potong Peranakan Onggole diberi pakan limbah jagung organik. Sepuluh ekor sapi FH dalam masa produksi milik petani

259

Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak

di Pangalengan (Jawa Barat) dibagi menjadi 2 perlakuan masing-masing sebanyak 5 ekor sapi untuk limbah kol organik dan limbah kol nonorganik. Sapi perah diberi pakan limbah kol sebanyak 5 kg/ekor/hari selama satu minggu berturut-turut. Sebagai pakan utama untuk seluruh sapi percobaan diberi rumput gajah secara ad libitum. Pemberian limbah kol dihentikan setelah tujuh hari percobaan dan sampel susu mulai dikoleksi pada hari ke-0 (saat penghentian pemberian limbah kol), minggu ke-1 dan minggu ke-3 setelah perlakuan. Untuk analisis residu pestisida pada susu mengikuti metoda SCHENCK and WAGNER (1995) dengan menggunakan khromatografi gas dan ECD. Sementara itu 6 ekor sapi potong jenis Peranakan Onggole (PO) milik petani diberi pakan limbah jagung organik secara ad libitum selama satu minggu. Serum dikoleksi setiap minggu selama tiga minggu setelah perlakuan untuk analisis residu pestisida. Analisis residu pestisida pada serum mengikuti metoda SCHENCK et al. (1996). HASIL DAN PEMBAHASAN Residu pestisida pada limbah pertanian organik Jerami padi dan limbah jagung umumnya dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi potong terutama dalam sistem pertanian terpadu. Sebaliknya, limbah kol belum banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Limbah kol adalah lapisan luar daun kol yang biasanya dibuang oleh petani. Beberapa daerah tertentu telah mencoba untuk memanfaatkan limbah kol sebagai pakan tambahan untuk ternak sapi perah di Pangalengan, Jawa Barat. Dalam penelitian ini diperkenalkan pola pertanian organik untuk menghasil pakan limbah kol yang rendah residu pestisida. Tabel 1 menunjukkan bahwa beberapa jenis pestisida masih terdeteksi pada produk pertanian organik (lindan, heptakhlor, khlorpirifos metil, khlorpirifos dan diazinon) maupun limbahnya (lindan, heptakhlor, diazinon dan DDT). Total residu pestisida pada limbah organik (0,129,5 ppb) lebih rendah dibandingkan limbah non-organik (0,3129,1 ppb). Nilai total residu pestisida tertinggi pada

limbah tanaman organik secara berturut-turut terdapat pada limbah jagung (29,5 ppb), jerami padi (3,89 ppb) dan limbah kol (0,1 ppb). Hal yang sama dijumpai pula pada limbah tanaman non-organik yaitu limbah jagung (129,1 ppb), jerami padi (22,55 ppb) dan limbah kol (0,3). Hasil ini menunjukkan bahwa pestisida lebih sering digunakan pada tanaman jagung, dimana golongan organokhlorin lebih umum terdeteksi pada tanaman non-organik dengan kisaran total residu pestisida sebesar 0,3111,5 ppb, sedangkan residu pestisida golongan organofosfat berkisar antara 020,04 ppb. Tingkat residu pestisida golongan organokhlorin pada limbah tanaman organik (0,17,8 ppb) masih berada dalam batas aman (20 ppb) yang dianjurkan oleh BARTIK dan PISKA (1981), sehingga aman digunakan sebagai pakan ternak. Namun untuk residu pestisida organofosfat (021,7 ppb) lebih tinggi dari nilai batas aman (3 ppb) yang dianjurkan (BARTIK dan PISKA, 1981), sehingga perlu antisipasi terhadap timbulnya residu pestisida pada produk ternak. Beberapa limbah pertanian lain juga sering dimanfaatkan sebagai pakan ternak seperti ampas tahu, limbah nenas dan dedak padi. Status pakan asal limbah pertanian digambarkan pada Tabel 1 dimana beberapa residu pestisida dapat terdeteksi dengan kisaran total residu sebanyak 2,668,3 ppb. Residu organokhlorin dapat terdeteksi dari semua bahan pakan ternak dengan kisaran total residu antara 2,111,3 ppb, sedangkan residu organofosfat hanya terdeteksi pada ampas tahu (2,3 ppb) dan rumput (57,0 ppb). Kondisi ini menunjukkan bahwa kemungkinan pestisida golongan organokhlorin masih banyak digunakan di lapangan. Secara umum total residu pestisida golongan organokhlorin masih berada dibawah nilai batas aman (20 ppb) yang dianjurkan (BARTIK dan PISKA, 1981). Sebaliknya total residu pestisida golongan organofosfat khususnya pada rumput (57,0 ppb) berada diatas nilai batas maksimum (3 ppb) yang diizinkan. Keadaan ini perlu menjadi perhatian bila rumput tersebut diberikan sebagai pakan, karena dapat menimbulkan toksisitas pada ternak. Pestisida golongan organokhlorin telah dilarang penggunaannya untuk kegiatan pertanian di Indonesia, namun keberadaan residu pestisida pada produk pertanian non-organik maupun

260

Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak

organik diperkirakan berasal dari tanah yang tercemar pestisida (Tabel 2) akibat penggunaan dimasa lampau. Disamping limbah kol dan jagung, jerami sudah lama dimanfaatkan sebagai pakan ternak khususnya di pulau Jawa. Sebagai pembanding status residu pestisida pada pakan limbah pertanian maka jerami dikoleksi dari Yogyakarta baik organik maupun non-organik. Total residu pestisida pada jerami non-organik (22,55 ppb) diilustrasikan pada Tabel 1 dimana terlihat lebih tinggi daripada jerami organik (3,89 ppb). Tingkat residu pestisida golongan organofosfat pada jerami non-organik (20,04 ppb) terlihat melebihi nilai batas maksimum yang diizinkan, sedangkan residu pestisida

golongan organokhlorin masih berada dibawah nilai maksimum residu yang diperbolehkan. Pola pertanian organik (kol dan jagung) untuk menghasilkan limbah pakan ternak Suatu pola penanaman kol dan jagung organik diperkenalkan masing-masing kepada petani di Pangalengan (Jawa Barat) dan Astomulyo (Lampung). Pola tanam organik ini diarahkan untuk menghasilkan pakan limbah pertanian yang aman dan sehat untuk sapi perah dan sapi potong pada kedua daerah tersebut.

Tabel 1. Residu pestisida pada produk pertanian dan limbahnya yang dikoleksi dari berbagai tempat Sampel Produk organik Beras (n=3) Kol (n=4) Jagung (n=3) Limbah organik Jerami (n=2) Limbah kol (n=3) Limbah jagung Produk non organik Beras Kol ((n=3) Jagung (n=8) Limbah non-organik Jerami (n=23) Limbah kol (n=3) Limbah jagung (n=8) Pakan dari limbah pertanian Ampas tahu (n=4) Limbah nenas (n=4) Tepung ikan (n=4) Dedak Rumput 1,7 0,1 1,7 2,1 6,3 0,4 0,7 0,9 2,5 5,0 2,3 tt tt tt tt tt tt tt tt tt tt tt tt tt 57,0 CPM Endo OC tt tt 0,5 tt tt tt tt 5,2 tt tt tt 4,4 6,5 2,6 4,6 68,3 2,1 6,5 2,6 4,6 11,3 2,3 tt tt tt 57,0 1,58 0,3 0,2 0,93 12,09 tt tt 107,7 17,6 tt tt tt 7,95 tt tt tt tt tt tt tt 3,6 22,55 0,3 129,1 2,51 0,3 111,5 20,04 tt 17,6 3,4 0,15 tt 5,93 tt tt tt tt tt tt tt tt tt 2,40 3,4 8,48 3,4 8,48 tt tt 3,89 tt 2,0 tt tt 5,8 tt tt tt tt tt tt tt tt 21,7 tt 0,1 tt tt tt tt 3,89 0,1 29,5 3,89 0,1 7,8 tt tt 21,7 1,2 0,53 9,6 2,0 1,8 1,1 4,0 tt 7,5 26,1 tt tt 22,1 14,2 21,7 tt tt tt tt tt tt 55,4 16,53 39,9 3,2 2,33 10,7 52,2 14,2 29,2 Residu pestisida (ppb) Lind. Hept. CPM Chlor Diaz. Endo DDT Total residu Total residu OC OP

Lind. = lindan Hept. = heptakhlor Chlor = chlorpyrifos Diaz. = diazinon DDT = dikhlorodiphenyl trichlorethan. OP = organophosphate

= chlorpyrifos methyl = endosulfan = organochlorine = tidak terdeteksi

261

Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak

Tabel 2. Ratarata residu pestisida pada tanah yang dikoleksi sebelum penanaman, setelah panen dan dua tahun setelah penanaman kol organik terakhir No Lin. I II III 0 2,0 2,4 End. 0 2,7 0 DDT 214,5 1,2 tt Residu pestisida (ppb) Hept. tt 2,0 1,1 PCP Ald. tt tt 0,8 Khlo. tt tt 22,4 Diaz tt tt 13,3 PCP 11.342,2 tt tt Total residu (ppb) 11.556,7 7,9 40,0 Total residu (ppb) OC 214,5 7,9 4,3 OP 11.342,2 0 35,7

Ald. = Aldrin

= pentachlorophenol

Kol Organik. Lahan untuk penanaman kol organik (Pangalengan) merupakan lahan bekas tanam kentang yang penggunaan bahan agrokimianya tidak diketahui. Dari analisis tanah sebelum penanaman kol organik terdeteksi beberapa residu pestisida (Tabel 2), antara lain: metabolit DDT (tt214,5 ppb) dan pentakhlorofenol/PCP (tt11.342,2 ppb). Residu kedua jenis pestisida tersebut cukup tinggi untuk pencemaran pada tanah. Metabolit DDT masih terdeteksi meskipun bahan agrokimia ini telah dilarang penggunaannya di dalam kegiatan pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa pencemaran lahan telah berlangsung lama sebelum penanaman dimulai atau kemungkinan masih ada penggunaan organokhlorin secara ilegal. Sampel tanah dikoleksi secara acak hanya untuk satu lapisan (kedalaman) saja. Total residu pestisida menunjukkan penurunan setelah penanaman kol organik selama 90 hari masa produksi yaitu 214,5 ppb (tahun I) menjadi 7,9 ppb (tahun II) dan 4,3 ppb (tahun III) untuk organokhlorin, sedangkan untuk organofosfat menurun dari 11.343,2 ppb (tahun I) menjadi 0 ppb (tahun II), kemudian meningkat menjadi 25,7 ppb (tahun III). Meskipun residu DDT menurun drastis dan PCP tidak terdeteksi lagi setelah penanaman kol, beberapa jenis pestisida lainnya terdeteksi pada sampel tanah seperti lindan (2,0 ppb),

endosulfan (2,7 ppb) dan heptakhlor (2,0 ppb) dengan kandungan yang relatif sama dengan DDT (1,2 ppb). Selama penanaman kol, beberapa sampel semak/perdu dan rumput yang tumbuh disekitar maupun di dalam lahan percobaan dikoleksi untuk analisis residu pestisida. Tabel 3 menunjukkan bahwa residu pestisida golongan organokhlorin terdeteksi pada tanaman semak atau perdu yaitu lindan (0,1 ppb); diazinon (3,6 ppb); endosulfan (tt); dan parathion (2,0 ppb). Sementara itu pada rumput terdeteksi lindan (1,8 ppb); diazinon (12,7 ppb); endosulfan (endosulfan); dan parathion (0,5 ppb). Total residu pestisida pada kedua tanaman ini (5,717,8 ppb) lebih tinggi dibandingkan dengan limbah kol organik (0,3 ppb). Total residu pestisida golongan organokhlorin masih berada dibawah nilai batas aman yang dianjurkan, sedangkan untuk golongan organofosfat lebih tinggi dari nilai batas aman yaitu 3 ppb (BARTIK dan PISKA, 1981). Hal ini menunjukkan bahwa kedua tanaman tersebut mengalami pencemaran pestisida yang kemungkinan berasal dari pencemaran tanah akibat penggunaan pestisida sebelum penanaman maupun adanya penyemprotan pestisida pada lahan lain yang bersebelahan selama masa produksi kol organik.

Table 3. Residu pestisida pada pakan ternak dari Jawa Barat Sampel Lind. Limbah kol organik Semak/perdu (n=4) Rumput (n=4) Lind. = lindan 0,3 0,1 1,8 Residu pestisida (ppb) Diaz. Tt 3,6 12,7 Endo Tt Tt 2,8 Para Tt 2,0 0,5 0,3 5,7 17,8 Para = parathion Total residu Total residu OC 0,3 0,1 4,6 OP Tt 5,6 13,2

Endo. = endosulfan

Diaz. = diazinon

262

Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak

Serangan hama terhadap kol organik terlihat tidak berbeda dengan kol non-organik. Hama insekta tidak ditemukan dalam dua bulan pertama pada masa pertumbuhan, namun mulai ditemukan pada bulan ketiga pada masa tanam dengan tingkat serangan tertinggi oleh ulat Plutella sp. terhadap kol non-organik yaitu 6 insekta untuk setiap 10 tanaman. Kol organik mengalami infeksi lebih rendah dibanding kol non-organik khususnya terhadap Plutella sp. Begitu pula dengan kerusakan tanaman lebih menonjol pada daun kol tetapi kerusakan daun pada kol organik (4,5%) lebih rendah daripada kol non-organik (5,5%). Hal ini menunjukkan bahwa pestisida botani yang digunakan memiliki efektivitas yang sama dengan pestisida kimia. Tabel 4 menunjukkan hasil analisis residu pestisida pada kol dan limbahnya. Pada lapis dalam kol organik (untuk dikonsumsi) tidak terdeteksi residu pestisida sama sekali, sebaliknya kol non-organik terdeteksi residu lindan pada lapis dalam (3,4 ppb) dan limbah (0,3 ppb). Endosulfan hanya terdeteksi pada limbah kol organik sebesar 0,1 ppb. Meskipun pestisida golongan organokhlorin tidak digunakan selama percobaan ini, ternyata residu organokhlorin (endosulfan dan lindan) dijumpai pada produk kol organik dan nonorganik. Pencemaran ini kemungkingan disebabkan karena lahan yang digunakan telah mengalami pencemaran pestisida atau adanya penggunaan pestisida golongan tersebut pada lahan lain yang berdekatan. Hal ini selaras dengan terdeteksinya pestisida yang sama pada semak/perdu dan rumput yang tumbuh

disekitar maupun di dalam areal lahan percobaan seperti pada Tabel 3. Limbah kol ini digunakan sebagai pakan ternak untuk sapi perah yang sedang laktasi. Hasil analisis proksimat limbah kol terlihat bahwa nilai nutrisi kol organik sebanding dengan kol non-organik kecuali kandungan air lebih rendah dan kadar Ca dan P lebih tinggi pada kol organik (Tabel 5). Kandungan kedua mineral tersebut sangat diperlukan bagi sapi perah dalam masa produksi. Rendahnya kandungan air pada tanaman kol dapat meningkatkan daya tahan tanaman terhadap proses pembusukan. Sesuai dengan informasi petani setempat bahwa tanaman kol organik dapat bertahan lama dengan menunda masa panen lebih dari 90 hari tanpa kerusakan. Tabel 6 menunjukkan bahwa total produksi yang dihasilkan dari kedua pola pertanian adalah 1.600 kg kol organik dan 1.780 kg kol non-organik untuk 1.000 m2 luas lahan (atau 16 ton kol organik dan 17,8 ton kol non-organik per hektar luas lahan). Pertanian organik memberikan efisiensi yang lebih baik daripada pertanian non-organik karena rendahnya biaya produksi untuk penyediaan bahan agrokimia. Harga BEP (break even point) untuk kol organik (Rp. 759,4,-/kg) terlihat lebih rendah dibandingkan dengan kol non-organik (Rp. 1.022,5,-/kg) yang menunjukkan bahwa bila harga kol pada saat itu adalah Rp. 1.000,-/kg, maka pada pola pertanian organik akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 3.850.000,-/ha). Sebaliknya pada pola nonorganik mengalami kerugian sebesar Rp. 400.000,-/ha.

Tabel 4. Residu pestisida pada tanaman kol organik dan non-organik serta limbahnya di PangalenganJawa Barat* Residu pestisida Endosulfan Lindan Organik (ppb) Limbah 0,1 tt Lapis dalam tt tt tt 0,3 Non-organik (ppb) Limbah Lapis dalam tt 3,4

tt= tidak terdeteksi; * Nilai rata-rata dari 3 ulangan Tabel 5. Analisis proksimat pada limbah kol untuk pakan ternak Kelompok Organik Non-organik Berat basah/ kering (%) 482/58,5 379/41 Kadar air (%) 7,27 9,63 Protein kasar (%) 17,07 18,16 Serat (%) 32,98 34,15 Lemak (%) 2,34 3,04 Abu (%) 9,51 20,73 Ca (%) 2,64 1,67 P (%) 0,27 0,24 Energi (kKal) 2708 3832

263

Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak

Tabel 6. Produktivitas kol organik dan non-organik di PangalenganJawa Barat Produktivitas Total produksi (ton/ha) Hama insekta (jenis) Biaya produksi (Rp./ha): (Sewa lahan, tenaga kerja, sarana produksi dan bahan agrokimia/pestisida botani) Harga BEP (Rp./kg) Nilai jual (Rp./kg) Pendapatan total (Rp./ha) Keuntungan (Rp./ha) Indeks keuntungan 759,4,1.000,16.000.000,3.850.000,1,30 1.022,5,1.000,17.800.000,(-) 400.000,0,97 Organik 16,0 2 12.150.000,Non-organik 17,8 2 18.200.000,-

Tabel 7. Rata-rata konsentrasi pestisida pada sampel tanah sebelum dan setelah penanaman jagung organik di Astomulyo (Lampung) Lapisan tanah Lin. I (015 cm) II (1630 cm) 2,7 1,6 Residu pestisida (ppb) Hept. 0,1 0,4 Endo. tt 1,2 CPM 2,9 129,1 Aldrin tt 1,1 Total residu 5,7 133,4 Total residu (ppb) OC 2,8 4,3 OP 2,9 129,1

OC = organochlorine; OP

= organophosphate

Jagung Organik. Penanaman jagung organik diterapkan di Astomulyo (Lampung) pada lahan seluas 7.500 m2, adalah lahan bekas penanaman palawija dan padi yang pernah menggunakan bahan agrokimia (pupuk anorganik dan pestisida). Analisis terhadap sampel tanah sebelum penanaman jagung organik terlihat pada Tabel 7. Tiga jenis pestisida terdeteksi pada tanah yaitu lindan, heptakhlor dan CPM dengan kisaran 0,12,9 ppb (tahun I). Setahun setelah panen jagung organik, dimana selama setahun tersebut petani selalu menanam jagung dengan pola yang sama, sampel tanah dikoleksi untuk analisis residu pestisida berikutnya. Pada sampel tanah tersebut terdeteksi dua jenis pestisida lain dalam konsentrasi yang cukup tinggi antara lain 1,2 ppb endosulfan dan 1,1 ppb aldrin, disamping 1,6 ppb lindan; 0,4 ppb heptakhlor; dan 129,1 ppb CPM dengan total residu pestisida sebesar 133,4 ppb. Tabel 7 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan residu pestisida golongan organofosfat dari rata-rata 2,9 ppb (sebelum penanaman) menjadi 129,1 ppb (setahun setelah penanaman). Demikian pula secara keseluruhan terjadi peningkatan residu pestisida dalam tanah dari total residu

sebesar 5,7 ppb menjadi 133,4 ppb. Meningkatnya residu pestisida dalam tanah disebabkan karena meningkatnya residu CPM (pestisida golongan organofosfat) secara tajam (2,9 ppb menjadi 129,1 ppb). Hal ini kemungkinan disebabkan meningkatnya penggunaan pestisida golongan organofosfat, dimana kebanyakan pestisida golongan organoklorin telah dilarang oleh pemerintah untuk digunakan di lapangan. Residu pestisida terdeteksi lebih tinggi pada lapisan atas tanah, karena pada saat koleksi tanah lahan dalam proses pengolahan tanah (sedang diirigasi) dan golongan organofosfat larut dalam air sehingga terakumulasi pada bagian teratas lahan. Hasil tanam jagung secara organik masih terdeteksi residu pestisida golongan organokhlorin dengan total residu 81,1 ppb pada biji jagung dan 15,2 ppb pada limbahnya (Tabel 9). Sementara itu residu pestisida golongan organofosfat tidak terdeteksi sama sekali pada jagung maupun limbahnya. Nilai total residu organokhlorin pada jagung lebih tinggi dibandingkan dengan nilai batas maksimum yang diizinkan, namun tingginya nilai residu pestisida ini berasal dari tingginya tingkat residu endosulfan (78,6 ppb).

264

Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak

Total produksi jagung yang dihasilkan dari kedua pola tanam adalah 2,8 ton jagung organik pipilan dan 1,8 ton jagung non-organik pipilan untuk 1 hektar luas lahan. Jagung organik memberikan efisiensi yang lebih baik daripada jagung non-organik karena rendahnya biaya produksi untuk penyediaan bahan agrokimia. Harga BEP (break even point) untuk jagung organik (Rp. 1.095,-/kg) menunjukkan hasil lebih rendah dibandingkan dengan jagung non-organik (Rp. 1.757,-/kg) yang menunjukkan bahwa bila harga jagung pada saat panen adalah Rp. 1.425-/kg, maka pada pola pertanian organik akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 923.300,-/ha. Sebaliknya pada pola non-organik mengalami kerugian sebesar Rp. 596.000,-/ha. Percobaan pakan limbah pertanian organik pada sapi perah dan sapi potong Limbah kol organik dan non-organik diberikan kepada dua kelompok sapi perah yang masing-masing terdiri dari 5 ekor dalam masa laktasi. Pakan limbah diberikan selama 7 hari berturut-turut secara ad libitum sebagai pakan pendukung dengan rumput sebagai
Tabel 8.

pakan basal. Pengaruh pemberian pakan limbah kol terhadap kualitas susu terlihat pada Tabel 8. Hasil analisis residu pestisida pada susu menunjukkan bahwa limbah kol dari kelompok organik tidak terdeteksi residu pestisida selama 15 hari setelah seminggu pemberian limbah kol. Sebaliknya pada kelompok limbah kol non-organik, residu lindan terdeteksi selama 7 hari setelah pemberian pakan limbah kol non-organik dengan kisaran antara 10,275,7 ppb. Residu lindan terlihat menurun secara progresif dari hari pertama (75,7 ppb) hingga hari ke-7 (10,2 ppb) dan tidak terdeteksi sama sekali pada hari ke-15. Tingkat residu lindan pada susu selama 7 hari setelah pemberian limbah kol masih berada dibawah nilai batas maksimum residu yang diizinkan yaitu 200 ppb (WHO/FAO, 1985) sehingga susu masih layak untuk dikonsumsi. Namun demikian keberadaan residu pestisida golongan organokhlorin di dalam susu perlu mendapatkan perhatian karena sifat akumulasinya di dalam lemak. Dalam hal ini pemberian limbah kol organik lebih menjamin kualitas susu yang dihasilkan dengan tidak terdeteksinya residu pestisida pada susu.

Residu pestisida pada susu sapi yang diberi pakan limbah kol organik dan non-organik di Pangalengan (Jawa Barat) Organik (hari ke- /ppb) 0 tt tt tt tt 1 tt tt tt tt 7 tt tt tt tt 15 tt tt tt tt 0 75.7 tt tt tt Non-organik (hari ke- /ppb) 1 49.6 tt tt tt 7 10.2 tt tt tt 15 tt tt tt tt

Jenis pestisida Lindan Endosulfan DDT Heptachlor tt

= tidak terdeteksi; ppb = part per billion

Tabel 9. Residu pestisida pada serum sapi potong yang diberi pakan limbah jagung organik di Lampung Sampel Jagung Limbah jagung Serum Minggu I Minggu II Minggu III 0,26 0,39 0,25 tt tt tt tt tt tt 8,80 tt tt 9,06 0,39 0,25 0,26 0,39 0,25 8,80 tt tt Residu pestisida (ppb) Lindan 2,5 7,9 Heptaklor tt 7,3 Endosulfan 78,6 tt Diazinon tt tt Total residu (ppb) 81,1 15,2 Total residu (ppb) OC 81,1 15,2 OP tt tt

265

Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak

Disamping limbah kol organik, limbah jagung organik diberikan kepada 6 ekor sapi potong PO sebagai pakan ternak selama 7 hari berturut-turut secara ad libitum. Residu pestisida diamati berdasarkan analisis pestisida di dalam serum yang dikoleksi setiap minggu selama 3 minggu setelah pemberian pakan limbah jagung organik. Tabel 9 menunjukkan bahwa residu lindan terdeteksi pada serum sapi selama 3 minggu berturut-turut setelah pemberian pakan limbah jagung organik C7hibrida selama 1 minggu percobaan masingmasingnya dengan konsentrasi 0,26 ppb (minggu I); 0,39 ppb (minggu II) dan 0,25 ppb (minggu III). Jenis pestisida lain tidak ditemui pada serum sapi potong kecuali diazinon sebesar 8,80 ppb pada minggu I dan tidak ditemukan pada minggu berikutnya. Tercemarnya serum sapi oleh lindan dalam penelitian ini didukung dengan tingginya residu pestisida yang sama pada limbah jagung (7,9 ppb) yang digunakan sebagai pakan ternak. Kondisi ini menunjukkan bahwa pakan yang tercemar oleh pestisida dapat menimbulkan residu pada produk ternak. KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola pertanian organik mampu mengurangi tingkat pencemaran dan residu pestisida pada lahan dan produk pertanian serta produk peternakan. Penggunaan berbagai jenis tanaman yang terdapat dikawasan pertanian setempat sebagai pestisida botani maupun pupuk organik (kompos) ternyata mampu menurunkan kasus residu pestisida kimiawi pada produk ternak, sedangkan pestisida nabati ternyata ramah terhadap lingkungan. Secara ekonomi, pola organik ternyata mampu memberikan efisiensi produksi sebesar 33,24%, meskipun nilai jual produk organik masih dinilai sama dengan produk non-organik bagi masyarakat di Indonesia saat ini. Pola pertanian organik memiliki potensi yang baik untuk diterapkan pada kegiatan pertanian dimasa depan berupa pola pertanian terpadu untuk menghasil produk pertanian dan peternakan yang bebas residu bahan agrokimia.

DAFTAR PUSTAKA ANONIMOUS. 1997. Childrenss exposure to pesticides. US-EPA and Developments Science to Achieve Results (STAR) Report. 1(1) Oktober 1997. ARDIWINATA, A.N., N. UMAR and N. HANDAYANI. 1996. Residu insektisida dalam beras dan kedelai di beberapa pasar DKI Jakarta. Seminar Tantangan Entomologi Pada abad XXI, PEI Bogor. BARTIK, M. and A. PISKA. 1981. Veterinary Toxicology, Development in Animal and Veterinary Sciences, 7. Elsevier Scientific Publishing Company. CASANOVA, J.A. 1996. Use of solid phase extraction disks for analysis of moderately polar and nonpolar in high moisture foods. J AOAC International 79 (4): 936-940. CORRIGAN, P.J. and P. SENEVIRATNA. 1990. Occurence of organochlorine residue in Australian meat. Aust. Vet. J. 67 (2): 56 58. DIWYANTO, K., B.R. PRAWIRADIPUTRA dan D. LUBIS. 2002. Integrasi tanamanternak dalam pengembangan agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan dan berkerakyatan. Wartazoa, 12 (1): 18. IBRAHIM, A.M., A.A. RAGUB, M.A. MORSEY, M.M. HEWEDI and C.J. SMITH. 1994. Application of an aldrin and dieldrin ELISA to the detection of pesticides in eggs. Food and Agric. Immunol. 6: 3944. INDRANINGSIH, R. MARYAM, R. MILTON and R.B. MARSHAL. 1988. Organochlorine pesticide residues in bird eggs. Penyakit Hewan XX (36): 98100. INDRANINGSIH, C.S. MCSWEENEY, S. BAHRI and YUNINGSIH. 1990. Residu endosulfan pada tanah bekas tanam kedelai dan limbah pertaniannya serta kemungkinan pengaruhnya pada ternak. Penyakit Hewan. XXII (40: 133 137. INDRANINGSIH. 1988. Pengenalan keracunan pestisida golongan organofosfat pada ruminansia. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner jilid I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian, Bogor 18-19 Nopember 1997: 104-109. KAHUNYO, J.M., C.K. MAITAI and A. FROSLIE. 2001. Orhanochlorine pesticide residues in chicken fat: a survey. Environ. Sci. Technol. 35 (10): 19891995.

266

Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak

MAITHO, T. 1992. A study of pesticide residues in bovine fat from Kenya. Zimbabwe Vet. J. 23 (2): 6771. NEUMAN, C.B. 1988. The occurence and variation of organochlorine pesticide residues detected in Australian livestock at slaughter. Acta Vet. Scan. 84: 299302. NTOW, W.J. 2003. Organochlorine pesticides in water, sediment, crops, and human fluids in a farming community in Ghana, Food Addit. Contam. 20 (3): 270275. NUGRAHA, A., I.M. SAMUDRA, SUTRISNA dan A.A. PURNOMO. 1989. Analisis residu endosulfan dalam biji kedelai. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Bogor 1989: 376382. SABRANI, M. and A.R. SETIOKO. 1983. Itik gembala dan masalahnya di daerah persawahan di pedesaan. Poult. Indonesia. 45: 27. SCHENCK, F.J. and R. WAGNER. 1995. Screening procedure for organochlorine and organophosphorous pesticide residue in milk using matrix solid phase disperson (MSPD) extraction and gas chromatography. Food Add and Contam. 12 (4): 535541.

SCHENCK, F.J., L. CALDERON and L.V. PODHORNIAK. 1996. Determination of organochlorine pesticide and polychlorinated residues in fatty fish by tandem solid-phase extraction cleanup. J. AOAC International. 79 (5): 12091213. SOEJITNO, J., 2002. Pesticide residues on food crops and vegetables in Indonesia. J. Litbang Pertanian. 21 (4): 124132. VARSHEYA, C. H.S. BAGHGA and L.D. SHARMA. 1988. Effect of insecticide on humoral immune response in cockerels. Short Communication. Bri. Vet. J. 144: 610612. WHO/FAO. 1985. Codex Alimentarius Commission: Guide to Codex Recommendations Concerning Pesticide Residues. Part 2. Maximum Limits for Pesticide Residues. FAO/WHO, Rome. WILLETT, L.B., A.F. ODONNELL, H.I. DURST and M.M. KURZ. 1993. Mechanisms of movement of organochlorine pesticides from soils to cows via forages. Dairy Sci. 76 (6): 1635 1644. YUNINGSIH dan R. DAMAYANTI. 1994. Gambaran patologis keracunan insektisida organofosfat pada ayam. Penyakit Hewan. 26 (47): 5356.

267

You might also like